analisis kebijakan perizinan kapal asing di zona

advertisement
ANALISIS KEBIJAKAN PERIZINAN KAPAL ASING
DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA
(ZEEI)
UCOK MANGARA FAJAR PARULIAN NASUTION
C44104076
SKRIPSI
PROGRAM STUDI
MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
ANALISIS KEBIJAKAN PERIZINAN KAPAL ASING
DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA
(ZEEI)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
OLEH:
UCOK MANGARA FAJAR PARULIAN NASUTION
C44104076
PROGRAM STUDI
MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
SKRIPSI
Judul Skripsi
: ANALISIS KEBIJAKAN PERIZINAN KAPAL ASING
DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA (ZEEI)
Nama Mahasiswa
: Ucok Mangara Fajar Parulian Nasution
Nomor Pokok
Program Studi
: C44104076
: Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan - Kelautan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Gatot Yulianto, M.Si
NIP. 19650706192031002
Hj. Etty Eidman, SH
NIP. 130350057
Pembimbing III
Akhmad Solihin, S.Pi, MH
NIP. 132 323 129
Diketahui
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir Indra Jaya, M.Sc.
NIP. 19610410198601100
Tanggal lulus : 12 Januari 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
ANALISIS KEBIJAKAN PERIZINAN KAPAL ASING DI ZONA
EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA (ZEEI)
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Adapun semua sumber data dan
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2010
UCOK MANGARA FAJAR PARULIAN NASUTION
C44104076
ABSTRAK
UCOK MANGARA FAJAR PARULIAN NASUTION (C44104076). Analisis
Kebijakan Perizinan Kapal Asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI). Dibimbing oleh GATOT YULIANTO, ETTY EIDMAN dan
AKHMAD SOLIHIN.
Masyarakat internasional telah berhasil menyusun suatu perangkat Hukum
Laut yang dituang dalam bentuk naskah perjanjian yang dikenal sebagai Konvensi
PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the
Sea/UNCLOS). Dalam hukum tersebut diatur segala bentuk penggunaan laut serta
pemanfaatan alam yang terkandung di dalamnya. Salah satunya adalah tentang
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Dewasa ini marak terjadi penyimpangan dan salah satunya adalah
meningkatnya kapal penangkap ikan asing yang masuk ke wilayah perairan Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Hal ini berdampak besar pada nelayan lokal
yang selanjutnya akan berakibat pada menurunnya pendapatan nelayan,
menurunnya potensi sumberdaya alam dan menurunnya kontribusi terhadap
negara. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan aksi pemerintah untuk
mencegah dan mengatasinya agar tercapai keberlanjutan sumberdaya perikanan di
wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Mengarah pada pengaturan yang menyatakan bahwa pemanfaatan
sumberdaya ikan harus dapat dilakukan secara terus menerus bagi kemakmuran
rakyat, sudah semestinya bila pengelolaan dan pemanfaatannya diatur secara
konsisten dan berkesinambungan sehingga mampu menjamin arah dan
kelangsungan serta kelestarian pemanfaatannya. Potensi perikanan Indonesia yang
melimpah perlu dikelola seoptimal mungkin dengan memperhatikan sumber
perikanan itu sendiri. Untuk menghindari kemungkinan pengelolaan yang dapat
menjurus ke arah kegiatan yang merugikan, perlu adanya pengawasan dan
pengendalian yang didasarkan pada peraturan antara lain dalam bentuk perizinan
kapal perikanan asing baik yang legal maupun yang ilegal di seluruh perairan
teritorial Indonesia dan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Kata kunci
: Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Perizinan, Kapal Asing
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur ke khadirat ALLAH SWT yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya,sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dengan judul “Analisis Kebijakan Perizinan Kapal Asing di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)”
Skripsi ini disusun sebagai persyaratan mendapatkan gelar Sarjana
Perikanan dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Penyusunan skripsi ini dilakukan dengan segala kemampuan yang ada. Penulis
menyadari bahwa dengan dukungan dari berbagai pihak maka penyusunan skripsi
ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Oleh karena itu penulis menyampaikan
ucapan terimakasih kepada:
1. Ir. Gatot Yulianto, M.Si ; Hj. Etty Eidman, SH; Akhmad Solihin, S.Pi, MH
selaku pembimbing yang telah meluangkan banyak waktunya untuk
membimbing dan mengarahkan penulis sehingga mampu menyelesaikan
skripsi ini.
2. Abah (Iwan CH Nasution), Mama (Nurdiawati Sumarni), Windha Fuji
Ayu dan semua keluarga yang selalu memberikan doa,dukungan moril,
serta semangat kepada penulis selama menyusun skripsi ini
3. Mahasiswa dan Dosen-dosen SEI, Staf TU SEI (Mas Rupi khususnya),
pengurus HMI Komisariat Perikanan dan Ilmu Kelautan Periode 20072008, Pengurus Cabang dan Anggota SAPMA PP Kota Bogor “Pancasila
Abadi”, Omdoers (Abid, Wili, Hatta, Fadila, Indah, Gustav, Uta, Asal,
Witsoy, Phietsoy), BBS fam (Tya, Babeh, Ayah, Bunda, Dana),
Ganggenggong (Leny, Gilang, Ivan, Valdy), Godzil, Daus, Fitra, Oces
(Opik, Upi, Didit, Arlan), serta teman-teman yang lain yang tidak
tersebutkan namanya yang juga membantu penulis menyelesaikan skripsi
ini.
Bogor, Januari 2010
Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 08 Oktober 1987 dari Bapak
Iwan Chairul Herman Nasution dan Ibu Nurdiawati Sumarni. Penulis merupakan
anak tunggal. Pada tahun 2004, penulis lulus dari SMU Negeri 3 Sukabumi. Pada
tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan memilih Program Studi
Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan, Departemen Sosial
Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama menempuh studi di IPB, penulis juga aktif di organisasi
kemahasiswaan dan masyarakat yaitu Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi
Perikanan (HIMASEPA) sebagai staf eksternal periode 2006-2007, Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Cabang
Bogor sebagai Sekretaris Umum periode 2007-2008, Satuan Pelajar dan
Mahasiswa Pemuda Pancasila (SAPMA PP) Kota Bogor sebagai Sekretaris
Umum periode 2008-2011
Penulis melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS KEBIJAKAN
PERIZINAN KAPAL ASING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
INDONESIA (ZEEI)” dan dibimbing oleh Ir. Gatot Yulianto, M.Si ; Hj. Etty
Eidman, SH dan Akhmad Solihin, SPi, MH.
DAFTAR ISI
Halaman
I.
II.
V.
VI.
VII.
PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang
1
1.2. Perumusan Masalah
7
1.3.Tujuan Penelitian
7
1.4.Kegunaan Penelitian
7
TINJAUAN PUSTAKA
8
2.1. Sumberdaya Ikan
8
2.2. Pengelolaan Perikanan
9
2.3. Pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif
10
2.4. Pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
11
KERANGKA PEMIKIRAN
14
METODOLOGI
17
4.1. Metode Penelitian
17
4.2. Jenis dan Sumber Data
18
4.3. Metode Pengumpulan Data
18
4.4. Analisis Data
19
4.5. Waktu Penelitian
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
20
5.1. Pengaturan Perizinan Kapal Ikan Asing di Era Orde Baru
20
5.1.1. Undang-undang No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia
5.1.2. Undang-undang No. 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan
20
21
5.1.3. Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 Tentang Pengelolaan
Sumberdaya Alam Hayati di ZEEI
22
5.1.4. Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1990 Tentang Usaha
Perikanan
5.2. Pengaturan Perizinan Kapal Ikan Asing di Era Reformasi
5.2.1. Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
25
28
28
5.2.2. Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2008 Tentang Usaha
Perikanan
29
VI.
5.3. Kebijakan Penanganan Kapal Ikan Asing di ZEEI
36
KESIMPULAN DAN SARAN
39
6.1. Kesimpulan
39
6.2. Saran
39
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat internasional telah berhasil menyusun suatu perangkat hukum laut
untuk mengatur segala bentuk penggunaan laut serta pemanfaatan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, sebagai hasil rumusan negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian
yang dikenal sebagai Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United
Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS). Sebagai suatu
perangkat hukum, Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan hal yang sangat
penting, karena mencerminkan upaya masyarakat internasional untuk
mengkodifikasikan ketentuan internasional yang telah ada, juga
menggambarkan suatu perkembangan yang progresif dalam hukum
internasional yang telah ada, juga menggambarkan suatu perkembangan yang
progresif dalam hukum internasional yang ditandai dengan lahirnya konsepkonsep hukum baru yang sebelumnya tidak memuat dalam rejim hukum laut
internasional (Etty, 1991).
Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan berbagai macam hak dan kewajiban
kepada negara pantai yang didasarkan kepada daerah-daerah laut dengan
status hukum yang berbeda-beda. Hal yang sama juga dapat ditemukan dalam
ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban negara pantai terhadap
kekayaan alam yang terdapat di laut (Etty, 1990). Salah satu masalah penting
yang diatur dalam konvensi ini adalah Zona Ekonomi Eksklusif yang terdapat
pada Pasal 55 sampai dengan Pasal 75 Konvensi Hukum Laut 1982, ketentuan
ini mencerminkan aspirasi dari negara-negara yang sedang berkembang untuk
memperoleh kesempatan yang sama dengan negara-negara maju atas sumber
kekayaan alam yang terdapat pada bagian laut yang bersebelahan dengan laut
teritorialnya.
Keadaan demikian tentu akan mempunyai akibat hukum terhadap yurisdiksi
nasional negara atas laut serta perlu segera mengambil tindakan
pengimplementasian ketentuan hukum Internasional tersebut ke dalam
peraturan perundang-undangan nasional. Oleh sebab itu pembangunan materi
2
hukum mencakup juga antara lain :” …penyempurnaan kerangka sistem
hukum nasional, inventarisasi dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum
yang berlaku dengan sistem hukum nasional termasuk ratifikasi perjanjian
internasional sesuai dengan kebutuhan bangsa dan kepentingan nasional”(TAP
MPR 1998).
Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980 telah mengeluarkan Pengumuman
Pemerintah tentang Zona Ekonomi Eksklusif, tindakan ini didasarkan pada
praktek yang dilakukan oleh negara-negara yang menunjukkan telah diakuinya
rejim Zona Ekonomi Eksklusif selebar 200 mil laut sebagai bagian dari hukum
laut internasional yang baru. Kemudian Indonesia mengeluarkan Undangundang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Setelah mengundangkan
peraturan perundang-undangan tersebut, selanjutnya Indonesia pada tanggal
31 Desember 1985 Indonesia meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982
melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea. Namun demikian masih ada
beberapa masalah yang harus diperhatikan dalam rangka implementasi
konvensi ke dalam peraturan perundang-undangan Indonesia (Etty, 1990).
Ketentuan yang memuat pengaturan hukum berdasarkan Konvensi Hukum
Laut 1982 dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, meletakkan dasardasar upaya hukum dan memberikan keuntungan ekonomis kepada Indonesia
dan negara-negara pantai pada umumnya, untuk melaksanakan hak-hak
berdaulat terhadap pemanfaatan sumber daya alam hayati dan non hayati yang
ada di Zona Ekonomi Eksklusif, khususnya perikanan secara tegas telah
ditetapkan dalam Pasal 56 ayat (1) huruf (a) Konvensi sebagai berikut:
“Dalam Zona Ekonomi Eksklusif, negara pantai mempunyai hak-hak
berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dan
perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan
berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi
ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dan air, arus dan angin”
3
Berdasarkan ketentuan di atas, negara pantai mempunyai hak-hak berdaulat
untuk melakukan eksploitasi, eksplorasi, konservasi dan pengelolaan sumber
daya alam hayati maupun non hayati di Zona Ekonomi Eksklusif, dan di dasar
laut dan tanah di bawahnya, serta kegiatan lain seperti termaktub dalam
konvensi. Kemudian selain dari pada itu negara pantai juga di bebani
kewajiban untuk melakukan konservasi terhadap sumber daya hayati, dengan
cara menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan menentukan batas
panen lestasi yang bertujuan untuk menggalakan pemanfaatan yang optimal
sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif (Konvensi Hukum Laut
1982).
Konvensi juga mengatur bahwa bagi negara pantai yang tidak memiliki
kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang
diperbolehkan, dapat memberikan kesempatan untuk memanfaatkan surplus
ikan yang ada kepada negara lain melalui perjanjian atau pengaturan lainnya
(Konvensi Hukum Laut 1982).
Menurut Churchill dan Lowe (1983) ada tiga prinsip pengaturan tentang hak
dan kewajiban di Zona Ekonomi Eksklusif yaitu:
1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara pantai;
2. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara lain; dan
3. Ketentuan-ketentuan dalam konvensi untuk mengatur semua kegiatan di
Zona Ekonomi Eksklusif yang tidak termasuk dalam hak dan
kewajiban negara pantai atau negara lain.
Negara-negara yang diberikan kesempatan memanfaatkan surplus sumber
daya alam hayati tersebut, haruslah memperhatikan hak dan kewajiban negara
pantai dan juga harus mentaati perundang-undangan yang ditetapkan oleh
negara pantai. Kecuali itu bagi negara pantai dalam memberikan kesempatan
pemanfaatan dimaksud haruslah memperhitungkan pentingnya sumber daya
alam hayati di daerah itu bagi perekonomian negara pantai yang bersangkutan
(Konvensi Hukum Laut 1982).
4
Peraturan perundang-undangan Indonesia memberikan kesempatan bagi pihak
asing dalam hal penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
melalui beberapa cara :
1. Orang atau badan hukum asing dapat mengadakan kerjasama dengan
orang atau badan hukum Indonesia dalam bentuk usaha patungan atau
bentuk kerjasama lainnya menurut perundang-undangan yang berlaku.
2. Orang atau badan hukum asing dapat diberikan kesempatan untuk
melakukan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
sepanjang orang atau badan hukum Indonesia belum dapat sepenuhnya
memanfaatkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, setelah diadakan
persetujuan antara Pemerintah Indonesia dengan asing asal orang atau
badan hukum asing bersangkutan dan sepanjang hal tersebut menyangkut
kewajiban negara Indonesia berdasarkan hukum internasional yang
berlaku(Undang-Undang), melalui pemberian Surat Izin Penangkapan Ikan
(SIPI)(Peraturan Pemerintah).
3. Perusahaan perikanan Indonesia dapat menggunakan kapal perikanan
asing untuk penangkapan ikan di Zona Ekonomi EKsklusif Indonesia
melalui kerjasama atau sistem penggunaan kapal perikanan asing secara
sewa.
Dengan demikian jelaslah bahwa penangkapan ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia oleh kapal perikanan asing secara hukum dibenarkan,
sepanjang mereka mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah Indonesia, di samping itu ketentuan-ketentuan tersebut merupakan
suatu upaya pengimplementasian ketentuan Hukum Internasional dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia. Juga sebagai itikad baik Indonesia dalam
komitmennya memegang teguh terhadap ketentuan-ketentuan Hukum
Internasional. Hukum laut yang diberlakukan di Indonesia tidak dapat melepaskan
dari kaidah-kaidah hukum laut internasional. Lahirnya Undang-undang Nomor 5
Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sebagai refleksi dari
Konvensi Hukum Laut tahun 1982, di samping juga merupakan realisasi yuridis
5
dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa melalui pemanfaatan
sumber daya hayati di laut (Joko, 1993).
Kemudian daripada itu selain hak yang ditetapkan pada Pasal 56 Konvensi
Hukum Laut 1982 bagi negara pantai, diberikan pula:
1. Hak untuk melaksanakan penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal
73 konvensi;
2. Hak untuk melaksanakan “hot pursuit” terhadap kapal-kapal asing yang
melakukan pelanggaran atas ketentuan Zona Ekonomi Eksklusif;
3. Yuridiksi, atas pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah
kelautan serta perlindungan lingkungan laut.
Kiranya perlu diperhatikan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif adalah
merupakan wilayah perikanan Republik Indonesia, mengandung sumber daya ikan
yang sangat potensial dan penting artinya, peranan dan manfaatnya sebagai modal
dasar pembangunan untuk mengupayakan peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat, namun demikian menurut Garis-Garis Besar Haluan Negara
(TAP MPR 1998).
“…kemampuan pemanfaatan potensi sumber daya kelautan, zona ekonomi
eksklusif, kelembagaan kelautan, pengembangan potensi kelautan dan
wilayah pesisir, penanggulangan kerusakan lingkungan laut, dan pencurian
kekayaan laut belum sepenuhnya didukung oleh sarana dan prasarana serta
peraturan perundang-undangan”.
Indonesia masih dihadapkan pada kendala sering terjadi pelanggaranpelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif yaitu kapal perikanan asing melakukan
penangkapan tanpa izin. Semakin banyaknya kapal perikanan asing baik yang
berizin maupun tidak berizin (antara lain Jepang, Taiwan, Korea dan sebagainya)
beroperasi di perairan laut teritorial dan ZEE yang kaya akan berjenis-jenis ikan.
Kapal perikanan asing ini mempunyai bobot mati lebih besar dan dapat berlayar
dengan kecepatan tinggi serta dilengkapi dengan peralatan yang mampu
memanfaatkan informasi-informasi yang diperoleh melalui satelit, sehingga
dengan mudah dapat mengetahui tempat-tempat pemusatan ikan di seluruh
perairan teritorial Indonesia dan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Hal
demikian dapat berakibat berkurangnya hasil tangkapan yang diusahakan oleh
nelayan setempat. Oleh karena itu masalah pengawasan terhadap beroperasinya
6
kapal nelayan asing ini, perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah
Indonesia (Christianiwati 1988). Untuk kepentingan pengendalian pemanfaatan
sumber kekayaan hayati berupa ikan, wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
terdiri dari:
1.
Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Laut Cina Selatan, terletak diantara
2°30’LS - 7°30’LU dan 106°BT - 111°BT;
2.
Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Samudra Indonesia, terletak diantara
14°LS - 6°LU dan 92°BT - 120°BT;
3.
Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Laut Arafura, terletak diantara 5°LS 14°LS dan 120°BT - 140°BT;
4.
Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Samudra Pasifik dan Laut Sulawesi,
terletak diantara 2°30’LS - 7°30’LU dan 118°30’BT - 141°30’BT.
Gambar 1. Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
dimanfaatkan untuk pengembangan usaha perikanan Indonesia, oleh karenanya
pemerintah mengupayakan tersedianya berbagai kemudahan, seperti penyediaan
prasarana dalam bentuk pelabuhan-pelabuhan perikanan. Di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia terlihat adanya kapal-kapal ikan asing yang beroperasi untuk
memanfaatkan surplus dari jumlah tengkapan yang diperbolehkan (total allowable
catch/TAC). Hal ini disebabkan Indonesia masih belum mampu memenuhi jumlah
7
armada perikanan yang dibutuhkan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah
Sehubungan dengan hak tersebut, maka permasalahan yang menjadi objek
penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan perijinan kapal ikan asing di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia dalam peraturan perundang-undangan nasional ?
2. Apa yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia dalam penegakan hukum
terhadap kapal ikan asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah untuk menganalisis
pengaturan perijinan kapal ikan asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
dalam peraturan perundang-undangannya nasional .
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Merupakan bentuk dari tanggung jawab penulis sebagai seorang mahasiswa
untuk peka terhadap permasalahan yang di hadapi pemerintah dengan
menganalisisnya.
2. Untuk mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah penulis dapatkan selama kuliah
di Departemen Sosial Ekonomi Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor.
3. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang berkepentingan dan bahan
pembanding untuk penelitian selanjutnya.
4. Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sumberdaya Ikan
Secara umum sumberdaya alam diklasifikasikan ke dalam dua kelompok,
yaitu: (1) kelompok sumberdaya yang tidak dapat dipulihkan (non-renewable
resources) atau “stock”, seperti minyak bumi, batu bara, gas, emas dan barang
tambang lainnya; dan (2) kelompok sumberdaya yang dapat diperbaharui
(renewable resources) atau “flow”, yang dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu
sumberdaya dengan zona kritis, seperti hutan, ikan, tanah dan satwa liar,
sedangkan sumberdaya yang tidak mempunyai zona kritis seperti sinar matahari,
angin, dan ombak laut (Supardi, 2003). Apabila sumberdaya kelompok kedua,
khususnya sumberdaya dengan zona kritis dimanfaatkan melebihi daya
regenerasinya, maka sumberdaya ikan, hutan, tanah, dan satwa liar akan menjadi
kelompok pertama (Fauzi, 2006)
Sumberdaya ikan bisa diperbaharui, namun mempunyai daya dukung
(carrying capacity) yang terbatas. Apabila sumberdaya ikan dimanfaatkan tanpa
batas atau tidak rasional serta melebihi batas potensi panen lestari (maximum
sustainable yield/MSY), maka dapat mengakibat kerusakan dan terancamnya
kelestarian (Tribawono, 2002). Untuk menciptakan pemanfaatan sumberdaya ikan
yang berkelanjutan, maka diperlukan suatu pendekatan pengelolaan tersendiri. Hal
ini dikarenakan uniknya sektor perikanan, dimana beberapa karakteristik yang
melekat di dalamnya tidak dimiliki oleh sektor-sektor lain seperti pertanian atau
pertambangan. Selain berhadapan dengan sumberdaya yang bergerak terus
(fugitive resource) dan kompleksitas biologi dan fisik perairan, pengelolaan
sumberdaya ikan juga dihadapkan pada masalah peliknya hak kepemilikan
(common property resource). Interaksi faktor-faktor inilah yang kemudian
melahirkan eksternalitas yang berakibat pada terjadinya penangkapan ikan yang
berlebihan (overfishing) (Fauzi, 2005). Lebih lanjut, perkembangan peradaban dan
pertumbuhan penduduk dunia menyebabkan pengelolaan sumberdaya ikan pun
semakin kompleks. Apalagi jika dilihat dari konteks negara berkembang seperti
Indonesia, dimana faktor sosial, politik, ekonomi dan demografi yang tidak
mendukung menyebabkan pengelolaan perikanan menjadi the big challenging
exercise bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya (Fauzi, 2005).
9
Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 2004, pada Pasal 1 butir
disebutkan bahwa sumberdaya ikan adalah potensi semua jenis ikan. Sedangkan
pada butir 4 disebutkan bahwa ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh
atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
Sebagaimana yang tertuang dalam penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun
2004, yang dimaksud dengan "jenis ikan" adalah:
1.
Pisces (ikan bersirip);
2.
Crustacea (udang, rajungan, kepiting, dan sebangsanya);
3.
Mollusca (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan sebangsanya);
4.
Coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya);
5.
Echinodermata (tripang, bulu babi, dan sebangsanya);
6.
Amphibia (kodok dan sebangsanya);
7.
Reptilia
(buaya,
penyu,
kura-kura,
biawak,
ular
air,
dan
sebangsanya);
8.
Mammalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung, dan sebangsanya);
9.
Algae (rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di
dalam air); dan
10.
Biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut
di atas
2.2. Pengelolaan Perikanan
Pengelolaan perikanan (fisheries management) merupakan upaya yang
sangat penting dalam mengantisipasi terjadinya masalah-masalah, baik ekologi
maupun sosial-ekonomi di wilayah pesisir dan laut. Upaya ini muncul sebagai
akibat dari pemanfaatan kawasan pesisir dan laut secara bersama-sama. Praktek
open acces yang selama ini berjalan banyak menimbulkan masalah yaitu
kerusakan sumberdaya hayati laut, pencemaran, over-exploitation, dan konflikkonflik antarnelayan. Hal ini diakibatkan oleh ketidakpastian pemilikan atas
sumberdaya, serta tidak ada batasan siapa, kapan, dimana, dan bagaimana
kegiatan perikanan dilakukan.
Dalam Ketentuan Umum Bab I Pasal 1 ayat (7) Undang-undang No. 31
Tahun 2004 tentang Perikanan, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
10
pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi
dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan
keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum
dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Dalam mewujudkan pengelolaan berkelanjutan di sektor perikanan, maka
diperlukan suatu pendekatan dalam memilih model pengelolaan perikanan harus
diarahkan kepada mempertahankan dan memulihkan stok ikan di laut pada tingkat
kemampuan maksimum menghasilkan ikan tanpa merusak lingkungan dan
menggangu stabilitas perekonomian, baik nasional (makro) maupun daerah
(mikro). Pendekatan model pengelolaan tersebut diharapkan mampu memecahkan
permasalahan-permasalahan, yaitu (Nikijuluw, 2002) :
1. Kelebihan kapasitas penangkapan ikan;
2. Ketidakseimbangan
antara
kepentingan
berbagai
pihak
dengan
memanfaatkan sumberdaya;
3. Kerusakan habitat, kecenderungan kepunahan jenis ikan tertentu dan
turunnya keanekaragaman hayati, serta
4. Kerusakan dan kemunduran mutu lingkungan.
2.3. Pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Zona Ekonomi Esklusif menurut konvensi hukum laut 1982 merupakan
bagian laut yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut territorial yang
jaraknya tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal laut teritorial.
Negara mempunyai hak berdaulat atas ZEE, yaitu hak untuk mengadakan
eksplorasi dan eksploitasi, konservasi, dan pengurusan dari sumber kekayaan alam
hayati atau bukan hayati dari perairan, dasar laut dan tanah bawah, serta memiliki
yuridiksi untuk pendirian pulau buatan, instansi dan bangunan, riset ilmiah dan
kelautan, perlindungan dan pembinaan dari lingkungan maritim.
Dalam konveksi Hukum Laut 1982 diatur pula mengenai hak-hak dan
kewajiban negara lain pada Zona Ekonomi Ekslusif; Pencegahan, pengurangan
dan pengawasan pencemaran laut; Keharusan negara-negara mengumumkan peta
11
Zona Ekonomi Ekslusif; Penyelasaian perselisihan tentang Zona Ekonomi
Ekslusif; Zona Ekonomi Ekslusif sebagai Sui Generis; Penentuan batas zona
Ekonomi Ekslusif; Negara-negara dengan Zona Ekonomi Ekslusif yang besar;
Tinjauan tentang status hukum dari Zona Ekonomi Ekslusif.
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sebagai perkembangan dalam pengaturan
masalah kelautan yang erat kaitannya dengan pembudidayaan dan pengawasan
sumber daya alam hayati maupun non-hayati, di dalam perdagangan masyarakat
internasional merupakan bentuk-bentuk dampak sebagai konsekuensi logis
diberlakukannya hukum internasional, bukan merupakan halangan dalam
mengupayakan kekayaan laut yang ada. Berkenaan dengan hal itu, diperlukan
peningkatan kewaspadaan pada kapal-kapal asing yang mengarungi wilayah
ekonomi eksklusif dengan menggunakan hak kebebasan pelayaran, maupun kapalkapal asing yang telah diizinkan oleh pemerintah Indonesia untuk
membudidayakan sumber alam hayati. Peningkatan kewaspadaan ini dilakukan
mengingat semakin luasnya wilayah Indonesia dan semakin majunya
perkembangan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pengelolaan
sumber daya, misalnya telah banyak didapati alat-alat canggih ultra ringan dengan
kemampuan yang luar biasa serta sudah dimodifisir dalam berbagai bentuk
dengan multi guna.
2.4. Pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1983 disebutkan
bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan
dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undangundang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di
bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur
dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
Berarti apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan
zona ekonomi eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau
berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara
Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik
Indonesia dan negara yang bersangkutan. Dan selama persetujuan sebagaimana
12
dimaksud belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu
dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara
tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut
wilayah Indonesia atau titik-titik terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut
wilayah atau titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut
telah tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan
batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia termaksud seperti yang disebutkan pada
Pasal 3.
Selanjutnya pada Pasal 4 disebutkan bahwa di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia, Republik Indonesia mempunyai dan melaksanakan hak berdaulat untuk
melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya
alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di
atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis
zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin; Yurisdiksi
yang berhubungan dengan pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan,
instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya, penelitian ilmiah mengenai
kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, hak-hak lain dan
kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan Konvensi Hukum Laut yang berlaku;
Sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah di bawahnya, hak berdaulat,
hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia sebagaimana
dimaksud , dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan Landas
Kontinen Indonesia, persetujuan-persetujuan antara Republik Indonesia dengan
negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang
berlaku. Kemudian disebutkan juga bahwa di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan
kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut
internasional yang berlaku.
Dan disebutkan pula pada Pasal 5 bahwa dengan tidak mengurangi
ketentuan Pasal 4, barang siapa melakukan eksplorasi dan/ atau eksploitasi sumber
daya alam atau kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau persetujuan
internasional tersebut. Eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam hayati
harus mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh
13
Pemerintah Republik Indonesia. Eksplorasi dan eksploitasi suatu sumber daya
alam hayati di daerah tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia oleh orang
atau badan hukum atau Pemerintah Negara Asing juga dapat diizinkan jika
jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk
jenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya.
Adapun batas wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
dijabarkan dengan jelas pada Gambar 1. Batas wilayah Zona Ekonomi Ekslusif
Indonesia terdiri dari Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Laut Cina Selatan,
terletak diantara 2°30’LS - 7°30’LU dan 106°BT - 111°BT; Zona Ekonomi
Ekslusif Indonesia Samudra Indonesia, terletak diantara 14°LS - 6°LU dan 92°BT
- 120°BT; Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Laut Arafura, terletak diantara 5°LS
- 14°LS dan 120°BT - 140°BT; Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Samudra
Pasifik dan Laut Sulawesi, terletak diantara 2°30’LS - 7°30’LU dan 118°30’BT 141°30’BT.
Berkenaan dengan hal ini, sumberdaya alam hayati di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia dimanfaatkan untuk pengembangan usaha perikanan
Indonesia. Dengan demikian, pemerintah mengupayakan tersedianya berbagai
kemudahan, salah satunya penyediaan prasarana dalam bentuk pelabuhanpelabuhan perikanan. Di samping itu, pada Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
kerap terlihat adanya kapal-kapal ikan asing yang beroperasi untuk memanfaatkan
surplus dari jumlah tengkapan yang diperbolehkan (total allowable catch/TAC).
Hal ini disebabkan Indonesia masih belum mampu memenuhi jumlah armada
perikanan yang dibutuhkan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia.
14
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia merupakan bagian wilayah negara
Republik Indonesia yang mengandung potensi sumberdaya alam, baik berupa
sumber daya alam hayati maupun sumber daya alam non hayati. Menurut
Konvensi Hukum Laut 1982, pemanfaatan sumber daya alam oleh Negara-Negara
pantai di Zona Ekonomi Eksklusifnya didasarkan pada hak berdaulat. Hak
berdaulat terhadap sumber daya alam di zona ekonomi eksklusif pada hakekatnya
adalah hak eksklusif bukan kedaulatan dalam arti “sovereignty”. Konsep zona
ekonomi eksklusif tidak menuntut adanya soverenitas wilayah, akan tetapi hanya
“sovereignt rights” atas sumber daya alamnya dan hal-hal yang berhubungan
dengan sumber daya alam tersebut. Konvensi tidak menjelaskan tentang apa yang
dimaksud dengan hak berdaulat. Hak berdaulat ini tidak lain adalah kedaulatan
juga, tetapi derajatnya lebih terbatas hanya pada bidang-bidang tertentu.
Dilihat dari latar belakangnya, konsep Zona Ekonomi Eksklusif lahir
adalah merupakan dorongan umat manusia untuk memenuhi kebutuhannya,
keinginan demikian diwujudkan dalam berbagai pernyataan sepihak (unilateral
proclamation) tentang perluasan wilayah yuridiksi atas laut. Secara konkrit
tercermin pula dari usaha-usaha yang dilakukan oleh negara-negara yang sedang
berkembang untuk melakukan pengawasan dan penguasaan terhadap sumber daya
alam yang terdapat di dalam laut yang berbatasan dengan laut wilayahnya.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa konsepsi Zona Ekonomi Eksklusif
tidak menuntut soverenitas wilayah atas zona ekonomi yang 200 mil, tetapi hanya
“sovereign right” atas kekayaan alamnya dan hal yang berhubungan dengan
kekayaan alam. Zona ekonomi merupakan rejim hukum khusus, dalam artian
tidak tunduk pada ketentuan rejim hukum yang lain (laut lepas dan laut wilayah).
Munculnya secara resmi dan untuk pertama kalinya istilah serta pengertian Zona
Ekonomi Eksklusif dalam bahasa politik dan Pemerintah Indonesia, yaitu dengan
lahirnya pengumuman pemerintah RI tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
tanggal 21 Maret 1980.
Konsepsi Zona Ekonomi Eksklusif dibentuk dan ditumbuhkan sebagai
suatu konsepsi pengaturan hukum “Sui Generis” (khusus), karena lahir dari
15
konsepsi zona ekonomi eksklusif itu sendiri yang sebelumnya memang belum
dikenal dan belum pernah dijumpai dalam system hukum yang telah berlaku.
Status “Sui Generis” dari Zona Ekonomi Eksklusif dapat ditemukan dalam
ketentuan Pasal 55 Konvensi Hukum Laut 1982:
“Zona Ekonomi Eksklusif adalah suatu kawasan laut di luar dan berdekatan
dengan laut territorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan
dalam Bab V, berdasarkan mana hak-hak dan yuridiksi negara pantai dan hakhak serta kebebasan-kebebasan negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan
yang relevan dengan konvensi ini.”
Seiring dengan adanya hak-hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan
eksploitasi sumber daya alam hayati dan non hayati serta kewenangan untuk
melakukan perlindungan dan pelestarian lingkungan di Zona Ekonomi Eksklusif.
Negara pantai mempunyai kewajiban untuk mengatur dan melaksanakan
penegakan hukum, agar sesuai dengan yang dikehendaki dalam Konvensi dapat
dilaksanakan oleh peraturan perundang-undangan nasional. Dalam
pelaksanaannya, negara pantai juga harus memperhatikan kebebasan-kebebasan
penggunaan laut oleh negara-negara lain. Begitu juga dengan sebaliknya, negaranegara lain dalam menikmati kebebasan penggunaan laut di zona ekonomi
eksklusif harus mentaati peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan
ketentuan Konvensi yang ditetapkan oleh negara pantai.
Penegakan hukum oleh negara pantai dalam rangka pelaksaan hak-hak
berdaulat dan yuridiksi atas sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif
dapat bersifat preventif maupun represif. Langkah-langkah preventif yang
ditempuh dapat berupa pemantauan atas ditaatinya persyaratan perizinan kegiatan
penangkapan ikan di laut. Langkah-langkah represifnya adalah berupa sanksi
pencabutan izin kegiatan dan ganti rugi kepada pelanggar peraturan yang telah
ditentukan.
Penegakkan hukum diartikan sebagai suatu proses peradilan yang terdiri
dari kegiatan; penyidikkan, penuntutan pengadilan dan pelaksanaan putusan, dan
bertujuan menjamin ketertiban hukum dan masyarakat. Penegakkan hukum di laut
diartikan juga untuk maksud membela dan melindungi kepentingan nasional serta
16
kepentingan masyarakat hukum internasional, akan tetapi pelaksanaannya harus
disesuaikan dengan rejim hukum yang berlaku, sejalan dengan pengembangan
hukum laut internasional. Kepentingan nasional yang dimaksud tidak hanya
berkaitan dengan tindak pidana dalam arti umum tetapi meliputi bidang-bidang
keamanan dan keselamatan negara (pelanggaran wilayah), pemanfaatan sumber
daya alam hayati dan non hayati di laut, keselamatan pelayaran, penelitian ilmiah
kelautan, lingkungan laut, pencemaran dan sebagainya.
Hukum Internasional
Hukum Nasional
UNCLOS 1982
Peraturan Perundang-undangan Nasional
Zone Ekonomi Eksklusif
Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia
Perijinan Kapal Ikan asing
Era Orde Baru
Efektivitas Pengaturan Kapal Ikan Asing
Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
Keterangan :
: Wilayah Penelitian
Era Reformasi
17
IV. METODOLOGI
4.1.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus (case study) yang
dipadukan dengan Metode yuridis formal dengan studi literatur dengan
pendekatan kualitatif. Menurut Salim (2000) studi kasus adalah suatu pendekatan
untuk mempelajari, menerangkan atau menginterperetasikan suatu kasus(case)
dalam konteks secara natural tanpa ada intervensi dari pihak luar. Mulyana (2001)
mendefenisikan studi kasus sebagai uraian dan penjelasan komprehensif mengenai
berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas),
suatu program atau suatu situasi sosial. Nasir (1988) menyatakan bahwa metode
studi kasus bertujuan memberikan gambaran secara rinci tentang latar belakang,
sifat-sifat karakter yang khas dari kasus ataupun dari status individu,yang
kemudian sifat-sifat yang khas tersebut akan dijadikan suatu hal yang bersifat
umum. Sementara itu Sitorus (2000) menjelaskan bahwa studi kasus mempuyai
makna yang lain,yaitu: (1) studi aras mikro (menyorot satu atau beberapa kasus);
dan (2) stategi penelitian yang bersifat multi-metode.
Metode yuridis formal adalah metode penelitian yang menekankan pada
ilmu hukum dan menitikberatkan pada pengumpulan data sekunder yang
merupakan bahan-bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan),
sekunder (buku-buku, paper, artikel dan pendapat para tokoh) dan tersier (kamus
hukum) (Soekanto 1986) dan satuan kasusnya adalah penelitian hukum, yang
bertujuan mempelajari aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan hak
perikanan tradisional, khususnya ketentuan-ketentuan yang erat kaitannya dengan
perjanjian bilateral antara Indonesia dan Australia tentang hak perikanan
tradisional.
Menurut Lincoln dan Guba (1985), yang diacu dalam Mulyana (2000),
bahwa dalam penelitian kualitatif, studi kasus memiliki beberapa kelebihan, yaitu:
1.
Studi kasus merupakan sarana utama bagi peneliti emik, yakni menyajikan
pandangan subyek yang diteliti.
2.
Studi kasus menyajikan uraian menyeluruh yang mirip denga apa yang
dialami pembaca dalam kehidupan sehari-hari.
18
3.
Studi kasus memungkinkan pembaca untuk menemukan konsistensi
internal yang tidak hanya merupakan konsistensi gaya dan faktual tetapi
juga kepercayaan
Studi kasus terbuka bagi penilaian atas konteks yang turut berperan bagi
pemaknaan atas fenomena dalam konteks tersebut.
4.2.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data text dan image.
Menurut Fauzi (2001) data text yaitu berupa data yang berbentuk alphabet
maupun angka, sedangkan data image meliputi foto, kartun, diagram dan
sejenisnya yang memberikan informasi secara spesifik mengenai keadaan tertentu.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data sekunder. Data
sekunder adalah data yang dikumpulkan dari bahan pustaka atau hasil penelitian
orang lain yang berhubungan dengan penelitian tersebut.
Bahan penelitian yang digunakan untuk masalah hukum dalam penelitian
ini adalah:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang berkaitan dengan masalah penelitian.
2. Bahan Hukum Sekunder, terdiri dari: (a) hasil-hasil penelitian yang telah ada
sebelumnya yang berkaitan dengan objek penelitian; dan (b) kepustakaan,
termasuk bahan dan hasil seminar, hasil konferensi, serta ulasan media massa
yang berkaitan dengan objek penelitian.
3. Bahan Hukum Tersier, yang terdiri dari: kamus hukum, ensiklopedia, dan
kamus pendukung lainnya.
4.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam.
wawancara mendalam atau wawancara tak berstruktur adalah metode yang selaras
dengan perspektif interaksionisme simbolik, karena hal tersebut memungkinkan
pihak yang diwawancara untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya,
untuk menggunakan istilah-istilah mereka sendiri mengenai fenomena yang
19
diteliti, tidak sekedar menjawab pertanyaan. Gaya bahasa yang digunakan dalam
mewawancara nelayan disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan
pemahamannya tentang hal-hal atau permasalahan yang ditanyakan peneliti.
4.4 Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode
kualitatif adalah analisis data yang berupa kata-kata dan bukan rangkaian angka
dengan berbagai cara pengumpulan data berupa observasi, wawancara, intisari
dokumen, dan pita rekaman yang bisa diperoses (Miles dan Huberman 1992).
Data-data yang diperoleh berupa data-data sekunder dari bahan-bahan hukum,
baik dalam hukum primer, bahan hukum sekunder dan tertier, akan diolah dan di
analisis secara deskriptif analisis yang dilakukan dengan cara kualitatif.
4.5 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2008 sampai dengan bulan
Agustus 2008.
20
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Pengaturan Perizinan Kapal Ikan Asing di Era Orde Baru
Sejak diberlakukannya pemberian izin kepada orang atau badan hukum
asing untuk menangkap ikan di ZEEI, izin penangkapan ikan bagi orang atau
badan hukum asing di ZEEI diberikan dalam bentuk surat izin penangkapan ikan
yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian atau pejabat yang ditunjuk olehnya
(Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 Tentang Pengelolaan
Sumberdaya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia). Selain itu
pengaturan perizinan kapal asing untuk menangkap ikan di wilayah ZEEI
ditegaskan dalam:
5.1.1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia
Dasar hukum dikeluarkannya perizinan kapal ikan asing tertuang pada
Pasal 5 ayat (1). Disebutkan bahwa, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4
ayat (2), barang siapa melakukan eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya
alam atau kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau persetujuan
internasional tersebut. sementara pada ayat (2) disebutkan, bahwa dengan tidak
mengurangi ketentuan ayat (1), eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam
hayati harus mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang
ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (3)
menyebutkan bahwa dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat (2),
eksplorasi dan eksploitasi suatu sumber daya alam hayati di daerah tertentu di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia oleh orang atau badan hukum atau Pemerintah
Negara Asing dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis tersebut melebihi kemampuan
Indonesia untuk memanfaatkannya.
21
5.1.2
Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
Dasar hukum dikeluarkannya perizinan kapal ikan asing tertuang pada
Pasal 9. Disebutkan bahwa, dengan usaha perikanan di wilayah perikanan
Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia
atau badan hukum Indonesia. Namun demikian, ketentuan tersebut dikecualikan
hanya dapat diberikan di bidang penangkapan ikan, sepanjang hal tersebut
menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan ketentuan
persetujuan internasional atau hukum internasional yang berlaku. Pengecualian
tersebut, yaitu pemanfaatan yang dilakukan oleh orang atau badan hukum asing
hanya dapat diizinkan di bidang penangkapan ikan sepanjang negara Republik
Indonesia terikat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan persetujuan
internasional atau ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Sementara Pasal 10, setiap orang atau badan hukum yang melakukan
usaha perikanan diwajibkan memiliki izin usaha perikanan. Nelayan dan petani
ikan kecil atau perorangan lainnya yang sifat usahanya merupakan mata
pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak dikenakan
kewajiban memiliki izin usaha perikanan.
Lebih lanjutm Pasal 12 ayat (1) menyebutkan bahwa kapal perikanan yang
digunakan oleh warganegara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia
untuk melakukan penangkapan ikan di dalam wilayah perikanan Republik
Indonesia harus berbendera Indonesia. Pada ayat (2) ditambahkanb, pengecualian
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan
untuk kegiatan penelitian serta kegiatan ilmiah lainnya di wilayah perikanan
Republik Indonesia dan kegiatan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia. Pada aturan penjelasan ditambahkan, bahwa kegiatan penelitian dan
ilmiah lainnya untuk memperoleh data dalam rangka pengelolaan sumber daya
ikan di laut baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun badan-badan swasta
sudah lazim dilakukan dalam bentuk kerja sama dengan badan-badan ilmiah
asing. Hal ini mengingat bahwa sifat sumber daya ikan secara ilmiah tidak
mengenal batas-batas kewilayahan negara. Dalam pelaksanaan kerja sama
penelitian tersebut seringkali terjadi bahwa badan-badan ilmiah asing
menyediakan kapal penelitian dengan bendera dari negara asing yang
22
bersangkutan. Pemanfaatan sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia memerlukan dana investasi yang besar terutama untuk membiayai
pengadaan kapal-kapal perikanan yang berukuran besar serta menggunakan
teknologi maju, yang untuk sementara masih merupakan suatu kelangkaan yang
masih sulit dipenuhi oleh usaha-usaha perikanan Indonesia. Untuk itu dalam
rangka mengembangkan usaha perikanan menuju optimalisasi pemanfaatan
sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia oleh usaha-usaha
perikanan Indonesia, maka kepada mereka perlu diberi kesempatan untuk
mengadakan kerja sama dengan pihak asing dalam bentuk sewa atau beli sewa
kapal perikanan berbendera asing. Dengan sendirinya perlu diadakan pembatasan
waktu selesainya sewa atau beli sewa di samping syarat-syarat keharusan untuk
menggunakan tenaga kerja Indonesia.
5.1.3 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan
Sumberdaya Alam Hayati (SDAH) di ZEEI
Dasar hukum dikeluarkannya perizinan kapal ikan asing tertuang pada
Pasal 2 ayat (3). Disebutkan bahwa, dalam rangka meningkatkan kemampuannya
untuk memanfaatkan sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia, orang atau badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang usaha
perikanan Indonesia dapat mengadakan kerja sama dengan orang atau badan
hukum asing dalam bentuk usaha patungan atau bentuk kerja sama lainnya
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara pada Pasal 3, orang atau badan hukum asing dapat diberi
kesempatan untuk melakukan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia sepanjang orang atau badan hukum Indonesia yang bergerak dibidang
usaha perikanan Indonesia belum dapat sepenuhnya memanfaatkan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pemberian
izin kepada orang atau badan hukum asing untuk menangkap ikan di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat
diberikan setelah diadakan persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan Pemerintah Negara Asing asal orang atau badan hukum asing yang
bersangkutan (Pasal 9 ayat 1). Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
23
dapat diberikan apabila kebangsaan kapal perikanan yang dipergunakan sama
dengan kebangsaan orang atau badan hukum asing yang bersangkutan.
Lebih lanjut, Pasal 10 menyebutkan bahwa orang atau badan hukum asing
yang akan melakukan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk memperoleh izin
menangkap ikan kepada Menteri Pertanian atau Pejabat yang ditunjuk olehnya.
Dalam surat permohonan harus dilengkapi dengan data sebagai berikut:
1) Jumlah kapal yang akan digunakan;
2) Nama, alamat dan kebangsaan pemilik kapal;
3) Nama kapal;
4) Nama panggilan kapal;
5) Negara registrasi, nomor registrasi, dan bendera kapal;
6) Panjang kapal;
7) Berat kotor kapal;
8) Kekuatan mesin kapal;
9) Daya muat palkah ikan;
10) Nama, alamat, dan kebangsaan nakoda kapal;
11) Jumlah awak kapal;
12) Jenis dan jumlah alat penangkap ikan yang akan dibawa/digunakan
masing-masing kapal;
13) Daerah penangkapan ikan yang diinginkan.
Izin penangkapan ikan bagi orang atau badan hukum asing di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia diberikan dalam bentuk Surat Izin Penangkapan
Ikan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian atau Pejabat yang ditunjuk olehnya
(Pasal 11 ayat (1). Dalam Surat Izin Penangkapan Ikan dicantumkan hal-hal
sebagai berikut:
1) Nama dan kebangsaan pemilik kapal;
2) Nama kapal;
3) Nama panggilan kapal;
4) Negara registrasi, nomor registrasi, dan bendera kapal;
5) Panjang kapal;
24
6) Berat kotor kapal;
7) Kekuatan mesin kapal;
8) Daya muat palkah kapal;
9) Nama, alamat, dan kebangsaan nakoda kapal;
10) Jumlah awak kapal;
11) Jenis dan jumlah alat penangkap ikan yang akan dibawa/digunakan
masing-masing kapal;
12) Daerah penangkapan ikan yang ditetapkan;
13) Tanda pengenal yang wajib dipasang di kapal;
14) Tempat melapor;
15) Ketentuan mengenai penangkapan ikan yang wajib ditaati.
Pasal 12 menambahkan, Surat Izin Penangkapan Ikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) berlaku untuk 1 (satu) tahun. Apabila masa
berlakunya Surat Izin Penangkapan Ikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
telah habis, dan untuk tahun berikutnya orang atau badan hukum asing yang
bersangkutan akan melanjutkan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia, sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) hari sebelum masa berlaku Surat
Izin Penangkapan Ikan yang telah diperolehnya habis, wajib mengajukan
permohonan izin baru menurut ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Orang atau badan hukum asing yang menggunakan kapal perikanan
dan telah mendapat Surat Izin Penangkapan Ikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13, pada saat akan mulai, selama dan setelah melakukan
penangkapan ikan, wajib melapor kepada Petugas yang ditetapkan oleh
Menteri Pertanian atau Pejabat yang ditunjuk olehnya di pelabuhan atau
tempat tertentu yang telah ditetapkan dalam Surat Izin Penangkapan Ikan
(Pasal 14 ayat 1). Pada ayat (2) ditambahkan, bahwa selama melakukan
penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, setiap kapal
perikanan yang digunakan oleh orang atau badan hukum asing wajib
menerima pengawas yang ditugaskan oleh Menteri Pertanian atau pejabat
yang ditunjuk olehnya dan memberikan kesempatan kepada petugas lainnya
untuk melakukan pemeriksaan di kapal.
25
Orang atau badan hukum asing yang telah mendapat izin menangkap ikan
di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia menurut ketentuan Peraturan Pemerintah
ini, wajib menunjuk perusahaan yang berbadan hukum Indonesia yang disetujui
oleh Menteri Pertanian atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk mewakili
kepentingan-kepentingannya (Pasal 15). Sementara Pasal 16 menyebutkan, orang
atau badan hukum asing yang mendapat izin menangkap ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia dikenakan pungutan perikanan, yang besarnya dan tata cara
pelaksanaannya ditetapkan oleh Menteri Pertanian dengan persetujuan Menteri
Keuangan. Adapun pungutan perikanan terdiri dari: (a) pungutan pendaftaran,
yang dikenakan kepada setiap kapal perikanan yang akan dimohonkan izin
penangkapan ikan; (b) pungutan perubahan Surat Izin Penangkapan Ikan, yang
harus dibayar pada saat pengajuan permohonan perubahan; dan (c) pungutan
penangkapan ikan, yang dikenakan kepada setiap kapal perikanan yang
dipergunakan. Selain pungutan perikanan tersebut, kapal perikanan yang
bersangkutan wajib membayar uang rambu dan/atau jasa pelabuhan di tempat
melapor menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.1.4 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan
Menurut Pasal ayat (1), usaha Perikanan terdiri atas : usaha panangkapan
ikan dan usaha pembudidayaan ikan. Usaha Perikanan di Wilayah Perikanan
Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh perorangan warga negara
Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia termasuk Koperasi (Pasal 3 ayat
1). Namun demikian, ketentuan tersebut dikecualikan pada ayat (2), yang
menyebutkan bahwa pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) hanya dapat diberikan di bidang penangkapan ikan, sepanjang hal
tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan
ketentuan persetujuan internasional atau hokum internasional yang berlaku.
Secara lebih rinci, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1990 tentang usaha
perikanan mengatur kegiatan perizinan tersebut, yaitu:
1. Perusahaan Perikanan yang melakukan Usaha Perikanan di Wilayah
Perikanan Republik Indonesia wajib memiliki Izin Usaha Perikanan (IUP).
IUP diberikan untuk masing-masing usaha perikanan dan berlaku selama
26
perusahaan masih melakukan Usaha Perikanan. Dalam IUP untuk usaha
penangkapan ikan dicantumkan koordinat daerah penangkapan ikan,
jumlah dan ukuran kapal perikanan serta jenis alat tangkap yang
digunakan.
2. Kapal Perikanan berbendera Indonesia yang digunakan oleh Perusahaan
Perikanan yang melakukan Usaha Penangkapan Ikan wajib dilengkapi
Surat Penangkapan Ikan (SPI). Dalam SPI dicantumkan ketetapan
mengenai daerah penangkapan ikan dan jenis alat penangkap ikan yang
digunakan. SPI berlaku selama 3 (tiga) tahun dan seterusnya untuk setiap
kali berakhir masa berlakunya diberikan perpanjangan selama 3 (tiga)
tahun oleh pemberi izin sepanjang kapal dimaksud masih dipergunakan
oleh Perusahaan Perikanan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Untuk kepentingan kelestarian sumberdaya ikan, pemberi izin setiap tahun
sekali meninjau kembali ketetapan mengenai daerah penangkapan ikan
dan atau jenis alat penangkap ikan sebagaimana tercantum dalam IUP dan
SPI.
4. Perusahaan Perikanan yang telah memiliki IUP yang akan menggunakan
Kapal Perikanan berbendera asing untuk menangkap ikan di ZEEI wajib
memiliki Persetujuan Penggunaan Kapal Asing (PPKA) dan berlaku
selama 3 (tiga) tahun. Dalam PPKA dicantumkan koordinat daerah
penangkapan ikan, jumlah dan ukuran Kapal Perikanan serta jenis alat
tangkap yang digunakan. Kapal Perikanan berbendera asing yang
digunakan oleh Perusahaan Perikanan sebagaimana dimaksud di atas
wajib dilengkapi dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). SIPI berlaku
selama 1 (satu) tahun dan setiap kali masa berlakunya berakhir, dapat
diperbaharui untuk jangka waktu 1 (satu) tahun sepanjang kebijaksanaan
untuk memberikan kesempatan menggunakan kapal berbendera asing
masih berlaku.
5. Gubernur Kepala Daerah Tingkai I atau Pejabat yang ditunjuk
memberikan IUP dan SPI kepada Perusahaan Perikanan yang melakukan
penangkapan ikan yang berdomisili di wilayah administrasinya, yang
27
menggunakan Kapal Perikanan tidak bermotor, Kapal Perikanan bermotor
luar, dan Kapal Perikanan bermotor dalam yang berukuran tidak lebih dari
30 GT dan atau yang mesinnya berkekuatan tidak lebih dari 90 Daya Kuda
(DK), dan berpangkalan diwilayah administrasinya serta tidak
menggunakan modal dan atau tenaga asing; IUP kepada Perusahaan
Perikanan yang melakukan pembudidayaan ikan di air tawar, di air payau
dan dilaut yang tidak menggunakan modal asing dan atau tenaga asing.
Ketentuan mengenai tatacara pemberian IUP dan SPI sebagaimana
dimaksud di atas diatur oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dengan
berpedoman kepada Tatacara Pemberian Izin Usaha Perikanan yang diatur
oleh Menteri.
6. Kecuali terhadap kegiatan-kegiatan yang menjadi kewenangan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I, Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya
memberikan IUP, PPKA, SPI dan SIPI kepada Perusahaan Perikanan.
Kewenangan memberikan IUP kepada Perusahaan Perikanan yang
penanaman modalnya dilakukan dalam rangka Undang-undang Nomor 1
Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah
diubah dengan Undang undang Nomor 11 Tahun 1970 dan dalam rangka
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Asing
sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1970
sebagaimana dimaksud di atas dilimpahkan oleh Menteri kepada Ketua
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Ketentuan mengenai
tatacara pemberian IUP dan SPI serta PPKA dan SIPI sebagaimana
dimaksud sebelumnya maupun pelimpahan kewenangan kepada Ketua
Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud di atas diatur
oleh Menteri.
7. Perusahaan Perikanan yang telah memiliki IUP dapat melakukan
Perluasan Usaha Penangkapan Ikan setelah mendapat persetujuan pemberi
izin.
8. Pemegang IUP berkewajiban melaksanakan ketentuan yang tercantum
dalam IUP dan SIP; memohon persetujuan tertulis dari pemberi izin dalam
hal memindah-tangankan IUP-nya; menyampaikan laporan kegiatan usaha
28
setiap 6 (enam) bulan sekali. Pemegang PPKA berkewajiban
melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam PPKA dan SIPI, serta
menyampaikan laporan kegiatan usaha setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada
pemberi izin.
9. Kewajiban memiliki IUP dikecualikan bagi kegiatan penangkapan ikan
yang dilakukan oleh Nelayan dengan menggunakan sebuah Kapal
Perikanan tidak bermotor atau menggunakan motor luar atau motor dalam
berukuran tertentu; kegiatan pembudidayaan ikan di air tawar yang
dilakukan oleh Petani Ikan di kolam air tenang dengan areal lahan tertentu;
kegiatan pembudidayaan ikan di air payau yang dilakukan oleh Petani Ikan
dengan areal lahan tertentu; kegiatan pembudidayaan ikan di laut yang
dilakukan oleh Petani Ikan dengan areal lahan atau perairan tertentu;
ukuran Kapal Perikanan dan luas areal lahan atau perairan sebagaimana
dimaksud sebelumnya diatur oleh Menteri. Nelayan dan Petani Ikan
sebagaimana dimaksud sebelumnya wajib mencatatkan kegiatan
perikanannya kepada Dinas Perikanan Daerah.
5.2 Pengaturan Perizinan Kapal Ikan Asing di Era Reformasi
Seiring berjalannya waktu, kebijakan mengenai pengaturan perizinan
kapal asing di wilayah ZEEI yang dimonitor dan dievaluasi dalam setiap
pelaksanaannya pun kerap disempurnakan. Adapun pengaturan perizinan kapal
asing untuk menangkap ikan di wilayah ZEEI ditegaskan dalam:
5.2.1
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Ketentuan-ketentuan penegakan hukum dari Undang-Undang No. 31
Tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan dalam Pasal 29, bahwa usaha perikanan
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh
warga Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia. Pengecualian terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud di atas diberikan kepada orang atau badan
hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal
tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan
persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.
29
Berkenaan dengan hal ini, mengingat kebijakan kapal asing yang beroperasi di
ZEEI erat kaitannya dengan Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN), maka kapal asing yang akn beroperasi di
Indonesia harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pemerintahan Indonesia
melalui perjanjian internasional.
5.2.2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.5/Men/2008
tentang Usaha Perikanan
Hal-hal penting perizinan sebagaimana yang diatur pada peraturan menteri
ini, diantaranya yaotu:
1. Untuk memperoleh SIUP, setiap orang atau badan hukum Indonesia wajib
terlebih dahulu mengajukan permohonan SIUP kepada Direktur Jenderal
dengan melampirkan rencana usaha atau proposal rencana usaha bagi
orang atau badan hukum Indonesia yang akan melakukan usaha perikanan
tangkap terpadu; fotokopi akte pendirian perusahaan berbadan
hukum/koperasi yang menyebutkan bidang usaha perikanan yang telah
disahkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang pengesahan
badan hukum/koperasi; fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) penanggung
jawab perusahaan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; pas
foto berwarna terbaru pemilik kapal atau penanggung jawab
perusahaansebanyak 2 (dua) lembar, ukuran 4 x 6 cm; surat keterangan
domisili usaha; dan spesimen tanda tangan pemilik kapal atau penanggung
jawab perusahaan.
2. Adapun setiap orang atau badan hukum Indonesia yang akan
mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia, wajib
terlebih dahulu mengajukan permohonan SIPI kepada Direktur Jenderal
dengan melampirkan fotokopi SIUP; fotokopi tanda pendaftaran kapal
atau buku kapal perikanan yang telah disahkan oleh pejabat yang
berwenang; atau dalam hal tidak ada pengesahan dari pejabat yang
berwenang, melampirkan fotokopi tanda pendaftaran kapal atau buku
kapal perikanan dengan menunjukkan aslinya; rekomendasi hasil
pemeriksaan fisik kapal dan dokumen kapal dari pejabat yang ditunjuk
30
oleh Direktur Jenderal yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan oleh
petugas pemeriksa fisik kapal; fotokopi KTP penanggung jawab
perusahaan sebagaimana tersebut dalam SIUP yang telah disahkan oleh
pejabat yang berwenang; fotokopi risalah lelang yang telah disahkan oleh
pejabat yang berwenang, bagi kapal yang diperoleh melalui lelang; dan
rekomendasi dari asosiasi atau organisasi di bidang perikanan tangkap
setempat yang terdaftar di Departemen Kelautan dan Perikanan.
3. Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang akan mengoperasikan
kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia, wajib terlebih dahulu
mengajukan permohonan SIKPI kepada Direktur Jenderal dengan
melampirkan: fotokopi SIUP; fotokopi tanda pendaftaran kapal atau buku
kapal perikanan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; atau
dalam hal tidak ada pengesahan dari pejabat yang berwenang,
melampirkan fotokopi tanda pendaftaran kapal atau buku kapal perikanan
dengan menunjukkan aslinya; rekomendasi hasil pemeriksaan fisik kapal
dan dokumen kapal dari pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal yang
dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan oleh petugas pemeriksa fisik kapal;
fotokopi KTP penanggung jawab perusahaan sebagaimana tersebut dalam
SIUP yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; dan fotokopi
risalah lelang yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang, bagi
kapal yang diperoleh melalui lelang.
4. Perusahaan perikanan atau perusahaan bukan perusahaan perikanan
berbadan hukum Indonesia yang mengoperasikan kapal pengangkut ikan
berbendera asing, wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan SIKPI
kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan fotokopi SIUP atau surat
izin usaha pelayaran angkutan laut yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang; cetak biru gambar rencana umum kapal; fotokopi paspor atau
buku pelaut (seaman book) bagi nakhoda; fotokopi surat penunjukan
keagenan atau fotokopi surat perjanjian sewa kapal; fotokopi akte
pendirian perusahaan bagi perusahaan bukan perusahaan perikanan;
spesifikasi teknis kapal; fotokopi surat ukur internasional; fotokopi surat
tanda kebangsaan kapal; rekomendasi hasil pemeriksaan fisik kapal dan
31
dokumen kapal dari pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal yang
dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan oleh petugas pemeriksa fisik kapal;
rekomendasi pengawakan tenaga kerja asing; fotokopi KTP atau paspor
penanggung jawab perusahaan atau pemilik kapal; dan pas foto berwarna
terbaru nakhoda sebanyak 2 (dua) lembar, ukuran 4 x 6 cm.
5. Direktur Jenderal selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak
menerima permohonan SIUP, SIPI, atau SIKPI secara lengkap, telah
menerbitkan SPP-PPP untuk SIUP dan SIKPI atau SPP-PHP untuk SIPI.
Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak SPP-PPP atau SPPPHP diterbitkan, pemohon harus membayar PPP atau PHP dan
menyampaikan tanda bukti pembayaran kepada Direktur Jenderal. Apabila
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah SPP-PPP atau
SPPPHP diterbitkan, pemohon tidak membayar PPP atau PHP, Direktur
Jenderal dapat membatalkan SPP-PPP atau SPP-PHP dan permohonan
SIUP, SIKPI, atau SIPI ditolak. Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja
setelah tanda bukti pembayaran PPP atau PHP diterima, Direktur Jenderal
menerbitkan SIUP, SIKPI, atau SIPI.
6. Direktur Jenderal selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung
sejak menerima permohonan SIUP, SIPI, atau SIKPI harus menerbitkan
surat pemberitahuan kepada pemohon apabila permohonannya ditolak.
Dalam hal permohonan SIUP, SIPI, atau SIKPI ditolak sebagaimana
dimaksud sebelumnya, pemohon dapat mengajukan keberatan kepada
Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya
surat penolakan yang dibuktikan dengan tanda terima. Selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima permohonan
keberatan, Menteri memberi jawaban secara tertulis mengenai dikabulkan
atau ditolaknya permohonan keberatan dimaksud dengan mencantumkan
alasannya. Dalam hal permohonan keberatan dikabulkan sebagaimana
dimaksud sebelumnya, Direktur Jenderal selambat-lambatnya 10 (sepuluh)
hari kerja terhitung sejak permohonan dikabulkan, harus menerbitkan
SPP-PPP atau SPP-PHP. Dalam hal Direktur Jenderal telah menerbitkan
32
SPP-PPP atau SPP-PHP sebagaimana dimaksud sebelumnya, penerbitan
SIUP, SIPI, atau SIKPI.
7. Permohonan SIPI bagi kapal lampu dan permohonan SIKPI bagi kapal
pengangkut ikan yang dioperasikan dalam satuan armada penangkapan
ikan diajukan kepada Direktur Jenderal bersamaan dengan pengajuan
permohonan SIPI kapal penangkap ikan dalam satuan armada
penangkapan ikan dimaksud.
8. Direktur Jenderal menerbitkan SIUP apabila telah mempertimbangkan
ketersediaan daya dukung sumber daya ikan sesuai dengan JTB; kelayakan
rencana usaha yang diajukan; pemohon telah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam poin a; dan pemohon telah membayar PPP
yang dibuktikan dengan tanda bukti pembayaran.
9. Direktur Jenderal menerbitkan SIPI apabila hasil pemeriksaan fisik kapal
menunjukkan adanya kesesuaian antara fisik kapal dan dokumen kapal;
telah dipenuhi ketentuan pemasangan transmitter atau sistem pemantauan
kapal perikanan (vessel monitoring system/VMS) untuk kapal penangkap
ikan berbendera Indonesia berukuran 100 (seratus) GT ke atas; pemohon
telah memenuhi persyaratan; dan pemohon telah membayar PHP yang
dibuktikan dengan tanda bukti pembayaran. Direktur Jenderal menerbitkan
SIKPI apabila hasil pemeriksaan fisik kapal menunjukkan adanya
kesesuaian antara fisik kapal dan dokumen kapal; telah dipenuhi ketentuan
pemasangan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (VMS)
untuk semua kapal pengangkut ikan berbendera asing dan kapal
pengangkut ikan berbendera Indonesia berukuran 100 (seratus) GT ke atas;
pemohon telah memenuhi persyaratan; dan pemohon telah membayar PPP
yang dibuktikan dengan tanda bukti pembayaran.
Berikut dapat dilihat bagan alir proses perubahan Izin Usaha Penangkapan
(IUP), bagan alir proses pembuatan Surat Penangkapan Ikan (SPI/SIKPI), dan
bagan alir proses pembuatan IUP baru yang dijabarkan dengan jelas pada Gambar
3, 4, dan 5:
33
Gambar 3. Bagan Alir Proses Perubahan IUP
34
Gambar 4. Bagan Alir Proses Pembuatan SPI/SIKPI
35
Gambar 5. Bagan Alir Proses Pembuatan IUP baru.
36
5.3. Kebijakan Penanganan Kapal Asing di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI)
Kebijakan penanganan kapal asing di ZEEI diarahkan untuk mewujudkan
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara tanggungjawab, agar
potensi sumberdaya kelautan dan perikanan dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan. Kebijakan tersebut diuraikan sebagai berikut:
1.
Pengawasan Penangkapan Ikan
Secara garis besar, kegiatan pengawasan penangkapan ikan dilakukan oleh
Ditjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
(P2SDKP) yang dilakukan di tingkat pusat dan daerah. Kegiatan tersebut
dititikberatkan pada kegiatan antara lain :
(1) Penyiapan perangkat peraturan bidang pengawasan SDKP
Kegiatan ini meliputi penyusunan peraturan presiden, peraturan menteri
kelautan dan perikanan, sosialisasi dan harmonisasi peraturan bidang
pengawasan SDKP.
(2) Pembinaan dan pengembangan UPT pengawasan
Kegiatan ini diarahkan untuk pembinaan dan pengembangan 5 UPT
Pengawasan yang telah terbentuk di 5 lokasi (Jakarta, Bitung, Belawan,
Tual dan Pontianak)
(3) Publikasi dan komunikasi.
Kegiatan ini diarahkan dalam rangka mensosialisasikan program-program
pengawasan dan pengendalian serta hasil kegiatan Ditjen P2SDKP
dengan fokus kegiatan antara lain : penerbitan media infokom, penerbitan
majalah Barracuda, pembuatan film dokumenter Pengawasan,
penyelengaraan pameran nasional maupun internasional dan publikasi
pers.
(4) Pembinaan dan pengembangan SDM pengawasan.
Kegiatan pembinaan dan pengembangan SDM pengawasan meliputi :
pengembangan jabatan fungsional pengawas perikanan, pelatihan
menembak bagi ABK dan tenaga pengawas, pelatihan dasar bagi ABK
Kapal Pengawas, kursus perwira pemeriksa (SUSPARIKSA) bagi aparat
pengawas perikanan.
37
(5) Kerjasama regional bagi penanggulangan IUU Fishing.
Kegiatan ini diarahkan untuk penyelenggaraan kerjasama dalam rangka
penganggulangan IUU Fishing di kawasan Asia Pasifik.
(6) Dukungan tim penanggulangan IUU Fishing.
Kegiatan ini dimaksudkan dalam rangka mempercepat koordinasi
penyelesaian kasus-kasus IUU Fishing yang melibatkan instansi lintas
sektor.
(7) Penyusunan program, data, pelaporan dan monitoring evaluasi kegiatan
pengawasan SDKP.
2.
Pengawasan Pendaratan Ikan
Kegiatan ini diarahkan untuk penertiban pelaku usaha perikanan dalam
memanfaatkan sumberdaya perikanan agar dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan, kegiatan ini difokuskan pada:
1)
Pengembangan fasilitas teknologi informasi untuk pengawasan
perikanan.
2)
Penyempurnaan pedoman, juknis, juklak, SOP pengawasan perikanan.
3)
Supervisi pembinaan operasional pengawasan penangkapan ikan.
4)
Pembinaan pengawasan pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil
perikanan.
5)
Bimbingan operasional pengawasan budidaya.
6)
Supervisi penerapan SLO dan LBP di pelabuhan pangkalan kapal
perikanan.
7)
Pendampingan operasional penangkapan ikan.
8)
Pendampingan pengawasan pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil
perikanan.
9)
Operasi pengawasan kerjasama dengan TNI AL dan AU.
10) Operasional pengawasan TED/ API kapal pukat udang.
11) Kerjasama pengawasan unit pengolahan ikan terkoordinasi dengan
instansi terkait.
12) Kerjasama internasional untuk eliminasi dan penanggulangan IUU
Fishing.
13) Monitoring dan evaluasi kegiatan pengawasan perikanan.
38
14) Pemeriksaan fisik dan dokumen kapal perikanan.
15) Pelatihan pengawas perikanan.
39
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Indonesia telah mengiplementasikan ketentuan tentang penegakan hukum
sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982 dalam peraturan perundang-undangan,
diantaranya seperti tercantum dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan,
Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1989 tentang Pengelolaan Sumber Daya
Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dam PP No. 15 Tahun 1990
tentang Usaha Perikanan menjelaskan tentang pemanfaatan sumberdaya alam
hayati khususnya di bidang usaha perikanan.dan Undang-Undang No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan, Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2002 tentang Usaha
Perikanan, SK Menteri Eksploitasi Laut dan Perikanan No. 45 tahun 2000 tentang
Perizinan Usaha Perikanan, SK Menteri Kelautan dan Perikanan No.
45/MEN/2001 tentang Tatacara Pemungutan Pungutan Perikanan yang Terutang
dan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 46/MEN/2001 tentang Pendaftaran
Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan menjelaskan tentang perizinan usaha
perikanan khususnya perizinan kapal pengangkut ikan asing.
6.2 Saran
1.
Agar tercapainya pembangunan perikanan yang berkelanjutan dan
bertanggung jawab, maka sebaiknya pemerintah melakukan pembenahan
perizinan terhadap kapal asing dan memperkuat pengawasan di daerah yang
rawan pencurian ikan.
2.
Pemerintah perlu melakukan evaluasi atau kaji ulang terhadap peraturan
perundang-undangan yang ada, karena masih terdapat tumpang tindih.
3.
Menjalin hubungan internasional dengan negara-negara yang berbatasan
dengan Indonesia dan juga negara-negara yang kapal ikan nya sering
melakukan kegiatan penangkapan di wilayah perairan Indonesia. Agar dapat
memantau para penangkap ikan asing yang “nakal” di wilayah perairan
Indonesia tidak hanya dari pihak Indonesia saja.
40
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Etty R. 1990, “Pengelolaan Kekayaan Alam di Laut dan Pengaturannya
di Indonesia”, Makalah yang Disampaikan pada Musyawarah Kerja
Nasional dan Temu Ilmiah Forum Komunikasi Mahasiswa Hukum
Internasional Se-Indonesia. Bandung 20 Februari 1990, hlm. 2.
Agoes, Etty R. 1991, Konvensi Hukum Laut 1982 Masalah Pengaturan Hak
Lintas Kapal Asing, Abardin, Bandung., hlm. 1
Chairul, A.1987. Hukum Internasional – Penghantar Hukum Bangsa-bangsa.
Jakarta : Djambatan.
Chairul, A. 1989. Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut
1982. Jakarta : Djambatan.
Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis dan Gagasan,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi.
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Mauna,Boer. 2002. Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global, Alumni, Bandung.
Miles, MB dan AM Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. USA: Sage
Publication. Tjettjep Rohendi Rhidi, penerjemah. Jakarta: UI-Press.
Terjemahan dari Qualitative Datas Analysis.
Mulyana, D. 2001. Metode penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya Offset.
Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nikijuluw, Victor PH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Pustaka
Cidesindo, Jakarta.
Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 Tentang Pengelolaan
Sumberdaya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 Tentang Pengelolaan
Sumberdaya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Perserikatan Bangsa-Bangsa. 1982.Konvensi tentang Hukum Laut International.
Jakarta: Departemen Luar Negeri. Terjemahan dari unaited nation
convention law Of the Sea 1982.
41
R. R. Churchill and Lowe A. V., The Law of the Sea, Manchester University
Press, 1983, hlm. 130-136.
Soekanto S. 1986. Penghantar penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Subagyo, P. Joko. 1993,Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, , hlm. 63
Supardi, Imam. 2003. Lingkungan Hidup & Kelestariannya, Cetakan Kedua, Edisi
Kedua, PT Alumni, Bandung.
Tribawono, Djoko 2002. Hukum Perikanan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Download