186 BAB VI FAKTOR FAKTOR YANG MEMENGARUHI

advertisement
186
BAB VI
FAKTOR FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGELOLAAN
PEMBELAJARAN KIMIA PADA SMAN 1 SINGARAJA
DAN SMAN 1 GIANYAR
Faktor-faktor yang memengaruhi pengelolaan pembelajaran kimia dalam hal
ini dikaitkan dengan empat aspek yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penilaian,
dan pengawasan. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan berdasarkan
uraian yang dipaparkan dalam bab sebelumnya adalah (1) guru, (2) kekuasaan, (3)
dana, dan (4) pola berpikir. Faktor guru berkaitan dengan aspek perencanaan,
pelaksanaan dan penilaian. Sementara itu, faktor kekuasaan, dana, dan pola berpikir
berkaitan dengan aspek perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan.
6.1 Faktor Guru dalam Pengelolaan Pembelajaran
Peran guru dalam perencanaan pembelajaran sangat strategis dan menentukan
proses dan hasil perencanaan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kualitas
aspek perencanaan pembelajaran kimia sesuai dengan standar. Perencanaan
pembelajaran yang dilakukan oleh guru sebagai awal dari sebuah proses pengelolaan
sudah memenuhi standar, baik dari segi proses pelaksanaan menyusun rencana
pembelajaran maupun produk yang dihasilkan. Penyebab terlaksananya perencanaan
yang baik adalah adanya tuntutan kelengkapan administrasi guru dalam rangka
menunjang
diberlakukan
Organization).
manajemen
ISO
(International
Standardization
187
Hal yang disebutkan di atas didukung oleh pernyataan guru sebagai berikut.
”Pengelolaan mengarah ke ISO, berusaha mengikuti prosedur-prosedur ISO
walaupun belum 100% ”(wawancara GG2, tanggal 18 Oktober 2011).
Informasi yang dikemukakan di atas diperkuat lagi oleh guru lain yang
menuturkan sebagai berikut.
”Pengadministrasian yang khas dari manajemen ISO, kalau dulu kita kan
jarang nulis, kalau sekarang apa yang kita kerjakan ditulis dilaporkan setiap
kegiatan itu (wawancara GS4, tanggal 5 Januari 2012).
Pernyataan di atas menandakan tuntutan pihak sekolah agar guru membuat
administrasi yang lengkap dan teratur, mulai dari silabus, rencana pelaksanaan
pembelajaran, program semesteran, dan program tahunan. Tagihan ini dalam rangka
melengkapi administrasi penilaian manajemen ISO. Dengan kondisi seperti itu guru
senantiasa harus berbuat maksimal agar dapat memenuhi harapan sekolah dalam
rangka tertib administrasi.
Di dalam membuat perencanaan pembelajaran, guru mendapatkan sedikit
hambatan dalam menentukan ranah kognitif seperti dalam teori taksonomi Bloom.
Pernyataan beberapa guru yang mengemukakan ada kesulitan di dalam penentuan
ranah kognitif sesuai dengan teori taksonomi Bloom. Hal itu sangat wajar karena
kurikulum yang diterapkan dewasa ini adalah kurikulum berbasis kompetensi. Dalam
kurikulum berbasis kompetensi, keberhasilan siswa didasarkan atas kompetensi siswa
secara utuh dalam memahami sesuatu sehingga di dalam silabusnya ada istilah
standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar
(SKKD) dan indikator. Sementara ini, pihak pengambil kebijakan (Diknas) masih
188
mengharapkan guru untuk memilah dan mengklasifikasi kemampuan kognisi siswa
menjadi tingkat ingatan, pemahaman, analisis, yang diistilahkan dengan C1, C2, C3,
dan seterusnya. Model perencanaan yang dikembangkan ini berpikir dualisme atau
ambivalen, yaitu menerapkan kurikulum berbasis kompetensi dan berpijak seperti
yang dilakukan pada saat penerapan kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum berbasis
konten. Hal seperti ini menimbulkan kesulitan guru di lapangan, sementara itu guru
tidak memiliki keyakinan dan keberanian untuk berdiskusi lebih mendalam.
Guru mengalami kesulitan merencanakan pengembangan dan penilaian
karakter siswa dalam perencanaan pembelajaran. Pengembangan dan penilaian
karakter siswa diharapkan oleh pihak Diknas dimunculkan dalam perencanaan
pembelajaran. Namun, penjelasan dan diskusi yang dilakukan antara guru dan pihak
pengawas dan antar guru sendiri masih ada perbedaan persepsi. Pihak Diknas
sementara ini belum memberikan konsep yang tegas bagaimana hal tersebut
semestinya dilakukan. Dengan situasi seperti itu guru mengembangkan sendiri dalam
memasukkan pengembangan dan penilaian karakter siswa di dalam perencanaan
pembelajaran.
Peran guru dalam pelaksanaan pembelajaran sangat penting dan menentukan,
karena guru sebagai pemegang kendali untuk mengimplementasikan kurikulum di
dalam kelas. Kompetensi dan profesionalisme guru sangat menentukan kualitas
pembelajaran. Pembelajaran pada dasarnya adalah proses manajemen yang dilakukan
di kelas maupun di laboratorium, dalam upaya mencapai tujuan tertentu. Tujuan yang
189
ingin dicapai adalah pencapaian kompetensi siswa yang telah dituangkan di dalam
perencanaan pembelajaran.
Kegiatan manajemen kelas adalah proses pemberdayaan sumber daya, baik
material, fasilitas, maupun orang di dalam kelas oleh guru sehingga memberikan
dukungan terhadap kegiatan pembelajaran. Aktivitas dalam kelas, baik guru maupun
siswa, dipengaruhi oleh kondisi dan situasi fisik lingkungan kelas. Oleh karena itu,
lingkungan fisik kelas berupa sarana dan prasarana kelas harus dapat memenuhi dan
mendukung interaksi yang terjadi sehingga harmonisasi kehidupan kelas dapat
berlangsung dengan baik. Kriteria minimal situasi dalam kelas meliputi aman,
estetika, sehat, cukup, bermutu, dan nyaman (Rukmana, 2010).
Aspek pelaksanaan proses pembelajaran merupakan muara dari implementasi
kurikulum, yaitu bagaimana agar isi atau pesan kurikulum dapat dicerna oleh peserta
didik secara tepat dan optimal. Proses pelaksanaan pembelajaran semestinya sesuai
dengan perangkat pembelajaran. Hasil penelitian yang dibedah melalui wawancara,
dan observasi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran tidak dilakukan
dengan optimal, tidak sesuai dengan standar. Silabus mata pelajaran kimia
mencanangkan kegiatan-kegiatan praktikum untuk menanamkan konsep tertentu.
Karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk tidak bisa diabaikan karena
merupakan hal yang sangat prinsip. Pelaksanaan praktikum kimia di tempat
dilakukan penelitian ternyata sangat minim, jauh dari tuntutan kurikulum, guru
mengingkari perencanaan pembelajarannya.
190
Dari observasi yang dilakukan dalam pembelajaran praktikum yang dilakukan
guru, tampak jelas bahwa keterampilan guru mengelola praktikum dan keterampilan
siswa melakukan praktikum sangat rendah. Kondisi ini menandakan intensitas
praktikum kimia yang dilakukan sangat minim. Observasi pembelajaran kimia di
kelas kalau dilihat dari alur pembelajaran, sudah mengikuti standar, ada pembukaan,
kegiatan inti, dan penutup. Di dalam kegiatan inti pembelajaran sesungguhnya, ada
banyak peluang untuk melakukan kreasi yang menjadikan pembelajaran tersebut
inovatif dan bermakna. Ada beberapa pengembangan informasi dan pendalaman
materi yang semestinya dapat dilakukan oleh guru agar pembelajaran menjadi
bermakna, tetapi hal itu tidak dilakukan, tidak muncul. Upaya pengaktifkan siswa
dilakukan dengan latihan soal secara berkelompok. Berdasarkan gambaran tentang
pelaksanaan pembelajaran kimia yang disebutkan di atas, ternyata profesionalisme
guru masih rendah.
Secara teoretis implementasi kurikulum merupakan operasionalisasi konsep
kurikulum yang masih bersifat potensial (tertulis) menjadi aktual dalam bentuk
kegiatan pembelajaran. Implementasi kurikulum merupakan hasil terjemahan guru
terhadap kurikulum yang dijabarkan ke dalam silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran sebagai rencana tertulis. Mulyasa (2008) mengemukakan bahwa ada
tiga faktor yang berpengaruh dalam implementasi kurikulum, yaitu (1) karakteristik
kurikulum, (2) strategi implementasi, dan (3) karakteristik pengguna kurikulum.
Karakteristik kurikulum, yaitu mencakup ruang lingkup ide baru suatu kurikulum dan
kejelasannya bagi pengguna di lapangan. Strategi implemetasi, yaitu strategi yang
191
digunakan dalam implementasi, seperti diskusi profesi, seminar, penataran,
lokakarya, penyediaan buku kurikulum, dan kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong
penggunaan kurikulum di lapangan. Karakteristik pengguna kurikulum meliputi
pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap guru terhadap kurikulum, serta
kemampuannya untuk merealisasikan kurikulum dalam pembelajaran. Jadi, dari
uraian di atas diketahui faktor guru sangat besar peranannya dalam implementasi
kurikulum.
Peran guru dalam melaksanakan penilaian pembelajaran sangat menentukan
arah perkembangan kecerdasan siswa. Penilaian pembelajaran kimia dilakukan dalam
tiga domain yaitu penilaian kognitif, afektif, dan psikomotorik. Penilaian yang
dilakukan adalah penilaian dalam proses pembelajaran dan penilaian hasil belajar.
Kualitas aspek penilaian dalam pengelolaan pembelajaran kimia ditemukan bahwa
penilaian dalam domain kognitif kualitasnya baik, sedangkan penilaian dalam domain
afektif dan psikomotorik kualitasnya rendah. Penilaian domain/ ranah kognitif yang
dilakukan cukup bervariasi, dilihat dari bentuk dan jenis penilaian. Guru melakukan
penilaian dalam bentuk tes dan nontes. Penilaian dalam bentuk tes dilakukan dalam
pembelajaran keseharian sebagai tes harian, ada tes tengah semester, dan tes akhir
semester. Penilaian nontes diberikan dalam bentuk tugas-tugas dan pekerjaan rumah
sebagai penilaian portofolio, yang dikerjakan dalam buku khusus kumpulan tugas
siswa. Hasil penilaian digunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan remedi,
perbaikan pembelajaran, dan laporan hasil studi peserta didik. Jika dilihat dari sisi
bentuk penilaian, program penilaian, jenis alat evaluasi, dan tujuan penilaian dalam
192
penilaian ranah kognitif, sudah dilakukan dengan baik sesuai dengan standar. Hal ini
didukung oleh orientasi guru mengutamakan ranah kognitif, dan adanya tuntutan agar
sukses menghadapi ujian nasional dan lomba akademik.
Guru sangat bersemangat untuk menyukseskan siswa di dalam menghadapi
ujian nasional dan lomba-lomba akademik. Guru lebih mengutamakan kompetensi
siswa dalam ranah kognitif, sehingga orientasi utama yang dilakukan adalah
memberikan latihan soal, meningkatkan kualitas soal. Guru menyediakan waktu
tambahan pada siswa untuk kegiatan program pengayaan. Program pengayaan
menekankan pada pemahaman konsep-konsep dan menjawab soal-soal yang terkait
dengan ujian nasional. Hal ini terjadi karena guru merasa malu kalau anak didiknya
tidak berhasil menghadapi ujian nasional pada mata pelajaran yang diasuhnya. Pada
dewasa ini, yang dianggap sebagai indikator keberhasilan pembelajaran di sekolah
menurut pemerintah, sekolah, guru, dan masyarakat adalah apabila siswa berhasil
dalam menghadapi ujian nasional. Persepsi yang menganggap keberhasilan
pembelajaran jika sukses menghadapi ujian nasional saja, sebagai persepsi yang
keliru karena masih ada beberapa indikator lain yang harus diperhatikan.
Penilaian domain/ranah afektif dan psikomotorik semestinya dilakukan secara
seimbang dengan penilaian ranah kognitif. Berdasarkan penjelasan yang dituangkan
di dalam bab V yang terkait dengan penilaian, sesungguhnya dalam perangkat
pembelajaran, penilaian ranah afektif dan psikomotorik sudah direncanakan, tetapi
belum terealisasi dengan baik ketika proses pembelajaran dilakukan. Penilaian hasil
belajar pada tingkat kelas adalah penilaian yang dilakukan oleh guru secara langsung.
193
Penilaian hasil belajar pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan untuk mengukur
perubahan perilaku yang telah terjadi pada diri peserta didik. Hasil belajar merupakan
prestasi belajar peserta didik secara keseluruhan yang menjadi indikator kompetensi
dasar dan derajat perubahan tingkah laku yang bersangkutan. Dengan demikian, di
samping penilaian ranah kognitif, ranah afektif dan psikomotorik harus diamati
kemajuannya. Ranah afektif dan psikomotorik tidak mungkin dapat diketahui
kemajuannya hanya dengan tes tertulis, tetapi harus dengan tes perbuatan, bahkan
dalam bentuk nontes. Misalnya, dengan mengadakan observasi, wawancara, lembar
pendapat, atau yang lain sesuai dengan kepentingan.
Dalam
upaya
merealisasikan
kegiatan
penilaian
ranah
afektif
dan
psikomotorik tersebut, setiap guru dituntut untuk memahami berbagai hal yang
berkaitan dengan penilaian agar dalam pelaksanaannya tidak menekankan pada aspek
tertentu terutama aspek pengetahuan (intelektual). Mulyasa (2008) menyatakan
bahwa kebanyakan guru menilai peserta didik dalam perubahan perilaku
pengetahuan, karena tidak memiliki pemahaman serta kurangnya pengalaman dan
kemampuan dalam melakukan penilaian dalam aspek sikap dan keterampilan. Ini
terjadi karena kebanyakan petunjuk atau pedoman penilaian hasil belajar hanya
merujuk pada penilaian perilaku kognitif. Oleh karena itu, penilaian hasil belajar oleh
guru tidak cukup dilakukan dalam bentuk penilaian harian, penilaian tengah semester,
penilaian akhir semester, dan penilaian kenaikan kelas. Dalam hal ini penilaian harus
dilakukan juga terhadap proses belajar selama pembelajaran berlangsung.
194
Aspek-aspek penilaian afektif dan psikomotorik dapat dirumuskan lebih
operasional apabila melakukan pembelajaran yang banyak melibatkan gerakan dan
sikap. Pembelajaran yang relatif banyak melibatkan aspek gerakan dan sikap dalam
pelajaran kimia adalah kegiatan praktikum. Dalam hal kegiatan praktikum
memerlukan keterampilan- keterampilan tertentu yang bersifat fisik dan psikis. Jika
kegiatan praktikum dalam pembelajaran kimia sangat minim dilakukan, maka akan
sangat sulit melihat perkembangan perilaku siswa dalam ranah afektif dan
psikomotorik. Kebanyakan guru dalam mengisi nilai afektif yang harus ada dalam
rapor siswa dilakukan tanpa data yang akurat.
Minimnya intensitas penilaian afektif dan psikomotorik yang dilakukan guru,
tidak lepas dari orientasi pikiran dan perhatian dari kepala sekolah dan pengawas
yang minim terhadap ranah afektif dan psikomotorik. Sampai pada dewasa ini
pemerintah, kepala sekolah, guru, dan masyarakat masih menggunakan indikator
kecerdasan intelektual sebagai keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, baik di
dalam proses pembelajaran maupun penilaian lebih diutamakan aspek kognitif
dibandingkan dengan aspek afektif dan psikomotorik. Dalam hal ini telah terjadi
pengebirian pengembangan sikap dan keterampilan. Sehubungan dengan itu,
kecenderungan yang terjadi adalah ketidakseimbangan kecerdasan peserta didik.
Sementara itu, pendidikan diharapkan menjadikan peserta didik manusia yang utuh,
dalam arti memiliki kecerdasan yang seimbang antara intelektual, emosional, sosial,
dan spiritual.
195
6.2 Faktor Kekuasaan dalam Pengelolaan Pembelajaran
Kekuasaan yang berhubungan dengan pengelolaan pembelajaran yang
dimaksud dalam hal ini yaitu pimpinan di sekolah, pengawas, dan pemerintah yaitu
pihak Dinas pendidikan. Dalam praktik pengelolaan pembelajaran yang dilakukan
oleh guru senantiasa mengikuti kebijakan pimpinan di sekolah. Kebijakan yang
diambil oleh pimpinan sekolah bersumber dari tuntutan struktur di atasnya yaitu
Diknas yang terkadang disampaikan melalui pengawas sekolah. Tuntutan yang
disampaikan oleh pimpinan di Diknas di daerah bersumber dari harapan pimpinan di
daerah yakni Bupati atau Gubernur.
Peran kekuasaan dalam perencanaan pembelajaran terletak pada tagihan yang
di harapkan oleh sekolah agar memenuhi administrasi sekolah untuk kepentingan
penerapan manajemen ISO. Pihak pengawas juga menuntut perangkat pembelajaran
mulai dari silabus, RPP, dan hal lain yang dianggap perlu yang berkaitan dengan
pembelajaran. Sebagai guru wajib melakukan hal tersebut karena bagian dari tugas
pokok dan fungsi sebagai pendidik.
SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar dalam status RSBI wajib memiliki
sertifikat manajemen ISO sebagai salah satu syarat sekolah ketika akan dinilai. Dalam
upaya memeroleh sertifikat tersebut, sekolah harus memohon untuk mendapatkan
pembinaan oleh sebuah lembaga konsultan tertentu. Di sekolah dibentuk wakil
pimpinan sekolah yang khusus menangani kegiatan menuju manajemen ISO. Pihak
konsultan memberikan sosialisasi dan pelatihan yang terkait dengan audit internal,
dan diberikan format-format yang harus diisi. Lembaga ini berpusat di Jerman,
196
memiliki kantor di Jakarta, dan ada kantor cabangnya di Denpasar. Lembaga ini telah
diakui sebagai lembaga internasional yang sudah berkualitas. Biaya yang dikeluarkan
untuk mendanai pihak konsultan sekitar Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta
rupiah). Dalam waktu sekitar tiga bulan dilakukan pembinaan, kemudian setelah
dianggap layak, selanjutnya didatangkan tim audit dari pusat yang merupakan rekan
kerja dari lembaga konsultan tersebut. Setelah dilakukan audit dan dilakukan
pemantauan selanjutnya diberikan sertifikat manajemen ISO. Fotocopy sertifikat
manajemen ISO dapat dilihat pada Lampiran 7. Pelaksanaan audit dilakukan setiap
tahun. Jadi, untuk sampai pada perolehan sertifikat manajemen ISO mulai dari
sosialisasi, pelatihan, pembinaan, dan audit, ternyata biaya yang diperlukan sampai
ratusan juta rupiah. Penerapan model manajemen ISO menekankan pada tertib
administrasi dengan seluruh kegiatan menggunakan SOP (standar operasional
prosedur).
Adanya lembaga internasional yang berperan dalam menentukan mutu
pendidikan di SMA yang berstatus RSBI, berarti ada peran pihak asing yang bermain
dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dengan biaya yang relatif besar diperuntukkan
untuk mendapatkan sertifikat tersebut dapat dikatakan sebagai masuknya pola kerja
kapitalis yang cenderung komudikatif. Persyaratan sekolah dengan status RSBI harus
memiliki sertifikat manajemen ISO tidak lepas dari aturan yang dibuat oleh struktur
yang di atas, berarti ada peran kekuasaan yang berpengaruh.
Peran kekuasaan dalam pelaksanaan pembelajaran terlihat dari proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Guru, dalam melaksanakan proses
197
pembelajaran mengikuti arahan dan kebijakan yang ditetapkan oleh sekolah. Sekolah
yang berstatus RSBI difavoritkan oleh masyarakat di sekitarnya, dan diunggulkan.
Predikat sekolah unggulan di masyarakat karena keberhasilannya di dalam ajang
lomba-lomba akademik, seperti olimpiade sains, lomba matematika dan yang
sejenisnya. Citra favorit dan unggul yang sudah terbentuk di masyarakat, cenderung
dipertahankan oleh sekolah. Usaha yang dilakukan dalam rangka mempertahankan
citra tersebut, maka guru ditugaskan menyiapkan siswa untuk mengikuti lombalomba akademik. Siswa yang disiapkan untuk kegiatan lomba, memeroleh bimbingan
khusus dalam upaya meningkatkan penguasaan materi ajar, dengan cara latihan
membahas soal-soal.
Guru, dalam proses pembelajaran melalui kebijakan sekolah menerapkan jam
tambahan pada sore hari setelah jam reguler berlangsung. Pembelajaran tambahan ini
sebagai proses pemantapan pada mata pelajaran yang diujikan dalam UN, termasuk
pelajaran kimia. Hal tersebut di atas sesuai pernyataan guru dari hasil wawancara
sebagai berikut.
“Sebelum kita ditunjuk RSBI untuk lomba-lomba tetap ada pembinaannya,
termasuk juga untuk UN juga sudah persiapan. Setelah ditunjuk menjadi
RSBI program sebelumnya tetap dilakukan dan malah ditingkatkan, ditambah
kegiatan sore pengayaan khusus mata pelajaran MIPA, plus bahasa Inggris
karena itu pagunya dari pusat” (wawancara GG3, tanggal 18 Oktober 2011).
Pandangan Kartono (2009: 85) menyatakan dalam sudut pandang birokrasi
pemerintah, guru dilihat sebagai bagian mesin birokrasi pendidikan di tingkat
sekolah. Guru dipandang sebagai kepanjangan tangan birokrasi, karena itu sikap dan
tingkah lakunya mesti sepenuhnya tunduk pada ketentuan-ketentuan birokrasi. Guru
198
diperlakukan ibarat bawahan atau staf, sementara pertimbangan kelayakan profesi
kurang diperhatikan.
Guru, dalam melaksanakan pembelajaran di kelas juga melakukan permainan
kekuasaan, karena ketika di dalam kelas guru memiliki kekuasaan tersendiri dalam
menngelola pembelajaran. Permainan kekuasaan yang dilakukan guru dapat
ditemukan dari hasil observasi, ternyata guru tidak selalu melaksanakan pembelajaran
seperti dengan rencana pelaksanaan pembelajaran. Guru dalam melaksanakan
pembelajaran di kelas berdasarkan keyakinannya yang dianggap cocok dan benar.
Peran kekuasaan dalam penilaian pembelajaran tidak jauh berbeda dengan
peranannya dalam proses pembelajaran. Kebijakan sekolah menuntut agar siswa
berhasil dalam menempuh UN dan lomba akademik seperti yang sudah disebutkan di
atas. Kebijakan ini dibebankan kepada guru untuk menyukseskannya. Guru sebagai
ujung tombak yang berinteraksi langsung dengan siswa, melaksanakan pembelajaran
dan penilaian dengan strategi tertentu. Dengan adanya tuntutan tersebut maka guru
lebih mengutamakan pada penilaian ranah kognitif.
Guru sangat bersemangat untuk menyukseskan siswa di dalam menghadapi
ujian nasional dan lomba-lomba akademik. Guru lebih mengutamakan kompetensi
siswa dalam ranah kognitif, sehingga orientasi utama yang dilakukan adalah
memberikan latihan soal, meningkatkan kualitas soal. Guru menyediakan waktu
tambahan pada siswa untuk kegiatan program pengayaan. Program pengayaan
menekankan pada pemahaman konsep-konsep dan menjawab soal-soal yang terkait
dengan ujian nasional. Hal ini terjadi karena guru merasa malu kalau anak didiknya
199
tidak berhasil menghadapi ujian nasional pada mata pelajaran yang diasuhnya. Pada
dewasa ini, yang dianggap sebagai indikator keberhasilan pembelajaran di sekolah
menurut pemerintah, sekolah, guru, dan masyarakat adalah apabila siswa berhasil
dalam menghadapi ujian nasional. Uraian yang disebutkan di atas ditunjang oleh
pernyatan guru sebagai berikut.
“Kalau sebelumnya yang UN pengayaannya kelas XII saja, kalau sekarang
semua siswa. Nilai UN di kimia bisa kita pertahankan, kita di tim kimia selalu
saling mengisi gitu, misalnya si A ngajar di kelas ini nanti pengayaannya di
cros, diajar guru yang lain, sehingga bisa saling melengkapi untuk mengarah
ke terbaik (wawancara GG2, tanggal 18 Oktober 2011).
Sementara ini ada persepsi yang perlu diluruskan tentang UN yang
berkembang dalam dunia pendidikan. Persepsi yang menganggap keberhasilan
pembelajaran jika sukses menghadapi ujian nasional saja, sebagai persepsi yang
keliru karena masih ada beberapa indikator lain yang harus diperhatikan. Strategi
penilaian hasil belajar dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) penilaian hasil belajar
tingkat nasional dilakukan oleh pemerintah, (2) penilaian hasil belajar tingkat sekolah
yang dilakukan oleh sekolah, (3) penilaian hasil belajar tingkat kelas yang dilakukan
oleh guru.
Mulyasa (2008: 203--204) menyatakan bahwa UN merupakan kebijakan
pemerintah dalam bidang pendidikan untuk menentukan standar mutu pendidikan
(pemetaan). Kebijakan ini berkaitan dengan berbagai aspek yang dinamis, seperti
budaya, kondisi sosial ekonomi, bahkan politik dan keamanan sehingga selalu rentan
terhadap perbedaan dan kontroversi sejalan dengan perkembangan masyarakat.
200
Kebijakan tersebut merupakan keputusan politik atau politik pendidikan, yang
menyangkut kepentingan berbagai pihak, bahkan dalam batas-batas tertentu dapat
dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan.
Peran kekuasaan dalam pengawasan pembelajaran sangat menentukan kinerja
guru dalam pengelolaan pembelajaran. Tugas pengawasan pembelajaran dilakukan
oleh pimpinan sekolah dan pengawas dari Diknas setempat. Kinerja guru kimia di
SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar senantiasa mengikuti arahan dan
bimbingan yang dilakukan oleh pimpinan sekolah, dan pengawas dari Diknas.
Harapan dan tuntutan yang disampaikan oleh pihak pengawas senantiasa dipatuhi
oleh guru. Dengan demikian kinerja dan cara berpikir guru yang berkaitan dengan
pembelajaran banyak dipengaruhi oleh peran pimpinan sekolah dan pengawas dari
Diknas.
Dalam proses pengawasan selain dilakukan pemantauan, pengawasan, juga
harus melakukan supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut. Bentuk-bentuk
kegiatan dalam proses pengawasan itu memberikan penilaian terhadap proses
pembelajaran, kemudian memberikan masukan tentang hal-hal apa yang perlu
diperbaiki dan yang lainnya. Dengan demikian jelas tampak peran pengawas
memiliki kekuasaan untuk mengarahkan guru untuk melakukan sesuatu yang
diharapkan. Hal tersebut seperti pernyataan yang dikemukakan guru berikut.
“Kalau misalnya dalam lomba-lomba mata pelajaran tertentu kita tidak masuk
final atau kalah dengan sekolah lain, guru-guru dikumpulkan ditanya kenapa
dalam lomba kita tidak masuk final atau kalah dengan sekolah lain, dilakukan
pengkajian bersama, dikasi pengarahan oleh kepala sekolah” (wawancara
GS3, tanggal 4 Oktober 2011).
201
Kekuasaan pada umumnya bersifat jaringan terstruktur yang dipratikkan
dalam sebuah ranah atau ruang tertentu. Menurut Foucault (dalam Barker, 2008)
menyatakan adanya hubungan timbal balik yang saling membentuk antara kekuasaan
dan pengetahuan, sehingga pengetahuan menjadi tak dapat dipisahkan dari rezim
kekuasaan. Tilaar (2003: 87—88) menyatakan bahwa ada kaitan yang erat antara
pendidikan dan kekuasaan. Justru karena adanya kekuasaan itulah terjadi proses
pendidikan. Kekuasaan dalam pendidikan diharapkan sebagai kekuasaan yang
transformatif bukan transmitif. Dalam kekuasaan yang transformatif proses terjadinya
hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek lain.
Kekuasaan transformatif bahkan membangkitkan refleksi, dan refleksi tersebut
menimbulkan aksi. Orientasi yang terjadi dalam aksi tersebut merupakan orientasi
advokatif. Jadi, dalam pengelolaan pembelajaran tidak bisa lepas dari peran
kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud dalam hal ini bertujuan untuk menjadikan guru
lebih kompeten dan profesional.
6.3 Faktor Dana dalam Pengelolaan Pembelajaran
Dana dalam hal ini termasuk dalam modal ekonomi yang meliputi uang,
fasilitas, sarana, dan prasarana untuk mendukung pengelolaan pembelajaran. Dana
atau modal ekonomi memiliki fungsi utama dalam semua aspek pengelolaan
pembelajaran baik perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan. Seluruh
202
aspek tersebut melibatkan guru, kepala sekolah, pengawas, dan siswa yang
memerlukan dana ataupun fasilitas untuk mendukung kegiatannya.
Peran dana dalam proses perencanaan pembelajaran yang dilakukan pada
SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar yaitu dalam kegiatan workshop, diskusi
dan pencetakan produk berupa perangkat pembelajaran. Guru menyatakan bahwa ada
alokasi dana yang diperuntukkan untuk mengadakan workshop di tingkat sekolah,
yang dilanjutkan dengan diskusi di tingkat musyawarah guru mata pelajaran, dan
adanya insentif yang diberikan kepada guru sebagai imbalan hasil kerja guru berupa
perangkat pembelajaran. Pernyataan lain yang terkait dengan faktor insentif dan dana
yang mendukung aspek perencanaan pembelajaran seperti petikan wawancara
berikut.
”Ada reward, setiap kerja itu dihargai. Kehadiran dengan pingerprint dihargai
juga, ada kehadiran harian ada khusus, makin banyak kerja makin banyak
reward- nya. Berpengaruh ini” (wawancara GG1, tanggal 18 Oktober 2011).
Pernyataan tersebut didukung lagi oleh ungkapan guru lain sebagai berikut.
”...itu dah salah satunya memberikan akses yang maksimum, kalau dulu
terbatas. Sekarang disediakan ruang kerja, tersedia komputer, kertas, bukubuku, mengarah ke manajemen mutu sehingga guru itu tinggal mengerjakan
apa yang mau dikerjakan. Bahkan, dihargai, dibayar setelah membuat
perangkat pembelajaran” (wawancara GG3, tanggal 18 Oktober 2011).
Berdasarkan pernyataan tersebut di atas bahwa adanya dana (uang) sangat
besar memberikan motivasi kerja kepada guru. Ketika guru hadir, kemudian bekerja
dan menghasilkan produk berupa perangkat pembelajaran itu dihargai dengan
memberikan insentif yang pantas, maka guru lebih semangat dalam melaksanakan
tugasnya.
203
Peran dana dalam pelaksanaan pembelajaran, tidak jauh berbeda dengan
kegiatan lain. Proses pembelajaran tidak bisa lepas dari fasilitas pendukung
terlaksananya pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan fasilitas
pendukung yang ada di sekolah untuk terlaksananya pembelajaran kimia sangat
memadai. Ruang kelas untuk kegiatan belajar mengajar sangat memadai, ruang
laboratorium kimia sangat memadai, alat dan bahan kimia cukup memadai, ruang
perpustakaan
beserta
buku
pembelajaran berupa alat-alat
pelajaran
sangat
memadai.
Media
pendukung
teknologi informasi sangat memadai dan dapat
berfungsi dengan baik. Jadi, sarana dan prasarana pendukung pembelajaran yang ada
di sekolah sangat mendukung terlaksananya proses pembelajaran. Faktor pendukung
lain yang memungkinkan proses pembelajaran berjalan dengan baik adalah siswa.
Siswa yang masuk di sekolah SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar dalam status
RSBI adalah siswa yang memiliki prestasi belajar yang baik. Rasa ingin tahu siswa
cukup tinggi, motivasi belajar dan aktivitas belajarnya sangat baik. Siswa memiliki
sikap kritis dan berani dalam berargumentasi dan menyampaikan pendapatnya. Dari
sisi latar belakang ekonomi siswa cukup baik, yaitu sebagaian besar berada pada level
ekonomi keluarga menengah ke atas. Fasilitas belajar yang dimiliki siswa secara
individu cukup memadai, lengkap, dan sangat menunjang kegiatan belajarnya. Uraian
di atas ditunjang oleh pernyataan guru seperti berikut.
”Kemudian dari sisi sarana, saya rasa sudah mencukupi, sarana multi media
misalnya, kita sebenarnya setiap kelas sudah tersedia alat lcd, kemudian untuk
di lab, memang belum lengkap, tapi untuk pembelajaran di SMA sudah cukup
memadai. Tenaga perpustakaan sudah ada diambil dari pegawai honor, dan
204
sekarang sudah ada tenaga pengelola perpustakaan dari guru bahasa
indonesia” (wawancara GS 2, tanggal 4 Oktober 2011).
Informasi mengenai dana diperkuat lagi oleh tuturan guru lain sebagai berikut.
”Termasuk melanjutkan program program yang dulu didanai dari pusat, yang
terakhir dapat 100 juta, dulu malah sempat dapat 500 juta dari pusat, itu
dipakai untuk pengadaan fasilitas” (wawancara GG2, tanggal 18 Oktober
2011).
Peran dana dalam kegiatan penilaian terletak pada kegiatan ujian dilakukan.
Sekolah dalam proses penilaian melaksanakan ujian tengah semester dan ujian akhir
semester. Proses pelaksanaan ujian memerlukan persiapan pembentukan panitia ujian,
pembuatan naskah soal, penggandaan soal, yang dilakukan dalam beberapa kali
pertemuan untuk bekerja. Dalam pertemuan tersebut diperlukan konsumsi, insentif
bagi yang bertugas. Dalam pelaksanaan ujian juga diperlukan konsumsi bagi guru dan
pegawai yang bertugas, insentif untuk yang bertugas mengawas, dan pembelian
fasilitas lain untuk mendukung terselenggaranya proses ujian.
Peran dana dalam pengawasan pembelajaran terletak pada fasilitas yang
digunakan oleh kepala sekolah untuk melakukan pengawasan dari ruang kerjanya.
Untuk kegiatan pengawasan dari ruang kerja, maka diperlukan kamera cctv di dalam
kelas dan layar monitor di ruang kerja kepala sekolah. Pengadaan fasilitas seperti itu
jelas memerlukan dana. Berkaitan dengan pengawasan dari luar yaitu dari Diknas
sekolah secara langsung tidak mengeluarkan dana paling sekedar konsumsi sebagai
cara penerimaaan tamu yang normatif. Uang transport pengawas biasanya diberikan
oleh pihak Diknas.
205
Jadi,
dalam kegiatan
pengelolaan
pembelajaran
secara
keseluruhan,
keberadaan dana (uang) sangat menentukan kualitas proses. Wacana yang sering
muncul di masyarakat mengatakan, bahwa uang memang bukan segalanya, tetapi
semua kegiatan memerlukan uang. Dengan demikian faktor dana sangat berpengaruh
pada kualitas terselenggaranya program dalam satuan pendidikan.
6.4 Faktor Pola Berpikir dalam Pengelolaan Pembelajaran
Pengelolaan pembelajaran berhubungan langsung dengan guru, sementara itu
kinerja guru banyak dipengaruhi oleh pimpinan sekolah, pengawas dan penguasa
dalam hal ini pihak Diknas. Sasaran pelaksanaan pembelajaran dan penilaian yang
dilakukan oleh guru adalah keberhasilan siswa dalam menghadapi ujian nasional dan
lomba-lomba akademik. Orientasi berpikir seperti tersebut karena adanya tuntutan
dari pihak pimpinan sekolah. Pimpinan sekolah dituntut oleh struktur yang lebih di
atas yaitu pemerintah dalam hal ini Diknas melalui pengawas. Pola berpikir guru
yang
berorientasi
agar
siswa
berhasil
UN
dan
lomba-lomba
akademik,
mengakibatkan proses pembelajaran mengutamakan latihan soal, dan evaluasi lebih
banyak porsinya dalam peniliaian ranah kognitif. Sementara itu, kegiatan praktikum,
penilaian ranah afektif dan psikomotorik nyaris terabaikan. Pola berpikir yang dianut
adalah pola berpikir pragmatis, ingin memperoleh hasil dengan segera.
UN bukan lagi sebagai instrumen pemetaan tetapi sudah menjadi tujuan oleh
guru dan sekolah. Ketika pola berpikir pendidik di sekolah lebih mengutamakan UN
maka dalam tindakan dan proses pembelajaran mengarahkan untuk hal tersebut. Hal
206
ini sejalan dengan konsep yang ada di dalam filsafat pendidikan mengenai gagasan
tentang manusia. Gagasan tentang manusia akan menentukan pendidikan macam dan
model apa yang akan diterapkan terhadap siswa. Browne (2008) menyatakan bahwa
pikiran adalah gaya dan energi, sebuah kekuatan yang kreatif. Setiap segi kehidupan
itu dimunculkan oleh pikiran. Ada pikiran yang luhur, hina, rendah, mulia, baik, dan
jahat. Semua keberhasilan dan kegagalan merupakan akibat dari pikiran. Jadi, dapat
dikatakan bahwa pikiran yang memengaruhi ucapan dan tindakan. Segala sesuatu
yang dilakukan tergantung dari apa yang dipikirkan, artinya pola berpikir
memengaruhi tindakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
6.5 Pembahasan
Pengelolaan pembelajaran meliputi proses perencanaan, pelaksanaan,
penilaian, dan pengawasan pembelajaran. Kualitas pengelolaan pembelajaran kimia
di SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar yang dipaparkan di atas, ternyata ada
aspek pengelolaan pembelajaran yang berkualitas baik dan ada aspek pembelajaran
kimia yang berkualitas rendah. Faktor-faktor pendukung yang menjadikan berkualitas
baik dan faktor-faktor penyebab yang mengakibatkan berkualitas rendah, telah
diuraikan pada uraian sebelumnya. Faktor-faktor tersebut dapat dianggap sebagai
faktor-faktor yang memengaruhi kualitas pengelolaan pembelajaran kimia. Setelah
dilakukan pengategorian maka dapat dinyatakan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi kualitas pengelolaan pembelajaran kimia adalah (1) guru, (2) pimpinan/
kekuasaan, , (3) dana/modal ekonomi, dan (4) pola berpikir.
207
Guru sebagai ujung tombak pelaksana kurikulum di sekolah sangat
menentukan kualitas proses pembelajaran. Guru di dalam proses pembelajaran
memegang peranan yang sangat penting, seperti yang dikemukakan oleh para pakar
pendidikan bahwa bagaimanapun hebatnya kurikulum yang tertulis jika berada di
tangan guru yang tidak kompeten, maka kurikulum itu tidak akan bermakna. Peranan
guru sangat menentukan untuk tercapainya kurikulum dan kualitas pendidikan. Oleh
karena itu, guru harus kompeten dan profesional.
Di samping guru yang menentukan kualitas proses pembelajaran, juga
pimpinan sekolah. Pimpinan sekolah wajib memberikan pengarahan, meminta
tagihan kepada guru, sesuai dengan tujuan dan orientasi berpikirnya. Pimpinan di
sekolah sering berperan sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah dalam hal ini
Diknas di daerah (penguasa). Kebijakan yang diberlakukan di sekolah pada umumnya
merupakan kebijakan dari pihak Diknas.
Pengawas satuan pendidikan juga memegang peran yang strategis dalam
menentukan kualitas proses pembelajaran. Pengawas memiliki wewenang untuk
melakukan pemantauan, supervisi, dan evaluasi pada guru dalam melaksanakan
proses pembelajaran. Dalam proses pengawasan tersebut ada kegiatan diskusi,
pengarahan, untuk perbaikan pembelajaran. Oleh karena itu, diperlukan seorang
pengawas yang kompeten dan profesional.
Proses pembelajaran di sekolah selalu memerlukan sarana, prasarana
pembelajaran, apalagi materi kimia yang mewajibkan adanya praktikum, tidak boleh
lepas dari alat-alat dan bahan kimia. Sarana penunjang pembelajaran ini bisa
208
diadakan apabila ada dana yang mendukung. Keadaan dana pada SMA RSBI
sesungguhnya sangat memadai untuk keperluan pengelolaan pendidikan dan
pembelajaran.
Pola berpikir atau paradigma berpikir guru, pimpinan sekolah/penguasa, dan
pengawas sangat memengaruhi kualitas pengelolaan pembelajaran. Pola berpikir yang
senantiasa teratur mengikuti peraturan yang sudah digariskan dan direncanakan
cenderung menghasilkan sesuatu yang lebih berkualitas. Akan tetapi, apabila pola
berpikir hanya berorientasi pada satu aspek saja, maka keberhasilan aspek tersebut
yang berkualitas baik, sementara aspek-aspek lain terabaikan. Pada dewasa ini guru
cenderung mengikuti pola berpikir atau orientasi berpikir struktur yang lebih di atas,
walaupun sudah ada pedoman pelaksanaan kegiatan yang harus dilakukan berupa
kurikulum.
Menurut Mulyasa implemetasi kurikulum dipengaruhi oleh karakteristik
kurikulum, strategi implementasi, dan karakteristik pengguna kurikulum. Mars 1998
dalam Mulyasa (2008) mengemukakan tiga faktor yang memengaruhi implemetasi
kurikulum, yaitu dukungan kepala sekolah, dukungan rekan sejawat guru, dan
dukungan internal yang datang dari dalam diri guru sendiri. Dari berbagai faktor
tersebut guru merupakan faktor penentu di samping faktor-faktor yang lain (Mulyasa,
2008). Hal senada juga dikemukakan oleh mantan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Fuad Hassan, tanpa guru yang kreatif dan dapat diandalkan penguasaan
materinya, mustahil suatu sistem pendidikan berikut kurikulum serta muatan
kurikulernya dapat mencapai hasil yang diidealkan. Kurikulum memang penting,
209
tetapi bisa berhenti sebagai perangkat mati yang masih membutuhkan sosok-sosok
guru untuk menerjemahkan dalam praksis pengajaran (Kartono, 2009).
Empat faktor yang disebutkan di atas yang berpengaruh dalam pengelolaan
pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar, sejalan dengan
teori praktik sosial yang dikemukakan oleh Bordieu. Bordieu menyatakan sebuah
rumus yang menerangkan mengenai praktik sosial, yaitu (Habitus x Modal) + Ranah
= Praktik (Bordieu, 1984 dalam Harker, 2009).
Habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas
sosial. Individu menggunakan habitus dalam berurusan dengan realitas sosial.
Habitus merupakan struktur objektif yang terbentuk dari pengalaman individu
berhubungan dengan individu yang lain dalam jaringan struktur objektif yang ada
dalam ruang sosial. Habitus diindikasikan oleh skema-skema yang merupakan
perwakilan konseptual dari benda-benda dalam realitas sosial. Dalam tingkah laku
seseorang, penyesuaian diri sering kali terimpilkasikan melalui sense seseorang pada
keberjarakan sosial atau terimplikasikan dalam sikap-sikap tubuh mereka. Oleh sebab
itu, tempat dan habitus seseorang membentuk basis persahabatan, cinta, dan
hubungan pribadi lainnya dan mengubah kelas-kelas teoretis menjadi kelompokkelompok real. Menjadi jelas bahwa habitus dapat dipandang bekerja pada tingkat
bawah sadar.
Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang
beroperasi di dalam ranah. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modalmodal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Menurut
210
Bordieu, definisi modal sangat luas dan mencakup hal-hal material (yang dapat
memiliki nilai simbolik) dan berbagai atribut yang tak tersentuh. Namun, memiliki
signifikansi secara kultural, misalnya prestise, status, dan otoritas yang dirujuk
sebagai modal simbolik serta modal budaya (yang didefinisikan sebagai selera
bernilai budaya dan pola-pola konsumsi). Modal budaya dapat mencakup rentangan
luas seperti seni, pendidikan, dan bentuk-bentuk bahasa. Modal mesti ada di dalam
sebuah ranah agar ranah tersebut dapat memiliki arti (Harker, 2009).
Ranah diartikan sebagai jaringan relasi antarposisi objektif dalam suatu
tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak individual. Konsepsi
ranah yang digunakan Bordieu tidak dipandang sebagai ranah yang berpagar di
sekelilingnya, tetapi sebagai “ranah kekuatan”. Ranah merupakan ranah kekuatan
yang secara parsial bersifat otonom dan juga merupakan suatu ranah yang di
dalamnya
berlangsung
perjuangan
posisi-posisi.
Perjuangan
ini
dipandang
mempertahankan ranah kekuatan. Posisi-posisi ditentukan oleh pembagian modal
khusus untuk para aktor yang berlokasi di dalam ranah tersebut. Ketika posisi-posisi
dicapai mereka dapat berinteraksi dengan habitus untuk menghasilkan postur berbeda
yang memiliki suatu efek tersendiri pada ekonomi ‘pengambilan posisi’ di dalam
ranah tersebut.
Praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus sebagai produk
sejarah dan ranah yang juga merupakan produk sejarah. Pada saat bersamaan, habitus
dan ranah juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada di masyarakat.
Dalam suatu ranah ada pertaruhan kekuatan- kekuatan orang yang memiliki banyak
211
modal dan orang yang tidak memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi
kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Setiap ranah
menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik
dan bertahan di dalamnya. Di dalam ranah pertarungan sosial selalu terjadi. Mereka
yang memiliki modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih
mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan
dengan mereka yang tidak memiliki modal. Bordieu menggunakan atribut utama
tentang praktik, yaitu konsep-konsep tentang otonomi relatif, trajektori personal, dan
kelas, dan terutama sifat dasar strategi dan perjuangan posisi-posisi di dalam ranah.
Berlandaskan pemikiran praktik sosial Bordieu, kalau mencermati faktorfaktor yang memengaruhi kualitas pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan
SMAN 1 Gianyar dalam ststus RSBI adalah merupakan modal-modal yang sudah
dimiliki oleh sekolah. Faktor guru, pimpinan sekolah, pengawas dapat diartikan
sebagai modal kekuasaan, sementara faktor dana dapat diartikan sebagai modal
ekonomi, dan di sisi lain faktor pola berpikir sebagai habitus. Habitus yang dimiliki
oleh setiap individu di sekolah berinteraksi dengan berbagai bentuk modal dalam
sebuah ranah (sekolah) sehingga praktik sosial dalam hal ini perjuangan posisi atau
perjuangan kelas berupa kualitas dapat diraih. Jadi, berkualitas atau kurang
berkualitasnya sebuah program sebagai sebuah perjuangan kelas dalam praktik sosial
ditentukan oleh adanya modal dan habitus.
Dalam konteks pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan
SMAN 1 Gianyar dewasa ini, jika dilihat dari aspek modal kekuasaan dan modal
212
ekonomi, sesungguhnya sangat memadai untuk meraih posisi dalam perjuangan
kelas, menuju predikat berkualitas baik apabila disertai dengan habitus, yakni pola
berpikir atau komitmen yang sesuai dengan yang telah digariskan. Pola berpikir guru,
pimpinan, dan kekuasaan memiliki komitmen tidak seimbang pada seluruh aspek
yang terkait pengelolaan pembelajaran. Di dalam kenyataannya guru, pimpinan
sekolah, dan pihak penguasa hanya berkomitmen pada aspek-aspek tertentu sehingga
kualitas yang baik hanya pada aspek-aspek tertentu. Oleh karena itu, perlu pola
berpikir yang sistemik, menyeluruh, dan berpegang pada hakikat pembelajaran dan
pendidikan.
Download