186 BAB VI FAKTOR FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGELOLAAN PEMBELAJARAN KIMIA PADA SMAN 1 SINGARAJA DAN SMAN 1 GIANYAR Faktor-faktor yang memengaruhi pengelolaan pembelajaran kimia dalam hal ini dikaitkan dengan empat aspek yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan berdasarkan uraian yang dipaparkan dalam bab sebelumnya adalah (1) guru, (2) kekuasaan, (3) dana, dan (4) pola berpikir. Faktor guru berkaitan dengan aspek perencanaan, pelaksanaan dan penilaian. Sementara itu, faktor kekuasaan, dana, dan pola berpikir berkaitan dengan aspek perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan. 6.1 Faktor Guru dalam Pengelolaan Pembelajaran Peran guru dalam perencanaan pembelajaran sangat strategis dan menentukan proses dan hasil perencanaan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kualitas aspek perencanaan pembelajaran kimia sesuai dengan standar. Perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru sebagai awal dari sebuah proses pengelolaan sudah memenuhi standar, baik dari segi proses pelaksanaan menyusun rencana pembelajaran maupun produk yang dihasilkan. Penyebab terlaksananya perencanaan yang baik adalah adanya tuntutan kelengkapan administrasi guru dalam rangka menunjang diberlakukan Organization). manajemen ISO (International Standardization 187 Hal yang disebutkan di atas didukung oleh pernyataan guru sebagai berikut. ”Pengelolaan mengarah ke ISO, berusaha mengikuti prosedur-prosedur ISO walaupun belum 100% ”(wawancara GG2, tanggal 18 Oktober 2011). Informasi yang dikemukakan di atas diperkuat lagi oleh guru lain yang menuturkan sebagai berikut. ”Pengadministrasian yang khas dari manajemen ISO, kalau dulu kita kan jarang nulis, kalau sekarang apa yang kita kerjakan ditulis dilaporkan setiap kegiatan itu (wawancara GS4, tanggal 5 Januari 2012). Pernyataan di atas menandakan tuntutan pihak sekolah agar guru membuat administrasi yang lengkap dan teratur, mulai dari silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, program semesteran, dan program tahunan. Tagihan ini dalam rangka melengkapi administrasi penilaian manajemen ISO. Dengan kondisi seperti itu guru senantiasa harus berbuat maksimal agar dapat memenuhi harapan sekolah dalam rangka tertib administrasi. Di dalam membuat perencanaan pembelajaran, guru mendapatkan sedikit hambatan dalam menentukan ranah kognitif seperti dalam teori taksonomi Bloom. Pernyataan beberapa guru yang mengemukakan ada kesulitan di dalam penentuan ranah kognitif sesuai dengan teori taksonomi Bloom. Hal itu sangat wajar karena kurikulum yang diterapkan dewasa ini adalah kurikulum berbasis kompetensi. Dalam kurikulum berbasis kompetensi, keberhasilan siswa didasarkan atas kompetensi siswa secara utuh dalam memahami sesuatu sehingga di dalam silabusnya ada istilah standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) dan indikator. Sementara ini, pihak pengambil kebijakan (Diknas) masih 188 mengharapkan guru untuk memilah dan mengklasifikasi kemampuan kognisi siswa menjadi tingkat ingatan, pemahaman, analisis, yang diistilahkan dengan C1, C2, C3, dan seterusnya. Model perencanaan yang dikembangkan ini berpikir dualisme atau ambivalen, yaitu menerapkan kurikulum berbasis kompetensi dan berpijak seperti yang dilakukan pada saat penerapan kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum berbasis konten. Hal seperti ini menimbulkan kesulitan guru di lapangan, sementara itu guru tidak memiliki keyakinan dan keberanian untuk berdiskusi lebih mendalam. Guru mengalami kesulitan merencanakan pengembangan dan penilaian karakter siswa dalam perencanaan pembelajaran. Pengembangan dan penilaian karakter siswa diharapkan oleh pihak Diknas dimunculkan dalam perencanaan pembelajaran. Namun, penjelasan dan diskusi yang dilakukan antara guru dan pihak pengawas dan antar guru sendiri masih ada perbedaan persepsi. Pihak Diknas sementara ini belum memberikan konsep yang tegas bagaimana hal tersebut semestinya dilakukan. Dengan situasi seperti itu guru mengembangkan sendiri dalam memasukkan pengembangan dan penilaian karakter siswa di dalam perencanaan pembelajaran. Peran guru dalam pelaksanaan pembelajaran sangat penting dan menentukan, karena guru sebagai pemegang kendali untuk mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas. Kompetensi dan profesionalisme guru sangat menentukan kualitas pembelajaran. Pembelajaran pada dasarnya adalah proses manajemen yang dilakukan di kelas maupun di laboratorium, dalam upaya mencapai tujuan tertentu. Tujuan yang 189 ingin dicapai adalah pencapaian kompetensi siswa yang telah dituangkan di dalam perencanaan pembelajaran. Kegiatan manajemen kelas adalah proses pemberdayaan sumber daya, baik material, fasilitas, maupun orang di dalam kelas oleh guru sehingga memberikan dukungan terhadap kegiatan pembelajaran. Aktivitas dalam kelas, baik guru maupun siswa, dipengaruhi oleh kondisi dan situasi fisik lingkungan kelas. Oleh karena itu, lingkungan fisik kelas berupa sarana dan prasarana kelas harus dapat memenuhi dan mendukung interaksi yang terjadi sehingga harmonisasi kehidupan kelas dapat berlangsung dengan baik. Kriteria minimal situasi dalam kelas meliputi aman, estetika, sehat, cukup, bermutu, dan nyaman (Rukmana, 2010). Aspek pelaksanaan proses pembelajaran merupakan muara dari implementasi kurikulum, yaitu bagaimana agar isi atau pesan kurikulum dapat dicerna oleh peserta didik secara tepat dan optimal. Proses pelaksanaan pembelajaran semestinya sesuai dengan perangkat pembelajaran. Hasil penelitian yang dibedah melalui wawancara, dan observasi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran tidak dilakukan dengan optimal, tidak sesuai dengan standar. Silabus mata pelajaran kimia mencanangkan kegiatan-kegiatan praktikum untuk menanamkan konsep tertentu. Karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk tidak bisa diabaikan karena merupakan hal yang sangat prinsip. Pelaksanaan praktikum kimia di tempat dilakukan penelitian ternyata sangat minim, jauh dari tuntutan kurikulum, guru mengingkari perencanaan pembelajarannya. 190 Dari observasi yang dilakukan dalam pembelajaran praktikum yang dilakukan guru, tampak jelas bahwa keterampilan guru mengelola praktikum dan keterampilan siswa melakukan praktikum sangat rendah. Kondisi ini menandakan intensitas praktikum kimia yang dilakukan sangat minim. Observasi pembelajaran kimia di kelas kalau dilihat dari alur pembelajaran, sudah mengikuti standar, ada pembukaan, kegiatan inti, dan penutup. Di dalam kegiatan inti pembelajaran sesungguhnya, ada banyak peluang untuk melakukan kreasi yang menjadikan pembelajaran tersebut inovatif dan bermakna. Ada beberapa pengembangan informasi dan pendalaman materi yang semestinya dapat dilakukan oleh guru agar pembelajaran menjadi bermakna, tetapi hal itu tidak dilakukan, tidak muncul. Upaya pengaktifkan siswa dilakukan dengan latihan soal secara berkelompok. Berdasarkan gambaran tentang pelaksanaan pembelajaran kimia yang disebutkan di atas, ternyata profesionalisme guru masih rendah. Secara teoretis implementasi kurikulum merupakan operasionalisasi konsep kurikulum yang masih bersifat potensial (tertulis) menjadi aktual dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Implementasi kurikulum merupakan hasil terjemahan guru terhadap kurikulum yang dijabarkan ke dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran sebagai rencana tertulis. Mulyasa (2008) mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang berpengaruh dalam implementasi kurikulum, yaitu (1) karakteristik kurikulum, (2) strategi implementasi, dan (3) karakteristik pengguna kurikulum. Karakteristik kurikulum, yaitu mencakup ruang lingkup ide baru suatu kurikulum dan kejelasannya bagi pengguna di lapangan. Strategi implemetasi, yaitu strategi yang 191 digunakan dalam implementasi, seperti diskusi profesi, seminar, penataran, lokakarya, penyediaan buku kurikulum, dan kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong penggunaan kurikulum di lapangan. Karakteristik pengguna kurikulum meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap guru terhadap kurikulum, serta kemampuannya untuk merealisasikan kurikulum dalam pembelajaran. Jadi, dari uraian di atas diketahui faktor guru sangat besar peranannya dalam implementasi kurikulum. Peran guru dalam melaksanakan penilaian pembelajaran sangat menentukan arah perkembangan kecerdasan siswa. Penilaian pembelajaran kimia dilakukan dalam tiga domain yaitu penilaian kognitif, afektif, dan psikomotorik. Penilaian yang dilakukan adalah penilaian dalam proses pembelajaran dan penilaian hasil belajar. Kualitas aspek penilaian dalam pengelolaan pembelajaran kimia ditemukan bahwa penilaian dalam domain kognitif kualitasnya baik, sedangkan penilaian dalam domain afektif dan psikomotorik kualitasnya rendah. Penilaian domain/ ranah kognitif yang dilakukan cukup bervariasi, dilihat dari bentuk dan jenis penilaian. Guru melakukan penilaian dalam bentuk tes dan nontes. Penilaian dalam bentuk tes dilakukan dalam pembelajaran keseharian sebagai tes harian, ada tes tengah semester, dan tes akhir semester. Penilaian nontes diberikan dalam bentuk tugas-tugas dan pekerjaan rumah sebagai penilaian portofolio, yang dikerjakan dalam buku khusus kumpulan tugas siswa. Hasil penilaian digunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan remedi, perbaikan pembelajaran, dan laporan hasil studi peserta didik. Jika dilihat dari sisi bentuk penilaian, program penilaian, jenis alat evaluasi, dan tujuan penilaian dalam 192 penilaian ranah kognitif, sudah dilakukan dengan baik sesuai dengan standar. Hal ini didukung oleh orientasi guru mengutamakan ranah kognitif, dan adanya tuntutan agar sukses menghadapi ujian nasional dan lomba akademik. Guru sangat bersemangat untuk menyukseskan siswa di dalam menghadapi ujian nasional dan lomba-lomba akademik. Guru lebih mengutamakan kompetensi siswa dalam ranah kognitif, sehingga orientasi utama yang dilakukan adalah memberikan latihan soal, meningkatkan kualitas soal. Guru menyediakan waktu tambahan pada siswa untuk kegiatan program pengayaan. Program pengayaan menekankan pada pemahaman konsep-konsep dan menjawab soal-soal yang terkait dengan ujian nasional. Hal ini terjadi karena guru merasa malu kalau anak didiknya tidak berhasil menghadapi ujian nasional pada mata pelajaran yang diasuhnya. Pada dewasa ini, yang dianggap sebagai indikator keberhasilan pembelajaran di sekolah menurut pemerintah, sekolah, guru, dan masyarakat adalah apabila siswa berhasil dalam menghadapi ujian nasional. Persepsi yang menganggap keberhasilan pembelajaran jika sukses menghadapi ujian nasional saja, sebagai persepsi yang keliru karena masih ada beberapa indikator lain yang harus diperhatikan. Penilaian domain/ranah afektif dan psikomotorik semestinya dilakukan secara seimbang dengan penilaian ranah kognitif. Berdasarkan penjelasan yang dituangkan di dalam bab V yang terkait dengan penilaian, sesungguhnya dalam perangkat pembelajaran, penilaian ranah afektif dan psikomotorik sudah direncanakan, tetapi belum terealisasi dengan baik ketika proses pembelajaran dilakukan. Penilaian hasil belajar pada tingkat kelas adalah penilaian yang dilakukan oleh guru secara langsung. 193 Penilaian hasil belajar pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan untuk mengukur perubahan perilaku yang telah terjadi pada diri peserta didik. Hasil belajar merupakan prestasi belajar peserta didik secara keseluruhan yang menjadi indikator kompetensi dasar dan derajat perubahan tingkah laku yang bersangkutan. Dengan demikian, di samping penilaian ranah kognitif, ranah afektif dan psikomotorik harus diamati kemajuannya. Ranah afektif dan psikomotorik tidak mungkin dapat diketahui kemajuannya hanya dengan tes tertulis, tetapi harus dengan tes perbuatan, bahkan dalam bentuk nontes. Misalnya, dengan mengadakan observasi, wawancara, lembar pendapat, atau yang lain sesuai dengan kepentingan. Dalam upaya merealisasikan kegiatan penilaian ranah afektif dan psikomotorik tersebut, setiap guru dituntut untuk memahami berbagai hal yang berkaitan dengan penilaian agar dalam pelaksanaannya tidak menekankan pada aspek tertentu terutama aspek pengetahuan (intelektual). Mulyasa (2008) menyatakan bahwa kebanyakan guru menilai peserta didik dalam perubahan perilaku pengetahuan, karena tidak memiliki pemahaman serta kurangnya pengalaman dan kemampuan dalam melakukan penilaian dalam aspek sikap dan keterampilan. Ini terjadi karena kebanyakan petunjuk atau pedoman penilaian hasil belajar hanya merujuk pada penilaian perilaku kognitif. Oleh karena itu, penilaian hasil belajar oleh guru tidak cukup dilakukan dalam bentuk penilaian harian, penilaian tengah semester, penilaian akhir semester, dan penilaian kenaikan kelas. Dalam hal ini penilaian harus dilakukan juga terhadap proses belajar selama pembelajaran berlangsung. 194 Aspek-aspek penilaian afektif dan psikomotorik dapat dirumuskan lebih operasional apabila melakukan pembelajaran yang banyak melibatkan gerakan dan sikap. Pembelajaran yang relatif banyak melibatkan aspek gerakan dan sikap dalam pelajaran kimia adalah kegiatan praktikum. Dalam hal kegiatan praktikum memerlukan keterampilan- keterampilan tertentu yang bersifat fisik dan psikis. Jika kegiatan praktikum dalam pembelajaran kimia sangat minim dilakukan, maka akan sangat sulit melihat perkembangan perilaku siswa dalam ranah afektif dan psikomotorik. Kebanyakan guru dalam mengisi nilai afektif yang harus ada dalam rapor siswa dilakukan tanpa data yang akurat. Minimnya intensitas penilaian afektif dan psikomotorik yang dilakukan guru, tidak lepas dari orientasi pikiran dan perhatian dari kepala sekolah dan pengawas yang minim terhadap ranah afektif dan psikomotorik. Sampai pada dewasa ini pemerintah, kepala sekolah, guru, dan masyarakat masih menggunakan indikator kecerdasan intelektual sebagai keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, baik di dalam proses pembelajaran maupun penilaian lebih diutamakan aspek kognitif dibandingkan dengan aspek afektif dan psikomotorik. Dalam hal ini telah terjadi pengebirian pengembangan sikap dan keterampilan. Sehubungan dengan itu, kecenderungan yang terjadi adalah ketidakseimbangan kecerdasan peserta didik. Sementara itu, pendidikan diharapkan menjadikan peserta didik manusia yang utuh, dalam arti memiliki kecerdasan yang seimbang antara intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. 195 6.2 Faktor Kekuasaan dalam Pengelolaan Pembelajaran Kekuasaan yang berhubungan dengan pengelolaan pembelajaran yang dimaksud dalam hal ini yaitu pimpinan di sekolah, pengawas, dan pemerintah yaitu pihak Dinas pendidikan. Dalam praktik pengelolaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru senantiasa mengikuti kebijakan pimpinan di sekolah. Kebijakan yang diambil oleh pimpinan sekolah bersumber dari tuntutan struktur di atasnya yaitu Diknas yang terkadang disampaikan melalui pengawas sekolah. Tuntutan yang disampaikan oleh pimpinan di Diknas di daerah bersumber dari harapan pimpinan di daerah yakni Bupati atau Gubernur. Peran kekuasaan dalam perencanaan pembelajaran terletak pada tagihan yang di harapkan oleh sekolah agar memenuhi administrasi sekolah untuk kepentingan penerapan manajemen ISO. Pihak pengawas juga menuntut perangkat pembelajaran mulai dari silabus, RPP, dan hal lain yang dianggap perlu yang berkaitan dengan pembelajaran. Sebagai guru wajib melakukan hal tersebut karena bagian dari tugas pokok dan fungsi sebagai pendidik. SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar dalam status RSBI wajib memiliki sertifikat manajemen ISO sebagai salah satu syarat sekolah ketika akan dinilai. Dalam upaya memeroleh sertifikat tersebut, sekolah harus memohon untuk mendapatkan pembinaan oleh sebuah lembaga konsultan tertentu. Di sekolah dibentuk wakil pimpinan sekolah yang khusus menangani kegiatan menuju manajemen ISO. Pihak konsultan memberikan sosialisasi dan pelatihan yang terkait dengan audit internal, dan diberikan format-format yang harus diisi. Lembaga ini berpusat di Jerman, 196 memiliki kantor di Jakarta, dan ada kantor cabangnya di Denpasar. Lembaga ini telah diakui sebagai lembaga internasional yang sudah berkualitas. Biaya yang dikeluarkan untuk mendanai pihak konsultan sekitar Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah). Dalam waktu sekitar tiga bulan dilakukan pembinaan, kemudian setelah dianggap layak, selanjutnya didatangkan tim audit dari pusat yang merupakan rekan kerja dari lembaga konsultan tersebut. Setelah dilakukan audit dan dilakukan pemantauan selanjutnya diberikan sertifikat manajemen ISO. Fotocopy sertifikat manajemen ISO dapat dilihat pada Lampiran 7. Pelaksanaan audit dilakukan setiap tahun. Jadi, untuk sampai pada perolehan sertifikat manajemen ISO mulai dari sosialisasi, pelatihan, pembinaan, dan audit, ternyata biaya yang diperlukan sampai ratusan juta rupiah. Penerapan model manajemen ISO menekankan pada tertib administrasi dengan seluruh kegiatan menggunakan SOP (standar operasional prosedur). Adanya lembaga internasional yang berperan dalam menentukan mutu pendidikan di SMA yang berstatus RSBI, berarti ada peran pihak asing yang bermain dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dengan biaya yang relatif besar diperuntukkan untuk mendapatkan sertifikat tersebut dapat dikatakan sebagai masuknya pola kerja kapitalis yang cenderung komudikatif. Persyaratan sekolah dengan status RSBI harus memiliki sertifikat manajemen ISO tidak lepas dari aturan yang dibuat oleh struktur yang di atas, berarti ada peran kekuasaan yang berpengaruh. Peran kekuasaan dalam pelaksanaan pembelajaran terlihat dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Guru, dalam melaksanakan proses 197 pembelajaran mengikuti arahan dan kebijakan yang ditetapkan oleh sekolah. Sekolah yang berstatus RSBI difavoritkan oleh masyarakat di sekitarnya, dan diunggulkan. Predikat sekolah unggulan di masyarakat karena keberhasilannya di dalam ajang lomba-lomba akademik, seperti olimpiade sains, lomba matematika dan yang sejenisnya. Citra favorit dan unggul yang sudah terbentuk di masyarakat, cenderung dipertahankan oleh sekolah. Usaha yang dilakukan dalam rangka mempertahankan citra tersebut, maka guru ditugaskan menyiapkan siswa untuk mengikuti lombalomba akademik. Siswa yang disiapkan untuk kegiatan lomba, memeroleh bimbingan khusus dalam upaya meningkatkan penguasaan materi ajar, dengan cara latihan membahas soal-soal. Guru, dalam proses pembelajaran melalui kebijakan sekolah menerapkan jam tambahan pada sore hari setelah jam reguler berlangsung. Pembelajaran tambahan ini sebagai proses pemantapan pada mata pelajaran yang diujikan dalam UN, termasuk pelajaran kimia. Hal tersebut di atas sesuai pernyataan guru dari hasil wawancara sebagai berikut. “Sebelum kita ditunjuk RSBI untuk lomba-lomba tetap ada pembinaannya, termasuk juga untuk UN juga sudah persiapan. Setelah ditunjuk menjadi RSBI program sebelumnya tetap dilakukan dan malah ditingkatkan, ditambah kegiatan sore pengayaan khusus mata pelajaran MIPA, plus bahasa Inggris karena itu pagunya dari pusat” (wawancara GG3, tanggal 18 Oktober 2011). Pandangan Kartono (2009: 85) menyatakan dalam sudut pandang birokrasi pemerintah, guru dilihat sebagai bagian mesin birokrasi pendidikan di tingkat sekolah. Guru dipandang sebagai kepanjangan tangan birokrasi, karena itu sikap dan tingkah lakunya mesti sepenuhnya tunduk pada ketentuan-ketentuan birokrasi. Guru 198 diperlakukan ibarat bawahan atau staf, sementara pertimbangan kelayakan profesi kurang diperhatikan. Guru, dalam melaksanakan pembelajaran di kelas juga melakukan permainan kekuasaan, karena ketika di dalam kelas guru memiliki kekuasaan tersendiri dalam menngelola pembelajaran. Permainan kekuasaan yang dilakukan guru dapat ditemukan dari hasil observasi, ternyata guru tidak selalu melaksanakan pembelajaran seperti dengan rencana pelaksanaan pembelajaran. Guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas berdasarkan keyakinannya yang dianggap cocok dan benar. Peran kekuasaan dalam penilaian pembelajaran tidak jauh berbeda dengan peranannya dalam proses pembelajaran. Kebijakan sekolah menuntut agar siswa berhasil dalam menempuh UN dan lomba akademik seperti yang sudah disebutkan di atas. Kebijakan ini dibebankan kepada guru untuk menyukseskannya. Guru sebagai ujung tombak yang berinteraksi langsung dengan siswa, melaksanakan pembelajaran dan penilaian dengan strategi tertentu. Dengan adanya tuntutan tersebut maka guru lebih mengutamakan pada penilaian ranah kognitif. Guru sangat bersemangat untuk menyukseskan siswa di dalam menghadapi ujian nasional dan lomba-lomba akademik. Guru lebih mengutamakan kompetensi siswa dalam ranah kognitif, sehingga orientasi utama yang dilakukan adalah memberikan latihan soal, meningkatkan kualitas soal. Guru menyediakan waktu tambahan pada siswa untuk kegiatan program pengayaan. Program pengayaan menekankan pada pemahaman konsep-konsep dan menjawab soal-soal yang terkait dengan ujian nasional. Hal ini terjadi karena guru merasa malu kalau anak didiknya 199 tidak berhasil menghadapi ujian nasional pada mata pelajaran yang diasuhnya. Pada dewasa ini, yang dianggap sebagai indikator keberhasilan pembelajaran di sekolah menurut pemerintah, sekolah, guru, dan masyarakat adalah apabila siswa berhasil dalam menghadapi ujian nasional. Uraian yang disebutkan di atas ditunjang oleh pernyatan guru sebagai berikut. “Kalau sebelumnya yang UN pengayaannya kelas XII saja, kalau sekarang semua siswa. Nilai UN di kimia bisa kita pertahankan, kita di tim kimia selalu saling mengisi gitu, misalnya si A ngajar di kelas ini nanti pengayaannya di cros, diajar guru yang lain, sehingga bisa saling melengkapi untuk mengarah ke terbaik (wawancara GG2, tanggal 18 Oktober 2011). Sementara ini ada persepsi yang perlu diluruskan tentang UN yang berkembang dalam dunia pendidikan. Persepsi yang menganggap keberhasilan pembelajaran jika sukses menghadapi ujian nasional saja, sebagai persepsi yang keliru karena masih ada beberapa indikator lain yang harus diperhatikan. Strategi penilaian hasil belajar dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) penilaian hasil belajar tingkat nasional dilakukan oleh pemerintah, (2) penilaian hasil belajar tingkat sekolah yang dilakukan oleh sekolah, (3) penilaian hasil belajar tingkat kelas yang dilakukan oleh guru. Mulyasa (2008: 203--204) menyatakan bahwa UN merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan untuk menentukan standar mutu pendidikan (pemetaan). Kebijakan ini berkaitan dengan berbagai aspek yang dinamis, seperti budaya, kondisi sosial ekonomi, bahkan politik dan keamanan sehingga selalu rentan terhadap perbedaan dan kontroversi sejalan dengan perkembangan masyarakat. 200 Kebijakan tersebut merupakan keputusan politik atau politik pendidikan, yang menyangkut kepentingan berbagai pihak, bahkan dalam batas-batas tertentu dapat dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan. Peran kekuasaan dalam pengawasan pembelajaran sangat menentukan kinerja guru dalam pengelolaan pembelajaran. Tugas pengawasan pembelajaran dilakukan oleh pimpinan sekolah dan pengawas dari Diknas setempat. Kinerja guru kimia di SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar senantiasa mengikuti arahan dan bimbingan yang dilakukan oleh pimpinan sekolah, dan pengawas dari Diknas. Harapan dan tuntutan yang disampaikan oleh pihak pengawas senantiasa dipatuhi oleh guru. Dengan demikian kinerja dan cara berpikir guru yang berkaitan dengan pembelajaran banyak dipengaruhi oleh peran pimpinan sekolah dan pengawas dari Diknas. Dalam proses pengawasan selain dilakukan pemantauan, pengawasan, juga harus melakukan supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut. Bentuk-bentuk kegiatan dalam proses pengawasan itu memberikan penilaian terhadap proses pembelajaran, kemudian memberikan masukan tentang hal-hal apa yang perlu diperbaiki dan yang lainnya. Dengan demikian jelas tampak peran pengawas memiliki kekuasaan untuk mengarahkan guru untuk melakukan sesuatu yang diharapkan. Hal tersebut seperti pernyataan yang dikemukakan guru berikut. “Kalau misalnya dalam lomba-lomba mata pelajaran tertentu kita tidak masuk final atau kalah dengan sekolah lain, guru-guru dikumpulkan ditanya kenapa dalam lomba kita tidak masuk final atau kalah dengan sekolah lain, dilakukan pengkajian bersama, dikasi pengarahan oleh kepala sekolah” (wawancara GS3, tanggal 4 Oktober 2011). 201 Kekuasaan pada umumnya bersifat jaringan terstruktur yang dipratikkan dalam sebuah ranah atau ruang tertentu. Menurut Foucault (dalam Barker, 2008) menyatakan adanya hubungan timbal balik yang saling membentuk antara kekuasaan dan pengetahuan, sehingga pengetahuan menjadi tak dapat dipisahkan dari rezim kekuasaan. Tilaar (2003: 87—88) menyatakan bahwa ada kaitan yang erat antara pendidikan dan kekuasaan. Justru karena adanya kekuasaan itulah terjadi proses pendidikan. Kekuasaan dalam pendidikan diharapkan sebagai kekuasaan yang transformatif bukan transmitif. Dalam kekuasaan yang transformatif proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek lain. Kekuasaan transformatif bahkan membangkitkan refleksi, dan refleksi tersebut menimbulkan aksi. Orientasi yang terjadi dalam aksi tersebut merupakan orientasi advokatif. Jadi, dalam pengelolaan pembelajaran tidak bisa lepas dari peran kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud dalam hal ini bertujuan untuk menjadikan guru lebih kompeten dan profesional. 6.3 Faktor Dana dalam Pengelolaan Pembelajaran Dana dalam hal ini termasuk dalam modal ekonomi yang meliputi uang, fasilitas, sarana, dan prasarana untuk mendukung pengelolaan pembelajaran. Dana atau modal ekonomi memiliki fungsi utama dalam semua aspek pengelolaan pembelajaran baik perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan. Seluruh 202 aspek tersebut melibatkan guru, kepala sekolah, pengawas, dan siswa yang memerlukan dana ataupun fasilitas untuk mendukung kegiatannya. Peran dana dalam proses perencanaan pembelajaran yang dilakukan pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar yaitu dalam kegiatan workshop, diskusi dan pencetakan produk berupa perangkat pembelajaran. Guru menyatakan bahwa ada alokasi dana yang diperuntukkan untuk mengadakan workshop di tingkat sekolah, yang dilanjutkan dengan diskusi di tingkat musyawarah guru mata pelajaran, dan adanya insentif yang diberikan kepada guru sebagai imbalan hasil kerja guru berupa perangkat pembelajaran. Pernyataan lain yang terkait dengan faktor insentif dan dana yang mendukung aspek perencanaan pembelajaran seperti petikan wawancara berikut. ”Ada reward, setiap kerja itu dihargai. Kehadiran dengan pingerprint dihargai juga, ada kehadiran harian ada khusus, makin banyak kerja makin banyak reward- nya. Berpengaruh ini” (wawancara GG1, tanggal 18 Oktober 2011). Pernyataan tersebut didukung lagi oleh ungkapan guru lain sebagai berikut. ”...itu dah salah satunya memberikan akses yang maksimum, kalau dulu terbatas. Sekarang disediakan ruang kerja, tersedia komputer, kertas, bukubuku, mengarah ke manajemen mutu sehingga guru itu tinggal mengerjakan apa yang mau dikerjakan. Bahkan, dihargai, dibayar setelah membuat perangkat pembelajaran” (wawancara GG3, tanggal 18 Oktober 2011). Berdasarkan pernyataan tersebut di atas bahwa adanya dana (uang) sangat besar memberikan motivasi kerja kepada guru. Ketika guru hadir, kemudian bekerja dan menghasilkan produk berupa perangkat pembelajaran itu dihargai dengan memberikan insentif yang pantas, maka guru lebih semangat dalam melaksanakan tugasnya. 203 Peran dana dalam pelaksanaan pembelajaran, tidak jauh berbeda dengan kegiatan lain. Proses pembelajaran tidak bisa lepas dari fasilitas pendukung terlaksananya pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan fasilitas pendukung yang ada di sekolah untuk terlaksananya pembelajaran kimia sangat memadai. Ruang kelas untuk kegiatan belajar mengajar sangat memadai, ruang laboratorium kimia sangat memadai, alat dan bahan kimia cukup memadai, ruang perpustakaan beserta buku pembelajaran berupa alat-alat pelajaran sangat memadai. Media pendukung teknologi informasi sangat memadai dan dapat berfungsi dengan baik. Jadi, sarana dan prasarana pendukung pembelajaran yang ada di sekolah sangat mendukung terlaksananya proses pembelajaran. Faktor pendukung lain yang memungkinkan proses pembelajaran berjalan dengan baik adalah siswa. Siswa yang masuk di sekolah SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar dalam status RSBI adalah siswa yang memiliki prestasi belajar yang baik. Rasa ingin tahu siswa cukup tinggi, motivasi belajar dan aktivitas belajarnya sangat baik. Siswa memiliki sikap kritis dan berani dalam berargumentasi dan menyampaikan pendapatnya. Dari sisi latar belakang ekonomi siswa cukup baik, yaitu sebagaian besar berada pada level ekonomi keluarga menengah ke atas. Fasilitas belajar yang dimiliki siswa secara individu cukup memadai, lengkap, dan sangat menunjang kegiatan belajarnya. Uraian di atas ditunjang oleh pernyataan guru seperti berikut. ”Kemudian dari sisi sarana, saya rasa sudah mencukupi, sarana multi media misalnya, kita sebenarnya setiap kelas sudah tersedia alat lcd, kemudian untuk di lab, memang belum lengkap, tapi untuk pembelajaran di SMA sudah cukup memadai. Tenaga perpustakaan sudah ada diambil dari pegawai honor, dan 204 sekarang sudah ada tenaga pengelola perpustakaan dari guru bahasa indonesia” (wawancara GS 2, tanggal 4 Oktober 2011). Informasi mengenai dana diperkuat lagi oleh tuturan guru lain sebagai berikut. ”Termasuk melanjutkan program program yang dulu didanai dari pusat, yang terakhir dapat 100 juta, dulu malah sempat dapat 500 juta dari pusat, itu dipakai untuk pengadaan fasilitas” (wawancara GG2, tanggal 18 Oktober 2011). Peran dana dalam kegiatan penilaian terletak pada kegiatan ujian dilakukan. Sekolah dalam proses penilaian melaksanakan ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Proses pelaksanaan ujian memerlukan persiapan pembentukan panitia ujian, pembuatan naskah soal, penggandaan soal, yang dilakukan dalam beberapa kali pertemuan untuk bekerja. Dalam pertemuan tersebut diperlukan konsumsi, insentif bagi yang bertugas. Dalam pelaksanaan ujian juga diperlukan konsumsi bagi guru dan pegawai yang bertugas, insentif untuk yang bertugas mengawas, dan pembelian fasilitas lain untuk mendukung terselenggaranya proses ujian. Peran dana dalam pengawasan pembelajaran terletak pada fasilitas yang digunakan oleh kepala sekolah untuk melakukan pengawasan dari ruang kerjanya. Untuk kegiatan pengawasan dari ruang kerja, maka diperlukan kamera cctv di dalam kelas dan layar monitor di ruang kerja kepala sekolah. Pengadaan fasilitas seperti itu jelas memerlukan dana. Berkaitan dengan pengawasan dari luar yaitu dari Diknas sekolah secara langsung tidak mengeluarkan dana paling sekedar konsumsi sebagai cara penerimaaan tamu yang normatif. Uang transport pengawas biasanya diberikan oleh pihak Diknas. 205 Jadi, dalam kegiatan pengelolaan pembelajaran secara keseluruhan, keberadaan dana (uang) sangat menentukan kualitas proses. Wacana yang sering muncul di masyarakat mengatakan, bahwa uang memang bukan segalanya, tetapi semua kegiatan memerlukan uang. Dengan demikian faktor dana sangat berpengaruh pada kualitas terselenggaranya program dalam satuan pendidikan. 6.4 Faktor Pola Berpikir dalam Pengelolaan Pembelajaran Pengelolaan pembelajaran berhubungan langsung dengan guru, sementara itu kinerja guru banyak dipengaruhi oleh pimpinan sekolah, pengawas dan penguasa dalam hal ini pihak Diknas. Sasaran pelaksanaan pembelajaran dan penilaian yang dilakukan oleh guru adalah keberhasilan siswa dalam menghadapi ujian nasional dan lomba-lomba akademik. Orientasi berpikir seperti tersebut karena adanya tuntutan dari pihak pimpinan sekolah. Pimpinan sekolah dituntut oleh struktur yang lebih di atas yaitu pemerintah dalam hal ini Diknas melalui pengawas. Pola berpikir guru yang berorientasi agar siswa berhasil UN dan lomba-lomba akademik, mengakibatkan proses pembelajaran mengutamakan latihan soal, dan evaluasi lebih banyak porsinya dalam peniliaian ranah kognitif. Sementara itu, kegiatan praktikum, penilaian ranah afektif dan psikomotorik nyaris terabaikan. Pola berpikir yang dianut adalah pola berpikir pragmatis, ingin memperoleh hasil dengan segera. UN bukan lagi sebagai instrumen pemetaan tetapi sudah menjadi tujuan oleh guru dan sekolah. Ketika pola berpikir pendidik di sekolah lebih mengutamakan UN maka dalam tindakan dan proses pembelajaran mengarahkan untuk hal tersebut. Hal 206 ini sejalan dengan konsep yang ada di dalam filsafat pendidikan mengenai gagasan tentang manusia. Gagasan tentang manusia akan menentukan pendidikan macam dan model apa yang akan diterapkan terhadap siswa. Browne (2008) menyatakan bahwa pikiran adalah gaya dan energi, sebuah kekuatan yang kreatif. Setiap segi kehidupan itu dimunculkan oleh pikiran. Ada pikiran yang luhur, hina, rendah, mulia, baik, dan jahat. Semua keberhasilan dan kegagalan merupakan akibat dari pikiran. Jadi, dapat dikatakan bahwa pikiran yang memengaruhi ucapan dan tindakan. Segala sesuatu yang dilakukan tergantung dari apa yang dipikirkan, artinya pola berpikir memengaruhi tindakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 6.5 Pembahasan Pengelolaan pembelajaran meliputi proses perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan pembelajaran. Kualitas pengelolaan pembelajaran kimia di SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar yang dipaparkan di atas, ternyata ada aspek pengelolaan pembelajaran yang berkualitas baik dan ada aspek pembelajaran kimia yang berkualitas rendah. Faktor-faktor pendukung yang menjadikan berkualitas baik dan faktor-faktor penyebab yang mengakibatkan berkualitas rendah, telah diuraikan pada uraian sebelumnya. Faktor-faktor tersebut dapat dianggap sebagai faktor-faktor yang memengaruhi kualitas pengelolaan pembelajaran kimia. Setelah dilakukan pengategorian maka dapat dinyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kualitas pengelolaan pembelajaran kimia adalah (1) guru, (2) pimpinan/ kekuasaan, , (3) dana/modal ekonomi, dan (4) pola berpikir. 207 Guru sebagai ujung tombak pelaksana kurikulum di sekolah sangat menentukan kualitas proses pembelajaran. Guru di dalam proses pembelajaran memegang peranan yang sangat penting, seperti yang dikemukakan oleh para pakar pendidikan bahwa bagaimanapun hebatnya kurikulum yang tertulis jika berada di tangan guru yang tidak kompeten, maka kurikulum itu tidak akan bermakna. Peranan guru sangat menentukan untuk tercapainya kurikulum dan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, guru harus kompeten dan profesional. Di samping guru yang menentukan kualitas proses pembelajaran, juga pimpinan sekolah. Pimpinan sekolah wajib memberikan pengarahan, meminta tagihan kepada guru, sesuai dengan tujuan dan orientasi berpikirnya. Pimpinan di sekolah sering berperan sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah dalam hal ini Diknas di daerah (penguasa). Kebijakan yang diberlakukan di sekolah pada umumnya merupakan kebijakan dari pihak Diknas. Pengawas satuan pendidikan juga memegang peran yang strategis dalam menentukan kualitas proses pembelajaran. Pengawas memiliki wewenang untuk melakukan pemantauan, supervisi, dan evaluasi pada guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Dalam proses pengawasan tersebut ada kegiatan diskusi, pengarahan, untuk perbaikan pembelajaran. Oleh karena itu, diperlukan seorang pengawas yang kompeten dan profesional. Proses pembelajaran di sekolah selalu memerlukan sarana, prasarana pembelajaran, apalagi materi kimia yang mewajibkan adanya praktikum, tidak boleh lepas dari alat-alat dan bahan kimia. Sarana penunjang pembelajaran ini bisa 208 diadakan apabila ada dana yang mendukung. Keadaan dana pada SMA RSBI sesungguhnya sangat memadai untuk keperluan pengelolaan pendidikan dan pembelajaran. Pola berpikir atau paradigma berpikir guru, pimpinan sekolah/penguasa, dan pengawas sangat memengaruhi kualitas pengelolaan pembelajaran. Pola berpikir yang senantiasa teratur mengikuti peraturan yang sudah digariskan dan direncanakan cenderung menghasilkan sesuatu yang lebih berkualitas. Akan tetapi, apabila pola berpikir hanya berorientasi pada satu aspek saja, maka keberhasilan aspek tersebut yang berkualitas baik, sementara aspek-aspek lain terabaikan. Pada dewasa ini guru cenderung mengikuti pola berpikir atau orientasi berpikir struktur yang lebih di atas, walaupun sudah ada pedoman pelaksanaan kegiatan yang harus dilakukan berupa kurikulum. Menurut Mulyasa implemetasi kurikulum dipengaruhi oleh karakteristik kurikulum, strategi implementasi, dan karakteristik pengguna kurikulum. Mars 1998 dalam Mulyasa (2008) mengemukakan tiga faktor yang memengaruhi implemetasi kurikulum, yaitu dukungan kepala sekolah, dukungan rekan sejawat guru, dan dukungan internal yang datang dari dalam diri guru sendiri. Dari berbagai faktor tersebut guru merupakan faktor penentu di samping faktor-faktor yang lain (Mulyasa, 2008). Hal senada juga dikemukakan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan, tanpa guru yang kreatif dan dapat diandalkan penguasaan materinya, mustahil suatu sistem pendidikan berikut kurikulum serta muatan kurikulernya dapat mencapai hasil yang diidealkan. Kurikulum memang penting, 209 tetapi bisa berhenti sebagai perangkat mati yang masih membutuhkan sosok-sosok guru untuk menerjemahkan dalam praksis pengajaran (Kartono, 2009). Empat faktor yang disebutkan di atas yang berpengaruh dalam pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar, sejalan dengan teori praktik sosial yang dikemukakan oleh Bordieu. Bordieu menyatakan sebuah rumus yang menerangkan mengenai praktik sosial, yaitu (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik (Bordieu, 1984 dalam Harker, 2009). Habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas sosial. Individu menggunakan habitus dalam berurusan dengan realitas sosial. Habitus merupakan struktur objektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu yang lain dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus diindikasikan oleh skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari benda-benda dalam realitas sosial. Dalam tingkah laku seseorang, penyesuaian diri sering kali terimpilkasikan melalui sense seseorang pada keberjarakan sosial atau terimplikasikan dalam sikap-sikap tubuh mereka. Oleh sebab itu, tempat dan habitus seseorang membentuk basis persahabatan, cinta, dan hubungan pribadi lainnya dan mengubah kelas-kelas teoretis menjadi kelompokkelompok real. Menjadi jelas bahwa habitus dapat dipandang bekerja pada tingkat bawah sadar. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modalmodal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Menurut 210 Bordieu, definisi modal sangat luas dan mencakup hal-hal material (yang dapat memiliki nilai simbolik) dan berbagai atribut yang tak tersentuh. Namun, memiliki signifikansi secara kultural, misalnya prestise, status, dan otoritas yang dirujuk sebagai modal simbolik serta modal budaya (yang didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi). Modal budaya dapat mencakup rentangan luas seperti seni, pendidikan, dan bentuk-bentuk bahasa. Modal mesti ada di dalam sebuah ranah agar ranah tersebut dapat memiliki arti (Harker, 2009). Ranah diartikan sebagai jaringan relasi antarposisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak individual. Konsepsi ranah yang digunakan Bordieu tidak dipandang sebagai ranah yang berpagar di sekelilingnya, tetapi sebagai “ranah kekuatan”. Ranah merupakan ranah kekuatan yang secara parsial bersifat otonom dan juga merupakan suatu ranah yang di dalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi. Perjuangan ini dipandang mempertahankan ranah kekuatan. Posisi-posisi ditentukan oleh pembagian modal khusus untuk para aktor yang berlokasi di dalam ranah tersebut. Ketika posisi-posisi dicapai mereka dapat berinteraksi dengan habitus untuk menghasilkan postur berbeda yang memiliki suatu efek tersendiri pada ekonomi ‘pengambilan posisi’ di dalam ranah tersebut. Praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus sebagai produk sejarah dan ranah yang juga merupakan produk sejarah. Pada saat bersamaan, habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada di masyarakat. Dalam suatu ranah ada pertaruhan kekuatan- kekuatan orang yang memiliki banyak 211 modal dan orang yang tidak memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Di dalam ranah pertarungan sosial selalu terjadi. Mereka yang memiliki modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal. Bordieu menggunakan atribut utama tentang praktik, yaitu konsep-konsep tentang otonomi relatif, trajektori personal, dan kelas, dan terutama sifat dasar strategi dan perjuangan posisi-posisi di dalam ranah. Berlandaskan pemikiran praktik sosial Bordieu, kalau mencermati faktorfaktor yang memengaruhi kualitas pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar dalam ststus RSBI adalah merupakan modal-modal yang sudah dimiliki oleh sekolah. Faktor guru, pimpinan sekolah, pengawas dapat diartikan sebagai modal kekuasaan, sementara faktor dana dapat diartikan sebagai modal ekonomi, dan di sisi lain faktor pola berpikir sebagai habitus. Habitus yang dimiliki oleh setiap individu di sekolah berinteraksi dengan berbagai bentuk modal dalam sebuah ranah (sekolah) sehingga praktik sosial dalam hal ini perjuangan posisi atau perjuangan kelas berupa kualitas dapat diraih. Jadi, berkualitas atau kurang berkualitasnya sebuah program sebagai sebuah perjuangan kelas dalam praktik sosial ditentukan oleh adanya modal dan habitus. Dalam konteks pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar dewasa ini, jika dilihat dari aspek modal kekuasaan dan modal 212 ekonomi, sesungguhnya sangat memadai untuk meraih posisi dalam perjuangan kelas, menuju predikat berkualitas baik apabila disertai dengan habitus, yakni pola berpikir atau komitmen yang sesuai dengan yang telah digariskan. Pola berpikir guru, pimpinan, dan kekuasaan memiliki komitmen tidak seimbang pada seluruh aspek yang terkait pengelolaan pembelajaran. Di dalam kenyataannya guru, pimpinan sekolah, dan pihak penguasa hanya berkomitmen pada aspek-aspek tertentu sehingga kualitas yang baik hanya pada aspek-aspek tertentu. Oleh karena itu, perlu pola berpikir yang sistemik, menyeluruh, dan berpegang pada hakikat pembelajaran dan pendidikan.