BAB II TBVJAUAN PUSTAKA Biologi ikan Mas (Cyprinus carplo) Klasifikasi ikan mas berdasarkan taksonominya digolongkan sebagai berikut: filum Chordata, kelas Pisces, subkelas Teleostei, ordo Ostariophysi, subordo Cyprinoidea, famili Cyprinidae, genus Cyprinus dan spesies Cyprinus carpio Linneaus (Saanin, 1968). Ciri-ciri ikan mas adalah memiliki badan memanjang sedikit memipih ke samping, mulutnya dapat disembulkan dan terletak di ujung tengah, sungut ada dua pasang, sirip dorsal panjang dengan bagian belakang jari-jari keras, letak permukaan sirip punggung berseberangan dengan sirip perut dan sirip anal yang berakhir bergerigi. Sisik ikan mas berukuran besar, sisi garis rusuk lengkap berada sampai di permukaan ekor. Gigi kerongkongan terdiri dari baris yang berbentuk geraham. Ikan mas memiliki warna yang menarik yaitu, putih, merah, hitam pada tubuhnya. Selain itu ikan mas memiliki mata menonjol, gerakan lambat dan jinak, punggung lebar dan tinggi serta perbandingan antara tinggi badan dan panjang mencapai 1 : 3 (Djuhanda, 1981). Menurut Fernandez (1985) ikan mas mempunyai sirip punggung dengan jari-jari keras yang tidak sejajar dengan sirip perut memanjang kebelakang dan berakhir sejajar dengan bagian sirip anus. Tubuh berbentuk pipih memanjang, lipatan mulut dan bibir tipis, memiliki satu atau dua pasang kumis. Ikan mas memiliki mulut di ujung kepala dan pada sudut-sudut mulut terdapat dua pasang sungut peraba. Sirip punggung mempunyai 4 jari-jari keras dan 16-18 jari-jari lunak dan 8 jari-jari lunak. Sirip dada mempunyai 1 jari-jari keras dan 13-16 jari-jari lunak, jumlah sisik pada gurat sisi antara 33-37 buah (Saanin, 1968). Perbedaan antara ikan mas jantan dan ikan mas betina dapat dilihat dengan jelas jika sifat dari kelamin sekunder sudah terlihat jelas. Ikan mas jantan dibedakan dengan ikan mas betina 4 dari alat kelamin luarnya yang terletak satu lubang. Pada ikan mas jantan lubang genital terletak di belakang genital papilla dan letaknya tidak menonjol. Ujung papilla tersebut hanya berlubang sebuah yang merupakan lubang kencing dan sekaligus lubang pengeluaran sperma, pada ikan betina lubang genital terletak di depan genital papilla yang terlihat menonjol, lubang kencing dan lubang pengeluaran telur terletak di ujung papilla (Hardjamulia, 1978). Morfologi ikan mas dapat dipakai untuk membedakan antara ikan mas jantan dan ikan mas betina. Pada induk ikan mas jantan dijumpai adanya sirip dada yang relatif pendek, lunak, jari-jari luarnya tipis, lapisan sirip dalam dada licin. Tubuh ikan mas betina terlihat lebih gemuk dibandingan dengan ikan mas jantan pada umur yang sama. Induk ikan mas betina memiliki sirip dada relatif lebih panjang, jari-jari luar tebal, lapisan dalam sirip dada kasar. Tubuh ikan mas jantan pada bagian perutnya tidak lunak, perut tersebut jika dipijat akan mengeluarkan cairan seperti air, sedangkan pada ikan betina tidak mengeluarkan cairan jika perut di pijat (Hersanto, 1993). Ikan mas merupakan ikan pemakan segala (orrtnivora). Benih ikan mas yang berukuran 10 cm makanannya adalah jasad dasar misalnya Chironomidae, Oligochaeta, Epemedae, Trichoptera, Tubificidae atau Molluska. Jasad tersebut dimakan bersama dengan bahan-bahan organik lainnya misalnya tumbuh-tumbuhan yang membusuk. Selain itu ikan mas dapat memanfaatkan pakan tambahan dengan baik dan juga pakan dengan kadar protein yang relatif fendah seperti biji-bijian dan juga pakan yang merupakan sumber protein seperti bungkil kacang (Hardjamulia, 1978). Menurut Huet (1971) ikan mas merupakan ikan yang paling banyak dipelihara, karena ikan ini mudah untuk dipijahkan, dapat dimanfaatkan bermacam-macam makanan buatan, tumbuh cepat dan mempunyai kisaran toleransi yang luas terhadap suhu dan kadar oksigen. Ikan mas dapat tumbuh normal pada suhu 18-30°C dan pH 7-8 dan mempunyai keistimewaan mampu beradaptasi terhadap fluktuasi lingkungan relatif tinggi seperti perubahan suhu sampai dengan 5°C, dimana suhu optimal bagi ikan mas berkisar 24-27°C, pH 6,5-9 dan ikan akan mengalami kematian pada pH kurang dari 4. Kabata (1985) dan Zooneveld et al., (1991) menyatakan bahwa ikan mas merupakan biota perairan yang rentan terhadap berbagai penyakit baik penyakit yang bersifat parasiter maupun non parasiter. Penyakit yang sering menyerang ikan mas antara lain Costia sp, Argulus sp, Learneae sp, Chilodonella sp, Gyrodactylus sp. Pseudomonas fluorescens, Pseudomonas angulliseptica, Aeromonas hydrophila dan Aeromonas salmonicida. Bakteri Aeromonas salmonicida Aeromonas salmonicida menurut klasifikasinya dapat digolongkan ke dalam divisio Bacteria, kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales, familia Vibrionaceae, genus Aeromonas dan spesies Aeromonas salmonicida (Austin dan Austin (1987). Pada tahun 1890 bakteri Aeromonas salmonicida diketahui pertama kali dan menyerang ikan budidaya dan penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini disebut dengan Furunculosis dan ditemukan pada tahun 1894. Bakteri ini ditemukan pertama kali dari hatchery ikan trout di Jerman dan disebut dengan Bacterium salmonicida. (Emmerich dan Weibel, 1894 dalam Inglis (1993). Kama furunculosis sebenarnya bukan karena adanya luka yang ditimbulkan seperti "furuncle" atau benjolan yang sesungguhnya, akan tetapi lukanya tidak menunjukkan adanya infiltrasi leukosit. Penyakit furunculosis disebabkan karena adanya pembentukan furunkel, lesi seperti matang (boil-like lesion) pada berbagai organ. Spesies ikan dari Salmonidae seperti Trout, Char grayling, White fish sangat peka terhadap penyakit furunkulosis. Ikan yang muda lebih peka terhadap penyakit furunculosis dari pada ikan dewasa (Robert, 1978; Schaperclaus, 1992; Anderson, 1974). Genus Aeromonas yang berasal dari bahasa latin dan Yunani yang berarti satuan penghasil gas, sedangkan spesies salmonicida berarti pembunuh salmon. Spesies A. salmonicida dapat diklasifikasikan ke dalam 3 subspesies berdasarkan atas karakteristik dari variasi sifatnya yaitu: salmonicida, achromogenes dan masoucida. (Schubert (1974) dalam Inglis et al, 1993). Klasifikasi ketiga subspesies ini didasarkan atas adanya kriteria epizootiological dengan kriteria penamaan sebagai berikut:!. Strain A. salmonicida subspesies salmonicida merupakan tipical dari turunan yang menyerang pada jenis-jenis ikan salmon yang bersifat homogeneous taxon, respek terhadap karakteristik biokimia dan karakteristik genotipe. 2. Strain A. salmonicida subspesies achromogenes merupakan atypical dari turunan yang dapat juga menyerang jenis ikan salmon dan mengandung pembentuk sub-spesies achromogenes dan masoucida kedua bakteri Gram negatif yang dianggap sebagai sindrom spesifik dari jenis ikan salmon, ulcer diseases (Snieszko et al. (1950) dalam Inglis et al, 1993), pasteurellosis dan kini diakui sebagai atipical strain (Austin dan Austin, 1987). 3.Strain A. salmonicida dari subspesies nova merupakan strain atipical yang dihubungkan dengan penyakit yang menyerang jenis-jenis ikan non salmon (Schubert (1974) dalam Inglis et al., 1993). Cowan (1985) menggolongkan bakteri A. salmonicida ke dalam bakteri Gram negatif bipolar, yang bersifat anaerob fakultatif, oksidase positif dan sedikit menghasilkan asam pada gula tertentu, tidak bergerak, tidak berspora, tidak mempunyai kapsul, batangnya pendek (1,0 x 1,7-2,0 mm), akan menghasilkan pigmen coklat pada umur biakan 48 jam. Tumbuh lambat pada suhu rendah (1°C), tidak tumbuh pada suhu 7 32°C. Koloni bakteri ini berwarna putih, bulat, cembung/konveks dan mempunyai ukuran berkisar antara 1,3-2,0 jxm. Pertumbuhan yang terbaik pada kisaran temperatur antara 18-25°C. Menurut Austin dan Austin (1987) bakteri A. salmonicida bila diisolasi akan dapat tumbuh pada berbagai media bakteri standar yang umum digunakan seperti Tryptic Soy Agar (TSA) dan Brain Heart Infusion (BHI). Strain yang biasa menghasilkan pigmen coklat dan akan lebih jelas adanya tyrosin atau phenyalanin. Media furunculosis yang mengandung asam amino dengan kadar yang tinggi akan menghasilkan pigmen lebih cepat dan jelas pada umur biakan 48 jam dan akan membentuk koloni putih, kecil, bulat, cembung dan utuh. Sarono et al. (1993) menjelaskan bahwa mekanisme patogenisitas dari A. salmonicida terdiri dari 2 bentuk yaitu virulen dan avirulen. Mekanisme patogenisitas uang virulen bersifat autoagregasi atau autoaglutinasi, sedangkan yang avirulen tidak. Bentuk virulen dapat melekat pada kultur jaringan lebih cepat dari pada bentuk avirulen, autoaglutinasi terjadi disebabkan karena adanya lapisan luar pada bentuk virulen yaitu lapisan "A", kemampuan autoaglutinasi hilang apabila bakteri ditumbuhkan pada temperatur di atas 25°C. Bakteri A. salmonicida juga memproduksi endotoksin akan tetapi tidak berhubungan dengan patogenisitas (bukan faktor virulen) yang sangat beracun pada tikus dan endotoksin merupakan antigen yang baik untuk ikan. Strain tipical dan atipical dari A. salmonicida dilaporkan mempunyai suatu bagian bersifat antigen yang disebut dengan lipopolisakarida (LPS) dan membran protein luar, tetapi faktor virulensi ekstraselluler dapat diproduksi oleh strain tipikal dan atipikal yang berbeda. Menurut beberapa ahli terdapt perbedaan serologi di antara galur-galur A. salmonicida namun belum ada serotipe yang terbukti jelas berbeda, beberapa galur menunjukkan suatu kerentanan terhadap bakteriofag tertentu serta galur lebih sering dipisahkan berdasarkan biotipe (Pelczar dan Reid, 1979). Menurut Duijn (1973) cara penularan penyakit furunkulosis adalah secara horizontal yaitu melalui air yang terkontaminasi, maupun dengan ikan yang sakit atau karier, telur yang terkontaminasi, berhubungan dengan alat yang terkontaminasi. Masa inkubasi Aeromonas salmonicida sangat cepat dalam beberapa jam saja dan pada kondisi perairan jelek dapat menular ke seluruh perairan. Ikan yang terserang bakteri dalam waktu 3 sampai 4 hari akan mati. Serangannya dimulai dari insang kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Gejala penyakit yang ditimbulkan akibat serangan A. salmonicida secara umum hampir mirip dengan gejala serangan bakteri Gram negatif septikemia yaitu terjadinya petikie pada jaringan otot, usus bagian belakang lengket satu persatu, pembengkakan limpa dan pada ginjal terdapat nekrosis serta septikemia yang jelas. Gambaran histopatologik ciri-ciri ikan yang terserang A. salmonicida terlihat adanya luka yang khas yaitu nekrosis dalam otot berupa pembengkakan di bagian bawah kulit dan ini bukanlah furunkel sejati, melainkan luka terbuka yang berisi nanah, darah di jaringan yang rusak dipuncak luka tersebut seperti cekungan serta mengeluarkan nanah. Pada infeksi akut tanda-tanda tersebut tidak nampak, mungkin juga terdapat pendarahan dari luka jaringan pada pangkal sirip dada dan sirip perut serta bentuk sirip yang terputus-putus (Robert, 1978; Post, 1987). Austin dan Austin (1987) menyatakan bahwa perubahan pada permukaan tubuh ikan akibat infeksi A. salmonicida yang jarang dijumpai pada Gram negatif septikemia adalah adanya perubahan warna keperakan atau cemerlang pada tubuh ikan, khususnya dekat mata serta pendarahan pada insang. Secara mikroskopis ikan yang terinfeksi A. salmonicida mempunyai karakteristik yang paling jelas pada jaringan adalah tidak adanya respon inflamatorik/keradangan, terdapat nekrosis pada jaringan dan unsur-unsur hemapoietik pada ginjal dan limpa, menimbulkan lesi bagian parenkima (parenchymal bacterial foci), tidak ada perubahan pada perhitungan hematokrit, hemoglobin eritrosit, laju sedimentasi meningkat, glukosa darah menurun, nitrogen darah meningkat pesat yang merupakan tanda kerusakan jaringan dan nekrosis, dan terdapat gejala awal leukositosis yang diikuti dengan leukopenia. Ikan yang terserang A. salmonicida menunjukkan adanya perubahan patologik berupa lesi yang sedikit (pada kasus akut) atau nekrosis liquifaktif (pada kasus kronis) disertai infiltrasi leukosit akibat adanya bakteri. Peningkatan spongiosis di epidermis dan kongesti, koloni kuman pada ginjal dan di bagian dasar epidermis, jumlah monosit dalam darah meningkat, endapan masa eosinofilik dalam lumen rubulus ginjal (Robert, 1978). Inglis dkk. (1993) menyatakan bahwa bentuk perubahan akut menyeluruh mungkin tidak tampak, atau di jumpai adanya pendarahan pada pangkal sirip dada, sirip perut bahkan sirip dapat terputus. Gejala klinis A. salmonicida yang jarang di jumpai pada Gram negatif septikemia adalah: warna keperakan atau cemerlang pada tubuh, khususnya dekat mata, pendarahan pada insang, ikan menjadi lemah, berwarna gelap, tidak ada nafsu makan, adanya nekrosis jaringan, hingga pembengkakan. 10 Menurut Najiyati (2000) ikan yang terserang A. salmonicida akan sering mengapung di permukaaan, suka menggosok-gosokkan badannya ke dinding aquarium atau benda lain, siripnya pecah-pecah, timbul bisul-bisul yang dapat menyebabkan pendarahan pada pangkal sirip. Ususnya kosong berisi campuran darah dan sel yang rusak bahkan sampai menyebabkan radang. Selain itu gelembung renang, ginjal dan pylorik caeca terjadi radang, peritoneum dan perikardium penuh berisi darah. Pada insang terjadi perubahan warna menjadi keputihan atau kebiruan. Selama ini pengendalian penyakit furunkulosis dapat dilakukan dengan menjaga kualitas air, menjaga kesehatan lingkungan perairan, mengkarantinakan ikan sebelum di masukkan ke kolam pemeliharaan, memberikan pakan yang cukup dan berkualitas serta sirkulasi dan kebutuhan air yang cukup. Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan menghindari adanya benda-benda yang dapat mengkontaminasi media pemeliharaan dengan cara mendesinfeksi semua benda yang akan dimasukkan ke dalam media pemeliharaan seperti tempat pakan, selarig untuk menyipon, aerator dan tangguk. Sedangkan ikan yang telah terserang penyakit furunculosis dapat diobati dengan memberikan antibiotik kloramfenikol dan oksitetrasiklin dengan dosis 55 mg/kg/hari selama 10 hari atau dapat juga memberikan kanamisin dengan dosis 20 mg/kg/hari selama 20 hari (Post, 1987). A. salmonicida mempunyai rentang pengaruh patogenisitas yang dimulai dari perairan air tawar, perairan payau sampai perairan laut. Dari beberapa literatur diperoleh informasi bahwa ikan cyprinid, terutama ikan mas (Cyprinus carpio) dapat terinfeksi A. salmonicida sub-spesies nova (Inglis et at., 1993). 11 Kunyit (Curcuma domestica Val) Kunyit termasuk tanaman temu-temuan yang berasal dari India dan Indo-Malaysia. Di Indonesia tanaman kunyit telah menyebar luas ke seluruh wilayah Indonesia, baik sebagai tanaman liar di hutan belantara maupun tanaman yang ditanam secara intensif di tanah pekarangan. Klasifikasi tanaman kunyit dapat digolongkan kedalam kingdom Plantae (Tumbuhtumbuhan), divisi Spermatophyta (Tumbuhan berbiji), sub divisi Angiospermae (Berbiji tertutup), kelas Monocotyledonae (Biji berkeping satu), ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Curcuma dan spesies Curcuma domestica. Famili dari Zingiberaceae yang tumbuh di dunia diperkirakan terdapat 47 genera dan 1.400 spesies, baik yang tumbuh di daerah tropika maupun di daerah subtropika. Di Indonesia terdapat paling sedikit 8 jenis temu-temuan yang banyak digunakan sebagai bahan obat-obatan. Jenis tanaman temu-temuan antara lain: temu ireng (Curcuma aeruginosa), temulawak (C. xanthorrhiza), temu putih (C. zeodaria), lempu yang gajah (Zingiber zerumbert), bengle (Z. purpureum), temu kunci (Boesenbergia pandurata) dan kunyit (Curcuma domestica Va\) (Rukmana ,1994). Kunyit mempunyai nama yang beragam sesuai dengan daerah, misalnya kunir, koneng atau koneng temen (Sunda), kunyit (Aceh), kunir (Oayo), kuning, unik (Batak), kunyit (Melayu), cahang (Dayak), kunyit (Lampung), kunyit, janar (Banjar), kunir, kunir betis, temu kuning (Jawa), konye, temo koneng (Madura), kunyit (Sasak), huni (Bima), alawahu (Gorontalo), uni, kuni (Toraja), kunyi (Makasar), unyi (Bugis), kumino, unin, unine, uninum (Ambon), rame, kandeifu, nikwai, mingguai, jaw (Irian) (Sejati, 2000). Kunyit termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun terdiri atas akar, rimpang, batang semu, pelepah daun, daun, tangkai bunga dan kuntum bunga. Sistim perakaran tanaman 12 kunyit termasuk akar serabut berbentuk benang (fibrosus) yang menempel pada rimpang. Kedalaman rimpang di dalam tanah sekitar 16 cm, panjang akar lebih kurang 22,50 cm, tebal rimpang muda 1,61 cm dan rimpang tua 4 cm. Setiap rumpun tanaman kunyit dapat tumbuh rimpang antara 7-10 buah dan anakan antara 11-15 tanaman. Rimpang kunyit bercabang-cabang dan secara keseluruhan membentuk rumpun. Bentuk rimpang sangat bervariasi, umumnya bulat panjang dan kulit rimpang muda berwarna kuning muda serta berdaging kuning. Rimpang tua kulitnya berwarna jingga kecoklatan dan dagingnya jingga terang agak kuning. Rasa rimpang enak dan berbau khas aromatik sedikit agak pahit serta pedas. Tanaman kunyit ini dapat mencapai ketinggian hingga 1 meter, dapat merumpun selebar lebih kurang 24 cm (Rukmana, 1994). Kunyit termasuk tanaman yang mempunyai banyak manfaat terutama rimpangnya banyak dimanfaatkan untuk keperluan ramuan obat tradisional, bahan pewarna tekstil dan masakan serta kerajinan tangan, penyedap masakan, bumbu, rempah-rempah dan bahan kosmetik (Hanif et al., 1997). Kandungan zat kimia pada rimpang kunyit adalah minyak atsiri, pati, serat dan abu. Komponen utama yang terpenting dalam rimpang kunyit adalah kurkuminoid dan minyak atsiri, sedangkan kandungan kurkumin rimpang kunyit rata-rata 10,92% (Pepping, 2000). 13 Kandungan kimia dalam rimpang kunyit per 100 g secara lengkap terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan kimia dalam 100 g rimpang kunyit *) No. Nama komponen Komposisi 1. Air H,4g 2. Kalori 1480kal 3. Karbohidrat 64,9 g 4. Protein 7,8 g 5. Lemak 9,9 g 6. Serat 6,7 g 7. Abu 6,0 g 8. Kalsium 0,182 g 9. Fosfor 0,268 g 10. Besi 41 g 11. Vitamin A - 12. Vitamin B 5mg 13. Vitamin C 26 mg 14. Minyak atsiri 3% 15. Kurkumin 3% Sumber: *) Sejati (2002) Kandungan kurkuminoid terdiri atas senyawa kurkumin dan keturunannya, senyawa ini mempunyai aktivitas biologis berspektrum luas seperti antibakterial, antioksidan dan juga antihepatotoksik. Kandungan kurkumin pada rimpang kunyit sangat berkhasiat sebagai obatobatan seperti obat luka, antidiare, sakit limpa, usus, kudis sakit kuning penenang (sedativa), 14 memperbaiki pencernaan dan merangsang gerakan usus serat menghilangkan perut kembung (karminativa) (Hernani dan Rahardjo, 2005). Menurut Meiyanto (1999) komponen utama pada rimpang kunyit yang berkhasiat obat adalah minyak atsiri dan zat warna kuning (kurkuminoid). Kurkuminoid kunyit ini mengandung 3 komponen, yaitu kurkumin, desmetoksikurkumin, dan bisdesmetoksikurkumin, kadar minyak atsiri pada rimpang kunyit sekitar 3% dan kadar kurkuminoid dapat mencapai 10%. Selanjutnya Roughley dan Donald (1973) menyatakan bahwa kurkumin tergolong senyawa diarilheptanoid turunan metana tersubstitusi dua asam ferulat (diacu sebagai diferuloimetan) dengan rumus molekul C]2O6H2o dengan bobot molekul 368,126 (Gambar 1). Kurkumin bagian terbesar dari kurkuminoid yang merupakan konstituen aktif dari rimpang kunyit (Curcuma longa) yang berupa minyak volatil (Donatus, 1994). 0 Gambar 1. Bangun kimia kurkumin atau 1,7 bis (4-hidroksi-3-metoksifeni)-l,6-heptadiena-3,5dion) (Pepping, 2000). Menurut Herilani dan Rahardjo (2005) kandungan kimia dalam rimpang kunyit terdiri dari minyak atsiri, kurkuminoid, resin, oleoresin, damar, gom, lemak, protein, kalsium, fosfor dan besi. Kandungan minyak atsiri kunyit terdiri dari ar-tumeron, alfa-tumeron, beta-tumeron, tumerol, alfa-atlanton, beta-kariofilen, linalol dan 1,8-sineol. Selain itu zat warna kuning dapat dimanfaatkan sebagai zat warna dan untuk makanan ternak. 15 Di Cina dan India, rimpang kunyit banyak digunakan dalam pengobatan berbagai bentuk keradangan dan penyakit antara lain dalam pengobatan artritis dan gangguan otot, sebagai analgesik topikal, kembung, kolik, cacingan , nyeri dada dan juga hepatitis. Di Eropa, kurkumin banyak digunakan untuk mengatasi gangguan pencernaan seperti menurunnya nafsu makan, gangguan hati dan kandungan empedu. Secara internal kurkumin digunakan dalam pengobatan reumathoid arthritis dan chronic anterior uveitis (Sharma,1976). Pemanfaatan rimpang kunyit sebagai obat antidiare dikarenakan adanya kandungan zat antidiare pada rimpang kunyit seperti dihidroksidicinnamoil-metana dan parehidroksicinnamoilferuloil-metana. Namun demikian rimpang kunyit mengandung minyak atsiri yang didalamnya terdapat komponen alfaphellandren. Selain itu kunyit juga dapat mengobati penyakit yang disebabkan oleh bakteri kokus karena kandungan kurkumin pada rimpang kunyit bersifat antikuman terutama karena adanya komponen sejenis alkanon hidroksimetoksifenil-heptadienadion (Rao, 1997; Gururaj etal., 2002). Pepping (2000) melaporkan bahwa kurkumin diketahui mempunyai aktivitas antioksidan, antineoplastik, antiviral dan juga aktivitas immunosuppresive secara invitro pada hewan percobaan. Kurkumin mampu menghambat biosintesis leokokrin melalui jalur lipooksigenase dan mengurangi pembentukan prostaglandin. Dari hasil penelitian diketahui bahwa kinerja kurkumin juga dapat sebagai anti kanker, karena kurkumin dapat menghambat proses karsinogenesis pada tahap inisiasi, promosi dan memiliki efek antiangiogenesis serta memacu proses apoptosis (Peter et al .,1997; Kawamori et ai, 1999). Pada berbagai kultur sel kurkumin dapat juga menyebabkan apoptosis dan kemungkinan dapat menghambat angiogenesis. Proses apoptosis dapat dipicu karena adanya akumulasi asam arakidonat. Asam arakidonat akan mengaktifkan enzim sphingomielinase yang mengkatalisis pembentukan seramid dari sphingomielin sebagai pemicu positif dari proses apoptosis (Chen et al., 1998: Battum et al., 16 1998; Bhaumik et al, 1999). Selain itu kurkumin juga mempunyai aktivitas sebagai antiseptik, antiparasit dan juga dapat menghambat agregasi platelet atau trombosit yang diinduksi oleh platelet-activating factor dan asam arakidonat (Kunchandy dan Rao, 1989; Battum et al., 1998). Hipotesis Rimpang kunyit (Curcuma domestica) mengadung zat antibakteri yang dapat digunakan untuk pengendalian Aeromonas salmonicida pada ikan mas (Cyprinus carpio L). 17