BAB III FINAL DAN MENGIKAT DALAM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK dapat dilakukan melalui pengadilan dan luar pengadilan. Melalui luar pengadilan yang dimaksudkan adalah penyelesaian sengketa konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Penyelesaian sengketa melalui BPSK terdapat 3 alternatif penyelesaian yakni konsiliasi, mediasi dan arbitrasi. Berdasarkan Pasal 54 ayat (3) yang berbunyi “putusan majelis bersifat final dan mengikat” sedangkan Pasal 56 ayat (2) berbunyi “para pihak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.” Hal ini memperlihatkan ketidakkonsistenan dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK. Seperti yang telah dijelaskan pada penjelasan Pasal 54 ayat (3) berbunyi “Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding maupun kasasi.” Sehingga penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK yang telah diputuskan baik itu melalui konsiliasi atau mediasi atau arbitrase bekekuatan hukum tetap. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang, tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu.1 Dengan dikeluarkannya 1 Taufik Makarao, Op.Cit., h 131. 50 51 putusan yang bersifat final, maka dengan sendirinya sengketa yang diperiksa telah berakhir. Para pihak yang bersengketa harus tunduk dan melaksanakan putusan yang telah bersifat final itu. Pada Bab ini penulis akan membahas mengenai. Pertama, konsep final dan mengikat suatu putusan hakim. Kedua, konsep upaya hukum “keberatan”. Ketiga, penyelesaian sengketa konsumen. Keempat, sifat final dan mengikat pada hakekatnya bukan merupakan sifat putusan BPSK A. Konsep Final dan Mengikat Suatu Putusan Hakim 1. Pengertian Putusan Hakim Tujuan diadakannya suatu proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau luar pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim. Putusan hakim atau biasa disebut dengan istilah putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nantikan oleh pihak-pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan hakim tersebut para pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam sengketa yang dihadapi. Untuk itu penulis melihat beberapa literatur untuk menemukan pengertian mengenai putusan hakim/pengadilan. terdapat beberapa definisi yang berbeda mengenai putusasn hakim, namum bila dipahami secara seksama diantara definisidefini tersebut maka kita akan mendapatkan suatu pemahaman yang sama antara satu definisi dengan definisi lainnya. I. Rubini dan Chaidir Ali merumuskan “keputusan hakim itu merupakan suatu akta penutup dari suatu proses perkara 52 danputusan hakim itu disebut Vonnis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat pula akibat-akibatnya.”2 Sudikno Mertokusumo memberti batasan putusan hakim adalah “suatu putusan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau suatu sengketa antara para pihak.”3 Dalam definisi ini Sudikno mencoba untuk menekankan bahwa yang dimaksud dengan putusan hakim itu adalah yang diucapkan di depan persidangan. Sebenarnya putusan yang diucapkan di persidangan (uitspraak) memang tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonnis). Namum, apabila ternyata ada perbedaan antara keduanya, maka yang sah adalah yang diucapkan, karena lahirnya putusan itu sejak diucapkan. 4 Hal ini sebagaimana yang diintruksikan oleh Mahkamah Agung melalui surat edaran No. 5 Tahun 1959 tanggal 20 April 1959 dan No. Tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962 yang antara lain mengintruksikan agar pada waktu putusan diucapkan konsep putusan harus sudah selesai. Sekalipun maksud surat edaran tersebut ialah untuk mencegah hambatan dalam penyelesaian perkara, tetapi dapat dicegah pula adanya perbedaan ini putusan yaang diucapkan dengan yang tertulis.5 Hal ini senada juga disampaikan oleh Muhammad Nasir yang mendefinisikan putusan hakim sebagai “suatu pernyataan (statement) yang dibuat oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan ucapkan di muka sidang dengan tujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara 2 I. Rubi dan Chaidir Ali, Pengantar Hukum Acara Perdata, Bandung: Penernit Alumni, 1974, h. 105. 3 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1993, h. 174. 4 Ibid., h. 158. 5 Ibid. 53 antara para pihak yang bersengketa.”6 Dan Moh.Taufik Makarao memberikan arti putusan hakim sebagai “suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.”7 Sementara itu, beberapa ahli hukum lainnya, seperti Lilik Mulyadi dan Riduan Syahrani memberikan definisi putusan yang hanya terbatas dalam ruang lingkup hukum acara perdata. Lilik Mulyadi memberikan definisi putusan hakim yang ditinjau dari praktik dan teoritis, yaitu “putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara perdata terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara perdata pada umumnya dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara.”8 Sedangkan Riduan Syahrani lebih suka menggunakan istilah putusan pengadilan sebagai “pernyataan yang diucapkan hakim pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.”9 Dari uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan putusan hakim pada hakikatnya adalah suatu pernyataan yang dibuat dalam bentuk tertulis oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi kewenangan untuk itu dan diucapkan di depan persidangan yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara perdata pada umumnya dengan tujuan menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara perdata guna terciptanya kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak yang bersengketa. 6 Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan, 2005, h. 42. Taufik Makarao, Op.Cit., h 124. 8 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Jakarta: PT Djambatan, 2008 (selanjutnya disingkat Lilik Mulyadi I), h. 4-6. 9 Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta: Pustaka Kartini, 1988, h. 83. 7 54 2. Jenis Putusan Hakim Berdasarkan ketentuan Pasal 185 ayat (1) Herziene Indlandsch Reglement (HIR), Pasal 196 ayat (1) Rechtsredlement Buitengewesten (RBg). Maka dapatlah disebutkan jenis-jenis putusan hakim, yaitu:10 a. Putusan yang bukan putusan akhir Putusan yang bukan putusan akhir atau lazim disebut dengan istilah “putusan sela”, “putusan antara”, “tussen vonnis”, “putusan sementara”, atau “interlocutoir vonnis”, yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum memutuskan pokok perkaranya dimaksudkan agar mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Dalam konteks ini hakim tidaklah terkait pada “putusan sela” yang telah dijatuhkan oleh karena pemeriksaan perkara perdata harus dianggap merupakan suatu kesatuan sehingga putusan sela hanya bersifat putusan sementara dan bukan putusan tetap serta perkara belum selesai. Pada pokoknya “putusan sela” tersebut dapat berupa: 1) Putusan preparatoir yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim guna mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara. Sifat dasar dari putusan preparator adalah tidak mempengaruhi pokok perkara itu sendiri. 2) Putusan interlocutoir adalah putusan sela yang dijatuhkan oleh hakim dengan amar berisikan perintah pembuktian dan dapt mempengaruhi pokok perkara. 3) Putusan provisional yaitu putusan (karena adanya hubungan dengan pokok perkara) menetapkan suatu tindakan sementara bagi kepentingan salah satu pihak berperkara. 4) Putusan incidentiel yaitu penjatuhkan putusan hakim berhubung adanya “insiden”, yaitu menurut Rv. Diartikan sebagai timbulnya kejadian yang menunda jalannya perkara. b. Putusan akhir Putusan akhir atau biasa disebut dengan istilah “eind vonnis” atau “final judegement”, yaitu putusan dijatuhkan oleh hakim sehubungan dengan pokok perkara dan mengakhiri perkara pada tingkat peradilan tertentu. 10 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia: Teori, Praktik, Teknik Membuatnya dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009 (selanjutnya disingkat Lilik Mulyadi II), h. 156-160. 55 Ditinjau dari sifatnya, maka “putusan akhir” dapat dibagi berupa: 1) Putusan deklarator (declaratoir vonnis) ialah putusan yang dijatukan oleh hakim dengan sifat menerangkan, di mana ditetapkan suatu keadaan hukum atau menentukan benar adanya situasi hukum yang dinyatakan oleh penggugat/pemohon. Misalnya oleh hakim ditetapkan seorang anak tertentu adalah anak sah, ditetapkan tentang kelahiran seseorang, penetapan tentang seseorang sebagai ahli waris, dan sebagainya. 2) Putusan konstitutif (constitutief vonnis) adalah putusan hakim di mana keadaan hukum dihapuskan atau ditetapkan suatu keadaan hukum baru. Misalnya, putusan tentang pernyataan pailit, pembatalan suatu perjanjian, perceraian, dan sebagainya. 3) Putusan kondemnator (condemnatoir vonnis) adalah putusan hakim dengan sifat berisi penghukuman salah satu pihak untuk memenuhi prestasi. Misalnya, menghukum tergugat untuk mengembalikan sesuatu barang kepada penggugat atau menghukum tergugat untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada penggugat, dan sebagainya. 4) Putusan kontradiktor (contradictoir vonnis) adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam hal tergugat pernah datang menghadap di persidangan walau sekalipun ia tidak memberi perlawanan/pengakuan. Misalnya, si A (penggugat) menggugat si B (tergugat) karena masalah hutang piutang di pengadilan negeri. Setelah dipanggil dengan sah dan patut, si B pada persidangan datang dan selanjutnya tidak pernah datang lagi hingga perkara selesai diperiksa. Terhadap perkara tersebut dimana si B pernah datang menghadap diputus dengan putusan contradictoir. 5) Putusan verstek (verstek vonnis) adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam hal tergugat/semua tergugat tidak pernah hadir di persidangan meskipun telah dipanggil dengan sepatutnya untuk datang menghadap. 56 3. Kekuatan Putusan Hakim Mengenai kekuatan putusan ini sebenarnya sama sekali tidak dimuat dalam HIR maupun RBg, kecuali pasal 180 HIR dan pasal 191 RBg yang hanya menyebutkan adanya suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Untuk itu, dengan adanya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka suda tentu ada juga putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang masih terbuka kesempatan untuk menggunakan upaya hukum melawan putusan itu.11 Misalnya perlawanan (verzet), banding, atau kasasi. sedangkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang tidak ada kesempatan lagi untuk meggunakan upaya hukum biasa (perlawanan (verzet), banding, atau kasasi) melawan putusan itu.12 Jadi putusan itu tidak dapat diganggu gugat.13 Dengan demikian, Putusan hakim yang bersifat final dan mengikat adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau tidak ada upaya hukum biasa untuk melawan putusan itu dan memiliki kekuatan eksekutorial. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terdapat 3 (tiga) macam kekuatan untuk dapat dilaksanakan.14 1) Kekuatan mengikat Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan 11 Taufik Makarao, Op.Cit., h 131. Ibid. 13 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. V, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, h. 174-175 14 Muhammad Nasir, Op.Cit., h. 190-194 12 57 menetapkan hak atau hukumnya. Apabila yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka secara damai, dan kemudian menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa dan diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersengketa itu mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang bersengketa. 2) Kekuatan pembuktian Dituagkannya putusan dalam bentuk tertulis, yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukan untuk mengajukan upaya hukum. karena meskipun putusan hakim atau putusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga, namun mempunyai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga. 3) Kekuatan executoriaal Kekuatan executoriaal dalam putusan hakim atau putusan pengadilan adalah kekuatan untuk melaksanakan secara paksa oleh alat-alat negara terhadap pihak-pihak yang tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Sebenarnya yang memberi kekuatan executoriaal kepada putusan hakim atau putusan pengadilan adalah kata-kata, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang ada pada setiap putusan. Akan tetapi tidak semua putusan dapat dilaksanakan secara paksa oleh pengadilan. hanya putusan condemnatoir sajalah yang dapat dilaksanakan secara paksa oleh pengadilan, sementara putusan declatoir dan constitutif tidaklah memerlukan sarana-sarana memaksa untuk dapat melaksanakannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan BPSK final dan mengikat berarti tidak ada peluang untuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan tersebut tetapi pada UUPK memberikan peluang bagi para pihak untuk mengajukan upaya “keberatan”. Hal ini tidak sesuai dengan hakikat final dan mengikat. Pada sisi lain, putusan BPSK yang berisikian pemberian ganti kerugian pelaku usaha kepada konsumen merupakan bentuk penghukuman. Hal ini membuat Putusan BPSK merupakan putusan yang bersifat condemnatoir. 58 Implikasi dari sifat putusan condemnatoir adalah putusan tersebut memiliki kekuatan eksekutorial. Namun, pada putusan BPSK tidak terdapat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Inilah yang membuat putusan BPSK tidak dapat dieksekusi. B. Konsep Upaya Hukum “Keberatan” 1. Upaya Hukum Berdasarkan Sistem Peradilan di Indonesia Pada hukum acara terdapat terdapat upaya-upaya hukum yang dapat dibagi menjadi upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa atau upaya hukum istimewa. Upaya hukum biasa dapat berupa: a. Perlawanan (verzet) adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat (Pasal 125 ayat (3) dan Pasal 129 HIR, Pasal 149 ayat (3) dan Pasal 153 RBg).15 b. Banding (revisi) adalah salah satu bentuk upaya hukum untuk mendapatkan perbaikan (revisi) terhadap putusan hakim di pengadilan tingkat pertama yang disediakan bagi pihak yang dikalahkan (Pasal 6 Undang-Undang No. 20 Tahun 1974, Pasal 199 RBg, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004).16 c. Kasasi (cassatie) adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas putusan pengadilan-pengadilan lain (Wirjono Prodjodikoro, 1970). Sedangkan menurut Supomo, kasasi adalah tindakan Mahkamah Agung untuk menegakan dan 15 16 Muhammad Nasir, Op.Cit., h. 209. Lilik Mulyadi II, Op. Cit., h. 313. 59 memperbaiki hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkatan tertinggi17 (Pasal 43 dan Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 dan Pasal 45 ayat (1) UndangUndang No. 4 Tahun 2004). sedangkan upaya hukum luar biasa yang dapat berupa peninjauan kembali. Peninjauan kembali (herziening) adalah salah satu bentuk upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh terhadap putusan yang telah dijatuhkan pada tingkat terakhir atau putusan verstek serta putusan yang tidak terbuka lagi kemungkinan untu mengajukan perlawanan, karena telah memperoleh kekuatan hukum tetap18 (Pasal 23 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 serta dalam Pasal 34 dan Pasal 67-76 Undang-Undang No. 3 Tahun 2009) Upaya hukum biasa pada asasnya terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Wewenang untuk menggunakannya hapus dengan menerima putusan. Upaya hukum biasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara.19 Pada perkara perselisihan hubungan industrial ataupun perkara niaga tidak dikenal dengan upaya hukum banding sehingga dalam PHI dan pengadilan niaga hanya dapat dilakukan upaya hukum biasa berupa verzet dan kasasi serta upaya hukum luar biasa yang dapat berupa peninjauan kembali. 17 Muhammad Nasir, Op.Cit., h. 219. Ibid., h. 226 19 Taufik Makarao, Op.Cit., h. 160. 18 60 2. Konsep Upaya Keberatan secara terminologi upaya keberatan tidak dikenal dalam sistem hukum acara yang ada.20 Apakah upaya keberatan harus diajukan dalam acara gugatan, perlawanan, atau permohonan dan perlu atau tidaknya BPSK turut digugat agar dapat secara langsung didengar keterangannya. Di pihak pengadilan akan menimbulkan permasalahan tersendiri, karena pengajuan keberatan ini akan didaftarkan pada register apa karena pengadilan tidak mempunyai register khusus keberatan.21 Pada quasi peradilan yang lain, seperti Komisi Pengawasan Persaingan Usaha juga terdapat upaya keberatan. Komisi wajib memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran dengan jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari. Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Apabila pelaku usaha tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu tersebut maka dianggap menerima putusan Komisi. Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan pelaku usaha dengan jangka waktu 14 (empat belas) hari dan Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Sekilas Komisi Pengawasan Persaingan Usaha sama dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terkait dengan dapat dilakukannya upaya keberatan. Namun, terdapat perbedaan yang mencolok terkait upaya kebertan antara BPSK (diatur pada UUPK) dengan KPPU (diatur dalam UU No. 5 20 21 Vide Bab III B Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., h. 262. 61 Tahun1999) yaitu pada Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan “apabila tidak terdapat keberatan, putusan komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap” sedangkan pada UUPK tidak diatur mengenai penegasan tersebut Salah satu kendala yang cukup membutuhkan perhatian adalah upaya keberatan yang dapat ditempuh oleh para pihak ke Pengadilan Negeri atas suatu putusan BPSK yang dalam ketentuan UUPK sudah dengan tegas dinyatakan bersifat final dan mengikat. UUPK tidak menegaskan secara limitatif luas lingkup adanya “keberatan” terhadap putusan BPSK ini. Memperhatikan praktik peradilan saat ini, implementasi instrumen hukum “keberatan” ini sangat membingungkan dan menimbulkan berbagai persepsi, dan interpretasi, terutama bagi para hakim dan lembaga peradilan sendiri, sehingga timbul berbagai penafsiran akan arti dan maksud suatu undang-undang. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi mengambil sikap untuk menjembatani adanya kekosongan prosedural dan kebuntuan dalam proses pelaksanaan penyelesaian sengketa, dan juga karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak, maka MA menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan BPSK (selanjutnya disingkat dengan PERMA No. 1 Tahun 2006). Mahkamah Agung menetapkan bahwa keberatan merupakan upaya hukum yang 62 hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK saja, tidak meliputi putusan BPSK yang timbul dari mediasi dan konsiliasi.22 PERMA No. 1 Tahun 2006 ini diharapkan untuk sementara sambil menunggu perubahan undang-undang, dapat menyelesaikan berbagai masalah yang timbul, walaupun harus diakui bahwa PERMA No. 1 Tahun 2006 bukan merupakan satu-satunya jalan keluar yang dapat menjawab keseluruhan kendala yang selama ini masih belum jelas, karena keterbatasan kewenangan yang dimiliki Mahkamah Agung dalam menerbitkan PERMA No. 1 Tahun 2006. Mahkamah Agung hanya berwenang memberi penjelasan terhadap acara yang tidak jelas atau undang-undang tidak memberikan aturan pelaksanaannya. Namun, ketentuan PERMA No. 1 Tahun 2006 ini tidak mengikat. Meskipun tidak mengikat tetapi pada umumnya diikuti tidak saja oleh badan peradilan di bawah Mahkamah Agung,23 tetapi juga oleh para praktisi hukum.24 Permasalahan diatas telah terjawab dalam Pasal 5 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2006, bahwa keberatan diajukan melalui perkara perdata dan disertai dengan panjar perkara. PERMA No. 1 Tahun 2006 juga menetapkan bahwa dalam pengajuan keberatan lembaga BPSK tidak menjadi pihak. Demikianlah upaya keberatan yang diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2006, walaupun dikatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen terkhusus melalui BPSK yang diatur dalam UUPK tidak sempurna tetapi proses penegakan hukumnya masih dapat secara maksimal dijalankan untuk memberikan putusan yang adil dan memberikan kepastian hukum bagi konsumen terkhususnya. 22 Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2006 Nomor 13/Pdt.Sus.BPSK/2013/PN. Bky, h. 18. 24 Nomor 14/Pdt.Sus-BPSK/2015/PN.Grt, h. 1. 23 63 Upaya keberatan atas putusan arbitrase BPSK dapat diajukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.25 Pertama, surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu. Kedua, setelah putusan arbitrase BPSK diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan. Ketiga, putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Atas dasar alasan untuk mengajukan upaya keberatan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa tujuan dari diperlukannya upaya keberatan dalam UUPK adalah untuk memberikan penyelesaian sengketa secara patut kepada para pihak. Pada saat penyelesaian sengketa konsumen dapat diselesaiakan secara patut maka salah satu dari tujuan hukum dapat terlaksana, yaitu keadilan. Hal ini sesuai dengan asas keadilan yang dituangkan dalam pasal 2 UUPK. Kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan menilai putusan arbitrase BPSK tidak saja meliputi aspek formal saja, tetapi juga termasuk boleh menilai pokok perkara dan hal-hal lain yang menyangkut aspek materiilnya, sepanjang majelis hakim dapat memberikan putusan dalam tenggang waktu 21 hari sejak sidang pertama dilakukan.26 Berdasarkan pertimbangan sisi limitasi waktu tersebut, sebaiknya ditentukan bahwa pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan BPSK dan berkas perkara saja. Oleh karena itu, tertutup kemungkinan pemeriksaan bukti-bukti baru dan saksi-saksi yang sebelumnya tidak diajukan pada pemeriksaan arbitrase BPSK. Dengan demikian, penulis 25 26 Pasal 6 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2006 Pasal 6 Ayat (7) PERMA No. 1 Tahun 2006. 64 berpendapat upaya keberatan yang diajukan oleh pihak yang menolak putusan BPSK tiada lain haruslah ditafsirkan sebagai upaya banding. C. Penyelesaian Sengketa Konsumen Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan pilihan kepada para pihak secara sukarela untuk menyelesaian sengketa melalui 2 (dua) cara, yaitu : Pertama, melalui luar pengadilan. penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat dilakukan secara damai atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase (choice of forum). Kedua, penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Proses beracara dalam penyelesaian sengketa konsumen itu diatur dalam UUPK. Karena UUPK ini hanya mengatur beberapa pasal ketentuan beracara, maka secara umum peraturan hukum acara seperti dalam Herziene Indonesische Reglement (HIR) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tetap berlaku. Penyelesaian sengketa konsumen secara damai ini didasarkan pada Pasal 45 Ayat (2) UUPK. Pada ketentuan tersebut tidak menutup kemungkinan para pihak dapat menyelesaikan sengketa konsumen secara damai, tanpa melalui pengadilan atau melalui BPSK. Dari penjelasan Pasal 45 Ayat (2) UUPK dapat diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian damai, merupakan upaya hukum yang justru harus terlebih dahulu diusahakan oleh para pihak yang bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan sengketa konsumen melalui BPSK atau badan peradilan. 65 Tiga cara persidangan di BPSK menurut Pasal 54 ayat (4) jo. Pasal 26 s.d. 36 SK No. 350/MPP/Kep/12/2001 adalah konsiliasi, mediasi, atau arbitrase. Berikut penjelasan tahap persidangannya masing-masing: 1) Konsiliasi Konsiliasi merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantara BPSK untuk mempertemukan pihak yang bersengketa, namun penyelesaiannya diserahkan ke para pihak27. BPSK bersikap pasif dalam persidangan karena inisiatifnya datang dari para pihak. BPSK bisa dikatakan sebagai perantara saja, sehingga tugas-tugasnya sebatas pada28 : memanggil para pihak yang bersengketa, memanggil saksi atau ahli bila diperlukan, menyediakan tempat/forum, menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha mengenai aturan hukum di bidang perlindungan konsumen. Tata cara penyelesaian lewat mekanisme, yakni: 1). Proses penyelesaian sengketa menyangkut bentuk atau jumlah ganti rugi diserahkan para pihak sementara BPSK pasif, kemudian 2). Hasil musyawarah dikeluarkan BPSK dalam bentuk Putusan BPSK. (Ps. 28 s.d. 29 KEPMENDAGRI No. 350/MPP/Kep/12/200) 2) Mediasi Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantara BPSK sebagai penasihat para pihak yang bersengketa, namun penyelesaiannya tetap diserahkan ke para 27 28 Pasal 1 angka 9 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. Pasal 28 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. 66 pihak29. BPSK nampak sudah bisa aktif dalam persidangan meskipun inisiatifnya tetap harus pertama kali datang dari para pihak. BPSK bisa dikatakan sebagai perantara sekaligus penasihat untuk memberikan solusi sengketa, sehingga lingkup tugastugasnya lebih luas daripada konsiliasi: memanggil para pihak yang bersengketa, memanggil saksi atau ahli bila diperlukan, menyediakan tempat/forum, aktif mendamaikan, aktif memberi saran atau anjuran sesuai aturan hukum di bidang perlindungan konsumen. Tata cara penyelesaian lewat mekanisme30, yakni: 1). Proses penyelesaian sengketa menyangkut bentuk atau jumlah ganti rugi diserahkan para pihak sementara BPSK aktif memberi nasihat, petunjuk, saran, dan upaya lain yang diperlukan dalam menyelesaikan sengketa, kemudian 2). Hasil musyawarah dikeluarkan dalam bentuk Putusan BPSK. (Ps. 30 s.d. 31 KEPMENDAGRI No. 350/MPP/Kep/12/2001) 3) Arbitrase Arbitrase merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dimana penyelesaian sepenuhnya diserahkan ke BPSK31. BPSK dapat sangat aktif dalam persidangan meskipun bahkan ketika tidak tercapai kata sepakat diantara mereka. BPSK bisa dikatakan sebagai penentu sengketa, sehingga lingkup tugastugasnya yang terluas dari kedua cara lain. Tahap penyelesaian dengan arbitrase, yaitu: Tahap 1). Para pihak memilih arbiter 29 Pasal 1 angka 10 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. Pasal 31 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. 31 Pasal 1 angka 11 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. 30 67 sebagai anggota majelis, kemudian para arbiter itu memilih arbiter ketiga yang adalah anggota BPSK dari unsur pemerintah sebagai Ketua Majelis BPSK; 2). Majelis memberi penjelasan kepada para pihak terkait ketentuan hukum yang berlaku; 3). Masing-masing pihak menjelaskan apa yang dipersengketakan; 4). Proses penyelesaian sengketa menyangkut bentuk atau jumlah ganti rugi diserahkan ke BPSK; dan yang terakhir adalah 5). Putusan BPSK dikeluarkan dengan wewenang penuh terhadap penyelesaian sengketa.32 Perlu diingat bahwa Arbitrase yang diatur dalam Pasal 52 butir a UUPK, tidak ada penggabungan antara BPSK dengan arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa.33 (Ps. 32 s.d. 36 KEPMENDAGRI No. 350/MPP/Kep/12/2001) Menurut Aman Sinaga, putusan BPSK ada dua jenis antara lain34: 1) Putusan hasil konsiliasi atau mediasi: Hanya mengukuhkan isi perjanjian perdamaian yang telah disetujui dan ditandatangani kedua belah pihak. Dwi menambahkan, sedapat mungkin diambil berdasar musyawarah mufakat, namun jika tidak berhasil akan digunakan voting. Hasil penyelesaian tidak memuat sanksi administratif dan dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani konsumen-pelaku usaha yang selanjutnya dikuatkan dengan putusan majelis35. 2) Putusan hasil arbitrase: Sama dengan putusan perkara perdata, memuat duduk perkara dan pertimbangan hukum 32 Happy Susanto, Loc.Cit., hlm. 179. Pendapat hukum Majelis Hakim Prof. Dr. Valerine J.L.K.,SH.,MA, Prof. Dr. Takdir Rahmadi,SH.,LLM. dan Soltoni Mohdally,SH.,MH., dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Put. No. 560 K/Pdt.Sus/2012, hlm. 26. 34 Aman Sinaga, "Peran dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Upaya Perlindungan Konsumen", 2004, hlm. 6. 35 Pasal 39 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. 33 68 dan dapat pula memuat sanksi administratif36. Sanksi ini berupa ganti rugi (Pasal 60 UUPK). Penyelesaian sengketa melalui proses pengadilan atau litigasi dapat dilakukan manakala upaya perdamaian telah gagal mencapai kata sepakat, atau para pihak tidak mau lagi menempuh alternatif perdamaian, maka para pihak dapat menempuh penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dengan cara pengajuan gugatan secara perdata yang diselesaikan menurut hukum acara perdata dan dapat menggunakan prosedur gugatan perdata konvensional, gugatan perwakilan/gugatan kelompok, gugatan/hak gugat LSM, gugatan pemerintah dan/atau instrumen terkait.37 Beberapa alternatif penyelesaian sengketa konsumen yang diberikan UUPK sangat membantu konsumen untuk memilih sesuai kebutuhannya yaitu pengadilan atau luar pengadilan (BPSK). Namun, dilihat berdasarkan proses penyelesaiannya konsumen akan lebih memilih BPSK sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa. Pada BPSK juga terbuka kesempatan bagi konsumen untuk memilih cara penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi atau konsiliasi atau arbitrase. Akan tetapi, jika melihat lebih dalam mengenai proses penyelesaian sengketa melalui BPSK akan nampak bahwa penyelesaian sengketa melalui BPSK membutuhkan waktu yang lama. Mengingat atas putusan dapat dilakukan upaya keberatan kepada Pengailan Negeri dengan jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima pemberitahuan putusan tersebut dan 36 37 Konsumen Pasal 37 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. Pasal 46 Ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan 69 Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan. Terhadapa putusan Pengadilan Negeri tersebut para pihak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi. Dengan demikian, penyelesaian sengketa konsumen tidak lagi cepat seperti yang diharapkan. D. Final dan Mengikat Pada Hakekatnya Bukan Merupakan Sifat Putusan BPSK Putusan BPSK bersifat final berarti putusan hukum tersebut tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan. Dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, bersifat final artinya sudah definitif dan kerenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Dengan dikeluarkannya putusan yang bersifat final maka dengan sendirinya sengketa yang telah diperiksa diakhiri atau diputuskan. Putusan final merupakan tindakan terakhir pengadilan dalam menentukan hak-hak para pihak dalam menyelesaikan segala persoalan dalam suatu sengketa, para pihak yang bersengketa harus tunduk dan melaksanakan putusan yang sudah bersifat final tersebut. Pasal 54 Ayat (3) UUPK menegaskan bahwa putusan majelis BPSK bersifat final dan mengikat. Kata “final” diartikan sebagai tidak adanya upaya banding dan kasasi. Pada penjelasannya yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak 70 ada upaya banding dan kasasi, berarti putusan BPSK tidak membutuhkan upaya hukum biasa untuk menolak putusan BPSK tersebut. Dengan demikian seharusnya putusan BPSK dapat dijalankan atau dieksekusi karena putusan yang tidak dapat dieksekusi menjadikan putusan tersebut tidak ada artinya dan tidak memberikan rasa keadilan bagi para pihak yang dirugikan. Namun, pada Pasal 56 Ayat (2) UUPK menyatakan para pihak tenyata dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri paling lambat 14 hari kerja setelah pemberitahuan putusan BPSK. Dengan dibukanya kesempatan mengajukan keberatan atas putusan BPSK itu tidak dapat dilakukan eksekusi, dapat disimpulkan bahwa putusan BPSK tersebut masih belum final. Bahkan atas putusan keberatan Pengadilan Negeri dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa dengan dimungkinkannya upaya keberatan maka sifat final dan mengikat atas putusan BPSK diartikan terbatas dalam lembaga BPSK saja, dengan kata lain BPSK tidak melayani upaya hukum lanjutan atas putusan yang dibuat. Namun terkait dengan substansi yang diputuskan sejatinya tidak bersifat final, karena upaya keberatan dapat ditafsirkan sebagai upaya banding.38 Melihat ketentuan Pasal 56 ayat (2) UUPK tambak bahwa pembuat undang-undang memang menghendaki campur tangan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa konsumen ini. Hal ini memberikan dampak yang mengganggu eksistensi dari BPSK dalam upaya memberikan perlindungan kepada konsumen, antara lain kesan negatif konsumen terhadap keberadaan lembaga 38 Vide Bab III B 2 71 BPSK, karena menurut konsumen pada akhirnya mereka akan kembali ke pengadilan juga akibat dari adanya upaya keberatan pada para pihak atas putusan BPSK tersebut.39 Sehingga keberadaan BPSK yang memiliki kemiripan dengan lembaga Small Claim Court dalam proses penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dan murah tidak bisa tercapai. Akibat dari proses yang panjang ini, maka perlindungan konsumen yang dicita-citakan atau diharapkan oleh UUPK menjadi terlaksana. Sedangkan putusan BPSK bersifat mengikat, mengikat maksudnya adalah memberikan beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subyek hukum. Dengan demikian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Inkracht van gewijsde) dan oleh karenanya putusan tersebut mengikat para pihak yang bersengketa. Berdasarkan hal itu maka putusan harus mempunyai kekuatan eksekutorial sebagai suatu kekuatan untuk melakukan apa yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut secara paksa oleh alat-alat negara.40 Seperti yang telah diatur pada Pasal 56 ayat (1) UUPK bahwa dalam waktu paling lama 7 hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut. Dalam eksekusi dikenal 5 (lima) asas yaitu:41 1) Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsde). 39 Kurniawan, Op.Cit., h. 137. Pengecualiannya ada, yaitu apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan (Pasal 180 HIR), putusan yang bersifat deklarator, akta perdamaian (Pasal 130 HIR), Eksekusi terhadap grosee akte (Pasal 224 HIR) 41 Wildan Suyuthi, Sita Eksekusi: Prektek Kejurusitaan Pengadilan, 2004, Jakarta: Tatanusa, h. 64. 40 72 2) Putusan hakim yanng akan dieksekusi harus bersifat menghukum (condemnatoir). 3) Putusan tidak dijalankan secara suka rela. 4) Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan. 5) Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan. Selanjutnya pada Pasal 57 UUPK mengatur mengenai bahwa putusan majelis dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan. Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial atau yang menjadi persyaratan pada suatu putusan untuk dapat dilaksanakan secara paksa baik putusan pengadilan maupun putusan arbitrase harus memuat kepala putusan atau disebut irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan inilah yang memberi kekuatan eksekutorial terhadap putusan. Namun, ketentuan mengenai prosedur permohonan eksekusi tidak diatur secara rinci dan jelas dalam UUPK. Bahkan pada putusan arbitrase BPSK tidak mewajibkan untuk pencantuman irah-irah tersebut.42 Hal ini berbeda dengan isi suatu putusan arbitrase menurut Pasal 54 ayat (1) butir a Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan suatu putusan arbitrase harus memuat kepala putusan atau irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Eksekusi terhadap putusan arbitrase BPSK seharusnya memperhatikan ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dan hukum acara perdata yang 42 Pada UUPK maupun Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 yang mengatur pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga BPSK, tidak mengatur mengenai kewajiban pencantuman irah-irah pada putusan BPSK. 73 berlaku dan perundang-undangan yang terkait, karena kurang rincinya pengaturan pengenai eksekusi tersebut. Pemilihan arbitrase dalam penyelesaian sengketa melalui BPSK, menjadikan BPSK menjadi suatu lembaga arbitrase dan untuk itu harus memperhatikan ketentuan arbitrase. Ketentuan Pasal 57 UUPK yang mengatur bahwa Putusan majelis bersifat final dan mengikat dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri. Selain ketentuan ini tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai eksekusi atas putusan BPSK dan tidak adanya ketentuan keharusan memuat irah-irah pada putusan arbitrase BPSK membuat penetapan eksekusi tersebut bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa suatu putusan harus memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pencantuman irah-irah ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut sehingga penghapusan irah-irah mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum.43 Dengan demikian, putusan arbitrase BPSK yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dimintakan penetapan eksekusi. Hal ini akan membuat putusan arbitrase BPSK menjadi siasia dan tujuan penyelesaian sengketa konsumen untuk memberikan keadilan tidak dapat terwujud. Sebagai contoh bahwa Kota Bandung Pernah mengajukan fiat eksekusi terhadap putusan arbitrase BPSK No. 66/Pts-BPSK/VII/2005 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 43 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 1985 tentang Putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap yang tidak memuat kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 74 menyetakan bahwa putusan BPSK tidak dapat dieksekusi karena tidak mempunyai irah-irah.44 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) tidak memiliki wewenang melaksanakan putusannya, sebagaimana memutuskan dan menetapkan ada atau tidak kerugian di pihak konsumen, dan wewenang menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar oleh pelaku usaha dan mewajibkan pelaku usaha untuk membayar ganti kerugian kepada konsumen, tetapi BPSK tidak diberikan kewenangan untuk melaksanakan sendiri hasil putusannya, BPSK harus lebih dahulu meminta penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sifat putusan BPSK final dan mengikat pada hakekatnya tidak sama dengan makna final dan mengikat pada suatu putusan lembaga pengadilan. hal ini memperlihatkan bahwa status dan kedudukan lembaga BPSK dinilai dari persepsi administrasi, hanya mempunyai kewenangan administrasi saja, maka putusannya dinilai tidak dapat menggunakan atribut yidusial. Dengan demikian BPSK dapat dikategorikan sebagai lembaga quasi peradilan dan sifat putusannya tidak sama dengan sifat putusan pengadilan utama. Oleh karenanya sifat final dan mengikat putusan BPSK hanya dapat diartikan sebagai kesepakatan atau perjanjian. Dengan kalimat berbeda, sifat putusan BPSK tidak final dan mengikat suatu putusan peradilan. Penulis berpendapat supaya tidak menjadi persoalan terkait penetapan eksekusi, maka sebaiknya pada putusan arbitrase BPSK di beri irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” atau paling tidak harus 44 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., h. 353. 75 memberikan pengaturan mengenai permintaan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri, seperti mengeluarkan peraturan yang mengharuskan Pengadilan Negeri memberikan penetapan eksekusi, supaya tidak terjadi lagi kasus seperti diatas dan ada persamaan dalam memahami penetapan eksekusi tersebut sekaligus kepastian hukum dapat tercapai. Jika hal tersebut sulit untuk dilaksanakan, maka menurut penulis lebih baik kewenengan BPSK menyelesaikan sengketa konsumen dicabut tetapi hanya sebatas memediasi antara konsumen dengan pelaku usaha atau melakukan pendampingan terhadap konsumen. maka dari itu, dengan adanya Small Claim Court di Indonesia, konsumen lebih baik mengajukan gugatan melalui lembaga tersebut, karena lebih memberi kepastian dan terutama keadilan dalam menyelesaikan sengketa konsumen.