KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB AYYUHA AL-WALAD KARYA IMAM AL-GHAZALI SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) Oleh: PUTIK NUR ROHMAWATI 111-12-223 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017 KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB AYYUHA AL-WALAD KARYA IMAM AL GHAZALI SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) Oleh: PUTIK NUR ROHMAWATI 111-12-223 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017 MOTTO :ص ْيلِهَا ِببَيَا ٍن َ يَاأَ ِخ ْى لَ ْن تَنَا َل ْال ِع ْل َم اِ ََل ِب ِستَتَ َسأ ُ ْنبِ ْي ِ ك َع ْن تَ ْف َذ َكا ٌء َو ِحرْ صٌ َواجْ تَ ِها ٌد َو ِدرْ هَ ٌم َوصُحْ بَاةُ أً ْستَا ٍذ َوطُى ُل ان ٍ َز َم “ Wahai saudaraku engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara,akan aku berikan kepadamu rinciannya berikut ini: Kecerdasan, Tamak (terhadap ilmu), Kesungguhan, Modal, Berkawan dengan guru, dan waktu yang panjang.” (Al-Mahfudzot) vii PERSEMBAHAN Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha mulia, Yang mengajar manusia dengan pena, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (QS: Al-’Alaq 1-5) Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ? (QS: Ar-Rahman 13) Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat (QS : Al-Mujadilah 11) Kupersembahkan sebuah karya kecil ini untuk: 1. Kedua orang tuaku tercinta Bapak (Wagiyo) dan Ibu (Ngatiyem) yang tiada pernah hentinya selama ini memberiku semangat, doa, dorongan, nasehat dan kasih sayang serta pengorbanan yang tak tergantikan hingga aku selalu kuat menjalani setiap rintangan yang ada di depanku. 2. Orang tua keduaku Bapak (Drs. M. Rofi’i. M. Pd. I) dan Ibu (Dra. Supainem) yang selalu memberikan motivasi. 3. Kakakku tersayang Annis Muhammad S. Pd. I yang selalu membimbingku dan mendukungku dalam setiap hal. 4. Keluarga besarku yang selalu mendoakan keberhasilanku. 5. Teman sejawat saudara seperjuangan PAI angkatan 2012. "Tak ada tempat terbaik untuk berkeluh kesah selain bersama sahabat-sahabat terbaik”. 6. Mas Ashnan Habib yang selalu memberi motivasi dan dukungan sampai terselesainya skripsi ini. Untuk ribuan tujuan yang harus dicapai, untuk jutaan impian yang akan dikejar, untuk sebuah pengharapan, agar hidup jauh lebih bermakna, hidup tanpa mimpi ibarat arus sungai. Mengalir tanpa tujuan. Teruslah belajar, berusaha, dan berdoa untuk menggapainya. Jatuh berdiri lagi. Kalah mencoba lagi. Gagal Bangkit lagi. Never give up! viii KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat diberikan kemudahan dalam penyelesaian skripsi ini. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikut setianya. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. 2. Bapak Suwardi, M. Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. 3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. 4. Bapak Drs. A. Bahrudin, M. Ag., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan ikhlas mencurahkan pikiran, tenaga serta pengorbanan waktunya dalam upaya membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. ix 5. Para dosen pengajar di lingkungan IAIN Salatiga, yang telah membekali pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. 6. Keluarga besar penulis, atas segala motivasi, dukungan dan doa restu kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 7. Berbagai pihak yang secara langsung dan tidak langsung yang telah membantu baik moral maupu materil dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Harapan penulis, semoga amal baik dari beliau mendapatkan balasan yang setimpal dan mendapatkan ridho Allah SWT. Akhirnya dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Salatiga, 9 Maret 2017 Penulis Putik Nur Rohmawati NIM. 111-12-223 x ABSTRAK Rohmawati, Putik Nur. 2017. Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Ayyuha alWalad karya Imam Al-Ghazali. Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Tarbiyah dan ilmu keguruan (FTIK), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Drs. A. Bahrudin, M. Ag. Kata Kunci: Konsep dan Pendidikan Akhlak Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui konsep pendidikan akhlak dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Al-Ghazali. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana konsep pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad?, (2) Bagaimana relevansi konsep pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali dalam dunia pendidikan? Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library research), maka data yang diperoleh bersumber dari literatur. Adapun referensi yang menjadi sumber data primer yaitu dari kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Al-Ghazali. Konsep pendidikan anak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ayyuha al-Walad berpangkal pada empat hal, yaitu: (1) Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah menghilangkan sifat-sifat atau akhlak buruk. Sehingga, tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah menanamkan akhlak yang baik pada anak didik. (2) Syarat agar seorang syaikh dapat menjadi wakil Rasulullah SAW ia haruslah seorang yang alim, meski tidak semua orang yang alim dapat menjadi khalifahnya. Aku akan menjelaskan kepadamu sebagaimana persyaratan syaikh agar tidak semua orang dapat mendakwakan dirinya seorang mursyid. (3) Inti ilmu adalah pengetahuan yang membuat seseorang faham akan makna ketaatan dan ibadah. Sebab ketaatan dan ibadah dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya harus mengikuti syari’ah. (4) Metode yang digunakan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad adalah dengan metode keteladanan, metode cerita atau kisah, metode pembiasaan. Pemikiran Al-Ghazali tentang konsep pendidikan akhlak sampai saat ini tetap relevan terbukti dengan banyaknya pendidik yang masih menggunakan konsep beliau. Hanya saja berbeda dalam penyajian pemikiran dan kasus yang dihadapi. Seperti halnya Imam Al-Ghazali dalam mendidik sesuai dengan zaman anak tersebut dan tidak bersifat yang mutlak. Dari ini pendidikan akhlak bersifat dinamis dan dapat diimplikasikan nilai-nilai dari konsep pendidikan akhlak tersebut pada zaman kekinian dan masih relevan. xi DAFTAR ISI SAMPUL ................................................................................................................. i LEMBAR BERLOGO ............................................................................................ ii JUDUL ................................................................................................................... iii PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... iv PENGESAHAN KELULUSAN ..............................................................................v PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................................. vi MOTTO ................................................................................................................ vii PERSEMBAHAN ................................................................................................ viii KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix ABSTRAK ............................................................................................................. xi DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah .....................................................................................1 B. Rumusan masalah .............................................................................................7 C. Tujuan penelitian ..............................................................................................8 D. Kegunaan penelitian ..........................................................................................8 E. Metode penelitian ..............................................................................................9 F. Penegasan istilah .............................................................................................12 G. Sistematika penelitian .....................................................................................15 xii BAB II KEHIDUPAN ABU HAMID MUHAMMAD BIN MUHAMMAD BIN AHMAD AL-GHAZALI A. Biografi Al-Ghazali ........................................................................................16 B. Peran Al-Ghazali dalam masyarakat ...............................................................20 C. Karya-karya Al-Ghazali ..................................................................................24 1. Kelompok filsafat dan ilmu kalam ...........................................................25 2. Kelompok ilmu fiqih dan ushul fiqih .......................................................26 3. Kelompok ilmu tasawwuf ........................................................................26 4. Kelompok ilmu tafsir ...............................................................................27 BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK A. Pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali ....................................................28 1. Tujuan pendidikan ...................................................................................29 a. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja ..........................................................................29 b. Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak ....................30 c. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat30 2. Pendidik ...................................................................................................32 a. Profesi pendidik menurut Al-Ghazali ...............................................32 1) Alasan yang berhubungan dengan sifat naluriah .......................32 2) Alasan yang berhubungan dengan kemanfaatan umum ............33 3) Alasan yang berhubungan dengan yang dikerjakan ..................34 b. Gaji pengajar (guru) menurut Al-Ghazali .........................................35 xiii c. Persyaratan kepribadian pendidik menurut Al-Ghazali ....................35 d. Tugas dan kewajiban pendidik menurut Al-Ghazali ........................36 1) Mengikuti jejak Rasulullah ........................................................37 2) Memberikan kasih sayang terhadap anak didik .........................37 3) Menjadi teladan bagi anak didik ................................................37 4) Menghormati kode etik guru .....................................................37 3. Anak didik ................................................................................................38 a. Fitrah menurut Al-Ghazali ................................................................38 b. Perkembangan anak didik menurut Al-Ghazali ................................39 c. Etika anak didik terhadap pendidik menurut Al-Ghazali .................40 d. Tugas dan kewajiban para pelajar .....................................................41 1) Mendahului kesucian jiwa .........................................................42 2) Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan ................42 3) Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya ......42 4) Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan ................................43 B. Pengetian akhlak menurut Imam Al-Ghazali ..................................................43 1. Akhlak yang baik .....................................................................................45 2. Akhlak yang buruk ...................................................................................47 C. Pemikiran Imam Al Ghazali tentang pendidikan akhlak ................................48 BAB IV PEMBAHASAN A. Konsep pendidikan akhlak dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam AlGhazali ............................................................................................................55 1. Latar belakang penulisan kitab Ayyuha al-Walad ...................................55 xiv 2. Pemikiran Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad ..............................58 a. Tujuan pendidikan ............................................................................58 b. Subjek pendidikan.............................................................................61 1) Guru: tugas dan persyaratan ......................................................61 2) Sikap murid terhadap syaikhnya ................................................63 c. Materi pendidikan .............................................................................64 1) Ilmu ............................................................................................65 2) Tasawwuf ...................................................................................68 3) Ubudiyah dan tawakal, ikhlas dan riya’ ....................................69 4) Delapan nasehat Al-Ghazali ......................................................71 d. Metode pendidikan ...........................................................................77 1) Metode keteladanan ...................................................................78 2) Metode cerita atau kisah ............................................................79 3) Metode pembiasaan ...................................................................80 B. Relevansi Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Ayyuha al-Walad dengan Pendidikan di Indonesia ..................................................................................81 1. Aspek tujuan pendidikan akhlak ..............................................................82 2. Aspek subjek pendidikan akhlak .............................................................86 3. Aspek materi pendidikan akhlak ..............................................................88 4. Aspek metode pendidikan akhlak ............................................................89 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .....................................................................................................94 B. Saran-saran ......................................................................................................95 xv DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xvi DAFTAR LAMPIRAN Lamp. 1 : Lembar Konsultasi Skripsi Lamp. 2 : Surat Penunjukan Pembimbing Lamp. 3 : Daftar Nilai SKK Lamp. 4 : Riwayat Hidup Penulis xvii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam sebagai agama rahmah lil al-‘alaamin sangat mewajibkan manusia untuk selalu belajar. Bahkan, Allah SWT mengawali menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia dengan ayat yang memerintahkan rasul-Nya, Muhammad SAW untuk membaca dan membaca (iqra’). Iqra’ merupakan salah satu perwujudan dari aktivitas belajar. Dan dalam arti yang luas, dengan iqra’ pula manusia dapat mengembangkan pengetahuan dan memperbaiki kehidupan. Betapa pentingnya belajar, karena itu Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Mujadalah/58: 11 Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: Berlapang-lapanglah dalam majlis, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: Berdirilah kamu, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Depag, 2004: 544). Menurut Poerwadarminta (1991: 916), pendidikan dalam arti bahasa dapat diartikan sebagai perbuatan (hal, cara, dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan (latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin, dan sebagainya. Pada hakikatnya pendidikan dapat dibedakan menjadi dua bagian: yang pertama yaitu pendidikan formal 1 2 yang melibatkan guru, murid, dan kurikulum. Sedangkan yang kedua yaitu pendidikan nonformal yang melibatkan pendidikan di luar kelas yang mana pendidikan dapat didapatkan dari banyak hal, bisa melalui lingkungan, tempat berbeda dan hal-hal benda mati seperti buku, koran dan sebagainya. Sedangkan pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan secara sederhana diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilainilai di dalam masyarakat dan kebudayaan (Hasbullah, 2009: 1). Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha memanusiakan manusia. Artinya, dengan pendidikan manusia diharapkan mampu menemukan dirinya dari mana berasal, hadir di dunia ini untuk apa dan setelah kehidupan ini akan ke mana, sehingga ia menjadi lebih manusiawi, baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak. Pendidikan Islam pada intinya adalah wahana pembentukan manusia yang bermoralitas tinggi. Di dalam ajaran Islam, moral atau akhlak tidak dapat dipisahkan dari keimanan. Keimanan merupakan pengakuan hati. Akhlak adalah pantulan iman yang berupa perilaku, ucapan, dan sikap atau dengan kata lain akhlak adalah amal saleh. Iman adalah maknawi (abstrak) sedangkan akhlak adalah bukti keimanan dalam bentuk perbuatan yang 3 dilakukan dengan kesadaran dan karena Allah semata (Muhammad, 2003: 24). Hakikat pendidikan akhlak adalah menumbuhkembangkan sikap manusia agar menjadi lebih sempurna secara moral sehingga hidupnya selalu terbuka bagi kebaikan dan tertutup dari segala macam keburukan dan menjadikan manusia yang berakhlak. Hal ini dikarenakan manusia dibekali akal pikiran untuk bisa membedakan antara yang hak dan yang bathil (AlMansur, 2000: 165). Pendidikan akhlak menduduki posisi yang sangat penting dalam percaturan pendidikan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat daripada tujuan pendidikan dalam perundang-undangan tentang pendidikan yaitu mewujudkan manusia yang berkarakter dan berakhlak mulia. Apabila pendidikan akhlak tidak dianggap penting atau hanya sekedar sebagai pengetahuan saja makan akan luar biasa sekali dampaknya. Fenomena-fenomena kemerosotan moral di negara yang mayoritas penduduknya muslim sangat nampak jelas, indikator-indikator itu dapat kita amati dalam kehidupan sehari-hari seperti pergaulan bebas yang bahkan berujung pada free sex, tindak kriminal dan kejahatan yang meningkat, kekerasan, penganiayaan, pembunuhan, korupsi, manipulasi, penipuan, serta perilaku-perilaku tidak terpuji lainnya, sehingga sifat-sifat terpuji seperti rendah hati, toleransi, kejujuran, kesetiaan, kepedulian, saling bantu, kepekaan sosial, tenggang rasa yang merupakan jati diri bangsa sejak berabad-abad lamanya seolah menjadi barang mahal (Juwariyah, 2010: 13). 4 Penyimpangan akhlak yang terjadi pada kebanyakan manusia itu disebabkan karena lemahnya iman seseorang, lingkungan yang buruk, serta gencarnya media sehingga akses apapun dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat dan bahkan tanpa ada penyaringan mana yang baik dan mana yang buruk. Selain itu juga, mereka tumbuh dan berkembang dalam atmosfir tarbiyah dan pendidikan yang buruk. Maka dari sini betapa butuhnya kita kepada sebuah pendidikan yang mampu membawa kita dan anak cucu kita ke puncak ketinggian akhlak yang menebarkan kebahagiaan dan ketentraman. Ironisnya perhatian dari dunia pendidikan nasional terhadap akhlak atau budi pekerti dapat dikatankan masih sangat kurang, lantaran orientasi pendidikan kita masih cenderung mengutamakan dimensi pengetahuan. Mayoritas praktisi pendidikan masih berasumsi bahwa jika aspek kognitif telah dikembangkan secara benar maka aspek afektif dengan sendirinya akan ikut berkembang secara positif, padahal asumsi itu merupakan kekeliruan besar (Juwariyah, 2010: 14). Hal itu dikarenakan pengembangan efektif pada sistem pendidikan sangat memerlukan kondisi yang kondusif. Itu berarti akhlak dan budi pekerti perlu dibuat secara sungguh-sungguh, karena pendidikan yang tidak dirancang secara baik hanya akan membawa hasil yang mengecewakan sehingga harus ada porsi seimbang dalam pengembangan kognitif, afektif, dan psikomotoriknya. Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat dilihat dari output-nya, yakni orang-orang sebagai produk pendidikan. Bila pendidikan menghasilkan orang-orang yang dapat bertanggung jawab 5 atas tugas-tugas kemanusiaan dan tugas-tugas ketuhanan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain, pendidikan tersebut dapat dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila output-nya adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan tugas hidupnya, pendidikan tersebut mengalami kegagalan (Ibnu, 2009: 123). Manusia dibekali akal pikiran yang berguna untuk membedakan antara yang haq dan yang batil, baik-buruk dan hitam-putihnya dunia (Al-Mansur, 2000: 165). Selamat dan tidaknya manusia, tenang dan resahnya manusia tergantung pada akhlaknya. Dengan akhlak pulalah, manusia secara pribadi maupun kelompok dapat mengantarkan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi untuk membangun dunia ini dengan konsep yang ditetapkan Allah SWT (Shihab, 1994: 152). Akhlak merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengoptimalkan sumber data potensi untuk mencapai kesejahteraan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, bagaimana manusia dalam menggunakan sumber daya potensi yang tersedia untuk meningkatkan kehidupan lebih baik. Karenanya diperlukan alat yang digunakan untuk menganalisis sekaligus membuktikan konsep Al-Qur’an dan Hadits yang secara langsung maupun tidak langsung bersentuhan dengan masalah akhlak. Akhlak sangat berkaitan dengan kebiasaan, maka pihak orang tua harus ber-akhlakul karimah sebagai teladan bagi anak-anak. Menurut AlGhazali, apabila anak-anak dididik dan dibiasakan pada kebaikan, maka anak akan tumbuh pada kebaikan itu. Dan apabila dibiasakan untuk berbuat 6 keburukan, maka ia pun akan tumbuh sebagaimana yang diberikan dan dibiasakan kepadanya. Memelihara anak yang baik adalah dengan mendidik dan mengajarkan akhlak yang mulia kepadanya. Mengingat pentingnya akhlak manusia tersebut, tentu saja tidak meninggalkan jasa para pemikir pendidikan Islam yang tidak diragukan lagi pengaruhnya dalam kemajuan Islam. Dalam pendidikan Islam terdapat seorang tokoh yang tidak asing lagi yaitu Hujjatul Islam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali yang sering disebut dengan AlGhazali, sebuah nama yang tidak asing lagi baik di kalangan ulama maupun orang awam. Buah fikiranya banyak mempengaruhi para ahli, baik di timur maupun di barat. Beliau adalah salah satu ulama yang cerdas dan banyak menarik perhatian para pengkaji ilmiah di zaman dahulu maupun sekarang, baik dari umat Islam sendiri maupun para orientalis. Imam Al-Ghazali memang sangat luas pengetahuannya dan banyak berjasa bagi kemajuan agama Islam, beliau sangat berperan penting untuk mensikapi dan menindaklanjuti berbagai macam persoalan, baik mengenai pendidikan, syari’at, akhlak dan lain sebagainya. Misalnya saja ketika memberikan jawaban kepada seorang siswa yang sudah mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan, tetapi masih mengalami kebingungan untuk memenuhi sesuatu yang menjadi bekal di akhirat kelak, kemudian Imam Al-Ghazali menulis sebuah kitab yang diberi nama Ayyuha al-Walad yang berisi tentang nasehat kepada para pelajar untuk 7 mengetahui dan membedakan antara ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Terhadap bidang pengajaran dan pendidikan, Al-Ghazali telah banyak mencurahkan perhatiannya. Yang mendasari pemikirannya tentang kedua bidang ini ialah analisinya terhadap manusia. Menurut Al-Ghazali, manusia dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena pengajaran dan pendidikan, karena ilmu dan amalnya. Dari uraian di atas, penulis ingin lebih jauh mengkaji tentang nilai pendidikan akhlak pada pemikiran Imam Al-Ghazali melalui sebagian karyakaryanya yang cukup fundamental yaitu kitab Ayyuha al-Walad yang di dalamnya terdapat beberapa uraian tentang pendidikan. Untuk itu, maka penulis mencoba untuk menyusun sebuah skripsi yang berjudul: KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB AYYUHA AL-WALAD KARYA IMAM AL-GHAZALI, dengan harapan semoga dapat memberikan kontribusi dan manfaat terutama bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. B. Rumusan Masalah Dalam penelitian ini, penulis pada beberapa pokok bahasan. Diantaranya: 1. Bagaimana konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad? 2. Bagaimana relevansi konsep pendidikan akhlak menurut Imam AlGhazali dalam dunia pendidikan? 8 C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad. 2. Untuk mengetahui relevansi konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali dalam dunia pendidikan. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua bagian, yaitu: 1. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis, berupa pengetahuan tentang nilai pendidikan yang terkandung dalam karya Imam Al-Ghazali serta bermanfaat sebagai kontribusi pemikiran bagi dunia pendidikan khususnya dunia pendidikan Islam. 2. Kegunaan Praktis a. Bagi Penulis Menambah wawasan dan pemahaman penulis mengenai konsep pendidikan untuk selanjutnya dijadikan sebagai pedoman dalam aktifitas sehari-hari. b. Bagi Lembaga Pendidikan 1) Dapat menjadi masukan yang membangun guna meningkatkan kualitas lembaga pendidikan terutama pendidikan Islam, termasuk para pendidik yang ada di dalamnya dan penentu 9 kebijakan dalam lembaga pendidikan serta pemerintah secara umum. 2) Sebagai bahan pertimbangan untuk diterapkan dalam dunia pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Indonesia terutama pendidikan Islam (seperti Madrasah Diniyah, Pondok Pesantren), sebagai solusi terhadap permasalahan pendidikan yang ada. 3) Bagi Ilmu Pengetahuan a) Menambah khazanah mengenai konsep pendidikan yang terdapat dalam mengetahui kitab betapa Ayyuha pentingnya al-Walad sehingga pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian seorang mukallaf akan berusaha memperbaiki diri agar semakin meningkatkan mutu kualitas diri menjadi yang lebih baik di hadapan Allah dan di hadapan manusia. b) Sebagai bahan referensi dalam ilmu pendidikan terutama ilmu pendidikan Islam, sehingga dapat memperkaya dan menambah wawasan di bidang tersebut khusunya dan bidang ilmu pengetahuan yang lain pada umumnya. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Adapun jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kepustakaan (library research), karena semua digali adalah bersumber 10 dari pustaka. Dan yang dijadikan obyek kajian adalah hasil karya tulis yang merupakan hasil dari pemikiran (Hadi, 1990: 3). 2. Sumber Data Sumber data yang dijadikan bahan-bahan dalam kajian ini merupakan sumber data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan yang dikatagorikan sebagai berikut: a. Sumber Data Primer Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), maka data yang diperoleh bersumber dari literatur. Adapun referensi yang menjadi sumber data primer yaitu data yang diambil dari sumber utamanya. Data ini diambil dari Kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Al-Ghazali. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder adalah dengan menggunakan metode dokumentasi yaitu dengan mencari data yang berupa transkip, buku, majalah, dokumentasi dan sebagainya (Arikunto, 1987: 34). Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku atau karya ilmiah lain yang isinya dapat melengkapi data penelitian yang penulis teliti, misalnya: Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan (Pustaka Pelajar, Yogyakarta), Seluk Beluk Pendidikan dari AlGhazali (Bumi Aksara, Jakarta), Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali (PT Al-Ma’rif, Bandung) dan lain sebagainya. 11 3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian library research, sebagai sumber primer. Dengan demikian pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi data terkait variabel-variabel yang berupa catatan seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen harian, catatan rapat, dan sebagainya (Arikunto, 2010: 202). 4. Analisa Data Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah: a. Deduktif Metode yang digunakan untuk menjelaskan konsep pendidikan akhlak adalah metode deduktif sesuai dengan yang telah dicanangkan pemerintah yaitu tentang pendidikan karakter. Yang dimaksud metode deduktif adalah metode berfikir yang berdasarkan pada pengetahuan umum dimana kita hendak menilai suatu kejadian yang khusus (Hadi, 1987: 42). b. Induktif Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari fakta-fakta peristiwa khusus dan konkret, kemudian ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1987: 42). Kemudian metode yang digunakan adalah metode induktif guna mengkaji data yang telah didapat yang berkaitan dengan 12 konsep pendidikan akhlak yang dipaparkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad dan dikaitkan dengan relevansi kekinian. F. Penegasan Istilah Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbedabeda dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah di dalam judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut: 1. Konsep Konsep adalah ide abstrak dari peristiwa konkret yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau pengolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata (KBBI, 2007: 588). 2. Pendidikan Pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu: “Paedagogike”. Ini adalah kata majemuk yang terdiri dari kata “paes” yang berarti “anak” dan kata “ago” yang mempunyai arti “aku membimbing” oleh sebab itu paedagogike berarti aku membimbing anak. Sedangkan orang yang memiliki pekerjaan membimbing anak dengan tujuan membawanya ke tempat belajar disebut dengan paedagogis. Apabila kata ini diartikan secara simbiolis, maka suatu perbuatan membimbing merupakan inti dalam mendidik (Ahmadi, 1991: 79). 13 3. Akhlak Akhlak secara etimologi adalah tabi’at/sistem perilaku yang dibuat. Sedangkan di Indonesia kata akhlak mengandung konotasi yang baik. Jadi dapat dikatakan orang yang berakhlak adalah orang baik. Pengertian akhlak secara istilah adalah kelakuan yang timbul dari hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu membentuk kesatuan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral yang terdapat pada diri manusia sebagai fitrah sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana tidak, karena yang cantik dan mana yang buruk (Darajat, 1996: 10). Sedangkan Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai berikut: “Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal maupun syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan yang tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak buruk” (Ibnu, 2009: 99). Jadi pendidikan akhlak adalah bimbingan secara sadar oleh seseorang pendidikan terhadap perkembangan jiwa anak didik baik jasmani maupun rohani sehingga memiliki perilaku yang baik dan terpuji menurut akal maupun tutunan agama Islam serta bisa menjauhi dan 14 meninggalkan perilaku yang buruk menurut akal maupun tuntunan agama Islam. 4. Al-Ghazali Al-Ghazali yang dimaksud di sini adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at Tusi Al-Ghazali, beliau termasuk seorang pemikir Islam, teolog, filsuf dan sufi termasyur. Ia dilahirkan di kota Gazalah, sebuah kota kecil dekat Tus di Khurasan, yang pada waktu itu sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. Beliau meninggal juga di kota Tus setelah perjalanan mencari ilmu dan ketenangan batin, kemudian nama Al-Ghazali dan At Tusi itu dinisbatkan kepada tempat kelahirannya (Ensiklopedi Islam, 1994: 25). 5. Kitab Ayyuha al-Walad Kitab Ayyuha al-Walad adalah kitab kecil berbahasa Arab dan termasuk salah satu karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali. Di dalam kitab ini dari segi isinya menggunakan metode mauziah atau pemberian nasehat dengan memberikan arahan-arahan kepada anak meliputi teoriteori yang didasarkan pada al-Qur’an maupun Hadits juga dengan menggunakan pemikiran-pemikiran Al-Ghazali itu sendiri dengan pengalamannya sebagai seorang pendidik yang profesional. Kitab ini muncul karena permintaan dari salah seorang siswa zaman dahulu, yang meminta kepada Imam Al-Ghazali untuk menulis kitab yang di dalamnya memuat ilmu yang membedakan antara ilmu 15 yang bermanfaat yang tidak bermanfaat bagi dirinya di dunia maupun di akhirat. G. Sistematika Penulisan Guna memperoleh gambaran yang jelas, mmenyeluruh dan mempermudah dalam memahami masalah-masalah yang akan dibahas, maka penulis menyusun sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, menguraikan tentang: Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah, sistematika penelitian. Bab II Kehidupan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, menguraikan tentang: Biografi Al-Ghazali, peran AlGhazali dalam masyarakat, karya-karya Al-Ghazali. Bab III Deskripsi pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak, menguraikan tentang: Pendidikan menurut Imam Al-Ghazali, Akhlak menurut Imam Al-Ghazali, Pandangan Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak. Bab IV Pembahasan konsep pendidikan akhlak dalam kitab Ayyuha al-Walad serta relevansinya dalam pendidikan di Indonesia Bab V Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran-saran. BAB II KEHIDUPAN ABU HAMID MUHAMMAD BIN MUHAMMAD BIN AHMAD AL-GHAZALI A. Biografi Al-Ghazali Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. Ia lahir di Ghazaleh, sebuah kota kecil di Tus, wilayah Khurasan, pada 450 H (1059 M), dan wafat di Tabristan, sebuah wilayah di Provinsi Tus pada 4 Jumadil Akhir tahun 505 H / 1 Desember 1111 M (Nata, 1997). Al-Ghazali memulai pendidikannya di tempat kelahirannya Tus, dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nishafur dan Khurasan, dua kota yang dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam saat itu. Di kota Nishafur inilah Al Ghazali berguru kepada Imam Al-Haramain Abi Al-Ma‟ali Al-Juwainy, seorang ulama yang bermazhab Syafi‟i yang menjadi guru besar di Nishafur (Nasution, 1978: 42). Al-Ghazali adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam), “Hiasan Agama” (Zainuddin), “Samudra yang menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan lain-lain. Masa mudanya bertepatan dengan bermunculnya para cendekiawan, baik dari kalangan bawah, menengah, sampai elit. Kehidupan saat itu menunjukkan kemakmuran tanah airnya, keadilan para pemimpinnya, dan kebenaran para ulamanya. Dunia tampak tegak di sana. Sarana kehidupan mudah didapatkan, masalah pendidikan sangat diperhatikan, pendidikan dan biaya hidup para penuntut ilmu ditanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat. Walaupun ayah 16 17 Al-Ghazali seorang buta huruf dan miskin, beliau memperhatikan masalah pendidikan anaknya. Sesaat sebelum meninggal, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang sufi agar memberikan pendidikan kepada kedua anaknya, Ahmad dan Al-Ghazali. Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh Al-Ghazali untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Mula-mula ia belajar agama sebagai pendidikan dasar kepada ustadz setempat yaitu Ahmad bin Muhammad Razkafi. Kemudian Al-Ghazali pergi ke Jurjan dan menjadi santri Abu Nasr Ismaili (Ibnu, 2009: 10). Di antara mata pelajaran yang dipelajari Al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pandangan ilmiahnya di kemudian hari. Hal ini antara lain terlihat dari karya tulisnya yang dibuat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Di madrasah Al-Ghazali belajar ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani dan belajar ilmu tasawuf kepada Yusuf Al-Nasaaj di umur 20 tahun. Pada tahun 471 H, Al-Ghazali berangkat menuju Kota Nishapur (Neisabur) karena tertarik dengan sekolah tinggi Nizhamiyyah (Zainuddin, 1991: 7). Di sinilah beliau bertemu dengan dekannya yang terkenal Abu Al-Ma‟ali Dhiyauddin Al-Juwaini, yang bergelar kehormatan “Imam Al-Haramain” (Imam dari dua kota suci, Makkah dan Madinah). Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa Al-Juwaini, guru Al-Ghazali merasa cemburu atas kepintarannya. 18 Pada tahun 475 H dalam usia 25 tahun , Al-Ghazali mulai menjadi dosen, dibawah pimpinan gurunya Imam Haramain. Jabatan dosen di Universitas Nihamiyyah Nishapun mengangkat namanya begitu tinggi, apalagi setelah beliau dipercaya oleh gurunya untuk menggantikan kedudukannya, baik sebagai maha guru maupun sebagai pimpinan Universitas. Pada tahun 479 H/ 1085 M, Imam Al-Haramain meninggal dunia. Untuk mengisi kekosongan itu maka tidak ada pilihan lain bagi perdana menteri Nizham Al-Mulk untuk menggantikannya kecuali dengan AlGhazali. Dalam usia 28 tahun, Al-Ghazali telah dapat menggemparkan kaum sarjana dan ulama pada masanya, sehingga perdana menteri Nizham Al-Mulk sangat kagum padanya. Di Naisabur beliau mnghidupkan paham skeptisme yang dianut oleh para sarjana Eropa pada masa berikutnya (Zainuddin, 1997: 8). Sejak kecil Al-Ghazali dikenal sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan tak pernah berhenti mencari kebenaran hakiki. Dalam sebuah karyanya AlGhazali mengatakan: “Kehausan untuk mencari kebenaran adalah favoritku sejak kecil masa mudaku yang menjadi naluri dan bakat yang dicampakan oleh Allah SWT. Pada temperamenku, bukan merupakan usaha dan rekaan belaka” (AlGhazali, 2001: 107). Pada tahun 484 H, Al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di Universitas Nizamiyyah di Baghdad, Al-Ghazali sebagai benteng pertahanan aqidah ahlussunah dari serangan paham Batiniyyah. Banyak mahasiswa yang 19 berdatangan untuk berguru kepadanya dari berbagai daerah. Hal inilah yang semakin membuat nama besar Al-Ghazali bertambah tenar di zamannya, hingga beliau mendapatkan gelar “Imam Irak” dari kholifah Al-Mustadzir Billah. Kepercayaan yang diberikan kepadanya untuk menangkis ajaran kaum Batiniyyah dan kaum Ismailiyyah yang sangat meresahkan. Akhirnya beliau menyusun karya-karya tulis yang mengcounter aliran tersebut, diantaranya: Al-Mustadzhir Wa Hujjah Al-Haq dan Al-Qisthas Al-Mustaqim (Jawaad, 2002: 116). Antusiasme itu juga ditunjukkan oleh besarnya animo masyarakat dan para ulama dalam mengikuti perkembangan pemikiran dan pandangannya. Demikianlah Al-Ghazali menjadi publik figur otoritatif dalam menolak pendapat keyakinan para penentangnya. Beliau juga telah banyak menelan seluruh paham dan ajaran firqoh, taifah dan filsafat. Semua itu kemudian meninggalkan pergolakan dalam batinnya sendiri, karena tidak ada yang dapat memuaskan batinnya, ia ragu akan kesanggupan akal untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, terlebih untuk mengetahui hakikatNya. Lebih lanjut A. Hanafi mengisahkan: “Dan selama itu beliau tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga akhirnya menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan dengan obat lahiriyah. Pekerjaan itu kemudian ditinggalkannya pada tahun 488 H, untuk menuju Damsyik dan di kota ini beliau merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih dua tahun, dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya (Hanafi, 1976: 198). Setelah berpuluh-puluh tahun mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan dan tercapai cita-citanya untuk memperoleh kebenaran hakiki, 20 beliau wafat di Thusia pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/ 19 Desember 1111 M dihadapan adiknya, Abu Ahmad Mujiduddin. Al-Ghazali meninggalkan 3 orang anak perempuan, sedangkan Hamid anak laki-lakinya meninggal sewaktu kecil mendahului Al-Ghazali. Karena itulah beliau diberi gelar “Abu Hamid” /Bapak si Hamid (Zainuddin, 1991: 10). B. Peran Al-Ghazali dalam masyarakat. Abu Hamid Al-Ghazali hidup pada masa Nizamul Mulk, seorang wazir besar dari kalangan Bani Saljuk, pada waktu itu Wazir telah berhasil mendirikan sekolah-sekolah tinggi yang disediakan untuk memperdalam penyelidikan tentang agama dan perkembangannya. Ini membuktikan bahwa kondisi pendidikan pada masanya mengalami kemajuan (Hamka, 1993: 120). Abad ke 5 merupakan masa terjadinya konflik antara kelompokkelompok beragama dalam Islam, seperti halnya Mu‟tazilah, Syi‟ah, Asy „ariyah, Hanafiyah, Hambaliyah, dan Syafi‟iyah. Wazir Saljuk sebelum Nizham Al Mulk yaitu Al Kunduri salah seorang yang menganut madzhab Hanafi dan pendukung Mu‟tazilah, termasuk dari kebijakannya sebagai wazir adalah mengusir dan menganiaya para penganut Asy‟ariyah yang sering kali juga berarti penganut mazhab Syafi‟i. Al Kunduri selanjutnya digantikan posisinya sebagai wazir oleh Nizham Al Mulk, salah seorang yang menganut mazhab Syafi‟i Asy‟ariyah, oleh karena itu secara alamiah ia berhadapan dengan kelompok yang bermazhab Mu‟tazilah, Hambaliyah dan Hanafiyah. Tidak ada bukti bahwa Nizham Al Mulk membalik kebijakan setelahnya dengan melancarkan penganiayaan kelompok tertentu seperti kelakuan wazir 21 sebelumnya. Tetapi Nizham Al Mulk sebagai seorang Syafi‟iyah, seluruh sekolahan yang ia bangun diperuntukkan secara khusus bagi penganut mazhab yang sama. Jelas bahwa hal ini posisi mazhab Syafi‟iyah Asy‟ariyah menjadi semakin kuat dan secara tidak langsung melemahkan. Walaupun para pengkaji yang dahulu menyimpulkan bahwa pembangunan sekolah atau madrasah oleh Nizham Al Mulk guna menghancurkan mazhab-mazhab lain terutama Mu‟tazilah dan Syi‟ah. Hal ini tidak didasari alasan dan bukti yang kuat. Bahwa dirinya menginginkan kuatnya posisi Syafi‟iyah Asy‟ariyah yang sebelumnya dianiaya, tetapi hal ini tidak berarti Nizham Al Mulk menghancurkan yang lain. Jadi pada dasarnya, percekcokan kelompok inilah yang melatarbelakangi usahanya lewat pembangunan sekolah, guna memperbaiki keadaan kelompok yang bermazhab Syafi‟iyah Asy‟ariyah guna mencapai stabilitas yang diinginkan dengan jalan pendidikan (Asari, 1994: 51-52). Melihat hal tersebut penulis mengambil kesimpulan ungkapan bahwa Imam Al-Ghazali hidup pada masa yang didalamnya telah dikuasai oleh pemimpin yang tidak mengambil tindakan kekerasan pada pemerintahannya. Tetapi seorang pemimpisn yang bernama Nizham Al-Mulk lebih menyukai jalan pendidikan dalam usahanya untuk memenangkan pertikaian antar kelompok beragama. Di masa Imam Al-Ghazali adalah masa yang telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan walaupun di dalamnya terdapat berbagai perselisihan. 22 Sesuatu hal yang wajar dan menjadi kebiasaan umat manusia sepanjang sejarah, bahwa seorang pemikir yang kontroversial adalah dikutuk dan dipuja. Demikian pula Al-Ghazali, ia adalah seorang tokoh dan pemikir dalam berbagai disiplin (universalist) yang terkenang sepanjang masa, banyak yang memuja dan banyak yang pula yang mencerca, banyak kawan yang sepaham dan banyak pula lawan yang menentang, diagungkan dan dicaci maki, dibela dan dibenci. Menurut pengkajian Abul A‟la Al-Maududi, ada delapan segi amaliah pembaharuan yang dilakukan Al-Ghazali pada masa hidupnya, yaitu: 1. Pengkajian filsafat Yunani dengan cara yang mendalam dan teliti lalu mengemukakan kritik yang tajam, yang kemudian dimasukkannya ke dalam hati dan jiwa kaum muslimin. 2. Meluruskan kekeliruan yang terjadi akibat upaya perbaikan yang dilakukan oleh ulama mutakallimin yang kurang menguasai logika. 3. Menjelaskan akidah-akidah Islami dan prinsip-prinsipnya melalui logika yang tidak bertentangan dengan filsafat dan ilmu logika yang berkembang saat itu. Al-Ghazali juga berusaha menjelaskan berbagai hikamah dan rahasia syari‟at dan ibadat dalam rangka meluruskan pandangan masyarakat, yang selama ini diracuni suatu keyakinan bahwa agama mereka sudah tidak sesuai lagi dengan akal. 4. Menentang semua aliran keagamaan yang ada pada masanya, serta berusaha mempertemukan segi-segi perbedaan mereka. 23 5. Memperbarui pemahaman keagamaan umat dan menyatakan ketidakbergunaan keimanan seseorang yang tidak disertai dengan komitmen batin, mengikis habis taklid buta di kalangan mereka dan berusaha mendorong umat agar kembali kepada Al-Qur‟an dan Sunnah yang bersih serta menghidupkan kembali semangat ijtihad. 6. Melakukan kritik terhadap sistem pendidikan dan pengajaran yang telah usang, menggatikannya sistem baru. Dalam sistem pendidikan dan pengajaran lama itu terdapat dua kelemahan: a. Polarisasi ilmu agama dan ilmu umum yang tidak mustahil akan menyebabkan umat akan menerapkan sekularisasi, pandangan dikotomi semacam ini menurut Al-Ghazali jelas amat keliru. b. Masuknya berbgai hal yang diatas memiliki ilmu syari‟at yang pada hakikatnya tidak memiliki kaitan apapun dengan syari‟at, yang bisa mengakibatkan munculnya pemahaman keagamaan dalam masyarakat yang menjurus pada kesesatan. 7. Mengkaji moral umat dengan pengkjian yang mendalam, Al-Ghazali memang memiliki kesempatan yang amat luas untuk mengungkapkan kehidupan ulama, tokoh-tokoh agama, umara, pangeran-pangeran dan orang awam. 8. Mengkritik sistem pemerintahan dengan bebas dan berani serta mengimbau perlunya perbaikan-perbaikan, lalu menyebarluaskan semangat kebangkitan di kalangan umat, agar mereka tidak takut terhadap kesewenag-wenangan yang dilakukan terhadap mereka serta mendorong 24 agar mereka mengemukakan pendapat-pendapatnya tanpa disertai rasa takut dan khawatir (Zainuddin, 1991: 15-16). Adapun gelar “Hujjatul Islam” dari dunia Islam kepada Al-Ghazali, dapat diartikan bahwa umat Islam umumnya mengakui bahwa amal dan ilmu Al-Ghazali selama hidupnya merupakan suatu hujjah, pembelaan yang berhasil menentang anasir luar yang membahayakan kepercayaan umat Islam. Dalam hal ini Hasbullah Bakry menyebutkan dua macam serangan, yaitu: Pertama, serangan dari dunia filsafat yang telah menjadikan ilmu tentang ketuhanan itu berupa pengetahuan yang akali semata-mata dan mereka memberikan gambaran tentang ketuhanan umat Islam umumnya. Kedua, Al-Ghazali dianggap telah berhasil memberikan tuntunan yang sesuai dengan syari‟at agama Islam terhadap perkembangan mistik (tasauf) dan kebatinan (batiniyah)yang keterlaluan dan membahayakan amal syari‟at Islam (Zainuddin, 1991: 16). C. Karya-karya Al-Ghazali Buku-buku karangannya itu pada umumnya berisikan kritikan dan komentar terhadap pemikiran filsafat terdahulu. Tulisan-tulisannya diberikan kepada gurunya untuk dibaca dan mendapat tanggapan positif, bahkan pujian dari gurunya. Bukunya kemudian berhasil menarik perhatian daripada orientalis dan diterjemahkan keberbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia (Ensiklopedi Islam, 1994: 25). Karya-karya ilmiah Al-Ghazali tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 25 1. Kelompok filsafat dan ilmu kalam, yang meliputi: a. Maqhasid Al-Falasifah (Tujuan Para Filosuf) b. Tahafut Al-Falasifah (Keracunan Para Filosuf) c. Al-Iqtishad Fil I‟tiqod (Moderasi dalam Aqidah) d. Al-Munqiz Min Al-Dlalal (Pembebasan dari Kesesatan) e. Al-Maqshidul Fii Ma‟ani ismillah Al-Husna (Arti Nama-Nama Tuhan Allah yang Indah) f. Faishalut Tafriqoh Bainal Islam Waz Zindiqoh (Perbedaan antara Islam dan Zindiq) g. Al-Qisthas Al-Mustaqim (Timbangan yang Benar) h. Al-Mustazhiri (Penjelasan-Penjelasan) i. Hijjatul Haq (Argumen yang Benar) j. Mufasshal Al-Khilaf Fii Ushuluddin (Memisahkan Perselisihan dalam Ushuluddin) k. Al-Muntahalu Fil „Ilmi Al-Jidal (Tata Cara dalam Ilmu Diskusi) l. Al-Madhum bin „Ala Ghairi Ahlihi (Pesangkaan oleh Orang yang Bukan Ahlinya) m. Mahkun Nadhar (Metodologi Logika) n. Asraar „Ilmiddin (Rahasia Ilmu Agama) o. Al-Arbain fii Al-Ushuluddin (40 Masalah Ushuluddin) p. Ijamul Awwam „An Ilmi al-Kalam (Menghindarkan Orang Awam dari Ilmu Kalam) 26 q. Al-Qulul Jamil Firraddi „Ala Man Gayaral Injil (Jawaban yang Tepat untuk Orang yang Mengubah Injil) r. Mi‟yarul „Ilmi (Timbangan Ilmu) s. Al-Intishar (Rahasia-Rahasia Alam) t. Isbatun Al-Nadhar (Pemantapan Logika) 2. Kelompok ilmu fiqih dan ushul fiqih, yang meliputi: a. Al-Basrih (Pembahasan yang Mendalam) b. Al-Wasit (Perantara) c. Al-Wajiz (Surat-Surat Wasiat) d. Khulasatul Mukhtasar (Intisari Ringkasan Karangan) e. Al-Mustasfa (Pilihan) f. Al-Mankul (Adat Kebiasaan) g. Syifakhul „Alifi Fii Qiyas Wattahlil (Penyembuhan yang Baik dalam Kias Tahlil) h. Al-Dzari‟ah Ila Makarimis Syari‟ah (Jalan kepada Kemuliaan Syari‟ah ) 3. Kelompok ilmu tasawwuf, yang meliputi: a. Ihya‟ Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama) b. Mizanul Amal (Timbangan Amal) c. Kimiyaus Sa‟adah (Kimia Kebahagiaan) d. Misykatul Anwar (Pedoman Beribadah) e. Al-Dararul Fakhiral Fii Penyingkap Ilmu Akhirat) Kasfi „Ulumil Akhirah (Mutiara 27 f. Al-„Ainis Fil Wahdah (Lembut-lembut dalam kesatuan) g. Al-Qurbah Ilallahi Azza Wajallah (Mendekatkan Diri pada Allah) h. Akhlak Al-Abrar Wanajjat Minal Asrar (Akhlak yang Luhur dan Penyelamat dari Keburukan) i. Al-Mabadi Wagayyah (Pemula dan Tujuan) j. Nashihat Al-Mulk (Nasihat untuk Raja-Raja) k. Al-„Ulum Al-Ladoniyyah (Ilmu-Ilmu Laduni) l. Ar-Risalah Al-Qudsiyyah (Risalah Suci) m. Al-Ma‟khadz (Tempat Pengambilan) n. Al-Amali (Kemuliaan) o. Ayyuha Al-Walad (Wahai Anakku) 4. Kelompok ilmu tafsir, yang meliputi: a. Yaaqut Ta‟wil Fii tafsirit Tanzil (Metodologi Ta‟wil di dalam Tafsir yang Diturunkan) b. Jawaehir Al-Qur‟an (Mutiara-Mutiara Al-Qur‟an atau Rahasia yang Terkandung dalam Al-Qur‟an) BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK A. Pengertian pendidikan menurut Imam Al-Ghazali Imam Al-Ghazali adalah tokoh yang sangat memperhatikan bidang pendidikan. Menurut Al-Ghazali, pendidikanlah yang banyak membentuk corak kehidupan suatu bangsa. Menurut al-Tibawi, pemikiran pendidikan AlGhazali ini paling baik, sistematis, dan komprehensif dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain. Hal ini disebabkan Al-Ghazali adalah seorang guru besar yang juga sekaligus pemikir besar. Pokok-pokok pemikiran Al-Ghazali terdapat dalam bukunya Ihya Ulumuddin dan Ayyuha al-Walad. Kedua buku ini ditulisnya setelah dia melewati perjalanan panjang intelektualnya. Kunci pokok pemikiran AlGhazali dapat ditemukan pada pertanyaan tentang hakikat pendidikan, yakni mengedepankan kesucian jiwa dari akhlak yang hina dan sifat-sifat tercela, karena ilmu merupakan ibadahnya hati, shalat yang bersifat rahasia, dan sarana pendekatan batin kepada Allah (Munif, 2007: 16-17). Konsep pendidikan yang dikembangkan Al-Ghazali mencakup lima aspek, yaitu: aspek pendidikan jasmaniah, aspek pendidikan akhlak, aspek pendidikan akal, dan aspek pendidikan sosial, yang kesemuanya sudah harus ditanamkan pada anak sejak usia dini. Kelima aspek tersebut harus diwujudkan secara utuh dan terpadu agar dapat menghasilkan manusia seutuhnya (Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, 1998: 253-254). 28 29 1. Tujuan pendidikan Al-Ghazali menjelaskan tentang tujuan pendidikan dalam berbagai kitabnya , yang disusun sebagai berikut: a. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja. Al-Ghazali mengatakan: “Apabila engkau mengadakan penyelidikan/penalaran terhadap ilmu pengetahuan, maka engkau akan melihat kelezatan padanya, oleh karena itu tujuan mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri” (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 1, 13). Dari perkataan tersebut jelas menunjukkan bahwa penelitian, penalaran, dan pengkajian yang mendalam dengan mencurahkan tenaga dan pikiran adalah mengandung kelezatan intelektual dan spiritual yang akan menumbuhkan roh ilmiah, kepada mereka dalam mencari hakikat mencari ilmu pengetahuan. Demikian Al-Ghazali sangat menganjurkan kepada para pelajar agar menjadi orang yang cerdas, pandai berfikir, mengadakan penelitian yang mendalam dan dapat menggunakan akal pikiranmya dengan baik dan optimal, untuk menguasai ilmu pengetahuan dengan sesungguhnya dan mengerti maksudnya. Dapat dikatakan, bahwa aspek kecerdasan, keilmuan dan cinta kebenaran yang dikemukakan Al-Ghazali hampir seribu tahun yang lalu masih mempunyai relevansi dengan dunia pendidikan modern, karena sama-sama mengajukkan untuk menggalakkan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan secara meluas dan 30 merata, terutama dalam rangkaian perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin tinggi di akhir abad 20 ini. b. Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak Al-Ghazali mengatakan: “Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya” (Al Ghazali, Mizanul Amal, 1961, I: 361). Dari pernyataan di atas, jelaslah bahwa Al-Ghazali menghendaki keluhuran rohani , keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan utama dari pendidikan bagi kalangan manusia muslim, karena akhlak adalah aspek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat, maupun suatu negara. c. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat Al-Ghazali mengatakan: “Dan sungguh engkau mengetahui bahwa hasil ilmu pengetahuan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta alam, menghubungkan diri dan berhampiran dalam ketinggian malaikat, demikian itu di akhirat. Adapun di dunia adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh pemerintahan bagi pimpinan negara dan penghormatan menurut kebiasaannya.” Demikian itulah Al-Ghazali, seiring dengan kepribadian, ia tidak memperhatikan kehidupan dunia semata-mata karena atau kehidupan akhirat semata-mata, tetapi beliau menganjurkan untuk berusaha dan bekerja bagi keduannya tanpa meremehkan salah satunya. Jadi ruang lingkup pendidikan yang diharapkan bagi 31 masyarakat muslim khususnya, menurut Al-Ghazali tidak sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau kehidupan akhirat sematamata, akan tetapi harus mencakup kebahagiaan dunia dan akhirat. Akan tetapi kesenangan dan kebahagiaan di dunia adalah merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan akhirat, karena kebahagiaan dunia bersifat sementara. Jadi kebahagiaan di dunia merupakan tujuan sementara yang harus dicapai untuk menuju tujuan yang lebih tinggi, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam rangka mencapai kebahagiaan akhirat (Zainuddin, 1991: 48). Tujuan pendidikan yang dirumuskan Al-Ghazali meliputi: 1) Aspek keilmuan, yang mengantarkan manusia agar senang berpikir, menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadi manusia yang cerdas dan terampil. 2) Aspek kerohanian, yang mengantarkan manusia agar berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan berkepribadian yang kuat. 3) Aspek ke-Tuhan-an, yang mengantarkan manusia beragama agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Senada dengan tujuan pendidikan Al-Ghazali tersebut, Pendidikan Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan: “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa 32 terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan” (UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 dan 2). 2. Pendidik Dalam bukunya Zainuddin (1991: 50) bahwanya Al-Ghazali mempergunakan istilah pendidik dengan berbagai kata seperti, alMuallimin (guru), al-Mudarris (pengajar), al-Muadib (pendidik) dan alWalid (orang tua). Oleh karena itu istilah pendidik tersebut yakni pendidik dalam arti yang umum, yang bertugas dan bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran. a. Profesi pendidik menurut Al-Ghazali 1) Alasan yang berhubungan dengan sifat naluriah Dalam kitab Ihya Ulumuddin ia menyebutkan: “Apabila ilmu pengetahuan itu lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia itu. Maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu.” Jadi, mengajar dan mendidik adalah sangat mulia. Karena secara nurani orang berilmu itu dimuliakan dan dihormati oleh orang. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah mulia, maka mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan. 33 Akan tetapi, posisi pengajar dalam masyarakat modern dewasa ini, lebih sering hanya di pandang sebagai petugas semata yang mendapat gaji dari negara atau instansi/organisasi swasta dan tanggung jawabnya tertentu, serta tugasnya relatif dilimitasi dengan dinding sekolah. Padahal sesungguhnya tugas mengajar ilmu itu menduduki posisi-status terhormat atau mulia. Dengan kehormatan atau kemuliaan yang disandangnya itulah membawa konsekuensi logis bahwa pengajar lebih dari sekedar petugas gajian. Dia sebagai figur teladan yang mesti ditiru dan diharapkan dalam memperlakukan anak didiknya tidak seperti domba atau ternak yang perlu di digembala/didisiplinkan. Anak didik sebagai manusia yang mudah dipengaruhi yang sifatsifatnya perlu dibentuk dan dituntun olehnya untuk mengenal peraturan moral yang dianut oleh masyarakat. Itulah sebabnya, seorang pengajar tak cukup hanya mengandalkan kepandaian atau pemilikan otoritas disiplin ilmu tertentu saja. Dia haruslah orang yang berbudi dan beriman sekaligus amalnya, yang perbuatannya sendiri dapat memberikan pengaruh jiwa anak didiknya. 2) Alasan yang berhubungan dengan kemanfaatan umum Dalam bukunya Zainuddin (1991: 52) bahwasanya Al-Ghazali dalam kitab Mizanul Amal mengatakan: “Orang yang mempunyai ilmu itu berada dalam keadaan berikut: 34 a) Mencari faedah dan guna ilmu. b) Mencari hasil ilmu pengetahuan sehingga ia tidak bertanya-tanya. c) Memberikan wawasan ilmu dan mengajarkannya. Dan inilah keadaan yang termulia baginya. Jadi barangsiapa telah mencapai ilmu pengetahuan, kemudian ia dapat mengambil faedahnya dan selanjutnya diajarkannya, maka ia adalah laksana matahari yang bersinar dan menyinari lainnya. Ia adalah laksana kasturi yang dapat mengharumkan dan ia sendiri berbau harum”. Adalah menjadi jelas bahwa kemuliaan mengajar adalah mempunyai dua segi kemanfaatan. Pertama, bagi orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan itu sendiri akan semakin bertambah pengetahuan dan pengalamannya, sehingga dapat mengambil manfaatnya dan mengambil ilmu pengetahuan sebaik-baiknya. Kedua, bagi orang lain yang diberi ilmu pengetahuan, diajar dan didik akan semakin tambah pula pengetahuan dan pengalamannya, sehingga dapat mengambil manfaat ilmu pengetahuan tersebut. 3) Alasan yang berhubungan dengan unsur yang dikerjakan Al-Ghazali menyebutkan: “Seorang guru adalah berurusan langsung dengan hati dan jiwa manusia, dan wujud yang paling mulia di muka bumi ini adalah jenis manusia. Bagian paling mulia dari bagian-bagian (jauhar) tubuh manusia adalah hatinya, sedangkan guru adalah bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekatkan kepada Allah SWT” (Zainuddin, 1991: 53). Jadi kesimpulannya, seorang guru adalah orang yang menempati status yang mulia di dataran bumi, ia mendidik jiwa, hati, akal, dan roh manusia.edangkan jiwa manusia adalah unsur 35 yang paling mulia di dunia ini dibandingkan dengan makhluk yang lain. b. Gaji pengajar (guru) menurut Al-Ghazali Pemimpin-pemimpin kaum muslimin pada masa awal kebangkitan Islam, semua memperhatikan kaum muslimin. Tidak kedengaran bahwa mereka mengkhususkan para guru untuk mengajar anak-anak mereka di surau-surau (kuttab) dan mengambil harta Allah untuk menggaji guru-guru tersebut. Suatu ketika, Al-Ghazali mengatakan: “Lihatlah kesudahan agama di tangan orang-orang yang mengatakan bahwa mereka bermaksud mendekatkan diri pada Tuhan (Allah) oleh sebab mereka memiliki ilmu fiqh dan kalam serta mengajarkan dua ilmu itu dan lain-lainnya lagi. Mereka menghabiskan harta dan pangkat serta menanggung kehinaan untuk melayani Sultan-Sultan untuk mencari pembagian makanan. Alangkah hinanya seorang alim yang rela menerima kedudukan seperti ini” (zainuddin, 1991: 55). Sesungguhnya, kesimpulan Al-Ghazali dalam hal mengharamkan gaji guru dapat dipahami secara tersirat bahwa gaji tercela (diharamkan) sebagai yang dikecam Al-Ghazali itu, adalah apabila Al-Qur‟an (ilmu-ilmu yang lain) dijadikan sebagai alat untuk mencari rezeki, menumpuk kekayaan, bahkan satu-satunya tujuan mengajar (dari seorang guru) hanya untuk mencari nafkah dan mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya. c. Persyaratan kepribadian pendidik menurut Al-Ghazali Al-Ghazali mengemukakan syarat-syarat kepribadian seorang pendidik sebagai berikut: 36 1) Sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus harus diterima baik. 2) Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih. 3) Sopan dan tunduk, tidak riya‟/pamer. 4) Tidak takabur. 5) Bersikap tawadlu‟ dalam pertemuan-pertemuan. 6) Sikap dan pembicaraannya tidak main-main. 7) Menanam sifat bersahabat terhadap murid-muridnya. 8) Menyantuni serta tidak membentak-bentak orang-orang bodoh. 9) Membimbing dan mendidik murid secara sebaik-baiknya. 10) Berani berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak dimengerti. 11) Menampilkan hujjah yang benar (Zainuddin, 1991: 56-57). Dari pernyataan di atas, dapat dikemukakan bahwa persyaratan bagi seorang pendidik meliputi berbegai aspek, yaitu: - Tabiat dan perilaku pendidik. - Minat dan perhatian terhadap proses belajar mengajar. - Kecakapan dan keterampilan mengajar. - Sikap ilmiah dan cinta terhadap keberanian. d. Tugas dan kewajiban pendidik menurut Al-Ghazali Dalam kitab Ihya Ulumuddin dan Mizan al-Amal, kewajiban pendidikan sebagai berikut: tugas dan 37 1) Mengikuti jejak Rasulullah Seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas mengajarkannya adalah mendekatkan diri kepada Allah sematamata. Dan ini dapat dipandang dari dua segi: pertama, sebagai tugas kekhalifahan dari allah. Kedua, sebagai pelaksanaan ibadah kepada Allah yang mencari keridlaanNya dan mendekatkan diri kepadaNya. 2) Memberikan kasih sayang terhadap anak didik Seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua anak didiknya, yaitu mencintai anak didiknya seperti mencintai anaknya sendiri. 3) Menjadi teladan bagi anak didik Jelaslah bahwa guru hendaklah mengerjakan apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarangnya dan mengamalkan segala ilmu pengetahuan yang diajarkannya. Karena tindakan dan perbuatan guru adalah menjadi teladan bagi anak didiknya. 4) Menghormati kode etik guru Guru menduduki posisi sentral dan paling mulia di muka bumi. Jadi antara ilmu pengetahuan dan guru adalah sama-sama mulia dan sebagai sentral kehidupan, oleh karenanya hubungan antara guru dan guru lainnya harus saling menghormati dan memuliakan. Bahkan seorang guru seharusnya mengajak muridmuridnya untuk menghormati dan memuliakan segenap guru dan 38 sekaligus seluruh ilmu pengetahuan, bukan saling menjelekjelekkan. 3. Anak didik Al-Ghazali mempergunakan istilah anak dengan beberapa kata, seperti: al-Shobiy (kanak-kanak), al-Mutaallim (pelajar) dan tholibul ilmi (penuntut ilmu pengetahuan). Oleh karena itu, istilah anak didik di sini dapat diartikan; anak yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani sejak awal terciptanya dan merupakan obyek utama dari pendidikan (dalam arti yang luas) (Zainuddin, 1991: 64). a. Fitrah menurut Al-Ghazali Kata fitrah berasal dari kata “fathara” (menciptakan), sepadan dengan kata “khalaqa”. Jadi fitrah (isim masdar) berarti ciptaan atau sifat dasar yang telah ada pada saat diciptakannya atau “asal kejadian”. Untuk mendapatkan pengertian yang jelas tentang fitrah sebagaimana yang dikehendaki Al-Ghazali, maka perlu dikemukakan ayat ayat Al-Qur‟an dan Al-Hadits yang menjadi sumber pemikirannya, beserta interprestasinya ataupun perkataanperkataannya sendiri yang berhubungan dengan hal tersebut. 1) Ayat Al-Qur‟an 39 Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum: 30) (Depag, 2004: 408) Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa pengertian fitrah menurut Al-Ghazali adalah suatu sifat dari dasar manusia yang dibekali sejak lahirnya dengan memiliki keistimewaan sebagai berikut: a) Beriman kepada Allah. b) Kemampuan dan kesediaan untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran. c) Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang merupakan daya untuk berpikir. d) Dorongan biologis yang berupa syahwat dan insting. e) Kekuatan-kekuatan lain atau sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan disempurnakan. b. Perkembangan anak didik menurut Al-Ghazali 1) Al-Janin, yaitu tingkat anak yang berada dalam kandungan. Adanya kehidupan setelah diberi roh oleh Allah. 2) Al-Thifl, yaitu tingkat anak-anak dengan memperbanyak latihan dan kebiasaan sehingga mengetahui baik atau pun buruk. 40 3) Al-Tamziz, yaitu tingkat anak yang telah dapat membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk, bahkan akal pikirannya telah berkembang sedemikian rupa sehingga telah dapat memahami ilmu dlaluri. 4) Al-„Aqil, yaitu tingkat manusia yang telah berakal sempurna bahkan akal pikirannya telah berkembang secara maksimal sehingga telah menguasai ilmu dlaluri. 5) Al-Auliya‟ dan Al-Anbiya‟, yaitu tingkat tertinggi pada perkembangan manusia. Bagi para Nabi telah mendapatkan ilmu dari Tuhan melalui malaikat yaitu ilmu wahyu. Dan bagi para wali telah mendapatkan ilmu ilham atau ilmu laduni yang tidak tahu bagaimana dan dari mana ilmu itu didapatkannya. c. Etika anak didik terhadap pendidik menurut Al-Ghazali Al-Ghazali menjelaskan etika anak didik terhadap pendidik ini secara terinci dalam kitabnya “Bidayatul Hidayah”, yang meliputi: 1) Jika berkunjung kepada guru harus menghormat menyampaikan salam terlebih dahulu. 2) Jangan banyak bicara dihadapan guru. 3) Jangan bicara jika tidak diajak bicara oleh guru. 4) Jangan bertanya jika belum minta izin terlebih dahulu. 5) Jangan sekali-kali menegur ucapan guru. dan 41 6) Jangan mengisyarati terhadap guru, yang dapat memberi perasaan khilaf dengan pendapat guru. Kalau demikian itu menganggap murid lebih besar daripadanya. 7) Jangan berunding dengan temanmu di tempat duduknya, atau berbicara denagn guru sambil tertawa. 8) Jika duduk di hadapan guru jangan menoleh-noleh tapi duduklah dengan menundukkan kepala dan tawadlu‟ sebagaimana ketika melakukan shalat. 9) Jangan banyak bertanya sewaktu guru kelihatan bosan atau kurang enak. 10) Sewaktu guru berdiri, murid harus berdiri sambil memberikan penghormatan kepada guru. 11) Sewaktu guru sedang berdiri dan sudah akan pergi, jangan sampai dihentikan cuma perlu bertanya. 12) Jangan sekali-kali bertanya sesuatu kepada guru di tengah jalan, tapi sabarlah nanti setelah sampai di rumah. 13) Jangan sekali-kali su’udlon (beranggapan buruk) terhadap guru mengenai tindakannya yang kelihatannya munkar atau tidak diridhai Allahmenurut pandangan murid. Sebab guru lebih mengerti rahasia-rahasia yang terkandung dalam tindakan itu. d. Tugas dan kewajiban para pelajar Al-Ghazali menjelaskan tetntang tugas dan kewajiban para pelajar pada bagian khusus dari kitabnya “Ihya Ulumuddin” dan 42 “Mizamul Amal”, dengan pembahasan yang luas dan mendalam yang diuraikan sebagai berikut: 1) Mendahului kesucian jiwa Belajar dan mengajar adalah sama dengan ibadah shalat, sehingga shalat tidak sah kecuali dengan menghilangkan hadas dan najis, maka demikian pula dalam hal mencari ilmu, mulamula harus menghilangkan sifat-sifat yang tercela seperti: dengki, takabbur, menipu, angkuh, dan sebagainya. Namun apabila ada pelajar yang budi pekertinya buruk dan hina tapi memperoleh ilmu pengetahuan, maka ia hanya memperolehnya pada kulit dan lahirnya saja, bukan isi dan hakikatnya sehingga tidak bermanfaat bagi dirinya dan lainnya. Jadi tidak membawa kebahagiaan dunia akhirat. 2) Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan Mencurahkan segala tenaga, jiwa, raga, dan pikiran agar dapat berkonsentrasi sepenuhnya pada ilmu pengetahuan. 3) Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya Seorang guru yang mempunyai keahlian yang tinggi dan pengalaman yang luas, telah menyelidiki dengan teliti keadaan pelajar itu sehingga mengetahui kelemahan dan penyakitnya, setelah itu baru memberikan nasihat, petunjuk dan pengobatan pada anak didiknya sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan bagi anak didik. 43 4) Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan Pelajar harus mendahulukan ilmu pengetahuan yang paling pokok dan mulia, kemudian ilmu pengetahuan yang penting, lalu ilmu pengetahuan sebagai pelengkap dan seterusnya, karena ilmu pengetahuan yang satu dengan lainya erat sekali dan saling membantu. B. Pengertian akhlak menurut Imam Al-Ghazali Al-Ghazali memberi pengertian tentang akhlak: “Al-Khuluq (jamaknya Al-Akhlak) ialah ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa, daripadanya tumbuh perbuatanperbuatan dengan wajar dan mudah, anpa memerlukan pikiran dan pertimbangan”. Menurut pengertian di atas, jelaslah bahwa hakikat akhlak menurut Al-Ghazali harus mencakup dua syarat: Pertama, perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulangkali kontinu dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan (habit forming). Misalnya: seseorang yang memberikan sumbangan harta hanya sekali-kali karena dorongan keinginan sekonyong-konyong saja, maka orang itu tidak dapat dikatakan sebagai pemurah selama sifat demikian itu belum tetap dan meresap dalam jiwa. Kedua, perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksi dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan-tekanan, paksaan-paksaan dari orang lain, atau pengaruh-pengaruh dan bujukan-bujukan yang indah dan sebagainya. 44 Misalnya: orang yang memberikan harta benda karena tekanan moril dan pertimbangan, maka belum juga termasuk kelompok orang yang bersifat pemurah. Pemurah sebagai sifat dan sikap yang melekat dalam pribadi yang didapat karena didikan atau memang naluri. Selanjutnya Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak itu ibarat dari keadaan jiwa dan bentuknya yang batiniyah. Kalau bentuk lahirnya manusia tidak dapat dikatakan bagus kecuali kebagusan aspek lahir semuanya, baik kedua matanya, hidungnya, pipinya dan seterusnya. Demikian pula batiniyah manusia, tidak akan memperoleh kebagusan kecuali terpenuhinya empat sendi yakni: kekuatan ilmu, kekuatan marah, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan keseimbangan diantara kekuatan yang tiga tersebut. Kekuatan untuk mengetahui perbedaan antara benar dan dustanya perkataan, antara baik dan buruknya iktikad kepercayaan, juga antara baik buruknya perbuatan. Kemudian, Al-Ghazali mengemukakan norma-norma kebaikan dan keburukan akhlak ditinjau dari pandangan akal pikiran dan syariat agama Islam. Akhlak yang sesuai dengan akal pikiran dan syariat dinamakan akhlak mulia dan baik, sebaliknya akhlak yang tidak sesuai (bertentangan) dengan akal baik dan syariat dinamakan akhlak sesat dan buruk, hanya menyesatkan manusia belaka. Akhlak menurut Al-Ghazali dapat dibagi menjadi dua, yakni akhlak yang baik dan akhlak yaang buruk (tercela). Akhlak yang baik adalah akhlak yang sesuai dengan akal dan agama (syari‟at). Sedangkan akhlak yang buruk adalah akhlak bertentangan dengan akal dan syari‟at (Kholiq, 1999: 89). 45 Al-Ghazali (Mizan al-Amal, 1982: 40) mengatakan bahwa jiwa itu seakan-akan mempunyai dua arah. Pertama, arah menuju badan. Arah ini harus menguasai serta tidak menerima sifat-sifat yang melekat pada badan dan hawa nafsu. Kedua, arah menuju derajat yang mulia. Arah ini harus menerima hal-hal yang bersifat luhur, karena arah itu merupakan sarana menuju kebahagiaan. Adapun pengelompokan akhlak dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Akhlak yang baik. Al-Ghazali (Ihya Ulumuddin, III, tt. : 47) mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah yang menurut atau sesuai dengan akal syara‟, selanjutnya ia menambahkan, bahwa akhlak yang baik adalah tingkah laku yang diperagakan oleh para rasul. Menurutnya akal merupakan salah satu kriteria dalam menentukan tolak ukur akhlak yang baik. Akal menurut Al-Ghazali adalah sesuatu yang dapat memperoleh pengetahuan, atau tempat pengetahuan (yang mengetahui). Kalau dikatakan bahwa standar akhlak adalah akal dan syara‟, maka syara‟ berfungsi menunjukkan baik dan buruk secara mutlak. Oleh karena itu akhlak yang baik pasti direalisasikan dalam bentuk iman. Dalam hal ini Al-Ghazali (Ihya ulumuddin, III, tt. : 67) mengatakan: “Sesungguhnya kebagusan akhlak itu adalah iman. Dan keburukan akhlak itu adalah nifaq (sifat orang munafiq)”. Tanda-tanda akhlak yang baik menurut Al-Ghazali adalah sifatsifat terpuji yang terdapat pada orang mukmin. Sebagaimana telah di jelaskan di dalam Al-Qur‟an surat Al-Mu‟minun ayat 1-10: 46 Artinya: 1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, 2. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, 3. dan orangorang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, 4. dan orang-orang yang menunaikan zakat, 5. dan orangorang yang menjaga kemaluannya, 6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa, 7. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas, 8. dan orangorang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, 9. dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya, 10. mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi (Q.S. Al-Mu‟minun: 1-10) (Depag, 2004: 343). Adapun yang termasuk dalam kategori akhlak baik, antara lain: ikhlas (berbuat semata-mata karena Allah), tawakkal (berserah diri pada Allah), syukur (berterima kasih atas nikmat Allah), sidiq (benar/jujur), amanah (dapat dipercaya), „adl (adil), „afw (pemaaf), wafa‟ (menepati janji), „iffah (menjaga kehormatan diri), haya‟ (punya rasa malu), syaja‟ah (berani), shabr (sabar), rahmah (kasih sayang), sakha‟ (murah hati), ta‟awun (penolong), iqtisad (hemat), tawadlu‟ (rendah hati), 47 maru‟ah (menjaga perasaan orang lain), qana‟ah (merasa cukup dengan pemberian Allah), rifq (berbelas kasih), dan lain sebagainya. 2. Akhlak yang buruk Akhlak yang buruk adalah keadaan jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan jelek, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Ghazali (Ihya Ulumuddin, III, tt. : 67-68): “Akhlak yang jahat adalah akhlak yang racun yang membunuh, membinasakan, yang memecahkan kepala (memusingkan), perbuatanperbuatan hina yang keji, perbuatan-perbuatan yang kotor yang nyata, kekejian yang menjauhkan dari sisi Tuhan Semesta Alam dan memasukkan orang yang berakhlak demikian dalam kawasan syetan”. Menurut Al-Ghazali, akhlak yang buruk adalah akhlak yang sudah menyimpang jauh dari kontrol dan aturan akal dan syara‟. Akhlak yang keji tersebut merupakan penyakit hati dan jiwa, penyakit yang menghilangkan hidup abadi. Kalau akhlak yang tercela dikarenakan hati atau jiwanya terkena penyakit, tentu ada penyebab mengapa jiwa itu sakit. Menurutnya penyebab utaman penyakit jiwa adalah syetan. Syetanlah yang menanamkan bibit-bibit penyakit dalam jiwa manusia yang akhirnya menimbulkan akhlak yang keji dan tercela. Secara umum manusia itu dapat terseret ajakan dan bujukan syetan, sehingga mereka mendapatkan kebinasaan dan kesengsaraan, karena mereka mengikuti hawa nafsunya dan tidak menghiraukan aturanaturan syara‟. 48 C. Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak Dalam bukunya Kholiq (1999: 91) bahwasanya Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, secara tegas mengatakan bahwa perubahan akhlak atau membentuk akhlak menjadi bagus adalah mungkin, sepanjang ia melalui usaha dan latihan moral yang sesuai. Menurutnya fungsi utama agama adalah membimbing manusia memperindah akhlak. Jika akhlak tidak dapat diubah maka semua perintah maka semua perintah dan ajaran, anjuran dan hukuman agama tidak berarti. Bahkan Rasulullah bersabda: “Jadikanlah akhlak kamu indah.” Jika hal ini benar tidak mungkin, jelas tidak akan diperintahkan. Al-Ghazali (Ihya Ulumuddin, III, tt,: 54) secara tegas mengatakan bahwa akhlak dapat berubah, karena kalau benar akhlak itu tidak dapat berubah, maka sia-sialah nasehat, pelajaran dan pendidikan. Dalam keterangannya, Al-Ghazali juga membandingkan antara manusia dengan binatang yang tidak mempunyai akal, hanya mempunyai naluri (insting) namun binatang dapat dilatih dan dididik. Binatang dapat dipindahkan dari liar kepada jinak, anjing dari kerakusan makan menjadi agak terdididk, dapat menahan diri. Demikianlah kuda yang mempunyai sifat dasar suka melawan menjadi lemah lembut dan tunduk. Sehingga bagi manusia yang dianugerahi akal sangat mungkin untuk dididik ke arah yang lebih baik melalui latihanlatihan dan pendidikan. Al-Ghazali menyanggah pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah titah penciptaan yang tidak dapat dirubah dan terhadap mereka yang berpendapat bahwa merubah budi pekerti (akhlak) sama halnya kehendak merubah ciptaan Allah. 49 Menurut Al-Ghazali manusia menerima perubahan dan penyempurnaan akhlak, ia membagi manusia menjadi menjadi empat tingkatan, yaitu: 1. Manusia yang lalai, yang tidak dapat membedakan antara yang hak dan yang batil, antara yang bagus dan yang buruk. Bahkan manusia seperti kejadian fitrahnya, kosong dari semua keyakinan. Mereka itu adalah orang-orang yang bodoh dan mudah sekali menerima pengobatan. 2. Manusia yang mengetahui keburukan sesuatu yang buruk, tetapi ia tidak membiasakan mengerjakan amal shalih; bahkan selalu berbuat jahat, mengikuti hawa nafsunya dan berpaling dari pikiran yang benar. Ia tahu keteledoran perbuatannya. Mereka itu adalah orang-orang yang boodoh dan sesat, serta lebih sukar pengobatannya daripada orang tingkat pertama. 3. Manusia yang menyakini bahwa akhlak yang keji itu harus dipakai dan dianggap baik. Mereka itu adalah orang-orang yang bodoh, sesat dan fasik. Orang yang seperti ini hampir-hampir tidak dapat diobati. 4. Manusia yang tumbuh pikiran batil dan dididik dengan perbuatan yang batil pula, ia akan menganggap utama terhadap terhadap perbuatan jahat yang akan merusak diri. Mereka itulah orang-orang yang bodoh, sesat, fasik dan jahat. Manusia pada tingkat inilah yang paling sukar untuk diobati (Ihya Ulumuddin, III, tt,: 55). Perubahan akhlak menurut Al-Ghazali adalah perbuatan yang tidak merubah total terhadap akhlak pada munusia. Ia menolak sebagian orang 50 yang mengira bahwa yang dimaksud mujahadah dalam perubahan akhlak ialah mencegah dan menghilangkan sifat-sifat manusia tersebut secara keseluruhan. Inti dari perubahan akhlak adalah perubahan dari akhlak yang buruk ke akhlak yang baik, yakni kembali kepada akal dan hikmah. Mengembalikan akhlak ke posisi yang sebenarnya ini akan berhasil karena dua sebab, yaitu: Pertama, atas karunia Allah yang telah memberikan fitrah manusia secara sempurna. Manusia dijadikan dan dilahirkan dengan akal yang sempurna, akhlak yang baik, yang dapat mengendalikan nafsu syahwat dan amarah. Bahkan nafsu syahwat dan amarah dijadikan lurus, serta patuh terhadap agama. Kedua, akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah. Maksudnya membawa diri ke arah perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan akhlak yang baik (Ihya Ulumuddin, III, tt,: 56). Dari uraian di atas maka jelaslah bahwa adanya perubahan akhlak adalah sangat mungkin. Karena akhlak ada kaitannya dengan fitrah dan jiwa manusia yang harus diarahkan dan disempurnakan. Menurut Al-Ghazali bagi manusia biasa terdapat dua jalan untuk mengarahkan akhlaknya ke sana, yaitu dengan jalan mujahadah (usaha yang sumgguh-sungguh untuk mendekatkan kepada Allah) dan riyadhah (latihan yang terus menerus diorientasiakan pada ridha Allah). Ciri khas pendidikan Islam secara umum menurut Fathiyah Hasan Sulaiman (1990: 24) adalah sifat moral religiusnya yang nampak jelas pada 51 tujuan-tujuan yang hendak dicapai maupun sarana-sarana yang tanpa mangabaikan aspek duniawiyah. Demikian halnya pemikiran Al-Ghazali dalam pendidikan juga bernuansa Islami dan moral. Disamping itu juga tidak mengabaikan masalahmasalah duniawiyah, sehingga ia juga menyediakan porsi yang sesuai dalam pendidikan. Tetapi pencapaian kebahagiaan yang hakiki yakni di akhirat. Sehingga tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Kondisi tujuan pendidikan dewasa ini kadang sangat terasa menyimpang dari tujuan pendidikan yang ideal. Hal ini disebabkan karena penekanannya lebih banyak pada pengembangan nalar, tanpa memperhatikan pengembangan pada aspek-aspek dan potensi lainnya. Dengan kata lain pendidikan hanya menekankan pada aspek kognitif ansich, sedang aspek afektif dan psikomotorik kurang mendapat perhatian. Akibatnya out-put yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang otaknya penuh dengan ilmu pengetahuan, sementara jiwanya kosong dan gersang, dikarenakan tidak mengenal agama dan moral. Semestinya pendidikan merupakan proses humanisasi, tetapi yang ada justru sebaliknya yaitu dehumanisasi. Dari sini maka perlu adanya perencanaan pendidikan yang baik yang mampu merubah perilaku manusia sesuai tujuan yang diharapkan, yakni humanistic education (Engkos wara, 1986: 78). Sehingga orientasi pendidikan tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik. 52 Sebenarnya Al-Ghazali telah menyusun konsep pendidikan yang ideal dan lengkap untuk mendidik manusia secara utuh. Terlebih lagi dalam pendidikan akhlak, ia telah mengkaji dan menyusun dalam kitabnya dengan pengkajian yang mendalam. Kalau di atas disebutkan bahwa menurutnya tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah agar menjadi insan kamil, maka pendidikan akhlak Al-Ghazali juga berorientasi untuk mendekatkan diri pada Allah. Karena menurutnya pembentukan kepribadian, berlangsung secara berangsur-angsur dan berkembang menuju proses kesempurnaan. Maka pendidikan yang dilaksanakan juga harus mengikuti tingkat pertumbuhan dan perkembangan subyek didik. Dari tujuan pendidikan yang demikian, maka bagi Al-Ghazali pendidikan mempunyai arah dan orientasi lurus kepada Allah. Sehingga proses pendidikan yang berlangsung juga tidak boleh menyimpang dari aturan Allah yang ada dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Terlebih lagi karena corak pendidikannya bersifat tasawufi maka pendidikan diarahkan untuk mencapai derajat yang tinggi dihadapan Allah (Sulaiman, 1990: 25). Menurut Al-Ghazali, faktor-faktor pendidikan yang ada seperti: pendidik, anak didik, metode, materi dan tujuan harus berjalan di atas rel agama Allah. Jelaslah, pendidik sebagai uswatun hasanah, maka tidak sembarang orang dapat menjadi guru. Al-Ghazali mensyaratkan untuk orang yang dapat menjadi guru adalah orang yang telah mencapai derajat alim. Dalam arti ia telah dapat mendidik dirinya sendiri, kehidupannya dihiasi dengan akhlak 53 yang mulia, sabar, syukur, ikhlas, tawakal, belaku benar dan sebagainya. Hal demikian juga pada peserta didik, yang mensyaratkan sepuluh sifat yang harus dimiliki peserta didik (Sulaiman, 1990: 52). Sifat tersebut diantaranya adalah setiap murid harus mempunyai kesucian jiwa, harus tawadhu‟, tidak congkak dengan ilmunya dan lain sebagainya. Dalam hal metode, tidak ada penjelasan secara khusus dari Al-Ghazali tentang metode tertentu dari pengajar, melainkan metode khusus pengajaran agama (Sulaiman, 1990: 42). Hal ini dapat dimaklumi, karena corak pendidikannya lebih bersifat pendidikan agama dan tasawuf. Tetapi apabila dikaji prinsip-prinsip yang Al-Ghazali kemukakan, jelas bahwa dalam pendidikan dan pengajaran harus memekai metode tertentu agar tujuan pendidikan yang dicanangkan dapat tercapai. Lebih khusus lagi dalam pendidikan akhlak. Al-Ghazali mengemukakan metode pendidikan dengan memberikan contoh, uswatun hasanah, riyadhah dan mujahadah untuk menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji (Ihya Ulumuddin, III, tt,: 59). Kemudian dalam bukunya Fathiyah Hasan Sulaiman (1990: 27-28) menerangkan bahwasanya Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga rumpun, yaitu: 1. Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, seperti: ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu meramal nasib. 2. Ilmu pengetahuan yang terpuji secara mutlak, yakni pelajaran-pelajaran agama dan berbagai macam ibadah. 54 3. Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetapi jika mendalaminya dapat menjadi tercela, seperti: ilmu ketuhanan, cabang dari ilmu filsafat dan sebagian aliran naturalisme. Dari faktor-faktor pendidikan dari Al-Ghazali jelas, bahwa arah dan orientasi pendidikan akhlak Al-Ghazali adalah untuk mendekatkan diri pada Allah, agar mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Di samping itu untuk dapat mencapainya haruslah ada keseimbangan pengembangan fitrah dan potensi manusia yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. BAB IV PEMBAHASAN A. Konsep pendidikan akhlak dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Al-Ghazali 1. Latar belakang penulisan kitab Ayyuha al-Walad Salah satu murid Imam Zainuddin Hujjatt al-Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al Ghazali suatu hari merenung. Ia dikenal kenal sebagai murid yang selalu berkhidmat kepada gurunya, dan senantiasa menyibukkan diri untuk menuntut ilmu, sehingga memperoleh banyak pengetahuan dan mencapai kesempurnaan jiwa. Ia merenungkan keadaan dirinya, dan berkata: Aku telah mengkaji berbagai macam ilmu, dan telah melewatkan umurku yang berharga ini untuk mempelajari dan menghafalnya. Seharusnya sekarang sudah mengerti ilmuku yang mana yang kelak bermanfaat bagiku, ilmuku yang mana yang tidak bermanfaat, sehingga dapat kutinggalkan? Padahal Rasulullah SAW sendiri dalam doanya memohon: “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat”. Pikiran ini terus mengusiknya, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk menulis surat kepada gurunya, Imam Al-Ghazali untuk menanyakan masalah yang dihadapinya sekaligus meminta nasihat dan doa. Si murid berkata: “Meskipun jawaban atas persoalanku ini ada dalam buku-buku guruku, seperti dalam Ihya‟ Ulum al-Din dan lain sebagainya, tetapi maksudku menulis kepada guruku agar jawabannya dapat kusimpan dan kujadikan sebagai pegangan dalam beramal sepanjang 55 56 hidupku... sepanjang umurku... insyaa Allah”. Kemudian atas keinginan muridnya tersebut, Al-Ghazali kemudian menulis risalah ini untuk menjawabnya. Risalah Ayyuha Al-Walad dalam bentuknya yang ringkas terdiri dari kata pengantar dan 6 bagian pembahasan. Bagian pertama merupakan prolok yang berisi seputar nasihat dan perdebatan filosofis tentang tujuan ilmu dan ketertarikan antara ilmu dan amal. Bagi Al-Ghazali, ilmu adalah manifestasi dari ketaatan, sedangkan ibadah harus tunduk pada syara’. Pada bagian pertama, Al-Ghazali bercerita tentang i‟tiqad yang benar, taubat, menghindari perdebatan kusir dalam ilmu pengetahuan serta pemerolehan ilmu-ilmu syariah. Bagian kedua, berisi tentang amal saleh, mujahadah al-nafs (pensucian jiwa), dan menganggap rendah dunia dalam melakukan ibadah, pembersihan jiwa dari sifat serakah, serta anjuran untuk memerangi setan. Pada bagian ketiga, dia membahas pendidiakan sebagai sarana menghilangkan kebiasaan yang buruk dalam jiwa dan mengisinya dengan akhlak yang baik. Sedangkan bagian keempat, berisi kode etik guru yang hampir sama dengan apa yang diungkapkan dalam Ihya‟ Ulumuddin. Adapun bagian kelima, berisi tentang karakteristik seorang sufi yang sebenarnya, syarat-syarat beristiqomah kepada Allah dan hubungannya dengan makhluk. Dalam bagian keenam, Al-Ghazali mengakhirinya dengan sejumlah nasihat yang diberikan kepada anak didik. Diantaranya adalah anjuran untuk berdebat kecuali untuk membuktikan kebenaran, larangan bergaul dengan pejabat dan menerima 57 pemberian mereka, karena dalam pandangan Al-Ghazali, interaksi yang benar dan wajib terhadap Allah melalui berbuat kebaikan yang diridhaiNya. Abu abdillah al-Husainy menterjemahkan kitab Ayyuha al-Walad dengan judul Ayyuha al-Walad Duhai Anakku: Wasiat al-Ghazali untuk Murid Kesayangannya, membagi isi kitab Ayyuha al-Walad menjadi sepuluh bagian sebagai berikut (Al-Husainy, 2003: iii): a. Ilmu yang perlu dipelajari b. Ilmu sejati c. Pelajaran dari Hatim al-Asham d. Syaikh: Tugas dan Persyaratannya e. Sikap Murid terhadap Syaikhnya f. Tasawwuf g. Ubudiyyah dan Tawakkal h. Ikhlas dan Riya’ i. Delapan Nasehat Penting Al-Ghazali j. Doa Atas dasar inilah, maka Busyairi Madjidi berpendapat bahwa kitab Ayyuha al-Walad merupakan kitab yang berisi tentang akhlak. Namun yang lebih penting dari buku ini adalah gambaran tentang perkembangan pemikiran Al-Ghazali dan riwayat studinya serta kedudukan yang dicapainya di antara filosof-filosof Islam dan pengaruhnya terhadap filsafat sezamannya (Madjidi, 1997: 81). 58 2. Pemikiran Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha Al-Walad Pemikiran pendidikan Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad setidaknya dapat ditinjau dari empat hal. Pertama, tujuan pendidikan. Kedua, subjek pendidikan. Ketiga, materi pendidikan. Keempat, metode pendidikan. a. Tujuan Pendidikan Pendidikan menurut Al-Ghazali adalah menghilangkan sifatsifat atau akhlak buruk. Sehingga, tujuan pendidikan menurut AlGhazali adalah menanamkan akhlak yang baik pada anak didik. AlGhazali mengibaratkan pendidikan dengan pekerjaan seorang petani yang membuang dan mencabut rumput (tumbuhan-tumbuhan lain) yang mengelilingi tanaman supaya bisa tumbuh sempurna dan hasilnya bagus (maksimal). Hal ini dapat dilihat dalam kata-katanya berikut ini: ٗط١ثس ِٕٗ ذطشذ١خشؼ جال خالق جٌغ١ٌ خ ِششذ ِشخ١ ٌٍغحٌه شٕٝرغ٠ ٗٔجػٍُ ج نٛمٍغ جٌش٠ ٜشرٗ فؼً جٌفالح جٌز٠ س١ جٌطشذِٟٕؼٚ ح خٍمح دغٕحٙٔجؼً ِىح٠ٚ ٗؼ٠ىًّ س٠ٚ ٗذغٓ ٔرحض١ٌ ٓ جٌضسع١س ِٓ ذ١خشؼ جٌٕرحضحش جٌجٕر٠ٚ Imam Al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah dalam membentuk insan yang paripurna, yakni insan yang tahu akan kewajibannya baik sebagai hamba Allah, maupun sebagai khalifah Allah yang mendapatkan ridho Allah SWT. Imam Al-Ghazali memberikan perhatian besar terhadap pendidikan akhlak. Karena kuatnya keyakinan beliau bahwa 59 pendidikan akhlak yang benar merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, membentuk akhlakul karimah, dan mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat dengan cara beramal shaleh, beribadah, mengenal dan mencintai Allah sehingga mendapatkan keridhaanNya. Pemikiran Imam Al-Ghazali yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya merupakan gambaran tentang pemikiran bagaimana membimbing dan membina peserta didik sejak dini, supaya berakhlak mulia dan hal tersebut relevan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu membantu manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memiliki dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pencegahan jiwa manusia dari hal-hal yang mengotori jiwa, penanggulangan rusaknya jiwa manusia, dan pengembangan akhlak manusia dalam membangun kehidupan yang diridhoi Allah SWT yang membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Studi mengenai pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak ini menyingkapkan bahwa Imam Al-Ghazali telah berhasil menata suatu sistem pendidikan akhlak yang lengkap, menyeluruh dengan batasan-batasan yang jelas. Imam Al-Ghazali melaksanakan sistem pendidikan akhlaknya itu benar-benar mengarah kepada tujuan pndidikan akhlak yang benar, yaitu meraih ridho Allah SWT. Dia bercita-cita dapat membentuk individu-individu yang mulia 60 dan bertaqwa, selanjutnya dapat menyebarkan keutamaan kepada seluruh umat manusia. Pada umumnya, pemikiran tentang pendidikan akhlak yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh Islam memiliki karakteristik religius moralis yang terlihat melalui tujuan dan metodenya. Dengan tidak mengesampingkan urusan-urusan duniawi, pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan Akhlak secara umum sesuai dengan konsepsi pendidikan akhlak para ulama-ulama Islam. Imam Al-Ghazali tidak mengabaikan urusan-urusan keduniaan. Beliau telah mempersiapkan urusan-urusan ini dalam pendidikan akhlak. Beliau memandang bahwa persiapan untuk urusan-urusan dan kebahagiaan duniawi hanya merupakan alat untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat yang lebih utama dan lebih kekal dari kebahagiaan hidup di dunia. Beliau memandang dunia adalah ladang tempat persemaiaan benih-benih akhirat. Menurut Imam Al-Ghazali, tujuan pendidikan akhlak ialah kesempurnaan insan di dunia dan di akhirat. Manusia dapat mencapai kesempurnaan melalui pencariaan keutamaan dengan menggunakan ilmu. Keutamaan itu akan memberinya kebahagiaan di dunia dan serta mendekatkannya kepada Allah SWT, sehingga dia akan mendapatkan kebahagiaan akhirat. Keadaan Imam Al-Ghazali sebagi seoang yang taat beragama dan ahli pendidikan akhlak telah mempengaruhi pandangannya untuk 61 menjadikan pendekatan diri kepada Allah dan pencapaian kebahagiaan akhirat sebagai tujuan pendidikan akhlaknya. Sehingga beliau menggariskan di dalam kitab-kitabnya bahwa tujuan pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali adalah mencapai ridho Allah SWT dengan cara beribadah dan beramal sholeh serta makrifat dan cinta kepada Allah SWT. b. Subjek Pendidikan Subjek pendidikan menurut Al-Ghazali tidak bisa dilepaskan dari pola hubungan (relasi) guru dan murid. Karena kedua hal inilah yang akan menentukan berhasil tidaknya tujuan pendidikan. Ibarat pendidikan kalau sarana dan prasarananya jelek akan tetap bisa berjalan, namun kalau tidak ada guru pendidikan tidak akan bisa berjalan. Oleh karena itu, guru sebagai subjek ajar dalam pendidikan harus mempunyai berbagai persyaratan supaya mempunyai keprofesionalan di bidangnya dan tanggungjawabnya terhadap anak didiknya. Sedangkan murid yang juga bagian dari subjek dalam pendidikan juga mempunyai peranan yang sangat penting yang menentukan masa depan pendidikan. Disamping murid, harus bisa bersikap baik kepada gurunya, dia juga mempunyai persyaratan. 1) Guru: tugas dan Persyaratannya Dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman 14 62 merinci tugas dan syarat yang harus dipenuhi seorang guru sebagai berikut: .ظٍخ ٌٍخالفس٠ ٌٌُىٓ الوً ػحٚ ْ ػحٌّحٛى٠ ْظٍخ ج٠ ٜخ جٌز١ششؽ جٌشٚ ْ . وً جدذ جٔٗ ِششذٝذػ٠ الًٝ جالجّحي دط١ عرٍٝ ٌه ذؼغ ػالِطٗ ػٟٔجٚ ش١وحْ لذ ضحذغ ٌشخض ذظٚ ،ٖدد جٌجحٚ ح١ٔؼشع ػٓ دد جٌذ٠ ِٓ :يٛفٕم وحْ ِذغٕحٚ ٍُعٚ ٗ١ٍ هللا ػٍٝٓ ط١ٍذ جٌّشع١ عٌٝضطغٍغً ِطح ذؼطٗ ج جٌظذلسٚ جشٍٛشز جٌظ١وػٚ ،ٌَٕٛ جٚ يٛجٌمٚ ًحػس ٔفغٗ ذمٍس جال و٠س ٌٗ ش جحػال ِذحعٓ جالخالق١خ جٌرظ١وحْ ذّطح ذؼطٗ رٌه جٌشٚ .َٛجٌظٚ ؽّأ ٕٔس جٌٕفظٚ جٌمٕحػسٚ ٓ١م١ٌجٚ ًوٛجٌطٚ جٌشىشٚ جٌظالزٚ شز وحٌظد١ع ٝٔجٌطأٚ ْٛجٌغىٚ لحسٌٛجٚ فحءٌٛجٚ حء١جٌذٚ جٌظذقٚ ٍُجٌؼٚ جػغٛجٌطٚ ٍُجٌذٚ ظٍخ ٌاللطذجء٠ ٍُعٚ ٗ١ٍ هللا ػٍٝ جٌظٝجس جٌٕرٛٔس ِٓ جٛٔ جرجٛٙح فٌٙجِػحٚ .ص جالدّش٠د ِػٍٗ ٔحدس أػض ِٓ جٌىرشٛجٚ ٌٓىٚ .ٗذ Artinya: Syarat agar seorang syaikh dapat menjadi wakil Rasulullah SAW ia haruslah seorang yang alim, meski tidak semua orang yang alim dapat menjadi khalifahnya. Aku akan menjelaskan kepadamu sebagaimana persyaratan syaikh agar tidak semua orang dapat mendakwakan dirinya seorang mursyid. Sebagaimana persyaratan itu adalah: tidak mencintai dunia dan kedudukan; pernah belajar kepada seorang syaikh yang memiliki silsilah pembimbing sampai kepada penghulu para nabi; memilih riyadhah yang baik dalam bentuk sedikit makan; sedikit bicara dan sedikit tidur; banyak melakukan shalat sunnah; sedekah dan puasa; selama masa belajarnya, sang syaikh telah berhasil meraih berbagai budi pekerti mulia, seperti: sabar, rajin shalat, syukur, tawakkal, yakin, dermawan, qana‟ah, berjiwa tenang, santun, rendah hati, berilmu, jujur dan benar, pemalu, setia (janji), khidmat, tenang, tidak terburu nafsu dan lain-lain. Dengan sifatsifat ini, ia menjadi secercah cahaya dari cahaya-cahaya 63 (petunjuk) nabi SAW, sehingga ia pantas dijadikan panutan. Namun, keberadaan syaikh semacam ini sangat jarang, lebih berharga dari al-Kibrit ahmar. 2) Sikap Murid terhadap Syaikhnya Sedangkan tentang etika murid terhadap guru, Al-Ghazali merinci dalam kitab Ayyuha al-Walad, halaman 14 adalah sebagai berikut: ِٗذطش٠ ْ جٕٝرغ٠ ،خ١لرٍس جٌشٚ ،خح وّح روشٔح١جذ شِٛٓ عحػذضٗ جٌغؼحدز فٚ ٟشطغً ذححإدطجحؼ ِؼٗ ف٠الٚ ٌٗجحد٠ أالٛٙ جِح جدطشجَ جٌظح٘شف.ذطٕحٚ ظح٘شج لص جدجء جٌظالزٚ ٗ عجحدضٗ ئال٠ذ٠ ٓ١ ذٍٝم٠الٚ .ٖجٔٗ ػٍُ خطحٚ ،وً ِغأٌس خ١أِشٖ جٌش٠ ؼًّ ِح٠ٚ .ٗجفً جٌظالز ذخؼشضٛىػش ذ٠الٚ .حٙشفؼ٠ فحرج فشؽ غّغ٠ أْ وً ِحٛٙأِح جدطشجَ جٌرحؽٓ فٚ .ٗؽحلطٚ عؼسٚ ِٓ جٌؼًّ ذمذس .طغُ ذحٌٕفحق٠ ال ٌثالٛال لٚ جٌرحؽٓ ال فؼالٟٕىشٖ ف٠ جٌظح٘ش الٟمرً ِٕٗ ف٠ٚ ٓذطشص ػ٠ٚ .ٖجفك ذحضٕٗ ظح٘شٛ٠ ْ جٌٝطشن طذرطٗ ج٠ غططغ٠ ٌُ ْئٚ ٓجٌٕحط ػٓ طذٚ ٓٓ جٌج١حؽ١س ش٠الٚمظش١ٌ —ءِٛجحٌغس طحدد جٌغ .ٕٝ جٌغٍٝذطحس جٌفمش ػ٠ ً وً دٍٝػٚ طٕس١ظ جٌشٌٛ ِٓ ٝظف١لرٍٗ ف Artinya: Barang siapa bernasib baik dan dapat menemukan syaikh sebagaimana yang telah kujelaskan, dan syaikh itu pun bersedia menerimanya sebagai murid, maka hendaknya ia menghormatinya secara lahir dan batin. Penghormatan secara lahiriyah adalah dengan cara tidak mendebatnya; tidak menyibukkannya dengan bantahan-bantahan dalam masalah apapun meskipun si murid mengetahui kesalahan syaikhnya; tidak menggelar sajadah didepannya, kecuali pada waktu sholat dan segera menggulungnya kembali setelah selesai; tidak memperbanyak shalat-shalat sunnah selama kehadirannya; dan selalu melaksanakan perintahnya. Adapun penghormatan secara 64 batiniah, yaitu si murid tidak mengingkari dalam hatinya semua yang telah ia dengar dan sepakati secara lahiriah, baik dengan perbuatan maupun perkataan, sehingga ia tidak dianggap munafik. Apabila ia tidak dapat berbuat demikian, maka hendaknya ia menunda dulu hubungannya dengan syaikhnya sampai keadaan lahiriahnya sesuai dengan batiniyahnya. Dan hendaknya ia tidak bergaul dengan orang-orang jahat agar hatinya terhindar dari pengaruh setan, baik dari kalangan jin maupun manusia agar ia terbebas dari kejahatan setan. Dan di atas segalaya, hendaknya ia lebih memilih kemiskinan daripada kekayaan. c. Materi Pendidikan Pendidikan Islam secara fungsional adalah merupakan upaya manusia muslim merekayasa pembentukan insan kamil melalui penciptaan situasi interaksi edukstif yang kondusif. Dalam posisinya demikian, pendidikan Islam adalah model rekayasa individual dan sosial yang paling efektif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk masyarakat ideal di masa depan. Sejalan dengan perekayasaan masa depan umat, maka pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi atau bahan yang sakan ditransformasikan kepada peserta didik agar menjadi milik dan kepribadiannya sesuai dengan idealitas Islam (Nizar, 2002: 55). Pendidikan akhlak adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (cipta, karya, karsa) dan jasmani (panca indra dan keterampilan). Apabila pendidikan akhlak itu berjalan dengan baik, lancar serta sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an, maka 65 hasil yang dicapainyapun akan sesuai dengan yang dicita-citakan. Sebaliknya apabila pendidikan itu dilaksanakan dengan tanpa adanya program dan keseriusan, maka hasilnyapun akan mengecewakan. Maka dari itu, hal inilah yang menjadi perhatian Al-Ghazali di dalam merancang pendidikannya dengan memberikan materi ajar kepada peserta didik yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Inilah penjelasan materi pendidikan Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha alWalad: 1) Ilmu Inti ilmu adalah pengetahuan yang membuat seseorang faham akan makna ketaatan dan ibadah. Sebab ketaatan dan ibadah dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya harus mengikuti syari’ah. Maksudnya, semua yang dikatakan, diperbuat, dan ditinggalkan harus berlandaskan syari’ah. Al-Ghazali mencontohkan ketika seorang berpuasa di hari raya atau hari tasyriq, maka baginya itu adalah maksiat. Atau contoh yang lain, apabila seseorang shalat mengenakan pakaian dari usaha tidak halal, meskipun hal itu tampak seperti ibadah. Namun perbuatan itu adalah dosa. Hal ini sesuai dengan pendapatnya dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman 9 adalah sebagai berikut: 66 ًجٌفؼٚ يٛ ذحٌمٝ٘جٌٕٛجٚ جِشٚ جألٟجٌؼرحدز ِطحذؼس جٌشحسع فٚ جػٍُ جْ جٌطحػس ذ١َ جٌؼٛ٠ طّصٌٛ وّح،ْ ذحلطذجء جٌششعٛى٠ ضطشنٚ ًضفؼٚ يٛ وً ِحضمٕٝؼ٠ سزٛئْ وحٔص طٚ خٛخ ِغظٛ غٟٕح ف١ٍ طٚ ج.ح١ْ ػحطٛه ضى٠حَ جٌطشش٠جٚ .ُجٌؼرحدز ضأغ Bagi Al-Ghazali, perkataan dan perbuatan harus konsisten dan tidak bertentangan dengan syari’ah, sebab baginya ilmu dan amal tanpa landasan syari’ah adalah sesat. Sehingga beliau menganjurkan agar seseorang tidak tertipu ucapan-ucapan aneh kaum sufi. Al-Ghazali menganjurkan seseorang agar bermujahadah, mengalahkan syahwat dan menundukkan hawa nafsu dengan pedang riyadhah, bukan dengan ucapan-ucapan kosong kosong yang tidak bermanfaat. Sebab bagi Al-Ghazali, bahwa lidah yang bebas seenaknya berkata-kata dan hati yang tertutup dan dipenuhi dengan kelalaian dan syahwat adalah pertanda kesengsaraan (syaqawah), sehingga apabila seseorang tidak dapat menundukkan nafsunya, maka hatinya tidak akan pernah hidup dengan nur makrifat. Hal ini sesuai dengan pendapatnya dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman 9 adalah sebagai berikut: ٍُ جرج جٌؼ: جفمح ٌٍششعِٛ فؼٍهٚ ٌهْٛ لٛى٠ ْ ٌه جٕٝرغ٠ ،ٌٚذٌٛح جٙ٠ج ؽحِحشٚ ٌه جال ضغطشذحٌشطخٕٝرغ٠ٚ ،جٌؼًّ ذال جلطذجء جٌششع ػالٌسٚ 67 ش جٌٕفظٛٙلطغ شٚ ْ ذحٌّجح٘ذزٛى٠ ك٠ الْ جٌغٍه ٘زج جٌطش،س١فٛجٌظ جٌطش٘حشٚ الذحٌطحِحش،حػس٠ف جٌش١ج٘ح ذغٛ٘ ًلطٚ ػالِس،زٛٙجٌشٚ ء ذحٌغفٍسٌٍّّٛجٌمٍد جٌّطرك جٚ ،جػٍُ جْ جٌٍغحْ جٌّطٍكٚ .جس جٌّؼشفسٛٔح لٍره ذح١ذ٠ ٍٓ فحرج ٌُ ضمطً جٌٕفظ ذظذق جٌّجح٘ذز ف،زٚجٌشمح Berkaitan dengan hal di atas, maka ada empat hal yang wajib dilakukan oleh seorang salik. Pertama, berakidah yang benar tanpa dicampuri bid‟ah. Kedua, bertaubat dengan tulus dan tidak mengulang lagi perbuatan hina (dosa) itu. Ketiga, meminta keridhaan dari musuh-musuhmu, sehingga tidak ada lagi hak orang lain yang masih tertinggal padamu. Keempat, mempelajari ilmu syari’ah sekedar yang dibutuhkan untuk melaksanakan perintah Allah. Juga pengetahuan lain yang dengannya seseorang selamat. Hal ini sesuai dengan ungkapannya yang terdapat dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman 10 adalah sebagai berikut: :سِٛ جٌغحٌه جسذؼس جٍٝجد ػٚ لذ ٗ ذذػس١ْ فٛى٠ خ ال١ جػطمحد طذ: يٚجألِش جأل جٌضٌسٌٝشجغ ذؼذ٘ح ج٠ ح الٛذس ٔظٛ ض: ْجٌػحٚ ه دك١ٍ ألدذ ػٝرم٠ الَٝ دطٛ جعطشػحء جٌخظ: جٌػحٌعٚ ُ غٌٝ جِشهللا ضؼحٚ ذٗ جٜؼس لذ سِح ضإد٠ً ػٍُ جٌشش١ ضذظ: جٌشجخٚ ْ ذٗ جٌٕجحزٛ ِح ضىَٜ جالخشٍِٛٓ جٌؼ 68 Pendapat Al-Ghazali yang keempat ini didasarkan pada sabda nabi SAW yang terdapat dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman 10-11 adalah sebagai berikut: sebagai berikut: جػًّ هللٚ ،حٙ١جػًّ ألخشضه ذمذسذمحته فٚ ،حٙ١حن ذمذس ِمحِه ف١ٔ جػًّ ٌذ حٙ١ٍجػًّ ٌٍٕحس ذمذس طرشن ػٚ ،ٗ١ٌذمذس دحجطه ج Artinya: Beramallah untuk duniamu sesuai dengan keduduknmu di dalamnya, beramallah untuk akhiratmu sesuai dengan keabadianmu di dalamnya, beramallah untuk Allah sesuai dengan kebutuhanmu kepada-Nya, beramallah untuk neraka sesuai dengan kemampuanmu untuk bersabar terhadap siksanya. 2) Tasawwuf Menurut Al-Ghazali, bahwa tasawwuf memiliki dua karakteristik, yaitu istiqomah dan sakinah (tenang) terhadap makhluknya, sehingga barangsiapa yang dapat istiqomah, berakhlak mulia dan bergaul dengan santun, maka ia adalah seorang sufi. Hal isi sesuai dengan ungkapannya di dalam kitab Ayyuha al-Walad, halaman 15 sebagai berikut: ْٓ ػٛجٌغىٚ ،ٌٝ جحإعطمحِس ِغ هللا ضؼح:ْف ٌٗ خظٍطحٛغُ جػٍُ جْ جٌطظ ُٛٙ ذحٌذٍُ فٍِٙػحٚ جدغٓ خٍمٗ ذحٌٕحطٚ ًجٚجٌخٍك فّٓ ئعطمحَ ِغ هللا ػض ٝفٛط Istiqomah adalah kesediaan seseorang untuk mengorbankan kepentingan dirinya. Sedangkan akhlak yang baik 69 terhadap manusia adalah sikap tidak memaksakan kehendak terhadap manusia lain, tetap memaksakan diri agar sesuai dengan kehendak manusia lain selama tidak menyalahi syari’ah. دغٓ جٌخٍك ِغٚ .ٌٝ جِشهللا ضؼحٚ جٍٝ دع ٔفغٗ ػٜفذ٠ ْجحإعطمحِس جٚ .ج جٌششعٛخحٌف٠ ٌُ ِح:ُ٘ ِشجدٍٝ ذً ضذًّ ٔفغه ػ. ِشجد ٔفغهٍٝجٌٕحط ػ 3) Ubudiyah dan Tawakal, Ikhlas dan Riya’ Al-Ghazali membagi ubudiyah menjadi tiga bagian. Pertama, menjaga perintah syariat. Kedua, rela dengan qadla dan qadar, ridla dengan pembagian Allah. Ketiga, meninggalkan ridha diri dalam rangka mencari ridla Allah. Hal ini sesuai dengan ungkapannya yang terdapat dalam kitab Ayyuha al-Walad, halaman 15 sebagai berikut: حء جدذج٘ح ِذحفظس جِش جٌششع١ غالغس جشٟ٘ٚ س٠دٛ ػٓ جٌؼرٕٝغُ جٔه عأ ٌط ح ضشن سػحءٙغحٌػٚ ٌٝلغّس هللا ضؼحٚ جٌمذسٚ ح جٌشػحء ذحٌمؼحءٙٔجٌػحٚ ٌٝ ؽٍد سػحء هللا ضؼحٟٔفغه ف Al-Ghazali mengartikan tawakal adalah upaya untuk meneguhkan keyakinan kepada Allah sehubungan dengan apa-apa yang dijadikan-Nya. Maksudnya, engkau yakin bahwa apa yang telah ditetapkan Allah untukmu pasti akan sampai kepadamu, meskipun semua yang yang di jagad ini berusaha untuk mengalihkannya darimu. Dan apa yang ditetapkan Allah untukmu, tidak akan sampai kepadamu meskipun seluruh 70 penghuni jagad ini membantahmu. Hal ini sebagaimana diungkapkan Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad, halaman 15 sebagai berikut: ٕٝغ٠ .ػذٚ ّح١ فٌٝ جْ ضغطذىُ جػطمطذن ذحهلل ضؼحٛ٘ٚ ًجوٛ ػٓ جٌطٕٝعأٌطٚ ٍٝ جٌؼحٌُ ػٝذ وً ِٓ فٙجْ ججطٚ ،ه الِذحٌس١ٌظً ج١ضؼطمذ جْ ِح لذس ٌه ع .ٌُغ جٌؼح١ّجْ عحػذن جٚ ه١ٌظً ج٠ ٌٓ ىطد٠ ٌُِحٚ .طشفٗ ػٕه Sementara itu ikhlas bagi Al-Ghazali adalah menjadikan semua amalmu untuk Allah SWT, tidak merasa gembira dengan pujian manusia dan tidak peduli dengan celaan mereka. Hal isi sebagimana diungkapkan dalam kitab Ayyuha al-Walad, halaman 15 sebagai berikut: شضحح لرٍه٠الٚ ٌٝح هلل ضؼحٍْٙ جػّحٌه وٛ جْ ضىٛ٘ٚ ػٓ جحإخالصٕٝعأٌطٚ .ٗ ذّزِطٌٝال ضرحٚ ذّذحِذ جٌٕحط Riya’ bagi Al-Ghazali timbul karena pengangungan terhadap manusia. Cara menghilangkannya adalah dengan menyadari bahwa semua manusia tunduk kepada kekuasaan Allah, atau dengan menganggap mereka sebagai benda-benda yang mati yang tidak mampu memberikan kemudahan maupun kesulitan. Namun, selama kau menganggap mereka punya kuasa dan kehendak, kau tidak akan bisa menjauhkan dari riya’. Beliau berkata yang terdapat dalam kitab Ayyuha al-Walad, halaman 1516 sebagai berikut: 71 ٓ ضذص٠ػالجٗ جْ ضشجُ٘ ِغخشٚ .ُ جٌخٍك١ٌذ ِٓ ضؼظٛط٠ حء٠جػٍُ أْ جٌشٚ جٌّشمس ٌطخٍضٚ ظحي جٌشجدس٠ ػذَ لذسز ئٝ وحٌجّحدجش ف،ُٙضذغرٚ جٌمذسز .حء١ٌرؼذ ػٕه ج٠ ٌٓ جسجدزٚ لذسزُٜٚ رٙ ضذغرِٝطٚ .ُِٙٓ ِشجء ض 4) Delapan Nasehat Al-Ghazali Al-Ghazali memberikan nasehat sebanyak 8 buah sebagai rangkaian terakhir dalam kitab Ayyuha al-Walad. Empat diantara 8 nasehat tersebut harus dilaksanakan, sedangkan empat lagi harus ditinggalkan. Adapun 4 perbuatan-perbuatan yang yang harus ditinggalkan: a) Nasehat pertama, Al-Ghazali melarang agar tidak berdebat, karena berdebat baginya memuat berbagai bencana, dosanya lebih besar dari manfaatnya, merupakan sumber segala perilaku tercela, seperti: riya’, dengki (hasad), sombong, dendam (hiqd), permusuhan, bermulut besar dan lain sebagainya, sebagaimana ungkapannya dalam kitab Ayyuha al-Walad, halaman 16 adalah sebagai berikut: حّٙ فاغ.شز١ح آفحش وػٙ١ ألْ ف، ِغأٌس ِح جعططؼصٝجال ضٕحظش جدذج ف جٌذغذٚ حء٠ُ وحٌش١ِ ِٕرغ وً خٍك رٟ٘ ئرج.حٙجورش ِٓ ٔفؼ .ش٘ح١غٚ جٌّرح٘حزٚ زٚجٌؼذجٚ جٌذمذٚجٌىرشٚ Al-Ghazali memberikan solusi untuk menghindari adanya debat ini. Apabila terjadi perselisihan antara seseorang dan 72 kelompok lain, dan orang itu ingin menunjukkan kebenaran, maka debat boleh dilakukan. Tetapi dengan syarat sebagai berikut: Pertama, Tidak membenda-bedakan, apakah kebenaran itu lewat hasil pemikiran orang itu atau orang (kelompok) lain. Kedua, Sebaiknya debat dilakukan secara tertutup, bukan dihadapan khalayak ramai. Tujuan debat ini adalah untuk mencari kebenaran, bukan untuk pamer dihadapan umum, atau juga bukan untuk menimbulkan perpecahan. b) Al-Ghazali melarang memberi nasehat dan tadzkir (peringatan) kepada masyarakat, karena di dalamnya terkandung banyak bencana, kecuali apabila orang yang memberikan nasehat itu telah mengamalkannya. Sebagaimana ungkapan beliau dalam kitab Ayyuha al-walad, halaman 19 adalah sebagai berikut: شز ئال١ٗ جفس وػ١ِزوشج ألْ فٚ جػعٚ ْٛ جْ ضذزسِٓ أْ ضىٛ٘ ِّح ضذع .الغُ ضؼع ذٗ جٌٕحطٚي أٛجْ ضؼًّ ذّح ضم Menurut Al-Ghazali, memberikan nasehat apabila dan seseorang peringatan, diuji maka ia untuk harus mewaspadai dua hal sebagai berikut: Pertama, Menghindari pembicaraan yang dibuat-buat, penuh dengan ibarat, syair atau ucapan kosong tanpa faedah. Sebab Allah SWT benci kepada orang-orang yang gaya bicaranya dibuat-buat. Orang demikian ini, biasanya berbuat melampaui 73 batas, dan kelakuannya ini menunjukkan rusaknya batin (jiwa) dan lalainya hati. Sebagaimana ungkapannya yang terdapat dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman 19 sebagai berikut: جٌطحِحشٚ جحإشحسشٚ جٌىالَ ذحٌؼرحسشٝف ف١ٍي ػٓ ضىٚجأل جٌّطىٍفٚ ،ٕٓ١رغغ جٌّىٍف٠ ٌٝ ألْ هللا ضؼح،جألشؼحسٚ حش١جألذٚ .غفٍس جٌمٍدٚ ٓ خشجخ جٌرحؽٍٝذي ػ٠ صػٓ جٌذذٚجٌّطجح Kedua, Jangan sampai orang yang memberikan nasehat itu berniat agar orang-orang yang diberi nasehat itu menjadi ketakutan, mereka menampakkan rasa cinta, merobek baju atau agar dikatakan: inilah majlis yang baik. Sebab niat semacam itu lebih condong pada kepentingan duniawi (riya‟) yang disebabkan kelalaian. Namun sebaliknya, harus menjadikan niat dan tekad orang tersebut adalah untuk mengajak dan mengalihkan (perhatian) manusia dari dunia menuju akhirat., dari maksiat menuju taat, dari kerakusan menuju zuhud, dan dari kekikiran menuju kedermawanan, sehingga timbul dalam hati orang yang diberi nasehat untuk cinta kepada akhirat. Sebagimana yang terdapat dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, tahun 1412, halaman 20 adalah sebagai berikut: 74 ٟٕؼش جٌخٍك ف٠ ْػظه جٚ ْٝ ّ٘طه فٛس جال ضى١ٔجٌخظٍس جٌػحٚ ٔؼُ جٌّجٍظ ٘زج:محي١ٌ حخ١ج جٌػٛغم٠ٚ ،ججذٌٛج جٚشٙظ٠ِٚجٍغه ج ْ ػضِهٛى٠ ْ جٕٝرغ٠ ً ذ.ي ِٓ جٌغفٍسٛط٠ٛ٘ٚ .ح١ًٔ ٌٍذ١ِ ٍٗألْ و ٌٝس ج١ِٓ جٌّؼظٚ ، جألخشزٌٝح ج١ٔجٌٕحط ِٓ جٌذّٛ٘طه جْ ضذػٚ ِٓٚ جٌغخحءٌِٝٓ جٌرخً جٚ ٜ جٌض٘ذٌِٝٓ جٌذشص جٚ ،جٌطحػس ٜٛ جٌطمٌٝس جِٚٓ جٌغشٚ مظس١ٌ جٌِٝٓ جٌغفٍس جٚ ٓ١م١ٌ جٌٝجٌشه ج ُ ػٍُ جٌؼرحدزٍّٙضؼٚ ح١ُٔ جٌذٙ١ٌضرغغ جٚ ُ جألخشزٙ١ٌضذرد جٚ .ٗسدّطٚ ًجٚ ػضٌٝال ضغشُ٘ ذىشَ هللا ضؼحٚ جٌض٘ذٚ c) Nasehat ketiga yang berkaitan dengan yang harus ditinggalkan adalah sebagai berikut: Pertama, Tidak bergaul dengan penjabat, dan tidak boleh bertemu dengan mereka. Karena melihat, duduk dan bergaul dengan mereka merupakan bencana besar. Kedua, Jika seseorang telah diuji Allah untuk bergaul dengan mereka, maka janganlah memuji mereka. Karena Allah SWT akan murka bila nasehat seorang yang fasiq atau zalim dipuji. Ketiga, barang siapa mendo’akan mereka panjang umur, maka ia telah rela Allah durhakai di bumi-Nya. Sebagaimana diungkapkan Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad, halaman 21 adalah sebagai berikut: ُٙط٠ ألْ سؤ،ُ٘الضشجٚ ٓ١جٌغالؽٚ ِّح ضذع جال ضخحٌؾ جالِشجء ُٙ دع ػٕه ِذد.حٙص ذ١ٍ جذطٌٛٚ ّس١ُ جفس ػظِٙخحٌططٚ ُِٙجحٌغطٚ 75 ِٓ دجعٚ .ٌُجٌظحٚ غؼد جرج ِذح جٌفحعك٠ ٌٝ ألْ هللا ضؼح.ُ٘غٕحءٚ .ٗ جسػٝ هللا فٝؼظ٠ ُْ فمذ جدد جٙي ذمحتٛجٌط d) Nasehat Al-Ghazali yang berkaitan dengan perbuatan yang perlu ditinggalkan adalah sebagai berikut: Tidak menerima pemberian atau hadiah apapun dari pejabat negara, meskipun orang yang diberi hadiah mengetahui, bahwa pemberian dan hadiah itu adalah hasil dari usaha yang halal. Bagi Al-Ghazali hal itu dapat merusak agama, dan dapat membuat orang berkepentingan dan berpihak pada mereka, melindungi kelompok mereka, dan setuju dengan kezaliman mereka. Ini semua dapat mengakibatkan rusaknya agama. Hal ini sebagiamana ungkapan Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha alWalad, halaman 21 adalah sebagai berikut: ِٓ حٙٔجْ ػٍّص جٚ ،ُ٘ح٠٘ذٚ ثح ِٓ ػطحء جألِشجء١ِّح ضذع جال ضمرً ش ِشجػحزٚ ،ٌذ ِٕٗ جٌّذج ٕ٘سٛط٠ ٗٔ أل،ٓ٠فغذ جٌذ٠ ُِٕٙ جٌذالي الْ جٌطّغ .ٓ٠ جٌذٝ٘زج وٍٗ فغحد فٚ .ٍُّٙ ظٝجفمس فٌّٛجٚ ُٙجحٔر Sedangkan 4 nasehat yang diberikan Al-Ghazali untuk dilaksanakan adalah sebagai berikut: a) Supaya menjadikan hubungan seseorang hamba dengan Allah sedemikian rupa, sehingga akan timbul rasa senang, lapang dada dan tidak marah. Sebagaimana ungkapannya yang 76 terdapat dalam kitab Ayyuha al-Walad halaman 22 adalah sebagai berikut: ٝح ػرذن ضشػٙػحًِ ِؼه ذٌٛ ع١ ذذٌٝجْ ضجؼً ِؼحٍِطه ِغ هللا ضؼح ٌٕفغهٝ الضشػٞجٌزٚ الضغؼدٚ ٗ١ٍه خحؽشن ػ١ؼ٠ الٚ ِٕٗ حٙذ .ٝم١ذن جٌذم١ عٛ٘ٚ ٌٝؼح هللا ضؼح٠ أٝ فال ضشػِٜٓ ػرذن جٌّجحص b) Apapun yang diperbuat seseorang untuk masyarakat, maka jadikanlah sebagaimana yang ia sukai untuk dirinya sendiri. Sebab tidak akan sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai untuk masyarakat sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana ungkapannya dalam kitab Ayyuha al-walad, halaman 22 sebagai berikut: ّْح٠ىًّ ئ٠ُ ألٔٗ الِٕٙ ٌٕفغهٝوٍّح ػٍّص ذحٌٕحط ججؼٍٗ وّح ضشػ ٗذد ٌٕفغ٠ ذد ٌغحتش جٌٕحط ِح٠ ٝػرذ دط Pendapat Al-Ghazali ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW sebagai berikut: دذغٕح، دذغٕح ِذّذ ذٓ جؼفش:جذٓ ذشحسلحيٚ ٕٝدذغٕح ِذّذ ذٓ جٌّػ ٓ ػ،ٕٗ هللا ػٝذذظ ػٓ أٔظ ذٓ ِحٌه سػ٠ عّؼص لطحدز: لحي،شؼرس لحيٚٗ (أ١ذد ألخ٠ ٝإِٓ جدذوُ دط٠ ال:عٍُ لحيٚ هللاٍٝ طٟجٌٕر ٗذد ٌٕفغ٠ جٌجحسز) ِح c) Apabila seseorang membaca atau mempelajari ilmu hendaknya ilmu itu dapat memperbaiki hatinya dan 77 mensucikan jiwanya. Sebagaimana ungkapannya didalam kitab Ayyuha al-walad, halaman 22 sebagai berikut: ٝضو٠ٚ ظٍخ لٍره٠ ْ ػٍّهٛى٠ ْ جٕٝرغ٠ ٗ ؽحٌؼطٚجرج لشأش جٌؼٍُ ج ٔفغه Dalam nasehat ketiganya ini, Al-Ghazali berpendapat bahwa mmempelajari pengetahuan adalah fardhu „ain, sedangkan mempelajari ilmu lainnya adalah fardhu kifayah, itupun sekedar pengetahuan tentang apa-apa (ilmu) yang dapat menunaikan berbagai kewajiban terhadap Allah SWT. d) Nasehat terakhir Al-Ghazali yang berkaitan dengan hal-hal yang harus dikerjakan adalah tidak menyimpan kebutuhan hidupnya melebihi kebutuhan satu tahun sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Al-Ghazali dalam kitabnya Ayyuha al-Walad pada halaman 23 mengungkapkan sebagai berikut: س عٕس٠ح جوػشِٓ وفح١ٔجال ضجؼً ِٓ جٌذ Berkaitan dengan hal ini, nabi pernah berdoa sebagai berikut: ش جي ِذّذ وفحفحُٛ ججؼً لٌٍٙج Artinya: “Ya Allah jadikanlah (persediaan) makanan keluarga Muhamad (ku) secukupnya”. d. Metode Pendidikan Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya membutuhkan metode yang tepat untuk menghantarkan kegiatan pendidikannya ke 78 arah tujuan yang di cita-citakan. Bagaimanapun baik dan sempurnanya suatu kurikulum/materi pendidikan Islam, ia tidak akan berarti apa-apa manakala tidak memiliki metode atau cara yang tepat dalam mentransformasikannya kepada peserta didik. Ketidaktepatan dalam penerapan metode secara praktis akan menghambat proses belajar mengajar yang akan berakibat membuang waktu dan tenaga secara percuma. Karenanya, metode adalah syarat untuk efisiensinya aktivitas kependidikan Islam. Metode merupakan salah satu yang sangat penting untuk mencapai keberhasilan dalam pendidikan. Hal inilah yang dilakukan Al-Ghazali yang lebih menyeimbangkan antara teori dan praktek yang sesuai dengan asas-asas pendidikan Islam. Adapun metode yang digunakan Al-Ghazali dalam interaksi edukatifnya dalam kitab Ayyuha al-Waalad adalah sebahai berikut: 1) Metode keteladanan Di dalam kitab Ayyuha al-Walad Al-Ghazali banyak memberikan nasehat-nasehat pendidikan lebih ditekankan pada masalah praktek dalam pembelajarannya atau yang sering disebut dengan metode keteladanan. Diantara yang ia katakan adalah bahwa “Duhai anakku! Apa yang kalian katakan dan kerjakan harus sesuai dngan syara’, sebab ilmu dan amal kalau tidak sesuai syari’at adalah sesat (dhalalah)” (Ayyuha al-Walad, 1412: 7). 79 Bahkan lebih jauh Al-Ghazali mensyaratkan orang yang menjadi da’i (yang sering memberi tadzkirah) harus terlebih dahulu sudah mengamalkannya, karena akan menjadi tauladan bagi masyarakat secara luas. 2) Metode cerita atau kisah Metode ini dilatarbelakangi oleh kewajiban seseorang yang harus mengamalkan ilmunya, sebab seperti sabda nabi: bahwa azab (siksa) yang paling pedih di akherat nanti adalah dikenakan kepada orang alim (berilmu) yang tidak diberi manfaat untuk mengamalkan oleh Allah SWT. Imam Al-Ghazali menggunakan metode cerita untuk mendidik akhlak anak didik yaitu dengan cerita tentang kejadian yang dialami oleh seorang tokoh tertentu sehingga dapat diambil pelajaran yang baik dari cerita tersebut. Metode cerita memang sangat penting dalam pendidikan untuk mempermudah penyampaian pelajaran kepada anak didik dan mempermudah penerimaan dari anak didik tentang pelajaran tersebut. Ada sebuah cerita: bahwa ada seseorang yang bermimpi melihat Imam Junaid (ketika ia sudah meninggal dunia), orang tadi bertanya kepada Imam Junaid, bagaimana kabarmu hai Abal Qasim (Imam Junaid)? Ia berkata: telah hilang ibarat telah lenyap isyarat, tidak ada yang bermanfaat bagi kami kecuali beberapa 80 rekaat yang kami lakukan di tengah malam (Ayyuha al-Walad, 1412: 3). ً ٌٗ ِحٌخرش١ضٗ فمِٛ جٌّٕحَ ذؼذٝ فٜ سؤ،ٖ لذط هللا عش،ذ١ٕ أْ جٌجٜٚسٚ ِح ٔفؼٕح جالٚ ،ص ضٍه جحإشحسجش١ٕفٚ ؽحدص ضٍه جٌؼرحسجش:ح جذح جٌمحعُ؟ لحي٠ .ً١ٌٍف جٛ جٝؼحش سوؼٕح٘ح ف١سو 3) Metode pembiasaan Dalam hal ini Al-Ghazali seperti dikutip oleh Ali AlJumbulati, bahwa pendidikan akhlak hendaknya didasarkan atas mujahadah (ketekunan) dan latihan dalam jiwa. Mujahadah dan riyadhah nafsiyah (ketekunan dan latihan kejiwaan) menurut AlGhazali adalah membebani jiwa dengan amal-amal perbuatan yang ditujukan kepada khuluk yang baik, sebagaimana kata beliau: Maka barang siapa ingin menjadikan dirinya bermurah hati, maka caranya ialah membebani dirinya dengan perbuatan yang bersifat dermawan yaitu mendermawankan hartanya. Maka jiwa tersebut akan selalu cenderung berbuat baik dan ia terus menerus melakukan mujahadah (menekuni) perbuatan itu, sehingga hal itu akan menjadi watak. Demikian juga orang yang ingin menjadikan dirinya berjiawa tawadlu‟ (rendah hati) kepada orang-orang yang lebih tua, maka caranya ia harus membiasakan diri bersikap tawadlu‟ secara terus menerus dan jiwanya benar-benar menekuninya terhadap perbuatan tersebut sampai hal itu menjadi 81 akhlak dan wataknya sehingga mudah berbuat sesuai dengan akhlak dan wataknya itu (Al-Jumbulati, 2002: 156-157). Hal ini diungkapkan Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha alWalad, halaman 6 yang artinya: Hai anakku: berapa malam yang kau gunakan untuk belajar ilmu (tikrar al-ilmu) dan ngaji kitab (muthala‟ah al-kutub) dan mengharamkan tidur atas dirimu? Aku tidak tahuapa yang menjadikan semangat dalam hidupmu? Jika semangatmu hanya untuk harta dunia atau kedudukan di dunia atau untuk berbuat sombong, maka kehancuranlah yang akan kau dapatkan. Tetapi jika tujuan hidupmu untuk menghidupkan syari’at nabi dan membersihkan akhlak maka keberuntunganlah yang akan kau dapatkan. Seperti yang diungkapkan Imam AlGhazali dalam kitab Ayyuha al-Walad, halaman ٍٝدشِص ػٚ ِطحٌؼس جٌىطدٚ ٍُح ذطىشجس جٌؼٙط١١حي جد١ٌ ِٓ ُ و،ٌذٌٛح جٙ٠ج جزخٚ ح١ًٔ ػشع جٌذ١ٔ ْٗ؟ أْ وح١َ؟ الجػٍُ ِح وحْ جٌرحػص فٌٕٛٔفغه ج ًُ ٌه غ٠ٛجألِػحي فٚ ْ جأللشجٍٝجٌّرح٘حز ػٚ حًٙ ِٕح طر١ضذظٚ حِٙدطح ٍُعٚ ٗ١ٍ هللا ػٍٝ طٟؼس جٌٕر٠حء شش١ٗ ئد١جْ وحْ لظذن فٚ ً ٌه٠ٚ . ٌهٝذٛ ٌه غُ ؽٝذٛ فط،ءٛوغش جٌٕفظ جألِحسز ذحٌغٚ د أخالله٠زٙضٚ B. Relevansi konsep pendidikan akhlak dalam kitab Ayyuha al-Walad karya Imam Al-Ghazali dengan pendidikan di Indonesia. Salah satu yang bisa memancing perhatian umat Islam adalah tokoh pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali adalah seorang intelektual agung yang 82 bersifat genius dengan keahlian multi dimensional, baik di bidang keagamaan, filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Generalisasi keahliannya itu menunjukkan keluwesannya dalam mengungkap permasalahan, dan ternyata beliau mampu menyelesaikan pertentangan-pertentangan intelektual pada masanya serta mampu melahirkan pemikiran baru dalam filsafat. Ilmunya yang telah terbukti kebenarannya di masa sekarang. Sesungguhnya, Al-Ghazali seorang pakar pendidikan akhlak yang luas pemikirannya. Bahkan ia pernah berkecimpung langsung menjadi praktisi selain sebagai pemikir pendidikan Islam, ia pula memikirkan soal-soal pendidikan akhlak, dan mempraktikkan pemikiran-pemikirannya. Relevansi konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad dengan pendidikan Islam di Indonesia masa sekarang meliputi beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut yaitu: 1. Aspek tujuan pendidikan Akhlak Pendidikan adalah suatu usaha untuk memberikan bantuan atau menolong pengembangan manusia sebagai makhluk individu sosial, makhluk yang berasusila dan makhluk yang berkeagamaan. Islam adalah ilmu dan cahaya. Bukan merupakan agama kebodohan dan kegelapan. Wahyu Allah SWT yang pertama diturunkan mengandung perintah membaca kepada Rasulullah SAW. Pengulangan atas perintah tersebut dan penyebutan masalah ilmu dapat dirasakan dalam suatu pendidikan. Allah berfirman dalam surat Al-Alaq ayat 1-5 sebagai berikut: 83 Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (Depag, 2004: 598). Tujuan pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad ialah kesempurnaan insan di dunia dan di akhirat. Manusia dapat mencapai kesempurnaan melalui pencariaan keutamaan dengan menggunakan ilmu. Keutamaan itu akan memberinya kebahagiaan di dunia dan serta mendekatkannya kepada Allah SWT, sehingga dia akan mendapatkan kebahagiaan akhirat. Pada aspek tujuan pendidikan akhlak, menurut penulis Imam AlGhazali menggariskan tujuan pendidikan akhlak adalah semata-mata untuk meraih ridha Allah SWT. Tujuan ini mencerminkan tauhid yang kuat. Tujuan pendidikan akhlak dalam perspektif Imam Al-Ghazali sangat menguatkan tauhid. Tidak ada tujuan lain dalam menempuh pendidikan akhlak selain untuk meraih ridho Allah SWT. Bukan untuk meraih popularitas, bukan pula untuk meraih kedudukan, bukan untuk meraih jabatan, bukan untuk meraih kekayaan, melainkan semata-mata untuk meraih ridha Allah SWT. Sejalan dengan Al-Ghazali tujuan pendidikan menurut HAMKA memiliki dua dimensi: bahagia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai 84 tujuan tersebut, manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu beribadah. Oleh karena itu, segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam menurut HAMKA sama dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri, yakni untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah. Ia mengatakan bahwa ibadah adalah mengakui diri sebagai budak atau hamba Allah, tunduk kepada kemauan-Nya, baik secara suka rela maupun terpaksa (HAMKA, 1998: 37). Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa manusia dapat mendekatkan diri pada Allah dengan melaksanakan ibadah wajib dan ibadah sunnah: ئْ هللا:ٍُعٚ ٗ١ٍ جهللا ػٍٝي هللا طٛ لحي سع: هللا ػٕٗ لحيٟشز سػ٠ ٘شٝػٓ جذ ة أدد١ ذشٜ ػرذٌِٟح ضمشخ ئٚ ،ح فمذ جر ٔطٗ ذحٌذشخ١ٌٚ ٌٝ ٜ ِٓ ػحد: لحيٌٝضؼح ٗ فارج أدررط،ٗ أدرٝجفً دطٌٕٛ ذحٌٟطمشخ ئ٠ ٜضجي ػرذ٠الٚ ،ٗ١ٍ ِّح جلطشػطٗ ػٌٟئ ٟسجٍٗ جٌطٚ ،حٙرطش ذ٠ ٟذٖ جٌط٠ٚ ،ٗرظشذ٠ ٞذظشٖ جٌزٚ ٗغّغ ذ١ عٞوٕص عّؼٗ جٌز )ٜجٖ جٌرخحسٚ(س.ٗٔز١ ألػٌٟٔثٓ جعطؼحرٚ ،ٕٗ١ ألػطٌٟٕثٓ عأٌطٚ ،حٙ ذّٝش٠ Sesungguhnya Allah telah berfirman, “Barang siapa memusuhi orang yang setia kepada-Ku (orang yang Aku cintai), maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang terhadapnya. Dan tidaklah seorang hamba-Ku bertaqarub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Dan apabila Aku telah mencintainya, jadilah Aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, sebagaimana penglihatan yang ia gunakan untuk melihat. Sebagaimana tangannya yang ia gunakan untuk berjuang. Sebagimana kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta kepada-Ku pasti Aku memberinya, dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku pasti Aku memberi perlindungan kepadanya.” (HR. Bukhari dari Abi Hurairah) (Usman dkk, 2003: 48). 85 Di samping harus melaksanakan ibadah wajib dan sunnah, untuk mendekatkan diri pada Allah manusia harus senantiasa mengkaji ilmuilmu fardlu’ain. Alasannya, di sanalah terdapat hidayah al-Din (hidayah agama) yang termuat dalam ilmu syari’ah. Sementara, orang-orang yang hanya menekuni ilmu fardlu kifayat sehingga memperoleh profesi-profesi tertentu dan akhirnya mampu melaksanakan tugas-tugas kuduniaan dengan hasil yang semaksimal dan seoptimal mungkin tetapi tidak disertai hidayah al-Din, orang tersebut tidak semakin dekat kepada Allah, bahkan semakin jauh dari-Nya. Orang semacam ini tidak dapat melaksanakan tugas-tugas ukhrawi dengan baik, ia lebih cinta dunia dan karena itu lupa akhirat. Akibatnya, ia tidak mencapai tujuan hidupnya yakni bahagia di akhirat karena tidak melaksanakan tugas-tugas akhirat. Tujuan pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali ternyata terserap dalam jiwa-jiwa manusia Indonesia hingga masyarakat Indonesia melalui wakil-wakil rakyatnya menyusun Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang berisi fungsi dan tujuan pendidikan yang tidak bertentangan dengan apa yang menjadi pemikiran Imam Al-Ghazali. Disebutkan di dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka serta mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta 86 bertanggung jawab. Hal ini berarti sejalan dengan tujuan pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali yang menekankan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah membentuk pribadi-pribadi yang berakhlak mulia yang diridhoi Allah SWT atau melaksanakan pendidikan akhlak untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali tidak hanya digunakan untuk pendidikan akhlak di masa Imam Al-Ghazali tetapi juga digunakan di masa sekarang di Indonesia. Jadi dalam hal ini, tujuan pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali adalah relevan dengan tujuan pendidikan akhlak di Indonesia. 2. Aspek subjek pendidikan akhlak Subjek pendidikan adalah orang yang berkenaan langsung dengan proses pendidikan dalam hal ini pendidik dan peserta didik. Peserta didik yaitu pihak yang merupakan sabjek terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan atau tindakan pendidik itu diadakan atau dilakukan hanyalah untuk membawa anak didik kepada tujuan pendidikan Islam yang dicitacitakan. Subjek pendidikan menurut Al-Ghazali tidak bisa dilepaskan dari pola hubungan (relasi) guru dan murid. Karena kedua hal inilah yang akan menentukan berhasil tidaknya tujuan pendidikan. Ibarat pendidikan kalau sarana dan prasarananya jelek akan tetap bisa berjalan, namun kalau tidak ada guru pendidikan tidak akan bisa berjalan. Oleh karena itu, guru sebagai subjek ajar dalam pendidikan harus mempunyai berbagai 87 persyaratan supaya mempunyai keprofesionalan di bidangnya dan tanggungjawabnya terhadap anak didiknya. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, pendidik adalah orang yang bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Profesional yang dimaksudkan oleh undang-undang tersebut bahwa seorang pendidik (guru) sekurang-kurangnya harus memiliki kompetensi, yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Seorang guru yang baik mengembangkan hubungan yang kuat dan saling hormat menghormati dengan siswa dan membangun hubungan yang dapat dipercaya. Diperjelas lagi tentang kompetensi seorang guru bisa kita temui dalam falsafah guru yang dipopulerkan oleh ki Hajar Dewantara yang terkenal dikalangan masyarakat Indonesia yaitu Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut wuri Handayani yang berarti figure seorang pemimpin (guru) yang baik adalah disamping menjadi suri tauladan yang baik atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan mampu memberikan dorongan moral dari belakang agar orang-orang yang dipimpinnya bisa merasakan situasi yang baik dan bersahabat. 88 Dengan demikian apa yang telah dirumuskan oleh Imam AlGhazali terkait pendidik dan kriteria-kriteria pendidik yang baik sangat relevan untuk diterapkan dalam sistem pendidikan Islam. Pandangan AlGhazali sangat relevan untuk diterapkan dalam sistem pendidikan Islam sebagai bagian yang integral dalam sistem pendidikan nasional, terutama dalam konteks menghadapi tantangan masa depan dalam lingkup global. 3. Aspek materi pendidikan akhlak Materi-materi yang diajarkan oleh seorang pendidik hendaknya diarahkan demi terciptanya akhlak yang mulia. Ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan hanya untuk tujuan akademik semata, tetapi karena tujuan lain yang lebih substansial, pokok dan hakiki, yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia. Dengan demikian, semakin banyak dan tinggi ilmu pengetahuan seseorang, maka akan semakin tinggi pula akhlaknya. Di dalam kitab-kitabnya, Imam Al-Ghazali menguraikan materimateri pendidikan akhlak yang harus dikuasai oleh peserta didik. Tentu materi pendidikan akhlak tidak hanya dikuasai secara kognitif saja, tetapi juga secara afektif dan psikomotorik. Mengetahui akhlak-akhlak yang baik saja belumlah cukup, tetapi harus ditambah selain mengetahui juga mengamalkan akhlak-akhlak yang baik. Akhlak-akhlak yang baik diuraikan panjang lebar oleh Imam AlGhazali di dalam kitab-kitabnya, salah satu kitab yang membahas akhlak- 89 akhlak yang baik adalah kitab Ayyuha al-Walad ini. Akhlak yang baik tersebut dilihat dari kacamata pemikiran-pemikiran modern sangat relevan bila diterapkan di era sekarang karena akhlak-akhlak yang baik yang ditunjukkan oleh Imam Al-Ghazali adalah akhlak-akhlak dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW yang mana berlaku sepanjang zaman sejak pada masa Nabi Muhammad SAW sampai kelak pada hari kiamat. Akhlak Nabi Muhammad SAW bersifat komprehensif, universal, dan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia kapan saja, dimana saja, dalam keadaan bagaimana saja, sejak dari lahir sampai meninggal dunia. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali sangatlah relevan bila diterapkan di Indonesia karena Imam Al-Ghazali mengambil rujukan kepada akhlak Nabi Muhammad SAW. 4. Aspek metode pendidikan akhlak Metode dapat didefinisikan sebagai cara kerja yang bersistem untuk mempermudah pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tang dicita-citakan. Pertama, Menggunakan metode keteladanan. Metode keteladanan merupakan metode yang sudah tidak asing lagi. Allah berfirman dalam Surat Al-Ahzab ayat 21: Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan 90 (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (Depag, 2004: 421). Rasulullah SAW merupakan seorang pendidik yang memberikan petunjuk kepada manusia dengan perilakunya yang baik. Keteladanan adalah salah satu metode pendidikan yang baik, oleh karena itu seorang peserta didik harus memperoleh teladan dari lingkungannya sejak dini agar terciptanya generasi yang baik pula. Mengenai pendidikan di Indonesia sekarang ini, guna mempersiapkan anak didik tentu saja sangat membutuhkan metode keteladanan sebagaimana yang telah dilakukan Imam Al-Ghazali dalam mendidik yaitu dengan menggunakan keteladanan Rasulullah SAW dalam membentuk akhlak yang mulia pada diri anak sebagai penerus bangsa. Kedua, Menggunakan metode kisah atau cerita. Dalam pendidikan akhlak ada berbagai cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Salah satunya dengan metode kisah atau cerita dengan menceritakan peristiwa-peristiwa bersejarah, contoh-contoh kehidupan dan kisah-kisah Isalami yang mengandung nilai eduktif (Zuhaili, 2002: 67). Kisah-kisah dalam pendidikan memiliki pengaruh ke dalam jiwa dan cepat terserap ke dalam pikiran. Allah SWT telah memberikan anugrahnya kepada Rasul-Nya bahwa kisah tentang para Nabi (khususnya tentang beliau sendiri) adalah kisah yang paling utama dan paling indah. Maka, di dalam kandungan al-Qur’an diantaranya adalam mengenai kisahkisah. 91 Guru sebaiknya mengambil dari al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai metode untuk mengembangkan anak didik. Seorang guru sebaiknya menanamkan dalam diri anak didik mencintai terhadap kisah-kisah. Maka, sudah selayaknya bila seorang guru dalam menasehati dan merangsang perhatian anak-anaknya dengan menceritakan kisah-kisah. Melihat keterangan di atas menunjukkan bahwa metode kisah atau cerita juga dilaksanakan dan dibutuhkan di negara Indonesia dalam mendidik anak karena anak itu lebih suka meniru segala sesuatu yang ditemuinya baik itu berupa peristiwa ataupun kejadian perilaku lainnya, sehingga metode cerita sangatlah efektif untuk dipergunakan sebagaimana yang telah dipergunakan Al-Ghazali dalam mendidik anak didik. Ketiga, Menggunakan metode pembiasaan Salah satu metode pendidikan yang diisyaratkan Allah di dalam AlQuran surah Al-Alaq adalah metode pembiasaan dan pengulangan. Latihan dan pengulangan yang merupakan metode praktis untuk menghafalkan atau menguasai suatu materi pelajaran termasuk ke dalam metode ini. Di dalam surah Al-Alaq metode ini disebut secara implisit, yakni dari cara turunnya wahyu pertama (ayat 1-5). Malaikat Jibril menyuruh Muhammad Rasulullah SAW dengan mengucapkan ( ئِ ْل َشجbaca!) dan Nabi menjawab: حسب ِ َ( َِح جََٔح ذِمsaya tidak bisa membaca), lalu malaikat Jibril mengulanginya lagi dan Nabi menjawab dengan perkataan yang sama. Hal ini terulang sampai 3 kali. Kemudian Jibril membacakan ayat 1-5 dan mengulanginya sampai beliau hafal dan tidak lupa lagi apa yang disampaikan Jibril 92 tersebut (Erwita Aziz, 2003: 81). Dengan demikian, menurut Erwita Aziz metode pembiasaan dan pengulangan yang digunakan Allah dalam mengajar Rasul-Nya amat efektif sehingga apa yang disampaikan kepadanya langsung tertanam dengan kuat di dalam kalbunya. Di dalam ayat 6 surah Al-A’la, Allah menegaskan metode itu : "ذ١شتُهَ فَالَ ضَ ْٕغ ِ " َعُٕ ْم Kami akan membacakan (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa”. Ayat ini menegaskan bahwa Allah membacakan AlQuran kepada Nabi Muhammad SAW., kemudian Nabi mengulanginya kembali sampai ia tidak lupa apa yang telah diajarkan-Nya. Dalam ayat 1– 5 Surah Al Alaq, Jibril membacakan ayat tersebut dan Nabi mengulanginya sampai hafal (Erwita Aziz, 2003: 82). Perintah membaca dalam surah Al Alaq tersebut terulang sebanyak dua kali, yaitu pada ayat pertama dan ketiga. Hal ini menjadi indikasi bahwa metode pembiasaan dalam pendidikan sangat diperlukan agar dapat menguasai suatu ilmu. Pembiasaan adalah upaya praktis dalam pendidikan dan pembinaan anak. Hasil dari pembiasaan yang dilakukan seorang pendidik adalah terciptanya suatu kebiasaan bagi anak didiknya. Seorang anak yang terbiasa mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam lebih dapat diharapkan dalam kehidupannya nanti akan menjadi seorang Muslim yang saleh. Dalam kehidupan sehari-hari pembiasaan itu sangat penting, karena banyak orang yang berbuat atau bertingkah laku hanya karena kebiasaan semata-mata. Tanpa itu hidup seseorang akan berjalan lambat sekali, sebab sebelum melakukan sesuatu ia harus memikirkan terlebih dahulu apa yang akan 93 dilakukan. Kalau seseorang sudah terbiasa shalat berjamaah, ia tak akan berpikir panjang ketika mendengar kumandang adzan, langsung akan pergi ke masjid untuk shalat berjamaah. Pembiasaan ini akan memberikan kesempatan kepada peserta didik terbiasa mengamalkan ajaran agamanya, baik secara individual maupun secara berkelompok dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian metode pembiasan yang dipaparkan Al-Ghazali sangat relevan apabila diterapkan di Indonesia karena salah satu cara agar mencapai tujuan pendidikan adalah dengan pembiasaan-pembiasan. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Konsep pendidikan anak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ayyuha al-Walad berpangkal pada empat hal, yaitu: (1) Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah menghilangkan sifat-sifat atau akhlak buruk. Sehingga, tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah menanamkan akhlak yang baik pada anak didik. (2) Syarat agar seorang syaikh dapat menjadi wakil Rasulullah SAW ia haruslah seorang yang alim, meski tidak semua orang yang alim dapat menjadi khalifahnya. Aku akan menjelaskan kepadamu sebagaimana persyaratan syaikh agar tidak semua orang dapat mendakwakan dirinya seorang mursyid. (3) Inti ilmu adalah pengetahuan yang membuat seseorang faham akan makna ketaatan dan ibadah. Sebab ketaatan dan ibadah dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya harus mengikuti syari’ah. (4) Metode yang digunakan Imam AlGhazali dalam kitab Ayyuha al-Walad adalah dengan metode keteladanan, metode cerita atau kisah, metode pembiasaan. Pemikiran Al-Ghazali tentang konsep pendidikan akhlak sampai saat ini tetap relevan terbukti dengan banyaknya pendidik yang masih menggunakan konsep beliau. Hanya saja berbeda dalam penyajian pemikiran dan kasus yang dihadapi. Seperti halnya Imam Al-Ghazali dalam mendidik sesuai dengan zaman anak tersebut dan tidak bersifat yang mutlak. Dari ini pendidikan akhlak bersifat dinamis dan dapat diimplikasikan nilai-nilai dari konsep pendidikan akhlak tersebut pada zaman kekinian dan masih relevan. 94 95 B. Saran-saran Penelitian yang membahas konsep dan pendidikan anak dalam berbagai literatur yang ditulis sarjana dan teolog Muslim generasi awal telah banyak diteliti oleh para sarjana dan calon sarjana di masa kini. Terkait hal itu, penulis ingin memberikan saran kepada: 1. Para peneliti, agar penelitian selanjutnya bisa mengomparasikan berbagai literature tersebut sehingga didapatkan sari pendidikan anak sacara komprehensif, baik dalam falsafah, konsep, metode, aplikasi, maupun inovasi yang dilakukan. 2. Sarjana-sarjana muslim, seyogyanya bisa mendorong pemerintah untuk menerapkan pola pendidikan holistik yang bermuara pada pembentukan manusia utuh, sehat lahir batin, dan berakhlak mulia. Sebagaimana dikonsepkan para sarjan terdahulu berikut aplikasinya secara praktis yang buktinya bisa dilihat hingga kini dalam ribuan pesantren dan jami’ah Islamiyah di seluruh Indonesia. Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas rahmat, taufik serta hidayah-Nya yang dilimpahkan kepada penulis dalam menyusun keterbatasannya. skripsi yang sangat sederhana dengan segala DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Nahlawi. 1992. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Bandung: Heri Noer Ali. Ahmad Supadie, Didiek dkk. 2012. Pengantar Studi Islam. Jakarta: Rajawali Press. Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Al-Abrasyi, Muhammad ‘Athiyah. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia. Al-Ghazali, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 1412. Ayyuha alWalad. _________, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 1967. Mizanul Amal. Kairo: Darul Ma’arif. _________, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 1989. Ihya Ulumuddin jilid III tt. Bairut: Dar Fikr. _________, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 1994. Ihya’ Uluuddin. Bairut: Darut Kutub Al-Ilmiyah. _________, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 2001. Cahaya dalam kegelapan terj. Al-Munqidz Min Al-Dhalal. Surabaya: Pustaka Progesif. _________, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. 2006. Surat Cinta Al Ghazali: Nasihat-Nasihat Pencerah Hati (Penjelasan Ayyuha Al-Walad). Terj. Islah Gusmian. Bandung: PT Mizan Pustaka. Al-Husainy, Abu Abdillah. 2003. Duhai Anakku: Wasiat Imam Al-Ghazali untuk Murid Kesayangannya. Solo: Pustaka Zawiyah. Al-Jumbulani, Ali. 2002. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta. Al-Mansur, Anshori. 2000. Cara Mendekatkan Diri pada Allah. Jakarta: Grafindo Persada. Al-Tibawi. 1972. Islamic Education. London: Lucaz & Company Ltd. Arikunto, Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian. Jakarta: Bina Aksara ________, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Asari, Hasan. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam - Kajian atas LembagaLembaga Pendidikan. Bandung: Mizan. Asmaran. 2002. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Grafindo Persada. Aziz, Erwati. 2003. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam. Solo : Tiga Serangkai Pustaka Azizy, Qadri. 2003. Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial. Semarang: Aneka Ilmu. Bahreisi, Hussein. 1981. Ajaran-Ajaran Akhlak Imam Al-Ghazali. Surabaya: AlIkhlas. Bahri, Fadhli. 2000. Ensiklopedi Muslim( Minhajul Muslim). Jakarta: Darul Falah. Darajat, Zakiyah. 1996. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: CV. Ruhama. Departemen Agama Republik Indonesia. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: CV Jumanatul ‘Ali Art. Ensiklopedia Islam. 1994. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta. Hafizh, Muhammad Nur Abdul. 1997. Mendidik Anak bersama Rasulullah. Bandung: Al-Bayan. Halim, Nipan Abduh. 2000. Menghias Diri dengan Akhlak Terpuji. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Hamka. 1993. Tasawwuf Perkembangan dan Pemikirannya. Jakarta: Panji Mas. Hasan, Aminah Ahmad. t.th. Nadhariyyah al-Tarbiyyah fi Al-Qur’an wa Tathbiqatuha fi ‘Ahdi al-Rasul. Dar al-Ma’arif. Hasbullah. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Ibnu Rusn, Abidin. 2009. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan. 1998. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia. Juwariyah. 2010. Dasar-Dasar Pendidikan Anak dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: Teras. KBBI. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Kholiq, Abdul Dkk. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer). Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. Madjidi, Busyair. 1997. Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim. Yogyakarta: Al-Amin Press. Mansur. 2005. Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Marimba, Ahmad. 1987. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. AlMa’arif. Muhammad AR. 2003. Pendidikan di Alaf Baru Rekrontruksi atas Moralitas Pendidikan. Yogyakarta: Primashopie. Munif, Abdul. 2007. Pemikiran Pendidikan Islam Klasik. Yogyakarta: SUKAPress. Nata, Abuddin. 2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers. Poerwodarminto, WJS. 1999. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Shihab, Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. Sualaiman, Fathiyah Hasan. 1990. Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj. Ahmad Hakim. Jakarta: P3M. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan penjelasannya. Yogyakarta: Media Wacana Press. Usman, Ali. dkk. 2003. HADITS QUDSI (Firman Allah yang tidak dicantumkan dalam Al-Qur’an) Pola Pembinaan Akhlak Muslim cetakan XVII. Bandung: CV Penerbit Diponegoro. Ya’qub, Hamzah. 1991. Etika Islam. Bandung: CV Diponegoro. Zainuddin, dkk. 1991. Seluk Beluk Pendidikan dari Al Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara. Zuhaili, Muhammad. 2002. Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini. Jakarta: A. H. Ba’adillah Press.