ETIKA GURU DAN MURID MENURUT IMAM NAWAWI DAN

advertisement
ETIKA GURU DAN MURID MENURUT IMAM NAWAWI DAN
RELEVANSINYA DENGAN UU RI NO. 14 Th. 2005 DAN PP RI NO. 17
Th. 2010
TESIS
Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan
Memperoleh Gelar Magister Pada Program Studi Pendidikan Islam
Oleh
SRI ANDRYANI HAMID
NIM: 0904 S2 964
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2011
ABSTRAK
Sri Andryani Hamid, 2011. Relevansi Etika Guru dan Murid menurut Imam Nawawi dengan
Pendidikan Nasional Indonesia; Tela’ah Kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, UU RI No. 14
Th. 2005, dan PP RI No 17 Thn 2010. Program Studi Pendidikan Islam. Universitas Islam
Negeri Sultas Syarif Kasim Riau. Pembimbing: Drs. Promadi Karim, MA. Ph.D
Kata kunci: Etika,Guru, Murid,
Etika dan Pendidikan memiliki hubungan erat. Pendidikan Islam harus berbentuk
proses pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke
arah idealitas kehidupan Islami, sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki serta latar
belakang sosio budaya masing-masing. Pendidikan Islam diorientasikan pada upaya
menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak
hanya pada siswa melainkan pada seluruh komponen yang terlibat dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam. Sangat sulit dibayangkan ilmu pengetahuan tanpa
adanya kendali dari nilai-nilai etika agama. ''Agama tanpa ilmu adalah buta, ilmu tanpa agama
adalah lumpuh'' - Albert Einstein
Penelitian ini bertujuan: Pertama, Untuk mengetahui relevansi etika Guru menurut Imam
Nawawi dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen. Kedua, Untuk mengetahui relevansi etika Murid menurut Imam Nawawi
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang
kewajiban Peserta Didik
Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis menggunakana penelitian yang bersifat Library
Research dengan menggunakan bahan-bahan tertulis yang telah dipublikasikan dalam
bentuk buku. Metode yang digunakan hermeneutik, yaitu menggunakan logika linguistik
dengan membuat penjelasan dan pemahaman terhadap makna kata dan makna bahasa
sebagai bahan dasar dengan pendekatan filosofis, artinya seluruh substansinya
memerlukan olahan filosofik atau teoritik dan terkait pada nilai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwasanya Teori etika Imam Nawawi pada umumnya
bersumber pada al-Qur’an dan as-sunnah dan secara umum teorinya memiliki relevansi
dengan Undang-Undang Guru dan Dosen No 14 th. 2005 dan Peraturan Pemerintah no 17
th. 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan masih sangat relevan
pada zaman ini.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
NOTA DINAS PEMBIMBING.............................................................................
i
KATA PENGANTAR..........................................................................................
ii
ABSTRAKSI ......................................................................................................
v
PEDOMAN TRANSLITERASI............................................................................
vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................
viii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah......................................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................
7
D. Kajian Penelitian terdahulu yang Relevan .......................................
8
E. Metode Penelitian
............................................
10
A. Hakikat Manusia ..............................................................................
12
B. Implikasi Konsep Manusia Terhadap Pendidikan ............................
17
C. Etika.................................................................................................
19
1. Perkembangan Pemikiran Etika .................................................
25
2. Teori-Teori Etika.........................................................................
31
3. Bagian – bagian Etika.................................................................
34
4. Sifat-Sifat Etika...........................................................................
35
5. Teori Etika Menurut Ajaran Islam ..............................................
36
BAB II: ETIKA DAN PENDIDIKAN
D. Pendidikan.......................................................................................
40
1. Unsur-Unsur Pendidikan ............................................................
41
2. Tujuan Pendidikan......................................................................
47
BAB III: BIOGRAFI IMAM NAWAWI
a. Kelahiran dan Dinamika Intelektual .................................................
54
b. Karya Tulisnya.................................................................................
55
c. Adab al-Alim wa al-Muta’allim..........................................................
61
d. UU RI No. 14 Th. 2005 Tentang Guru dan Dosen ...........................
62
e. PP RI No. 17 Th. 2010.....................................................................
64
BAB IV:
PENYAJIAN DAN ANALISA DATA
A. Etika Guru dan Murid menurut Imam Nawawi ..................................
65
1. Etika Guru....................................................................................
65
a. Etika Personal Guru .............................................................
65
b. Etika Guru dalam Mengajar...................................................
68
c. Etika Guru terhadap Murid ....................................................
71
d. Etika Guru terhadap Ilmu.......................................................
73
e. Etika Guru terhadap Sesama ................................................
73
2. Etika Murid ..................................................................................
74
a. Etika Personal Murid ..........................................................
74
b. Etika Murid terhadap Guru..................................................
74
c. Etika Murid dalam Belajar...................................................
77
d. Etika Murid terhadap Sesama ...........................................
81
B. RELEVANSI ETIKA GURU DAN MURID MENURUT IMAM NAWAWI DENGAN
UU RI NO.14 Th. 2005 Tentang GURU dan PP RI No. 17 Th. 2010 Tentang
PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
a. Etika Personal Guru ..........................................................
82
b. Etika Guru dalam Mengajar ................................................
85
c. Etika Guru terhadap Murid..................................................
92
d. Etika Guru terhadap Ilmu....................................................
100
e. Etika Guru terhadap Sesama .............................................
101
f.
Etika Personal Murid ..........................................................
103
g. Etika Murid terhadap Guru..................................................
105
h. Etika Murid dalam Belajar...................................................
106
i.
Etika Murid terhadap Sesama ............................................
108
A. Kesimpulan......................................................................................
110
B. Saran...............................................................................................
112
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
114
Daftar Riwayat Hidup.........................................................................................
118
BAB V. PENUTUP
Pernyataan Keaslian Tulisan
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Syari’at Islam sangat memperhatikan pendidikan dari segi moral, memberikan
bimbingan-bimbingan bernilai dalam membekali moral anak dengan sifat –sifat utama
dan mulia, dan mendidiknya dengan moral dan adat kebiasaan yang baik.
Pada Kongres se-Dunia ke II 1980 tentang Pendidikan Islam, dinyatakan
bahwa Tujuan Pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan
kepribadian manusia secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan
jiwa, akal pikiran, diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Tujuan terakhir
pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada
Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.
Syed Naquib al-Attas dalam “Aims and Objectives of Islamic Education”
menghendaki tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik (Shalih).1 Sementara
Munir Mursyi dalam “Al-Tarbiyah al-Islamiyyah Ashuluha wa Tathawwuruha fi Bilad
al_Arabiyyah”
menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan
manusia yang sempurna (insan kamil). Lain halnya dengan Abdul Fattah Jalal yang
menghendaki terwujudnya manusia sebagai hamba Allah (‘abd Allah) sebagai proses
pendidikan. Sementara ahli pendidikan Indonesia, memilih rumusan yang tidak kalah
idealnya “manusia yang berkepribadian muslim”. 2 Dalam pandangan Hamka, tujuan
Pendidikan Islam adalah “ mengenal dan mencari keridhoan Allah, membangun
1Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularisme, terjemahan Khalif Muammar et al
(Bandung : Institut pemikiran Islam dan Pembangunan Insan, 2010), h. 191
2Mohammad Irfan dan Mastuki, Teologi Pendidikan Tauhid sebagai Paradigma Pendidikan Islam
(Jakarta : Friska Agung Insani, 2000) h. 145
2
budipekerti untuk berakhlak mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup
secara layak dan berguna ditengah-tengan komunitas sosialnya.3 Athiyah al-Abrasyi
menghendaki tujuan tertinggi Pendidikan Islam adalah manusia yang berakhlak mulia
(al-akhlaq al-karimah). Bila kita melihat kitab-kitab karya para ulama, kita akan
menemukan pembahasan tentang adab4 dan akhlak baik dalam kitab khusus ataupun
dalam pembahasan tersendiri, secara global maupun secara terperinci. yang semua
menunjukkan bahwa adab dan akhlak adalah perkara yang tidak bisa lepas dari
agama.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ْﺖِ ﻷُﲤَﱢ َﻢ َﻣﻜَﺎ ِرَم اْﻷَ ْﺧﻼ َِق‬
ُ ‫إِﳕﱠَﺎ ﺑُﻌِﺜ‬
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.”5
Penulis menggunakan istilah etika dalam mengungkapkan perkataan akhlak
pada Hadits diatas, tidak berarti bahwa sumber pokok keduanya sama. Akan tetapi
karena penulis melihat betapa pengembangan ilmu akhlak masa sekarang banyak
ditunjang oleh analisis filsafat. Dengan demikian—dalam batas tertentu—dapat
dikatakan bahwa ilmu akhlak bersumber pokok pada wahyu, hanya pengebangannya
3 Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Lembaga Hidup dalam dalam Samsul Nizar
Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana,
2008) h. 117
4Didalam kitabnya Madaarijus Saalikiin (II/375-391), Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan: Yang
dimaksud dengan adab adalah kumpulan berbagai kriteria kebaikan pada diri seorang hamba. Ia merupakan
ilmu perbaikan lidah, percakapan, dan penempatannya sesuai dengan sasaran, perbaikan terhadap katakata, serta pemeliharaan dari kesalahan dan ketergelinciran. Adab ini terdiri dari tiga macam, yaitu: Adab
kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan syari’at-Nya, dan adab sesama makhluk. Lihat Syaikh Salim bin’ Ied alHilali, Syarah Riyadhush Shalihin, jilid 3 (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2005), h. 1
5 HR. Ahmad dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) [~Dishahihkan oleh Asy-Syaikh AlAlbani dalam Silsilah Ash-Shahihah no.45
3
dilakukan dengan menggunakan filsafat sebagai sarananya; sedangkan etika sematamata bersumber dari filsafat.
Prinsip moralitas yang memandang bahwa manusia merupakan makhluk
Allah yang merupakan pribadi-pribadi yang mampu melaksanakan nilai-nilai moral
agama dalam hidupnya. Tanpa nilai-nilai itu kehidupannya akan menyimpang dari
fithrah Allah yang mengandung nilai Islam yang harus dijadikan dasar dari proses
pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat (long life education). Jadi, dengan
demikian pola dasar yang membentuk dan mewarnai system pendidikan Islam adalah
pemikiran konseptual yang berorientasi kepada nilai-nilai keimanan, serta nilai-nilai
etika yang secara terpadu membentuk dan mewarnai tujuan pendidikan Islam. 6
Berdasarkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Pendidikan Nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan pancasila dan UUD Negara RI 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasioanl Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman.
UU RI No. 14 Th. 2005 Bab IV tentang Guru dan Dosen dijelaskan tentang
hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang guru dan PP RI No 17 Thn 2010 Bab XI
tentang Kewajiban peserta didik.
Pendidikan Nasional dan UU RI No. 14 Th.2005 dan PP RI No. 17 Th. 2010
sebagaimana di atas, diharapkan berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
6 M. Arifin Ilmu Pendidikan islam tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan pendekatan
interdisipliner (Jakarta : bumi Aksara, 2009) h. 39
4
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis.7
Namun, kondisi lapangan tidaklah semudah diatas kertas. Apabila kita
menyaksikan potret umum pendidikan di negeri ini, baik formal maupun non formal,
seringkali kita harus mengelus dada melihat perilaku para pelaku pendidikan
(murid/guru) yang menyimpang dari seharusnya mereka jadikan pedoman (etika)
sebagai insan berpendidikan.
Paul Suparno Sj dalam bukunya, Reformasi Pendidikan: Sebuah
rekomendasi, mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia sekarang ini dapat
diibaratkan seperti mobil tua yang mesinnya rewel yang sedang berada ditengah arus
lintas di jalan bebas hambatan. Pada satu sisi Pendidikan di Indonesia saat ini sedang
dirundung masalah besar ; sedangkan pada sisi lain, tantangan memasuki millennium
ketiga tidaklah main-main, masalah besar tersebut yaitu : Mutu Pendidikan yang masih
rendah, Sistem pembelajaran disekolah-sekolah yang belum memadai, dan krisis
moral yang melanda masyarakat kita. 8
Menteri Pertahanan RI dimasa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono
pernah mengungkapkan bahwa ada kemungkinan dunia pendidikan kita selama
bertahun-tahun terpasung oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang masih samar.
Pendidikan Indonesia tersisih diantara keinginan mengejar pertumbuhan ekonomi dan
daya saing bangsa, sehingga tampaknya tidak diarahkan untuk memanusiakan
manusia secara utuh lahir dan batin, tapi lebih diorientasikan kepada hal-hal yang
bersifat materialistis, ekonomis dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral,
7 Undang –Undang Republik Indonesia no 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan nasional,
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, 2003. h. 8
8M. Sukarjo Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya ( Jakarta : Rajawali Pers, 2009). h. 79
5
kemanusiaan dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan
intelektual, akal dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan
kecerdasan hati, perasaan dan emosi. Akibatnya, apresiasi output pendidikan
terhadap keunggulan nilai humanistic, keluhuran budi, dan hati nurani menjadi
dangkal.9
Pergeseran nilai kearah pragmatisme ini yang pada gilirannya membawa
kearah materialisme dan individualisme. Walhasil, kecenderungan manusia modern
saat ini melengahkan nilai-nilai dimana prinsip-prinsip hidup yang bernilai asketik dan
etis serta berorientasi kearah ukhrawi semakin mengendur bahkan mengikis dalam
jiwa pribadi dan masyarakat. Yang pada akhirnya, merebak dekadensi moral dan
etika.
Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa etika zaman sekarang
sangat diperlukan. Pertama, Kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik;
kedua, Kita hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding.
Perubahan itu dibawah hantaman kekuatan yang mengenai semua segi kehidupan,
yaitu gelombang modernisasi. Ketiga, Proses perubahan sosial budaya ini
dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk memancing di air keruh, dan yang keempat,
etika juga diperlukan oleh agama yang disatu pihak menemukan dasar kemantapan
iman dan dilain pihak berpartisipasi tanpa takut dan dengan tidak menutup diri dalam
semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah.10
Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi adDimasyqi, atau lebih dikenal Imam Nawawi, adalah salah seorang ulama besar
9Ibid,
h. 80
Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:
Kanisius, 1987), h. 15-16
10Franz
6
mazhab Syafi’i yang hidup pada zaman klasik11. Nawawi adalah ulama sang pemikir
yang memiliki pandangan dan pemikiran yang khas, beliau juga seorang pakar hadis,
fiqh, bahasa dan akhlak.
Penelitian terhadap para pakar pendidikan telah banyak dilakukan oleh
peneliti-peneliti di dalam maupun di luar negeri. Hasil penelitiannya dalam bentuk
skripsi, tesis maupun disertasi, bahkan telah dipublikasikan dalam bentuk buku.
Tokoh-tokoh pendidikan Islam yang dijadikan obyek penelitian adalah ulama-ulama
hadis, fiqih, filsafat Islam dan tasawuf Islam. Akan tetapi belum ada penelitian
terhadap etika guru dan murid Adab al-‘alim wa al-muta’allim dalam muqoddimatu almajmu’.
Meskipun teks asli buku ini berbahasa Arab dan amat sarat dengan nuansa
dan tradisi kehidupan Madrasah namun, pada prinsipnya etika adalah nilai yang
berlaku universal, tidak ada dikhotomi antara system pendidikan madrasah dan
system pendidikan formal.
Sehubungan dengan permasalahan diatas, penulis mencoba untuk
mengapresiasi pandangan Imam Nawawi tentang etika Guru dan murid dan mencari
relevansinya dengan UU RI No. 14 Th. 2005 Bab IV tentang Guru dan Dosen yang
11 Nasution (1995) memetakan Sejarah kebudayaan Islam kedalam tiga periode, yaitu: periode
klasik (650-1250M) yang menggambarkan masa kejayaan, keemasan atau kemajuan Dunia Islam; periode
pertengahan (1250-1800 M) yang menggambarkan masa kemunduran Dunia Islam; dan periode modern
(1800M s.d. sekarang) yang menggambarkan masa kebangkitan dunia Islam. Ciri-ciri gerakan ilmiah atau
etos keilmuan dari kalangan ulama pada zaman klasik adalah: (1) melaksanakan ajaran al-Qur’an untuk
banyak mempergunakan akal; (2) melaksanakan ajaran hadis untuk menuntut ilmu bukan hanya “ilmu
agama” tetapi juga ilmu yang sampai di negeri Cina; (3) mengembangkan ilmu agama dengan berijtihad dan
mengembangkan ilmu pengetahuan (sains) dengan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan
filsafat Yunani yang terdapat di Timur Tengah pada zaman mereka, sehingga timbullah ulama fiqh, tauhid
(kalam) tafsir, hadis, ulama bidang sains (ilmu kedokteran, matematika, optika, fisika, geografi) dan lain-lain;
serta (4) ulama yang berdiri sendiri.
7
menjelaskan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang guru dan PP RI No
17 Thn 2010 Bab XI tentang Kewajiban peserta didik..
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, agar lebih fokus dalam persoalan yang
akan dibahas penulis menbatasi batasan masalahnya sebagai berikut:
“Bagaimana relevansi Etika Guru dan Murid menurut Imam Nawawi dengan
pendidikan Nasional Indonesia ?”
2. Rumusan masalah
Karena sifatnya yang masih umum, maka batasan diatas perlu
diformulasikan kedalam beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana relevansi etika Guru menurut Imam Nawawi dengan UU RI No. 14
Th. 2005 Bab IV tentang Guru
2. Bagaimana relevansi etika Murid menurut Imam Nawawi dengan PP RI No. 17
Th. 2010 Bab XI Pasal 169 tentang kewajiban Peserta Didik.
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian memiliki hubungan fungsional dengan rumusan masalah
penelitian yang dibuat secara spesifik dan dapat diuji melalui penelitian . karena
8
sifatnya ini, maka acuannya adalah rumusan masalah yang telah diformulasikan
sebelumnya.12
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui relevansi etika Guru menurut Imam Nawawi dengan UU RI
No. 14 Th. 2005 Bab IV tentang Guru.
2. Untuk mengetahui relevansi etika Murid menurut Imam Nawawi dengan PP RI
No. 17 Th. 2010 Bab XI Pasal 169 tentang kewajiban Peserta Didik.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini memiliki dua aspek :
1. Teoritis : Memberikan apresiasi terhadap pemikiran pakar Pendidikan Islam,
menambah wawasan pada khazanah Pendidikan Islam.
2. Praktis : Memenuhi syarat akademis untuk menyelesaikan program magister
pada Program studi Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
kasim riau.
D. Kajian Penelitian terdahulu yang Relevan
Berkaitan dengan penulisan tesis ini, telah diupayakan penelusuran
pembahasan-pembahasan yang terkait dengan obyek masalah tentang konsep
pendidikan Islam menurut Imam Nawawi. Penelusuran awal dilakukan di pascasarjana
UIN Sultan Syarif Kasim, ternyata belum ada tesis yang membahas tentang Etika
pendidikan Islam menurut Imam Nawawi. Penelusuran selanjutnya dilakukan dengan
menela’ah buku-buku yang terkait dengan obyek pembahasan. Diantaranya;
12Samsul Nizar metodologi Penelitian kepustakaan (Library Research); Studi Analisis
pendahuluan, h. 108
9
Muhammad Idris (2007) dalam skripsinya yang berjudul Pelaksanaan
Pendidikan Agama Islam dan Efeknya terhadap pengalaman Ibadah siswa, mengkaji
penafsiran Imam Nawawi tentang Hadits Orang mukmin yang kuat lebih baik dan
lebih disayangi Allah ketimbang orang mukmin yang lemah..(H. Imam Muslim) Imam
Nawawi menafsirkan hadis diatas sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan
fisik. Kekuatan fisik meruapakan bagian pokok dari tujuan pendidikan, Kajiannya tidak
komprehensif karena hanya dari sisi tujuan pendidikan
Selain tersebut di atas ada kajian tentang Imam Nawawi, tetapi tidak spesifik
membahas tentang konsep Imam Nawawi dalam bidang Etika pendidikan.
Dalam Ensiklopedi Islam (1993), penyebutan Imam Nawawi secara singkat,
kurang dari satu halaman. Disebutkan bahwa Imam Nawawi adalah penuntun yang
berhasil bagi para pemula dalam belajar agama. Disebutkan pula bahwa Imam
Nawawi seorang ulama yang luas dan dalam ilmunya terutama dalam bidang Hadits
ini dapat dilihat dari karya-kaeryanya dalam bidang Hadits. Di dalam penjelasannya
tidak disebutkan sama sekali tentang kepakarannya dalam pendidikan. Berdasarkan
penelusuran terhadap buku-buku tentang Imam Nawawi tersebut di atas menunjukkan
belum adanya tulisan, kajian atau penelitian secara spesifik tentang konsep dan Etika
pendidikan Islam menurut Imam Nawawi. Oleh karenanya, penelitian ini merupakan
sesuatu yang baru sehingga diharapkan dapat mengisi kekosongan tersebut atau
dapat melengkapi kekurangan yang sudah ada.
10
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan (Library Research ). Yaitu, penelitian yang membatasi kegiatannya
hanya pada bahan-bahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerukan riset
lapangan.13
2. Sumber Data
1. Sumber Primer :
1. Muqoddimatu al-Majmu fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Imam
Nawawi
2. UU RI No. 14 Th. 2005 tentang Guru dan Dosen.
3. Peraturan Pemerintah RI No 17 Thn 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan
2. Sumber Sekunder : Sumber-sumber yang relevan dengan permasalahan
penelitian.
3. Teknik Pengumpulan data
Pengumpulan data digali dari sumber kepustakaan. Berkenaan dengan hal
itu, pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut:
a. Mengumpulkan bahan pustaka yang dipilih sebagai sumber data yang memuat
konsep pendidikan Islam menurut Imam Nawawi .
13Mestika
Zed, Motode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2004). h. 2
11
b. Membaca bahan pustaka yang telah dipilih, baik tentang substansi pemikiran
maupun unsur lain. Penelaahan isi salah satu bahan pustaka dicek oleh bahan
pustaka lainnya.
c. Mencatat isi bahan pustaka yang berhubungan dengan pertanyaan penelitian.
d. Menerjemahkan isi catatan ke dalam bahasa Indonesia dari kitab Adab al-‘Alim
wa al-Muta’aalim li al-Imam Nawawi yang berbahasa Arab.
e. Menyarikan isi catatan yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan
mengklasifikasikan data tersebut dengan merujuk kepada rumusan masalah.
f. Mencari relevansi isi kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’aalim li al-Imam Nawawi
dengan Menganalisa isi UU UU RI No. 14 Th. 2005 tentang Guru dan Dosen dan
PP RI No 17 Thn 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
4. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data adalah pengelolaan data dari data-data yang sudah
terkumpul. Karena sifat data dalam penelitian ini adalah deskriftif dan naratif maka
data yang sudah terkumpul dianalisa kembali dengan metode content analisis
(analisa isi). Yaitu, analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi14
14Samsul
Nizar, metodologi penelitian, iIbid, h. 110
12
BAB II
ETIKA DAN PENDIDIKAN
Etika maupun pendidikan sebagai ilmu memiliki objek yang sama, yakni manusia.
Bagi etika manusia dipandang dari segi baik buruk perilakunya, diukur dengan kriteria
tertentu. Sedangkan bagi ilmu pendidikan manusia dipandang dari segi kemungkinankemungkinan pengembangannya untuk menjadi manusia seutuhnya. Berdasarkan
pemikiran tersebut maka pembahasan masalah etika dan pendidikan tak mungkin dapat
dilepaskan dari pembahasan tentang manusia1
Para ahli pendidikan muslim umumnya sependapat bahwa teori dan praktek
pendidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia.2
A. HAKIKAT MANUSIA
Dalam al-Qur’an, manusia berulangkali diangkat derajatnya3, dan berulangkali
juga direndahkan.4 Manusia dinobatkan jauh mengungguli malaikat, tetapi pada saat
yang sama mereka tak lebih berarti daripada hewan melata5. Manusia dihargai sebagai
1
Tohari Musnamar, Etika dan prinsip-prinsip Pendidikan Islam: Sumbangannya terhadap
Pembangunan, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 85
2Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2009) h. 62
    
3
    
    
“ Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(Al-Mujaadilah: 11)
4 M. Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2003), h. 55



5
      














     
 
13
khalifah6 dan makhluk mampu menaklukkan alam. Namun, posisi ini bisa merosot
ketingkat yang paling bawah dari segala yang bawah (asfala safilin).
Gambaran Kontradiktif menyangkut keberadaan manusia itu menandakan
bahwa makhluk yang namanya manusia itu unik , makhluk yang serba dimensi, ada
diantara prediposisi negative dan positif7.
Ibnu ‘Arabi melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa, Tak
ada makhluk Allah yang paling bagus daripada manusia. Allah SWT membuatnya
hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat , dan
memutuskan, dan ini adalah merupakan sifat-sifat Rabbaniyah.8
Al-Qur’an membahas manusia dalam sifat menetap tertinggi dan
primordialnya (al-fithrah). Manusia dalam perspektif Islam adalah khalifah (wakil)Allah
dimuka bumi sekaligus abdi-Nya (‘abd). Keduanya bersama-sama membentuk sifat
fundamental manusia. Sebagai abdiNya, manusia harus patuh pada kehendak-Nya.
Dia harus pasif secara total vis-à-vis kepada kehendak Allah, menerima dariNya
petunjuk untuk hidupnya dan perintah bagaimana melaksanakan kehendak-Nya
Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai
telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.(Al-Araf:179)
    6
     
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi
7Loc.cit
8. Ibn ‘Arabi, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaludin Rahmat, dalam Samsul Nizar , Hakekat
Manusia Dalam Persfektif Pendidikan Islam, (Pekanbaru : PPs UIN Suska Riau, 2009), h. 8
14
menurut hukum alam. Sebagai hamba-Nya dia harus aktif, terutama karena dia adalah
wakil Allah AWT di dunia ini.9
Al-Qur’an memperkenalkan tiga istilah kunci (key term) yang mengacu pada
pengertian manusia , yaitu : Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, sin
semacam insan, ins,nas, atau unas.
a.
Menggunakan kata basyar
b.
Menggunakan kata bani Adam, dan zuriyat Adam.10
Uraian ini akan mengarahkan pandangan secara khusus kepada basyar,
insan dan kata al-nas
1. Basyar (‫ﺮ‬
ٌ ‫)ﺑَ َﺸ‬
Al-Qur’an menggunakan kata basyar sebanyak 37 kali, yakni 36 kali dalam
bentuk mufrad dan sekali didalam bentuk mutsanna untuk menunjuk manusia dari
sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.11
Al-Qur’an menggunakan kata Basyar yang mengisyaratkan bahwa proses
kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap
kedewasaan yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab.
Hal ini ditegaskan didalam QS. Ar-Rum :20
‫َﺸﺮُو َن‬
ِ ‫ب ﰒُﱠ إِذَا أَﻧْـﺘُ ْﻢ ﺑَ َﺸٌﺮ ﺗَـﻨْﺘ‬
ٍ ‫َوِﻣ ْﻦ ءَاﻳَﺘِﻪ أَ ْن َﺧﻠَ َﻘ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ﺗـُﺮَا‬
Dan diantara tanda-anda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari
tanah, kemudian ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran.
9Seyyed
Hosein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, (Bandung : Mizan, 1994), h. 40
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 2007), h. 367
11Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an : kajian kosakata (Jakarta : Lentera hati, 2007), h. 138
10.
15
M. Quraish Shihab mengartikan “bertebaran” disini dengan berkembang
biak akibat hubungan seksual dan bertebaran mencari rezeki. Hal ini tidak dilakukan
manusia kecuali oleh mereka yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab.12
Dan karena itupula tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar.13
Abd. Muin Salim menjelaskan bahwa ayat menunjukkan adanya
perkembangan kehidupan manusia karena didalamnya terdapat kata min yang
bermakna ‘mulai dari’ dan kata tsumma yang bermakna ‘perurutan dan perselangan
waktu’. Dengan begitu, dapat dipahami bahwa kejadian manusia diawali dari tanah
dan secara berangsur mencapai kesempurnaan kejadiannya ketika mereka telah
menjadi dewasa.14
2. Al-Insan
Kata Insan dinyatakan dalam al-ur’an sebanyak 73 kali yang tersebar dalam
43 surat. 15 Kata Insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan
tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandang Al-Qur’an lebih tepat dari
yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa)16, atau naasa-yanuusu
(berguncang). Kata insan, digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia
dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.17 Hampir semua ayat yang menyebut
12Ibid,
h. 138
W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta : Amzah, 2008), h. 53
14 Quraish Shihab, Op.cit., h. 138
15 Mohammad Irfan, op.cit., h. 58
16Manusia disebut insan adalah karena setelah bersaksi akan kebenaran perjanjian yang
menuntutnya untuk mematuhi perintah dan larangan Allah, ia alpa (nasiya ) memenuhi kewajiban dan tujuan
hidupnya itu. Sifat alpa ini merupakan penyebab keingkaran manusia. (diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas)
13Ahsin
‫َﺴ َﻲ‬
ِ ‫إِﳕﱠﺎ ﲰُﱢ َﻲ ا ِﻹﻧْﺴَﺎ ُن إِﻧْﺴَﺎﻧًﺎ ﻷَﻧﱠﻪ ًﻋ ِﻬ َﺪ إِﻟَﻴْﻪ ﻓَـﻨ‬
Sesungguhnya manusia disebut insan karena setelah berjanji dengan-Nya, ia lupa (nasiya). Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism, Terjemahan Khalif Muammar (Bandung: PIMPIN, 2010),
h. 177
17 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op.cit. h. 369
16
manusia dengan menggunakan kata al-Insan, konteksnya selalu menampilkan
manusia sebagai makhluk yang istimewa , secara moral maupun spiritual.18
Jalaluddin Rahmat memberi pengertian luas al-insan ini pada tiga kategori.
Pertama, al-insan dihubungkan dengan keistimewaan manusia sebagai khalifatullah
dimuka bumi dan pemikul amanah. Kedua, al-insan dikaitkan dengan predisposisi
negative yang inheren dan laten pada diri manusia. Ketiga, al-insan disebut-sebut
dalam hubungannya dengan proses penciptaan manusia. 19
3. Al-Nas
Kata ini dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali yang tersebar dalam
53 surat.20 Konsep al-nas mengacu pada manusia sebagai makhluk social,
penjelasan konsep ini dapat ditunjukkan dalam dua hal. Pertama, banyak ayat yang
menunjukkan kelompok-kelompok social dengan karakteristiknya masing-masing
yang satu sama lain belum tentu sama, ayat ini biasanya menggunakan ungkapan
wa min al-nas (dan diantara manusia).21 Kedua, Pengelompokan manusia
berdasarkan mayoritas, yang umumnya menggunakan ungkapan aktsar al-nas
(sebagian besar manusia). Memperhatikan ungkapan ini ditemukan bahwa
mayoritas manusia mempunyai kualitas rendah, baik dari segi ilmu maupun iman. 22
Hal ini dapat dilihat pernyataan al-Qur’an bahwa kebanyakan manusia tidak
18
Mohammad Irfan, op.cit, h. 58
Jalaluddin Rahmat sebagaimana yang dikutip oleh Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi
Pendidikan Tauhid sebagai paradigma PendidikanIislam, (Jakarta : Friska Agung Insani, 2003), h. 58
20Al-Baqi sebagaimana yang dikutip oleh Samsul Nizar dalam Hakekat Manusia dalam perspektif
Islam, (Pekanbaru : PPs UIN Suska, 2009), h. 54
21Mohammad Irfan, op.cit, h. 61
22Ibid, h. 62
19.
17
berilmu23, tidak bersyukur24 tidak beriman dan ayat –ayat tersebut dipertegas
dengan ayat –ayat lain yang menunjukkan betapa sedikitnya kelompok manusia
yang beriman25
Terhadap masalah-masalah sosial Al-qur’an menjelaskan lebih banyak
dan terperinci, karena pada aspek-aspek sosial inilah manusia sering melampaui
batas dan tak terkendali. Begitu rumit dan banyaknya masalah yang menyangkut
manusia sebagai makhluk sosial yang perlu bimbingan agama. Itulah sebabnya
dalam al-Qur’an konteks manusia dengan makna al-nas lebih banyak disebut
daripada basyar dan insan
B. Implikasi Konsep Manusia Terhadap Pendidikan
Dari uraian diatas, setidaknya ada beberapa implikasi konsep manusia dengan
pendidikan Islam:
1. Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen
(Materi dan immateri), maka konsepsi ini menghendaki proses pembinaan yang
mengacu kearah realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Hal
ini berarti bahwa Pendidikan Islam harus dibangun di atas konsep kesatuan antara
pendidikan Qalbiyah dan Aqliyah, sehingga mampu menghasilkan manusia muslim
    
23

Artinya: tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui".(QS. 7: 187)
24
    


Artinya: tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.(QS.2:243)
   
25
   
 
Artinya: Dan mereka berkata: "Hati kami tertutup". tetapi Sebenarnya Allah Telah mengutuk mereka Karena
keingkaran mereka; Maka sedikit sekali mereka yang beriman.(QS.2:88)


18
yang pintar secara intelektual dan terpuji secara moral. Jika kedua komponen
tersebut terpisah maka manusia akan kehilangan keseimbangannya.26
2. Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai
Khalifah dan ‘Abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah membekali manusia dengan
seperangkat potensi27. Dalam konteks ini, maka pendidikan Islam harus merupakan
upaya yang ditujukan kearah pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara
maksimal sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit.
3. Implikasi ketiga dari pandangan kemanusiaan di atas ialah pada muatan materi dan
metodologi pendidikan
26Ramayulis
dan Samsul Nizar, Op.cit, h. 62
pada diri manusia terdapat beberapa potensi antara lain:
Fithrah, Fithrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir. Manusia sejak asal
kejadiannya membawa potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
Nafs, Dalam pandangan Al-Qur’an, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi
menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam
manusia inilah yang oleh Al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.
27
a.
b.
‫ ﻓَﺄَﳍََﻤﻬَﺎ ﻓُﺠ ُْﻮَرﻫَﺎ َوﺗـَ ْﻘﻮـﻬَﺎ‬,‫ْﺲ َوﻣَﺎ َﺳﻮﱠـﻬﺎ‬
ٍ ‫َوﻧـَﻔ‬
c.
d.
Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwaan (AlSyams : 7-8)
Qalb, bermakna membalik karena sering kali ia berbolak-balik, sekali senang sekali susah, sekali setuju
dan sekali menolak. Qalb sangat berpotensi untuk tidak konsisten. Membersihkan qalb adalah salah
satu cara untuk memperoleh pengetahuan.
Ruh,Dalam beberapa Hadits ada disinggung tentang ruh, sebagaimana sabda Nabi SAW.,
‫َﻒ‬
َ ‫َﻒ َوﻣَﺎ ﺗَـﻨَﺎﻛَﺮ ﻣْﻨـﻬَﺎَ ا ْﺧﺘَـﻠ‬
َ ‫َف ِﻣْﻨـﻬَﺎ اﺋﺘَـﻠ‬
ُ ‫اﻷَرْوَا ُح ُﺟﻨُـ ْﻮٌد ﳎَُﻨﱠ َﺪةٌ ﻣَﺎ ﺗَـﻌَﺎر‬
e.
Hadits ini, tidak membicarakan apa yang disebut ruh itu? Dia hanya mengisyaratkan
keanekaragamannya, dan bahwa manusia mempunyai kecenderungan berbeda-beda, dan setiap
pemilik kecenderungan jiwanya akan bergabung dengan sesamanya
‘Aql, Al-Qur’an tidak menjelaskannya secara eksplisit , namun dari konteks ayat-ayat yang
menggunakan akar kata ‘aql dapat dipahami bahw ia adalah : pertama, Daya untuk memahami dan
menggambarkan sesuatu Wa ma ya’qiluha illa al-‘alimun (Al-Ankabut : 43). Kedua, dorongan moral.
Ketiga, Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta ‘hikmah”.
19
C. Etika
Salah satu disiplin pokok filsafat adalah etika. Etika merefleksikan bagaimana
manusia harus hidup agar ia berhasil sebagai manusia. Karena itu tidak mengherankan
bahwa hampir semua filsuf besar menulis dalam bidang Etika.28
Istilah Etika secara bahasa berasal dari bahasa Yunani ethos dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti: adat, watak atau kesusilaan. Dalam bentuk jamak (ta
etha) artinya adalah adat kebiasaan. Menurut Pujowijatno, makna utama dari etika,
yang terambil dari kata Yunani ethos, adalah tingkah laku. Sehubungan dengan ini,
Mahjuddin mengartikan kata etika, yang secara bahasa berasal dari Yunani ethos,
sebagai adat, watak atau kesusilaan. Dengan demikian di kalangan ahli memang telah
ada kesepakatan perihal asal kata etika yakni berasal dari bahasa Yunani ethos.
Dalam kamus filsafat dikatakan:
“Ethics is a set of standards by which a particular group or community decides to
regulate its behaviour- to distinguish what is legitimate or acceptable in pursuit of their
aims from what is not.29
"Etika adalah satu set standar dengan mana suatu kelompok tertentu atau
komunitas memutuskan untuk mengatur perilakunya-untuk membedakan apa yang sah
atau diterima dalam mengejar tujuan mereka dari apa yang tidak.
Etika adalah ilmu tentang tindakan tepat dalam bidang khas manusia, jadi dalam
bidang berubah, dan dari objeknya itu ilmu etika mendapat kekhasannya. Objek etika
adalah alam yang berubah, terutama alam manusia. Oleh karena itu, etika bukanlah
episteme, bukanlah ilmu pengetahuan. Tujuan etika bukan pengetahuan lebih tajam,
28
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 5
dictionary of philosophy (London: Mac Millan Press, 1980), h. 104
29A
20
melainkan praxis;30 bukan pengetahuan apa itu hidup yang baik, melainkan membuat
orang hidup dengan baik.31
Etika, suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh seorang kepada yang lain, menyatakan tujuan yang harus
dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang harus diperbuat.32
Etika menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik
dan buruk, akan tetapi tidak semua perbuatan itu dapat diberi hukum baik dan buruk.
Karena, perbuatan manusia itu ada yang timbul dengan kehendak, maka ini bukan
pokok persoalan etika, dan tidak dapat memberi hukum.33
Poespoprodjo mengatakan etika mendasarkan dirinya atas fakta pengalaman,
yakni keputusan tentang hal yang benar dan yang salah, keyakinan yang dimiliki
manusia bahwa beberapa perbuatan adalah benar dan sepantasnya dikerjakan, dan
ada perbuatan yang salah dan sepantasnya tidak dikerjakan, atau terdapat perbuatan
yang indiferen (khiyar) yang boleh dijalankan atau tidak boleh dijalankan.34
Oleh karena itu, etika tidak memberikan pengetahuan yang pasti dan jadi. Etika
tidak dapat menentukan dengan tepat bagaimana manusia dalam situasi tertentu harus
bertindak.
30Dalam filsafat Yunani dan khususnya bagi Aristoteles praxis
atau tindakan adalah segala
tindakan yang dilakukan untuk dirinya sendiri. Namun praxis yang terpenting adalah partisipasi dalam
kehidupan bersama komunitas. Dalam praxis manmnusia merealisasikan diri sebagai makhluk sosial, lihat
Franz Magnis Suseso, Op.cit, h. 34-35
31Ibid, h. 39
32Ahmad Amin Etika Ilmu Akhlak (Jakarta : Bulan Bintang , 1995), h. 3
33Loc.Cit
34 W. Poespoprodjo, Filsafat Moral kesusilaan dalam teori dan praktek (Bandung: Pustaka Grafika,
1998), h. 117
21
Etika hanya dapat mendukung perkembangan phronesis35 sehingga orang
yang bersangkutan dalam situasi konkret mampu mengambil keputusan yang tepat.
Dalam arti ini etika mendukung otonomi manusia. Karena itu, menurut Aristoteles,
pengetahuan yang diberikan oleh etika adalah pengetahuan dalam garis besar (typo)
dan bukan secara terinci.36
Sementara itu pengertian kata moral, yang secara etimologis berasal dari bahasa
Latin mos dan jamaknya adalah mores berarti kebiasaan dan adat. Dalam bahasa
Indonesia, kata Suwito, pada umumnya kata moral diidentikkan dengan kata etika.
Adapun secara istilah, pengertian etika tampak berbeda dengan moral, dan juga
dengan akhlak. Sebagai disampaikan oleh Komaruddin Hidayat, etika adalah suatu
teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang
buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Sejalan dengan pengertian ini, Suwito
menegaskan bahwa etika baru menjadi sebuah ilmu bila kemungkinan-kemungkinan
etis telah menjadi refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini,
lanjut Suwito, identik dengan filsafat moral. Bersama estetika, etika merupakan cabang
filsafat yang menjadi bagian dari wilayah nilai, sehingga etika didefinisikan sebagai
cabang filsafat yang mengkaji secara rasional, kritis, reflektif, dan radikal persoalan
moralitas manusia. Jadi etika membicarakan perilaku manusia (kebiasaan) ditinjau dari
baik-buruk, atau teori tentang perbuatan manusia ditinjau dari nilai baik-buruknya. Oleh
karena itu bisa dikatakan bahwa etika merupakan bidang garapan filsafat, dengan
moralitas sebagai objek meterialnya. Jadi, studi kritis terhadap moralitas itulah yang
35Phronesis
adalah kemampuan orang untuk mengambil sikap dan keputusan bijaksana dalam
memecahkan pelbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari. Phronesis menurut Aristoteles dapat
didefinisikan sebagai “kebiasaan bertindak berdasarkan pertimbangan yang tepat dalam bidang masalah
baik dan buruk bagi manusia”. Ibid, h. 38
36Ibid, h. 40
22
merupakan wilayah etika. Bila dirujukkan dengan penjelasan Pudjowijatno, bila
moralitas sebagai objek materialnya, maka tindakan manusia yang dilakukannya
dengan sengaja adalah objek formal dari etika, dan perilaku sengaja inilah yang biasa
pula dinamakan dengan tindakan akhlaki atau perilaku etis. Dengan kata lain, etika
merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai
penyelenggaraan hidup yang baik. Sementara moral lebih berkenaan dengan tingkah
laku yang kongkrit, berbeda dengan etika yang bekerja pada level teori.
Atas dasar pengertian tersebut dapat ditarik garis batas dan garis hubungan etika
dengan moral di satu pihak dan dengan akhlak pada pihak lain.
Moral merupakan aturan-aturan normatif yang berlaku dalam suatu masyarakat
tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu, yang penetapan tata nilai itu di
masyarakat menjadi wilayah garapan antropologi. Dengan demikian moral lebih dekat
dengan akhlak, meski tidak sepenuhnya, ketimbang dengan etika.
Akhlak bentuk jamak dari kata khuluq, artinya kemanusiaan, adat atau
kebiasaan, tingkahlaku, perangai, tabi’at37. Sedangkan menurut istilah, akhlak adalah
daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa
melalui proses pemikiran atau pertimbangan38. Dengan demikian akhlak pada dasarnya
adalah sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam
tingkah laku atau perbuatan. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan
agama, maka tindakan itu disebut akhlak yang baik atau akhlakul karimah (akhlak
mahmudah). Misalnya jujur, adil, rendah hati, pemurah, santun dan sebagainya.
37
Abu Luwis Makhluf, Munjid fi- al-Lughoh wa al-A’lam cetakan ke-42 (Beirut: Darul Masyriq,
2007) h. 194
38Abu Ali Ahmad bin Muhammmad Miskawayh, Tahdzib al-akhlaq, dalam Imran Effendy,Pemikiran
akhlak Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari (Riau: LPNU Press, 2003), h. 73 baca
http://dewon.wordpress.com/2007/11/03/kategori-19/
23
Sebaliknya apabila buruk disebut akhlak yang buruk atau akhlakul mazmumah.
Misalnya kikir, zalim, dengki, iri hati, dusta dan sebagainya. Baik dan buruk akhlak
didasarkan kepada sumber nilai, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasul.
Raghib al-Isfahani39 menyebutkan bahwa kata khuluq itu memiliki makna yang
beragam, diantaranya kemampuan yang diketahui dengan akal, atau juga ditujukan
sebagai kemampuan ghariziya, bahkan kemampuan ini ditujukan pula pada suatu
keadaan yang diupayakan menuju tebentuknya suatu perilaku. Juga untuk
menggambarkan keadaan jiwa manusiayang menjadi sumber lahrnya perbuatan secara
spontan, atau juga merupakan suatu ungkapan yang ditujukan pada perbuatan yang
lahir dari namanya seperti ‘Iffa, ‘adala dan lain-lain.40
Al-Farabi, menyebutkan bahwa sesungguhnya akhlak itu merupakan upaya
penumbuhkembangan akhlak potensial yang baik dalam diri manusia dengan jalan
membiasakan perilaku-perilaku yang terpuji dan membangun situasi dan kondisi yang
kondusif untuk tumbuh dan kembangnya perilaku yang terpuji dalam diri seseorang 41
Karakteristika akhlak adalah bersifat agamis, dan ini tidak ada pada moral. Oleh
karena itu akhlak lebih merupakan sebagai suatu paket atau barang jadi yang bersifat
normatif-mengikat, yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang
muslim, tanpa mempertanyakan secara kritis, sehingga akhlak bisa disebut dengan
moralitas islami.
Studi kritis terhadap moralitas itulah wilayah etika, sehingga moral tidak lain
adalah objek kajian daripada etika. Dengan demikian kalau dibandingkan dengan
39 Abul-Qasim Husayn ibn Muhammad Ibn al-Mufaddal al-Raghib al-Isfahani, seorang filsuf muslim
islam klasik, wafat 1108 M. Amril M, Etika Islam,op.cit. h. 31
40 Amril Mans ur, Etika dan Pendidikan, (Yogyakarta: Aditiya Media, 2005), h Ibid, 8-9
41 Ibid, h. 11
24
penjelasan mengenai akhlak di atas, kiranya dapat diketahui bahwa etika lebih
menunjuk pada ilmu akhlak, sedangkan moral lebih merupakan perbuatan konkrit
realisasi dari kekuatan jiwa. Meski demikian harus tetap dikatakan bahwa dari segi
sumbernya keduanya berbeda. Etika bersumber dari pemikiran manusia terutama
filsafat Yunani, sedangkan imlu akhlak, meski juga merupakan hasil pemikiran, tetapi ia
bersumber dari wahyu yakni al-Qur’an dan al-Hadis. Dengan demikian—dalam batas
tertentu—dapat dikatakan bahwa ilmu akhlak bersumber pokok pada al-Qur’an dan
Hadits, hanya pengembangannya dilakukan dengan menggunakan filsafat sebagai
sarananya; sedangkan etika semata-mata bersumber dari filsafat, tidak terkait dengan
wahyu.
Selanjutnya adalah menyangkut perbedaan akhlak dengan moral. Meski keduanya
sama-sama menunjuk pada perbuatan, namun bila dilihat dari objeknya, dua istilah itu
tidak identik; sifat akhlak adalah teorsentris, karena segala perbuatan yang ditunjuk
oleh istilah akhlak dilihat dalam kontkesnya dengan Tuhan, baik perbuatan dalam
hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Sementara moral
hanya menunjuk pada perbuatan dengan sesama manusia, tidak menunjuk dengan
Tuhan, karenanya bersifat antroposentris, dan tujuannya hanya sebatas untuk
kepentingan manusia. Dengan kaata lain, objek akhlak lebih kompleks karena
mencakup akhlak terhadap Tuhan dan akhlak terhadap manusia, dan keduanya
bersifat teorsentris; sementara moral hanya menyangkut perbuatan terhadap sesama
manusia, dan hanya dilihat untuk tujuan antroposentris.
Meskipun para ahli memberikan makna kebahasaan yang cukup beragam
terhadap kata etika itu, namun makna-makna itu pada umumnya tetap berada pada
25
lingkaran di seputar perbuatan-perbuatan kategori akhlaki seperti: kebiasaan, tingkah
laku, kesusilaan dan semisalnya.
Secara umum etika merupakan studi nilai dalam realitas perilaku manusia, untuk itu
etika biasanya berkaitan tentang persoalan-persoalan semisal; apa bentuk kehidupan
yang baik bagi seluruh manusia? bagaimana kita harus berperilaku? Selain itu etika
juga berkaitan dengan pengajuan nilai-nilai good sebagai tindakan-tindakan yang
right.42
1. Perkembangan Pemikiran Etika
Secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari kemabrukan tatanan
moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun yang lalu. Karena
pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, para
filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia.43
Jejak-jejak pertama sebuah etika muncul dikalangan murid Pytagoras. Kita
tidak tahu banyak tentang pytagoras. Ia lahir pada tahun 582 SM di Pulau Samos
di Asia Kecil Barat dan kemudian pindah ke daerah Yunani di Italia Selatan. Ia
meninggal 497 SM44. Di sekitar Pytagoras terbentuk lingkaran murid yang
tradisinya diteruskan selama dua ratus tahun. Menurut mereka prinsip-prinsip
matematika merupakan dasar segala realitas. Mereka penganut ajaran
reinkarnasi. Menurut mereka badan merupakan kubur jiwa (soma-sema,”tubuhkubur”). Agar jiwa dapat bebas dari badan, manusia perlu menempuh jalan
42
Ibid, h. 48
Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius,
43Franz
1987), h. 15
44J.Hirschberger, Geschichte der Philosophie, vol. I Basel/Freiburg/Wien:Herder dalam Franz
Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 12. Lihat Dewan Redaksi, oxford
Ensiklopedi Pelajar, (Jakarta: Widyadarma, 2007),h. 196
26
pembersihan. Dengan bekerja dan bertapa secara rohani, terutama dengan
berfilsafat dan bermatematika, manusia dibebaskan dari ketertarikan indrawi dan
dirohanikan. Dalam kehidupan bersama, persahabatan dan persaudaraan semua
orang merupakan nilai tertinggi.45
Seratus tahun kemudian, Demokritos (460-371 SM) bukan hanya
mengajarkan bahwa segala apa dapat dijelaskan dengan gerakan bagian-bagian
terkecil yang tak terbagi lagi, yaitu atom-atom. Menurut Demokritos nilai tertinggi
adalah apa yang enak. Dengan demikian, anjuran untuk hidup baik berkaitan
dengan suatu kerangka pengertian hedonistik.46
Sokrates (469-399 SM) tidak meninggalkan tulisan47. Ajarannya tidak
mudah direkonstruksi karena bagian terbesar hanya kita ketahui dari tulisantulisan Plato. Dalam dialog-dialog palato hampir selalu Sokrates yang menjadi
pembicara utama sehingga tidak mudah untuk memastikan pandangan aslinya
atau pandangan Plato sendiri. Melalui dialog Sokrates mau membawa manusia
kepada paham-paham etis yang lebih jelas dengan menghadapkannya pada
implikasi-implikasi anggapan-anggapannya sendiri. Dengan demikian, manusia
diantar kepada kesadaran tentang apa yang sebenarnya baik dan bermanfaat.
Dari kebiasaan untuk berpandangan dangkal dan sementara, manusia diantar
kepada kebijaksanaan yang sebenarnya.
45
Loc . cit
Ibid, h. 13
47Loc. Cit lihat Dewan Redaksi, oxford Ensiklopedi Pelajar, (Jakarta: Widyadarma, 2007),h. 196
Ibid, h. 212
46
27
Plato, lahir 429 SM-347 SM dari keluarga bangsawan Athena 48. Menurut
Plato, orang itu baik apabila dikuasai oleh akal budi, buruk apabila ia dikuasai
hawa nafsu.49 Intuisi Akademi Plato tentang hidup yang baik itu mempengaruhi
filsafat dan juga kerohanian di Barat selama 2000 tahun. Baru pada zaman
modern paham tentang keterarahan objektif kepada Yang Ilahi dalam segala yang
ada mulai ditinggalkan dan diganti oleh pelbagai pola etika; diantaranya etika
otonomi kesadaran moral Kant adalah yang paling penting. Etika Plato tidak hanya
berpengaruh di barat, melainkan lewat Neoplatoisme juga masuk ke dalam
kalangan sufi Muslim. Disinilah nantinya jalur hubungan pemikiran filsafat yunani
dengan pemikir muslim seperti Ibn Miskawaih yang banyak mempelajari filsafat
yunani sehingga mempengaruhi tulisan-tulisannya mengenai filsafat etika.
Aristoteles, lahir pada tahun 384 SM di Stagyra di daerah Tharakia,
Yunani Utara. Delapan belas tahun kemudian ia masuk Akademia di Athena dan
menjadi murid Plato.50 Meskipun selama 20 tahun menjadi murid Plato, Aristoteles
menolak ajaran Plato tentang idea, menurutnya tidak ada idea-idea yang abadi.
Apa yang oleh Plato dipahami sebagi idea sebenarnya adalah bentuk abstrak
yang tertanam dalam indrawi sendiri. Aristoteles adalah pemikir pertama di dunia
yang mengidentifikasikan dan mengutarakan etika secara kritis, refleksif, dan
argumentatif. Oleh karena itu, Aristoteles dianggap filsuf moral pertama dalam arti
yang sebenarnya. Ia adalah pendiri Etika sebagai ilmu atau cabang filsafat
tersendiri.51
48Ibid,
h. 193
Magnis Suseno, 13 Tokoh etika. Op.cit, h. 19
50 Ibid, h. 27
51 Ibid, h. 28
49Franz
28
Ada tiga karya besar Aristoteles yang menyangkut etika: yang pertama
adalah ethika Eudemia, yang kedua Ethika Nikomacheia, dan yang ketiga Politike.
Salah satu kehebatan etika Aristoteles adalah bahwa ia bukan hanya menyangkal
kebenaran anggapan bahwa pencarian nikmat merupakan tujuan hidup manusia,
melainkan juga merumuskan argumentasi yang pada hakikatnya sekarangpun
masih meyakinkan. Alasan utama yang dikemukakan Aristoteles adalah bahwa
perasaan nikmat tidak khas manusiawi. Orang yang hanya mencari nikmat sama
derajatnya dengan binatang. Menurut Aristoteles, nilai tertinggi bagi manusia mesti
terletak dalam suatu tidakan yang merealisasikan kemampuan atau potensialitas
khas manusia. Dalam bahasa sekarang manusia mencapai kebahagiaan dengan
mengembangkan diri, dalam perealisasia kekuatan-kekuatan hakikinya.52
Setelah Aristoteles, Epikuros (314-270 SM) adalah tokoh yang
berepengaruh dalam filsafat etika. Ia mendirikan sekolah filsafat di Athena dengan
nama Epikureanisme, akan menjadi salah satu aliran besar filsafat Yunani pasca
Aristoteles.53 Berbeda dengan Plato dan Aristoteles, berbeda juga dengan Stoa,
Epikuros dan murid-muridnya tidak berminat memikirkan, apalagi masuk ke bidang
politik. Ciri khas filsafat Epikuros adalah penarikan diri dari hidup ramai.
Semboyannya adalah “hidup dalam kesembunyian“.54
Etika Epikurean bersifat privatistik. Yang dicari adalah kebahagiaan
pribadi. Epikuros menasihatkan orang untuk menarik diri dari kehidupan umum,
dalam arti ini adalah individualisme. Namun ajaran Epikuros tidak bersifat egois. Ia
mengajar bahwa sering berbuat baik lebih menyenangkan daripada menerima
52
Ibid, h. 32-33
h. 47
54 Ibid, h. 48
53Ibid,
29
kebaikan. Bagi kaum Epikurean, kenikmatan lebih bersifat rohani dan luhur
daripada jasmani. Tidak sembarang keinginan perlu dipenuhi. Ia membedakan
antara keinginan alami yang perlu (makan), keinginan alami yang tidak perlu
(seperti makanan yang enak), dan keinginan sia-sia (seperti kekayaan).
Tokoh-tokoh filsafat etika Yunani masih banyak lagi, dan penulis
berkeinginan membahas semuanya disini, namun karena keterbatasan tempat dan
tema yang diangkat maka tokoh yang disebut diatas penulis anggap sudah cukup
mewakili sejarah filsafat etika Yunani pada masa itu. Adapun korelasinya dengan
intelektual islam pada masa sesudahnya seperti Ibn Miskawaih55 yang dalam
banyak tulisannya banyak dipengaruhi dari pemikiran tokoh filsafat yunani.
Pemikiran etika Ibn Miskawaih dapat digolongkan pada kelompok etika
individualistik dimana semua kebaikan dan kebajikan yang dilakukan manusia
didasarkan hanya pada perolehan kebahagiaan individu semata. Dengan
keyakinan ontologisnya pada etika individualistik menjadikan ajaran etika Ibn
Miskawaih terkungkung hanya pada tataran manusia sebagai makhluk individu,
tanpa melihat kenyataan lain, bahwa manusia juga makhluk sosial. Selain itu juga
teori etika Ibn Miskawaih menekankan unsur kebebasan pada manusia, yang pada
55Nama
lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub bin Maskawaih (330421/941 M-16 februari 1030). Terkenal sebagai ahli sejarah dan filsafat, moralis dan penyair. Psikologi
Miskawaihi bertumpu pada ajaran spiritualistik tradisional Plato dan Aristoteles dengan kecenderungan
Platonis. Ibnu Miskawaihi menyatakan adanya keterkaitan antara pembentukan watak dengan pendidikan
dan ilmu jiwa. Jiwa memiliki tiga kekuatan, pertama, Quwwatun Natiqah (daya pikir) dinamai juga Quwwatun
Malakiyah merupakan fungsi tertinggi, kekuatan berpikir, melihat fakta. Kedua Quwwatun Ghodabiyah (Daya
Marah) yakni keberanian menghadapi resiko, ambisi pada kekuasaan, kedudukan dan kehormatan.
Kekuatan ini disebut juga Quwwatun Sab'iyah (Daya Kebuasan). Bagian terpenting dari pemikiran filosofis
Ibnu Maskawaih ditujukan pada etika atau moral. Ia seorang moralis dalam arti sesungguhnya. Masalah
moral ia bicarakan dalam tiga bukunya: Tartib as-Sa’adah (tentang akhlak dan politik), tahdzib al-Akhlak
(pembinaan akhlak), dan Jawidan Khirad (Kumpulan ungkapan bijak). Dalam masalah etika, Ibnu Maskawaih
berpendapat bahwa kebaikan terletak pada segala yang menjadi tujuan , dan apa yang berguna untuk
mencapai tujuan tersebut adalah baik juga. Kebaikan atau kebahagiaan adalah sesuatu yang relatif dan
dapat juga dicapai di dunia. Lihat Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), h.
163
30
akhirnya keyakinannya yang sempit terhadap terhadap makna kemaha-kuasaan
Tuhan, menjadikan ide etikanya cenderung pada fatalistik. 56
Pada abad-abad pertama sesudah hijrah timbullah aliran Mu’tazilah57.
Madzhab ini memerangi pengaruh filsafat Yunani dengan mempergunakan
metoda-metoda filsafat; golongan ini disebut juga rasionalis. Beberapa dalil yang
mereka ajarkan ialah, pertama: Manusia berkemauan bebas. Tanpa kemauan
bebas mustahillah meyusun suatu etika. Kedua, mereka berpendapat bahwa alQur’an diciptakan Tuhan didalam waktu. Maksud mereka ialah membuka jalan
bagi suatu analisa rasional dan pembahasan tentang Tuhan dan patokan-patokan
iman yang lebih terikat waktu. Dengan mengingkari keabadian al-Qur’an mereka
mungkin
tidak
bermaksud
untuk
menisbikan
ajaran
agama,
justru
mengaktualkannya. Bahwa kebenaran bersifat abadi harus ditafsirkan demikian,
bahwa pada zaman-zaman yang berlainan kebenaran itu hendaklah dirumuskan
dengan cara yang berlainan pula. Pada akhir abad ke -9 M pengaruh Mu’tazilah
berakhir dan ajaran mereka dilarang.58
56Muhmidayeli,
Pemikiran Etika Ibn Miskawaih dan J.J. Rousseau (Studi perbandingan filsafat
Moral) (Pekanbaru: Susqa Press, 2001), h. 237-238
57 Lahirnya aliran Mu’tazilah dipelopori oleh Washil bin Atha pada awal berkuasanya Daulah
Abbasiyah dan setelah berakhirnya Daula Umayyah di Damaskus. Wahil lahir di Madinah pada tahun 700 M
dan menetap di Bashrah hingga wafat pada usia 49 tahun. Washil belajar agama dari Hasan al-Bashri.
Dalam sebuah majlis, saat muncul pertanyaan tentang masalah yang diperdebatkan Khawarij dan Murji’ah,
Washil berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah kafir dan bukanlah mu’min,
melainkan berada diantara keduanya. Jika meninggal sebelum bertobat, ia akan masuk neraka seperti orang
kafir. Akan tetapi, apabila sempat tobat sebelum meninggal, ia akan masuk surga. Menedengar itu, Hasan alBashri berkata, I’taza ‘anna”. Ada lima ajaran yang diusung Mu’tazilah: Tauhid, Al-‘Adl, Al-Wa’d wa al-wa’id,
Almanzilah baina manzilataini, dan Al-amr bi al-ma’ruf al-nahy ‘an al-munkar.Ahmad Sahidin, Aliran-Aliran
dalam Islam (Bandung: Salamadani, 2009), h. 40-41
58 Van Peursen Filosofische Orientatie, edisi terjemahan Indonesia Dick Hartoko Orientasi di Alam
Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1980), h. 133
31
Asy’ariyyah59 menantang mu’tazilah dengan mengajukan keberatan
bahwa jika nilai-nilai etika tersebut rasional yakni dapat dideduksi oleh rasio
manusia maka tidak bisa tidak kita akan digiring kerelativitas nilai. Oleh karenanya,
tidak mungkin ada etika absolut.60
Asy’Ariyyah berargumentasi lebih jauh bahwa jika etika dan norma-norma moral
harus dianggap mutlak dan bukan relatif, Perintah atau larangan Tuhan dibalik
kehendak Mutlak Tuhan harus dijadikan fondasi nilai-nilai etika.61
2. Teori-Teori Etika
a. Teori Deontologi
Istilah deontologis berasal dari kata Yunani deon yang berati apa yang
harus dilakukan; kewajiban, etika ini menekankan kewajiban manusia untuk
bertindak secara baik atau formal istis (menekankan prinsip). Argumentasi
dasar yang dipakai adalah bahwa suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan
dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik serta konsekuensi –
konsekuensi dari suatu tindakan, melainkan berdasarkan maksud si pelaku
dalam melakukan perbuatan tersebut.62
Dari argumen diatas jelas bahwa etika ini menekankan motivasi,
kemauan baik, dan watak yang kuat dari pelaku, lepas dari akibat yang
ditimbulkan dari pelaku. Menanggapi hal ini Immanuel kant menegaskan dua
hal:
59
Pelopor aliran Theologi ini ialah Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (873-935 M), semula ia adalah seorang
Mu’tazilah. Ia kemudian keluar dan melakukan kritik terhadap pemikiran atau ajaran Mu’tazilah. Ahmad
Sahidin, Op.cit, h. 43
60M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan kant Filsafat Etika Islam (Bandung : Mizan 2002), h.88
61Loc.Cit
62K. Bertens, Etika, Op.cit h. 254 baca Lorens Bagus Kamus Filsafat Ibid h. 218. Baca juga
Bioetika.edublogs.org/ tori-teori etika
32
1.
Tidak ada hal di dunia yang bisa dianggap baik tanpa kualifikasi kecuali
kemauan baik. Kepintaran, kearifan dan bakat lainnya bisa merugikn kalau
tanpa didasari oleh kemauan baik. Oleh karena itu Kant mengakui bahwa
kemauan ini merupakan syarat mutlak untuk memperoleh kebahagiaan.
2.
Dengan menekankan kemauan yang baik tindakan yang baik adalah
tindakan yang tidak saja sesuai dengan kewajiban, melainkan tindakan
yang dijalankannya demi kewajiban. Sejalan dengan itu semua tindakan
yang bertentangan dengan kewajiban sebagai tindakan yang baik bahkan
walaupun tindakan itu dalam arti tertentu berguna, harus ditolak.
Namun, selain ada dua hal yang menegaskan etika tersebut, namun kita
juga tidak bisa menutup mata pada dua keberatan yang ada yaitu:
1. Bagaimana bila seseorang dihadapkan pada dua perintah atau kewajiban
moral dalam situasi yang sama, akan tetapi keduanya tidak bisa
dilaksankan sekaligus, bahkan keduanya saling meniadakan.
2. Sesungguhnya etika deontologis tidak bisa mengelakkan pentingnya akibat
dari suatu tindakan untuk menentukan apakah tindakan itu baik atau
buruk.63
63
http://drveggielabandresearch.blogspot.com/2008/05/pengertian-etika-dan-jenis-jenis-etika.html
33
b. Teori Teleologi
Teleologis berasal
dari bahasa Yunani, yakni “telos” yang berati
tujuan. Etika teleologis menjadikan tujuan menjadi ukuran untuk baik buruknya
suatu tindakan. Dengan kata lain, suatu tindakan dinilai baik kalau bertujuan
untuk mencapai sesuatu yang baik atau kalau akibat yang ditimbulkan baik. 64
Majid Fakhry
membagi tipe teori Etika Islam kedalam empat
kelompok65, yaitu:
1.
Scriptual Morality; Keputusan-keputusan etika diambil dari Al-Qur’an dan
al-Sunnah dengan memanfaatkan abstraksi-abstraksi dan analisis-analisi
para filsuf dan para teolog di bawah naungan metode-metode dan
kategori-kategori diskursif yang berkembang pada abad VIII dan IX.
Kelompok ini pada umumnya ditemukan pada Mufassiru,Muhadditsun dan
Fuqoha’;
2.
Theological Theories, Dasar keputusan etika mereka sepenuhnya pada alQur’an dan al-Sunnah. Tipe kelompok ini diwakili oleh Mu’tazilah dan
Asy’ariyyah.
3.
Philosopical Theories, Keputusan etika mereka sepenuhnya berakar dari
tulisan Plato dan Aristoteles yang telah diinterpretasi oleh penulis-penulis
Neo-Platonik dan Galen yang digabung dengan doktrin-doktrin
Stoa,Platonik, Phitagorian dan Aristotelian. Tipe kelompok ini ditemukan
secara jelas pada Ibnu Miskawaih dan penerusnya.
64
ibid
65Amril
Mansur, Etika Islam Op.cit, h. 5
34
4.
Religious Theories, Keputusan etika mereka berdasar dari Al-Qur’an, AlSunnah, konsep-konsep Theologis, Kategori-kategori filsafat dan sedikit
sufis. Unsur utama pemikiran etika ini biasanya terkonsentrasi pada dunia
dan manusia. Majid Fakhry menilai pemikiran Etika pada tipe ini lebih
kompleks dan berciri islami. Diantara para tokoh kelompok ini; Hasan alBashri (W.78 M), Al-Mawardi (W.1058 M), Al-Ghazali (W. 1111 M),
Fakhruddin al-Razi (W. 1209 M).66
3. Bagian – bagian Etika
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama:
1. Etika Deskrptif
Hanya melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat
kebiasaan suatu kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif
memelajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode
tertentu. Etika ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi,
psikologi, dll, jadi termasuk ilmu empiris, bukan filsafat.67
2.Etika Normatif
Etika yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian
(preskriptif: memerintahkan). Untuk itu ia mengadakan argumentasi, alasanalasan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif dibagi
menjadi dua, etika umum yang memermasalahkan tema-tema umum, dan etika
khusus yang menerapkan prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah manusia yang
66Majid
Fakhry, Ethical Theories in Islam, dalam Amril M, Etika Islam Telaah pemikiran Filsafat
Moral Raghib Al-Isfahani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 5
67K. Bertens Op.cit. h. 15 baca http://filsafat.kompasiana.com/2010/02/18/etika-%E2%80%93filsafat-moral-sebuah-perkenalan/
35
khusus, misalnya masalah kedokteran, penelitian. Etika khusus disebut juga
etika terapan (applied ethics).68
3. Metaetika
Meta berarti
melampaui atau melebihi. Yang dibahas bukanlah
moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas.
Metaetika bergerak pada tataran bahasa, atau memelajari logika khusus dari
ucapan-ucapan etis. Metaetika dapat ditempatkan dalam wilayah filsafat
analitis, dengan pelopornya antara lain filsuf Inggris George Moore (18731958). Filsafat analitis menganggap analisis bahasa sebagai bagian terpenting,
bahkan satu-satunya, tugas filsafat.69
4. Sifat-Sifat Etika
a. Non empiris
Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu
yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun filsafat tidaklah
demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan seolah-olah
menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula dengan etika.
Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara faktual
dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak
boleh dilakukan.70
68
Ibid, h. 19 baca Lorens Bagus Kamus Filsafat Ibid,h. 219
69Ibid,
70
h. 20
K Bertens, Ibid,
36
b. Praktis
Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya
filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada
itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian
etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung berhubungan
dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa
etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak
bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tematema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb.
5. Teori Etika Menurut Ajaran Islam
Istilah etika dalam ajaran Islam tidak sama dengan apa yang diartikan oleh
para ilmuwan Barat. Bila etika barat sifatnya antroposentrik maka etika Islam
bersifat teosentrik. Dalam etika Islam suatu perbuatan selalu dihubungkan dengan
amal shaleh atau dosa, dengan pahala atau siksa, dengan surga atau neraka. 71
Butir-butir etika dalam Islam begitu banyak dalam al-Qur’an dan hadis,
diantaranya:
1.
Setiap perbuatan hendaknya didasarkan atas mencari ridha Allah (Q.S.2:
207)72, lillahi ta’ala, ikhlas karena Allah semata-mata. Perbuatan yang
71Tohari
Musnamar, Op.cit h. 85
    







72  
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah;
dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya
37
didasarkan atas mencari keridhaan Allah itu manfaatnya bukan bagi Allah,
melainkan bagi individu yang bersangkutan.
2.
Sesuatu yang baik selalu berasal dari Allah Subhanahu wata’ala., Sedangkan
sesuatu hal atau nasib yang buruk merupakan akibat dari perbuatan atau
kesalahan manusia sendiri (Q.S.4: 79)73
3.
Terhadap hawa nafsu yang dimiliki oleh setiap orang, yang mendorong kearah
pelampauan batas, Islam tidak mematikan atau memberi jalan buntu melainkan
menyalurkannya, sesuai dengan norma-norma yang diridhai Allah.
4.
Akal manusia itu terbatas. Agama tidak bertentangan dengan akal sehat.
Berkali-kali terbukti apabila ajaran agama (Islam) yang nampaknya tidak
diterima oleh akal manusia maka bukan ajaran agama yang tidak masuk akal
melainkan manusia yang pada waktu itu belum sampai.
5.
Manusia memiliki kehendak bebas (free will) dalam keterbatasannya sebagai
makhluk yang fana dan lemah. Kehendak bebas itu tercermin dari niatnya,
sehingga baik buruk sesuatu perbuatan itu tidak dinilai dari akibatnya
melainkan dari niat yang mengawali perbuatan tersebut.
6.
Manusia memiliki otonomi penuh dalam menentukan keyakinan hidupnya,
termasuk apakah ia akan menjadi golongan orang muslim, kafir, musyrik,
     73






     
  
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari
(kesalahan) dirimu sendiri. kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah
menjadi saksi.
38
munafik, ahli kitab dan sebagainya. Tidak ada paksaan dalam agama, sebab
sudah jelas mana petunjuk dan mana jalan yang sesat (Q.S. 2 : 256)74
7.
Manusia memiliki kalbu atau hati nurani (Conscience) yang dapat memberikan
pertimbangan-0pertimbangan moral (moral sense) dan cita rasa susila. Kalbu
dapat tajam atau tumpul tergantung dari pemeliharaan diri. Apabila kalbu baik,
baiklah orang itu. Apabila kalbu tidak dipelihara maka jahatlah orang itu.
8.
Islam tidak memisahkan antara amal dengan ibadah. Setiap amal baik yang
diawali dengan ucapan “Bismillahirrohmanirrohim” menjadi suatu ibadah.
Dengan kata lain setiap perilaku manusia muslim selalu berhubungan dan
dihubungkan dengan pengabdiannya kepada Allah SWT.
9.
Sesuatu perbuatan adalah baik apabila sesuai dengan perintah Allah serta
didasari atas niat baik (H.R. Sittah). Sesuatu perbuatan adalah buruk apabila
melanggar larangan Allah, atau perbuatan baik tetapi diatasi atas niat yang
buruk.
10. Kebaikan adalah keindahan akhlak, sedangkan tanda-tanda dosa adalah
perasaan tidak enak serta merasa tidak senang apabila perbuatannya diketahui
orang banyak.
74
      
     




   
     

Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada
Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus.
dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
39
11. Tujaun akhir hidup seorang muslim adalah pengabdian kepada Allah agar
memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat
serta terhindar dari siksa api neraka.
12. Kemuliaan seseorang muslim dihadapan Allah tidak diukur dari jabatannya,
kekayaannya, keilmuan, dan sebagainya, melainkan dari takwanya kepada
Allah (Q.S. 49:13)75
13. Sesama mu’min adalah saudara (Q.S. 49: 10) Sesama mu’min seperti tembok
bangunan yang saling memperkuat satu sama lain. Kasih sayang merupakan
dasar pergaulan sesama mu’min(Q.S.48: 29)76
14. Selain tauhid beserta rukun iman dan rukun Islam, Risalah yang terpenting
yang dibawa oleh Nabi SAW ialah menyempurnakan akhlak yang mulia. Baik
buruk, benar salah, halal haram, sunnat makruh, bahkan hal-hal yang mubah
telah jelas diatur dan dinyatakan dalam al-Qur’an dan sunnah rasul. Islam
mengutamakan dan menjunjung tinggi golongan yang posiitf (Ashabul yamin)
daripada golongan yang negatif Ashabul Syimal)
   75
    




      
  
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
40
15. Umat Islam adalah umat yang mengutamakan keselarasan, keserasian dan
keseimbangan (Ummatan washata) Untuk menjadi saksi bagi manusia
mengenai kebenaran dan keadilan (Q.S. 2:143)77.
16. Seorang muslim adalah pencinta kebenaran.
D.
Pendidikan
Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan
akhiran “an” yang mengandung ati “perbuatan”. Istilah pendidikan semula dari bahasa
Yunani, yaitu “ Paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak.
Dalam Pendidikan Islam, pendidikan pada umumnya mengacu kepada
term tarbiyah78, ta’lim79 dan ta’dib80.


77








 
Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
78Kata Tarbiyah, berasal dari tiga kata, yaitu: Pertama,rabba-yarbu yang berarti bertambah,
tumbuh, dan berkembang (Q.S. 30:39)
    

     
 
Artinya : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
Kedua, rabiya-yarba berarti menjadi besar. Ketiga, Rabba-Yarubbu berarti memperbaiki, menguasai urusan,
menuntun dan memelihara. Kata rabb dalam Q.S AL-Fatihah :2 (Alhamdulillahi Rabb al-‘Alamin) mempunyai
kandungan makna yang berkonotasi dengan istilah al-Tarbiyah. Sebab kata rabb (Tuhan) dan Murabbi
(Pendidik) berasal dari akar kata yang sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah pendidik Yang Maha
Agung bagi seluruh alam semesta. Secara filosofis dari pengertian diatas proses pendidikan Islam adalah
bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai “Pendidik” seluruh cipyaan-Nya. Dalam konteks
yang luas, pengertian pendidikan Islam yang dikandung dalam term al-Tarbiyah terdiri atas empat unsur,
yaitu : 1. Memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa, 2. Mengembangkan seluruh potensi
menuju kesempurnaan, 3. Mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan, 4. Melaksanakan pendidikjan
secara bertahap. Omar Muhammad al-Toumy al-Saibany dalam min asas al-Tarbiyat al-Islamiyah wa
falsafah al-Islamiyah dalam Ramayulis dan samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Isla, Ibid h. 84-85. lihat Abu
Luwis al-Yasu’i, Al- Munjid fi al-lughoh wa al-a’lam cet 42 (Beirut: Dar al-Masyriq,2007 ), h. 247
79 Kata Ta’lim berasal dari kata ‘ilm, yang berarti menangkap hakikat sesuatu. Istilah ini telah
digunakan sejak periode awal pelkasanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat
universal dibanding dengan al-Tarbiyah maupun al-ta’dib. Rasyid Ridha mengartikan al-Ta’lim sebagai
41
2. Unsur-Unsur Pendidikan
Menurut Abudin Nata, secara esensial pendidikan (Islam) –setidaknyaterdiri dari tiga unsur pokok; yakni pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan.
Ketiga unsur ini akan membentuk suatu triangle, jika hilang salah satu komponen
tersebut, maka hilanglah hakikat dari pendidikan Islam.
a.
Pendidik
Kata pendidik berasal dari kata dasar didik, artinya memelihara,
merawat dan memberi latihan agar seseoraang memiliki ilmu pengetahuan
transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.

Argumentasinya
didasarkan
dengan
merujuk
pada
QS.2
:
151
    






    
artinya: “Sebagaimana (Kami telah menyepurnakan nikmat kami kepadamu) Kami telah mengutus
kepadamu Rasul dinatara kamu yang mengajarkan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan
mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.
80 Menurut Al-Attas, istilah al-Ta’dib paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam. Konsep ini
didasarkan pada hadis Nabi “Addabani Rabbi fa ahsana Ta’dibi. Kata Addaba dalam hadis ini dimaknai alAttas sebagai “mendidik”. Tarbiyah dalam pandangan al-Attas merupakan istilah yang dapat dianggap baru
untuk member makna “pendidikan”. Secara semantic, istilah tersebut kurang tepat atau memadai untuk
menjelaskan konsep pendidikan. Suatu istilah yang ditujuklan khusus bagi manusia. Pada dasarnya Tarbiyah
member makna “memelihara”, mengarahkan”, member makan, mengembangkannya, memelihara
menyebabkannya tumbuh dewasa. “menjaga” menjadikannya member hasil. Menjinakkan. Penerapannya
dalam bahasa Arab tidak terbatas pada manusia saja, medan semantiknya melebar ke species lainnya,
mineral, tumbuhan, hewan. Seseorang dapat mengaitkannya dengan perternakan sapi, peternakan ayam,
pertambakan ikan, dan perkebunan, semua itu adalah bentuk-bentuk Tarbiyah. Pendidikan adalah sesuatu
yang khusus untuk manusia, dan kegiatan yang terkait dan unsur kualitatif yang terkandung didalam
pendidikan tidak sama dengan yang ada pada tarbiyah. Selain itu, Tarbiyah biasanya terkait dengan ide
kepemilikan. Dan biasanya pemilik adalah pelaku tarbiyah terhadap objek tarbiyah, Tuhan, sang pemelihara,
Sang Pemberi Rizki, Yang Maha Mengasihi. Tuan dan pemilik dari segala (Al-Rabb) telah pun menunjukkan
kekuasaannya terhadap segalanya, sehingga tarbiyah merupakan sesuatu yang mesti dilakukan oleh
manusia. Jika menyangkut tentang manusia biasanya orang tua merupakan pelaku tarbiyah terhadap anakanaknya. Ketika pelaksanaan tarbiyah diserahkan kepada negara terdapat bahaya yang membuat
pendidikan menjadi sebuah kegiatan sekular, yang kenyataannya memang telah terjadi. Lebih jauh lagi
tujuan tarbiyah biasanya bversifat fisik dan kebendaan karena ia hanya berhubung dengan pertumbuhan
yang bersifat fisikal dan kebendaan. Kita semua mengetahui bahwasanya inti dari proses pendidikan adalah
mencapai tujuan yang terbaik dengan akal sesuatu yang hanya ada pada diri manusia. Jadi kita harus
memilih istilah yang tepat untuk pendidikan yang memenuhi maksud dan tujuan pendidikan yaitu
menghasilkan orang-orang yang baik. Satu-satunya istilah yang tepat dan memadai untuk pendidikan adalah
Ta’dib. Kesalahan dalam pemilihan dan pemakaian istilah yang digunakan untuk konsep kebudayaan,
keagamaan dan spiritual dapat menyebabkan kebingungan dalam ilmu dari sudut teori maupun amalan.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Ibid, h. 192
42
seperti yang diharapkan. Dengan menambahkan awalan pe hingga menjadi
pendidik, yang artinya orang yang mendidik.
Secara terminologi, Pendidik menurut Ahmad tafsir adalah orang
yang bertanggung jawab terhadap berlangsungnya proses pertumbuhan dan
perkembangan potensi anak didik, baik potensi kognitif, afektif maupun
potensi psikomotoriknya81.
Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20
Tahun 2003 bab I Pasal 6, dibedakan antara pendidik dengan tenaga
kependidikan. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang
mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan
pendidikan. Sedangkan pendidik adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaismara,
tutor, instruktur, fasilitator.
Dalam UU RI No. 14 Th. 2005 tentang Guru dan Dosen yang
dimaksud Guru adalah pendidik profesional82 dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
81
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h.
74
82Dalam UU RI No. 14 Th. 2005 Bab I Pasal I point 4 Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan
yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan
profesi.
43
Dalam konteks Pendidikan Islam, pendidik disebut Murabbi,
muallim, muaddib, mudarris, muzakki, dan ustadz. Yang kesemuanya
menyebar dalam al-Qur’an.
b.
Peserta Didik
Peserta didik merupakan “raw material” ( bahan mentah) dalam
proses transformasi dalam pendidikan. Sebagaimana disebutkan diatas
bahwa salah satu tujuan dari Pendidikan yaitu untuk mengembangkan
potensi peserta didik hingga menjadi manusia seutuhnya.
Selain itu, Zakiah Daradjat, membagi manusia kepada tujuh dimensi
pokok yang masing-masingnya dapat dibagi kepada dimensi-dimensi kecil.83
Semua dimensi tersebut harus tumbuh kembangkan melalui pendidikan
Islam. Ketujuh dimensi tersebut adalah : dimensi fisik, akal, agama, akhlak,
kejiwaan, rasa keindahan, dan sosial kemasyarakatan.
1.
Dimensi fisik (Kejiwaan)
Fisik atau jasmani manusia terdiri atas organisme fisik yang lebih
sempurna dibandingkan dengan organisme-organisme makhluk lain,
sesuai dengan firman Allah ”: ”Sesungguhnya kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin : 4).
Dalam pelaksanaan pendidikan Jasmani, di dalam al-Qur’an dan
hadits prinsip-prinsip tentang pendidikan jasmani diantaranya : firman
Allah :
Bersihkan pakaianmu, jauhkanlah kejahatan. (QS. Al-Mudatsir; 4-)
83
Zakiah Daradjat, sebagaimana yang dikutip oleh Rayulis dan Samsul Nizar, op.cit, h. 174
44
Makan dan minumlah dan janganlah kamu berlebihan. Sesunguhnya Allah
tidak suka orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al-A’raf : 31). dan sabda
Rasulullah : ”Kebersihan itu adalah sebagian dari iman”
2.
Dimensi Akal
Al-Ishfahani, membagi akal manusia kepada dua macam, yaitu :
a. Aql al-Mathbu, yaitu akal yang merupakan pancaran dari Allah sebagai
fithrah ilahi
b. Aql al-Masmu; yaitu akal yang merupakan kemampuan menerima yang
dapat dikembangkan oleh manusia. Akal ini bersifat aktif dan
berkembang sebatas kemampuan yang dimilikinya lewat bantuan
proses perinderaan secara bebas.
Dalam dunia pendidikan, fungsi akal dikenal dengan istilah
kognitif. Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padananya
knowing yang berarti mengetahui.
Mendidik akal, tidak lain adalah mengaktualkan potensi dasarnya. Potensi
dasar itu sudah ada sejak manusia lahir, tetapi masih berada dalam
alternatif : berkembang menjadi akal yang baik, atau sebaliknya.84
3.
Dimensi Keberagamaan
Manusia adalah makhluk yang berketuhanan atau disebut
homodivinous (makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau disebut juga
makhluk homoreligious (makhluk yang beragama). Berdasarkan hasil riset
84Ramayulis
dan Samsul Nizar, op.cit, h. 178
45
dan observasi , hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat bahwa pada diri
manusia mempunyai keinginan untuk mencintai dan dicintai tuhan.85
Islam memandang ada suatu kesamaan diantara sekian
perbedaan manusia. Kesamaan itu tidak akan pernah berubah karena
pengaruh ruang dan waktu, yaitu potensi dasar beriman (aqidah tauhid)
kepada Allah. Aqidah tauhid merupakan fithrah manusia sejak mitsaq
dengan Allah. Untuk itu, manusia pada prinsipnya selalu ingin kembali
kepada sifat dasarnya meskipun dalam keadaan yang berbeda-beda.
Pandangan Islam terhadap fithrah ini membedakan kerangka nilai dasar
Pendidikan Islam dengan dasar pendidikan umum.
Pandangan Islam terhadap kemanusiaan dapat dibagi atas tiga
implikasi dasar, yaitu: Pertama, implikasi yang berkaitan dengan
pendidikan dimasa depan, dimana pendidikan diarahkan untuk
mengembangkan fithrah seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan
materi. Kedua,tujuan (ultimate goal)pendidikan, yaitu mengantarkan
peserta didik pada predikat muttaqin. Posisi ini akan tercapai bila manusia
menjalankan fungsinya sebagai ’abd dan khalifah sekaligus secara
harmonis. Ketiga, muatam materi dan metodologi pendidikan perlu
integralistik dan disesuaikan dengan fithrah peserta didik sebagai
manusia.86
85 Abdurrahman Saleh Abdullah, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis dan Samsul Nizar,
op.cit, h. 179
86 Ibid, h. 180
46
4.
Dimensi Akhlak
Salah satu dimensi manusia yang sangat diutamakan dalam
pendidikan Islam adalah akhlak. Pendidikan agama berkaitan erat dengan
pendidikan akhlak, seorang muslim dikatakan sempurna dalam agamanya
bila memiliki akhlak yang mulia. Dan tujuan tertinggi pendidikan Islam
adalah pembinaan akhlak al-karimah.
Tujuan pendidikan akhlak dalam Islam adalah untuk membentuk
manusia yang bermoral baik, memiliki kemauan yang keras, sopan dalam
berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku perangai, bersifat
bijaksana, beradab, ikhlas, jujur dan suci.87
5.
Dimensi Rohani ( kejiwaan)
Dimensi kejiwaan merupakan suatu dimensi yang sangat penting
dan memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia agar
dapat hidup sehat, tentram dan bahagia. Setiap manusia dalam hidupnya
menginginkan kebahagiaan. Pada hakekatnya setiap usaha yang
dilakukan manusia adalah dalam rangka mewujudkan kebahagiaan
tersebut. Untuk mewujudkan kebahagiaan itudengan pendidikan agama.
6.
Dimensi Seni (Keindahan)
Dimensi seni pada diri manusia perlu ditumbuhkan karena
keindahan dapat menggerakkan dan menenangkan batin, memenuhi
relung-relung hati, meringankan beban kehidupan yang kadang
menjemukan, serta lebih mampu menikmati kehidupan hidup. Seni bagi
87
182
Endang saifuddin Anshari, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis dan Samsul Nizar, ibid, h.
47
musliom adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
meningkatkan
keimanan,
bukan
menjadi
sesuatu
yang
dapat
menimbulkan kelalaian, kemungkaran, dan kesombonganyang dibenci
Allah dan manusia. Oleh karena itu, seorang pendidik hendaknya mampu
mengarahkan peserta didiknya untuk dapat mengembangkan dimensi
seni, baik dalam bentuk bimbingan untuk merasakan dan menghayati
nilai-nilai seni yang ada pada alam ciptaan Allah.88
7.
Dimensi Sosial
Manusia adalah makhluk individual dan secara bersamaan adalah
makhluk sosial. Dalam Islam tanggung jawab tidak terbatas pada
perorangan, tapi juga sosial.
Dalam al-Qur’an dan Hadits, ditemukan prinsip-prinsip tentang
pendidikan sosial. Sebagaimana sabda Rasulullah :
”Demi
Allah
tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Maka ditanyakan oleh para
sahabat: ” Siapakah ia ya Rasulullah, beliau menjawab: Orang yang tidur
kekenyangan,
sedangkan
tetangganya
kelaparan,
padahal
ia
mengetahuinya.
3. Tujuan Pendidikan
Dalam kaidah Ushuliyah dikatakan bahwa “Al-Umuru bimaqhasidiha”
setiap tindakan dan aktifitas harus berorientasi kepada tujuan atau rencana yang
telah ditetapkan.
88
Ibid
48
Bila Pendidikan dianggap sebagai suatu proses, maka proses tersebut
akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan. Suatu tujuan yang
hendak dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perwujudan dari
nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan.89 Berbicara
tentang tujuan pendidikan Islam, berarti berbicara tentang-nilai-nilai ideal yang
bercorak Islami. Hal ini mengandung makna bahwa tujuan pendidikan Islam tidak
lain adalah tujuan yang merealisasi idealitas Islami. Sedang idealitas Islami itu
sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai perilaku manusia yang didasari
atau dijiwai oleh Iman dan taqwa kepada Allah sebagi sumber dari segala sumber
kekuasaan mutlak yang harus ditaati.90
Para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasi tujuan pendidikan
Islam, diantaranya:
1.
Syed Naquib al-Attas dalam “Aims and Objectives of Islamic Education”
menghendaki tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik (Shalih).91
2.
Munir Mursyi dalam “Al-Tarbiyah al-Islamiyyah Ashuluha wa Tathawwuruha fi
Bilad al_Arabiyyah”
menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
melahirkan manusia yang sempurna (insan kamil).
3.
Hasan Langgulung, Tujuan yang ingin dicapai dalam Pendidikan Islam yaitu,
keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dan
seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal fikiran (intelektual), diri
manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu pendidikan
hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik,
89
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 119
90Loc.cit
91Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Ibid, h. 191
49
yang meliputi aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa
baik secara individual maupun kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut
berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan.92
4.
Abdul Fattah Jalal yang menghendaki terwujudnya manusia sebagai hamba
Allah (‘abd Allah) sebagai proses pendidikan.
5.
Hamka, menyatakan tujuan Pendidikan Islam adalah “ mengenal dan mencari
keridhoan Allah, membangun budipekerti untuk berakhlak mulia, serta
mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna
ditengah-tengan komunitas sosialnya.93
6.
Mahmud Yunus, Menyatakan tujuan Pendidikan Islam adalah menyiapkan
anak-anak agar diwaktu dewasa kelak mereka cakap melakukan pekerjaan
dunia dan amalan akhirat, sehingga tercipta kebahagiaan di dunia dan
akhirat.94
7.
Athiyah al-Abrasyi menyimpulkan lima tujuan umum Pendidikan Islam, yaitu:
Pertama pembentukan manusia yang berakhlak mulia (al-akhlaq al-karimah.
Kedua, Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Ketiga,
Persiapan untuk mencari rizki, Keempat, Menumbuhkan semangat ilmiah
pada pelajar. Kelima, Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknikal dan
pertukangan.95
92
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan dalam Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan islam (Jakarta: Quantum Teaching, 2010), h. 152
93Hamka, Lembaga Hidup dalam dalam Samsul Nizar Memperbincangkan Dinamika Intelektual
dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008) h. 117
94Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, dala Ramayulis dan Samsul Nizar,
Op.cit, h. 326
95 Athiyah al-Abrasyi,Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa falsafatuha, dalam Ramayulis dan Samsul Nizar,
Op.cit, h. 123-124
50
8.
Al-Ghazali, Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada
realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada
perolehan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang
tinggi atau mendapat kemegahan dunia.96
9.
Ahli pendidikan Indonesia, memilih rumusan yang tidak kalah idealnya
“manusia yang berkepribadian muslim”.97
10. Muhammad Omar al-Toumy al-Syaibany, menggariskan bahwa tujuan
Pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga
mencapai tingkat akhlak al-karimah. Tujuan ini sama dan sebangun dengan
tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulan, yaitu “membimbing manusia
agar berakhlak mulia”. Akhlak mulia tersebut diharapkan dapat tercermin dari
sikap dan tingkah laku individu dalam hubungannya dengan Allah, sesama
manusia dan sesama makhluk Allah, serta lingkungannya.98
11. Nahlawy, menunjukkan empat tujuan umum dalam pendidikan Islam, yaitu:
Pertama, Pendidikan akal dan persiapan pikiran, Kedua, Menumbuhkan
potensi-potensi dan bakat-bakatasal apada anak-anak, Ketiga, Menaruh
perhatian pada kekuatan dan potensi generasi muda dan mendidikmereka
sebaik-baiknya. Dan Keempat, Berusaha menyumbangkan segala potensipotensi dan bakat-bakat manusia.
12. Ibnu Sina, Tujuan Pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia yang
berkepribadian akhlak mulia.
96
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Quatum Teaching,
2010), h. 5
97Mohammad
98
Irfan dan Mastuki, Op.cit, h. 145
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 90
51
13. Al-Buthi menyebutkan tujuh macam tujuan pendidikan Islam, (1) Mencapai
keridhaan Allah, menjauhi murka dan siksaan-Nya dan melaksanakan
pengabdian yang tulus dan ikhlas kepada-Nya, (2) Mengangkat taraf akhlak
dalam masyarakat berdasar pada agama yang diturunkan untuk membimbing
masyarakatkearah yang diridhai-Nya, (3) Memupuk rasa cinta tanah airpada
diri manusia, (4) Mengajar manusia kepada nilai-nilai dan akhlak yang mulia,
(5) Mewujudkan ketentraman didalam jiwa dan akidah yang dalam;
penyerahan dan kepatuhan yang ikhlas kepada Allah (6) Memelihara bahasa
dan kesastraan Arab sebagi bahasa al-Qur’an (7) Meneguhkan perpaduan
tanah air dan menyatukan barisan melalui usaha menghilangkan
perselisihan.99
14. Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi
tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan
taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau
mendapat kemegahan dunia.100
Dari pendapat para ahli pendidikan diatas pada umumnya merumuskan
tujuan umum pendidikan Islam terjebak pada perumusan yang sangat ideal, abstrak,
dan kadang disfungsional atau bahkan bias. Kata-kata iman, taqwa, shalih,dan
insan kamil, juga digunakan Sayyid Quthub, Sidi Gazalba dan sederet ahli
Pendidikan Islam lainnya, dan kesemuanya itu memiliki makna yang luas dan
mendalam. Keluasan dan kedalaman makna kata-kata itu yang kemudian
99 Abd al-Rahman An-Nahlawy,Usus al-tarbiyah al-Islamiyahwa thuruq tadrisiha, dalam Ramayulis
dan Samsul Nizar, Op.cit, h. 124-125
100 Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Quatum Teaching,
2010), h. 5
52
menjadikan rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam masih bersifat umum dan
ideal. Hal ini terjadi karena tidak ada standarisasi type of moslem personality yang
bisa disepakati atau dirumuskan bersama.101
Ahmad Tafsir, menguraikan ciri-ciri pokok insan kamil (manusia
sempurna), yakni : Pertama, Jasmani yang sehat serta kuat dan berketerampilan,
Kedua, Cerdas serta pandai. Kecerdasan dan kepandaian dapat ditilik melalui
indikator –indikator sebagai berikut: Pertama, Memiliki sains yang banyak dan
berkualitas tinggi, sains adalah pengetahuan manusia yang merupakan produk
indera dan akal; dalam sains kelihatan tinggi rendahnnya mutu akal. Kedua,
Mampu memahami dan menghasilkan filsafat. Berbeda dari sains, filsafat adalah
jenis pengetahuan yang semata-mata akliah. Dengan ini, orang Islam akan mampu
memecahkan masalah filosofis. Ciri yang lain Insan Kamil yang ketiga, Rohani yang
berkualitas tinggi atau hati penuh Iman kepada Allah. Rohani itu samar, ruwet,
belum jelas batasannya; manusia belum memilki cukup pengetahuan untuk
mengetahui hakikatnya. Dalam buku Tashawwuf dan pendidikan Islam
menyebutnya qalb102
Rasulullah SAW bersabda “Takhallaqu bi akhlaqillah” Berperilakulah
dengan sifat-sifat Allah. Menjadikan sifat-sifat Allah sebagai sumber gagasan yang
mewarnai pembentukan kepribadian karena manusia diciptakan untuk mengambil
Tuhan sebagai prototipenya dan mewujudkan kemballi akhlak Tuhan dalam
kehidupan dan kebudayaan. Konsep Takhallaqu bi Akhlaqillah merupakan
paradigma agung yang bisa memandu manusia dalam berakhlak. Maka pendidikan
101
Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Op.cit, h. 145
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005),
102Ahmad
h. 46
53
dengan berbagai komponennya harus mampu menciptakan suasana yang
senantiasa mencerminkan akhlak mulia (akhlak Allah) yang dilakukan oleh para
pelaku pendidikan yang berakhlak dengan akhlak Allah pula sehingga output-nya
pun dipastikan berakhlak Allah pula (akhlak al karimah).
Ayat lain menyebutkan bahwa manusia dianjurkan untuk memiliki sifatsifat Ilahi dalam wujud akhlak Islami, Manusia dianjurkan berbuat baik kepada
sesamanya sebagaimana Allah berbuat baik kepadanya 103. Kebaikan Allah kepada
manusia dinyatakan dalam perwujudan sifat-sifat-Nya yang luhur dan sempurna.
Karena itu kebaikan manusia terhadap sesamanya harus dimanifestasikan dalam
bentuk pelahiran dan perwujudan kembali sifat-sifat ilahi dalam kehidupan.
    
103
       
    
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.(QS.28:77)
54
BAB III
BIOGRAFI IMAM NAWAWI
a. Kelahiran dan Dinamika Intelektual
Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Marri al-Khazami al-Nawawi AdDimasyqiy. Lahir di Nawa Damascus pada bulan Muharram tahun 631 H/Oktober 1233
M. 1 Dididik oleh ayahnya yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Nawawi
mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran
sebelum menginjak usia baligh. An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun.
Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilminya ke Dimasyq dengan
menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia
tinggal di madrasah Ar-Rawahiyyah didekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi
sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas
halaqah dalam sehari. Ia rajin menghafal banyak hal.
Pada tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia
pergi ke Madinah dan menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke
Dimasyq. Pada tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan
menolak untuk mengambil gaji. Beliau digelari Muhyiddin ( yang menghidupkan agama
) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama Islam adalah
agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya
sehingga
menjadi
hujjah
atas
orang-orang
yang
meremehkannya
atau
meninggalkannya. Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa.
Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu dalam
1
Ensiklopedi Islam Jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1997), h. 22
54
55
ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah
digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa
yang halus.
b. Karya tulisnya
Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal.
Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya:
1. Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab (
)
Kitab ini merupakan referensi fikih terbesar madzhab Asy-Syafi'i secara
khusus dan fikih Islam secara umum dan merupakan panduan hukum Islam yang
lengkap. Kitab yang sangat monumental ini memiliki karakter khusus yang
membuatnya berbeda dari segi metodologi ilmu yang akurat, sehingga
membuatnya berada di tempat teratas dibanding ensklopedi-ensiklopedi fikih
lainnya, baik klasik maupun kontemporer.Tidak diragukan lagi, kitab Al Majmu'
merupakan khazanah terbesar bidang fikih Islam yang isinya menjelaskan
konsep-konsep dasar dari hukum Islam yang membuat para ulama setelahnya
kagum.
Kitab Al Majmu' berbeda dari kitab-kitab fikih induk lainnya, dimana
cakupan isinya memuat seluruh pendapat-pendapat madzhab berikut dalil dalilnya
disamping menyebutkan pentarjihan diantara pendapat-pendapat ini. Tak ada
yang paling menunjukkan keluasan wawasan An-Nawawi dan kedalaman ilmunya
selain dari penjelasannya terhadap isi kitab Al Muhadzdzab karya Asy-Syirazi
yang berjumlah sekitar 120 halaman menjadi 9 jilid kitab Al Majmu'. Namun
55
56
sayangnya ia meninggal dunia lebih cepat sebelum sempat menyelesaikan Syarh
Al Muhadzdzab berdasarkan methodologi ilmiah yang telah ia tetapkan dan
dipegangnya, Dari pen-takkrij-an hadits-hadits hukum, penjelasan maknanya,
penyebutan seluruh pendapat para imam dari kalangan ahli fikih dan pentarjihan
diantara
pendapat-pendapat
tersebut
serta
madzhab-madzhab
mereka,
penjelasan kecacatan hadits, status hadits dan biografi para perawinya, penafsiran
kalimat-kalimat yang langka dari Al Qur'an dan hadits serta penjelasan kosa kata
yang terdapat dalam redaksi kitab Al Muhadzdzab, membuat kitab Al Majmu'
benar-benar merupakan ensiklopedi umum dalam bidang fikih, hukum, tafsir ayatayat Al Qur'an dan hadits, keunikan bahasa serta biografi para ulama terkemuka
dari kalangan perawi dan ahli hadits.2
2. Minhaj ath-Thalibin (‫)ﻣﻨﻬﺎج اﻟﻄﺎﻟﺒﲔ وﻋﻤﺪة اﳌﻔﺘﲔ ﰲ ﻓﻘﻪ اﻹﻣﺎم اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ‬.
Kitab ini memiliki banyak kelebihan dan keutamaan, karena didalamnya
terdapat permaslahan-permasalahan fiqh yang dibahas secara terperinci.3
3. Tahdzib al-Asma (
).
Kitab ini terdiri dari dua bagian, Pertama, al-Asma’ (Nama), kedua, alLughot (Bahasa). Pada bagian Asma’ Imam Nawawi membaginya menjadi dua
bagian, bagian laki-laki dan bagian perempuan. Yang pertama terdiri dari delapan
bagian nama-nama baik bagi anak laki-laki, yakni: Pertama, Muhammad,Ibrahim,
Isma’il dan Ishaq. Kedua, Abi Qasim, Abi Bakar. Ketiga,Keturunan, Sebutan atau
2http://al-aisar.com/content/view/830/413/
3
http://read.kitabklasik.co.cc/2009/06/minhaj-al-thalibin-wa-umdat-al-muftin.html
56
57
panggilan dan kabilah, seperti Zuhriyi, Quraish, dan Khuza’ah. Keempat, Apa yang
disebut fulan anak fulan atau saudaranya, Kelima, Apa yang biasa disebut si fulan,
Keenam, Suami fulanah atau istri si fulan. Ketujuh, al-Mubhamat, seperti laki-laki,
Syaikh. Dan yang Kedelapan tentang nama-nama dan keturunan yang jelek.
Adapun bagian kedua, yaitu tentang nama-nama perempuan terdiri dari
tujuh bagian.
Pada bagian al-Lughat, lafadz disusun sesuai index huruf
4. Taqrib al-Taisir (‫)اﻟﺘﻘﺮﻳﺐ واﻟﺘﻴﺴﲑ ﳌﻌﺮﻓﺔ ﺳﻨﻦ اﻟﺒﺸﲑ اﻟﻨﺬﻳﺮ‬,
Buku tentang pengantar studi hadits Ibn Sholah. Buku yang sangat bagus
tetapi, banyak istilah-istilah yang tidak jelas, dan dijelaskan oleh al-Syuyuthi dalam
periwayatan hadis.4
5. Al-Arba'in an-Nawawiyah (‫)اﻷرﺑﻌﲔ اﻟﻨﻮوﻳﺔ‬,
kumpulan 40 -tepatnya 42- hadits shahih. Sebagian besar hadits ini diambil oleh
Imam Nawawi dari Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, 5 dengan membuang
sebagian sanadnya, agar lebih mudah dipahami dan bermanfaat bagi semua
kalangan. Kitab Al-Arba'in an-Nawawiyah disusun berdasarkan hadis nabi yang
bersumber dari Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Abu
Huroirohdan Abu Sa’id al-Khudry ra6. Ke-empat puluh hadits tersebut yitu tentang:
pahala amal tergantung niatnya, Tingkatan agama Islam (Iman, Islam dan Ihsan),
4
http://www.sfhatk.com/vb/showthread.php?t=11337
5Imam
6
Nawawi, Hadits Arba’in (Jakarta: Sholahuddin Press, 2007) h. 9
‫ﻆ ِﻣ ْﻦ أُﻣ ِﱠﱴ أ َْرﺑَﻌِْﯩ َﻦ َﺣ ِﺪﻳْـﺜًﺎ ِﻣ ْﻦ أَْﻣ ِﺮ ِدﻳْﻨِﻬَﺎ ﺑـَ َﻌﺜَﻪَ اﷲ ﻳـ َْﻮَم اﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ ِﰱ ُزْﻣَﺮةِ اﻟ ُﻔ َﻘ َﻬﺎء و اﻟﻌﻠَﻤَﺎ ِء‬
َ ‫َﻣ ْﻦ َﺣ ِﻔ‬
Artinya “Barangsiapa diantara umatku hafal empat puluh hadits tentang agamanya, maka pada hari
kiamat kelak ia akan dibangkitkan dalam kelompok ahli fiqh dan para ulama.
57
58
Rukun Islam, Tahapan penciptaan manusia dan garis taqdirnya, Bid’ah dalam
agama, Halal dan Haram, Agama adalah nasihat, Hak asasi seorang muslim,
Jauhi larangan dan laksanakan perintah,
Tidak diterima kecuali yang baik,
Tinggalkan yang meragukan, Kesempurnaan Islam seseorang, Kewajiban
mencintai sesame muslim, Lrangan membunuih seorang muslim, Berkata yang
baik atau diam, Jangan marah, Berkata baik dalam segala hal, Bertakwa
dimanapun berada, Pertolongan dan perlindungan Allah, Berbuatlah sesuka hati,
Istiqomah dan iman, Jalan menuju surge, Kebersihan sebagian dari iman,
Larangan berbuat zalim, jalan untuk beramal, Sedekah bagi setiap ruas tulang,
Kebajikan dan dosa, Nasihat perpisahan, Amalan yang dapat menghantarkan ke
surge, Allah telah menetapkan kewajiban, Hakikat zuhud, Larangan berbuat
mudharat, Menuduh harus dengan bukti dan sumpah bagi yang mengingkari,
kewajiban mengubah kemungkaran, larangan saling mendengki, Balaasan bagi
orang yang meringankan beban orang lain, Pahala kebaikan berlipat ganda,
Menjadi wali Allah, Kesalahan yang diampuni, Jadilah orang asing, Mengikuti
ajaran Rasul dan Allah Pengampun segala dosa.7
6. Syarh Shahih Muslim (‫)ﺷﺮح ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ‬,
Penjelasan kitab Shahih Muslim bin al-Hajjaj.
7. Ma Tamas Ilaihi Hajah al-Qari li Shahih al-Bukhari ( ‫ﻣﺎ ﺗﻤﺲ إﻟﯿﮫ ﺣﺎﺟﺔ اﻟﻘﺎري ﻟﺼـﺤﻴﺢ‬
‫)اﻟﺒـﺨﺎري‬.
Kitab Syarh Nawawi untuk hadits Bukhari, akan tetapi Imam Nawawi
7Imam
Nawawi, Ibid
58
59
hanya selesai menulis sampai Bab Ilmu. Karena sang Imam mrninggal dunia
sebelum menyelesaikan kitab ini., dan diteruskan oleh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
8. Riyadhus Shalihin (‫)رﻳﺎض اﻟﺼﺎﳊﲔ‬, kumpulan hadits mengenai etika, sikap dan
tingkah laku yang saat ini banyak digunakan di dunia Islam.
Kitab ini terdiri dari 17 kitab, 265 bab dan 1897 hadits, Imam Nawawi
membuka mayoritas babnya dengan menyebut ayat-ayat dari Al Quran yang
sesuai dengan pembahasan hadits yang ada lalu membuat tertib dan bab yang
saling berhubungan sehingga kitab ini bisa mengalahkan selainnya dari kitab-kitab
yang serupa dengannya. Kitab Riyadhush Shalihin ini memiliki keistimewaan yang
tidak dimiliki kitab selainnya dari kitab-kitab Sunnah dan dia benar-benar bekal
bagi penasihat, permata bagi yang menerima nasihat, pelita bagi orang yang
mengambil petunjuk dan taman orang-orang sholih. Hal inilah yang menjadi sebab
mendapatkan kedudukan yang tinggi di kalangan ulama sehingga mereka
memberikan syarah, komentar dan mengajarkannya di halaqoh-halaqoh mereka.
9.
Tahrir al-Tanbih (‫)ﺗﺤﺮﯾﺮ اﻟﺘﻨﺒﯿﮫ‬.
Judul asli buku ini adalah Syarhu lughawi likitab Jalil fi al-fiqh tanbih li alImam Syairozi, Imam Nawawi memandang Kitab Fiqh Syairozi ini merupakan
referens dari segala referens tentang permasalahan fiqh. Telah disyarah oleh
Imam nawawi salah satunya al-Muhadzhab dan yang kedua al-Tanbih
10. Al-Adzkar (‫)اﻷذﻛﺎر اﻟﻤﻨﺘﺨﺒﺔ ﻣﻦ ﻛﻼم ﺳﯿﺪ اﻷﺑﺮار‬, kumpulan doa Rasulullah.
Kitab panduan wirid dan doa yang telah dikenal umat Islam di seluruh
dunia sejak berabad-abad itu memang pantas menduduki rangking atas di antara
59
60
kitab-kitab klasik lain, karena memuat ensiklopedi dzikir yang ma 'tsur dari
Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam. Namun, di dalam kitab tersebut terdapat
kekurangan yang perlu diketahui, yaitu masih dicantumkannya hadits-hadits,
dengan alasan sebagian ulama ahli hadits masih membolehkan mengamalkan
hadits dhaif dalam masalah fadha-ilul amal atau keutamaan amal.8
11. At-Tibyan fi Adab Hamalah al-Quran (‫)اﻟﺘﺒﯿﺎن ﻓﻲ آداب ﺣﻤﻠﺔ اﻟﻘﺮآن‬.
Kitab ini ini membahas perkara-perkara yang sangat penting diketahui
oleh setiap orang Islam karena kitab ini membicarakan berbagai hal yang
berkaitan dengan adab kita menjalin interaksi dengan kitab suci Al-Qur’an alKarim. Dalam garis besarnya, kitab ini mengandung sembilan bagian dan sebuah
mukadimah yang menjelaskan secara ringkas latar-belakang dan kandungan kitab
ini secara keseluruhan. Kemudian diteruskan dengan riwayat hidup Imam Nawawi.
Adapun kesembilan bagian yang menjadi inti kitab ini adalah:
• Keutamaan Membaca dan Mengkaji Al-Qur’an
• Kelebihan Orang Yang Membaca Al-Qur’an
• Menghormati dan Memuliakan Golongan Al-Qur’an
• Panduan Mengajar dan Belajar Al-Qur’an
• Panduan Menghafaz Al-Qur’an
• Adab dan Etika Membaca Al-Qur’an
• Adab Berinteraksi Dengan Al-Qur’an
8
http://buku-islam.com/detail.php?item_id=1722
60
61
• Ayat dan Surat Yang Diutamakan Membacanya pada Waktu-Waktu Tertentu
• Riwayat Penulisan Mushaf Al-Qur’an
12. At-Tarkhis bi al-Qiyam (‫)اﻟﺘﺮﺧﯿﺺ ﺑﺎﻟﻘﯿﺎم ﻟﺬوي اﻟﻔﻀﻞ واﻟﻤﺰﯾﺔ ﻣﻦ أھﻞ اﻹﺳﻼم‬.
Berisi tentang pengaruh yang terdapat pada orang –orang yang memiliki
keutamaan, dan keutamaan-keutamaan bagi umat Islam
13. Matn al-Idhah fi al-Manasik (‫)ﻣﺘﻦ اﻹﯾﻀﺎح ﻓﻲ اﻟﻤﻨﺎﺳﻚ‬,
Kitab ini membahas tentang fiqh Islam khususnya tentang huku-hukum
haji, manasik dan bagian-bagiannya. Dan disebutkan didalamnya tentang tata
cara haji yang benar dan hal-hal yang dapat merusak ibadah haji, kewajiban—
kewajiban, etika, hal-hal yang disunnahkan secara terperinci. Penjelasan tentang
tanah haram, makkah, dan ka’bah. Dan apa-apa saja yang berkaitan dengan haji
dari hukum-hukum, dan keutamaan-keutamaan haji dari ibadah yang lain.
Dilengkapi dengan tujuan-tujuannya dan segla sesuatu yang dibutuhkan baik dari
asas dan cabang-cabangnya dan tata-cara pelaksanaannya.9
c. Adab al-Alim wa al-Muta’allim
Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim wa al-Mufti wa al-Mustafti, cetakan pertama
pada tahun 1408 H/ 1987 M di maktabah shohabah Tonto10. Buku ini terdiri atas
lima bab. Ia memulai buku ini dengan memaparkan tentang ikhlas dan jujur serta
9
http://www.3lsooot.com/booksmall/vbook10412.html
10Kota di Mesir tengah Delta, terkenal dengan Makam Sayyid Ahmad Badawy , Pemintalan
benang, tenun, minyak sabun dsb. Abu Luwis Makhluf, Al-Munjid fi al-lughoh wa al-a’lam (Beirut : Darul
Masyriq, 2007),h. 358
61
62
niat dalam setiap pekerjaan baik zahir maupun tersembunyi. Pada bab pertama
tentang keutamaan menuntut ilmu dan menulisnya, belajar dan mengajar serta
perintah menuntut ilmu dan memberikan petunjuk kepada jalannya. Bab kedua
berisikan tentang pembagian ilmu syar’i. Menurut Imam Nawawi ilmu Syar’i
terbagi menjadi tiga, pertama, Fardhu ‘Ain seperti : tatacara wudhu dan sholat dan
lain sebagainya. Kedua Fardhu Kifayah adalah ilmu-ilmu yang harus bagi manusia
dalam menegakkan agama seperti menghapal al-Qur’an dan Hadits dan ilmuilmunya, Ushul, Fiqh, Nawu, Bahasa, Shorof dan pengetahuan tentang riwayat
Hadits. Sedangkan ilmu yang bukan Syar’i dan dibutuhkan untuk keberlangsungan
hidup duniaseperti kedokteran, Berhitung maka hukumnya adalah Fardhu kifayah.
Ketiga al-Nafl, seperti menguasai asas-asas dalil. Bab ketiga berisi tentang etika
guru, Bab Keempat tentang etika murid, dan bab kelima tentang etika berfatwa.
Adapun yang akan dibahas pada penulisan ini pada Bab III dan bab IV yaitu
tentang Etika Guru dan etika Murid. Dalam Adab Alim wa al-Muta’allim ini,
sebagai referens utama adalah al-Qur’an dan Hadits dan mengutip dari ucapan
para ulama-ulama madzahib seperti : Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam
Malik, Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Jami’ li adabi ar-rawi wa asy-sami’
dan lain sebagainya.
d. UU RI No. 14 Th. 2005 Tentang Guru dan Dosen
Undang-Undang Republik Indonesia No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen disahkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2005 oleh Presiden RI
Susilo Bambang Yudoyono dan Menteri Hukum dan HAM ad Interim Yusril Ihza
Mahendra.
62
63
UU Guru dan Dosen terdiri dari 84 pasal. Secara garis besar, isi dari UU
ini dapat dibagi dalam beberapa bagian.
Pertama, pasal-pasal yang membahas tentang penjelasan umum (7 pasal) yang
terdiri dari:
a. Ketentuan Umum
b.
Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan, dan
c. Prinsip Profesionalitas.
Kedua, pasal-pasal yang membahas tentang guru (37 pasal) yang terdiri dari:
a. Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi,
b. Hak dan Kewajiban
c. Wajib Kerja dan Ikatan Dinas,
d. Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian,
e. Pembinaab dan Pengembangan,
f.
Penghargaan,
g. Perlindungan,
h. Cuti dan
i.
Organisasi Profesi.
Ketiga, pasal-pasal yang membahas tentang dosen (32 pasal) yang terdiri dari:
a. Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik,
b. Hak dan Kewajiban Dosen,
c. Wajib Kerja dan Ikatan Dinas,
d. Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian,
e. Pembinaan dan Pengembangan,
63
64
f.
Penghargaan,
g. Perlindungan, dan
h. Cuti.
Keempat,
pasal-pasal
yang
membahas
tentang
sanksi
(3
pasal).
Kelima, bagian akhir yang terdiri dari Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup
(5 Pasal).
Dari seluruh pasal tersebut diatas pada umumnya mengacu pada
penciptaan Guru dan Dosen Profesional dengan kesejahteraan yang lebih baik
tanpa melupakan hak dan kewajibannya.
e. PP RI No. 17 Th. 2010
Peraturan pemerintah Republik Indonesia No 17 Th. 2010
tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan pendidikan ditetapkan dan diundangkan di
Jakarta pada tanggal 28 Januari 2010 oleh Presiden Republik Indonesia Susilo
Bambang Yudoyono dan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Patrialis
Akbar. PP initerdiri dari 18 Bab dan 222 Pasal. Adapun yang akan dibahas pada
penulisan ini yaitu Pada Bab XI Pasal 169 tentang Kewajiban peserta didik .
64
65
BAB IV
PENYAJIAN DAN ANALISA DATA
A. ETIKA GURU DAN MURID MENURUT IMAM NAWAWI
Pada Bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa secara esensial pendidikan
Islam terdiri dari tiga unsur pokok; yakni pendidik, peserta didik dan tujuan pendidikan.
Bagi etika manusia dipandang dari segi baik buruk perilakunya, diukur
dengan kriteria tertentu. Sedangkan bagi ilmu pendidikan manusia dipandang dari
segi kemungkinan-kemungkinan pengembangannya untuk menjadi manusia
seutuhnya. Berdasarkan pemikiran tersebut maka pada Bab ini hanya membahas
Etika Guru dan Murid sebagai subjek dalam pendidikan.
Etika guru menurut Imam Nawawi terdiri dari: Etika guru terhadap murid,
Etika guru terhadap Ilmu, dan Etika guru terhadap sesama. Adapun etika murid dalam
pembahasan ini mencakup : Etika bagi seorang murid, Etika murid terhadap guru,
Etika murid dalam belajar, dan etika murid terhadap sesama.
1. Etika Guru
a. Etika Personal Guru
Yang dimaksud etika personal yakni, etika didasarkan pada
keharusan individu untuk memfokuskan diri dengan tindakan apa yang dirasa
baik untuk dirinya dan lingkungannya
66
Orang Muslim meyakini bahwa kebahagiaannya di dunia dan
akhirat sangat ditentukan oleh sejauh mana pembinaan terhadap dirinya,
perbaikan, dan penyucian dirinya.1
Imam Nawawi dalam muqoddimatu al-majmu’ adab al-‘alim wa alMuta’allim menjelaskan beberapa etika guru terhadap dirinya
‫َﻼل اﳊَ ِﻤْﻴﺪَة‬
ُ‫َﺎﺳ ِﻦ اﻟﱴ َوَرَد اﻟﺸ ْﱠﺮع‬
ِ ‫أَ ْن ﻳـَﺘَ َﺨﻠﱠ َﻖ ﺑِﺎﳌَﺤ‬
.1
‫ و‬,‫ و اﻟﺼ ِﱪ‬,‫اﻟﱴ ار ّﺷ َﺪ إِﻟَْﻴـﻬَﺎﻣﻦ اﻟﺘَـَﺰُﻫ ِﺪ ِﰱ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ‬
ِ َ‫اﳌَﺮ ِﺿﻴﱠﺔ‬
ْ ‫اﻟﺸﻴَ ِﻢ‬
ِ ‫و‬
‫ُﻮع‬
ِ ‫ و اﳋُﻀ‬,‫ﺿ ِﻊ‬
ُ ‫ و اﻟﺘﻮا‬,‫ واﻟ ِﻮﻗَﺎ ِر‬,‫ واﻟﺴ ِﻜْﻴـﻨَﯩ ِﺔ‬,‫ُﻮع‬
ِ ‫ و اﳋُﺸ‬,‫ﻣﻼزﻣ ِﺔ اﻟ َﻮَرِع‬
Hendaklah seorang guru berakhlak mulia sesuai dengan
syari’at, dan mengisi diri dengan tabiat mulia yakni, dengan sifat
Zuhud2, Sabar3, wara’4, khusyu’, tenang, Tawadhu', dan tunduk.5
      1
  
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya.(Q.S: As-Syams : 9-10)
2 Zuhud menurut bahasa, zahidha fiihi wa ‘anhu, zuhdan wa zahaadatan artinya berpaling dari
sesuatu. Ibnul Jauzy mengatakan azzuhud merupakan ungkapan tentang pengalihan keinginan dari sesuatu
kepada sesuatu yang lain yang lebih baik darinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Zuhud adalah menghindari
sesuatu yang tidak bermanfaat. Baca atmaulana.blogspot.com dipost hari Rabu 27 Januari 2010
3Maksud bersabar ialah sabar karena ingin menggapai ridha Allah dan menadapatkan pahala-Nya
  











   

Dan orang-orang yang sabar Karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebagian rezki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak
kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),(Q.S ArRa’d: 22)
4 Menurut pengertian terminologis, al-wara’ artinya menahan diri dari hal-hal yang dapat
menimbulkan mudharat lalu menyeretnya kepada hal-hal yang haram dan syubhat.
5 Imam Nawawi, Adab al ‘Aim wa al-Muta’allim fi Muqoddimatu al-Majmu’ Terjemahan Sri Andryani
Hamid (Jeninah Barat : Tonto, 1987), h. 29-42
67
‫ات‬
ِ ‫ْﺢ و اﻟﺘَـ ْﻬﻠِﻴ ِْﻞ و َْﳓﻮَﳘَُﺎ ﻣﻦ اﻷَذْﻛَﺎ ِر و اﻟﺪﱠﻋﻮ‬
ِ ‫ْﺚ اﻟﺘﱠ ْﺴﺒِﻴ‬
َ ‫ا ْﺳﺘِﻌﻤَﺎﻟُﻪُ أَﺣَﺎ ِدﻳ‬
.2
‫َﺎت‬
ِ ‫اﻵداب اﻟﺸ ْﱠﺮ ِﻋﻴ‬
ِ
‫َو ﺳَﺎﺋِِﺮ‬
Selalu bertasbih, tahlil dan lain sebagainya dari dzikir dan
do’a-do’a dan Adab-adab yang disyari’atkan6.
‫ واﻟﻨﱠـﻮَاﻓ ِِﻞ‬,‫دَوَا ُم ُﻣﺮَاﻗَـﺒَﺔُ اﷲ ﰱ ﻋ ََﻼﻧِﻴﱠﺘِ ِﻪ َو ِﺳﱢﺮﻩِ ﳏَُﺎﻓِﻈًﺎ َﻋ َﻞ ﻗَِﺮأَةِ اﻟﻘُﺮْآ ِن‬
.3
ِ‫ َﻣﻌُﻮﻻً َﻋﻠَﻰ اﷲِ ﺗَـﻌَﺎﱃ ِﰱ ُﻛ ﱢﻞ أَْﻣ ِﺮﻩ‬,‫اﻟﺼﱠﻠﻮات واﻟﺼﱠﻮِْم‬
Selalu merasa akan pengawasan Allah (Muroqobatullah)
baik secara zahir maupun tersembunyi, menjaga bacaan al-Qur’an,
Mendirikan sholat dan puasa Sunnah, selalu bersandar kepada Allah
dan menyerahkan segala urusan.7
ٌ‫ْﺲ اﻷَ ْﻣ ِﺮ وﻟَﻜِ ْﻦ ﻇَﺎﻫِﺮﻩ أَﻧﱠﻪُ َﺣﺮَام‬
ِ ‫َﺤْﻴﺤًﺎ ﺟَﺎﺋِﺰًا ِﰱ ﻧـَﻔ‬
ِ ‫أَﻧﱠﻪُ إِذَا ﻓَـ َﻌ َﻞ ﻓِﻌ ًْﻼ ﺻ‬
.4
‫ِﻚ‬
َ ‫ِﻚ ﲝَِ ِﻘْﻴـ َﻘ ِﺔ ذَاﻟ‬
َ ‫ﺻ َﺤﺎﺑَﻪُ َوَﻣ ْﻦ ﻳـَﺮَاﻩُ ﻳـَ ْﻔ َﻌ ُﻞ ذَاﻟ‬
ْ َ‫ُْﱪﻩُ أ‬
َِ‫أ َْو َﻣ ْﻜﺮُوﻩٌ ﻓَـﻴَـْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﳜ‬
. ‫ِﻞ‬
ِ ‫ ﻟِﺌَﻼَ ﻳَﺄْﲦَُﻮا ﺑِﻈَﻨﱢ ِﻬ ْﻢ اﻟﺒﺎَﻃ‬,‫اﻟﻔِﻌ ُﻞ‬
Apabila seorang guru hendak melakukan sesuatu perbuatan
yang dianggapnya benar dan boleh, namun pada hakikatnya
pekerjaan tersebut haram atau makruh, hendaklah ia menanyakan
kebenaran perbuatan tersebut, agar ia tidak melakukan perbuatan
dosa dengan prasangka yang salah.8
6
Imam Nawawi Terjemahan Sri Andryani Hamid, Ibid, h. 31
Loc. cit.
8
Loc. cit.
7
68
‫ َو َﻋْﻴـﻨَـْﻴ ِﻪ َﻋ ْﻦ ﺗَـ ْﻔ ِﺮﻳ ِْﻖ اﻟﻨﻈﺮ ﺑﻼ ﺣﺎ َﺟ ٍﺔ‬,‫َﺚ‬
ِ ‫َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳَﺼُﻮ َن ﻳَ َﺪﻳْﻪ َﻋ ِﻦ اﻟ َﻌﺒ‬
.5
Menjaga tangannya dari perbuatan sia-sia dan menjaga
mata dari pandangan tanpa ada kebutuhan9
b. Etika Guru dalam Mengajar
‫ْض ُدﻧْـﻴَ ِﻮ ٍى‬
ِ ‫ﺼ َﺪ ﺗَـ َﻮﺻ ًُﻼ إ َِﱃ ﻏَﺮ‬
َ ‫ وََﻻ ﻳـُ ْﻘ‬,‫ﺼ َﺪ ﺑِﺘَـ ْﻌﻠِْﻴ ِﻤ ِﻪ َو ْﺟﻪَ اﷲ ﺗَـ َﻌ َﺎﱃ‬
َ ‫أَ ْن ﻳـُ ْﻘ‬
.1
‫ِﻚ‬
َ ‫ أ َْو َﺷ ْﻬَﺮةٍ أ َْو ﲰُْ َﻌ ٍﺔ أ َْو ﳓَْﻮ ذَاﻟ‬,ٍ‫ ا َْو ﺟَﺎﻩ‬,‫َﺎل‬
ٍ ‫ﺼْﻴﻞ ﻣ‬
ِ ‫َﻛﺘَ ْﺤ‬
Hendaklah seorang guru menanamkan niat dan tujuan dalam
mengajar lillahi ta’ala, mencari keridhaan Allah, dan tidak
berorientasi duniawi seperti harta, kedudukan, prestise atau sum’ah10.
‫ﺎب‬
ِ ‫ِﺊ اﻻﻛﺘِ َﺴ‬
ِ ‫و اﻟﺘَـﻨَـ ُﺰﻩُ َﻋ ْﻦ َدﻧ‬
.2
Menjauhi dari pekerjaan yang hina11
ً‫َﺎل ﺑِﺎﻟﻌِْﻠ ِﻢ ﻗَِﺮأَةً و إِﻗْﺮاءًا و ُﻣﻄَﺎﻟَ َﻌﺔ‬
ِ ‫َال ُْﳎﺘَ ِﻬﺪًا ِﰱ اﻻ ْﺷﺘِﻐ‬
ُ ‫ﻓَـﻴَـْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن َﻻ ﻳـَﺰ‬
.3
.‫ﺼﻨِْﻴـﻔًﺎ‬
ْ َ‫و ﺗَـ ْﻌﻠِْﻴـﻘًﺎ و ُﻣﺒَ َﺤﺜَﺔ و ُﻣﺬَاﻛﺮة و ﺗ‬
Hendaklah seorang guru selalu giat dan sibuk dengan ilmu
menela’ah, membahas, mengingat dan menerbitkan karya. Dan tidak
malu untuk bertanya.12
9
Ibid, h. 40
ibid, h. 29-42
10
11
Dan orang-orang yang menjauhkan diri  

12Imam

dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, (Q.S. Almu’minun:3)
Nawawi, ibid. h. 32
69
‫ْﻼ ﺑِﺈﻟْﻘَﺎﺋِِﻪ إ َِﱃ ُﻣْﺘﻐِْﻴ ِﻪ‬
ً ‫ﺼﻠَﻪُ ِﻣ َﻦ اﻟﻌِْﻠ ِﻢ َﺳﻬ‬
َ ‫ْل ﻣَﺎ َﺣ‬
ِ ‫َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أ ْن ﻳَﻜُﻮ َن ﲰَْﺤًﺎ ﺑِﺒَﺬ‬
.4
.‫ﱠﺎت‬
ِ ‫ﺼْﻴ َﺤ ٍﺔ َو إ ِْرﺷَﺎ ٍد إ َِﱃ اﳌُِﻬﻤ‬
ِ َ‫ﻣُﺘﻠﻄﻔًﺎ ِﰱ إِﻓَﺎ َدةِ ﻃﺎﻟﻴﺒِ ِﻪ َﻣ َﻊ ِرﻓ ٍْﻖ و ﻧ‬
Hendaklah berkenan menyampaikan apa yang ia dapatkan
dari ilmu dan mudah dalam menyampaikan kepada pendengarnya
dengan lembut dan nasihat dan menunjukkan kepada point-point
penting.13
.‫َاع اﻟﻌِْﻠ ِﻢ ﺷَﻴﺌًﺎ َْﳛﺘَﺎﺟُﻮ َن إِﻟَﻴﻪ‬
ِ ‫َوﻻَ ﻳُ َﺪ ﱢﺧ ُﺮ َﻋْﻨـ ُﻬ ْﻢ ِﻣ َﻦ أَﻧْـﻮ‬
.5
Tidak menyembunyikan sesuatu dari ilmu yang dibutuhkan,
‫ﻻَﻳَﻠِﻖ إِﻟَﻴْﻪ ﺷﻴﺌًﺎ َﱂْ ﻳـَﺘَﺄﻫﻞ ﻟﻪ‬
.6
Jangan menyampaikan sesuatu yang ia belum ahli
‫ َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳَﻜُﻮ َن ﺑَﺎذًِﻻ‬,‫َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳَﻜُﻮ َن َﺣ ِﺮﻳْﺼًﺎ َﻋﻠَﻰ ﺗَـ ْﻌﻠِْﻴ ِﻤﻬِﻢ‬
.7
.ِ‫ْﺐ اﻟﻔَﺎﺋِ َﺪة‬
ِ ‫ُو ْﺳ َﻌﻪُ ِﰱ ﺗَـ ْﻔ ِﻬْﻴ ِﻤ ِﻬ ْﻢ َو ﺗَـ ْﻘ ِﺮﻳ‬
Hendaklah bersungguh-sungguh dalam
mengeluarkan
segala
kemampuan
untuk
mengajar
dan
memahamkan
dan
mendekatkan manfaat dengan mengulangi makna dan lafadz yang
rumit14.
13
14
Imam Nawawi Terj. Sri Andryani Hamid, Ibid, h. 35
Ibid, h. 36
70
‫َﺎب ﻧَ ِﻈْﻴـ َﻔ ٍﺔ‬
ٍ ‫ﺲ ﺑِﺜِﻴ‬
ُ َ‫ و ﻳـَ ْﻠﺒ‬,‫ﺲ ِﰱ ﻣ َْﻮ ِﺿ ٍﻊ ﻳـَْﺒـ ُﺮُز ﻓِْﻴ ِﻪ َو ْﺟ َﻬﻪُ ﻟِ ُﻜﻠﱢﻬِﻢ‬
ُ ِ‫َﳚﻠ‬
َْ‫و‬
.8
Duduk dengan tenang dan pada posisi yang bisa dilihat
semua murid dan menggunakan pakaian bersih.15
‫ َو َْﳛ َﻤ ُﺪ‬,‫ ﰒ ﻳـُﺒَ ْﺴ ِﻤ ُﻞ‬,‫ْس ﺗِﻼوة ﻋَﻠﻰ َم ﺗَﻴ ﱠﺴَﺮ ﻣِﻦ اﻟﻘﺮآن‬
ِ ‫َوﻳـُ َﻘ ﱢﺪ ُم َﻋﻠَﻰ اﻟﺪﱠر‬
.9
‫ﺼﻠﱢﻰ وﻳُ َﺴﻠﱢﻢ َﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱮ‬
َ ُ‫اﷲ ﺗَﻌﺎﱃ و ﻳ‬
Memulai pelajaran dengan membaca apa yang mudah dari
al-Qur’an, membaca Bismillah, memuji Allah dan Sholawat atas
nabi.16
‫ و ﻟِﻴَﻜُﻦ ﳎَْﻠﺴﻪ واﺳﻌًﺎ‬,‫ َوﻻَ ﻳَﻄﻮل ﳎﻠﺴﻪ ﺗَﻄْﻮِﻳﻼً ﳝَِﻠُﻬﻢ‬.10
Tidak
memperlama jam belajar, hingga bosan. Dan
Hendaklah ruang kelas yang lapang17
‫َﺳ َﺦ‬
ِ‫غ ﻣِﻦ ﺗَـ ْﻌﻠِﻴﻤﻬﻢ أو اﻟﻘﺎء دَرس ﻋﻠَﻴﻬﻢ أﻣﺮَﻫﻢ ﺑِِﺈﻋَﺎ َدﺗِِﻪ ﻟِﻴُـﺮ‬
َ ‫َوإِذَا ﻓَـَﺮ‬
.11
.‫ﺣﻔﻈِﻬﻢ ﳍﻢ‬
Apabila telah selesai dalam menyampaikan pelajaran,
hendaklah menyuruh murid untuk mengulangi kembali sehingga
meresap18
15
Ibid, h. 41
Loc. cit
17
Loc.cit
18
Ibid, h. 43
16
71
c. Etika Guru terhadap Murid
,‫ْﺢ ِﰱ اﻟﻨﱢـﻴَ ِﺔ‬
ٍ ‫َﺤﻴ‬
ِ ‫َﲑ ﺻ‬
ِِ‫َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻻَ ﳝَْﺘَﻨِ َﻊ ِﻣ ْﻦ ﺗَـ ْﻌﻠِْﻴ ِﻢ أَ َﺣ ٍﺪ ﻟِﻜ َْﻮﻧِِﻪ ﻏ‬
.1
.‫ْﺖ َﻛﺜِْﻴـٌﺮ ِﻣ َﻦ اﻟﻌِْﻠ ِﻢ‬
ِ ‫ﻓﺎﻻﻣﺘِﻨﺎع ِﻣ ْﻦ ﺗَـ ْﻌﻠِْﻴ ِﻤ ِﻬ ْﻢ ﻳـُ َﺆدِى إ َِﱃ ﺗَـ ْﻔ ِﻮﻳ‬
Tidak menghalangi orang yang hendak belajar dikarenakan
salah niat, Dengan menghalangi mereka dari belajar meyebabkan
hilangnya ilmu.19
‫ و اﻟ ﱠﺸْﻴ ِﻢ‬,‫ِﺎﻵداب اﻟﺴُﻨﻴ ِﺔ‬
ِ ‫ْﺞ ﺑ‬
ِ ‫ﱢب اﳌﺘَﻌﻠﻢ َﻋﻠَﻰ اﻟﺘ ْﺪ ِرﻳ‬
َ ‫َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳـُ َﺆد‬
‫ و ﺗـُ َﻌ ﱢﻮُدﻩُ اﻟﺼﻴﺎﻧﺔ‬,‫َﺎﺋﻖ اﳋُﻔﻴَ ِﺔ‬
ِ ‫ِﺎﻵداب و اﻟﺪﻗ‬
ِ ‫ْﺴﻪ ﺑ‬
ِ ‫ﺿ ِﺔ ﻧـَﻔ‬
َ ‫ و ِرﻳَﺎ‬,‫اﳌَﺮ ِﺿﻴﱠ ِﺔ‬
ْ
‫ﲨْﻴ ِﻊ أُﻣُﻮِرﻩِ اﻟﻜَﺎﻣﻨﺔ و اﳉَﻠِﻴﱠ ِﺔ‬
َِ ‫ﰱ‬
.2
Hendaklah sedikit demi sedikit mengarahkan murid untuk
beretika, tabiat yang mulia, dan melatih diri untuk beradab yang
sempurna, dan membiasakan mereka hati-hati dalam setiap urusan
baik secara zahir maupun batin.
‫ َو ﻓَﻀَﺎﺋ ِِﻞ اﻟﻌُﻠَﻤَﺎ ِء َو أَﻧـﱠ ُﻬ ْﻢ‬,‫ َوﻳُ َﺬﻛُِﺮﻩُ ﺑَِﻔﻀَﺎﺋِﻠِ ِﻪ‬,‫و ﻳـَﻨْﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳـَُﺮ ِﻏﺒُﻪُ ِﰱ اﻟﻌِْﻠ ِﻢ‬
‫َوَرﺛَﺔً اﻷﻧْﺒِﻴﺎَِء‬
.3
Hendaklah menjadikan murid cinta akan ilmu, dan
mengingatkan mereka akan pentingnya ilmu dan keutamaankeutamaan para ulama, dan sesungguhnya para ulama adalah
warisan para nabi
19
Imam Nawawi Loc.cit
72
.ِ‫ْﺴ ِﻪ وََوﻟَ ِﺪﻩ‬
ِ ‫ِﺢ ﻧـَﻔ‬
ِ ‫ َوﻳـَ ْﻌﺘ َِﲎ ﲟَِﺼَﺎﳊِِﻪ ﻛﺎﻋﺘِﻨَﺎ ِﻋ ِﻪ ﲟَِﺼَﺎﻟ‬, ‫َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن َْﳛﻨُﻮ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ‬
‫ و‬,‫ِﻨﻔﺴ ِﻪ‬
ِ ‫ُِﺐ ﻟَﻪُ َﻣﺎ ﳛُِﺐ ﻟ‬
َ ‫ و ﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﳛ‬.‫واﻟﺼﱪُ َﻋﻠَﻰ َﺟﻔَﺎﺋِِﻪ و ﺳُﻮِء أَ َدﺑِِﻪ‬
.‫ِﺴ ِﻪ ﻣِﻦ اﻟﺸﱢﺮ‬
ِ ‫ﻳَ ْﻜَﺮﻩُ ﻟَﻪُ َﻣﺎ ﻳَ ْﻜَﺮُﻫﻪُ ﻟِﻨَﻔ‬
.4
Hendaklah menolong untuk kemaslahatan muridnya, dan
menganggapnya seperti anak sendiri sabar akan kebodohannya dan
etikanya yang buruk. Serta Hendaknya mencintai baginya apa yang ia
cintai bagi dirinya, dan membenci apa-apa yang ia benci dari
dirinya20
.‫ﺿ ُﻊ‬
َ ‫ِﲔ ﳍَُﻢ و ﻳـَﺘَـﻮَا‬
ُ ْ ‫ِﲔ ﺑَ ْﻞ ﻳَﻠ‬
َ ْ ‫و ﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻻَﻳﺘﻌﻈﻢ ﻋﻠﻰ اﳌﺘﻌﻠﻤ‬
.5
dan tidak berbangga-bangga diri atas murid, tetapi
berlembut dan merendahkan diri
.‫َﺎب ِﻣْﻨـ ُﻬ ْﻢ‬
َ ‫َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳـَﺘَـ َﻔ ﱠﻘ َﺪ ُﻫ ْﻢ َوﻳَﺴﺄ َُل ﻋ َﻤ ْﻦ ﻏ‬
.6
Hendaklah meneliti dan menanyakan siapa yang tidak hadir
‫َﺎت‬
ٍ ‫ وﻳُﻄَﺎﻟِﺒَـﻬُﻢ ِﰱ أَوﻗ‬,‫ْﺖ‬
ٍ ‫َﺎل ِﰱ ُﻛ ﱢﻞ َوﻗ‬
ِ ‫ﺿ ُﻬ ْﻢ َﻋﻠَﻰ اﻻﺷﺘﻐ‬
َ ‫َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﳛَُﱢﺮ‬
ُ‫ ﻓَﻤَﻦ وَﺟﺪﻩ‬.‫ﱠﺎت‬
ِ ‫ َوﻳَ ْﺴﺄَﳍُُﻢ َﻋﻤﺎ ذَﻛﺮﻩ ﳍَُﻢ ﻣﻦ اﳌُِﻬﻤ‬,
.7
.‫ وأَﺛـ َْﲎ ﻋَﻠﻴﻪ‬,‫ﺣﺎﻓِﻈﻪ ُﻣﺮَا ِﻋﻴًﺎﻟﻪ أَ ْﻛَﺮﻣَﻪ‬
Hendaklah menggerakkan murid untuk selalu menyibukkan
diri setiap waktu, dan meminta mereka untuk mengulangi hapalan,
dan menanyakan yang penting dari yang telah dipelajari. Apabila
mendapatkan jawaban yang tepat hendaklah memuji, dan sebaliknya
hendaklah meminta kepada murid untuk mengulangi kembali
20
Imam Nawawi, Ibid, h. 35
73
d. Etika Guru terhadap Ilmu
‫اﻟﺴﻠﻒ‬
ُ
ُ‫ ﺑَ ْﻞ ﻳَﺼُﻮ ُن اﻟﻌِْﻠ َﻢ َﻛﻤَﺎ ﺻَﺎﻧَﻪ‬,‫ُل اﻟﻌِْﻠ َﻢ‬
َ ‫ِﻣ ْﻦ أَﳘَﱢﻬَﺎ أَ ْن َﻻ ﻳَﺬ‬
.1
Dan yang terpenting dari etika guru ialah tidak merendahkan
ilmu, akan tetapi menjaganya sebagaimana yang dilakukan oleh para
salaf21.
e. Etika Guru terhadap Sesama
‫َﲑ ُﺧﺮُوْج إ َِﱃ َﺣ ﱢﺪ اﳋ ََﻼ َﻋ ِﺔ واﳊﻠﻢ‬
ِْ ‫ َوﻃ ََﻼﻗَِﺔ اﻟ َﻮ ْﺟ ِﻪ ﻣِﻦ ﻏ‬,‫َ اﳉُﻮِد‬,‫ اﻟ ﱠﺴﺨَﺎ ِء‬.1
‫ و اﻹﻛﺜَﺎ ِر ﻣِﻦ اﳌَﺰِْح‬,‫اﻟﻀﺤﻚ‬
ِ
‫اﺟﺘِﻨﺎب‬
Pemurah, dermawan, wajah berseri tanpa berlebih-lebihan,
Santun, menjauhi dari banyak tertawa22 dan canda.23
‫ِﻒ‬
ُ ‫ وﻻ ﻳَ ْﺴﺘَـْﻨﻜ‬,‫ﱠﺎس‬
ِ ‫َﺎب واﺣﺘِﻘَﺎر اﻟﻨ‬
ِ ‫ اﳊَ ْﺬ ُر ِﻣ َﻦ اﳊَ َﺴ ِﺪ و اﻟﱢﺮﻳَﺎ ِء و ا ِﻹ ْﻋﺠ‬.2
ُ‫ِﻣ َﻦ اﻟﺘَـ َﻌﻠﱡ ِﻢ ﳑﻦ دُوﻧَﻪ‬
‫ُﺲ‬
ِ ‫َﺎب اﻷَﻧْـﻔ‬
ِ ‫ﺻﺤ‬
ْ َ‫أ‬
Menghindarkan diri dari hasud, riya’24, dan membangabanggakan diri, menghina orang lain, dan tidak sombong atas orang
lain. Penyakit-penyakit ini yang banyak menyerang manusia.
21
Imam Nawawi, Ibid, h. 31
22








Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang
selalu mereka kerjakan.(QS. At-Taubah:82)
23 Imam Nawawi, Op.cit, h. 30
74
2. Etika Murid
a. Etika Personal Murid
‫َﺣﻔ ِﻈ ِﻪ واﺳﺘِﺜْﻤَﺎرِﻩ‬
ِ ‫ﻟﻘﺒﻮل اﻟﻌِﻠ ِﻢ و‬
ِ ‫ﺼﻠُ َﺢ‬
ْ َ‫َﺎس ﻟِﻴ‬
ِ ‫ ﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳُﻄَ ﱢﻬَﺮ ﻗَـ ْﻠﺒَﻪُ ِﻣ َﻦ اﻷ ْدﻧ‬.1
Hendaknya ia selalu membersihkan hatinya dari berbagai kotoran
agar baik dalam menerima ilmu dan penjagaannya serta buah dari ilmu
tersebut25.
‫َﺎل اﻻ ْﺟﺘِﻬَﺎ ِد ِﰱ‬
ِ ‫ َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳـَ ْﻘﻄَ َﻊ اﻟﻌ ََﻼﺋِ َﻖ اﻟﺸﱠﺎ ِﻏﻠَﺔ َﻋ ْﻦ َﻛﻤ‬.2
.‫ْﺶ‬
ِ ‫ َوﻳَﺼْﱪُِ َﻋﻠَﻰ ِﺿﻴ ِْﻖ اﻟ َﻌﻴ‬, ‫ُﻮت‬
ِ ‫َﺴ ِْﲑ ِﻣ َﻦ اﻟﻘ‬
ِ ‫ َوﻳـ َْﺮﺿَﻰ ﺑِﺎﻟﻴ‬,‫ﺼﻴ ِْﻞ‬
ِ ‫َْﲢ‬
Dan Hendaknya memutus hubungan yang menyibukkan dari
kesempurnaan dalam mendapatkan ilmu, dan ridho dengan sedikit dari
makanan serta bersabar dari kesempitan hidup.26
b. Etika Murid Terhadap Guru
‫ وﻗﺪ اﻣﺮﻧﺎ ﺑﺎﻟﺘﻮاﺿﻊ‬.‫ﺿﻌِ ِﻪ ﻳـَﻨَﺎﻟﻪ‬
ُ ‫ﺿ َﻊ ﻟﻠﻌِْﻠ ِﻢ و اﳌ َﻌﻠﱢ ِﻢ ﻓَﺒِﺘَـﻮَا‬
َ ‫ َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ ﻟﻪ أَ ْن ﻳـَﺘَـﻮَا‬.1
‫ ﻛﺎﻟﺴﻴﻞ ﺣﺮب‬,‫ اﻟﻌﻠﻢ ﺣﺮب ﻟﻠﻤﺘﻌﺎﱃ‬: ‫ و ﻗﺪ ﻗﺎﻟﻮا‬.‫ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻓﻬﻨﺎ اوﱃ‬
‫ ﻛﻤﺎ‬,‫ و ﻳﺄﲤﺮ ﺑﺄﻣﺮﻩ‬,‫ و ﻳﻨﻘﺎد ﳌﻌﻠﻤﻪ و ﻳﺸﺎورﻩ ﰱ اﻣﻮرﻩ‬.‫ﻟﻠﻤﻜﺎن اﻟﻌﺎﱃ‬
‫ و ﻫﺪا اوﱃ ﻟﺘﻔﺎوت ﻣﺮﺗﺒﺘﻬﻤﺎ‬,‫ﻳﻨﻘﺎد اﳌﺮﻳﺾ ﻟﻄﺒﻴﺐ ﺣﺎدق ﻧﺎﺻﺢ‬
Dan hendaklah ia tawadhu’ terhadap ilmu dan guru, dengan
ketawadhu’an ia akan mendapatkan ilmu. Dan kita telah diperintahkan untuk
bertawadhu’ dalam berbagai hal, dan tawdhu’ dalam hal ini lebih ditekankan
lagi. Dan mereka telah berkata : Ilmu adalah musuh bagi orang-orang yang
24Riya’ merupakan mashdar dari raa-a yuraa-i yang maknanya adalah melakukan suatu amalan
agar orang lain bias melihatnya kemudian memuji. Termasuk kedalam riya’ juga sum’ah, yakni agar orang
lain mendengar apa yang kita lakukan. Baca mediabilhikma.multiply.com dipost 10 Juli 2008
25
Imam Nawawi, Terj. Sri Andryani Hamid, Ibid, h. 44
26 Imam Nawawi, Loc.cit
75
sombong. Seperti banjir musuh tempat yang tinggi. Dan hendaklah ia
mengangkat gurunya dan bermusyawarah dalam urusan-urusannya dan
melaksanakan perintahnya sebagaimana orang yang sakit mengangkat
dokter yang pandai dan selalu memberi nasehat. Dan ini lebih mulia karena
ada kesamaan antara keduanya.27
‫َﺖ َﻣ ْﻌ ِﺮﻓَﺘﻪ‬
ْ ‫َت دِﻳﺎَﻧﺘﻪ وَﲢََ ﱠﻘﻘ‬
ْ ‫َﺖ أَ ْﻫﻠِﻴَﺘُﻪ َوﻇَ َﻬﺮ‬
ْ ‫ َوﻻَﻳَﺄ ُﺧ ُﺬ اﻟﻌِْﻠ َﻢ إِﻻ ﳑﻦ َﻛ ُﻤﻠ‬.2
. ‫واﺷﺘﻬﺮت ِﺻﻴَﺎﻧﺘﻪ و ِﺳﻴَﺎدﺗﻪ‬
Janganlah mengambil ilmu kecuali dari orang yang telah sempurna
keilmuannya, dan nampak kebaikan dinnya, dan telah sempurna
pengetahuannya, dan telah terkenal penjagaan dan kepemimpinannya.28
‫ و ﻻ ﺗﺄﺧ ُﺬ اﻟﻌﻠﻢ ﳑﻦ ﻛﺎن أﺧﺬُﻩ ﻟﻪ ﻣﻦ ﺑﻄﻮن اﻟﻜﺘﺐ ﻣﻦ ﻏﲑ ﻗﺮأة ﻋﻠﻰ‬.3
‫ ﻓﻤﻦ ﱂ ﻳﺄﺧﺬﻩ إﻻ ﻣﻦ اﻟﻜﺘﺐ ﻳﻘﻊ ﰱ‬,‫ﺷﻴﻮخ أو ﺷﻴﺦ ﺣﺎذق‬
‫ و ﻳﻜﺜﺮ ﻣﻨﻪ اﻟﻐﻠﻂ و اﻟﺘﺤﺮﻳﻒ‬,‫اﻟﺘﺼﺤﻴﻒ‬
dan janganlah mengambil ilmu dari orang-orang yang mengambil
ilmunya hanya dari buku-buku tanpa dibacakan kepada seorang guru atau
guru yang pandai. Maka barang siapa yang tidak mengambil ilmu kecuali dari
buku akan terjerumus dalam kesalahan dan banyak darinya kerumitan dan
penyimpangan29
27 Ibid,
28
h. 45
Ibid, h. 45-46
29
Loc. cit
76
‫ َوﻳـَ ْﻌﺘَ ِﻘ ُﺪ َﻛﻤَﺎل أَ ْﻫﻠِﻴﺘﻪ و ُر ْﺟﺤَﺎﻧﻪ‬,‫َﲔ اﻻﺣﱰام‬
ِ ْ ‫ َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳـَْﻨﻈَُﺮ ُﻣ َﻌﻠﱢﻤَﻪ ﺑِﻌ‬.4
‫ُﻮخ ﻣﺎ َِﲰﻌَﻪ ﻣﻨﻪ ِﰱ‬
ِ ‫ِﻔﺎع ﺑﻪ و ُرﺳ‬
ِ ‫ ﻓَـﻬُﻮ أَﻗْﺮب إ َِﱃ اﻧﺘ‬.‫ﻋﻠﻰ أَ ْﻛﺜَ ِﺮ ﻃَﻴَـﻘَﺘﻪ‬
‫ِذ ْﻫﻨِ ِﻪ‬
Dan hendaknya melihat gurunya dengan rasa hormat, dan
berkeyakinan atas kesempurnaan dan kepandiannya dalam berbidang. Maka
ia akan dapat lebih banyak mengambil manfaat serta mengilmui apa yang ia
dengarkan dari gurunya dalam ingatannya. Bahwa orang-orang dahulu jika
pergi pada gurunya bershodaqah dengan sesuatu. Dan berdo’a : Ya Allah
semoga engkau menutupi ‘aib guru saya dariku, dan janganlah engkau
jauhkan barokah ilmunya dariku30
‫ وﻻ‬,‫آداب اﳌُﺘَـ َﻌﻠﱢ ُﻢ أَن ﻳـَﺘَﺤﺮى رﺿﻰ اﳌﻌﻠﻢ وَإن ﺧﺎﻟﻒ رَأى ﻧﻔﺴَﻪ‬
ِ ‫ وﻣﻦ‬.5
‫ ﻓِﺈ ْن َﻋ ُﺠَﺰ‬,‫ِذاﲰﻌﻬﺎ‬
َ ‫ وأَ ْن ﻳـَ ُﺮﱡد ﻏِﻴﺒﺘﻪ إ‬,
,‫ﻳـَ ْﻐﺘَﺎب ِﻋﻨْﺪﻩ‬
.
Dan diantara adab murid hendaknya memilih ridho guru walaupun
menyelisihi pendapatnya. Dan tidak mencela dihadapannya. Dan tidak
menyebarkannya secara sembunyi-sembunyi. Dan hendaknya membantah
aibnya jika ia mendengarnya. Jika ia lemah hendaknya ia berpisah dari
kelas.31
30
31
Loc. cit
Ibid, h. 47
77
.‫ﻀﻠَﻬُﻢ وأﺳْﻨﻬﻢ‬
َ ‫ وإذا دﺧﻞ ﲨﺎ َﻋ ٍﺔ ﻗﺪﻣﻮا أﻓ‬,‫ أﻻ ﻳﺪﺧُﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻐﲑ إِ ْذ ٍن‬.6
Dan janganlah masuk (kelas)kecuali dengan seizin guru. Dan jika
masuk satu kelompok hendaklah mendahulukan yang lebih utama dan lebih
tua32.
c. Etika Murid dalam Belajar
‫ﲨْﻴ ِﻊ أَوﻗَﺎﺗِِﻪ ﻟَﻴﻼ و‬
َِ ‫ َوﻳـَْﻨﺒَﻐِﻰ أَ ْن ﻳَﻜ ُْﻮ َن َﺣ ِﺮﻳْﺼًﺎ َﻋﻠَﻰ اﻟﺘﻌﻠﱡ ِﻢ ُﻣﻮاﻇَﺒًﺎ َﻋﻠَﻴْﻪ ِﰱ‬.1
‫َﲑ اﻟﻌﻠ ِﻢ إﻻ ﺑِﻘَﺪ ِر اﻟﻀﺮورة‬
ِْ ‫ َو ﻻَ ﻳُ ْﺬﻫِﺐ ﻣﻦ أَوﻗَﺎﺗﻪ َﺷﻴْﺌًﺎ ِﰱ ﻏ‬.‫ﻧـَﻬَﺎرًا‬
‫َﻮم‬
ٍ ‫ْﻞ و ﻧ‬
ٍ ‫ﻷَِﻛ‬
Rakus dalam belajar dan rajin pada setiap waktu malam ataupun
siang. Tidak menghilangkan waktu tanpa ilmu kecuali dalam keadaan darurat
dari makan dan minum, dan istirahat untuk menghilangkan kejenuhan 33
Imam Syafi’I berkata “
‫ﺼْﺒـ ُﺮ َﻋﻠَﻰ ُﻛ ﱢﻞ‬
‫ َو اﻟ ﱠ‬,‫َﺣ ﱞﻖ َﻋﻠَﻰ ﻃَﻠَﺒَ ِﺔ اﻟﻌِْﻠ ِﻢ ﺑـُﻠ ُْﻮغُ ﻏَﺎﻳَِﺔ ُﺟ ْﻬ ِﺪﻫِﻢ ِﰱ اﻻﺳﺘِ ْﻜﺜَﺎ ِر ِﻣ ْﻦ ِﻋ ْﻠ ِﻤ ِﻪ‬
ُ‫ و اﻟﱠﺮ ْﻏﺒَﺔ‬,
‫اﱃ اﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﰱ اﻟﻌ َْﻮ ِن َﻋﻠَﻴﻪ‬
Hak seorang penuntut ilmu adalah sampai pada tujuan jihadnya
dalam memperbanyak ilmu, dan sabar atas semua aral, dan ikhlas niat
karena Allah SWT dalam mendapatkan ilmu dan berharap pertolongan Allah
atas dirinya.
32
33
Loc. cit
Ibid, h. 49
78
‫ص‬
ٌ ‫َﺣ ْﺮ‬
ِ ‫ذَﻛَﺎءٌ و‬: ‫ﺼْﻴﻠِﻬَﺎ ﺑِﺒَـﻴَﺎ ٍن‬
ِ ‫ْﻚ َﻋ ْﻦ ﺗَـ ْﻔ‬
َ ‫ِﺴﺘﱠ ٍﺔ َﺳﺄُﻧْﺒِﻴ‬
ِ ‫َﺎل اﻟﻌِْﻠ َﻢ إِﻻﱠ ﺑ‬
َ ‫َﺧﻲ ﻟَ ْﻦ ﺗَـﻨ‬
ِ‫أ‬
‫ْل َزﻣَﺎ ٍن‬
ُ ‫ﺻ ْﺤﺒَﺔُ أُ ْﺳﺘَﺎ ٍذ َوﻃُﻮ‬
ُ ‫وَا ْﺟﺘِﻬَﺎ ٌد َود ِْرَﻫ ٌﻢ َو‬
"Wahai Saudaraku Kalian Tidak Bisa Mendapatkan Ilmu Kecuali
Dengan 6 Syarat Yang Akan Saya Beritahukan" 1.Dengan Kecerdasan,
2.Dengan Semangat , 3.Dengan Bersungguh-sungguh , 4.Dengan Memiliki
bekal (biaya) , 5.Dengan Bersama guru dan , 6.Dengan Waktu yang lama,
(Imam Syafi'i Rahimahulloh)
Khotib al-Baghdadi berkata “ sebaik-baiknya waktu untuk menghapal
adalah waktu Sahur, Tengah hari, dan waktu pagi, Menghapal pada malam
hari lebih baik daripada siang hari, waktu lapar lebih baik daripada kenyang.
Dan sebaik-baiknya tempat adalah dalam ruangan, adapun selain itu
melenakan.
,‫ِﻞ ﻣُﺘﻄ ِﻬﺮًا ﻣُﺘﻨﻈﻔًﺎﺑﺴﻮ ٍاك‬
ِ ‫ْﺐ ﻣِﻦ اﻟ ﱠﺸﻮاﻏ‬
ِ ‫غ اﻟ َﻘﻠ‬
َ ‫وأَ ْن ﻳَ ْﺪ ُﺧ َﻞ ﻛَﺎ ِﻣ ُﻞ اﳍَْﻴﺒَ ِﺔ ﻓَﺎ ِر‬.2
.‫وإزاﻟﺔ ﻛﺮﻳﻪ رَاﺋِ َﺤ ٍﺔ‬
Dan hendaklah masuk dengan keadaan yang paling baik, hati
kosong dari berbagai kesibukan, bersih dengan siwak, serta menghilangkan
bau yang tidak sedap.34
Rasulullah SAW bersabda:
‫َﺎب اﷲِ َوﻳـَﺘَﺪَا َرﺳُﻮﻧَﻪ ﺑـَْﻴـﻨَﻬﻢ‬
َ ‫ُﻮت اﷲ ﻳـَْﺘـﻠُﻮ َن ﻛِﺘ‬
ِ ‫ْﺖ ِﻣ ْﻦ ﺑـُﻴ‬
ٍ ‫وﻣﺎ ا ْﺟﺘَ َﻤ َﻊ ﻗـ َْﻮٌم ِﰱ ﺑـَﻴ‬
‫اﳌَﻼﺋِ َﻜﺔُ َوذَ ّﻛَﺮُﻫ ُﻢ اﷲ‬
َ ‫َﺸﻴَْﺘـﻬُﻢ اﻟﱠﺮﲪَﺔُ َو َﺣ ﱠﻔْﺘـ ُﻬ ُﻢ‬
ِ ‫َﺖ َﻋﻠَﻴْﻬﻢ اﻟ ﱠﺴ ِﻜْﻴـﻨَﺔُ َوﻏ‬
ْ ‫إِﻻﱠ ﻧـََﺰﻟ‬
Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allâh, mereka
membacakan kitabullâh dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka
ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi
34
Loc. cit
79
mereka dan Allâh memuji mereka di hadapan makhluk yang ada
didekatnya.35
‫ﺺ‬
‫ َو َﳜ ﱡ‬,‫ْت ﻳَﺴْﻤﻌﻬﻢ إِﲰَْﺎﻋًﺎ ﳏَُ ﱠﻘﻘًﺎ‬
ٍ ‫َو ﻳُ َﺴﻠﱢ ُﻢ َﻋﻠَﻰ اﳊَﺎ ِﺿ ِﺮﻳْ َﻦ ﻛﻠﻬﻢ ﺑِﺼَﻮ‬
.‫َف‬
َ ‫ﺼﺮ‬
َ ‫ وَﻛﺬَاﻟﻚ إِذَا اﻧ‬,‫اﻟﺸﻴ ُﺦ ﺑِ ِﺰﻳَﺎ َدةِ إِ ْﻛﺮٍام‬
.3
Dan memberikan salam terhadap seluruh hadirin dengan suara
yang bisa diderkan seluruh ruangan. Dan menghususkan terhadap gurunya
sebagai tambahan penghormatan, demikian pula memberi salam ketika
keluar majlis.36
‫ و ﻻ ﻳﻜﺜﺮ‬,‫َﲑ ﺣَﺎ َﺟ ٍﺔ و ﻻ ﻳَﻀﺤﻚ‬
ِْ ‫وﻻ ﻳـ َْﺮﻓَ ْﻊ ﺻَﻮﺗﻪ َرﻓْـﻌًﺎ ﺑَﻠِْﻴـﻐًﺎﻣﻦ ﻏ‬
.‫اﻟﻜﻼم ﺑِﻼ ﺣﺎﺟ ٍﺔ‬
.4
Jangan meninggikan suara tanpa ada kepentingan, tidak tertawa,
dan tidak banyak bicara tanpa ada kepentingan. Tidak memain-mainkan
tangan tidak jugan dengan yang lainnya, tidak berpaling atau menoleh tanpa
ada kepentingan, akan tetapi memperhatikan dan mendengarkan ucapan
guru.
Para ulama memasukkan tertawa yang banyak tanpa sebab
sebagai dosa kecil. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW ُ‫ْﻚ ﻓَِﺈﻧﱠﻪ‬
ِ ‫ﱠﺎك و َﻛﺜْﺮة اﻟﻀﺤ‬
َ ‫إِﻳ‬
‫ ﳝُِﻴْﺖ اﻟﻘﻠﺐ‬Berhati-hatilah dengan banyak tertawa,sebab ia menyebabkan hati
menjadi mati.
Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata: “Kapan saja ada yang tidak dapat
dipahami dari perkataan guru oleh muridnya, hendaklah dia bersabar sampai
sang guru menyelesaikan ucapannya, baru kemudian dia meminta
35 Imam Muslim rahimahullâh, dalam Shahihnya, Kitab Adz Dzikir Wad Du’a, Bab Fadhlul Ijtima’
‘Ala Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala Dzikr, nomor 6793, juz 17/23. (Lihat Syarah An Nawawi).
36
Imam Nawawi. Ibid, h. 47
80
penjelasan gurunya dengan penuh adab dan kelembutan dan tidak
memotong di tengah-tengah pembicaraannya.” (al-Adab al-syar’iyyah, jilid 2,
hlm. 163)
‫ُﻮت د َْرﺳَﻪ‬
ُ ‫ﱠﻴﺦ ﻓَﻠﻢ ﳚَِﺪﻩ اﻧْـﺘَﻈﺮﻩ وﻻ ﻳـَﻔ‬
ِ ‫ﺲ اﻟﺸ‬
ُ ِ‫وإذا ﺟَﺎء َْﳎﻠ‬
.5
Apabila tiba di ruang kelas, dan tidak mendapatkan guru hendaklah
menunggunya, dan jangan sampai melewatkan pelajarannya37
‫اﳊﻔﻆ و اﻟﺘﻜَﺮا ِر واﳌُﻄَﺎﻟﻌﺔ‬
ِ ‫ و ِﰱ‬,‫َﺎﻳﺦ‬
ِ ‫وﻳﻨﺒﻐِﻰ أَ ْن ﻳَﺒ َﺪأَ دروﺳﻪ ﻋﻠَﻰ اﳌَﺸ‬
.6
. ‫ﺑﺎﻷ َﻫ ِﻢ ﻓﺎﻷ َﻫ ِﻢ‬
hendaknya memulai pelajarannya dengan guru. Dan mnemulai
menghapal, pengulangan dan membaca dari yang terpenting.38
‫ي ﻓَ ﱟﻦ ﻛَﺎﻧﺖ‬
َ َ‫َﺎﰱ أ‬
ِ ‫وﻻ َْﳛﺘَ ِﻘَﺮ ﱠن ﻓَﺎﺋِ َﺪةً ﻳَﺮاﻫﺎ أ َْو ﻳﺴﻤﻌﻬ‬
.7
Janganlah menghina sesuatu faidah yang dilihat atau didengar
dalam bidang apapun.39
Rasulullah SAW melarang umatnya mencari-cari kesalahan orang
lain, sebab yang demikian akan menghancurkan kerukunan dan
kebersamaan kaum muslimin.
37
Ibid, h. 50
Ibid, h. 51
39
Ibid, h. 52
38
81
d.
Etika Murid Terhadap Sesama
‫ْﺷ َﺪ رﻓِﻘَﺘﻪ و َﻏْﻴـﺮَﻫﻢ ﻣﻦ اﻟﻄﻠﺒَ ِﺔ إِﱃ َﻣﻮَاﻃﻦ اﻻﺷﺘﻐﺎل و‬
ِ‫ و ﻳﻨﺒﻐِﻰ أَ ْن ﻳـُﺮ‬.1
‫ِﺈرﺷَﺎدﻫﻢ‬
ْ ‫ و ﺑ‬,‫ و ﻳﺬﻛﺮ ﳍﻢ ﻣﺎ اﺳﺘﻔَﺎدﻩ َﻋﻠَﻰ ﺟﻬﺔ اﻟﻨﺼﻴﺤﺔ‬,ِ‫اﻟﻔَﺎﺋﺪة‬
.‫ﻳـُﺒَﺎرك ﻟﻪ ِﰱ ﻋﻠﻤﻪ و ﻳﺴﺘَﻨِْﻴـ ُﺮ ﻗَـ ْﻠﺒُﻪ‬
Hendaknya membimbing teman dan selain dirinya pada kesibukan
dan hal-hal yang bermanfaat, dan mengingatkan mereka denagn nasihat,
karena dengan membimbing mereka akan mendapatkan berkah dalam
ilmunya dan mensucikan hati.40
‫ وﻗﺪ ﻗَﺪﻣﻨَﺎ ﻫﺬا ِﰱ‬,‫ﺐ ﺑﻔَﻬﻤِﻪ‬
ُ ‫ُﻌﺠ‬
ِ ‫ وﻻ ﻳ‬,ُ‫ وﻻ َْﳛﺘَ ِﻘ ُﺮﻩ‬,‫ وﻻ َْﳛ ُﺴ ُﺪ أَ َﺣﺪًا‬.2
.‫آدَاب اﳌﻌﻠﻢ‬
Jangan dengki terhadap seseorang, dan jangan menghina, dan
jangan pula berbangga atas pemahamnnya. Dan ini telah dijelaskan pada
etika guru.41
40
41
Ibid, h. 52
Loc. cit
82
B. RELEVANSI ETIKA GURU DAN MURID MENURUT IMAM NAWAWI DENGAN UU RI
No. 14 Th. 2005 DAN PP RI No. 17 Th. 2010
a. Relevansi Etika Personal Guru menurut Imam Nawawi Dengan UU RI No. 14
Th. 2005 Tentang Guru dan Dosen
Pertama, Imam Nawawi menyatakan, hendaklah seorang guru berakhlak
dan bertabiat mulia sesuai dengan syari’at42. Dalam kitabnya Hadits Arba’in AnNawawiyah, hadits ke-31 membahas tentang zuhud43
Guru tidak hanya dituntut harus mampu sebagai agent of learning, tetapi juga
harus mampu memerankan dirinya sebagai agent of change bagi peserta didik.
Karenanya, seorang guru diharapkan dapat menjadi seorang pendidik yang tidak
hanya sebatas mengajar, tetapi juga harus mampu menjadi motivator serta terlibat
langsung dalam proses pengubahan sikap dan perilaku siswa .44
UUGD Pasal 7 butir b. Seorang guru memiliki komitmen untuk
meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;45
Pendapat Imam Nawawi dalam etika guru terhadap dirinya memiliki
relevansi dengan UUGD Pasal 7 butir b yakni sama-sama berbicara tentang
akhlak mulia, namun UUGD ini belum “membumi” dan masih banyak ditemukan
prilaku-prilaku destruktif. Hal ini dikarenakan belum munculnya pribadi-pribadi
42Imam
Nawawi. Adab Al-Alim wa al-Muta’allim, Ibid. h. 29
‫ ﺟَﺎءَ َر ُﺟ ٌﻞ إ َِﱃ اﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬:‫ﺳﻬﻞ ﺑْ ِﻦ ﺳ ْﻌ ٍﺪ اﻟﺴﺎﻋﺪ ِي َرﺿِﻰ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل‬
ِ ‫ﻋﻦ أﰉ اﻟﻌﺒﺎس‬43
‫ و ازﻫﺪ‬,‫ ﻓﻘﺎل ازﻫﺪ ﰱ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﳛُِﺒﻚ اﷲ‬.‫ﻋﻤﻞ إد ﻋَﻤﻠْﺘُﻪ أَﺣَﺒﲎ اﷲ و اﺣﺒﲎ اﻟﻨﺎس‬
ٍ ‫ دُﻟﲎ ﻋَﻠَﻰ‬,‫ُﻮل اﷲ‬
َ ‫ ﻳﺎ رﺳ‬: ‫ﻓﻘﺎل‬
‫س )ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ رواﻩ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻏﲑﻩ ﺑﺄﺳﺎﻧﻴﺪ ﺣﺴﻨﺔ‬
ُ ‫ﻓﻴﻤﺎ ﻋﻨﺪ اﻟﻨﺎس ﳛﺒﻚ اﻟﻨﺎ‬
Dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi ra berkata “Seorang laki-laki dating kepada Nabi SAW
dan berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amal, jika aku lakukan aku akan dicintai Allah
dan dicintai manusia.” Rasulullah SAW bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia maka Allah akan mencintaimu,
dan zuhudlah apa yang dimiliki manusia niscaya mereka akan mencintaimu.
44http://metrolisa.info/guru-sebagai-motivator-akhlak.html, 15 Maret 2010.
45 UUGD,Ibid, h. 7
83
cerdas, kreatif, dan berbudi luhur sebagaimana yang dicita-citakan oleh
Pendidikan Islam yakni terbentuknya manusia yang beriman, cerdas, kreatif, dan
memiliki keluhuran budi. Dan juga tujuan Pendidikan nasional yaitu
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.
Kedua, Imam Nawawi
menjelaskan hendaklah seorang guru Selalu
merasakan akan pengawasan Allah dengan memperbanyak bertasbih, bertahlil,
memperbanyak zikir dan do’a-do’a46 serta menghindari hal-hal yang syubuhat47 .
Muroqobatullah berarti senantiasa ikhlas ketika menjalankan ketaatan
padaNya dan selalu merasakan pengawasan Allah48.
46
Imam Nawawi, ibid, h. 31
‫َْﻼل‬
َ ‫ " إن اﳊ‬:‫ُﻮل‬
ُ ‫ُﻮل اﷲِ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳـَﻘ‬
َ ‫ﲰﻌﺖ َرﺳ‬
ُ : ‫َﺎل‬
َ ‫َﺸ ٍﲑ َر ِﺿ َﻲ اﷲُ َﻋْﻨـﻬُﻤﺎ ﻗ‬
ِ ‫ َﻋ ْﻦ أﰊ َﻋﺒْ ِﺪ اﷲِ اﻟﻨﱡـ ْﻌﻤَﺎ ِن ﺑْ ِﻦ ﺑ‬47
‫ َوَﻣ ْﻦ َوﻗَ َﻊ ﰲ‬،ِ‫َﺎت ا ْﺳﺘَْﺒـَﺮأَ ﻟِﺪِﻳﻨِ ِﻪ َوﻋ ِْﺮ ِﺿﻪ‬
ِ ‫ ﻓَ َﻤ ِﻦ اﺗﱠـ ﻘَﻰ اﻟ ﱡﺸﺒُـﻬ‬،‫اﻟﻨﺎس‬
ِ ‫َﺎت ﻻ ﻳـَ ْﻌﻠَ ُﻤ ُﻬ ﱠﻦ ﻛَﺜﲑٌِ ِﻣ َﻦ‬
ٌ ‫َﲔ َوﺑـَْﻴـﻨَـﻬُﻤﺎ أﻣﻮر ُﻣ ْﺸﺘَﺒِﻬ‬
ٌ‫َﲔ وَإ ﱠن اﳊَْﺮَا َم ﺑـ ﱢ‬
ٌ‫ﺑـ ﱢ‬
‫ أَﻻ وَإ ﱠن ﰲ‬،‫ِﻚ ِﲪ ًﻰ أَﻻ وَإ ﱠن ِﲪَﻰ اﷲ ﳏََﺎ ِرﻣُﻪ‬
ٍ ‫ أَﻻ وَإ ﱠن ﻟِ ُﻜ ﱢﻞ َﻣﻠ‬،ِ‫ُﻮﺷﻚ أَ ْن ﻳـ َْﺮﺗَ َﻊ ﻓِﻴﻪ‬
ِ ‫ْل اﳊِْﻤَﻰ ﻳ‬
َ ‫ ﻛﺎﻟﺮﱠاﻋِﻲ ﻳـ َْﺮﻋَﻰ ﺣَﻮ‬،‫َام‬
ِ‫ُﻬﺎت َوﻗَ َﻊ ﰲ اﳊَْﺮ‬
ِ ‫اﻟ ﱠﺸﺒ‬
‫ي َوُﻣ ْﺴﻠِ ٌﻢ‬
‫ أَﻻ َوِﻫ َﻲ اﻟْ َﻘﻠْﺐ" رَوَاﻩُ اﻟْﺒُﺨَﺎ ِر ﱡ‬،ُ‫َت ﻓَ َﺴ َﺪ اﳉَْ َﺴ ُﺪ ُﻛﻠﱡﻪ‬
ْ ‫ﺻﻠَ ًﺢ اﳉَْ َﺴ ُﺪ ُﻛﻠﱡﻪُ وإذَا ﻓَ َﺴﺪ‬
َ ‫َﺖ‬
ْ ‫ﺻﻠَﺤ‬
َ ‫ﻀﻐَﺔً إذَا‬
ْ ‫اﳉَ َﺴ ِﺪ ُﻣ‬
An-Nu'man bin Basyir berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Yang halal itu jelas
dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas
halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal
musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus
dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke
dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah
larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging.
Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh
tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati.'" (HR. Bukhori dan Muslim). Imam Nawawi Hadits Arba’in
(Jakarta: Sholahuddin Press, 2007) h. 19
‫اﻹﺣﺴﺎ ُن أَ ْن ﺗَﻌﺒُﺪ اﷲَ ﻛَﺄﻧﻚ ﺗَـﺮَاﻩ ﻓَﺈ ْن ﱂَْ ﺗ ُﻜ ْﻦ ﺗﺮاﻩ ﻓَﺈﻧﻪ ﻳـَﺮَاك‬48
“Ihsan adalah ketika engkau menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya, jika tidak melihat-Nya,
maka Dia yang melihatmu (Hadits dari Umar bin Khattab ra dan diriwayatkan oleh : Muslim)
   
 

84
Allah SWT juga mengingatkan dalam surat al-Baqarah 2:16849. Ayat ini
mengingatkan agar manusia berhati-hati dalam memanfaatkan nikmat Allah yang
ada di seputar kita, karena di antara sekian banyak kenikmatan Allah yang
diciptakan Allah di bumi ini, ada sebagian yang terlarang untuk dimanfaatkan oleh
manusia dengan pelbagai caranya. Salah satu dengan memakannya. Rasulullah
s.a.w. pun bersabda, ’Tidak ada daging yang tumbuh dari makanan yang haram,
melainkan neraka lebih layak untuk dirinya’.”
Ketiga,
Imam
Nawawi
menjelaskan
hendaklah
seorang
guru
menghindarkan diri dari perbuatan sia-sia
Mengacu kepada standar nasional pendidikan, kompetensi kepribadian
guru meliputi: (1)Memiliki kepribadian yang mantap dan stabil, yang indikatornya
bertindak sesuai dengan norma hukum, norma sosial (2) Memiliki kepribadian
yang dewasa, dengan ciri-ciri menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagi
pendidik yang memiliki etos kerja; (3) Memiliki kepribadian yang arif, yang
ditunjukkan dengan tindakan yang bermanfaat bagi peserta didik, sekolah dan
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu (QS. At-Taubah: 105)
    
    
   
(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh.
Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan.(QS. Saba’:11)
    49
    
     

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.
85
masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak; (4)
Memiliki kepribadian yang berwibawa, yaitu perilaku yang berpengaruh positif
terhadap peserta didik dan memiliki perlaku yang disegani; (5) Memiliki akhlak
yang mulia dan menjadi teladan.50
Dalam beberapa kasus, tidak jarang guru yang memiliki kemampuan yang
mumpuni secara pedagogis dan profesional dalam mata pelajaran yang
diajarkannya, tetapi implementasi dalam pembelajaran kurang optimal.
UUGD pasal 20 butir d Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru
berkewajiban menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode
etik guru51, serta nilai-nilai agama dan etika52.
Pendapat Imam Nawawi ini juga memiliki relevansi dengan UUGD pasal
20 butir d yakni, hendaklah seorang guru taat akan hukum, baik hukum Allah
maupun hukum buatan manusia, dan hendaklah seorang guru menerapkan nilainilai agama
b. Relevansi Etika Guru dalam Mengajar menurut Imam Nawawi Dengan UU RI
No. 14 Th. 2005 Tentang Guru dan Dosen
Pertama, Imam Nawawi menjelaskan bahwasanya seorang guru dalam
mengajar hendaklah menanamkan niat lillahi
ta’ala, dan tidak berorientasi
duniawi.53
50Jamal
Ma’mur Asmani, op.cit,. h 117
Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru
Indonesia sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik,
anggota masyarakat, dan warga negara. Pedoman sikap dan perilaku sebagaimana yang dimaksud adalah
nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh
dilaksanakan selama menunaikan tugas-tugas profesionalnya untuk mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, serta pergaulan sehari-hari di dalam dan di
luar.
51
52UUGD,
Ibid, h. 15
86
Islam tidak memandang remeh kedudukan niat dalam setiap perbuatan
seseorang jika memang perbuatan yang dilakukan seseorang tersebut
mengandung niat tulus dan baik yang mendasarinya Lillahi Ta’ala, maka Allah akan
mencatatnya sebagai kebaikan bagi dirinya. Namun sebaliknya jika motif yang
mendasari tindakan seseorang tersebut penuh dengan keburukan dan kejahatan,
maka ia akan mendapat apa yang ia niatkan tersebut.54
Oleh sebab itu, dalam setiap menjalankan tugas apapun seseorang
muslim sudah seharusnya memperbaiki dan memantapkan niat yang terbetik
dalam hatinya terlebih dahulu. Jika niat yang muncul adalah untuk selain Allah,
misalnya untuk membuat senang atasan, melakukan pekerjaan bila ada uang
tambahanan, ingin mendapat pujian orang lain dan sebagainya, sehingga
cenderung kepada riya’ dan sum’ah maka niat tersebut perlu secepatnya
dikembalikan kepada niat yang tulus karena Allah. Tidak ada satupun perbuatan di
dunia ini yang tidak bernilai ibadah, walaupun tugas atau perbuatan yang
dikerjakan itu bukan ibadah mahdhah seperti shalat, puasa dan lain-lain tetapi
harus dikerjakan dalam rangka pengabdian, ketaatan dan ketulusan diri kepada
Allah SWT semata.
Pendidik hendaknya berpedoman pada prinsip para Nabi yakni hanya
mengharapkan upah dari Allah55
53Imam
Nawawi, Ibid, h. 29
(‫)اﻟﺒﺨﺎرى‬
‫إِﳕﱠَﺎ اﻷَﻋﻤﺎ َُل ﺑﺎﻟﻨﻴَﺎت و إِﳕﱠَﺎ ﻟﻜﻞ اﻣﺮ ٍئ ﻣَﺎ ﻧـَﻮَى‬54
55
    
      
Dan (Dia berkata): "Hai kaumku, Aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi
seruanku. upahku hanyalah dari Allah (QS.Hud:29)
    
   
87
UUGD Bab III Pasal 7 dalam prinsip Profesionalitas menyatakan profesi
guru dilaksanakan berdasarkan prinsip memiliki komitmen untuk meningkatkan
mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; 56
Pasal 20 butir d Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru
berkewajiban menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode
etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika.57
Relevansi etika guru menurut Imam Nawawi dengan UUGD pasal 7 dan
pasal 20 yakni, kedua-duanya sama-sama menghendaki seorang guru dalam
mengajar berlandaskan pada nilai-nilai agama.
Imam Ghazali juga menyatakan guru tidak boleh mencari bayaran dari
pekerjaan mengajarnya, demi mengikuti jejak Rasulullah SAW dengan alasan
bahwa mengajar itu lebih tingggi harganya daripada harta benda.58
Kedua, Imam Nawawi menegaskan bahwasanya seorang guru hendaklah
selalu giat menela’ah membahas serta bersungguh-sungguh dalam mengajar.59
Guru yang ideal adalah guru yang rajin membaca dan menulis. Pengalaman
mengatakan, siapa yang rajin membaca, maka ia akan kaya akan ilmu. Namun,
bila malas membaca, maka kemiskinan ilmu akan terasa.
UUGD Pasal 7 butir g tentang prinsip profesionalitas yakni, memiliki
kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan
dengan belajar sepanjang hayat (Life Long Education)60
162. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam.(QS.Al-An’am:162-163)
56
UUGD, Ibid, h. 7
UUGD, Ibid, h. 15
58 Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada abad klasik dan Pertengahan, (Bandung:
Angkasa, 2003), h. 138
59Imam Nawai, Ibid, h. 31
57
88
Pendapat Imam Nawawi ini memiliki relevansi dengan UUGD Pasal 7 butir
g yakni, seorang guru selalu meningkatkan pengetahuannya
Ketiga, Imam Nawawi menegaskan bahwasanya seorang guru tidak boleh
menyembunyikan ilmu atau menyampaikan ilmu sedangkan ia belum ahli dalam
bidangnya, dan hendaklah bersungguh-sungguh dalam mengajar hingga ilmu
yang diajarkan benar-benar tertanam.61
Dalam mendidik sangat dibutuhkan landasan mental dan spiritual terutama
yang memberikan optimisme dalam sikap mendidik. maka Allah memberikan
petunjuk bahwa manusia pun mempunyai kemampuan untuk menunjukkan orang
lain kearah jalan yang lurus.
Allah Melaknat orang-orang yang menyembunyikan keterangan dan
petunjuk yang telah diturunkan62 Rasulullah SAW mengingatkan dalam sebuah
haditsnya akan siksa bagi yang menyembunyikan ilmu ketika ditanya63
60
UUGD,Ibid, h. 8 Pendidikan seumur hidup atau life long education merupakan suatu proses
pendidikan yang terus-menerus (kontinu) dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan
masyarakat dari bayi sampai meninggal dunia. Baca Undang-Undang RI No. 14 Th. 2005 tentang Guru dan
dosen, Ibid, h. 6
61Imam Nawawi, Ibid, h. 35



62
   






    
 
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang Telah kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam Al
kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati, (Q.S AlBaqoroh: 159)
‫ ﻳﻮم اﻟﻘﻴﺎﻣﺔ‬، ‫َﺎم ِﻣ ْﻦ ﻧَﺎ ٍر‬
ٍ ‫ َﻣ ْﻦ ُﺳﺌِ َﻞ َﻋ ْﻦ ِﻋ ْﻠ ٍﻢ ﻓَ َﻜﺘَﻤَﻪ أﳉﻤﻪ اﷲ ﺑِﻠِﺠ‬63
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa ditanya tentang
sebuah ilmu lalu ia menyembunyikannya, niscaya Allah akan mengikat mulutnya dengan tali kekang dari api
Neraka pada hari kiamat," (Shahih, HR Abu Dawud [3658], Tirmidzi [2649], Ibnu Majah [261], Ahmad [II/263,
305, 344, 353, 495, 499 dan 508], Ibnu Hibban [95], ath-Thayalisi [2534], Ibnu Abi Syaibah [IX/55], alBaghawi dalam Syarhus Sunnah [140] dan al-Hakim[I/101]).
89
Pasal 10 tentang kompetensi pedagogis, sekurang-kurangnya seorang guru
mampu mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya
Pendapat Imam Nawawi memiliki relevansi dengan UUGD Pasal 8 dan
Pasal 20 butir a yakni, sama-sama menjelaskan bahwa syarat seorang guru harus
berkompeten dalam materi ajarnya.
UUGD Pasal 8 : Guru wajib memiliki kualifikasi akademik 64, kompetensi65,
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan Nasional66
Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan
penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam, yang meliputi:
a. Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi program
satuan pendidikan, mata pelajaran, dan kelompok mata pelajaran yang
diampunya.
64 Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru
atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. UU RI No 14
Th. 2005 tentang Guru dan Dosen, h. 4
65 Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki
dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi guru
meliputi Kompetensi Pedagogik (Kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi
kepribadian (Kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, berwibawa, serta menjadi teladan
peserta didik) , Kompetensi social (kemampuan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif, dan
efisien dengan peserta didik, sesame guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. dan
kompetensi professional. (Kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam . baca
Penjelasan atas UU RI No 14 Th. 2005 tentang Guru dan Dosen
66 UUGD, Ibid. h. 8
90
b. Konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang
relevan yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program
satuan pendidikan, mata pelajaran, dan kelompok mata pelajaran yang
diampu.67
Keempat, Duduk pada posisi yang bisa dilihat semua murid. Memulai
pelajaran dengan membaca apa yang mudah dari al-Qur’an, Sholawat atas nabi ,
Mengevaluasi hasil belajar dan tidak memperpanjang jam belajar.
Keberhasilan guru mengajar di kelas tidak cukup bila hanya berbekal
pada pengetahuan tentang kurikulum, metode mengajar, media pengajaran, dan
wawasan tentang materi yang akan disampaikan kepada anak didik. Di samping
itu guru harus menguasai kiat manajemen kelas. Guru hendaknya dapat
menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas yang menguntungkan bagi anak
didik supaya tumbuh iklim pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan (PAKEM).68 Dengan kata lain Penataan ruang yang kondusif
menunjukkan kemampuan manajemen guru.69
Manajemen kelas dan strategi pembelajaran yang baik saling berkaitan.
Prosedur manajemen kelas yang baik dapat mengurangi kesempatan terjadinya
kekacauan, kebosanan, dan gangguan, serta meningkatkan keterlibatan akademik
dan kesempatan belajar siswa70
67Jamal
Ma’mur Asmani, ibid, h. 45
http://journal.um.ac.id/index.php/wahana-sekolah-dasar/article/view/2026
69Salfen Hasri, ibid, h. 48
70 Ibid h. 61
68
91
Senada
dengan
pendapat
Imam
Nawawi,
Emmer
(1987)
merekomendasikan beberapa hal berkenaan dengan penataan fisik ruangan
belajar sekolah sebagai berikut:71
1. Tempat duduk siswa harus diatur untuk memudahkan pemantauan guru
dan menghindari gangguan siswa terhadap siswa lain.
2. Garis pandang yang jelas harus tetap dipelihara dari setiap tempat duduk
siswa
3. Tempat-tempat yang sering digunakan harus dapat diakses dengan
mudah.
4. Jalur lalu lintas didalam kelas harus dijamin bebas rintangan.
Selain itu, agar kualitas pembelajaran lebih baik dan aktif perlu
diperhatikan juga faktor-faktor yang dapat mendorongnya. Faktor-faktor tersebut
antara lain memulai kelas secara cepat berdasarkan tujuan, mengakhiri pelajaran
atau kelas dengan tepat waktu. Konsekuensinya adalah seorang guru perlu
memanfaatkan waktu seefisien mungkin.72
Dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) hendaklah seorang
guru membuat langkah-langkah pembelajaran yang terdiri dari kegiatan awal,
kegiatan inti dan kegiatan akhir.
Pada kegiatan akhir dalam pembelajaran, maka untuk mengetahui
sejauh mana proses pembelajaran yang dilakukan disekolah diterima oleh murid
yakni hendaklah seorang guru mengadakan evaluasi dan ulangan. Sasaran
evaluasi ini hendaknya sesuai dengan keragaman potensi yang dimiliki peserta
71Sa
lfen Hasri, Sekolah Efektif dan guru Efektif, (Yogyakarta: Aditya Media, 2009) h. 59
Hasri loc. cit.
72Salfen
92
didik (multiple intelligence)73. Penilaian merupakan usaha untuk memperoleh
informasi tentang perolehan belajar siswa secara menyeluruh, baik pengetahuan,
konsep, sikap, nilai, maupun proses
Saat ini dunia pendidikan telah banyak kehilangan idealisme. Nilai UN
digunakan sebagai ajang promosi bagi para pejabat. Beberapa daerah berusaha
meningkatkan mutu pendidikan melalui tingak kelulusan 100% yang dilakukan
dengan berbagai cara, yakni sedikit melonggarkan pengawasan dalam ujian
bahkan guru membantu memberikan jawaban.74
c. Relevansi Etika Guru terhadap Murid menurut Imam Nawawi Dengan UU RI
No. 14 Th. 2005
Pertama, Imam Nawawi menyatakan bahwa seorang guru tidak boleh
menghalagi orang yang hendak belajar dikarenakan salah niat, dan hendaklah
menolong untuk kemaslahatan murid dan menganggap murid seperti anak sendiri,
meneliti serta menanyakan ketidakhadiran seorang murid. 75
Guru adalah manusia teladan, Sikap dan prilakunya menjadi cermin
masyarakat. Salah satu indikator kompetensi moral seorang guru adalah kepedulian
sosial yang tinggi.76
Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) menurut aristoteles adalah
makhluk yang senantiasa ingin hidup berkelompok. Manusia juga homo politicus
manusia tidak bisa menyelesaikan segala permasalahannya sendiri. Dia
73Multiple
intelligences menurut Gardner: Spatial, Linguistic, Logical-mathematical, Bodilykinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Naturalistic, Existential
74 Jamal Ma’mur Asmani, ibid, h. 131
75 Imam Nawawi, Ibid. h. 36
76Jamal Ma’mur Asmani, 7 kompetensi Guru Menyenangkan dan profesional (Yogyakarta: Power
Books, 2009), h. 139
93
membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya maupun untuk
menjalankan perannya selaku makhluk hidup.77
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah “mencerdaskan kehidupan berbangsa”. Hal itu menjadi tanggung
jawab negara. Pemerintah tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap orang yang
tidak mampu bersekolah karena hal itu dapat menyebabkan pemiskinan
intelektualitas terhadap semua anak bangsa.
UUGD Pasal 20 butir c. Seorang guru berkewajiban bertindak objektif
dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras,
dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi
peserta didik dalam pembelajaran;78
Kode Etik Guru Pasal 6 tentang Hubungan Guru dengan Peserta Didik :
Guru berprilaku secara profesional dalam melaksanakan tugas mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses
dan hasil pembelajaran
Pendapat Imam Nawawi ini memiliki relevansi dengan UUGD pasal
20 butir c yakni, hendaklah seorang guru bertindak objektif dan tidak
diskriminatif terhadap murid.
Kedua, Imam Nawawi menyatakan hendaklah seorang guru mengarahkan
murid untuk beretika, bertabiat yang mulia, melatih diri untuk beradab sempurna,
serta berusaha menjadikan murid cinta akan ilmu.79
sya’irnya Al-Imam Asy-Syafi’i:
77Loc.cit,
78
UUGD,Ibid. h. 15
Nawawi, Ibid. h. 34
79Imam
94
‫ﺲ أَﺧ ُْﻮ ﻋِ ْﻠ ٍﻢ َﻛ َﻤ ْﻦ ُﻫ َﻮﺟَﺎﻫِﻞ‬
َ ‫ْﺲ اﻟْﻤ َْﺮءُ ﻳـ ُْﻮﻟَ ُﺪ ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ َوﻟَْﻴ‬
َ ‫ﺗَـ َﻌﻠﱠ ْﻢ ﻓَـﻠَﻴ‬
ُ‫ﱠﺖ ﻋَﻠَﻴْ ِﻪ اﳉَْﺤَﺎﻓِﻞ‬
ْ ‫ﺻﻐِْﻴـٌﺮ إِذَا اﻟْﺘَـﻔ‬
َ ُ‫َوإِ ﱠن َﻛﺒِْﻴـَﺮ اﻟْﻘَﻮِْم ﻻَ ِﻋ ْﻠ َﻢ ﻋِْﻨ َﺪﻩ‬
‫ﱠت إِﻟَْﻴ ِﻪ اﻟْ َﻤﺤَﺎﻓِ ُﻞ‬
ْ ‫ﺻﻐِْﻴـَﺮ اﻟْﻘَﻮِْم إِ ْن ﻛَﺎ َن ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ َﻛﺒِْﻴـٌﺮ إِذَا ُرد‬
َ ‫َوإِ ﱠن‬
“Belajarlah karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam
keadaan berilmu, dan tidaklah orang yang berilmu seperti orang yang bodoh.
Sesungguhnya suatu kaum yang besar tetapi tidak memiliki ilmu maka
sebenarnya kaum itu adalah kecil apabila terluput darinya keagungan (ilmu).
Dan sesungguhnya kaum yang kecil jika memiliki ilmu maka pada hakikatnya
mereka adalah kaum yang besar apabila perkumpulan mereka selalu dengan
ilmu.”
Selain itu dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, berkata: “Ilmu
itu lebih baik daripada harta, ilmu akan menjagamu sedangkan kamulah yang
akan menjaga harta. Ilmu itu hakim (yang memutuskan berbagai perkara)
sedangkan harta adalah yang dihakimi. Telah mati para penyimpan harta dan
tersisalah para pemilik ilmu, walaupun diri-diri mereka telah tiada akan tetapi
pribadi-pribadi mereka tetap ada pada hati-hati manusia.”80
UUGD Pasal 6 Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga
profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan
mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta
menjadi warga negara yang demokratis, dan bertanggung jawab81
Pendapat Imam Nawawi memliki relevansi dengan UUGD yakni,
kewajiban seorang menjadikan murid berakhlak mulia dan cinta akan ilmu.
80
81
Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardiy, Adab ad- Dunyaa wad Diin. h. 48
UUGD Ibid, h. 7
95
Ketiga,Seorang guru tidak boleh membanggakan diri dihadapan
murid dan hendaklah berlemah lembut terhadap murid.
Diantara etika guru sebagaimana yang dijelaskan dan dipraktekkan
oleh Rasulullah SAW dalam pengajarannya adalah bersikap lembut kepada
murid-murid, penyantun dalam menghadapi yang bodoh dan tidak tergesagesa meninggalkan mereka.82
Rasulullah juga menjelaskan bahwa apa yang didapatkan oleh guru
dengan cara bersifat lembut lebih banyak daripada yang didapatkan oleh guru
dengan cara bersifat kasar dan keras, dan bahwa guru yang bersikap lembut
akan dilindungi Allah SWT dan diringankan bebannya.83
Rasulullah SAW bersabda , “Sesungguhnya Allah maha lembut dan
menyukai kelembutan, dan Dia memberikan kepada orang yang bersikap
lembut apa yang tidak diberikan kepada orang yang bersikap keras dan apa
yang tidak diberikan kepada selainnya”
Firman Allah “ Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah
adalah orang yang berilmu84
Ketika dunia pendidikan terkena virus materialisme, hedonisme,
pragmatisme, maka spirit memperjuangkan kualitas menjadi kabur yang ada
hanyalah uang. Disinilah, urgensi kompetensi moral.85
82 Abdul Karim Akyawi, At-Tarbiyah wa At-Ta’lim fi Madrasatil Muhammadiyyah, terjemahan
Muhyiddin Mas Rida, Metode Nabi dalam mendidik dan Mengajar, Konsep Pendidikan sesuai al-Qur’an dan
As-Sunnah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 35
83 Ibid, h. 36
      84
     

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
85Jamal Ma’mur Aasmani, op.cit,. h. 48
96
Kompetensi moral akan menguatkan empat kompetensi dan
memandunya menuju cita-cita yang benar dan besar.86
Sebuah fenomena kritik yang dilontarkan ditengah masyarakat
yakni, Masih adanya guru yang lebih senang dan bangga menjadi satusatunya sumber belajar tanpa berfikir perlunya berinteraksi dengan makhluk
lain selain dirinya87
Dalam Pendidikan Kaum Tertindas, Freire mengidentifikasi sepuluh
ciri pendidikan gaya bank: 1. guru mengajar, murid belajar;
2. Guru
mengetahui segala sesuatu, murid tidak mengetahui apa-apa; 3. Guru berpikir,
murid dipikirkan; 4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan; 5. Guru
memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuinya; 6. Guru memilih
dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuji;
7. Guru berbuat, murid
membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya; 8. Guru memilih
bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan pelajaran itu; 9. Guru
mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan
jabatannya, yang dilakukan untuk menghalangi kebebasan murid; 10. Guru
adalah subyek dalam proses belajar, dan murid hanyalah objek belaka.88
Keempat, Hendaklah seorang guru peduli akan murid, dengan
menanyakan ketidak hadiran murid.
Pendekatan Individualistik dalam proses pembelajaran adalah
sebuah pendekatan yang bertolak pada asumsi bahwa peserta didik memiliki
86
Loc.cit
h. 52
88Paulo Freire, Pedagogy of The Oppressed (Great Britain : Penguins Books 1972), h. 46-47
87Ibid,
97
latar belakang perbedaan dari segi kecerdasan, bakat, kecenderungan,
motivasi dan sebagainya.89
Etika hubungan guru dengan peserta didik menuntut terciptanya
hubungan berupa helping relationship (Brammer, 1979), yaitu hubungan yang
bersifat membantu dengan mengupayakan terjadinya iklim belajar yang
kondusif bagi perkembangan peserta didik. Dengan ditandai adanya perilaku
empati,penerimaan
dan
penghargaan,
kehangatan
dan
perhatian,
keterbukaan dan ketulusan serta kejelasan ekspresi seorang guru90
Ada 7 kriteria kematangan menurut Albort tentang sifat-sifat
khusus dari kepribadian sehat, yaitu (a) Perluasan perasaan diri (b)
Hubungan diri yang hangat dengan orang lain (c) Keamanan emosional (d)
Persepsi realitas (e) Keterampilan-keterampilan dan tugas-tugas dilakukan
dengan ikhlas, antusias, senang, melibatkan dan menempatkan diri
sepenuhnya dalam pekerjaan (f) pemahaman diri secara objektif ; (g) Filsafat
hidup yang mempersatukan dengan nilai-nilai dan suara hati.91
Jika kita kembalikan pada makna pendidikan yakni, “ satu upaya
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.
89
90
91
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta : Kencana, 2009), h. 152
http://pakgalih.wordpress.com/2009/04/07/pengertian-dan-fungsi-kode-etik/
Jamal Ma’mur Asmani, op.cit.,h 105
98
Kelima,
Hendaklah guru
memotivasi murid
dalam belajar,
memberikan pujian dan hukuman.
Dalam teori belajar Behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah
laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon, untuk
memperkuat respon maka perlu bentuk stimulus berupa penguatan/motivasi
(reinforcement)92
Guru dan siswa sama-sama subjek dan objek sekaligus. Keduanya
dimungkinkan saling take and give (menerima dan memberi). Hanya saja jika
guru sebagai pembelajar senior, maka siswa sebagai pembelajar junior. Jadi
tetap ada perbedaan pengalaman dan karena perbedaan inilah sehingga
guru tetap lebih banyak memberi kepada siswa dari pada siswa memberi
kepada guru. Tetapi pemberian guru kepada siswa itu sifatnya dorongan,
rangsangan atau pancingan agar siswa berkreasi sendiri.93
Guru dalam mendidik anak mengedepankan aspirasi, ide, dan
gagasan dari anak didik. Ia mempunyai target pembelajaran,
variasi
pendekatan, dan kualitas pengajaran yang sempurna. Pembelajaraan yang
dilakukan juga harus dialogis yang melibatkan secara aktif peran murid. Guru
jangan sampai mematikan kreativitas dan potensi murid. Anak didik harus
diberi ruang aktualisasi yang terbuka, demokratis, dan partisipatif.94
Student-Centered Approach (SCA) adalah pendekatan yang
didasarkan pada pandangan bahwa mengajar dianggap sebagai proses
92 Yasmaruddin B, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran, Modul Program Pasca Sarjana UIN
Sultan Syarif Kasim Riau, 2010, h. 17
93 Tribun Jabar, 16 Agustus 2010
94Jamal Ma’mur Asmani ,op.cit,.h. 85
99
mengatur lingkungan dengan harapan agar siswa belajar. Dalam konsep ini
yang penting adalah belajarnya siswa. Dalam SCA, mengajar tidak ditentukan
oleh selera guru, akan tetapi sangat ditentukan oleh oleh siswa itu sendiri. 95
Emile Durkheim melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling
bertentangan yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai
pembebas individu. Dalam kaitannya dengan fungsi negatif yakni pendidikan
sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari model-model
pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Jika kita adakan
evaluasi, di kalangan kita sendiri memang terdapat gejala-gejala perilaku guru
dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan daya kritis
siswa. Bahkan, dalam batas-batas tertentu membahayakan masa depan
siswa seperti sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah.96
Model pembelajaran Paulo Freire disebut sebagai pendidikan "gaya
bank". Model ini menurut pengamatan Freire, menjadi sebuah kegiatan
menabung: para murid sebagai celengannya sedangkan guru sebagai
penabungnya. Ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan murid hanya
terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan. Makin banyak murid
yang meyimpan tabungan, makin kurang mengembangkan kesadaran
kritisnya.
95
96
http://kbmefektif.wordpress.com/tag/siswa-sebagai-subjek/ 31 Desember 2010
Tribun Jabar, 16 Agustus 2010
100
d. Relevansi Etika Guru terhadap ilmu menurut Imam Nawawi Dengan UU RI No.
14 Th. 2005 Tentang Guru dan Dosen
Imam Nawawi menyatakan janganlah seorang guru merendahkan ilmu 97.
“Barang siapa menghendaki dunia wajib baginya berilmu, barang siapa
menghendaki akhirat wajib baginya berilmu, dan barang siapa menhendaki
keduanya wajib baginya berilmu.” Sarana Untuk Meraih Sukses Di Dunia, Sarana
Untuk Meraih Sukses Di Akhirat, Sarana Untuk Meraih Sukses Di Dunia Dan
Akhirat
Ilmu memiliki kedudukan yang sangat tinggi dihadapan Al- Khaliq
maupun makhluq-Nya. Tingginya kedudukan ilmu di hadapan Al Khaliq dapat
dilihat dari pengistimewaan yang diberikan oleh Allah bagi hamba-Nya yang
berilmu.98
Barang siapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan
baginya jalan ke surga (HR Muslim)
Wahai Abu Dzar, kamu pergi mengajarkan ayat dari kitabullah lebih baik
bagimu daripada shalat (sunnah) seratus rekaat, dan pergi mengajarkan satu bab
ilmu pengetahuan baik dilaksanakan atau tidak, itu lebih baik dari pada shalat
seribu raka’at. (HR. Ibnu Majah)
97
Imam Nawawi, Ibid. h. 31
98










   
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (AL Mujadilah: 11).
101
Dalam buku Al Mustakhlash fii Tazkiyyatil Anfus, Sa’id Hawa berkata:
“Kemuliaan hamba ditentukan oleh ilmu yang dipelajarinya, karena ilmu termasuk
sifat Allah. Tetapi ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang hasil pengetahuannya
paling mulia, sedangkan pengetahuan yang mulia adalah tentang Allah SWT. Oleh
sebab itu, ma’rifatullah merupakan pengetahuan yang paling utama. Demikian
juga mengetahui jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau perkara yang
dapat
memudahkan
pencapaian
kepada
ma’rifatullah
dan
kedekatan
kepadanya.”99
Pasal 4 UUGD Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan
peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional.100
Pasal 7 prinsip profesionalitas mengatakan yakni, memiliki komitmen
untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; 101
Pendapat Imam Nawawi memiliki relevansi dengan UUGD yakni,
hendaklah seorang guru menjaga ilmu dengan meningkatkan mutu pendidikan
e. Relevansi Etika Guru terhadap sesama menurut Imam Nawawi Dengan UU RI
No. 14 Th. 2005 Tentang Guru dan Dosen
99
http://ahmadpks.multiply.com/reviews/item/11 12 Maret 2007
Yang dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran guru
antara lain sebagai fasilitatot, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar
bagi peserta didik. Penjelasan atas UU RI No 14 th. 2005 tentang Guru dan Dosen. Ibid, h. 56
101 UU RI No 14/1005, ibid, h. 7
100
102
Imam Nawawi menyatakan hendaklah seorang guru memiliki wajah
berseri, pemurah, dermawan, santun, menghindarkan diri dari hasud, riya’ menghina
orang lain serta sombong102
Manusia tidak tahu akhir
dari kehidupannya103. Adapun cara untuk
menghilangkan dari sifat menghina hasud, riya’ dan penyakit lainnya yaitu berakhlak
dengan akhlak Allah, dan tidak menganggap diri yang paling suci.
UUGD pasal 20 butir d, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan guru
berkewajiban menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, kode etik
guru, serta nilai-nilai agama dan etika
102
Imam Nawawi, Ibid, h. 30
‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬: ‫ ﻗﺎل‬، ‫ﻋﻦ أﰊ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻣﺴﻌـﻮد رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ‬103
‫ ﰒ ﻳﻜﻮن ﻋﻠﻘﺔ ﻣﺜﻞ‬، ‫) إن أﺣـﺪﻛﻢ ﳚﻤﻊ ﺧﻠﻘﻪ ﰲ ﺑﻄﻦ أﻣﻪ أرﺑﻌﲔ ﻳﻮﻣﺎ ﻧﻄﻔﻪ‬: - ‫وﺳﻠﻢ – وﻫﻮ اﻟﺼﺎدق اﳌﺼﺪوق‬
، ‫ ﺑﻜﺘﺐ رزﻗﻪ‬: ‫ وﻳـﺆﻣﺮ ﺑﺄرﺑﻊ ﻛﻠﻤﺎت‬، ‫ ﻓﻴﻨﻔﺦ ﻓﻴﻪ اﻟﺮوح‬، ‫ ﰒ ﻳﺮﺳﻞ إﻟﻴﻪ اﳌﻠﻚ‬، ‫ ﰒ ﻳﻜﻮن ﻣـﻀﻐـﺔ ﻣﺜﻞ ذﻟﻚ‬، ‫ذﻟﻚ‬
‫ وﺷﻘﻲ أم ﺳﻌﻴﺪ ؛ ﻓﻮاﷲ اﻟـﺬي ﻻ إﻟــﻪ ﻏـﲑﻩ إن أﺣــﺪﻛﻢ ﻟﻴﻌـﻤﻞ ﺑﻌﻤﻞ أﻫﻞ اﳉﻨﻪ ﺣﱴ ﻣﺎ ﻳﻜﻮن ﺑﻴﻨﻪ‬، ‫ وﻋﻤﻠﻪ‬، ‫واﺟﻠﻪ‬
‫ وإن أﺣﺪﻛﻢ ﻟﻴﻌﻤﻞ ﺑﻌﻤﻞ أﻫﻞ اﻟﻨﺎر ﺣﱵ‬. ‫وﺑﻴﻨﻬﺎ إﻻ ذراع ﻓﻴﺴﺒﻖ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﻜﺘﺎب ﻓﻴﻌـﻤﻞ ﺑﻌـﻤﻞ أﻫــﻞ اﻟﻨﺎر ﻓـﻴـﺪﺧـﻠﻬﺎ‬
3208 : ‫ﻣﺎ ﻳﻜﻮن ﺑﻴﻨﻪ وﺑﻴﻨﻬﺎ إﻻ ذراع ﻓــﻴﺴـﺒـﻖ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﻜﺘﺎب ﻓﻴﻌﻤﻞ ﺑﻌﻤﻞ أﻫﻞ اﳉﻨﺔ ﻓﻴﺪﺧﻠﻬﺎ ( رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري ] رﻗﻢ‬
.[ 2643 : ‫[ وﻣﺴﻠﻢ ] رﻗﻢ‬
Artinya: Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud ra. Berkata, Rasulullah SAW. Bersabda kepada kami,
sedang beliau adalah orang yang jujur dan terpercaya.”Sesungguuhnya setiap kalian dikumpulkan
penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah (sperma) kemudian menjadi ‘alaqah
(segumpal darah) selama waktu itu juga (sperma) kemudian menjadi mudghah (segumpal daging) selama
waktu itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh kepadanya dan mencatat empat
perkara yang telah ditentukan yaitu: Rizki, ajal, amal perbuatan, dan sengsara atau bahagianya. Maka
demi Allah yang tiada Tuhan selainnya sesungguhnya ada seseorang diantara kalian beramal dengan
amalan penghuni surga, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan surga kecuali sehasta saja, namun
ketetapan (Allah) mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka ia pun masuk
neraka. Ada seseorang diantara kalian beramal dengan amalan penghuni neraka, sehingga tidak ada jarak
antara dirinya dengan neraka kecuali sehasta saja, namun ketetapan (Allah) mendahuluinya sehingga ia
beramal dengan amalan penghuni surga, maka ia pun masuk surga.
103
Pasal 10 kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk
berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik,
sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.104
Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan
kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi
teladan peserta didik105
Kode Etik guru yang mangatur hubungan guru dengan sekolah dan rekan
sejawat butir k. Yakni : Guru memiliki beban moral untuk bersama-sama dengan
sejawat meningkatkan keefektifan pribadi sebagai guru dalam menjalankan tugastugas profesional pendidikan dan pembelajaran.
Pendapat Imam Nawawi memiliki relevansi dengan UUGD pasal 10 dan
pasal 20 butir d, yakni hendaklah seorang guru memiliki kepribadian yang baik dan
mampu bersosialisasi dengan baik
f. Relevansi Etika Personal Murid Menurut Imam Nawawi dengan PP RI No. 17
Th. 2010
Imam Nawawi menyatakan hendaklah seorang murid membersihkan
hatinya dari berbagai kotoran.106
104
Penjelasan atas UU RI No 14/2005 Tentang guru dan Dosen (Jakarta : Sinar Grafika, 2009)
105
Penjelasan atas UU RI
Nawawi, Ibid. h. 44
h.56-57
106Imam
104
Dalam shahihain dari Rasulullah
Sallahu Alaihiwasallam :
sesungguhnya dalam badan ada segumpal daging, jika baik daging tersebut maka
baiklah seluruh badannya, dan jika rusak rusaklah seluruh badannya, ketahuilah ia
adalah hati”. Dan mereka berkata : membersihkan hati agar bisa menerima ilmu
seperti membersihkan bumi untuk ditanami.107
Segala aspek kehidupan ini bermula daripada hati. Salah satu penyakit
zaman saat ini adalah hilangnya khusyu’, wahn yakni cinta dunia dan takut mati
(Hubbu ad-dunya wa karohiyatu al-maut).
Pasal 169 butir h Kewajiban peserta didik yaitu: Ikut menjaga dan
memelihara sarana dan prasarana, kebersihan, keamanan, dan ketertiban
umum108
Pendapat Imam Nawawi ini memiliki relevansi dengan PP RI No 17 yakni,
hendaklah seorang murid menjaga kebersihan
Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan
nasional menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional
(sisdiknas),
disebutkan
pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
107
Imam Nawawi, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, Ibid, h. 44
RI Nomor 17 Th. 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Bandung:
Fokus Media, 2010), h. 110
108PP
105
g. Relevansi Etika Murid Terhadap Guru menurut Imam Nawawi dengan PP RI
No. 17 Th. 2010
Pertama, Imam Nawawi menyatakan hendaklah seorang murid
merendahkan diri terhadap guru, memandang guru dengan rasa hormat, memilih
ridho guru dan tidak mencela guru.
PP RI No. 17 Th. 2010 Pasal 169 butir c Peserta didik berkewajiban:
Menghormati pendidik dan tenaga kependidikan
Pendapat Imam Nawawi ini memiliki relevansi dengan PP RI No. 17 Th.
2010 Pasal 169 butir c yakni, kewajiban seorang murid menghormati guru.
Kedua, Imam Nawawi menyatakan bahwasanya seorang murid
apabila hendak masuk ke ruangan kelas hendaklah seizin guru, mengucapkan
salam dan dalam keadaan yang baik serta Hendaklah seorang murid menutupi
aib guru.109
PP RI No 17 Th 2010 pasal 169 butir d kewajiban peserta didik
Memelihara kerukunan dan kedamaian untuk mewujudkan harmoni sosial110
Pasal 169 butir j Kewajiban Peserta didik : Menjaga kewibawaan dan
nama baik satuan pendidikan yang bersangkutan;111
Pasal 169 butir a Kewajiban peserta didik: Mengikuti proses
pembelajaran sesuai peraturan satuan Pendidikan dengan menjunjung tinggi
norma dan etika akademik;112
109Imam
Nawawi, Ibid. h. 47
PP RI No 17 Th. 2010 Ibid. h. 110
111 Loc.cit
110
106
Pendapat Imam Nawawi memiliki relevansi dengan PP RI No 17 th
2010 yakni, kewajiban murid menjaga wibawa kelas dan dan mengikuti proses
pembelajaran dengan baik
‫ وَاﷲُ ِﰲ ﻋ َْﻮ ِن اﻟْ َﻌْﺒ ِﺪ ﻣَﺎ ﻛَﺎ َن اﻟْ َﻌْﺒ ُﺪ ِﰲ‬،ِ‫ْﻵﺧَﺮة‬
ِ ‫َوَﻣ ْﻦ َﺳﺘَـَﺮ ُﻣ ْﺴﻠِﻤًﺎ َﺳﺘَـَﺮﻩُ اﷲُ ِﰲ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ َوا‬
..‫َﺧْﻴ ِﻪ‬
ِ ‫ﻋ َْﻮ ِن أ‬
Siapa yg menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aib di dunia
dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu
menolong saudaranya.”
h. Relevansi Etika Murid dalam Belajar menurut Imam Nawawi dengan PP RI No.
17 Th. 2010
Pertama, Imam Nawawi menyatakan Hendaklah seorang murid rakus
dalam belajar dan sungguh-sungguh113
Pasal 169 butir a, Peserta didik wajib Mengikuti proses pembelajaran
sesuai peraturan satuan Pendidikan dengan menjunjung tinggi norma dan etika
akademik114
Pendapat Imam Nawawi memiliki relevansi dengan PP RI No 17 yakni,
menghendaki murid sungguh-sungguh dalam belajar.
112Imam
Barnadib mengidentifikasi kode akademik, yakni:
Pengembangan kepribadian yang khas dalam bidang tertentu, yaitu watak akademik
Mengembangkan pemikiran disipliner dengan didiplin tertentu yaitu berkisar pada nilai-nilai
kejujuran dan kebenaran.
3. Mencari dan menemikan kenyataan dan kebenaran itu berarti mengurangi alam kebebasan
4. Memperkuat identitas individu atau lembaga pendukungnya. Imam Barnadib, Kode Etik
Akademik, (Yogyakarta: Tamansiswa, 2002), h. 14
113 Imam Nawawi, Ibid. h. 49
114PP RI No 17, Ibid. h. 110
1.
2.
107
Kedua, hendaklah mengucapkan salam ketika memasuki ruang kelas.
Dan apabila guru belum hadir, hendaklah menunggunya.
Ucapan salam termasuk dari salah satu syiar Islam yang paling
nampak, Allah menjadikannya sebagai ucapan selamat di antara kaum muslimin
dan Dia menjadikannya sebagai salah satu dari hak-hak seorang muslim dari
saudaranya. Rasul-Nya -alaihishshalatu wassalam- juga telah memerintahkan
untuk menyebarkan syiar ini dan beliau mengabarkan bahwa menyebarkan
salam termasuk dari sebab-sebab tersebarnya rasa cinta dan kasih sayang di
tengah-tengah kaum muslimin, yang mana tersebarya cinta dan kasih sayang di
antara mereka merupakan salah satu sebab untuk masuk ke dalam surga. 115
Menurut konstruktivisme, murid akan membangun pengetahuannya
sendiri berdasarkan apa yang sudah diketahuinya. Karena itu belajar tentang
dan mempelajari sesuatu itu tidak dapat diwakilkan dan tidak dapat
“diborongkan” kepada orang lain dan murid mengalami sendiri proses belajar
dengan mencari dan menemukan itu.. Siswa sendiri harus proaktif mencari dan
menemukan pengetahuan, aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun
115
‫ﱠﻼ َم‬
َ ‫َﻲ ٍء إِذَا ﻓَـ َﻌﻠْﺘُﻤُﻮﻩُ ﲢََﺎﺑـَﺒْﺘُ ْﻢ أَﻓْ ُﺸﻮا اﻟﺴ‬
ْ ‫َﱴ ﲢََﺎﺑﱡﻮا أَوََﻻ أَ ُدﻟﱡ ُﻜ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﺷ‬
‫َﱴ ﺗـ ُْﺆِﻣﻨُﻮا وََﻻ ﺗـ ُْﺆِﻣﻨُﻮا ﺣ ﱠ‬
‫َﻻ ﺗَ ْﺪ ُﺧﻠُﻮ َن اﳉَْﻨﱠﺔَ ﺣ ﱠ‬
‫ﺑـَْﻴـﻨَ ُﻜ ْﻢ‬
“Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman hingga kalian saling
menyayangi. Maukan kalian aku tunjukkan atas sesuatu yang mana apabila kalian mengerjakannya niscaya
kalian akan saling menyayangi. Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)
108
konsep dan member makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari 116
i.
Relevansi Etika Murid terhadap sesama menurut Imam Nawawi dengan PP RI
No. 17 Th. 2010
Imam Nawawi menyatakan hendaklah seorang murid membimbing
teman pada hal-hal yang bermanfaat, mengingatkan dan member nasehat tidak
dengki terhadap sesama dan jangan menghina.117
Realisasi saling mencintai sesama muslim adalah dengan saling
mengingatkan, saling menasehati, saling menjaga, saling mengoreksi, saling
memberi dan menerima. Sahabat yang baik bukan sahabat yang selalu
mendukung dan membenarkan setiap tindakan, perilaku dan perbuatan, tetapi
sahabat yang baik adalah sahabat yang mendukung ketika benar dan mengoreksi
di saat salah. Allah berfirman :
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.s. al-Ashr [103]: 1-3)
PP RI No. 17 Th. 2010 No. 169 butir e kewajiban peserta didik
Mencintai keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, serta menyayangi sesama
peserta didik118
116Yasmaruddin Bardansyah, Modul Teori-teori Belajar dan pembelajaran, Program Pasca Sarjana
UIN SUSKA Riau, 2010, h. 41
117Imam Nawawi, Ibid. h. 52
118 PP RI No 17,Ibid. h. 110
109
Dalam dunia pendidikan saat ini dikenal dengan Cooperative
learning yakni, strategi pembelajaran yang cukup berhasil pada kelompokkelompok kecil, dimana pada tiap kelompok tersebut terdiri dari siswa-siswa
dari berbagai tingkat kemampuan, melakukan kegiatan belajar untuk
meningkatkan pemahaman tentang materi pembelajaran yang sedang
dipelajari. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk tidak hanya
belajar apa yang diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan- rekan belajar,
sehingga bersama-sama mencapai keberhasilan. Semua siswa berusaha
sampai semua anggota kelompok berhasil memahami dan melengakpinya.119
Semua anggota kelompok berusaha untuk saling menguntungkan
sehingga semua anggota kelompok bisa:
1. Merasakan keuntungan dari setiap usaha teman lainnya
2. Menyadari bahwa semua anggota kelompok mempunyai nasib yang
sama.
Penulis melihat bahwa Pendapat Imam Nawawi Ini memiliki relevansi
dengan PP RI No 17 yakni, hendaklah seorang murid saling menyayangi, dan
tolong menolong
antar sesama, karena dalam kelompok belajar prestasi
seseorang ditentukan oleh orang lain.
119http://edtech.kennewsaw.edu/intech/cooperativelearning.htm.
110
BAB V
Penutup
Berdasarkan analisis terhadap Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim dalam
muqoddimatu al-majmu’ karya Imam Nawawi dan Undang-Undang Republik Indonesia
No. 14 Thn 2005 tentang Guru dan Dosen,dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No 17 Th. 2010 tentang Pengelolaan dan penyelenggaraan Pendidikan dan
mencari relevansinya, Maka berikut ini akan dikemukakan kesimpulan-kesimpulan dan
saran –saran bagi pembaca dan peneliti selanjutnya
A. Kesimpulan
a. Relevansi Etika Guru dengan UUGD No. 14 Thn 2005
1. Etika Personal Guru
Baik Imam Nawawi maupun UUGD menghendaki seorang guru Berakhlak
dan bertabiat mulia, menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, nilainilai agama dan etika. Imam Nawawi dalam hal ini menekankan pada
Muroqobatullah atau hukum Taklifi (Undang-Undang Allah), sedangkan
UUGD lebih menitik beratkan kepada hukum wadh’i
(Undang-Undang
Manusia) yang dengan demikian dapat meningkatkan mutu pendidikan.
2. Etika guru dalam mengajar
Imam Nawawi dan UUGD sama-sama menyatakan bahwa seorang guru
harus berkompeten dalam materi yang akan diajar, dalam UUGD hal ini
dibuktikan dengan adanya kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat
pendidik.
111
3. Etika guru terhadap murid
Imam Nawawi dan UUGD sama-sama menekankan bahwa tugas seorang
guru mendidik, membimbing, melatih dan mengarahkan murid untuk
beretika, bertabiat yang mulia dan sifat-sifat yang terpuji lainnya.
4. Etika guru terhadap ilmu
Relevansi etika guru menurut Imam Nawawi dengan UUGD yakni, seorang
guru hendaklah selalu meningkatkan ilmu pengetahuannya.
5. Etika Guru terhadap sesama
Imam Nawawi dan UUGD sama-sama menyatakan hendaklah seorang guru
memiliki kepribadian yang baik, dinamis dan mampu bersosialisasi melalui
kompetensi sosial.
b. Relevansi Etika Murid menurut Imam Nawawi dengan PP No. 17 Thn 2010
1. Etika Murid
Etika Murid Imam Nawawi memiliki kesesuaian dengan PP No. 17 Thn
2010 yakni, seorang murid hendaklah selalu menjaga kebersihan, baik
kebersihan diri (jiwa) maupun lingkungan, karena yang dengan demikian dapat
mempermudah mendapatkan ilmu.
2. Etika murid Terhadap Guru.
Imam Nawawi dan PP No. 17 thn. 2010 sama-sama menyatakan
bahwasanya seorang murid hendaklah menghormati guru.
112
3. Etika Murid dalam belajar
Imam Nawawi dan PP No 17 th 2010 sama-sama menyatakan hendaklah
seorang murid Menjaga kedamaian dan kewibawaan serta nama baik satuan
pendidikan
4. Etika Murid terhadap sesama
Etika Murid terhadap sesama menurut Imam Nawawi memiliki
relevansi dengan PP RI No 17 th 2010 yakni, saling tolong menolong dan
saling menyayangi antar sesama.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan diatas, maka diambil beberapa saran yaitu:
1. Guru hendaknya memiliki kekuatan spiritual yang tinggi. Selalu mendekatkan
diri kepada Allah (Muroqobatullah) dengan banyak beribadah dan amal
perbuatan lainnya yang bisa mendekatkan diri kepada Allah dan mendapat
redha-Nya. Karena dengan ini bisa meningkatkan mutu pendidikan
2. Hendaklah seorang guru aktif melakukan pengembangan diri, meningkatkan
kemampuan, kapasitas dan potensi keilmuan.
3. Guru sebagai inspirator dan motivator bagi murid, maka hendaklah sikap dan
perilaku mencerminkan keluhuran budi dan akhlak yang mulia. Sebagai
motivator hendaklah seorang guru mampu membangkitkan semangat belajar
murid.
4. Hendaklah mampu berkolaborasi dengan sesama guru yang lain agar tercipta
tim yang solid, persatuan, kebersamaan, dan persaudaraan, sehingga
mendukung tercapainya tujuan pendidikan
113
5. Untuk mempermudah mendapatkan ilmu hendaklah seorang murid sebagai
penuntut ilmu selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan, giat dalam belajar,
menghormati guru, menebarkan kedamaian dan saling tolong menolong antar
sesama.
6. Guru dan Murid sebagai Subjek sekaligus objek dalam pendidikan hendaklah
Selalu menjunjung tinggi peraturan dan perundang-undangan baik UndangUndang Allah maupun Undang-Undang buatan manusia. Karena ide Etika guru
dan murid menurut Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adab al-‘Alim wa alMuta’allim banyak mengutip dalil-dalil syari’at baik dari al-Qur’an maupun Hadits
yang kesemuanya memiliki relevansi dengan UUGD dan PP RI No 17 thn 2010
110
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin, Antara Al-Ghazali dan Kant Filsafat Etika Islam, Bandung :
Mizan, 2002
Alavi, Zianuddin, Pemikiran Pendidikan islam pada Abad Klasik dan
Pertengahan, Bnandung: Angkasa, 2003
Arifin, Muhammad. Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
pendekatan Interdisipliner, Jakarta : Bumi Aksara, 2009
________, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia,
Danim, Sudarwan, Inovasi Pendidikan Dalam Upaya peningkata Profesionalisme
Tenaga Kependidikan, Bandung, Pustaka Setia, 2002
Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif, Jakarta,
rajawali Pers, 2010
Effendi, Imran Pemikiran Akhlak Syekh Abdurrahman Shiddiq al-banjari
Pekanbaru, Tirta Kencana, 2003
Fathi, Muhammad, Metode nabi dalam mendidik dan Mengajar Konsep
Pendidikan sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2007
Freire, Paulo, Pedagogy of The Oppresed, Great Britain,1972
Hafidz, Muhammad Nur Abdul. Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Bandung : Al-Bayan,
2008
111
Ihsan, Fuad, Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta, Rineka Cipta, 2010
Irfan, Muhammad, Teologi Pendidikan Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan
Islam, Jakarta, Friska Agung Insani, 2000
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001
Jamal Ma’ruf Asmani, 7 Kompetensi Guru Menyenangkan dan Profesional, Jakarta :
Power Book Publishing, 2009
Mansur, Amril, Etika Islam Tela’ah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-
Isfahani,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002
________, Etika dan Pendidikan, Pekanbaru, LSFK2P, 2005
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan islam Mengurai Benang Kusut Dunia
________Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam,Bandung: Nuansa, 2003
Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006
Muhmidayelly, Pemikiran etika Ibnu Miskawaihdan J.J. Rousseau, Riau :
SUSQA Press, 2001
Musnamar, Tohari, Etika dan prinsip-prinsip Pendidikan Islam: Sumbangannya
terhadap Pembangunan, Jakarta: Rajawali, 1986
Naquib, Muhammad al-Attas, Islam dan Sekulerisme, Bandung” PIMPIN, 2010
Nata, Abuddin. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta:
Kencana, 2009
112
Nawawi Imam, Adab al ‘Aim wa al-Muta’allim , Jeninah Barat : Thonto, 1987
Nawawi Imam, Hadits Arba’in An-Nawawiyah, Jakarta: Sholahuddin Press, 2007
Nizar, Samsul. Hakekat Manusia dalam Perspektif Pendidikan Islam, Pekanbaru : Suska
Press, 2009
________ Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
tentang Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana, 2008
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, No 17 Th. 2010, Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, Bandung : Fokus Media, 2010
Peursen, Van Filosofische Orientatie,terj Dick Hartoko, Jakarta : Gramedia, 1980
Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung:
Pustaka Grafika, 1999
Ramayulis, dan Nizar Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2010
________Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, 2010
Sukardjo, Landasan Pendidikan Konsep dan aplikasinya, jakarta, Rajawali Pers,
2009
Suseno, Franz Magnis, 13 Tokoh Etika sejak zaman Yunani sampai Abad ke19,Yogyakarta: Kanisius,1997
________, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta:
Kanisius, 1987
Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Th. 2005 Tentang Guru dan Dosen,
Jakarta: Sinar Grafika, 2008
113
Sumber-Sumber dari Internet
http://journal.um.ac.id/index.php/wahana-sekolah-dasar/article/view/2026
http://kbmefektif.wordpress.com/tag/siswa-sebagai-subjek/ 31 Desember 2010
http://pakgalih.wordpress.com/2009/04/07/pengertian-dan-fungsi-kode-etik/
http://www.notpen.com/2010/12/tujuan-pendidikan-oleh-paolo-freire.html 12
Desember 2010
http://www.mail-archive.com/ 17 November 2008
http://ahmadpks.multiply.com/reviews/item/11 12 Maret 2007
http://metrolisa.info/guru-sebagai-motivator-akhlak.html, 15 Maret 2010.
114
Download