Hiperkoagulasi pada Pasien Kanker Paru Bukan Sel Kecil

advertisement
Artikel Penelitian
Hiperkoagulasi pada Pasien
Kanker Paru Bukan Sel Kecil
Eppy,* Harsal A,** Amin Z,*** Nainggolan G,**** Atmakusuma D**
*Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM,
**Divisi Hematologi – Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM,
***Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM,
****Divisi Ginjal – Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
Abstrak: Kejadian tromboemboli pada keganasan dilaporkan paling banyak pada kanker
paru. Risiko meningkat pada adenokarsinoma, pemberian terapi antikanker, dan bila terdapat
metastasis. Hiperkoagulasi mendasari terjadinya kelainan tersebut. Berbagai kondisi penyerta
juga akan memperkuat hiperkoagulasi pada pasien kanker. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui proporsi hiperkoagulasi serta sebaran dan hubungan antara faktor stadium, jenis
sito/histopatologi, pemberian terapi antikanker, dan kondisi penyerta dengan kejadian
hiperkoagulasi pada pasien kanker paru bukan sel kecil. Sebanyak 42 subyek dari Rumah
Sakit Kanker Dharmais dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo antara Juli dan Oktober 2005
diikutsertakan dalam penelitian ini. Hiperkoagulasi dinilai melalui pemeriksaan PT, aktivitas
protrombin, INR, aPTT, dan D-dimer. Variabel yang diteliti meliputi stadium, jenis sito/
histopatologi, pemberian terapi antikanker, kondisi penyerta, serta kejadian hiperkoagulasi.
Stadium kanker terbanyak adalah stadium IV (76,2%), sedangkan jenis sito/histopatologi
tersering berupa adenokarsinoma (71,4%). Sekitar 54,8% subyek sudah mendapat terapi
antikanker. Kondisi penyerta didapatkan pada 54,8% subyek. Hiperkoagulasi didapatkan
pada 64,3% subyek dengan kelainan hemostasis berupa: pemendekan PT 7,4%; peningkatan
aktivitas protrombin 33,3%; penurunan INR 51,9%; pemendekan aPTT 22,2%; dan peningkatan
D-dimer 55,6%. Kejadian hiperkoagulasi cenderung lebih tinggi pada kelompok pasien dengan
stadium IV (OR 1,27), kelompok yang mendapat terapi antikanker (OR 6,53), dan kelompok
dengan kondisi penyerta (OR 1,66). Tidak didapatkan kecenderungan peningkatan kejadian
hiperkoagulasi pada kelompok dengan jenis sito/histopatologi adenokarsinoma (OR 0,50).
Kata kunci: kanker paru bukan sel kecil, hiperkoagulasi
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007
41
Hiperkoagulasi pada Pasien Kanker Paru
Hypercoagulation among Non-small Cell Lung Carcinoma Patients
Eppy,* Harsal A,** Amin Z,*** Nainggolan G,**** Atmakusuma D**
*Internal Medicine Department,
**Hematology–Medical Oncology Division, Internal Medicine Department,
*** Pulmonology Divison, Internal Medicine Department,
****Renal-Hypertension Division, Internal Medicine Department,
Faculty of Medicine University of Indonesia, Cipto Mangunkusumo National Hospital
Abstract: The prevalence of thromboembolism in cancer was reported to be the highest in lung
cancer. The risk of thromboembolism is higher in adenocarcinoma, in patients receiving anticancer treatment, or in the presence of metastasis. Hypercoagulation is considered the fundamental
mechanism of the disorder. Some comorbidities could worsen the hypercoagula-tion. This study
aimed to find out the hypercoagulation proportion and the distribution and association between
stage, cyto/histopathology, anticancer treatment, and comorbidity and hypercoagulation rate in
non–small cell lung cancer patients. Fourty two subjects registered at Dharmais and Cipto
Mangunkusumo Hospital between July and October 2005 were enrolled in this study.
Hypercoagulation was determined by PT, prothrombine activity, INR, aPTT, and D-dimer tests.
The variables that were assessed included stage, cyto/histopathology, anticancer treatment,
comorbidity, and hypercoagulation rate. Most subjects were in stage IV (76.2%); most cyto/
histopathologic findings were adenocarcinoma (71.4%); 54.8% subjects had been treated with
anticancer treatment; and 54.8 % subjects had comorbidity. Hypercoagulation was found in
64,3% subjects with hemostasis abnormalities including: shortened PT (7.4%), increased
prothrombine activity (33.3%), decreased INR (51.9%), shortened aPTT (22.2%), and increased D-dimer (55.6%). The hypercoagulation rate was higher in group with stage IV (OR
1.27), group receiving anticancer treatment (OR 6.53), and group with comorbidity (OR 1.66).
There was no tendency of hypercoagulation in group with adenocarcinoma.
Key words: non-small cell lung cancer, hypercoagulation
Pendahuluan
Tromboemboli merupakan komplikasi yang biasa terjadi
pada pasien kanker.1-5 Risiko tromboemboli pada pasien
kanker adalah 2-4 kali populasi umum. Sekitar 8% pasien
kanker meninggal akibat emboli paru. Studi otopsi
memperlihatkan bahwa 20% pasien kanker mengalami
trombosis.6
Risiko tromboemboli lebih besar pada jenis kanker yang
menghasilkan musin, seperti kanker pankreas, paru, lambung,
dan usus. 4,7 Akan tetapi, secara keseluruhan kejadian
tromboemboli paling banyak dijumpai pada kanker paru
karena prevalensinya yang relatif lebih tinggi dibandingkan
kanker lainnya.1 Rickles et al8 pada tahun 1983 melaporkan
25,6% kasus tromboemboli pada keganasan terjadi pada
kanker paru.
Kanker paru merupakan tumor ganas yang berasal dari
epitel bronku. Berdasarkan histopatologi, kanker paru dibagi menjadi karsinoma sel kecil dan bukan sel kecil. Sekitar
42
80% kasus merupakan karsinoma bukan sel kecil.9 Saat ini,
kanker paru merupakan keganasan yang paling sering
menimbulkan kematian di seluruh dunia.9 Data di Rumah Sakit
Kanker Dharmais tahun 2004 menunjukkan bahwa kanker paru
merupakan keganasan terbanyak ke-4 dengan jumlah
mortalitas terbanyak ke-2.10
Blom et al11 pada tahun 2004 melaporkan bahwa insidens
tromboemboli pada pasien kanker paru sebesar 4,4% (20 kali
dari populasi umum), dengan angka yang lebih tinggi pada
kelompok adenokarsinoma dibandingkan karsinoma sel
skuamosa. Pada stadium IV, insidens meningkat menjadi
22%. Risiko tromboemboli makin tinggi dengan pemberian
kemoterapi, radioterapi, pembedahan, maupun bila terdapat
metastasis. 6,11,12 Sebanyak 52% pasien yang mendapat
kemoterapi atau radioterapi mengalami tromboemboli dalam
waktu 4 minggu sesudah terapi.11 Studi retrospektif oleh
Atmakusuma et al13 pada tahun 1997 mendapatkan bahwa
23% pasien kanker paru mengalami deep vein thrombosis
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007
Hiperkoagulasi pada Pasien Kanker Paru
(DVT), dengan angka kejadian lebih tinggi pada kelompok
adenokarsinoma dibandingkan non-adenokarsinoma, yaitu
sebesar 35% dan 14%.
Tromboemboli pada kanker terjadi terutama akibat
adanya hiperkoagulasi, yakni kecenderungan darah untuk
lebih mudah membeku.14 Gabazza et al15 pada tahun 1993
mendapatkan peningkatan bermakna kadar berbagai petanda
hiperkoagulasi [D-dimer, thrombin-anti-thrombin (TAT)
complex, dan plasmin-antiplasmin (PAP) complex], baik
pada kanker paru stadium dini (I-IIIA) maupun stadium lanjut
(IIIB-IV). Seitz et al16 pada tahun 1993 menemukan perbedaan
bermakna antara kadar rerata TAT dan D-dimer pada kanker
paru stadium dini dan stadium lanjut. Unsal et al18 pada tahun
2004 juga mendapatkan kadar rerata D-dimer kanker paru
stadium IV yang lebih tinggi secara bermakna dari pasien
stadium I-III. Sementara itu, Ferrigno et al13 dan Atmakusuma
et al,18 menemukan pemendekan prothrombin time (PT),
pemendekan activated partial thromboplastin time (aPTT),
dan peningkatan D-dimer pada pasien kanker paru.
Berbagai kondisi penyerta pada pasien kanker, seperti
usia tua, imobilisasi, disfungsi hepatik, sepsis, stasis vena,
dan trauma juga dapat memperkuat hiperkoagulasi pada
pasien kanker dan mempermudah terjadinya tromboemboli.12
Sampai saat ini, belum ada studi potong lintang untuk
mengetahui proporsi hiperkoagulasi pada pasien kanker paru,
khususnya kelompok bukan sel kecil di Indonesia. Selain
itu, belum ada data mengenai sebaran dan hubungan antara
faktor stadium, jenis sito/histopatologi, pemberian terapi
antikanker, dan kondisi penyerta dengan kejadian hiperkoagulasi pada kelompok tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi
hiperkoagulasi serta sebaran dan hubungan antara faktor
stadium, jenis sito/histopatologi, pemberian terapi antikanker,
dan kondisi penyerta dengan kejadian hiperkoagulasi pada
pasien kanker paru bukan sel kecil. Diketahuinya data
tersebut akan meningkatkan kewaspadaan kita terhadap
timbulnya hiperkoagulasi pada kelompok pasien tersebut,
sehingga dapat dilakukan pencegahan dini terjadinya
tromboemboli.
Metode
Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang
deskriptif. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Kanker
Dharmais (RSKD) dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM), antara bulan Juli dan Oktober 2005. Populasi target
adalah seluruh pasien kanker paru bukan sel kecil di Indonesia, sedangkan populasi terjangkau adalah semua pasien
kanker paru bukan sel kecil di RSKD dan RSCM dalam periode
penelitian. Sampel pada penelitian ini adalah subyek yang
memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien dengan diagnosis sito/
histopatologi kanker paru bukan sel kecil dan sudah ditentukan stadiumnya, serta bersedia ikut serta dalam penelitian.
Kriteria eksklusi adalah pasien yang dalam terapi antikoagulan (heparin/antikoagulan).
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007
Variabel bebas pada penelitian ini adalah stadium, jenis
sito/histopatologi, pemberian terapi antikanker, dan kondisi
penyerta. Variabel terikat penelitian adalah kejadian hiperkoagulasi.
Dilakukan pemeriksaan hemostasis meliputi PT, aktivitas
protrombin, international normalized ratio (INR), aPTT, fibrinogen, dan D-dimer. Data stadium, jenis sito/histopatologi,
pemberian terapi antikanker, dan kondisi penyerta didapatkan
dari rekam medik pasien.
Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan hemostasis dilakukan dari vena di fosa kubiti, menggunakan
semprit steril 5 ml. Sebanyak 4,5 ml darah dimasukkan ke
dalam tabung vaccuntainer berisi 0,5 ml larutan natrium sitrat
3,5%, lalu dibawa ke laboratorium Pusat Trombosis Hemostasis FKUI/RSCM. Kemudian dilakukan sentrifugasi dengan
kecepatan 3000 rpm selama 15 menit, hingga didapatkan serum sitrat. Serum sitrat digunakan untuk pemeriksaan hemostasis memakai alat Behring Coagulation Timer® dari DadeBehring dengan metode kromogenik.
Subyek dikatakan mengalami hiperkoagulasi, bila
didapatkan salah satu atau lebih kelainan hemostasis berikut
ini: pemendekan PT (< 0,8 kali kontrol), peningkatan aktivitas
protrombin (> 130%), penurunan INR (< 0,9), pemendekan
aPTT (< 0,8 kali kontrol), atau peningkatan D-dimer (> 500
ng/dL).
Data penelitian dicatat pada formulir penelitian yang
telah diuji coba. Setelah melalui proses editing dan koding,
data penelitian direkam dalam cakram magnetik menggunakan
program SPSS versi 13.0 untuk dilakukan proses pembersihan
data secara elektronik. Data yang telah teruji keabsahannya
kemudian diolah dan disusun dalam bentuk tabel distribusi
dan tabel silang. Selanjutnya, dilakukan perhitungan odds
ratio (OR) untuk masing-masing faktor risiko hiperkoagulasi.
Penelitian ini telah dinyatakan lolos kaji etik oleh Panitia
Tetap Penilai Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sebelum dilakukan pemeriksaan darah untuk
penelitian ini, setiap subyek penelitian diberi penjelasan
terlebih dahulu dengan baik dan terperinci mengenai tujuan
pemeriksaan. Persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian
ini dinyatakan dengan menandatangani lembar persetujuan.
Hasil
Karakteristik Subyek
Sebagian besar subyek berjenis kelamin pria, terbanyak
berusia 40-59 tahun (Tabel 1). Stadium terbanyak adalah stadium IV dan terdapat satu atau lebih lokasi metastasis.
Adenokarsinoma merupakan jenis sito/histopatologi yang
paling sering ditemui. Sebagian besar subyek sudah mendapat
terapi antikanker; terbanyak dengan kemoterapi. Satu pasien
mendapat cyclophosphamid-hydroxydaunorubicynoncovin-prednison (CHOP) sebelum dirujuk dari daerah
karena pada awalnya didiagnosis sebagai timoma. Sebagian
besar subyek juga mempunyai kondisi penyerta.
43
Hiperkoagulasi pada Pasien Kanker Paru
Hemostasis
Hiperkoagulasi didapatkan pada 27 (64,3%) subyek,
dengan 1 atau lebih kelainan hemostasis (Tabel 2). Kelainan
hemostasis terbanyak berupa peningkatan D-dimer. Di antara
27 subyek tersebut, terdapat 2 orang dengan DVT klinis,
masing-masing pada lengan dan tungkai.
Pada penelitian ini didapatkan kecenderungan peningkatan kejadian hiperkoagulasi pada kelompok dengan stadium IV, kelompok yang mendapat terapi antikanker, dan
kelompok dengan kondisi penyerta, sedangkan pada
kelompok dengan adenokarsinoma tidak didapatkan tendensi
Tabel 1. Sebaran Subyek berdasarkan Karakteristik Demografis dan Medis
Karakteristik
Jenis Kelamin (n=42)
Pria
Wanita
Kelompok usia (n=42)
< 40 tahun
40–59 tahune
> 60 tahun
Stadium (n=42)
AIII
BIII
IV
Lokasi metastasis (n=46)
Tulang
Hati
Otak
Jaringan lunak
Paru kontralateral
Lobus lain Unilateral
Perikardium
Diafragma
KGB inguinal
Pelvis minor
Sito/histopatologi (n=42)
Adenokarsinoma
Karsinoma sel skuamosa
Karsinoma sel besar
Terapi antikanker (n=42)
Kemoterapi
Radioterapi
Kemoradiasi
Belum ada
Jenis sitostatika (n=15)
Cisplatin-etoposid
Cisplatin-docetaxel
Cisplatin-paclitaxel
Carboplatin-etoposide
Docetaxel weekly
Gefitinib
CHOP
Kondisi penyerta (n=23)
Usia tua
Imobilisasi
Disfungsi hati
Sepsis
Stasis vena
Trauma
44
N
%
31
11
73,8
26,2
3
26
13
7,1
61,9
31,0
1
9
32
2,4
21,4
76,2
18
6
7
2
7
1
2
1
1
1
39,1
13,0
16,7
4,8
15,2
2,2
4,3
2,2
2,2
2,2
30
11
1
71,4
26,2
2,4
13
8
2
19
31,0
19,0
4,8
45,2
2
3
1
1
1
6
1
13,3
20,0
6,7
6,7
6,7
40,0
6,7
13
10
4
3
3
1
56,5
43,5
17,4
13,0
13,0
4,3
hiperkoagulasi (Tabel 3). Bila jenis terapi dibandingkan, maka
terlihat bahwa kejadian hiperkoagulasi cenderung lebih tinggi
pada pemberian kemoterapi.
Tabel 2. Sebaran Kelainan Hemostasis pada Subyek dengan
Hiperkoagulasi (n=27)
Kelainan hemostasis
Jenis kelainan
Pemendekan PT
Peningkatan aktivitas protrombin
Penurunan INR
Pemendekan aPTT
Peningkatan D-dimer
Jumlah kelainan
Satu macam
Dua macam
Tiga macam
Empat macam
N
%
2
9
14
6
15
7,4
33,3
51,9
22,2
55,6
16
6
4
1
59,3
22,2
12,5
3,1
Tabel 3. Sebaran Hubungan antara Berbagai Faktor Risiko
dan Kejadian Hiperkoagulasi (n=42)
Faktor risiko
Hiperkoa- Tidak hipergulasi
koagulasi
N (%)
N (%)
Stadium
IV
21 (65,6)
III
6 (60,0)
Jenis sito/histopatologi
Adenokarsinoma
18 (60,0)
Non-adenokarsinoma 9 (75,0)
Pemberian terapi antikanker
Sudah
19 (82,6)
Belum
8 (42,1)
Kemoterapi vs radioterapi
Kemoterapi
12 (92,3)
Radioterapi
6 (75,0)
Kondisi penyerta
Ada
16 (69,6)
Tidak ada
11 (57,9)
OR
(95% CI)
11 (34,4)
4 (40,0)
1,27
(0,29-5,48)
12 (40,0)
3 (25,0)
0,50
(0,11-2,23)
4 (7,70)
11 (57,9)
6,53
(1,59-26,79)
1 (7,70)
2 (25,0)
4,00
(0,30-53,47)
7 (30,4)
8 (42,1)
1,66
(0,47-5,93)
Pembahasan
Pada penelitian ini, stadium terbanyak adalah stadium
IV dan tidak didapatkan pasien dengan stadium I-II. Sebagian
besar subyek penelitian sudah mendapat terapi antikanker.
Modalitas terapi terbanyak berupa kemoterapi dan tidak ada
subyek yang mendapat pembedahan. Hal yang sama
didapatkan oleh Paramita. 20 Penelitian di luar negeri
mendapatkan angka pembedahan yang cukup tinggi karena
cukup banyak dijumpai pasien dengan stadium I-II.11,18
Berbagai penelitian di luar negeri memang mendapatkan
cukup banyak pasien stadium I–II. 11,15,17,18 Hal itu kemungkinan besar karena kegiatan deteksi dini di luar negeri
lebih baik, sehingga pasien yang masih dalam stadium awal
bisa terjaring.
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007
Hiperkoagulasi pada Pasien Kanker Paru
Jenis sito/histopatologi terbanyak pada penelitian ini
adalah adenokarsinoma, diikuti karsinoma sel skuamosa,
sesuai dengan temuan 1) Paramita,20 Jusuf et al,19 dan Gabazza
et al.15 Sementara itu, 2) Ferrigno et al,18 Unsal et al,17 dan
Blom et al11 mendapatkan karsinoma sel skuamosa sebagai
patologi terbanyak, diikuti oleh adenokarsinoma.
Pada penelitian ini didapatkan proporsi hiperkoagulasi
sebesar 64,3%. Manifestasi kelainan hemostasis terbanyak
berupa peningkatan D-dimer, seperti yang didapatkan oleh
peneliti lain.13,18
Kecenderungan peningkatan kejadian hiperkoagulasi
didapatkan pada kelompok pasien dengan stadium IV. Hal
ini sesuai dengan penelitian Gabazza et al,15 Seitz et al,16 dan
Unsal et al.17 Blom et al11 melaporkan bahwa risiko tromboemboli vena pada pasien stadium II-III hampir sama
dengan stadium I (OR 1,2). Akan tetapi, risiko pada stadium
IV 6 kali dibandingkan dengan stadium I (OR 6,5). Insidens
tromboemboli vena pada stadium IV juga amat tinggi, yakni
mencapai 22%.
Pada penelitian ini tidak didapatkan kecenderungan
peningkatan kejadian hiperkoagulasi pada pasien adenokarsinoma. Hal ini sesuai dengan penelitian Seitz et al16 dan
Unsal et al.17 Sebaliknya, Gabazza et al15 mendapatkan bahwa
kadar rerata D-dimer pada kelompok adenokarsinoma lebih
besar daripada kelompok karsinoma sel skuamosa. Blom et
al11 melaporkan bahwa risiko tromboemboli vena 2,1 kali lebih
tinggi pada adenokarsinoma dibandingkan karsinoma sel
skuamosa.
Pada penelitian ini terdapat kecenderungan peningkatan
kejadian hiperkoagulasi dengan pemberian terapi antikanker.
Hal ini sesuai dengan kepustakaan, bahwa berbagai terapi
kanker, seperti kemoterapi, radioterapi ataupun pembedahan
akan meningkatkan risiko hiperkoagulasi melalui berbagai
efek trombogeniknya.21 Obat kemoterapi dapat menimbulkan
hiperkoagulasi melalui pelepasan prokoagulan dan sitokin
dari sel tumor yang rusak serta efek toksiknya terhadap
endotel pembuluh darah dan hati.6 Radioterapi mempunyai
efek trombogenik melalui pelepasan prokoagulan dan sitokin
dari sel tumor yang rusak.6 Sesuai dengan penelitian Blom
et al bahwa risiko trombosis vena lebih tinggi pada pasien
yang mendapatkan kemoterapi dibandingkan yang mendapat
radioterapi. Pada penelitian ini subyek yang dikemoterapi
lebih sering mengalami hiperkoagulasi dibandingkan yang
diradioterapi.
Tendensi hiperkoagulasi juga ditemukan pada kelompok
dengan kondisi penyerta. Berbagai kondisi penyerta tersebut
dapat menimbulkan aktivasi koagulasi melalui berbagai
mekanisme. Pada usia tua cenderung terjadi peningkatan
berbagai faktor koagulasi.22 Pada sepsis terjadi pelepasan
faktor jaringan dan penghambatan antikoagulan alamiah,
sedangkan pada disfungsi hati terjadi kegagalan untuk
membersihkan faktor pembekuan yang teraktivasi serta
berkurangnya antikoagulan alamiah.23 Pasien dengan stasis
vena mengalami hambatan dalam dilusi dan klirens faktor
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007
pembekuan yang teraktivasi, serta kerusakan hipoksik sel
endotel yang dapat mengaktifkan faktor pembekuan. Pada
imobilisasi juga terjadi stasis vena.12 Perlukaan pembuluh
darah akibat trauma, juga dapat menimbulkan aktivasi
koagulasi.8
Adanya hiperkoagulasi pada penelitian ini diperkuat
oleh temuan 2 kasus DVT, masing-masing pada lengan dan
tungkai, yang telah dikonfirmasi dengan ultrasonografi Doppler. Kami tidak menentukan kejadian hiperkoagulasi dengan
petanda yang lebih spesifik, misalnya F 1+2 dan TAT, karena
adanya keterbatasan dana.
Penelitian ini tidak ditujukan untuk mencari proporsi DVT,
sehingga kami hanya mengidentifikasi adanya DVT secara
klinis. Pasien pertama mengalami adenokarsinoma stadium
IV, belum mendapat terapi antikanker, dan terdapat kondisi
penyerta berupa usia tua. Pasien kedua mengalami adenokarsinoma stadium IV, dalam radioterapi, dan terdapat kondisi
penyerta, berupa sepsis dan imobilisasi. Adanya kondisi
penyerta akan memperberat hiperkoagulasi pada pasien
kanker, sehingga dapat timbul tromboemboli.21
Atmakusuma et al13 mendapatkan 7 kasus DVT di antara
pasien kanker paru dan metastasis paru; 4 pada lengan dan 3
pada tungkai. Blom et al11 melaporkan bahwa waktu median
dari saat didiagnosis kanker paru sampai timbulnya
tromboemboli vana adalah 5,3 bulan, sedangkan insidens
tromboemboli vana dalam 6 bulan pertama sesudah diagnosis kanker paru adalah 11,3%.
Blom et al11 melaporkan bahwa harapan hidup pasien
kanker paru bukan sel kecil yang mengalami tromboemboli
vena lebih kecil dibandingkan yang tidak mengalami
tromboemboli vena. Sesudah kejadian tromboemboli vena,
maka risiko kematian meningkat 3,1 kali. Risiko kematian pada
pasien tanpa metastasis adalah 3,2 kali, sedangkan bila ada
metastasis meningkat menjadi 4,5 kali.
Terjadinya hiperkoagulasi pada pasien kanker paru perlu
dicegah, karena dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas
akibat terjadinya tromboemboli. Berbagai kepustakaan menyebutkan bahwa pencegahan primer terhadap tromboemboli
perlu dipertimbangkan pada pasien kanker selama dan segera
sesudah kemoterapi atau radioterapi, bila terdapat metastasis, bila dilakukan pemasangan central venous catheter (CVC)
jangka panjang, selama imobilisasi lama akibat berbagai
sebab, trauma, serta sesudah pembedahan.12,24
Blom et al11 merekomendasikan pemberian antikoagulan
profilaksis hanya pada pasien karsinoma paru bukan sel kecil
yang sedang menjalani kemoterapi atau radioterapi dan bila
ada metastasis, karena insidens perdarahan mayor akibat
antikoagulan relatif tinggi.11 Akan tetapi, masih perlu dilakukan berbagai uji klinik untuk menilai manfaat dari
pemberian antikoagulan profilaksis tersebut. Pilihan utama
untuk pencegahan primer adalah low molecular weight heparin (LMWH), namun bisa juga dipakai heparin standar dosis
kecil subkutan atau warfarin.23 Penelitian oleh Weitz et al25
mendapatkan bahwa pemberian Dalteparin sodium 5000 Unit
45
Hiperkoagulasi pada Pasien Kanker Paru
efektif untuk mencegah aktivasi hemostasis pada pasien
kanker paru yang mendapat kemoterapi.
Kesimpulan dan Saran
Proporsi hiperkoagulasi di kalangan pasien kanker paru
bukan sel kecil adalah 64,3%. Kejadian hiperkoagulasi
cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan stadium IV,
kelompok dengan terapi antikanker, serta kelompok dengan
kondisi penyerta. Kami menyarankan agar pada pasien kanker
paru bukan sel kecil stadium IV, yang mendapat terapi antikanker, atau dengan kondisi penyerta dilakukan pemeriksaan
hemostasis untuk mendeteksi adanya hiperkoagulasi.
Daftar Pustaka
1.
Kakkar AK, Levine M, Pinedo HM, Wolff R, Wong J. Venous
thrombosis in cancer patients: insight from the FRONTLINE
survey. The Oncologist 2003;8:381-8.
2. Levine MN, Lee AY, Kakkar AK. From Trousseau to targeted
therapy: new insights and innovations in thrombosis and cancer.
J Thromb Haemost 2003;1:1456–63.
3. Levi M. Cancer and thrombosis. Clin Advances Hematol Oncol
2003;1:668-71.
4. Lee AYY, Levine MN. Venous thromboembolism and cancer:
risks and outcomes. Circulation 2003;107:17-21.
5. Bick RL. Cancer-associated thrombosis. N Engl J Med 2003;
349:109-11.
6. Di Micco P, D’Uva M. To understand the two way clinical
association between cancer and thrombophilia. Exp Oncol 2003;
25:243-4.
7. Berkarda B. Thrombosis and cancer. Turk J Haematol 2002; 19:
283-6.
8. Rickles FR, Edwards RL. Activation of blood coagulation in cancer: Trousseau’s syndrome revisited. Blood 1983;62:14-31.
9. Sethi T. Science, medicine, and the future: lung cancer. BMJ
1997;314:652-8.
10. Data registrasi kanker Rumah sakit Dharmais tahun 2004.
11. Blom JW, Osanto S, Rosendaal. The risk of a venous thrombotic
event in lung cancer patient: higher risk for adenocarcinoma
than squamous cell carcinoma. J Thromb Haemost 2004;2:1-5.
12. Prandoni P, Piccioli A. Venous thromboembolism and cancer: a
two-way clinical association. Frontiers in Bioscience 1997;2:1221.
46
13. Atmakusuma D, Reksodiputro AH, Muthallib A, Sutandyo N,
Suratman E, et al. Gangguan hemostasis pada pasien kanker pra
pengobatan. Proceeding dalam Konas PAPDI X Padang 1996.
14. Schafer AI, Levine MN, Konkle BA, Kearon C. Thrombotic
disorders: diagnosis and treatment. Haematology 2003;520-39.
15. Gabazza EC, Taguchi O, Yamakami T, Machishi M, Ibata H,
Suzuki S. Evaluating pre-thrombotic state in lung cancer using
molecular markers. Chest 1993;03:196-200.
16. Seitz R, Rappe N, Kraus M, Immel A, Wolf M, Maasberg M, et al.
Activation of coagulation and fibrinolysis in patients with lung
cancer: corelation to tumour stage and prognosis. Blood Coagul
Fibrinolysis 1993;4:249-54.
17. Unsal E, Atalay F, Atikcan S, Yilmaz A. Prognostic significance
of hemostatic parameters in patients with lung cancer. Respir
Med 2004;98:93-8.
18. Ferrigno D, Buccheri G. Prognostic significance of blood coagulation tests in lung cancer. Eur Respir J 2001;17:667-73.
19. Jusuf A, Suratman E, Jayusman AM, Arumdati S, Arif N, Nasar
IM. Diagnosis kanker paru di Rumah Sakit Pusat Kanker Nasional
Dharmais, Jakarta. Maj Kedokt Indon 2001;51:322-7.
20. Paramita D. Gambaran umum penderita kanker paru di RS
Kanker Dharmais Januari 2001 sampai Desember 2001. Divisi
Hematologi-Onkologik Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI /RSCM, Jakarta. Juli 2002.
21. Bauer KA. Pathogenesis of the hypercoagulable state associated
with malignancy. Di unduh tanggal 14 Juli 2004. Available from
URL: http://www.uptodate.com
22. Setiabudy RD, Komala I. Haemostasis and blood viscosity in the
elderly: several parameters related to the risk of thrombosis.
Maj Kedokt Indon 2000; 50:174-82.
23. Smorenburg SM, Hettiarachchi RJ, Vink R, Buller HR. The effects of unfracio-nated heparin on survival in patients with
malignancy - a systematic review. Thrombosis Haemostasis 1999;
82:1600-4.
24. Prandoni P, Piccioli A, Girolami A. Cancer and venous thromboembolism: an overview. Haematologica 1999;84:437-45.
25. Weitz IC, Israel VK. Waisman JR, Presant CA, Rochanda L,
Liebman HA. Che-motherapy induced activation of hemostasis: effect of low moleculer weight heparin (Dalteparin sodium)
on plasma markers of hemostatic activation. Thrombosis
Haemostasis 2002;88:213-20.
EV
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 1, Januari 2007
Download