3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Garut (Marantha arundinacea) Garut

advertisement
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Garut (Marantha arundinacea)
Garut merupakan tanaman umbi-umbian yang dapat menghasilkan
karbohidrat dengan jumlah yang cukup tinggi. Tanaman ini memiliki potensi
pasar internasional, karena dapat diusahakan secara komersial. Garut (M.
arundinacea) mudah beradaptasi pada banyak agroekologi, tetapi setiap daerah
menghasilkan garut dalam jumlah yang berbeda-beda tergantung pada kadar air
dalam tanah karena jumlah hujan yang sedikit mengakibatkan pasokan air dalam
tanah juga sedikit. Indonesia merupakan Negara yang memenuhi kebutuhan
Garut (M. arundinacea) sebanyak 95% (Hermansyah et al. 2009). Taksonomi
tanaman garut adalah sebagai berikut:
Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Monocotyledoneae
Bangsa
: Zingerbales
Suku
: Maranthaceae
Marga
: Marantha
Jenis
:M. Arundinacea Linn.
(Rukmana 2000)
Garut (M. arundinacea) tersebar di beberapa daerah di Indonesia, misalnya
daerah seperti Jawa, Sulawesi, dan Maluku. Sedangkan penyebaran di dunia
antara lain di daerah India, Indonesia, Sri Lanka, Hawai, Philipina, Australia dan
St. Vincent. Garut (M. arundinacea) memiliki beberapa nama di Indonesia,
antara lain sagu banban (Batak Karo), sagu rare (Minangkabau), sagu andrawa
(Nias), sagu (Palembang), larut/pata sagu (Sunda), arut/jelarut/irut/larut/garut
(Jawa
Timur),
labia
walanta
(Gorontalo)
dan
huda
sula
(Ternate)
(Djafaar et al. 2010).
Garut (M. arundinacea) merupakan tanaman monokotil yang berkembang
biak secara vegetatif
dan persilangan membentuk bunga yang akan
meningkatkan keragaman genetik. Daun Garut (M. arundinacea) memiliki
3
4
tulang daun menyirip, pelepah daun berwarna hijau, ujung daun meruncing dan
pangkal daun melengkung setengah lingkaran bulat telur. Garut (M.
arundinacea) memiliki batang utama berbentuk agak pipih dan berwarna hijau.
Bunga garut adalah bunga majemuk berbentuk tandan dengan kelopak bunga
berwarna hijau, sedang mahkotanya berwarna putih. Tanaman ini berbunga pada
umur 97 hari sejak awal tanam dan membentuk umbi yang berasal dari daerah
akar yang membesar dan menembus ke dalam tanah. Umbi Garut (M.
arundinacea) memiliki bentuk silinder, berwarna putih serta berbentuk panjang
dan lonjong (Suhartini dan Hadiatmi 2011).
B. Syarat Tumbuh dan Budidaya Garut (M. Arundinacea)
1. Syarat Tumbuh
Pada umumnya, garut banyak tumbuh liar dibawah naungan tanaman
jati, khususnya di Pulau Jawa. Tanaman garut juga dapat tumbuh dengan
subur di tegalan atau kebun di bawah tanaman tahunan. Tanaman ini dapat
tumbuh di berbagai tipe tanah. Tumbuh secara baik mulai dari 0 – 900 mdpl.
Garut sendiri tidak dapat tumbuh normal apabila ditanam di daerah terbuka
atau penyinaran penuh secara langsung, sehingga perlu diberikan naungan
untuk hasil optimal (Suswandi 2004).
Garut (M. arundinacea) mampu berdaptasi pada daerah dibawah
lingkungan atau pada lahan marginal, sehingga cocok dikembangkan pada
daerah hutan. Tanaman ini umumnya ditanam pada lahan kering dengan
curah hujan 1500-2000 mm/tahun. Garut cocok ditanam pada tanah remah,
dengan pH 5-8. Tanah tergenang juga tidak cocok sebagai media tanam garut
(M. arundinacea) karena jumlah oksigen akan menurun dan akan terjadi
keracunan metana sehingga tanaman akan layu dan mati (Djafaar et al. 2010).
Garut (M. arundinacea) merupakan tanaman yang dapat tumbuh pada
daerah teduh misalnya di bawah naungan pohon yang kadar cahaya
mataharinya rendah. Tanaman ini potensial dikembangkan pada daerah
hutan, pekarangan maupun daerah-daerah reboisasi. Tanaman ini dapat
tumbuh pada tanah yang miskin hara, tetapi untuk dapat memperoleh hasil
maksimal diperlukan pemupukan secara intensif. Tanaman ini tidak
5
membutuhkan perawatan yang khusus serta hama dan penyakitnya relatif
sedikit (BBPP Lembang 2011).
2. Budidaya
Pengembangan Garut masih menemui banyak masalah. Salah satu
masalah dalam pengembangan Garut adalah belum tersedia kultivar unggul
yang siap dibudidayakan secara komersial. Namun dengan pemuliaan mutasi
diharapkan dapat menghasilkan keragaman yang sangat berguna untuk
seleksi tanaman. Dengan demikian upaya melakukan seleksi dari tanaman
yang sudah ditingkatkan keragamannya diharapkan dapat menghasilkan klon
Garut yang memiliki produktivitas tinggi (Nurmayulis et al. 2010).
Tanaman garut dapat dikemabangbiakan tanpa menggunakan biji dan
reproduksinya secara vefetatif, sehingga keragaman genetic tanaman ini
sangat sempit. Tanaman garut baik di tanam dibawah naungan dengan
intensitas cahaya matahari sebesar 40 – 60%. Apabila tanaman ini ditanam
dengan perawatan yang baik, akan menghasilkan produksi yang cukup tinggi,
sekitar 20 – 40 ton/ha (Masitoh 2014).
Garut dapat ditanam pada tanah yang sudah diolah maupun tanah yang
belum diolah. Tanaman ini ditanam dengan jarak tanam 40 cm x 40 cm
dibawah naungan. Jarak naungan 3 cm x 3 cm, sehingga tanaman masih
mampu menyerap cahaya matahari sebesar 40-50%. Bibit yang digunakan
adalah bibit yang siap cabut, yang memiliki 3-5 helai daun. Pupuk
diaplikasikan setelah
tanaman sudah berumur 2 sampai 3 bulan
(BBPP Lembang 2011).
C. Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Pertumbuhan Tanaman
Kekeringan akan menyebabkan banyak kerugian pada tanaman dan
lingkungan disekitarnya. Kekeringan dapat menyebabkan ketidakseimbangan
proses metabolisme, misalnya terhambatnya pembelahan dan pembesaran sel,
penurunan aktivitas enzim dan terhambatnya proses fotosisntesis karena stomata
yang tertutup sehingga akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan
perkembangan tanaman (Asmara 2011 cit Supriyanto 2013). Menurut
Trisilawati dan Pitono (2012), cekaman kekeringan selain menghambat
6
pertumbuhan tanaman juga dapat mempengaruhi kandungan bahan aktif seperti
steroid, saponin dan bergapten yang terdapat di dalam tubuh tanaman tersebut.
Cekaman kekeringan dapat menurunkan tingkat produktivitas (biomassa)
tanaman, karena menurunnya metabolisme primer, penyusutan luas daun dan
aktivitas fotosintesis. Penurunan akumulasi biomassa akibat cekaman air untuk
setiap jenis tanaman besarnya tidak sama (Solikhatun et al. 2005). Cekaman
kekeringan juga dapat menghambat pertumbuhan kalus karena terjadi penurunan
pada metabolisme nitrogen dalam tubuh tumbuhan (Zulhilmi et al. 2012).
Pertumbuhan tanaman yang terhambat karena cekaman kekeringan juga akan
berdampak
pada
turunnya
berat
segar
dan
berat
kering
tanaman
(Bahreininejad et al. 2013).
Efendi dan Azrai (2010) menyatakan bahwa cekaman kekeringan
menyebabkan penundaan pembentukan bunga betina dan bunga jantan, serta
terjadinya pembentukan bunga betina yang lebih lama dibandingkan dengan
bunga jantan. Cekaman kekeringan merangsang tertutupnya stomata dan
selanjutnya akan menyebabkan menurunnya laju pertukaran gas dalam tanaman
(Jaleel et al. 2009). Pada kondisi kekurangan air, absorsi CO2 menurun dan
merangsang penurunan aktivitas metabolik sehingga mengakibatkan menurunnya
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Laju transpirasi menurun seiring
dengan menurunnya konduktansi stomata (Setiawan et al. 2012). Konduktansi
stomata tersebut menurut Budisantoso dan Proklamaningsih (2003), secara
fisiologis akan menyebabkan penurunan aktivitas fotosintesis, sedangkan
pengaruh cekaman kekeringan apabila dilihat dari aspek biokimiawi dapat
menghambat kerja anzim di dalam tubuh tumbuhan.
D. Respon Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan
Menurut Lestari (2005), tanaman memiliki beberapa strategi untuk bertahan
dalam kondisi cekaman kekeringan. Strategi tersebut berhubungan dengan
aktivitas fisiologi, yaitu escape, avoidan dan toleran. Strategi tersebut yaitu (i)
kemampuan tanaman tetap tumbuh pada kondisi kekurangan air yaitu dengan
menurunkan luas daun dan memperpendek siklus tumbuh, (ii) kemampuan akar
untuk menyerap air di lapisan tanah paling dalam, (iii) kemampuan untuk
7
melindungi meristem akar dari kekeringan dengan meningkatkan akumulasi
senyawa tertentu seperti glisin, betain, gula alkohol atau prolin untuk osmotic
adjustment dan (iv) mengoptimalkan peranan stomata untuk mencegah hilangnya
air melalui daun.
Tanaman yang berada pada lingkungan yang kekurangan air dalam jumlah
yang besar, diferensiasi organ baru dan perluasan maupun pembesaran organorgan yang sebelumnya sudah ada, merupakan hal yang pertama kali
menunjukkan perubahan (Khaerena 2010). Tanaman dalam menghadapi kondisi
cekaman kekeringan akan tetap mempertahankan tekanan turgor pada daun
meskipun kandungan lengas tanah dan air jaringan menurun. Hal tersebut
dilakukan dengan penyesuaian osmotik daun dengan cara menurunkan potensial
osmotic pada daerah daun. Zat yang sering dihasilkan tanaman untuk
penyesuaian osmotik pada tanaman yang tahan cekaman kekeringan adalah
senyawa prolin yang terakumulasi di jaringan daun. Adaptasi pada tanaman
tercekam air lainnya adalah penimbunan bahan organik tertentu, misalnya
sukrosa, asam amino (khususnya prolin) dan beberapa zat lainnya yang
menurunkan potensial osmotik sehingga menurunkan potensial air dalam sel
tanpa membatasi fungsi enzim (Santoso 2008).
Mekanisme morfo-fisiologis tanaman untuk menghindar dari cekaman
kekeringan adalah adanya kemampuan tanaman memanjangkan akarnya untuk
mencari sumber air jauh dari permukaan tanah pada saat terjadi cekaman
kekeringan di areal dekat permukaan tanah. prolin dan asam-asam organik yang
berfungsi dalam proses penyesuaian osmotik (Djazuli 2010). Toleransi tanaman
terhadap kekeringan dengan sifat agronomis dan fisiologis memiliki korelasi
yang positif.
Pada kondisi cekaman kekeringan, tanaman mengimbangi laju transpirasi
dengan meningkatkan laju pertumbuhan akar sehingga dapat menyerap air
dengan cukup untuk mempertahankan pertumbuhannya (Taufiq dan Adie 2013).
Menurut Ai dan Toray (2013), pada saat kekurangan air tumbuhan mengalami
peningkatan pertumbuhan system perakaran, sedangkan pertumbuhan tajuk
mengalami penurunan. Tanaman yang pertumbuhan akarnya lebih tinggi
8
dibandingkan pertumbuhan tajuk, pada saat terjadi cekaman kekeringan akan
memiliki kemampuan bertahan yang lebih baik.
E. Analisis Pertumbuhan
Laju pertumbuhan tanaman dapat diukur dengan dua cara yaitu mengukur
berat kering tanaman dari waktu ke waktu dengan analisis pertumbuhan dan
mengamati penampilan agromnomik tanaman seperti mengukur tinggi tanaman,
jumlah daun, diameter batang dan lain-lain dari waktu ke waktu. Cara terbaik
untuk mengamati pertumbuhan tanaman adalah dengan cara pertama yaitu
dengan mengamati berat kering dari waktu ke waktu. Cara ini memiliki
kelemahan yaitu sampel tanaman yang diamati tidak sama karena perlu
dilakukan destruktif pada setiap pengamatan. Pada cara kedua tidak sebaik cara
pertama karena sampel yang diamati tetap sama, tetapi tidak dapat mengamati
pertambahan berat kering tanaman (Syah et al. 2013).
Menurut Guritno dan Sitompul (1995), indeks luas daun adalah
perbandingan antara luas daun total dengan luas tanah yang ditutupi. Indeks luas
daun sangat peka terhadap cekaman air, yang mengakibatkan penurunan dalam
pembentukan dan perluasan daun, peningkatan penuaan dan perontokan daun,
atau keduanya. Peningkatan penuaan daun akibat cekaman air cenderung terjadi
pada daun-daun yang lebih bawah (Goldsworthy dan Fisher 1992).
Goldswothy dan Fisher (1984) bependapat bahwa LPR menunjukkan laju
penambahan bobot kering tanaman dalam periode waktu antara dua saat
pengambilan contoh yang berurutan. Nilai LPR dipengaruhi oleh luas daun dan
LAB. Gardner et al. (1991), menyatakan bahwa LPR tidak menunjukkan adanya
laju pertumbuhan yang konstan selama jangka waktu tertentu, karena hal itu
dapat bervariasi dari nilai LPR seketika.
LPR menunjukkan peningkatan
biomasa tanaman dalam suatu interval waktu dibandingkan dengan berat
tanaman awal (Gardnet et al. 1991).
Laju Asimilasi Bersih (LAB) merupakan tingkat asimilasi CO 2 bersih,
yaitu jumlah total CO2 yang diambil dikurangi jumlah yang hilang melalui
respirasi (Sitompul dan Guritno 1995). LAB paling tinggi nilainya pada saat
tanaman masih kecil, yaitu saat sebagian besar daun tanaman terkena sinar
9
matahari secara langsung. Meningkatnya pertumbuhan tanaman dan indeks luas
daun akan menyebabkan penurunan LAB. Laju assimilasi bersih merupakan
efisiensi fotosintesis daun dalam suatu komunitas tanaman budidaya
(Gardner et al.1991).
Hipotesis Penelitian
Diduga simulasi cekaman air pada taraf 75% kapasitas lapangan dapat
ditoleransi tanaman garut untuk mempertahankan pertumbuhannya.
Download