Edisi: 4/XII/A.APBN/2015 RINGKASAN Pada akhir tahun 2015, IMF telah menetapkan mata uang Yuan China Yuan atau Renminbi (RMB) masuk dalam jajaran 5 mata uang pada SDR (Special Drawing Right). Adakah pengaruh kebijakan IMF ini bagi Indonesia? Bagi Indonesia yang telah memiliki perjanjian Bilateral Swap dengan China maka dampak yang ditimbulkan akan adanya kebijakan IMF menggunakan Yuan sebagai mata uang internasional tidak akan terlalu berarti. Setidaknya ada sisi positif, transaksi eksporimpor dengan China bisa dilakukan menggunakan yuan, dengan begitu permintaan dolar AS berkurang sehingga mengurangi tekanan terhadap rupiah. Penetapan Yuan Sebagai SDR: Dampak terhadap Ekspor-Impor Indonesia Bagi perekonomian Indonesia, ekspor merupakan bagian yang berperan penting. Ekspor merupakan salah satu variabel injeksi dalam perekonomian suatu negara, artinya jika ekspor suatu negara meningkat maka perekonomian negara tersebut akan lebih meningkat lagi, karena adanya proses multiplier dalam perekonomian tersebut. Terdapat banyak faktor yang bisa memengaruhi perkembangan ekspor suatu negara. Faktor-faktor tersebut berasal dari dalam negeri ataupun luar negeri, misalnya kebijakan pemerintah di bidang perdagangan luar negeri, keadaan pasar di luar dan di dalam negeri, dan kelincahan eksportir untuk memanfaatkan peluang pasar. Untuk dapat mengembangkan ekspor, pemerintah menerapkan beberapa kebijakan antara lain menambah macam barang ekspor, memberi fasilitas kepada produsen barang ekspor, mengendalikan harga produk ekspor di dalam negeri, menciptakan iklim usaha yang kondusif, menjaga kestabilan kurs valuta asing, membuat perjanjian dagang internasional, peningkatan promosi dagang di luar negeri, dan penyuluhan kepada pelaku ekonomi. Sementara itu, kegiatan dari impor memiliki dampak positif dan negatif terhadap perekonomian Indonesia. Untuk melindungi produsen di dalam negeri, negara membatasi jumlah (kuota) impor. Selain untuk melindungi produsen di dalam negeri, pembatasan impor tersebut juga memiliki dampak yang lebih luas terhadap perekonomian suatu negara. Dampak positif pembatasan impor itu antara lain untuk menumbuhkan rasa cinta produksi didalam negeri, untuk mengurangi keluarnya devisa ke luar negeri, untuk mengurangi ketergantungan terhadap barang-barang produksi impor, untuk memperkuat posisi neraca pembayaran. Kinerja Ekspor Impor 2015 Pada tahun 2015 Indonesia mentargetkan nilai ekspor hingga US$ 192,5 miliar atau Rp 2.310 triliun. Target ini direncanakan akan dicapai dengan empat strategi yaitu misi pembelian, menyasar negara-negara baru, maksimalkan peran duta besar dan atase perdagangan, serta produk ekspor yang lebih variatif. Pada akhir tahun 2015 ini, kita dapat melihat capaian kinerja ekspor impor dalam neraca perdagangan. Pada kuartal III tahun 2015. Kondisi neraca perdagangan dari bulan Januari hingga September 2015 menunjukkan surplus sebesar 7,15 miliar USD, (kondisi ini lebih baik dari tahun sebelumnya di periode yang sama yang menunjukkan defisit 1,67 miliar USD). Peningkatan ini terjadi karena menurunnya nilai impor yang drastis di 2015 . Nilai ekspor Indonesia Oktober 2015 mencapai US$12,08 miliar atau menurun 4,00 persen dibanding ekspor September 2015. Beberapa catatan disisi komoditi, ekspor batubara turun signifikan dipengaruhi oleh permintaan dari China yang lebih rendah dan harga batubara yang menurun. Sedangkan ekspor manufaktur mengalami peningkatan sejalan dengan permintaan dari negara maju, khususnya Amerika Serikat yang mulai pulih. Komoditas manufaktur yang meningkat antara lain minyak kelapa sawit, makanan olahan dan produk kimia sedangkan komoditas lain tumbuh melambat. Peningkatan ekspor manufaktur juga didukung oleh prospek ekspor otomotif yang membaik. Nilai impor Indonesia Oktober 2015 mencapai US$11,07 miliar atau turun 4,27 persen apabila dibandingkan September 2015. Demikian pula jika dibandingkan Oktober 2014 turun 27,81 persen. Impor nonmigas Oktober 2015 mencapai US$9,31 miliar atau turun 3,50 persen jika dibandingkan September 2015 dan turun 20,78 persen jika dibandingkan Oktober 2014. Impor migas Oktober 2015 mencapai US$1,76 miliar atau turun 8,12 persen jika dibandingkan September 2015. Demikian pula apabila dibandingkan Oktober 2014 turun 50,89 persen. Secara kumulatif nilai impor Januari– Oktober 2015 mencapai US$119,05 miliar atau turun 20,47 persen dibanding periode yang sama tahun 2014. Kumulatif nilai impor terdiri dari impor migas US$21,17 miliar (turun 42,16 persen) dan nonmigas US$97,89 miliar (turun 13,46 persen). Peningkatan impor nonmigas terbesar Oktober 2015 adalah golongan kapal laut dan bangunan terapung US$61,5 juta (143,69 persen), sedangkan penurunan terbesar adalah golongan mesin dan peralatan mekanik US$114,6 miliar (5,96 persen). Tiga negara asal barang impor nonmigas terbesar Januari–Oktober 2015 adalah Tiongkok dengan nilai US$23,82 miliar (24,34 persen), Jepang US$11,31 miliar (11,55 persen), dan Singapura US$7,31 miliar (7,47 persen). Impor nonmigas dari ASEAN mencapai pangsa pasar 21,89 persen, sementara dari Uni Eropa 9,51 persen. Nilai impor golongan barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal selama Januari–Oktober 2015 mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing sebesar 16,14 persen; 21,48 persen; dan 17,68 persen (Laporan Perekonomian Indonesia 2014, BI). China dalam Rantai Ekspor Indonesia Berbicara mengenai peranan China dalam kinerja ekspor impor Indonesia, hanya ada satu kata “ penting”. China menjadi tujuan utama ekspor non migas Indonesia di urutan ketiga, setelah Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Pangsa pasar Indonesia ke China US$ 6,65 miliar atau 9,37 persen. ekspor RI ke China pada Agustus 2015 tidak mengalami pertumbuhan berarti dengan nilai ekspor nonmigas sebesar US$1,111 miliar atau hanya naik 0,57 persen dibanding kinerja ekspor ke negara tersebut pada Juli 2015 sebesar US$1,105. Sedangkan impor Indonesia dari China pada periode yang sama justru melonjak hingga 39,71 persen dengan nilai impor non migas Agustus sebesar 2,516 miliar USD, sedangkan pada Juli 2015 mencapai 1,801 miliar USD. Pada Januari - Juni 2015, memang terjadi penurunan ekspor kita ke China (YoY) 29,75 persen dan MoM naik 11,73 persen. Namun, menurut data ini lebih diakibatkan turunnya ekspor utama bijih logam, katun, alas kaki, besi dan baja, sebagai dampak dari perlambatan ekonomi China. Sementara untuk impor Indonesia, China menduduki pangsa pasar nomor satu dengan realisasi 14,71 miliar USD atau 24,17 persen. Impor ini turun 3,02 persen YoY, tapi naik 17,34 persen secara MoM. Impor Indonesia yang paling besar ke China adalah mesin dan peralatan mekanik, mesin dan peralatan listrik. Neraca perdagangan dengan China merupakan salah satu yang selalu defisit, termasuk pada September 2015. Pada bulan itu, impor Indonesia dari China mencapai 2,48 miliar USD sementara ekspor 1,05 miliar USD. Secara kumulatif pada kurun Januari-September 2015, nilai impor Indonesia dari China mencapai 21,49 miliar USD sementara nilai ekspor 9,92 miliar USD, sehingga ada defisit 11,57 miliar USD. Produk dan komoditas yang banyak diimpor Indonesia dari China pada tahun 2015 adalah: (1) Mesin-mesin atau pesawat mekanik, 5,26 miliar USD; (2) Mesin/peralatan listrik, 4,60 miliar USD; (3) Besi dan baja, 1,40 miliar USD; (4) Benda-benda dari besi dan baja, 805 juta USD; (5) Bahan kimia organik, 765 juta USD; (6) Plastik dan barang dari plastik, 740 juta USD; (7) Pupuk, 479 juta USD; (8) Bahan kimia anorganik, 400 juta USD; (9) Filamen buatan, 394 juta USD; (10) Kapas, 385 juta USD. Di luar 10 produk dan komoditas tersebut, ada juga aneka barang lain yang diimpor Indonesia dari China. Nominalnya mencapai 6,44 miliar USD. Melihat besarnya nominal dan jenis produk yang dibeli dari China tersebut untuk kebutuhan industri dan aktivitas perekonomian di dalam negeri, kepastian pembayaran jelas menjadi kebutuhan mutlak. Dampak Penggunaan Yuan dalam SDR terhadap Ekspor-Impor Indonesia - China Sejak tahun 1969, IMF memiliki mata uang khusus yang disebut Special Drawing Right (SDR). IMF menyimpan aset yang dimiliki dalam bentuk SDR. Dari awal dibentuknya, komposisi SDR selalu mengalami perubahan, salah satunya bergantung pada jenis mata uang yang dianggap “penting” di dunia. Pada akhir tahun 2015 ini, IMF memutuskan Yuan atau Renmimbi (RMB) menjadi salah satu mata uang yang digunakan dalam SDR. Alasan masuknya RMB dalam SDR antara lain: Pertama, China memiliki perekonominan terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Kedua, China memiliki perdagangan terbesar di dunia. Ketiga, RMB merupakan mata uang kelima yang digunakan secara global1. Secara sederhana, dampak yang dimungkinkan akan timbul dengan masuknya RMB dalam SDR antara lain: Pertama, Menahan peningkatan nilai USD. Peningkatan nilai USD yang berlebihan akan menimbulkan ketidakpastian dalam iklim investasi. Dengan masuknya RMB dalam SDR, diharapkan terjadi penurunan “ketergantungan” investor terhadap USD sehingga tercipta kestabilan nilai mata uang. Kedua, meningkatnya status RMB. Peningkatan status ini dapat mempermudah transaksi ekspor-impor antara Indonesia dengan China. Namun dampak yang ditimbulkan ini tidak akan terlalu berarti mengingat Indonesia – China telah memiliki Bilateral Swap. Namun penggunaan RMB dapat mempermudah transaksi ekspor – impor Indonesia dengan beberapa negara seperti Hongkong, Singapura, dan Inggris. Hal ini dikarenakan ketiga negara tersebut merupakan negara yang telah menggunakan RMB dalam derivatives market terbesar di dunia. Ketiga, apabila nilai USD menurun, maka harga-harga komoditas dimungkinkan naik. Keempat, meningkatkan cadangan devisa global dalam bentuk RMB. Menurut Haibin Zhu, penyimpanan dalam yuan meningkat sampai 5 persen dari cadangan global atau sebesar US$350 milliar dalam 5 tahun2. Mengingat Indonesia – China telah memiliki perjanjian Bilateral Swap, maka dampak yang ditimbulkan akan adanya kebijakan IMF menggunakan Yuan sebagai mata uang internasional tidak akan terlalu berarti bagi perdagangan Indonesia. Namun, momentum dijadikannya Yuan sebagai mata uang internasional, harus menjadikan Indonesia mampu mengelola strategi yang dapat mengontrol impor dengan China. Selain itu, harus terus ditingkatkan penciptaan usaha yang kondusif dengan perbaikan dan kemudahan birokrasi. Hal ini merupakan salah satu langkah peningkatan daya saing. Kondisi dan perbaikan tersebut juga meliputi akses perbankan dan fasilitas investasi permesinan yang akan dapat meningkatkan produk-produk dari karet dalam negeri. Peningkatan infrastruktur, seperti sarana jalan, pelabuhan, listrik dan lain-lain sebaiknya segera dilakukan pemerintah guna mendukung kegiatan industri dalam negeri. Dukungan dana APBN diperlukan guna percepatan dan pengembangan infrastruktur dalam rangka peningkatan daya saing sektor riil. Di sisi lain, perlu terus dilakukan peningkatan infrastruktur untuk mengurangi biaya tinggi (high cost) dalam kegiatan distribusi bahan baku dan ekspor. 1 http://www.swift.com/assets/swift_com/documents/products_services/RMB_Slides_August_2015_final.pdf (diakses 11 Desember 2015) 2 Haibin Zhu merupakan ekonom JP Morgan. http://www.voaindonesia.com/content/imf-akui-yuan-sebagai-mata-uanginternasional/3082318.html (diakses 11 Desember 2015)