fatwa REPUBLIKA 5 MEMBELI SAHAM ANTARA Saham yang tak boleh dibeli di antaranya adalah milik perusahaan yang kegiatannya didasarkan pada riba. Oleh Ferry Kisihandi i i i M enana m kan modal untuk menuai untung semakin beragam. Seseorang yang mempunyai dana berlebih bisa menyimpannya di bank syariah untuk meraih bagi hasil. Cara lainnya adalah dengan membeli saham. Terhampar pilihan saham yang bisa dibeli dan memungkinkan menghadirkan keuntungan. Bagi seorang Muslim, tentu tak sembarang saham begitu saja dibeli. Dia perlu menelisik bagaimana kondisi perusahaan yang akan dibeli sahamnya. Dalam artian apakah berprospek cerah atau sebaliknya. Selain itu, penting pula diteliti apakah perusahaan itu berjalan sesuai syariat atau tidak. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan mengatakan, ber- iinvestasii dengan d membeli b li saham h itu diperbolehkan. Asalkan, saham yang dibeli itu bukan dari perusahaan minuman keras atau yang menghasilkan produk haram. Juga saham-saham bank konvesional yang memberlakukan riba dalam transaksinya. Ia menyebutkan, kalau saham itu dimiliki perusahaan properti, misalnya, itu tak menjadi masalah. Apalagi biasanya, ada daftar saham yang memungkinkan bisa dibeli para investor Muslim. “Pada intinya, membeli saham tak menjadi soal, namun ada beberapa batasan yang mesti diperhatikan investor Muslim,” katanya di Jakarta, Senin (21/3). Saham itu bukan milik perusahaan yang membuat produk membahayakan atau bersifat aniaya, riba, dan manipulasi. Jika semua itu tak ada, seorang Muslim bisa membeli saham tersebut. Yusuf alQaradhawi dalam buku Fatwafatwa Kontemporer menjelaskan, dari tinjauan syara saham terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, saham perusahaan- halalan thayyiban perusahaan h yang konsisten k terhadap Islam, seperti bank dan asuransi Islam. Pada saham seperti ini, Islam membolehkan Muslim untuk menanamkan modalnya serta memperjualbelikan saham yang dimilikinya. Dengan syarat, saham itu sudah berbentuk usaha yang nyata dan menghasilkan. Kedua, saham perusahan yang dasar aktivitasnya diharamkan. Misalnya, perusahaan alkohol dan perusahaan yang memperjualbelikan babi. Berdasarkan kesepakatan para ulama, ujar dia, Muslim tak diperbolehkan ikut andil dalam saham serta melakukan transaksi dengan perusahaan semacam itu. Contoh lainnya adalah bankbank konvensional, perusahaan diskotik, serta perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan keharaman. Sedangkan jenis ketiga, saham yang dasar aktivitasnya halal, seperti perusahaan mobil, elektronik, perdagangan, dan pertanian. Tapi, terkadang ada unsur keharaman yang masuk dalam perusahaan itu. Hall tersebut b terjadi d melalui l l transaksi berdasarkan riba, baik mengambil riba maupun mengambilnya. Menurut al-Qaradhawi, ulama modern berselisih pendapat soal boleh tidaknya bertransaksi dan memiliki saham di sana. Di antara mereka ada yang mengharamkan karena dalam transaksinya tercampur riba. Mereka berargumentasi dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang mencela pemakan riba, pemberinya, penulisnya, dan para saksinya. Namun, sebagian lainnya mengizinkan Muslim membeli saham perusahaan tersebut dengan alasan adanya kebutuhan. Meski demikian, mereka menetapkan sejumlah persyaratan. Di antaranya, persentase antara kekayaan dan utang perusahaan tak boleh lebih dari 50 persen. Jika persentase utangnya lebih banyak, tak boleh mengedarkan sahamnya, persentase antara piutang perusahaan dan utang perusahaan yang berbunga tak lebih dari 30 persen, dan persentase bunga utang maksimal tak lebih dari lima atau 10 persen. Di samping itu, adanya pengawasan terhadap perusahaan bersangkutan secara teliti dan membersihkannya dari unsur riba di dalamnya. Atau, jelas al-Qaradhawi, boleh juga seseorang yang ikut berinvestasi melalui saham di dalamnya membersihkan sendiri dividen yang ia peroleh dari riba. Menurut al-Qaradhawi, itu adalah pandangan sejumlah ulama terkini yang mendalami transaksi keuangan. Mereka telah melakukan serangkaian penelitian dan riset. Mereka menyampaikan pendapatnya dengan pertimbangan memudahkan banyak orang. Ia juga menjawab pertanyaan boleh tidaknya membeli saham perusahaan di bidang internet. Ia menjelaskan, hukum dasar aktivitas perusahaan itu adalah halal. Jika perusahaan konsisten dengan prinsip-prinsip yang telah disebutkan, kata al-Qaradhawi, boleh melakukan transaksi dengan perusahaan tersebut karena adanya kebutuhan. I OM 1.C E10 SUIT MEMPERHATIKAN TITIK KRITIS MARGARIN Oleh Ferry Kisihandi iasanya margarin juga mentega digunakan untuk pembuatan kue ataupun roti. Margarin ini merupakan benda semipadat yang memiliki sifat dapat dioleskan serta mengandung lemak minimal 80 persen dan maksimal 90 persen. Bahan pembuatannya adalah minyak dan lemak, baik yang berasal dari tumbuhan (nabati), hewani, maupun ikan. Dengan memperhatikan bahan pembuatnya, khususnya lemak, memungkinkan margarin ini berrsifat syubhat. Menurut pakar pangan halal, Anton Apriyantono, ini terjadi jika bahan baku lemak pembuat margarin tersebut berasal dari lemak hewani. Jenisnya bisa lemak babi atau mungkin saja lemak sapi. Meski ia mengatakan, semakin banyak margarin yang dibuat dengan bahan lemak nabati, termasuk di Indonesia. Ia menambahkan, adanya tuntunan untuk menurunkan konsumsi lemak, banyak pihak yang kemudian menurunkan kadar lemak dalam margarin. Maka itu, muncullah produk serupa margarin yang kandungan lemaknya di bawah 80 persen, yang disebut dengan spread. Ada juga yang disebut butter spread. Saat membuat spread dibutuhkan bahan pengisi sebagai pengganti lemak dan bahan pengental, seperti gelatin, sodium alginat, pektin, dan karagenan. g B “Penambahan whey juga dilakukan untuk memperbaiki rasa,” kata Anton di Jakarta, belum lama ini. Gelatin dan whey status kehalalannya meragukan karena ada kemungkinan saat memproduksinya menggunakan bahan dari hewan, seperti babi. Ia mengatakan, untuk membuat butter spread, digunakan sodium kaseinat. Bahan ini, jelas Anton, statusnya juga syubhat karena dalam proses pembuatannya dapat melibatkan enzim yang berasal dari hewan. Hal lain yang perlu diperhatikan, margarin dan spread merupakan produk emulsi air dalam minyak, yaitu suatu campuran air dengan minyak. Air diharapkan terdistribusi dalam minyak secara merata. Tak hanya itu, pada dua produk tersebut air diharapkan tak berpisah dengan minyak. Guna mencapai tujuan tersebut, para pembuat margarin dan spread menggunakan pengemulsi. Masalahnya, sebagian besar pengemulsi dibuat dengan melibatkan asam lemak yang terbuat dari hewan atau tumbuhan. “Ini, statusnya syubhat,” kata Anton. Lebih lanjut, ia mengungkapkan, sejumlah bahan tambahan dimasukkan dalam proses produksi margarin dan spread. Misalnya, pengemulsi, lesitin, beta-karoten, perisa atau flavouringg, whey, dan gelatin. Status kehalalan beta-karoten, whey, dan gelatin harus diteliti kembali, terutama mengenai bahan bakunya. Kalau lesitin, berasal dari kedelai. Namun, jenisnya sangat g beragam g dan salah satunya dibuat de- nggan ngan ga melibatkan m elibatka elibatkan liibatk atka enzim fosfolienzim fosfoli o fo osfo pase ase A yang ang asalnya asalny dari d arii pank pankreas p reas b babi. abi Sayangnya, Sayangn aya y g ya, urai dia, dia, semua jjenis jeni enis lesitin disebut dengan nama lesitin saja sehingga sulit untuk membedakannya. Oleh karena itu, ia menyebut status lesitin adalah syubhat. Sementara untuk perisa, banyak sekali jenisnya dan tersusun dari banyak komponen. Dari segi kehalalan memang sangat rawan. Sebab, perisa berpotensi mengandung asam lemak yang terbuat dari tanaman atau hewan. Wakil Direktur LPPOM MUI Osmena Gunawan menyatakan, ada beberapa titik kritis dari produk margarin. Agar lebih lembut, ujar dia, terdapat bahan tambahan yang dipakai saat proses produksi margarin. “Ada vitamin, pewarna, juga perasa. Penambahan bahan-bahan itu supaya margarin lebih enak dan llembut,” embut,” katanya. katanya. Bahan-bahan B a an ah a -bah a an a ta tamambahan ahan iitu b ah bisa isa diragukan iiragukan agukan an kkehalalannya halalannya kkarekar kare na bahan na bah ahan an pembuatnya p pembuat embuat embuatn embuatnya ya dari d i hewan h hewa atau tumbuhan. Kalau dari hewan, ada kalanya diambil dari organ babi. Bila dari hewan yang halal dikonsumsi, papar Osmena, patut diketahui pula apakah disembelih dengan cara-cara sesuai syariat atau tidak. Bagi konsumen Muslim, lebih aman mengonsumsi margarin yang berlabel halal karena telah diteliti kehalalannya oleh pihak berwenang. Anton Apriyantono mengatakan, di dalam negeri produk halal dapat dikenali dengan adanya nomor BPOM MD dan label halal. Dan, untuk produk luar negeri ada nomor BPOM ML serta label halal pada kemasannya. “Jika ingin selamat dari hal meragukan, hindari produk yang tak berlabel halal.” I