konsep pendidikan akhlak dalam kitab ayyuha al

advertisement
KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB
AYYUHA AL-WALAD KARYA IMAM AL-GHAZALI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh:
PUTIK NUR ROHMAWATI
111-12-223
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017
KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB
AYYUHA AL-WALAD KARYA IMAM AL GHAZALI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh:
PUTIK NUR ROHMAWATI
111-12-223
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017
MOTTO
:‫ص ْيلِهَا ِببَيَا ٍن‬
َ ‫يَاأَ ِخ ْى لَ ْن تَنَا َل ْال ِع ْل َم اِ ََل ِب ِستَتَ َسأ ُ ْنبِ ْي‬
ِ ‫ك َع ْن تَ ْف‬
‫َذ َكا ٌء َو ِحرْ صٌ َواجْ تَ ِها ٌد َو ِدرْ هَ ٌم َوصُحْ بَاةُ أً ْستَا ٍذ َوطُى ُل‬
‫ان‬
ٍ ‫َز َم‬
“ Wahai saudaraku engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam
perkara,akan aku berikan kepadamu rinciannya berikut ini: Kecerdasan, Tamak
(terhadap ilmu), Kesungguhan, Modal, Berkawan dengan guru, dan waktu yang
panjang.”
(Al-Mahfudzot)
vii
PERSEMBAHAN
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah Bacalah, dan Tuhanmulah yang
maha mulia, Yang mengajar manusia dengan pena,
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (QS: Al-’Alaq 1-5)
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ? (QS: Ar-Rahman 13)
Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat
(QS : Al-Mujadilah 11)
Kupersembahkan sebuah karya kecil ini untuk:
1. Kedua orang tuaku tercinta Bapak (Wagiyo) dan Ibu (Ngatiyem) yang
tiada pernah hentinya selama ini memberiku semangat, doa, dorongan,
nasehat dan kasih sayang serta pengorbanan yang tak tergantikan hingga
aku selalu kuat menjalani setiap rintangan yang ada di depanku.
2. Orang tua keduaku Bapak (Drs. M. Rofi’i. M. Pd. I) dan Ibu (Dra.
Supainem) yang selalu memberikan motivasi.
3. Kakakku tersayang Annis Muhammad S. Pd. I yang selalu membimbingku
dan mendukungku dalam setiap hal.
4. Keluarga besarku yang selalu mendoakan keberhasilanku.
5. Teman sejawat saudara seperjuangan PAI angkatan 2012. "Tak ada tempat
terbaik untuk berkeluh kesah selain bersama sahabat-sahabat terbaik”.
6. Mas Ashnan Habib yang selalu memberi motivasi dan dukungan sampai
terselesainya skripsi ini.
Untuk ribuan tujuan yang harus dicapai, untuk jutaan impian yang akan
dikejar, untuk sebuah pengharapan, agar hidup jauh lebih bermakna, hidup tanpa
mimpi ibarat arus sungai. Mengalir tanpa tujuan. Teruslah belajar, berusaha, dan
berdoa untuk menggapainya. Jatuh berdiri lagi. Kalah mencoba lagi. Gagal
Bangkit lagi. Never give up!
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT, atas
segala limpahan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat diberikan
kemudahan dalam penyelesaian skripsi ini. Sholawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para
pengikut setianya.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh
gelar kesarjanaan dalam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan di Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M. Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
(FTIK), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
(PAI), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK), Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga.
4. Bapak Drs. A. Bahrudin, M. Ag., selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah dengan ikhlas mencurahkan pikiran, tenaga serta pengorbanan waktunya
dalam upaya membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
ix
5. Para dosen pengajar di lingkungan IAIN Salatiga, yang telah membekali
pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Keluarga besar penulis, atas segala motivasi, dukungan dan doa restu kepada
penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
7. Berbagai pihak yang secara langsung dan tidak langsung yang telah
membantu baik moral maupu materil dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Harapan penulis, semoga amal baik dari beliau mendapatkan balasan yang
setimpal dan mendapatkan ridho Allah SWT.
Akhirnya dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya
dan para pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Salatiga, 9 Maret 2017
Penulis
Putik Nur Rohmawati
NIM. 111-12-223
x
ABSTRAK
Rohmawati, Putik Nur. 2017. Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Ayyuha alWalad karya Imam Al-Ghazali. Jurusan Pendidikan Agama Islam
(PAI), Fakultas Tarbiyah dan ilmu keguruan (FTIK), Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Drs. A. Bahrudin, M.
Ag.
Kata Kunci: Konsep dan Pendidikan Akhlak
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui konsep pendidikan
akhlak dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Al-Ghazali. Pertanyaan yang
ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana konsep pendidikan
akhlak menurut Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad?, (2) Bagaimana
relevansi konsep pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali dalam dunia pendidikan?
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library research), maka data
yang diperoleh bersumber dari literatur. Adapun referensi yang menjadi sumber
data primer yaitu dari kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Al-Ghazali.
Konsep pendidikan anak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya
Ayyuha al-Walad berpangkal pada empat hal, yaitu: (1) Tujuan pendidikan
menurut Al-Ghazali adalah menghilangkan sifat-sifat atau akhlak buruk.
Sehingga, tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah menanamkan akhlak
yang baik pada anak didik. (2) Syarat agar seorang syaikh dapat menjadi wakil
Rasulullah SAW ia haruslah seorang yang alim, meski tidak semua orang yang
alim dapat menjadi khalifahnya. Aku akan menjelaskan kepadamu sebagaimana
persyaratan syaikh agar tidak semua orang dapat mendakwakan dirinya seorang
mursyid. (3) Inti ilmu adalah pengetahuan yang membuat seseorang faham akan
makna ketaatan dan ibadah. Sebab ketaatan dan ibadah dalam rangka
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya harus mengikuti syari’ah.
(4) Metode yang digunakan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad
adalah dengan metode keteladanan, metode cerita atau kisah, metode pembiasaan.
Pemikiran Al-Ghazali tentang konsep pendidikan akhlak sampai saat ini tetap
relevan terbukti dengan banyaknya pendidik yang masih menggunakan konsep
beliau. Hanya saja berbeda dalam penyajian pemikiran dan kasus yang dihadapi.
Seperti halnya Imam Al-Ghazali dalam mendidik sesuai dengan zaman anak
tersebut dan tidak bersifat yang mutlak. Dari ini pendidikan akhlak bersifat
dinamis dan dapat diimplikasikan nilai-nilai dari konsep pendidikan akhlak
tersebut pada zaman kekinian dan masih relevan.
xi
DAFTAR ISI
SAMPUL ................................................................................................................. i
LEMBAR BERLOGO ............................................................................................ ii
JUDUL ................................................................................................................... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... iv
PENGESAHAN KELULUSAN ..............................................................................v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................................. vi
MOTTO ................................................................................................................ vii
PERSEMBAHAN ................................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
ABSTRAK ............................................................................................................. xi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah .....................................................................................1
B. Rumusan masalah .............................................................................................7
C. Tujuan penelitian ..............................................................................................8
D. Kegunaan penelitian ..........................................................................................8
E. Metode penelitian ..............................................................................................9
F. Penegasan istilah .............................................................................................12
G. Sistematika penelitian .....................................................................................15
xii
BAB II KEHIDUPAN ABU HAMID MUHAMMAD BIN MUHAMMAD BIN
AHMAD AL-GHAZALI
A. Biografi Al-Ghazali ........................................................................................16
B. Peran Al-Ghazali dalam masyarakat ...............................................................20
C. Karya-karya Al-Ghazali ..................................................................................24
1. Kelompok filsafat dan ilmu kalam ...........................................................25
2. Kelompok ilmu fiqih dan ushul fiqih .......................................................26
3. Kelompok ilmu tasawwuf ........................................................................26
4. Kelompok ilmu tafsir ...............................................................................27
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG
PENDIDIKAN AKHLAK
A. Pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali ....................................................28
1. Tujuan pendidikan ...................................................................................29
a. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu
pengetahuan itu saja ..........................................................................29
b. Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak ....................30
c. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat30
2. Pendidik ...................................................................................................32
a. Profesi pendidik menurut Al-Ghazali ...............................................32
1) Alasan yang berhubungan dengan sifat naluriah .......................32
2) Alasan yang berhubungan dengan kemanfaatan umum ............33
3) Alasan yang berhubungan dengan yang dikerjakan ..................34
b. Gaji pengajar (guru) menurut Al-Ghazali .........................................35
xiii
c. Persyaratan kepribadian pendidik menurut Al-Ghazali ....................35
d. Tugas dan kewajiban pendidik menurut Al-Ghazali ........................36
1) Mengikuti jejak Rasulullah ........................................................37
2) Memberikan kasih sayang terhadap anak didik .........................37
3) Menjadi teladan bagi anak didik ................................................37
4) Menghormati kode etik guru .....................................................37
3. Anak didik ................................................................................................38
a. Fitrah menurut Al-Ghazali ................................................................38
b. Perkembangan anak didik menurut Al-Ghazali ................................39
c. Etika anak didik terhadap pendidik menurut Al-Ghazali .................40
d. Tugas dan kewajiban para pelajar .....................................................41
1) Mendahului kesucian jiwa .........................................................42
2) Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan ................42
3) Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya ......42
4) Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan ................................43
B. Pengetian akhlak menurut Imam Al-Ghazali ..................................................43
1. Akhlak yang baik .....................................................................................45
2. Akhlak yang buruk ...................................................................................47
C. Pemikiran Imam Al Ghazali tentang pendidikan akhlak ................................48
BAB IV PEMBAHASAN
A. Konsep pendidikan akhlak dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam AlGhazali ............................................................................................................55
1. Latar belakang penulisan kitab Ayyuha al-Walad ...................................55
xiv
2. Pemikiran Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad ..............................58
a. Tujuan pendidikan ............................................................................58
b. Subjek pendidikan.............................................................................61
1) Guru: tugas dan persyaratan ......................................................61
2) Sikap murid terhadap syaikhnya ................................................63
c. Materi pendidikan .............................................................................64
1) Ilmu ............................................................................................65
2) Tasawwuf ...................................................................................68
3) Ubudiyah dan tawakal, ikhlas dan riya’ ....................................69
4) Delapan nasehat Al-Ghazali ......................................................71
d. Metode pendidikan ...........................................................................77
1) Metode keteladanan ...................................................................78
2) Metode cerita atau kisah ............................................................79
3) Metode pembiasaan ...................................................................80
B. Relevansi Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Ayyuha al-Walad dengan
Pendidikan di Indonesia ..................................................................................81
1. Aspek tujuan pendidikan akhlak ..............................................................82
2. Aspek subjek pendidikan akhlak .............................................................86
3. Aspek materi pendidikan akhlak ..............................................................88
4. Aspek metode pendidikan akhlak ............................................................89
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .....................................................................................................94
B. Saran-saran ......................................................................................................95
xv
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lamp. 1 : Lembar Konsultasi Skripsi
Lamp. 2 : Surat Penunjukan Pembimbing
Lamp. 3 : Daftar Nilai SKK
Lamp. 4 : Riwayat Hidup Penulis
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama rahmah lil al-‘alaamin sangat mewajibkan
manusia untuk selalu belajar. Bahkan, Allah SWT mengawali menurunkan
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia dengan ayat yang memerintahkan
rasul-Nya, Muhammad SAW untuk membaca dan membaca (iqra’). Iqra’
merupakan salah satu perwujudan dari aktivitas belajar. Dan dalam arti yang
luas, dengan iqra’ pula manusia dapat mengembangkan pengetahuan dan
memperbaiki kehidupan. Betapa pentingnya belajar, karena itu Allah SWT
berfirman dalam Q.S. Al-Mujadalah/58: 11
          
             
       
Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
Berlapang-lapanglah dalam majlis, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: Berdirilah kamu,
Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
(Depag, 2004: 544).
Menurut Poerwadarminta (1991: 916), pendidikan dalam arti bahasa
dapat diartikan sebagai perbuatan (hal, cara, dan sebagainya) mendidik; dan
berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan (latihan-latihan
dan sebagainya) badan, batin, dan sebagainya. Pada hakikatnya pendidikan
dapat dibedakan menjadi dua bagian: yang pertama yaitu pendidikan formal
1
2
yang melibatkan guru, murid, dan kurikulum. Sedangkan yang kedua yaitu
pendidikan nonformal yang melibatkan pendidikan di luar kelas yang mana
pendidikan dapat didapatkan dari banyak hal, bisa melalui lingkungan, tempat
berbeda dan hal-hal benda mati seperti buku, koran dan sebagainya.
Sedangkan pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003 pendidikan
adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan secara sederhana diartikan
sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilainilai di dalam masyarakat dan kebudayaan (Hasbullah, 2009: 1).
Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha memanusiakan
manusia.
Artinya,
dengan
pendidikan
manusia
diharapkan
mampu
menemukan dirinya dari mana berasal, hadir di dunia ini untuk apa dan
setelah kehidupan ini akan ke mana, sehingga ia menjadi lebih manusiawi,
baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak.
Pendidikan Islam pada intinya adalah wahana pembentukan manusia
yang bermoralitas tinggi. Di dalam ajaran Islam, moral atau akhlak tidak
dapat dipisahkan dari keimanan. Keimanan merupakan pengakuan hati.
Akhlak adalah pantulan iman yang berupa perilaku, ucapan, dan sikap atau
dengan kata lain akhlak adalah amal saleh. Iman adalah maknawi (abstrak)
sedangkan akhlak adalah bukti keimanan dalam bentuk perbuatan yang
3
dilakukan dengan kesadaran dan karena Allah semata (Muhammad, 2003:
24).
Hakikat pendidikan akhlak adalah menumbuhkembangkan sikap
manusia agar menjadi lebih sempurna secara moral sehingga hidupnya selalu
terbuka bagi kebaikan dan tertutup dari segala macam keburukan dan
menjadikan manusia yang berakhlak. Hal ini dikarenakan manusia dibekali
akal pikiran untuk bisa membedakan antara yang hak dan yang bathil (AlMansur, 2000: 165).
Pendidikan akhlak menduduki posisi yang sangat penting dalam
percaturan pendidikan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat daripada tujuan
pendidikan
dalam
perundang-undangan
tentang
pendidikan
yaitu
mewujudkan manusia yang berkarakter dan berakhlak mulia. Apabila
pendidikan akhlak tidak dianggap penting atau hanya sekedar sebagai
pengetahuan saja makan akan luar biasa sekali dampaknya.
Fenomena-fenomena kemerosotan moral di negara yang mayoritas
penduduknya muslim sangat nampak jelas, indikator-indikator itu dapat kita
amati dalam kehidupan sehari-hari seperti pergaulan bebas yang bahkan
berujung pada free sex, tindak kriminal dan kejahatan yang meningkat,
kekerasan, penganiayaan, pembunuhan, korupsi, manipulasi, penipuan, serta
perilaku-perilaku tidak terpuji lainnya, sehingga sifat-sifat terpuji seperti
rendah hati, toleransi, kejujuran, kesetiaan, kepedulian, saling bantu,
kepekaan sosial, tenggang rasa yang merupakan jati diri bangsa sejak
berabad-abad lamanya seolah menjadi barang mahal (Juwariyah, 2010: 13).
4
Penyimpangan akhlak yang terjadi pada kebanyakan manusia itu
disebabkan karena lemahnya iman seseorang, lingkungan yang buruk, serta
gencarnya media sehingga akses apapun dapat lebih mudah diterima oleh
masyarakat dan bahkan tanpa ada penyaringan mana yang baik dan mana
yang buruk. Selain itu juga, mereka tumbuh dan berkembang dalam atmosfir
tarbiyah dan pendidikan yang buruk. Maka dari sini betapa butuhnya kita
kepada sebuah pendidikan yang mampu membawa kita dan anak cucu kita ke
puncak ketinggian akhlak yang menebarkan kebahagiaan dan ketentraman.
Ironisnya perhatian dari dunia pendidikan nasional terhadap akhlak
atau budi pekerti dapat dikatankan masih sangat kurang, lantaran orientasi
pendidikan kita masih cenderung mengutamakan dimensi pengetahuan.
Mayoritas praktisi pendidikan masih berasumsi bahwa jika aspek kognitif
telah dikembangkan secara benar maka aspek afektif dengan sendirinya akan
ikut berkembang secara positif, padahal asumsi itu merupakan kekeliruan
besar (Juwariyah, 2010: 14). Hal itu dikarenakan pengembangan efektif pada
sistem pendidikan sangat memerlukan kondisi yang kondusif. Itu berarti
akhlak dan budi pekerti perlu dibuat secara sungguh-sungguh, karena
pendidikan yang tidak dirancang secara baik hanya akan membawa hasil yang
mengecewakan sehingga harus ada porsi seimbang dalam pengembangan
kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.
Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum
dapat dilihat dari output-nya, yakni orang-orang sebagai produk pendidikan.
Bila pendidikan menghasilkan orang-orang yang dapat bertanggung jawab
5
atas tugas-tugas kemanusiaan dan tugas-tugas ketuhanan, bertindak lebih
bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain, pendidikan tersebut
dapat dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila output-nya adalah orang-orang
yang tidak mampu melaksanakan tugas hidupnya, pendidikan tersebut
mengalami kegagalan (Ibnu, 2009: 123).
Manusia dibekali akal pikiran yang berguna untuk membedakan antara
yang haq dan yang batil, baik-buruk dan hitam-putihnya dunia (Al-Mansur,
2000: 165). Selamat dan tidaknya manusia, tenang dan resahnya manusia
tergantung pada akhlaknya. Dengan akhlak pulalah, manusia secara pribadi
maupun kelompok dapat mengantarkan fungsinya sebagai hamba Allah dan
khalifah di muka bumi untuk membangun dunia ini dengan konsep yang
ditetapkan Allah SWT (Shihab, 1994: 152).
Akhlak merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengoptimalkan
sumber data potensi untuk mencapai kesejahteraan manusia baik di dunia
maupun di akhirat. Oleh karena itu, bagaimana manusia dalam menggunakan
sumber daya potensi yang tersedia untuk meningkatkan kehidupan lebih baik.
Karenanya diperlukan alat yang digunakan untuk menganalisis sekaligus
membuktikan konsep Al-Qur’an dan Hadits yang secara langsung maupun
tidak langsung bersentuhan dengan masalah akhlak.
Akhlak sangat berkaitan dengan kebiasaan, maka pihak orang tua
harus ber-akhlakul karimah sebagai teladan bagi anak-anak. Menurut AlGhazali, apabila anak-anak dididik dan dibiasakan pada kebaikan, maka anak
akan tumbuh pada kebaikan itu. Dan apabila dibiasakan untuk berbuat
6
keburukan, maka ia pun akan tumbuh sebagaimana yang diberikan dan
dibiasakan kepadanya. Memelihara anak yang baik adalah dengan mendidik
dan mengajarkan akhlak yang mulia kepadanya.
Mengingat pentingnya akhlak manusia tersebut, tentu saja tidak
meninggalkan jasa para pemikir pendidikan Islam yang tidak diragukan lagi
pengaruhnya dalam kemajuan Islam. Dalam pendidikan Islam terdapat
seorang tokoh yang tidak asing lagi yaitu Hujjatul Islam Abu Hamid bin
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali yang sering disebut dengan AlGhazali, sebuah nama yang tidak asing lagi baik di kalangan ulama maupun
orang awam. Buah fikiranya banyak mempengaruhi para ahli, baik di timur
maupun di barat. Beliau adalah salah satu ulama yang cerdas dan banyak
menarik perhatian para pengkaji ilmiah di zaman dahulu maupun sekarang,
baik dari umat Islam sendiri maupun para orientalis. Imam Al-Ghazali
memang sangat luas pengetahuannya dan banyak berjasa bagi kemajuan
agama Islam, beliau sangat berperan penting untuk mensikapi dan
menindaklanjuti berbagai macam persoalan, baik mengenai pendidikan,
syari’at, akhlak dan lain sebagainya.
Misalnya saja ketika memberikan jawaban kepada seorang siswa yang
sudah mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan, tetapi masih
mengalami kebingungan untuk memenuhi sesuatu yang menjadi bekal di
akhirat kelak, kemudian Imam Al-Ghazali menulis sebuah kitab yang diberi
nama Ayyuha al-Walad yang berisi tentang nasehat kepada para pelajar untuk
7
mengetahui dan membedakan antara ilmu yang bermanfaat dan yang tidak
bermanfaat.
Terhadap bidang pengajaran dan pendidikan, Al-Ghazali telah banyak
mencurahkan perhatiannya. Yang mendasari pemikirannya tentang kedua
bidang ini ialah analisinya terhadap manusia. Menurut Al-Ghazali, manusia
dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara
sekian banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena pengajaran dan
pendidikan, karena ilmu dan amalnya.
Dari uraian di atas, penulis ingin lebih jauh mengkaji tentang nilai
pendidikan akhlak pada pemikiran Imam Al-Ghazali melalui sebagian karyakaryanya yang cukup fundamental yaitu kitab Ayyuha al-Walad yang di
dalamnya terdapat beberapa uraian tentang pendidikan. Untuk itu, maka
penulis mencoba untuk menyusun sebuah skripsi yang berjudul: KONSEP
PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB AYYUHA AL-WALAD KARYA
IMAM AL-GHAZALI, dengan harapan semoga dapat memberikan kontribusi
dan manfaat terutama bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis pada beberapa pokok bahasan.
Diantaranya:
1. Bagaimana konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali dalam
kitab Ayyuha al-Walad?
2. Bagaimana relevansi konsep pendidikan akhlak menurut Imam AlGhazali dalam dunia pendidikan?
8
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali
dalam kitab Ayyuha al-Walad.
2. Untuk mengetahui relevansi konsep pendidikan akhlak menurut Imam
Al-Ghazali dalam dunia pendidikan.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua bagian,
yaitu:
1.
Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara
teoritis, berupa pengetahuan tentang nilai pendidikan yang terkandung
dalam karya Imam Al-Ghazali serta bermanfaat sebagai kontribusi
pemikiran bagi dunia pendidikan khususnya dunia pendidikan Islam.
2.
Kegunaan Praktis
a. Bagi Penulis
Menambah wawasan dan pemahaman penulis mengenai konsep
pendidikan untuk selanjutnya dijadikan sebagai pedoman dalam
aktifitas sehari-hari.
b. Bagi Lembaga Pendidikan
1)
Dapat menjadi masukan yang membangun guna meningkatkan
kualitas lembaga pendidikan terutama pendidikan Islam,
termasuk para pendidik yang ada di dalamnya dan penentu
9
kebijakan dalam lembaga pendidikan serta pemerintah secara
umum.
2)
Sebagai bahan pertimbangan untuk diterapkan dalam dunia
pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan yang ada di
Indonesia terutama pendidikan Islam (seperti Madrasah
Diniyah,
Pondok
Pesantren),
sebagai
solusi
terhadap
permasalahan pendidikan yang ada.
3)
Bagi Ilmu Pengetahuan
a) Menambah khazanah mengenai konsep pendidikan yang
terdapat
dalam
mengetahui
kitab
betapa
Ayyuha
pentingnya
al-Walad
sehingga
pendidikan
dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian seorang mukallaf
akan
berusaha
memperbaiki
diri
agar
semakin
meningkatkan mutu kualitas diri menjadi yang lebih baik
di hadapan Allah dan di hadapan manusia.
b) Sebagai bahan referensi dalam ilmu pendidikan terutama
ilmu pendidikan Islam, sehingga dapat memperkaya dan
menambah wawasan di bidang tersebut khusunya dan
bidang ilmu pengetahuan yang lain pada umumnya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian
kepustakaan (library research), karena semua digali adalah bersumber
10
dari pustaka. Dan yang dijadikan obyek kajian adalah hasil karya tulis
yang merupakan hasil dari pemikiran (Hadi, 1990: 3).
2. Sumber Data
Sumber data yang dijadikan bahan-bahan dalam kajian ini
merupakan sumber data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan
yang dikatagorikan sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
research), maka data yang diperoleh bersumber dari literatur.
Adapun referensi yang menjadi sumber data primer yaitu data yang
diambil dari sumber utamanya. Data ini diambil dari Kitab Ayyuha
al-Walad karya Imam Al-Ghazali.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah dengan menggunakan metode
dokumentasi yaitu dengan mencari data yang berupa transkip, buku,
majalah, dokumentasi dan sebagainya (Arikunto, 1987: 34). Adapun
sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku atau
karya ilmiah lain yang isinya dapat melengkapi data penelitian yang
penulis teliti, misalnya: Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan
(Pustaka Pelajar, Yogyakarta), Seluk Beluk Pendidikan dari AlGhazali (Bumi Aksara, Jakarta), Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali
(PT Al-Ma’rif, Bandung) dan lain sebagainya.
11
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian
library research, sebagai sumber primer. Dengan demikian pengumpulan
data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi data terkait
variabel-variabel yang berupa catatan seperti buku-buku, majalah,
dokumen, peraturan-peraturan, notulen harian, catatan rapat, dan
sebagainya (Arikunto, 2010: 202).
4. Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penyusunan
skripsi ini adalah:
a. Deduktif
Metode
yang
digunakan
untuk
menjelaskan
konsep
pendidikan akhlak adalah metode deduktif sesuai dengan yang telah
dicanangkan pemerintah yaitu tentang pendidikan karakter. Yang
dimaksud metode deduktif adalah metode berfikir yang berdasarkan
pada pengetahuan umum dimana kita hendak menilai suatu kejadian
yang khusus (Hadi, 1987: 42).
b. Induktif
Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari
fakta-fakta peristiwa khusus dan konkret, kemudian ditarik
generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1987: 42).
Kemudian metode yang digunakan adalah metode induktif
guna mengkaji data yang telah didapat yang berkaitan dengan
12
konsep pendidikan akhlak yang dipaparkan oleh Imam Al-Ghazali
dalam kitab Ayyuha al-Walad dan dikaitkan dengan relevansi
kekinian.
F. Penegasan Istilah
Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbedabeda dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah di
dalam judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut:
1. Konsep
Konsep adalah ide abstrak dari peristiwa konkret yang dapat
digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau pengolongan yang pada
umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata (KBBI,
2007: 588).
2. Pendidikan
Pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu: “Paedagogike”. Ini
adalah kata majemuk yang terdiri dari kata “paes” yang berarti “anak”
dan kata “ago” yang mempunyai arti “aku membimbing” oleh sebab itu
paedagogike berarti aku membimbing anak. Sedangkan orang yang
memiliki pekerjaan membimbing anak dengan tujuan membawanya ke
tempat belajar disebut dengan paedagogis. Apabila kata ini diartikan
secara simbiolis, maka suatu perbuatan membimbing merupakan inti
dalam mendidik (Ahmadi, 1991: 79).
13
3. Akhlak
Akhlak secara etimologi adalah tabi’at/sistem perilaku yang
dibuat. Sedangkan di Indonesia kata akhlak mengandung konotasi yang
baik. Jadi dapat dikatakan orang yang berakhlak adalah orang baik.
Pengertian akhlak secara istilah adalah kelakuan yang timbul dari hati
nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu
membentuk kesatuan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup
keseharian. Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral yang terdapat pada
diri manusia sebagai fitrah sehingga ia mampu membedakan mana yang
baik dan mana tidak, karena yang cantik dan mana yang buruk (Darajat,
1996: 10).
Sedangkan Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai berikut:
“Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya
lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu
pemikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu darinya lahir perbuatan yang
baik dan terpuji, baik dari segi akal maupun syara’, maka ia disebut
akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan yang tercela,
maka sikap tersebut disebut akhlak buruk” (Ibnu, 2009: 99).
Jadi pendidikan akhlak adalah bimbingan secara sadar oleh
seseorang pendidikan terhadap perkembangan jiwa anak didik baik
jasmani maupun rohani sehingga memiliki perilaku yang baik dan terpuji
menurut akal maupun tutunan agama Islam serta bisa menjauhi dan
14
meninggalkan perilaku yang buruk menurut akal maupun tuntunan
agama Islam.
4. Al-Ghazali
Al-Ghazali yang dimaksud di sini adalah Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad at Tusi Al-Ghazali, beliau termasuk seorang pemikir
Islam, teolog, filsuf dan sufi termasyur. Ia dilahirkan di kota Gazalah,
sebuah kota kecil dekat Tus di Khurasan, yang pada waktu itu sebagai
salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. Beliau meninggal juga
di kota Tus setelah perjalanan mencari ilmu dan ketenangan batin,
kemudian nama Al-Ghazali dan At Tusi itu dinisbatkan kepada tempat
kelahirannya (Ensiklopedi Islam, 1994: 25).
5. Kitab Ayyuha al-Walad
Kitab Ayyuha al-Walad adalah kitab kecil berbahasa Arab dan
termasuk salah satu karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali. Di dalam
kitab ini dari segi isinya menggunakan metode mauziah atau pemberian
nasehat dengan memberikan arahan-arahan kepada anak meliputi teoriteori yang didasarkan pada al-Qur’an maupun Hadits juga dengan
menggunakan pemikiran-pemikiran Al-Ghazali itu sendiri dengan
pengalamannya sebagai seorang pendidik yang profesional.
Kitab ini muncul karena permintaan dari salah seorang siswa
zaman dahulu, yang meminta kepada Imam Al-Ghazali untuk menulis
kitab yang di dalamnya memuat ilmu yang membedakan antara ilmu
15
yang bermanfaat yang tidak bermanfaat bagi dirinya di dunia maupun di
akhirat.
G. Sistematika Penulisan
Guna
memperoleh
gambaran
yang
jelas,
mmenyeluruh
dan
mempermudah dalam memahami masalah-masalah yang akan dibahas, maka
penulis menyusun sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, menguraikan tentang: Latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian,
penegasan istilah, sistematika penelitian.
Bab II Kehidupan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad Al-Ghazali, menguraikan tentang: Biografi Al-Ghazali, peran AlGhazali dalam masyarakat, karya-karya Al-Ghazali.
Bab III Deskripsi pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan
akhlak, menguraikan tentang: Pendidikan menurut Imam Al-Ghazali, Akhlak
menurut Imam Al-Ghazali, Pandangan Imam Al-Ghazali tentang pendidikan
akhlak.
Bab IV Pembahasan konsep pendidikan akhlak dalam kitab Ayyuha
al-Walad serta relevansinya dalam pendidikan di Indonesia
Bab V Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
KEHIDUPAN ABU HAMID MUHAMMAD BIN MUHAMMAD BIN
AHMAD AL-GHAZALI
A. Biografi Al-Ghazali
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. Ia lahir di Ghazaleh, sebuah kota kecil di
Tus, wilayah Khurasan, pada 450 H (1059 M), dan wafat di Tabristan, sebuah
wilayah di Provinsi Tus pada 4 Jumadil Akhir tahun 505 H / 1 Desember
1111 M (Nata, 1997). Al-Ghazali memulai pendidikannya di tempat
kelahirannya Tus, dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya
ia pergi ke Nishafur dan Khurasan, dua kota yang dikenal sebagai pusat ilmu
pengetahuan terpenting di dunia Islam saat itu. Di kota Nishafur inilah Al
Ghazali berguru kepada Imam Al-Haramain Abi Al-Ma‟ali Al-Juwainy,
seorang ulama yang bermazhab Syafi‟i yang menjadi guru besar di Nishafur
(Nasution, 1978: 42).
Al-Ghazali adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar
“Pembela Islam” (Hujjatul Islam), “Hiasan Agama” (Zainuddin), “Samudra
yang menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan lain-lain. Masa mudanya
bertepatan dengan bermunculnya para cendekiawan, baik dari kalangan
bawah, menengah, sampai elit. Kehidupan saat itu menunjukkan kemakmuran
tanah airnya, keadilan para pemimpinnya, dan kebenaran para ulamanya.
Dunia tampak tegak di sana. Sarana kehidupan mudah didapatkan, masalah
pendidikan sangat diperhatikan, pendidikan dan biaya hidup para penuntut
ilmu ditanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat. Walaupun ayah
16
17
Al-Ghazali seorang buta huruf dan miskin, beliau memperhatikan masalah
pendidikan anaknya. Sesaat sebelum meninggal, ia berwasiat kepada seorang
sahabatnya yang sufi agar memberikan pendidikan kepada kedua anaknya,
Ahmad dan Al-Ghazali. Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh Al-Ghazali
untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Mula-mula ia belajar
agama sebagai pendidikan dasar kepada ustadz setempat yaitu Ahmad bin
Muhammad Razkafi. Kemudian Al-Ghazali pergi ke Jurjan dan menjadi
santri Abu Nasr Ismaili (Ibnu, 2009: 10).
Di antara mata pelajaran yang dipelajari Al-Ghazali di kota tersebut
adalah teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam.
Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan
pandangan ilmiahnya di kemudian hari. Hal ini antara lain terlihat dari karya
tulisnya yang dibuat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Di madrasah Al-Ghazali belajar ilmu fiqih kepada Ahmad bin
Muhammad Ar-Razikani dan belajar ilmu tasawuf kepada Yusuf Al-Nasaaj di
umur 20 tahun. Pada tahun 471 H, Al-Ghazali berangkat menuju Kota
Nishapur (Neisabur) karena tertarik dengan sekolah tinggi Nizhamiyyah
(Zainuddin, 1991: 7). Di sinilah beliau bertemu dengan dekannya yang
terkenal Abu Al-Ma‟ali Dhiyauddin Al-Juwaini, yang bergelar kehormatan
“Imam Al-Haramain” (Imam dari dua kota suci, Makkah dan Madinah).
Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa Al-Juwaini, guru Al-Ghazali merasa
cemburu atas kepintarannya.
18
Pada tahun 475 H dalam usia 25 tahun , Al-Ghazali mulai menjadi
dosen, dibawah pimpinan gurunya Imam Haramain. Jabatan dosen di
Universitas Nihamiyyah Nishapun mengangkat namanya begitu tinggi,
apalagi setelah beliau dipercaya oleh gurunya untuk menggantikan
kedudukannya, baik sebagai maha guru maupun sebagai pimpinan
Universitas.
Pada tahun 479 H/ 1085 M, Imam Al-Haramain meninggal dunia.
Untuk mengisi kekosongan itu maka tidak ada pilihan lain bagi perdana
menteri Nizham Al-Mulk untuk menggantikannya kecuali dengan AlGhazali. Dalam usia 28 tahun, Al-Ghazali telah dapat menggemparkan kaum
sarjana dan ulama pada masanya, sehingga perdana menteri Nizham Al-Mulk
sangat kagum padanya. Di Naisabur beliau mnghidupkan paham skeptisme
yang dianut oleh para sarjana Eropa pada masa berikutnya (Zainuddin, 1997:
8).
Sejak kecil Al-Ghazali dikenal sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan
tak pernah berhenti mencari kebenaran hakiki. Dalam sebuah karyanya AlGhazali mengatakan:
“Kehausan untuk mencari kebenaran adalah favoritku sejak kecil masa
mudaku yang menjadi naluri dan bakat yang dicampakan oleh Allah SWT.
Pada temperamenku, bukan merupakan usaha dan rekaan belaka” (AlGhazali, 2001: 107).
Pada tahun 484 H, Al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di
Universitas Nizamiyyah di Baghdad, Al-Ghazali sebagai benteng pertahanan
aqidah ahlussunah dari serangan paham Batiniyyah. Banyak mahasiswa yang
19
berdatangan untuk berguru kepadanya dari berbagai daerah. Hal inilah yang
semakin membuat nama besar Al-Ghazali bertambah tenar di zamannya,
hingga beliau mendapatkan gelar “Imam Irak” dari kholifah Al-Mustadzir
Billah. Kepercayaan yang diberikan kepadanya untuk menangkis ajaran kaum
Batiniyyah dan kaum Ismailiyyah yang sangat meresahkan. Akhirnya beliau
menyusun karya-karya tulis yang mengcounter aliran tersebut, diantaranya:
Al-Mustadzhir Wa Hujjah Al-Haq dan Al-Qisthas Al-Mustaqim (Jawaad,
2002: 116). Antusiasme itu juga ditunjukkan oleh besarnya animo masyarakat
dan
para
ulama
dalam
mengikuti
perkembangan
pemikiran
dan
pandangannya.
Demikianlah Al-Ghazali menjadi publik figur otoritatif dalam
menolak pendapat keyakinan para penentangnya. Beliau juga telah banyak
menelan seluruh paham dan ajaran firqoh, taifah dan filsafat. Semua itu
kemudian meninggalkan pergolakan dalam batinnya sendiri, karena tidak ada
yang dapat memuaskan batinnya, ia ragu akan kesanggupan akal untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT, terlebih untuk mengetahui hakikatNya. Lebih lanjut A. Hanafi mengisahkan:
“Dan selama itu beliau tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan
pekerjaannya, sehingga akhirnya menderita penyakit yang tidak bisa
disembuhkan dengan obat lahiriyah. Pekerjaan itu kemudian ditinggalkannya
pada tahun 488 H, untuk menuju Damsyik dan di kota ini beliau merenung,
membaca dan menulis selama kurang lebih dua tahun, dengan tasawuf
sebagai jalan hidupnya (Hanafi, 1976: 198).
Setelah
berpuluh-puluh
tahun
mengabdikan
diri
pada
ilmu
pengetahuan dan tercapai cita-citanya untuk memperoleh kebenaran hakiki,
20
beliau wafat di Thusia pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/ 19 Desember
1111 M dihadapan adiknya, Abu Ahmad Mujiduddin. Al-Ghazali
meninggalkan 3 orang anak perempuan, sedangkan Hamid anak laki-lakinya
meninggal sewaktu kecil mendahului Al-Ghazali. Karena itulah beliau diberi
gelar “Abu Hamid” /Bapak si Hamid (Zainuddin, 1991: 10).
B. Peran Al-Ghazali dalam masyarakat.
Abu Hamid Al-Ghazali hidup pada masa Nizamul Mulk, seorang
wazir besar dari kalangan Bani Saljuk, pada waktu itu Wazir telah berhasil
mendirikan sekolah-sekolah tinggi yang disediakan untuk memperdalam
penyelidikan tentang agama dan perkembangannya. Ini membuktikan bahwa
kondisi pendidikan pada masanya mengalami kemajuan (Hamka, 1993: 120).
Abad ke 5 merupakan masa terjadinya konflik antara kelompokkelompok beragama dalam Islam, seperti halnya Mu‟tazilah, Syi‟ah, Asy
„ariyah, Hanafiyah, Hambaliyah, dan Syafi‟iyah. Wazir Saljuk sebelum
Nizham Al Mulk yaitu Al Kunduri salah seorang yang menganut madzhab
Hanafi dan pendukung Mu‟tazilah, termasuk dari kebijakannya sebagai wazir
adalah mengusir dan menganiaya para penganut Asy‟ariyah yang sering kali
juga berarti penganut mazhab Syafi‟i. Al Kunduri selanjutnya digantikan
posisinya sebagai wazir oleh Nizham Al Mulk, salah seorang yang menganut
mazhab Syafi‟i Asy‟ariyah, oleh karena itu secara alamiah ia berhadapan
dengan kelompok yang bermazhab Mu‟tazilah, Hambaliyah dan Hanafiyah.
Tidak ada bukti bahwa Nizham Al Mulk membalik kebijakan setelahnya
dengan melancarkan penganiayaan kelompok tertentu seperti kelakuan wazir
21
sebelumnya. Tetapi Nizham Al Mulk sebagai seorang Syafi‟iyah, seluruh
sekolahan yang ia bangun diperuntukkan secara khusus bagi penganut
mazhab yang sama. Jelas bahwa hal ini posisi mazhab Syafi‟iyah Asy‟ariyah
menjadi semakin kuat dan secara tidak langsung melemahkan. Walaupun para
pengkaji yang dahulu menyimpulkan bahwa pembangunan sekolah atau
madrasah oleh Nizham Al Mulk guna menghancurkan mazhab-mazhab lain
terutama Mu‟tazilah dan Syi‟ah. Hal ini tidak didasari alasan dan bukti yang
kuat. Bahwa dirinya menginginkan kuatnya posisi Syafi‟iyah Asy‟ariyah
yang sebelumnya dianiaya, tetapi hal ini tidak berarti Nizham Al Mulk
menghancurkan yang lain. Jadi pada dasarnya, percekcokan kelompok inilah
yang melatarbelakangi usahanya lewat pembangunan sekolah, guna
memperbaiki keadaan kelompok yang bermazhab Syafi‟iyah Asy‟ariyah guna
mencapai stabilitas yang diinginkan dengan jalan pendidikan (Asari, 1994:
51-52).
Melihat hal tersebut penulis mengambil kesimpulan ungkapan bahwa
Imam Al-Ghazali hidup pada masa yang didalamnya telah dikuasai oleh
pemimpin yang tidak mengambil tindakan kekerasan pada pemerintahannya.
Tetapi seorang pemimpisn yang bernama Nizham Al-Mulk lebih menyukai
jalan pendidikan dalam usahanya untuk memenangkan pertikaian antar
kelompok beragama. Di masa Imam Al-Ghazali adalah masa yang telah
berkembang lembaga-lembaga pendidikan walaupun di dalamnya terdapat
berbagai perselisihan.
22
Sesuatu hal yang wajar dan menjadi kebiasaan umat manusia
sepanjang sejarah, bahwa seorang pemikir yang kontroversial adalah dikutuk
dan dipuja. Demikian pula Al-Ghazali, ia adalah seorang tokoh dan pemikir
dalam berbagai disiplin (universalist) yang terkenang sepanjang masa, banyak
yang memuja dan banyak yang pula yang mencerca, banyak kawan yang
sepaham dan banyak pula lawan yang menentang, diagungkan dan dicaci
maki, dibela dan dibenci.
Menurut pengkajian Abul A‟la Al-Maududi, ada delapan segi amaliah
pembaharuan yang dilakukan Al-Ghazali pada masa hidupnya, yaitu:
1. Pengkajian filsafat Yunani dengan cara yang mendalam dan teliti lalu
mengemukakan kritik yang tajam, yang kemudian dimasukkannya ke
dalam hati dan jiwa kaum muslimin.
2. Meluruskan kekeliruan yang terjadi akibat upaya perbaikan yang
dilakukan oleh ulama mutakallimin yang kurang menguasai logika.
3. Menjelaskan akidah-akidah Islami dan prinsip-prinsipnya melalui logika
yang tidak bertentangan dengan filsafat dan ilmu logika yang berkembang
saat itu. Al-Ghazali juga berusaha menjelaskan berbagai hikamah dan
rahasia syari‟at dan ibadat dalam rangka meluruskan pandangan
masyarakat, yang selama ini diracuni suatu keyakinan bahwa agama
mereka sudah tidak sesuai lagi dengan akal.
4. Menentang semua aliran keagamaan yang ada pada masanya, serta
berusaha mempertemukan segi-segi perbedaan mereka.
23
5. Memperbarui
pemahaman
keagamaan
umat
dan
menyatakan
ketidakbergunaan keimanan seseorang yang tidak disertai dengan
komitmen batin, mengikis habis taklid buta di kalangan mereka dan
berusaha mendorong umat agar kembali kepada Al-Qur‟an dan Sunnah
yang bersih serta menghidupkan kembali semangat ijtihad.
6. Melakukan kritik terhadap sistem pendidikan dan pengajaran yang telah
usang, menggatikannya sistem baru. Dalam sistem pendidikan dan
pengajaran lama itu terdapat dua kelemahan:
a. Polarisasi ilmu agama dan ilmu umum yang tidak mustahil akan
menyebabkan umat akan menerapkan sekularisasi, pandangan
dikotomi semacam ini menurut Al-Ghazali jelas amat keliru.
b. Masuknya berbgai hal yang diatas memiliki ilmu syari‟at yang pada
hakikatnya tidak memiliki kaitan apapun dengan syari‟at, yang bisa
mengakibatkan munculnya pemahaman keagamaan dalam masyarakat
yang menjurus pada kesesatan.
7. Mengkaji moral umat dengan pengkjian yang mendalam, Al-Ghazali
memang memiliki kesempatan yang amat luas untuk mengungkapkan
kehidupan ulama, tokoh-tokoh agama, umara, pangeran-pangeran dan
orang awam.
8. Mengkritik sistem pemerintahan dengan bebas dan berani serta
mengimbau
perlunya
perbaikan-perbaikan,
lalu
menyebarluaskan
semangat kebangkitan di kalangan umat, agar mereka tidak takut terhadap
kesewenag-wenangan yang dilakukan terhadap mereka serta mendorong
24
agar mereka mengemukakan pendapat-pendapatnya tanpa disertai rasa
takut dan khawatir (Zainuddin, 1991: 15-16).
Adapun gelar “Hujjatul Islam” dari dunia Islam kepada Al-Ghazali,
dapat diartikan bahwa umat Islam umumnya mengakui bahwa amal dan
ilmu Al-Ghazali selama hidupnya merupakan suatu hujjah, pembelaan
yang berhasil menentang anasir luar yang membahayakan kepercayaan
umat Islam. Dalam hal ini Hasbullah Bakry menyebutkan dua macam
serangan, yaitu: Pertama, serangan dari dunia filsafat yang telah
menjadikan ilmu tentang ketuhanan itu berupa pengetahuan yang akali
semata-mata dan mereka memberikan gambaran tentang ketuhanan umat
Islam umumnya. Kedua, Al-Ghazali dianggap telah berhasil memberikan
tuntunan
yang
sesuai
dengan
syari‟at
agama
Islam
terhadap
perkembangan mistik (tasauf) dan kebatinan (batiniyah)yang keterlaluan
dan membahayakan amal syari‟at Islam (Zainuddin, 1991: 16).
C. Karya-karya Al-Ghazali
Buku-buku karangannya itu pada umumnya berisikan kritikan dan
komentar terhadap pemikiran filsafat terdahulu. Tulisan-tulisannya diberikan
kepada gurunya untuk dibaca dan mendapat tanggapan positif, bahkan pujian
dari gurunya. Bukunya kemudian berhasil menarik perhatian daripada
orientalis dan diterjemahkan keberbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia
(Ensiklopedi Islam, 1994: 25).
Karya-karya ilmiah Al-Ghazali tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:
25
1. Kelompok filsafat dan ilmu kalam, yang meliputi:
a. Maqhasid Al-Falasifah (Tujuan Para Filosuf)
b. Tahafut Al-Falasifah (Keracunan Para Filosuf)
c. Al-Iqtishad Fil I‟tiqod (Moderasi dalam Aqidah)
d. Al-Munqiz Min Al-Dlalal (Pembebasan dari Kesesatan)
e. Al-Maqshidul Fii Ma‟ani ismillah Al-Husna (Arti Nama-Nama
Tuhan Allah yang Indah)
f. Faishalut Tafriqoh Bainal Islam Waz Zindiqoh (Perbedaan antara
Islam dan Zindiq)
g. Al-Qisthas Al-Mustaqim (Timbangan yang Benar)
h. Al-Mustazhiri (Penjelasan-Penjelasan)
i. Hijjatul Haq (Argumen yang Benar)
j. Mufasshal Al-Khilaf Fii Ushuluddin (Memisahkan Perselisihan
dalam Ushuluddin)
k. Al-Muntahalu Fil „Ilmi Al-Jidal (Tata Cara dalam Ilmu Diskusi)
l. Al-Madhum bin „Ala Ghairi Ahlihi (Pesangkaan oleh Orang yang
Bukan Ahlinya)
m. Mahkun Nadhar (Metodologi Logika)
n. Asraar „Ilmiddin (Rahasia Ilmu Agama)
o. Al-Arbain fii Al-Ushuluddin (40 Masalah Ushuluddin)
p. Ijamul Awwam „An Ilmi al-Kalam (Menghindarkan Orang Awam
dari Ilmu Kalam)
26
q. Al-Qulul Jamil Firraddi „Ala Man Gayaral Injil (Jawaban yang
Tepat untuk Orang yang Mengubah Injil)
r. Mi‟yarul „Ilmi (Timbangan Ilmu)
s. Al-Intishar (Rahasia-Rahasia Alam)
t. Isbatun Al-Nadhar (Pemantapan Logika)
2. Kelompok ilmu fiqih dan ushul fiqih, yang meliputi:
a. Al-Basrih (Pembahasan yang Mendalam)
b. Al-Wasit (Perantara)
c. Al-Wajiz (Surat-Surat Wasiat)
d. Khulasatul Mukhtasar (Intisari Ringkasan Karangan)
e. Al-Mustasfa (Pilihan)
f. Al-Mankul (Adat Kebiasaan)
g. Syifakhul „Alifi Fii Qiyas Wattahlil (Penyembuhan yang Baik
dalam Kias Tahlil)
h. Al-Dzari‟ah Ila Makarimis Syari‟ah (Jalan kepada Kemuliaan
Syari‟ah )
3. Kelompok ilmu tasawwuf, yang meliputi:
a. Ihya‟ Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama)
b. Mizanul Amal (Timbangan Amal)
c. Kimiyaus Sa‟adah (Kimia Kebahagiaan)
d. Misykatul Anwar (Pedoman Beribadah)
e. Al-Dararul
Fakhiral
Fii
Penyingkap Ilmu Akhirat)
Kasfi
„Ulumil
Akhirah
(Mutiara
27
f. Al-„Ainis Fil Wahdah (Lembut-lembut dalam kesatuan)
g. Al-Qurbah Ilallahi Azza Wajallah (Mendekatkan Diri pada Allah)
h. Akhlak Al-Abrar Wanajjat Minal Asrar (Akhlak yang Luhur dan
Penyelamat dari Keburukan)
i. Al-Mabadi Wagayyah (Pemula dan Tujuan)
j. Nashihat Al-Mulk (Nasihat untuk Raja-Raja)
k. Al-„Ulum Al-Ladoniyyah (Ilmu-Ilmu Laduni)
l. Ar-Risalah Al-Qudsiyyah (Risalah Suci)
m. Al-Ma‟khadz (Tempat Pengambilan)
n. Al-Amali (Kemuliaan)
o. Ayyuha Al-Walad (Wahai Anakku)
4. Kelompok ilmu tafsir, yang meliputi:
a. Yaaqut Ta‟wil Fii tafsirit Tanzil (Metodologi Ta‟wil di dalam
Tafsir yang Diturunkan)
b. Jawaehir Al-Qur‟an (Mutiara-Mutiara Al-Qur‟an atau Rahasia
yang Terkandung dalam Al-Qur‟an)
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG
PENDIDIKAN AKHLAK
A. Pengertian pendidikan menurut Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali adalah tokoh yang sangat memperhatikan bidang
pendidikan. Menurut Al-Ghazali, pendidikanlah yang banyak membentuk
corak kehidupan suatu bangsa. Menurut al-Tibawi, pemikiran pendidikan AlGhazali ini paling baik, sistematis, dan komprehensif dibandingkan dengan
tokoh-tokoh yang lain. Hal ini disebabkan Al-Ghazali adalah seorang guru
besar yang juga sekaligus pemikir besar.
Pokok-pokok pemikiran Al-Ghazali terdapat dalam bukunya Ihya
Ulumuddin dan Ayyuha al-Walad. Kedua buku ini ditulisnya setelah dia
melewati perjalanan panjang intelektualnya. Kunci pokok pemikiran AlGhazali dapat ditemukan pada pertanyaan tentang hakikat pendidikan, yakni
mengedepankan kesucian jiwa dari akhlak yang hina dan sifat-sifat tercela,
karena ilmu merupakan ibadahnya hati, shalat yang bersifat rahasia, dan
sarana pendekatan batin kepada Allah (Munif, 2007: 16-17). Konsep
pendidikan yang dikembangkan Al-Ghazali mencakup lima aspek, yaitu:
aspek pendidikan jasmaniah, aspek pendidikan akhlak, aspek pendidikan
akal, dan aspek pendidikan sosial, yang kesemuanya sudah harus ditanamkan
pada anak sejak usia dini. Kelima aspek tersebut harus diwujudkan secara
utuh dan terpadu agar dapat menghasilkan manusia seutuhnya (Hamdani
Ihsan dan Fuad Ihsan, 1998: 253-254).
28
29
1. Tujuan pendidikan
Al-Ghazali menjelaskan tentang tujuan pendidikan dalam
berbagai kitabnya , yang disusun sebagai berikut:
a. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu
pengetahuan itu saja. Al-Ghazali mengatakan:
“Apabila engkau mengadakan penyelidikan/penalaran terhadap
ilmu pengetahuan, maka engkau akan melihat kelezatan padanya,
oleh karena itu tujuan mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena
ilmu pengetahuan itu sendiri” (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 1,
13).
Dari perkataan tersebut jelas menunjukkan bahwa penelitian,
penalaran, dan pengkajian yang mendalam dengan mencurahkan
tenaga dan pikiran adalah mengandung kelezatan intelektual dan
spiritual yang akan menumbuhkan roh ilmiah, kepada mereka dalam
mencari hakikat mencari ilmu pengetahuan. Demikian Al-Ghazali
sangat menganjurkan kepada para pelajar agar menjadi orang yang
cerdas, pandai berfikir, mengadakan penelitian yang mendalam dan
dapat menggunakan akal pikiranmya dengan baik dan optimal, untuk
menguasai ilmu pengetahuan dengan sesungguhnya dan mengerti
maksudnya.
Dapat dikatakan, bahwa aspek kecerdasan, keilmuan dan
cinta kebenaran yang dikemukakan Al-Ghazali hampir seribu tahun
yang lalu masih mempunyai relevansi dengan dunia pendidikan
modern, karena sama-sama mengajukkan untuk menggalakkan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan secara meluas dan
30
merata, terutama dalam rangkaian perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang semakin tinggi di akhir abad 20 ini.
b. Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak
Al-Ghazali mengatakan:
“Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada
masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya” (Al
Ghazali, Mizanul Amal, 1961, I: 361).
Dari pernyataan di
atas, jelaslah bahwa
Al-Ghazali
menghendaki keluhuran rohani , keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak
dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan utama dari pendidikan
bagi kalangan manusia muslim, karena akhlak adalah aspek
fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat, maupun suatu
negara.
c. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat
Al-Ghazali mengatakan:
“Dan sungguh engkau mengetahui bahwa hasil ilmu pengetahuan
adalah mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta alam,
menghubungkan diri dan berhampiran dalam ketinggian malaikat,
demikian itu di akhirat. Adapun di dunia adalah kemuliaan,
kebesaran, pengaruh pemerintahan bagi pimpinan negara dan
penghormatan menurut kebiasaannya.”
Demikian itulah Al-Ghazali, seiring dengan kepribadian, ia
tidak memperhatikan kehidupan dunia semata-mata karena atau
kehidupan akhirat semata-mata, tetapi beliau menganjurkan untuk
berusaha dan bekerja bagi keduannya tanpa meremehkan salah
satunya. Jadi ruang lingkup pendidikan yang diharapkan bagi
31
masyarakat muslim khususnya, menurut Al-Ghazali tidak sempit dan
tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau kehidupan akhirat sematamata, akan tetapi harus mencakup kebahagiaan dunia dan akhirat.
Akan tetapi kesenangan dan kebahagiaan di dunia adalah
merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan akhirat, karena
kebahagiaan dunia bersifat sementara. Jadi kebahagiaan di dunia
merupakan tujuan sementara yang harus dicapai untuk menuju
tujuan yang lebih tinggi, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT dalam rangka mencapai kebahagiaan akhirat (Zainuddin, 1991:
48).
Tujuan pendidikan yang dirumuskan Al-Ghazali meliputi:
1) Aspek keilmuan, yang mengantarkan manusia agar senang
berpikir, menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu
pengetahuan, menjadi manusia yang cerdas dan terampil.
2) Aspek kerohanian, yang mengantarkan manusia agar berakhlak
mulia, berbudi pekerti luhur dan berkepribadian yang kuat.
3) Aspek ke-Tuhan-an, yang mengantarkan manusia beragama agar
dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Senada dengan tujuan pendidikan Al-Ghazali tersebut,
Pendidikan Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan:
“Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa
32
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan” (UU No. 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 1 dan 2).
2. Pendidik
Dalam bukunya Zainuddin (1991: 50) bahwanya Al-Ghazali
mempergunakan istilah pendidik dengan berbagai kata seperti, alMuallimin (guru), al-Mudarris (pengajar), al-Muadib (pendidik) dan alWalid (orang tua). Oleh karena itu istilah pendidik tersebut yakni
pendidik dalam arti yang umum, yang bertugas dan bertanggung jawab
atas pendidikan dan pengajaran.
a. Profesi pendidik menurut Al-Ghazali
1) Alasan yang berhubungan dengan sifat naluriah
Dalam kitab Ihya Ulumuddin ia menyebutkan:
“Apabila ilmu pengetahuan itu lebih utama dalam segala hal,
maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia itu.
Maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi
keutamaan itu.”
Jadi, mengajar dan mendidik adalah sangat mulia.
Karena secara nurani orang berilmu itu dimuliakan dan
dihormati oleh orang. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah
mulia, maka mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan.
33
Akan tetapi, posisi pengajar dalam masyarakat modern
dewasa ini, lebih sering hanya di pandang sebagai petugas
semata yang mendapat gaji dari negara atau instansi/organisasi
swasta dan tanggung jawabnya tertentu, serta tugasnya relatif
dilimitasi dengan dinding sekolah. Padahal sesungguhnya tugas
mengajar ilmu itu menduduki posisi-status terhormat atau mulia.
Dengan kehormatan atau kemuliaan yang disandangnya itulah
membawa konsekuensi logis bahwa pengajar lebih dari sekedar
petugas gajian. Dia sebagai figur teladan yang mesti ditiru dan
diharapkan dalam memperlakukan anak didiknya tidak seperti
domba atau ternak yang perlu di digembala/didisiplinkan. Anak
didik sebagai manusia yang mudah dipengaruhi yang sifatsifatnya perlu dibentuk dan dituntun olehnya untuk mengenal
peraturan moral yang dianut oleh masyarakat. Itulah sebabnya,
seorang pengajar tak cukup hanya mengandalkan kepandaian
atau pemilikan otoritas disiplin ilmu tertentu saja. Dia haruslah
orang yang berbudi dan beriman sekaligus amalnya, yang
perbuatannya sendiri dapat memberikan pengaruh jiwa anak
didiknya.
2) Alasan yang berhubungan dengan kemanfaatan umum
Dalam bukunya Zainuddin (1991: 52) bahwasanya Al-Ghazali
dalam kitab Mizanul Amal mengatakan:
“Orang yang mempunyai ilmu itu berada dalam keadaan
berikut:
34
a) Mencari faedah dan guna ilmu.
b) Mencari hasil ilmu pengetahuan sehingga ia tidak
bertanya-tanya.
c) Memberikan wawasan ilmu dan mengajarkannya. Dan
inilah keadaan yang termulia baginya. Jadi barangsiapa
telah mencapai ilmu pengetahuan, kemudian ia dapat
mengambil faedahnya dan selanjutnya diajarkannya, maka
ia adalah laksana matahari yang bersinar dan menyinari
lainnya. Ia adalah laksana kasturi yang dapat
mengharumkan dan ia sendiri berbau harum”.
Adalah menjadi jelas bahwa kemuliaan mengajar adalah
mempunyai dua segi kemanfaatan. Pertama, bagi orang yang
mengajarkan ilmu pengetahuan itu sendiri akan semakin
bertambah pengetahuan dan pengalamannya, sehingga dapat
mengambil manfaatnya dan mengambil ilmu pengetahuan
sebaik-baiknya. Kedua, bagi orang lain yang diberi ilmu
pengetahuan, diajar dan didik akan semakin tambah pula
pengetahuan dan pengalamannya, sehingga dapat mengambil
manfaat ilmu pengetahuan tersebut.
3) Alasan yang berhubungan dengan unsur yang dikerjakan
Al-Ghazali menyebutkan:
“Seorang guru adalah berurusan langsung dengan hati dan
jiwa manusia, dan wujud yang paling mulia di muka bumi ini
adalah jenis manusia. Bagian paling mulia dari bagian-bagian
(jauhar) tubuh manusia adalah hatinya, sedangkan guru adalah
bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan
membawakan hati itu mendekatkan kepada Allah SWT”
(Zainuddin, 1991: 53).
Jadi kesimpulannya, seorang guru adalah orang yang
menempati status yang mulia di dataran bumi, ia mendidik jiwa,
hati, akal, dan roh manusia.edangkan jiwa manusia adalah unsur
35
yang paling mulia di dunia ini dibandingkan dengan makhluk
yang lain.
b. Gaji pengajar (guru) menurut Al-Ghazali
Pemimpin-pemimpin
kaum
muslimin
pada
masa
awal
kebangkitan Islam, semua memperhatikan kaum muslimin. Tidak
kedengaran bahwa mereka mengkhususkan para guru untuk mengajar
anak-anak mereka di surau-surau (kuttab) dan mengambil harta Allah
untuk menggaji guru-guru tersebut.
Suatu ketika, Al-Ghazali mengatakan:
“Lihatlah kesudahan agama di tangan orang-orang yang mengatakan
bahwa mereka bermaksud mendekatkan diri pada Tuhan (Allah) oleh
sebab mereka memiliki ilmu fiqh dan kalam serta mengajarkan dua
ilmu itu dan lain-lainnya lagi. Mereka menghabiskan harta dan
pangkat serta menanggung kehinaan untuk melayani Sultan-Sultan
untuk mencari pembagian makanan. Alangkah hinanya seorang alim
yang rela menerima kedudukan seperti ini” (zainuddin, 1991: 55).
Sesungguhnya,
kesimpulan
Al-Ghazali
dalam
hal
mengharamkan gaji guru dapat dipahami secara tersirat bahwa gaji
tercela (diharamkan) sebagai yang dikecam Al-Ghazali itu, adalah
apabila Al-Qur‟an (ilmu-ilmu yang lain) dijadikan sebagai alat untuk
mencari rezeki, menumpuk kekayaan, bahkan satu-satunya tujuan
mengajar (dari seorang guru) hanya untuk mencari nafkah dan
mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya.
c. Persyaratan kepribadian pendidik menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali mengemukakan syarat-syarat kepribadian seorang
pendidik sebagai berikut:
36
1) Sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan
harus harus diterima baik.
2) Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih.
3) Sopan dan tunduk, tidak riya‟/pamer.
4) Tidak takabur.
5) Bersikap tawadlu‟ dalam pertemuan-pertemuan.
6) Sikap dan pembicaraannya tidak main-main.
7) Menanam sifat bersahabat terhadap murid-muridnya.
8) Menyantuni serta tidak membentak-bentak orang-orang bodoh.
9) Membimbing dan mendidik murid secara sebaik-baiknya.
10) Berani berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak
dimengerti.
11) Menampilkan hujjah yang benar (Zainuddin, 1991: 56-57).
Dari pernyataan di atas, dapat dikemukakan bahwa persyaratan
bagi seorang pendidik meliputi berbegai aspek, yaitu:
-
Tabiat dan perilaku pendidik.
-
Minat dan perhatian terhadap proses belajar mengajar.
-
Kecakapan dan keterampilan mengajar.
-
Sikap ilmiah dan cinta terhadap keberanian.
d. Tugas dan kewajiban pendidik menurut Al-Ghazali
Dalam kitab Ihya Ulumuddin dan Mizan al-Amal,
kewajiban pendidikan sebagai berikut:
tugas dan
37
1) Mengikuti jejak Rasulullah
Seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas
mengajarkannya adalah mendekatkan diri kepada Allah sematamata. Dan ini dapat dipandang dari dua segi: pertama, sebagai
tugas kekhalifahan dari allah. Kedua, sebagai pelaksanaan ibadah
kepada Allah yang mencari keridlaanNya dan mendekatkan diri
kepadaNya.
2) Memberikan kasih sayang terhadap anak didik
Seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil
kedua orang tua anak didiknya, yaitu mencintai anak didiknya
seperti mencintai anaknya sendiri.
3) Menjadi teladan bagi anak didik
Jelaslah bahwa guru hendaklah mengerjakan apa yang
diperintahkan, menjauhi apa yang dilarangnya dan mengamalkan
segala ilmu pengetahuan yang diajarkannya. Karena tindakan dan
perbuatan guru adalah menjadi teladan bagi anak didiknya.
4) Menghormati kode etik guru
Guru menduduki posisi sentral dan paling mulia di muka
bumi. Jadi antara ilmu pengetahuan dan guru adalah sama-sama
mulia dan sebagai sentral kehidupan, oleh karenanya hubungan
antara guru dan guru lainnya harus saling menghormati dan
memuliakan. Bahkan seorang guru seharusnya mengajak muridmuridnya untuk menghormati dan memuliakan segenap guru dan
38
sekaligus seluruh ilmu pengetahuan, bukan saling menjelekjelekkan.
3. Anak didik
Al-Ghazali mempergunakan istilah anak dengan beberapa kata,
seperti: al-Shobiy (kanak-kanak), al-Mutaallim (pelajar) dan tholibul ilmi
(penuntut ilmu pengetahuan). Oleh karena itu, istilah anak didik di sini
dapat diartikan; anak yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan
rohani sejak awal terciptanya dan merupakan obyek utama dari
pendidikan (dalam arti yang luas) (Zainuddin, 1991: 64).
a. Fitrah menurut Al-Ghazali
Kata fitrah berasal dari kata “fathara” (menciptakan),
sepadan dengan kata “khalaqa”. Jadi fitrah (isim masdar) berarti
ciptaan atau sifat dasar yang telah ada pada saat diciptakannya atau
“asal kejadian”. Untuk mendapatkan pengertian yang jelas tentang
fitrah sebagaimana yang dikehendaki Al-Ghazali, maka perlu
dikemukakan ayat ayat Al-Qur‟an dan Al-Hadits yang menjadi
sumber pemikirannya, beserta interprestasinya ataupun perkataanperkataannya sendiri yang berhubungan dengan hal tersebut.
1) Ayat Al-Qur‟an
            
        
   
39
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum: 30) (Depag, 2004:
408)
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa pengertian
fitrah menurut Al-Ghazali adalah suatu sifat dari dasar manusia
yang dibekali sejak lahirnya dengan memiliki keistimewaan
sebagai berikut:
a) Beriman kepada Allah.
b) Kemampuan dan kesediaan untuk menerima kebaikan dan
keturunan
atau
dasar
kemampuan
untuk
menerima
pendidikan dan pengajaran.
c) Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang
merupakan daya untuk berpikir.
d) Dorongan biologis yang berupa syahwat dan insting.
e) Kekuatan-kekuatan lain atau sifat-sifat manusia yang dapat
dikembangkan dan disempurnakan.
b. Perkembangan anak didik menurut Al-Ghazali
1) Al-Janin, yaitu tingkat anak yang berada dalam kandungan.
Adanya kehidupan setelah diberi roh oleh Allah.
2) Al-Thifl, yaitu tingkat anak-anak dengan memperbanyak latihan
dan kebiasaan sehingga mengetahui baik atau pun buruk.
40
3) Al-Tamziz, yaitu tingkat anak yang telah dapat membedakan
sesuatu yang baik dan yang buruk, bahkan akal pikirannya telah
berkembang sedemikian rupa sehingga telah dapat memahami
ilmu dlaluri.
4) Al-„Aqil, yaitu tingkat manusia yang telah berakal sempurna
bahkan akal pikirannya telah berkembang secara maksimal
sehingga telah menguasai ilmu dlaluri.
5) Al-Auliya‟ dan Al-Anbiya‟, yaitu tingkat tertinggi pada
perkembangan manusia. Bagi para Nabi telah mendapatkan ilmu
dari Tuhan melalui malaikat yaitu ilmu wahyu. Dan bagi para
wali telah mendapatkan ilmu ilham atau ilmu laduni yang tidak
tahu bagaimana dan dari mana ilmu itu didapatkannya.
c. Etika anak didik terhadap pendidik menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali menjelaskan etika anak didik terhadap pendidik
ini secara terinci dalam kitabnya “Bidayatul Hidayah”, yang
meliputi:
1) Jika
berkunjung
kepada
guru
harus
menghormat
menyampaikan salam terlebih dahulu.
2) Jangan banyak bicara dihadapan guru.
3) Jangan bicara jika tidak diajak bicara oleh guru.
4) Jangan bertanya jika belum minta izin terlebih dahulu.
5) Jangan sekali-kali menegur ucapan guru.
dan
41
6) Jangan mengisyarati terhadap guru, yang dapat memberi
perasaan khilaf dengan pendapat guru. Kalau demikian itu
menganggap murid lebih besar daripadanya.
7) Jangan berunding dengan temanmu di tempat duduknya, atau
berbicara denagn guru sambil tertawa.
8) Jika duduk di hadapan guru jangan menoleh-noleh tapi duduklah
dengan menundukkan kepala dan tawadlu‟ sebagaimana ketika
melakukan shalat.
9) Jangan banyak bertanya sewaktu guru kelihatan bosan atau
kurang enak.
10) Sewaktu guru berdiri, murid harus berdiri sambil memberikan
penghormatan kepada guru.
11) Sewaktu guru sedang berdiri dan sudah akan pergi, jangan
sampai dihentikan cuma perlu bertanya.
12) Jangan sekali-kali bertanya sesuatu kepada guru di tengah jalan,
tapi sabarlah nanti setelah sampai di rumah.
13) Jangan sekali-kali su’udlon (beranggapan buruk) terhadap guru
mengenai tindakannya yang kelihatannya munkar atau tidak
diridhai Allahmenurut pandangan murid. Sebab guru lebih
mengerti rahasia-rahasia yang terkandung dalam tindakan itu.
d. Tugas dan kewajiban para pelajar
Al-Ghazali menjelaskan tetntang tugas dan kewajiban para
pelajar pada bagian khusus dari kitabnya “Ihya Ulumuddin” dan
42
“Mizamul Amal”, dengan pembahasan yang luas dan mendalam
yang diuraikan sebagai berikut:
1) Mendahului kesucian jiwa
Belajar dan mengajar adalah sama dengan ibadah shalat,
sehingga shalat tidak sah kecuali dengan menghilangkan hadas
dan najis, maka demikian pula dalam hal mencari ilmu, mulamula harus menghilangkan sifat-sifat yang tercela seperti:
dengki, takabbur, menipu, angkuh, dan sebagainya. Namun
apabila ada pelajar yang budi pekertinya buruk dan hina tapi
memperoleh ilmu pengetahuan, maka ia hanya memperolehnya
pada kulit dan lahirnya saja, bukan isi dan hakikatnya sehingga
tidak bermanfaat bagi dirinya dan lainnya. Jadi tidak membawa
kebahagiaan dunia akhirat.
2) Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan
Mencurahkan segala tenaga, jiwa, raga, dan pikiran agar
dapat berkonsentrasi sepenuhnya pada ilmu pengetahuan.
3) Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya
Seorang guru yang mempunyai keahlian yang tinggi dan
pengalaman yang luas, telah menyelidiki dengan teliti keadaan
pelajar itu sehingga mengetahui kelemahan dan penyakitnya,
setelah itu baru memberikan nasihat, petunjuk dan pengobatan
pada anak didiknya sesuai dengan situasi dan kondisi serta
kebutuhan bagi anak didik.
43
4) Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan
Pelajar harus mendahulukan ilmu pengetahuan yang
paling pokok dan mulia, kemudian ilmu pengetahuan yang
penting, lalu ilmu pengetahuan sebagai pelengkap dan
seterusnya, karena ilmu pengetahuan yang satu dengan lainya
erat sekali dan saling membantu.
B. Pengertian akhlak menurut Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali
memberi
pengertian
tentang
akhlak:
“Al-Khuluq
(jamaknya Al-Akhlak) ialah ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang
konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa, daripadanya tumbuh perbuatanperbuatan dengan wajar dan mudah, anpa memerlukan pikiran dan
pertimbangan”.
Menurut pengertian di atas, jelaslah bahwa hakikat akhlak menurut
Al-Ghazali harus mencakup dua syarat: Pertama, perbuatan itu harus
konstan, yaitu dilakukan berulangkali kontinu dalam bentuk yang sama,
sehingga dapat menjadi kebiasaan (habit forming). Misalnya: seseorang yang
memberikan sumbangan harta hanya sekali-kali karena dorongan keinginan
sekonyong-konyong saja, maka orang itu tidak dapat dikatakan sebagai
pemurah selama sifat demikian itu belum tetap dan meresap dalam jiwa.
Kedua, perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai
wujud refleksi dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan
karena adanya tekanan-tekanan, paksaan-paksaan dari orang lain, atau
pengaruh-pengaruh dan bujukan-bujukan yang indah dan sebagainya.
44
Misalnya: orang yang memberikan harta benda karena tekanan moril dan
pertimbangan, maka belum juga termasuk kelompok orang yang bersifat
pemurah. Pemurah sebagai sifat dan sikap yang melekat dalam pribadi yang
didapat karena didikan atau memang naluri.
Selanjutnya Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak itu ibarat dari
keadaan jiwa dan bentuknya yang batiniyah. Kalau bentuk lahirnya manusia
tidak dapat dikatakan bagus kecuali kebagusan aspek lahir semuanya, baik
kedua matanya, hidungnya, pipinya dan seterusnya. Demikian pula batiniyah
manusia, tidak akan memperoleh kebagusan kecuali terpenuhinya empat
sendi yakni: kekuatan ilmu, kekuatan marah, kekuatan nafsu syahwat, dan
kekuatan keseimbangan diantara kekuatan yang tiga tersebut. Kekuatan untuk
mengetahui perbedaan antara benar dan dustanya perkataan, antara baik dan
buruknya iktikad kepercayaan, juga antara baik buruknya perbuatan.
Kemudian, Al-Ghazali mengemukakan norma-norma kebaikan dan
keburukan akhlak ditinjau dari pandangan akal pikiran dan syariat agama
Islam. Akhlak yang sesuai dengan akal pikiran dan syariat dinamakan akhlak
mulia dan baik, sebaliknya akhlak yang tidak sesuai (bertentangan) dengan
akal baik dan syariat dinamakan akhlak sesat dan buruk, hanya menyesatkan
manusia belaka.
Akhlak menurut Al-Ghazali dapat dibagi menjadi dua, yakni akhlak
yang baik dan akhlak yaang buruk (tercela). Akhlak yang baik adalah akhlak
yang sesuai dengan akal dan agama (syari‟at). Sedangkan akhlak yang buruk
adalah akhlak bertentangan dengan akal dan syari‟at (Kholiq, 1999: 89).
45
Al-Ghazali (Mizan al-Amal, 1982: 40) mengatakan bahwa jiwa itu
seakan-akan mempunyai dua arah. Pertama, arah menuju badan. Arah ini
harus menguasai serta tidak menerima sifat-sifat yang melekat pada badan
dan hawa nafsu. Kedua, arah menuju derajat yang mulia. Arah ini harus
menerima hal-hal yang bersifat luhur, karena arah itu merupakan sarana
menuju kebahagiaan.
Adapun pengelompokan akhlak dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Akhlak yang baik.
Al-Ghazali (Ihya Ulumuddin, III, tt. : 47) mengatakan bahwa
akhlak yang baik adalah yang menurut atau sesuai dengan akal syara‟,
selanjutnya ia menambahkan, bahwa akhlak yang baik adalah tingkah
laku yang diperagakan oleh para rasul. Menurutnya akal merupakan salah
satu kriteria dalam menentukan tolak ukur akhlak yang baik.
Akal menurut Al-Ghazali adalah sesuatu yang dapat memperoleh
pengetahuan, atau tempat pengetahuan (yang mengetahui). Kalau
dikatakan bahwa standar akhlak adalah akal dan syara‟, maka syara‟
berfungsi menunjukkan baik dan buruk secara mutlak. Oleh karena itu
akhlak yang baik pasti direalisasikan dalam bentuk iman. Dalam hal ini
Al-Ghazali (Ihya ulumuddin, III, tt. : 67) mengatakan:
“Sesungguhnya kebagusan akhlak itu adalah iman. Dan keburukan
akhlak itu adalah nifaq (sifat orang munafiq)”.
Tanda-tanda akhlak yang baik menurut Al-Ghazali adalah sifatsifat terpuji yang terdapat pada orang mukmin. Sebagaimana telah di
jelaskan di dalam Al-Qur‟an surat Al-Mu‟minun ayat 1-10:
46
           
          
          
       
   
  
     
     
Artinya: 1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, 2.
(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, 3. dan orangorang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna, 4. dan orang-orang yang menunaikan zakat, 5. dan orangorang yang menjaga kemaluannya, 6. kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki, maka Sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada terceIa, 7. Barangsiapa mencari yang di balik itu,
maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas, 8. dan orangorang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya,
9. dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya, 10. mereka itulah
orang-orang yang akan mewarisi (Q.S. Al-Mu‟minun: 1-10) (Depag,
2004: 343).
Adapun yang termasuk dalam kategori akhlak baik, antara lain:
ikhlas (berbuat semata-mata karena Allah), tawakkal (berserah diri pada
Allah), syukur (berterima kasih atas nikmat Allah), sidiq (benar/jujur),
amanah (dapat dipercaya), „adl (adil), „afw (pemaaf), wafa‟ (menepati
janji), „iffah (menjaga kehormatan diri), haya‟ (punya rasa malu),
syaja‟ah (berani), shabr (sabar), rahmah (kasih sayang), sakha‟ (murah
hati), ta‟awun (penolong), iqtisad (hemat), tawadlu‟ (rendah hati),
47
maru‟ah (menjaga perasaan orang lain), qana‟ah (merasa cukup dengan
pemberian Allah), rifq (berbelas kasih), dan lain sebagainya.
2. Akhlak yang buruk
Akhlak yang buruk adalah keadaan jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan jelek, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Ghazali
(Ihya Ulumuddin, III, tt. : 67-68):
“Akhlak yang jahat adalah akhlak yang racun yang membunuh,
membinasakan, yang memecahkan kepala (memusingkan), perbuatanperbuatan hina yang keji, perbuatan-perbuatan yang kotor yang nyata,
kekejian yang menjauhkan dari sisi Tuhan Semesta Alam dan
memasukkan orang yang berakhlak demikian dalam kawasan syetan”.
Menurut Al-Ghazali, akhlak yang buruk adalah akhlak yang
sudah menyimpang jauh dari kontrol dan aturan akal dan syara‟. Akhlak
yang keji tersebut merupakan penyakit hati dan jiwa, penyakit yang
menghilangkan hidup abadi. Kalau akhlak yang tercela dikarenakan hati
atau jiwanya terkena penyakit, tentu ada penyebab mengapa jiwa itu
sakit. Menurutnya penyebab utaman penyakit jiwa adalah syetan.
Syetanlah yang menanamkan bibit-bibit penyakit dalam jiwa manusia
yang akhirnya menimbulkan akhlak yang keji dan tercela.
Secara umum manusia itu dapat terseret ajakan dan bujukan
syetan, sehingga mereka mendapatkan kebinasaan dan kesengsaraan,
karena mereka mengikuti hawa nafsunya dan tidak menghiraukan aturanaturan syara‟.
48
C. Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak
Dalam bukunya Kholiq (1999: 91) bahwasanya Al-Ghazali dalam
kitab Ihya Ulumuddin, secara tegas mengatakan bahwa perubahan akhlak atau
membentuk akhlak menjadi bagus adalah mungkin, sepanjang ia melalui
usaha dan latihan moral yang sesuai. Menurutnya fungsi utama agama adalah
membimbing manusia memperindah akhlak. Jika akhlak tidak dapat diubah
maka semua perintah maka semua perintah dan ajaran, anjuran dan hukuman
agama tidak berarti. Bahkan Rasulullah bersabda: “Jadikanlah akhlak kamu
indah.” Jika hal ini benar tidak mungkin, jelas tidak akan diperintahkan.
Al-Ghazali (Ihya Ulumuddin, III, tt,: 54) secara tegas mengatakan
bahwa akhlak dapat berubah, karena kalau benar akhlak itu tidak dapat
berubah, maka sia-sialah nasehat, pelajaran dan pendidikan. Dalam
keterangannya, Al-Ghazali juga membandingkan antara manusia dengan
binatang yang tidak mempunyai akal, hanya mempunyai naluri (insting)
namun binatang dapat dilatih dan dididik. Binatang dapat dipindahkan dari
liar kepada jinak, anjing dari kerakusan makan menjadi agak terdididk, dapat
menahan diri. Demikianlah kuda yang mempunyai sifat dasar suka melawan
menjadi lemah lembut dan tunduk. Sehingga bagi manusia yang dianugerahi
akal sangat mungkin untuk dididik ke arah yang lebih baik melalui latihanlatihan dan pendidikan. Al-Ghazali menyanggah pendapat yang mengatakan
bahwa akhlak adalah titah penciptaan yang tidak dapat dirubah dan terhadap
mereka yang berpendapat bahwa merubah budi pekerti (akhlak) sama halnya
kehendak merubah ciptaan Allah.
49
Menurut
Al-Ghazali
manusia
menerima
perubahan
dan
penyempurnaan akhlak, ia membagi manusia menjadi menjadi empat
tingkatan, yaitu:
1. Manusia yang lalai, yang tidak dapat membedakan antara yang hak dan
yang batil, antara yang bagus dan yang buruk. Bahkan manusia seperti
kejadian fitrahnya, kosong dari semua keyakinan. Mereka itu adalah
orang-orang yang bodoh dan mudah sekali menerima pengobatan.
2. Manusia yang mengetahui keburukan sesuatu yang buruk, tetapi ia tidak
membiasakan mengerjakan amal shalih; bahkan selalu berbuat jahat,
mengikuti hawa nafsunya dan berpaling dari pikiran yang benar. Ia tahu
keteledoran perbuatannya. Mereka itu adalah orang-orang yang boodoh
dan sesat, serta lebih sukar pengobatannya daripada orang tingkat
pertama.
3. Manusia yang menyakini bahwa akhlak yang keji itu harus dipakai dan
dianggap baik. Mereka itu adalah orang-orang yang bodoh, sesat dan
fasik. Orang yang seperti ini hampir-hampir tidak dapat diobati.
4. Manusia yang tumbuh pikiran batil dan dididik dengan perbuatan yang
batil pula, ia akan menganggap utama terhadap terhadap perbuatan jahat
yang akan merusak diri. Mereka itulah orang-orang yang bodoh, sesat,
fasik dan jahat. Manusia pada tingkat inilah yang paling sukar untuk
diobati (Ihya Ulumuddin, III, tt,: 55).
Perubahan akhlak menurut Al-Ghazali adalah perbuatan yang tidak
merubah total terhadap akhlak pada munusia. Ia menolak sebagian orang
50
yang mengira bahwa yang dimaksud mujahadah dalam perubahan akhlak
ialah mencegah dan menghilangkan sifat-sifat manusia tersebut secara
keseluruhan.
Inti dari perubahan akhlak adalah perubahan dari akhlak yang buruk
ke akhlak yang baik, yakni kembali kepada akal dan hikmah. Mengembalikan
akhlak ke posisi yang sebenarnya ini akan berhasil karena dua sebab, yaitu:
Pertama, atas karunia Allah yang telah memberikan fitrah manusia secara
sempurna. Manusia dijadikan dan dilahirkan dengan akal yang sempurna,
akhlak yang baik, yang dapat mengendalikan nafsu syahwat dan amarah.
Bahkan nafsu syahwat dan amarah dijadikan lurus, serta patuh terhadap
agama. Kedua, akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah.
Maksudnya membawa diri ke arah perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan
akhlak yang baik (Ihya Ulumuddin, III, tt,: 56).
Dari uraian di atas maka jelaslah bahwa adanya perubahan akhlak
adalah sangat mungkin. Karena akhlak ada kaitannya dengan fitrah dan jiwa
manusia yang harus diarahkan dan disempurnakan. Menurut Al-Ghazali bagi
manusia biasa terdapat dua jalan untuk mengarahkan akhlaknya ke sana, yaitu
dengan jalan mujahadah (usaha yang sumgguh-sungguh untuk mendekatkan
kepada Allah) dan riyadhah (latihan yang terus menerus diorientasiakan pada
ridha Allah).
Ciri khas pendidikan Islam secara umum menurut Fathiyah Hasan
Sulaiman (1990: 24) adalah sifat moral religiusnya yang nampak jelas pada
51
tujuan-tujuan yang hendak dicapai maupun sarana-sarana yang tanpa
mangabaikan aspek duniawiyah.
Demikian halnya pemikiran Al-Ghazali dalam pendidikan juga
bernuansa Islami dan moral. Disamping itu juga tidak mengabaikan masalahmasalah duniawiyah, sehingga ia juga menyediakan porsi yang sesuai dalam
pendidikan. Tetapi pencapaian kebahagiaan yang hakiki yakni di akhirat.
Sehingga tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah mendekatkan diri
kepada Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kondisi tujuan pendidikan dewasa ini kadang sangat terasa
menyimpang dari tujuan pendidikan yang ideal. Hal ini disebabkan karena
penekanannya lebih banyak pada pengembangan nalar, tanpa memperhatikan
pengembangan pada aspek-aspek dan potensi lainnya. Dengan kata lain
pendidikan hanya menekankan pada aspek kognitif ansich, sedang aspek
afektif dan psikomotorik kurang mendapat perhatian. Akibatnya out-put yang
dihasilkan adalah manusia-manusia yang otaknya penuh dengan ilmu
pengetahuan, sementara jiwanya kosong dan gersang, dikarenakan tidak
mengenal agama dan moral. Semestinya pendidikan merupakan proses
humanisasi, tetapi yang ada justru sebaliknya yaitu dehumanisasi. Dari sini
maka perlu adanya perencanaan pendidikan yang baik yang mampu merubah
perilaku manusia sesuai tujuan yang diharapkan, yakni humanistic education
(Engkos wara, 1986: 78). Sehingga orientasi pendidikan tidak hanya
menekankan pada aspek kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan
psikomotorik.
52
Sebenarnya Al-Ghazali telah menyusun konsep pendidikan yang ideal
dan lengkap untuk mendidik manusia secara utuh. Terlebih lagi dalam
pendidikan akhlak, ia telah mengkaji dan menyusun dalam kitabnya dengan
pengkajian yang mendalam. Kalau di atas disebutkan bahwa menurutnya
tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah agar menjadi
insan kamil, maka pendidikan akhlak Al-Ghazali juga berorientasi untuk
mendekatkan diri pada Allah. Karena menurutnya pembentukan kepribadian,
berlangsung secara berangsur-angsur dan berkembang menuju proses
kesempurnaan. Maka pendidikan yang dilaksanakan juga harus mengikuti
tingkat pertumbuhan dan perkembangan subyek didik.
Dari tujuan pendidikan yang demikian, maka bagi Al-Ghazali
pendidikan mempunyai arah dan orientasi lurus kepada Allah. Sehingga
proses pendidikan yang berlangsung juga tidak boleh menyimpang dari
aturan Allah yang ada dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Terlebih lagi
karena corak pendidikannya bersifat tasawufi maka pendidikan diarahkan
untuk mencapai derajat yang tinggi dihadapan Allah (Sulaiman, 1990: 25).
Menurut Al-Ghazali, faktor-faktor pendidikan yang ada seperti:
pendidik, anak didik, metode, materi dan tujuan harus berjalan di atas rel
agama Allah.
Jelaslah, pendidik sebagai uswatun hasanah, maka tidak sembarang
orang dapat menjadi guru. Al-Ghazali mensyaratkan untuk orang yang dapat
menjadi guru adalah orang yang telah mencapai derajat alim. Dalam arti ia
telah dapat mendidik dirinya sendiri, kehidupannya dihiasi dengan akhlak
53
yang mulia, sabar, syukur, ikhlas, tawakal, belaku benar dan sebagainya. Hal
demikian juga pada peserta didik, yang mensyaratkan sepuluh sifat yang
harus dimiliki peserta didik (Sulaiman, 1990: 52). Sifat tersebut diantaranya
adalah setiap murid harus mempunyai kesucian jiwa, harus tawadhu‟, tidak
congkak dengan ilmunya dan lain sebagainya.
Dalam hal metode, tidak ada penjelasan secara khusus dari Al-Ghazali
tentang metode tertentu dari pengajar, melainkan metode khusus pengajaran
agama (Sulaiman, 1990: 42). Hal ini dapat dimaklumi, karena corak
pendidikannya lebih bersifat pendidikan agama dan tasawuf. Tetapi apabila
dikaji prinsip-prinsip yang Al-Ghazali kemukakan, jelas bahwa dalam
pendidikan dan pengajaran harus memekai metode tertentu agar tujuan
pendidikan yang dicanangkan dapat tercapai. Lebih khusus lagi dalam
pendidikan akhlak. Al-Ghazali mengemukakan metode pendidikan dengan
memberikan contoh, uswatun hasanah, riyadhah dan mujahadah untuk
menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji (Ihya Ulumuddin, III, tt,: 59).
Kemudian dalam bukunya Fathiyah Hasan Sulaiman (1990: 27-28)
menerangkan bahwasanya Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi
tiga rumpun, yaitu:
1. Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, seperti: ilmu sihir, ilmu
nujum dan ilmu meramal nasib.
2. Ilmu pengetahuan yang terpuji secara mutlak, yakni pelajaran-pelajaran
agama dan berbagai macam ibadah.
54
3. Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetapi jika
mendalaminya dapat menjadi tercela, seperti: ilmu ketuhanan, cabang
dari ilmu filsafat dan sebagian aliran naturalisme.
Dari faktor-faktor pendidikan dari Al-Ghazali jelas, bahwa arah dan
orientasi pendidikan akhlak Al-Ghazali adalah untuk mendekatkan diri pada
Allah, agar mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Di samping itu untuk
dapat mencapainya haruslah ada keseimbangan pengembangan fitrah dan
potensi manusia yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Konsep pendidikan akhlak dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam
Al-Ghazali
1. Latar belakang penulisan kitab Ayyuha al-Walad
Salah satu murid Imam Zainuddin Hujjatt al-Islam Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al Ghazali suatu hari merenung.
Ia dikenal kenal sebagai murid yang selalu berkhidmat kepada gurunya,
dan senantiasa menyibukkan diri untuk menuntut ilmu, sehingga
memperoleh banyak pengetahuan dan mencapai kesempurnaan jiwa. Ia
merenungkan keadaan dirinya, dan berkata: Aku telah mengkaji berbagai
macam ilmu, dan telah melewatkan umurku yang berharga ini untuk
mempelajari dan menghafalnya. Seharusnya sekarang sudah mengerti
ilmuku yang mana yang kelak bermanfaat bagiku, ilmuku yang mana yang
tidak bermanfaat, sehingga dapat kutinggalkan? Padahal Rasulullah SAW
sendiri dalam doanya memohon: “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu
dari ilmu yang tidak bermanfaat”.
Pikiran ini terus mengusiknya, sehingga akhirnya ia memutuskan
untuk menulis surat kepada gurunya, Imam Al-Ghazali untuk menanyakan
masalah yang dihadapinya sekaligus meminta nasihat dan doa.
Si murid berkata: “Meskipun jawaban atas persoalanku ini ada
dalam buku-buku guruku, seperti dalam Ihya‟ Ulum al-Din dan lain
sebagainya, tetapi maksudku menulis kepada guruku agar jawabannya
dapat kusimpan dan kujadikan sebagai pegangan dalam beramal sepanjang
55
56
hidupku... sepanjang umurku... insyaa Allah”. Kemudian atas keinginan
muridnya tersebut, Al-Ghazali kemudian menulis risalah ini untuk
menjawabnya.
Risalah Ayyuha Al-Walad dalam bentuknya yang ringkas terdiri
dari kata pengantar dan 6 bagian pembahasan. Bagian pertama merupakan
prolok yang berisi seputar nasihat dan perdebatan filosofis tentang tujuan
ilmu dan ketertarikan antara ilmu dan amal. Bagi Al-Ghazali, ilmu adalah
manifestasi dari ketaatan, sedangkan ibadah harus tunduk pada syara’.
Pada bagian pertama, Al-Ghazali bercerita tentang i‟tiqad yang
benar, taubat, menghindari perdebatan kusir dalam ilmu pengetahuan serta
pemerolehan ilmu-ilmu syariah. Bagian kedua, berisi tentang amal saleh,
mujahadah al-nafs (pensucian jiwa), dan menganggap rendah dunia dalam
melakukan ibadah, pembersihan jiwa dari sifat serakah, serta anjuran
untuk memerangi setan. Pada bagian ketiga, dia membahas pendidiakan
sebagai sarana menghilangkan kebiasaan yang buruk dalam jiwa dan
mengisinya dengan akhlak yang baik. Sedangkan bagian keempat, berisi
kode etik guru yang hampir sama dengan apa yang diungkapkan dalam
Ihya‟
Ulumuddin. Adapun bagian kelima, berisi tentang karakteristik
seorang sufi yang sebenarnya, syarat-syarat beristiqomah kepada Allah
dan hubungannya dengan makhluk. Dalam bagian keenam, Al-Ghazali
mengakhirinya dengan sejumlah nasihat yang diberikan kepada anak
didik. Diantaranya adalah anjuran untuk berdebat kecuali untuk
membuktikan kebenaran, larangan bergaul dengan pejabat dan menerima
57
pemberian mereka, karena dalam pandangan Al-Ghazali, interaksi yang
benar dan wajib terhadap Allah melalui berbuat kebaikan yang diridhaiNya.
Abu abdillah al-Husainy menterjemahkan kitab Ayyuha al-Walad
dengan judul Ayyuha al-Walad Duhai Anakku: Wasiat al-Ghazali untuk
Murid Kesayangannya, membagi isi kitab Ayyuha al-Walad menjadi
sepuluh bagian sebagai berikut (Al-Husainy, 2003: iii):
a. Ilmu yang perlu dipelajari
b. Ilmu sejati
c. Pelajaran dari Hatim al-Asham
d. Syaikh: Tugas dan Persyaratannya
e. Sikap Murid terhadap Syaikhnya
f. Tasawwuf
g. Ubudiyyah dan Tawakkal
h. Ikhlas dan Riya’
i. Delapan Nasehat Penting Al-Ghazali
j. Doa
Atas dasar inilah, maka Busyairi Madjidi berpendapat bahwa kitab
Ayyuha al-Walad merupakan kitab yang berisi tentang akhlak. Namun
yang lebih penting dari buku ini adalah gambaran tentang perkembangan
pemikiran Al-Ghazali dan riwayat studinya serta kedudukan yang
dicapainya di antara filosof-filosof Islam dan pengaruhnya terhadap
filsafat sezamannya (Madjidi, 1997: 81).
58
2. Pemikiran Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha Al-Walad
Pemikiran pendidikan Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad
setidaknya dapat ditinjau dari empat hal. Pertama, tujuan pendidikan.
Kedua, subjek pendidikan. Ketiga, materi pendidikan. Keempat, metode
pendidikan.
a. Tujuan Pendidikan
Pendidikan menurut Al-Ghazali adalah menghilangkan sifatsifat atau akhlak buruk. Sehingga, tujuan pendidikan menurut AlGhazali adalah menanamkan akhlak yang baik pada anak didik. AlGhazali mengibaratkan pendidikan dengan pekerjaan seorang petani
yang membuang dan mencabut rumput (tumbuhan-tumbuhan lain)
yang mengelilingi tanaman supaya bisa tumbuh sempurna dan
hasilnya bagus (maksimal). Hal ini dapat dilihat dalam kata-katanya
berikut ini:
ٗ‫ط‬١‫ثس ِٕٗ ذطشذ‬١‫خشؼ جال خالق جٌغ‬١ٌ ‫خ ِششذ ِشخ‬١‫ ٌٍغحٌه ش‬ٝ‫ٕرغ‬٠ ٗٔ‫جػٍُ ج‬
‫ن‬ٛ‫مٍغ جٌش‬٠ ٜ‫شرٗ فؼً جٌفالح جٌز‬٠ ‫س‬١‫ جٌطشذ‬ٟٕ‫ِؼ‬ٚ ‫ح خٍمح دغٕح‬ٙٔ‫جؼً ِىح‬٠ٚ
ٗ‫ؼ‬٠‫ىًّ س‬٠ٚ ٗ‫ذغٓ ٔرحض‬١ٌ ‫ٓ جٌضسع‬١‫س ِٓ ذ‬١‫خشؼ جٌٕرحضحش جٌجٕر‬٠ٚ
Imam Al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan
akhlak adalah dalam membentuk insan yang paripurna, yakni insan
yang tahu akan kewajibannya baik sebagai hamba Allah, maupun
sebagai khalifah Allah yang mendapatkan ridho Allah SWT.
Imam Al-Ghazali memberikan perhatian besar terhadap
pendidikan akhlak. Karena kuatnya keyakinan beliau bahwa
59
pendidikan akhlak yang benar merupakan jalan untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT, membentuk akhlakul karimah, dan mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat dengan cara beramal shaleh,
beribadah, mengenal dan mencintai Allah sehingga mendapatkan
keridhaanNya.
Pemikiran Imam Al-Ghazali yang telah dipaparkan pada bab
sebelumnya merupakan gambaran tentang pemikiran bagaimana
membimbing dan membina peserta didik sejak dini, supaya berakhlak
mulia dan hal tersebut relevan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu
membantu manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk
memiliki dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu
upaya pencegahan jiwa manusia dari hal-hal yang mengotori jiwa,
penanggulangan rusaknya jiwa manusia, dan pengembangan akhlak
manusia dalam membangun kehidupan yang diridhoi Allah SWT yang
membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Studi
mengenai
pemikiran
Imam
Al-Ghazali
tentang
pendidikan akhlak ini menyingkapkan bahwa Imam Al-Ghazali telah
berhasil menata suatu sistem pendidikan akhlak yang lengkap,
menyeluruh dengan batasan-batasan yang jelas. Imam Al-Ghazali
melaksanakan sistem pendidikan akhlaknya itu benar-benar mengarah
kepada tujuan pndidikan akhlak yang benar, yaitu meraih ridho Allah
SWT. Dia bercita-cita dapat membentuk individu-individu yang mulia
60
dan bertaqwa, selanjutnya dapat menyebarkan keutamaan kepada
seluruh umat manusia.
Pada umumnya, pemikiran tentang pendidikan akhlak yang
dikemukakan oleh tokoh-tokoh Islam memiliki karakteristik religius
moralis yang terlihat melalui tujuan dan metodenya. Dengan tidak
mengesampingkan urusan-urusan duniawi, pemikiran Al-Ghazali
tentang pendidikan Akhlak secara umum sesuai dengan konsepsi
pendidikan akhlak para ulama-ulama Islam. Imam Al-Ghazali tidak
mengabaikan urusan-urusan keduniaan. Beliau telah mempersiapkan
urusan-urusan ini dalam pendidikan akhlak. Beliau memandang
bahwa persiapan untuk urusan-urusan dan kebahagiaan duniawi hanya
merupakan alat untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat yang
lebih utama dan lebih kekal dari kebahagiaan hidup di dunia. Beliau
memandang dunia adalah ladang tempat persemaiaan benih-benih
akhirat.
Menurut Imam Al-Ghazali, tujuan pendidikan akhlak ialah
kesempurnaan insan di dunia dan di akhirat. Manusia dapat mencapai
kesempurnaan melalui pencariaan keutamaan dengan menggunakan
ilmu. Keutamaan itu akan memberinya kebahagiaan di dunia dan serta
mendekatkannya kepada Allah SWT, sehingga dia akan mendapatkan
kebahagiaan akhirat.
Keadaan Imam Al-Ghazali sebagi seoang yang taat beragama
dan ahli pendidikan akhlak telah mempengaruhi pandangannya untuk
61
menjadikan
pendekatan
diri
kepada
Allah
dan
pencapaian
kebahagiaan akhirat sebagai tujuan pendidikan akhlaknya. Sehingga
beliau
menggariskan
di
dalam
kitab-kitabnya
bahwa
tujuan
pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali adalah mencapai ridho Allah
SWT dengan cara beribadah dan beramal sholeh serta makrifat dan
cinta kepada Allah SWT.
b. Subjek Pendidikan
Subjek pendidikan menurut Al-Ghazali tidak bisa dilepaskan
dari pola hubungan (relasi) guru dan murid. Karena kedua hal inilah
yang akan menentukan berhasil tidaknya tujuan pendidikan. Ibarat
pendidikan kalau sarana dan prasarananya jelek akan tetap bisa
berjalan, namun kalau tidak ada guru pendidikan tidak akan bisa
berjalan. Oleh karena itu, guru sebagai subjek ajar dalam pendidikan
harus
mempunyai
berbagai
persyaratan
supaya
mempunyai
keprofesionalan di bidangnya dan tanggungjawabnya terhadap anak
didiknya.
Sedangkan murid yang juga bagian dari subjek dalam
pendidikan juga mempunyai peranan yang sangat penting yang
menentukan masa depan pendidikan. Disamping murid, harus bisa
bersikap baik kepada gurunya, dia juga mempunyai persyaratan.
1) Guru: tugas dan Persyaratannya
Dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman 14
62
merinci tugas dan syarat yang harus dipenuhi seorang guru sebagai
berikut:
.‫ظٍخ ٌٍخالفس‬٠ ٌُ‫ٌىٓ الوً ػح‬ٚ ‫ْ ػحٌّح‬ٛ‫ى‬٠ ْ‫ظٍخ ج‬٠ ٜ‫خ جٌز‬١‫ششؽ جٌش‬ٚ
ْ
.‫ وً جدذ جٔٗ ِششذ‬ٝ‫ذػ‬٠‫ ال‬ٝ‫ً جالجّحي دط‬١‫ عر‬ٍٝ‫ ٌه ذؼغ ػالِطٗ ػ‬ٟٔ‫ج‬ٚ
‫ش‬١‫وحْ لذ ضحذغ ٌشخض ذظ‬ٚ ،ٖ‫دد جٌجح‬ٚ ‫ح‬١ٔ‫ؼشع ػٓ دد جٌذ‬٠ ِٓ :‫ي‬ٛ‫فٕم‬
‫وحْ ِذغٕح‬ٚ ٍُ‫ع‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ٓ ط‬١ٍ‫ذ جٌّشع‬١‫ ع‬ٌٝ‫ضطغٍغً ِطح ذؼطٗ ج‬
‫جٌظذلس‬ٚ ‫جش‬ٍٛ‫شز جٌظ‬١‫وػ‬ٚ ،ٌَٕٛ‫ ج‬ٚ ‫ي‬ٛ‫جٌم‬ٚ ً‫حػس ٔفغٗ ذمٍس جال و‬٠‫س‬
ٌٗ ‫ش جحػال ِذحعٓ جالخالق‬١‫خ جٌرظ‬١‫وحْ ذّطح ذؼطٗ رٌه جٌش‬ٚ .َٛ‫جٌظ‬ٚ
‫ؽّأ ٕٔس جٌٕفظ‬ٚ ‫جٌمٕحػس‬ٚ ٓ١‫م‬١ٌ‫ج‬ٚ ً‫و‬ٛ‫جٌط‬ٚ ‫جٌشىش‬ٚ ‫جٌظالز‬ٚ ‫شز وحٌظد‬١‫ع‬
ٝٔ‫جٌطأ‬ٚ ْٛ‫جٌغى‬ٚ ‫لحس‬ٌٛ‫ج‬ٚ ‫فحء‬ٌٛ‫ج‬ٚ ‫حء‬١‫جٌذ‬ٚ ‫جٌظذق‬ٚ ٍُ‫جٌؼ‬ٚ ‫جػغ‬ٛ‫جٌط‬ٚ ٍُ‫جٌذ‬ٚ
‫ظٍخ ٌاللطذجء‬٠ ٍُ‫ع‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ جٌظ‬ٝ‫جس جٌٕر‬ٛٔ‫س ِٓ ج‬ٛٔ ‫جرج‬ٛٙ‫ح ف‬ٌٙ‫جِػح‬ٚ
.‫ص جالدّش‬٠‫د ِػٍٗ ٔحدس أػض ِٓ جٌىرش‬ٛ‫ج‬ٚ ٓ‫ٌى‬ٚ .ٗ‫ذ‬
Artinya: Syarat agar seorang syaikh dapat menjadi wakil
Rasulullah SAW ia haruslah seorang yang alim, meski tidak
semua orang yang alim dapat menjadi khalifahnya. Aku akan
menjelaskan kepadamu sebagaimana persyaratan syaikh agar
tidak semua orang dapat mendakwakan dirinya seorang mursyid.
Sebagaimana persyaratan itu adalah: tidak mencintai dunia dan
kedudukan; pernah belajar kepada seorang syaikh yang memiliki
silsilah pembimbing sampai kepada penghulu para nabi; memilih
riyadhah yang baik dalam bentuk sedikit makan; sedikit bicara
dan sedikit tidur; banyak melakukan shalat sunnah; sedekah dan
puasa; selama masa belajarnya, sang syaikh telah berhasil meraih
berbagai budi pekerti mulia, seperti: sabar, rajin shalat, syukur,
tawakkal, yakin, dermawan, qana‟ah, berjiwa tenang, santun,
rendah hati, berilmu, jujur dan benar, pemalu, setia (janji),
khidmat, tenang, tidak terburu nafsu dan lain-lain. Dengan sifatsifat ini, ia menjadi secercah cahaya dari cahaya-cahaya
63
(petunjuk) nabi SAW, sehingga ia pantas dijadikan panutan.
Namun, keberadaan syaikh semacam ini sangat jarang, lebih
berharga dari al-Kibrit ahmar.
2) Sikap Murid terhadap Syaikhnya
Sedangkan tentang etika murid terhadap guru, Al-Ghazali
merinci dalam kitab Ayyuha al-Walad, halaman 14 adalah sebagai
berikut:
ِٗ‫ذطش‬٠ ْ‫ ج‬ٝ‫ٕرغ‬٠ ،‫خ‬١‫لرٍس جٌش‬ٚ ،‫خح وّح روشٔح‬١‫جذ ش‬ٛ‫ِٓ عحػذضٗ جٌغؼحدز ف‬ٚ
ٟ‫شطغً ذححإدطجحؼ ِؼٗ ف‬٠‫ال‬ٚ ٌٗ‫جحد‬٠‫ أال‬ٛٙ‫ جِح جدطشجَ جٌظح٘شف‬.‫ذطٕح‬ٚ ‫ظح٘شج‬
‫لص جدجء جٌظالز‬ٚ ‫ٗ عجحدضٗ ئال‬٠‫ذ‬٠ ٓ١‫ ذ‬ٝ‫ٍم‬٠‫ال‬ٚ .ٖ‫جٔٗ ػٍُ خطح‬ٚ ،‫وً ِغأٌس‬
‫خ‬١‫أِشٖ جٌش‬٠ ‫ؼًّ ِح‬٠ٚ .ٗ‫جفً جٌظالز ذخؼشض‬ٛ‫ىػش ذ‬٠‫ال‬ٚ .‫ح‬ٙ‫شفؼ‬٠ ‫فحرج فشؽ‬
‫غّغ‬٠ ‫ أْ وً ِح‬ٛٙ‫أِح جدطشجَ جٌرحؽٓ ف‬ٚ .ٗ‫ؽحلط‬ٚ ‫عؼس‬ٚ ‫ِٓ جٌؼًّ ذمذس‬
.‫طغُ ذحٌٕفحق‬٠ ‫ال ٌثال‬ٛ‫ال ل‬ٚ ‫ جٌرحؽٓ ال فؼال‬ٟ‫ٕىشٖ ف‬٠‫ جٌظح٘ش ال‬ٟ‫مرً ِٕٗ ف‬٠ٚ
ٓ‫ذطشص ػ‬٠ٚ .ٖ‫جفك ذحضٕٗ ظح٘ش‬ٛ٠ ْ‫ ج‬ٌٝ‫طشن طذرطٗ ج‬٠ ‫غططغ‬٠ ٌُ ْ‫ئ‬ٚ
ٓ‫جٌٕحط ػٓ طذ‬ٚ ٓ‫ٓ جٌج‬١‫حؽ‬١‫س ش‬٠‫ال‬ٚ‫مظش‬١ٌ —‫ء‬ٛ‫ِجحٌغس طحدد جٌغ‬
.ٕٝ‫ جٌغ‬ٍٝ‫ذطحس جٌفمش ػ‬٠ ً‫ وً د‬ٍٝ‫ػ‬ٚ ‫طٕس‬١‫ظ جٌش‬ٌٛ ِٓ ٝ‫ظف‬١‫لرٍٗ ف‬
Artinya: Barang siapa bernasib baik dan dapat menemukan syaikh
sebagaimana yang telah kujelaskan, dan syaikh itu pun bersedia
menerimanya sebagai murid, maka hendaknya ia menghormatinya
secara lahir dan batin. Penghormatan secara lahiriyah adalah
dengan cara tidak mendebatnya; tidak menyibukkannya dengan
bantahan-bantahan dalam masalah apapun meskipun si murid
mengetahui kesalahan syaikhnya; tidak menggelar sajadah
didepannya, kecuali pada waktu sholat dan segera
menggulungnya kembali setelah selesai; tidak memperbanyak
shalat-shalat sunnah selama kehadirannya; dan selalu
melaksanakan perintahnya. Adapun penghormatan secara
64
batiniah, yaitu si murid tidak mengingkari dalam hatinya semua
yang telah ia dengar dan sepakati secara lahiriah, baik dengan
perbuatan maupun perkataan, sehingga ia tidak dianggap
munafik. Apabila ia tidak dapat berbuat demikian, maka
hendaknya ia menunda dulu hubungannya dengan syaikhnya
sampai keadaan lahiriahnya sesuai dengan batiniyahnya. Dan
hendaknya ia tidak bergaul dengan orang-orang jahat agar
hatinya terhindar dari pengaruh setan, baik dari kalangan jin
maupun manusia agar ia terbebas dari kejahatan setan. Dan di
atas segalaya, hendaknya ia lebih memilih kemiskinan daripada
kekayaan.
c. Materi Pendidikan
Pendidikan Islam secara fungsional adalah merupakan upaya
manusia muslim merekayasa pembentukan insan kamil melalui
penciptaan situasi interaksi edukstif yang kondusif. Dalam posisinya
demikian, pendidikan Islam adalah model rekayasa individual dan
sosial yang paling efektif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk
masyarakat ideal di masa depan. Sejalan dengan perekayasaan masa
depan umat, maka pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi
atau bahan yang sakan ditransformasikan kepada peserta didik agar
menjadi milik dan kepribadiannya sesuai dengan idealitas Islam
(Nizar, 2002: 55).
Pendidikan akhlak adalah aktivitas dan usaha manusia untuk
meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi
pribadinya, yaitu rohani (cipta, karya, karsa) dan jasmani (panca indra
dan keterampilan). Apabila pendidikan akhlak itu berjalan dengan
baik, lancar serta sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an, maka
65
hasil yang dicapainyapun akan sesuai dengan yang dicita-citakan.
Sebaliknya apabila pendidikan itu dilaksanakan dengan tanpa adanya
program dan keseriusan, maka hasilnyapun akan mengecewakan.
Maka dari itu, hal inilah yang menjadi perhatian Al-Ghazali di
dalam merancang pendidikannya dengan memberikan materi ajar
kepada peserta didik yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Inilah
penjelasan materi pendidikan Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha alWalad:
1) Ilmu
Inti ilmu adalah pengetahuan yang membuat seseorang
faham akan makna ketaatan dan ibadah. Sebab ketaatan dan
ibadah dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangannya harus mengikuti syari’ah. Maksudnya, semua yang
dikatakan, diperbuat, dan ditinggalkan harus berlandaskan
syari’ah. Al-Ghazali mencontohkan ketika seorang berpuasa di
hari raya atau hari tasyriq, maka baginya itu adalah maksiat. Atau
contoh yang lain, apabila seseorang shalat mengenakan pakaian
dari usaha tidak halal, meskipun hal itu tampak seperti ibadah.
Namun perbuatan itu adalah dosa. Hal ini sesuai dengan
pendapatnya dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi
Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412,
halaman 9 adalah sebagai berikut:
66
ً‫جٌفؼ‬ٚ ‫ي‬ٛ‫ ذحٌم‬ٝ٘‫ج‬ٌٕٛ‫ج‬ٚ ‫جِش‬ٚ‫ جأل‬ٟ‫جٌؼرحدز ِطحذؼس جٌشحسع ف‬ٚ ‫جػٍُ جْ جٌطحػس‬
‫ذ‬١‫َ جٌؼ‬ٛ٠ ‫طّص‬ٌٛ ‫ وّح‬،‫ْ ذحلطذجء جٌششع‬ٛ‫ى‬٠ ‫ضطشن‬ٚ ً‫ضفؼ‬ٚ ‫ي‬ٛ‫ وً ِحضم‬ٕٝ‫ؼ‬٠
‫سز‬ٛ‫ئْ وحٔص ط‬ٚ ‫خ‬ٛ‫خ ِغظ‬ٛ‫ غ‬ٟ‫ٕح ف‬١ٍ‫ ط‬ٚ‫ ج‬.‫ح‬١‫ْ ػحط‬ٛ‫ه ضى‬٠‫حَ جٌطشش‬٠‫ج‬ٚ
.ُ‫جٌؼرحدز ضأغ‬
Bagi Al-Ghazali, perkataan dan perbuatan harus konsisten
dan tidak bertentangan dengan syari’ah, sebab baginya ilmu dan
amal tanpa landasan syari’ah adalah sesat. Sehingga beliau
menganjurkan agar seseorang tidak tertipu ucapan-ucapan aneh
kaum
sufi.
Al-Ghazali
menganjurkan
seseorang
agar
bermujahadah, mengalahkan syahwat dan menundukkan hawa
nafsu dengan pedang riyadhah, bukan dengan ucapan-ucapan
kosong kosong yang tidak bermanfaat. Sebab bagi Al-Ghazali,
bahwa lidah yang bebas seenaknya berkata-kata dan hati yang
tertutup dan dipenuhi dengan kelalaian dan syahwat adalah
pertanda kesengsaraan (syaqawah), sehingga apabila seseorang
tidak dapat menundukkan nafsunya, maka hatinya tidak akan
pernah hidup dengan nur makrifat. Hal ini sesuai dengan
pendapatnya dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi
Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412,
halaman 9 adalah sebagai berikut:
ٍُ‫ جرج جٌؼ‬: ‫جفمح ٌٍششع‬ِٛ ‫فؼٍه‬ٚ ‫ٌه‬ٛ‫ْ ل‬ٛ‫ى‬٠ ْ‫ ٌه ج‬ٝ‫ٕرغ‬٠ ،ٚ‫ٌذ‬ٌٛ‫ح ج‬ٙ٠‫ج‬
‫ؽحِحش‬ٚ ‫ ٌه جال ضغطشذحٌشطخ‬ٝ‫ٕرغ‬٠ٚ ،‫جٌؼًّ ذال جلطذجء جٌششع ػالٌس‬ٚ
67
‫ش جٌٕفظ‬ٛٙ‫لطغ ش‬ٚ ‫ْ ذحٌّجح٘ذز‬ٛ‫ى‬٠ ‫ك‬٠‫ الْ جٌغٍه ٘زج جٌطش‬،‫س‬١‫ف‬ٛ‫جٌظ‬
‫جٌطش٘حش‬ٚ ‫ الذحٌطحِحش‬،‫حػس‬٠‫ف جٌش‬١‫ج٘ح ذغ‬ٛ٘ ً‫لط‬ٚ
‫ ػالِس‬،‫ز‬ٛٙ‫جٌش‬ٚ ‫ء ذحٌغفٍس‬ٌٍّّٛ‫جٌمٍد جٌّطرك ج‬ٚ ،‫جػٍُ جْ جٌٍغحْ جٌّطٍك‬ٚ
.‫جس جٌّؼشفس‬ٛٔ‫ح لٍره ذح‬١‫ذ‬٠ ٍٓ‫ فحرج ٌُ ضمطً جٌٕفظ ذظذق جٌّجح٘ذز ف‬،‫ز‬ٚ‫جٌشمح‬
Berkaitan dengan hal di atas, maka ada empat hal yang
wajib dilakukan oleh seorang salik. Pertama, berakidah yang benar
tanpa dicampuri bid‟ah. Kedua, bertaubat dengan tulus dan tidak
mengulang lagi perbuatan hina (dosa) itu. Ketiga, meminta
keridhaan dari musuh-musuhmu, sehingga tidak ada lagi hak
orang lain yang masih tertinggal padamu. Keempat, mempelajari
ilmu syari’ah sekedar yang dibutuhkan untuk melaksanakan
perintah Allah. Juga pengetahuan lain yang dengannya seseorang
selamat. Hal ini sesuai dengan ungkapannya yang terdapat dalam
kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid Muhammad bin
Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman 10 adalah sebagai
berikut:
:‫س‬ِٛ‫ جٌغحٌه جسذؼس ج‬ٍٝ‫جد ػ‬ٚ ‫لذ‬
‫ٗ ذذػس‬١‫ْ ف‬ٛ‫ى‬٠ ‫خ ال‬١‫ جػطمحد طذ‬:
‫ي‬ٚ‫جألِش جأل‬
‫ جٌضٌس‬ٌٝ‫شجغ ذؼذ٘ح ج‬٠ ‫ح ال‬ٛ‫ذس ٔظ‬ٛ‫ ض‬:
ْ‫جٌػح‬ٚ
‫ه دك‬١ٍ‫ ألدذ ػ‬ٝ‫رم‬٠ ‫ ال‬ٝ‫َ دط‬ٛ‫ جعطشػحء جٌخظ‬:
‫جٌػحٌع‬ٚ
ُ‫ غ‬ٌٝ‫ جِشهللا ضؼح‬ٚ‫ ذٗ ج‬ٜ‫ؼس لذ سِح ضإد‬٠‫ً ػٍُ جٌشش‬١‫ ضذظ‬:
‫جٌشجخ‬ٚ
‫ْ ذٗ جٌٕجحز‬ٛ‫ ِح ضى‬ٜ‫َ جالخش‬ٍٛ‫ِٓ جٌؼ‬
68
Pendapat Al-Ghazali yang keempat ini didasarkan pada
sabda nabi SAW yang terdapat dalam kitab Ayyuha al-Walad
karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali,
tahun 1412, halaman 10-11 adalah sebagai berikut: sebagai
berikut:
‫جػًّ هلل‬ٚ ،‫ح‬ٙ١‫جػًّ ألخشضه ذمذسذمحته ف‬ٚ ،‫ح‬ٙ١‫حن ذمذس ِمحِه ف‬١ٔ ‫جػًّ ٌذ‬
‫ح‬ٙ١ٍ‫جػًّ ٌٍٕحس ذمذس طرشن ػ‬ٚ ،ٗ١ٌ‫ذمذس دحجطه ج‬
Artinya: Beramallah untuk duniamu sesuai dengan keduduknmu
di dalamnya, beramallah untuk akhiratmu sesuai dengan
keabadianmu di dalamnya, beramallah untuk Allah sesuai dengan
kebutuhanmu kepada-Nya, beramallah untuk neraka sesuai
dengan kemampuanmu untuk bersabar terhadap siksanya.
2) Tasawwuf
Menurut Al-Ghazali, bahwa tasawwuf memiliki dua
karakteristik, yaitu istiqomah dan sakinah (tenang) terhadap
makhluknya, sehingga barangsiapa yang dapat istiqomah,
berakhlak mulia dan bergaul dengan santun, maka ia adalah
seorang sufi. Hal isi sesuai dengan ungkapannya di dalam kitab
Ayyuha al-Walad, halaman 15 sebagai berikut:
ٓ‫ْ ػ‬ٛ‫جٌغى‬ٚ ،ٌٝ‫ جحإعطمحِس ِغ هللا ضؼح‬:ْ‫ف ٌٗ خظٍطح‬ٛ‫غُ جػٍُ جْ جٌطظ‬
ٛٙ‫ُ ذحٌذٍُ ف‬ٍِٙ‫ػح‬ٚ ‫جدغٓ خٍمٗ ذحٌٕحط‬ٚ ً‫ج‬ٚ‫جٌخٍك فّٓ ئعطمحَ ِغ هللا ػض‬
ٝ‫ف‬ٛ‫ط‬
Istiqomah
adalah
kesediaan
seseorang
untuk
mengorbankan kepentingan dirinya. Sedangkan akhlak yang baik
69
terhadap manusia adalah sikap tidak memaksakan kehendak
terhadap manusia lain, tetap memaksakan diri agar sesuai dengan
kehendak manusia lain selama tidak menyalahi syari’ah.
‫دغٓ جٌخٍك ِغ‬ٚ .ٌٝ‫ جِشهللا ضؼح‬ٚ‫ ج‬ٍٝ‫ دع ٔفغٗ ػ‬ٜ‫فذ‬٠ ْ‫جحإعطمحِس ج‬ٚ
.‫ج جٌششع‬ٛ‫خحٌف‬٠ ٌُ‫ ِح‬:ُ٘‫ ِشجد‬ٍٝ‫ ذً ضذًّ ٔفغه ػ‬.‫ ِشجد ٔفغه‬ٍٝ‫جٌٕحط ػ‬
3) Ubudiyah dan Tawakal, Ikhlas dan Riya’
Al-Ghazali membagi ubudiyah menjadi tiga bagian.
Pertama, menjaga perintah syariat. Kedua, rela dengan qadla dan
qadar, ridla dengan pembagian Allah. Ketiga, meninggalkan ridha
diri dalam rangka mencari ridla Allah. Hal ini sesuai dengan
ungkapannya yang terdapat dalam kitab Ayyuha al-Walad,
halaman 15 sebagai berikut:
‫حء جدذج٘ح ِذحفظس جِش جٌششع‬١‫ غالغس جش‬ٟ٘ٚ ‫س‬٠‫د‬ٛ‫ ػٓ جٌؼر‬ٕٝ‫غُ جٔه عأ ٌط‬
‫ح ضشن سػحء‬ٙ‫غحٌػ‬ٚ ٌٝ‫لغّس هللا ضؼح‬ٚ ‫جٌمذس‬ٚ ‫ح جٌشػحء ذحٌمؼحء‬ٙٔ‫جٌػح‬ٚ
ٌٝ‫ ؽٍد سػحء هللا ضؼح‬ٟ‫ٔفغه ف‬
Al-Ghazali mengartikan tawakal adalah upaya untuk
meneguhkan keyakinan kepada Allah sehubungan dengan apa-apa
yang dijadikan-Nya. Maksudnya, engkau yakin bahwa apa yang
telah ditetapkan Allah untukmu pasti akan sampai kepadamu,
meskipun semua yang yang di jagad ini berusaha untuk
mengalihkannya darimu. Dan apa yang ditetapkan Allah
untukmu, tidak akan sampai kepadamu meskipun seluruh
70
penghuni jagad ini membantahmu. Hal ini sebagaimana
diungkapkan Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad, halaman
15 sebagai berikut:
ٕٝ‫غ‬٠ .‫ػذ‬ٚ ‫ّح‬١‫ ف‬ٌٝ‫ جْ ضغطذىُ جػطمطذن ذحهلل ضؼح‬ٛ٘ٚ ً‫جو‬ٛ‫ ػٓ جٌط‬ٕٝ‫عأٌط‬ٚ
ٍٝ‫ جٌؼحٌُ ػ‬ٝ‫ذ وً ِٓ ف‬ٙ‫جْ ججط‬ٚ ،‫ه الِذحٌس‬١ٌ‫ظً ج‬١‫ضؼطمذ جْ ِح لذس ٌه ع‬
.ٌُ‫غ جٌؼح‬١ّ‫جْ عحػذن ج‬ٚ ‫ه‬١ٌ‫ظً ج‬٠ ٌٓ ‫ىطد‬٠ ٌُ‫ِح‬ٚ .‫طشفٗ ػٕه‬
Sementara itu ikhlas bagi Al-Ghazali adalah menjadikan
semua amalmu untuk Allah SWT, tidak merasa gembira dengan
pujian manusia dan tidak peduli dengan celaan mereka. Hal isi
sebagimana diungkapkan dalam kitab Ayyuha al-Walad, halaman
15 sebagai berikut:
‫شضحح لرٍه‬٠‫ال‬ٚ ٌٝ‫ح هلل ضؼح‬ٍٙ‫ْ جػّحٌه و‬ٛ‫ جْ ضى‬ٛ٘ٚ ‫ ػٓ جحإخالص‬ٕٝ‫عأٌط‬ٚ
.ٗ‫ ذّزِط‬ٌٝ‫ال ضرح‬ٚ ‫ذّذحِذ جٌٕحط‬
Riya’ bagi Al-Ghazali timbul karena pengangungan
terhadap manusia. Cara menghilangkannya adalah dengan
menyadari bahwa semua manusia tunduk kepada kekuasaan
Allah, atau dengan menganggap mereka sebagai benda-benda
yang mati yang tidak mampu memberikan kemudahan maupun
kesulitan. Namun, selama kau menganggap mereka punya kuasa
dan kehendak, kau tidak akan bisa menjauhkan dari riya’. Beliau
berkata yang terdapat dalam kitab Ayyuha al-Walad, halaman 1516 sebagai berikut:
71
‫ٓ ضذص‬٠‫ػالجٗ جْ ضشجُ٘ ِغخش‬ٚ .‫ُ جٌخٍك‬١‫ٌذ ِٓ ضؼظ‬ٛ‫ط‬٠ ‫حء‬٠‫جػٍُ أْ جٌش‬ٚ
‫جٌّشمس ٌطخٍض‬ٚ ‫ظحي جٌشجدس‬٠‫ ػذَ لذسز ئ‬ٝ‫ وحٌجّحدجش ف‬،ُٙ‫ضذغر‬ٚ ‫جٌمذسز‬
.‫حء‬١ٌ‫رؼذ ػٕه ج‬٠ ٌٓ ‫جسجدز‬ٚ ‫ لذسز‬ٜٚ‫ُ ر‬ٙ‫ ضذغر‬ٝ‫ِط‬ٚ .ُٙ‫ِٓ ِشجء ض‬
4) Delapan Nasehat Al-Ghazali
Al-Ghazali memberikan nasehat sebanyak 8 buah sebagai
rangkaian terakhir dalam kitab Ayyuha al-Walad. Empat diantara
8 nasehat tersebut harus dilaksanakan, sedangkan empat lagi
harus ditinggalkan.
Adapun
4
perbuatan-perbuatan
yang
yang
harus
ditinggalkan:
a) Nasehat pertama, Al-Ghazali melarang agar tidak berdebat,
karena berdebat baginya memuat berbagai bencana, dosanya
lebih besar dari manfaatnya, merupakan sumber segala
perilaku tercela, seperti: riya’, dengki (hasad), sombong,
dendam (hiqd), permusuhan, bermulut besar dan lain
sebagainya, sebagaimana ungkapannya dalam kitab Ayyuha
al-Walad, halaman 16 adalah sebagai berikut:
‫ح‬ّٙ‫ فاغ‬.‫شز‬١‫ح آفحش وػ‬ٙ١‫ ألْ ف‬،‫ ِغأٌس ِح جعططؼص‬ٝ‫جال ضٕحظش جدذج ف‬
‫جٌذغذ‬ٚ ‫حء‬٠‫ُ وحٌش‬١ِ‫ ِٕرغ وً خٍك ر‬ٟ٘ ‫ ئرج‬.‫ح‬ٙ‫جورش ِٓ ٔفؼ‬
.‫ش٘ح‬١‫غ‬ٚ ‫جٌّرح٘حز‬ٚ ‫ز‬ٚ‫جٌؼذج‬ٚ ‫جٌذمذ‬ٚ‫جٌىرش‬ٚ
Al-Ghazali memberikan solusi untuk menghindari adanya
debat ini. Apabila terjadi perselisihan antara seseorang dan
72
kelompok lain, dan orang itu ingin menunjukkan kebenaran,
maka debat boleh dilakukan. Tetapi dengan syarat sebagai
berikut:
Pertama, Tidak membenda-bedakan, apakah kebenaran itu
lewat hasil pemikiran orang itu atau orang (kelompok) lain.
Kedua, Sebaiknya debat dilakukan secara tertutup, bukan
dihadapan khalayak ramai. Tujuan debat ini adalah untuk
mencari kebenaran, bukan untuk pamer dihadapan umum,
atau juga bukan untuk menimbulkan perpecahan.
b) Al-Ghazali melarang memberi nasehat dan tadzkir (peringatan)
kepada masyarakat, karena di dalamnya terkandung banyak
bencana, kecuali apabila orang yang memberikan nasehat itu
telah mengamalkannya. Sebagaimana ungkapan beliau dalam
kitab Ayyuha al-walad, halaman 19 adalah sebagai berikut:
‫شز ئال‬١‫ٗ جفس وػ‬١‫ِزوشج ألْ ف‬ٚ ‫جػع‬ٚ ْٛ‫ جْ ضذزسِٓ أْ ضى‬ٛ٘ ‫ِّح ضذع‬
.‫الغُ ضؼع ذٗ جٌٕحط‬ٚ‫ي أ‬ٛ‫جْ ضؼًّ ذّح ضم‬
Menurut
Al-Ghazali,
memberikan
nasehat
apabila
dan
seseorang
peringatan,
diuji
maka
ia
untuk
harus
mewaspadai dua hal sebagai berikut:
Pertama, Menghindari pembicaraan yang dibuat-buat, penuh
dengan ibarat, syair atau ucapan kosong tanpa faedah. Sebab
Allah SWT benci kepada orang-orang yang gaya bicaranya
dibuat-buat. Orang demikian ini, biasanya berbuat melampaui
73
batas, dan kelakuannya ini menunjukkan rusaknya batin (jiwa)
dan lalainya hati. Sebagaimana ungkapannya yang terdapat
dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman
19 sebagai berikut:
‫جٌطحِحش‬ٚ ‫جحإشحسش‬ٚ ‫ جٌىالَ ذحٌؼرحسش‬ٝ‫ف ف‬١ٍ‫ي ػٓ ضى‬ٚ‫جأل‬
‫جٌّطىٍف‬ٚ ،ٕٓ١‫رغغ جٌّىٍف‬٠ ٌٝ‫ ألْ هللا ضؼح‬،‫جألشؼحس‬ٚ ‫حش‬١‫جألذ‬ٚ
.‫غفٍس جٌمٍد‬ٚ ٓ‫ خشجخ جٌرحؽ‬ٍٝ‫ذي ػ‬٠ ‫صػٓ جٌذذ‬ٚ‫جٌّطجح‬
Kedua, Jangan sampai orang yang memberikan nasehat itu
berniat agar orang-orang yang diberi nasehat itu menjadi
ketakutan, mereka menampakkan rasa cinta, merobek baju
atau agar dikatakan: inilah majlis yang baik. Sebab niat
semacam itu lebih condong pada kepentingan duniawi (riya‟)
yang disebabkan kelalaian. Namun sebaliknya, harus
menjadikan niat dan tekad orang tersebut adalah untuk
mengajak dan mengalihkan (perhatian) manusia dari dunia
menuju akhirat., dari maksiat menuju taat, dari kerakusan
menuju zuhud, dan dari kekikiran menuju kedermawanan,
sehingga timbul dalam hati orang yang diberi nasehat untuk
cinta kepada akhirat. Sebagimana yang terdapat dalam kitab
Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid Muhammad bin
Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman 20 adalah
sebagai berikut:
74
ٟ‫ٕؼش جٌخٍك ف‬٠ ْ‫ػظه ج‬ٚ ٝ‫ْ ّ٘طه ف‬ٛ‫س جال ضى‬١ٔ‫جٌخظٍس جٌػح‬ٚ
‫ ٔؼُ جٌّجٍظ ٘زج‬:‫محي‬١ٌ ‫حخ‬١‫ج جٌػ‬ٛ‫غم‬٠ٚ ،‫ججذ‬ٌٛ‫ج ج‬ٚ‫ش‬ٙ‫ظ‬٠ٚ‫ِجٍغه ج‬
‫ْ ػضِه‬ٛ‫ى‬٠ ْ‫ ج‬ٝ‫ٕرغ‬٠ ً‫ ذ‬.‫ي ِٓ جٌغفٍس‬ٛ‫ط‬٠ٛ٘ٚ .‫ح‬١ٔ‫ً ٌٍذ‬١ِ ٍٗ‫ألْ و‬
ٌٝ‫س ج‬١‫ِٓ جٌّؼظ‬ٚ ،‫ جألخشز‬ٌٝ‫ح ج‬١ٔ‫جٌٕحط ِٓ جٌذ‬ٛ‫ّ٘طه جْ ضذػ‬ٚ
ِٓٚ ‫ جٌغخحء‬ٌٝ‫ِٓ جٌرخً ج‬ٚ ٜ‫ جٌض٘ذ‬ٌٝ‫ِٓ جٌذشص ج‬ٚ ،‫جٌطحػس‬
ٜٛ‫ جٌطم‬ٌٝ‫س ج‬ٚ‫ِٓ جٌغش‬ٚ ‫مظس‬١ٌ‫ ج‬ٌٝ‫ِٓ جٌغفٍس ج‬ٚ ٓ١‫م‬١ٌ‫ ج‬ٌٝ‫جٌشه ج‬
‫ُ ػٍُ جٌؼرحدز‬ٍّٙ‫ضؼ‬ٚ ‫ح‬١ٔ‫ُ جٌذ‬ٙ١ٌ‫ضرغغ ج‬ٚ ‫ُ جألخشز‬ٙ١ٌ‫ضذرد ج‬ٚ
.ٗ‫سدّط‬ٚ ً‫ج‬ٚ‫ ػض‬ٌٝ‫ال ضغشُ٘ ذىشَ هللا ضؼح‬ٚ ‫جٌض٘ذ‬ٚ
c) Nasehat
ketiga
yang
berkaitan
dengan
yang
harus
ditinggalkan adalah sebagai berikut:
Pertama, Tidak bergaul dengan penjabat, dan tidak boleh
bertemu dengan mereka. Karena melihat, duduk dan bergaul
dengan mereka merupakan bencana besar.
Kedua, Jika seseorang telah diuji Allah untuk bergaul dengan
mereka, maka janganlah memuji mereka. Karena Allah SWT
akan murka bila nasehat seorang yang fasiq atau zalim dipuji.
Ketiga, barang siapa mendo’akan mereka panjang umur,
maka ia telah rela Allah durhakai di bumi-Nya. Sebagaimana
diungkapkan Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad,
halaman 21 adalah sebagai berikut:
ُٙ‫ط‬٠‫ ألْ سؤ‬،ُ٘‫الضشج‬ٚ ٓ١‫جٌغالؽ‬ٚ ‫ِّح ضذع جال ضخحٌؾ جالِشجء‬
ُٙ‫ دع ػٕه ِذد‬.‫ح‬ٙ‫ص ذ‬١ٍ‫ جذط‬ٌٛٚ ‫ّس‬١‫ُ جفس ػظ‬ٙ‫ِخحٌطط‬ٚ ُٙ‫ِجحٌغط‬ٚ
75
‫ِٓ دجع‬ٚ .ٌُ‫جٌظح‬ٚ ‫غؼد جرج ِذح جٌفحعك‬٠ ٌٝ‫ ألْ هللا ضؼح‬.ُ٘‫غٕحء‬ٚ
.ٗ‫ جسػ‬ٝ‫ هللا ف‬ٝ‫ؼظ‬٠ ْ‫ُ فمذ جدد ج‬ٙ‫ي ذمحت‬ٛ‫جٌط‬
d) Nasehat Al-Ghazali yang berkaitan dengan perbuatan yang
perlu ditinggalkan adalah sebagai berikut: Tidak menerima
pemberian atau hadiah apapun dari pejabat negara, meskipun
orang yang diberi hadiah mengetahui, bahwa pemberian dan
hadiah itu adalah hasil dari usaha yang halal. Bagi Al-Ghazali
hal itu dapat merusak agama, dan dapat membuat orang
berkepentingan dan berpihak pada mereka, melindungi
kelompok mereka, dan setuju dengan kezaliman mereka. Ini
semua dapat mengakibatkan rusaknya agama. Hal ini
sebagiamana ungkapan Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha alWalad, halaman 21 adalah sebagai berikut:
ِٓ ‫ح‬ٙٔ‫جْ ػٍّص ج‬ٚ ،ُ٘‫ح‬٠‫٘ذ‬ٚ ‫ثح ِٓ ػطحء جألِشجء‬١‫ِّح ضذع جال ضمرً ش‬
‫ِشجػحز‬ٚ ،‫ٌذ ِٕٗ جٌّذج ٕ٘س‬ٛ‫ط‬٠ ٗٔ‫ أل‬،ٓ٠‫فغذ جٌذ‬٠ ُِٕٙ ‫جٌذالي الْ جٌطّغ‬
.ٓ٠‫ جٌذ‬ٝ‫٘زج وٍٗ فغحد ف‬ٚ .ٍُّٙ‫ ظ‬ٝ‫جفمس ف‬ٌّٛ‫ج‬ٚ ُٙ‫جحٔر‬
Sedangkan 4 nasehat yang diberikan Al-Ghazali untuk
dilaksanakan adalah sebagai berikut:
a) Supaya menjadikan hubungan seseorang hamba dengan Allah
sedemikian rupa, sehingga akan timbul rasa senang, lapang
dada dan tidak marah. Sebagaimana ungkapannya yang
76
terdapat dalam kitab Ayyuha al-Walad halaman 22 adalah
sebagai berikut:
ٝ‫ح ػرذن ضشػ‬ٙ‫ػحًِ ِؼه ذ‬ٌٛ ‫ع‬١‫ ذذ‬ٌٝ‫جْ ضجؼً ِؼحٍِطه ِغ هللا ضؼح‬
‫ ٌٕفغه‬ٝ‫ الضشػ‬ٞ‫جٌز‬ٚ ‫الضغؼد‬ٚ ٗ١ٍ‫ه خحؽشن ػ‬١‫ؼ‬٠ ‫ال‬ٚ ِٕٗ ‫ح‬ٙ‫ذ‬
.ٝ‫م‬١‫ذن جٌذم‬١‫ ع‬ٛ٘ٚ ٌٝ‫ؼح هللا ضؼح‬٠‫ أ‬ٝ‫ فال ضشػ‬ٜ‫ِٓ ػرذن جٌّجحص‬
b) Apapun yang diperbuat seseorang untuk masyarakat, maka
jadikanlah sebagaimana yang ia sukai untuk dirinya sendiri.
Sebab tidak akan sempurna iman seseorang sebelum ia
mencintai untuk masyarakat sebagaimana ia mencintai untuk
dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana ungkapannya dalam kitab
Ayyuha al-walad, halaman 22 sebagai berikut:
ْ‫ّح‬٠‫ىًّ ئ‬٠‫ُ ألٔٗ ال‬ِٕٙ ‫ ٌٕفغه‬ٝ‫وٍّح ػٍّص ذحٌٕحط ججؼٍٗ وّح ضشػ‬
ٗ‫ذد ٌٕفغ‬٠ ‫ذد ٌغحتش جٌٕحط ِح‬٠ ٝ‫ػرذ دط‬
Pendapat Al-Ghazali ini didasarkan pada sabda Rasulullah
SAW sebagai berikut:
‫ دذغٕح‬،‫ دذغٕح ِذّذ ذٓ جؼفش‬:‫جذٓ ذشحسلحي‬ٚ ٕٝ‫دذغٕح ِذّذ ذٓ جٌّػ‬
ٓ‫ ػ‬،ٕٗ‫ هللا ػ‬ٝ‫ذذظ ػٓ أٔظ ذٓ ِحٌه سػ‬٠ ‫ عّؼص لطحدز‬:‫ لحي‬،‫شؼرس‬
‫ لحي‬ٚ‫ٗ (أ‬١‫ذد ألخ‬٠ ٝ‫إِٓ جدذوُ دط‬٠‫ ال‬:‫عٍُ لحي‬ٚ ‫ هللا‬ٍٝ‫ ط‬ٟ‫جٌٕر‬
ٗ‫ذد ٌٕفغ‬٠ ‫جٌجحسز) ِح‬
c) Apabila
seseorang
membaca
atau
mempelajari
ilmu
hendaknya ilmu itu dapat memperbaiki hatinya dan
77
mensucikan jiwanya. Sebagaimana ungkapannya didalam
kitab Ayyuha al-walad, halaman 22 sebagai berikut:
ٝ‫ضو‬٠ٚ ‫ظٍخ لٍره‬٠ ‫ْ ػٍّه‬ٛ‫ى‬٠ ْ‫ ج‬ٝ‫ٕرغ‬٠ ٗ‫ ؽحٌؼط‬ٚ‫جرج لشأش جٌؼٍُ ج‬
‫ٔفغه‬
Dalam nasehat ketiganya ini, Al-Ghazali berpendapat bahwa
mmempelajari pengetahuan adalah fardhu „ain, sedangkan
mempelajari ilmu lainnya adalah
fardhu kifayah, itupun
sekedar pengetahuan tentang apa-apa (ilmu) yang dapat
menunaikan berbagai kewajiban terhadap Allah SWT.
d) Nasehat terakhir Al-Ghazali yang berkaitan dengan hal-hal
yang harus dikerjakan adalah tidak menyimpan kebutuhan
hidupnya melebihi kebutuhan satu tahun sebagaimana yang
telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Al-Ghazali dalam
kitabnya Ayyuha al-Walad pada halaman 23 mengungkapkan
sebagai berikut:
‫س عٕس‬٠‫ح جوػشِٓ وفح‬١ٔ‫جال ضجؼً ِٓ جٌذ‬
Berkaitan dengan hal ini, nabi pernah berdoa sebagai berikut:
‫ش جي ِذّذ وفحفح‬ٛ‫ُ ججؼً ل‬ٌٍٙ‫ج‬
Artinya: “Ya Allah jadikanlah (persediaan) makanan
keluarga Muhamad (ku) secukupnya”.
d. Metode Pendidikan
Pendidikan
Islam
dalam
pelaksanaannya
membutuhkan
metode yang tepat untuk menghantarkan kegiatan pendidikannya ke
78
arah
tujuan
yang
di
cita-citakan.
Bagaimanapun
baik
dan
sempurnanya suatu kurikulum/materi pendidikan Islam, ia tidak akan
berarti apa-apa manakala tidak memiliki metode atau cara yang tepat
dalam mentransformasikannya kepada peserta didik. Ketidaktepatan
dalam penerapan metode secara praktis akan menghambat proses
belajar mengajar yang akan berakibat membuang waktu dan tenaga
secara percuma. Karenanya, metode adalah syarat untuk efisiensinya
aktivitas kependidikan Islam.
Metode merupakan salah satu yang sangat penting untuk
mencapai keberhasilan dalam pendidikan. Hal inilah yang dilakukan
Al-Ghazali yang lebih menyeimbangkan antara teori dan praktek yang
sesuai dengan asas-asas pendidikan Islam. Adapun metode yang
digunakan Al-Ghazali dalam interaksi edukatifnya dalam kitab
Ayyuha al-Waalad adalah sebahai berikut:
1) Metode keteladanan
Di dalam kitab Ayyuha al-Walad Al-Ghazali banyak
memberikan nasehat-nasehat pendidikan lebih ditekankan pada
masalah praktek dalam pembelajarannya atau yang sering disebut
dengan metode keteladanan. Diantara yang ia katakan adalah
bahwa “Duhai anakku! Apa yang kalian katakan dan kerjakan
harus sesuai dngan syara’, sebab ilmu dan amal kalau tidak sesuai
syari’at adalah sesat (dhalalah)” (Ayyuha al-Walad, 1412: 7).
79
Bahkan lebih jauh Al-Ghazali mensyaratkan orang yang
menjadi da’i (yang sering memberi tadzkirah) harus terlebih
dahulu sudah mengamalkannya, karena akan menjadi tauladan
bagi masyarakat secara luas.
2) Metode cerita atau kisah
Metode ini dilatarbelakangi oleh kewajiban seseorang yang
harus mengamalkan ilmunya, sebab seperti sabda nabi: bahwa
azab (siksa) yang paling pedih di akherat nanti adalah dikenakan
kepada orang alim (berilmu) yang tidak diberi manfaat untuk
mengamalkan oleh Allah SWT.
Imam Al-Ghazali menggunakan metode cerita untuk
mendidik akhlak anak didik yaitu dengan cerita tentang kejadian
yang dialami oleh seorang tokoh tertentu sehingga dapat diambil
pelajaran yang baik dari cerita tersebut. Metode cerita memang
sangat
penting
dalam
pendidikan
untuk
mempermudah
penyampaian pelajaran kepada anak didik dan mempermudah
penerimaan dari anak didik tentang pelajaran tersebut.
Ada sebuah cerita: bahwa ada seseorang yang bermimpi
melihat Imam Junaid (ketika ia sudah meninggal dunia), orang tadi
bertanya kepada Imam Junaid, bagaimana kabarmu hai Abal
Qasim (Imam Junaid)? Ia berkata: telah hilang ibarat telah lenyap
isyarat, tidak ada yang bermanfaat bagi kami kecuali beberapa
80
rekaat yang kami lakukan di tengah malam (Ayyuha al-Walad,
1412: 3).
‫ً ٌٗ ِحٌخرش‬١‫ضٗ فم‬ِٛ ‫ جٌّٕحَ ذؼذ‬ٝ‫ ف‬ٜ‫ سؤ‬،ٖ‫ لذط هللا عش‬،‫ذ‬١ٕ‫ أْ جٌج‬ٜٚ‫س‬ٚ
‫ِح ٔفؼٕح جال‬ٚ ،‫ص ضٍه جحإشحسجش‬١ٕ‫ف‬ٚ ‫ ؽحدص ضٍه جٌؼرحسجش‬:‫ح جذح جٌمحعُ؟ لحي‬٠
.ً١ٌٍ‫ف ج‬ٛ‫ ج‬ٝ‫ؼحش سوؼٕح٘ح ف‬١‫سو‬
3) Metode pembiasaan
Dalam hal ini Al-Ghazali seperti dikutip oleh Ali AlJumbulati, bahwa pendidikan akhlak hendaknya didasarkan atas
mujahadah (ketekunan) dan latihan dalam jiwa. Mujahadah dan
riyadhah nafsiyah (ketekunan dan latihan kejiwaan) menurut AlGhazali adalah membebani jiwa dengan amal-amal perbuatan
yang ditujukan kepada khuluk yang baik, sebagaimana kata beliau:
Maka barang siapa ingin menjadikan dirinya bermurah hati, maka
caranya ialah membebani dirinya dengan perbuatan yang bersifat
dermawan yaitu mendermawankan hartanya. Maka jiwa tersebut
akan selalu cenderung berbuat baik dan ia terus menerus
melakukan mujahadah (menekuni) perbuatan itu, sehingga hal itu
akan menjadi watak. Demikian juga orang yang ingin menjadikan
dirinya berjiawa tawadlu‟ (rendah hati) kepada orang-orang yang
lebih tua, maka caranya ia harus membiasakan diri bersikap
tawadlu‟
secara
terus
menerus
dan
jiwanya
benar-benar
menekuninya terhadap perbuatan tersebut sampai hal itu menjadi
81
akhlak dan wataknya sehingga mudah berbuat sesuai dengan
akhlak dan wataknya itu (Al-Jumbulati, 2002: 156-157).
Hal ini diungkapkan Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha alWalad, halaman 6 yang artinya: Hai anakku: berapa malam yang
kau gunakan untuk belajar ilmu (tikrar al-ilmu) dan ngaji kitab
(muthala‟ah al-kutub) dan mengharamkan tidur atas dirimu? Aku
tidak tahuapa yang menjadikan semangat dalam hidupmu? Jika
semangatmu hanya untuk harta dunia atau kedudukan di dunia
atau untuk berbuat sombong, maka kehancuranlah yang akan kau
dapatkan. Tetapi jika tujuan hidupmu untuk menghidupkan
syari’at nabi dan membersihkan akhlak maka keberuntunganlah
yang akan kau dapatkan. Seperti yang diungkapkan Imam AlGhazali dalam kitab Ayyuha al-Walad, halaman
ٍٝ‫دشِص ػ‬ٚ ‫ِطحٌؼس جٌىطد‬ٚ ٍُ‫ح ذطىشجس جٌؼ‬ٙ‫ط‬١١‫حي جد‬١ٌ ِٓ ُ‫ و‬،‫ٌذ‬ٌٛ‫ح ج‬ٙ٠‫ج‬
‫جزخ‬ٚ ‫ح‬١ٔ‫ً ػشع جٌذ‬١ٔ ْ‫ٗ؟ أْ وح‬١‫َ؟ الجػٍُ ِح وحْ جٌرحػص ف‬ٌٕٛ‫ٔفغه ج‬
ُ‫ً ٌه غ‬٠ٛ‫جألِػحي ف‬ٚ ْ‫ جأللشج‬ٍٝ‫جٌّرح٘حز ػ‬ٚ ‫ح‬ٙ‫ً ِٕح طر‬١‫ضذظ‬ٚ ‫ح‬ِٙ‫دطح‬
ٍُ‫ع‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ ط‬ٟ‫ؼس جٌٕر‬٠‫حء شش‬١‫ٗ ئد‬١‫جْ وحْ لظذن ف‬ٚ ‫ً ٌه‬٠ٚ
.‫ ٌه‬ٝ‫ذ‬ٛ‫ ٌه غُ ؽ‬ٝ‫ذ‬ٛ‫ فط‬،‫ء‬ٛ‫وغش جٌٕفظ جألِحسز ذحٌغ‬ٚ ‫د أخالله‬٠‫ز‬ٙ‫ض‬ٚ
B. Relevansi konsep pendidikan akhlak dalam kitab Ayyuha al-Walad karya
Imam Al-Ghazali dengan pendidikan di Indonesia.
Salah satu yang bisa memancing perhatian umat Islam adalah tokoh
pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali adalah seorang intelektual agung yang
82
bersifat genius dengan keahlian multi dimensional, baik di bidang
keagamaan, filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Generalisasi keahliannya
itu menunjukkan keluwesannya dalam mengungkap permasalahan, dan
ternyata beliau mampu menyelesaikan pertentangan-pertentangan intelektual
pada masanya serta mampu melahirkan pemikiran baru dalam filsafat.
Ilmunya yang telah terbukti kebenarannya di masa sekarang. Sesungguhnya,
Al-Ghazali seorang pakar pendidikan akhlak yang luas pemikirannya. Bahkan
ia pernah berkecimpung langsung menjadi praktisi selain sebagai pemikir
pendidikan Islam, ia pula memikirkan soal-soal pendidikan akhlak, dan
mempraktikkan pemikiran-pemikirannya.
Relevansi konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali dalam
kitab Ayyuha al-Walad dengan pendidikan Islam di Indonesia masa sekarang
meliputi beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut yaitu:
1. Aspek tujuan pendidikan Akhlak
Pendidikan adalah suatu usaha untuk memberikan bantuan atau
menolong pengembangan manusia sebagai makhluk individu sosial,
makhluk yang berasusila dan makhluk yang berkeagamaan. Islam adalah
ilmu dan cahaya. Bukan merupakan agama kebodohan dan kegelapan.
Wahyu Allah SWT yang pertama diturunkan mengandung perintah
membaca kepada Rasulullah SAW. Pengulangan atas perintah tersebut dan
penyebutan masalah ilmu dapat dirasakan dalam suatu pendidikan. Allah
berfirman dalam surat Al-Alaq ayat 1-5 sebagai berikut:
83
            
           
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya” (Depag, 2004: 598).
Tujuan pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab
Ayyuha al-Walad ialah kesempurnaan insan di dunia dan di akhirat.
Manusia dapat mencapai kesempurnaan melalui pencariaan keutamaan
dengan menggunakan ilmu. Keutamaan itu akan memberinya kebahagiaan
di dunia dan serta mendekatkannya kepada Allah SWT, sehingga dia akan
mendapatkan kebahagiaan akhirat.
Pada aspek tujuan pendidikan akhlak, menurut penulis Imam AlGhazali menggariskan tujuan pendidikan akhlak adalah semata-mata untuk
meraih ridha Allah SWT. Tujuan ini mencerminkan tauhid yang kuat.
Tujuan pendidikan akhlak dalam perspektif Imam Al-Ghazali sangat
menguatkan tauhid. Tidak ada tujuan lain dalam menempuh pendidikan
akhlak selain untuk meraih ridho Allah SWT. Bukan untuk meraih
popularitas, bukan pula untuk meraih kedudukan, bukan untuk meraih
jabatan, bukan untuk meraih kekayaan, melainkan semata-mata untuk
meraih ridha Allah SWT.
Sejalan dengan Al-Ghazali tujuan pendidikan menurut HAMKA
memiliki dua dimensi: bahagia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai
84
tujuan tersebut, manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu
beribadah. Oleh karena itu, segala proses pendidikan pada akhirnya
bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi
Allah. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam menurut HAMKA sama
dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri, yakni untuk mengabdi dan
beribadah kepada Allah. Ia mengatakan bahwa ibadah adalah mengakui
diri sebagai budak atau hamba Allah, tunduk kepada kemauan-Nya, baik
secara suka rela maupun terpaksa (HAMKA, 1998: 37).
Dalam
sebuah
hadits
disebutkan
bahwa
manusia
dapat
mendekatkan diri pada Allah dengan melaksanakan ibadah wajib dan
ibadah sunnah:
‫ ئْ هللا‬:ٍُ‫ع‬ٚ ٗ١ٍ‫ جهللا ػ‬ٍٝ‫ي هللا ط‬ٛ‫ لحي سع‬:‫ هللا ػٕٗ لحي‬ٟ‫شز سػ‬٠‫ ٘ش‬ٝ‫ػٓ جذ‬
‫ة أدد‬١‫ ذش‬ٜ‫ ػرذ‬ٌٟ‫ِح ضمشخ ئ‬ٚ ،‫ح فمذ جر ٔطٗ ذحٌذشخ‬١ٌٚ ٌٝ ٜ‫ ِٓ ػحد‬:‫ لحي‬ٌٝ‫ضؼح‬
ٗ‫ فارج أدررط‬،ٗ‫ أدر‬ٝ‫جفً دط‬ٌٕٛ‫ ذح‬ٌٟ‫طمشخ ئ‬٠ ٜ‫ضجي ػرذ‬٠‫ال‬ٚ ،ٗ١ٍ‫ ِّح جلطشػطٗ ػ‬ٌٟ‫ئ‬
ٟ‫سجٍٗ جٌط‬ٚ ،‫ح‬ٙ‫رطش ذ‬٠ ٟ‫ذٖ جٌط‬٠ٚ ،ٗ‫رظشذ‬٠ ٞ‫ذظشٖ جٌز‬ٚ ٗ‫غّغ ذ‬١‫ ع‬ٞ‫وٕص عّؼٗ جٌز‬
)ٜ‫جٖ جٌرخحس‬ٚ‫(س‬.ٗٔ‫ز‬١‫ ألػ‬ٟٔ‫ٌثٓ جعطؼحر‬ٚ ،ٕٗ١‫ ألػط‬ٟٕ‫ٌثٓ عأٌط‬ٚ ،‫ح‬ٙ‫ ذ‬ٝ‫ّش‬٠
Sesungguhnya Allah telah berfirman, “Barang siapa memusuhi orang
yang setia kepada-Ku (orang yang Aku cintai), maka sesungguhnya Aku
telah menyatakan perang terhadapnya. Dan tidaklah seorang hamba-Ku
bertaqarub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku
mencintainya. Dan apabila Aku telah mencintainya, jadilah Aku sebagai
pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, sebagaimana
penglihatan yang ia gunakan untuk melihat. Sebagaimana tangannya yang
ia gunakan untuk berjuang. Sebagimana kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan. Dan jika ia meminta kepada-Ku pasti Aku memberinya, dan jika
ia meminta perlindungan kepada-Ku pasti Aku memberi perlindungan
kepadanya.” (HR. Bukhari dari Abi Hurairah) (Usman dkk, 2003: 48).
85
Di samping harus melaksanakan ibadah wajib dan sunnah, untuk
mendekatkan diri pada Allah manusia harus senantiasa mengkaji ilmuilmu fardlu’ain. Alasannya, di sanalah terdapat hidayah al-Din (hidayah
agama) yang termuat dalam ilmu syari’ah. Sementara, orang-orang yang
hanya menekuni ilmu fardlu kifayat sehingga memperoleh profesi-profesi
tertentu dan akhirnya mampu melaksanakan tugas-tugas kuduniaan dengan
hasil yang semaksimal dan seoptimal mungkin tetapi tidak disertai hidayah
al-Din, orang tersebut tidak semakin dekat kepada Allah, bahkan semakin
jauh dari-Nya. Orang semacam ini tidak dapat melaksanakan tugas-tugas
ukhrawi dengan baik, ia lebih cinta dunia dan karena itu lupa akhirat.
Akibatnya, ia tidak mencapai tujuan hidupnya yakni bahagia di akhirat
karena tidak melaksanakan tugas-tugas akhirat.
Tujuan pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali ternyata terserap
dalam jiwa-jiwa manusia Indonesia hingga masyarakat Indonesia melalui
wakil-wakil rakyatnya menyusun Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional yang berisi fungsi dan tujuan pendidikan yang tidak bertentangan
dengan apa yang menjadi pemikiran Imam Al-Ghazali. Disebutkan di
dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka serta mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
86
bertanggung jawab. Hal ini berarti sejalan dengan tujuan pendidikan
akhlak Imam Al-Ghazali yang menekankan bahwa tujuan pendidikan
akhlak adalah membentuk pribadi-pribadi yang berakhlak mulia yang
diridhoi Allah SWT atau melaksanakan pendidikan akhlak untuk
mendapatkan ridho Allah SWT.
Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan
akhlak Imam Al-Ghazali tidak hanya digunakan untuk pendidikan akhlak
di masa Imam Al-Ghazali tetapi juga digunakan di masa sekarang di
Indonesia. Jadi dalam hal ini, tujuan pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali
adalah relevan dengan tujuan pendidikan akhlak di Indonesia.
2. Aspek subjek pendidikan akhlak
Subjek pendidikan adalah orang yang berkenaan langsung dengan
proses pendidikan dalam hal ini pendidik dan peserta didik. Peserta didik
yaitu pihak yang merupakan sabjek terpenting dalam pendidikan. Hal ini
disebabkan atau tindakan pendidik itu diadakan atau dilakukan hanyalah
untuk membawa anak didik kepada tujuan pendidikan Islam yang dicitacitakan.
Subjek pendidikan menurut Al-Ghazali tidak bisa dilepaskan dari
pola hubungan (relasi) guru dan murid. Karena kedua hal inilah yang akan
menentukan berhasil tidaknya tujuan pendidikan. Ibarat pendidikan kalau
sarana dan prasarananya jelek akan tetap bisa berjalan, namun kalau tidak
ada guru pendidikan tidak akan bisa berjalan. Oleh karena itu, guru
sebagai subjek ajar dalam pendidikan harus mempunyai berbagai
87
persyaratan supaya mempunyai keprofesionalan di bidangnya dan
tanggungjawabnya terhadap anak didiknya.
Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, pendidik adalah orang
yang bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan
mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab. Profesional yang dimaksudkan oleh undang-undang tersebut bahwa
seorang pendidik (guru) sekurang-kurangnya harus memiliki kompetensi,
yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial,
dan kompetensi profesional.
Seorang guru yang baik mengembangkan hubungan yang kuat dan
saling hormat menghormati dengan siswa dan membangun hubungan
yang dapat dipercaya. Diperjelas lagi tentang kompetensi seorang guru
bisa kita temui dalam falsafah guru yang dipopulerkan oleh ki Hajar
Dewantara yang terkenal dikalangan masyarakat Indonesia yaitu Ing
Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut wuri Handayani
yang berarti figure seorang pemimpin (guru) yang baik adalah disamping
menjadi suri tauladan yang baik atau panutan, tetapi juga harus mampu
menggugah semangat dan mampu memberikan dorongan moral
dari
belakang agar orang-orang yang dipimpinnya bisa merasakan situasi yang
baik dan bersahabat.
88
Dengan demikian apa yang telah dirumuskan oleh Imam AlGhazali terkait pendidik dan kriteria-kriteria pendidik yang baik sangat
relevan untuk diterapkan dalam sistem pendidikan Islam. Pandangan AlGhazali sangat relevan untuk diterapkan dalam sistem pendidikan Islam
sebagai bagian yang integral dalam sistem pendidikan nasional, terutama
dalam konteks menghadapi tantangan masa depan dalam lingkup global.
3. Aspek materi pendidikan akhlak
Materi-materi yang diajarkan oleh seorang pendidik hendaknya
diarahkan demi terciptanya akhlak yang mulia. Ilmu pengetahuan yang
diajarkan dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan hanya
untuk tujuan akademik semata, tetapi karena tujuan lain yang lebih
substansial, pokok dan hakiki, yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain
setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia. Dengan demikian, semakin
banyak dan tinggi ilmu pengetahuan seseorang, maka akan semakin tinggi
pula akhlaknya.
Di dalam kitab-kitabnya, Imam Al-Ghazali menguraikan materimateri pendidikan akhlak yang harus dikuasai oleh peserta didik. Tentu
materi pendidikan akhlak tidak hanya dikuasai secara kognitif saja, tetapi
juga secara afektif dan psikomotorik. Mengetahui akhlak-akhlak yang baik
saja belumlah cukup, tetapi harus ditambah selain mengetahui juga
mengamalkan akhlak-akhlak yang baik.
Akhlak-akhlak yang baik diuraikan panjang lebar oleh Imam AlGhazali di dalam kitab-kitabnya, salah satu kitab yang membahas akhlak-
89
akhlak yang baik adalah kitab Ayyuha al-Walad ini. Akhlak yang baik
tersebut dilihat dari kacamata pemikiran-pemikiran modern sangat relevan
bila diterapkan di era sekarang karena akhlak-akhlak yang baik yang
ditunjukkan oleh Imam Al-Ghazali adalah akhlak-akhlak dicontohkan oleh
Nabi Muhammad SAW yang mana berlaku sepanjang zaman sejak pada
masa Nabi Muhammad SAW sampai kelak pada hari kiamat. Akhlak Nabi
Muhammad SAW bersifat komprehensif, universal, dan menyangkut
seluruh aspek kehidupan manusia kapan saja, dimana saja, dalam keadaan
bagaimana saja, sejak dari lahir sampai meninggal dunia. Sehingga dapat
dikatakan bahwa pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali sangatlah relevan
bila diterapkan di Indonesia karena Imam Al-Ghazali mengambil rujukan
kepada akhlak Nabi Muhammad SAW.
4. Aspek metode pendidikan akhlak
Metode dapat didefinisikan sebagai cara kerja yang bersistem untuk
mempermudah pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tang
dicita-citakan.
Pertama, Menggunakan metode keteladanan. Metode keteladanan
merupakan metode yang sudah tidak asing lagi. Allah berfirman dalam
Surat Al-Ahzab ayat 21:
             
   
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
90
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (Depag, 2004:
421).
Rasulullah SAW merupakan seorang pendidik yang memberikan
petunjuk kepada manusia dengan perilakunya yang baik. Keteladanan
adalah salah satu metode pendidikan yang baik, oleh karena itu seorang
peserta didik harus memperoleh teladan dari lingkungannya sejak dini agar
terciptanya generasi yang baik pula.
Mengenai
pendidikan
di
Indonesia
sekarang
ini,
guna
mempersiapkan anak didik tentu saja sangat membutuhkan metode
keteladanan sebagaimana yang telah dilakukan Imam Al-Ghazali dalam
mendidik yaitu dengan menggunakan keteladanan Rasulullah SAW dalam
membentuk akhlak yang mulia pada diri anak sebagai penerus bangsa.
Kedua, Menggunakan metode kisah atau cerita.
Dalam pendidikan akhlak ada berbagai cara yang dilakukan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Salah satunya dengan metode kisah atau
cerita dengan menceritakan peristiwa-peristiwa bersejarah, contoh-contoh
kehidupan dan kisah-kisah Isalami yang mengandung nilai eduktif
(Zuhaili, 2002: 67).
Kisah-kisah dalam pendidikan memiliki pengaruh ke dalam jiwa
dan cepat terserap ke dalam pikiran. Allah SWT telah memberikan
anugrahnya kepada Rasul-Nya bahwa kisah tentang para Nabi (khususnya
tentang beliau sendiri) adalah kisah yang paling utama dan paling indah.
Maka, di dalam kandungan al-Qur’an diantaranya adalam mengenai kisahkisah.
91
Guru sebaiknya mengambil dari al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai
metode untuk mengembangkan anak didik. Seorang guru sebaiknya
menanamkan dalam diri anak didik mencintai terhadap kisah-kisah. Maka,
sudah selayaknya bila seorang guru dalam menasehati dan merangsang
perhatian anak-anaknya dengan menceritakan kisah-kisah.
Melihat keterangan di atas menunjukkan bahwa metode kisah atau
cerita juga dilaksanakan dan dibutuhkan di negara Indonesia dalam
mendidik anak karena anak itu lebih suka meniru segala sesuatu yang
ditemuinya baik itu berupa peristiwa ataupun kejadian perilaku lainnya,
sehingga metode cerita sangatlah efektif untuk dipergunakan sebagaimana
yang telah dipergunakan Al-Ghazali dalam mendidik anak didik.
Ketiga, Menggunakan metode pembiasaan
Salah satu metode pendidikan yang diisyaratkan Allah di dalam AlQuran surah Al-Alaq adalah metode pembiasaan dan pengulangan. Latihan
dan pengulangan yang merupakan metode praktis untuk menghafalkan
atau menguasai suatu materi pelajaran termasuk ke dalam metode ini. Di
dalam surah Al-Alaq metode ini disebut secara implisit, yakni dari cara
turunnya wahyu pertama (ayat 1-5). Malaikat Jibril menyuruh Muhammad
Rasulullah SAW dengan mengucapkan ‫( ئِ ْل َشج‬baca!) dan Nabi menjawab:
‫حسب‬
ِ َ‫( َِح جََٔح ذِم‬saya tidak bisa membaca), lalu malaikat Jibril mengulanginya
lagi dan Nabi menjawab dengan perkataan yang sama. Hal ini terulang
sampai 3 kali. Kemudian Jibril membacakan ayat 1-5 dan mengulanginya
sampai beliau hafal dan tidak lupa lagi apa yang disampaikan Jibril
92
tersebut (Erwita Aziz, 2003: 81). Dengan demikian, menurut Erwita Aziz
metode pembiasaan dan pengulangan yang digunakan Allah dalam
mengajar Rasul-Nya amat efektif sehingga apa yang disampaikan
kepadanya langsung tertanam dengan kuat di dalam kalbunya. Di dalam
ayat 6 surah Al-A’la, Allah menegaskan metode itu : "‫ذ‬١‫شتُهَ فَالَ ضَ ْٕغ‬
ِ ‫" َعُٕ ْم‬
Kami akan membacakan (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu
tidak akan lupa”. Ayat ini menegaskan bahwa Allah membacakan AlQuran kepada Nabi Muhammad SAW., kemudian Nabi mengulanginya
kembali sampai ia tidak lupa apa yang telah diajarkan-Nya. Dalam ayat 1–
5 Surah Al Alaq, Jibril membacakan ayat tersebut dan Nabi
mengulanginya sampai hafal (Erwita Aziz, 2003: 82). Perintah membaca
dalam surah Al Alaq tersebut terulang sebanyak dua kali, yaitu pada ayat
pertama dan ketiga. Hal ini menjadi indikasi bahwa metode pembiasaan
dalam pendidikan sangat diperlukan agar dapat menguasai suatu ilmu.
Pembiasaan adalah upaya praktis dalam pendidikan dan pembinaan anak.
Hasil dari pembiasaan yang dilakukan seorang pendidik adalah terciptanya
suatu kebiasaan bagi anak didiknya. Seorang anak yang terbiasa
mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam lebih dapat diharapkan dalam
kehidupannya nanti akan menjadi seorang Muslim yang saleh. Dalam
kehidupan sehari-hari pembiasaan itu sangat penting, karena banyak orang
yang berbuat atau bertingkah laku hanya karena kebiasaan semata-mata.
Tanpa itu hidup seseorang akan berjalan lambat sekali, sebab sebelum
melakukan sesuatu ia harus memikirkan terlebih dahulu apa yang akan
93
dilakukan. Kalau seseorang sudah terbiasa shalat berjamaah, ia tak akan
berpikir panjang ketika mendengar kumandang adzan, langsung akan pergi
ke masjid untuk shalat berjamaah. Pembiasaan ini akan memberikan
kesempatan kepada peserta didik terbiasa mengamalkan ajaran agamanya,
baik secara individual maupun secara berkelompok dalam kehidupan
sehari-hari.
Dengan demikian metode pembiasan yang dipaparkan Al-Ghazali
sangat relevan apabila diterapkan di Indonesia karena salah satu cara agar
mencapai tujuan pendidikan adalah dengan pembiasaan-pembiasan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep pendidikan anak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya
Ayyuha al-Walad berpangkal pada empat hal, yaitu: (1) Tujuan pendidikan
menurut Al-Ghazali adalah menghilangkan sifat-sifat atau akhlak buruk.
Sehingga, tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah menanamkan akhlak
yang baik pada anak didik. (2) Syarat agar seorang syaikh dapat menjadi
wakil Rasulullah SAW ia haruslah seorang yang alim, meski tidak semua
orang yang alim dapat menjadi khalifahnya. Aku akan menjelaskan
kepadamu sebagaimana persyaratan syaikh agar tidak semua orang dapat
mendakwakan dirinya seorang mursyid. (3) Inti ilmu adalah pengetahuan
yang membuat seseorang faham akan makna ketaatan dan ibadah. Sebab
ketaatan dan ibadah dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangannya harus mengikuti syari’ah. (4) Metode yang digunakan Imam AlGhazali dalam kitab Ayyuha al-Walad adalah dengan metode keteladanan,
metode cerita atau kisah, metode pembiasaan.
Pemikiran Al-Ghazali tentang konsep pendidikan akhlak sampai saat
ini tetap relevan terbukti dengan banyaknya pendidik yang masih
menggunakan konsep beliau. Hanya saja berbeda dalam penyajian pemikiran
dan kasus yang dihadapi. Seperti halnya Imam Al-Ghazali dalam mendidik
sesuai dengan zaman anak tersebut dan tidak bersifat yang mutlak. Dari ini
pendidikan akhlak bersifat dinamis dan dapat diimplikasikan nilai-nilai dari
konsep pendidikan akhlak tersebut pada zaman kekinian dan masih relevan.
94
95
B. Saran-saran
Penelitian yang membahas konsep dan pendidikan anak dalam
berbagai literatur yang ditulis sarjana dan teolog Muslim generasi awal telah
banyak diteliti oleh para sarjana dan calon sarjana di masa kini. Terkait hal
itu, penulis ingin memberikan saran kepada:
1. Para peneliti, agar penelitian selanjutnya bisa mengomparasikan berbagai
literature tersebut sehingga didapatkan sari pendidikan anak sacara
komprehensif, baik dalam falsafah, konsep, metode, aplikasi, maupun
inovasi yang dilakukan.
2. Sarjana-sarjana muslim, seyogyanya bisa mendorong pemerintah untuk
menerapkan pola pendidikan holistik yang bermuara pada pembentukan
manusia utuh, sehat lahir batin, dan berakhlak mulia. Sebagaimana
dikonsepkan para sarjan terdahulu berikut aplikasinya secara praktis yang
buktinya bisa dilihat hingga kini dalam ribuan pesantren dan jami’ah
Islamiyah di seluruh Indonesia.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.
Atas rahmat, taufik serta hidayah-Nya yang dilimpahkan kepada penulis
dalam menyusun
keterbatasannya.
skripsi
yang sangat
sederhana dengan segala
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Nahlawi. 1992. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam.
Bandung: Heri Noer Ali.
Ahmad Supadie, Didiek dkk. 2012. Pengantar Studi Islam. Jakarta: Rajawali
Press.
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Al-Abrasyi, Muhammad ‘Athiyah. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan
Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Ghazali, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 1412. Ayyuha alWalad.
_________, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 1967. Mizanul Amal.
Kairo: Darul Ma’arif.
_________, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 1989. Ihya
Ulumuddin jilid III tt. Bairut: Dar Fikr.
_________, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 1994. Ihya’
Uluuddin. Bairut: Darut Kutub Al-Ilmiyah.
_________, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 2001. Cahaya dalam
kegelapan terj. Al-Munqidz Min Al-Dhalal. Surabaya: Pustaka Progesif.
_________, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 2006. Surat Cinta Al
Ghazali: Nasihat-Nasihat Pencerah Hati (Penjelasan Ayyuha Al-Walad).
Terj. Islah Gusmian. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Al-Husainy, Abu Abdillah. 2003. Duhai Anakku: Wasiat Imam Al-Ghazali untuk
Murid Kesayangannya. Solo: Pustaka Zawiyah.
Al-Jumbulani, Ali. 2002. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Al-Mansur, Anshori. 2000. Cara Mendekatkan Diri pada Allah. Jakarta: Grafindo
Persada.
Al-Tibawi. 1972. Islamic Education. London: Lucaz & Company Ltd.
Arikunto, Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian. Jakarta: Bina Aksara
________, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Asari, Hasan. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam - Kajian atas LembagaLembaga Pendidikan. Bandung: Mizan.
Asmaran. 2002. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Aziz, Erwati. 2003. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam. Solo : Tiga Serangkai
Pustaka
Azizy, Qadri. 2003. Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial.
Semarang: Aneka Ilmu.
Bahreisi, Hussein. 1981. Ajaran-Ajaran Akhlak Imam Al-Ghazali. Surabaya: AlIkhlas.
Bahri, Fadhli. 2000. Ensiklopedi Muslim( Minhajul Muslim). Jakarta: Darul Falah.
Darajat, Zakiyah. 1996. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta:
CV. Ruhama.
Departemen Agama Republik Indonesia. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Bandung: CV Jumanatul ‘Ali Art.
Ensiklopedia Islam. 1994. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan
Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.
Hafizh, Muhammad Nur Abdul. 1997. Mendidik Anak bersama Rasulullah.
Bandung: Al-Bayan.
Halim, Nipan Abduh. 2000. Menghias Diri dengan Akhlak Terpuji. Yogyakarta:
Mitra Pustaka.
Hamka. 1993. Tasawwuf Perkembangan dan Pemikirannya. Jakarta: Panji Mas.
Hasan, Aminah Ahmad. t.th. Nadhariyyah al-Tarbiyyah fi Al-Qur’an wa
Tathbiqatuha fi ‘Ahdi al-Rasul. Dar al-Ma’arif.
Hasbullah. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Ibnu Rusn, Abidin. 2009. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan. 1998. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:
Pustaka Setia.
Juwariyah. 2010. Dasar-Dasar Pendidikan Anak dalam Al-Qur’an. Yogyakarta:
Teras.
KBBI. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Kholiq, Abdul Dkk. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Tokoh Klasik dan
Kontemporer). Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo.
Madjidi, Busyair. 1997. Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim. Yogyakarta:
Al-Amin Press.
Mansur. 2005. Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Marimba, Ahmad. 1987. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. AlMa’arif.
Muhammad AR. 2003. Pendidikan di Alaf Baru Rekrontruksi atas Moralitas
Pendidikan. Yogyakarta: Primashopie.
Munif, Abdul. 2007. Pemikiran Pendidikan Islam Klasik. Yogyakarta: SUKAPress.
Nata, Abuddin. 2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis. Jakarta: Ciputat Pers.
Poerwodarminto, WJS. 1999. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Shihab, Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Sualaiman, Fathiyah Hasan. 1990. Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj. Ahmad
Hakim. Jakarta: P3M.
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) dan penjelasannya. Yogyakarta: Media Wacana Press.
Usman, Ali. dkk. 2003. HADITS QUDSI (Firman Allah yang tidak dicantumkan
dalam Al-Qur’an) Pola Pembinaan Akhlak Muslim cetakan XVII.
Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
Ya’qub, Hamzah. 1991. Etika Islam. Bandung: CV Diponegoro.
Zainuddin, dkk. 1991. Seluk Beluk Pendidikan dari Al Ghazali. Jakarta: Bumi
Aksara.
Zuhaili, Muhammad. 2002. Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini. Jakarta: A.
H. Ba’adillah Press.
Download