TESIS PENGARUH TARIF BEA MASUK, KURS DAN VOLUME IMPOR TERHADAP PENERIMAAN BEA MASUK DI INDONESIA I MADE ARYANA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan Pembangunan Nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu “Untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Telah disadari bahwa untuk merealisasikannya perlu diambil usaha-usaha nyata yang tidak lain adalah pembangunan nasional yang menyangkut semua aspek kehidupan masyarakat. Selanjutnya dirumuskan bahwa pembangunan nasional itu merupakan rangkaian upaya pembangunan berkesinambungan seluruh kehidupan bangsa dan negara hal mana oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat digariskan dalam GBHN untuk dilaksanakan oleh Pemerintah. Dalam rangka melaksanakan tugas pembangunan tersebut, dengan sendirinya pemerintah memerlukan dana yang cukup besar dan meningkat setiap tahunnya sehingga semua sumber dana yang ada harus digerakkan dan sedapat mungkin menggali potensi sumber-sumber dana baru baik dari dalam maupun luar negeri. Kegiatan pembangunan yang beraneka ragam dan kompleks tersebut harus dilakukan berdasarkan suatu rencana kerja yang lengkap disertai dengan rencana keuangan atau rencana kerja yang telah diperhitungkan dengan uang yang lebih dikenal dengan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Dalam APBN 1 3 terkandung perkiraan jumlah pengeluaran dan perkiraan jumlah pendapatan untuk menutupi pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas yang dibebankan kepada pemerintah. Sejak tahun anggaran 2000, struktur dan format APBN diubah dari bentuk scontro (T-account) menjadi bentuk stafel untuk menyesuaikan dengan standar yang berlaku secara internasional sebagaimana digunakan dalam statistik keuangan pemerintah (Government Financial Statistics) dimana pada point Pendapatan Negara dan Hibah disusun sebagai berikut : I.Penerimaan Dalam Negeri. 1.Penerimaan Perpajakan. a.Pajak Dalam Negeri. i.Pajak Penghasilan. - Migas. - Non Migas. ii.Pajak Pertambahan Nilai. iii.PBB dan BPHTB. iv.Cukai. v.Pajak lainnya. b.Pajak Perdagangan Internasional. i.Bea Masuk. ii.Pajak Ekspor. 2.Penerimaan Negara Bukan Pajak. II.Hibah. Dari susunan tersebut di atas, nampak bahwa salah satu pos penerimaan dalam negeri yang berasal dari perpajakan khususnya pajak perdagangan 4 internasional adalah Bea Masuk yang pelaksanaan pengumpulannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yaitu berupa penerimaan yang berasal dari pembayaran bea masuk oleh para importir sehubungan dengan kegiatan memasukkan barang-barang ke dalam daerah pabean. Anggaran yang diperkirakan dengan akurat mutlak diperlukan dalam setiap organisasi atau kegiatan, yaitu harus dapat memperkirakan berapa jumlah yang akan diterima dengan mempertimbangkan faktor-faktor terkait yang mempengaruhinya. Anggaran yang over estimate atas pos penerimaan di samping menimbulkan frustasi, juga dapat berakibat pada macetnya penyelenggaraan kegiatan dan untuk level APBN maka dapat mengakibatkan tersendatnya roda pembangunan yang pada gilirannya memperlambat tercapainya tujuan pembangunan nasional. Demikian pula sebaliknya, anggaran yang under estimate atas pos penerimaan dapat mengakibatkan tidak optimalnya penggunaan potensipotensi sumber daya yang berarti pula terjadinya inefisiensi sehingga pencapaian tujuan nasional menjadi lebih lambat. Dengan penetapan anggaran yang tepat diharapkan dapat memberikan motivasi dan gairah tantangan untuk memanfaatkan segenap potensi sumber daya yang tersedia untuk mencapai pemenuhannya serta lebih menjamin lancarnya penyelenggaraan pemerintahan sesuai yang telah dianggarkan. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa penerimaan bea masuk merupakan bagian dari keseluruhan penerimaan negara yang akan dialokasikan untuk membiayai pembangunan. Target penerimaan bea masuk, sebagaimana target mata anggaran lainnya seperti PPh, PPN dan Cukai selalu saja mengalami trend kenaikan secara 5 proporsional terhadap perkembangan jumlah APBN sesuai tuntutan pembangunan nasional. Berdasarkan data target, realisasi, dan persentase tingkat pencapaian bea masuk dapat dilihat dalam Tabel 1.1, sebagai berikut : Tabel 1.1 Target, Realisasi dan Persentase Pencapaian Target BM Indonesia Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tahun Anggaran 2001-2010 Tahun Target Realisasi Anggaran (Juta Rupiah) (Juta Rupiah) 2001 10.398.100,00 7.520.117,84 2002 11.839.200,00 10.399.133,00 2003 11.332.600,00 10.847.262,07 2004 11.837.600,00 12.444.003,76 2005 14.646.500,00 14.920.655,70 2006 13.583.300,00 12.141.649,38 2007 14.417.600,00 16.672.469,14 2008 15.820.900,00 22.761.308,14 2009 16.123.500,00 18.101.227,82 2010 15.106.813,00 19.956.186,15 Sumber : Data Penerimaan Kantor Pusat DJBC, 2011 Pencapaian Target 72,32% 87,84% 95,72% 105,12% 101,87% 89,39% 115,64% 143,87% 112,27% 132,10% Dari perkembangan target dan realisasi penerimaan bea masuk tersebut rata-rata realisasi penerimaan bea masuk adalah 105,61 persen yang artinya pencapaian penerimaan bea masuk sesuai harapan dengan target yang ditetapkan, akan tetapi tahun 2001, 2002, 2003 dan 2006 target tidak terpenuhi . Di sisi lain pada bidang hubungan internasional, pada tingkat regional ASEAN telah diupayakan beberapa kerjasama industri dan perdagangan dalam bentuk skema-skema seperti AIP (ASEAN Industrial Project – Juni 1978) dan skema AIJV (ASEAN Industrial Join Venture - Oktober 1983) yang pada tahun 1996 keduanya dilebur menjadi skema AICO (ASEAN Industrial Cooperation). 6 Skema yang banyak terkait dengan masalah kepabeanan adalah ASEAN-PTA (ASEAN Preferential Trading Arrangement – Februari 1977) dengan bentuk kerja sama saling memberikan keringanan tarif bea masuk hingga 50% atas impor barang-barang tertentu antar masing-masing negara anggota dengan harapan terciptanya peningkatan perdagangan antar negara anggota ASEAN yang berhasil dirumuskan pada Deklarasi Manila pada bulan Desember 1987. Namun demikian, setelah beberapa tahun berjalan tidak juga tampak peningkatan angka statistik yang signifikan, hal ini diperkirakan karena daftar barang yang diberikan keringanan/penurunan bea masuk justru didominasi oleh produk yang tingkat perdagangan regionalnya rendah atau tidak ada sama sekali sehingga terkesan sekedar basa-basi dalam pergaulan regional saja. Salah satu faktor yang ikut menentukan penerimaan bea masuk di Indonesia adalah pengenaan pajak terhadap produk-produk impor. Peranan pajak terhadap perekonomian sangat penting karena berdasarkan pasal 1 Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 bahwa Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Salah satu potensi pajak yang ditetapkan oleh Pemerintah adalah pajak yang dibebankan kepada barang–barang impor yang masuk ke Indonesia. Pengenaan tarif bea masuk bertujuan untuk meningkatkan daya saing industry dalam negeri dan mendorong investasi. Dalam rangka meningkatkan daya saing industri, pemerintah memberikan insentif bea masuk pada tahun 2008 berupa Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BM-DTP). Kebijakan ini berdasarkan UU No. 16 tahun 2008 tentang APBN-P tahun 2008 Pasal 3 ayat (3) huruf a 7 Penerimaan bea masuk yang ditanggung Pemerintah (DTP) sebagaimana dimaksud diatas tersebut dialokasikan sebagai belanja subsidi pajak dalam jumlah yang sama. Sementara untuk mendorong investasi dilakukan pembebasan atau keringanan bea masuk yang dapat diberikan atas impor: (a) barang dan bahan untuk pembangunan dan pengembangan industri dalam rangka penanaman modal; (b) mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri; (c) barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri untuk jangka waktu tertentu. Sekitar tahun 1990-an, para pejabat tinggi ASEAN meluncurkan gagasan baru, yaitu mewujudkan suatu pasar bersama yang terintegrasi dan bebas hambatan yang dinamakan AFTA (ASEAN Free Trade Area). Resminya skema kesepakatan yang diberi judul “The Agreement on Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Scheme for the ASEAN Free Trade Area” ini dihasilkan dalam sidang ke-4 ASEAN Summit di Singapura tanggal 28 Januari 1992 dan menyatakan kesepakatan bahwa dengan menggunakan skema CEPT sebagai kesepakatan utama, yaitu program penurunan tarif bea masuk untuk 15 kelompok produk secara bertahap antar negara ASEAN hingga pada tahun 2008 kelak tarif bea masuk antar negara ASEAN menjadi 0 sampai 5 persen saja. Pembatasan kuantitatif dan hambatan non tarif juga dieliminasi hingga tercapainya status free trade area yang sudah mulai sejak tahun 2002. 8 Tabel 1.2 Perkembangan Tarif Bea Masuk Indonesia Tahun 2001-2010 Tarif Bea Masuk Perkembangan % (%) 2001 2.81 2002 3.89 38.43 2003 4.29 10.07 2004 3.41 -20.47 2005 3.04 -10.97 2006 2.71 -10.60 2007 2.41 -11.14 2008 2.12 -12.28 2009 2.54 20.10 2010 1.99 -21.60 Sumber: Data Penerimaan Kantor Pusat DJBC, 2011 Tahun Berdasarkan Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa pengenaan tarif bea masuk cenderung mengalami penurunan. Hal ini membuktikan bahwa program penurunan tarif bea masuk untuk 15 kelompok produk secara bertahap antar negara ASEAN telah berjalan dengan baik. Dengan menurunnya tarif bea masuk akan mengakibatkan volume impor meningkat. Hal ini akan membawa pengaruh buruk bagi perkembangan industri di Indonesia karena barang-barang hasil dalam negeri akan kalah saing dengan produk impor yang harganya jauh lebih murah. Di sisi lain, sebagaimana diketahui bahwa kondisi perekonomian nasional sejak tahun 1997 yang lalu telah menurunkan kepercayaan semua pihak terhadap perekonomian dari tingkat pelaku ekonomi internasional hingga masyarakat di seluruh Indonesia. Nilai tukar mata uang Rupiah melemah secara drastis, industri perbankan merosot tajam dengan dilikuidasinya beberapa bank bermasalah dan transaksi perdagangan internasional macet yang salah satunya 9 disebabkan karena pelaku ekonomi di luar negeri tidak mempercayai L/C (Letter of Credit) yang diterbitkan oleh perbankan dan pelaku ekonomi di Indonesia. Nilai tukar rupiah yang semula stabil dan dinamis ditetapkan menjadi mengambang mengikuti harga pasar uang internasional sehingga setiap saat nilai tukar rupiah selalu berubah-ubah sampai saat ini. Dalam kaitannya dengan proses penetapan APBN, tentu saja hal ini turut mempersulit proses perencanaan penganggaran baik penerimaan maupun pengeluaran belanja negara yang selalu menggunakan asumsi patokan nilai mata uang Rupiah yang diperkirakan berlaku untuk satu tahun anggaran, padahal jangankan dalam kurun waktu satu tahun, dalam kurun waktu satu minggu saja sudah bisa terjadi perubahan nilai mata uang yang sangat tajam. Tabel 1.3 Perkembangan Nilai Kurs Dolar Tahun 2001-2010 Di Indonesia Tahun Nilai Kurs Perkembangan Rp/$ (%) 2001 10,400 2002 8,940 -14.04 2003 8,465 -5.31 2004 9,290 9.75 2005 9,830 5.81 2006 9,020 -8.24 2007 9,419 4.42 2008 10,950 16.25 2009 9,400 -14.16 2010 9,078 -3.42 Sumber : Data Penerimaan Kantor Pusat DJBC, 2011 Dalam data yang dikutip dari Bank Indonesia diambil nilai rata-rata kurs / nilai tukar mata uang Rupiah terhadap US $ per tahunnya dimana seperi kita ketahui bersama bahwa nilai tukar mata uang bersifat dinamis bisa berubah sewaktu-waktu 10 setiap harinya sehingga untuk mempermudah diambil angka rata-rata per tahunnya saja. Kurs Rupiah terhadap US $ dalam kurun waktu 2001 – 2010 relatif stabil karena apresiasi maupun depresiasi mata uang Rupiah tidak terlalu jauh berbeda. Hanya pada tahun 2001 dan 2008 yang mencapai angka Rp. 10.000,- per 1 US $. Hal ini memberikan peluang bagi segala bidang sektor perekonomian termasuk impor dimana jika nilai kurs meningkat maka nilai impor barang akan memiliki kecenderungan menurun dan biaya produksi barang dalam negeri akan menyesuaikan, sehingga penerimaan bea masuk akan menurun. Mulai 1 Januari 2010 Indonesia harus membuka pasar dalam negeri secara luas kepada negara-negara ASEAN dan Cina. Pembukaan pasar ini merupakan perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas antara enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam) dengan Cina, yang disebut dengan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Produk-produk impor dari ASEAN dan China akan lebih mudah masuk ke Indonesia dan lebih murah karena adanya pengurangan tarif dan penghapusan tarif, serta tarif akan menjadi nol persen dalam jangka waktu tiga tahun (Dewitari,dkk 2009). Sebaliknya, Indonesia juga memiliki kesempatan yang sama untuk memasuki pasar dalam negri negara-negara ASEAN dan Cina. Beberapa kalangan menerima pemberlakuan ACFTA sebagai kesempatan, tetapi di sisi lain ada juga yang menolaknya karena dipandang sebagai ancaman. Dalam ACFTA, kesempatan atau ancaman (Jiwayana, 2010) ditunjukkan bahwa bagi kalangan penerima, ACFTA dipandang positif karena bisa memberikan banyak keuntungan bagi Indonesia. Pertama, Indonesia akan memiliki pemasukan 11 tambahan dari PPN produk-produk baru yang masuk ke Indonesia. Tambahan pemasukan itu seiring dengan makin banyaknya obyek pajak dalam bentuk jenis dan jumlah produk yang masuk ke Indonesia. Beragamnya produk China yang masuk ke Indonesia dinilai berpotensi besar mendatangkan pendapatan pajak bagi pemerintah. Kedua, persaingan usaha yang muncul akibat ACFTA diharapkan memicu persaingan harga yang kompetitif sehingga pada akhirnya akan menguntungkan konsumen (penduduk/pedagang Indonesia). Bila kalangan penerima memandang ACFTA sebagai kesempatan, kalangan yang menolak memandang ACFTA sebagai ancaman dengan berbagai alasan. ACFTA, di antaranya, berpotensi membangkrutkan banyak perusahaan dalam negeri. Bangkrutnya perusahaan dalam negeri merupakan imbas dari membanjirnya produk China yang ditakutkan dan memang sudah terbukti memiliki harga lebih murah. Secara perlahan ketika kelangsungan industri mengalami kebangkrutan maka pekerja lokal pun akan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK). Tekanan dari kalangan pengusaha industri agar pelaksanaan ACFTA ditunda menandakan besarnya pengaruh negatif terhadap industri di Indonesia. Sementara itu pemerintah tetap menjalankan kesepakatan dengan tetap mengkaji dan mengevaluasi berbagai hal untuk dapat tetap meningkatkan daya saing Indonesia antara lain terkait dengan prasarana, biaya ekonomi tinggi, biaya transportasi, dan sektor makro lainnya. (Nova dan Kirana, 2010). Karena sekalipun pemerintah menunda pelaksanaan ACFTA untuk waktu tertentu bagi produkproduk tertentu, pada akhirnya perlindungan tersebut juga harus dihilangkan 12 sesuai kesepakatan. Jika pemerintah melanggar kesepakatan dan melindungi industri dalam negeri, konsumen dirugikan karena harus membayar produk dengan harga lebih mahal dan perekonomian menjadi tak berkembang. Tabel 1.4 Perkembangan Volume Impor Indonesia Tahun 2001-2010 Volume Impor Perkembangan (Ton) (%) 51,510,364.88 2001 39,156,039.46 2002 -23.98 28,392,253.53 2003 -27.49 50,643,547.05 2004 78.37 113,860,097.54 2005 124.83 117,010,502.32 2006 2.77 120,822,391.60 2007 3.26 133,923,275.52 2008 10.84 125,724,693.80 2009 -6.12 146,122,786.15 2010 16.22 Sumber: Data Penerimaan Kantor Pusat DJBC, 2011 Tahun Berdasarkan Tabel 1.4 terlihat bahwa volume impor dari tahun 2001 sampai 2003 mengalami penurunan. Namun dari tahun 2003 sampai dengan 2010 cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan volume impor barang ke Indonesia di tahun 2010 disebabkan sebagai akibat dari penerapan ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA). Berdasarkan uraian tersebut di atas, untuk usulan penelitian ini penulis memilih judul “Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Pencapaian Target Penerimaan Bea Masuk Pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di Jakarta”. 13 1.2 Rumusan Masalah Pencapaian target penerimaan pada sektor bea masuk yang merupakan salah satu mata penerimaan dalam APBN mempunyai andil dalam keberhasilan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di samping sebagai salah satu tolok ukur terpenting dalam pengukuran kinerja (benchmarking) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam kapasitasnya sebagai pengumpul keuangan negara. Realisasi penerimaan bea masuk diperkirakan berhubungan dengan tarif bea masuk, nilai kurs rupiah Indonesia terhadap dolar Amerika Serikat dan volume impor. Berangkat dari hal tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.Apakah tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan volume impor berpengaruh secara simultan terhadap realisasi penerimaan bea masuk periode 2001 sampai dengan 2010? 2.Bagaimanakah pengaruh tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan volume impor secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk periode 2001 sampai dengan 2010? 3.Bagaimanakah tren penerimaan bea masuk untuk tahun 2011 dan 2012? 14 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui besarnya pengaruh tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan volume impor secara simultan terhadap realisasi penerimaan bea masuk periode 2001 sampai dengan 2010. 2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan volume impor secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk periode 2001 sampai dengan 2010. 3. Untuk mengetahui tren penerimaan bea masuk untuk tahun 2011 dan 2012. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak, antara lain : 1. Penulis, untuk menambah pengetahuan tentang penelitian ilmiah yang dibahas dalam bentuk laporan yang terstruktur secara sistematis dan menambah wawasan mengenai beberapa hal berkaitan dengan pencapaian target penerimaan bea masuk. 2. Pemerintah Republik Indonesia dan pihak terkait, untuk menjadi masukan dan sumbangan pemikiran sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam menetapkan Rancangan Undang-Undang, APBN dan kebijakan. 3. Peneliti lain, untuk menjadi sumber informasi dan referensi bagi penelitian mengenai penerimaan bea masuk. 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Negara Menurut kaidah tata bahasa Indonesia kata keuangan negara merupakan bentuk kata majemuk yang berasal dari gabungan dua buah kata tunggal yang memiliki arti sendiri-sendiri, yaitu kata keuangan dan negara. Kata keuangan sendiri berasal dari kata dasar uang dan mendapat imbuhan ke- dan -an. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata uang memiliki arti : “Alat penukar; standar pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah yang dikeluarkan oleh suatu pemerintah negara berupa kertas, emas, perak, dan logam lainnya yang dicetak dalam bentuk dan gambar tertentu”. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997). Sementara dalam teori moneter kata uang selalu dikaitkan dengan bank. Dimana menurut Abdurrachman (2002) dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan perdagangan menjelaskan bahwa, “bank adalah suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan benda-benda berharga, membiayai usaha perusahaan-perusahaan dan lain-lain”. Definisi bank menurut UU No. 14/1967 Pasal 1 tentang Pokok-Pokok Perbankan adalah “lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”, dan pengertian bank menurut UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, yaitu : bank adalah badan usaha 15 16 yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan kata keuangan memiliki arti : “seluk beluk uang; segala urusan uang, atau keadaan uang” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997). Kata negara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti : “Suatu kesatuan sosial yang menempati suatu wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi dalam lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat, sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya; organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997). Sehingga dengan demikian keuangan negara merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan uang dari suatu negara. Keuangan negara sering disebut “public finance”. Istilah public atau publik sering membingungkan dan bukanlah merupakan istilah yang pas. Dalam literatur keuangan negara (public finance), istilah publik biasa diartikan pemerintah (government). Dalam arti luas sebenarnya istilah publik tidak hanya menggambarkan kegiatan pemerintah saja, namun menggambarkan pula utility (yang menangani kebutuhan atau hajat hidup orang banyak) seperti perusahaanperusahaan kereta api, telepon, listrik, air minum dan lain sebagainya. Di luar negeri perusahaan “utility” tidak selalu dimiliki pemerintah dan juga kegiatan perhimpunan amal (charitable associations). Menurut Arsjad (1992) keuangan negara adalah sebagai “government finance” (keuangan pemerintah), yakni “menggambarkan segala kegiatan 17 (pemerintah) di dalam mencari sumber-sumber dana (source of fund) untuk mencapai tujuan-tujuan (pemerintah tertentu)”. Jadi, keuangan negara mencerminkan kegiatan-kegiatan pemerintah, sedangkan kegiatan pemerintah itu sendiri berada dalam sektor publik (public sector), bukan berada dalam sektor swasta (private sector). Kegiatan-kegiatan yang berada di sektor swasta dilakukan oleh individu-individu dan perusahaanperusahaan swasta. Kegiatan-kegiatan pemerintah di sektor publik menurut sifatnya juga berbeda dari kegiatan-kegiatan di sektor swasta. Kegiatan pemerintah di sektor publik banyak ditentukan oleh keputusan-keputusan yang serba politis. Pemerintah harus memperhatikan preferensi para pemilih (voters) yang memilih orang-orang yang akan duduk di pemerintahan. Dengan demikian, negara-negara demokrasi seperti Indonesia, harus memperhatikan hak-hak individu rakyatnya. Kegiatan-kegiatan di sektor swasta banyak dipengaruhi oleh mekanisme pasar di mana pasar merupakan organisasi berlangsungnya keputusan-keputusan swasta. Kelemahan (mekanisme) pasar sebagai dasar keputusan kegiatan swasta adalah tidak memperhatikan hak-hak individu. Mereka yang berhak menikmati barang-barang dan jasa-jasa yang dijual di pasar adalah mereka yang memiliki sejumlah uang (rupiah) yang cukup. Antara kegiatan di sektor publik dan di sektor swasta terdapat suatu interaksi, bukanlah terpisah dan tertutup. Selanjutnya menurut Arsjad (1992) yang menjadi kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah di sektor publik adalah meliputi kegiatan-kegiatan (i) transaksi-transaksi melalui anggaran (budgetary transaction) meliputi transaksi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, (ii) kegiatan-kegiatan perusahaan negara 18 (public enterprises) milik pusat dan daerah, dan (iii) peraturan-peraturan pemerintah (public regulation) yang dibuat pemerintah pusat dan daerah untuk mempengaruhi kehidupan ekonomi, sosial dan politik masyarakat dalam suatu negara. Untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah di sektor publik maka pemerintah harus menyiapkan anggaran pendapatan dan belanja negara . Pengeluaran negara merupakan sisi pertama dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan sisi lainnya yaitu perpajakan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Pasal 23 ayat (1) menyatakan bahwa: “Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan UndangUndang. Apabila DPR tidak menyetujui anggaran yang diusulkan Pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu”. Apabila kita teliti dengan seksama, maka ayat ini secara implisit mengartikan keuangan negara sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang mengandung unsur periodik dalam penetapannya yakni setahun sekali. Penetapan APBN mutlak terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari DPR. Sifat mutlak ini dapat disimpulkan dari bunyi kalimat kedua pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dimana Pemerintah tidak mungkin melaksanakan APBN tanpa persetujuan DPR. Oleh karena itu khusus persetujuan RUU APBN oleh DPR, mempunyai makna tersendiri, yakni bukan hanya sekedar consent, akan tetapi mempunyai hak dan kewajiban dimana sanksi dapat diberlakukan yaitu Pemerintah berkewajiban menjalankan anggaran tahun yang lalu, bilamana anggaran yang diusulkan oleh 19 Pemerintah ditolak oleh DPR. Pengertian anggaran tahun lalu adalah anggaran yang telah mendapatkan persetujuan DPR. Dengan demikian bila kita berbicara mengenai keuangan negara maka kita tidak akan lepas dari hal-hal yang berkaitan dengan sumber penerimaan dan pengeluaran negara. Salah satu sumber penerimaan negara adalah berasal dari pajak baik berupa pajak langsung maupun tidak langsung. 2.2 Pengertian Bea Masuk sebagai Penerimaan Pajak Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dibutuhkan sumber-sumber penerimaan negara yang berupa uang. Untuk mendapatkan uang selain dengan mencetak sendiri atau meminjam, dalam zaman modern ini banyak cara yang dapat ditempuh oleh Pemerintah, yaitu melalui pajak baik yang berupa pajak langsung maupun pajak tidak langsung, retribusi, sumbangan, dan penghasilan negara lainnya seperti hasilhasil perusahaan negara dan daerah, hasil barang-barang milik pemerintah atau yang dikuasai pemerintah, denda-denda dari perampasan untuk kepentingan umum, hak waris atas harta peninggalan terlantar, hibah, wasiat, dan lain-lain. Salah satu penerimaan pajak yang dalam pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah bea masuk. Sebelum membahas secara rinci tentang bea masuk, maka akan terlebih dahulu diulas mengenai pajak secara umum. 20 2.2.1 Pajak Sebagai Penerimaan Negara Banyak sekali definisi pajak yang diungkapkan oleh para ahli, khususnya ahli di bidang keuangan negara (public finance), ekonomi, maupun hukum. Diantaranya pendapat yang dikemukakan oleh Adriani bahwa definisi pajak adalah sebagai berikut: Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak yang membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi secara kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara menjalankan pemerintahan. Menurut Guritno, pengertian pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogratif pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada Undang Undang, pungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya. Pajak bagi suatu negara pada prinsipnya mempunyai peran ganda, yaitu fungsi fiskal (budgetair) dan fungsi mengatur (regurelend). Dari kedua fungsi tersebut, kadang-kadang fungsi budgetair lebih menonjol dari pada fungsi regurelend; misalnya pada pemungutan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Namun demikian fungsi regulerend kadang-kadang sangat diutamakan seperti dalam pemungutan bea masuk dan cukai. Penekanan mana yang diutamakan tergantung pada karakter dari pajak itu, kondisi perekonomian negara, dan luasnya keterkaitan pajak tersebut 21 dengan hal-hal lain. Dalam hal ini pemerintah mengadakan prioritas-prioritas sesuai dengan tujuan jangka pendek, jangka panjang dan sasaran mikro dan makro. 2.2.2 Bea Masuk Pengertian bea masuk berdasarkan Ensiklopedia Indonesia, diartikan sebagai pajak yang dipungut atas barang-barang impor. Sedangkan pengertian bea masuk berdasarkan Pasal 1 UU No. 17/2006 perubahan dari UU No. 10/1995 adalah “Pungutan negara berdasarkan undang-undang ini yang dikenakan terhadap barang yang diimpor”. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa pengertian impor secara yuridis, yaitu pada saat barang memasuki daerah pabean dan menetapkan saat barang tersebut wajib bea masuk. Jadi bea masuk merupakan pajak yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas barang-barang yang memasuki daerah pabean. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.02/2001 mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kepabeanan dan cukai berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh menteri dan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu fungsi utama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah sebagai pengumpul penerimaan yang merupakan pendapatan negara untuk membiayai pembangunan nasional. Peranan fungsi ini berubah sesuai dengan perubahan situasi perkonomian dan sosial negara. Pada saat ini dimana Indonesia dalam keadaan krisis di segala bidang khususnya di bidang ekonomi,fungsi ini menjadi salah satu prioritas yang harus dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 22 Penerimaan yang dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berupa bea masuk yang merupakan pajak atas perdagangan internasional dan cukai yang merupakan pajak spesifik terhadap barang-barang tertentu. 2.3 Prosedur Kepabeanan di Bidang Impor Barang-barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean Indonesia (diimpor), wajib memenuhi ketentuan pabean dan menjadi subjek bagi pemeriksaan pabean (penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik). Kompleksitas sistem dan prosedur pemenuhan kewajiban pabean termasuk pelaksanaan pemeriksaan pabean, dimasa lalu, telah menyebabkan terhambatnya kelancaran arus barang dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Sejalan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 perubahan dari Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, sistem dan prosedur pemenuhan kewajiban pabean tersebut telah disempurnakan dan disederhanakan sehingga dapat mengatasi terhambatnya kelancaran arus barang dan menurunnya biaya dalam proses pengeluaran barang impor. Diantara karakteristik yang menonjol dalam sistem dan prosedur yang secara efektif diberlakukan sejak tanggal 1 April 1997 dan terakhir disempurnakan dengan KEP-07/BC/2003 adalah sebagai berikut : a. Penerapan konsep self assessment yang memberikan kepercayaan penuh pada imporir untuk memberitahukan barang impor melalui dokumen Pemberitahuan Impor Barang dan menghitung serta membayar sendiri bea masuk dan pajak-pajak dalam rangka impor; 23 b. Penggunaan teknologi komunikasi dan komputer dalam proses pengiriman dokumen dan penelitian dokumen Pemberitahuan Impor Barang; c. Prenotification yaitu prosedur yang memungkinkan importir untuk memberitahukan impornya meskipun kapal yang mengangkut barang impor yang bersangkutan belum tiba di pelabuhan; d. Preentry classification yaitu penetapan tarif oleh pejabat bea cukai sebelum dokumen Pemberitahuan Impor Barang diajukan atau sebelum kedatangan kapal yang membawa impor yang bersangkutan; e. Penyederhanaan tata cara penelitian dokumen PIB (Pemberitahuan Impor Barang) dan penyederhanaan penelitian terhadap substansi yang diperlukan dalam rangka pengeluaran barang; f. Pemeriksaan selektif terhadap fisik barang berdasarkan konsep risk management. Pemeriksaan fisik terhadap barang impor hanya dilakukann terhadap importasi beresiko tinggi dan random sampling yang ditentukan secara acak oleh komputer; g. Penerapan harga transaksi, atau harga yang sebenarnya dibayar oleh pembeli kepada penjual, sebagai harga yang digunakan sebagai dasar dalam penghitungan bea masuk dan pajak-pajak lainnya dalam rangka impor; h. Deffered/Periodic payment adalah kemudahan bagi importir produsen untuk secara periodik (tidak setiap importasi) melakukan pembayaran bea masuk dan pajak-pajak lainnya dalam rangka impor; 24 i. Pelayanan segera adalah kemudahan pengeluaran barang terlebih dahulu yang diberikan untuk barang-barang yang sifatnya urgent dengan hanya menggunakan dokumen pelengkap pabean disertai jaminan; j. Pemerikaan phisik barang di gudang importir diberikan dalam rangka percepatan pengeluaran barang dari pelabuhan dan mengurangi biaya yang keluarkan oleh importir. 2.3 Penetapan Nilai Pabean Dewasa ini dikenal ada tiga jenis sistem penetapan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk, dua diantaranya berasal dari konvensi internasional, yaitu Brussels Definition of Value (BDV), yang mengatur bahwa nilai pabean berdasarkan harga normal/harga patokan yang terjadi di pasaran bebas antara penjual dan pembeli yang saling tidak berhubungan dan WTO/GATT Valuation Agreement, yang mengatur bahwa nilai pabean adalah nilai transaksi barang impor yang bersangkutan serta Sistem Nasional yang ketentuannya diserahkan masingmasing negara yang menerapkannya. Ketiga sistem penetapan nilai pabean di atas dewasa ini masih diterapkan. Namun setelah ditanda tanganinya Final Act Uruguay Round yang mengesahkan pembentukan WTO pada tanggal 15 April 1994 di Maroko oleh 125 negara, sejak tanggal 1 Januari 2000, semua negara anggota WTO telah melaksanakannya dalam sistem penetapan nilai pabean mereka. Berdasarkan ketentuan WTO Valuation Agreement, negara berkembang dapat menunda pelaksanaan Agreement tersebut paling lama lima tahun sejak tanggal pemberlakuan WTO (1 Januari 1995). Dengan adanya kelonggaran ini, 25 Indonesia sebenarnya dapat menerapkan ketentuan Agreement tersebut pada tahun 2000, tetapi berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 perubahan dari Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang mengakomodir prinsip-prinsip WTO Valuation Agreement, Indonesia telah menerapkan sistem penetapan nilai pabean ini sejak 1 April 1997. Untuk memberlakukan prinsipprinsip WTO Valuation Agreement sesuai Undang Undang Kepabeanan, Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, telah melakukan berbagai kegiatan yang meliputi penyusunan perangkat hukum, perubahan struktur organisasi, penyusunan sistem dan prosedur serta sistem komputerisasi, pelatihan baik kepada pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maupun dunia usaha. Secara garis besar Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 perubahan dari UndangUndang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan mengatur bahwa penetapan nilai pabean barang impor untuk penghitungan Bea Masuk menggunakan enam metode yang diterapkan sesuai hirarki penggunaannya, yaitu: a. Metode I, nilai pabean ditetapkan berdasarkan nilai transaksi dari barang impor yang bersangkutan. Nilai transaksi adalah harga yang sebenarnya atau yang seharusnya dibayar dari barang yang dijual untuk diekspor ke Daerah Pabean yang ditambah dengan biaya tertentu, sepanjang biaya tertentu tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya atau yang seharusnya dibayar. Yang dimaksud dengan harga yang sebenarnya adalah harga barang impor yang pada waktu importasinya telah dilunasi (actually paid), sedangkan yang dimaksud dengan harga yang seharusnya dibayar adalah harga barang impor yang pada waktu importasinya belum dilunasi (payable) atau dibeli secara kredit; 26 b. Metode II, nilai pabean ditetapkan berdasarkan nilai transaksi barang identik; c. Metode III, nilai pabean ditetapkan berdasarkan nilai transaksi barang serupa; d. Metode IV, nilai pabean ditetapkan berdasarkan metode deduksi, yaitu harga transaksi dalam negeri dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan sejak barang tiba di daerah pabean; e. Metode V, nilai pabean ditetapkan berdasarkan metode komputasi, yaitu dengan cara menghitung biaya produksi dan biaya-biaya lainnya sampai barang tiba di daerah pabean Indonesia; f. Metode VI, nilai pabean ditetapkan berdasarkan data yang tersedia di Daerah Pabean secara fleksibel. Diantara keenam metode penetapan nilai pabean, maka metode pertamalah yang paling sering digunakan, karena sebagian besar barang impor berasal dari transaksi jual-beli. Penghitungan nilai pabean berdasarkan Metode I juga sangat mudah dilakukan karena didasarkan pada masing-masing kondisi transaksi jual-beli barang impor yang bersangkutan. Dalam menetapkan nilai pabean, disamping mengikuti metode penetapan tersebut diatas, juga harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut. 1. fair, nilai pabean harus ditetapkan secara adil dan transparan, 2. unifrom, nilai pabean ditetapkan berdasarkan enam metode yang diterapkan secara seragam di seluruh Indonesia dengan memperhatikan hirarki penggunaannya, 3. neutral, nilai pabean ditetapkan tanpa memperhatikan kepentingan tertentu, misalnya kepentingan politis atau ekonomi, 27 4. nilai pabean tidak diizinkan ditetapkan secara fiktif atau sewenang-wenang. 5. dasar penetapan nilai pabean sedapat mungkin adalah berdasarkan nilai transaksi barang impor yang bersangkutan nilai pabean harus ditetapkan berdasarkan kriteria yang sederhana dan konsisten dengan praktik perdagangan yang terjadi, 6. nilai pabean tidak diizinkan digunakan untuk mengatasi dumping. Adanya prinsip-prinsip yang perlu ditaati oleh setiap Pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada waktu menetapkan nilai pabean menandakan bahwa penetapan nilai pabean yang mengadopsi ketentuan WTO Valuation Agreement sejauh mungkin mencerminkan realitas perdagangan, dilakukan dengan fair dan trasnparan serta tidak dilakukan dengan cara sewenang-wenang atau fiktif . Dengan diberlakukannya satu sistem penetapan nilai pabean yang seragam dalam prinsip dan metode oleh semua negara anggota WTO diharapkan dapat lebih memperlancar arus barang dan dokumen yang selanjutnya berdampak positif terhadap perkembangan perdagangan internasional. 2.5 Hubungan Tarif Bea Masuk dengan Penerimaan Bea Masuk Seperti diketahui bahwa pengenaan tarif bea masuk yang ditetapkan Pemerintah sangat mempengaruhi besar kecilnya penerimaan Negara khususnya penerimaan bea masuk. Semakin tinggi tarif bea masuk yang ditetapkan maka penerimaan bea masuk akan semakin besar. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tarif bea masuk maka penerimaan Negara khususnya bea masuk akan turun. Hal ini dapat 28 disimpulkan bahwa antara tarif bea masuk dan penerimaan bea masuk memiliki hubungan yang positif. 2.6 Penetapan Kurs Valas atau foreign exchange (forex) atau foreign currency diartikan sebagai mata uang asing dan alat pembayaran lainnya yang digunakan untuk melakukan atau membiayai transaksi ekonomi dan keuangan internasional atau luar negeri dan biasanya mempunyai catatan kurs resmi pada Bank Sentral atau Bank Indonesia. Nopirin (1987) mendefinisikan kurs valuta asing adalah perbandingan atau harga antara dua mata uang. Mata uang yang sering digunakan sebagai alat pembayaran dan kesatuan hitung dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional disebut sebagai hard currency, yaitu mata uang yang nilainya relatif stabil dan kadang-kadang mengalami apresiasi atau kenaikan nilai terhadap mata uang lainnya. Hard currency pada umumnya berasal dari negara-negara industri maju, seperti USD, JPY, DEM, GBP, FRF, AUD, dan SFR. Sedangkan soft currency adalah mata uang lemah yang jarang digunakan sebagai alat pembayaran dan kesatuan hitung karena nilainya relatif tidak stabil dan sering mengalami depresiasi atau penurunan nilai terhadap mata uang lainnya. Soft currency ini pada umumnya berasal dari negara-negara yang sedang berkembang, seperti Rupiah - Indonesia, Peso Filipina, Bath - Thailand, dan Rupee - India. 29 Sebagaimana halnya dengan perdagangan barang dan jasa di pasar barang, mata uang dapat juga diperdagangkan karena ada permintaan dan penawaran terhadap mata uang di pasar uang. Dan sebetulnya perdagangan valuta asing terjadi sebagai akibat dari aktivitas penjualan dan pembelian barang dan jasa di pasar barang, kegiatan investasi antar negara, dan lalu lintas mata uang antar negara. Perubahan permintaan dan penawaran terhadap valuta asing mempengaruhi harga atau kurs valuta asing. Mata uang tiap-tiap negara yang tercatat di bank sentral dan terkumpul di bank sentral maupun terkumpul di bankbank pelaksana, merupakan stock valuta asing (devisa) bagi suatu negara. Stock devisa tersebut terbentuk karena adanya transaksi ekonomi antar negara. Para peserta dalam pasar valuta asing terdiri dari Bank Sentral, Pedagang Valuta Asing atau Money Changer, Bank-Bank selain Bank Indonesia, Eksportir, Importir dan mungkin juga termasuk rumah tangga-rumah tangga karena mereka melakukan kegiatan spekulasi valuta asing. Dalam hal pemerintah membiarkan kurs valuta asing berubah-ubah atau tidak akan sangat tergantung dari sistem kurs yang ditetapkan oleh negara yang bersangkutan, misalnya ditetapkan sistem kurs yang berubah-ubah, sistem kurs yang perubahannya sedikit atau kecil atau sistem kurs tetap. Harga (kurs) mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lainnya pada saat tertentu dan pada saat tersebut juga dilakukan transaksi perdagangan barang dan jasa antar negara, saat dilakukan realisasi investasi antar negara dan saat terjadi lalu lintas uang antar negara, disebut Kurs Spot. Kurs Spot dapat dibaca pada 30 suatu pengumuman di papan pengumuman yang dibuat oleh peserta pasar valuta asing, seperti yang dibuat oleh bank-bank dan oleh money changer. Berdasarkan perkembangan sistem moneter internasional sejak berlakunya Bretton Woods System pada tahun 1947, pada umumnya dikenal dua macam sistem penepatan kurs valas atau forex rate berikut : (Hamdy, 2001) 1) Sistem kurs mengambang atau berubah (floating exchange rate) system) Pasar valuta asing yang tidak dicampuri oleh pemerintah sehingga kekuatan permintaan dan penawaran terhadap valuta asing di pasar valuta asing berinteraksi secara bebas. Perubahan kurs valuta asing dalam pasar yang demikian tergantung beberapa faktor seperti terlihat pada bagan berikut. Kegiatan Ekonomi Pendapatan Harga dan Tingkat Bunga Perubahan ekspor, Perubahan impor, Perubahan aliran modal, sistem kurs Valuta Asing Faktor psikologis Pasar Valuta Asing, Perubahan permintaan dan penawaran terhadap Valuta Asing Kebijaksanaan Pemerintah Kurs Valuta Asing Gambar 2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurs Valuta Asing 31 Tinggi rendahnya kurs valuta asing, merupakan cermin atau tanda kuat lemahnya mata uang suatu negara dibanding dengan mata uang negara lain dalam transaksi ekonomi antar negara. 2) Sistem kurs tetap atau stabil (fixed exchange rate system). Umumnya kurs tetap dilaksanakan dengan menetapkan suatu standar tertentu seperti dengan standar harga emas dan juga melalui pengawasan jumlah devisa. Yang dimaksud dengan standar tertentu (misalnya standar emas) adalah penetapan nilai mata uang domestik atau mata uang sendiri maupun uang negara lain dengan seberat emas tertentu.Oleh karena itu diperlukan syarat bahwa setiap mata uang dijamin dengan seberat emas tertentu, setiap orang boleh membuat atau melebur uang emasnya dan pemerintah sanggup membeli atau menjual emas dalam jumlah yang tidak terbatas pada harga tertentu. Untuk saat ini Indonesia menggunakan sistem kurs mengambang atau berubah-ubah dan untuk kurs penghitungan pemungutan pajak, pemerintah melalui Departemen Keuangan menerbitkan kurs setiap hari Senin dan berlaku seminggu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI. Menurut Winarno (2006) ada beberapa faktor yang dapat dijadikan pedoman untuk menentukan sistem kurs, yaitu sebagai berikut. 1) Besarnya perekonomian dan tingkat keterbukaan. Pada struktur ekonomi sebuah negara, perdagangan internasional merupakan bagan terbesar dalam konfigurasi PDB, gejolak kurs mata uang bisa merepotkan. Hal itu disebabkan oleh potensi pengaruh yang bisa mengena berbagai sektor perekonomian. 32 2) Tingkat inflasi. Jika inflasi suatu negara lebih besar daripada nilai inflasi mitra dagangnya, sistem kurs fleksibel lebih mudah untuk menyesuaikan ketika terjadi penurunan daya saing. 3) Sifat peraturan perburuhan. Apakah kaku atau fleksibel lebih mudah dilakukan adaptasi agar mampu berdaya saing. 4) Tingkat kemajuan pasar uang. Di negara berkembang dengan pasar uang yang belum terlalu maju, sistem kurs bebas kurang cocok, karena volume perdagangan uang yang kecil dapat menimbulkan gejolak yang cukup besar. 5) Kredibilitas otoritas moneter. Bila otoritas moneter dianggap kurang memiliki kredibilitas, sistem kurs bebas mengakibatkan lonjakan kurs yang tinggi. 6) Mobilitas modal. Di negara yang lalu lintas modalnya tidak memiliki mekanisme pembatasan akan sulit mempertahankan sistem kurs tetap. 2.7 Hubungan Kurs dengan Penerimaan Bea Masuk Teori permintaan menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara permintaan dengan harga. Bahkan semakin tinggi harga komoditas maka semakin rendah kuantitas permintaan terhadap komoditas tersebut. Demikian sebaliknya semakin rendah harga komoditas akan dapat meningkatkan permintaan terhadap komoditas 33 tersebut dengan asumsi ceteris paribus (faktor lain dianggap tetap atau tidak mengalami perubahan). Harga yang dimaksud adalah kurs valas sedangkan permintaannya adalah impor dari negara yang bersangkutan. Jika kurs valas meningkat maka impor cenderung menurun, sebaliknya jika kurs valas menurun maka impor akan meningkat (Sukirno, 1997). Dengan meningkatnya impor maka penerimaan bea masuk pun akan meningkat. Jadi kurs valuta asing mempunyai hubungan yang berlawanan arah atau negatif dengan penerimaan bea masuk. 2.8 Volume Impor Menurut Boediono (1993) perdagangan diartikan sebagai proses tukar menukar yang didasarkan atas kehendak suka rela dari masing-masing pihak. Masing-masing pihak harus mempunyai kebebasan untuk menentukan untung rugi pertukaran tersebut dari sudut kepentingan masing-masing dan kemudian menentukan apakah ia mau melakukan pertukaran atau tidak. Pada dasarnya pertukaran atau perdagangan timbul karena kedua belah pihak melihat adanya manfaat atau keuntungan tambahan yang bisa diperoleh dari pertukaran tersebut (gains from trade). Tambunan (2001), mendefinisikan perdagangan internasional sebagai perdagangan antara atau lintas negara yang meliputi kegiatan ekspor dan impor. Perdagangan internasional dibagi menjadi dua kategori, yakni perdagangan barang (fisik) dan perdagangan jasa. Perdagangan jasa antara lain terdiri dari biaya transportasi, perjalanan (travel), asuransi, pembayaran bunga dan remittance seperti gaji tenaga kerja serta fee atau royalty teknologi (lisensi). 34 Nopirin (1996) menyatakan perdagangan internasional antar dua negara akan timbul karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran. Perbedaan permintaan bisa disebabkan oleh jumlah dan jenis kebutuhan, jumlah pendapatan, kebudayaan, selera, dan sebagainya. Dari segi penawaran, disebabkan oleh perbedaan faktor produksi baik kualitas, kuantitas, maupun dalam hal komposisi faktor produksi tersebut. Perbedaan faktor produksi akan membedakan tingkat produktivitas tiap negara. Faktor harga juga menentukan adanya perbedaan harga komparatif antar negara yang menyebabkan timbulnya arus perdagangan internasional. Jadi, perdagangan internasional secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang mencakup ekspor dan impor, baik berupa barang maupun jasa yang dilakukan antar negara atas pertimbangan tertentu (keuntungan) dan dilakukan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun juga. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian suatu negara. Dalam situasi global tidak ada satu negara pun yang tidak melakukan hubungan dagang dengan pihak luar negeri, mengingat bahwa setiap negara tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri secara efektif tanpa bantuan negara lainnya. Perdagangan luar negeri memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian suatu negara terutama di negara berkembang dengan pendapatan yang rendah yang tidak memungkinkan untuk melakukan akumulasi tabungan dan modal. Perdagangan luar negeri memberikan harapan bagi negara untuk bisa menutupi kekurangan tabungan domestik yang diperlukan bagi pembentukkan modal dalam rangka meningkatkan produktivitas 35 perekonomiannya. Impor adalah kegiatan perdagangan dari luar negeri ke dalam negeri melalui mekanisme yang hampir sama dengan ekspor, namun dengan beberapa aturan tambahan yang berisi pembatasan-pembatasan yang bertujuan untuk melindungi produsen di dalam negeri (Tambunan, 2001). Dalam bukunya (Murni, 2006) menyatakan bahwa kegiatan ekspor dan impor mempengaruhi agregat demand (AD) yaitu pengeluaran secara keseluruhan yang berhubungan langsung dengan pendapatan nasional. Jika ekspor lebih besar dari impor maka neraca perdagangan akan surplus dan meningkatkan pendapatan nasional. Jika ekspor lebih kecil dari impor maka neraca perdagangan akan defisit dan akan mengurangi pendapatan nasional. Berdasarkan laporan indikator Indonesia komposisi impor menurut golongan penggunaan barang ekonomi dapat dibedakan atas tiga kelompok, yaitu sebagai berikut. 1) Impor barang-barang konsumsi, terutama untuk barang-barang yang belum dapat dihasilkan di dalam negeri atau untuk memenuhi tambahan permintaan yang belum mencukupi dari produksi dalam negeri, yang meliputi makanan dan minuman untuk rumah tangga, bahan bakar dan pelumas olahan, alat angkut bukan industri, barang tahan lama, barang setengah tahan lama serta barang tidak tahan lama. 2) Impor bahan baku dan barang penolong, yang meliputi makanan dan minuman untuk industri, bahan baku untuk industri, bahan baker dan pelumas, serta suku cadang dan perlengkapan. 36 3) Impor barang modal, yang meliputi barang modal selain alat angkut, mobil penumpang dan alat angkut untuk industri. 2.9 Hubungan Volume Impor dengan Penerimaan Bea Masuk Volume impor memiliki hubungan yang positif dengan penerimaan bea masuk. Apabila volume impor meningkat maka penerimaan bea masuk juga akan meningkat. Begitu pula sebaliknya, apabila volume impor mengalami penurunan maka penerimaan bea masuk pun akan turun. 2.10 Penelitian Sebelumnya 1. Penelitian yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerimaan bea masuk sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Untuk mendukung penelitian ini sebuah hasil penelitian oleh Anton (2003) dijadikan referensi dengan judul : “Pengaruh Harga Rata-rata Barang Impor, Kurs Rupiah, Tarif BM dan Volume Impor Terhadap Penerimaan Bea Masuk Indonesia dari tahun 2002-2003”. Variabel penelitian yang digunakan meliputi Harga Rata-rata barang impor, Kurs Rupiah, tarif BM dan Volume Impor. Teknik analisis digunakan regresi berganda, dimana hasil penelitiannya dapat disimpulkan sebagai berikut. Realisasi penerimaan bea masuk dipengaruhi antara lain oleh Harga Rata-rata barang impor, Kurs Rupiah, tarif BM dan Volume Impor. Tingkat tarif rata-rata bea masuk setiap bulan ternyata tidak selalu mengalami trend penurunan meskipun pemerintah menerapkan CEPT dalam konteks AFTA karena besaran tersebut bergantung pada pola pengimporan barang berdasarkan klasifikasi jenis barang yang diimpor apakah 37 termasuk kategori bahan baku/barang antara yang dibebani tarif rendah ataukah termasuk kategori barang jadi dan konsumsi yang bertarif sedang dan tinggi. Penerimaan Bea Masuk ternyata tidak dipengaruhi secara signifikan oleh harga rata-rata impor dan fluktuasi nilai kurs. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Eddy Wahyudi, Bunasor Sanim, Hermanto Siregar, Nunung Nuryartono (2008) yang berjudul “Dampak Fluktuasi Ekonomi terhadap Penerimaan Pajak di Indonesia”. Teknik analisis yang digunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM) dengan menggunakan data bulanan dari Bulan Januari 1993 sampai Desember 2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 12 (dua belas) variabel yang digunakan yaitu konsumsi minyak, harga minyak dan gas, inflasi US, inflasi Indonesia, suku bunga luar negeri (SIBOR), nilai tukar rupiah, WPI/PPI, nilai ekspor-impor, jumlah uang beredar, suku bunga dalam negeri, GDP, dan tingkat hunian hotel, terdapat 3 (tiga) variabel yang memberikan gejolak signifikan terhadap penerimaan pajak di Indonesia, yaitu tingkat hunian hotel, jumlah uang beredar, dan konsumsi minyak. Hal ini disebabkan karena peningkatan tingkat hunian hotel merupakan indikasi awal bahwa telah terjadi peningkatan aktivitas bisnis. Dimana peningkatan aktivitas bisnis akan berdampak pada siklus bisnis dan peningkatan penerimaan pajak dari berbagai sektor. Sementara, perubahan jumlah uang beredar akan menyebabkan PDB mengalami penurunan. Turunnya PDB disebabkan oleh nilai tukar yang terdepresiasi ketika terjadi guncangan. Perubahan konsumsi minyak akan berdampak sangat signifikan pada peningkatan penerimaan pajak. 38 BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Besaran bea masuk sebagai salah satu mata anggaran penerimaan negara, secara mikro jika dilihat dalam setiap transaksi impor barang maka dipengaruhi oleh beberapa elemen, yaitu antara lain harga transaksi atas barang yang diperdagangkan disebut CIF (Cost, Insurrance and Freight), nilai kurs mata uang yang digunakan dalam transaksi dan besarnya tarif bea masuk yang dibebankan sesuai pengklasifikasian barang dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia atau lebih dikenal sebagai HS (Harmonized System). Dengan demikian fungsi antar elemen-elemen tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut. Bea Masuk = Tarif BM x Kurs x CIF Jika ditinjau secara makro, maka agregat penerimaan bea masuk di seluruh Indonesia dalam kurun waktu tertentu dapat dirumuskan dengan menambah elemen volume impor sebagai berikut : Σ Bea Masuk = Tarif BM x Kurs x CIF x Volume Impor dimana besaran tarif bea masuk, kurs dan volume impor merupakan besaran ratarata dalam kurun waktu yang sama. Dengan demikian diperkirakan bahwa tarif bea masuk, kurs dan volume impor mempunyai pengaruh terhadap penerimaan bea masuk. 39 Dari uraian tersebut di atas maka akan diteliti pengaruh antara tarif bea masuk, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan volume impor dalam dimensi devisa bayar maupun tonagenya seperti terlihat pada Gambar 3.1, 3.2 dan Gambar 3.3. Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian X1 = tarif BM X2 = kurs rupiah Y = Realisasi Target Penerimaan Bea Masuk X3 = volume impor Keterangan: Pengaruh Simultan Pengaruh Parsial 3.2 Hipotesis Berdasarkan uraian tersebut pada latar belakang masalah dan kerangka pemikiran, maka penulis mencoba mengajukan hipotesis sebagai berikut. 1. Tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan volume impor secara simultan berpengaruh signifikan terhadap realisasi penerimaan bea masuk. 40 2. Tarif bea masuk dan volume impor secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap realisasi penerimaan bea masuk dan nilai kurs rupiah secara parsial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap realisasi penerimaan bea masuk. 41 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan penerimaan bea masuk, tarif bea masuk dan volume impor, sedangkan data mengenai kurs rupiah yang dijadikan sebagai Nilai Dasar Pengenaan Bea Masuk diperoleh dari website DJBC (http://www.beacukai.go.id). Waktu penelitian adalah bulan Juni sampai Juli 2011. 4.2 Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini berkaitan dengan pencapaian/realisasi target penerimaan negara dari sektor bea masuk yang merupakan salah satu mata anggaran penerimaan negara yang seringkali pula dianggap sebagai salah satu tolok ukur utama dari kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 4.3 Identifikasi Variabel Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu variabel terikat dan tiga variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah realisasi penerimaan bea masuk yang dinotasikan sebagai (Y) yang merupakan jumlah penerimaan bea masuk dalam kurun waktu satu bulan. Variabel bebas dalam penelitian ini ada tiga buah, yaitu sebagai berikut. a. Tarif Bea Masuk (X1) merupakan persentase dari harga pabean sebagai dasar pengenaan bea masuk. Untuk setiap jenis klasifikasi barang dikenakan 41 42 persentase tarif tertentu yang bervariasi dari 0 % sampai 200%. Tingkat persentase tarif secara agregat dalam kurun waktu satu bulan dinyatakan dalam flat rate tariff karena volume dan harga setiap jenis/barang tidak merata. b. Kurs (X2) yang merupakan Nilai Dasar Pengenaan Bea Masuk (NDPBM) yaitu nilai kurs USD atas IDR yang ditetapkan setiap minggu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan untuk menetapkan pengenaan bea masuk sebagai faktor pengalihan dari CIF (dalam USD) menjadi Harga Pabean (dalam rupiah). c. Volume Impor (X3) merupakan jumlah kegiatan impor yang dinyatakan dalam jumlah tonage barang impor selama satu bulan. Volume impor dapat pula dinyatakan dalam jumlah devisa bayar selama satu bulan. 4.4 Definisi Operasional Penelitian ini memerlukan pembatasan atas definisi variabel yang digunakan agar tidak menjadi perluasan masalah. Adapun variabel penelitian yang akan dirumuskan adalah sebagai berikut. 4.4.1 Penerimaan Bea Masuk Penerimanan Bea Masuk adalah salah satu mata anggaran pendapatan negara yang awalnya ditargetkan pada APBN. Target penerimaan bea masuk merupakan jumlah yang diperkirakan dan atau diharuskan diterima oleh negara sebagai salah satu mata anggaran pendapatan yang dimuat dalam UU APBN. Tercapainya target pendapatan dalam APBN harus benar-benar dapat direalisasikan karena berjalannya roda pemerintahan membutuhkan dana paling tidak sebesar yang telah dianggarkan dalam anggaran belanja dan hal itu akan sangat bergantung pada pendanaan yang 43 berasal dari mata anggaran pendapatan sehingga jika mata anggaran pendapatan tidak terealisasi sepenuhnya akan mengakibatkan sebagian kegiatan yang telah dianggarkan tidak jadi terlaksana karena ketidaktersediaan dana yang pada gilirannya menghadapkan pemerintah pada posisi pertanggungjawaban kegiatan dan keuangan yang sulit. Pencapaian target penerimaan juga dijadikan tolok ukur utama dalam mengukur kinerja DJBC selama ini, jika realisasi penerimaan mencapai atau bahkan melampaui target yang telah ditetapkan maka DJBC dianggap telah berhasil menjalankan tugasnya. 4.4.2 Tarif Bea Masuk. Tarif bea masuk merupakan salah satu komponen yang menentukan besarnya pungutan bea masuk atas barang yang diimpor. Dalam perkembangannya, tarif bea masuk selalu diupayakan untuk diturunkan serendah mungkin sesuai ketentuan yang telah disetujui dalam perjanjian-perjanjian kepabeanan internasional seperti APEC dan AFTA sementara target penerimaan bea masuk yang disetujui dan ditetapkan dalam APBN menunjukkan trend yang selalu meningkat. Secara mikro, setiap transaksi impor akan menghasilkan penerimaan negara sebesar persentase tarif bea masuk dari nilai barang impor (dalam rupiah). Untuk barang-barang yang berupa bahan baku, barang antara dan barang modal pada umumnya dikenakan tarif yang rendah karena pengimporan barang tersebut dianggap sebagai impor yang produktif dimana barang-barang impor tersebut akan diolah di dalam negeri untuk mendapatkan nilai tambah sedangkan atas barang jadi umumnya dikenakan tarif sedang sampai tinggi karena dianggap bersifat konsumtif dan khusus untuk barang 44 mewah dikenakan tarif sangat tinggi. Dengan demikian apabila masyarakat Indonesia bersikap konsumtif akan mengakibatkan penerimaan bea masuk cenderung tinggi disamping memboroskan devisa dan sebaliknya apabila masyarakat Indonesia mencintai produk dalam negeri dan bersikap produktif maka penerimaan bea masuk cenderung turun dan sebagai kompensasinya maka penerimaan negara di bidang perpajakan akan meningkat, yaitu pajak yang berasal dari pertambahan nilai barang di dalam negeri dan pajak penghasilan akibat pertumbuhan ekonomi disamping membaiknya kondisi neraca pembayaran ke arah yang lebih menguntungkan. 4.4.3 Penetapan Kurs Kurs yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap minggu sebagai Nilai Dasar Pengenaan Bea Masuk (NDPBM). Kurs ini merupakan salah satu elemen dalam menentukan besarnya bea masuk yang harus dipungut dalam setiap transaksi pengimporan barang. Secara teoritis makro, fluktuasi nilai rupiah yang terjadi seharusnya mempengaruhi demand atas barang impor karena kurs secara langsung mempengaruhi nilai/harga barang impor yang menggunakan pembayaran dengan mata uang asing halmana berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, semakin tinggi nilai barang maka permintaan atas barang akan semakin berkurang, artinya volume impor akan berkurang dan demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini kurs tidak saja mempengaruhi volume impor tetapi juga secara langsung mempengaruhi besarnya pungutan bea masuk karena dasar penetapan bea masuk adalah harga pabean dalam mata uang rupiah 45 sehingga harga barang impor dalam mata uang lain harus dikonversikan kedalam rupiah berdasarkan NDPBM. 4.4.4 Volume Impor Volume impor merupakan agregat transaksi impor barang yang secara langsung mempengaruhi besarnya penerimaan bea masuk, namun besarnya pengaruh volume impor terhadap realisasi penerimaan negara akan sangat bergantung pada nilai masing-masing barang yang impor dan tingkat pembebanan tarif bea masuknya. Jika nilai barang yang diimpor tinggi, diimpor dalam jumlah besar dan dikenakan beban tarif yang tinggi maka penerimaan negara akan tinggi pula dan demikian pula sebaliknya. Dalam pengukuran volume impor tersebut dalam penelitian ini digunakan volume dalam arti fisik, yaitu berat barang dalam satuan ton (tonage) maupun volume dalam arti nilai transaksi, yaitu jumlah devisa bayar yang digunakan. 4.5 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah data-data yang bersifat kuantitatif dinyatakan dalam angka-angka, menunjukkan nilai terhadap besaran atau variabel yang diwakilinya. Data bersifat time-series yaitu data yang merupakan hasil pengamatan dalam suatu periode tertentu, misalnya data mingguan, bulanan atau tahunan. Data yang digunakan berkategori sekunder karena berasal dari data yang dikumpulkan oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang telah mengalami proses pengolahan seperti misalnya data mengenai flat-rate tariff yang merupakan rata-rata dari tarif yang dikenakan atas seluruh barang impor dalam kurun waktu tertentu. Data berupa realisasi penerimaan bea masuk, tarif rata-rata dan volume impor 46 dikumpulkan dari Direktorat Pengkajian Peraturan Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sedangkan data berupa kurs NDPBM dikumpulkan dari website http://www.beacukai.go.id. 4.6. Metode Pengumpulan Data Realisasi penerimaan bea masuk yang diamati merupakan jumlah populasi penerimaan bea masuk dari seluruh kantor pelayanan di Indonesia. Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data dan informasi melalui studi kepustakaan dan pengumpulan data sekunder. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mendalami dan menelaah berbagai literatur yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan untuk memperoleh informasi yang sifatnya teoritis dan digunakan sebagai pembanding dalam pembahasan. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan melakukan penelitian lapangan dan pemanfaatan laporan mingguan, bulanan, tahunan serta jurnal guna memperoleh data sekunder. 4.7 Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan dalam tiga tahap, yaitu : a. Deskripsi data dan hasil perhitungan (analisis deskriptif). b. Menentukan model penelitian yang sesuai antara variabel terikat dengan variabel bebas dan validasi model penelitian. c. Menguji hipotesis penelitian. 47 Tahap pertama dari analisis adalah secara deskriptif yaitu memberikan gambaran awal atas data yang telah dikumpulkan mengenai hubungan antara tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan volume impor dengan realisasi penerimaan bea masuk. Analisis ini juga bertujuan mencari temuan-temuan yang tidak diperkirakan sebelumnya yang berguna untuk analisa lebih lanjut. 4.7.1 Analisis Regresi Tahap kedua dari analisis adalah menentukan model penelitian yang sesuai dan melakukan validasi atas model tersebut sebagai berikut : a.Estimasi Koefisien dan Validasi Model Regresi Model : Dimana : Y = β0 + β1.X1 + β2.X2 + β3.X3 + εi Y β0 β1, β2, β3 X1 X2 X3 εi = = = = = = = Penerimaan Bea Masuk Konstanta Koefisien regresi Tarif Bea Masuk Kurs Volume Impor Error Koefisien regresi menunjukkan tingkat hubungan yang terjadi diantara variabel-variabel yang diteliti tersebut. Setiap variabel yang diteliti (X1, X2, X3) merupakan variabel bebas terhadap penerimaan bea masuk. Mengamati realisasi penerimaan bea masuk dimaksudkan untuk mengamati variabel-variabel tersebut terhadap pencapaian target/realisasi penerimaan bea masuk. Dari model tersebut langkah awal yang dilakukan adalah mengestimasi koefisien regresi masing- 48 masing variabel bebas dan selanjutnya melakukan validasi atas model yang digunakan. Dalam model regresi linear dengan k variabel ( Y, X1, X2, . . . , Xk ) untuk mempermudah dalam mengestimasi koefisien regresi digunakan alat bantu berupa komputer dengan memanfaatkan software SPSS versi 10.05. Dalam penelitian ini variabel-variabel yang digunakan adalah satu variabel terikat dan tiga variabel bebas. Disamping didapatkan hasil koefisien regresi, output SPSS memberikan pula standart error masing-masing variabel bebas, nilai t hitung dan nilai F hitung serta Eigen Value dan Condition Index yang diperlukan untuk melakukan pengujian/validasi. Salah satu asumsi penting dari model regresi linear klasik adalah bahwa tidak ada autokorelasi atau kondisi yang berurutan di antara gangguan atau disturbansi yang masuk kedalam fungsi regresi populasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun. Uji autokorelasi yang digunakan adalah DurbinWatson statistik dengan membandingkan nilai d hasil output komputer dengan yang tertera pada tabel Durbin-Watson dengan tingkat kepercayaan 95% dan 99%. 49 Gambar 4.1 Kurva Durbin Watson Terjadi autokorelasi positif Daerah bebas autokorelasi Daerah Keraguraguan dl du Terjadi autokorelasi negatif Daerah Keraguraguan 4-du 2 4-dl Sumber : Gujarati, (1999) Asumsi penting lainnya dalam model regresi linear klasik adalah bahwa gangguan yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah heteroskedastisitas; uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Salah satu cara untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan uji Glejser yang dilakukan dengan meregresikan nilai absolut residual terhadap variabel bebas. Jika tidak ada satupun variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat (nilai absolut residual), maka tidak ada heteroskedastisitas. Meskipun tidak ada metode yang pasti dalam mendeteksi multikolinearistas namun software SPSS menyediakan rambu-rambu untuk mendeteksi adanya gejala multikolinearitas, yaitu dengan memberikan nilai Eigen dan Condition Index. Apabila nilai Eigen lebih kecil dari 0,0001 atau mendekati nol dan atau Condition Index lebih besar dari 15 maka ada kemungkinan terdapat gejala multikolinearitas dan benar-benar merupakan problem yang serius jika nilai Condition Index sampai lebih besar dari 30. Tahap ketiga atau yang terakhir dalam analisis penelitian ini adalah pengujian hipotesis penelitian yang dilakukan dengan pola sebagai berikut. 50 1) Menentukan parameter yang akan diuji, dalam hal ini adalah koefisien regresi. 2) Menerjemahkan dugaan penelitian ke dalam hipotesis statistik dalam bentuk Ho dan Hi. 3) Menentukan tingkat kepercayaan yang akan digunakan, dalam hal ini digunakan 95% untuk menjaga tingkat keakuratan penelitian. 4) Mengumpulkan data data, dalam hal ini adalah data bulanan. 5) Menentukan statistik uji yang digunakan, yaitu : F dan t statistik serta d (DurbinWatson). b.Uji F Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan statistik inferensial. Pengujian hipotesis yang pertama adalah menguji hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa variabel-variabel bebas berupa tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan volume impor secara bersama-sama mempunyai hubungan linear dan dapat menjelaskan variabel terikat yakni realisasi penerimaan bea masuk. Pengujian hipotesis tersebut dilakukan dengan pendekatan pengujian tingkat penting (test of significance) yaitu suatu pengujian atas statistik uji (estimator) yaitu keputusan untuk menerima atau menolak hipotesis (H0) atas dasar nilai statistik uji yang diperoleh dari data yang dimiliki. Pengujian hipotesis ini menggunakan statistik uji F melalui pendekatan analysis of variance (anova). Uji F dengan pendekatan anova ini bertujuan menguji apakah ada pengaruh variabel terikat terhadap variabel bebas. Hipotesis : 51 H0 : βi = 0 : artinya variabel bebas secara simultan tidak berpengaruh terhadap variabel terikat (i = 1,2,3). Hi : minimal satu atau βi ≠ 0, artinya variabel bebas secara simultan berpengaruh terhadap variabel terikat (i = 1,2,3). Gambar 4.2 Daerah Penerimaan dan Penolakan H0 dengan Uji F f (F) Daerah Penolakan Ho Daerah Penerimaan Ho 0 F Tabel F Sumber: Nata Wirawan (2002) c.Uji t Pengujian terhadap parameter secara parsial dilakukan dengan uji t. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan volume impor secara parsial berpengaruh signifikan terhadap realisasi penerimaan bea masuk. 1) Menguji pengaruh tarif bea masuk terhadap realisasi penerimaan bea masuk. (1) Formula hipotesisnya H 0 : β1 = 0 ; berarti tarif bea masuk tidak berpengaruh secara parsial H 1 : β1 > 0 terhadap realisasi penerimaan bea masuk. ; berarti tarif bea masuk berpengaruh positif dan 52 signifikan secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. (2) Taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5% dengan derajat kebebasan df (n-k) = (10-4) = 6, dengan uji sisi kanan maka diperoleh ttabel. (3) Kriteria pengujian Ho diterima apabila thitung ≤ ttabel Ho ditolak apabila thitung > ttabel (4) Perhitungan Dengan menggunakan program SPSS, diperoleh hasil thitung (5) Kesimpulan Jika thitung < ttabel maka Ho diterima, yang berarti tarif bea masuk tidak berpengaruh secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. Jika thitung > ttabel maka Ho ditolak, yang berarti tarif bea masuk berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. Daerah penerimaan dan penolakan Ho dapat dilihat pada Gambar 4.3 Gambar 4.3 Daerah Penerimaan dan Penolakan H0 (Variabel Tarif Bea Masuk) f(t) Daerah Penolakan Ho Daerah Penerimaan Ho 0 Sumber : Nata Wirawan (2002) t-tabel t 53 2) Pengujian pengaruh nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. (1) Formula hipotesisnya H0 : β2 = 0 ; berarti nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tidak berpengaruh secara parsial terhadap H1 : β2 < 0 ; realisasi penerimaan bea masuk. berarti nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berpengaruh negatif dan signifikan secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. (2) Taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5% dengan derajat kebebasan df (n-k) = (10-4) = 6, dengan uji sisi kiri maka diperoleh ttabel. (3) Kriteria pengujian Ho diterima apabila thitung ≤ ttabel Ho ditolak apabila thitung > ttabel (4) Perhitungan Dengan menggunakan program SPSS, diperoleh hasil thitung (5) Kesimpulan Jika thitung < ttabel maka Ho ditolak, yang berarti nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tidak berpengaruh secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. Jika thitung ≥ ttabel maka Ho diterima, ini berarti nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berpengaruh negative dan signifikan secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. 54 Daerah pengujian dapat dilihat pada Gambar 4.4. Gambar 4.4 Daerah Penerimaan dan Penolakan H0 (Variabel Kurs) f(t) Daerah Penolakan Ho Daerah Penerimaan Ho T - t-tabel 0 Sumber : Nata Wirawan (2002) 3) Pengujian pengaruh volume impor secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. (1) Formula hipotesisnya H0 : β3 = 0 ; berarti volume impor tidak berpengaruh secara parsial H1 : β3 > 0 ; terhadap realisasi penerimaan bea masuk. berarti volume impor berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. (2) Taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5% dengan derajat kebebasan df (n-k) = (10-4) = 6, dengan uji sisi kanan maka diperoleh ttabel. (3) Kriteria pengujian Ho diterima apabila thitung ≤ ttabel Ho ditolak apabila thitung > ttabel 55 (4) Perhitungan Dengan menggunakan program SPSS, diperoleh hasil thitung. (5) Kesimpulan Jika thitung < ttabel maka Ho diterima, yang berarti volume impor tidak berpengaruh secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. Jika thitung > ttabel maka Ho ditolak, yang berarti volume impor berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. Daerah pengujian dapat dilihat pada Gambar 4.5. Gambar 4.5 Daerah Penerimaan dan Penolakan H0 (Variabel Volume Impor) f(t) Daerah Penolakan Ho Daerah Penerimaan Ho t 0 t-tabel Sumber : Nata Wirawan (2002) Koefisien determinasi dari suatu regresi berganda, R2, adalah koefisien yang mengukur proporsi variabel dari variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh kombinasi dari variabel bebas yang ada pada model regresi. R2 merupakan indikator seberapa baik model regresi tersebut sesuai data. Semakin besar nilainya berarti 56 semakin tepat model regresi yang dikembangkan tersebut sebagai alat untuk menjelaskan prilaku variabel terikat atas dasar variabel bebas, karena sebagian besar dari variabel terikat dapat dijelaskan oleh variasi dari variabel bebas. 4.7.2 Analisis Trend Linier Untuk mengetahui proyeksi penerimaan bea masuk di masa mendatang digunakan rumus trend sebagai berikut. Y’ = a + bX Keterangan: Y’ Xi a b = = = = Nilai proyeksi realisasi penerimaan bea masuk. Tahun setelah ditransformasikan, jadi dalam bentuk koding. Konstanta dari persamaan trend yang akan di dapat. Koefisien penaksir untuk meramalkan proyeksi penerimaan bea masuk. Dari persamaan satu (1) tersebut maka nilai a dan b bisa dicari dengan (Nata Wirawan, 2002): a= b= Σ Yi n Σ XiYi Σ Xi 2 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Perkembangan Penerimaan Pajak di Indonesia Sejarah perkembangan dunia perpajakan di Indonesia secara garis besar terbagi menjadi dua periode, yaitu periode sebelum tahun 1984 dan periode setelah tahun 1984. Periode sebelum tahun 1984, sistem perhitungan pajak masih menggunakan sistem office assessment, dimana dalam menghitung pajak terutang dari Wajib Pajak dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui kantor inspeksi pajak (fiskus). Disini Wajib Pajak hanya membayar pajak sesuai dengan perhitungan dari fiskus sehingga apabila fiskus tidak menghitung dengan cermat maka akan ada yang dirugikan baik dari segi pemerintah maupun Wajib Pajak. Berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara, penerimaan pajak terdiri atas dua penerimaan, yaitu penerimaan pajak dalam negeri dan penerimaan pajak perdagangan internasional. Pajak dalam negeri berasal dari PPH, PPN, PBB, BPHTB, Cukai, dan Pajak lainnya. Sedangkan pajak perdagangan internasional terdiri dari bea masuk, yang berasal dari impor, dan pajak ekspor. Perkembangan penerimaan bea masuk dari tahun 2001 sampai dengan 2010 cenderung mengalami kenaikan dengan rata-rata per tahun sebesar 12,22 persen. Hal ini disebabkan karena Indonesia masih bergantung pada produk-produk impor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada tahun 2006 penerimaan bea masuk mengalami penurunan dari Rp 14.920.655,70 juta rupiah pada tahun 2005 menjadi Rp 12.141.649,38 juta rupiah atau perkembangannya sebesar minus 19,63 persen. 57 58 Kemudian pada tahun 2007 mengalami peningkatan lagi sampai tahun 2008 menjadi Rp 22.761.308,14 juta rupiah atau sebesar 36,52 persen. Namun, pada tahun 2009 kembali mengalami penurunan menjadi Rp 18.101.227,82 juta rupiah atau sebesar minus 20,47 persen. Berkurangnya penerimaan bea masuk di Indonesia disebabkan karena Indonesia melakukan meningkatkan kualitas pengurangan terhadap produk-produk produksi dalam negeri. Sementara, impor guna bertambahnya penerimaan bea masuk seperti pada tahun 2007-2008 disebabkan karena Indonesia sedang dilanda bencana alam sehingga melakukan perdagangan impor khususnya impor produk beras, white sugar dan raw sugar untuk memenuhi kebutuhan sandang. Dengan semakin menurunnya produksi dalam negeri maka peranan penerimaan bea masuk untuk menunjang pelaksanaan pembangunan semakin besar, sehingga diperlukan analisa terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan bea masuk di Indonesia. Beberapa faktor-faktor tersebut yang sedang dilakukan penelitian ini yaitu tarif bea msuk, kurs, dan volume impor. Diharapkan faktor-faktor yang diteliti mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan bea masuk di Indonesia. 5.2 Perkembangan Struktur Tarif Bea Masuk Implementasi Skema Tarif Bea Masuk berlaku Umum (MFN) berdasarkan Program Harmonisasi Tarif Bea Masuk 2005-2010. Implementasi Tarif Bea Masuk Preferensi dalam skema: 59 a. Common Effective Preferential Tariff for AFTA (CEPT-AFTA) b. ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) c. ASEAN-Korea Free Trade Agreement (AKFTA) d. Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) Dalam rangka pengamanan perdagangan menyangkut Bea Masuk Anti Dumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Pembalasan, dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan. Bea masuk anti dumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal : a. harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya; dan b. impor barang tersebut : menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; mengecam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; dan menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri. Produk yang masuk dalam bea masuk anti dumping adalah tepung gandum, paracetamol, pisang cavendish, dan hot rolled coil. Bea masuk imbalan dikenakan terhadap barang impor dalam hal : a. ditemukan adanya subsidi yang diberikan di negara pengekspor terhadap barang tersebut; dan b. impor barang tersebut : (i) menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; 60 (ii) mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; atau (iii) menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri. Bea masuk imbalan dikenakan terhadap barang impor setinggi-tingginya sebesar selisih antara subsidi dengan : c. biaya permohonan, tanggungan atau pungutan lain yang dikeluarkan untuk memperoleh subsidi; dan/atau d. pungutan yang dikenakan pada saat ekspor untuk mengganti subsidi yang diberikan kepada barang ekspor tersebut. Bea masuk tindakan pengamanan dapat dikenakan terhadap barang impor dalam terdapat lonjakan barang impor baik secara absolut maupun relatif terhadap barang produksi dalam negeri yang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing, lonjakan barang impor tersebut: a. menyebabkan kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut dan/atau barang yang secara langsung bersaing; atau b. mengancam terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dan/atau barang yang secara langsung bersaing. Produk yang termasuk dalam bea masuk tindakan pengamanan adalah keramik tableware. Bea Masuk pembalasan dikenakan terhadap barang impor yang berasal dari negara yang memperlakukan barang ekspor Indonesia secara diskriminatif. Tarif bea masuk dari tahun 2001-2010 cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2001 sampai 2003 tarif bea masuk mengalami peningkatan. Peningkatan 61 tajam terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 38,43 persen, sementara dari tahun 2004 terus mengalami penurunan hingga tahun 2008. Tahun 2009 kembali mengalami peningkatan dari 2,12 persen menjadi 2,54 persen atau sebesar 20,10 persen. Penurunan tajam kembali terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar minus 21,60 persen. Hal ini berdasarkan implementasi program penurunan tarif bea masuk sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2003 (sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 378/KMK.0l/1996) secara konsisten dan berkesinambungan telah menghasilkan tingkat tarif bea masuk yang rendah hingga mencapai 1,99 persen pada tahun 2010. Pengenaan tarif bea masuk berbeda-beda untuk setiap produk-produk impor sesuai dengan kriteria tertentu yang telah ditetapkan. 5.3 Perkembangan Kurs Dalam transaksi perdagangan antar negara baik ekspor maupun impor, akan memerlukan valuta asing dalam proses pertukarannya. Agar kegiatan perdagangan dapat berjalan dengan mantap diperlukan adanya kestabilan nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing (kurs valuta asing). Perkembangan pasar uang di Indonesia semenjak krisis diwarnai dengan perubahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dollar Amerika yang selalu berfluktuasi dan cenderung merosot. Hal ini sebagai dampak dari krisis moneter yang melanda negara ASEAN dan Asia lainnya serta kondisi sosial politik negara Indonesia yang tak kunjung membaik. Nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing sangat dipengaruhi oleh situasi politik dan keamanan negara bersangkutan, terutama berhubungan dengan kebijakan pemerintah. 62 Dalam kondisi yang tidak mengembirakan tersebut pemerintah terus berupaya untuk mempertahankan nilai tukar rupiah agar berada pada tingkat yang wajar yaitu melalui serangkaian kebijaksanaan. Diantaranya kebijaksanaan nilai tukar mengambang sepenuhnya dimana nilai tukar rupiah terhadap valuta asing terutama dollar Amerika sepenuhnya ditentukan oleh pasar. Dengan demikian pemerintah dapat lebih fleksibel dalam mengantisipasi fluktuasi rupiah di pasar uang. Pada tahun 2000 nilai tukar rupiah melemah menjadi Rp 9.595,- per dolar AS. Penurunan ini berlanjut hingga tahun 2001 menjadi Rp 10.400,- per dolar AS. Pada tahun 2002 nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika terus menguat menjadi Rp 8.940,- per dolar AS dan hingga tahun 2003 menjadi Rp 8.465,- per dolar AS. Pada tahun 2004 nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika melemah menjadi Rp 9.290,- per dolar AS dan berlanjut hingga tahun 2005 sebesar Rp 9.830,- per dolar AS. Hal ini disebabkan akibat adanya Bom Bali II yang terjadi pada 1 Oktober 2005 lalu. Selama tahun 2010, nilai tukar rupiah menguat cukup signifikan terutama disebabkan oleh derasnya aliran masuk modal asing. Pergerakan nilai tukar rupiah juga ditopang oleh keseimbangan interaksi permintaan dan penawaran valuta asing di pasar domestik serta fundamental perekonomian domestik yang kuat. Nilai tukar rupiah mulai mengalami apresiasi sejak awal tahun dan mencapai level Rp 9.078 per dolar AS atau menguat secara rata-rata sebesar 3,8 persen dibandingkan dengan akhir tahun 2009. Secara point-to-point rupiah terapresiasi sebesar 4,4 persen. 63 5.4 Perkembangan Volume Impor Volume impor Indonesia pada tahun 2010 tumbuh sebesar 16,22 persen, meningkat dibanding tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar minus 6,12 persen. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan impor ini adalah pertumbuhan impor produk-produk pertanian, seperti beras, gula, tepung, buah, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa impor pada laporan tahunan didominasi oleh produk-produk yang memiliki kandungan impor (import content) tinggi, jika dilihat dari impor per komoditi utama, terlihat bahwa hanya komoditi beras dan gula yang tumbuh positif. Hal ini disebabkan karena pemerintah melakukan antisipasi untuk menghadapi peristiwa yang tidak terduga seperti bencana alam, sehingga bahan kebutuhan pokok tersebut sudah tersedia di dalam negeri untuk beberapa tahun kedepan. Volume impor dari tahun 2001-2010 tumbuh dengan rata-rata sebesar 17,87 persen per tahun. Volume impor tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 146.122.786,15 ton. Terendah terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 28.392.253,53 ton atau tumbuh sebesar minus 27,49 persen. Kemudian meningkat kembali pada tahun 2004 menjadi 50.643.547,05 ton atau tumbuh sebesar 78,37 persen. Lonjakan volume impor tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 124,83 persen atau menjadi 113.860.097,54 ton dari tahun sebelumnya. Kemudian terus meningkat hingga tahun 2008. Selanjutnya mengalami penurunan lagi di tahun 2009 sebesar minus 6,12 persen. Dan mengalami peningkatan di tahun 2010 dengan pertumbuhan sebesar 16,22 persen. 64 5.4 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif yang digunakan terdiri dari rata-rata (mean), Standard Deviasi, Minimum dan Maksimum terhadap data masing masing variabel penelitian. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini tampak dalam tabel berikut. Tabel 5.1 Data Variabel Penelitian Obs. Y 7,520,117.84 2001 10,399,133.00 2002 10,847,262.07 2003 12,444,003.76 2004 14,920,655.70 2005 12,141,649.38 2006 16,672,469.14 2007 22,761,308.14 2008 18,101,227.82 2009 19,956,186.15 2010 Sumber: Data Digabung, 2011 X1 2.81 3.89 4.29 3.41 3.04 2.71 2.41 2.12 2.54 1.99 X2 10,400 8,940 8,465 9,290 9,830 9,020 9,419 10,950 9,400 9,078 X3 51,510,364.88 39,156,039.46 28,392,253.53 50,643,547.05 113,860,097.54 117,010,502.32 120,822,391.60 133,923,275.52 125,724,693.80 146,122,786.15 Keterangan: Y X1 X2 X3 = = = = Realisasi penerimaan Bea Masuk (Miliar Rupiah) Tarif Bea Masuk (Persen) Nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (Rupiah/Dolar) Volume Impor (Ton) Statistik deskriptif masing-masing variabel selama periode pengamatan tampak dalam Tabel 5.2. 65 Tabel 5.2 Hasil Analisis Deskriptif N Y X1 X2 X3 Valid N (listwise) 10 10 10 10 10 Minimum 7520.12 1.99 8465.00 28392253.53 Maximum Mean 22761.31 14577.1240 4.29 2.9210 10950.00 9479.2250 1.46E8 92716595.1850 Std. Deviation 4767.30056 .74817 735.66622 44648469.64390 Sumber: Hasil Perhitungan SPSS (Lampiran 1) Tabel 5.2 menunjukkan rata-rata realisasi penerimaan bea masuk periode pengamatan 2001 sampai dengan 2010 adalah Rp 14.577,12 Miliar, rata-rata tarif bea masuk 2,92 persen, rata-rata nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat Rp 9.479,22 per Dolar AS, dan rata-rata volume impor 92.716.595,19 ton. 5.6 Analisis Regresi Linier Berganda Berdasarkan hasil olahan data dengan menggunakan program SPSS maka dapat disusun estimasi model regresi linear berganda sebagai berikut. Y = β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 Y = -15496,300 + 2489,873 X1 + 1,237 X2 + 0,000 X3 SE (30119,993) (3864,208) (1,875) (0,000) Sig. (0,543) (0,534) (0,021) t (0,644) (0,660) (2,086) F = 5,041 Prob. = 0,044 R2 = 0,716 = 71,6 persen Sebelum diinterpretasikan lebih lanjut terhadap model regresi tersebut dilakukan agar model regresi estimasi dapat memberikan hasil estimasi yang akurat, maka model tersebut seharusnya memenuhi uji asumsi klasik sebagai berikut. 66 1) Uji autokorelasi Autokorelasi dapat dilihat pada hasil Regression Analysis dengan bantuan program SPSS dimana didalamnya terdapat nilai yang menjadi tolok ukur autokorelasi yaitu nilai uji Durbin Watson. Dengan sistematika pengujian sebagai berikut. (Lampiran 2) (1) Rumusan hipotesis Ho : E (μiμj) = 0, artinya tidak ada autokorelasi dalam model baik autokorelasi positif atau negatif. H1 : E (μiμj) ≠ 0, artinya ada autokorelasi dalam model baik autokorelasi positif atau negatif. (2) Dengan tingkat kepercayaan 95 persen (α = 5 persen) Tabel Durbin Watson (k variabel = 4 ; n = 10), maka: (Lampiran 8) dl = 0,38 du = 1,59 4-du = 2,41 4-dl = 3,62 (3) Kriteria pengujian Ho diterima jika du < d < 4-du (tidak ada autokorelasi positif/negatif) Ho ditolak jika : d < dl (ada autokorelasi positif) d > 4-dl (ada autokorelasi negatif) dl ≤ d ≤ du atau 4-du ≤ d ≤ 4-dl (daerah keragu-raguan) 67 (4) Perhitungan Dengan menggunakan program SPSS maka hasil olah data penelitian ini diperoleh d-hitung sebesar 1,343. (Lampiran 2) (5) Kesimpulan Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa dl (0,38) < d-hitung (1,343) < du (1,59). Ini berarti d-hitung berada pada daerah keragu-raguan. Oleh karena d-hitung berada pada daerah keragu-raguan maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada autokorelasi positif/negatif. Daerah ada tidaknya autokorelasi dapat dilihat pada Gambar 5.1 Gambar 5.1 Kurva Durbin Watson Terjadi autokorelasi positif Daerah bebas autokorelasi Daerah Keraguraguan 0,38 1,343 1,59 2 Daerah Keraguraguan 2,41 Terjadi autokorelasi negatif 3,62 Sumber : Gujarati, (1999) 2) Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Salah satu cara untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan uji Glejser yang dilakukan dengan meregresikan nilai absolut residual terhadap variabel bebas. Jika tidak ada satupun variabel bebas yang berpengaruh 68 signifikan terhadap variabel terikat (nilai absolut residual), maka tidak ada heteroskedastisitas. Tabel 5.3 Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan Uji Glejser Variabel Tarif Bea Masuk (X1) Nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (X2) Volume Impor (X3) Sumber : Lampiran 4 Sig 0.745 0.348 0.752 Tabel 5.3 menunjukkan bahwa koefisien baik tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan volume impor tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai absolut residual yang dari model regresi yang digunakan. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas. 3) Uji multikolinearitas Oleh karena multikolinearitas pada dasarnya merupakan gejala sampel, berasal dari data non experimental yang besar, maka kita tidak memiliki metode unik untuk mendeteksi atau mengukur kekuatannya. Untuk mengujinya digunakan Eigen Value dan Condition Index. Apabila nilai Eigen lebih besar dari 0,0001 atau menjauhi nol dan atau Condition Index lebih kecil dari 30 maka tidak terdapat gejala multikolinearitas. Berdasarkan hasil olah data dengan menggunakan program SPSS diperoleh perhitungan Eigen Value dan Condition Index yang ditunjukkan pada Tabel 5.4 berikut. 69 Tabel 5.4 Perhitungan Eigen Value dan Condition Index Variabel Tarif Bea Masuk (X1) Nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (X2) Volume Impor (X3) Sumber : Lampiran 3 Collinearity Statistics Eigen Value Condition Index 0.210 4.238 0.010 0.001 19.387 27.024 Tabel 5.4 menunjukkan bahwa tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan volume impor Eigen Value-nya lebih besar dari 0,0001 dan Condition Index-nya lebih kecil dari 30. Ini berarti tidak terjadi multikolinearitas antara tarif bea masuk, kurs, dan volume impor. 5.6.2 Uji F Pengujian terhadap parameter secara simultan dilakukan dengan uji F. Adapun langkah-langkah pengujiannya sebagai berikut. 1) Formula hipotesis: H0 : βi = 0 ; berarti tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan volume impor secara simultan tidak berpengaruh signifikan terhadap realisasi penerimaan bea masuk. H1 : minimal satu dari βi ≠ 0 ; berarti tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan volume impor secara simultan berpengaruh signifikan terhadap realisasi penerimaan bea masuk (i = 1, 2, 3). 70 2) Taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5% dengan derajat kebebasan df = (k-1) (n-k) maka Ftabel = (4-1)(10-4) = (3)(6) = 4,76 (Lamp. 7) 3) Kriteria pengujian H0 diterima jika Fhitung ≤ Ftabel (4,76) H0 ditolak jika Fhitung > Ftabel (4,76) 4) Statistik uji: Dengan menggunakan program SPSS maka diperoleh Fhitung sebesar 5,041. 5) Kesimpulan Oleh karena Fhitung (5,041) > Ftabel (4,76) maka Ho ditolak, ini berarti tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan volume impor secara simultan berpengaruh signifikan terhadap realisasi penerimaan bea masuk. Daerah penerimaan dan penolakan H0 dapat dilihat pada Gambar 5.2. Gambar 5.2 Daerah Penerimaan dan Penolakan H0 pada Pengujian secara Simultan f (F) Daerah Penolakan Ho Daerah Penerimaan Ho F 0 4,76 5,041 71 5.6.3 Uji t Pengujian terhadap parameter secara parsial dilakukan dengan uji t. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan volume impor secara parsial berpengaruh signifikan terhadap realisasi penerimaan bea masuk. 1) Menguji pengaruh tarif bea masuk terhadap penerimaan bea masuk. (1) Formula hipotesisnya H 0 : β1 = 0 ; berarti tarif bea masuk tidak berpengaruh signifikan H 1 : β1 > 0 secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. ; berarti tarif bea masuk berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. (2) Taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5% dengan derajat kebebasan df (n-k) = (10-4) = 6, dengan uji sisi kanan maka diperoleh ttabel sebesar 1,934. (Lampiran 6) (3) Kriteria pengujian Ho diterima apabila thitung ≤ ttabel (1,934) Ho ditolak apabila thitung > ttabel (1,934) (4) Perhitungan Dengan menggunakan program SPSS, diperoleh hasil thitung sebesar 0,644 (5) Kesimpulan Oleh karena thitung (0,644) < ttabel (1,934) maka Ho diterima, ini berarti tarif bea masuk tidak berpengaruh secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. 72 Daerah penerimaan dan penolakan Ho dapat dilihat pada Gambar 5.3 Gambar 5.3 Daerah Penerimaan dan Penolakan H0 (Variabel Tarif Bea Masuk) f(t) Daerah Penolakan Ho Daerah Penerimaan Ho 0 0,644 1,934 t 2) Pengujian pengaruh nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. (1) Formula hipotesisnya H0 : β2 = 0 ; berarti nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tidak berpengaruh secara parsial terhadap H1 : β2 < 0 ; realisasi penerimaan bea masuk. berarti nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berpengaruh negatif dan signifikan secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. (2) Taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5% dengan derajat kebebasan df (n-k) = (10-4) = 6, dengan uji sisi kanan maka diperoleh ttabel sebesar 1,934. (Lampiran 6) (3) Kriteria pengujian Ho diterima apabila thitung ≤ ttabel (1,934) 73 Ho ditolak apabila thitung > ttabel (1,934) (4) Perhitungan Dengan menggunakan program SPSS, diperoleh hasil thitung sebesar 0,660. (5) Kesimpulan Oleh karena thitung (0,660) > ttabel (-1,934) maka Ho diterima, ini berarti nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tidak berpengaruh secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. Daerah pengujian dapat dilihat pada Gambar 5.4. Gambar 5.4 Daerah Penerimaan dan Penolakan H0 (Variabel Kurs) f(t) Daerah Penolakan Ho Daerah Penerimaan Ho -1,934 0 0,660 t 3) Pengujian pengaruh volume impor secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. (1) Formula hipotesisnya H0 : β3 = 0 ; berarti volume impor tidak berpengaruh secara parsial H1 : β3 > 0 ; terhadap realisasi penerimaan bea masuk. berarti volume impor berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. 74 (2) Taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5% dengan derajat kebebasan df (n-k) = (10-4) = 6, dengan uji sisi kanan maka diperoleh ttabel sebesar 1,934. (Lampiran 6) (3) Kriteria pengujian Ho diterima apabila thitung ≤ ttabel (1,934) Ho ditolak apabila thitung > ttabel (1,934) (4) Perhitungan Dengan menggunakan program SPSS, diperoleh hasil thitung sebesar 2,086. (5) Kesimpulan Oleh karena thitung (2,086) > ttabel (1,934) maka Ho ditolak, ini berarti volume impor berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. Daerah pengujian dapat dilihat pada Gambar 5.5. Gambar 5.5 Daerah Penerimaan dan Penolakan H0 (Variabel Volume Impor) f(t) Daerah Penolakan Ho Daerah Penerimaan Ho t 0 1,934 2,086 75 5.6.4 Koefisien Determinasi (R2) Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya variasi variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variasi seluruh variabel bebas. Nilai koefisien determinasi berkisar antara 0 sampai dengan 1, semakin mendekati angka 1 semakin besar variasi variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variasi variabel bebas. Berdasarkan hasil olah data dengan menggunakan SPSS (Lampiran 2), diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar 0,716 yang artinya bahwa 71,6 persen variasi naik turun realisasi penerimaan bea masuk dijelaskan oleh variabel tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan volume impor. Sedangkan sisanya sebesar 28,4 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. 5.7 Analisis Trend Linier Untuk mengetahui proyeksi penerimaan bea masuk di masa mendatang digunakan rumus trend sebagai berikut. Y’ = a + bX Y’ = 11.010,968 + 1.426,462 (t) Tahun Berdasarkan persamaan trend ini maka realisasi penerimaan bea masuk tahun 2011 dan 2012, sebagai berikut. 1) Prediksi Penerimaan Bea Masuk tahun 2011 : Y’ = 11.010,968 + 1.426,462 (t) Tahun = 11.010,968 + 1.426,462 (8) = 22.422,664 76 2) Prediksi Penerimaan Bea Masuk tahun 2012 : Y’ = 11.010,968 + 1.426,462 (t) Tahun = 11.010,968 + 1.426,462 (9) = 23.849,126 77 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Pengaruh Tarif Bea Masuk, Nilai Kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat, dan Volume Impor secara Simultan terhadap Realisasi Penerimaan Bea Masuk Periode 2001-2010 Hasil analisis pengujian regresi simultan dengan uji-F, menunjukkan bahwa nilai Fhitung (5,041) > Ftabel (4,76) dengan probability 0,044. Hal ini berarti bahwa tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan volume impor secara simultan berpengaruh signifikan terhadap realisasi penerimaan bea masuk. 1) Nilai koefisien determinasi (R 2) sebesar 0,716 berarti bahwa variasi naik turunnya realisasi penerimaan bea masuk sebesar 71,6 persen dipengaruhi oleh tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan volume impor, sedangkan sisanya sebesar 28,4 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model penelitian. Perkembangan penerimaan bea masuk dari tahun 2001 sampai dengan 2010 cenderung mengalami kenaikan dengan rata-rata per tahun sebesar 12,22 persen. Hal ini disebabkan karena Indonesia masih bergantung pada produk-produk impor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada tahun 2006 penerimaan bea masuk mengalami penurunan dari Rp 14.920.655,70 juta rupiah pada tahun 2005 menjadi Rp 12.141.649,38 juta rupiah atau perkembangannya sebesar minus 19,63 persen. Kemudian pada tahun 2007 mengalami peningkatan lagi sampai tahun 2008 menjadi Rp 22.761.308,14 juta rupiah atau sebesar 36,52 persen. Namun, pada 78 tahun 2009 kembali mengalami penurunan menjadi Rp 18.101.227,82 juta rupiah atau sebesar minus 20,47 persen. Berkurangnya penerimaan bea masuk di Indonesia disebabkan karena Indonesia melakukan pengurangan terhadap produk-produk impor guna meningkatkan kualitas produksi dalam negeri. Sementara, bertambahnya penerimaan bea masuk seperti pada tahun 2007-2008 disebabkan karena Indonesia sedang dilanda bencana alam sehingga melakukan perdagangan impor khususnya impor produk beras, white sugar dan raw sugar untuk memenuhi kebutuhan sandang. Dengan semakin menurunnya produksi dalam negeri maka peranan penerimaan bea masuk untuk menunjang pelaksanaan pembangunan semakin besar, sehingga diperlukan analisa terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan bea masuk di Indonesia. Beberapa faktor-faktor tersebut yang sedang dilakukan penelitian ini yaitu tarif bea msuk, kurs, dan volume impor. Diharapkan faktor-faktor yang diteliti mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan bea masuk di Indonesia. Penelitian oleh Anton (2003) dijadikan referensi dengan judul : “Pengaruh Harga Rata-rata Barang Impor, Kurs Rupiah, Tarif BM dan Volume Impor Terhadap Penerimaan Bea Masuk Indonesia dari tahun 2002-2003”. Variabel penelitian yang digunakan meliputi Harga Rata-rata barang impor, Kurs Rupiah, tarif BM dan Volume Impor. Realisasi penerimaan bea masuk dipengaruhi antara lain oleh Harga Rata-rata barang impor, Kurs Rupiah, tarif BM dan Volume Impor. 79 6.2 Pengaruh Tarif Bea Masuk, Nilai Kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat, dan Volume Impor secara Parsial terhadap Realisasi Penerimaan Bea Masuk Periode 2001-2010 Uji regresi secara parsial dengan uji-t untuk melihat satu per satu pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat, seperti yang tercantum dalam Lampiran 1, yang dapat diinterpretasikan sebagai berikut. 1) Koefisien regresi X1 untuk variabel tarif bea masuk bernilai 2489,873 (probability = 0,543), ini menunjukkan bahwa tarif bea masuk tidak berpengaruh signifikan terhadap realisasi penerimaan bea masuk. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis yang menyatakan hubungan yang positif dan signifikan antara tarif bea masuk dengan realisasi penerimaan bea masuk. Ini disebabkan karena realisasi penerimaan bea masuk dari tahun ke tahun selama periode pengamatan tetap menunjukkan kecenderungan yang meningkat meskipun tarif bea masuk tinggi. Sehingga tarif bea masuk tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan bea masuk. Seperti yang kita ketahui bahwa pengenaan tarif bea masuk yang ditetapkan Pemerintah sangat mempengaruhi besar kecilnya penerimaan Negara khususnya penerimaan bea masuk. Semakin tinggi tarif bea masuk yang ditetapkan maka penerimaan bea masuk akan semakin besar. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tarif bea masuk maka penerimaan Negara khususnya bea masuk akan turun. Hal ini dapat disimpulkan bahwa antara tarif bea masuk dan penerimaan bea masuk memiliki hubungan yang positif. Dirjen Bea Cukai mengakui peningkatan penerimaan bea masuk sulit tercapai sehubungan dengan berlakunya pembebasan 57 pos tarif bea masuk 80 sesuai dengan PMK Nomor 13/PMK.011/2011. "Bea masuk masih ada peningkatan tapi ada kendala terkait apresiasi rupiah dan Free Trade Agreement yang ditandatangani ASEAN, China, Jepang, Korea yang merupakan kesapakatan bilateral atau multilateral yang membuat skedulnya menurun, dari sisi bea masuk, ruang peningkatan sangat kecil. Berdasar data terakhir Bea Cukai, sisa target bea masuk yang harus dicapai hingga akhir tahun sebesar Rp 9,7 triliun untuk bisa mancapai target RAPBN-P sebesar Rp 21,5 triliun. 2) Koefisien regresi X2 untuk variabel nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat bernilai 1,237 (probability = 0,534), ini menunjukkan bahwa nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tidak berpengaruh signifikan terhadap realisasi penerimaan bea masuk. Hal ini disebabkan karena peningkatan atau penurunan realisasi penerimaan bea masuk tidak ditentukan oleh besar kecilnya nilai kurs, namun lebih kepada banyak sedikitnya jumlah produk atau barang yang diimpor ke Indonesia. Tinggi rendahnya kurs valuta asing, merupakan cermin atau tanda kuat lemahnya mata uang suatu negara dibanding dengan mata uang negara lain dalam transaksi ekonomi antar negara. Selama periode penelitian, meskipun kurs turun, namun penerimaan bea masuk tetap naik sehingga kurs tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan bea masuk. Jika kurs valas meningkat maka impor cenderung menurun, sebaliknya jika kurs valas menurun maka impor akan meningkat (Sukirno, 1997). Dengan meningkatnya impor maka penerimaan bea masuk pun akan meningkat. Jadi kurs valuta asing mempunyai hubungan yang berlawanan arah atau negatif dengan penerimaan bea masuk. Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian 81 yang dilakukan oleh Eddy Wahyudi, dkk (2007) yang menyatakan bahwa nilai kurs berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan pajak sektor PPN. 3) Koefisien regresi X3 untuk variabel volume impor bernilai 0,0001 (probability = 0,021), ini menunjukkan bahwa volume impor berpengaruh positif dan signifikan terhadap realisasi penerimaan bea masuk. Ini berarti bahwa semakin tinggi volume impor, maka akan menyebabkan realisasi penerimaan bea masuk akan naik. Hal ini disebabkan karena tingginya volume impor menyebabkan pengenaan pajak perdagangan internasional juga makin tinggi, sehingga akan berpengaruh pada penerimaan bea masuk yang mengalami peningkatan. Hasil penelitian ini telah sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa volume impor berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan bea masuk. Salah satu faktor yang ikut menentukan penerimaan bea masuk di Indonesia adalah pengenaan pajak terhadap produk-produk impor. Peranan pajak terhadap perekonomian sangat penting karena berdasarkan pasal 1 Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2007 bahwa Pajak dipungut penguasa berdasarkan normanorma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Salah satu potensi pajak yang ditetapkan oleh Pemerintah adalah pajak yang dibebankan kepada barang–barang impor yang masuk ke Indonesia. Pengenaan tarif bea masuk bertujuan untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri dan mendorong investasi. Dalam rangka meningkatkan daya saing industri, pemerintah memberikan insentif bea masuk pada tahun 2008 berupa Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BM-DTP). Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang 82 dilakukan oleh Eddy Wahyudi (2007) yang menyatakan bahwa nilai impor berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan pajak sektor PPN. 6.3 Trend Realisasi Penerimaan Bea Masuk Tahun 2011 dan 2012 Hasil taksiran trend penerimaan bea masuk tahun 2011 dan 2012 adalah positif. Oleh karena itu, dalam realisasi target penerimaan bea masuk diharapkan dapat melebihi prediksi, sehingga dapat digunakan untuk pembiayaan pembangunan yang lebih baik. Realisasi penerimaan bea masuk tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp 22.422,664 miliar, dan tahun 2012 diperkirakan sebesar Rp 23.849,126 miliar. Berdasarkan hasil prediksi tersebut, menunjukkan bahwa realisasi penerimaan bea masuk adalah baik karena menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2012, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 11,74 persen per tahun. Hal ini berarti bahwa penerimaan bea masuk tersebut akan mampu membiayai pengeluaran pemerintah yang juga semakin meningkat. Namun, peningkatan tersebut tidak lepas dari tantangan yang harus dihadapi pemerintah di masa mendatang, seperti penurunan kualitas produk dalam negeri akibat impor meningkat. 83 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1) Variabel tarif bea masuk, nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan volume impor berpengaruh signifikan secara simultan terhadap realisasi penerimaan bea masuk. 2) Variabel tarif bea masuk dan nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tidak berpengaruh secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk, sedangkan variabel volume impor berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap realisasi penerimaan bea masuk. 3) Proyeksi realisasi penerimaan bea masuk pada tahun 2011 sampai dengan 2012 semakin meningkat, yaitu tahun 2011 sebesar Rp 22.422,664 miliar diprediksi menjadi Rp 23.849,126 miliar di tahun 2012, dengan rata-rata pertumbuhan 11,74 persen per tahun. 7.2 Saran Berbagai kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini mengandung beberapa implikasi kebijakan yang perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut. 1) Bagi pemerintah, penelitian ini hendaknya menjadi acuan dalam mengambil kebijakan dengan mempertimbangkan pengenaan tarif bea masuk terhadap barang-barang impor yang sesuai, pengendalian sistem kurs, serta pengetatan 84 kualitas terhadap produk-produk impor, artinya produk yang diimpor harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), namun apabila ada yang tidak memenuhi persyaratan SNI maka tidak akan memperoleh Sertifikat Kesesuaian Mutu (SM) dan tidak dapat masuk ke Indonesia. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan penerimaan bea masuk yang berdampak pada meningkatan pendapatan bagi negara. Kebijakan menjadi faktor yang penting dalam pembangunan. Oleh sebab itu, dalam merumuskan suatu kebijakan ekonomi perlu diadakan perencanaan yang koordinasi bersama antara pihak-pihak terkait. Pemerintah harus bersinergi dengan kalangan bisnis supaya kebijakan yang dihasilkan benar-benar tepat sasaran dan tidak merugikan kedua negara. 2) Pemerintah hendaknya dalam meningkatkan jumlah impor untuk meningkatkan penerimaan bea masuk harus diimbangi dengan peningkatan kualitas produk-produk produksi dalam negeri agar mampu bersaing dalam perdagangan internasional dan produksi dalam negeri tidak lagi lesu akibat kualitasnya kalah saing dengan produk-produk impor. 3) Bagi peneliti selanjutnya diharapkan bisa meneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi penerimaan yang berasal dari pajak, khususnya penerimaan bea masuk, tidak hanya dari segi ekonomi tetapi juga bisa dilihat dari faktor sosialbudaya, politik dan hukum. Dapat juga dilihat dari segi kondisi negara pengimpor. Sehingga dapat diketahui dengan jelas faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan negara dari pajak.