BAB II PENGATURAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA A. Sejarah Persaingan Usaha di Indonesia Sebelum Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam alinea IV pembukaan UUD 1945 jelas termaktub bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. A. Effendy Choirie menyatakan bahwa dalam bidang perekonomian, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 yang menghendaki kemakmuran masyarakat secara merata, bukan kemakmuran secara individu. Secara yuridis melalui norma hukum dasar (state gerund gezet), sistem perekonomian yang diinginkan adalah sistem yang menggunakan prinsip keseimbangan, keselarasan, serta memberi kesempatan usaha bersama bagi setiap warga negara. Secara tegas, pasal 33 UUD 1945 merupakan konsep dasar dari perekonomian nasional yang menurut Mohammad Hatta berdasarkan sosialis kooperatif.1 1 A. Effendi Choirie, 2003, Privatisasi Versus Neo Sosialisme Indonesia, (Pustaka LP3ES, Jakarta, hal. 100), dalam Mustafa Kamal Rokan, Op-Cit, hal. 12. 90 Sehubungan dengan ketentuan Pasal 33 di atas, Mohammad Hatta berpendapat bahwa demokrasi ekonomi bertujuan untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran individu yang dibolehkan dalam sistem kapitalis. Dengan demikian, Hatta mengidentikkan demokrasi ekonomi dengan kemakmuran masyarakat dan bukan kemakmuran individu. Dengan kata lain, demokrasi ekonomi sama dengan tidak adanya kesenjangan ekonomi atas terwujudnya keadilan ekonomi dalam masyarakat. 2 Pembangunan ekonomi Indonesia haruslah bertitik tolak dan berorientasi pada pencapaian tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.yang diwujudkan melalui demokrasi ekonomi sebagaimana dikehendaki berjalan seiring dengan kehendak untuk menciptakan demokrasi plitik, dimana rakyat Indonesia berdaulat di tanah dan negerinya sendiri, yakni Indonesia.3 Berkaitan dengan peranan negara dalam kehidupan ekonomi, maka Didik J. Rachbini menyatakan bahwa hal tersbut sebagai sesuatu yang tidak bisa dielakkan, hal ini dikarenakan semakin tingginya keterkaitan sektor ekonomi dengan sektor-sektor kehidupan yang lain, sehingga tidak satu pun sistem ideologi yang ada yang mampu menjelaskannya, bahkan sistem yang paling liberal sekali pun. Di samping itu, peranan pemerintah dalam kehidupan ekonomi untuk mengurangi pengaruh negatif dari 2 Hatta dalam Zulfikri Suleman, 2010, Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal. 216. 3 Mustafa Kamal Rokan, Op-Cit, hal. 13. 91 kegagalan pasar (market failure) dan kekakuan harga serta untuk mengatasi kerusakan lingkungan alam dan sosial, sehingga campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi khususnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak, merupakan suatu hal yang sangat diperlukan.4 Secara sosio ekonomi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah dalam rangka untuk menciptakan landasan ekonomi yang kuat untuk menciptakan perekonomian yang efisien dan bebas dari pasar. Dalam kajian ekonomi dipahami bahwa strategi ekonomi pembangunan pada saat tersebut lebih berorientasi pada pertumbuhan yang antara lain menggunakan strategi substitusi impor. Dalam hal pendistribusian barang, hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu. 5 Didik J. Rahbini menyatakan bahwa pada masa orde baru, sistem ekonomi dilindungi dengan sentralisasi yang kuat, kebijakan bersifat monopoli, perburuan rente ekonomi pemberian lisensi khusus untuk golongan tertentu saja. Politik dan kebijakan ekonomi seperti itu menghasilkan kesenjangan antar golongan kecil yang mendapat kesempatan khusus dari kekuasaan dengan masyarakat luas yang kehilangan akses terhadap sumber-sumber ekonomi.6 Pada masa itu, berbagai kasus monpoli terjadi, misalnya kasus monopoli perdagangan 4 Didik j. Rachbini, 1992, Peranan Ekonomi Negara: Tinjauan Teoritis dan Praktis, Prisma Nomor 2, Tahun XXI, hal. 4-5, dalam Zulfikri Suleman, Ibid., hal. 217-218. 5 Mustafa Kamal Rokan, Op-Cit, hal. 15. 6 Didik J. Rahbini, Ekonomi Informal di Tengah Kegagalan Negara, (Kompas, 15 April 2006), dalam Mustafa Kamal Rokan, Loc-Cit. 92 tepung terigu,7 maupun kasus monopoli pemasaran baja,8 yang puncaknya terjadi krisis ekonomi di tahun 1998. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengenai Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan salah satu produk undang-undang yang dilahirkan atas desakan dari International Monetary Fund (IMF) sebagai salah satu syarat agar pemerintah Indonesia dapat memperoleh bantuan dari IMF guna mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia.9 A.1. Tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam penjelasan Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 diuraikan bahwa peluang-peluang usaha yang tercipta selama tiga dasawarsa yang lalu yang dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sekot ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode tersebut, di satu sisi diwarnai 7 Kasus monopoli perdagangan terigu dalam hal ini dimulai dari penunjukan Badan Urusan Logistik (BULOG) kepada PT. Bogasari Flour Mills untuk mengolah biji gandum. Kebijakan ini bertujuan untuk mecegah Bogasari menyalahgunakan kekuatan monopolinya untuk menentukan harga yang tinggi. Nsmun, Bulog sendiri menetapkan harga gandum yang tergantung dar Bogasari. Bogasari informasi. Bogasari dalam hal ini cenderung membuat harga tinggi. Dikarenakan tidak mendapatkan keuntungan yang maksimal, maka PT. Bogasari Flour Mills melakukan diversifikasi usaha ke hilir, sehingga akhirnya memonopoli industri tepung terigu dari hulu ke hilir, dimana akhirnya pasar tepung terigu tertutup bagi pelaku usaha lain. 8 Kasus monopoli perdagangan baja dalam hal ini dilakukan oleh PT. Krakatau Steel Cilegon. Perusahaan dalam hal ini mendirikan PT. CRMI (Cold Rolling Mill Indonesia) yang menguasai pengadaan baja lembaran Canai. Monopoli ini membuat pengusaha otomotif menjerit, hal ini disebabkan harga yang sangat mahal dan tidak mempunyai alternatif biaya murah, termasuk jika harus impor ke luar negeri, hal ini disebabkan izin impor juga tidak diberikan. 9 Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga, 2005, Hukum Acara Persaingan Usaha, PT. RadjaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1. 93 oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang kurang tepat, sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat. Fenomena tersebut telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan yang terkait antar pengambil keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga telah memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu pada amanat ketentuan Pasal 33 UUD 1945, serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Tujuan adanya undang-undang nomor 5 Tahun 1999 ini adalah untuk memangkas praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat yang terjadi di Indonesia pada zaman pemerintahan orde baru, dimana praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat tersebut banyak terjadi akibat kebijakan pemerintah yang kerap kali menguntungkan pelaku usaha tertentu saja. Sebenarnya Indonesia telah memiliki rancangan undang-undang anti monopoli yang disusun oleh pelaku usaha dengan para ekonom Indonesia pada akhir tahun 80-an, yang apabila disahkan, dapat digunakan sebagai landasan hukum penghapusan praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat waktu itu. Namun, karena adanya tekanan dari penguasa, maka rancangan undang- 94 undang anti monopoli tersebut tidak pernah dibahas oleh pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menjadi undang-undang.10 A.2. Pengaturan Persaingan Usaha Sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Masalah larangan anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, selama ini (sebelum diaturnya dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999), secara eksplisit maupun implisit terdapat dalam berbagai peraturan yang ada di Indonesia, yaitu: a. Pasal 382 bis WVS. (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yang berbunyi: “Barang siapa mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu, diancam karena persaingan curang dengan pidana paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak Rp. 13.500,00 jika hal tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi saingannya sendiri atau saingan ornag lain:”. Dari ketentuan di atas, untuk dapat dikatagorikan persaingan tidak sehat (yang dalam hal ini disebut sebagai persaingan curang), jika: 1) Terjadinya suatu tindakan tertentu yang dapat dikatagorikan sebagai persaingan curang. 2) Perbuatan persaingan curang dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan hasil perdagangan atau perusahaan, melangsungkan 10 Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga, Ibid. 95 hasil perdagangan atau perusahaan, maupun memperluas hasil perdagangan atau perusahaan. b. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. “Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membuat kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan suatu kerugian tersebut karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”. c. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Ketetapan MPR RI) 1) Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN mengenai pembangunan ekonomi. 2) Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1978 tentang GBHN pada bidang pembangunan ekonomi pada sub bidang Usaha Swasta dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah. 3) Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN pada Bidang Pembanguan Ekonomi Sub Bidang Dunia Usaha Swasta Nasional dan Usaha Golongan Ekonomi Lemah. 4) Ketetapan MPR RI nomor II/MPR/1988 tentang GBHN pada Bidang Pembangunan Ekonomi Sub Bidang Dunia Usaha Nasional. 96 5) Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN pada Bidang Pembangunan Ekonomi Sub Bidang Usaha Nasional. 6) Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN pada Kondisi Umum. d. Pasal 13 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. “Pemerintah harus mencegah usaha-usaha organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta”. Dalam Pasal 13 Ayat (3) juga disebutkan bahwa ”monopoli pemerintah dalam lapangan agraria dapat diselenggarakan, asal dilakukan berdasarkan undangundang”. e. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. “Kewenangan pemerintah untuk melakukan pengaturan, pembinaan dan pengembangan terhadap industri untuk mewujudkan pengembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna, mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan tidak jujur, mencegah pemutusan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat”. f. Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997. 97 Pasal ini pada intinya melarang setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar milik orang lain atau milik badan hukum untuk barang dan jasa yang sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan. g. Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum. Pasal ini menyebutkan bahwa merger dan konsolidasi hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari menteri keuangan. h. Pasal 104 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. “Bahwa penggabungan, peleburan dan pengambilalihan perseroan harus memperhatikan: (a) kepentingan perseroan, pemegang saham monoritas dan karyawan perusahaan, (b) kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha. Ketentuan ini mengaskan bahwa penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) dan pengambilalihan (akuisisi) tidak dapat dilakukan jika merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu dan harus dicegah agar tidak terjadi berbagai bentuk monopoli dan monopsomi.” i. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Undang-undang ini menyatakan bahwa pemerintah harus menjaga iklim usaha dalam kaitannya dengan persaingan dengan membuat 98 peraturan-peraturan yang diperlukan. Untuk melindungi usaha kecil, pemerintah juga harus mencegah pembentukan struktur pasar yang mengarah pada pembentukan monopoli, oligopoli dan monopsoni. j. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Pasal ini melarang adanya ketentuan yang menghambat adanya persaingan sehat dalam pasar modal. k. Pasal 4 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas. Dalam pasal 4 huruf (b) Peraturan Pemerintah ini disebutkan bahwa penggabungan, peleburan dan pengambilalihan perusahaan, hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha. . B. Pengaturan Hukum Persaingan Usaha dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 B.1. Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. B .1.1. Larangan Praktek Monopoli. Persaingan dalam pasar dan mekanisme pasar dapat membentuk beberapa jenis pasar. Ada yang disebut dengan pasar 99 persaingan sempurna (perfect competition market), pasar monopoli maupun pasar oligopoli. Persaingan sempurna adalah struktur pasar yang paling ideal karena sistem pasar ini adalah struktur pasar yang akan menjamin terwujudnya kegiatan memproduksi barang dan jasa yang sangat tinggi efisiensinya. Empat asumsi yang melandasi agar terjadinya persaingan sempurna pada suatu pasar tertentu, yaitu: a. Pelaku usaha tidak dapat menentukan secara sepihak harga atas produk atau jasa. Adapun yang menentukan harga adalah pasar berdasarkan ekuilibrium permintaan dan penawaran (supply and demand). Dengan demikian, pelaku pasar dalam pasar persaingan sempurna tidak bertindak sebagai price maker melainkan hanya bertindak sebagai price taker. b. Barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha adalah betul-betul sama (product homogeneity). c. Pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk masuk atau keluar pasar (perfect mobility of resources). d. Konsumen dan pelaku usaha memiliki informasi yang sempurna (perfect information) tentang berbagai hal, diantaranya kesukaan, tingkat pendapatan, biaya dan teknologi yang digunakan untuk 100 menghasilkan barang dan jasa.11 Selain empat asumsi di atas, Soeharno menambahkan bahwa ciri pasar persaingan sempurna adalah penjual dan pembeli secara individu tidak dapat mempengaruhi harga (price taker).12 Tati Suhartati Joesron dan M. Fathorrazi berpendapat bahwa suatu pasar dapat dikatakan sebagai pasar persaingan sempurna atau perfect competition jika memenuhi syarat sebagai berikut: a. Terdiri dari banyak penjual dan banyak pembeli. Hal ini menyebabkan perilaku penjual atau pembeli tidak dapat mempengaruhi keadaan pasar, karena ia merupakan bagian kecil dari keseluruhan yang ada di pasar. Seorang penjual atau pembeli dikatakan sebagai pengikut harga (price taker) sehingga harga di pasar bersifat datum, artinya berapapun jumlah barang yang dijual di pasar, harganya akan tetap. Harga pasar ditentukan oleh bekerjanya mekanisme pasar yaitu oleh interaksi antara seluruh penjual dan pembeli yang ada di pasar. b. Adanya kebebasan untuk membuka dan menutup perusahaan (free entry and free exit). 11 Robert S. Pindyck and Daniel L. Rubinfel, Microeconomics, 4 ed, (USA:Prentice Hall International Inc 1998), hlm. 283-284, dalam Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 51, dalam Mustafa Kamal Rokan, Op-Cit, hlm. 3-4. 12 Soeharno, 2007, Ekonomi Manajerial, CV. Andi Offset, Jakarta, hal. 172. 101 Dalam hal ini tidak ada hambatan yang menghalangi suatu perusahaan untuk memulai usaha baru jika dianggap menguntungkan dan menutup usahanya jika dianggap merugikan, baik secara legal maupun bentuk hambatan lainnya. c. Barang yang diperjual belikan bersifat homogen. Dalam hal ini barang yang dihasilkan merupakan pengganti yang sempurna terhadap barang yang dihasilkan oleh produsen lain dalam semua segi. Homogenitas barang yang dihasilkan ini ditentukan oleh konsumen dan bukan dilihat dari spesifikasi tekhnis saja. d. Penjual dan pembeli mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang keadaan pasar. Dalam hal ini penjual dan pembeli mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang keadaan pasar, yaitu mengetahui tingkat harga yang berlaku di pasar dan perubahanperubahannya. Adanya inforrmasi yang lengkap tentang pasar (perfect knowledge) ini mengakibatkan: 1) Tidak ada penjual yang menjual dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar. 102 2) Tidak ada pembeli yang membeli dengan harga yang lebih dari harga pasar. 3) Tidak ada sumber daya yang digunakan untuk berproduksi yang kurang menguntungkan daripada yang lain. e. Mobilitas sumber ekonomi yang cukup sempurna. Dalam hal ini faktor produksi dapat dipindahkan dari satu ke lain tempat tanpa adanya hambatan apapun13. Monopoli14 tidak hanya diartikan mencakup struktur pasar dengan hanya ada satu pemasok atau pembeli di pasar bersangkutan, hal mana dikarenakan struktur pasar (yang hanya satu pemasok) jarang sekali terjadi. Menurut Pasal 17 ayat 2 Undang-undang nomor 5 Tahun 1999, bahwa pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, jika barang dan atau jasa yang dimaksud belum ada substitusinya, mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama, atau saru pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai pangsa pasar lebih dari 50 persen terhadap satu jenis barang atau jasa tertentu. 13 Tati Suhartati Joesron dan M.Fathorrazi, 2012, Teori Ekonomi Mikro: Dilengkapi Beberapa Bentuk Fungsi Produksi, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 153-154. 14 Black Law Dictionary mengartikan : “monopoly is a privilege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular business on trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity. A form of market structure in which one or only a few dominate the total sales of product or service”. Pasal 1 angka (1) Undang-undang nomor 5 Tahun 1999, mengartikan bahwa monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Sedangkan pengertian praktik monopoli yang terdapat dalam Pasal 1 angka (2) adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. 103 Monopoli dapat terjadi dengan dua cara, yaitu: a. Monopoli alamiah (natural monopoly) Monopoli alamiah terjadi akibat kemampuan seseorang atau sekelompok pelaku usaha yang mempunyai satu kelebihan tertentu, sehingga membuat pelaku usaha lain kalah bersaing. b. Monopoli berdasarkan hukum (monopoly by law) Monopoly by law, yakni monopoli yang berasal dari pemberian negara seperti yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945, yang selanjuutnya dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, misalnya pada Perusahaan Listrik Negara, Pertamina, dan lain sebagainya.15 Pasar monopoli adalah suatu bentuk pasar dimana hanya terdapat satu perusahaan saja yang menghasilkan barang yang tidak dipunyai barang pengganti perusahaan, tidak mempunyai barang pengganti yang mirip, tidak terdapat kemungkinan untuk masuk ke dalam industri, dapat menguasai penentuan harga serta promosi iklan kurang diperlukan. Pasar monopli dapar diartikan sebagai suatu model pasar yang mempunyai ciri hanya terdapat satu penjual di pasar, output yang dihasilkan oleh produsen bersifat lain, tidak mempunyai barang pengganti 15 yang sangat dekat, di pasar ada Mustafa Kamal Rokan, Ibid., hal. 9-10. 104 rintangan bagi produsen lain untuk memasukinya (barries to entry).16 Pasar monopoli merupakan kebalikan dari pasar persaingan sempurna, sedangkan pasar-pasar lainnya berada di antaranya, seperti tergambar berikut: PASAR PERSAINGAN SEMPURNA PASAR MONOPOLI PASAR LAINNYA Faktor-faktor yang memungkinkan untuk dapat terjadi monopoli, adalah: a. Produsen mempunyai hak paten untuk output yang dihasilkan, seperti hak pengarang, merek dagang, nama dagang. b. Produsen memiliki salah satu sumber daya yang penting dan merahasiakannya atau produsen memiliki pengetahuan yang lain daripada yang lain tentang teknis produksi. c. Pemberian izin khusus oleh pemerintah pada produsen tententu untuk mengelola suatu usaha tertentu. Contoh konkrit adalah hak pengusahaan hutan, perusahaan kereta api, bis, listrik dan PLN. 16 Tati Suhartati Joesron dan M. Fathorrazi, Op.Cit., hal. 173. 105 d. Ukuran pasar begiitu kecil untuk dilayani lebih dari satu perusahaan yang mengoperasikan skala perusahaan optimum. Dalam kenyataannya seringkali didapatkan pasar yang hanya mungkin untuk dilayani oleh suatu perusahaan saja yang mengoperasikan skala produksi optimum, contohnya dalam bidang transportasi, listrik dan komunikasi. Pasar monopoli yang muncul sering disebut dengan monopoli alami. e. Produsen menerapkan kebijaksanaan pembatasan harga (limit pricing policy). Kebijaksanaan pembatasan harga (penetapan harga sampai pada satu tingkat yang serendah mungkin) dimaksudkan agar suapaya perusahaan baru tidak ikut memasuki pasar. Kebijaksanaan harga biasanya bersamaan dengan kebijaksanaan promosi penjualan secara besar-besaran dan juga kebijaksanaan diferensisasi output.17 Sedangkan monopoli , akan berakibat antara lain: a. Menjadikan harga jual lebih tinggi, sedangkan barang yang dijual lebih sedikit, sehingga konsumen dalam hal ini akan dirugikan. b. Menjadikan produksi tidak efisien. c. Kapasitas produksi dan sumber daya tidak digunakan secara penuh dan ekonomis. 17 Ibid., hal. 174. 106 d. Biasanya akan berakibat terjadinya pasar “baru” seperti pasar yang bersifat kolusif, boikot, refuse pesaing dan konsumen dalam rangka mempertahankan kekuatan ekonomi.18 Adanya monopoli dpat merusak sifat-sifat efisiensi dari sistem harga persaingan. Hal ini dikarenakan monopoli dapat mempengaruhi harga pasar, perusahaan tersebut mungkin berkepentingan untuk membatasi keluaran dengan tujuan untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi daripada yang tersedia dalam harga persaingan.19 Efisiensi dalam hal ini dapat dibagi dalam dua macam, yakni productive efficiency dan allocative efficiency. Productive efficiency adalah efisiensi bagi pelaku usaha dalam memproduksi barang dan jasa. Sedangkan allocative efficiency berarti efisiensi bagi konsumen dalam membeli barang dan jasa pelaku usaha.20 Monopoli memiliki pengaruh yang tidak diinginkan terhadap distribusi,. Monopolisasi sebuah pasar menciptakan kemungkinan untuk pengalihan yang berarti surplus konsumen ke dalam laba monopoli, Namun, ada sisi positifnya terhadap monopoli, yaitu: 18 Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hal. 4-5. Walter Nicholson, 1999, Teori Mikro Ekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan, edisi kelima, Binarupa Aksara, Jakarta, hal. 204-205. 20 Robert Cooter dan Thomas Ullen, Law and Economic, Massachussett:Addison Wesley Educational Inc., 1977, hal. 17-18, dalam buku Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit, hal. 6. 19 107 a. Tingkat masukan yang paling menguntungkan bagi sebuah perusahaan monopoli adalah tingkat dimana pendapatan marginal sama dengan biaya marginl. Di tingkat keluaran ini, harga akan lebih tinggi dari biaya marginal. Profitabilitas dari perusahaan monopoli tersebut akan bergantung pada hubungan antara harga dan biaya rata-rata. b. Sebuah monopoli dapat menaikkan labanya lebih lanjut melalui diskriminasi harga, yaitu menetapkan harga yang berbeda di pasar yang berbeda, dan perbedaan harga tersebut tidak berkaitan dengan perbedaan biaya. Perusahaan monopoli yang melakukan diskriminasi harga akan menetapkan harga yang lebih tinggi di pasar dimana permintaannya relatif kurang elastik. Kemampuan perusahaan dalam hal monopoli ini adalah untuk melakukan diskriminasi harga yang bergantung pada kemampuan untuk menjaga agar pasar-pasar yang dimaksud agar tidak terpisah. c. Dalam kasus tertentu, sebuah monopoli dapat mempraktekkan diskriminasi harga sempurna dengan menetapkan harga yang berbeda kepada setiap pembeli. Dengan diskriminasi harga yang sempurna, maka monopoli yang dimaksud dapat melayani setiap pembeli yang bersedia membayar setidaknya biaya marginal dri memproduksi sebuah barang. 108 d. Secara relatif terhadap persaingan sempurna, monopoli melibatkan kehilangan surplus konsumen bagi mereka yang mengajukan permintaan. Beberapa surplus konsumen ini dialihkan ke dalam laba monopoli, sementara beberapa kehilangan dalam penawaran konsumen mewakili kehilangan tetap dari kesejahteraan ekonomi secara keseluruhan. e. Perusahaan monopoli cenderung lebih menyukai berbagai tingkat mutu daripada perusahaan yang bersaing sempurna. Perusahaan monopoli untuk barang-barang yang tahan lama dapat dibatasi oleh pasar untuk barang bekas. 21 Pasar oligopoli adalah pasar yang terdiri dari hanya beberapa produsen saja. Adakalanya pasar oligopoli terdiri dari dua perusahaan saja. Pasar seperti ini dinamakan dupoli. Untuk mengetahui pasar oligopoli dapat dilihat dari beberapa indikasi, yakni menghasilkan barang dengan standar atau barang berbeda corak. Kekuasaan menentukan harga adakalanya lemah dan adakalanya sangat tangguh. Perusahaan oligopoli umumnya perlu melakukan promosi berupa iklan.22 Pada pasar oligopoli hanya ada beberapa perusahaan yang menguasai pasar baik secara diam-diam maupun bersama-sama. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya oligopoli ini adalah 21 22 Walter Nicholson, Op.Cit., hal. 218-219. Mustafa Kamal rokan, Op.cit., hal. 5. 109 keberhasilan mengelola perusahaan sedemikian rupa sehingga mempunyai skala ekonomi yang menyebabkan efisiensi dan keberhasilan dalam promosi penjualan. Oleh karena itu, biaya produksi yang rendah dan promosi penjualan yang tepat akan menyebabkan pangsa pasar perusahaan tersebut bertambah dalam jangka panjang. Ciri-ciri dari pasar oligopoli, yaitu: a. Menghasilkan barang standar atau barang berbeda corak. Barang yang standard biasanya dihasilkan oleh perusahaan yang menghasilkan bahan mentah, sedangkan barang-barang berbeda corak pada umumnya merupakan barang jadi. b. Kekuasaan menentukan harga bisa kuat dan juga bisa lemah. Kesepakatan menentukan harga sangat penting bagi oligopoli. Apabila mereka tidak melakukan kesepakatan harga, maka kekuasaan menentukan harga bagi perusahaan yang ada dalam industri menjadi sangat lemah karena aksi suatu perusahaan akan menimbulkan reaksi bagi perusahaan lainnya. Berbeda apabila mereka telah sepakat tentang harga yang harus ditetapkan, maka kekuatannya menjadi lebih kuat. 110 c. Perusahaan oligopoli perlu melakukan promosi berupa iklan. Iklan terutama sangat dibutuhkan untuk oligopoli yang menghasilkan barang yang berbeda corak, dalam rangka untuk mempertahankan pangsa pasar yang telah dikuasainya dan merebut pasar baru.23 B.1. 2. Larangan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (6) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, dinyatakan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah: “persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha”. Dengan demikian, menurut ketentuan di atas, terdapat tiga indikator untuk terkatagori telah terjadi persaingan usaha tidak sehat, yaitu: a. Persaingan usaha yang dilakukan secara tidak jujur b. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hukum c. Persaingabn usaha yang dilakukan dengan cara menghambat terjadinya persaingan di atanra pelaku usaha. 23 Tati Suhartati Joesron dan M. Fathorrazi, Op.Cit., hal. 207-208. 111 Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara tidak jujur dapat dilihat dari cara pelaku usaha dalam bersaing dngan pelaku usaha lain. Misalnya: dalam persaingan tender, para pelaku usaha telah melakukan konspiraasi usaha dengan panitia lelang untuk dapat memenangkan sebuah tender, sehingga pelaku usaha lainnya tidak mendapat kesempatan untuk memenangkan tender tersebut. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hukum dapat dilihat dari cara pelaku usaha dalam bersaing dengan pelaku usaha lain dengan melanggar ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau peraturan yang telah disepakati. Kondisi seperti ini dapat kita lihat seperti pelaku usaha yang mendapatkan fasilitas-fasilitas khusus. Praktik seperti ini telah lazim diketemukan pada praktik persaingan usaha pada masa orde baru hingga sekarang. Contoh yang selalu ditemukan adalah terdapat pelaku usaha yang bebas pajak atau bea cukai dan sebagainya. Demikian juga dengan pelaku usaha yang dapat mengikuti persaingan dengan pelaku usaha lain dengan melanggar aturan-aturan , seperti pelaku usaha yang boleh ikut bersaing dalam usaha tender, padahal ia tidak memenuhi persyaratan kualifikasi yang telah ditetapkan panitia tender. Persaingan usaha yang dilakukan dengan cara menghambat terjadinya persaingan di antara pelaku usaha melihat kondisi pasar yang tidak sehat. Dalam pasar yang dimaksud, mungkin tidak terdapat kerugian pada pesaing lain, dan para pelaku usaha juga tidak mengalami kesulitan. 112 Namun, perjanjian yang dilakukan pelaku usaha menjadikan pasar bersaing secara tidak kompetritif. B.2. Larangan Perjanjian Penetapan Harga. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas mutu suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pada pasar bersangkutan yang sama”. Pasal 5 ayat (2) dalam undang-undang ini menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud oleh pasal 5 ayat (1) di atas tidak berlaku bagi suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan atau suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya pasal 35 huruf (f), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memiliki tugas untuk menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang tersebut. Salah satunya adalah penyusunan pedoman pelaksanaan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan tujuan memberikan pemahaman yang sama kepada stakeholder Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sebagai bagian dari upaya tersebut, KPPU melakukan penyusunan pedoman pelaksanaan pasal 5 (lima) yang mengatur tentang perilaku yang 113 dilarang berupa penetapan harga oleh pelaku usaha yang saling bersaing (price fixing). Pedoman ini, diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada seluruh stakeholder. Sebagaimana diketahui, penetapan harga adalah sebuah perilaku yang sangat terlarang dalam perkembangan pengaturan persaingan. Hal ini disebabkan penetapan harga selalu menghasilkan harga yang senantiasa berada jauh di atas harga yang bisa dicapai melalaui persaingan usaha yang sehat. Harga tinggi ini tentu saja menyebabkan terjadinya kerugian bagi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Dalam perkembangan penanganan perkara penetapan harga (price fixing) di berbagai belahan dunia, berkembang upaya pembuktian keberadaan perilaku tersebut, tidak hanya melalui bukti-bukti langsung (hard evidence), tetapi juga dikembangkan pembuktian-pembuktian lain melalui bukti-bukti tidak langsung (circumstantial evidence). Hal ini terjadi, karena bukti langsung menjadi semakin sulit ditemukan karena keberadaan lembaga pengawas persaingan telah menjadi faktor yang diperhitungkan sehingga hal-hal yang berkaitan dengan bukti langsung telah dihindari oleh pelaku usaha. Tetapi bagaimanapun, penggunaan bukti-bukti tidak langsung harus tetap dilakukan dalam bingkai pembuktian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. 114 B.3. Pengecualian terhadap Kegiatan dan Perjanjian yang Bersifat Monopoli. Penerapan hukum dan kebijakan persaingan usaha diharapkan dapat ditegakkan dalam seluruh sektor dan pelaku usaha, baik dalam perdagangan ataupun jasa. Tidak hanya itu, seluruh sektor dan seluruh pelaku usaha baik swasta maupun publik mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Penegakan hukum persaingan usaha mempunyai dasar baik secara hukum maupun ekonomi. Alasan hukum bahwa terhadap pelaku usaha yang melakukan kegiatan yang sama atau yang dapat disamakan akan mendaptkan perlakuan yang sama menurut prinsip dan standar hukum persaingan usaha yang berlaku, seperti memberikan jaminan adanya keadilan (fairness), kesamaan kesempatan (equality), dan perlakuan yang sama atau non diskriminasi. Pendekatan berdasarkan alasan hukum diharapkan dapat menjamin konsistensi dlam meningkatkan penafsiran transparansi, dan penerapan akuntabilitas, dan hukum, serta kepercayaan terhadap institusi penegak hukum yang beranggung jawab dalam mengimplementasikan hukum persaingan usaha.Selain itu, pendekatan tersebut juga akan mendorong proses penegakan 115 hukum (due process of law) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.24 Pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatur tentang perjanjian-perjanjian dan perbuatan-perbuatan yang dikecualikan dari undang-undang ini, yaitu: a. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, seperti: lisiensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang. Meskipun tidak ditegaskan dalam penjelasan undang-undang ini, perkecualian ini hanya berlaku secara terbatas, sepanjang tidak menghalangi persaingan dn tidak melanggar undangundang anti monopoli. c. Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. Meskipun undangundang tidak memberikan penjelasan, pengecualian ini juga berlaku secara terbatas. Meskipun pelaku usaha melaksanakan bisnisnya secara waralaba, tidak dapat begitu saja menjalankan usahanya, sehingga mengakibatkan monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. 24 Mustafa Kamal Rokan, op.cit., hlm. 229-230. 116 d. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan/atau jasa yang tidak mengekang dn/atau menghalangi persaingan. e. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang yang telah diperjanjikan. f. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peringkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas. g. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia. h. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan/atau pasokan pasar dalam negeri. i. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya. j. Perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil. Meskipun undang-undang tidak memberikan penjelasan, perkecualian ini pun harus ditafsirkan terbatas, karena 117 pengusaha kecil pun tidak dapat melanggar peraturan monopoli atau persaingan yang tidak sehat.25 Bertolak dari ketentuan pengecualian yang terdapat dalam pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah tetap memperhatikan hak serta kepentingan warga selaku pelaku usaha perseorangan maupun dalam kelompok untuk tetap mengembangkan kreatifitasnya, dengan ketentuan bahwa perjanjian dan/atau perbuatan yang dilakukan tidak menimbulkan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. B. 4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). B.4.1. Dasar Hukum dan Status Hukum Pembentukan KPPU. Dasar hukumk pembentukan KPPU adlah ketentuan Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa “untuk mengawasi pelaksanaan undangundang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha”. KPPU mempunyai kedudukan yang kuat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui persaingan usaha yang sehat, hal ini dikarenakan persaingan usaha yang sehat akan berpengaruh 25 Mustafa Kamal Rokan, Loc-cit. 118 besar terhadap struktur ekonomi Indonesia yang semakin kuat. 26 Komisi ini merupakan produk badan independen pasca reformasi tahun 1998 yang merupakan suatu lembaga yang tepat untuk menyelesaikan masalah persaingan usaha yang mempunyai peran multifunction dan keahlian, sehingga dianggap mampu menyelesaikan dan mempercepat proses penanganan perkara. Sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, KPPU mempunyai kewenangan yang sangat luas, yang meliputi wilayah eksekutif, yudikatif, legislatif sera konsultatif. Namun dalam hal menjalankan fungsinya, lembaga ini mempunyai kewenangan yang tumpang tindih. Hal mama disebabkan KPPU dapat bertindak sebagai investigator, penyidik, pemeriksa, penuntut, pemutus dan berfungsi juga sebagai konsultatif.27 B. 4.2. Tugas dan Wewenang KPPU B.4.2.1. Tugas KPPU Berdasarkan ketentaun Pasal 35 Undang- Undang Noimor 5 Tahun 1999, maka tugas KPPU adalah: a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan 26 27 Highlight, Majalah Kompetisi, 2010, Edisi 21, KPPU Republik Indonesia, hlm. 11. Mustafa Kamnal Rokan, Op-cit, hlm. 264-265. 119 atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dlam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16. b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 17 sampai pasal 24. c. Melakukan penilaian terhadapa ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 25 sampai pasal 28. d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi sebagaimana diatur dlam pasal 36. e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat. f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. 120 g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepadan Presiden dan Dwan Perwakilan Rakyat. B.4.2.2. Wewenang KPPU Wewenang KPPU yang tertuang dalam ketentuan Pasal 36 Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999, yaitu: a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari perilaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. b...Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat dan atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari dan atau penelitiannya. d. Menyimpulkan hasil penyelidikan pemeriksaan tentang ada atau tidaknya praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat. 121 e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undangundang noimor 5 Tahun 1999. f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dari setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang nomor 5 tahun 1999. g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf (f) yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi. h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhdap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang nomor 5 tahun 1999. i. Mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan. j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat. k. Memberitahukan putusan komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 122 l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administrasi kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang nomor 5 tahun 1999. Kebijakan persaingan merupakan hal yang cukup baru diadakan di Indonesia, setelah didera krisis ekonomi yang menghadang Indonesia. Perubahan tersebut dilakukan melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dengan KPPU sebagai motor nya. Seiring dengan karakter pengawasan yang unik dari sesuatu yang baru, maka pengembangan institusi sangat membutuhkan berbagai pengalaman dari berbagai lembaga persaingan usaha sejenis. 28 Bertolak dari ketentuan tentang tugas dan wewenang KPPU dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka KPPU mempunyai tugas yang sangat banyak, yang pada periode akhir tetap dimintakan bantuan pengadilan untuk kekuatan eksekutorialnya, hal mana karena tugas KPPU hanya terbatas pemberian sanksi administrasi saja. 28 Deswin Nur, 2008, edisi 11, KPPU dan Pengembangan Kebijakan Persaingan di ASEAN, Majalah Jurnal Kompetisi, KPPU Republik Indonesia, hlm. 16. 123 124