Dinamika Eksistensi Lesbian Proses Penerimaan Diri, Pemenuhan

advertisement
BAB Satu
PENDAHULUAN
Tesis ini ditulis berawal dari ketertarikan penulis mengangkat
realitas sosial terkait kehidupan komunitas homoseksual yang
kompleks, penuh dinamik, dan paradoks. Kehidupan homoseksual dan
komunitas homoseksual didalam masyarakat Indonesia belum
sepenuhnya diterima. Boleh jadi, orang menganggap realitas ini seperti
sepenggal cerita tanpa arti, bahkan sering dilecehkan sebagai suatu
kehidupan yang aneh bahkan dianggap ‘menyimpang’ atau ‘pendosa’.
Penolakan sebagai bagian dari masyarakat sekaligus menjadi fakta
keberadaan komunitas homoseksual sebagai manusia yang memiliki
hak yang sama dengan manusia lainnya sedang digugat. Fakta ini
bertolak belakang dari semangat HAM yang menempatkan komunitas
lesbian sebagaimana manusia lainnya memiliki ruang yang sama untuk
bebas mengekspresikan pikiran,
keyakinan, bersosialisasi, dan
berkreasi.
Realitas homoseksualitas sudah ada dalam masyarakat
Indonesia sejak dulu walaupun berbagai daya upaya sekelompok
manusia menghakimi mereka bahkan dalam cara-cara yang sangat
keras. Ditengah perkembangan usaha menegakan Hak Asasi Manusia,
tetap saja realitas homoseksual terus diperdebatkan. Fakta ini
menunujukan bahwa kehadiran komunitas homoseksual belum
mencapai pada kesepakatan bersama, bahwa homoseksual mendapat
ruang yang sama sebagaimana para heteroseksual mendapatkannya.
Ditengah perdebatan ini, beberapa tulisan terkait homoseksual hadir
seakan menyuarakan keberadaan mereka. Tulisan tersebut, antara lain;
Oetomo, Dede (1991) dan beberapa beberapa aktifis feminis dan
pluralis dengan kumpulan tulisan berjudul “Mendengar Suara Lesbian
Indonesia; Wieringa, Saskia danEvelyn Blackwood (1999) dengan judul
1
“Hasrat Perempuan (Relasi Seksual Sesama Perempuan dan Praktek
Perempuan Transgender di Indonesia) serta masih banyak tulisan
lainnya. Penelitian Wieringga, Saskia (1999) terkait Komunisme dan
Praktik-Praktik Hubungan Seksual Sesama Perempuan di Era Pasca
Soeharto juga dapat menjadi sebuah gambaran penting bahwa
homoseksualitas dan hubungan sesama perempuan di masa itu sudah
ada. Hal ini menunjukkan bahwa keberagaman orientasi seksual telah
sekian lama menjadi isu yang perlu untuk diangkat dan dapat
menunjukkan bahwa homoseksualitas itu ada disetiap eranya. Tulisan
Tangan Kuasa dalam Kelamin oleh Hatib Abdul Kadir (2007) juga
mengungkapkan sejarah homoseksual di Indonesia.
Namun Perdebatan antara yang ditiadakan yaitu homoseksual
dan yang dianggap satu-satunya yaitu heteroseksual itu muncul saat
manusia mulai merencanakan dan menyepakati apa yang mereka
inginkan sebagai ketentuan bersama. Pilihan yang dinyatakan sebagai
kebebasan tidak berlaku lagi saat diperhadapkan pada kesepakatan
bahwa perempuan haruslah berdampingan dengan laki-laki.
Ketertarikan pada siapa individu tersebut memilih menjadi sebuah
perjalanan panjang ketika eksistensi manusia tidak dipandang dan
dianggap sebagai milik publik. Kesepakatan itu adalah heteroseksual,
namun tidak untuk homoseksual yang berbeda secara orientasi seksual.
Masyarakat menjadi lebih meminggirkan bahkan menolak
lesbian. Makna atas perempuan bagi masyarakat yang harus
berdampingan dengan laki-laki, hamil dan melahirkan serta mengurus
rumah tangga selalu saja muncul disetiap generasi dan menjadi cermin
penolakan terhadap lesbian. Diskriminasi menjadi dobel dan berlapis
ketika perempuan berorientasi seksual sesama jenis mulai dikenal
dimasyarakat. Lesbian bukan perempuan yang diharapkan oleh
masyarakat. Penolakan yang berdasar atas budaya masyarakat yang
terbangun menjadi tekanan yang cukup keras dialami lesbian dan
homoseksual lainnya. Banyak kasus yang terjadi dan dialami temanteman lesbian dalam hal penolakan. Dalam skripsi penulis yang
berjudul “Keberadaan Lesbian di Surakarta” terdapat beberapa kasus
2
yang menunjukkan bahwa mereka ditolak, didiskriminasi dari
pekerjaan, tidak diharapkan bahkan mengalami kekerasan.
Secara budaya realitas ini tidak dapat dipungkiri bahwa
fenomena dan realita keberadaan lesbian, biseksual dan transgender
(LBT) ini telah lama ada bahkan sudah ada sejak berabad-abad tahun
yang lalu. Di Surakarta sendiri pada tahun 1824 telah ditemukan
fenomena hubungan seksual antar perempuan. Demikian juga
dilingkungan keraton dikenal dengan istilah “lingkaran relasi lesbian“
yang terjadi antara selir-selir Sultan Pakubuwono V (Wieringa,
Blackwood, 2009). Kemudian tulisan RR Agustine di dalam buku
Mendengar Suara Lesbian pada gerakan lesbian di Indonesia sebelum
Reformasi (1980-2000) yang menunjukkan dan menceritakan sebuah
perjuangan memunculkan identitas lesbian diawali dengan perkainan
lesbian pertama pada 19 April 1981 dimana pasangan lesbian bernama
Jossie dan Bonnie, membuka diri (comeout) kepada media dan publik
dengan melangsungkan perniakahan yang dihadiri oleh 120 undangan
disebuah pup yang berlokasi di daerah Blok M, Kebayoran baru,
Jakarta Selatan (Agustine 2013: 196) menunjukan bahwa keberadaan
homoseksual dalam hal ini lesbian sudah menjadi awal perjuangan dari
gerakan pengakuan lesbian. Walaupun tulisan itu merupakan capaian
gerakan lesbian di Indonesia, akan tetapi sampai kini ini perjuangan
lesbian tersebut serasa belum sampai pada kesetaraan sehingga menjadi
perdebatan yang cukup memunculkan banyak gerakan pada periode
berikutnya karena pilihan ini adalah bagian dari kebebasan akan Hak
Asasi manusia.
Orientasi seksual yang berbeda seringkali disebut sebagai
minoritas seksual yang sebenarnya dalam sejarah peradaban manusia
tidak dilahirkan secara tiba-tiba. Dimana ada kehidupan manusia,
keberadaan mereka telah inheren di dalamnya. Namun keberadaan ini
sekaligus menumbuhkan berbagai reaksi hampir di seluruh lapisan
masyarakat. Disadari atau tidak, homoseksual khususnya lesbian, yang
semestinya sebagai sebuah fitrah, terdehumanisasi karena dipandang
3
sebagai ancaman atas prokreasi , tidak normal bahkan yang lebih
menistakan lagi, lesbian dianggap sebagai pendosa.
Lebih meluas lagi konflik terjadi saat masyarakat melabeli
lesbian sebagai “tidak normal”, hal ini cenderung menjadikan individu
lesbian semakin menyembunyikan indentitas seksual dari lingkungan
sosialnya. Menyembunyikan identitas seksual tersebut menjadikan
masyarakat hanya bisa menebak-nebak dan menilai secara
sepemahamanan masyarakat dengan berbagai stigma yang
berkembang. Ketika masyarakat mengetahui tentang orintasi seksual
(lesbian) maka sebagian besar respon yang muncul adalah penolakan,
bahkan diskriminasi. Salah satu contohnya dapat dilihat dalam kasus
yang penulis tuliskan dalam skripsi “Keberadaan Lesbian di Surakarta”.
Penulis menuliskan sebuah kasus tentang pasangan lesbian yang
akhirnya terpisah karena salah satu pasangan tersebut dipenjarakan
karena tuduhan pemalsuan identitas dan membawa lari pasangannya.
Sepengal cerita dari Dimas dengan problematikanya di bawah ini :
“awalnya hubungan mereka cukup baik, Dimas sering
mengantar Ayu pulang, dan keluarga Ayu cukup baik dengan
Dimas. Ketika Ayu sedang berkonflik dengan orang tuanya,
kemudian Ayu hendak mengajak Dimas pergi, namun Dimas
menolak. Keluarga Ayu sempat menanyakan keberadaan Ayu
kepada Dimas, namun memang Dimas tidak mengetahui
dimana Ayu berada. Selang beberapa hari orang tua Ayu
mengajak Dimas bertemu disebuah lapangan, namun yang
terjadi Dimas dipukuli oleh tetangga-tetangga Ayu. Konflik
mulai terjadi ketika keluarga dan tetangga Ayu menganggap
bahwa Dimas membawa lari Ayu. Kasus ini dibawa ke
pengadilan dengan tuduhan pemalsuan identitas dan
membawa lari Ayu, sehingga Dimas akhirnya dijatuhi
hukuman 4 tahun 5 bulan.”
Dari kasus ini terlihat bagaimana penolakan dan kekerasan
terjadi pada lesbian. Identitas seksual yang tidak diterima menjadi
sebuah konflik tersendiri. Tidak hanya itu saja hukum juga belum
begitu paham tentang relasi lesbian, sehingga yang muncul adalah
pemalsuan identitas yang sebenarnya bukanlah pemalsuan melainkan
ketersembunyian yang sulit diungkapkan karena begitu banyak respon
4
penolakan ketika orientasi seksual mereka diungkapkan. Seringkali
konflik yang dilami oleh lesbian di masyarakat dikarenakan
pemahaman tentang lesbian belum dapat diterima dan dimengerti
dengan baik oleh masyarkat. Dengan berkembangnya nilai dan stigma
negatif di masyarakat kepada seorang lesbian menghasilkan sebuah
budaya penolakan yang berkembang dari era ke era.
Bukan sebuah ilusi bahwa eksistensi mereka merajut anugerah
kehidupannya dalam
resiko ancaman bahkan juga berujung
dikematian. Stereotype dan stigma seumur hidup merupakan bagian
dari kehidupan nestapanya. “Mereka tak hidup dalam penghargaan
kita, dan mereka hidup dalam ketakutan” (Candraningrum, 2014).
Sepenggal ekspresi pemikiran tersebut menambah bagaimana persoalan
yang ada pada homoseksual (lesbian) menjadi persoalan yang berlapis.
Tidak adanya proses menghargai dan penerimaan sehingga ketakutan
dan ketersembunyianlah yang menjadi ujungnya. Benteng yang sulit
ditembus ketika perubahan yang mendasar pada pola pikir mengenai
lesbian belum dapat dipahami secara utuh oleh masyarakat.
Cinta sejenis sebenarnya bukanlah hal baru, ia telah eksis sejak
masa awal sejarah kehidupan manusia. Hampir di semua negara dapat
ditemui keberadaan kaum homoseksual, tak terkecuali di Indonesia.
Yang membedakan kemudian adalah, penerimaan masyarakat terhadap
kelompok homoseksual yang tidak sama. Latar belakang budaya
masing-masing negara sangat berpengaruh pada bagaimana
masyarakatanya menerima keberadaan homoseksual. Seperti di
Indonesia, masih terdapat perbedaan pandangan dan perlakuan
terhadap kaum homoseksual (Kadir, 76, 2007).
Jika dipandang dari yang esensi, pembahasan mengenai lesbian
harus dibahas secara lebih dalam untuk melihat hakikat manusia yang
seutuhnya, yang memiliki hak asasi atas dirinya. Dari berbagai tulisan
yang mengupas tentang lesbian, pemahaman seksualitas menjadi
bagian penting yang harus dipahami dalam menguraikan fenomena
sosial lesbian. Dalam pergerakan perjuangan kaum homoseksual yang
tampak sampai saat ini, masyarakat masih berpusar pada isu sexual
5
activity saja dan belum melihat sisi lain yang lebih luas serta utuh dari
diri seorang lesbian. Dalam ruang kehidupan yang begitu luas, dinamis,
kaya tafsir, seorang lesbian menembus tembok tebal untuk memaknai
dirinya sebagai seorang manusia.
Di Bali terdapat hubungan sesama laki-laki maupun sesama
perempuan. Demikian juga hubungan antara Warok dan Gemblak di
Ponorogo, Kaum Bissu di Sulawesi Selatan, kaum Basir di Dayak
Ngaju, hingga Kaum Bayasa di Tana Toraja, laki-laki yang berdandan
ala pakaian wanita (Kadir, 84, 2007). Ini merupakan budaya Nusantara
yang menghargai keberadaan homoseks. Bahkan beberapa diantara
verian gender ini dianggap sakral, religius dan sangat dihargai dan
diterima oleh masyarakat sekitarnya.
Pilihan akan orientasi seksual yang seharusnya menjadi ruang
privat bagi seorang manusia, mengalami transformasi kewilayah
publik. Ketika pilihan orientasi seksual menjadi sebuah penilaian
diruang publik, maka tidak ada privasi manusia atas diri dan
pilihannya. Perempuan lesbian menyandang stereotype yang negatif
dan dipandang sangat sempit oleh masyarakat. Tentu pandangan ini
menunjukkan tidak dipahaminya arti dan makna kata “seksualitas“ dan
hegemoni dogma yang hanya dipahami dengan sangat linier. Ekspresi
seorang perempuan yang tomboi misalnya, melahirkan penilaian
bahwa yang tomboi adalah lesbian.
Sepanjang peradaban kehidupan umat manusia, boleh jadi yang
abadi adalah konstruksi dan definisi atas banyak hal yang dilakukan
oleh setiap masyarakat di manapun mereka berada. Ketika sebuah
konstruksi sosial diyakini kebenarannya, akan sulit untuk menerima
sesuatu yang berbeda sebagai bagian dari kehidupan di masyarakat. Di
saat pemahaman masyarakat tentang orientasi seksual hanyalah
heteroseksual, yaitu hubungan dan relasi laki-laki dengan perempuan,
maka masyarakat tidak menerima orientasi seksual yang berbeda
(homoseksual).
Konsekuensi selanjutnya dikotomi normal tidak
normal, boleh tidak boleh, salah dan benar menjadi semacam dua
benteng tebal yang sangat terpisah bahkan menjadi sangat mutlak.
6
Lalu dimana kita akan mulai memahami makna kebebasan
pilihan seorang manusia, ketika ruang-ruang yang ada tidak terbuka
untuk seseorang memunculkan eksistensinya. Ketika yang selalu ada
adalah diskriminasi, sterotype dan peminggiran lesbian yang menjadi
sebuah kemutlakan terus terjadi ditengah-tengah kehidupan
masyarakat. Sementara gelombang penegakan Hak Asasi Manusia
(HAM) terus digulirkan dan diperjuangkan. Itu artinya, tidak ada
alasan untuk membedakan orientasi seksual mana yang boleh
mendapatkan haknya. Siapapun mereka, apapun mereka, dengan
dirinya serta pilihannya bukanlah menjadi pembatas manusia untuk
memperoleh dan memperjuangkan haknya.
Untuk memahami lesbian, tentu perlu juga melihat bagaimana
perempuan didudukkan disetiap lapis kehidupan dalam bermasyarakat.
Dalam setiap rangkaian dinamika kehidupan manusia, kita bisa melihat
power dan ruang yang diberikan kepada perempuan hanyalah ranah
domestik. Jika kita cermati dengan detail, ranah domestik yang
dianggap sebagai ruang bagi perempuanpun tidak sepenuhnya bisa
menjadi ruang ekspresi bagi perempuan. Tentu ini akibat dari
konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai subordinat
atau mahluk kelas dua di bawah laki-laki. Konstruksi sosial inilah yang
terus menempel pada perempuan. Sebuah hitungan logika sederhana,
jika perempuan sudah tersandera di ranah domestik, maka ranah
eksternal yang lebih luaspun tidak dimiliki oleh perempuan. Artinya,
mulai dari lingkungan keluarga sampai di lingkungan kuasa
kepemimpinan yang tingkat lebih tinggi, perempuan telah terpasung.
Salah satu contoh yang sampai detik ini masih berkembang dan
terus disertakan pada seorang perempuan, di lingkungan keluarga atau
rumah tangga, peran perempuan selalu diposisikan sebagai ibu rumah
tangga yang bertugas untuk melayani suami, anak, hamil, melahirkan
dan mengasuh anak. Sekalipun fakta menunjukkan perempuan sudah
bergerak di ranah publik sebagai seorang yang juga mengemban
pemenuhan ekonomi bagi keluarganya, tetapi tidak juga mampu
menggeser cara pandang masyarakat pada perempuan sebagai mahluk
7
nomer dua. Realitas saat ini menunjukkan bahwa, ruang publik telah
banyak diberikan pada perempuan, namun melahirkan penjara berlipat
bagi perempuan yaitu beban ganda yang senantiasa menyertainya.
Inilah episode panjang bagi perjuangan kaum perempuan yang
sampai saat ini masih harus terus diperjuangkan. Pemahaman sempit
atas peran perempuan masih sangat mengakar dalam kehidupan
masyarakat. Mengapa? Berbagai diskriminasi, subordinat bahkan
kekerasan terhadap perempuan diperkuat budaya dan tafsir yang salah
terhadap ayat-ayat dalam kitab suci. Akibatnya ekspresi dan eksistensi
perempuan berada di titik nol.
Kehidupan perempuan berada dalam bingkai kekosongan
karena eksistensi yang nyaris tak berarti merupakan potret sebagian
besar perempuan di Indonesia. Paparan di atas adalah fakta dan cerita
perempuan heteroseksual. Bagaimana dengan kaum lesbian yang nota
bena adalah juga perempuan? Lesbianpun mengalami hal yang sama
bahkan lebih kompleks. Ketika seorang perempuan tertarik dengan
perempuan lainnya, penolakanpun hadir. Dimulai dari orientasi yang
berbeda dari pandangan masyarakat bahwa kebenaran mutlak adalah
relasi heteroseksual. Kemudian berlanjut dengan stigma negatif yang
berkembang bahwa, yang berbeda itu adalah tidak baik bahkan
berkategori ‘salah‘. Kemudian muncullah diskriminasi, penolakan
bahkan kekerasan pada lesbian. Tak jarang lesbian ditolak dari
pertemanan, pekerjaan, dan menerima kekerasan baik fisik maupun
mental karena orientasi mereka yang berbeda dari pandangan
keyakinan mayoritas di masyarakat.
Lalu dimanakah letak pemaknaan atas Hak Asasi Manusia yang
menempatkan setiap manusia setara dan memiliki kesempatan yang
sama atas ekspresi dan eksistensinya, termasuk orientasi seksual
pilihannya? Ketika hak asasi tidak dapat dicapai oleh seseorang karena
sebuah perbedaan orientasi seksual, bagaimana seseorang bisa
menghadirkan eksistensi diri dan komunitasnya dalam lingkungan
yang yang jauh lebih luas? Maka, Eksistensi tersebut terbungkam,
karena secara internal dari personal itu sendiri maupun eksternal orang
8
lain atau masyarakat tidak dihadirkan layaknya manusia yang lain
hanya karena permasalahan orientasi seksual yang berbeda.
Homoseksual berhadapan dengan tiga kekuatan besar yang
menekan keberadaan mereka, yaitu, agama, negara dan keluarga.
Pilihan orientasi bukan menjadi permasalahan privat saja, tetapi
bertransformasi ke arah publik. Dan agama yang seakan-akan memiliki
otoritas dalam menilai baik, buruk, dosa atau tidak. Ketika
homoseksual dianggap sebagai penyimpangan dan penuh dosa oleh
budaya dan agama, maka keluarga, masyarakat hanya akan
mengikutinya. Pengontrolan tingkah laku kolektif manusia dan
seksualitas menjadi sebuah barometer pengembangan ekonomi politik
suatu Negara. Seksualitas dan tubuh perempuan menjadi alat kontrol
Negara.
Negara sebagai penjamin, memiliki kewajiban untuk
menghadirkan ruang-ruang untuk berkembang bagi setiap warga
negaranya. Dan sebaliknya jika ruang itu hanya terbuka untuk
heteroseksual, maka kuasa dimiliki oleh laki-laki dan tidak ada
eksistensi diri bagi lesbian. Jauh lebih tragis bagi lesbian, tidak
diakuinya hak sipil sebagai manusia seperti yang tertuang dalam
Undang Undang N0 39 Tahun 1999 Tentang Hak asasi Manusia.
Melihat fakta yang terjadi, bisa disampaikan bahwa ruang yang terbatas
bagi seorang lesbian, adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia.
Akibat dari semua ini, tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi ini
membuat komunitas lesbian menjadi eksklusif ditengah-tengah
masyarakat. Penolakan atas keberadaan mereka, menghadirkan sebuah
fakta dimana komunitas lesbian mengharapkan sebuah ruang
kenyamanan bagi mereka. Pada bagian ini, kita akan melihat
bagaimana komunitas lesbian membangun sisi kenyamanan dengan
menciptakan lingkungan untuk saling berinteraksi secara intens hanya
dengan sesama lesbian.
Lalu dibagian mana kita akan melihat penerimaan diri seorang
lesbian, ketika tidak ada dukungan moral bagi mereka? Dua hal
terpenting dapat terlihat secara jelas, yaitu yang pertama adalah ruang
9
privat yang tidak didapatkan oleh seorang lesbian ketika ia tidak
menerima dirinya akibat dari konflik batin yang nyaris menyertai
sepanjang kehidupan seorang lesbian. Dan yang kedua, keterhambatan
interaksi dengan komunitas lain atau masyarakat luas juga begitu
kental. Keterhambatan tersebut karena tidak adanya penerimaan diri di
ruang publik bagi seorang lesbian. Inilah dinamika yang sampai saat ini
masih dihadapi oleh lesbian.
Menurut Audre Lorde, komunitas lesbian bukan komunitas
yang dibentuk karena merasa diancam atau ingin memenangkan nilainilai lesbianisme, akan tetapi lebih pada komunitas yang ingin
memahami diri sendiri, sebagai sumber pengetahuan agar dapat
“survive“ (bertahan) menjadi seorang lesbian. Jadi komunitas lesbian
adalah tempat referensi di mana terus diproduksi makna-makna baru,
makna lesbian yang dibentuk dan disepakati bersama oleh komunitas
lesbian tersebut (Arivia, 2008 : 15).
Point inilah yang akhirnya menggerakan sebagaian individu
lesbian dan komunitasnya untuk mencoba memeperjuangkan dirinya
dengan proses menerima dirinya sendiri. Bukan hanya diwilayah
ketertarikan, tetapi membebaskan dirinya dari penolakan masyarakat
atas ketertarikannya terhadap sesama perempuan. Penolakan,
diskriminasi dan kekerasan yang terjadi pada lesbian melahirkan
gerakan pembelaan dari berbagai kalangan khususnya kalangan
pembela Hak Asasi Manusia. Gerakan ini menjadi bagian dari
perjuangan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia baik di mata
pemerintah maupun masyarakat. Ketika ada penolakan, diskriminasi,
bahkan kekerasan, artinya pelanggaran HAM sudah terjadi.
Nilai dan pemahaman yang dimiliki masyarakat saat ini
terhadap lesbian adalah yang “sudah ditetapkan” oleh budaya dan juga
agama, bukan diterima sebagai fenomena atau realitas sosial yang ada.
Gadis Arivia (2008,11) menyampaikan bahwa kaum lesbian mengalami
kekerasan diberbagai Negara terutama di negara konservatif yang
menolak lesbianism sebagai orientasi yang tidak diakui oleh ajaran
agama. Di Indonesia relasi lesbian semakin terbuka, akan tetapi
10
keterbukaan ini berada ditingkat komunitasnya saja, bukan pada
tingkat masyarakat secara umum apalagi di tingkat nasional. Seperti
gong kematian bagi komunitas lesbian ketika aliran fundamentalis
begitu menguat, karena aliran ini akan sangat menolak homoseksual.
Kasus ILGA pada tahun 2010 adalah salah satu contoh bagaimana
kekerasan dipertontonkan oleh aliran fundamentalis untuk menghabisi
komunitas homoseksual. Fakta ini menjadi salah satu latar belakang
kenapa komunitas lesbian eksis hanya pada komunitasnya saja,
tertutup pada komunitas lainnya bahkan masyarakat secara umum.
Lesbian adalah perempuan yang memiliki lebih banyak
dinamika dan persoalan dalam menjalankan kehidupannya. Seperti
yang tertuang dalam tulisan sebelumnya, bahwa hak-hak di bidang
politik, ekonomi, sipil, sosial dan budaya yang tidak didapatkan
perempuan juga berdampak pada perempuan lesbian. Hambatan
mendapatkan hak-hak tersebut sangat terlihat ketika seorang lesbian
dikeluarkan dari tempat kerja karena diketahui memiliki ketertarikan
terhadap sesama perempuan. Padahal, bekerja di ranah publik adalah
bagian dari aktualisasi dan ekspresi diri setiap umat manusia tanpa
melihat latar belakang gender dan orientasi seksualnya. Bukankah
eksistensi adalah milik dari semua umat manusia di muka bumi ini?
Tetapi, jika sebuah eksistensi tidak pernah bisa dihadirkan dalam
realiatas, artinya seperti sebuah entitas yang kosong, tanpa makna,
sunyi dalam kegaduhan. Dan situasi inilah yang membuat konflik batin
yang cukup kuat bagi seorang lesbian.
Persoalan yang dihadapi oleh lesbian tentu tidak terlepas dari
bagaimana masyarakat dan Negara memberikan stigma negatif kepada
lesbian. Hak-hak lesbian sebagai individu dibatasi oleh penilaian
masyarakat. Bukankah orientasi seksual merupakan pilihan masingmasing individu? Namun pilihan yang seharusnya dihargai oleh
masyarakat dan dilindungi oleh Negara berjalan terbalik. Penghargaan
dan perlindungan terhadap lesbian sebagai manusia justru berbalik
menjadi sebuah ancaman bahkan penghabisan bagi kaum homoseksual.
11
Pergerakan lesbian dimulai dari pergerakan pembebasan
perempuan yang mencoba mempertanyakan ulang konstruksi sosial
masyarakat mengenai definisi yang dibentuk oleh budaya masyarakat
patriarki. Dominasi yang kuat menjadikan perempuan berusaha
memperoleh kembali makna sebagai seorang manusia. Begitu pula yang
coba dilakukan oleh individu maupun komunitas lesbian yang mulai
bergerak dan membongkar dominasi pemahaman atas orientasi seksual.
Heteroseksual bukanlah satu-satunya orientasi seksual dalam sepanjang
peradaban kehidupan manusia. Dalam berbagai ruang kebudayaan dan
sejarah, orientasi seksual begitu beragam. Oleh karenanya,
homoseksual (lesbian) harus diterima dimasyarakat. Bahkan ketika
berbicara tentang Hak Asasi Manusia, hak hidup adalah hak setiap
warga negara yang tidak mempersoalkan tentang perbedaan apapun.
Artinya, orientasi seksual adalah pilihan dan hak setiap manusia.
Dari beberapa literatur dan penelitian tentang lesbian yang
telah penulis temukan, menunjukkan dinamika pengalaman lesbian
begitu kompleks. Namun, penulis mencoba melihat aspek yang
berbeda dari penelitian kali ini. Dimulai dari proses internal kedirian
atau penerimaan akan orientasi seksualnya. Ketika menyadari
perbedaan orientasi seksualnya berbeda dengan orientasi mayoritas,
hampir semua lesbian merasa bahwa dirinya berpersoalan tetapi tak
mampu juga membendung perasaan orientasi seksualnya yang
menyukai sesama perempuan. Penggambaran proses yang berbedabeda dari lesbian dalam menemukan cara untuk memahami dan
menerima dirinya, sampai kemudian mereka menemukan sebuah nilai
dalam dirinya untuk terus melanjutkan proses kehidupannya. Maka,
bagaimana tentang eksistensi diri dicapai oleh sebagian manusia akan
dapat digambarkan dan dijelaskan dalam tesis ini.
Kemudian proses penerimaan diri tersebut akan terkait dengan
bagaimana lesbian memahami sebuah upaya dalam dirinya untuk
beradaptasi dengan komunitas mereka. Dan melihat bagaimana seorang
lesbian berada dalam lingkungan komunitas yang berbeda dan
sekaligus mengambarkan dinamika lesbian di tengah masyarakat yang
12
lebih luas. Memahami dan mengerti diri sendiri dengan fleksibilitasnya
menjadi bagian penting untuk mewujudkan eksistensi diri bagi setiap
manusia tanpa terkecuali lesbian.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang lain karena
mencoba melihat dan memahami lebih dalam mengenai dialog diri
serta interaksi dan hubungan yang terjadi dalam sebuah komunitas
yang terdiri dari anggota yang berorientasi lesbian dan heteroseksual.
Penelitan ini juga mencoba menunjukkan aspek baru yaitu
pemahaman baru yang lebih kritis tentang seksualitas. Dimana subyek
mendefinisikan dirinya sendiri sebagai aku tentang seksualitas yang
utuh. Tidak ada eksklusifitas lesbian dan heteroseksual dalam
komunitas yang menjadi medan penelitian untuk penulisan tesis ini.
Selain itu penelitian ini mencoba melihat bagaimana proses
membangun sebuah nilai dari setiap individu didalam komunitas. Satu
komunitas dengan dua kelompok yang berbeda orientasi seksual yaitu
kelompok I (heteroseksual) dan kelompok II (lesbian) disatukan dalam
forum diskusi dan kegiatan yang sama. Ketika banyak pendapat yang
menyatakan bahwa lesbian belum diterima ditengah heteroseksual,
maka penelitian ini akan menunjukkan fakta yang berebada. Proses
dan dinamika yang berbeda melahirkan fakta yang berbeda juga. Kita
akan melihat bagaimana hubungan dan komunikasi serta kedekatan
yang terbangun diantara mereka sebagai sebuah komunitas tidak hanya
berhenti di tataran permukaan. Kedekatan kedua kelompok ini lebih
mencerminkan hubungan antar sesama manusia. Selain itu, kita juga
akan melihat bagaimana sekelompok heteroseksual juga membantu
seorang lesbian dalam proses penerimaan diri apa adanya tanpa harus
mengingkari apapun, khususnya tentang perbedaan orientasi
seksualnya.
“Membongkar stigma banyak hal yang sudah diyakini
kebenarannya oleh mayoritas masyarakat sungguh bukan sesuatu yang
bisa dilakukan dalam waktu singkat. Pemahaman yang mendalam
terkait dengan homoseksual, sangat dibutuhkan dalam rangkaian
pengorganisasian bukan sekedar kampanye Hak Asasi Manusia tetapi
13
harus bermuara pada perubahan pola pikir dan perilaku (Widiawati,
2013:18).” Pembangunan manusia yang didasarkan pada Hak Asasi
setiap orang adalah mutlak. Dibutuhkan waktu dan kesabaran untuk
saling belajar dan bertransformasi untuk sebuah perubahan pola pikir.
Demikian juga pencapaian untuk saling memahami dan menghargai
atas segala perbedaan. Inilah ruang yang terus didaur ulang menjadi
sebuah proses pembelajaran bersama.
Wisnu Ardihartono R dalam tulisannya menyampaikan, ketika
kita berbicara tentang ketertimbalbalikan antara negara dan
masyarakat, maka sangat menarik apabila wacana representasi sosial
“dilihat secara lebih mendalam” karena ia berhubungan dengan proses
mengkonstruksi sebuah kenyataan sosial. Moscovici sang pencetus
konsep ini melihat bahwa sebuah representasi selalu berhubungan
dengan kognitif sehingga ia langsung berhubungan dengan “perasaanperasaan umum”. Sehingga representasi sosial adalah sebuah konsep
yang mengarahkan sebuah kenyataan dan dirangkum dalam sebuah
legitimasi perasaan secara umum.
Melalui representasi sosial terdapat kode-kode pertukaran
sosial didalamnya, yang kemudian meletakkan individu pada kerangka
“saya”, “kami”, “kita”, dan “kalian” atau yang lainnya. Munculnya
pembedaan tersebut, membuat setiap individu pada akhirnya jatuh
pada yang “normal” atau “sah” dan yang “tidak normal” atau “tidak
sah”. Yang “sah” adalah mereka yang memegang prinsip
heteroseksualitas dan yang “tidak sah” adalah mereka yang memegang
prinsip homoseksualitas.
Dengan demikian, Negara dan identitas bangsa dibangun secara
sosial dan dengan kerangka norma-norma sosial dimana kelompok
minoritas seksual di Indonesia sepertinya tidak patut untuk tinggal di
Indonesia karena cemoohan yang terus menerus mereka alami, secara
verbal, psikis maupun fisik. Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis
pernah mengatakan bahwa mereka yang mendominasi memiliki
caranya tersendiri untuk melakukan pemaksaan kepada yang
didominasi. Dominasi ini, menurut Bourdieu, tidak hanya melegalkan
14
dominasi laki-laki kepada perempuan secara biologis tetapi juga
melegalkan dominasi “prinsip maskulin” terhadap “prinsip feminin”,
termasuk juga dominasi “prinsip maskulin” terhadap homoseksualitas
yang dianggap memegang teguh “prinsip feminin”. Wacana
homoseksualitas di Indonesia telah gagal dimunculkan dari sudut
pandang manapun. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kegagalan
tersebut dihentikan dan dirubah dengan memberikan image-image
positif. Ini adalah keharusan dan vital untuk tidak melulu dicap negatif
sebagai kelompok yang hanya memikirkan aktifitas seks. Kelompok
minoritas seksual harus memproduksi dirinya sendiri (Suara Kita,
2014).
Kekacauan pemerintah Indonesia menunjukan bahwa segala
kebijakan dari Negara sering dan selalu bertalian erat dengan
kepentingan agama maupun kepentingan kapital. Pada satu sisi ketika
Negara menghancurkan keberadaan kaum homoseksual, dengan
berbagai cara kaum homoseksual akan menciptakan kebebasannya
dalam mengekspresikan kehendak dan menyampaikan uneg-uneg
mereka. Berbagai gerakan dan perjuangan kaum homoseksual
dibeberapa kota besar seperti Pelangi di Yogyakarta dan Gaya
Nusantara di Surabaya menunjukkan sebuah contoh kecil gerakan
masyarakat sipil yang mampu lepas dari tangan-tangan Negara.
Gerakan mereka berawal dari kesamaan orientasi seksual. Pada sisi
lain, berbagai gerakan yang bersifat diskursif dan resisten ini
mempunyai berbagai kerentanan. Karena sistem hukum di Indonesia
belum mempunyai ketetapan secara kuat mengenai keberadaan kaum
homoseksual, orientasi seksual, hingga sistem perkawinan (Kadir, 134,
2007).
Pembangunan di setiap Negara haruslah ditujukan bagi semua
warga negaranya. Hak asasi manusia bisa diterima karena rasa saling
menghargai di antara manusia. Prinsipnya adalah keadilan dan tidak
ada diskriminasi, kekerasan, pembedaan, pengecualian dan
pengutamaan, karena Hak Asasi Manusia bersifat universal, dan
diambil dari berbagai nilai yang diterima secara umum dengan
15
orientasi yang bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia di
atas segala-galanya. Oleh karenanya memanusiakan manusia dalam
segala hal adalah sebuah kemutlakan. Karena demikianlah nilai-nilai
dalam agama dan budaya, yang menempatkan berbagai varian gender
dalam berbagai ranah mulai ranah privat sampai ranah publik tak
terkecuali ranah politik. Maka berbagai hal tentang HAM adalah
skema kewajiban yang menjadi tanggung jawab Negara. Dan kewajiban
setiap warga negara adalah menghormati hak orang lain. Dalam
dialektika untuk saling menghormati inilah seharusnya dapat terbebas
dari ancaman, tidak menimbulkan kebencian, diskriminasi dan
toleransi menjadi kunci utamanya.
Oleh karena yang utama negara memiliki tanggung jawab dan
kewajiban untuk melindungi (protect) warga Negaranya, ketika negara
abai atau tidak melakukan perlindungan terhadap warganya, maka
kekuatan masyarakat akan bergerak untuk mengatasi berbagai hal yang
dipandang telah mendehumanisasi manusia. Gerakan pembela Hak
Asasi Manusia misalnya. Kedua adalah kewajiban dan tanggung jawab
untuk pemenuhan (fulfill) yang menjamin implementasi HAM
ditingkat paling konkrit. Dan yang ketiga Negara bertanggung jawab
dan wajib menghormati (respect). Tugas Negara untuk tidak
melakukan intervensi kepada siapapun dalam ranah privat dan fisik.
Pembangunan ditujukan untuk setiap manusia, tanpa batasan
apapun dan siapapun mereka. Pola pikir yang masih terbatas pada
penghargaan dan penghormatan atas orientasi seksual mana yang
diperbolehkan atau tidak, menunjukkan bahwa penghargaan dan
penghormatan atas hak asasi manusia tidak terwujud sesuai dengan
mandatnya. Tidak ada yang dapat membatasi hak setiap orang yang
hidup dalam sebuah masyarakat atau Negara.
Secara prinsip hak LGBTIQ diakui dalam skema HAM. Dan
melihat kondisi yang dialami oleh kaum homoseksual di Indonesia
maupun diberbagai Negara lainnya, dibutuhkan instrument spesifik
untuk melindungi Orientai Seksual dan Identitas Gender. Dan itu
diawali dengan munculnya Yogyakarta Principle yang adalah tatanan
16
prinsip dalam penerapan Undang-undang HAM yang terkait dengan
orientasi seksual dan Identitas gender. Prinsip ini menegaskan standar
hukum internasional yang mengikat dan harus dipatuhi oleh semua
Negara. Prinsip-prinsip ini menjanjikan bentuk masa depan dimana
semua orang dilahirkan dengan bebas dan setara. Hak dan martabat ini
harus dipenuhi oleh negara karena hak ini mereka bawa sejak mereka
dilahirkan.
Lesbian adalah bagian dari masyarakat yang juga memiliki hak
asasi atas hidupnya. Lesbian juga memiliki peranan penting dalam
sebuah lingkup kehidupan. Bukan ukuran besar kecilnya, yang
terpenting bagaimana mereka berperan. Lesbian tidak hanya
menyuarakan tentang orientasi seksualnya, tetapi didalam tulisan ini
juga akan memperlihatkan bagaimana peranan mereka dalam
kehidupan yang luas antar sesama manusia. Ketidakadilan yang dialami
oleh sekelompok orang, tentu adalah masalah karena pada dasarnya
pembangunan ditujukan bagi setiap manusia di lapisan masyarakat
apapun.
Begitu banyak dinamika terjadi pada lesbian, dan tidak bisa
dipungkiri bahwa ketertarikan sesama jenis ini ada di Indonesia seiring
dengan perjalanan peradaban. Begitu banyak cerita dan perjuangan
yang telah lesbian lakukan, mengungkapkan pendapat serta seruan
haknya di Negara dan masyarakat. Terlihat hingga detik ini bagaimana
lesbian masih ditolak dan mengalami diskriminasi yang berlapis, maka
tidak akan mudah mendapati konsep diri, dan mencapai penerimaan
diri ataupun eksistensi diri. Situasi inilah yang menjadi latar belakang
penelitian ini dilakukan.
Maka, menjadi penting dan mendesak untuk dipahami
sekaligus diperjuangkan karena fenomena dan realitas sosial yang
berkembang sampai saat ini memandang tentang orientasi seksual,
khususnya lesbian (homoseksual) tidak semestinya ada dan hidup di
tengah-tengah masyarakat. Cara pandang ini terasa sangat kental baik
oleh masyarakat maupun negara. Homoseksual masih menjadi bagian
17
dari “the otherness”, maka harus dipinggirkan bahkan dilenyapkan dari
proses kehidupan ini.
Proses Perjalanan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma kritis,
lebih dari sekedar interpretatif dan lebih mendalam. Karena peneliti
melihat banyak hal yang perlu mendapat perhatian yang lebih, tidak
hanya sekedar melihat, mendengar namun benar-benar mengerti dan
memahami. Untuk melihat kompleksitas dari dinamika dan pergerakan
lesbian, maka peneliti menggunakan beberapa teori pendukung, yaitu
teori feminis eksistensialis, radikal dan liberal juga teori lesbian. Hal ini
untuk melihat fenomena dari berbagai sudut pandang, berbagai aspek
yang ada dimasyarakat, seperti budaya, sosial, agama, gender dan
pembangunan. Dalam konsep penerimaan dan eksistensi diri, eksistensi
lesbian di komunitas, dan eksistensi lesbian didalam masyarakat, aspek
budaya, sosial, agama, gender dan pembangunan sangat berpengaruh
erat bagi perkembangan eksistensi diri dan pemenuhan HAM.
Sehingga yang dipakai sebagai frame dalam tulisan ini menjadi penting
untuk melihat perkembangan yang terjadi pada realitas lesbian
ditengah masyarakat sampai tahun 2014 ini.
Pendekatan yang digunakan dalam peneitian ini adalah
pendekatan kualitatif yang menggunakan data kualitatif sehingga dapat
mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai
sebab-akibat dari lingkup orang setempat bahkan dapat membimbing
untuk menemukan kerangka teori yang baru yang tidak terduga
sebelumnya. Penelitian ini juga menggunakan jenis penelitian yang
analitik, untuk membantu menarik benang merah dari kompleksnya
fakta yang didapatkan dilapangan, yaitu dari hasil yang diperoleh
tentang penerimaan diri, eksitensi diri, eksistensi lesbian di komunitas
dan masyrakat serta pemenuhan HAM.
Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan pendekatan
baru dalam penelitian sosial. Para tokoh feminis menawarkan sebuah
18
metode alternatif yakni metode penelitian feminis yang akan sangat
bermanfaat untuk meningkatkan kualitas penelitian yang tidak bias
gender. Subjektivitas menempatkan subjek/objek menjadi setara dan
tidak ada kesenjangan antara peneliti dan yang diteliti. Judith Lorber
menekankan bahwa metodologi feminis lalu menjadi satu-satunya cara
untuk mengetuk masuk dan memahami kenyataan yang dialami
perempuan (termasuk lesbian), dan dengan ini kaum feminis
memberikan kontribusi unik pada ilmu sosial tentang pola keterkaitan
antar sebab dan akibat dari pernyataan-pernyataan yang belum terlihat
oleh peneliti yang tidak feminis. Dengan metode feminis ini, penulis
mencoba masuk dan memahami benar kenyataan yang dialami
lesbian. Metodologi feminis menggunakan pendekatan empathy,
participatory dan in-depth interview. Setiap apa yang disampaikan
oleh narasumber lesbian yang dianggap sebagai minoritas seksual dan
sampai saat ini masih mengalami diskriminasi adalah sangat penting
dan bernilai. Dari sisi-sisi itulah akan menunjukkan bagaimana cara
mereka membangun eksistensi. Diskriminasi dan penolakan yang
lesbian alami menjadi hal penting untuk membangun spirit bagi
lesbian untuk tetap memperjuangkan eksistensinya. Hanya yang
mengalamilah yang bisa mengkomunikasikan dan menyampaikan
bagaimana kehidupan dan perjuangan lesbian. Metode feminis
menempatkan lesbian sebagai informan yang harus merasa sangat
nyaman dan percaya bahwa mereka adalah individu-individu yang
sangat relevan dalam penelitian ini. Rasa percaya harus dibangun,
peneliti berusaha menjadi teman dan bukan orang asing bagi informan.
Dengan kemampuan menempatkan diri, akan menghasilkan analisa
yang mendalam dalam penelitian ini (Ardiana : 5).
Penggambaran realitas sosial yang terjadi menggunakan studi
kasus untuk mengungkapkan metode penelitian yang sesuai dengan
fenomena yang akan diteliti. Studi kasus merupakan penelitian yang
memberikan sebuah tahapan yang pada akhirnya akan memberikan
gambaran secara lebih dalam mengenai latar belakang, sifat dan
karakter dan kompleksitas kasus yang dialami internal individu,
individu dalam komunitas, komunitas itu sendiri dan juga individu di
19
dalam masyarakat. Kasus yang dialami oleh individu merupakan
gambaran awal yang menyangkut proses-proses penerimaan dan
eksistensi diri yaitu eksistensi diri di dalam komunitas dan eksistensi di
masyarakat. Studi kasus dalam penelitian ini juga lebih melihat pada
bagaimana lesbian beraktifitas dengan individu lesbian ataupun
heteroseksual di komunitas maupun di luar komunitas. Penelitian yang
merujuk pada kasus-kasus di kelompok I (heteroseskual), dan
kelompok II (Lesbian), bukan didasarkan atas perbandingan, karena
hal-hal yang berkaitan dengan orientasi seksual ini tidak bisa
dibandingkan, melainkan untuk melihat dinamika yang terjadi pada
individu dengan orang lain, lingkungan sekitarnya dan komunitasnya.
Bahwa eksistensi diri itu masing-masing dan pencapaian eksistensi diri
itu merupakan nilai dan makna yang dimiliki oleh masing-masing
individu. Proses tersebut akan dapat ditunjukan dengan studi kasus
yang digambarkan dalam penelitian ini.
Penelitian ini dilakukan di daerah Ungaran Kabupaten Semarang
disebuah Lembaga nirlaba bernama Effort, dimana peneliti memulai
berkegiatan bersama dengan komunitas pada tahun 2010. Peneliti aktif
dalam diskusi dan kegiatan di Effort sehingga lokasi yang dipilih
memudahkan peneliti untuk memperoleh data yang mendalam seiring
dengan berjalannya proses bersama komunitas. Proses perjalanan yang
panjang bersama seluruh komunitas mengahadirkan sebuah fakta yang
sangat menarik untuk dipahami dan digambarkan lebih jauh dan utuh.
Dengan dialog, berbagi banyak hal serta pengalaman tentang
kehidupan yang dijalani oleh masing-masing individu di komunitas
dan kegiatan bersama menjadi sebuah hal yang dapat menguatkan dan
saling membangun. Setiap individu di dalam komunitas memiliki
proses masing-masing dalam menjalani kehidupan serta pilihannya,
dari hal tersebut penulis menemukan bahwa proses-proses tersebut
dapat menjadi sumber belajar. Penulis mencoba mengenal, memahami
dan membangun kedekatan bukan sebagai seorang peneliti, tetapi
sebagai bagian dari proses bersama. Dua narasumber dari penulisan ini
hadir karena penulis merasa kedua narasumber Kris dan Ro memiliki
proses yang berbeda dalam proses pencapaian eksistensi dirinya. Proses
20
bersama komunitas menghadirkan banyak stimulus, namun penulis
menyadari bahwa proses yang dilalui oleh masing-masing sangat
beragam. Hal lainnya yang menjadi dasar mengapa penelitian
dilakukan di Ungaran, kabupaten Semarang adalah menimbang begitu
banyak dinamika yang dialami oleh lesbian di kota industri tersebut.
Selain itu, peneliti menemukan sebuah hal yang berbeda dari
awal mengikuti diskusi dan kegiatan bersama di Effort dengan
kelompok atau komunitas lainnya, yaitu bahwa diskusi, kegiatan dan
FGD dilakukan oleh kelompok lesbian bersama dengan kelompok
heteroseksual. Hal ini cukup berbeda dengan beberapa komunitas lain
yang sebelumnya telah peneliti temui. Tidak ada eksklusifitas lesbian,
ketika berbaur dengan heteroseksual dalam proses bersama. Hal ini
juga dapat dijadikan sebuah perolehan yang penting untuk mengetahui
pendapat kelompok heteroseksual dalam kegiatannya bersama
kelompok lesbian.
Untuk memahami sebuah fenomena sosial yang ada, tidak hanya
dengan wawancara dan sekedar mempertanyakan bagian-bagian yang
terpenting untuk mendapatkan hasil yang dibutuhkan didalam
penelitian. Namun wawancara harus lebih mendalam untuk
menemukan realitas atau fakta yang dihadapi oleh lesbian untuk
menjawab kompleksnya semua fenomena yang dialami oleh lesbian.
Selain dengan wawancara untuk mendapatkan data dan
mendeskripsikan fenomena, penulis juga menggunakan pengumpulan
data atau dokumentasi tentang lesbian di masyarakat. Pengamatan dan
observasi partisipatoris juga dilakukan untuk memperoleh informasi
dan data yang terkait dengan penelitian. Ungaran sebagai wilayah
penelitian didasarkan pada perjumapaan dan obrolan serta penulisan
dan kegiatan penulis seiring dengan proses bersama yang dilakukan
oleh individu yang perduli dengan lesbian dan komunitas pendamping.
Tehnik analisis data yang digunakan adalah tehnik analisis
deskriptif. Analisis data dilakukan dengan reduksi data, sajian data dan
penarikan kesimpulan. Reduksi data (Miles dan Huberman, 1999:20),
yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian.
21
Sajian data adalah proses analisis dalam bentuk matriks hasil penelitian
sebagai bahan untuk menarik kesimpulan (Indaryani : 2013).
Dialektika dalam relasi antara lesbian dengan diri, dengan pasangan,
lingkungan sekitar, komunitas yang heteroseksual akan sangat
membantu untuk melihat perkembangan eksistensi dirinya.
Kesimpulannya adalah, tahapan yang dilakukan oleh peneliti
untuk mencari model, pola, hubungan dan kesamaan data yang
diperoleh dari hasil lapangan yaitu data dari berbagai narasumber dan
komunitas. Misalnya apa saja yang menjadi pembahasan dan proses
bersama dengan komunitas dalam hal eksistensi diri dan kepercayan
antar individu dalam komunitas. Kemudian apa yang mereka harapkan
sebagai bagi individu, bagian dari komunitas dan membangun
hubungan dengan masyarakat.
Pendekatan yang dilakukan dengan narasumber dan komunitas
serta interaksi dengan para aktor yang terlibat dalam kehidupan
individu lesbian dengan sistem yang dijalani pada setiap prosesnya
menjadi nilai tambah untuk pengumpulan data penelitian. Kasus yang
ada di dalam individu, komunitas dan masyarakat juga dapat menjadi
nilai tambah dalam melihat bagaimana interaksi dan problematika
yang terbangun dalam proses pencapaian eksistensi.
Realitas yang ada dilapangan coba digambarkan dengan baik
untuk mendeskripsikan dinamika diri dan komunitas yang sangat
komplek dalam mencapai eksistensinya. Aspek budaya, sosial, gender
dan diskriminasi yang terbentuk karena nilai dari masyarakat juga akan
digambarkan untuk menunjukkan bagaimana eksistensi diri dipahami
dan dimengerti oleh diri sendiri. Dan selanjutnya, untuk mencapai
eksistensi diri dikomunitas bukanlah sesuatu yang sederhana, begitu
kompleks dan membutuhkan perjuangan panjang dari masing-masing
individu lesbian.
Bagaimana perkembangan masyarakat memandang keberadaan
lesbian akan sangat membantu lesbian dalam proses pencapaian
eksistensinya. Namun begitu, bagaimana seorang lesbian membawakan
dirinya di dalam masyarakat menjadi ujung tombak bagaimana lesbian
22
di terima. Proses pemahaman di masyarakat juga bisa beragam dalam
melihat keberadaan homoseksual (lesbian). Oleh karena itulah,
pembawaan (fleksibilitas) diri seorang lesbian akan sangat berpengaruh
bagi masyarakat. Strategi dalam berinteraksi, dan cara berkomunikasi
dalam membawakan diri di masyarakat adalah hal terpenting untuk
menghindari konflik yang tidak diharapkan. Pernyataan, pengakuan
sebagai seorang lesbian di tengah-tengah komunitas dan masyarakat
tidak selalu menjadi penting. Yang terpenting adalah bagaimana
seorang lesbian menjadi seorang individu yang survive di dalam proses
kehidupan pribadi, komunitas dan bermasyarakat. Fleksibilitas seorang
lesbian dalam membawakan dirinya justru membuka peluang untuk
bernegosiasi dengan sistem dan cara pandang masyarakat atas
keberadaan mereka.
Informasi atas perkembangan yang terjadi di masyarakat
terhadap penilaian lesbian serta perkembangan pergerakan perjuangan
lesbian dan juga karya ilmiah atau karya lain harus terus
didengungkan. Hal ini penulis anggap sebagai sebuah metode untuk
melihat perkembangan dinamika dan pergerakan lesbian untuk proses
penerimaan diri, pemenuhan HAM dan eksistensi diri lesbian.
Sesuai dengan perjalanan waktu, berbagai permasalahan dalam
hidup begitu dinamis. Baik masalah-masalah pribadi, masalah dalam
komunitas yang juga seringkali melibatkan faktor eksternal, menjadi
perhatian bersama bagi perjuangan penegakan Hak Asasi Manusia
secara kolektif maupun individu yang peduli pada minoritas seksual
yang dalam hal ini adalah lesbian.
Akan tetapi tidak semua lesbian memiliki masalah yang sama
dalam memaknai perihal eksistensi. Lesbian yang dikenal lewat kiprah
dan karyanya maupun yang bergerak di ranah gerakan sosial dan
punya kemampuan ekonomi lebih mapan, umumnya lebih mudah
diterima. Tentu proses ini tidak mudah bagi mereka. Berbagai hal
terberatpun harus dilalui sampai akhirnya berada pada titik
penerimaan atas dirinya. Dengan demikian, orientasi seksual bukanlah
menjadi sesuatu yang perlu dipersoalkan lagi bagi mereka.
23
Berdasarkan situasi dan fakta yang ada pada lesbian inilah yang
akan dirumuskan menjadi tiga tujuan yang hendak digambarkan dan
dijelaskan pada tulisan ini. Pertama, penelitian ini ingin menjelaskan
dinamika dan proses dari seorang lesbian membangun eksistensi diri
secara pribadi, bagaimana konsep dan penerimaan diri terbangun.
Kedua, menjelaskan bagaimana seorang lesbian membangun eksistensi
diri di dalam komunitas, dinamika didalam komunitas dan bagaimana
komunitas membantu proses membangun eksistensi diri. Dan yang
ketiga adalah menjelaskan bagaimana seorang lesbian membangun
eksistensi diri di dalam kelompok sosial masyarakat dengan
menyertakan nilai-nilai spiritual dari saat ke saat. Untuk mencapai
ketiga tujuan diatas, perlu dianalisis dengan teori-teori yang sesuai.
Karena itu penelitian ini menggunakan dasar eksistensialisme, teori
feminis eksistensialisme, teori feminis radikal, dan konsep diri atau
penerimaan diri.
24
Download