ETIKA GURU DAN MURID MENURUT IMAM NAWAWI DAN RELEVANSINYA DENGAN UU RI NO. 14 Th. 2005 DAN PP RI NO. 17 Th. 2010 TESIS Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Pada Program Studi Pendidikan Islam Oleh SRI ANDRYANI HAMID NIM: 0904 S2 964 PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 2011 ABSTRAK Sri Andryani Hamid, 2011. Relevansi Etika Guru dan Murid menurut Imam Nawawi dengan Pendidikan Nasional Indonesia; Tela’ah Kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, UU RI No. 14 Th. 2005, dan PP RI No 17 Thn 2010. Program Studi Pendidikan Islam. Universitas Islam Negeri Sultas Syarif Kasim Riau. Pembimbing: Drs. Promadi Karim, MA. Ph.D Kata kunci: Etika,Guru, Murid, Etika dan Pendidikan memiliki hubungan erat. Pendidikan Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan Islami, sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing. Pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Sangat sulit dibayangkan ilmu pengetahuan tanpa adanya kendali dari nilai-nilai etika agama. ''Agama tanpa ilmu adalah buta, ilmu tanpa agama adalah lumpuh'' - Albert Einstein Penelitian ini bertujuan: Pertama, Untuk mengetahui relevansi etika Guru menurut Imam Nawawi dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kedua, Untuk mengetahui relevansi etika Murid menurut Imam Nawawi dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang kewajiban Peserta Didik Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis menggunakana penelitian yang bersifat Library Research dengan menggunakan bahan-bahan tertulis yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku. Metode yang digunakan hermeneutik, yaitu menggunakan logika linguistik dengan membuat penjelasan dan pemahaman terhadap makna kata dan makna bahasa sebagai bahan dasar dengan pendekatan filosofis, artinya seluruh substansinya memerlukan olahan filosofik atau teoritik dan terkait pada nilai. Hasil penelitian menunjukkan bahwasanya Teori etika Imam Nawawi pada umumnya bersumber pada al-Qur’an dan as-sunnah dan secara umum teorinya memiliki relevansi dengan Undang-Undang Guru dan Dosen No 14 th. 2005 dan Peraturan Pemerintah no 17 th. 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan masih sangat relevan pada zaman ini. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL NOTA DINAS PEMBIMBING............................................................................. i KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii ABSTRAKSI ...................................................................................................... v PEDOMAN TRANSLITERASI............................................................................ vi DAFTAR ISI....................................................................................................... viii BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah...................................................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7 D. Kajian Penelitian terdahulu yang Relevan ....................................... 8 E. Metode Penelitian ............................................ 10 A. Hakikat Manusia .............................................................................. 12 B. Implikasi Konsep Manusia Terhadap Pendidikan ............................ 17 C. Etika................................................................................................. 19 1. Perkembangan Pemikiran Etika ................................................. 25 2. Teori-Teori Etika......................................................................... 31 3. Bagian – bagian Etika................................................................. 34 4. Sifat-Sifat Etika........................................................................... 35 5. Teori Etika Menurut Ajaran Islam .............................................. 36 BAB II: ETIKA DAN PENDIDIKAN D. Pendidikan....................................................................................... 40 1. Unsur-Unsur Pendidikan ............................................................ 41 2. Tujuan Pendidikan...................................................................... 47 BAB III: BIOGRAFI IMAM NAWAWI a. Kelahiran dan Dinamika Intelektual ................................................. 54 b. Karya Tulisnya................................................................................. 55 c. Adab al-Alim wa al-Muta’allim.......................................................... 61 d. UU RI No. 14 Th. 2005 Tentang Guru dan Dosen ........................... 62 e. PP RI No. 17 Th. 2010..................................................................... 64 BAB IV: PENYAJIAN DAN ANALISA DATA A. Etika Guru dan Murid menurut Imam Nawawi .................................. 65 1. Etika Guru.................................................................................... 65 a. Etika Personal Guru ............................................................. 65 b. Etika Guru dalam Mengajar................................................... 68 c. Etika Guru terhadap Murid .................................................... 71 d. Etika Guru terhadap Ilmu....................................................... 73 e. Etika Guru terhadap Sesama ................................................ 73 2. Etika Murid .................................................................................. 74 a. Etika Personal Murid .......................................................... 74 b. Etika Murid terhadap Guru.................................................. 74 c. Etika Murid dalam Belajar................................................... 77 d. Etika Murid terhadap Sesama ........................................... 81 B. RELEVANSI ETIKA GURU DAN MURID MENURUT IMAM NAWAWI DENGAN UU RI NO.14 Th. 2005 Tentang GURU dan PP RI No. 17 Th. 2010 Tentang PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN a. Etika Personal Guru .......................................................... 82 b. Etika Guru dalam Mengajar ................................................ 85 c. Etika Guru terhadap Murid.................................................. 92 d. Etika Guru terhadap Ilmu.................................................... 100 e. Etika Guru terhadap Sesama ............................................. 101 f. Etika Personal Murid .......................................................... 103 g. Etika Murid terhadap Guru.................................................. 105 h. Etika Murid dalam Belajar................................................... 106 i. Etika Murid terhadap Sesama ............................................ 108 A. Kesimpulan...................................................................................... 110 B. Saran............................................................................................... 112 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 114 Daftar Riwayat Hidup......................................................................................... 118 BAB V. PENUTUP Pernyataan Keaslian Tulisan LAMPIRAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Syari’at Islam sangat memperhatikan pendidikan dari segi moral, memberikan bimbingan-bimbingan bernilai dalam membekali moral anak dengan sifat –sifat utama dan mulia, dan mendidiknya dengan moral dan adat kebiasaan yang baik. Pada Kongres se-Dunia ke II 1980 tentang Pendidikan Islam, dinyatakan bahwa Tujuan Pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran, diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia. Syed Naquib al-Attas dalam “Aims and Objectives of Islamic Education” menghendaki tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik (Shalih).1 Sementara Munir Mursyi dalam “Al-Tarbiyah al-Islamiyyah Ashuluha wa Tathawwuruha fi Bilad al_Arabiyyah” menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan manusia yang sempurna (insan kamil). Lain halnya dengan Abdul Fattah Jalal yang menghendaki terwujudnya manusia sebagai hamba Allah (‘abd Allah) sebagai proses pendidikan. Sementara ahli pendidikan Indonesia, memilih rumusan yang tidak kalah idealnya “manusia yang berkepribadian muslim”. 2 Dalam pandangan Hamka, tujuan Pendidikan Islam adalah “ mengenal dan mencari keridhoan Allah, membangun 1Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularisme, terjemahan Khalif Muammar et al (Bandung : Institut pemikiran Islam dan Pembangunan Insan, 2010), h. 191 2Mohammad Irfan dan Mastuki, Teologi Pendidikan Tauhid sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Jakarta : Friska Agung Insani, 2000) h. 145 2 budipekerti untuk berakhlak mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna ditengah-tengan komunitas sosialnya.3 Athiyah al-Abrasyi menghendaki tujuan tertinggi Pendidikan Islam adalah manusia yang berakhlak mulia (al-akhlaq al-karimah). Bila kita melihat kitab-kitab karya para ulama, kita akan menemukan pembahasan tentang adab4 dan akhlak baik dalam kitab khusus ataupun dalam pembahasan tersendiri, secara global maupun secara terperinci. yang semua menunjukkan bahwa adab dan akhlak adalah perkara yang tidak bisa lepas dari agama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ْﺖِ ﻷُﲤَﱢ َﻢ َﻣﻜَﺎ ِرَم اْﻷَ ْﺧﻼ َِق ُ إِﳕﱠَﺎ ﺑُﻌِﺜ “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.”5 Penulis menggunakan istilah etika dalam mengungkapkan perkataan akhlak pada Hadits diatas, tidak berarti bahwa sumber pokok keduanya sama. Akan tetapi karena penulis melihat betapa pengembangan ilmu akhlak masa sekarang banyak ditunjang oleh analisis filsafat. Dengan demikian—dalam batas tertentu—dapat dikatakan bahwa ilmu akhlak bersumber pokok pada wahyu, hanya pengebangannya 3 Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Lembaga Hidup dalam dalam Samsul Nizar Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008) h. 117 4Didalam kitabnya Madaarijus Saalikiin (II/375-391), Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan: Yang dimaksud dengan adab adalah kumpulan berbagai kriteria kebaikan pada diri seorang hamba. Ia merupakan ilmu perbaikan lidah, percakapan, dan penempatannya sesuai dengan sasaran, perbaikan terhadap katakata, serta pemeliharaan dari kesalahan dan ketergelinciran. Adab ini terdiri dari tiga macam, yaitu: Adab kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan syari’at-Nya, dan adab sesama makhluk. Lihat Syaikh Salim bin’ Ied alHilali, Syarah Riyadhush Shalihin, jilid 3 (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2005), h. 1 5 HR. Ahmad dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) [~Dishahihkan oleh Asy-Syaikh AlAlbani dalam Silsilah Ash-Shahihah no.45 3 dilakukan dengan menggunakan filsafat sebagai sarananya; sedangkan etika sematamata bersumber dari filsafat. Prinsip moralitas yang memandang bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang merupakan pribadi-pribadi yang mampu melaksanakan nilai-nilai moral agama dalam hidupnya. Tanpa nilai-nilai itu kehidupannya akan menyimpang dari fithrah Allah yang mengandung nilai Islam yang harus dijadikan dasar dari proses pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat (long life education). Jadi, dengan demikian pola dasar yang membentuk dan mewarnai system pendidikan Islam adalah pemikiran konseptual yang berorientasi kepada nilai-nilai keimanan, serta nilai-nilai etika yang secara terpadu membentuk dan mewarnai tujuan pendidikan Islam. 6 Berdasarkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan UUD Negara RI 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasioanl Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. UU RI No. 14 Th. 2005 Bab IV tentang Guru dan Dosen dijelaskan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang guru dan PP RI No 17 Thn 2010 Bab XI tentang Kewajiban peserta didik. Pendidikan Nasional dan UU RI No. 14 Th.2005 dan PP RI No. 17 Th. 2010 sebagaimana di atas, diharapkan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha 6 M. Arifin Ilmu Pendidikan islam tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan pendekatan interdisipliner (Jakarta : bumi Aksara, 2009) h. 39 4 Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis.7 Namun, kondisi lapangan tidaklah semudah diatas kertas. Apabila kita menyaksikan potret umum pendidikan di negeri ini, baik formal maupun non formal, seringkali kita harus mengelus dada melihat perilaku para pelaku pendidikan (murid/guru) yang menyimpang dari seharusnya mereka jadikan pedoman (etika) sebagai insan berpendidikan. Paul Suparno Sj dalam bukunya, Reformasi Pendidikan: Sebuah rekomendasi, mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia sekarang ini dapat diibaratkan seperti mobil tua yang mesinnya rewel yang sedang berada ditengah arus lintas di jalan bebas hambatan. Pada satu sisi Pendidikan di Indonesia saat ini sedang dirundung masalah besar ; sedangkan pada sisi lain, tantangan memasuki millennium ketiga tidaklah main-main, masalah besar tersebut yaitu : Mutu Pendidikan yang masih rendah, Sistem pembelajaran disekolah-sekolah yang belum memadai, dan krisis moral yang melanda masyarakat kita. 8 Menteri Pertahanan RI dimasa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono pernah mengungkapkan bahwa ada kemungkinan dunia pendidikan kita selama bertahun-tahun terpasung oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang masih samar. Pendidikan Indonesia tersisih diantara keinginan mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa, sehingga tampaknya tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh lahir dan batin, tapi lebih diorientasikan kepada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, 7 Undang –Undang Republik Indonesia no 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan nasional, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, 2003. h. 8 8M. Sukarjo Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya ( Jakarta : Rajawali Pers, 2009). h. 79 5 kemanusiaan dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan dan emosi. Akibatnya, apresiasi output pendidikan terhadap keunggulan nilai humanistic, keluhuran budi, dan hati nurani menjadi dangkal.9 Pergeseran nilai kearah pragmatisme ini yang pada gilirannya membawa kearah materialisme dan individualisme. Walhasil, kecenderungan manusia modern saat ini melengahkan nilai-nilai dimana prinsip-prinsip hidup yang bernilai asketik dan etis serta berorientasi kearah ukhrawi semakin mengendur bahkan mengikis dalam jiwa pribadi dan masyarakat. Yang pada akhirnya, merebak dekadensi moral dan etika. Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa etika zaman sekarang sangat diperlukan. Pertama, Kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik; kedua, Kita hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan itu dibawah hantaman kekuatan yang mengenai semua segi kehidupan, yaitu gelombang modernisasi. Ketiga, Proses perubahan sosial budaya ini dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk memancing di air keruh, dan yang keempat, etika juga diperlukan oleh agama yang disatu pihak menemukan dasar kemantapan iman dan dilain pihak berpartisipasi tanpa takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah.10 Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi adDimasyqi, atau lebih dikenal Imam Nawawi, adalah salah seorang ulama besar 9Ibid, h. 80 Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), h. 15-16 10Franz 6 mazhab Syafi’i yang hidup pada zaman klasik11. Nawawi adalah ulama sang pemikir yang memiliki pandangan dan pemikiran yang khas, beliau juga seorang pakar hadis, fiqh, bahasa dan akhlak. Penelitian terhadap para pakar pendidikan telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti di dalam maupun di luar negeri. Hasil penelitiannya dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi, bahkan telah dipublikasikan dalam bentuk buku. Tokoh-tokoh pendidikan Islam yang dijadikan obyek penelitian adalah ulama-ulama hadis, fiqih, filsafat Islam dan tasawuf Islam. Akan tetapi belum ada penelitian terhadap etika guru dan murid Adab al-‘alim wa al-muta’allim dalam muqoddimatu almajmu’. Meskipun teks asli buku ini berbahasa Arab dan amat sarat dengan nuansa dan tradisi kehidupan Madrasah namun, pada prinsipnya etika adalah nilai yang berlaku universal, tidak ada dikhotomi antara system pendidikan madrasah dan system pendidikan formal. Sehubungan dengan permasalahan diatas, penulis mencoba untuk mengapresiasi pandangan Imam Nawawi tentang etika Guru dan murid dan mencari relevansinya dengan UU RI No. 14 Th. 2005 Bab IV tentang Guru dan Dosen yang 11 Nasution (1995) memetakan Sejarah kebudayaan Islam kedalam tiga periode, yaitu: periode klasik (650-1250M) yang menggambarkan masa kejayaan, keemasan atau kemajuan Dunia Islam; periode pertengahan (1250-1800 M) yang menggambarkan masa kemunduran Dunia Islam; dan periode modern (1800M s.d. sekarang) yang menggambarkan masa kebangkitan dunia Islam. Ciri-ciri gerakan ilmiah atau etos keilmuan dari kalangan ulama pada zaman klasik adalah: (1) melaksanakan ajaran al-Qur’an untuk banyak mempergunakan akal; (2) melaksanakan ajaran hadis untuk menuntut ilmu bukan hanya “ilmu agama” tetapi juga ilmu yang sampai di negeri Cina; (3) mengembangkan ilmu agama dengan berijtihad dan mengembangkan ilmu pengetahuan (sains) dengan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani yang terdapat di Timur Tengah pada zaman mereka, sehingga timbullah ulama fiqh, tauhid (kalam) tafsir, hadis, ulama bidang sains (ilmu kedokteran, matematika, optika, fisika, geografi) dan lain-lain; serta (4) ulama yang berdiri sendiri. 7 menjelaskan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang guru dan PP RI No 17 Thn 2010 Bab XI tentang Kewajiban peserta didik.. B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan masalah Berdasarkan latar belakang diatas, agar lebih fokus dalam persoalan yang akan dibahas penulis menbatasi batasan masalahnya sebagai berikut: “Bagaimana relevansi Etika Guru dan Murid menurut Imam Nawawi dengan pendidikan Nasional Indonesia ?” 2. Rumusan masalah Karena sifatnya yang masih umum, maka batasan diatas perlu diformulasikan kedalam beberapa rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana relevansi etika Guru menurut Imam Nawawi dengan UU RI No. 14 Th. 2005 Bab IV tentang Guru 2. Bagaimana relevansi etika Murid menurut Imam Nawawi dengan PP RI No. 17 Th. 2010 Bab XI Pasal 169 tentang kewajiban Peserta Didik. C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian memiliki hubungan fungsional dengan rumusan masalah penelitian yang dibuat secara spesifik dan dapat diuji melalui penelitian . karena 8 sifatnya ini, maka acuannya adalah rumusan masalah yang telah diformulasikan sebelumnya.12 Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui relevansi etika Guru menurut Imam Nawawi dengan UU RI No. 14 Th. 2005 Bab IV tentang Guru. 2. Untuk mengetahui relevansi etika Murid menurut Imam Nawawi dengan PP RI No. 17 Th. 2010 Bab XI Pasal 169 tentang kewajiban Peserta Didik. 2. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini memiliki dua aspek : 1. Teoritis : Memberikan apresiasi terhadap pemikiran pakar Pendidikan Islam, menambah wawasan pada khazanah Pendidikan Islam. 2. Praktis : Memenuhi syarat akademis untuk menyelesaikan program magister pada Program studi Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri Sultan Syarif kasim riau. D. Kajian Penelitian terdahulu yang Relevan Berkaitan dengan penulisan tesis ini, telah diupayakan penelusuran pembahasan-pembahasan yang terkait dengan obyek masalah tentang konsep pendidikan Islam menurut Imam Nawawi. Penelusuran awal dilakukan di pascasarjana UIN Sultan Syarif Kasim, ternyata belum ada tesis yang membahas tentang Etika pendidikan Islam menurut Imam Nawawi. Penelusuran selanjutnya dilakukan dengan menela’ah buku-buku yang terkait dengan obyek pembahasan. Diantaranya; 12Samsul Nizar metodologi Penelitian kepustakaan (Library Research); Studi Analisis pendahuluan, h. 108 9 Muhammad Idris (2007) dalam skripsinya yang berjudul Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dan Efeknya terhadap pengalaman Ibadah siswa, mengkaji penafsiran Imam Nawawi tentang Hadits Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disayangi Allah ketimbang orang mukmin yang lemah..(H. Imam Muslim) Imam Nawawi menafsirkan hadis diatas sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik. Kekuatan fisik meruapakan bagian pokok dari tujuan pendidikan, Kajiannya tidak komprehensif karena hanya dari sisi tujuan pendidikan Selain tersebut di atas ada kajian tentang Imam Nawawi, tetapi tidak spesifik membahas tentang konsep Imam Nawawi dalam bidang Etika pendidikan. Dalam Ensiklopedi Islam (1993), penyebutan Imam Nawawi secara singkat, kurang dari satu halaman. Disebutkan bahwa Imam Nawawi adalah penuntun yang berhasil bagi para pemula dalam belajar agama. Disebutkan pula bahwa Imam Nawawi seorang ulama yang luas dan dalam ilmunya terutama dalam bidang Hadits ini dapat dilihat dari karya-kaeryanya dalam bidang Hadits. Di dalam penjelasannya tidak disebutkan sama sekali tentang kepakarannya dalam pendidikan. Berdasarkan penelusuran terhadap buku-buku tentang Imam Nawawi tersebut di atas menunjukkan belum adanya tulisan, kajian atau penelitian secara spesifik tentang konsep dan Etika pendidikan Islam menurut Imam Nawawi. Oleh karenanya, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru sehingga diharapkan dapat mengisi kekosongan tersebut atau dapat melengkapi kekurangan yang sudah ada. 10 E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research ). Yaitu, penelitian yang membatasi kegiatannya hanya pada bahan-bahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerukan riset lapangan.13 2. Sumber Data 1. Sumber Primer : 1. Muqoddimatu al-Majmu fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Imam Nawawi 2. UU RI No. 14 Th. 2005 tentang Guru dan Dosen. 3. Peraturan Pemerintah RI No 17 Thn 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan 2. Sumber Sekunder : Sumber-sumber yang relevan dengan permasalahan penelitian. 3. Teknik Pengumpulan data Pengumpulan data digali dari sumber kepustakaan. Berkenaan dengan hal itu, pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut: a. Mengumpulkan bahan pustaka yang dipilih sebagai sumber data yang memuat konsep pendidikan Islam menurut Imam Nawawi . 13Mestika Zed, Motode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2004). h. 2 11 b. Membaca bahan pustaka yang telah dipilih, baik tentang substansi pemikiran maupun unsur lain. Penelaahan isi salah satu bahan pustaka dicek oleh bahan pustaka lainnya. c. Mencatat isi bahan pustaka yang berhubungan dengan pertanyaan penelitian. d. Menerjemahkan isi catatan ke dalam bahasa Indonesia dari kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’aalim li al-Imam Nawawi yang berbahasa Arab. e. Menyarikan isi catatan yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan mengklasifikasikan data tersebut dengan merujuk kepada rumusan masalah. f. Mencari relevansi isi kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’aalim li al-Imam Nawawi dengan Menganalisa isi UU UU RI No. 14 Th. 2005 tentang Guru dan Dosen dan PP RI No 17 Thn 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. 4. Teknik Analisa Data Teknik analisa data adalah pengelolaan data dari data-data yang sudah terkumpul. Karena sifat data dalam penelitian ini adalah deskriftif dan naratif maka data yang sudah terkumpul dianalisa kembali dengan metode content analisis (analisa isi). Yaitu, analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi14 14Samsul Nizar, metodologi penelitian, iIbid, h. 110 12 BAB II ETIKA DAN PENDIDIKAN Etika maupun pendidikan sebagai ilmu memiliki objek yang sama, yakni manusia. Bagi etika manusia dipandang dari segi baik buruk perilakunya, diukur dengan kriteria tertentu. Sedangkan bagi ilmu pendidikan manusia dipandang dari segi kemungkinankemungkinan pengembangannya untuk menjadi manusia seutuhnya. Berdasarkan pemikiran tersebut maka pembahasan masalah etika dan pendidikan tak mungkin dapat dilepaskan dari pembahasan tentang manusia1 Para ahli pendidikan muslim umumnya sependapat bahwa teori dan praktek pendidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia.2 A. HAKIKAT MANUSIA Dalam al-Qur’an, manusia berulangkali diangkat derajatnya3, dan berulangkali juga direndahkan.4 Manusia dinobatkan jauh mengungguli malaikat, tetapi pada saat yang sama mereka tak lebih berarti daripada hewan melata5. Manusia dihargai sebagai 1 Tohari Musnamar, Etika dan prinsip-prinsip Pendidikan Islam: Sumbangannya terhadap Pembangunan, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 85 2Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2009) h. 62 3 “ Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(Al-Mujaadilah: 11) 4 M. Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2003), h. 55 5 13 khalifah6 dan makhluk mampu menaklukkan alam. Namun, posisi ini bisa merosot ketingkat yang paling bawah dari segala yang bawah (asfala safilin). Gambaran Kontradiktif menyangkut keberadaan manusia itu menandakan bahwa makhluk yang namanya manusia itu unik , makhluk yang serba dimensi, ada diantara prediposisi negative dan positif7. Ibnu ‘Arabi melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa, Tak ada makhluk Allah yang paling bagus daripada manusia. Allah SWT membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat , dan memutuskan, dan ini adalah merupakan sifat-sifat Rabbaniyah.8 Al-Qur’an membahas manusia dalam sifat menetap tertinggi dan primordialnya (al-fithrah). Manusia dalam perspektif Islam adalah khalifah (wakil)Allah dimuka bumi sekaligus abdi-Nya (‘abd). Keduanya bersama-sama membentuk sifat fundamental manusia. Sebagai abdiNya, manusia harus patuh pada kehendak-Nya. Dia harus pasif secara total vis-à-vis kepada kehendak Allah, menerima dariNya petunjuk untuk hidupnya dan perintah bagaimana melaksanakan kehendak-Nya Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.(Al-Araf:179) 6 Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi 7Loc.cit 8. Ibn ‘Arabi, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaludin Rahmat, dalam Samsul Nizar , Hakekat Manusia Dalam Persfektif Pendidikan Islam, (Pekanbaru : PPs UIN Suska Riau, 2009), h. 8 14 menurut hukum alam. Sebagai hamba-Nya dia harus aktif, terutama karena dia adalah wakil Allah AWT di dunia ini.9 Al-Qur’an memperkenalkan tiga istilah kunci (key term) yang mengacu pada pengertian manusia , yaitu : Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, sin semacam insan, ins,nas, atau unas. a. Menggunakan kata basyar b. Menggunakan kata bani Adam, dan zuriyat Adam.10 Uraian ini akan mengarahkan pandangan secara khusus kepada basyar, insan dan kata al-nas 1. Basyar (ﺮ ٌ )ﺑَ َﺸ Al-Qur’an menggunakan kata basyar sebanyak 37 kali, yakni 36 kali dalam bentuk mufrad dan sekali didalam bentuk mutsanna untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.11 Al-Qur’an menggunakan kata Basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Hal ini ditegaskan didalam QS. Ar-Rum :20 َﺸﺮُو َن ِ ب ﰒُﱠ إِذَا أَﻧْـﺘُ ْﻢ ﺑَ َﺸٌﺮ ﺗَـﻨْﺘ ٍ َوِﻣ ْﻦ ءَاﻳَﺘِﻪ أَ ْن َﺧﻠَ َﻘ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ﺗـُﺮَا Dan diantara tanda-anda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran. 9Seyyed Hosein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, (Bandung : Mizan, 1994), h. 40 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 2007), h. 367 11Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an : kajian kosakata (Jakarta : Lentera hati, 2007), h. 138 10. 15 M. Quraish Shihab mengartikan “bertebaran” disini dengan berkembang biak akibat hubungan seksual dan bertebaran mencari rezeki. Hal ini tidak dilakukan manusia kecuali oleh mereka yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab.12 Dan karena itupula tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar.13 Abd. Muin Salim menjelaskan bahwa ayat menunjukkan adanya perkembangan kehidupan manusia karena didalamnya terdapat kata min yang bermakna ‘mulai dari’ dan kata tsumma yang bermakna ‘perurutan dan perselangan waktu’. Dengan begitu, dapat dipahami bahwa kejadian manusia diawali dari tanah dan secara berangsur mencapai kesempurnaan kejadiannya ketika mereka telah menjadi dewasa.14 2. Al-Insan Kata Insan dinyatakan dalam al-ur’an sebanyak 73 kali yang tersebar dalam 43 surat. 15 Kata Insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa)16, atau naasa-yanuusu (berguncang). Kata insan, digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.17 Hampir semua ayat yang menyebut 12Ibid, h. 138 W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2008), h. 53 14 Quraish Shihab, Op.cit., h. 138 15 Mohammad Irfan, op.cit., h. 58 16Manusia disebut insan adalah karena setelah bersaksi akan kebenaran perjanjian yang menuntutnya untuk mematuhi perintah dan larangan Allah, ia alpa (nasiya ) memenuhi kewajiban dan tujuan hidupnya itu. Sifat alpa ini merupakan penyebab keingkaran manusia. (diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas) 13Ahsin َﺴ َﻲ ِ إِﳕﱠﺎ ﲰُﱢ َﻲ ا ِﻹﻧْﺴَﺎ ُن إِﻧْﺴَﺎﻧًﺎ ﻷَﻧﱠﻪ ًﻋ ِﻬ َﺪ إِﻟَﻴْﻪ ﻓَـﻨ Sesungguhnya manusia disebut insan karena setelah berjanji dengan-Nya, ia lupa (nasiya). Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism, Terjemahan Khalif Muammar (Bandung: PIMPIN, 2010), h. 177 17 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op.cit. h. 369 16 manusia dengan menggunakan kata al-Insan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk yang istimewa , secara moral maupun spiritual.18 Jalaluddin Rahmat memberi pengertian luas al-insan ini pada tiga kategori. Pertama, al-insan dihubungkan dengan keistimewaan manusia sebagai khalifatullah dimuka bumi dan pemikul amanah. Kedua, al-insan dikaitkan dengan predisposisi negative yang inheren dan laten pada diri manusia. Ketiga, al-insan disebut-sebut dalam hubungannya dengan proses penciptaan manusia. 19 3. Al-Nas Kata ini dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali yang tersebar dalam 53 surat.20 Konsep al-nas mengacu pada manusia sebagai makhluk social, penjelasan konsep ini dapat ditunjukkan dalam dua hal. Pertama, banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok social dengan karakteristiknya masing-masing yang satu sama lain belum tentu sama, ayat ini biasanya menggunakan ungkapan wa min al-nas (dan diantara manusia).21 Kedua, Pengelompokan manusia berdasarkan mayoritas, yang umumnya menggunakan ungkapan aktsar al-nas (sebagian besar manusia). Memperhatikan ungkapan ini ditemukan bahwa mayoritas manusia mempunyai kualitas rendah, baik dari segi ilmu maupun iman. 22 Hal ini dapat dilihat pernyataan al-Qur’an bahwa kebanyakan manusia tidak 18 Mohammad Irfan, op.cit, h. 58 Jalaluddin Rahmat sebagaimana yang dikutip oleh Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan Tauhid sebagai paradigma PendidikanIislam, (Jakarta : Friska Agung Insani, 2003), h. 58 20Al-Baqi sebagaimana yang dikutip oleh Samsul Nizar dalam Hakekat Manusia dalam perspektif Islam, (Pekanbaru : PPs UIN Suska, 2009), h. 54 21Mohammad Irfan, op.cit, h. 61 22Ibid, h. 62 19. 17 berilmu23, tidak bersyukur24 tidak beriman dan ayat –ayat tersebut dipertegas dengan ayat –ayat lain yang menunjukkan betapa sedikitnya kelompok manusia yang beriman25 Terhadap masalah-masalah sosial Al-qur’an menjelaskan lebih banyak dan terperinci, karena pada aspek-aspek sosial inilah manusia sering melampaui batas dan tak terkendali. Begitu rumit dan banyaknya masalah yang menyangkut manusia sebagai makhluk sosial yang perlu bimbingan agama. Itulah sebabnya dalam al-Qur’an konteks manusia dengan makna al-nas lebih banyak disebut daripada basyar dan insan B. Implikasi Konsep Manusia Terhadap Pendidikan Dari uraian diatas, setidaknya ada beberapa implikasi konsep manusia dengan pendidikan Islam: 1. Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (Materi dan immateri), maka konsepsi ini menghendaki proses pembinaan yang mengacu kearah realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Hal ini berarti bahwa Pendidikan Islam harus dibangun di atas konsep kesatuan antara pendidikan Qalbiyah dan Aqliyah, sehingga mampu menghasilkan manusia muslim 23 Artinya: tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui".(QS. 7: 187) 24 Artinya: tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.(QS.2:243) 25 Artinya: Dan mereka berkata: "Hati kami tertutup". tetapi Sebenarnya Allah Telah mengutuk mereka Karena keingkaran mereka; Maka sedikit sekali mereka yang beriman.(QS.2:88) 18 yang pintar secara intelektual dan terpuji secara moral. Jika kedua komponen tersebut terpisah maka manusia akan kehilangan keseimbangannya.26 2. Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai Khalifah dan ‘Abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah membekali manusia dengan seperangkat potensi27. Dalam konteks ini, maka pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan kearah pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit. 3. Implikasi ketiga dari pandangan kemanusiaan di atas ialah pada muatan materi dan metodologi pendidikan 26Ramayulis dan Samsul Nizar, Op.cit, h. 62 pada diri manusia terdapat beberapa potensi antara lain: Fithrah, Fithrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir. Manusia sejak asal kejadiannya membawa potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid. Nafs, Dalam pandangan Al-Qur’an, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. 27 a. b. ﻓَﺄَﳍََﻤﻬَﺎ ﻓُﺠ ُْﻮَرﻫَﺎ َوﺗـَ ْﻘﻮـﻬَﺎ,ْﺲ َوﻣَﺎ َﺳﻮﱠـﻬﺎ ٍ َوﻧـَﻔ c. d. Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwaan (AlSyams : 7-8) Qalb, bermakna membalik karena sering kali ia berbolak-balik, sekali senang sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak. Qalb sangat berpotensi untuk tidak konsisten. Membersihkan qalb adalah salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan. Ruh,Dalam beberapa Hadits ada disinggung tentang ruh, sebagaimana sabda Nabi SAW., َﻒ َ َﻒ َوﻣَﺎ ﺗَـﻨَﺎﻛَﺮ ﻣْﻨـﻬَﺎَ ا ْﺧﺘَـﻠ َ َف ِﻣْﻨـﻬَﺎ اﺋﺘَـﻠ ُ اﻷَرْوَا ُح ُﺟﻨُـ ْﻮٌد ﳎَُﻨﱠ َﺪةٌ ﻣَﺎ ﺗَـﻌَﺎر e. Hadits ini, tidak membicarakan apa yang disebut ruh itu? Dia hanya mengisyaratkan keanekaragamannya, dan bahwa manusia mempunyai kecenderungan berbeda-beda, dan setiap pemilik kecenderungan jiwanya akan bergabung dengan sesamanya ‘Aql, Al-Qur’an tidak menjelaskannya secara eksplisit , namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata ‘aql dapat dipahami bahw ia adalah : pertama, Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu Wa ma ya’qiluha illa al-‘alimun (Al-Ankabut : 43). Kedua, dorongan moral. Ketiga, Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta ‘hikmah”. 19 C. Etika Salah satu disiplin pokok filsafat adalah etika. Etika merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar ia berhasil sebagai manusia. Karena itu tidak mengherankan bahwa hampir semua filsuf besar menulis dalam bidang Etika.28 Istilah Etika secara bahasa berasal dari bahasa Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: adat, watak atau kesusilaan. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Menurut Pujowijatno, makna utama dari etika, yang terambil dari kata Yunani ethos, adalah tingkah laku. Sehubungan dengan ini, Mahjuddin mengartikan kata etika, yang secara bahasa berasal dari Yunani ethos, sebagai adat, watak atau kesusilaan. Dengan demikian di kalangan ahli memang telah ada kesepakatan perihal asal kata etika yakni berasal dari bahasa Yunani ethos. Dalam kamus filsafat dikatakan: “Ethics is a set of standards by which a particular group or community decides to regulate its behaviour- to distinguish what is legitimate or acceptable in pursuit of their aims from what is not.29 "Etika adalah satu set standar dengan mana suatu kelompok tertentu atau komunitas memutuskan untuk mengatur perilakunya-untuk membedakan apa yang sah atau diterima dalam mengejar tujuan mereka dari apa yang tidak. Etika adalah ilmu tentang tindakan tepat dalam bidang khas manusia, jadi dalam bidang berubah, dan dari objeknya itu ilmu etika mendapat kekhasannya. Objek etika adalah alam yang berubah, terutama alam manusia. Oleh karena itu, etika bukanlah episteme, bukanlah ilmu pengetahuan. Tujuan etika bukan pengetahuan lebih tajam, 28 Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 5 dictionary of philosophy (London: Mac Millan Press, 1980), h. 104 29A 20 melainkan praxis;30 bukan pengetahuan apa itu hidup yang baik, melainkan membuat orang hidup dengan baik.31 Etika, suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang kepada yang lain, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.32 Etika menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik dan buruk, akan tetapi tidak semua perbuatan itu dapat diberi hukum baik dan buruk. Karena, perbuatan manusia itu ada yang timbul dengan kehendak, maka ini bukan pokok persoalan etika, dan tidak dapat memberi hukum.33 Poespoprodjo mengatakan etika mendasarkan dirinya atas fakta pengalaman, yakni keputusan tentang hal yang benar dan yang salah, keyakinan yang dimiliki manusia bahwa beberapa perbuatan adalah benar dan sepantasnya dikerjakan, dan ada perbuatan yang salah dan sepantasnya tidak dikerjakan, atau terdapat perbuatan yang indiferen (khiyar) yang boleh dijalankan atau tidak boleh dijalankan.34 Oleh karena itu, etika tidak memberikan pengetahuan yang pasti dan jadi. Etika tidak dapat menentukan dengan tepat bagaimana manusia dalam situasi tertentu harus bertindak. 30Dalam filsafat Yunani dan khususnya bagi Aristoteles praxis atau tindakan adalah segala tindakan yang dilakukan untuk dirinya sendiri. Namun praxis yang terpenting adalah partisipasi dalam kehidupan bersama komunitas. Dalam praxis manmnusia merealisasikan diri sebagai makhluk sosial, lihat Franz Magnis Suseso, Op.cit, h. 34-35 31Ibid, h. 39 32Ahmad Amin Etika Ilmu Akhlak (Jakarta : Bulan Bintang , 1995), h. 3 33Loc.Cit 34 W. Poespoprodjo, Filsafat Moral kesusilaan dalam teori dan praktek (Bandung: Pustaka Grafika, 1998), h. 117 21 Etika hanya dapat mendukung perkembangan phronesis35 sehingga orang yang bersangkutan dalam situasi konkret mampu mengambil keputusan yang tepat. Dalam arti ini etika mendukung otonomi manusia. Karena itu, menurut Aristoteles, pengetahuan yang diberikan oleh etika adalah pengetahuan dalam garis besar (typo) dan bukan secara terinci.36 Sementara itu pengertian kata moral, yang secara etimologis berasal dari bahasa Latin mos dan jamaknya adalah mores berarti kebiasaan dan adat. Dalam bahasa Indonesia, kata Suwito, pada umumnya kata moral diidentikkan dengan kata etika. Adapun secara istilah, pengertian etika tampak berbeda dengan moral, dan juga dengan akhlak. Sebagai disampaikan oleh Komaruddin Hidayat, etika adalah suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Sejalan dengan pengertian ini, Suwito menegaskan bahwa etika baru menjadi sebuah ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis telah menjadi refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini, lanjut Suwito, identik dengan filsafat moral. Bersama estetika, etika merupakan cabang filsafat yang menjadi bagian dari wilayah nilai, sehingga etika didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji secara rasional, kritis, reflektif, dan radikal persoalan moralitas manusia. Jadi etika membicarakan perilaku manusia (kebiasaan) ditinjau dari baik-buruk, atau teori tentang perbuatan manusia ditinjau dari nilai baik-buruknya. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa etika merupakan bidang garapan filsafat, dengan moralitas sebagai objek meterialnya. Jadi, studi kritis terhadap moralitas itulah yang 35Phronesis adalah kemampuan orang untuk mengambil sikap dan keputusan bijaksana dalam memecahkan pelbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari. Phronesis menurut Aristoteles dapat didefinisikan sebagai “kebiasaan bertindak berdasarkan pertimbangan yang tepat dalam bidang masalah baik dan buruk bagi manusia”. Ibid, h. 38 36Ibid, h. 40 22 merupakan wilayah etika. Bila dirujukkan dengan penjelasan Pudjowijatno, bila moralitas sebagai objek materialnya, maka tindakan manusia yang dilakukannya dengan sengaja adalah objek formal dari etika, dan perilaku sengaja inilah yang biasa pula dinamakan dengan tindakan akhlaki atau perilaku etis. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Sementara moral lebih berkenaan dengan tingkah laku yang kongkrit, berbeda dengan etika yang bekerja pada level teori. Atas dasar pengertian tersebut dapat ditarik garis batas dan garis hubungan etika dengan moral di satu pihak dan dengan akhlak pada pihak lain. Moral merupakan aturan-aturan normatif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu, yang penetapan tata nilai itu di masyarakat menjadi wilayah garapan antropologi. Dengan demikian moral lebih dekat dengan akhlak, meski tidak sepenuhnya, ketimbang dengan etika. Akhlak bentuk jamak dari kata khuluq, artinya kemanusiaan, adat atau kebiasaan, tingkahlaku, perangai, tabi’at37. Sedangkan menurut istilah, akhlak adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa melalui proses pemikiran atau pertimbangan38. Dengan demikian akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan agama, maka tindakan itu disebut akhlak yang baik atau akhlakul karimah (akhlak mahmudah). Misalnya jujur, adil, rendah hati, pemurah, santun dan sebagainya. 37 Abu Luwis Makhluf, Munjid fi- al-Lughoh wa al-A’lam cetakan ke-42 (Beirut: Darul Masyriq, 2007) h. 194 38Abu Ali Ahmad bin Muhammmad Miskawayh, Tahdzib al-akhlaq, dalam Imran Effendy,Pemikiran akhlak Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari (Riau: LPNU Press, 2003), h. 73 baca http://dewon.wordpress.com/2007/11/03/kategori-19/ 23 Sebaliknya apabila buruk disebut akhlak yang buruk atau akhlakul mazmumah. Misalnya kikir, zalim, dengki, iri hati, dusta dan sebagainya. Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada sumber nilai, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Raghib al-Isfahani39 menyebutkan bahwa kata khuluq itu memiliki makna yang beragam, diantaranya kemampuan yang diketahui dengan akal, atau juga ditujukan sebagai kemampuan ghariziya, bahkan kemampuan ini ditujukan pula pada suatu keadaan yang diupayakan menuju tebentuknya suatu perilaku. Juga untuk menggambarkan keadaan jiwa manusiayang menjadi sumber lahrnya perbuatan secara spontan, atau juga merupakan suatu ungkapan yang ditujukan pada perbuatan yang lahir dari namanya seperti ‘Iffa, ‘adala dan lain-lain.40 Al-Farabi, menyebutkan bahwa sesungguhnya akhlak itu merupakan upaya penumbuhkembangan akhlak potensial yang baik dalam diri manusia dengan jalan membiasakan perilaku-perilaku yang terpuji dan membangun situasi dan kondisi yang kondusif untuk tumbuh dan kembangnya perilaku yang terpuji dalam diri seseorang 41 Karakteristika akhlak adalah bersifat agamis, dan ini tidak ada pada moral. Oleh karena itu akhlak lebih merupakan sebagai suatu paket atau barang jadi yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa mempertanyakan secara kritis, sehingga akhlak bisa disebut dengan moralitas islami. Studi kritis terhadap moralitas itulah wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah objek kajian daripada etika. Dengan demikian kalau dibandingkan dengan 39 Abul-Qasim Husayn ibn Muhammad Ibn al-Mufaddal al-Raghib al-Isfahani, seorang filsuf muslim islam klasik, wafat 1108 M. Amril M, Etika Islam,op.cit. h. 31 40 Amril Mans ur, Etika dan Pendidikan, (Yogyakarta: Aditiya Media, 2005), h Ibid, 8-9 41 Ibid, h. 11 24 penjelasan mengenai akhlak di atas, kiranya dapat diketahui bahwa etika lebih menunjuk pada ilmu akhlak, sedangkan moral lebih merupakan perbuatan konkrit realisasi dari kekuatan jiwa. Meski demikian harus tetap dikatakan bahwa dari segi sumbernya keduanya berbeda. Etika bersumber dari pemikiran manusia terutama filsafat Yunani, sedangkan imlu akhlak, meski juga merupakan hasil pemikiran, tetapi ia bersumber dari wahyu yakni al-Qur’an dan al-Hadis. Dengan demikian—dalam batas tertentu—dapat dikatakan bahwa ilmu akhlak bersumber pokok pada al-Qur’an dan Hadits, hanya pengembangannya dilakukan dengan menggunakan filsafat sebagai sarananya; sedangkan etika semata-mata bersumber dari filsafat, tidak terkait dengan wahyu. Selanjutnya adalah menyangkut perbedaan akhlak dengan moral. Meski keduanya sama-sama menunjuk pada perbuatan, namun bila dilihat dari objeknya, dua istilah itu tidak identik; sifat akhlak adalah teorsentris, karena segala perbuatan yang ditunjuk oleh istilah akhlak dilihat dalam kontkesnya dengan Tuhan, baik perbuatan dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Sementara moral hanya menunjuk pada perbuatan dengan sesama manusia, tidak menunjuk dengan Tuhan, karenanya bersifat antroposentris, dan tujuannya hanya sebatas untuk kepentingan manusia. Dengan kaata lain, objek akhlak lebih kompleks karena mencakup akhlak terhadap Tuhan dan akhlak terhadap manusia, dan keduanya bersifat teorsentris; sementara moral hanya menyangkut perbuatan terhadap sesama manusia, dan hanya dilihat untuk tujuan antroposentris. Meskipun para ahli memberikan makna kebahasaan yang cukup beragam terhadap kata etika itu, namun makna-makna itu pada umumnya tetap berada pada 25 lingkaran di seputar perbuatan-perbuatan kategori akhlaki seperti: kebiasaan, tingkah laku, kesusilaan dan semisalnya. Secara umum etika merupakan studi nilai dalam realitas perilaku manusia, untuk itu etika biasanya berkaitan tentang persoalan-persoalan semisal; apa bentuk kehidupan yang baik bagi seluruh manusia? bagaimana kita harus berperilaku? Selain itu etika juga berkaitan dengan pengajuan nilai-nilai good sebagai tindakan-tindakan yang right.42 1. Perkembangan Pemikiran Etika Secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari kemabrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun yang lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia.43 Jejak-jejak pertama sebuah etika muncul dikalangan murid Pytagoras. Kita tidak tahu banyak tentang pytagoras. Ia lahir pada tahun 582 SM di Pulau Samos di Asia Kecil Barat dan kemudian pindah ke daerah Yunani di Italia Selatan. Ia meninggal 497 SM44. Di sekitar Pytagoras terbentuk lingkaran murid yang tradisinya diteruskan selama dua ratus tahun. Menurut mereka prinsip-prinsip matematika merupakan dasar segala realitas. Mereka penganut ajaran reinkarnasi. Menurut mereka badan merupakan kubur jiwa (soma-sema,”tubuhkubur”). Agar jiwa dapat bebas dari badan, manusia perlu menempuh jalan 42 Ibid, h. 48 Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 43Franz 1987), h. 15 44J.Hirschberger, Geschichte der Philosophie, vol. I Basel/Freiburg/Wien:Herder dalam Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 12. Lihat Dewan Redaksi, oxford Ensiklopedi Pelajar, (Jakarta: Widyadarma, 2007),h. 196 26 pembersihan. Dengan bekerja dan bertapa secara rohani, terutama dengan berfilsafat dan bermatematika, manusia dibebaskan dari ketertarikan indrawi dan dirohanikan. Dalam kehidupan bersama, persahabatan dan persaudaraan semua orang merupakan nilai tertinggi.45 Seratus tahun kemudian, Demokritos (460-371 SM) bukan hanya mengajarkan bahwa segala apa dapat dijelaskan dengan gerakan bagian-bagian terkecil yang tak terbagi lagi, yaitu atom-atom. Menurut Demokritos nilai tertinggi adalah apa yang enak. Dengan demikian, anjuran untuk hidup baik berkaitan dengan suatu kerangka pengertian hedonistik.46 Sokrates (469-399 SM) tidak meninggalkan tulisan47. Ajarannya tidak mudah direkonstruksi karena bagian terbesar hanya kita ketahui dari tulisantulisan Plato. Dalam dialog-dialog palato hampir selalu Sokrates yang menjadi pembicara utama sehingga tidak mudah untuk memastikan pandangan aslinya atau pandangan Plato sendiri. Melalui dialog Sokrates mau membawa manusia kepada paham-paham etis yang lebih jelas dengan menghadapkannya pada implikasi-implikasi anggapan-anggapannya sendiri. Dengan demikian, manusia diantar kepada kesadaran tentang apa yang sebenarnya baik dan bermanfaat. Dari kebiasaan untuk berpandangan dangkal dan sementara, manusia diantar kepada kebijaksanaan yang sebenarnya. 45 Loc . cit Ibid, h. 13 47Loc. Cit lihat Dewan Redaksi, oxford Ensiklopedi Pelajar, (Jakarta: Widyadarma, 2007),h. 196 Ibid, h. 212 46 27 Plato, lahir 429 SM-347 SM dari keluarga bangsawan Athena 48. Menurut Plato, orang itu baik apabila dikuasai oleh akal budi, buruk apabila ia dikuasai hawa nafsu.49 Intuisi Akademi Plato tentang hidup yang baik itu mempengaruhi filsafat dan juga kerohanian di Barat selama 2000 tahun. Baru pada zaman modern paham tentang keterarahan objektif kepada Yang Ilahi dalam segala yang ada mulai ditinggalkan dan diganti oleh pelbagai pola etika; diantaranya etika otonomi kesadaran moral Kant adalah yang paling penting. Etika Plato tidak hanya berpengaruh di barat, melainkan lewat Neoplatoisme juga masuk ke dalam kalangan sufi Muslim. Disinilah nantinya jalur hubungan pemikiran filsafat yunani dengan pemikir muslim seperti Ibn Miskawaih yang banyak mempelajari filsafat yunani sehingga mempengaruhi tulisan-tulisannya mengenai filsafat etika. Aristoteles, lahir pada tahun 384 SM di Stagyra di daerah Tharakia, Yunani Utara. Delapan belas tahun kemudian ia masuk Akademia di Athena dan menjadi murid Plato.50 Meskipun selama 20 tahun menjadi murid Plato, Aristoteles menolak ajaran Plato tentang idea, menurutnya tidak ada idea-idea yang abadi. Apa yang oleh Plato dipahami sebagi idea sebenarnya adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam indrawi sendiri. Aristoteles adalah pemikir pertama di dunia yang mengidentifikasikan dan mengutarakan etika secara kritis, refleksif, dan argumentatif. Oleh karena itu, Aristoteles dianggap filsuf moral pertama dalam arti yang sebenarnya. Ia adalah pendiri Etika sebagai ilmu atau cabang filsafat tersendiri.51 48Ibid, h. 193 Magnis Suseno, 13 Tokoh etika. Op.cit, h. 19 50 Ibid, h. 27 51 Ibid, h. 28 49Franz 28 Ada tiga karya besar Aristoteles yang menyangkut etika: yang pertama adalah ethika Eudemia, yang kedua Ethika Nikomacheia, dan yang ketiga Politike. Salah satu kehebatan etika Aristoteles adalah bahwa ia bukan hanya menyangkal kebenaran anggapan bahwa pencarian nikmat merupakan tujuan hidup manusia, melainkan juga merumuskan argumentasi yang pada hakikatnya sekarangpun masih meyakinkan. Alasan utama yang dikemukakan Aristoteles adalah bahwa perasaan nikmat tidak khas manusiawi. Orang yang hanya mencari nikmat sama derajatnya dengan binatang. Menurut Aristoteles, nilai tertinggi bagi manusia mesti terletak dalam suatu tidakan yang merealisasikan kemampuan atau potensialitas khas manusia. Dalam bahasa sekarang manusia mencapai kebahagiaan dengan mengembangkan diri, dalam perealisasia kekuatan-kekuatan hakikinya.52 Setelah Aristoteles, Epikuros (314-270 SM) adalah tokoh yang berepengaruh dalam filsafat etika. Ia mendirikan sekolah filsafat di Athena dengan nama Epikureanisme, akan menjadi salah satu aliran besar filsafat Yunani pasca Aristoteles.53 Berbeda dengan Plato dan Aristoteles, berbeda juga dengan Stoa, Epikuros dan murid-muridnya tidak berminat memikirkan, apalagi masuk ke bidang politik. Ciri khas filsafat Epikuros adalah penarikan diri dari hidup ramai. Semboyannya adalah “hidup dalam kesembunyian“.54 Etika Epikurean bersifat privatistik. Yang dicari adalah kebahagiaan pribadi. Epikuros menasihatkan orang untuk menarik diri dari kehidupan umum, dalam arti ini adalah individualisme. Namun ajaran Epikuros tidak bersifat egois. Ia mengajar bahwa sering berbuat baik lebih menyenangkan daripada menerima 52 Ibid, h. 32-33 h. 47 54 Ibid, h. 48 53Ibid, 29 kebaikan. Bagi kaum Epikurean, kenikmatan lebih bersifat rohani dan luhur daripada jasmani. Tidak sembarang keinginan perlu dipenuhi. Ia membedakan antara keinginan alami yang perlu (makan), keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan keinginan sia-sia (seperti kekayaan). Tokoh-tokoh filsafat etika Yunani masih banyak lagi, dan penulis berkeinginan membahas semuanya disini, namun karena keterbatasan tempat dan tema yang diangkat maka tokoh yang disebut diatas penulis anggap sudah cukup mewakili sejarah filsafat etika Yunani pada masa itu. Adapun korelasinya dengan intelektual islam pada masa sesudahnya seperti Ibn Miskawaih55 yang dalam banyak tulisannya banyak dipengaruhi dari pemikiran tokoh filsafat yunani. Pemikiran etika Ibn Miskawaih dapat digolongkan pada kelompok etika individualistik dimana semua kebaikan dan kebajikan yang dilakukan manusia didasarkan hanya pada perolehan kebahagiaan individu semata. Dengan keyakinan ontologisnya pada etika individualistik menjadikan ajaran etika Ibn Miskawaih terkungkung hanya pada tataran manusia sebagai makhluk individu, tanpa melihat kenyataan lain, bahwa manusia juga makhluk sosial. Selain itu juga teori etika Ibn Miskawaih menekankan unsur kebebasan pada manusia, yang pada 55Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub bin Maskawaih (330421/941 M-16 februari 1030). Terkenal sebagai ahli sejarah dan filsafat, moralis dan penyair. Psikologi Miskawaihi bertumpu pada ajaran spiritualistik tradisional Plato dan Aristoteles dengan kecenderungan Platonis. Ibnu Miskawaihi menyatakan adanya keterkaitan antara pembentukan watak dengan pendidikan dan ilmu jiwa. Jiwa memiliki tiga kekuatan, pertama, Quwwatun Natiqah (daya pikir) dinamai juga Quwwatun Malakiyah merupakan fungsi tertinggi, kekuatan berpikir, melihat fakta. Kedua Quwwatun Ghodabiyah (Daya Marah) yakni keberanian menghadapi resiko, ambisi pada kekuasaan, kedudukan dan kehormatan. Kekuatan ini disebut juga Quwwatun Sab'iyah (Daya Kebuasan). Bagian terpenting dari pemikiran filosofis Ibnu Maskawaih ditujukan pada etika atau moral. Ia seorang moralis dalam arti sesungguhnya. Masalah moral ia bicarakan dalam tiga bukunya: Tartib as-Sa’adah (tentang akhlak dan politik), tahdzib al-Akhlak (pembinaan akhlak), dan Jawidan Khirad (Kumpulan ungkapan bijak). Dalam masalah etika, Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa kebaikan terletak pada segala yang menjadi tujuan , dan apa yang berguna untuk mencapai tujuan tersebut adalah baik juga. Kebaikan atau kebahagiaan adalah sesuatu yang relatif dan dapat juga dicapai di dunia. Lihat Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 163 30 akhirnya keyakinannya yang sempit terhadap terhadap makna kemaha-kuasaan Tuhan, menjadikan ide etikanya cenderung pada fatalistik. 56 Pada abad-abad pertama sesudah hijrah timbullah aliran Mu’tazilah57. Madzhab ini memerangi pengaruh filsafat Yunani dengan mempergunakan metoda-metoda filsafat; golongan ini disebut juga rasionalis. Beberapa dalil yang mereka ajarkan ialah, pertama: Manusia berkemauan bebas. Tanpa kemauan bebas mustahillah meyusun suatu etika. Kedua, mereka berpendapat bahwa alQur’an diciptakan Tuhan didalam waktu. Maksud mereka ialah membuka jalan bagi suatu analisa rasional dan pembahasan tentang Tuhan dan patokan-patokan iman yang lebih terikat waktu. Dengan mengingkari keabadian al-Qur’an mereka mungkin tidak bermaksud untuk menisbikan ajaran agama, justru mengaktualkannya. Bahwa kebenaran bersifat abadi harus ditafsirkan demikian, bahwa pada zaman-zaman yang berlainan kebenaran itu hendaklah dirumuskan dengan cara yang berlainan pula. Pada akhir abad ke -9 M pengaruh Mu’tazilah berakhir dan ajaran mereka dilarang.58 56Muhmidayeli, Pemikiran Etika Ibn Miskawaih dan J.J. Rousseau (Studi perbandingan filsafat Moral) (Pekanbaru: Susqa Press, 2001), h. 237-238 57 Lahirnya aliran Mu’tazilah dipelopori oleh Washil bin Atha pada awal berkuasanya Daulah Abbasiyah dan setelah berakhirnya Daula Umayyah di Damaskus. Wahil lahir di Madinah pada tahun 700 M dan menetap di Bashrah hingga wafat pada usia 49 tahun. Washil belajar agama dari Hasan al-Bashri. Dalam sebuah majlis, saat muncul pertanyaan tentang masalah yang diperdebatkan Khawarij dan Murji’ah, Washil berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah kafir dan bukanlah mu’min, melainkan berada diantara keduanya. Jika meninggal sebelum bertobat, ia akan masuk neraka seperti orang kafir. Akan tetapi, apabila sempat tobat sebelum meninggal, ia akan masuk surga. Menedengar itu, Hasan alBashri berkata, I’taza ‘anna”. Ada lima ajaran yang diusung Mu’tazilah: Tauhid, Al-‘Adl, Al-Wa’d wa al-wa’id, Almanzilah baina manzilataini, dan Al-amr bi al-ma’ruf al-nahy ‘an al-munkar.Ahmad Sahidin, Aliran-Aliran dalam Islam (Bandung: Salamadani, 2009), h. 40-41 58 Van Peursen Filosofische Orientatie, edisi terjemahan Indonesia Dick Hartoko Orientasi di Alam Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1980), h. 133 31 Asy’ariyyah59 menantang mu’tazilah dengan mengajukan keberatan bahwa jika nilai-nilai etika tersebut rasional yakni dapat dideduksi oleh rasio manusia maka tidak bisa tidak kita akan digiring kerelativitas nilai. Oleh karenanya, tidak mungkin ada etika absolut.60 Asy’Ariyyah berargumentasi lebih jauh bahwa jika etika dan norma-norma moral harus dianggap mutlak dan bukan relatif, Perintah atau larangan Tuhan dibalik kehendak Mutlak Tuhan harus dijadikan fondasi nilai-nilai etika.61 2. Teori-Teori Etika a. Teori Deontologi Istilah deontologis berasal dari kata Yunani deon yang berati apa yang harus dilakukan; kewajiban, etika ini menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik atau formal istis (menekankan prinsip). Argumentasi dasar yang dipakai adalah bahwa suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik serta konsekuensi – konsekuensi dari suatu tindakan, melainkan berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut.62 Dari argumen diatas jelas bahwa etika ini menekankan motivasi, kemauan baik, dan watak yang kuat dari pelaku, lepas dari akibat yang ditimbulkan dari pelaku. Menanggapi hal ini Immanuel kant menegaskan dua hal: 59 Pelopor aliran Theologi ini ialah Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (873-935 M), semula ia adalah seorang Mu’tazilah. Ia kemudian keluar dan melakukan kritik terhadap pemikiran atau ajaran Mu’tazilah. Ahmad Sahidin, Op.cit, h. 43 60M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan kant Filsafat Etika Islam (Bandung : Mizan 2002), h.88 61Loc.Cit 62K. Bertens, Etika, Op.cit h. 254 baca Lorens Bagus Kamus Filsafat Ibid h. 218. Baca juga Bioetika.edublogs.org/ tori-teori etika 32 1. Tidak ada hal di dunia yang bisa dianggap baik tanpa kualifikasi kecuali kemauan baik. Kepintaran, kearifan dan bakat lainnya bisa merugikn kalau tanpa didasari oleh kemauan baik. Oleh karena itu Kant mengakui bahwa kemauan ini merupakan syarat mutlak untuk memperoleh kebahagiaan. 2. Dengan menekankan kemauan yang baik tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan kewajiban, melainkan tindakan yang dijalankannya demi kewajiban. Sejalan dengan itu semua tindakan yang bertentangan dengan kewajiban sebagai tindakan yang baik bahkan walaupun tindakan itu dalam arti tertentu berguna, harus ditolak. Namun, selain ada dua hal yang menegaskan etika tersebut, namun kita juga tidak bisa menutup mata pada dua keberatan yang ada yaitu: 1. Bagaimana bila seseorang dihadapkan pada dua perintah atau kewajiban moral dalam situasi yang sama, akan tetapi keduanya tidak bisa dilaksankan sekaligus, bahkan keduanya saling meniadakan. 2. Sesungguhnya etika deontologis tidak bisa mengelakkan pentingnya akibat dari suatu tindakan untuk menentukan apakah tindakan itu baik atau buruk.63 63 http://drveggielabandresearch.blogspot.com/2008/05/pengertian-etika-dan-jenis-jenis-etika.html 33 b. Teori Teleologi Teleologis berasal dari bahasa Yunani, yakni “telos” yang berati tujuan. Etika teleologis menjadikan tujuan menjadi ukuran untuk baik buruknya suatu tindakan. Dengan kata lain, suatu tindakan dinilai baik kalau bertujuan untuk mencapai sesuatu yang baik atau kalau akibat yang ditimbulkan baik. 64 Majid Fakhry membagi tipe teori Etika Islam kedalam empat kelompok65, yaitu: 1. Scriptual Morality; Keputusan-keputusan etika diambil dari Al-Qur’an dan al-Sunnah dengan memanfaatkan abstraksi-abstraksi dan analisis-analisi para filsuf dan para teolog di bawah naungan metode-metode dan kategori-kategori diskursif yang berkembang pada abad VIII dan IX. Kelompok ini pada umumnya ditemukan pada Mufassiru,Muhadditsun dan Fuqoha’; 2. Theological Theories, Dasar keputusan etika mereka sepenuhnya pada alQur’an dan al-Sunnah. Tipe kelompok ini diwakili oleh Mu’tazilah dan Asy’ariyyah. 3. Philosopical Theories, Keputusan etika mereka sepenuhnya berakar dari tulisan Plato dan Aristoteles yang telah diinterpretasi oleh penulis-penulis Neo-Platonik dan Galen yang digabung dengan doktrin-doktrin Stoa,Platonik, Phitagorian dan Aristotelian. Tipe kelompok ini ditemukan secara jelas pada Ibnu Miskawaih dan penerusnya. 64 ibid 65Amril Mansur, Etika Islam Op.cit, h. 5 34 4. Religious Theories, Keputusan etika mereka berdasar dari Al-Qur’an, AlSunnah, konsep-konsep Theologis, Kategori-kategori filsafat dan sedikit sufis. Unsur utama pemikiran etika ini biasanya terkonsentrasi pada dunia dan manusia. Majid Fakhry menilai pemikiran Etika pada tipe ini lebih kompleks dan berciri islami. Diantara para tokoh kelompok ini; Hasan alBashri (W.78 M), Al-Mawardi (W.1058 M), Al-Ghazali (W. 1111 M), Fakhruddin al-Razi (W. 1209 M).66 3. Bagian – bagian Etika Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: 1. Etika Deskrptif Hanya melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan suatu kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif memelajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode tertentu. Etika ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi, psikologi, dll, jadi termasuk ilmu empiris, bukan filsafat.67 2.Etika Normatif Etika yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian (preskriptif: memerintahkan). Untuk itu ia mengadakan argumentasi, alasanalasan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif dibagi menjadi dua, etika umum yang memermasalahkan tema-tema umum, dan etika khusus yang menerapkan prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah manusia yang 66Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam, dalam Amril M, Etika Islam Telaah pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 5 67K. Bertens Op.cit. h. 15 baca http://filsafat.kompasiana.com/2010/02/18/etika-%E2%80%93filsafat-moral-sebuah-perkenalan/ 35 khusus, misalnya masalah kedokteran, penelitian. Etika khusus disebut juga etika terapan (applied ethics).68 3. Metaetika Meta berarti melampaui atau melebihi. Yang dibahas bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika bergerak pada tataran bahasa, atau memelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika dapat ditempatkan dalam wilayah filsafat analitis, dengan pelopornya antara lain filsuf Inggris George Moore (18731958). Filsafat analitis menganggap analisis bahasa sebagai bagian terpenting, bahkan satu-satunya, tugas filsafat.69 4. Sifat-Sifat Etika a. Non empiris Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.70 68 Ibid, h. 19 baca Lorens Bagus Kamus Filsafat Ibid,h. 219 69Ibid, 70 h. 20 K Bertens, Ibid, 36 b. Praktis Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tematema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb. 5. Teori Etika Menurut Ajaran Islam Istilah etika dalam ajaran Islam tidak sama dengan apa yang diartikan oleh para ilmuwan Barat. Bila etika barat sifatnya antroposentrik maka etika Islam bersifat teosentrik. Dalam etika Islam suatu perbuatan selalu dihubungkan dengan amal shaleh atau dosa, dengan pahala atau siksa, dengan surga atau neraka. 71 Butir-butir etika dalam Islam begitu banyak dalam al-Qur’an dan hadis, diantaranya: 1. Setiap perbuatan hendaknya didasarkan atas mencari ridha Allah (Q.S.2: 207)72, lillahi ta’ala, ikhlas karena Allah semata-mata. Perbuatan yang 71Tohari Musnamar, Op.cit h. 85 72 Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya 37 didasarkan atas mencari keridhaan Allah itu manfaatnya bukan bagi Allah, melainkan bagi individu yang bersangkutan. 2. Sesuatu yang baik selalu berasal dari Allah Subhanahu wata’ala., Sedangkan sesuatu hal atau nasib yang buruk merupakan akibat dari perbuatan atau kesalahan manusia sendiri (Q.S.4: 79)73 3. Terhadap hawa nafsu yang dimiliki oleh setiap orang, yang mendorong kearah pelampauan batas, Islam tidak mematikan atau memberi jalan buntu melainkan menyalurkannya, sesuai dengan norma-norma yang diridhai Allah. 4. Akal manusia itu terbatas. Agama tidak bertentangan dengan akal sehat. Berkali-kali terbukti apabila ajaran agama (Islam) yang nampaknya tidak diterima oleh akal manusia maka bukan ajaran agama yang tidak masuk akal melainkan manusia yang pada waktu itu belum sampai. 5. Manusia memiliki kehendak bebas (free will) dalam keterbatasannya sebagai makhluk yang fana dan lemah. Kehendak bebas itu tercermin dari niatnya, sehingga baik buruk sesuatu perbuatan itu tidak dinilai dari akibatnya melainkan dari niat yang mengawali perbuatan tersebut. 6. Manusia memiliki otonomi penuh dalam menentukan keyakinan hidupnya, termasuk apakah ia akan menjadi golongan orang muslim, kafir, musyrik, 73 Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi. 38 munafik, ahli kitab dan sebagainya. Tidak ada paksaan dalam agama, sebab sudah jelas mana petunjuk dan mana jalan yang sesat (Q.S. 2 : 256)74 7. Manusia memiliki kalbu atau hati nurani (Conscience) yang dapat memberikan pertimbangan-0pertimbangan moral (moral sense) dan cita rasa susila. Kalbu dapat tajam atau tumpul tergantung dari pemeliharaan diri. Apabila kalbu baik, baiklah orang itu. Apabila kalbu tidak dipelihara maka jahatlah orang itu. 8. Islam tidak memisahkan antara amal dengan ibadah. Setiap amal baik yang diawali dengan ucapan “Bismillahirrohmanirrohim” menjadi suatu ibadah. Dengan kata lain setiap perilaku manusia muslim selalu berhubungan dan dihubungkan dengan pengabdiannya kepada Allah SWT. 9. Sesuatu perbuatan adalah baik apabila sesuai dengan perintah Allah serta didasari atas niat baik (H.R. Sittah). Sesuatu perbuatan adalah buruk apabila melanggar larangan Allah, atau perbuatan baik tetapi diatasi atas niat yang buruk. 10. Kebaikan adalah keindahan akhlak, sedangkan tanda-tanda dosa adalah perasaan tidak enak serta merasa tidak senang apabila perbuatannya diketahui orang banyak. 74 Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. 39 11. Tujaun akhir hidup seorang muslim adalah pengabdian kepada Allah agar memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat serta terhindar dari siksa api neraka. 12. Kemuliaan seseorang muslim dihadapan Allah tidak diukur dari jabatannya, kekayaannya, keilmuan, dan sebagainya, melainkan dari takwanya kepada Allah (Q.S. 49:13)75 13. Sesama mu’min adalah saudara (Q.S. 49: 10) Sesama mu’min seperti tembok bangunan yang saling memperkuat satu sama lain. Kasih sayang merupakan dasar pergaulan sesama mu’min(Q.S.48: 29)76 14. Selain tauhid beserta rukun iman dan rukun Islam, Risalah yang terpenting yang dibawa oleh Nabi SAW ialah menyempurnakan akhlak yang mulia. Baik buruk, benar salah, halal haram, sunnat makruh, bahkan hal-hal yang mubah telah jelas diatur dan dinyatakan dalam al-Qur’an dan sunnah rasul. Islam mengutamakan dan menjunjung tinggi golongan yang posiitf (Ashabul yamin) daripada golongan yang negatif Ashabul Syimal) 75 Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. 40 15. Umat Islam adalah umat yang mengutamakan keselarasan, keserasian dan keseimbangan (Ummatan washata) Untuk menjadi saksi bagi manusia mengenai kebenaran dan keadilan (Q.S. 2:143)77. 16. Seorang muslim adalah pencinta kebenaran. D. Pendidikan Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “an” yang mengandung ati “perbuatan”. Istilah pendidikan semula dari bahasa Yunani, yaitu “ Paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Dalam Pendidikan Islam, pendidikan pada umumnya mengacu kepada term tarbiyah78, ta’lim79 dan ta’dib80. 77 Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. 78Kata Tarbiyah, berasal dari tiga kata, yaitu: Pertama,rabba-yarbu yang berarti bertambah, tumbuh, dan berkembang (Q.S. 30:39) Artinya : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Kedua, rabiya-yarba berarti menjadi besar. Ketiga, Rabba-Yarubbu berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun dan memelihara. Kata rabb dalam Q.S AL-Fatihah :2 (Alhamdulillahi Rabb al-‘Alamin) mempunyai kandungan makna yang berkonotasi dengan istilah al-Tarbiyah. Sebab kata rabb (Tuhan) dan Murabbi (Pendidik) berasal dari akar kata yang sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah pendidik Yang Maha Agung bagi seluruh alam semesta. Secara filosofis dari pengertian diatas proses pendidikan Islam adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai “Pendidik” seluruh cipyaan-Nya. Dalam konteks yang luas, pengertian pendidikan Islam yang dikandung dalam term al-Tarbiyah terdiri atas empat unsur, yaitu : 1. Memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa, 2. Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan, 3. Mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan, 4. Melaksanakan pendidikjan secara bertahap. Omar Muhammad al-Toumy al-Saibany dalam min asas al-Tarbiyat al-Islamiyah wa falsafah al-Islamiyah dalam Ramayulis dan samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Isla, Ibid h. 84-85. lihat Abu Luwis al-Yasu’i, Al- Munjid fi al-lughoh wa al-a’lam cet 42 (Beirut: Dar al-Masyriq,2007 ), h. 247 79 Kata Ta’lim berasal dari kata ‘ilm, yang berarti menangkap hakikat sesuatu. Istilah ini telah digunakan sejak periode awal pelkasanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan al-Tarbiyah maupun al-ta’dib. Rasyid Ridha mengartikan al-Ta’lim sebagai 41 2. Unsur-Unsur Pendidikan Menurut Abudin Nata, secara esensial pendidikan (Islam) –setidaknyaterdiri dari tiga unsur pokok; yakni pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan. Ketiga unsur ini akan membentuk suatu triangle, jika hilang salah satu komponen tersebut, maka hilanglah hakikat dari pendidikan Islam. a. Pendidik Kata pendidik berasal dari kata dasar didik, artinya memelihara, merawat dan memberi latihan agar seseoraang memiliki ilmu pengetahuan transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Argumentasinya didasarkan dengan merujuk pada QS.2 : 151 artinya: “Sebagaimana (Kami telah menyepurnakan nikmat kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul dinatara kamu yang mengajarkan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. 80 Menurut Al-Attas, istilah al-Ta’dib paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam. Konsep ini didasarkan pada hadis Nabi “Addabani Rabbi fa ahsana Ta’dibi. Kata Addaba dalam hadis ini dimaknai alAttas sebagai “mendidik”. Tarbiyah dalam pandangan al-Attas merupakan istilah yang dapat dianggap baru untuk member makna “pendidikan”. Secara semantic, istilah tersebut kurang tepat atau memadai untuk menjelaskan konsep pendidikan. Suatu istilah yang ditujuklan khusus bagi manusia. Pada dasarnya Tarbiyah member makna “memelihara”, mengarahkan”, member makan, mengembangkannya, memelihara menyebabkannya tumbuh dewasa. “menjaga” menjadikannya member hasil. Menjinakkan. Penerapannya dalam bahasa Arab tidak terbatas pada manusia saja, medan semantiknya melebar ke species lainnya, mineral, tumbuhan, hewan. Seseorang dapat mengaitkannya dengan perternakan sapi, peternakan ayam, pertambakan ikan, dan perkebunan, semua itu adalah bentuk-bentuk Tarbiyah. Pendidikan adalah sesuatu yang khusus untuk manusia, dan kegiatan yang terkait dan unsur kualitatif yang terkandung didalam pendidikan tidak sama dengan yang ada pada tarbiyah. Selain itu, Tarbiyah biasanya terkait dengan ide kepemilikan. Dan biasanya pemilik adalah pelaku tarbiyah terhadap objek tarbiyah, Tuhan, sang pemelihara, Sang Pemberi Rizki, Yang Maha Mengasihi. Tuan dan pemilik dari segala (Al-Rabb) telah pun menunjukkan kekuasaannya terhadap segalanya, sehingga tarbiyah merupakan sesuatu yang mesti dilakukan oleh manusia. Jika menyangkut tentang manusia biasanya orang tua merupakan pelaku tarbiyah terhadap anakanaknya. Ketika pelaksanaan tarbiyah diserahkan kepada negara terdapat bahaya yang membuat pendidikan menjadi sebuah kegiatan sekular, yang kenyataannya memang telah terjadi. Lebih jauh lagi tujuan tarbiyah biasanya bversifat fisik dan kebendaan karena ia hanya berhubung dengan pertumbuhan yang bersifat fisikal dan kebendaan. Kita semua mengetahui bahwasanya inti dari proses pendidikan adalah mencapai tujuan yang terbaik dengan akal sesuatu yang hanya ada pada diri manusia. Jadi kita harus memilih istilah yang tepat untuk pendidikan yang memenuhi maksud dan tujuan pendidikan yaitu menghasilkan orang-orang yang baik. Satu-satunya istilah yang tepat dan memadai untuk pendidikan adalah Ta’dib. Kesalahan dalam pemilihan dan pemakaian istilah yang digunakan untuk konsep kebudayaan, keagamaan dan spiritual dapat menyebabkan kebingungan dalam ilmu dari sudut teori maupun amalan. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Ibid, h. 192 42 seperti yang diharapkan. Dengan menambahkan awalan pe hingga menjadi pendidik, yang artinya orang yang mendidik. Secara terminologi, Pendidik menurut Ahmad tafsir adalah orang yang bertanggung jawab terhadap berlangsungnya proses pertumbuhan dan perkembangan potensi anak didik, baik potensi kognitif, afektif maupun potensi psikomotoriknya81. Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 bab I Pasal 6, dibedakan antara pendidik dengan tenaga kependidikan. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaismara, tutor, instruktur, fasilitator. Dalam UU RI No. 14 Th. 2005 tentang Guru dan Dosen yang dimaksud Guru adalah pendidik profesional82 dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. 81 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 74 82Dalam UU RI No. 14 Th. 2005 Bab I Pasal I point 4 Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. 43 Dalam konteks Pendidikan Islam, pendidik disebut Murabbi, muallim, muaddib, mudarris, muzakki, dan ustadz. Yang kesemuanya menyebar dalam al-Qur’an. b. Peserta Didik Peserta didik merupakan “raw material” ( bahan mentah) dalam proses transformasi dalam pendidikan. Sebagaimana disebutkan diatas bahwa salah satu tujuan dari Pendidikan yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik hingga menjadi manusia seutuhnya. Selain itu, Zakiah Daradjat, membagi manusia kepada tujuh dimensi pokok yang masing-masingnya dapat dibagi kepada dimensi-dimensi kecil.83 Semua dimensi tersebut harus tumbuh kembangkan melalui pendidikan Islam. Ketujuh dimensi tersebut adalah : dimensi fisik, akal, agama, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan, dan sosial kemasyarakatan. 1. Dimensi fisik (Kejiwaan) Fisik atau jasmani manusia terdiri atas organisme fisik yang lebih sempurna dibandingkan dengan organisme-organisme makhluk lain, sesuai dengan firman Allah ”: ”Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin : 4). Dalam pelaksanaan pendidikan Jasmani, di dalam al-Qur’an dan hadits prinsip-prinsip tentang pendidikan jasmani diantaranya : firman Allah : Bersihkan pakaianmu, jauhkanlah kejahatan. (QS. Al-Mudatsir; 4-) 83 Zakiah Daradjat, sebagaimana yang dikutip oleh Rayulis dan Samsul Nizar, op.cit, h. 174 44 Makan dan minumlah dan janganlah kamu berlebihan. Sesunguhnya Allah tidak suka orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al-A’raf : 31). dan sabda Rasulullah : ”Kebersihan itu adalah sebagian dari iman” 2. Dimensi Akal Al-Ishfahani, membagi akal manusia kepada dua macam, yaitu : a. Aql al-Mathbu, yaitu akal yang merupakan pancaran dari Allah sebagai fithrah ilahi b. Aql al-Masmu; yaitu akal yang merupakan kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia. Akal ini bersifat aktif dan berkembang sebatas kemampuan yang dimilikinya lewat bantuan proses perinderaan secara bebas. Dalam dunia pendidikan, fungsi akal dikenal dengan istilah kognitif. Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padananya knowing yang berarti mengetahui. Mendidik akal, tidak lain adalah mengaktualkan potensi dasarnya. Potensi dasar itu sudah ada sejak manusia lahir, tetapi masih berada dalam alternatif : berkembang menjadi akal yang baik, atau sebaliknya.84 3. Dimensi Keberagamaan Manusia adalah makhluk yang berketuhanan atau disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau disebut juga makhluk homoreligious (makhluk yang beragama). Berdasarkan hasil riset 84Ramayulis dan Samsul Nizar, op.cit, h. 178 45 dan observasi , hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat bahwa pada diri manusia mempunyai keinginan untuk mencintai dan dicintai tuhan.85 Islam memandang ada suatu kesamaan diantara sekian perbedaan manusia. Kesamaan itu tidak akan pernah berubah karena pengaruh ruang dan waktu, yaitu potensi dasar beriman (aqidah tauhid) kepada Allah. Aqidah tauhid merupakan fithrah manusia sejak mitsaq dengan Allah. Untuk itu, manusia pada prinsipnya selalu ingin kembali kepada sifat dasarnya meskipun dalam keadaan yang berbeda-beda. Pandangan Islam terhadap fithrah ini membedakan kerangka nilai dasar Pendidikan Islam dengan dasar pendidikan umum. Pandangan Islam terhadap kemanusiaan dapat dibagi atas tiga implikasi dasar, yaitu: Pertama, implikasi yang berkaitan dengan pendidikan dimasa depan, dimana pendidikan diarahkan untuk mengembangkan fithrah seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan materi. Kedua,tujuan (ultimate goal)pendidikan, yaitu mengantarkan peserta didik pada predikat muttaqin. Posisi ini akan tercapai bila manusia menjalankan fungsinya sebagai ’abd dan khalifah sekaligus secara harmonis. Ketiga, muatam materi dan metodologi pendidikan perlu integralistik dan disesuaikan dengan fithrah peserta didik sebagai manusia.86 85 Abdurrahman Saleh Abdullah, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis dan Samsul Nizar, op.cit, h. 179 86 Ibid, h. 180 46 4. Dimensi Akhlak Salah satu dimensi manusia yang sangat diutamakan dalam pendidikan Islam adalah akhlak. Pendidikan agama berkaitan erat dengan pendidikan akhlak, seorang muslim dikatakan sempurna dalam agamanya bila memiliki akhlak yang mulia. Dan tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah pembinaan akhlak al-karimah. Tujuan pendidikan akhlak dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, memiliki kemauan yang keras, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku perangai, bersifat bijaksana, beradab, ikhlas, jujur dan suci.87 5. Dimensi Rohani ( kejiwaan) Dimensi kejiwaan merupakan suatu dimensi yang sangat penting dan memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia agar dapat hidup sehat, tentram dan bahagia. Setiap manusia dalam hidupnya menginginkan kebahagiaan. Pada hakekatnya setiap usaha yang dilakukan manusia adalah dalam rangka mewujudkan kebahagiaan tersebut. Untuk mewujudkan kebahagiaan itudengan pendidikan agama. 6. Dimensi Seni (Keindahan) Dimensi seni pada diri manusia perlu ditumbuhkan karena keindahan dapat menggerakkan dan menenangkan batin, memenuhi relung-relung hati, meringankan beban kehidupan yang kadang menjemukan, serta lebih mampu menikmati kehidupan hidup. Seni bagi 87 182 Endang saifuddin Anshari, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis dan Samsul Nizar, ibid, h. 47 musliom adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan keimanan, bukan menjadi sesuatu yang dapat menimbulkan kelalaian, kemungkaran, dan kesombonganyang dibenci Allah dan manusia. Oleh karena itu, seorang pendidik hendaknya mampu mengarahkan peserta didiknya untuk dapat mengembangkan dimensi seni, baik dalam bentuk bimbingan untuk merasakan dan menghayati nilai-nilai seni yang ada pada alam ciptaan Allah.88 7. Dimensi Sosial Manusia adalah makhluk individual dan secara bersamaan adalah makhluk sosial. Dalam Islam tanggung jawab tidak terbatas pada perorangan, tapi juga sosial. Dalam al-Qur’an dan Hadits, ditemukan prinsip-prinsip tentang pendidikan sosial. Sebagaimana sabda Rasulullah : ”Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Maka ditanyakan oleh para sahabat: ” Siapakah ia ya Rasulullah, beliau menjawab: Orang yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia mengetahuinya. 3. Tujuan Pendidikan Dalam kaidah Ushuliyah dikatakan bahwa “Al-Umuru bimaqhasidiha” setiap tindakan dan aktifitas harus berorientasi kepada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. 88 Ibid 48 Bila Pendidikan dianggap sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan.89 Berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, berarti berbicara tentang-nilai-nilai ideal yang bercorak Islami. Hal ini mengandung makna bahwa tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah tujuan yang merealisasi idealitas Islami. Sedang idealitas Islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh Iman dan taqwa kepada Allah sebagi sumber dari segala sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati.90 Para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasi tujuan pendidikan Islam, diantaranya: 1. Syed Naquib al-Attas dalam “Aims and Objectives of Islamic Education” menghendaki tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik (Shalih).91 2. Munir Mursyi dalam “Al-Tarbiyah al-Islamiyyah Ashuluha wa Tathawwuruha fi Bilad al_Arabiyyah” menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan manusia yang sempurna (insan kamil). 3. Hasan Langgulung, Tujuan yang ingin dicapai dalam Pendidikan Islam yaitu, keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal fikiran (intelektual), diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik, 89 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 119 90Loc.cit 91Syed Muhammad Naquib al-Attas, Ibid, h. 191 49 yang meliputi aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa baik secara individual maupun kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan.92 4. Abdul Fattah Jalal yang menghendaki terwujudnya manusia sebagai hamba Allah (‘abd Allah) sebagai proses pendidikan. 5. Hamka, menyatakan tujuan Pendidikan Islam adalah “ mengenal dan mencari keridhoan Allah, membangun budipekerti untuk berakhlak mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna ditengah-tengan komunitas sosialnya.93 6. Mahmud Yunus, Menyatakan tujuan Pendidikan Islam adalah menyiapkan anak-anak agar diwaktu dewasa kelak mereka cakap melakukan pekerjaan dunia dan amalan akhirat, sehingga tercipta kebahagiaan di dunia dan akhirat.94 7. Athiyah al-Abrasyi menyimpulkan lima tujuan umum Pendidikan Islam, yaitu: Pertama pembentukan manusia yang berakhlak mulia (al-akhlaq al-karimah. Kedua, Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Ketiga, Persiapan untuk mencari rizki, Keempat, Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar. Kelima, Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknikal dan pertukangan.95 92 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan dalam Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan islam (Jakarta: Quantum Teaching, 2010), h. 152 93Hamka, Lembaga Hidup dalam dalam Samsul Nizar Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008) h. 117 94Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, dala Ramayulis dan Samsul Nizar, Op.cit, h. 326 95 Athiyah al-Abrasyi,Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa falsafatuha, dalam Ramayulis dan Samsul Nizar, Op.cit, h. 123-124 50 8. Al-Ghazali, Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapat kemegahan dunia.96 9. Ahli pendidikan Indonesia, memilih rumusan yang tidak kalah idealnya “manusia yang berkepribadian muslim”.97 10. Muhammad Omar al-Toumy al-Syaibany, menggariskan bahwa tujuan Pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlak al-karimah. Tujuan ini sama dan sebangun dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulan, yaitu “membimbing manusia agar berakhlak mulia”. Akhlak mulia tersebut diharapkan dapat tercermin dari sikap dan tingkah laku individu dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia dan sesama makhluk Allah, serta lingkungannya.98 11. Nahlawy, menunjukkan empat tujuan umum dalam pendidikan Islam, yaitu: Pertama, Pendidikan akal dan persiapan pikiran, Kedua, Menumbuhkan potensi-potensi dan bakat-bakatasal apada anak-anak, Ketiga, Menaruh perhatian pada kekuatan dan potensi generasi muda dan mendidikmereka sebaik-baiknya. Dan Keempat, Berusaha menyumbangkan segala potensipotensi dan bakat-bakat manusia. 12. Ibnu Sina, Tujuan Pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia yang berkepribadian akhlak mulia. 96 Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Quatum Teaching, 2010), h. 5 97Mohammad 98 Irfan dan Mastuki, Op.cit, h. 145 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 90 51 13. Al-Buthi menyebutkan tujuh macam tujuan pendidikan Islam, (1) Mencapai keridhaan Allah, menjauhi murka dan siksaan-Nya dan melaksanakan pengabdian yang tulus dan ikhlas kepada-Nya, (2) Mengangkat taraf akhlak dalam masyarakat berdasar pada agama yang diturunkan untuk membimbing masyarakatkearah yang diridhai-Nya, (3) Memupuk rasa cinta tanah airpada diri manusia, (4) Mengajar manusia kepada nilai-nilai dan akhlak yang mulia, (5) Mewujudkan ketentraman didalam jiwa dan akidah yang dalam; penyerahan dan kepatuhan yang ikhlas kepada Allah (6) Memelihara bahasa dan kesastraan Arab sebagi bahasa al-Qur’an (7) Meneguhkan perpaduan tanah air dan menyatukan barisan melalui usaha menghilangkan perselisihan.99 14. Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapat kemegahan dunia.100 Dari pendapat para ahli pendidikan diatas pada umumnya merumuskan tujuan umum pendidikan Islam terjebak pada perumusan yang sangat ideal, abstrak, dan kadang disfungsional atau bahkan bias. Kata-kata iman, taqwa, shalih,dan insan kamil, juga digunakan Sayyid Quthub, Sidi Gazalba dan sederet ahli Pendidikan Islam lainnya, dan kesemuanya itu memiliki makna yang luas dan mendalam. Keluasan dan kedalaman makna kata-kata itu yang kemudian 99 Abd al-Rahman An-Nahlawy,Usus al-tarbiyah al-Islamiyahwa thuruq tadrisiha, dalam Ramayulis dan Samsul Nizar, Op.cit, h. 124-125 100 Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Quatum Teaching, 2010), h. 5 52 menjadikan rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam masih bersifat umum dan ideal. Hal ini terjadi karena tidak ada standarisasi type of moslem personality yang bisa disepakati atau dirumuskan bersama.101 Ahmad Tafsir, menguraikan ciri-ciri pokok insan kamil (manusia sempurna), yakni : Pertama, Jasmani yang sehat serta kuat dan berketerampilan, Kedua, Cerdas serta pandai. Kecerdasan dan kepandaian dapat ditilik melalui indikator –indikator sebagai berikut: Pertama, Memiliki sains yang banyak dan berkualitas tinggi, sains adalah pengetahuan manusia yang merupakan produk indera dan akal; dalam sains kelihatan tinggi rendahnnya mutu akal. Kedua, Mampu memahami dan menghasilkan filsafat. Berbeda dari sains, filsafat adalah jenis pengetahuan yang semata-mata akliah. Dengan ini, orang Islam akan mampu memecahkan masalah filosofis. Ciri yang lain Insan Kamil yang ketiga, Rohani yang berkualitas tinggi atau hati penuh Iman kepada Allah. Rohani itu samar, ruwet, belum jelas batasannya; manusia belum memilki cukup pengetahuan untuk mengetahui hakikatnya. Dalam buku Tashawwuf dan pendidikan Islam menyebutnya qalb102 Rasulullah SAW bersabda “Takhallaqu bi akhlaqillah” Berperilakulah dengan sifat-sifat Allah. Menjadikan sifat-sifat Allah sebagai sumber gagasan yang mewarnai pembentukan kepribadian karena manusia diciptakan untuk mengambil Tuhan sebagai prototipenya dan mewujudkan kemballi akhlak Tuhan dalam kehidupan dan kebudayaan. Konsep Takhallaqu bi Akhlaqillah merupakan paradigma agung yang bisa memandu manusia dalam berakhlak. Maka pendidikan 101 Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Op.cit, h. 145 Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005), 102Ahmad h. 46 53 dengan berbagai komponennya harus mampu menciptakan suasana yang senantiasa mencerminkan akhlak mulia (akhlak Allah) yang dilakukan oleh para pelaku pendidikan yang berakhlak dengan akhlak Allah pula sehingga output-nya pun dipastikan berakhlak Allah pula (akhlak al karimah). Ayat lain menyebutkan bahwa manusia dianjurkan untuk memiliki sifatsifat Ilahi dalam wujud akhlak Islami, Manusia dianjurkan berbuat baik kepada sesamanya sebagaimana Allah berbuat baik kepadanya 103. Kebaikan Allah kepada manusia dinyatakan dalam perwujudan sifat-sifat-Nya yang luhur dan sempurna. Karena itu kebaikan manusia terhadap sesamanya harus dimanifestasikan dalam bentuk pelahiran dan perwujudan kembali sifat-sifat ilahi dalam kehidupan. 103 dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(QS.28:77) 54 BAB III BIOGRAFI IMAM NAWAWI a. Kelahiran dan Dinamika Intelektual Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Marri al-Khazami al-Nawawi AdDimasyqiy. Lahir di Nawa Damascus pada bulan Muharram tahun 631 H/Oktober 1233 M. 1 Dididik oleh ayahnya yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Nawawi mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh. An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilminya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-Rawahiyyah didekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin menghafal banyak hal. Pada tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah dan menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk mengambil gaji. Beliau digelari Muhyiddin ( yang menghidupkan agama ) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama Islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu dalam 1 Ensiklopedi Islam Jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1997), h. 22 54 55 ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus. b. Karya tulisnya Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya: 1. Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab ( ) Kitab ini merupakan referensi fikih terbesar madzhab Asy-Syafi'i secara khusus dan fikih Islam secara umum dan merupakan panduan hukum Islam yang lengkap. Kitab yang sangat monumental ini memiliki karakter khusus yang membuatnya berbeda dari segi metodologi ilmu yang akurat, sehingga membuatnya berada di tempat teratas dibanding ensklopedi-ensiklopedi fikih lainnya, baik klasik maupun kontemporer.Tidak diragukan lagi, kitab Al Majmu' merupakan khazanah terbesar bidang fikih Islam yang isinya menjelaskan konsep-konsep dasar dari hukum Islam yang membuat para ulama setelahnya kagum. Kitab Al Majmu' berbeda dari kitab-kitab fikih induk lainnya, dimana cakupan isinya memuat seluruh pendapat-pendapat madzhab berikut dalil dalilnya disamping menyebutkan pentarjihan diantara pendapat-pendapat ini. Tak ada yang paling menunjukkan keluasan wawasan An-Nawawi dan kedalaman ilmunya selain dari penjelasannya terhadap isi kitab Al Muhadzdzab karya Asy-Syirazi yang berjumlah sekitar 120 halaman menjadi 9 jilid kitab Al Majmu'. Namun 55 56 sayangnya ia meninggal dunia lebih cepat sebelum sempat menyelesaikan Syarh Al Muhadzdzab berdasarkan methodologi ilmiah yang telah ia tetapkan dan dipegangnya, Dari pen-takkrij-an hadits-hadits hukum, penjelasan maknanya, penyebutan seluruh pendapat para imam dari kalangan ahli fikih dan pentarjihan diantara pendapat-pendapat tersebut serta madzhab-madzhab mereka, penjelasan kecacatan hadits, status hadits dan biografi para perawinya, penafsiran kalimat-kalimat yang langka dari Al Qur'an dan hadits serta penjelasan kosa kata yang terdapat dalam redaksi kitab Al Muhadzdzab, membuat kitab Al Majmu' benar-benar merupakan ensiklopedi umum dalam bidang fikih, hukum, tafsir ayatayat Al Qur'an dan hadits, keunikan bahasa serta biografi para ulama terkemuka dari kalangan perawi dan ahli hadits.2 2. Minhaj ath-Thalibin ()ﻣﻨﻬﺎج اﻟﻄﺎﻟﺒﲔ وﻋﻤﺪة اﳌﻔﺘﲔ ﰲ ﻓﻘﻪ اﻹﻣﺎم اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ. Kitab ini memiliki banyak kelebihan dan keutamaan, karena didalamnya terdapat permaslahan-permasalahan fiqh yang dibahas secara terperinci.3 3. Tahdzib al-Asma ( ). Kitab ini terdiri dari dua bagian, Pertama, al-Asma’ (Nama), kedua, alLughot (Bahasa). Pada bagian Asma’ Imam Nawawi membaginya menjadi dua bagian, bagian laki-laki dan bagian perempuan. Yang pertama terdiri dari delapan bagian nama-nama baik bagi anak laki-laki, yakni: Pertama, Muhammad,Ibrahim, Isma’il dan Ishaq. Kedua, Abi Qasim, Abi Bakar. Ketiga,Keturunan, Sebutan atau 2http://al-aisar.com/content/view/830/413/ 3 http://read.kitabklasik.co.cc/2009/06/minhaj-al-thalibin-wa-umdat-al-muftin.html 56 57 panggilan dan kabilah, seperti Zuhriyi, Quraish, dan Khuza’ah. Keempat, Apa yang disebut fulan anak fulan atau saudaranya, Kelima, Apa yang biasa disebut si fulan, Keenam, Suami fulanah atau istri si fulan. Ketujuh, al-Mubhamat, seperti laki-laki, Syaikh. Dan yang Kedelapan tentang nama-nama dan keturunan yang jelek. Adapun bagian kedua, yaitu tentang nama-nama perempuan terdiri dari tujuh bagian. Pada bagian al-Lughat, lafadz disusun sesuai index huruf 4. Taqrib al-Taisir ()اﻟﺘﻘﺮﻳﺐ واﻟﺘﻴﺴﲑ ﳌﻌﺮﻓﺔ ﺳﻨﻦ اﻟﺒﺸﲑ اﻟﻨﺬﻳﺮ, Buku tentang pengantar studi hadits Ibn Sholah. Buku yang sangat bagus tetapi, banyak istilah-istilah yang tidak jelas, dan dijelaskan oleh al-Syuyuthi dalam periwayatan hadis.4 5. Al-Arba'in an-Nawawiyah ()اﻷرﺑﻌﲔ اﻟﻨﻮوﻳﺔ, kumpulan 40 -tepatnya 42- hadits shahih. Sebagian besar hadits ini diambil oleh Imam Nawawi dari Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, 5 dengan membuang sebagian sanadnya, agar lebih mudah dipahami dan bermanfaat bagi semua kalangan. Kitab Al-Arba'in an-Nawawiyah disusun berdasarkan hadis nabi yang bersumber dari Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Abu Huroirohdan Abu Sa’id al-Khudry ra6. Ke-empat puluh hadits tersebut yitu tentang: pahala amal tergantung niatnya, Tingkatan agama Islam (Iman, Islam dan Ihsan), 4 http://www.sfhatk.com/vb/showthread.php?t=11337 5Imam 6 Nawawi, Hadits Arba’in (Jakarta: Sholahuddin Press, 2007) h. 9 ﻆ ِﻣ ْﻦ أُﻣ ِﱠﱴ أ َْرﺑَﻌِْﯩ َﻦ َﺣ ِﺪﻳْـﺜًﺎ ِﻣ ْﻦ أَْﻣ ِﺮ ِدﻳْﻨِﻬَﺎ ﺑـَ َﻌﺜَﻪَ اﷲ ﻳـ َْﻮَم اﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ِﰱ ُزْﻣَﺮةِ اﻟ ُﻔ َﻘ َﻬﺎء و اﻟﻌﻠَﻤَﺎ ِء َ َﻣ ْﻦ َﺣ ِﻔ Artinya “Barangsiapa diantara umatku hafal empat puluh hadits tentang agamanya, maka pada hari kiamat kelak ia akan dibangkitkan dalam kelompok ahli fiqh dan para ulama. 57 58 Rukun Islam, Tahapan penciptaan manusia dan garis taqdirnya, Bid’ah dalam agama, Halal dan Haram, Agama adalah nasihat, Hak asasi seorang muslim, Jauhi larangan dan laksanakan perintah, Tidak diterima kecuali yang baik, Tinggalkan yang meragukan, Kesempurnaan Islam seseorang, Kewajiban mencintai sesame muslim, Lrangan membunuih seorang muslim, Berkata yang baik atau diam, Jangan marah, Berkata baik dalam segala hal, Bertakwa dimanapun berada, Pertolongan dan perlindungan Allah, Berbuatlah sesuka hati, Istiqomah dan iman, Jalan menuju surge, Kebersihan sebagian dari iman, Larangan berbuat zalim, jalan untuk beramal, Sedekah bagi setiap ruas tulang, Kebajikan dan dosa, Nasihat perpisahan, Amalan yang dapat menghantarkan ke surge, Allah telah menetapkan kewajiban, Hakikat zuhud, Larangan berbuat mudharat, Menuduh harus dengan bukti dan sumpah bagi yang mengingkari, kewajiban mengubah kemungkaran, larangan saling mendengki, Balaasan bagi orang yang meringankan beban orang lain, Pahala kebaikan berlipat ganda, Menjadi wali Allah, Kesalahan yang diampuni, Jadilah orang asing, Mengikuti ajaran Rasul dan Allah Pengampun segala dosa.7 6. Syarh Shahih Muslim ()ﺷﺮح ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ, Penjelasan kitab Shahih Muslim bin al-Hajjaj. 7. Ma Tamas Ilaihi Hajah al-Qari li Shahih al-Bukhari ( ﻣﺎ ﺗﻤﺲ إﻟﯿﮫ ﺣﺎﺟﺔ اﻟﻘﺎري ﻟﺼـﺤﻴﺢ )اﻟﺒـﺨﺎري. Kitab Syarh Nawawi untuk hadits Bukhari, akan tetapi Imam Nawawi 7Imam Nawawi, Ibid 58 59 hanya selesai menulis sampai Bab Ilmu. Karena sang Imam mrninggal dunia sebelum menyelesaikan kitab ini., dan diteruskan oleh Ali Hasan Ali Abdul Hamid. 8. Riyadhus Shalihin ()رﻳﺎض اﻟﺼﺎﳊﲔ, kumpulan hadits mengenai etika, sikap dan tingkah laku yang saat ini banyak digunakan di dunia Islam. Kitab ini terdiri dari 17 kitab, 265 bab dan 1897 hadits, Imam Nawawi membuka mayoritas babnya dengan menyebut ayat-ayat dari Al Quran yang sesuai dengan pembahasan hadits yang ada lalu membuat tertib dan bab yang saling berhubungan sehingga kitab ini bisa mengalahkan selainnya dari kitab-kitab yang serupa dengannya. Kitab Riyadhush Shalihin ini memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki kitab selainnya dari kitab-kitab Sunnah dan dia benar-benar bekal bagi penasihat, permata bagi yang menerima nasihat, pelita bagi orang yang mengambil petunjuk dan taman orang-orang sholih. Hal inilah yang menjadi sebab mendapatkan kedudukan yang tinggi di kalangan ulama sehingga mereka memberikan syarah, komentar dan mengajarkannya di halaqoh-halaqoh mereka. 9. Tahrir al-Tanbih ()ﺗﺤﺮﯾﺮ اﻟﺘﻨﺒﯿﮫ. Judul asli buku ini adalah Syarhu lughawi likitab Jalil fi al-fiqh tanbih li alImam Syairozi, Imam Nawawi memandang Kitab Fiqh Syairozi ini merupakan referens dari segala referens tentang permasalahan fiqh. Telah disyarah oleh Imam nawawi salah satunya al-Muhadzhab dan yang kedua al-Tanbih 10. Al-Adzkar ()اﻷذﻛﺎر اﻟﻤﻨﺘﺨﺒﺔ ﻣﻦ ﻛﻼم ﺳﯿﺪ اﻷﺑﺮار, kumpulan doa Rasulullah. Kitab panduan wirid dan doa yang telah dikenal umat Islam di seluruh dunia sejak berabad-abad itu memang pantas menduduki rangking atas di antara 59 60 kitab-kitab klasik lain, karena memuat ensiklopedi dzikir yang ma 'tsur dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam. Namun, di dalam kitab tersebut terdapat kekurangan yang perlu diketahui, yaitu masih dicantumkannya hadits-hadits, dengan alasan sebagian ulama ahli hadits masih membolehkan mengamalkan hadits dhaif dalam masalah fadha-ilul amal atau keutamaan amal.8 11. At-Tibyan fi Adab Hamalah al-Quran ()اﻟﺘﺒﯿﺎن ﻓﻲ آداب ﺣﻤﻠﺔ اﻟﻘﺮآن. Kitab ini ini membahas perkara-perkara yang sangat penting diketahui oleh setiap orang Islam karena kitab ini membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan adab kita menjalin interaksi dengan kitab suci Al-Qur’an alKarim. Dalam garis besarnya, kitab ini mengandung sembilan bagian dan sebuah mukadimah yang menjelaskan secara ringkas latar-belakang dan kandungan kitab ini secara keseluruhan. Kemudian diteruskan dengan riwayat hidup Imam Nawawi. Adapun kesembilan bagian yang menjadi inti kitab ini adalah: • Keutamaan Membaca dan Mengkaji Al-Qur’an • Kelebihan Orang Yang Membaca Al-Qur’an • Menghormati dan Memuliakan Golongan Al-Qur’an • Panduan Mengajar dan Belajar Al-Qur’an • Panduan Menghafaz Al-Qur’an • Adab dan Etika Membaca Al-Qur’an • Adab Berinteraksi Dengan Al-Qur’an 8 http://buku-islam.com/detail.php?item_id=1722 60 61 • Ayat dan Surat Yang Diutamakan Membacanya pada Waktu-Waktu Tertentu • Riwayat Penulisan Mushaf Al-Qur’an 12. At-Tarkhis bi al-Qiyam ()اﻟﺘﺮﺧﯿﺺ ﺑﺎﻟﻘﯿﺎم ﻟﺬوي اﻟﻔﻀﻞ واﻟﻤﺰﯾﺔ ﻣﻦ أھﻞ اﻹﺳﻼم. Berisi tentang pengaruh yang terdapat pada orang –orang yang memiliki keutamaan, dan keutamaan-keutamaan bagi umat Islam 13. Matn al-Idhah fi al-Manasik ()ﻣﺘﻦ اﻹﯾﻀﺎح ﻓﻲ اﻟﻤﻨﺎﺳﻚ, Kitab ini membahas tentang fiqh Islam khususnya tentang huku-hukum haji, manasik dan bagian-bagiannya. Dan disebutkan didalamnya tentang tata cara haji yang benar dan hal-hal yang dapat merusak ibadah haji, kewajiban— kewajiban, etika, hal-hal yang disunnahkan secara terperinci. Penjelasan tentang tanah haram, makkah, dan ka’bah. Dan apa-apa saja yang berkaitan dengan haji dari hukum-hukum, dan keutamaan-keutamaan haji dari ibadah yang lain. Dilengkapi dengan tujuan-tujuannya dan segla sesuatu yang dibutuhkan baik dari asas dan cabang-cabangnya dan tata-cara pelaksanaannya.9 c. Adab al-Alim wa al-Muta’allim Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim wa al-Mufti wa al-Mustafti, cetakan pertama pada tahun 1408 H/ 1987 M di maktabah shohabah Tonto10. Buku ini terdiri atas lima bab. Ia memulai buku ini dengan memaparkan tentang ikhlas dan jujur serta 9 http://www.3lsooot.com/booksmall/vbook10412.html 10Kota di Mesir tengah Delta, terkenal dengan Makam Sayyid Ahmad Badawy , Pemintalan benang, tenun, minyak sabun dsb. Abu Luwis Makhluf, Al-Munjid fi al-lughoh wa al-a’lam (Beirut : Darul Masyriq, 2007),h. 358 61 62 niat dalam setiap pekerjaan baik zahir maupun tersembunyi. Pada bab pertama tentang keutamaan menuntut ilmu dan menulisnya, belajar dan mengajar serta perintah menuntut ilmu dan memberikan petunjuk kepada jalannya. Bab kedua berisikan tentang pembagian ilmu syar’i. Menurut Imam Nawawi ilmu Syar’i terbagi menjadi tiga, pertama, Fardhu ‘Ain seperti : tatacara wudhu dan sholat dan lain sebagainya. Kedua Fardhu Kifayah adalah ilmu-ilmu yang harus bagi manusia dalam menegakkan agama seperti menghapal al-Qur’an dan Hadits dan ilmuilmunya, Ushul, Fiqh, Nawu, Bahasa, Shorof dan pengetahuan tentang riwayat Hadits. Sedangkan ilmu yang bukan Syar’i dan dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup duniaseperti kedokteran, Berhitung maka hukumnya adalah Fardhu kifayah. Ketiga al-Nafl, seperti menguasai asas-asas dalil. Bab ketiga berisi tentang etika guru, Bab Keempat tentang etika murid, dan bab kelima tentang etika berfatwa. Adapun yang akan dibahas pada penulisan ini pada Bab III dan bab IV yaitu tentang Etika Guru dan etika Murid. Dalam Adab Alim wa al-Muta’allim ini, sebagai referens utama adalah al-Qur’an dan Hadits dan mengutip dari ucapan para ulama-ulama madzahib seperti : Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Malik, Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Jami’ li adabi ar-rawi wa asy-sami’ dan lain sebagainya. d. UU RI No. 14 Th. 2005 Tentang Guru dan Dosen Undang-Undang Republik Indonesia No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disahkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2005 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono dan Menteri Hukum dan HAM ad Interim Yusril Ihza Mahendra. 62 63 UU Guru dan Dosen terdiri dari 84 pasal. Secara garis besar, isi dari UU ini dapat dibagi dalam beberapa bagian. Pertama, pasal-pasal yang membahas tentang penjelasan umum (7 pasal) yang terdiri dari: a. Ketentuan Umum b. Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan, dan c. Prinsip Profesionalitas. Kedua, pasal-pasal yang membahas tentang guru (37 pasal) yang terdiri dari: a. Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi, b. Hak dan Kewajiban c. Wajib Kerja dan Ikatan Dinas, d. Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian, e. Pembinaab dan Pengembangan, f. Penghargaan, g. Perlindungan, h. Cuti dan i. Organisasi Profesi. Ketiga, pasal-pasal yang membahas tentang dosen (32 pasal) yang terdiri dari: a. Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik, b. Hak dan Kewajiban Dosen, c. Wajib Kerja dan Ikatan Dinas, d. Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian, e. Pembinaan dan Pengembangan, 63 64 f. Penghargaan, g. Perlindungan, dan h. Cuti. Keempat, pasal-pasal yang membahas tentang sanksi (3 pasal). Kelima, bagian akhir yang terdiri dari Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup (5 Pasal). Dari seluruh pasal tersebut diatas pada umumnya mengacu pada penciptaan Guru dan Dosen Profesional dengan kesejahteraan yang lebih baik tanpa melupakan hak dan kewajibannya. e. PP RI No. 17 Th. 2010 Peraturan pemerintah Republik Indonesia No 17 Th. 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan pendidikan ditetapkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Januari 2010 oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono dan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Patrialis Akbar. PP initerdiri dari 18 Bab dan 222 Pasal. Adapun yang akan dibahas pada penulisan ini yaitu Pada Bab XI Pasal 169 tentang Kewajiban peserta didik . 64 65 BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISA DATA A. ETIKA GURU DAN MURID MENURUT IMAM NAWAWI Pada Bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa secara esensial pendidikan Islam terdiri dari tiga unsur pokok; yakni pendidik, peserta didik dan tujuan pendidikan. Bagi etika manusia dipandang dari segi baik buruk perilakunya, diukur dengan kriteria tertentu. Sedangkan bagi ilmu pendidikan manusia dipandang dari segi kemungkinan-kemungkinan pengembangannya untuk menjadi manusia seutuhnya. Berdasarkan pemikiran tersebut maka pada Bab ini hanya membahas Etika Guru dan Murid sebagai subjek dalam pendidikan. Etika guru menurut Imam Nawawi terdiri dari: Etika guru terhadap murid, Etika guru terhadap Ilmu, dan Etika guru terhadap sesama. Adapun etika murid dalam pembahasan ini mencakup : Etika bagi seorang murid, Etika murid terhadap guru, Etika murid dalam belajar, dan etika murid terhadap sesama. 1. Etika Guru a. Etika Personal Guru Yang dimaksud etika personal yakni, etika didasarkan pada keharusan individu untuk memfokuskan diri dengan tindakan apa yang dirasa baik untuk dirinya dan lingkungannya 66 Orang Muslim meyakini bahwa kebahagiaannya di dunia dan akhirat sangat ditentukan oleh sejauh mana pembinaan terhadap dirinya, perbaikan, dan penyucian dirinya.1 Imam Nawawi dalam muqoddimatu al-majmu’ adab al-‘alim wa alMuta’allim menjelaskan beberapa etika guru terhadap dirinya َﻼل اﳊَ ِﻤْﻴﺪَة َُﺎﺳ ِﻦ اﻟﱴ َوَرَد اﻟﺸ ْﱠﺮع ِ أَ ْن ﻳـَﺘَ َﺨﻠﱠ َﻖ ﺑِﺎﳌَﺤ .1 و, و اﻟﺼ ِﱪ,اﻟﱴ ار ّﺷ َﺪ إِﻟَْﻴـﻬَﺎﻣﻦ اﻟﺘَـَﺰُﻫ ِﺪ ِﰱ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ ِ َاﳌَﺮ ِﺿﻴﱠﺔ ْ اﻟﺸﻴَ ِﻢ ِ و ُﻮع ِ و اﳋُﻀ,ﺿ ِﻊ ُ و اﻟﺘﻮا, واﻟ ِﻮﻗَﺎ ِر, واﻟﺴ ِﻜْﻴـﻨَﯩ ِﺔ,ُﻮع ِ و اﳋُﺸ,ﻣﻼزﻣ ِﺔ اﻟ َﻮَرِع Hendaklah seorang guru berakhlak mulia sesuai dengan syari’at, dan mengisi diri dengan tabiat mulia yakni, dengan sifat Zuhud2, Sabar3, wara’4, khusyu’, tenang, Tawadhu', dan tunduk.5 1 Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.(Q.S: As-Syams : 9-10) 2 Zuhud menurut bahasa, zahidha fiihi wa ‘anhu, zuhdan wa zahaadatan artinya berpaling dari sesuatu. Ibnul Jauzy mengatakan azzuhud merupakan ungkapan tentang pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lain yang lebih baik darinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Zuhud adalah menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat. Baca atmaulana.blogspot.com dipost hari Rabu 27 Januari 2010 3Maksud bersabar ialah sabar karena ingin menggapai ridha Allah dan menadapatkan pahala-Nya Dan orang-orang yang sabar Karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),(Q.S ArRa’d: 22) 4 Menurut pengertian terminologis, al-wara’ artinya menahan diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan mudharat lalu menyeretnya kepada hal-hal yang haram dan syubhat. 5 Imam Nawawi, Adab al ‘Aim wa al-Muta’allim fi Muqoddimatu al-Majmu’ Terjemahan Sri Andryani Hamid (Jeninah Barat : Tonto, 1987), h. 29-42 67 ات ِ ْﺢ و اﻟﺘَـ ْﻬﻠِﻴ ِْﻞ و َْﳓﻮَﳘَُﺎ ﻣﻦ اﻷَذْﻛَﺎ ِر و اﻟﺪﱠﻋﻮ ِ ْﺚ اﻟﺘﱠ ْﺴﺒِﻴ َ ا ْﺳﺘِﻌﻤَﺎﻟُﻪُ أَﺣَﺎ ِدﻳ .2 َﺎت ِ اﻵداب اﻟﺸ ْﱠﺮ ِﻋﻴ ِ َو ﺳَﺎﺋِِﺮ Selalu bertasbih, tahlil dan lain sebagainya dari dzikir dan do’a-do’a dan Adab-adab yang disyari’atkan6. واﻟﻨﱠـﻮَاﻓ ِِﻞ,دَوَا ُم ُﻣﺮَاﻗَـﺒَﺔُ اﷲ ﰱ ﻋ ََﻼﻧِﻴﱠﺘِ ِﻪ َو ِﺳﱢﺮﻩِ ﳏَُﺎﻓِﻈًﺎ َﻋ َﻞ ﻗَِﺮأَةِ اﻟﻘُﺮْآ ِن .3 ِ َﻣﻌُﻮﻻً َﻋﻠَﻰ اﷲِ ﺗَـﻌَﺎﱃ ِﰱ ُﻛ ﱢﻞ أَْﻣ ِﺮﻩ,اﻟﺼﱠﻠﻮات واﻟﺼﱠﻮِْم Selalu merasa akan pengawasan Allah (Muroqobatullah) baik secara zahir maupun tersembunyi, menjaga bacaan al-Qur’an, Mendirikan sholat dan puasa Sunnah, selalu bersandar kepada Allah dan menyerahkan segala urusan.7 ٌْﺲ اﻷَ ْﻣ ِﺮ وﻟَﻜِ ْﻦ ﻇَﺎﻫِﺮﻩ أَﻧﱠﻪُ َﺣﺮَام ِ َﺤْﻴﺤًﺎ ﺟَﺎﺋِﺰًا ِﰱ ﻧـَﻔ ِ أَﻧﱠﻪُ إِذَا ﻓَـ َﻌ َﻞ ﻓِﻌ ًْﻼ ﺻ .4 ِﻚ َ ِﻚ ﲝَِ ِﻘْﻴـ َﻘ ِﺔ ذَاﻟ َ ﺻ َﺤﺎﺑَﻪُ َوَﻣ ْﻦ ﻳـَﺮَاﻩُ ﻳـَ ْﻔ َﻌ ُﻞ ذَاﻟ ْ َُْﱪﻩُ أ َِأ َْو َﻣ ْﻜﺮُوﻩٌ ﻓَـﻴَـْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﳜ . ِﻞ ِ ﻟِﺌَﻼَ ﻳَﺄْﲦَُﻮا ﺑِﻈَﻨﱢ ِﻬ ْﻢ اﻟﺒﺎَﻃ,اﻟﻔِﻌ ُﻞ Apabila seorang guru hendak melakukan sesuatu perbuatan yang dianggapnya benar dan boleh, namun pada hakikatnya pekerjaan tersebut haram atau makruh, hendaklah ia menanyakan kebenaran perbuatan tersebut, agar ia tidak melakukan perbuatan dosa dengan prasangka yang salah.8 6 Imam Nawawi Terjemahan Sri Andryani Hamid, Ibid, h. 31 Loc. cit. 8 Loc. cit. 7 68 َو َﻋْﻴـﻨَـْﻴ ِﻪ َﻋ ْﻦ ﺗَـ ْﻔ ِﺮﻳ ِْﻖ اﻟﻨﻈﺮ ﺑﻼ ﺣﺎ َﺟ ٍﺔ,َﺚ ِ َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳَﺼُﻮ َن ﻳَ َﺪﻳْﻪ َﻋ ِﻦ اﻟ َﻌﺒ .5 Menjaga tangannya dari perbuatan sia-sia dan menjaga mata dari pandangan tanpa ada kebutuhan9 b. Etika Guru dalam Mengajar ْض ُدﻧْـﻴَ ِﻮ ٍى ِ ﺼ َﺪ ﺗَـ َﻮﺻ ًُﻼ إ َِﱃ ﻏَﺮ َ وََﻻ ﻳـُ ْﻘ,ﺼ َﺪ ﺑِﺘَـ ْﻌﻠِْﻴ ِﻤ ِﻪ َو ْﺟﻪَ اﷲ ﺗَـ َﻌ َﺎﱃ َ أَ ْن ﻳـُ ْﻘ .1 ِﻚ َ أ َْو َﺷ ْﻬَﺮةٍ أ َْو ﲰُْ َﻌ ٍﺔ أ َْو ﳓَْﻮ ذَاﻟ,ٍ ا َْو ﺟَﺎﻩ,َﺎل ٍ ﺼْﻴﻞ ﻣ ِ َﻛﺘَ ْﺤ Hendaklah seorang guru menanamkan niat dan tujuan dalam mengajar lillahi ta’ala, mencari keridhaan Allah, dan tidak berorientasi duniawi seperti harta, kedudukan, prestise atau sum’ah10. ﺎب ِ ِﺊ اﻻﻛﺘِ َﺴ ِ و اﻟﺘَـﻨَـ ُﺰﻩُ َﻋ ْﻦ َدﻧ .2 Menjauhi dari pekerjaan yang hina11 ًَﺎل ﺑِﺎﻟﻌِْﻠ ِﻢ ﻗَِﺮأَةً و إِﻗْﺮاءًا و ُﻣﻄَﺎﻟَ َﻌﺔ ِ َال ُْﳎﺘَ ِﻬﺪًا ِﰱ اﻻ ْﺷﺘِﻐ ُ ﻓَـﻴَـْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن َﻻ ﻳـَﺰ .3 .ﺼﻨِْﻴـﻔًﺎ ْ َو ﺗَـ ْﻌﻠِْﻴـﻘًﺎ و ُﻣﺒَ َﺤﺜَﺔ و ُﻣﺬَاﻛﺮة و ﺗ Hendaklah seorang guru selalu giat dan sibuk dengan ilmu menela’ah, membahas, mengingat dan menerbitkan karya. Dan tidak malu untuk bertanya.12 9 Ibid, h. 40 ibid, h. 29-42 10 11 Dan orang-orang yang menjauhkan diri 12Imam dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, (Q.S. Almu’minun:3) Nawawi, ibid. h. 32 69 ْﻼ ﺑِﺈﻟْﻘَﺎﺋِِﻪ إ َِﱃ ُﻣْﺘﻐِْﻴ ِﻪ ً ﺼﻠَﻪُ ِﻣ َﻦ اﻟﻌِْﻠ ِﻢ َﺳﻬ َ ْل ﻣَﺎ َﺣ ِ َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أ ْن ﻳَﻜُﻮ َن ﲰَْﺤًﺎ ﺑِﺒَﺬ .4 .ﱠﺎت ِ ﺼْﻴ َﺤ ٍﺔ َو إ ِْرﺷَﺎ ٍد إ َِﱃ اﳌُِﻬﻤ ِ َﻣُﺘﻠﻄﻔًﺎ ِﰱ إِﻓَﺎ َدةِ ﻃﺎﻟﻴﺒِ ِﻪ َﻣ َﻊ ِرﻓ ٍْﻖ و ﻧ Hendaklah berkenan menyampaikan apa yang ia dapatkan dari ilmu dan mudah dalam menyampaikan kepada pendengarnya dengan lembut dan nasihat dan menunjukkan kepada point-point penting.13 .َاع اﻟﻌِْﻠ ِﻢ ﺷَﻴﺌًﺎ َْﳛﺘَﺎﺟُﻮ َن إِﻟَﻴﻪ ِ َوﻻَ ﻳُ َﺪ ﱢﺧ ُﺮ َﻋْﻨـ ُﻬ ْﻢ ِﻣ َﻦ أَﻧْـﻮ .5 Tidak menyembunyikan sesuatu dari ilmu yang dibutuhkan, ﻻَﻳَﻠِﻖ إِﻟَﻴْﻪ ﺷﻴﺌًﺎ َﱂْ ﻳـَﺘَﺄﻫﻞ ﻟﻪ .6 Jangan menyampaikan sesuatu yang ia belum ahli َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳَﻜُﻮ َن ﺑَﺎذًِﻻ,َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳَﻜُﻮ َن َﺣ ِﺮﻳْﺼًﺎ َﻋﻠَﻰ ﺗَـ ْﻌﻠِْﻴ ِﻤﻬِﻢ .7 .ِْﺐ اﻟﻔَﺎﺋِ َﺪة ِ ُو ْﺳ َﻌﻪُ ِﰱ ﺗَـ ْﻔ ِﻬْﻴ ِﻤ ِﻬ ْﻢ َو ﺗَـ ْﻘ ِﺮﻳ Hendaklah bersungguh-sungguh dalam mengeluarkan segala kemampuan untuk mengajar dan memahamkan dan mendekatkan manfaat dengan mengulangi makna dan lafadz yang rumit14. 13 14 Imam Nawawi Terj. Sri Andryani Hamid, Ibid, h. 35 Ibid, h. 36 70 َﺎب ﻧَ ِﻈْﻴـ َﻔ ٍﺔ ٍ ﺲ ﺑِﺜِﻴ ُ َ و ﻳـَ ْﻠﺒ,ﺲ ِﰱ ﻣ َْﻮ ِﺿ ٍﻊ ﻳـَْﺒـ ُﺮُز ﻓِْﻴ ِﻪ َو ْﺟ َﻬﻪُ ﻟِ ُﻜﻠﱢﻬِﻢ ُ َِﳚﻠ َْو .8 Duduk dengan tenang dan pada posisi yang bisa dilihat semua murid dan menggunakan pakaian bersih.15 َو َْﳛ َﻤ ُﺪ, ﰒ ﻳـُﺒَ ْﺴ ِﻤ ُﻞ,ْس ﺗِﻼوة ﻋَﻠﻰ َم ﺗَﻴ ﱠﺴَﺮ ﻣِﻦ اﻟﻘﺮآن ِ َوﻳـُ َﻘ ﱢﺪ ُم َﻋﻠَﻰ اﻟﺪﱠر .9 ﺼﻠﱢﻰ وﻳُ َﺴﻠﱢﻢ َﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱮ َ ُاﷲ ﺗَﻌﺎﱃ و ﻳ Memulai pelajaran dengan membaca apa yang mudah dari al-Qur’an, membaca Bismillah, memuji Allah dan Sholawat atas nabi.16 و ﻟِﻴَﻜُﻦ ﳎَْﻠﺴﻪ واﺳﻌًﺎ, َوﻻَ ﻳَﻄﻮل ﳎﻠﺴﻪ ﺗَﻄْﻮِﻳﻼً ﳝَِﻠُﻬﻢ.10 Tidak memperlama jam belajar, hingga bosan. Dan Hendaklah ruang kelas yang lapang17 َﺳ َﺦ ِغ ﻣِﻦ ﺗَـ ْﻌﻠِﻴﻤﻬﻢ أو اﻟﻘﺎء دَرس ﻋﻠَﻴﻬﻢ أﻣﺮَﻫﻢ ﺑِِﺈﻋَﺎ َدﺗِِﻪ ﻟِﻴُـﺮ َ َوإِذَا ﻓَـَﺮ .11 .ﺣﻔﻈِﻬﻢ ﳍﻢ Apabila telah selesai dalam menyampaikan pelajaran, hendaklah menyuruh murid untuk mengulangi kembali sehingga meresap18 15 Ibid, h. 41 Loc. cit 17 Loc.cit 18 Ibid, h. 43 16 71 c. Etika Guru terhadap Murid ,ْﺢ ِﰱ اﻟﻨﱢـﻴَ ِﺔ ٍ َﺤﻴ ِ َﲑ ﺻ َِِوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻻَ ﳝَْﺘَﻨِ َﻊ ِﻣ ْﻦ ﺗَـ ْﻌﻠِْﻴ ِﻢ أَ َﺣ ٍﺪ ﻟِﻜ َْﻮﻧِِﻪ ﻏ .1 .ْﺖ َﻛﺜِْﻴـٌﺮ ِﻣ َﻦ اﻟﻌِْﻠ ِﻢ ِ ﻓﺎﻻﻣﺘِﻨﺎع ِﻣ ْﻦ ﺗَـ ْﻌﻠِْﻴ ِﻤ ِﻬ ْﻢ ﻳـُ َﺆدِى إ َِﱃ ﺗَـ ْﻔ ِﻮﻳ Tidak menghalangi orang yang hendak belajar dikarenakan salah niat, Dengan menghalangi mereka dari belajar meyebabkan hilangnya ilmu.19 و اﻟ ﱠﺸْﻴ ِﻢ,ِﺎﻵداب اﻟﺴُﻨﻴ ِﺔ ِ ْﺞ ﺑ ِ ﱢب اﳌﺘَﻌﻠﻢ َﻋﻠَﻰ اﻟﺘ ْﺪ ِرﻳ َ َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳـُ َﺆد و ﺗـُ َﻌ ﱢﻮُدﻩُ اﻟﺼﻴﺎﻧﺔ,َﺎﺋﻖ اﳋُﻔﻴَ ِﺔ ِ ِﺎﻵداب و اﻟﺪﻗ ِ ْﺴﻪ ﺑ ِ ﺿ ِﺔ ﻧـَﻔ َ و ِرﻳَﺎ,اﳌَﺮ ِﺿﻴﱠ ِﺔ ْ ﲨْﻴ ِﻊ أُﻣُﻮِرﻩِ اﻟﻜَﺎﻣﻨﺔ و اﳉَﻠِﻴﱠ ِﺔ َِ ﰱ .2 Hendaklah sedikit demi sedikit mengarahkan murid untuk beretika, tabiat yang mulia, dan melatih diri untuk beradab yang sempurna, dan membiasakan mereka hati-hati dalam setiap urusan baik secara zahir maupun batin. َو ﻓَﻀَﺎﺋ ِِﻞ اﻟﻌُﻠَﻤَﺎ ِء َو أَﻧـﱠ ُﻬ ْﻢ, َوﻳُ َﺬﻛُِﺮﻩُ ﺑَِﻔﻀَﺎﺋِﻠِ ِﻪ,و ﻳـَﻨْﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳـَُﺮ ِﻏﺒُﻪُ ِﰱ اﻟﻌِْﻠ ِﻢ َوَرﺛَﺔً اﻷﻧْﺒِﻴﺎَِء .3 Hendaklah menjadikan murid cinta akan ilmu, dan mengingatkan mereka akan pentingnya ilmu dan keutamaankeutamaan para ulama, dan sesungguhnya para ulama adalah warisan para nabi 19 Imam Nawawi Loc.cit 72 .ِْﺴ ِﻪ وََوﻟَ ِﺪﻩ ِ ِﺢ ﻧـَﻔ ِ َوﻳـَ ْﻌﺘ َِﲎ ﲟَِﺼَﺎﳊِِﻪ ﻛﺎﻋﺘِﻨَﺎ ِﻋ ِﻪ ﲟَِﺼَﺎﻟ, َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن َْﳛﻨُﻮ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ و,ِﻨﻔﺴ ِﻪ ِ ُِﺐ ﻟَﻪُ َﻣﺎ ﳛُِﺐ ﻟ َ و ﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﳛ.واﻟﺼﱪُ َﻋﻠَﻰ َﺟﻔَﺎﺋِِﻪ و ﺳُﻮِء أَ َدﺑِِﻪ .ِﺴ ِﻪ ﻣِﻦ اﻟﺸﱢﺮ ِ ﻳَ ْﻜَﺮﻩُ ﻟَﻪُ َﻣﺎ ﻳَ ْﻜَﺮُﻫﻪُ ﻟِﻨَﻔ .4 Hendaklah menolong untuk kemaslahatan muridnya, dan menganggapnya seperti anak sendiri sabar akan kebodohannya dan etikanya yang buruk. Serta Hendaknya mencintai baginya apa yang ia cintai bagi dirinya, dan membenci apa-apa yang ia benci dari dirinya20 .ﺿ ُﻊ َ ِﲔ ﳍَُﻢ و ﻳـَﺘَـﻮَا ُ ْ ِﲔ ﺑَ ْﻞ ﻳَﻠ َ ْ و ﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻻَﻳﺘﻌﻈﻢ ﻋﻠﻰ اﳌﺘﻌﻠﻤ .5 dan tidak berbangga-bangga diri atas murid, tetapi berlembut dan merendahkan diri .َﺎب ِﻣْﻨـ ُﻬ ْﻢ َ َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳـَﺘَـ َﻔ ﱠﻘ َﺪ ُﻫ ْﻢ َوﻳَﺴﺄ َُل ﻋ َﻤ ْﻦ ﻏ .6 Hendaklah meneliti dan menanyakan siapa yang tidak hadir َﺎت ٍ وﻳُﻄَﺎﻟِﺒَـﻬُﻢ ِﰱ أَوﻗ,ْﺖ ٍ َﺎل ِﰱ ُﻛ ﱢﻞ َوﻗ ِ ﺿ ُﻬ ْﻢ َﻋﻠَﻰ اﻻﺷﺘﻐ َ َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﳛَُﱢﺮ ُ ﻓَﻤَﻦ وَﺟﺪﻩ.ﱠﺎت ِ َوﻳَ ْﺴﺄَﳍُُﻢ َﻋﻤﺎ ذَﻛﺮﻩ ﳍَُﻢ ﻣﻦ اﳌُِﻬﻤ, .7 . وأَﺛـ َْﲎ ﻋَﻠﻴﻪ,ﺣﺎﻓِﻈﻪ ُﻣﺮَا ِﻋﻴًﺎﻟﻪ أَ ْﻛَﺮﻣَﻪ Hendaklah menggerakkan murid untuk selalu menyibukkan diri setiap waktu, dan meminta mereka untuk mengulangi hapalan, dan menanyakan yang penting dari yang telah dipelajari. Apabila mendapatkan jawaban yang tepat hendaklah memuji, dan sebaliknya hendaklah meminta kepada murid untuk mengulangi kembali 20 Imam Nawawi, Ibid, h. 35 73 d. Etika Guru terhadap Ilmu اﻟﺴﻠﻒ ُ ُ ﺑَ ْﻞ ﻳَﺼُﻮ ُن اﻟﻌِْﻠ َﻢ َﻛﻤَﺎ ﺻَﺎﻧَﻪ,ُل اﻟﻌِْﻠ َﻢ َ ِﻣ ْﻦ أَﳘَﱢﻬَﺎ أَ ْن َﻻ ﻳَﺬ .1 Dan yang terpenting dari etika guru ialah tidak merendahkan ilmu, akan tetapi menjaganya sebagaimana yang dilakukan oleh para salaf21. e. Etika Guru terhadap Sesama َﲑ ُﺧﺮُوْج إ َِﱃ َﺣ ﱢﺪ اﳋ ََﻼ َﻋ ِﺔ واﳊﻠﻢ ِْ َوﻃ ََﻼﻗَِﺔ اﻟ َﻮ ْﺟ ِﻪ ﻣِﻦ ﻏ,َ اﳉُﻮِد, اﻟ ﱠﺴﺨَﺎ ِء.1 و اﻹﻛﺜَﺎ ِر ﻣِﻦ اﳌَﺰِْح,اﻟﻀﺤﻚ ِ اﺟﺘِﻨﺎب Pemurah, dermawan, wajah berseri tanpa berlebih-lebihan, Santun, menjauhi dari banyak tertawa22 dan canda.23 ِﻒ ُ وﻻ ﻳَ ْﺴﺘَـْﻨﻜ,ﱠﺎس ِ َﺎب واﺣﺘِﻘَﺎر اﻟﻨ ِ اﳊَ ْﺬ ُر ِﻣ َﻦ اﳊَ َﺴ ِﺪ و اﻟﱢﺮﻳَﺎ ِء و ا ِﻹ ْﻋﺠ.2 ُِﻣ َﻦ اﻟﺘَـ َﻌﻠﱡ ِﻢ ﳑﻦ دُوﻧَﻪ ُﺲ ِ َﺎب اﻷَﻧْـﻔ ِ ﺻﺤ ْ َأ Menghindarkan diri dari hasud, riya’24, dan membangabanggakan diri, menghina orang lain, dan tidak sombong atas orang lain. Penyakit-penyakit ini yang banyak menyerang manusia. 21 Imam Nawawi, Ibid, h. 31 22 Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.(QS. At-Taubah:82) 23 Imam Nawawi, Op.cit, h. 30 74 2. Etika Murid a. Etika Personal Murid َﺣﻔ ِﻈ ِﻪ واﺳﺘِﺜْﻤَﺎرِﻩ ِ ﻟﻘﺒﻮل اﻟﻌِﻠ ِﻢ و ِ ﺼﻠُ َﺢ ْ ََﺎس ﻟِﻴ ِ ﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳُﻄَ ﱢﻬَﺮ ﻗَـ ْﻠﺒَﻪُ ِﻣ َﻦ اﻷ ْدﻧ.1 Hendaknya ia selalu membersihkan hatinya dari berbagai kotoran agar baik dalam menerima ilmu dan penjagaannya serta buah dari ilmu tersebut25. َﺎل اﻻ ْﺟﺘِﻬَﺎ ِد ِﰱ ِ َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳـَ ْﻘﻄَ َﻊ اﻟﻌ ََﻼﺋِ َﻖ اﻟﺸﱠﺎ ِﻏﻠَﺔ َﻋ ْﻦ َﻛﻤ.2 .ْﺶ ِ َوﻳَﺼْﱪُِ َﻋﻠَﻰ ِﺿﻴ ِْﻖ اﻟ َﻌﻴ, ُﻮت ِ َﺴ ِْﲑ ِﻣ َﻦ اﻟﻘ ِ َوﻳـ َْﺮﺿَﻰ ﺑِﺎﻟﻴ,ﺼﻴ ِْﻞ ِ َْﲢ Dan Hendaknya memutus hubungan yang menyibukkan dari kesempurnaan dalam mendapatkan ilmu, dan ridho dengan sedikit dari makanan serta bersabar dari kesempitan hidup.26 b. Etika Murid Terhadap Guru وﻗﺪ اﻣﺮﻧﺎ ﺑﺎﻟﺘﻮاﺿﻊ.ﺿﻌِ ِﻪ ﻳـَﻨَﺎﻟﻪ ُ ﺿ َﻊ ﻟﻠﻌِْﻠ ِﻢ و اﳌ َﻌﻠﱢ ِﻢ ﻓَﺒِﺘَـﻮَا َ َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ ﻟﻪ أَ ْن ﻳـَﺘَـﻮَا.1 ﻛﺎﻟﺴﻴﻞ ﺣﺮب, اﻟﻌﻠﻢ ﺣﺮب ﻟﻠﻤﺘﻌﺎﱃ: و ﻗﺪ ﻗﺎﻟﻮا.ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻓﻬﻨﺎ اوﱃ ﻛﻤﺎ, و ﻳﺄﲤﺮ ﺑﺄﻣﺮﻩ, و ﻳﻨﻘﺎد ﳌﻌﻠﻤﻪ و ﻳﺸﺎورﻩ ﰱ اﻣﻮرﻩ.ﻟﻠﻤﻜﺎن اﻟﻌﺎﱃ و ﻫﺪا اوﱃ ﻟﺘﻔﺎوت ﻣﺮﺗﺒﺘﻬﻤﺎ,ﻳﻨﻘﺎد اﳌﺮﻳﺾ ﻟﻄﺒﻴﺐ ﺣﺎدق ﻧﺎﺻﺢ Dan hendaklah ia tawadhu’ terhadap ilmu dan guru, dengan ketawadhu’an ia akan mendapatkan ilmu. Dan kita telah diperintahkan untuk bertawadhu’ dalam berbagai hal, dan tawdhu’ dalam hal ini lebih ditekankan lagi. Dan mereka telah berkata : Ilmu adalah musuh bagi orang-orang yang 24Riya’ merupakan mashdar dari raa-a yuraa-i yang maknanya adalah melakukan suatu amalan agar orang lain bias melihatnya kemudian memuji. Termasuk kedalam riya’ juga sum’ah, yakni agar orang lain mendengar apa yang kita lakukan. Baca mediabilhikma.multiply.com dipost 10 Juli 2008 25 Imam Nawawi, Terj. Sri Andryani Hamid, Ibid, h. 44 26 Imam Nawawi, Loc.cit 75 sombong. Seperti banjir musuh tempat yang tinggi. Dan hendaklah ia mengangkat gurunya dan bermusyawarah dalam urusan-urusannya dan melaksanakan perintahnya sebagaimana orang yang sakit mengangkat dokter yang pandai dan selalu memberi nasehat. Dan ini lebih mulia karena ada kesamaan antara keduanya.27 َﺖ َﻣ ْﻌ ِﺮﻓَﺘﻪ ْ َت دِﻳﺎَﻧﺘﻪ وَﲢََ ﱠﻘﻘ ْ َﺖ أَ ْﻫﻠِﻴَﺘُﻪ َوﻇَ َﻬﺮ ْ َوﻻَﻳَﺄ ُﺧ ُﺬ اﻟﻌِْﻠ َﻢ إِﻻ ﳑﻦ َﻛ ُﻤﻠ.2 . واﺷﺘﻬﺮت ِﺻﻴَﺎﻧﺘﻪ و ِﺳﻴَﺎدﺗﻪ Janganlah mengambil ilmu kecuali dari orang yang telah sempurna keilmuannya, dan nampak kebaikan dinnya, dan telah sempurna pengetahuannya, dan telah terkenal penjagaan dan kepemimpinannya.28 و ﻻ ﺗﺄﺧ ُﺬ اﻟﻌﻠﻢ ﳑﻦ ﻛﺎن أﺧﺬُﻩ ﻟﻪ ﻣﻦ ﺑﻄﻮن اﻟﻜﺘﺐ ﻣﻦ ﻏﲑ ﻗﺮأة ﻋﻠﻰ.3 ﻓﻤﻦ ﱂ ﻳﺄﺧﺬﻩ إﻻ ﻣﻦ اﻟﻜﺘﺐ ﻳﻘﻊ ﰱ,ﺷﻴﻮخ أو ﺷﻴﺦ ﺣﺎذق و ﻳﻜﺜﺮ ﻣﻨﻪ اﻟﻐﻠﻂ و اﻟﺘﺤﺮﻳﻒ,اﻟﺘﺼﺤﻴﻒ dan janganlah mengambil ilmu dari orang-orang yang mengambil ilmunya hanya dari buku-buku tanpa dibacakan kepada seorang guru atau guru yang pandai. Maka barang siapa yang tidak mengambil ilmu kecuali dari buku akan terjerumus dalam kesalahan dan banyak darinya kerumitan dan penyimpangan29 27 Ibid, 28 h. 45 Ibid, h. 45-46 29 Loc. cit 76 َوﻳـَ ْﻌﺘَ ِﻘ ُﺪ َﻛﻤَﺎل أَ ْﻫﻠِﻴﺘﻪ و ُر ْﺟﺤَﺎﻧﻪ,َﲔ اﻻﺣﱰام ِ ْ َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳـَْﻨﻈَُﺮ ُﻣ َﻌﻠﱢﻤَﻪ ﺑِﻌ.4 ُﻮخ ﻣﺎ َِﲰﻌَﻪ ﻣﻨﻪ ِﰱ ِ ِﻔﺎع ﺑﻪ و ُرﺳ ِ ﻓَـﻬُﻮ أَﻗْﺮب إ َِﱃ اﻧﺘ.ﻋﻠﻰ أَ ْﻛﺜَ ِﺮ ﻃَﻴَـﻘَﺘﻪ ِذ ْﻫﻨِ ِﻪ Dan hendaknya melihat gurunya dengan rasa hormat, dan berkeyakinan atas kesempurnaan dan kepandiannya dalam berbidang. Maka ia akan dapat lebih banyak mengambil manfaat serta mengilmui apa yang ia dengarkan dari gurunya dalam ingatannya. Bahwa orang-orang dahulu jika pergi pada gurunya bershodaqah dengan sesuatu. Dan berdo’a : Ya Allah semoga engkau menutupi ‘aib guru saya dariku, dan janganlah engkau jauhkan barokah ilmunya dariku30 وﻻ,آداب اﳌُﺘَـ َﻌﻠﱢ ُﻢ أَن ﻳـَﺘَﺤﺮى رﺿﻰ اﳌﻌﻠﻢ وَإن ﺧﺎﻟﻒ رَأى ﻧﻔﺴَﻪ ِ وﻣﻦ.5 ﻓِﺈ ْن َﻋ ُﺠَﺰ,ِذاﲰﻌﻬﺎ َ وأَ ْن ﻳـَ ُﺮﱡد ﻏِﻴﺒﺘﻪ إ, ,ﻳـَ ْﻐﺘَﺎب ِﻋﻨْﺪﻩ . Dan diantara adab murid hendaknya memilih ridho guru walaupun menyelisihi pendapatnya. Dan tidak mencela dihadapannya. Dan tidak menyebarkannya secara sembunyi-sembunyi. Dan hendaknya membantah aibnya jika ia mendengarnya. Jika ia lemah hendaknya ia berpisah dari kelas.31 30 31 Loc. cit Ibid, h. 47 77 .ﻀﻠَﻬُﻢ وأﺳْﻨﻬﻢ َ وإذا دﺧﻞ ﲨﺎ َﻋ ٍﺔ ﻗﺪﻣﻮا أﻓ, أﻻ ﻳﺪﺧُﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻐﲑ إِ ْذ ٍن.6 Dan janganlah masuk (kelas)kecuali dengan seizin guru. Dan jika masuk satu kelompok hendaklah mendahulukan yang lebih utama dan lebih tua32. c. Etika Murid dalam Belajar ﲨْﻴ ِﻊ أَوﻗَﺎﺗِِﻪ ﻟَﻴﻼ و َِ َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳَﻜ ُْﻮ َن َﺣ ِﺮﻳْﺼًﺎ َﻋﻠَﻰ اﻟﺘﻌﻠﱡ ِﻢ ُﻣﻮاﻇَﺒًﺎ َﻋﻠَﻴْﻪ ِﰱ.1 َﲑ اﻟﻌﻠ ِﻢ إﻻ ﺑِﻘَﺪ ِر اﻟﻀﺮورة ِْ َو ﻻَ ﻳُ ْﺬﻫِﺐ ﻣﻦ أَوﻗَﺎﺗﻪ َﺷﻴْﺌًﺎ ِﰱ ﻏ.ﻧـَﻬَﺎرًا َﻮم ٍ ْﻞ و ﻧ ٍ ﻷَِﻛ Rakus dalam belajar dan rajin pada setiap waktu malam ataupun siang. Tidak menghilangkan waktu tanpa ilmu kecuali dalam keadaan darurat dari makan dan minum, dan istirahat untuk menghilangkan kejenuhan 33 Imam Syafi’I berkata “ ﺼْﺒـ ُﺮ َﻋﻠَﻰ ُﻛ ﱢﻞ َو اﻟ ﱠ,َﺣ ﱞﻖ َﻋﻠَﻰ ﻃَﻠَﺒَ ِﺔ اﻟﻌِْﻠ ِﻢ ﺑـُﻠ ُْﻮغُ ﻏَﺎﻳَِﺔ ُﺟ ْﻬ ِﺪﻫِﻢ ِﰱ اﻻﺳﺘِ ْﻜﺜَﺎ ِر ِﻣ ْﻦ ِﻋ ْﻠ ِﻤ ِﻪ ُ و اﻟﱠﺮ ْﻏﺒَﺔ, اﱃ اﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﰱ اﻟﻌ َْﻮ ِن َﻋﻠَﻴﻪ Hak seorang penuntut ilmu adalah sampai pada tujuan jihadnya dalam memperbanyak ilmu, dan sabar atas semua aral, dan ikhlas niat karena Allah SWT dalam mendapatkan ilmu dan berharap pertolongan Allah atas dirinya. 32 33 Loc. cit Ibid, h. 49 78 ص ٌ َﺣ ْﺮ ِ ذَﻛَﺎءٌ و: ﺼْﻴﻠِﻬَﺎ ﺑِﺒَـﻴَﺎ ٍن ِ ْﻚ َﻋ ْﻦ ﺗَـ ْﻔ َ ِﺴﺘﱠ ٍﺔ َﺳﺄُﻧْﺒِﻴ ِ َﺎل اﻟﻌِْﻠ َﻢ إِﻻﱠ ﺑ َ َﺧﻲ ﻟَ ْﻦ ﺗَـﻨ ِأ ْل َزﻣَﺎ ٍن ُ ﺻ ْﺤﺒَﺔُ أُ ْﺳﺘَﺎ ٍذ َوﻃُﻮ ُ وَا ْﺟﺘِﻬَﺎ ٌد َود ِْرَﻫ ٌﻢ َو "Wahai Saudaraku Kalian Tidak Bisa Mendapatkan Ilmu Kecuali Dengan 6 Syarat Yang Akan Saya Beritahukan" 1.Dengan Kecerdasan, 2.Dengan Semangat , 3.Dengan Bersungguh-sungguh , 4.Dengan Memiliki bekal (biaya) , 5.Dengan Bersama guru dan , 6.Dengan Waktu yang lama, (Imam Syafi'i Rahimahulloh) Khotib al-Baghdadi berkata “ sebaik-baiknya waktu untuk menghapal adalah waktu Sahur, Tengah hari, dan waktu pagi, Menghapal pada malam hari lebih baik daripada siang hari, waktu lapar lebih baik daripada kenyang. Dan sebaik-baiknya tempat adalah dalam ruangan, adapun selain itu melenakan. ,ِﻞ ﻣُﺘﻄ ِﻬﺮًا ﻣُﺘﻨﻈﻔًﺎﺑﺴﻮ ٍاك ِ ْﺐ ﻣِﻦ اﻟ ﱠﺸﻮاﻏ ِ غ اﻟ َﻘﻠ َ وأَ ْن ﻳَ ْﺪ ُﺧ َﻞ ﻛَﺎ ِﻣ ُﻞ اﳍَْﻴﺒَ ِﺔ ﻓَﺎ ِر.2 .وإزاﻟﺔ ﻛﺮﻳﻪ رَاﺋِ َﺤ ٍﺔ Dan hendaklah masuk dengan keadaan yang paling baik, hati kosong dari berbagai kesibukan, bersih dengan siwak, serta menghilangkan bau yang tidak sedap.34 Rasulullah SAW bersabda: َﺎب اﷲِ َوﻳـَﺘَﺪَا َرﺳُﻮﻧَﻪ ﺑـَْﻴـﻨَﻬﻢ َ ُﻮت اﷲ ﻳـَْﺘـﻠُﻮ َن ﻛِﺘ ِ ْﺖ ِﻣ ْﻦ ﺑـُﻴ ٍ وﻣﺎ ا ْﺟﺘَ َﻤ َﻊ ﻗـ َْﻮٌم ِﰱ ﺑـَﻴ اﳌَﻼﺋِ َﻜﺔُ َوذَ ّﻛَﺮُﻫ ُﻢ اﷲ َ َﺸﻴَْﺘـﻬُﻢ اﻟﱠﺮﲪَﺔُ َو َﺣ ﱠﻔْﺘـ ُﻬ ُﻢ ِ َﺖ َﻋﻠَﻴْﻬﻢ اﻟ ﱠﺴ ِﻜْﻴـﻨَﺔُ َوﻏ ْ إِﻻﱠ ﻧـََﺰﻟ Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allâh, mereka membacakan kitabullâh dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi 34 Loc. cit 79 mereka dan Allâh memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya.35 ﺺ َو َﳜ ﱡ,ْت ﻳَﺴْﻤﻌﻬﻢ إِﲰَْﺎﻋًﺎ ﳏَُ ﱠﻘﻘًﺎ ٍ َو ﻳُ َﺴﻠﱢ ُﻢ َﻋﻠَﻰ اﳊَﺎ ِﺿ ِﺮﻳْ َﻦ ﻛﻠﻬﻢ ﺑِﺼَﻮ .َف َ ﺼﺮ َ وَﻛﺬَاﻟﻚ إِذَا اﻧ,اﻟﺸﻴ ُﺦ ﺑِ ِﺰﻳَﺎ َدةِ إِ ْﻛﺮٍام .3 Dan memberikan salam terhadap seluruh hadirin dengan suara yang bisa diderkan seluruh ruangan. Dan menghususkan terhadap gurunya sebagai tambahan penghormatan, demikian pula memberi salam ketika keluar majlis.36 و ﻻ ﻳﻜﺜﺮ,َﲑ ﺣَﺎ َﺟ ٍﺔ و ﻻ ﻳَﻀﺤﻚ ِْ وﻻ ﻳـ َْﺮﻓَ ْﻊ ﺻَﻮﺗﻪ َرﻓْـﻌًﺎ ﺑَﻠِْﻴـﻐًﺎﻣﻦ ﻏ .اﻟﻜﻼم ﺑِﻼ ﺣﺎﺟ ٍﺔ .4 Jangan meninggikan suara tanpa ada kepentingan, tidak tertawa, dan tidak banyak bicara tanpa ada kepentingan. Tidak memain-mainkan tangan tidak jugan dengan yang lainnya, tidak berpaling atau menoleh tanpa ada kepentingan, akan tetapi memperhatikan dan mendengarkan ucapan guru. Para ulama memasukkan tertawa yang banyak tanpa sebab sebagai dosa kecil. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW ُْﻚ ﻓَِﺈﻧﱠﻪ ِ ﱠﺎك و َﻛﺜْﺮة اﻟﻀﺤ َ إِﻳ ﳝُِﻴْﺖ اﻟﻘﻠﺐBerhati-hatilah dengan banyak tertawa,sebab ia menyebabkan hati menjadi mati. Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata: “Kapan saja ada yang tidak dapat dipahami dari perkataan guru oleh muridnya, hendaklah dia bersabar sampai sang guru menyelesaikan ucapannya, baru kemudian dia meminta 35 Imam Muslim rahimahullâh, dalam Shahihnya, Kitab Adz Dzikir Wad Du’a, Bab Fadhlul Ijtima’ ‘Ala Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala Dzikr, nomor 6793, juz 17/23. (Lihat Syarah An Nawawi). 36 Imam Nawawi. Ibid, h. 47 80 penjelasan gurunya dengan penuh adab dan kelembutan dan tidak memotong di tengah-tengah pembicaraannya.” (al-Adab al-syar’iyyah, jilid 2, hlm. 163) ُﻮت د َْرﺳَﻪ ُ ﱠﻴﺦ ﻓَﻠﻢ ﳚَِﺪﻩ اﻧْـﺘَﻈﺮﻩ وﻻ ﻳـَﻔ ِ ﺲ اﻟﺸ ُ ِوإذا ﺟَﺎء َْﳎﻠ .5 Apabila tiba di ruang kelas, dan tidak mendapatkan guru hendaklah menunggunya, dan jangan sampai melewatkan pelajarannya37 اﳊﻔﻆ و اﻟﺘﻜَﺮا ِر واﳌُﻄَﺎﻟﻌﺔ ِ و ِﰱ,َﺎﻳﺦ ِ وﻳﻨﺒﻐِﻰ أَ ْن ﻳَﺒ َﺪأَ دروﺳﻪ ﻋﻠَﻰ اﳌَﺸ .6 . ﺑﺎﻷ َﻫ ِﻢ ﻓﺎﻷ َﻫ ِﻢ hendaknya memulai pelajarannya dengan guru. Dan mnemulai menghapal, pengulangan dan membaca dari yang terpenting.38 ي ﻓَ ﱟﻦ ﻛَﺎﻧﺖ َ ََﺎﰱ أ ِ وﻻ َْﳛﺘَ ِﻘَﺮ ﱠن ﻓَﺎﺋِ َﺪةً ﻳَﺮاﻫﺎ أ َْو ﻳﺴﻤﻌﻬ .7 Janganlah menghina sesuatu faidah yang dilihat atau didengar dalam bidang apapun.39 Rasulullah SAW melarang umatnya mencari-cari kesalahan orang lain, sebab yang demikian akan menghancurkan kerukunan dan kebersamaan kaum muslimin. 37 Ibid, h. 50 Ibid, h. 51 39 Ibid, h. 52 38 81 d. Etika Murid Terhadap Sesama ْﺷ َﺪ رﻓِﻘَﺘﻪ و َﻏْﻴـﺮَﻫﻢ ﻣﻦ اﻟﻄﻠﺒَ ِﺔ إِﱃ َﻣﻮَاﻃﻦ اﻻﺷﺘﻐﺎل و ِ و ﻳﻨﺒﻐِﻰ أَ ْن ﻳـُﺮ.1 ِﺈرﺷَﺎدﻫﻢ ْ و ﺑ, و ﻳﺬﻛﺮ ﳍﻢ ﻣﺎ اﺳﺘﻔَﺎدﻩ َﻋﻠَﻰ ﺟﻬﺔ اﻟﻨﺼﻴﺤﺔ,ِاﻟﻔَﺎﺋﺪة .ﻳـُﺒَﺎرك ﻟﻪ ِﰱ ﻋﻠﻤﻪ و ﻳﺴﺘَﻨِْﻴـ ُﺮ ﻗَـ ْﻠﺒُﻪ Hendaknya membimbing teman dan selain dirinya pada kesibukan dan hal-hal yang bermanfaat, dan mengingatkan mereka denagn nasihat, karena dengan membimbing mereka akan mendapatkan berkah dalam ilmunya dan mensucikan hati.40 وﻗﺪ ﻗَﺪﻣﻨَﺎ ﻫﺬا ِﰱ,ﺐ ﺑﻔَﻬﻤِﻪ ُ ُﻌﺠ ِ وﻻ ﻳ,ُ وﻻ َْﳛﺘَ ِﻘ ُﺮﻩ, وﻻ َْﳛ ُﺴ ُﺪ أَ َﺣﺪًا.2 .آدَاب اﳌﻌﻠﻢ Jangan dengki terhadap seseorang, dan jangan menghina, dan jangan pula berbangga atas pemahamnnya. Dan ini telah dijelaskan pada etika guru.41 40 41 Ibid, h. 52 Loc. cit 82 B. RELEVANSI ETIKA GURU DAN MURID MENURUT IMAM NAWAWI DENGAN UU RI No. 14 Th. 2005 DAN PP RI No. 17 Th. 2010 a. Relevansi Etika Personal Guru menurut Imam Nawawi Dengan UU RI No. 14 Th. 2005 Tentang Guru dan Dosen Pertama, Imam Nawawi menyatakan, hendaklah seorang guru berakhlak dan bertabiat mulia sesuai dengan syari’at42. Dalam kitabnya Hadits Arba’in AnNawawiyah, hadits ke-31 membahas tentang zuhud43 Guru tidak hanya dituntut harus mampu sebagai agent of learning, tetapi juga harus mampu memerankan dirinya sebagai agent of change bagi peserta didik. Karenanya, seorang guru diharapkan dapat menjadi seorang pendidik yang tidak hanya sebatas mengajar, tetapi juga harus mampu menjadi motivator serta terlibat langsung dalam proses pengubahan sikap dan perilaku siswa .44 UUGD Pasal 7 butir b. Seorang guru memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;45 Pendapat Imam Nawawi dalam etika guru terhadap dirinya memiliki relevansi dengan UUGD Pasal 7 butir b yakni sama-sama berbicara tentang akhlak mulia, namun UUGD ini belum “membumi” dan masih banyak ditemukan prilaku-prilaku destruktif. Hal ini dikarenakan belum munculnya pribadi-pribadi 42Imam Nawawi. Adab Al-Alim wa al-Muta’allim, Ibid. h. 29 ﺟَﺎءَ َر ُﺟ ٌﻞ إ َِﱃ اﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ:ﺳﻬﻞ ﺑْ ِﻦ ﺳ ْﻌ ٍﺪ اﻟﺴﺎﻋﺪ ِي َرﺿِﻰ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل ِ ﻋﻦ أﰉ اﻟﻌﺒﺎس43 و ازﻫﺪ, ﻓﻘﺎل ازﻫﺪ ﰱ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﳛُِﺒﻚ اﷲ.ﻋﻤﻞ إد ﻋَﻤﻠْﺘُﻪ أَﺣَﺒﲎ اﷲ و اﺣﺒﲎ اﻟﻨﺎس ٍ دُﻟﲎ ﻋَﻠَﻰ,ُﻮل اﷲ َ ﻳﺎ رﺳ: ﻓﻘﺎل س )ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ رواﻩ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻏﲑﻩ ﺑﺄﺳﺎﻧﻴﺪ ﺣﺴﻨﺔ ُ ﻓﻴﻤﺎ ﻋﻨﺪ اﻟﻨﺎس ﳛﺒﻚ اﻟﻨﺎ Dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi ra berkata “Seorang laki-laki dating kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amal, jika aku lakukan aku akan dicintai Allah dan dicintai manusia.” Rasulullah SAW bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia maka Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah apa yang dimiliki manusia niscaya mereka akan mencintaimu. 44http://metrolisa.info/guru-sebagai-motivator-akhlak.html, 15 Maret 2010. 45 UUGD,Ibid, h. 7 83 cerdas, kreatif, dan berbudi luhur sebagaimana yang dicita-citakan oleh Pendidikan Islam yakni terbentuknya manusia yang beriman, cerdas, kreatif, dan memiliki keluhuran budi. Dan juga tujuan Pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Kedua, Imam Nawawi menjelaskan hendaklah seorang guru Selalu merasakan akan pengawasan Allah dengan memperbanyak bertasbih, bertahlil, memperbanyak zikir dan do’a-do’a46 serta menghindari hal-hal yang syubuhat47 . Muroqobatullah berarti senantiasa ikhlas ketika menjalankan ketaatan padaNya dan selalu merasakan pengawasan Allah48. 46 Imam Nawawi, ibid, h. 31 َْﻼل َ " إن اﳊ:ُﻮل ُ ُﻮل اﷲِ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳـَﻘ َ ﲰﻌﺖ َرﺳ ُ : َﺎل َ َﺸ ٍﲑ َر ِﺿ َﻲ اﷲُ َﻋْﻨـﻬُﻤﺎ ﻗ ِ َﻋ ْﻦ أﰊ َﻋﺒْ ِﺪ اﷲِ اﻟﻨﱡـ ْﻌﻤَﺎ ِن ﺑْ ِﻦ ﺑ47 َوَﻣ ْﻦ َوﻗَ َﻊ ﰲ،َِﺎت ا ْﺳﺘَْﺒـَﺮأَ ﻟِﺪِﻳﻨِ ِﻪ َوﻋ ِْﺮ ِﺿﻪ ِ ﻓَ َﻤ ِﻦ اﺗﱠـ ﻘَﻰ اﻟ ﱡﺸﺒُـﻬ،اﻟﻨﺎس ِ َﺎت ﻻ ﻳـَ ْﻌﻠَ ُﻤ ُﻬ ﱠﻦ ﻛَﺜﲑٌِ ِﻣ َﻦ ٌ َﲔ َوﺑـَْﻴـﻨَـﻬُﻤﺎ أﻣﻮر ُﻣ ْﺸﺘَﺒِﻬ ٌَﲔ وَإ ﱠن اﳊَْﺮَا َم ﺑـ ﱢ ٌﺑـ ﱢ أَﻻ وَإ ﱠن ﰲ،ِﻚ ِﲪ ًﻰ أَﻻ وَإ ﱠن ِﲪَﻰ اﷲ ﳏََﺎ ِرﻣُﻪ ٍ أَﻻ وَإ ﱠن ﻟِ ُﻜ ﱢﻞ َﻣﻠ،ُِﻮﺷﻚ أَ ْن ﻳـ َْﺮﺗَ َﻊ ﻓِﻴﻪ ِ ْل اﳊِْﻤَﻰ ﻳ َ ﻛﺎﻟﺮﱠاﻋِﻲ ﻳـ َْﺮﻋَﻰ ﺣَﻮ،َام ُِﻬﺎت َوﻗَ َﻊ ﰲ اﳊَْﺮ ِ اﻟ ﱠﺸﺒ ي َوُﻣ ْﺴﻠِ ٌﻢ أَﻻ َوِﻫ َﻲ اﻟْ َﻘﻠْﺐ" رَوَاﻩُ اﻟْﺒُﺨَﺎ ِر ﱡ،َُت ﻓَ َﺴ َﺪ اﳉَْ َﺴ ُﺪ ُﻛﻠﱡﻪ ْ ﺻﻠَ ًﺢ اﳉَْ َﺴ ُﺪ ُﻛﻠﱡﻪُ وإذَا ﻓَ َﺴﺪ َ َﺖ ْ ﺻﻠَﺤ َ ﻀﻐَﺔً إذَا ْ اﳉَ َﺴ ِﺪ ُﻣ An-Nu'man bin Basyir berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati.'" (HR. Bukhori dan Muslim). Imam Nawawi Hadits Arba’in (Jakarta: Sholahuddin Press, 2007) h. 19 اﻹﺣﺴﺎ ُن أَ ْن ﺗَﻌﺒُﺪ اﷲَ ﻛَﺄﻧﻚ ﺗَـﺮَاﻩ ﻓَﺈ ْن ﱂَْ ﺗ ُﻜ ْﻦ ﺗﺮاﻩ ﻓَﺈﻧﻪ ﻳـَﺮَاك48 “Ihsan adalah ketika engkau menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya, jika tidak melihat-Nya, maka Dia yang melihatmu (Hadits dari Umar bin Khattab ra dan diriwayatkan oleh : Muslim) 84 Allah SWT juga mengingatkan dalam surat al-Baqarah 2:16849. Ayat ini mengingatkan agar manusia berhati-hati dalam memanfaatkan nikmat Allah yang ada di seputar kita, karena di antara sekian banyak kenikmatan Allah yang diciptakan Allah di bumi ini, ada sebagian yang terlarang untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan pelbagai caranya. Salah satu dengan memakannya. Rasulullah s.a.w. pun bersabda, ’Tidak ada daging yang tumbuh dari makanan yang haram, melainkan neraka lebih layak untuk dirinya’.” Ketiga, Imam Nawawi menjelaskan hendaklah seorang guru menghindarkan diri dari perbuatan sia-sia Mengacu kepada standar nasional pendidikan, kompetensi kepribadian guru meliputi: (1)Memiliki kepribadian yang mantap dan stabil, yang indikatornya bertindak sesuai dengan norma hukum, norma sosial (2) Memiliki kepribadian yang dewasa, dengan ciri-ciri menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagi pendidik yang memiliki etos kerja; (3) Memiliki kepribadian yang arif, yang ditunjukkan dengan tindakan yang bermanfaat bagi peserta didik, sekolah dan Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu (QS. At-Taubah: 105) (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan.(QS. Saba’:11) 49 Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. 85 masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak; (4) Memiliki kepribadian yang berwibawa, yaitu perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan memiliki perlaku yang disegani; (5) Memiliki akhlak yang mulia dan menjadi teladan.50 Dalam beberapa kasus, tidak jarang guru yang memiliki kemampuan yang mumpuni secara pedagogis dan profesional dalam mata pelajaran yang diajarkannya, tetapi implementasi dalam pembelajaran kurang optimal. UUGD pasal 20 butir d Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru51, serta nilai-nilai agama dan etika52. Pendapat Imam Nawawi ini juga memiliki relevansi dengan UUGD pasal 20 butir d yakni, hendaklah seorang guru taat akan hukum, baik hukum Allah maupun hukum buatan manusia, dan hendaklah seorang guru menerapkan nilainilai agama b. Relevansi Etika Guru dalam Mengajar menurut Imam Nawawi Dengan UU RI No. 14 Th. 2005 Tentang Guru dan Dosen Pertama, Imam Nawawi menjelaskan bahwasanya seorang guru dalam mengajar hendaklah menanamkan niat lillahi ta’ala, dan tidak berorientasi duniawi.53 50Jamal Ma’mur Asmani, op.cit,. h 117 Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara. Pedoman sikap dan perilaku sebagaimana yang dimaksud adalah nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan tugas-tugas profesionalnya untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, serta pergaulan sehari-hari di dalam dan di luar. 51 52UUGD, Ibid, h. 15 86 Islam tidak memandang remeh kedudukan niat dalam setiap perbuatan seseorang jika memang perbuatan yang dilakukan seseorang tersebut mengandung niat tulus dan baik yang mendasarinya Lillahi Ta’ala, maka Allah akan mencatatnya sebagai kebaikan bagi dirinya. Namun sebaliknya jika motif yang mendasari tindakan seseorang tersebut penuh dengan keburukan dan kejahatan, maka ia akan mendapat apa yang ia niatkan tersebut.54 Oleh sebab itu, dalam setiap menjalankan tugas apapun seseorang muslim sudah seharusnya memperbaiki dan memantapkan niat yang terbetik dalam hatinya terlebih dahulu. Jika niat yang muncul adalah untuk selain Allah, misalnya untuk membuat senang atasan, melakukan pekerjaan bila ada uang tambahanan, ingin mendapat pujian orang lain dan sebagainya, sehingga cenderung kepada riya’ dan sum’ah maka niat tersebut perlu secepatnya dikembalikan kepada niat yang tulus karena Allah. Tidak ada satupun perbuatan di dunia ini yang tidak bernilai ibadah, walaupun tugas atau perbuatan yang dikerjakan itu bukan ibadah mahdhah seperti shalat, puasa dan lain-lain tetapi harus dikerjakan dalam rangka pengabdian, ketaatan dan ketulusan diri kepada Allah SWT semata. Pendidik hendaknya berpedoman pada prinsip para Nabi yakni hanya mengharapkan upah dari Allah55 53Imam Nawawi, Ibid, h. 29 ()اﻟﺒﺨﺎرى إِﳕﱠَﺎ اﻷَﻋﻤﺎ َُل ﺑﺎﻟﻨﻴَﺎت و إِﳕﱠَﺎ ﻟﻜﻞ اﻣﺮ ٍئ ﻣَﺎ ﻧـَﻮَى54 55 Dan (Dia berkata): "Hai kaumku, Aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. upahku hanyalah dari Allah (QS.Hud:29) 87 UUGD Bab III Pasal 7 dalam prinsip Profesionalitas menyatakan profesi guru dilaksanakan berdasarkan prinsip memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; 56 Pasal 20 butir d Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika.57 Relevansi etika guru menurut Imam Nawawi dengan UUGD pasal 7 dan pasal 20 yakni, kedua-duanya sama-sama menghendaki seorang guru dalam mengajar berlandaskan pada nilai-nilai agama. Imam Ghazali juga menyatakan guru tidak boleh mencari bayaran dari pekerjaan mengajarnya, demi mengikuti jejak Rasulullah SAW dengan alasan bahwa mengajar itu lebih tingggi harganya daripada harta benda.58 Kedua, Imam Nawawi menegaskan bahwasanya seorang guru hendaklah selalu giat menela’ah membahas serta bersungguh-sungguh dalam mengajar.59 Guru yang ideal adalah guru yang rajin membaca dan menulis. Pengalaman mengatakan, siapa yang rajin membaca, maka ia akan kaya akan ilmu. Namun, bila malas membaca, maka kemiskinan ilmu akan terasa. UUGD Pasal 7 butir g tentang prinsip profesionalitas yakni, memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat (Life Long Education)60 162. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.(QS.Al-An’am:162-163) 56 UUGD, Ibid, h. 7 UUGD, Ibid, h. 15 58 Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada abad klasik dan Pertengahan, (Bandung: Angkasa, 2003), h. 138 59Imam Nawai, Ibid, h. 31 57 88 Pendapat Imam Nawawi ini memiliki relevansi dengan UUGD Pasal 7 butir g yakni, seorang guru selalu meningkatkan pengetahuannya Ketiga, Imam Nawawi menegaskan bahwasanya seorang guru tidak boleh menyembunyikan ilmu atau menyampaikan ilmu sedangkan ia belum ahli dalam bidangnya, dan hendaklah bersungguh-sungguh dalam mengajar hingga ilmu yang diajarkan benar-benar tertanam.61 Dalam mendidik sangat dibutuhkan landasan mental dan spiritual terutama yang memberikan optimisme dalam sikap mendidik. maka Allah memberikan petunjuk bahwa manusia pun mempunyai kemampuan untuk menunjukkan orang lain kearah jalan yang lurus. Allah Melaknat orang-orang yang menyembunyikan keterangan dan petunjuk yang telah diturunkan62 Rasulullah SAW mengingatkan dalam sebuah haditsnya akan siksa bagi yang menyembunyikan ilmu ketika ditanya63 60 UUGD,Ibid, h. 8 Pendidikan seumur hidup atau life long education merupakan suatu proses pendidikan yang terus-menerus (kontinu) dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat dari bayi sampai meninggal dunia. Baca Undang-Undang RI No. 14 Th. 2005 tentang Guru dan dosen, Ibid, h. 6 61Imam Nawawi, Ibid, h. 35 62 Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang Telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam Al kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati, (Q.S AlBaqoroh: 159) ﻳﻮم اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ، َﺎم ِﻣ ْﻦ ﻧَﺎ ٍر ٍ َﻣ ْﻦ ُﺳﺌِ َﻞ َﻋ ْﻦ ِﻋ ْﻠ ٍﻢ ﻓَ َﻜﺘَﻤَﻪ أﳉﻤﻪ اﷲ ﺑِﻠِﺠ63 Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa ditanya tentang sebuah ilmu lalu ia menyembunyikannya, niscaya Allah akan mengikat mulutnya dengan tali kekang dari api Neraka pada hari kiamat," (Shahih, HR Abu Dawud [3658], Tirmidzi [2649], Ibnu Majah [261], Ahmad [II/263, 305, 344, 353, 495, 499 dan 508], Ibnu Hibban [95], ath-Thayalisi [2534], Ibnu Abi Syaibah [IX/55], alBaghawi dalam Syarhus Sunnah [140] dan al-Hakim[I/101]). 89 Pasal 10 tentang kompetensi pedagogis, sekurang-kurangnya seorang guru mampu mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya Pendapat Imam Nawawi memiliki relevansi dengan UUGD Pasal 8 dan Pasal 20 butir a yakni, sama-sama menjelaskan bahwa syarat seorang guru harus berkompeten dalam materi ajarnya. UUGD Pasal 8 : Guru wajib memiliki kualifikasi akademik 64, kompetensi65, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional66 Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam, yang meliputi: a. Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan kelompok mata pelajaran yang diampunya. 64 Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. UU RI No 14 Th. 2005 tentang Guru dan Dosen, h. 4 65 Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi guru meliputi Kompetensi Pedagogik (Kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian (Kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, berwibawa, serta menjadi teladan peserta didik) , Kompetensi social (kemampuan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif, dan efisien dengan peserta didik, sesame guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. dan kompetensi professional. (Kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam . baca Penjelasan atas UU RI No 14 Th. 2005 tentang Guru dan Dosen 66 UUGD, Ibid. h. 8 90 b. Konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan kelompok mata pelajaran yang diampu.67 Keempat, Duduk pada posisi yang bisa dilihat semua murid. Memulai pelajaran dengan membaca apa yang mudah dari al-Qur’an, Sholawat atas nabi , Mengevaluasi hasil belajar dan tidak memperpanjang jam belajar. Keberhasilan guru mengajar di kelas tidak cukup bila hanya berbekal pada pengetahuan tentang kurikulum, metode mengajar, media pengajaran, dan wawasan tentang materi yang akan disampaikan kepada anak didik. Di samping itu guru harus menguasai kiat manajemen kelas. Guru hendaknya dapat menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas yang menguntungkan bagi anak didik supaya tumbuh iklim pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM).68 Dengan kata lain Penataan ruang yang kondusif menunjukkan kemampuan manajemen guru.69 Manajemen kelas dan strategi pembelajaran yang baik saling berkaitan. Prosedur manajemen kelas yang baik dapat mengurangi kesempatan terjadinya kekacauan, kebosanan, dan gangguan, serta meningkatkan keterlibatan akademik dan kesempatan belajar siswa70 67Jamal Ma’mur Asmani, ibid, h. 45 http://journal.um.ac.id/index.php/wahana-sekolah-dasar/article/view/2026 69Salfen Hasri, ibid, h. 48 70 Ibid h. 61 68 91 Senada dengan pendapat Imam Nawawi, Emmer (1987) merekomendasikan beberapa hal berkenaan dengan penataan fisik ruangan belajar sekolah sebagai berikut:71 1. Tempat duduk siswa harus diatur untuk memudahkan pemantauan guru dan menghindari gangguan siswa terhadap siswa lain. 2. Garis pandang yang jelas harus tetap dipelihara dari setiap tempat duduk siswa 3. Tempat-tempat yang sering digunakan harus dapat diakses dengan mudah. 4. Jalur lalu lintas didalam kelas harus dijamin bebas rintangan. Selain itu, agar kualitas pembelajaran lebih baik dan aktif perlu diperhatikan juga faktor-faktor yang dapat mendorongnya. Faktor-faktor tersebut antara lain memulai kelas secara cepat berdasarkan tujuan, mengakhiri pelajaran atau kelas dengan tepat waktu. Konsekuensinya adalah seorang guru perlu memanfaatkan waktu seefisien mungkin.72 Dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) hendaklah seorang guru membuat langkah-langkah pembelajaran yang terdiri dari kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir. Pada kegiatan akhir dalam pembelajaran, maka untuk mengetahui sejauh mana proses pembelajaran yang dilakukan disekolah diterima oleh murid yakni hendaklah seorang guru mengadakan evaluasi dan ulangan. Sasaran evaluasi ini hendaknya sesuai dengan keragaman potensi yang dimiliki peserta 71Sa lfen Hasri, Sekolah Efektif dan guru Efektif, (Yogyakarta: Aditya Media, 2009) h. 59 Hasri loc. cit. 72Salfen 92 didik (multiple intelligence)73. Penilaian merupakan usaha untuk memperoleh informasi tentang perolehan belajar siswa secara menyeluruh, baik pengetahuan, konsep, sikap, nilai, maupun proses Saat ini dunia pendidikan telah banyak kehilangan idealisme. Nilai UN digunakan sebagai ajang promosi bagi para pejabat. Beberapa daerah berusaha meningkatkan mutu pendidikan melalui tingak kelulusan 100% yang dilakukan dengan berbagai cara, yakni sedikit melonggarkan pengawasan dalam ujian bahkan guru membantu memberikan jawaban.74 c. Relevansi Etika Guru terhadap Murid menurut Imam Nawawi Dengan UU RI No. 14 Th. 2005 Pertama, Imam Nawawi menyatakan bahwa seorang guru tidak boleh menghalagi orang yang hendak belajar dikarenakan salah niat, dan hendaklah menolong untuk kemaslahatan murid dan menganggap murid seperti anak sendiri, meneliti serta menanyakan ketidakhadiran seorang murid. 75 Guru adalah manusia teladan, Sikap dan prilakunya menjadi cermin masyarakat. Salah satu indikator kompetensi moral seorang guru adalah kepedulian sosial yang tinggi.76 Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) menurut aristoteles adalah makhluk yang senantiasa ingin hidup berkelompok. Manusia juga homo politicus manusia tidak bisa menyelesaikan segala permasalahannya sendiri. Dia 73Multiple intelligences menurut Gardner: Spatial, Linguistic, Logical-mathematical, Bodilykinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Naturalistic, Existential 74 Jamal Ma’mur Asmani, ibid, h. 131 75 Imam Nawawi, Ibid. h. 36 76Jamal Ma’mur Asmani, 7 kompetensi Guru Menyenangkan dan profesional (Yogyakarta: Power Books, 2009), h. 139 93 membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya maupun untuk menjalankan perannya selaku makhluk hidup.77 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “mencerdaskan kehidupan berbangsa”. Hal itu menjadi tanggung jawab negara. Pemerintah tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap orang yang tidak mampu bersekolah karena hal itu dapat menyebabkan pemiskinan intelektualitas terhadap semua anak bangsa. UUGD Pasal 20 butir c. Seorang guru berkewajiban bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;78 Kode Etik Guru Pasal 6 tentang Hubungan Guru dengan Peserta Didik : Guru berprilaku secara profesional dalam melaksanakan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran Pendapat Imam Nawawi ini memiliki relevansi dengan UUGD pasal 20 butir c yakni, hendaklah seorang guru bertindak objektif dan tidak diskriminatif terhadap murid. Kedua, Imam Nawawi menyatakan hendaklah seorang guru mengarahkan murid untuk beretika, bertabiat yang mulia, melatih diri untuk beradab sempurna, serta berusaha menjadikan murid cinta akan ilmu.79 sya’irnya Al-Imam Asy-Syafi’i: 77Loc.cit, 78 UUGD,Ibid. h. 15 Nawawi, Ibid. h. 34 79Imam 94 ﺲ أَﺧ ُْﻮ ﻋِ ْﻠ ٍﻢ َﻛ َﻤ ْﻦ ُﻫ َﻮﺟَﺎﻫِﻞ َ ْﺲ اﻟْﻤ َْﺮءُ ﻳـ ُْﻮﻟَ ُﺪ ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ َوﻟَْﻴ َ ﺗَـ َﻌﻠﱠ ْﻢ ﻓَـﻠَﻴ ُﱠﺖ ﻋَﻠَﻴْ ِﻪ اﳉَْﺤَﺎﻓِﻞ ْ ﺻﻐِْﻴـٌﺮ إِذَا اﻟْﺘَـﻔ َ َُوإِ ﱠن َﻛﺒِْﻴـَﺮ اﻟْﻘَﻮِْم ﻻَ ِﻋ ْﻠ َﻢ ﻋِْﻨ َﺪﻩ ﱠت إِﻟَْﻴ ِﻪ اﻟْ َﻤﺤَﺎﻓِ ُﻞ ْ ﺻﻐِْﻴـَﺮ اﻟْﻘَﻮِْم إِ ْن ﻛَﺎ َن ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ َﻛﺒِْﻴـٌﺮ إِذَا ُرد َ َوإِ ﱠن “Belajarlah karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam keadaan berilmu, dan tidaklah orang yang berilmu seperti orang yang bodoh. Sesungguhnya suatu kaum yang besar tetapi tidak memiliki ilmu maka sebenarnya kaum itu adalah kecil apabila terluput darinya keagungan (ilmu). Dan sesungguhnya kaum yang kecil jika memiliki ilmu maka pada hakikatnya mereka adalah kaum yang besar apabila perkumpulan mereka selalu dengan ilmu.” Selain itu dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, berkata: “Ilmu itu lebih baik daripada harta, ilmu akan menjagamu sedangkan kamulah yang akan menjaga harta. Ilmu itu hakim (yang memutuskan berbagai perkara) sedangkan harta adalah yang dihakimi. Telah mati para penyimpan harta dan tersisalah para pemilik ilmu, walaupun diri-diri mereka telah tiada akan tetapi pribadi-pribadi mereka tetap ada pada hati-hati manusia.”80 UUGD Pasal 6 Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis, dan bertanggung jawab81 Pendapat Imam Nawawi memliki relevansi dengan UUGD yakni, kewajiban seorang menjadikan murid berakhlak mulia dan cinta akan ilmu. 80 81 Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardiy, Adab ad- Dunyaa wad Diin. h. 48 UUGD Ibid, h. 7 95 Ketiga,Seorang guru tidak boleh membanggakan diri dihadapan murid dan hendaklah berlemah lembut terhadap murid. Diantara etika guru sebagaimana yang dijelaskan dan dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dalam pengajarannya adalah bersikap lembut kepada murid-murid, penyantun dalam menghadapi yang bodoh dan tidak tergesagesa meninggalkan mereka.82 Rasulullah juga menjelaskan bahwa apa yang didapatkan oleh guru dengan cara bersifat lembut lebih banyak daripada yang didapatkan oleh guru dengan cara bersifat kasar dan keras, dan bahwa guru yang bersikap lembut akan dilindungi Allah SWT dan diringankan bebannya.83 Rasulullah SAW bersabda , “Sesungguhnya Allah maha lembut dan menyukai kelembutan, dan Dia memberikan kepada orang yang bersikap lembut apa yang tidak diberikan kepada orang yang bersikap keras dan apa yang tidak diberikan kepada selainnya” Firman Allah “ Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah adalah orang yang berilmu84 Ketika dunia pendidikan terkena virus materialisme, hedonisme, pragmatisme, maka spirit memperjuangkan kualitas menjadi kabur yang ada hanyalah uang. Disinilah, urgensi kompetensi moral.85 82 Abdul Karim Akyawi, At-Tarbiyah wa At-Ta’lim fi Madrasatil Muhammadiyyah, terjemahan Muhyiddin Mas Rida, Metode Nabi dalam mendidik dan Mengajar, Konsep Pendidikan sesuai al-Qur’an dan As-Sunnah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 35 83 Ibid, h. 36 84 Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. 85Jamal Ma’mur Aasmani, op.cit,. h. 48 96 Kompetensi moral akan menguatkan empat kompetensi dan memandunya menuju cita-cita yang benar dan besar.86 Sebuah fenomena kritik yang dilontarkan ditengah masyarakat yakni, Masih adanya guru yang lebih senang dan bangga menjadi satusatunya sumber belajar tanpa berfikir perlunya berinteraksi dengan makhluk lain selain dirinya87 Dalam Pendidikan Kaum Tertindas, Freire mengidentifikasi sepuluh ciri pendidikan gaya bank: 1. guru mengajar, murid belajar; 2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak mengetahui apa-apa; 3. Guru berpikir, murid dipikirkan; 4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan; 5. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuinya; 6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuji; 7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya; 8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan pelajaran itu; 9. Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang dilakukan untuk menghalangi kebebasan murid; 10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, dan murid hanyalah objek belaka.88 Keempat, Hendaklah seorang guru peduli akan murid, dengan menanyakan ketidak hadiran murid. Pendekatan Individualistik dalam proses pembelajaran adalah sebuah pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa peserta didik memiliki 86 Loc.cit h. 52 88Paulo Freire, Pedagogy of The Oppressed (Great Britain : Penguins Books 1972), h. 46-47 87Ibid, 97 latar belakang perbedaan dari segi kecerdasan, bakat, kecenderungan, motivasi dan sebagainya.89 Etika hubungan guru dengan peserta didik menuntut terciptanya hubungan berupa helping relationship (Brammer, 1979), yaitu hubungan yang bersifat membantu dengan mengupayakan terjadinya iklim belajar yang kondusif bagi perkembangan peserta didik. Dengan ditandai adanya perilaku empati,penerimaan dan penghargaan, kehangatan dan perhatian, keterbukaan dan ketulusan serta kejelasan ekspresi seorang guru90 Ada 7 kriteria kematangan menurut Albort tentang sifat-sifat khusus dari kepribadian sehat, yaitu (a) Perluasan perasaan diri (b) Hubungan diri yang hangat dengan orang lain (c) Keamanan emosional (d) Persepsi realitas (e) Keterampilan-keterampilan dan tugas-tugas dilakukan dengan ikhlas, antusias, senang, melibatkan dan menempatkan diri sepenuhnya dalam pekerjaan (f) pemahaman diri secara objektif ; (g) Filsafat hidup yang mempersatukan dengan nilai-nilai dan suara hati.91 Jika kita kembalikan pada makna pendidikan yakni, “ satu upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. 89 90 91 Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta : Kencana, 2009), h. 152 http://pakgalih.wordpress.com/2009/04/07/pengertian-dan-fungsi-kode-etik/ Jamal Ma’mur Asmani, op.cit.,h 105 98 Kelima, Hendaklah guru memotivasi murid dalam belajar, memberikan pujian dan hukuman. Dalam teori belajar Behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon, untuk memperkuat respon maka perlu bentuk stimulus berupa penguatan/motivasi (reinforcement)92 Guru dan siswa sama-sama subjek dan objek sekaligus. Keduanya dimungkinkan saling take and give (menerima dan memberi). Hanya saja jika guru sebagai pembelajar senior, maka siswa sebagai pembelajar junior. Jadi tetap ada perbedaan pengalaman dan karena perbedaan inilah sehingga guru tetap lebih banyak memberi kepada siswa dari pada siswa memberi kepada guru. Tetapi pemberian guru kepada siswa itu sifatnya dorongan, rangsangan atau pancingan agar siswa berkreasi sendiri.93 Guru dalam mendidik anak mengedepankan aspirasi, ide, dan gagasan dari anak didik. Ia mempunyai target pembelajaran, variasi pendekatan, dan kualitas pengajaran yang sempurna. Pembelajaraan yang dilakukan juga harus dialogis yang melibatkan secara aktif peran murid. Guru jangan sampai mematikan kreativitas dan potensi murid. Anak didik harus diberi ruang aktualisasi yang terbuka, demokratis, dan partisipatif.94 Student-Centered Approach (SCA) adalah pendekatan yang didasarkan pada pandangan bahwa mengajar dianggap sebagai proses 92 Yasmaruddin B, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran, Modul Program Pasca Sarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2010, h. 17 93 Tribun Jabar, 16 Agustus 2010 94Jamal Ma’mur Asmani ,op.cit,.h. 85 99 mengatur lingkungan dengan harapan agar siswa belajar. Dalam konsep ini yang penting adalah belajarnya siswa. Dalam SCA, mengajar tidak ditentukan oleh selera guru, akan tetapi sangat ditentukan oleh oleh siswa itu sendiri. 95 Emile Durkheim melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu. Dalam kaitannya dengan fungsi negatif yakni pendidikan sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari model-model pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Jika kita adakan evaluasi, di kalangan kita sendiri memang terdapat gejala-gejala perilaku guru dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan daya kritis siswa. Bahkan, dalam batas-batas tertentu membahayakan masa depan siswa seperti sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah.96 Model pembelajaran Paulo Freire disebut sebagai pendidikan "gaya bank". Model ini menurut pengamatan Freire, menjadi sebuah kegiatan menabung: para murid sebagai celengannya sedangkan guru sebagai penabungnya. Ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan. Makin banyak murid yang meyimpan tabungan, makin kurang mengembangkan kesadaran kritisnya. 95 96 http://kbmefektif.wordpress.com/tag/siswa-sebagai-subjek/ 31 Desember 2010 Tribun Jabar, 16 Agustus 2010 100 d. Relevansi Etika Guru terhadap ilmu menurut Imam Nawawi Dengan UU RI No. 14 Th. 2005 Tentang Guru dan Dosen Imam Nawawi menyatakan janganlah seorang guru merendahkan ilmu 97. “Barang siapa menghendaki dunia wajib baginya berilmu, barang siapa menghendaki akhirat wajib baginya berilmu, dan barang siapa menhendaki keduanya wajib baginya berilmu.” Sarana Untuk Meraih Sukses Di Dunia, Sarana Untuk Meraih Sukses Di Akhirat, Sarana Untuk Meraih Sukses Di Dunia Dan Akhirat Ilmu memiliki kedudukan yang sangat tinggi dihadapan Al- Khaliq maupun makhluq-Nya. Tingginya kedudukan ilmu di hadapan Al Khaliq dapat dilihat dari pengistimewaan yang diberikan oleh Allah bagi hamba-Nya yang berilmu.98 Barang siapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga (HR Muslim) Wahai Abu Dzar, kamu pergi mengajarkan ayat dari kitabullah lebih baik bagimu daripada shalat (sunnah) seratus rekaat, dan pergi mengajarkan satu bab ilmu pengetahuan baik dilaksanakan atau tidak, itu lebih baik dari pada shalat seribu raka’at. (HR. Ibnu Majah) 97 Imam Nawawi, Ibid. h. 31 98 Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (AL Mujadilah: 11). 101 Dalam buku Al Mustakhlash fii Tazkiyyatil Anfus, Sa’id Hawa berkata: “Kemuliaan hamba ditentukan oleh ilmu yang dipelajarinya, karena ilmu termasuk sifat Allah. Tetapi ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang hasil pengetahuannya paling mulia, sedangkan pengetahuan yang mulia adalah tentang Allah SWT. Oleh sebab itu, ma’rifatullah merupakan pengetahuan yang paling utama. Demikian juga mengetahui jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau perkara yang dapat memudahkan pencapaian kepada ma’rifatullah dan kedekatan kepadanya.”99 Pasal 4 UUGD Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.100 Pasal 7 prinsip profesionalitas mengatakan yakni, memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; 101 Pendapat Imam Nawawi memiliki relevansi dengan UUGD yakni, hendaklah seorang guru menjaga ilmu dengan meningkatkan mutu pendidikan e. Relevansi Etika Guru terhadap sesama menurut Imam Nawawi Dengan UU RI No. 14 Th. 2005 Tentang Guru dan Dosen 99 http://ahmadpks.multiply.com/reviews/item/11 12 Maret 2007 Yang dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran guru antara lain sebagai fasilitatot, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik. Penjelasan atas UU RI No 14 th. 2005 tentang Guru dan Dosen. Ibid, h. 56 101 UU RI No 14/1005, ibid, h. 7 100 102 Imam Nawawi menyatakan hendaklah seorang guru memiliki wajah berseri, pemurah, dermawan, santun, menghindarkan diri dari hasud, riya’ menghina orang lain serta sombong102 Manusia tidak tahu akhir dari kehidupannya103. Adapun cara untuk menghilangkan dari sifat menghina hasud, riya’ dan penyakit lainnya yaitu berakhlak dengan akhlak Allah, dan tidak menganggap diri yang paling suci. UUGD pasal 20 butir d, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan guru berkewajiban menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika 102 Imam Nawawi, Ibid, h. 30 ﺣﺪﺛﻨﺎ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ: ﻗﺎل، ﻋﻦ أﰊ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻣﺴﻌـﻮد رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ103 ﰒ ﻳﻜﻮن ﻋﻠﻘﺔ ﻣﺜﻞ، ) إن أﺣـﺪﻛﻢ ﳚﻤﻊ ﺧﻠﻘﻪ ﰲ ﺑﻄﻦ أﻣﻪ أرﺑﻌﲔ ﻳﻮﻣﺎ ﻧﻄﻔﻪ: - وﺳﻠﻢ – وﻫﻮ اﻟﺼﺎدق اﳌﺼﺪوق ، ﺑﻜﺘﺐ رزﻗﻪ: وﻳـﺆﻣﺮ ﺑﺄرﺑﻊ ﻛﻠﻤﺎت، ﻓﻴﻨﻔﺦ ﻓﻴﻪ اﻟﺮوح، ﰒ ﻳﺮﺳﻞ إﻟﻴﻪ اﳌﻠﻚ، ﰒ ﻳﻜﻮن ﻣـﻀﻐـﺔ ﻣﺜﻞ ذﻟﻚ، ذﻟﻚ وﺷﻘﻲ أم ﺳﻌﻴﺪ ؛ ﻓﻮاﷲ اﻟـﺬي ﻻ إﻟــﻪ ﻏـﲑﻩ إن أﺣــﺪﻛﻢ ﻟﻴﻌـﻤﻞ ﺑﻌﻤﻞ أﻫﻞ اﳉﻨﻪ ﺣﱴ ﻣﺎ ﻳﻜﻮن ﺑﻴﻨﻪ، وﻋﻤﻠﻪ، واﺟﻠﻪ وإن أﺣﺪﻛﻢ ﻟﻴﻌﻤﻞ ﺑﻌﻤﻞ أﻫﻞ اﻟﻨﺎر ﺣﱵ. وﺑﻴﻨﻬﺎ إﻻ ذراع ﻓﻴﺴﺒﻖ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﻜﺘﺎب ﻓﻴﻌـﻤﻞ ﺑﻌـﻤﻞ أﻫــﻞ اﻟﻨﺎر ﻓـﻴـﺪﺧـﻠﻬﺎ 3208 : ﻣﺎ ﻳﻜﻮن ﺑﻴﻨﻪ وﺑﻴﻨﻬﺎ إﻻ ذراع ﻓــﻴﺴـﺒـﻖ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﻜﺘﺎب ﻓﻴﻌﻤﻞ ﺑﻌﻤﻞ أﻫﻞ اﳉﻨﺔ ﻓﻴﺪﺧﻠﻬﺎ ( رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري ] رﻗﻢ .[ 2643 : [ وﻣﺴﻠﻢ ] رﻗﻢ Artinya: Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud ra. Berkata, Rasulullah SAW. Bersabda kepada kami, sedang beliau adalah orang yang jujur dan terpercaya.”Sesungguuhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah (sperma) kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama waktu itu juga (sperma) kemudian menjadi mudghah (segumpal daging) selama waktu itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh kepadanya dan mencatat empat perkara yang telah ditentukan yaitu: Rizki, ajal, amal perbuatan, dan sengsara atau bahagianya. Maka demi Allah yang tiada Tuhan selainnya sesungguhnya ada seseorang diantara kalian beramal dengan amalan penghuni surga, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan surga kecuali sehasta saja, namun ketetapan (Allah) mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka ia pun masuk neraka. Ada seseorang diantara kalian beramal dengan amalan penghuni neraka, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan neraka kecuali sehasta saja, namun ketetapan (Allah) mendahuluinya sehingga ia beramal dengan amalan penghuni surga, maka ia pun masuk surga. 103 Pasal 10 kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.104 Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik105 Kode Etik guru yang mangatur hubungan guru dengan sekolah dan rekan sejawat butir k. Yakni : Guru memiliki beban moral untuk bersama-sama dengan sejawat meningkatkan keefektifan pribadi sebagai guru dalam menjalankan tugastugas profesional pendidikan dan pembelajaran. Pendapat Imam Nawawi memiliki relevansi dengan UUGD pasal 10 dan pasal 20 butir d, yakni hendaklah seorang guru memiliki kepribadian yang baik dan mampu bersosialisasi dengan baik f. Relevansi Etika Personal Murid Menurut Imam Nawawi dengan PP RI No. 17 Th. 2010 Imam Nawawi menyatakan hendaklah seorang murid membersihkan hatinya dari berbagai kotoran.106 104 Penjelasan atas UU RI No 14/2005 Tentang guru dan Dosen (Jakarta : Sinar Grafika, 2009) 105 Penjelasan atas UU RI Nawawi, Ibid. h. 44 h.56-57 106Imam 104 Dalam shahihain dari Rasulullah Sallahu Alaihiwasallam : sesungguhnya dalam badan ada segumpal daging, jika baik daging tersebut maka baiklah seluruh badannya, dan jika rusak rusaklah seluruh badannya, ketahuilah ia adalah hati”. Dan mereka berkata : membersihkan hati agar bisa menerima ilmu seperti membersihkan bumi untuk ditanami.107 Segala aspek kehidupan ini bermula daripada hati. Salah satu penyakit zaman saat ini adalah hilangnya khusyu’, wahn yakni cinta dunia dan takut mati (Hubbu ad-dunya wa karohiyatu al-maut). Pasal 169 butir h Kewajiban peserta didik yaitu: Ikut menjaga dan memelihara sarana dan prasarana, kebersihan, keamanan, dan ketertiban umum108 Pendapat Imam Nawawi ini memiliki relevansi dengan PP RI No 17 yakni, hendaklah seorang murid menjaga kebersihan Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan nasional menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional (sisdiknas), disebutkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 107 Imam Nawawi, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, Ibid, h. 44 RI Nomor 17 Th. 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Bandung: Fokus Media, 2010), h. 110 108PP 105 g. Relevansi Etika Murid Terhadap Guru menurut Imam Nawawi dengan PP RI No. 17 Th. 2010 Pertama, Imam Nawawi menyatakan hendaklah seorang murid merendahkan diri terhadap guru, memandang guru dengan rasa hormat, memilih ridho guru dan tidak mencela guru. PP RI No. 17 Th. 2010 Pasal 169 butir c Peserta didik berkewajiban: Menghormati pendidik dan tenaga kependidikan Pendapat Imam Nawawi ini memiliki relevansi dengan PP RI No. 17 Th. 2010 Pasal 169 butir c yakni, kewajiban seorang murid menghormati guru. Kedua, Imam Nawawi menyatakan bahwasanya seorang murid apabila hendak masuk ke ruangan kelas hendaklah seizin guru, mengucapkan salam dan dalam keadaan yang baik serta Hendaklah seorang murid menutupi aib guru.109 PP RI No 17 Th 2010 pasal 169 butir d kewajiban peserta didik Memelihara kerukunan dan kedamaian untuk mewujudkan harmoni sosial110 Pasal 169 butir j Kewajiban Peserta didik : Menjaga kewibawaan dan nama baik satuan pendidikan yang bersangkutan;111 Pasal 169 butir a Kewajiban peserta didik: Mengikuti proses pembelajaran sesuai peraturan satuan Pendidikan dengan menjunjung tinggi norma dan etika akademik;112 109Imam Nawawi, Ibid. h. 47 PP RI No 17 Th. 2010 Ibid. h. 110 111 Loc.cit 110 106 Pendapat Imam Nawawi memiliki relevansi dengan PP RI No 17 th 2010 yakni, kewajiban murid menjaga wibawa kelas dan dan mengikuti proses pembelajaran dengan baik وَاﷲُ ِﰲ ﻋ َْﻮ ِن اﻟْ َﻌْﺒ ِﺪ ﻣَﺎ ﻛَﺎ َن اﻟْ َﻌْﺒ ُﺪ ِﰲ،ِْﻵﺧَﺮة ِ َوَﻣ ْﻦ َﺳﺘَـَﺮ ُﻣ ْﺴﻠِﻤًﺎ َﺳﺘَـَﺮﻩُ اﷲُ ِﰲ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ َوا ..َﺧْﻴ ِﻪ ِ ﻋ َْﻮ ِن أ Siapa yg menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aib di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya.” h. Relevansi Etika Murid dalam Belajar menurut Imam Nawawi dengan PP RI No. 17 Th. 2010 Pertama, Imam Nawawi menyatakan Hendaklah seorang murid rakus dalam belajar dan sungguh-sungguh113 Pasal 169 butir a, Peserta didik wajib Mengikuti proses pembelajaran sesuai peraturan satuan Pendidikan dengan menjunjung tinggi norma dan etika akademik114 Pendapat Imam Nawawi memiliki relevansi dengan PP RI No 17 yakni, menghendaki murid sungguh-sungguh dalam belajar. 112Imam Barnadib mengidentifikasi kode akademik, yakni: Pengembangan kepribadian yang khas dalam bidang tertentu, yaitu watak akademik Mengembangkan pemikiran disipliner dengan didiplin tertentu yaitu berkisar pada nilai-nilai kejujuran dan kebenaran. 3. Mencari dan menemikan kenyataan dan kebenaran itu berarti mengurangi alam kebebasan 4. Memperkuat identitas individu atau lembaga pendukungnya. Imam Barnadib, Kode Etik Akademik, (Yogyakarta: Tamansiswa, 2002), h. 14 113 Imam Nawawi, Ibid. h. 49 114PP RI No 17, Ibid. h. 110 1. 2. 107 Kedua, hendaklah mengucapkan salam ketika memasuki ruang kelas. Dan apabila guru belum hadir, hendaklah menunggunya. Ucapan salam termasuk dari salah satu syiar Islam yang paling nampak, Allah menjadikannya sebagai ucapan selamat di antara kaum muslimin dan Dia menjadikannya sebagai salah satu dari hak-hak seorang muslim dari saudaranya. Rasul-Nya -alaihishshalatu wassalam- juga telah memerintahkan untuk menyebarkan syiar ini dan beliau mengabarkan bahwa menyebarkan salam termasuk dari sebab-sebab tersebarnya rasa cinta dan kasih sayang di tengah-tengah kaum muslimin, yang mana tersebarya cinta dan kasih sayang di antara mereka merupakan salah satu sebab untuk masuk ke dalam surga. 115 Menurut konstruktivisme, murid akan membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan apa yang sudah diketahuinya. Karena itu belajar tentang dan mempelajari sesuatu itu tidak dapat diwakilkan dan tidak dapat “diborongkan” kepada orang lain dan murid mengalami sendiri proses belajar dengan mencari dan menemukan itu.. Siswa sendiri harus proaktif mencari dan menemukan pengetahuan, aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun 115 ﱠﻼ َم َ َﻲ ٍء إِذَا ﻓَـ َﻌﻠْﺘُﻤُﻮﻩُ ﲢََﺎﺑـَﺒْﺘُ ْﻢ أَﻓْ ُﺸﻮا اﻟﺴ ْ َﱴ ﲢََﺎﺑﱡﻮا أَوََﻻ أَ ُدﻟﱡ ُﻜ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﺷ َﱴ ﺗـ ُْﺆِﻣﻨُﻮا وََﻻ ﺗـ ُْﺆِﻣﻨُﻮا ﺣ ﱠ َﻻ ﺗَ ْﺪ ُﺧﻠُﻮ َن اﳉَْﻨﱠﺔَ ﺣ ﱠ ﺑـَْﻴـﻨَ ُﻜ ْﻢ “Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman hingga kalian saling menyayangi. Maukan kalian aku tunjukkan atas sesuatu yang mana apabila kalian mengerjakannya niscaya kalian akan saling menyayangi. Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54) 108 konsep dan member makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari 116 i. Relevansi Etika Murid terhadap sesama menurut Imam Nawawi dengan PP RI No. 17 Th. 2010 Imam Nawawi menyatakan hendaklah seorang murid membimbing teman pada hal-hal yang bermanfaat, mengingatkan dan member nasehat tidak dengki terhadap sesama dan jangan menghina.117 Realisasi saling mencintai sesama muslim adalah dengan saling mengingatkan, saling menasehati, saling menjaga, saling mengoreksi, saling memberi dan menerima. Sahabat yang baik bukan sahabat yang selalu mendukung dan membenarkan setiap tindakan, perilaku dan perbuatan, tetapi sahabat yang baik adalah sahabat yang mendukung ketika benar dan mengoreksi di saat salah. Allah berfirman : “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.s. al-Ashr [103]: 1-3) PP RI No. 17 Th. 2010 No. 169 butir e kewajiban peserta didik Mencintai keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, serta menyayangi sesama peserta didik118 116Yasmaruddin Bardansyah, Modul Teori-teori Belajar dan pembelajaran, Program Pasca Sarjana UIN SUSKA Riau, 2010, h. 41 117Imam Nawawi, Ibid. h. 52 118 PP RI No 17,Ibid. h. 110 109 Dalam dunia pendidikan saat ini dikenal dengan Cooperative learning yakni, strategi pembelajaran yang cukup berhasil pada kelompokkelompok kecil, dimana pada tiap kelompok tersebut terdiri dari siswa-siswa dari berbagai tingkat kemampuan, melakukan kegiatan belajar untuk meningkatkan pemahaman tentang materi pembelajaran yang sedang dipelajari. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk tidak hanya belajar apa yang diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan- rekan belajar, sehingga bersama-sama mencapai keberhasilan. Semua siswa berusaha sampai semua anggota kelompok berhasil memahami dan melengakpinya.119 Semua anggota kelompok berusaha untuk saling menguntungkan sehingga semua anggota kelompok bisa: 1. Merasakan keuntungan dari setiap usaha teman lainnya 2. Menyadari bahwa semua anggota kelompok mempunyai nasib yang sama. Penulis melihat bahwa Pendapat Imam Nawawi Ini memiliki relevansi dengan PP RI No 17 yakni, hendaklah seorang murid saling menyayangi, dan tolong menolong antar sesama, karena dalam kelompok belajar prestasi seseorang ditentukan oleh orang lain. 119http://edtech.kennewsaw.edu/intech/cooperativelearning.htm. 110 BAB V Penutup Berdasarkan analisis terhadap Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim dalam muqoddimatu al-majmu’ karya Imam Nawawi dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Thn 2005 tentang Guru dan Dosen,dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 17 Th. 2010 tentang Pengelolaan dan penyelenggaraan Pendidikan dan mencari relevansinya, Maka berikut ini akan dikemukakan kesimpulan-kesimpulan dan saran –saran bagi pembaca dan peneliti selanjutnya A. Kesimpulan a. Relevansi Etika Guru dengan UUGD No. 14 Thn 2005 1. Etika Personal Guru Baik Imam Nawawi maupun UUGD menghendaki seorang guru Berakhlak dan bertabiat mulia, menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, nilainilai agama dan etika. Imam Nawawi dalam hal ini menekankan pada Muroqobatullah atau hukum Taklifi (Undang-Undang Allah), sedangkan UUGD lebih menitik beratkan kepada hukum wadh’i (Undang-Undang Manusia) yang dengan demikian dapat meningkatkan mutu pendidikan. 2. Etika guru dalam mengajar Imam Nawawi dan UUGD sama-sama menyatakan bahwa seorang guru harus berkompeten dalam materi yang akan diajar, dalam UUGD hal ini dibuktikan dengan adanya kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. 111 3. Etika guru terhadap murid Imam Nawawi dan UUGD sama-sama menekankan bahwa tugas seorang guru mendidik, membimbing, melatih dan mengarahkan murid untuk beretika, bertabiat yang mulia dan sifat-sifat yang terpuji lainnya. 4. Etika guru terhadap ilmu Relevansi etika guru menurut Imam Nawawi dengan UUGD yakni, seorang guru hendaklah selalu meningkatkan ilmu pengetahuannya. 5. Etika Guru terhadap sesama Imam Nawawi dan UUGD sama-sama menyatakan hendaklah seorang guru memiliki kepribadian yang baik, dinamis dan mampu bersosialisasi melalui kompetensi sosial. b. Relevansi Etika Murid menurut Imam Nawawi dengan PP No. 17 Thn 2010 1. Etika Murid Etika Murid Imam Nawawi memiliki kesesuaian dengan PP No. 17 Thn 2010 yakni, seorang murid hendaklah selalu menjaga kebersihan, baik kebersihan diri (jiwa) maupun lingkungan, karena yang dengan demikian dapat mempermudah mendapatkan ilmu. 2. Etika murid Terhadap Guru. Imam Nawawi dan PP No. 17 thn. 2010 sama-sama menyatakan bahwasanya seorang murid hendaklah menghormati guru. 112 3. Etika Murid dalam belajar Imam Nawawi dan PP No 17 th 2010 sama-sama menyatakan hendaklah seorang murid Menjaga kedamaian dan kewibawaan serta nama baik satuan pendidikan 4. Etika Murid terhadap sesama Etika Murid terhadap sesama menurut Imam Nawawi memiliki relevansi dengan PP RI No 17 th 2010 yakni, saling tolong menolong dan saling menyayangi antar sesama. B. Saran Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan diatas, maka diambil beberapa saran yaitu: 1. Guru hendaknya memiliki kekuatan spiritual yang tinggi. Selalu mendekatkan diri kepada Allah (Muroqobatullah) dengan banyak beribadah dan amal perbuatan lainnya yang bisa mendekatkan diri kepada Allah dan mendapat redha-Nya. Karena dengan ini bisa meningkatkan mutu pendidikan 2. Hendaklah seorang guru aktif melakukan pengembangan diri, meningkatkan kemampuan, kapasitas dan potensi keilmuan. 3. Guru sebagai inspirator dan motivator bagi murid, maka hendaklah sikap dan perilaku mencerminkan keluhuran budi dan akhlak yang mulia. Sebagai motivator hendaklah seorang guru mampu membangkitkan semangat belajar murid. 4. Hendaklah mampu berkolaborasi dengan sesama guru yang lain agar tercipta tim yang solid, persatuan, kebersamaan, dan persaudaraan, sehingga mendukung tercapainya tujuan pendidikan 113 5. Untuk mempermudah mendapatkan ilmu hendaklah seorang murid sebagai penuntut ilmu selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan, giat dalam belajar, menghormati guru, menebarkan kedamaian dan saling tolong menolong antar sesama. 6. Guru dan Murid sebagai Subjek sekaligus objek dalam pendidikan hendaklah Selalu menjunjung tinggi peraturan dan perundang-undangan baik UndangUndang Allah maupun Undang-Undang buatan manusia. Karena ide Etika guru dan murid menurut Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adab al-‘Alim wa alMuta’allim banyak mengutip dalil-dalil syari’at baik dari al-Qur’an maupun Hadits yang kesemuanya memiliki relevansi dengan UUGD dan PP RI No 17 thn 2010 110 Daftar Pustaka Abdullah, Amin, Antara Al-Ghazali dan Kant Filsafat Etika Islam, Bandung : Mizan, 2002 Alavi, Zianuddin, Pemikiran Pendidikan islam pada Abad Klasik dan Pertengahan, Bnandung: Angkasa, 2003 Arifin, Muhammad. Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan pendekatan Interdisipliner, Jakarta : Bumi Aksara, 2009 ________, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994 Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, Danim, Sudarwan, Inovasi Pendidikan Dalam Upaya peningkata Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Bandung, Pustaka Setia, 2002 Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif, Jakarta, rajawali Pers, 2010 Effendi, Imran Pemikiran Akhlak Syekh Abdurrahman Shiddiq al-banjari Pekanbaru, Tirta Kencana, 2003 Fathi, Muhammad, Metode nabi dalam mendidik dan Mengajar Konsep Pendidikan sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2007 Freire, Paulo, Pedagogy of The Oppresed, Great Britain,1972 Hafidz, Muhammad Nur Abdul. Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Bandung : Al-Bayan, 2008 111 Ihsan, Fuad, Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta, Rineka Cipta, 2010 Irfan, Muhammad, Teologi Pendidikan Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta, Friska Agung Insani, 2000 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001 Jamal Ma’ruf Asmani, 7 Kompetensi Guru Menyenangkan dan Profesional, Jakarta : Power Book Publishing, 2009 Mansur, Amril, Etika Islam Tela’ah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al- Isfahani, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002 ________, Etika dan Pendidikan, Pekanbaru, LSFK2P, 2005 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan islam Mengurai Benang Kusut Dunia ________Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam,Bandung: Nuansa, 2003 Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006 Muhmidayelly, Pemikiran etika Ibnu Miskawaihdan J.J. Rousseau, Riau : SUSQA Press, 2001 Musnamar, Tohari, Etika dan prinsip-prinsip Pendidikan Islam: Sumbangannya terhadap Pembangunan, Jakarta: Rajawali, 1986 Naquib, Muhammad al-Attas, Islam dan Sekulerisme, Bandung” PIMPIN, 2010 Nata, Abuddin. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana, 2009 112 Nawawi Imam, Adab al ‘Aim wa al-Muta’allim , Jeninah Barat : Thonto, 1987 Nawawi Imam, Hadits Arba’in An-Nawawiyah, Jakarta: Sholahuddin Press, 2007 Nizar, Samsul. Hakekat Manusia dalam Perspektif Pendidikan Islam, Pekanbaru : Suska Press, 2009 ________ Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana, 2008 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, No 17 Th. 2010, Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Bandung : Fokus Media, 2010 Peursen, Van Filosofische Orientatie,terj Dick Hartoko, Jakarta : Gramedia, 1980 Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka Grafika, 1999 Ramayulis, dan Nizar Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2010 ________Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, 2010 Sukardjo, Landasan Pendidikan Konsep dan aplikasinya, jakarta, Rajawali Pers, 2009 Suseno, Franz Magnis, 13 Tokoh Etika sejak zaman Yunani sampai Abad ke19,Yogyakarta: Kanisius,1997 ________, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987 Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Th. 2005 Tentang Guru dan Dosen, Jakarta: Sinar Grafika, 2008 113 Sumber-Sumber dari Internet http://journal.um.ac.id/index.php/wahana-sekolah-dasar/article/view/2026 http://kbmefektif.wordpress.com/tag/siswa-sebagai-subjek/ 31 Desember 2010 http://pakgalih.wordpress.com/2009/04/07/pengertian-dan-fungsi-kode-etik/ http://www.notpen.com/2010/12/tujuan-pendidikan-oleh-paolo-freire.html 12 Desember 2010 http://www.mail-archive.com/ 17 November 2008 http://ahmadpks.multiply.com/reviews/item/11 12 Maret 2007 http://metrolisa.info/guru-sebagai-motivator-akhlak.html, 15 Maret 2010. 114