Menggugat Sifat Final dan Mengikat Putusan Badan Penyelesaian

advertisement
BAB III
FINAL DAN MENGIKAT DALAM PUTUSAN BADAN
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK dapat dilakukan
melalui pengadilan dan luar pengadilan. Melalui luar pengadilan yang
dimaksudkan adalah penyelesaian sengketa konsumen di Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK). Penyelesaian sengketa melalui BPSK terdapat 3
alternatif penyelesaian yakni konsiliasi, mediasi dan arbitrasi. Berdasarkan Pasal
54 ayat (3) yang berbunyi “putusan majelis bersifat final dan mengikat”
sedangkan Pasal 56 ayat (2) berbunyi “para pihak dapat mengajukan keberatan
kepada pengadilan negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah
menerima
pemberitahuan
putusan
tersebut.”
Hal
ini
memperlihatkan
ketidakkonsistenan dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK.
Seperti yang telah dijelaskan pada penjelasan Pasal 54 ayat (3) berbunyi
“Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam
badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding maupun
kasasi.” Sehingga penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK yang telah
diputuskan baik itu melalui konsiliasi atau mediasi atau arbitrase bekekuatan
hukum tetap. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah
putusan yang menurut ketentuan undang-undang, tidak ada kesempatan lagi untuk
menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu.1 Dengan dikeluarkannya
1
Taufik Makarao, Op.Cit., h 131.
50
51
putusan yang bersifat final, maka dengan sendirinya sengketa yang diperiksa telah
berakhir. Para pihak yang bersengketa harus tunduk dan melaksanakan putusan
yang telah bersifat final itu.
Pada Bab ini penulis akan membahas mengenai. Pertama, konsep final dan
mengikat suatu putusan hakim. Kedua, konsep upaya hukum “keberatan”. Ketiga,
penyelesaian sengketa konsumen. Keempat, sifat final dan mengikat pada
hakekatnya bukan merupakan sifat putusan BPSK
A. Konsep Final dan Mengikat Suatu Putusan Hakim
1. Pengertian Putusan Hakim
Tujuan diadakannya suatu proses penyelesaian sengketa melalui
pengadilan atau luar pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim.
Putusan hakim atau biasa disebut dengan istilah putusan pengadilan merupakan
suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nantikan oleh pihak-pihak yang
berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaik-baiknya.
Sebab dengan putusan hakim tersebut para pihak yang bersengketa mengharapkan
adanya kepastian hukum dan keadilan dalam sengketa yang dihadapi.
Untuk itu penulis melihat beberapa literatur untuk menemukan pengertian
mengenai putusan hakim/pengadilan. terdapat beberapa definisi yang berbeda
mengenai putusasn hakim, namum bila dipahami secara seksama diantara definisidefini tersebut maka kita akan mendapatkan suatu pemahaman yang sama antara
satu definisi dengan definisi lainnya. I. Rubini dan Chaidir Ali merumuskan
“keputusan hakim itu merupakan suatu akta penutup dari suatu proses perkara
52
danputusan hakim itu disebut Vonnis yang menurut kesimpulan-kesimpulan
terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat pula akibat-akibatnya.”2
Sudikno Mertokusumo memberti batasan putusan hakim adalah “suatu
putusan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di
persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
suatu sengketa antara para pihak.”3 Dalam definisi ini Sudikno mencoba untuk
menekankan bahwa yang dimaksud dengan putusan hakim itu adalah yang
diucapkan di depan persidangan. Sebenarnya putusan yang diucapkan di
persidangan (uitspraak) memang tidak boleh berbeda dengan yang tertulis
(vonnis). Namum, apabila ternyata ada perbedaan antara keduanya, maka yang sah
adalah yang diucapkan, karena lahirnya putusan itu sejak diucapkan. 4 Hal ini
sebagaimana yang diintruksikan oleh Mahkamah Agung melalui surat edaran No.
5 Tahun 1959 tanggal 20 April 1959 dan No. Tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962
yang antara lain mengintruksikan agar pada waktu putusan diucapkan konsep
putusan harus sudah selesai. Sekalipun maksud surat edaran tersebut ialah untuk
mencegah hambatan dalam penyelesaian perkara, tetapi dapat dicegah pula
adanya perbedaan ini putusan yaang diucapkan dengan yang tertulis.5
Hal ini senada juga disampaikan oleh Muhammad Nasir yang
mendefinisikan putusan hakim sebagai “suatu pernyataan (statement) yang dibuat
oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan ucapkan
di muka sidang dengan tujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara
2
I. Rubi dan Chaidir Ali, Pengantar Hukum Acara Perdata, Bandung: Penernit Alumni,
1974, h. 105.
3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1993,
h. 174.
4
Ibid., h. 158.
5
Ibid.
53
antara para pihak yang bersengketa.”6 Dan Moh.Taufik Makarao memberikan arti
putusan hakim sebagai “suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara
yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.”7
Sementara itu, beberapa ahli hukum lainnya, seperti Lilik Mulyadi dan
Riduan Syahrani memberikan definisi putusan yang hanya terbatas dalam ruang
lingkup hukum acara perdata. Lilik Mulyadi memberikan definisi putusan hakim
yang ditinjau dari praktik dan teoritis, yaitu “putusan yang diucapkan oleh hakim
karena jabatannya dalam persidangan perkara perdata terbuka untuk umum setelah
melalui proses dan prosedural hukum acara perdata pada umumnya dibuat dalam
bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara.”8
Sedangkan Riduan Syahrani lebih suka menggunakan istilah putusan pengadilan
sebagai “pernyataan yang diucapkan hakim pada sidang pengadilan yang terbuka
untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.”9
Dari uraian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan putusan hakim pada hakikatnya adalah suatu pernyataan yang dibuat
dalam bentuk tertulis oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi kewenangan
untuk itu dan diucapkan di depan persidangan yang terbuka untuk umum setelah
melalui proses dan prosedural hukum acara perdata pada umumnya dengan tujuan
menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara perdata guna terciptanya kepastian
hukum dan keadilan bagi para pihak yang bersengketa.
6
Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan, 2005, h. 42.
Taufik Makarao, Op.Cit., h 124.
8
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan
Indonesia, Jakarta: PT Djambatan, 2008 (selanjutnya disingkat Lilik Mulyadi I), h. 4-6.
9
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta:
Pustaka Kartini, 1988, h. 83.
7
54
2. Jenis Putusan Hakim
Berdasarkan ketentuan Pasal 185 ayat (1) Herziene Indlandsch Reglement
(HIR), Pasal 196 ayat (1) Rechtsredlement Buitengewesten (RBg). Maka dapatlah
disebutkan jenis-jenis putusan hakim, yaitu:10
a. Putusan yang bukan putusan akhir
Putusan yang bukan putusan akhir atau lazim disebut
dengan istilah “putusan sela”, “putusan antara”, “tussen
vonnis”, “putusan sementara”, atau “interlocutoir vonnis”,
yaitu putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum
memutuskan pokok perkaranya dimaksudkan agar
mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Dalam
konteks ini hakim tidaklah terkait pada “putusan sela”
yang telah dijatuhkan oleh karena pemeriksaan perkara
perdata harus dianggap merupakan suatu kesatuan
sehingga putusan sela hanya bersifat putusan sementara
dan bukan putusan tetap serta perkara belum selesai.
Pada pokoknya “putusan sela” tersebut dapat berupa:
1)
Putusan preparatoir yaitu putusan yang dijatuhkan
oleh hakim guna mempersiapkan dan mengatur
pemeriksaan perkara. Sifat dasar dari putusan
preparator adalah tidak mempengaruhi pokok
perkara itu sendiri.
2)
Putusan interlocutoir adalah putusan sela yang
dijatuhkan oleh hakim dengan amar berisikan
perintah pembuktian dan dapt mempengaruhi pokok
perkara.
3)
Putusan provisional yaitu putusan (karena adanya
hubungan dengan pokok perkara) menetapkan suatu
tindakan sementara bagi kepentingan salah satu
pihak berperkara.
4)
Putusan incidentiel yaitu penjatuhkan putusan hakim
berhubung adanya “insiden”, yaitu menurut Rv.
Diartikan sebagai timbulnya kejadian yang menunda
jalannya perkara.
b. Putusan akhir
Putusan akhir atau biasa disebut dengan istilah “eind
vonnis” atau “final judegement”, yaitu putusan dijatuhkan
oleh hakim sehubungan dengan pokok perkara dan
mengakhiri perkara pada tingkat peradilan tertentu.
10
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia: Teori,
Praktik, Teknik Membuatnya dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009
(selanjutnya disingkat Lilik Mulyadi II), h. 156-160.
55
Ditinjau dari sifatnya, maka “putusan akhir” dapat dibagi
berupa:
1) Putusan deklarator (declaratoir vonnis) ialah
putusan yang dijatukan oleh hakim dengan sifat
menerangkan, di mana ditetapkan suatu keadaan
hukum atau menentukan benar adanya situasi
hukum yang dinyatakan oleh penggugat/pemohon.
Misalnya oleh hakim ditetapkan seorang anak
tertentu adalah anak sah, ditetapkan tentang
kelahiran seseorang, penetapan tentang seseorang
sebagai ahli waris, dan sebagainya.
2) Putusan konstitutif (constitutief vonnis) adalah
putusan hakim di mana keadaan hukum
dihapuskan atau ditetapkan suatu keadaan hukum
baru. Misalnya, putusan tentang pernyataan pailit,
pembatalan suatu perjanjian, perceraian, dan
sebagainya.
3) Putusan kondemnator (condemnatoir vonnis)
adalah putusan hakim dengan sifat berisi
penghukuman salah satu pihak untuk memenuhi
prestasi. Misalnya, menghukum tergugat untuk
mengembalikan sesuatu barang kepada penggugat
atau menghukum tergugat untuk membayar
sejumlah uang tertentu kepada penggugat, dan
sebagainya.
4) Putusan kontradiktor (contradictoir vonnis) adalah
putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam hal
tergugat pernah datang menghadap di persidangan
walau
sekalipun
ia
tidak
memberi
perlawanan/pengakuan.
Misalnya,
si
A
(penggugat) menggugat si B (tergugat) karena
masalah hutang piutang di pengadilan negeri.
Setelah dipanggil dengan sah dan patut, si B pada
persidangan datang dan selanjutnya tidak pernah
datang lagi hingga perkara selesai diperiksa.
Terhadap perkara tersebut dimana si B pernah
datang menghadap diputus dengan putusan
contradictoir.
5) Putusan verstek (verstek vonnis) adalah putusan
yang dijatuhkan oleh hakim dalam hal
tergugat/semua tergugat tidak pernah hadir di
persidangan meskipun telah dipanggil dengan
sepatutnya untuk datang menghadap.
56
3. Kekuatan Putusan Hakim
Mengenai kekuatan putusan ini sebenarnya sama sekali tidak dimuat
dalam HIR maupun RBg, kecuali pasal 180 HIR dan pasal 191 RBg yang hanya
menyebutkan adanya suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Untuk itu, dengan adanya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, maka suda tentu ada juga putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah
putusan yang menurut ketentuan undang-undang masih terbuka kesempatan untuk
menggunakan upaya hukum melawan putusan itu.11 Misalnya perlawanan
(verzet), banding, atau kasasi. sedangkan putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang tidak ada
kesempatan lagi untuk meggunakan upaya hukum biasa (perlawanan (verzet),
banding, atau kasasi) melawan putusan itu.12 Jadi putusan itu tidak dapat diganggu
gugat.13 Dengan demikian, Putusan hakim yang bersifat final dan mengikat adalah
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau tidak ada upaya hukum
biasa untuk melawan putusan itu dan memiliki kekuatan eksekutorial.
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terdapat 3 (tiga)
macam kekuatan untuk dapat dilaksanakan.14
1) Kekuatan mengikat
Suatu
putusan
pengadilan
dimaksudkan
untuk
menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan
11
Taufik Makarao, Op.Cit., h 131.
Ibid.
13
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. V, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1992, h. 174-175
14
Muhammad Nasir, Op.Cit., h. 190-194
12
57
menetapkan hak atau hukumnya. Apabila yang
bersengketa tidak dapat menyelesaikan sengketa diantara
mereka secara damai, dan kemudian menyerahkan dan
mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau
hakim untuk diperiksa dan diadili, maka hal ini
mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersengketa itu
mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang
bersengketa.
2) Kekuatan pembuktian
Dituagkannya putusan dalam bentuk tertulis, yang
merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat
digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang
mungkin diperlukan untuk mengajukan upaya hukum.
karena meskipun putusan hakim atau putusan pengadilan
tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak
ketiga, namun mempunyai kekuatan pembuktian terhadap
pihak ketiga.
3) Kekuatan executoriaal
Kekuatan executoriaal dalam putusan hakim atau putusan
pengadilan adalah kekuatan untuk melaksanakan secara
paksa oleh alat-alat negara terhadap pihak-pihak yang
tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.
Sebenarnya yang memberi kekuatan executoriaal kepada
putusan hakim atau putusan pengadilan adalah kata-kata,
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
yang ada pada setiap putusan. Akan tetapi tidak semua
putusan dapat dilaksanakan secara paksa oleh pengadilan.
hanya putusan condemnatoir sajalah yang dapat
dilaksanakan secara paksa oleh pengadilan, sementara
putusan declatoir dan constitutif tidaklah memerlukan
sarana-sarana memaksa untuk dapat melaksanakannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat putusan BPSK final dan
mengikat berarti tidak ada peluang untuk mengajukan upaya hukum terhadap
putusan tersebut tetapi pada UUPK memberikan peluang bagi para pihak untuk
mengajukan upaya “keberatan”. Hal ini tidak sesuai dengan hakikat final dan
mengikat.
Pada sisi lain, putusan BPSK yang berisikian pemberian ganti kerugian
pelaku usaha kepada konsumen merupakan bentuk penghukuman. Hal ini
membuat Putusan BPSK merupakan putusan yang bersifat condemnatoir.
58
Implikasi dari sifat putusan condemnatoir adalah putusan tersebut memiliki
kekuatan eksekutorial. Namun, pada putusan BPSK tidak terdapat irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Inilah yang membuat putusan
BPSK tidak dapat dieksekusi.
B. Konsep Upaya Hukum “Keberatan”
1. Upaya Hukum Berdasarkan Sistem Peradilan di Indonesia
Pada hukum acara terdapat terdapat upaya-upaya hukum yang dapat dibagi
menjadi upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa atau upaya hukum
istimewa. Upaya hukum biasa dapat berupa:
a. Perlawanan (verzet) adalah upaya hukum terhadap putusan yang
dijatuhkan di luar hadirnya tergugat (Pasal 125 ayat (3) dan Pasal
129 HIR, Pasal 149 ayat (3) dan Pasal 153 RBg).15
b. Banding (revisi) adalah salah satu bentuk upaya hukum untuk
mendapatkan perbaikan (revisi) terhadap putusan hakim di
pengadilan tingkat pertama yang disediakan bagi pihak yang
dikalahkan (Pasal 6 Undang-Undang No. 20 Tahun 1974, Pasal
199 RBg, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun
2004).16
c. Kasasi (cassatie) adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung
sebagai pengawas tertinggi atas putusan pengadilan-pengadilan lain
(Wirjono Prodjodikoro, 1970). Sedangkan menurut Supomo, kasasi
adalah tindakan Mahkamah Agung untuk menegakan dan
15
16
Muhammad Nasir, Op.Cit., h. 209.
Lilik Mulyadi II, Op. Cit., h. 313.
59
memperbaiki hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan
hakim pada tingkatan tertinggi17 (Pasal 43 dan Pasal 44 ayat (1)
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 dan Pasal 45 ayat (1) UndangUndang No. 4 Tahun 2004).
sedangkan upaya hukum luar biasa yang dapat berupa peninjauan kembali.
Peninjauan kembali (herziening) adalah salah satu bentuk upaya hukum luar biasa
yang dapat ditempuh terhadap putusan yang telah dijatuhkan pada tingkat terakhir
atau putusan verstek serta putusan yang tidak terbuka lagi kemungkinan untu
mengajukan perlawanan, karena telah memperoleh kekuatan hukum tetap18 (Pasal
23 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 serta dalam Pasal 34 dan Pasal 67-76
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009)
Upaya hukum biasa pada asasnya terbuka untuk setiap putusan selama
tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Wewenang untuk
menggunakannya hapus dengan menerima putusan. Upaya hukum biasa bersifat
menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara.19
Pada perkara perselisihan hubungan industrial ataupun perkara niaga tidak
dikenal dengan upaya hukum banding sehingga dalam PHI dan pengadilan niaga
hanya dapat dilakukan upaya hukum biasa berupa verzet dan kasasi serta upaya
hukum luar biasa yang dapat berupa peninjauan kembali.
17
Muhammad Nasir, Op.Cit., h. 219.
Ibid., h. 226
19
Taufik Makarao, Op.Cit., h. 160.
18
60
2. Konsep Upaya Keberatan
secara terminologi upaya keberatan tidak dikenal dalam sistem hukum
acara yang ada.20 Apakah upaya keberatan harus diajukan dalam acara gugatan,
perlawanan, atau permohonan dan perlu atau tidaknya BPSK turut digugat agar
dapat secara langsung didengar keterangannya. Di pihak pengadilan akan
menimbulkan permasalahan tersendiri, karena pengajuan keberatan ini akan
didaftarkan pada register apa karena pengadilan tidak mempunyai register khusus
keberatan.21
Pada quasi peradilan yang lain, seperti Komisi Pengawasan Persaingan
Usaha juga terdapat upaya keberatan. Komisi wajib memutuskan telah terjadi atau
tidak terjadi pelanggaran dengan jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari. Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan
putusan tersebut. Apabila pelaku usaha tidak mengajukan keberatan dalam jangka
waktu tersebut maka dianggap menerima putusan Komisi. Pengadilan Negeri
harus memeriksa keberatan pelaku usaha dengan jangka waktu 14 (empat belas)
hari dan Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari.
Sekilas Komisi Pengawasan Persaingan Usaha sama dengan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen terkait dengan dapat dilakukannya upaya
keberatan. Namun, terdapat perbedaan yang mencolok terkait upaya kebertan
antara BPSK (diatur pada UUPK) dengan KPPU (diatur dalam UU No. 5
20
21
Vide Bab III B
Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., h. 262.
61
Tahun1999) yaitu pada Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
menyatakan “apabila tidak terdapat keberatan, putusan komisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap”
sedangkan pada UUPK tidak diatur mengenai penegasan tersebut
Salah satu kendala yang cukup membutuhkan perhatian adalah upaya
keberatan yang dapat ditempuh oleh para pihak ke Pengadilan Negeri atas suatu
putusan BPSK yang dalam ketentuan UUPK sudah dengan tegas dinyatakan
bersifat final dan mengikat. UUPK tidak menegaskan secara limitatif luas lingkup
adanya “keberatan” terhadap putusan BPSK ini. Memperhatikan praktik peradilan
saat ini, implementasi instrumen hukum “keberatan” ini sangat membingungkan
dan menimbulkan berbagai persepsi, dan interpretasi, terutama bagi para hakim
dan lembaga peradilan sendiri, sehingga timbul berbagai penafsiran akan arti dan
maksud suatu undang-undang.
Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi mengambil sikap
untuk menjembatani adanya kekosongan prosedural dan kebuntuan dalam proses
pelaksanaan penyelesaian sengketa, dan juga karena adanya kebutuhan yang
sangat mendesak, maka MA menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1
Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap
Putusan BPSK (selanjutnya disingkat dengan PERMA No. 1 Tahun 2006).
Mahkamah Agung menetapkan bahwa keberatan merupakan upaya hukum yang
62
hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK
saja, tidak meliputi putusan BPSK yang timbul dari mediasi dan konsiliasi.22
PERMA No. 1 Tahun 2006 ini diharapkan untuk sementara sambil
menunggu perubahan undang-undang, dapat menyelesaikan berbagai masalah
yang timbul, walaupun harus diakui bahwa PERMA No. 1 Tahun 2006 bukan
merupakan satu-satunya jalan keluar yang dapat menjawab keseluruhan kendala
yang selama ini masih belum jelas, karena keterbatasan kewenangan yang dimiliki
Mahkamah Agung dalam menerbitkan PERMA No. 1 Tahun 2006. Mahkamah
Agung hanya berwenang memberi penjelasan terhadap acara yang tidak jelas atau
undang-undang tidak memberikan aturan pelaksanaannya. Namun, ketentuan
PERMA No. 1 Tahun 2006 ini tidak mengikat. Meskipun tidak mengikat tetapi
pada umumnya diikuti tidak saja oleh badan peradilan di bawah Mahkamah
Agung,23 tetapi juga oleh para praktisi hukum.24
Permasalahan diatas telah terjawab dalam Pasal 5 ayat (2) PERMA No. 1
Tahun 2006, bahwa keberatan diajukan melalui perkara perdata dan disertai
dengan panjar perkara. PERMA No. 1 Tahun 2006 juga menetapkan bahwa dalam
pengajuan keberatan lembaga BPSK tidak menjadi pihak.
Demikianlah upaya keberatan yang diatur dalam PERMA No. 1 Tahun
2006, walaupun dikatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen terkhusus
melalui BPSK yang diatur dalam UUPK tidak sempurna tetapi proses penegakan
hukumnya masih dapat secara maksimal dijalankan untuk memberikan putusan
yang adil dan memberikan kepastian hukum bagi konsumen terkhususnya.
22
Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2006
Nomor 13/Pdt.Sus.BPSK/2013/PN. Bky, h. 18.
24
Nomor 14/Pdt.Sus-BPSK/2015/PN.Grt, h. 1.
23
63
Upaya keberatan atas putusan arbitrase BPSK dapat diajukan apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.25 Pertama, surat atau dokumen yang
diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau
dinyatakan palsu. Kedua, setelah putusan arbitrase BPSK diambil ditemukan
dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan.
Ketiga, putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa. Atas dasar alasan untuk mengajukan upaya
keberatan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa tujuan dari
diperlukannya upaya keberatan dalam UUPK adalah untuk memberikan
penyelesaian sengketa secara patut kepada para pihak. Pada saat penyelesaian
sengketa konsumen dapat diselesaiakan secara patut maka salah satu dari tujuan
hukum dapat terlaksana, yaitu keadilan. Hal ini sesuai dengan asas keadilan yang
dituangkan dalam pasal 2 UUPK.
Kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan menilai putusan
arbitrase BPSK tidak saja meliputi aspek formal saja, tetapi juga termasuk boleh
menilai pokok perkara dan hal-hal lain yang menyangkut aspek materiilnya,
sepanjang majelis hakim dapat memberikan putusan dalam tenggang waktu 21
hari sejak sidang pertama dilakukan.26 Berdasarkan pertimbangan sisi limitasi
waktu tersebut, sebaiknya ditentukan bahwa pemeriksaan keberatan dilakukan
hanya atas dasar putusan BPSK dan berkas perkara saja. Oleh karena itu, tertutup
kemungkinan pemeriksaan bukti-bukti baru dan saksi-saksi yang sebelumnya
tidak diajukan pada pemeriksaan arbitrase BPSK. Dengan demikian, penulis
25
26
Pasal 6 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2006
Pasal 6 Ayat (7) PERMA No. 1 Tahun 2006.
64
berpendapat upaya keberatan yang diajukan oleh pihak yang menolak putusan
BPSK tiada lain haruslah ditafsirkan sebagai upaya banding.
C. Penyelesaian Sengketa Konsumen
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
memberikan pilihan kepada para pihak secara sukarela untuk menyelesaian
sengketa melalui 2 (dua) cara, yaitu : Pertama, melalui luar pengadilan.
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat dilakukan secara damai
atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan cara
konsiliasi atau mediasi atau arbitrase (choice of forum). Kedua, penyelesaian
sengketa melalui pengadilan. Proses beracara dalam penyelesaian sengketa
konsumen itu diatur dalam UUPK. Karena UUPK ini hanya mengatur beberapa
pasal ketentuan beracara, maka secara umum peraturan hukum acara seperti dalam
Herziene Indonesische Reglement (HIR) dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, tetap berlaku.
Penyelesaian sengketa konsumen secara damai ini didasarkan pada Pasal
45 Ayat (2) UUPK. Pada ketentuan tersebut tidak menutup kemungkinan para
pihak dapat menyelesaikan sengketa konsumen secara damai, tanpa melalui
pengadilan atau melalui BPSK. Dari penjelasan Pasal 45 Ayat (2) UUPK dapat
diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian damai, merupakan upaya
hukum yang justru harus terlebih dahulu diusahakan oleh para pihak yang
bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan sengketa
konsumen melalui BPSK atau badan peradilan.
65
Tiga cara persidangan di BPSK menurut Pasal 54 ayat (4) jo. Pasal 26 s.d.
36 SK No. 350/MPP/Kep/12/2001 adalah konsiliasi, mediasi, atau arbitrase.
Berikut penjelasan tahap persidangannya masing-masing:
1) Konsiliasi
Konsiliasi merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan dengan perantara BPSK untuk mempertemukan
pihak yang bersengketa, namun penyelesaiannya diserahkan ke
para pihak27. BPSK bersikap pasif dalam persidangan karena
inisiatifnya datang dari para pihak. BPSK bisa dikatakan sebagai
perantara saja, sehingga tugas-tugasnya sebatas pada28 : memanggil
para pihak yang bersengketa, memanggil saksi atau ahli bila
diperlukan, menyediakan tempat/forum, menjawab pertanyaan
konsumen dan pelaku usaha mengenai aturan hukum di bidang
perlindungan konsumen. Tata cara penyelesaian lewat mekanisme,
yakni: 1). Proses penyelesaian sengketa menyangkut bentuk atau
jumlah ganti rugi diserahkan para pihak sementara BPSK pasif,
kemudian 2). Hasil musyawarah dikeluarkan BPSK dalam bentuk
Putusan
BPSK.
(Ps.
28
s.d.
29
KEPMENDAGRI
No.
350/MPP/Kep/12/200)
2) Mediasi
Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan dengan perantara BPSK sebagai penasihat para pihak
yang bersengketa, namun penyelesaiannya tetap diserahkan ke para
27
28
Pasal 1 angka 9 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001.
Pasal 28 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001.
66
pihak29. BPSK nampak sudah bisa aktif dalam persidangan
meskipun inisiatifnya tetap harus pertama kali datang dari para
pihak. BPSK bisa dikatakan sebagai perantara sekaligus penasihat
untuk memberikan solusi sengketa, sehingga lingkup tugastugasnya lebih luas daripada konsiliasi: memanggil para pihak yang
bersengketa,
memanggil
saksi
atau
ahli
bila
diperlukan,
menyediakan tempat/forum, aktif mendamaikan, aktif memberi
saran atau anjuran sesuai aturan hukum di bidang perlindungan
konsumen. Tata cara penyelesaian lewat mekanisme30, yakni: 1).
Proses penyelesaian sengketa menyangkut bentuk atau jumlah
ganti rugi diserahkan para pihak sementara BPSK aktif memberi
nasihat, petunjuk, saran, dan upaya lain yang diperlukan dalam
menyelesaikan
sengketa,
kemudian
2).
Hasil
musyawarah
dikeluarkan dalam bentuk Putusan BPSK. (Ps. 30 s.d. 31
KEPMENDAGRI No. 350/MPP/Kep/12/2001)
3) Arbitrase
Arbitrase merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan dimana penyelesaian sepenuhnya diserahkan ke
BPSK31. BPSK dapat sangat aktif dalam persidangan meskipun
bahkan ketika tidak tercapai kata sepakat diantara mereka. BPSK
bisa dikatakan sebagai penentu sengketa, sehingga lingkup tugastugasnya yang terluas dari kedua cara lain. Tahap penyelesaian
dengan arbitrase, yaitu: Tahap 1). Para pihak memilih arbiter
29
Pasal 1 angka 10 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001.
Pasal 31 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001.
31
Pasal 1 angka 11 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001.
30
67
sebagai anggota majelis, kemudian para arbiter itu memilih arbiter
ketiga yang adalah anggota BPSK dari unsur pemerintah sebagai
Ketua Majelis BPSK; 2). Majelis memberi penjelasan kepada para
pihak terkait ketentuan hukum yang berlaku; 3). Masing-masing
pihak menjelaskan apa yang dipersengketakan; 4). Proses
penyelesaian sengketa menyangkut bentuk atau jumlah ganti rugi
diserahkan ke BPSK; dan yang terakhir adalah 5). Putusan BPSK
dikeluarkan dengan wewenang penuh terhadap penyelesaian
sengketa.32 Perlu diingat bahwa Arbitrase yang diatur dalam Pasal
52 butir a UUPK, tidak ada penggabungan antara BPSK dengan
arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang RI
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative
Penyelesaian Sengketa.33 (Ps. 32 s.d. 36 KEPMENDAGRI No.
350/MPP/Kep/12/2001)
Menurut Aman Sinaga, putusan BPSK ada dua jenis antara lain34:
1) Putusan hasil konsiliasi atau mediasi: Hanya
mengukuhkan isi perjanjian perdamaian yang telah
disetujui dan ditandatangani kedua belah pihak. Dwi
menambahkan, sedapat mungkin diambil berdasar
musyawarah mufakat, namun jika tidak berhasil akan
digunakan voting. Hasil penyelesaian tidak memuat sanksi
administratif dan dibuat dalam perjanjian tertulis yang
ditandatangani konsumen-pelaku usaha yang selanjutnya
dikuatkan dengan putusan majelis35.
2) Putusan hasil arbitrase: Sama dengan putusan perkara
perdata, memuat duduk perkara dan pertimbangan hukum
32
Happy Susanto, Loc.Cit., hlm. 179.
Pendapat hukum Majelis Hakim Prof. Dr. Valerine J.L.K.,SH.,MA, Prof. Dr. Takdir
Rahmadi,SH.,LLM. dan Soltoni Mohdally,SH.,MH., dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Put. No. 560 K/Pdt.Sus/2012, hlm. 26.
34
Aman Sinaga, "Peran dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam
Upaya Perlindungan Konsumen", 2004, hlm. 6.
35
Pasal 39 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001.
33
68
dan dapat pula memuat sanksi administratif36. Sanksi ini
berupa ganti rugi (Pasal 60 UUPK).
Penyelesaian sengketa melalui proses pengadilan atau litigasi dapat
dilakukan manakala upaya perdamaian telah gagal mencapai kata sepakat, atau
para pihak tidak mau lagi menempuh alternatif perdamaian, maka para pihak
dapat menempuh penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dengan
cara pengajuan gugatan secara perdata yang diselesaikan menurut hukum acara
perdata dan dapat menggunakan prosedur gugatan perdata konvensional, gugatan
perwakilan/gugatan kelompok, gugatan/hak gugat LSM, gugatan pemerintah
dan/atau instrumen terkait.37
Beberapa alternatif penyelesaian sengketa konsumen yang diberikan
UUPK sangat membantu konsumen untuk memilih sesuai kebutuhannya yaitu
pengadilan atau luar pengadilan (BPSK). Namun, dilihat berdasarkan proses
penyelesaiannya konsumen akan lebih memilih BPSK sebagai tempat untuk
menyelesaikan sengketa. Pada BPSK juga terbuka kesempatan bagi konsumen
untuk memilih cara penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi atau
konsiliasi atau arbitrase.
Akan tetapi, jika melihat lebih dalam mengenai proses penyelesaian
sengketa melalui BPSK akan nampak bahwa penyelesaian sengketa melalui
BPSK membutuhkan waktu yang lama. Mengingat atas putusan dapat dilakukan
upaya keberatan kepada Pengailan Negeri dengan jangka waktu paling lambat 14
(empat belas) hari sejak menerima pemberitahuan putusan tersebut dan
36
37
Konsumen
Pasal 37 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001.
Pasal 46 Ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
69
Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan dalam waktu
paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan. Terhadapa
putusan Pengadilan Negeri tersebut para pihak dapat mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib mengeluarkan putusan dalam waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi. Dengan
demikian, penyelesaian sengketa konsumen tidak lagi cepat seperti yang
diharapkan.
D. Final dan Mengikat Pada Hakekatnya Bukan Merupakan Sifat
Putusan BPSK
Putusan BPSK bersifat final berarti putusan hukum tersebut tidak
membutuhkan upaya hukum lanjutan. Dalam Undang-Undang Peradilan Tata
Usaha Negara, bersifat final artinya sudah definitif dan kerenanya dapat
menimbulkan akibat hukum. Dengan dikeluarkannya putusan yang bersifat final
maka dengan sendirinya sengketa yang telah diperiksa diakhiri atau diputuskan.
Putusan final merupakan tindakan terakhir pengadilan dalam menentukan hak-hak
para pihak dalam menyelesaikan segala persoalan dalam suatu sengketa, para
pihak yang bersengketa harus tunduk dan melaksanakan putusan yang sudah
bersifat final tersebut.
Pasal 54 Ayat (3) UUPK menegaskan bahwa putusan majelis BPSK
bersifat final dan mengikat. Kata “final” diartikan sebagai tidak adanya upaya
banding dan kasasi. Pada penjelasannya yang dimaksud dengan putusan majelis
bersifat final adalah bahwa dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak
70
ada upaya banding dan kasasi, berarti putusan BPSK tidak membutuhkan upaya
hukum biasa untuk menolak putusan BPSK tersebut.
Dengan demikian seharusnya putusan BPSK dapat dijalankan atau
dieksekusi karena putusan yang tidak dapat dieksekusi menjadikan putusan
tersebut tidak ada artinya dan tidak memberikan rasa keadilan bagi para pihak
yang dirugikan. Namun, pada Pasal 56 Ayat (2) UUPK menyatakan para pihak
tenyata dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri paling lambat 14
hari kerja setelah pemberitahuan putusan BPSK. Dengan dibukanya kesempatan
mengajukan keberatan atas putusan BPSK itu tidak dapat dilakukan eksekusi,
dapat disimpulkan bahwa putusan BPSK tersebut masih belum final. Bahkan atas
putusan keberatan Pengadilan Negeri dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
dengan dimungkinkannya upaya keberatan maka sifat final dan mengikat atas
putusan BPSK diartikan terbatas dalam lembaga BPSK saja, dengan kata lain
BPSK tidak melayani upaya hukum lanjutan atas putusan yang dibuat. Namun
terkait dengan substansi yang diputuskan sejatinya tidak bersifat final, karena
upaya keberatan dapat ditafsirkan sebagai upaya banding.38
Melihat ketentuan Pasal 56 ayat (2) UUPK tambak bahwa pembuat
undang-undang memang menghendaki campur tangan pengadilan untuk
menyelesaikan sengketa konsumen ini. Hal ini memberikan dampak yang
mengganggu eksistensi dari BPSK dalam upaya memberikan perlindungan kepada
konsumen, antara lain kesan negatif konsumen terhadap keberadaan lembaga
38
Vide Bab III B 2
71
BPSK, karena menurut konsumen pada akhirnya mereka akan kembali ke
pengadilan juga akibat dari adanya upaya keberatan pada para pihak atas putusan
BPSK tersebut.39 Sehingga keberadaan BPSK yang memiliki kemiripan dengan
lembaga Small Claim Court dalam proses penyelesaian sengketa konsumen secara
sederhana, cepat dan murah tidak bisa tercapai. Akibat dari proses yang panjang
ini, maka perlindungan konsumen yang dicita-citakan atau diharapkan oleh UUPK
menjadi terlaksana.
Sedangkan putusan BPSK bersifat mengikat, mengikat maksudnya adalah
memberikan beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subyek
hukum. Dengan demikian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap (Inkracht van gewijsde) dan oleh karenanya putusan tersebut mengikat
para pihak yang bersengketa. Berdasarkan hal itu maka putusan harus mempunyai
kekuatan eksekutorial sebagai suatu kekuatan untuk melakukan apa yang telah
ditetapkan dalam putusan tersebut secara paksa oleh alat-alat negara.40 Seperti
yang telah diatur pada Pasal 56 ayat (1) UUPK bahwa dalam waktu paling lama 7
hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen pelaku
usaha wajib melaksanakan putusan tersebut. Dalam eksekusi dikenal 5 (lima) asas
yaitu:41
1) Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsde).
39
Kurniawan, Op.Cit., h. 137.
Pengecualiannya ada, yaitu apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat
dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan (Pasal 180 HIR), putusan yang bersifat deklarator, akta
perdamaian (Pasal 130 HIR), Eksekusi terhadap grosee akte (Pasal 224 HIR)
41
Wildan Suyuthi, Sita Eksekusi: Prektek Kejurusitaan Pengadilan, 2004, Jakarta:
Tatanusa, h. 64.
40
72
2) Putusan hakim yanng akan dieksekusi harus bersifat menghukum
(condemnatoir).
3) Putusan tidak dijalankan secara suka rela.
4) Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan.
5) Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.
Selanjutnya pada Pasal 57 UUPK mengatur mengenai bahwa putusan
majelis dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat
konsumen yang dirugikan. Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial atau
yang menjadi persyaratan pada suatu putusan untuk dapat dilaksanakan secara
paksa baik putusan pengadilan maupun putusan arbitrase harus memuat kepala
putusan atau disebut irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan inilah yang memberi kekuatan
eksekutorial terhadap putusan. Namun, ketentuan mengenai prosedur permohonan
eksekusi tidak diatur secara rinci dan jelas dalam UUPK. Bahkan pada putusan
arbitrase BPSK tidak mewajibkan untuk pencantuman irah-irah tersebut.42 Hal ini
berbeda dengan isi suatu putusan arbitrase menurut Pasal 54 ayat (1) butir a
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang menyatakan suatu putusan arbitrase harus memuat
kepala putusan atau irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Eksekusi terhadap putusan arbitrase BPSK seharusnya memperhatikan
ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dan hukum acara perdata yang
42
Pada UUPK maupun Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 yang mengatur
pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga BPSK, tidak mengatur mengenai kewajiban
pencantuman irah-irah pada putusan BPSK.
73
berlaku dan perundang-undangan yang terkait, karena kurang rincinya pengaturan
pengenai eksekusi tersebut. Pemilihan arbitrase dalam penyelesaian sengketa
melalui BPSK, menjadikan BPSK menjadi suatu lembaga arbitrase dan untuk itu
harus memperhatikan ketentuan arbitrase.
Ketentuan Pasal 57 UUPK yang mengatur bahwa Putusan majelis bersifat
final dan mengikat dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri.
Selain ketentuan ini tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai eksekusi atas
putusan BPSK dan tidak adanya ketentuan keharusan memuat irah-irah pada
putusan arbitrase BPSK membuat penetapan eksekusi tersebut bertentangan
dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, bahwa suatu putusan harus memuat irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pencantuman irah-irah ini memberikan
kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut sehingga penghapusan irah-irah
mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum.43 Dengan demikian, putusan
arbitrase BPSK yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dimintakan
penetapan eksekusi. Hal ini akan membuat putusan arbitrase BPSK menjadi siasia dan tujuan penyelesaian sengketa konsumen untuk memberikan keadilan tidak
dapat terwujud. Sebagai contoh bahwa Kota Bandung Pernah mengajukan fiat
eksekusi terhadap putusan arbitrase BPSK No. 66/Pts-BPSK/VII/2005 ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
43
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 1985 tentang Putusan Pengadilan
yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap yang tidak memuat kata-kata “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
74
menyetakan bahwa putusan BPSK tidak dapat dieksekusi karena tidak
mempunyai irah-irah.44
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) tidak memiliki
wewenang melaksanakan putusannya, sebagaimana memutuskan dan menetapkan
ada atau tidak kerugian di pihak konsumen, dan wewenang menentukan besarnya
ganti kerugian yang harus dibayar oleh pelaku usaha dan mewajibkan pelaku
usaha untuk membayar ganti kerugian kepada konsumen, tetapi BPSK tidak
diberikan kewenangan untuk melaksanakan sendiri hasil putusannya, BPSK harus
lebih dahulu meminta penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sifat putusan BPSK
final dan mengikat pada hakekatnya tidak sama dengan makna final dan mengikat
pada suatu putusan lembaga pengadilan. hal ini memperlihatkan bahwa status dan
kedudukan lembaga BPSK dinilai dari persepsi administrasi, hanya mempunyai
kewenangan administrasi saja, maka putusannya dinilai tidak dapat menggunakan
atribut yidusial. Dengan demikian BPSK dapat dikategorikan sebagai lembaga
quasi peradilan dan sifat putusannya tidak sama dengan sifat putusan pengadilan
utama. Oleh karenanya sifat final dan mengikat putusan BPSK hanya dapat
diartikan sebagai kesepakatan atau perjanjian. Dengan kalimat berbeda, sifat
putusan BPSK tidak final dan mengikat suatu putusan peradilan.
Penulis berpendapat supaya tidak menjadi persoalan terkait penetapan
eksekusi, maka sebaiknya pada putusan arbitrase BPSK di beri irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” atau paling tidak harus
44
Susanti Adi Nugroho, Op.cit., h. 353.
75
memberikan pengaturan mengenai permintaan penetapan eksekusi kepada
Pengadilan Negeri, seperti mengeluarkan peraturan yang mengharuskan
Pengadilan Negeri memberikan penetapan eksekusi, supaya tidak terjadi lagi
kasus seperti diatas dan ada persamaan dalam memahami penetapan eksekusi
tersebut sekaligus kepastian hukum dapat tercapai. Jika hal tersebut sulit untuk
dilaksanakan, maka menurut penulis lebih baik kewenengan BPSK menyelesaikan
sengketa konsumen dicabut tetapi hanya sebatas memediasi antara konsumen
dengan pelaku usaha atau melakukan pendampingan terhadap konsumen. maka
dari itu, dengan adanya Small Claim Court di Indonesia, konsumen lebih baik
mengajukan gugatan melalui lembaga tersebut, karena lebih memberi kepastian
dan terutama keadilan dalam menyelesaikan sengketa konsumen.
Download