EMPAT Konstruksi Baru Kebebasan Beragama

advertisement
!"
#$
#%
&'
($)*+,
--.$//"#012/030+
4$5"6$$
!! "#
! "
" # "$% !
&
$"$
$
!%%
& ! ' (
')*+ #
, !&
$
"$ $"$
! $ !
(
$ "$
-.!
%% ! '/ (
/00+ 11
'2!
"-" "$ % #
#!
& # #
!
-
$ #!
"" - !(
&3(!
$!
!
!
"
"
! # #!
!!"#$%&'
(#$%)#$#*+,
-#$#&#$#)#%,+.
/ "!!"#%,&#%,)#%#+#
$ "!!"#$%&'(#%#)
*+/
0 ''-
/$
1''
$/
011''$/
12'
''
$#
''34
'.
011.
1'''
4'.$
/ '
4
'.5
)''1
67 !8)''1
7)' .
0 2'"1
''#
#5
-172
1''//
0 7-'1
'''4
'/ '-9''
:''$$
11
;9'':'
%5
/ 124
4
41'':
'4%#
" 1''
'
4'..
SATU
Hak Asasi Manusia
Sebagai sebuah konsep, HAM telah memiliki akar sejarah yang
panjang, termasuk dalam hal ini adalah ideologi1 universalisme
dan partikularisme berkaitan dengan budaya dan kemanusiaan itu
sendiri. Perdebatan dalam rentang pemikiran HAM ini merupakan
salah satu akar perdebatan yang cukup panjang terkait kebebasan
1
Terma ideologi berasal dari kata ideas dan logos. Idea berarti gagasan
atau konsep, sedangkan logos berarti ilmu. Pengertian ideologi secara
umum adalah sekumpulan ide, gagasan, keyakinan, atau kepercayaan yang
menyeluruh dan sistematis dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
dan keagamaan. Secara prinsipil terdapat tiga arti utama dari istilah ideologi.
Pertama, ideologi sebagai kesadaran palsu. Dalam arti ini, ideologi biasanya
teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan
pihak yang mempropagandakannya. Kedua, ideologi dalam arti netral. Dalam
pengertian ini, ideologi dipahami sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilainilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti
kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap
penting adanya suatu “ideologi negara”. Ketiga, ideologi dalam arti keyakinan
yang tidak ilmiah. Dalam pengertian ini, ideologi umumnya digunakan dalam
dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu ideologi.
Termasuk dalam kategori ini adalah persoalan-persoalan moral-etis, asumsiJimly Asshiddiqie,
“Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi”, Makalah, Mahkamah Konstitusi, Jakarta,
hlm. 1-2. Telusuri lebih lanjut dalam, Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai
Ilmu Kritis, Kanisius, Jakarta, 1992, hlm. 230. Bandingkan dengan, Martin
Hewitt, Welfare, Ideology, and Need: Developing Perspectives on the Welfare
State, Harvester Wheatsheaf, Maryland, 1992, hlm. 1 dan 8. Sementara yang
dimaksud dengan ideologi dalam buku ini adalah dalam bingkai pengertian
pertama, yakni sebagai kesadaran palsu.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
1
beragama. Oleh karena itu, agar mendapatkan gambaran yang
lebih utuh dan radikal, dalam bab awal ini penulis mengajak
pembaca untuk menelisik akar sejarah HAM berkaitan dengan
konsep kebebasan beragama. Bab ini akan dimulai dengan sejarah
HAM, HAM di berbagai konstitusi yang pernah kita gunakan
sampai
hak kebebasan beragama dalam berbagai
peraturan yang pernah ada.
A.
Potret HAM dalam Lintasan Sejarah dan Pemikiran
HAM merupakan terjemahan dari istilah menselijkegrondrechten
dalam bahasa Belanda dan fundamental human rights dalam
bahasa Inggris.2 Pengertian mengenai istilah HAM sangat beragam.
Wolhof menjelaskan, ”Manusia mempunyai hak-hak yang sifatnya
kodrat. Hak-hak ini tidak dapat dicabut oleh siapa pun juga, dan
tidak dapat dipindahtangankan dari manusia satu ke manusia
lain.”3 Selanjutnya ia juga menyatakan bahwa hak asasi ini adalah
sejumlah hak yang mengakar dalam tabiat kodrati setiap pribadi
manusia, justru karena kemanusiaannya yang tidak dapat dicabut
oleh siapa pun, karena jika dicabut hilanglah kemanusiaannya itu.4
HAM juga dikemukakan
oleh beberapa pakar sebagai berikut:
a. Soetandyo Wignyosoebroto: “HAM adalah hak-hak yang
melekat secara kodrati pada setiap makhluk yang bersosok
biologis sebagai manusia yang memberikan jaminan moral
dan legal kepada setiap manusia itu untuk kebebasan dari
setiap bentuk penghambaan, penindasan, perampasan,
penganiayaan atau perlakuan apa pun lainnya yang
2
Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara terhadap Agama:
Studi Konvergensi atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama
di Indonesia,UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 15.
3
Ibid, hlm. 16.
4
Harum Pudjiarto,
Implementasinya dalam Hukum Pidana di Indonesia, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 1999, hlm. 26.
2
Dr. Rohidin, M. Ag
menyebabkan manusia itu tidak dapat hidup secara layak
sebagai manusia yang dimuliakan Allah.”5
b. Arief Budiman: “HAM adalah hak kodrati manusia, begitu
manusia dilahirkan langsung hak asasi itu melekat pada
dirinya sebagai manusia, dalam hal ini HAM berdiri di luar
undang-undang yang ada, jadi harus dipisahkan antara
hak warga negara dan HAM.”6
c. Majda El Muhtaj: “HAM merupakan hak kodrati
yang melekat pada diri manusia dan melambangkan
kemanunggalan hidup manusia dengan dimensi
intrinsiknya.”7
d. Donelly: “Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak
yang universal, bukan keuntungan, tanggungjawab,
keistimewaan, atau beberapa bentuk pemberian lainnya
tetapi diberikan sebagai akibat dari martabat seseorang
sebagai manusia.”8
e. Franz-Magnis Suseno: “Hak asasi adalah hak yang dimiliki
manusia karena ia manusia, berdasarkan harkat yang
diterimanya dari Sang Pencipta, bukan karena diberikan
oleh masyarakat atau negara.”9
dikutip Harum Pudjiarto, memberi batasan HAM sebagai berikut:
5
Dikutip dari Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, loc.cit.
6
Harum Pudjiarto, op. cit., hlm. 25.
7
Majda El Muhtaj, Dimensi-dimensi HAM:Mengurai Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya, Rajawali Press, Jakarta, 2008, hlm. 14.
8
Jack Donnelly, “Human Right and Human Dignity: An Anallytic Critique
of Non-Western Conceptions of Human Right”, The American Political Science
Review, Vol. 76, No. 2., dalam http://links.jstor.org, (Diakses pada tanggal 20
Desember 2010).
9
Franz Magniz-Suseno, Rechtsstaat, Bukan Machsstaat, dalam Mencari
Makna Kebangsaan, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 58.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
3
“Hak itu ditemukan dalam hakikat manusia, demi
kemanusiaannya semua orang satu persatu memilikinya, tidak
dapat dicabut oleh siapa pun, bahkan tidak dapat dilepaskan
oleh individu itu sendiri, karena hak itu bukan sekadar hak
milik saja, tetapi lebih luas dari itu manusia memiliki kesadaran
(berkehendak bebas berkesadaran moral). Manusia makhluk
ciptaan Tuhan merupakan makhluk ciptaan tertinggi daripada
makhluk ciptaan lainnya, yang di dalam hidupnya manusia
dikaruniai Tuhan berupa hak hidup yang merupakan hak
asasi paling pokok yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah
Tuhan.”10
Konsep HAM secara alamiah bisa berasal dari berbagai sumber baik
berupa ajaran agama, budaya, atau sifat dasar suatu masyarakat
tertentu. Jika merujuk kepada sejarahnya, dapat kita lihat bahwa
HAM internasional banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat
di negara-negara Barat yang lebih mengedepankan hak-hak sipil
dan politik dari individu-individu di dalam suatu negara. Hakhak tersebut cenderung membatasi kekuasaan negara terhadap
masyarakatnya; hak individu untuk berekspresi, beragama,
partai politik
tertentu atau ikut serta di dalam sistem pemerintah, misalnya.
Penggunaan kata “asasi” dalam istilah HAM, sebagaimana
diungkapkan oleh Padmo Wahjono, menimbulkan kesan bahwa
hak-hak tersebut termasuk (kewajiban-kewajiban) bersifat mutlak
adanya. Adanya hak-hak tersebut merupakan identitas yang tidak
terpisahkan dari keberadaan dirinya sebagai manusia.11
Pada akhirnya, karena sifat HAM adalah universal, maka
hak tersebut tidak saja harus diberikan kepada semua individu,
melainkan juga ada kewajiban universal bagi seluruh individu untuk
memperlakukan dengan baik individu-individu yang kehilangan
haknya. Kewajiban tersebut tidak berdasarkan kondisi maupun
10
Harum Pudjiarto, op. Cit., hlm. 26.
11
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 33.
4
Dr. Rohidin, M. Ag
seseorang, melainkan harus dilaksanakan dengan persamaan hak
bagi sesama manusia.12
Pemikiran tentang HAM pada dasarnya telah ada sejak era
Yunani kuno. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran Solon sebagai
pencetus “konsepsi hak” yang kemudian diadopsi oleh hukum
modern.13 Konsepsi tersebut telah mengakhiri era aristokratis
dengan diserahkannya kekuasaan kepada sekelompok kecil orang
yang kira-kira terdiri dari seribu orang laki-laki kaya. Solon juga
memperkenalkan hak untuk banding kepada pertemuan Majelis
(Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang
baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,
tetapi praktik demokrasi ini belum memasukkan kelompok
perempuan, budak, orang asing, dan orang-orang yang tidak bisa
membuktikan dirinya anak warga negara. Bahkan, perempuan tidak
diperbolehkan untuk pergi ke tempat-tempat umum. Oleh karena
itu, keadaan sosio-politik masyarakat Yunani masa itu belum bisa
dikatakan telah memenuhi standar “demokrasi modern”.14
Dalam tradisi Yunani, pasca-Alexander the Great, kaitannya
dengan persoalan HAM setidaknya masih ada dua aliran utama,
Stoik dan Epikurean. Kelompok Stoik menekankan pentingnya
kemuliaan (virtue), sebagai tandingan dari kenikmatan duniawi
(hedonis). Ajaran Stoik dapat dipandang sebagai ajaran yang paling
12
Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, Laksbang
Mediatama, Yogyakarta, 2010. hlm. 80.
13
Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar
Kontekstual, IMR Press, Cianjur, 2010, hlm. 98.
14
Seiring dengan menguatnya individualisme, peran perempuan dan
budak juga membaik. Ajaran kaum Stoik menolak pandangan inferioritas
moral dan intelektual kaum perempuan. Kaum Stoik merupakan salah satu
Yunani. Mereka disebut juga dengan Stoicin atau
Stoa. Disebut demikian karena pelajaran diberikan di lorong bertonggak dan
bertembok (stoa) yang disampaikan oleh Zeno (336-264 SM). Zeno memberi
gambaran cukup luas tentang hukum alam yang bersifat universal. Akal
merupakan pusat kendali untuk mengungkapkan dan mengetahui segala hal
termasuk
HAM
dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/
Aplikasi Hukum (Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2007, hlm. 2.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
5
kosmopolitan yang dapat diterima oleh masyarakat pada masa itu.
Zeno sebagai perintisnya merangkul persaudaraan umat manusia
sebagai ajaran dasarnya. Maka dalam ajaran Stoik semua manusia
dipandang sederajat. Tidak ada batas-batas yang berupa budak,
status sosial, ataupun hal-hal lainnya yang dijadikan sebagai
dasar superioritas satu bangsa terhadap yang lainnya, sehingga
dalam pandangannya manusia dimungkinkan untuk membentuk
kerajaan dunia.15
Stoa atau kelompok Stoik
ini, alam semesta diatur oleh logika/ilmu tentang berpikir (logos/
prinsip rasional), di mana umat manusia memilikinya. Karena
itu, manusia akan menaati hukum alam dan tidak mungkin
melanggarnya, selama ia melakukan tindakan-tindakan di bawah
kontrol akal atau nalar yang berarti mengikuti kehendak alami.16
Sementara dalam pandangan kelompok Epikurean berlaku hal
sebaliknya. Ajaran kelompok ini menyatakan bahwa kenikmatan
badaniah merupakan tujuan utama untuk dicapai dalam menjalani
kehidupan, kebaikan bagi masyarakat tidak mendapatkan tempat
yang penting, tetapi kepentingan individu yang harus menjadi
prioritas. Dalam bermasyarakat kepentingan individu dibatasi oleh
undang-undang. Penyusunan undang-undang harus mendapat
persetujuan tiap individu, sehingga tidak merugikan kepentingan
individu itu sendiri. Konsep persetujuan dan kesepakatan warga
masyarakat yang dikembangkan oleh Epicurus (341-271 SM)
menjadi embrio teori perjanjian masyarakat selanjutnya.17
Pada era selanjutnya, Romawi sebagai pewaris kebudayaan
Helenisme secara langsung juga menerima konsep hukum alam
sebagai bagian peradabannya. Konsep philantropia/philantropus
Yunani terbawa pula menjadi konsep humanitas Romana. Konsep
humanitas ini kemudian menjadi payung bagi nilai moral, termasuk
15
Lihat, Ibid., hlm. 102-103.
16
op. cit., hlm. 2.
17
Embrio perjanjian masyarakat tersebut dikembangkan lebih lanjut
oleh Marsillius (1270-1340), yang menekankan pentingnya peran individu.
Renaisans, Thomas Hobbes (1588-1679) dan J.J. Rousseau (1712-1778). Lihat, A.
op. cit., hlm. 3-4. Bandingkan dengan
Pranoto Iskandar, op. cit., hlm. 102-103.
6
Dr. Rohidin, M. Ag
dan pietas.
Karena hal tersebut bangsa Romawi dapat menerima moralitas
universalisme, selaku cikal bakal HAM.
Pengaruh tradisi hukum alam ini sangat memengaruhi
konsepsi hukum yang diterapkan di Romawi. Marcus Tullius Cicero
dalam the Laws menyatakan bahwa “Hukum adalah budi tertinggi,
termuat dalam alam, yang memerintah apa yang harus dilakukan
dan yang dilarang. Budi ini, yang tertanam kuat dan berkembang
penuh dalam pikiran manusia, adalah hukum”. Dalam buku
tersebut ia mendasarkan argumennya pada hukum alam dan hakhak alamiah manusia. Lebih jauh ia mendukung akan ide “kesatuan
warga negara selayaknya sebuah kota”. Sumbangan yang cukup
menarik berkaitan dengan konsep HAM diberikan oleh Cicero
dalam karyanya de Legibus. Dalam karya tersebut Cicero berbicara
mengenai hubungan antara hukum alam dan hukum positif, ia
berkesimpulan hukum positif harus didasarkan pada hukum alam.
Jadi, ketika hukum positif bertentangan dengan hukum alam
maka yang pertama haruslah batal. Argumentasi ini memberikan
sumbangan yang cukup besar bagi HAM mengingat pada masa itu
HAM identik dengan hak-hak alamiah.18
Pasca-runtuhnya imperium Romawi Barat, Gereja Kristen
mulai memegang kendali. Meskipun begitu pengaruh dari
Romawi masih berlanjut, seperti dipertahankannya bahasa Latin.
Hal tersebut, secara langsung atau tidak, memberi jalan bagi
diadopsinya tradisi hukum Romawi oleh para rohaniawan Gereja.19
Dalam tataran praktis penerapan hukum Romawi dalam bidang
18
Ibid., hlm. 106-107.
19
Misal St. Augustine yang melakukan “Kristenisasi” terhadap pemikiran
Plato dalam Republic. Di samping itu, ia juga mengembangkan doktrin “perang
adil”, di mana dalam doktrin tersebut dapat dijumpai penekanan terhadap
nilai-nilai kemanusiaan universal. Sementara Thomas Aquinas berpendapat
bahwa perang yang didasarkan pada nafsu pribadi semata adalah dosa. Di
berbagai daerah Jerman, seperti Kerajaan Visigoth dan Burgundi, hukum
Romawi masih diterapkan bagi warga non-Jerman. Bahkan Alaric II, Raja
Visigoth, mengadopsi Lex Romana Wisighothorum, yang memuat ringkasan
dan komentar atas Codex Theodosianus dan berbagai sumber hukum Romawi
lainnya. Hal tersebut oleh Zwiegert dan Kort dipandang sebagai sumbangan
bagi keberlangsungan hukum Romawi.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
7
perdata, perkawinan, dan pewarisan masih dipertahankan oleh
gereja.
Konversi kepada agama Kristen oleh para penduduk Romawi
memberikan konsekuensi yang cukup luas. Pengaruh utamanya
adalah dikedepankannya konsep moralitas dalam segala aspek
kehidupan. Keyakinan atas moralitas pun mendapat sambutan
dari masyarakat umum yang telah putus asa terhadap pejabatpejabat yang dikenal korup. Atas dasar ini pula Augustinus
mendorong pemerintah supaya campur tangan secara langsung
dalam persoalan pemberian sumbangan bagi kaum miskin karena
hanya mendasarkan rasa kasihan dianggap tidak cukup. Ia juga
berpandangan praktik perbudakan adalah hal yang salah. Gereja
kuno juga mengutuk hukuman mati dan tindak penyiksaan dalam
proses hukum. Ini sangat tegas didukung oleh Paus Innocent I.20
Pada abad ke-11 dalam bidang pemikiran hukum terdapat
pertentangan antara kaum Legist dan Kanonist. Kaum Legist sangat
mengagumi hukum-hukum peninggalan Romawi, sedangkan kaum
Kanonist merupakan kelompok yang condong pada ajaran-ajaran
Paus. Pertentangan dua kelompok ini meliputi masalah besar yakni
hubungan antara kekuasaan duniawi dan Ilahi.21
Pada masa Pemerintahan Papal, bangunan kenegaraan di Eropa
yang didasarkan pada Reformasi Gregorian, khususnya Diktat
Gregori 1075, menjadikan kekuasaan pemerintahan ada di Gereja.
Paus adalah kepala gereja; orang-orang Kristen lainnya adalah
Gereja. Paus memiliki kewenangan penuh (plenitudo auctoritatis)
dan kekuasaan penuh (plenitudo potestatis). Meskipun pada
awalnya kewenangan Paus bersifat terbatas tetapi sejak Gregori VII,
Paus menjadi pembuat hukum tertinggi, administrator tertinggi,
dan hakim tertinggi. Ia dapat membuat hukum, menerapkan pajak
dan menghukum pelaku kejahatan.22
20
Ibid., hlm. 111.
21
Ibid., hlm. 114-115.
22
Konstruksi kenegaraan di atas tidak berlaku bagi bangsa Germania.
Bangsa ini memiliki keyakinan bahwa kemerdekaan pribadi adalah hal yang
penting. Ini dibuktikan dengan menjadikan individu sebagai satuan, bukan
komunitas. Walaupun kekuasaan negara terpusat sebagai akibat dari pengaruh
8
Dr. Rohidin, M. Ag
Pada abad dua belas dan tiga belas mulai terdapat
kecenderungan baru untuk mengganti majelis dengan dewan. Para
anggota dipilih untuk masa tugas beberapa tahun, tetapi kemudian
terjadi kooptasi yang mengubahnya menjadi pemerintahan
aristokrat.23 Pada masa ini terdapat pemikir yang sangat
berpengaruh Thomas Aquinas. Dalam teori hukum kodratinya,
Aquinas berpijak pada pandangan thomistik yang mempotulasi
hukum kodrati sebagai bagian dari hukum Tuhan yang sempurna
dan dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia.24 Aquinas
menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial
yang membutuhkan masyarakat agar dapat memperkembangkan
kepribadiannya dengan mempergunakan rasio yang diberikan
oleh alam kepadanya. Sebagai konsekuensi logis, maka diperlukan
kestabilan dalam masyarakat agar tidak terjadi kekacauan, karena
itulah diperlukan penguasa. Manusia sebagai makhluk sosial harus
hidup bermasyarakat untuk mencapai keinginannya, untuk itu
dibutuhkan pemimpin. Jika pemimpin tersebut tidak mengejar
dari Romawi, mereka memiliki badan-badan perwakilan. Badan-badan
perwakilan inilah yang kemudian menjadi inspirasi bagi parlemen Inggris.
Raja merupakan hasil dari proses pemilihan dan hukum dipandang sebagai
pernyataan kesadaran mereka. Ibid., hlm. 115.
23
Menurut Berman pada akhir abad kesebelas, kedua belas, dan ketiga
belas terdapat sebuah komunitas politik yang memiliki delapan karakteristik.
Pertama, Raja tidak lagi sebagai pemimpin spiritual tertinggi, tetapi sebatas
sebagai pemimpin sekuler, dalam bidang spiritual ia merupakan bawahan dari
Gereja Roma, yang dikepalai oleh Paus. Kedua, Raja tidak lagi hanya sebagai
orang pertama di antara orang-orang bijak, para ksatria dan para tuan tanah,
tetapi ia memiliki kekuasaan untuk mengatur langsung semua subjeknya
yang berada di wilayah kekuasaannya. Ketiga, sebagai penguasa temporal
atas subjeknya tugas utama raja adalah menjaga perdamaian dan melakukan
keadilan, dalam praktiknya diartikan sebagai untuk mengontrol kekerasan dan
mengatur hubungan sebagai akibat dari penguasaan tanah. Keempat, tugastugas tersebut dilakukan oleh sekelompok pejabat kerajaan yang profesional
bukan lagi berdasarkan keturunan. Kelima, Raja mendapatkan ketegasan akan
hak dan kewajibannya untuk membentuk hukum yang dianggap perlu. Keenam,
negara-negara kerajaan memiliki hukumnya sendiri sebagaimana negaranegara kota yang dikepalai walikota atau negara eklesiatik yang dikepalai Paus.
Ketujuh, secara teori kekuasaan raja dibatasi oleh berbagai komunitas yang
ada di kerajaannya. Kedelapan, kerajaan terdiri dari profesional elit bersifat
internasional yang pada umumnya memiliki hubungan darah. Ibid., hlm. 116117.
24
Rhona K. M. Smith (dkk.), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII,
Yogyakarta, 2010, hlm. 12.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
9
kepentingan umum maka ia digolongkan zalim. Karena kezaliman
dapat merusak masyarakat, maka rakyat memiliki hak untuk
menurunkannya bersama-sama. Agar tidak menjadi penguasa
zalim, maka ia harus seorang hamba Tuhan yang selalu mengharap
anugerah-Nya.25 Sejalan dengan kaum Stoik, Aquinas percaya
bahwa hukum manusia (human law), yang bertentangan dengan
hukum alam (nature law) bukanlah hukum yang benar.26
Sepanjang sejarah, terutama pada abad ke-17 dan 18, berbagai
pemikiran mengenai HAM merupakan hal yang sangat menonjol
berbagai instrumen untuk memberi kekuatan hukum. Legitimasi
hukum ini berfungsi untuk menjamin keberadaan hak asasitiap
individu, melindunginya dari berbagai pelanggaran yang mungkin
timbul dari individu lainnya atau bahkan dari pemerintah
sendiri. Bermula dari Deklarasi Hari Kemerdekaan (Declaration
of Independence Day) pada tanggal 4 Juli 1776, sebagai buah
keberhasilan revolusi di Amerika, HAM mendapat perhatian
serius. Awal revolusi dipicu oleh tingginya pajak yang dikenakan di
Amerika tanpa melibatkan pimpinan di Amerika. Reaksi tersebut
disampaikan sebagai pembenaran teori kontrak sosial John Locke
antara lain menyatakan: “...bahwa manusia diciptakan sama; bahwa
penciptanya telah menganugerahi mereka hak-hak tertentu yang
tidak dapat dicabut; bahwa di antara hak-hak tersebut adalah
hak untuk hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan; bahwa
untuk menjamin hak-hak tersebut orang-orang mendirikan
pemerintahan....”. Perumusan hak asasi manusia tersebut kemudian
secara resmi menjadi dasar konstitusi negara Amerika Serikat pada
tanggal 4 Maret 1789.27
Keberhasilan revolusi Amerika menjadi salah satu pemicu
meletusnya revolusi Prancis. Jika di Amerika revolusi bertujuan
untuk memerdekakan negara dari penjajahan Inggris, di Prancis
25
Harum Pudjiarto, op. Cit., hlm. 29.
26
op. Cit., hlm. 2.
27
Pranoto Iskandar, op. Cit.
Taufani S. Evandri, op. Cit., hlm. 40.
10
Dr. Rohidin, M. Ag
revolusi bertujuan untuk menumbangkan orde lama (ancient
regime). Pikiran-pikiran John Locke, Montesqiueu, dan J.J. Rousseau
mewarnai dan mempercepat revolusi tersebut. Keberhasilan
revolusi Prancis tersebut ditandai dengan diikrarkannya Deklarasi
Hak-hak Asasi Manusia dan Warga Negara (Declaration des Droits
de l’Homme et du Citoyen) tahun 1789. Isi deklarasi tersebut antara
lain menyatakan, “Kebahagiaan sejati haruslah dicari dalam
kebebasan individu yang merupakan produk dari hak-hak manusia
yang suci, tidak dapat dicabut dan kodrati...”. Sasaran setiap asosiasi
politik adalah pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dan
tidak dapat dicabut. Hak-hak tersebut adalah kebebasan (liberty),
kepemilikan harta (property), keamanan (safety), dan perlawanan
terhadap penindasan (resistance to oppresion ).28
Sebagaimana tampak dalam uraian di atas, bahwa HAM
pada dasarnya lebih sebagai konsep etika politik modern
dengan gagasan pokok berupa penghargaan dan penghormatan
terhadap manusia. Gagasan ini membawa kepada satu tuntutan
moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan
sesamanya. Jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya tuntutan moral
tersebut merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua
agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan
terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi.
Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi
seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al) dari tindakan zalim dan semena-mena dari mereka
yang kuat dan berkuasa. Karena itu, esensi dari konsep HAM
adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa
ada diskriminasi berdasarkan apapun, serta pengakuan terhadap
martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.
Konsep HAM tersebut menempatkan manusia sebagai subjek,
bukan objek dan memandang manusia sebagai makhluk yang
dihargai dan dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis
kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agamanya.
Karenanya, sebagai makhluk yang bermartabat, manusia memiliki
28
op. Cit., hlm. 41. Lihat juga,
Majda El Muhtaj, op. Cit., hlm. 9.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
11
sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup,
hak berpendapat, hak berkumpul, serta hak beragama, dan hak
berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar
yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan
prinsip kesetaraan,29 persamaan, dan kebebasan manusia
sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan
terhadap manusia dalam bentuk apa pun dan juga tidak boleh ada
pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar
manusia, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama.
Secara umum DUHAM yang diumumkan PBB tahun 1948
mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau
hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak
masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti
hak akan perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan
lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan politik, antara
lain memuat hak-hak seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak
memperoleh ganti rugi bagi mereka yang kebebasannya dilanggar;
hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan
beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk
menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberitahu
alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak, dan
tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi.
Keempat, hak ekonomi, sosial dan budaya, antara lain memuat hak
untuk menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan;
larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender,
dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk
menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk mendapat
pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh lakilaki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak
untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan.
Berbagai instrumen hak asasi manusia (HAM) regional maupun
29
Prinsip ini oleh Dworkin, sebagaimana dikutip oleh Pranoto, dinyatakan
sebagai setiap manusia, semenjak ia dilahirkan, memiliki nilai-nilai yang
dengan sendirinya memiliki atribut yang berbeda, terpisah dan obyektif
setara. Sebagai konsekuensinya, melalui prinsip ini manusia dituntut untuk
tidak menyakiti orang lain hanya demi kesenangan pribadi atau kelompoknya
sendiri. Lebih lanjut telusuri dalam, Pranoto Iskandar, op. Cit., hlm. 68.
12
Dr. Rohidin, M. Ag
internasional memberikan perlindungan dan pengakuan atas
kebebasan beragama tanpa memberi batasan atas apa yang disebut
sebagai
agama dalam berbagai
instrumen HAM ini tidaklah aneh, karena berbagai konstitusi di
negara-negara dunia, termasuk Indonesia, memuat hak beragama
tetapi tiada memberi batasan pasti apa yang dimaksud dengan
agama.
Di dalam hukum internasional modern, DUHAM30 adalah
instrumen internasional hak asasi manusia pertama yang mengatur
tentang kebebasan beragama. Deklarasi tersebut ditetapkan
oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui
resolusi No. 217 A (III) pada 10 Desember 1948.31 Dalam DUHAM
sendiri, terdapat empat elemen yang patut untuk dijadikan sebagai
penekanan: (i) difokuskan pada hak; (ii) pembatasan hanya
diberikan pada hak; (iii) keseimbangan antara hak sipil dan politik
di satu pihak dan hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya di pihak
lain; (iv) letak tanggungjawab bagi implementasi ada di tingkat
nasional.32
Dalam instrumen internasional, hak kebebasan beragama
diatur pada Pasal 18 DUHAM, yang menyatakan bahwa:
30
“HAM” dan yang menyebutkan secara jelas hak-hak itu yang bersifat universal.
Dokumen ini adalah kesepakatan internasional yang ditandatangani oleh para
pihak (negara) yang menjadi anggota PBB. Walaupun demikian, kesepakatan
tersebut tidak mengikat secara hukum (not legally binding) dan tidak
menyediakan perlindungan yang dapat dipaksakan.
31
United Nations, The Universal Declaration of Human Rights (Online)
dalam http://www.un.org/en/documents/udhr/, (Diakses pada 23 Desember
2010). Di dalam hierarki hak asasi manusia internasional, kedudukan Majelis
Umum adalah sebagai lembaga tertinggi yang membawahi beberapa lembaga
lainnya seperti Dewan HAM, dan Komite HAM. Oleh karena itu, Majelis
Umum merupakan lembaga internasional yang mempunyai otoritas resmi
untuk menginterpretasikan pasal-pasal yang ada dalam DUHAM. Interpretasi
atau penjelasan dari lembaga tersebut juga merupakan sumber hukum di
dalam hukum internasional yang harus diperhatikan oleh negara-negara
di dalam mengimplementasikan norma-norma yang dikandung di dalam
deklarasi tersebut. Lihat, Al-Khanif, op. Cit., hlm. 6.
32
Pranoto Iskandar, op. Cit., hlm. 359.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
13
Everyone has the right to freedom of thought, conscience and
religion; this right includes freedom to change his religion or
belief, and freedom, either alone or in community with others
and in public or private to manifest his religion or belief in
teaching, practice, worship, and observance.33
Meskipun hak kebebasan beragama telah diatur sebagaimana di
atas, namun ternyata tidak mudah mengatur hak tersebut secara
komprehensif karena adanya perbedaan perspektif yang sangat
besar dari negara-negara yang mendukung dan menentang norma
kebebasan beragama. Salah satu permasalahan yang paling krusial
adalah adanya anggapan dari sebagian masyarakat bahwa konsep
dasar HAM dan khususnya hak kebebasan beragama seringkali
bertentangan dengan hukum suci agama. Tidak jarang anggapan
seperti itu kemudian menjadi pemicu bagi terjadinya pelanggaran
kebebasan beragama yang seringkali berujung pada radikalisme
agama yang terjadi di berbagai negara.
Pro-kontra terhadap keberadaan Pasal 18 di atas, sebagaimana
dilansir Paul Seighart dan dikutip oleh Al-Khanif, sebenarnya telah
ada sejak awal rapat pleno Majelis Umum PBB pada saat menyusun
draft pasal tersebut. Sampai pada saat ditetapkan, deklarasi
tersebut disetujui oleh 48 anggota PBB dengan tidak ada satu pun
negara anggota yang menolak. Akan tetapi terdapat 8 negara yang
memilih abstain, di antaranya adalah Saudi Arabia. Adapun alasan
Saudi Arabia mengambil opsi abstain adalah karena negara tersebut
tidak menyetujui aturan yang ada dalam Pasal 18 yang mengatur
tentang hak kebebasan beragama.34
Selanjutnya, sebagai upaya untuk lebih mengokohkan kembali
penegakan HAM, rumusan tentang hak kebebasan beragama
sebagaimana tertuang dalam instrumen DUHAM tersebut
33
Tore Lindholm, et.al (ed.), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A
Deskbook, Leiden: Lorenzen, 2008, hlm. 874.
34
14
Al-Khanif, op. cit.
Dr. Rohidin, M. Ag
dielaborasi dalam ICCPR.35 Jaminan atas hakkebebasan beragama
tersebut ditegaskan, di antaranya dalam Pasal 18 ICCPR yang
menyatakan:36
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan
beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan
agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan
kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup,
untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam
kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
(2) Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu
kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama
atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
(3) Kebebasan menjalankan dan menentukan agama
atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh
ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk
melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral
masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang
lain.
(4) Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk
menghormati kebebasan orangtua dan apabila diakui, wali
hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan
agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan
keyakinan mereka sendiri.
Ketentuan tentang hak dan kebebasan beragama, baik dalam
DUHAM maupun ICCPR, telah menimbulkan beberapa reaksi.
35
ICCPR merupakan salah satu dokumen hukum internasional—bersama
dengan ICESCR dan DUHAM—yang membentuk UUhukum internasional.
Di samping itu, ICCPR juga merupakan elaborasi lebih lanjut atas berbagai
kebebasan dan hak sipil dan politik yang sebelumnya dimuat dalam DUHAM.
Bahkan ada yang berpandangan bahwa ICCPR merupakan pernyataan atas
kewajiban HAM dalam Piagam. Lihat, Pranoto Iskandar, op. Cit., hlm. 438.
Lebih lanjut tentang proses perancangan ICCPR dalam Ibid., hlm. 432-437.
36
http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm#art18 (Diakses pada
tanggal 27 Desember 2010).
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
15
Beberapa negara Islam mengkritik DUHAM, karena dianggap
telah gagal untuk mempertimbangkan konteks agama dan budaya
dari negara-negara Islam. Pada tahun 1982, perwakilan Iran untuk
PBB, Said Rajaie-Khorassani, mengartikulasikan posisi negaranya
mengenai DUHAM, dengan mengatakan bahwa DUHAM
merupakan “pemahaman sekuler tentang tradisi Yudeo-Kristen”,
yang tidak dapat dilaksanakan oleh umat Islam tanpa pelanggaran
terhadap hukum Islam.37
18 ICCPR dalam kerangka Pasal 18 DUHAM dengan memasukkan
kalimat, “hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama
atau keyakinan”, menghadapi perbedaan pendapat terutama dari
negara-negara muslim seperti Mesir, Saudi Arabia, Yaman, dan
Afghanistan, yang memaksakan pencoretan tentang penafsiran
atas hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama, yang
mencakup kebebasan mengganti agama atau bahkan menganut
pandangan-pandangan ateistik mencuatkan kontroversi. Perbedaan
pandangan tersebut akhirnya menimbulkan suatu kompromi
untuk mengubah bahasanya menjadi, “hak ini harus mencakup
kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau
kepercayaan atas pilihannya sendiri”, yang lantas diambil secara
bulat tanpa syarat. Rumusan ini didasarkan pada usulan-usulan
yang diajukan oleh perwakilan dari Brazil, Filipina, dan Inggis.38
Meskipuntelah terjadi kesepakatanatas teks tentang kebebasan
beragama dalam Pasal 18 ICCPR, namun penafsiran atas teks
tersebut masih belum menemukan kesamaan pemahaman. Komite
HAM mengindikasikan bahwa kebebasan “untuk menganut atau
menerima” mencakup kebebasan “untuk mengganti agama atau
kepercayaannya yang sedang dianut dengan yang lain atau menganut
pandangan-pandangan ateistik, sebagaimana juga mencakup
37
Littman, David. “Universal Human Rights and Human Rights in
Islam”, Midstream, February/March 1999, dalam, http://web.archive.org/
web/20060501234759/http://mypage.bluewin.ch/ameland/Islam.html,
(Diakses pada tanggal 11 Desember 2010).
38
Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan
Hukum Islam,
Manusia, Jakarta, 2003, hlm. 121-122.
16
Dr. Rohidin, M. Ag
kebebasan mempertahankan agama atau kepercayaan seseorang”.39
Penafsiran Komite HAM tersebut tentu saja, berlawanan dengan
apa yang dikehendaki oleh negara-negara Muslim.
Sebagai kritik atas dominasi HAM Barat yang dianggap tidak
sesuai dengan pandangan ajaran Islam, sekaligus sebagai alternatif
pandangan tentang hak kebebasan beragama, negara-negara Muslim
yang tergabung dalam OKI pada 5 Oktober 1990 mengikrarkan
Deklarasi Kairo, sebuah deklarasi tentang kemanusiaan yang sesuai
dengan syariah Islam. Kemudian pada 30 Juni 2000, negara-negara
Muslim yang menjadi anggota OKIsecara resmi memutuskan
untuk mendukung Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam,
sebuah dokumen alternatif yang mengatakan orang memiliki
“kebebasan dan hak untuk hidup yang bermartabat sesuai dengan
syariah Islam”.40 Deklarasi Kairo tahun 1990 tersebut memuat 24
pasal tentang HAM yang dirumuskan berdasarkan al-Qur’an
dan Sunnah. Dalam penerapan dan realitasnya, Deklarasi Kairo
memiliki beberapa persamaan dengan pernyataan DUHAM yang
dideklarasikan PBB pada tahun 1948.41
Kebebasan untuk mewujudkan satu agama atau kepercayaan
dapat tunduk hanya pada pembatasan seperti yang ditentukan
oleh hukum dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan
masyarakat, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak
mendasar dan kebebasan orang lain. Hal tersebut sejalan dengan
argumen para sarjana Muslim kontemporer dan beberapa negara
Muslim, bahwa yang dilarang oleh hukum Islam bukanlah
pindahnya seseorang dari agama itu semata-mata, melainkan
penampakannya dalam bentuk yang mengancam keamanan
publik, moral masyarakat, dan kebebasan orang lain. Hal tersebut
sejalan dengan pengaturan pelaksanaan HAM sebagaimana yang
tercantum dalam DUHAM Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan:42
39
40
Ibid., hlm. 122.
http://en.wikipedia.org/wiki/UDHR,
Desember 2010).
(Diakses
41
42
pada
tanggal
23
op. Cit., hlm. 261.
Tore Lindholm, et.al (ed.), op. Cit., hlm. 875.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
17
“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall
be subject only to such limitations as are determined by law
solely for the purpose of securing due recognition and respect
for the rights and freedoms of others and of meeting the just
requirements of morality, public order and the general welfare
in a democratic society.”
B.
HAM dalam Konstitusi Negara Hukum Indonesia
Dalam memahami hakikat konstitusi terdapat dua pandangan, yaitu
pandangan normatif yuridis dan pandangan sosiologis empiris.
Pandangan sosiologis empiris beranggapan bahwa konstitusi
tidak terbatas pada norma hukum dasar yang tertulis dalam
satu kitab, melainkan juga tersebar dalam praktik atau konvensi
ketatanegaraan. Sedangkan menurut pandangan normatif yuridis,
konstitusi sama dengan UUD, yaitu kumpulan dari norma-norma
hukum dasar yang tertulis dan terangkum dalam satu kitab.43
Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepakatan umum atau
persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai
bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Hal
tersebut diperlukan oleh rakyat agar kepentingan mereka bersama
dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan
penggunaan mekanisme yang disebut negara. Secara substantif,
konsensus yang diwujudkan dalam konstitusi meliputi tiga hal:44
1.
Kesepakatan tentang tujuan dan cita-cita bersama.
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan
pemerintahan atau penyelenggaraan negara.
43
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan
dan Hak Asasi Manusia: Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di
Indonesia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2003, hlm. 33.
44
Jimly Asshiddiqie, UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional dalam
Pluralisme Indonesia dalam, Beragama, Berkeyakinan, dan Berkonstitusi:
Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di
Indonesia, Publikasi SETARA Institute, Jakarta, 2009, hlm, 47.
18
Dr. Rohidin, M. Ag
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi
prosedur-prosedur ketatanegaraan.
dan
Konstitusi yang berlaku dalam Negara Hukum Indonesia saat
ini adalah UUD 1945. Sebagai hukum dasar tertulis, UUD 1945
berisikan norma-norma, aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan
yang harus dilaksanakan dan ditaati yang bersifat mengikat, baik
bagi pemerintah maupun bagi setiap warga negara Indonesia di
mana pun ia berada.45 Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan,
Republik Indonesia telah memiliki tiga UUD dengan empat kali
masa berlaku, yaitu:46
(1) UUD 1945, pertama kali berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945
sampai 27 Desember 1949,
(2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat, mulai berlaku pada
tanggal 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950,
(3) UUDS 1950, mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950
sampai 5 Juli 1959, dan
(4) UUD 1945, berlaku untuk kedua kalinya sejak tanggal 5 Juli
1959 hingga sekarang.
Keempat konstitusi tersebut memiliki karakteristik yang berbedabeda, karena kemunculannya memang dipengaruhi oleh konteks
yang berbeda. Sebagai konsekuensinya, maka secara konseptual
juga terjadi perbedaan rumusan materi tentang HAM yang dimuat
oleh UUD 1945, Konstitusi RIS maupun UUDS 1950. Bahkan UUD
1945 yang berlaku pertama kali dengan UUD 1945 yang berlaku saat
ini juga terdapat perbedaan yang disebabkan oleh adanya empat
kali perubahan, terhitung sejak tahun 1999 sampai 2002.
45
Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma
Reformasi,
46
Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep, dan Implikasinya
dalam Perspektif Hukum & Masyarakat,
hlm. 41-42.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
19
Dalam konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan arti
penting bagi terciptanya paradigma negara hukum, sebagai hasil
dari proses dialektika demokrasi. Konstitusi sebagai perwujudan
konsensus dan penjelmaan dari kehendak rakyat harus mampu
memberikan jaminan atas keberlangsungan hidup berikut HAM
secara nyata. Oleh sebab itu, jaminan konstitusi terhadap HAM
merupakan bukti dari hakikat, kedudukan dan fungsi konstitusi
itu sendiri bagi seluruh rakyat Indonesia.47
1.
HAM dalam Periode UUD 1945 (Pemberlakuan I
[1945-1949])
Diskursus mengenai HAM dalam sejarah Indonesia telah mencuat
sejak proses pembentukan negara Indonesia sedang gencargencarnya diperjuangkan. Perdebatan ini terekam jelas dalam
sidang-sidang BPUPKI dan PPKI yang membahas draftKonstitusi
Negara Indonesia yang akan dibentuk.48 UUD 1945 dirancang sejak
29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh BPUPKI. Badan ini kemudian
menetapkan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi
Indonesia, yang kemudian dikenal dengan UUD 1945. Para tokoh
perumus konstitusi tersebut adalah Radjiman Wedyodiningrat,
Ki Bagus Hadi Koesoemo, Oto Iskandardinata, Pangeran
Purboyo, Pangeran Suryo Hamidjojo, Soetardjo Kartomihardjo,
Soepomo, Abdul Kadir, Mohammad Amir (Sumatera), Abdul
Abbas (Sumatera), Ratulangi, Andi Pangerang (keduanya dari
Sulawesi), Latuharhary, Pudja (Bali), A.H. Hamidan (Kalimantan),
R.P. Soeroso, Abdul Wachid Hasyim, dan Mohammad Hassan
(Sumatera).49
47
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia:
Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Kencana,
Jakarta, 2007, hlm. 94.
48
BPUPKI atau Dokuritzu Zyunbi Tjoosakai merupakan badan bentukan
Jepang yang diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat yang kemudian setelah
dibubarkan dibentuk kepanitiaan yang bernama PPKI atau Dokuritzu Zyunbi
Iinkai dengan diketuai oleh Soekarno. Lihat, Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan
Hukum dalam Kontroversi Isu,
116-117.
49
20
A. Ubaidillah (dkk.), Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM dan
Dr. Rohidin, M. Ag
Moh. Hatta dalam pembicaraan mengenai dasar negara
dalam sidang kedua BPUPKI mengusulkan supaya UUD yang
akan dibuat juga memuat tentang adanya jaminan terhadap
perlindungan hak asasi manusia. Usul tersebut disetujui oleh
Muh. Yamin. Berbeda dengan mereka, Soekarno dan Soepomo
menolak usul tersebut dengan alasan bahwa anggota BPUPKI telah
sepakat mengenai asas kekeluargaan yang dianut di dalam negara
yang akan dibentuk. Penolakan Soekarno dan Soepomo tersebut
didasarkan pada pandangan mereka tentang dasar negara—dalam
istilah Soekarno disebut dengan “
” dan
Soepomo memakai istilah “Staatsidee”—yang tidak berlandaskan
pada paham liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan
Soekarno, jaminan perlindungan hak warga negara berasal dari
revolusi Prancis yang merupakan basis dari paham liberalisme dan
individualisme yang telah menyebabkan lahirnya imperialisme dan
peperangan antar-manusia. Pandangan ini secara tegas dinyatakan
oleh Soekarno dalam sidang kedua BPUPKI pada tanggal 15 Juli
1945,50 sebagai berikut:51
“…saya minta dan menangis kepada Tuan-tuan dan
Nyonya-nyonya buanglah sama sekali paham individualisme
itu. Janganlah dimasukkan dalam UUD kita yang dinamakan
‘rights of citizens’ yang sebagai dianjurkan oleh Republik
Prancis itu adanya…”.
“….buat apa kita membikin grondwet. Apa gunanya
grondwet yang ada berisi, ‘droits e el homme et du citoyen’,
itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang miskin
yang hendak mati. Maka oleh karena itu, jikalau kita betulbetul hendak mendasarkan negara kita kepada paham-paham
Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta, 2000, hlm. 86.
50
Rhona K. M. Smith, (dkk.), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII,
Yogyakarta, 2010, hlm. 238.
51
Dikutip dari Pidato Soekarno pada tanggal 15 Juli 1945 di depan BPUPKI
berdasarkan naskah yang dihimpun oleh RM. AB. Kusuma dalam RM. AB.
Kusuma (penghimpun), Lahirnya UUD 1945, Badan Penerbit Fak. Hukum UI,
Jakarta, 2004, hlm. 352.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
21
kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotongroyong, dan keadilan sosial, nyahkan tiap-tiap pikiran, tiaptiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya.
Sementara itu, Soepomo dengan semangat yang sama, menolak
dimasukkannya hak-hak warga negara dalam UUD dengan
mendasarkan pada pandangannya mengenai ide negara integralistik
(staatside integralistik), yang menurutnya sesuai dengan sifat dan
corak masyarakat Indonesia.52 Menurut paham tersebut, negara
harus bersatu dengan seluruh rakyatnya, sehingga tidak ada
pertentangan antara susunan hukum staat dan susunan hukum
individu, karena individu tidak lain adalah bagian organik dari
staat. Berdasarkan dari hal tersebut, maka hak individu menjadi
tidak relevan dalam paham negara integralistik, yang justru relevan
adalah kewajiban asasi kepada negara.53Lebih lanjut Soepomo
menyatakan:
“Dalam sistem kekeluargaan sikap warga negara bukan
sikap yang selalu bertanya: ‘Apakah hak-hak saya, akan tetapi
sikap yang menanyakan: apakah kewajiban saya sebagai anggota
keluarga besar, ialah negara Indonesia ini. Bagaimanakah
kedudukan saya sebagai anggota keluarga darah (familie)
dan sebagai anggota kekeluargaan daerah, misalnya sebagai
anggota desa, daerah, negara, Asia Timur Raya dan Dunia itu?’.
Pandangan Soekarno dan Soepomo tersebut ditentang oleh Moh.
Hatta. Penolakan Hatta ini didasari oleh kekhawatiran jika tidak
ada hak tersebut dalam UUD akan menjadikan negara yang baru
dibentuk menjadi negara kekuasaan. Dalam sidang BPUPKI
tersebut secara tegas Hatta menyatakan:
22
52
Subandi Al Marsudi, op. Cit., hlm. 129.
53
Rhona K. M. Smith (dkk.), op. Cit., hlm. 239.
Dr. Rohidin, M. Ag
“Memang kita harus menentang individualisme... Kita
mendirikan negara baru di atas dasar gotong-royong dan hasil
usaha bersama. Tetapi suatu hal yang saya khawatirkan, kalau
tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kapada
rakyat dalam UUD yang mengenai hak mengeluarkan suara...
Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara
yang kita bikin jangan menjadi negara kekuasaan.”
Senada dengan pendapat Moh. Hatta, Muhammad Yamin
bersikukuh memperjuangkan agar hak dan kebebasan warga
negara dimasukkan secara jelas dalam UUD. Dalam pendapatnya
Yamin mengatakan:
“Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan
dalam UUD seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan
yang dimajukan untuk tidak memasukkannya... Saya hanya
meminta perhatian betul-betul karena yang kita bicarakan ini
hak rakyat. Kalau hal ini tidak terang dalam hukum dasar, ada
kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan
undang-undang hukum dasar, besar sekali dosanya buat rakyat
yang menantikan hak daripada republik; misalnya mengenai
yang tertuju kepada warga negara yang akan mendapat hak,
juga penduduk akan diperlindungi oleh republik ini.”
Pendapat Moh. Hatta dan Muhammad Yamin tersebut juga
didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang
mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan untuk
drukpers dan onschendbaarheid van woorden (pers cetak dan
kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan). Mereka sangat
menyadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang terjadi di
Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila dalam negara yang mau
didirikan itu tidak diberikan jaminan terhadap hak warga negara.54
54
Ibid., hlm. 240.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
23
Perdebatan-perdebatan di antara para founding fathers Negara
Indonesia di atas masih diwarnai konsepsi dikotomi budaya
Barat dan Timur. Dikotomi tentang konsep negara, antara negara
berdasarkan kontrak sosial dan negara berdasarkan kekeluargaan.55
Akhirnya, setelah melalui perdebatan panjang, pada tanggal 16 Juli
1945 persidangan dalam BPUPKI menghasilkan kompromi sehingga
beberapa ketentuan tentang hak diterima untuk dimasukkan dalam
UUD.UUD RI yang telah dirancang oleh BPUPKI tersebut, dengan
beberapa perubahan dan tambahan, akhirnya disahkan dalam
sidang pertama PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.56
UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada dasarnya hanya
bersifat sementara, sebagaimana tercantum dalam ayat (2) Aturan
Tambahan yang menyatakan: “Dalam enam bulan setelah Majelis
Permusyaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk
menetapkan UUD”. Pada waktu itu para penyusun UUD 1945
memperkirakan sebelum HUT RI Ke-1, sudah dapat tersusun
UUD permanen yang dibuat oleh MPR hasil Pemilihan Umum.
Namun situasi politik nasional ternyata lebih terfokus pada upaya
mempertahankan kemerdekaan, maka rencana tersebut belum
sempat terlaksana.57
Dalam UUD 1945, meskipun dianggap telah memasukkan
rumusan tentang hak, namun istilah HAM tidak dicantumkan
secara eksplisit, baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun
Penjelasannya. Menurut Mahfud MD, UUD 1945 hanya sebatas
membahas mengenai hak asasi warga, padahal antara hak
asasi manusia dan hak asasi warga negara jelas berbeda. HAM
berdasarkan pada paham bahwa secara kodrati manusia, di
55
B. Hestu Cipto Handoyo, op. Cit., hlm. 276.
56
B. Hestu Cipto Handoyo, op. Cit., hlm. 276. Lihat juga, Muhammad
Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD
1945, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 76-77. Ketika disahkan oleh PPKI, UUD
1945 baru meliputi Pembukaan dan Batang Tubuh, sedangkan Penjelasan baru
dicantumkan, setelah naskah resminya dimuat dan disiarkan dalam Berita
Republik Indonesia tanggal 15 Februari 1946. Lihat, Subandi Al Marsudi, op.
Cit., hlm. 129.
57
Baca, Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di
Indonesia, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang
Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1983.
24
Dr. Rohidin, M. Ag
manapun, mempunyai hak-hak bawaan yang tidak dapat
dipindahkan, diambil, atau dialihkan, sedangkan hak asasi warga
negara hanya mungkin diperoleh ketika seseorang memiliki
status sebagai warga negara.58 Sejalan dengan pandangan tersebut
Bambang Sutiyoso juga menyatakan analisisnya bahwa dalam
UUD 1945 hanya ditemukan pencantuman dengan tegas tentang
hak dan kewajiban warga negara dan hak-hak DPR.59Penggunaan
konsep hak warga negara (right of citizens) bukan HAM (human
rights) tersebut mengandung pengertian bahwa secara implisit
paham natural rights yang menyatakan bahwa HAM adalah hak
yang dimiliki manusia karena ia lahir sebagai manusia tidak diakui.
Sebagai konsekuensi dari konsep tersebut maka negara diposisikan
sebagai regulator of rights, bukan sebagai guardian of human rights
sebagaimana diposisikan oleh sistem Perlindungan HAM.60
Jaminan dan perlindungan atas hak asasi bagi warga negara
ditegaskandalam UUD 1945 akhirnya tertuang pada Pasal 27, 28,
29 ayat (2), 30 ayat (1), 31 ayat (1), dan Pasal 34. Hak-hak yang
dirumuskan dalam UUD 1945 tentang hak atas persamaan di muka
hukum (rights of legal equality) adalah sebagai berikut:
Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”61
Pasal 27 ayat (2): “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”62
58
Mahfud MD, “Undang-undang Politik, Keormasan dan Instrumentasi
di Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Yogyakarta, UII Press No.
10, vol. 5. 1998.
59
Bambang Sutiyoso, “Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya
di Indonesia”, dalam UNISIA, Yogyakarta, UII Press No. 10, vol. 5. 1998.
60
Rhona K. M. Smith (dkk.), op. Cit., hlm. 240.
61
Ayat ini menunjukkan adanya pengakuan dan jaminan atas persamaan
hak semua warga negara dalam hukum dan pemerintahan (right of legal
equality), tanpa membedakan ras, suku, golongan, agama, atau pun bentuk
diskriminasi lainnya.
62 Ayat ini menunjukkan adanya pengakuan dan jaminan terhadap
martabat manusia (human dignity).
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
25
Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 29 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 30 ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam usaha pembelaan negara.
Pasal 31 ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak mendapat
pengajaran.
Pasal 34: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
oleh negara.
Tidak dicantumkannya rumusan tentang HAM secara tegas
dalam UUD 1945 memang telah memicu timbulnya berbagai
interpretasi terhadap kualitas muatan dan jaminan UUD 1945
atas HAM. Meskipun begitu, menurut Majda, ada hal yang patut
untuk mendapatkan apresiasi positif, yaitu keberhasilan founding
fathers Negara Indonesia dalam memformulasikan sebuah tatanan
kehidupan nasional dalam jangka waktu yang sangat terbatas
dikarenakan kejaran waktu agar UUD dapat selesai sebagai syarat
minimal berdirinya sebuah negara. Pada masa itu, UUD 1945 telah
dapat dikategorikan sebagai konstitusi modern yang di dalamnya
mengatur perihal lembaga-lembaga kenegaraan berikut mekanisme
ketatanegaraan, serta jaminan atas hak, jauh sebelum masyarakat
internasional merumuskan HAM dalam DUHAM pada forum PBB,
10 Desember 1948.63
2. HAM dalam Konstitusi RIS 1949 (1949-1950)
Kondisi sosial politik yang belum kondusif pasca-proklamasi,
dalam tataran implementatif, berakibat UUD 1945 pada masa
permulaan diberlakukannya tidak berjalan efektif. Pada masa itu
63
26
Majda El-Muhtaj, op. Cit., hlm. 100-101.
Dr. Rohidin, M. Ag
tindakan maupun pemikiran bangsa Indonesia sebagai upaya untuk
mempertahankan eksistensi NKRI. Era 1945-1949, yang dalam
istilah Arthur dikatakan sebagai establishment of a federal form
government.64Kekalahan Jepang atas Sekutu memberikan implikasi
politik bagi Indonesia. Belanda dengan segala cara berupaya
menancapkan kembali politik kolonialismenya di Indonesia.
Bahkan ancaman atas kedaulatan negara Indonesia tersebut tidak
hanya dari rongrongan Pemerintah Belanda, namun juga dari
tindakan-tindakan separatis dari dalam negeri yang muncul secara
sporadis.
Konfrontasi yang berkepanjangan antara Indonesia dan
Belanda tersebut akhirnya membuat Perserikatan BangsaBangsa (PBB) turun tangan. PBB mendesak kedua belah pihak
agar menyelesaikan
melibatkan pihak ketiga yakni BFO (Byeenkomst voor Federal
Overleg), sebuah ikatan negara-negara bagian bentukan Belanda.
Sebagai upaya untuk mewujudkan resolusi PBB tersebut, pada
tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 November 1949 dilaksanakan
konferensi di Den Haag, Belanda, yang dikenal sebagai Konferensi
Meja Bundar (KMB). KMB menghasilkan tiga keputusan mendasar.
Pertama, pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Kedua, penyerahan kedaulatan kepada RIS. Ketiga, pembentukan
UNI-RIS-Belanda.65
Sebagai dasar berdirinya RIS hasil KMB, delegasi RI bersama
dengan BFO merancang sebuah UUD yang diberi nama Konstitusi
RIS. Pada tanggal 27 Desember 1949 jam 10.17 pagi, di hadapan ketiga
delegasi Ratu Juliana menandatangani Akta Penyerahan Kedaulatan.
Peristiwa tersebut membawa konsekuensi pada berlakunya semua
persetujuan hasil KMB dan berlakunya Konstitusi RIS 1949. Dengan
berdirinya RIS, maka posisi RI hanya sebagai salah satu “Negara
Bagian” dalam RIS, dengan wilayah kekuasaan sebagaimana yang
disepakati dalam Perjanjian Renville. Demikian juga dengan
berlakunya Konstitusi RIS, maka UUD 1945 hanya berlaku dalam
64
Ibid., hlm. 72.
65
Ibid., hlm. 74.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
27
Negara Bagian RI. Secara anatomik, Konstitusi RIS tersusun atas
dua bagian, yakni Pembukaan dan Batang Tubuh yang memuat
6 bab dan 197 pasal, jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan
UUD 1945. Konstitusi tersebut sebenarnya hanya dimaksudkan
untuk bersifat sementara, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
186 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi)
bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan
konstitusi Republik Indonesia Serikat”.66
Menariknya, Konstitusi RIS memberi penekanan yang
Dalam Konstitusi RIS butir-butir HAM
tidak hanya disebut secara eksplisit, tetapi cakupannya juga lebih
luas jika dibandingkan dengan UUD 1945. Ada 35 pasal (Pasal 7
hingga Pasal 41) yang memberi jaminan konstitusional atas HAM.
Rumusan tentang HAM dalam konstitusi tersebut diatur dalam
bagian tersendiri, yakni Bab I, Bagian 5 Hak-hak dan Kebebasankebebasan Dasar Manusia, tercantum dalam 27 pasal. Bahkan
Konstitusi RIS juga mengatur tentang kewajiban asasi negara
dalam hubungannya dengan penegakan HAM, yakni pada Bab I,
Bagian 6 Asas-asas Dasar, yang terbentang pada 8 pasal.67 Rumusan
HAM tersebut ditempatkan mendahului bagian-bagian lain yang
mengatur lembaga negara dan kewenangannya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa dimensi HAM dalam Konstitusi RIS lebih
diutamakan daripada kekuasaan negara.
Konstruk HAM dalam tubuh konstitusi RIS yang tercantum
dalam bagian 5 Hak dan Kebebasan Dasar Manusia tersebut bisa
digambarkan sebagai berikut:
“Penekanan terhadap penegakan dan jaminan atas HAM
dalam Konstitusi RIS secara historis sangat dipengaruhi oleh
DUHAM, yang diikrarkan pada 10 Desember 1948. Diseminasi
HAM versi PBB tersebut dalam konteks internasional pada
28
66
Lihat, Ibid., hlm. 74-75.
67
Ibid., hlm. 102.
Dr. Rohidin, M. Ag
waktu itu sangat mempengaruhi konstitusi-konstitusi negara
di dunia, termasuk Konstitusi RIS.68
3.
HAM Dalam UUDS 1950 (1950-1959)
Konstitusi RIS yang dinyatakan berlaku pada 27 Desember 1949
ternyata tidak berusia panjang. Momentum peringatan Hari Ulang
Tahun Ke-5 RI, 17 Agustus 1950 menandakan sebuah era baru
bagi iklim ketatanegaraan Indonesia. Pada saat itu Konstitusi RIS
dengan segala konsekuensinya berubah menjadi UUDS 1950.UUDS
1950 merupakan bukti historis kembalinya Indonesia kepada
bentuk NKRI. Perubahan dari Konstitusi RIS menjadi UUDS
1950 dilatarbelakangi oleh desakan rakyat yang menghendaki
negara kesatuan. Bentuk negara serikat di mana wilayah-wilayah
Indonesia berada dalam negara-negara bagian ternyata telah
mengakibatkan disharmoni di kalangan masyarakat. Bahkan tidak
jarang era Pemerintahan Federal Indonesia telah menciptakan
69
Kembalinya bentuk
negara kesatuan tersebut juga tidak lepas dari upaya golongan
unitaris yang menghendaki Indonesia menjadi negara kesatuan
kembali dengan menyarankan kepada negara-negara bagian agar
mau bergabung dengan RI yang berkedudukan di Yogyakarta.
Usaha tersebut berhasil, terbukti mulai bulan Mei 1950 anggota RIS
tinggal tiga negara bagian yaitu RI, Negara Sumatera Timur, dan
Negara Indonesia Timur.70
68
Ibid., hlm. 102.
69
Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia,
Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan
Hukum Indonesia Jakarta, Jakarta, 1983, hlm. 82. Bandingkan dengan, Majda
El-Muhtaj, op. Cit., hlm. 76.
70
Upaya penggabungan negara-negara bagian tersebut sebenarnya harus
dilakukan dengan UU Federal, sesuai dengan konstitusi RIS, sebagaimana
yang diamanatkan dalam Pasal 44; “Perubahan daerah sesuatu daerah bagian,
demikian pula masuk ke dalam atau menggabungkan diri kepada suatu
daerah bagian yang telah ada, hanya boleh dilakukan oleh sesuatu daerah ...
menurut aturan-aturan yang ditetapka dengan UU Federal .... Kenyataannya,
penggabungan tersebut tidak berdasarkan UU Federal. Maka, penggabungan
tersebut disahkan dengan UU Darurat No. 11 tahun 1950 yang dikeluarkan
dengan berlandaskan pada Pasal 139 KRIS yang menyatakan; (1) Pemerintah
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
29
Keputusan beralihnya Konstitusi RIS kepada UUDS 1950
terjadi sesudah diadakan perundingan antara Pemerintah Negara
Bagian RI dengan Pemerintah Pusat Federal yang telah diberikan
kuasa oleh Negara Bagian Indonesia Timur dan Sumatera Timur.71
Dalam perundingan tersebut disepakati sebuah alternatif sebagai
dasar untuk menuju NKRI, yaitu pasal-pasal dalam Konstitusi
RIS yang bersifat federalis dihilangkan dan diganti dengan pasalpasal yang bersifat kesatuan. Kemudian pada tanggal 19 Mei 1950,
berhasil ditandatangani Piagam Persetujuan yang secara pokok
memuat pernyataan bahwa dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan, sebagai jelmaan
dari RI berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.72
Berkaitan dengan persetujuan tersebut maka diperlukan
perubahan atau penggantian Konstitusi RIS. Meskipun Konstitusi
RIS tersebut bersifat sementara, namun belum dimungkinkan
untuk melakukan “penggantian”, karena sesuai dengan Pasal 186
Konstitusi RIS, penetapan sebuah konstitusi sebagai pengganti
Konstitusi RIS hanya bisa dilakukan olehKonstituante (sidang
pembuat undang-undang) bersama pemerintah, sedangkan
Konstituante sendiri harus dipilih rakyat melalui pemilihan umum
yang tentunya akan memakan waktu lama. Sehubungan dengan itu
maka dilakukan “perubahan” Konstitusi RIS. Perubahan konstitusi
ini dapat dilakukan dengan lebih cepat, karena cukup dilakukan
dengan UU Federal, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 190
Konstitusi RIS. Berpijak pada hal tersebut diterbitkanlah UU
Federal No. 7 Tahun 1950, tentang Perubahan Konstitusi Sementara
berhak atas kuasa dan tanggungjawab sendiri menetapkan UU Darurat... (2)
UU Darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa UU Federasi...Lihat, B. Hestu
Cipto Handoyo, op. Cit., hlm. 64.
71
Dalam bagian “Menimbang” UUDS 1950 tercantum penjelasan
penggantian Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 berdasarkan
pertimbangan: Ini adalah kehendak rakyat dan dilaksanakan kehendak rakyat
ini, adalah, setelah terlebih dahulu dilakukan pembicaraan di antara pemerintah
Negara RI dengan Pemerintah Negara RIS yang mewakili Negara-negara
Bagian Indonesia Timur dan Sumatera Timur. Dan pembicaraan-pembicaraan
ini menghasilkan suatu persetujuan pendapat mengenai penggantian UUD
Konstitusi 1949 dengan UUDS RI No. 7 Tahun 1950. Ramdlon Naning, op. Cit.,
hlm. 82.
72
30
B. Hestu Cipto Handoyo, op. Cit., hlm. 65.
Dr. Rohidin, M. Ag
RIS menjadi UUDS RI. Perubahan konstitusi ini pada intinya
hanyalah penggantian sebagian pasal-pasal di dalamnya.73
Menurut catatan Mahfud MD, dilihat dari sudut bentuk,
UUDS 1950 merupakan bagian dari UU Federal No. 7 Tahun 1950
Tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia
Serikat menjadi UUDS RI.74 Dengan demikian fungsi UU No. 7
Tahun 1950 hanya memberlakukan UUDS, atau lebih tegasnya
hanya mengubah Konstitusi RIS menjadi UUDS, sehingga ketika
UUDS 1950 berlaku maka tugas UU No. 7 Tahun 1950 telah selesai.
Secara anatomik, UUD 1950 terdiri atas 6 Bab dan 146 pasal.
Sebagaimana telah ditegaskan diatas UUDS 1950 merupakan
perubahan dari Konstitusi RIS 1949, maka perihal HAM secara
umum juga memiliki kesamaan meskipun terdapat perbedaanperbedaan yang prinsipil. Menurut Soepomo, sebagaimana dikutip
oleh Majda, setidaknya terdapat tiga perbedaan mendasar antara
UUDS 1950 dengan Konstitusi RIS 1949 dalam penegasan tentang
HAM. Pertama, pernyataan meliputi kebebasan bertukar agama
dan keyakinan sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 Konstitusi
RIS 1949 tidak lagi ditegaskan dalam UUDS 1950. Kedua, hak
berdemonstrasi dan hak mogok kerja yang tidak terdapat pada
Konstitusi RIS 1949 diatur dalam Pasal 21 UUDS 1950. Ketiga,
pengadopsian dasar perekonomian pada Pasal 33 UUD 1945 dalam
Pasal 38 UUDS 1950.75
UUDS 1950 tidak hanya memberi penegasan mengenai hakhak asasi secara individu, tetapi juga memberi penekanan kepada
fungsi dan manfaat sosial. Hal tersebut tampak dalam penjelasan
tentang hak milik dalam Pasal 26 ayat (3) yang secara eksplisit
menyatakan, “hak milik itu adalah fungsi sosial”.76
73
Ibid., hlm. 65-66.
74
Majda El-Muhtaj, op. Cit., hlm. 77.
75
Ibid.,hlm. 107-108.
76
Ibid., hlm. 109.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
31
4. HAM Dalam UUD
[1959-Sekarang])
1945
(Pemberlakuan
II
Keberadaan UUDS 1950 dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia ternyata juga tidak berusia panjang. Dekrit Presiden
pada tanggal 5 Juli 1959 menyatakan UUDS 1950 sudah tidak
efektif lagi dan beralih kembali kepada pemberlakuan UUD 1945.
Kenyataan ini berimplikasi kepada materi muatan konstitusi itu
sendiri. Sehingga apa yang pernah dimuat dalam UUD 1945 pada
awal berlakunya dinyatakan berlaku kembali.
Berdasarkan hasil pemilu 1955, sebenarnya Konstituante diberi
kewenangan untuk melakukan penyusunan UUD yang tepat bagi
Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Bab V Pasal 134 UUDS
1950. Namun selama persidangan Majelis Konstituante sejak tanggal
10 November 1956 hingga 2 Juni 1959, telah terjadi perdebatan sengit
dalam tiga agenda sidang, yakni: dasar negara (1957), HAM (1958),
dan pemberlakuan kembali UUD 1945. Ide tentang pemberlakuan
kembali UUD 1945 muncul mengingat UUDS 1950 menganut sistem
pemerintahan liberal, supaya diperoleh kembali pemerintahan
dalam bentuk negara kesatuan, maka UUD 1945 menjadi pilihan
terbaik. Meskipun begitu, kemunculan ide ini mengundang reaksi
di kalangan Majelis Konstituante.77
Sementara itu, di luar Konstituante, Presiden Soekarno melalui
Rapat Dewan Menteri pada tanggal 19 Februari 1959 di Bogor telah
mengambil keputusan dengan suara bulat mengenai pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin (
) di bawah Soekarno
dengan menegaskan kembali ke UUD 1945. Keputusan Dewan
Menteri ini merupakan langkah awal pemberlakuan kembali UUD
1945. UUD 1945 dalam keputusan tersebut dipertahankan sebagai
keseluruhan, sedangkan mengenai perubahannya dikembalikan
pada Pasal 37 UUD 1945.78
77
Ibid., hlm. 80.
78
Keputusan Dewan Menteri ini menjadi alat mobilisasi kekuatan di luar
Konstituante, sehingga persidangan dalam Majelis Konstituante menjadi tidak
kondusif. Bahkan tekanan secara politik dilakukan oleh kekuatan Angkatan
Darat yang mendesak secepatnya untuk kembali kepada UUD 1945. Hal
tersebut merupakan bentuk intervensi pemerintah yang seharusnya tidak
32
Dr. Rohidin, M. Ag
Keadaan ini diperkeruh dengan suasana perpolitikan yang
semakin mengkhawatirkan. Berbagai pemberontakan sebagai
artikulasi politik yang tidak terakomodasi bermunculan. Atas dasar
kondisi tersebut maka Presiden Soekarno menyatakan negara
dalam keadaan darurat (Staat van Oorlog en Beleg) dan kemudian
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan:79
a. Pembubaran Konstituante.
b. Pemberlakuan kembali UUD 1945.
c. Penarikan kembali UUDS 1950 dan dalam waktu sesingkatsingkatnya mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan
sesuai dengan UUD 1945.
Sejak diberlakukannya UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 1959,
praktis secara yuridis UUD 1945 belum pernah mengalami
perubahan. Meskipun begitu, dalam praktik kenegaraan sebenarnya
sudah mengalami perubahan berulangkali, walapun hanya dalam
tataran penafsiran. Pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen, baik dalam era Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi
Pancasila (Orde Baru) ternyata hanya merupakan retorika politik
dari pemegang kekuasaan masing-masing era tersebut.80
Materi HAM dalam UUD 1945 tidak mengalami perubahan
1945
Indonesia.
Jika
mendapatkan
tempat dan implementasi yang relatif proporsional, tetapi jika
boleh terjadi.Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang terpusat di tangan
Soekarno mengakibatkan lemahnya kontrol atas pemerintahan. Hal tersebut
membuatPemerintahan Indonesia mengalami suasana tidak kondusif dan
memprihatinkan yang berpuncakpada peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Lihat, Ibid., hlm. 81.
79
Ibid., hlm. 82.
80
B. Hestu Cipto Handoyo, op. Cit., hlm. 278.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
33
akan mendapat perlakuan yang buruk.81
C.
Hak Kebebasan Beragama dalam Konstruksi Regulasi
di Negara Hukum Indonesia
Secara normatif, jaminan kebebasan kehidupan beragama di
Indonesia sebenarnya cukup kuat. Namun, keindahan aturanaturan normatif tidak serta-merta indah pula dalam kenyataannya.
Ada sebagian warga negara Indonesia yang merasa dikekang
kebebasannya dalam memeluk agama dan berkeyakinan. Kebebasan
itu hanya ada dalam agama yang “diakui” pemerintah, artinya kalau
memeluk agama di luar agama yang “diakui” itu maka ada efek yang
dapat mengurangi hak-hak sipil warga negara.
Prinsip kebebasan beragama di Indonesia di samping mengacu
kepada instrumen internasional mengenai HAM, juga mengacu
kepada konstitusi dan sejumlah undang-undang lainnya yang
berkaitan dengan penjaminan HAM. Di antaranya, UU No. 7
Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, UU
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam
Kovenan Internasional tentang pemenuhan hak-hak sipil dan
politik dari seluruh warga negara tanpa kecuali. Kovenan tersebut
ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 28
Oktober 2005 melalui UU No. 11 Tahun 2005. Penandatanganan
ini menjadi salah satu langkah awal yang diambil oleh pemerintah
dalam menegakkan hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya,
termasuk kebebasan beragama di Indonesia.
Jaminan konstitusional terkait hak kebebasan beragama
pertama-tama dapat dilihat dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD
1945 yang menyatakan bahwa:
81
34
Majda El-Muhtaj, op. Cit., hlm. 112.
Dr. Rohidin, M. Ag
1.
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta
berhak kembali.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya.
Secara eksplisit, pasal ini mengikuti prinsip-prinsip universal hak
asasi manusia dalam soal kebebasan sipil (civil liberties). Jaminan
kebebasan beragama adalah sebuah keniscayaan, namun Pasal 29
ayat (1) UUD 1945 membatasi hak tersebut dengan menetapkan:
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Implikasi dari
ayat ini adalah bahwa agama dan kepercayaan yang tidak ber“Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak dijamin haknya oleh negara.
Dengan kata lain, negara tidak menganggap seseorang sebagai
warga negara bila ia “tidak ber-Ketuhanan Yang Maha Esa” dan
karena itu ia tidak memperoleh perlindungan negara.82
Senada dengan pasal tersebut, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) melalui ketetapannya No. VII/MPR/1998 tentang
Piagam Hak Asasi Manusia Pasal 13 juga menegaskan bahwa
setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Penjaminan
yang sama juga dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi:
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agama dan kepercayaannya itu.” Keberadaan kedua pasal tersebut
(Pasal 28E dan Pasal 29), tidak saja menjadi konstruksi legal yang
memberikan perlindungan konstitusional bagi warga negara untuk
mempraktikkan kebebasan beragama dan keyakinan, namun
juga memberi pengakuan sosiologis atas fakta keberagamaan
82
Rocky Gerung “Agama dan Negara” dalam Ahmad Suaedy (dkk.),
Beragama, Berkeyakinan dan Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik
Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Publikasi Setara Institute,
Jakarta, 2009, hlm. 186.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
35
dan kebhinekaan yang telah lama tumbuh dan berkembang serta
menjadi modal sosial terbentuknya bangsa Indonesia.83
Selanjutnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM memberikan
landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak
dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam Pasal 22 ditegaskan:
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; (2)
Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Dalam Pasal 8 juga ditegaskan bahwa
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Dari pasal tersebut jelas bahwa negara (baca: Pemerintah)
adalah institusi yang pertama-tama berkewajiban untuk
menjamin kebebasan berkeyakinan dan segala sesuatu yang
menjadi turunannya, seperti pengakuan hak-hak sipilnya tanpa
diskriminasi. Dalam Pasal 1c UU No. 39 Tahun 1999 dijelaskan
bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan,
atau pengucilan yang langsung maupun tidak didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar suku, ras, etnis, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, dan aspek kehidupan lainnya”. Kebijakan tentang jaminan
kebebasan beragama juga terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
Politik Pasal 18, yang berbunyi:
83
M. Atho Muzhar berpendapat bahwa kebebasan beragama yang diatur
dalam kedua pasal tersebut bukanlah kemerdekaan yang tidak ada batasnya.
Hak-hak asasi manusia dalam beragama dan dalam hal-hal lainnya bukanlah
cek kosong yang dapat diisi dengan apa saja atau dengan common sense,
melainkan senantiasa dibatasi oleh kewajiban menghormati hak orang lain
dan karena itu dapat dibatasi oleh undang-undang. Lihat, Ahmad Suaedy
(dkk.), Islam, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Problematika Hak Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, The WAHID Institute, Jakarta, 2009,
hlm. 43-44.
36
Dr. Rohidin, M. Ag
1.
Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan,
dan beragama. Hak ini menyangkut kebebasan untuk
menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan
atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara
individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan
baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan
agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadat, ketaatan
pengamalan dan pengajaran.
2. Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu
kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu
agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
Sementara terkait dengan persoalan penyalahgunaan atau penodaan
agama, pemerintah mengaturnya dalam UU No. 1/PNPS/1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Pada Penjelasan Pasal 1 UU tersebut disebutkan bahwa: “Agamaagama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu (Confucius). Hal ini
dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama di Indonesia.
Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk
hampir seluruh penduduk Indonesia, maka selain mendapatkan
jaminan seperti yang tertuang dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945,
mereka juga mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti
yang diberikan oleh pasal ini.”84
Jika ditelusuri lebih lanjut, aspek-aspek yang dibatasi dalam
pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 1/PNPS/1965 masih
sangat luas, tidak saja mencakup kebebasan eksternal,85 tetapi
juga kebebasan internal.86 Ketentuan semacam ini oleh sebagian
84
Siti Musdah Mulia “Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di
Era Reformasi” dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama:
Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Efendi, ICRP, Jakarta, 2009, hlm.
341.
85
Kebebasan ini menegaskan bahwa setiap orang memiliki kebebasan,
secara individu maupun dalam masyarakat, secara publik maupun pribadi,
untuk memanifestasikan agama dan kepercayaannya dalam pengajaran,
pengamalan, dan peribadatannya.
86
Kebebasan pada level ini ingin menegaskan bahwa setiap orang
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
37
kalangan dirasa bertentangan dengan peraturan-peraturan yang
lain seperti Pasal 28E, Pasal 28I UUD 1945, Pasal 4 UU No. 39/1999
dan Pasal 18 Kovenan Hak Sipil Politik yang menganut pemisahan
antara kebebasan internal dan eksternal. Dalam konteks inilah
dapat kita lihat bahwa problematika mendasar tentang persoalan
kebebasan beragama ini adalah terkait dengan masih adanya
ketidakharmonisan antara satu peraturan dengan peraturan yang
lainnya sehingga melahirkan ketidakpastian hukum bagi warga
negara.
Namun perlu dicatat bahwa penyebutan ke-6 agama
tersebut tidaklah bersifat pembatasan yang membawa implikasi
pembedaan status hukum tentang agama yang diakui melainkan
bersifat konstatasi tentang agama-agama yang banyak dianut di
Indonesia. Hal ini diperjelas oleh undang-undang itu sendiri yang
menyatakan bahwa: “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain
seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia.
Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan Pasal 29
ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya…”. Karenanya, menjadi satu
keharusan bagi setiap agama, keyakinan, dan kepercayaan apapun
yang hidup di negeri ini untuk mendapatkan perlakuan yang setara
tanpa melihat ada tidaknya pengakuan legal dari negara tentang
keberadaannya.
Mengacu kepada dokumen HAM internasional, konstitusi, dan
sejumlah undang-undang sebagaimana telah disebutkan di atas,
maka bagi Musdah kebebasan beragama harus dimaknai sebagai
berikut:87
1.
Kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama
atau menentukan agama dan kepercayaan yang dipeluk,
serta kebebasan melaksanakan ibadat menurut agama dan
keyakinan masing-masing.
mempunyai hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak
ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau
kepercayaan atas pilihannya sendiri, termasuk untuk berpindah agama atau
kepercayaannya.
87 Ibid., hlm. 6-8.
38
Dr. Rohidin, M. Ag
2. 2.
Kebebasan dan kemerdekaan menyebarkan agama,
menjalankan misi atau berdakwah dengan syarat semua
kegiatan penyebaran agama itu tidak menggunakan caracara kekerasan maupun paksaan secara langsung maupun
tidak langsung. Demikian pula tidak mengeksploitasi
kebodohan dan kemiskinan masyarakat atau bersifat
merendahkan martabat manusia sehingga tidak dibenarkan
melakukan pemberian bantuan apa pun, pembagian bahan
makanan, pemberian beasiswa atau dana kemanusiaan
kepada anak-anak dari keluarga miskin atau pelayanan
kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam
agama tertentu.
3. Kebebasan beragama seharusnya mencakup pula kebebasan
untuk berpindah agama, artinya berpindah pilihan dari
satu agama tertentu ke agama lain. Setiap warga negara
berhak untuk memilih agama dan kepercayaan apapun
yang diyakininya dapat membawa kepada keselamatan
dunia dan akhirat. Karena itu, berpindah agama hendaknya
dipahami sebagai sebuah proses pencarian atau penemuan
kesadaran baru dalam beragama.
4. Kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebolehan
perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau
berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan sepanjang
perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan
eksploitasi. Artinya, perkawinan itu bukan dilakukan untuk
tujuan perdagangan perempuan dan anak (
in women and children) yang akhir-akhir ini menjadi isu
global.
5. Kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebebasan
mempelajari ajaran agama manapun di lembaga-lembaga
pendidikan formal, termasuk lembaga pendidikan milik
pemerintah. Konsekuensinya, setiap siswa atau mahasiswa
berhak memilih atau menentukan agama mana yang akan
dipelajarinya. Tidak boleh dibatasi hanya pada agama yang
dianut peserta didik. Demikian juga, kebebasan untuk
memilih tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Akan
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
39
tetapi, lembaga pendidikan dapat mewajibkan peserta
didiknya untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika
berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi
pembentukan karakter warga negara yang baik.
6. Kebebasan beragama memungkinkan negara dapat
menerima kehadiran sekte, paham, dan aliran keagamaan
baru sepanjang tidak menggangu ketenteraman umum
dan tidak pula melakukan praktik-praktik yang melanggar
hukum, seperti perilaku kekerasan, penipuan atau
pembodohan warga dengan kedok agama.
7. Kebebasan beragama mendorong lahirnya organisasiorganisasi keagamaan untuk maksud meningkatkan
kesalehan warga, meningkatkan kualitas kecerdasan
emosional dan spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu
selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu agama
atau keyakinan sebagai syarat. Konsekuensinya, negara
atau otoritas keagamaan apa pun tidak boleh membuat
fatwa atau keputusan hukum lainnya yang menyatakan
seseorang sebagai
label terhadap suatu paham, sekte, aliran keagamaan atau
kepercayaan tertentu sebagaipaham sesat.
8. Kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap
dan bertindak adil pada semua penganut agama dan
kepercayaan yang hidup di negara ini. Negara tidak
boleh memihak kelompok keagamaan tertentu dan
mendiskriminasikelompok lainnya. Dalam konteks ini
seharusnya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, juga
tidak ada istilah penganut agama samawi dan non-samawi.
Demikian juga tidak perlu ada istilah agama induk dan
agama sempalan. Jangan lagi ada istilah agama resmi dan
tidak resmi atau diakui dan tidak diakui pemerintah. Setiap
warga negara mendapatkan hak kebebasannya dalam
menentukan pilihan agamanya.
40
Dr. Rohidin, M. Ag
Dalam kenyataannya, “potret buram” perjalanan terkait
implementasi jaminan hak kebebasan beragama dalam konstruksi
peraturan perundangan di Indonesia ternyata juga tidak luput
dari sorotan Komite Anti Penyiksaan PBB. Salah satu keprihatinan
yang menjadi sorotan Komite Anti Penyiksaan PBB atas laporan
pelaksanaan Pasal 19 Tentang Konvensi Anti Penyiksaan oleh
Pemerintah Indonesia adalah terkait dengan isu agama “resmi” dan
”tidak resmi”. Dalam hal ini, Komite melihat adanya pembedaan
serius—sebagaimana termuat dalam sejumlah peraturan
perundang-undangan—antara Islam, Protestan, Katolik, Hindu,
Budha, dan Konghucu dengan agama dan aliran kepercayaan
lainnya. Dalam menghadapi kondisi tersebut, Komite selanjutnya
merekomendasikan agar Negara Pihak memperlakukan dengan
sama semua agama dan kepercayaan, menghargai kebebasan
berpikir, keyakinan, dan beragama berbagai kelompok etnis
minoritas dan/atau masyarakat indigeneous (indigeneous peoples).
Komite ini juga merekomendasikan agar kolom agama dalam KTP
dan Akte Kelahiran dihapuskan.
Menindaklanjuti hal ini, Dewan HAM PBB (Human Rights
Council) di Geneva mengeluarkan laporan tertanggal 16 Februari
2009 bertajuk Report of the Special Rapporteur on Freedom on
Religion or Belief yang memuat komentar Asma Jahangir berjudul
“Promotion and Protection of all Human Rights, Civil, Political,
Economic, Social and Cultural Rights, Including the Rights to
Development.” Dalam komentarnya, Asma mengingatkan kembali
akan kewajiban negara Indonesia untuk melindungi dan menjamin
kelompok minoritas apapun yang hidup di wilayah yurisdiksinya.
Dia mengingatkan akan kandungan Pasal 18 ayat (2) ICCPR yang
berbunyi: “Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu
kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau
kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.”88
Dari pasal-pasal yang mengatur tentang kebebasan beragama
di atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa meski secara
88
Ahmad Suaedy (dkk.), op. Cit., hlm. 8-9.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
41
konstitusi jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan
cukup kuat, namun pada tingkat implementasi masih terdapat
ragam kelemahan. Bahkan ada kesan, paradigma dan perspektif
pemerintah dalam melihat agama dan segala keragamannya tidak
berubah. Keragaman masih dianggap sebagai ancaman daripada
kekayaan. Watak negara yang ingin sepenuhnya menguasai segisegi kehidupan dalam masyarakat, terutama keyakinan, sebagai
ciri negara otoriter juga belum sepenuhnya hilang.
42
Dr. Rohidin, M. Ag
DUA
Konsep Dasar Kebebasan Beragama
A.
1.
Konsep Kebebasan Beragama di Negara Hukum
Indonesia
Arti dan Cakupan Konsep Kebebasan Beragama
Istilah kebebasan beragama merupakan frasa yang tersusun dari
dua kata “kebebasan” dan “beragama”. Secara etimologi kebebasan
berakar dari kata bebas, yang berarti lepas sama sekali (tidak
terhalang dan terganggu sehingga boleh bergerak, berbicara, dan
berbuat dengan leluasa).Selain itu, bebas juga memiliki arti lepas
dari kewajiban, tuntutan, tidak terikat atau terbatas oleh aturanaturan, dan merdeka.1 Sedangkan secara terminologis, Isaiah Berlin
membagi kebebasan dalam bentuk positif dan negatif. Kebebasan
dalam bentuk positif berarti ‘apa atau siapa’, yang bertindak sebagai
sumber hukum yang bisa menentukan seseorang untuk menjadi,
melakukan, atau mendapatkan suatu kebebasan, sementara dalam
bentuk negatif bersinggungan dengan ruang lingkup di mana
seseorang harus dihormati atau dilindungi untuk menjadi atau
melakukan sesuatu seperti yang dikehendakinya tanpa ada paksaan
atau larangan dari pihak lain.2
Dalam Kamus Hukum Black’s, kebebasan diartikan sebagai
sebuah kemerdekaan dari beragam bentuk larangan, kecuali
1
Dendy Sugono (red.), Kamus Bahasa Indonesia, Depdiknas, Jakarta,
2008., hlm. 153.
2
Isaiah Berlin, “Two Concepts of Liberty”, dalam David Miller (ed.),
Liberty, Oxford University Press, Oxford, 1991, hlm. 34.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
43
larangan yang telah diatur di dalam undang-undang.3 Pengertian
kebebasan yang diutarakan dalam kamus tersebut merupakan
kebebasan dalam bentuknya yang positif. Sesuai dengan pengertian
tersebut, kebebasan manusia tidak bersifat absolut, tetapi dibatasi
oleh peraturan hukum. Kebebasan dalam bentuk positif merupakan
kebebasan dalam sebuah bingkai aturan, sehingga dalam tataran
praktis setiap manusia mempunyai hak untuk melakukan ataupun
tidak melakukan sesuatu, selama hal tersebut tidak menyalahi
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Lain halnya dalam
bentuk negatif, yang mana kebebasan tersebut bersinggungan
dengan ruang lingkup, di mana seseorang harus dihormati dan
dilindungi untuk menjadi atau melakukan sesuatu seperti yang
dikehendakinya tanpa ada paksaan atau larangan dari pihak lain.4
Kebebasan dalam bentuk negatif ini dapat dilihat dalam kamus
John Kersey, yang mengartikan kebebasan sebagai kemerdekaan
meninggalkan atau bebas meninggalkan. Jadi, manusia bebas
untuk tidak melakukan atau meninggalkan suatu hal.5
Sedangkan kata kedua (beragama) memiliki akar kata yang
berupa agama. Banyak istilah yang digunakan untuk kata agama,
sesuai dengan tradisi bahasa yang digunakan, seperti religion dalam
masyarakat yang memiliki tradisi bahasa Inggris atau juga
dalam masyarakat dengan tradisi bahasa Arab. Baik istilah agama,
religion, maupun
secara umum memiliki kesepadanan
makna. Secara lexical meaning agama berarti ajaran, sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yang bertalian dengan
pergaulan antarmanusia dan manusia beserta lingkungan dengan
kepercayaannya. Sehingga, beragama, sebagai bentuk kata kerjanya,
3
Henry Campbell (ed.),
and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern,West
Publishing Co, St. Paul, 1990, hlm. 918.
4
Baca, Isaiah Berlin, “Two Concept of Liberty”,loc. Cit.
5
Telusuri selengkapnya dalam, Jay Newman, On Religious Freedom,
(E-Book), University of Ottawa Press, hlm. 18, dalam http://books.google.
&sig=v_ONZVSgZrVp1jV39xYlnKXaNJk (Diakses pada tanggal 12 Desember
2010).
44
Dr. Rohidin, M. Ag
berarti menganut (memeluk) agama, mematuhi segala ajaran
agama, dan taat kepada agama.6 Meskipun demikian, bagi kalangan
tertentu agama merupakan objek dari HAM yang paling sulit untuk
agama memiliki arti yang berbeda untuk
tujuan yang berbeda.7 Bahkan, beberapa instrumen internasional,
seperti ICCPR, hanya merumuskan tentang kebebasan beragama
agama itu sendiri.
Setiap agama memiliki pengertian sendiri tentang agama
dan unsur-unsur yang ada dalam agama tersebut. Selama ini
agama dari para pemeluk
agama. Setiap pemeluk agama mempunyai keyakinan dan cara
memanifestasikan keyakinan tersebut secara berbeda-beda.
Namun demikian, terdapat acuan yang bisa digunakan untuk
agama, yaitu dengan mengkaji
Pertama, adanya kepercayaan terhadap
Tuhan. Kedua, agama secara psikologis memengaruhi pemahaman
manusia yang mempercayainya. Ketiga, agama merupakan
kekuatan budaya dan sosial dari simbol-simbol yang melekat
padanya.8
agama belum
kebebasan beragama tidak bisa
dirumuskan dan dijalankan.
dikaitkan dengan konteks kehidupan beragama, maka kebebasan
beragama mengandung pengertian bahwa setiap individu memiliki
kebebasan untuk memeluk maupun tidak memeluk suatu agama.
Sejalan dengan pengertian ini, Al Khanif menyatakan bahwa:
“Pengertian kebebasan beragama mencakup hak untuk
mempunyai atau menetapkan suatu agama atau kepercayaan,
di mana hak tersebut adalah hak untuk meyakini atau tidak
meyakini sama sekali suatu agama, baik yang bersifat theistik
6
Dendy Sugono (red.), op. Cit., hlm. 17.
7
Timothy Macklem, ” Faith as a Secular Value”,
February 2000, hlm. 10.
8
,
Ibid., hlm. 106.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
45
maupun yang non-theistik, dan untuk memanifestasikan
bentuk-bentuk ritual keagamaan baik sendiri-sendiri maupun
di masyarakat dan di tempat umum atau pribadi seperti yang
diatur di dalam hak asasi manusia internasional.”9
Jika konsep kebebasan beragama secara umum dihubungkan
dengan konsep kebebasan dalam kamus Black’s—sebagaimana
terurai di atas—maka kebebasan beragama tidak bersifat mutlak,
tetapi terdapat batas-batas tertentu yang ditetapkan oleh
pemerintah melalui konstitusi sebagai upaya untuk melindungi
hak-hak warga negara lainnya, menjaga ketertiban umum, dan
menjaga kedaulatan negara.
Secara substansial, tidak jarang agama atau kepercayaan
cenderung menjadi konglomerasi dari berbagai nilai-nilai, klaim,
dan hak. Kebebasan beragama itu sendiri memiliki beberapa
dimensi. Sebuah agama tidak hanya menyangkut kepercayaan
seseorang, akan tetapi terkait juga dengan pengajaran, nilai,
kepercayaan, dan beribadat yang sama hubungannya dengan
manifestasi dari nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan
masyarakat. Terdapat kecenderungan yang kuat di antara berbagai
agama untuk memasukkan ajaran dan aturannya menuju sebuah
ketundukan yang sempurna, dan dalam prosesnya, mereka kadang
memengaruhi banyak aspek dari kehidupan manusia, termasuk
sistem kekerabatan, pernikahan, hubungan keluarga, pengawasan
anak, keturunan, aturan publik, makanan dan pola diet, serta
kebebasan berekspresi dan berserikat.
Salah satu kesulitan dari ajaran agama atau kepercayaan adalah
munculnya monopoli tentang kebenaran yang mutlak. Agama dan
kepercayaan cenderung kaku dan para pengikutnya tidak mampu
mentolelir terhadap kompetisi nilaiagama lain.
Sebagaimana dikemukakan Macaulay, tindakan intoleransi ini
dapat menggiring pengikutnya pada sebuah anggapan bahwa; “Aku
yang benar dan kamu yang salah. Jika kamu kuat, maka kamu harus
mentolelir aku dan seperti itulah kewajibanmu untuk mentolelir
9
46
Al Khanif, op. Cit., hlm. 108.
Dr. Rohidin, M. Ag
kebenaran. Tetapi jika aku kuat, maka aku akan menghukummu
sebab seperti itulah kewajibanku untuk menghukummu”. Intinya,
bagi penganutnya, agama adalah moralitas itu sendiri dan pondasi
dasar yang bersifat transendental yang lebih tegas dalam hal
kewajiban daripada rival sekuler, atau ajaran agama-agama lain.10
Berkaitan dengan hal itu, muncul tiga pandangan yang
berupa; pertama, universal absolut. Menurut pandangan ini,
HAM merupakan nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan
dalam dokumen-dokumen HAM internasional, ICCPR misalnya.
masing bangsa tidak diperhitungkan, seperti yang tercantum
dalam
yang di antaranya
menyebutkan bahwa; “As human rights are of universal concern
and are universal in value, the advocacy of human rights can not
be considered to be an encroachment upon national sovereignity”.
Rumusan tersebut menyatakan bahwa kedudukan HAM sebagai
persoalan dan memiliki nilai universal, di samping pembelaannya.
Sehingga, tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran atas kedaulatan
nasional suatu bangsa.11 Maka, berdasarkan pada pandangan ini
hak kebebasan beragama seperti yang telah ditetapkan dalam
ICCPR juga berlaku secara mutlak tanpa mempertimbangkan
sosio-kulturalsuatu negara.
Kedua, universal relatif. Konsep ini berpandangan bahwa HAM
merupakan persoalan universal. Namun demikian, pengecualian
dan pembatasan—sebagimana terdapat dalam DUHAM dan
ICCPR—yang didasarkan atas asas-asas hukum nasional tetap
diakui keberadaannya. Pandangan ini selaras dengan Pasal 29, ayat
(2) dalam DUHAM, yaitu:
Javaid Rehman, “Accommodating Religious Identities in an
Islamic State: International Law, Freedom of Religion and the Rights
of Religious Minorities” dalam International Journal on Minority and
7: 2000, hlm. 147-148.
10
11
Perkembangan Dimensi HAM dan Proses Dinamika
Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor,
2005, hlm. 78.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
47
“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall
be subject only to such limitations as are determined by law
solely for the purpose of securing due recognition and respect
for the rights and freedoms of others and of meeting the just
requirements of morality, public order, and the general welfare
in a democratic society”.
Artinya, batasan-batasan tersebut sangat ditentukan oleh hukum
yang bertujuan untuk melindungi dan mengapresiasi hak-hak
dan kebebasan orang lain, di samping pemenuhan aspek, moral,
norma, dan kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, partikular. Bagian ini terbagi dalam dua bentuk,
yakni absolut dan relatif. Partikular-absolut berpandangan bahwa
HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa, tanpa memberi
alasan kuat, khususnya dalam melakukan penolakan tehadap
berlakunya dokumen-dokumen internasional. Pandangan ini
kerap menimbulkan kesan chauvinist. Sementara partikularrelatif berpandangan bahwa konsep HAM, di samping dilihat
sebagai masalah universal, juga merupakan masalah nasional
masing-masing bangsa. Berlakunya dokumen-dokumen HAM
internasional harus diselaraskan, diserasikan, dan diseimbangkan
serta memperoleh dukungan budaya bangsa masing-masing.
Pandangan ini tidak hanya menjadikan kekhususan pada masingmasing bangsa untuk bersikap defensif, tetapi di lain pihak juga
aktif mencari perumusan dan pembenaran (vindication) terhadap
karakteristik HAM yang dianutnya. Pandangan ini tampak terlihat
dalam The Jakarta Message, Butir 18, yang di antaranya berbunyi:
human rights and fundamental freedom
are of universal validity... No country however, should use its
power to dictate its concept of democracy and human rights
or to impose conditionalities on others. In the promotion and
the protection of these rights and freedoms, we emphasize the
interrelatedness of the various categories, call for the balanced
relationship between individual and community rights, uphold
48
Dr. Rohidin, M. Ag
the competence and responsibility of national government in
their implementation.”
HAM dan kebebasan dasar manusia bersifat universal. Meski
demikian, suatu negara tidak diperbolehkan untuk melakukan
intervensi terhadap negara lain dalam dua persoalan tersebut.
Dalam hal ini, keseimbangan peran tiga elemen suatu negara, yakni
hak individu, masyarakat, dan negara, sangat dibutuhkan.
2. Konsep Negara Hukum Pancasila sebagai Pola
Prismatik Berkaitan dengan Kebebasan Beragama
Istilah negara secara lexical meaning berarti organisasi dalam suatu
wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati
yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi
di bawah lembaga politik, mempunyai kesatuan politik, berdaulat
sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.12 Sementara
hukum dapat dipahami sebagai seperangkat peraturan yang dibuat
oleh penguasa atau adat yang berlaku bagi semua orang dalam
suatu masyarakat (negara). Ia juga bisa diartikan denganundangundang atau peraturan untuk mengatur pergaulan hidup dalam
masyarakat, di samping juga bisa diartikan denganpatokan (kaidah
atau ketentuan) mengenai suatu peristiwa yang tertentu.13
Penyebutan negara hukum untuk RI selama ini telah populer di
masyarakat Indonesia. Namun demikian, secara konseptual istilah
negara hukum masih menuai kontroversi yang belum berakhir.
Secara umum, istilah tersebut dianggap terjemahan dari dua istilah,
yakni; rechtsstaat dan the rule of law. Kedua istilah tersebut secara
konseptual kerap dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum,
karena keduanya tidak terlepas dari gagasan untuk memberi
pengakuan dan perlindungan terhadap HAM. Akan tetapi, secara
mendasar keduanyamempunyai latar belakang dan pelembagaan
12
Dendy Sugono (red.), op. Cit., hlm. 1069
13
Ibid., hlm. 559.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
49
yang berbeda, meskipun secara esensial sama-sama menginginkan
perlindungan bagi HAM melalui lembaga peradilan yang bebas
dan independen.
Rechtsstaat merupakan konsep negara modern yang
populer di Eropa sejak abad XIX dan kemudian menyebar ke
seluruh dunia. Istilah tersebut dikampanyekan oleh beberapa
tokoh terkemuka, seperti Immanuel Kant, Paul Laband, Julius
Stahl, dan Fitche. Konsep tersebut lahir dari suatu perjuangan
menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner. Konsep
tersebut banyak dianut di negara-negara Eropa Kontinental yang
bertumpu pada sistem civil law atau modern roman law, yang
memiliki karakteristik administratif. Menurut Stahl, sebagaimana
dikutip Jimly Asshiddiqie, elemen penting yang dicakup oleh
konsep tersebut berupa (1) perlindungan HAM, (2) pembagian
kekuasaan, (3) pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan
(4) peradilan tata usaha negara.14 Mengenai istilah the rule of law
mulai poluler dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn
14
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi,
Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 148. Dalam perkembangannya, konsep
rechtsstaat mengalami transformasi dari bentuk klasik ke bentuk modern.
Berdasarkan sifatnya, konsep rechtsstaat klasik disebut dengan “Klassiek
liberale en democratischerechtsstaat”, yang sering disingkat dengan
“Democratische Rechtsstaat”. Konsep klasik ini menurut S.W. Couwenberg
dalam karyanya Westers Staatsrecht als Emancipatieproces memiliki lima
asas dan prinsip-prinsip dasar yang meliputi sepuluh bidang. Lima asas
tersebut berupa: asas hak-hak politik, asas mayoritas, asas perwakilan, asas
pertanggungjawaban, dan asas publik. Sedangkan 10 prinsip tersebut adalah
(1) pemisahan antara negara dengan masyarakat sipil, pemisahan antara
kepentingan umum dan kepentingan khusus perorangan, pemisahan antara
hukum publik dan hukum privat, (2) pemisahan antara negara dengan gereja,
(3) adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil, (4) persamaan terhadap
undang-undang, (5) adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan
negara dan dasar sistem hukum, (6) pemisahan kekuasaan berdasarkan trias
politica dan sistem “chek and balances”, (7) asas legalitas, (8) ide tentang
aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman yang tidak memihak dan
netral, (9) prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa oleh
pengadilan yang bebas dan tidak memihak dan berbarengan dengan prinsipprinsip tersebut diletakkan dengan prinsip tanggung gugat negara secara
yuridis; dan (10)prinsip pembagian kekuasaan, baik teritorial sifatnya maupun
vertikal (sistem federasi maupun disentralisasi). Lihat, Philipus M. Hadjon,
Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsipprinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dan Lingkungan Peradilan Umum
dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1987,
hlm. 74-77.
50
Dr. Rohidin, M. Ag
Dicey tahun 1885 dengan judul Introduction to the Study of the
Law of the Constitution.15 Konsep tersebut banyak dikembangkan
di negara-negara dengan tradisi Anglo Saxon yang bertumpu pada
sistem common law, yang memiliki karakteristik judicial. Unsurunsur penting yang dimiliki oleh konsep tersebut menurut Dicey,
sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie, adalah (1) supremacy of
law, (2) equality before the law, dan (3) due process of law.16
Jika dilihat dari ciri-cirinya, kedua konsep tersebut memiliki
persamaan dan perbedaan yang cukup mendasar. Persamaannya,
kedua konsep tersebut menitikberatkan pada upaya memberikan
perlindungan pada hak asasi manusia, sehingga untuk mencapai
hal tersebut harus diadakan pemisahan atau pembagian kekuasaan
di dalam negara. Dengan cara ini pelanggaran atas hak asasi
manusia dapat diminimalisasi, dan bahkan dicegah. Adapun
perbedaan kedua konsep tersebut terlihat pada pelembagaan
dunia peradilannya, di mana keduanya menawarkan lingkungan
yang berbeda. Pada konsep rechtsstaat terdapat lembaga peradilan
administrasi yang merupakan lingkungan peradilan yang berdiri
sendiri, sedangkan pada konsep the rule of law tidak terdapat
lembaga peradilan administrasi, sebagai lingkungan yang berdiri
sendiri. Di dalam konsep tersebut semua orang dianggap memiliki
kedudukan yang setara di depan hukum, sehingga bagi warga
negara maupun bagi pemerintah harus disediakan peradilan yang
sama.
Dilihat dari ciri-ciri tersebut, terlihat jelas betapa peranan
pemerintah hanya sedikit, karena dalam konsep tersebut terdapat
dalil “pemerintahan yang paling sedikit yang paling baik”. Karena
sifatnya yang pasif dan tunduk pada kemauan rakyat yang liberalistik
itulah, negara hanya diposisikan sebagai nachtwachterstaat (negara
penjaga malam). Sebagai nachtwachter, pemerintah memiliki ruang
gerak yang sangat sempit tidak hanya di wilayah politik, tetapi
juga pada sektor ekonomi, dengan dalil laisses faire, laissez aller
(keadaan ekonomi negara akan sehat jika setiap manusia dibiarkan
mengurus kepentingan ekonominya masing-masing).
15
Ibid., hlm. 72.
16
Jimly Asshiddiqie, op. Cit., hlm. 148.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
51
Konsep negara hukum (formal) tersebut secara perlahan
mendapatkan gugatan menjelang pertengahan abad XX, tepatnya
setelah Perang Dunia. Beberapa faktor yang menyebabkannya
menurut Miriam Budihadjo, sebagaimana dikutip Mahfud MD,
antara lain adalah ekses-ekses dalam industrialisasi dan sisitem
kapitalis, tersebarnya paham sosialisme yang menginginkan
pembagian kekuasaan secara merata serta kemenangan beberapa
partai sosialis di Eropa.17 Konsep yang memasung peran pemerintah
dalam mengatur persoalan sosial-ekonomi rakyatnya bergeser
pada konsep baru bahwa negara harus bertanggungjawab atas
kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, pemerintah harus bersifat
aktif dan tidak boleh diposisikan sebagai nachtwachter dalam
membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan
mengatur sektor tatanan sosial dan perekonomian. Demokrasi,
dalam konsep baru ini, diperluas agar dapat menjangkau dimensi
ekonomi dengan sistem, yang dapat menguasai kekuatan-kekuatan
ekonomi dan berusaha memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi,
terutama kemampuan dalam mengatasi ketidakmerataan distribusi
kekayaan di kalangan warga negaranya. Konsep baru tersebut
dikenal dengan istilah welfaartsstaat (negara hukum material),
yang kemudian dikenal dengan verzorgingsstaat.18
17
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media,
Yogyakarta, 1999, hlm. 25.
18
Welfaartsstaat dan verzorgingsstaat merupakan konsep-konsep
sosiologi dan ilmu politik. Pada masa Kabinet Loebers, di Belanda konsep
verzorgingsstaat dirasakan terlalu mahal untuk dilaksanakan, sehingga ia
menjalankan kosep warborgstaat. Dengan konsep tersebut, pemerintah
menyediakan minimum warborg dan kekurangannya diserahkan kepada
rakyat untuk mengusahakannya secara individu melalui asuransi partikelir.
Dalam konsep yuridis, A.M. Denner, sebagaimana dikutip Philipus M.
Hadjon, berpendapat bahwa sosiale rechtsstaat lebih baik daripada istilah
welfaartsstaat. Akan tetapi, S.W. Couwenberg berpandangan jika sosiale
rechtsstaat merupakan varian dari liberal-democratischerechtsstaat. Varian
tersebut di antaranya adalah (1) interpretasi baru terhadap hak-hak klasik dan
munculnya serta dominasi hak-hak sosial, konsepsi baru tentang kekuasaan
politik dalam hubungannya dengan kekuasaan ekonomi, konsepsi baru
tentang makna kepentingan umum, karakter baru dari wet dan wetgeving, (2)
kebebasan dan persamaan, yang dalam konsep klasik bersifat formal-yuridis,
dalam konsep sosiale rechtsstaat ditafsirkan secara riil dalam kehidupan
masyarakat, bahwa tidak terdapat persamaan mutlak di dalam masyarakat
antara individu yang satu dengan yang lain. Hak-hak sosial, ekonomi, dan
kultural mendapat perhatian utama, (3) legitimasi kekuasaan politik tidak
52
Dr. Rohidin, M. Ag
Dengan meluasnya kampanye dan mulai diterimanya
konsep baru tersebut, ciri-ciri negara hukum yang digagas oleh
Stahl dan Dicey di atas kemudian ditinjau kembali sehingga
dapat menggambarkan peranan aktif pemerintah dalam rangka
mensejahterakan rakyatnya. Dalam sebuah konferensi yang digelar
di Bangkok pada tahun 1965, International Commmision Jurist
menekankan bahwa di samping hak-hak politik bagi rakyat, harus
diakui pula adanya hak-hak sosial-ekonomi, sehingga standarisasi
dasar sosial-ekonomi perlu dibentuk. Dalam kesempatan itu pula,
komisi tersebut merumuskan unsur-unsur pemerintahan yang
demokratis di bawah rule of law, yaitu:19
a. Perlindungan konstitusional. Artinya, selain menjamin
hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara
prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak
yang dijamin.
b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
c. Pemilihan umum yang bebas.
d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat.
e. Kebebasan berserikat atau berorganisasi dan beroposisi.
f. Pendidikan kewarganegaraan.
lagi merupakan masalah pokok, tetapi kekuasaan ekonomi dalam masyarakat
kapitalis yang liberal dan kaitan antara kekuasaan ekonomi dan kekuasaan
politik, (4) kepentingan umum sebagai asas hukum publik, tidak lagi diartikan
sebagai kepentingan negara sebagai kekuasaan yang menjaga ketertiban
atau kepentingan kaum borjuis sebagai kepentingan negara sebagai basis
masyarakat dari hukum liberal, (5) watak undang-undang, yang dalam konsep
klasik bersifat restriktif,
dan stabiliserend, mulai luntur karena
fungsi wetgeving hanyalah sebagai formeel-juridische basis van een sosialgeorenteerd overheidsbeleid. Dengan demikian, undang-undang dengan watak
ratio scripta direduksi menjadi een juridis instrument ter realisering van dit
beleid. Lihat,Philipus M. Hadjon, op. Cit., hlm. 77-78.
19 Lihat, Moh. Mahfud MD, op. Cit., hlm. 26. dan Sri Sumantri, Tentang
Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Citra Aditya Bhakti, Bandung,
Conference of Jurist, Bangkok, Februari, 15-19, 1965, The Dynamic Aspect of
the Rule of Law in the Modern Age, International Commission of Jurist, 1965,
hlm. 30-50.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
53
Berdasarkan berbagai prinsip negara hukum yang telah
dikemukakan di atas serta melihat kecenderungan perkembangan
negara hukum modern yang melahirkan prinsip-prinsip penting
untuk mewujudkan negara hukum, Jimly Asshiddiqie merumuskan
dua belas prinsip pokok, sebagai pilar-pilar utama yang menyangga
berdirinya negara hukum. Kedua belas prinsip tersebut adalah:20
a. Supermasi hukum (supremacy of law).
b. Persamaan dalam hukum (equality before the law).
c. Asas legalitas (due process of law).
d. Pembatasan kekuasaan.
e. Organ-organ penunjang yang independen.
f. Peradilan bebas dan tidak memihak.
g. Peradilan tata usaha negara.
h. Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).
i.
Perlindungan hak asasi manusia.
j.
Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat).
k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara
(welfare rechtsstaat).
l.
Transparansi dan kontrol sosial.
Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, gagasan mendasar
tentang pembentukan negara adalah konstitusionalisme dan
paham negara hukum. Adanya konstitusi merupakan konsekuensi
dari penerimaan atas konsep negara hukum. Maka, ketika para
pendiri Negara Indonesia bermusyawarah guna menyusun sebuah
konstitusi berarti secara sadar mereka telah memilih konsep
negara hukum. Hal tersebut dilakukan karena adanya konstitusi
berfungsi membatasi secara hukum kekuasaan pemerintah,
20
54
Jimly Asshiddiqie, op. Cit., hlm. 150.
Dr. Rohidin, M. Ag
sehingga penggunaannya tidak melanggar hak asasi manusia
dan tidak melampaui batas-batas kewenangan yang diberikan
di dalam konstitusi tersebut. Naskah UUD yang disahkan pada
tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI secara umum menjelaskan
dengan mengatakan bahwa Indonesia Negara berdasar atas hukum
(rechtsstaat). Akan tetapi, UUD 1945 tidak memuat pernyataan
yang jelas tentang konsep negara hukum yang mana, yang dianut
di Indonesia, bahkan istilahnya pun tidak disebut secara eksplisit,
baik di dalam Pembukaan maupun Batang Tubuhnya. Konsep yang
kemudian muncul di negara ini adalah Negara Hukum Pancasila.
Jika ditelusuri dari latar belakang sejarahnya, baik konsep
the rule of law maupun konsep rechtsstaat lahir dari suatu usaha
atau perjuangan menentang kesewenangan penguasa. Berbeda
dengan Negara RI, sejak dalam perencanaan berdirinya jelas-jelas
menentang segala bentuk kesewenangan dan absolutisme. Oleh
karenanya, jiwa dan Negara Hukum Pancasila seyogianya tidaklah
begitu saja mengalihkan konsep the rule of law ataupun konsep
rechtsstaat. Terlebih lagi jika dilihat melalui kandungan UUD 1945
tentang HAM, di mana dalam proses pembuatannya didasarkan
pada konsepsi negara hukum itu sendiri yang berintikan pada
perlindungan HAM yang harus dikawal oleh adanya lembaga
peradilan yang bebas. Artinya, pemilihan atas konsepsi negara
hukum disebabkan oleh pilihan lebih dahulu pada pengakuan dan
perlindungan HAM. Perdebatan antara Soekarno-Soepomo, di satu
sisi, dan Hatta-Yamin, di sisi yang lain, dalam proses pembuatannya
pada akhirnya menghasilkan kompromi dengan dimuatnya secara
terbatas ketentuan-ketentuan tentang HAM pada Pasal 27, 28, 29,
30, dan 31.21 Masuknya pasal-pasal tersebut memperlihatkan bahwa
konsepsi negara hukum dari tradisi Anglo Saxon yang berinisial rule
of law tersebut inheren di dalam UUD 1945, misalnya pada Pasal 7
yang menentukan bahwa setiap warga negara berkedudukan sama
di depan hukum dan pemerintahan. Akan tetapi, pada saat yang
bersamaan terlihat penggunaan istilah dalam bingkai rechtsstaat
dan pelembagaan dunia peradilan administrasi negara sebagai
21
Lihat cuplikan perdebatan tersebut dalam, Moh. Mahfud MD, op. Cit.,
hlm. 135-136.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
55
cermin dari penganutan atas konsep negara hukum yang bersumber
dari tradisi Eropa Kontinental. Selain itu, ketentuan tersebut
juga menciptakan pemahaman bahwa konsepsi Negara Hukum
Pancasila berakar pada individualisme yang lebih mengutamakan
hak sipil dan politik, sebagaimana yang dikenal dalam konsep
negara hukum formal yang berakar pada legisme. Namun demikan,
pada saat yang bersamaan tampak ciri-ciri negara hukum material
yang sangat kental mewarnai UUD 1945. Adanya tujuan negara
yang dengan tegas mengharuskan pembangunan ‘kesejahteraan
umum’ dan menjadikan ‘keadilan sosial’ sebagai salah satu prinsip
kehidupan bernegara tidak dapat memberi kesimpulan selain
penegasan bahwa Indonesia menganut konsep negara hukum
material yang tidak hanya bertugas menegakkan hukum, melainkan
juga bertugas menegakkan keadilan berdasarkan Pancasila.22
Kaitannya dengan ambiguitas tersebut, Sjahran Basah
mengatakan bahwa mengingat Pancasila telah dijabarkan di dalam
beberapa pasal Batang Tubuh UUD 1945, seperti pasal 27, 28, 29,
30, dan 34, maka di Negara Hukum Indonesia terdapat hak dan
kewajiban asasi manusia, hak perorangan yang bukan hanya harus
diperhatikan, tetapi juga harus ditegakkan dengan mengingat
kepentingan umum, menghormati hak orang lain, mengindahkan
kepentingan keselamatan bangsa, serta moral umum dan
ketahanan nasional berdasarkan undang-undang. Konsepsi yang
demikian tersebut, hak perorangan menjadi diakui, dijamin,
dan dilindungi namun dibatasi oleh dua hal, yakni fungsi sosial,
yang dianggap melekat pada hak milik; dan corak masyarakat
Indonesia, yang membebankan manusia perorangan Indonesia
dengan berbagai kewajiban terhadap keluarga masyarakat, dan
sesamanya.23Sementara menurut Philipus M. Hadjon, Negara
22
Lihat, Pembukaan UUD 1945 yang kemudian dielaborasikan pada
Batang Tubuh, seperti tergambar pada Pasal 22, Pasal 33 ayat (2), dan Pasal 34.
Pada Pasal 22 mempertegas adanya pengaruh konsep negara hukum material
yang berintikan pada pembangunan kesejahteraan umum sebagai tugas
pemerintah. Pada Pasal 33 ayat (2) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan Pasal 34 menegaskan bahwa
fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
23
56
Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi
Dr. Rohidin, M. Ag
Hukum Pancasila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:24
a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat
berdasarkan asas kerukunan.
b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaankekuasaan negara.
c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan
peradilan merupakan sarana terakhir.
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Dari empat ciri tersebut, lanjut Hadjon, perlindungan hukum bagi
masyarakat terhadap pemerintah seyogianya diarahkan kepada:25
a. Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau
sedapat mungkin mengurangi terjadinya sengketa; dalam
hubungan ini sarana perlindungan hukum yang preventif
patut diutamakan daripada sarana perlindungan hukum
yang represif.
b. Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa hukum antara
pemerintah dan rakyat dengan cara musyawarah.
c. Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan
jalan terakhir, peradilan hendaklah merupakan ultimum
remidium dan peradilan bukan forum konfrontasi sehingga
peradilan haruslah mencerminkan suasana damai dan
tenteram—terutama melalui hukum acaranya.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut, kita bisa mengambil
kesimpulan bahwa konsep Negara Hukum Pancasila, yang menjadi
di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 149.
24 Philipus M. Hadjon, op. Cit., hlm. 90.
25 Ibid., hlm. 90.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
57
dasar hukum Negara Indonesia, merupakan konsep sintesis dari
berbagai konsep yang berbeda tradisi hukumnya.
Secara substantif, konsepsi sintesis Negara Hukum Pancasila
mewakili semangat demokrasi dan hukum yang berakar pada budaya
bangsa Indonesia. Istilah tersebut dipakai guna mengakomodasi
berbagai karakter dan nilai yang tumbuh di Indonesia, seperti
kekeluargaan, keseimbangan, musyawarah, dan keserasian. Karena
hukum diformulasikan dalam rangka menjamin dan melindungi
hak-hak masyarakat, maka hukum harus sesuai dengan hukum dan
akar budaya masyarakat Indonesia.26
Nilai-nilai khas tersebutlah yang membedakan sistem hukum
Indonesia dengan sistem hukum lainnya sehingga muncul istilah
hukum Pancasila yang jika dikaitkan dengan literatur tentang
kombinasi antara lebih dari satu pilihan nilai sosial, disebut sebagai
pilihan nilai prismatik yang karenanya dalam konteks hukum dapat
disebut sebagai hukum prismatik.27 Konsep ini menurut Riggs,
26
Satjipto Rahardjo, “Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia”, dalam
Kompas, Jakarta, 2003, hlm. 10.
27
Istilah konsep hukum prismatik yang digagas oleh Mahfud MD dalam
memahami konsepsi Negara Hukum Pancasila, sebenarnya diilhami oleh teori
optik garapan Fred W. Riggs. Teori tersebut mengiaskan pesan sebagai cahaya
yang masuk ke prisma (segi tiga). Selain sebagai pemantul cahaya, prisma juga
memantulkan dirinya sendiri sebagai pelakunya. Dalam teori tersebut, Riggs
membagi masyarakat menjadi tiga varian:tradisional, prismatik, dan modern.
Riggs menilai masyarakat tradisional (memusat) sebagai masyarakat askriptif,
partikularistik, dan kekaburan. Menurutnya, model masyarakat tradisional
cenderung memandang dunia hanya dari sudut pandang kekeramatan,
supranatural, pandangannya hirarkis, dan lingkungannya dipenuhi upacaraupacara. Adapun masyarakat modern (memencar), dalam pandangan Riggs,
merupakan hubungan antarpribadi yang bersifat terbuka, proliferasi, dan
seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, NU, dan Persis. Sedangkan masyarakat
prismatik, oleh Riggs diletakkan di antara dua model masyarakat sebelumnya,
di mana pluralitas budaya dan sosial dalam masyarakat prismatik akan
memantulkan pesan dari bentuk memusat menuju memencar. Masyarakat
jenis demikian, dalam penilaian Riggs tidak lagi mempertontonkan perilaku
secara dikotomis. Relevansi istilah teori optik ini dengan konsep Negara Hukum
Pancasila adalah terletak pada varian masyarakat prismatik. Sebagaimana
telah dijelaskan, Riggs memosisikan varian masyarakat prismatik di antara
masyarakat tradisional dan modern, sementara konsep hukum prismatik
merupakan kombinasi atas nilai sosial paguyuban dan nilai sosial petembayan.
Lihat, Moh. Mahfud MD., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
LP3ES, Jakarta, 2006, hlm. 23.
58
Dr. Rohidin, M. Ag
sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD, merupakan kombinasi
atas nilai sosial paguyuban dan nilai sosial patembayan.28 Dua nilai
sosial ini saling memengaruhi warga masyarakat, yakni kalau nilai
sosial paguyuban lebih menekankan pada kepentingan bersama
dan nilai sosial patembayan lebih menekankan kepada kepentingan
dan kebebasan individu.29 Nilai prismatik diletakkan sebagai dasar
untuk membangun hukum yang penjabarannya dapat disesuaikan
dengan tahap-tahap perkembangan sosio-kultural masyarakat
yang bersangkutan.30
Senada dengan teori masyarakat prismatik ini, H.L.A. Hart menteorikan
bahwa masyarakat itu terdiri atas tatanan yang Primary rules of obligation dan
Secondary rules of obligation. Lihat, H.L.A. Hart, The Concept of Law, Oxford
University Press, London, 1972, hlm.89-96. Bandingkandengan, Satjipto
Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru,
Bandung, t.t., hlm. 43-45. Masyarakat yang berada pada peringkat primary
rules of obligation ditandai dengan kondisi seperti berikut: (1) komunitas
kecil, (2) didasarkan pada ikatan kekerabatan, (3) memiliki kepercayaan
dan sentimen umum, dan (4) berada di tengah-tengah lingkungan yang
stabil. Dalam kondisi seperti itu masyarakatnya tidak mengenal peraturan
terperinci, hanya mengenal standar tingkah laku, dan tidak ada diferensiasi
dan spesialisasi badan-badan penegak hukum. Penyelesaian sengketa pada
masyarakat semacam ini relatif masih sangat sederhana. Hal itu disebabkan
masyarakatnya berupa komunitas kecil yang didasarkan atas kekerabatan,
sehingga mekanisme kontrol sosial yang ada telah dapat menjalankan
fungsinya secara efektif. Sedangkan pada masyarakat dengan peringkat
secondary rules of obligation, masyarakatnya mempunyai kehidupan terbuka,
luas, dan kompleks. Kondisi tersebut menandai lahirnya dunia hukum dan
ditinggalkannya dunia pra-hukum, bersamaan dengan munculnya tiga macam
kaidah, yaitu: (1) rules of recognition, (2) rules of change, dan (3) rules of
adjudication. Masing-masing kaidah (rules) tersebut memegang otoritas untuk
menentukan apa yang merupakan hukum, bagaimana mengubahnya, dan
bagaimana menyelesaikan suatu sengketa. Lihat, Esmi Warassih Pujirahayu,
“Peranan Kultur Hukum dalam Penegakan Hukum”; dalam Masalah-Masalah
Hukum No. 2 Tahun 1995, hlm. 20.
28 Ibid., hlm. 20.
29 Ankie M. Hoogvelt, Sosiologi Masyarakat sedang Berkembang,
Rajawali Press, Jakarta, 1985, hlm. 87.
30 Ibid., hlm. 176.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
59
Ragaan. 2.1.
Konsep Masyarakat Prismatik. Sumber: Dielaborasi dari Fred W.
Riggs
Masyarakat Prismatik
(HukumPrismatik)
Masyarakat
Tradisional
(Hukum
Tradisional)
Masyarakat
Modern
(Hukum
Modern)
Menurut Mahfudz MD., setidaknya ada empat hal supaya prismatika
hukum dapat diwujudkan. Pertama, Pancasila memadukan
unsur yang baik dari paham individualisme dan kolektivisme. Di
sini diakui bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan
kebebasan asasi, namun sekaligus melekat padanya kewajiban
asasi sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial. Kedua, Pancasila
mengintegrasikan negara hukum yang menekankan pada civil law,
dan kepastian hukum serta konsepsi negara hukum the rule of law,
yang menekankan pada common law, dan rasa keadilan. Ketiga,
Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat
(law, as tool of social engineering) sekaligus hukum sebagai cermin
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (living law). Keempat,
Pancasila menganut paham religious nation state, tidak menganut
atau mengendalikan suatu agama tertentu (karena bukan negara
agama), tetapi juga bukan tanpa agama (karena bukan negara
sekuler). Di sini negara harus melindungi dan membina semua
pemeluk agama tanpa diskriminasi berdasarkan pertimbangan
60
Dr. Rohidin, M. Ag
mayoritas dan minoritas.31 Konsep Negara Hukum Pancasila yang
bersifat prismatik inilah yang bisa dijadikan titik tolak pemikiran
dalam merekonstruksi hukum kebebasan beragama di Indonesia.
B.
1.
Kebebasan Beragama dalam Tinjauan Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab
Arti dan Cakupan Konsep Kemanusiaan
Istilah kemanusiaan (humanity) berasal dari kata dasar manusia,
yang diartikan dengan makhluk yang berakal budi. Secara lexical
meaning kata kemanusiaandiartikan dengan: sifat-sifat manusia,
secara manusia, sebagai manusia, dan perikemanusiaan, segala
sesuatu yang layak bagi manusia.32
Noor Ms. Bakry mengikuti analisis logis, yang memasukkan
manusia dalam kelompok jenis hewan, yaitu organisme yang
berindra, sedang ciri pembeda bagi manusia untuk membedakan
hewan yang lain, karena manusia mempunyai akal budi yang
dapat mengatasi perjuangan hidupnya.33 Dari kata manusia
muncul istilah kemanusiaan, yang dapat diartikan sebagai bentuk
kesadaran, sikap, dan perbuatan yang selaras dengan nilai-nilai
kehidupan universal. Nilai-nilai ini dapat berupa pertimbanganpertimbangan tentang baik-buruk secara naluriah yang tertanam
dalam hati nurani manusia.
kemanusiaan
sebagai pandangan atau sikap hidup yang mengakui bahwa manusia
khusus, karena manusia memiliki struktur tersendiri, mempunyai
tendensi-tendensi tersendiri serta sikap dan hubungannya terhadap
dunia dan sesamanya yang tersendiri pula. Karenanya, cara hidup,
Mahfud MD, “Mimpi Demokrasi dari Bung Karno”, Jawa Pos,
27September 2006.
31
32
Dendy Sugono (red.), op. Cit., hlm. 987.
33
Noor Ms. Bakry, Orientasi Filsafat Pancasila, Liberti, Yogyakarta, 2001,
hlm. 102.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
61
cara berbahagia, caranya bekerja sama yang melekat pada diri
manusia mempunyai ciri-ciri yang khas, dan tidak terdapat di luar
lingkungan manusia.34
Hal demikian tersebut secara teknis diatur oleh sumber
daya kejiwaan, yaitu: akal, rasa, dan kehendak. Akal terfokus
pada kebenaran, rasa terfokus pada keindahan, dan kehendak
terfokus pada kebaikan. Ketiganya saling memengaruhi, sehingga
berbasis pada keterpaduan tiga elemen tersebut, manusia dapat
mengerti nilai-nilai hidup manusiawi yang sesuai dengan ide
kemanusiaannya.
Secara praktis konsep kemanusiaan dipahami bahwa setiap
manusia memiliki hak yang asasi untuk mendapat penghidupan
sedemikian rupa, sehingga ia bebas dari kesengsaraan, kekangan,
dan paksaan. Setiap manusia harus mempunyai mental yang
mengakui hak-hak itu. Karenanya, konsep kemanusiaan memiliki
tuntutan berupa usaha bersama untuk menyelenggarakan
kepentingan bersama dengan saling menghormati hak-hak insani,
dengan saling menghormati kebebasan manusia. Kepentingan
bersama tersebut sekaligus mengindikasikan pengertian bahwa
kekuasaan negara adalah untuk kepentingan warga negaranya.
Bagi Driyakara, pemerintah yang merepresi kemanusiaan
adalah pemerintah yang inhuman. Pemerintah diberi kekuasaan
menyelenggarakan tata tertib umum, supaya menciptakan kondisikondisi yang diperlukan untuk berbagai macam usaha manusia.35
Sebagai sebuah organisme, secara hakikat manusia memiliki
unsur-unsur monodualis sebagai berikut:36
34
A. Sudiarja (ed.), Karya Lengkap Driyakara: Esai-esai Filsafat Pemikir
yang Terlibat Penuh dengan Perjuangan Bangsanya, Kompas Media Nusantara,
Gramedia Pustaka Utama, Kanisius, dan Ordo Serikat Jesus Provinsi Indonesia,
Yogyakarta, 2006, hlm. 708-709.
35
Ibid., hlm. 712.
36
Disarikan dari: Noor Ms. Bakry, op Cit., hlm. 16-19. dan Kaelan, Filsafat
Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa , Paradigma, Yogyakarta, 2002, hlm. 162167.
62
Dr. Rohidin, M. Ag
a.
Susunan Kodrat Manusia
Pada hakikatnya manusia tersusun dari jiwa dan raga. Keduanya
berkait berkelindan satu sama lain, tanpa raga bukanlah manusia,
demikian juga tanpa jiwa. Jiwa manusia ini tersusun atas sumber
daya akal, rasa, dan kehendak, sementara raga manusia tersusun
atas: zat benda mati, zat nabati, dan zat hewani. Apabila dalam
kehidupannya manusia hanya mementingkan aspek kejiwaannya
saja, maka akan sulit baginya untuk mencapai kebahagiaan duniawi
yang bersifat jasmani. Hal senada juga berlaku pada saat manusia
hanya mementingkan aspek raganya saja, maka akan sulit baginya
untuk mencapai kebahagiaan rohani. Artinya, keseimbangan
keduanya merupakan harga mati dalam kehidupannya. Berkaitan
dengan statusnya sebagai warga Negara Indonesia, keseimbangan
Pancasila. Sehingga,
tujuan negara yang berdasarkan Pancasila adalah untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur sejahtera, baik lahir
maupun batin.
b.
Sifat Kodrat Manusia
Pada hakikatnya manusia memiliki dua sifat mendasar berupa
individu dan sosial. Hal ini dapat terlihat pada inkonsistensi
dominasi sifat tersebut dalam sikap dan perbuatannya seharihari, sewaktu-waktu sifat individualnya yang lebih mendominasi
dan sewaktu-waktu sifat sosialnya yang lebih dominan. Dua sifat
kodrati ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
sebagai unsur kodrat manusia. Jika dalam kehidupannya manusia
selalu didominasi oleh sifat individu saja, maka ia akan terlihat
individualis atau liberalis. Demikian juga sebaliknya, jika dalam
kehidupannya manusia hanya didominasi oleh sifat sosial saja,
maka ia akan terlihat sosialis atau kolektif. Artinya, dalam pola
hidup yang manusiawi keseimbangan keduanya adalah harga
mati.Berkaitan dengan statusnya sebagai warga Negara Indonesia,
Pancasila. Sehingga, tujuan negara yang berdasarkan Pancasila
adalah untuk mewujudkan masyarakat yang penuh kebahagiaan
dengan basis relasi manusia dengan masyarakatnya yang selaras,
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
63
serasi, dan seimbang, masyarakat yang berpaham kebersamaan
dan kekeluargaan.
c.
Kedudukan Kodrat Manusia
Pada hakikatnya manusia berkedudukan sebagai pribadi mandiri
dan juga sebagai makhluk Tuhan. Hal tersebut tampak bahwa
manusia adalah pribadi berdiri sendiri yang mampu untuk
berkreasi dan bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri dan
juga menyadari dirinya sebagai makhluk Tuhan. Dua hal ini
tidak dapat dimungkiri karena memang demikian kenyataanya.
Jika dalam kehidupannya manusia, baik secara pribadi maupun
bersama-sama, selalu menampakkan dirinya sebagai pribadi yang
berdiri sendiri terlepas dari pengaruh Tuhan, maka kelompok
manusia yang seperti ini hanya tampak mengandalkan kemampuan
akalnya, sehingga manajemen kehidupan bersamanya diatur atas
dasar pola pemikirannya sendiri tanpa adanya pengaruh dari ajaran
Tuhan. Hal senada juga terjadi, jika manusia dalam kehidupannya,
baik secara pribadi maupun bersama, selalu menampakkan sebagai
makhluk Tuhan tanpa memerhatikan manusia sebagai pribadi
yang mandiri, maka kelompok manusia yang seperti ini dalam
kehidupan bersamanya selalu mengandalkan ajaran dari Tuhan
dengan tafsiran yang dangkal tanpa menggunakan pertimbangan
akal budi. Artinya, keseimbangan akan dua kesadaran tersebut
adalah harga mati bagi manusia dalam menjalani hidup. Berkaitan
dengan warga Negara Indonesia, keseimbangan dua unsur ini
Pancasila. Hal tersebut tampak
jelas pada lima pasalnya.
2. Konsep Kebebasan Beragama Berbasis
manusiaan yang Adil dan Beradab
Ke-
Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa kebebasan
beragama di Indonesia secara yuridis-normatif telah diatur secara
mapan melalui sila pertama Pancasila sebagai kerangka dasarnya.
Namun demikian, kebebasan tersebut bukan berarti bebas tanpa
batas hingga membentur hak dan kebebasan orang lain. Dengan
64
Dr. Rohidin, M. Ag
kata lain, hukum kebebasan beragama di Indonesia didasarkan
pada sila kedua, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Unsur
yang terkandung dalam sila tersebut adalah berupa: adil dan
beradab serta keadilan dan keadaban.37
Sebagai pribadi yang mandiri, hubungan manusia antarsesama secara individu, dengan masyarakat secara komunal, dengan
negara secara administratif, dan dengan setiap manusia secara
universal, mempunyai hak dan kewajiban. Secara praktis, hubungan
keduanya seimbang, di mana tidak ada penekanan kepentingan
atas salah satu dari dua hal tersebut. Hak-hak yang dimiliki setiap
individu manusia dalam bernegara dan bermasyarakat di antaranya
adalah: hak untuk hidup, hak untuk memperoleh pendidikan,
hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak perlindungan
atas kesehatan, hak jaminan sosial di hari tua, dan hak beragama
dan (ber)-keyakinan. Hak-hak tersebut wajib dihormati dan
diselenggarakan oleh pemerintah dan oleh masing-masing manusia
dengan tetap memerhatikan statusnya sebagai makhluk sosial. Jika
pelaksanaan hak-hak tersebut hanya terbatas pada pemenuhan
dirinya sebagai makhluk individu belaka, maka yang akan terjadi
adalah seseorang cenderungmerugikan kepentingan manusia yang
lain, baik disadari ataupun tidak. Meskipun demikian, kepemilikan
hak-hak tersebut tidak berarti secara mutlak ia bebas untuk
melaksanakan haknya, melainkan dibatasi oleh adanya kewajiban
terhadap sesama manusia, masyarakat, maupun negara. Artinya,
kata adil dalam sila kedua dari Pancasila tersebut dipahami sebagai
bentuk kewajiban bagi pemerintah maupun manusia, secara
individu maupun komunal masyarakat dalam melaksanakan
pemenuhan hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia agar dapat
hidup layak sebagaimana manusia seutuhnya.
Hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang
dimiliki oleh setiap manusia tidak boleh dirampas oleh pihak
lain. Karena itu, pemaksaan untuk mengikuti kehendak pihak
lain dengan menggunakan kekerasan tidak dapat ditoleransi,
karena secara mendasar pemaksaan secara kekerasan atas manusia
37
Noor MS Bakry, Pancasila: YuridisKenegaraan, Liberty, Yogyakarta,
1985, hlm. 46.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
65
merupakan suatu bentuk pembudakan. Karenanya, pemerintah
dan masyarakat berkewajiban untuk memenuhi apa yang menjadi
hak setiap manusia. Pemenuhan kewajiban tersebut, baik terhadap
lingkungan masyarakatnya maupun terhadap pemerintah dan
negaranya, sebagai konsekuensi logis atas statusnya sebagai
makhluk sosial.
Ketentuan yang berlaku dengan pengertian sila kedua di
atas, sebagaimana telah dilansir sebelumnya, adalah bahwa setiap
manusia diakui memiliki derajat yang sama, hak dan kewajiban, dan
selaras dengan prinsip keadilan. Karenanya, apa yang telah menjadi
hak setiap manusia, terlebih persoalan keberagamaan yang menjadi
fokus buku ini, secara individu adalah objek penghormatan bagi
siapa pun. Penghormatan di sini mesti diimbangi pula dengan
pemenuhan kewajiban oleh setiap pribadi manusia terhadap
lingkungannya, karena manusia tidak hanya mempunyai pengertian
sebagai makhluk individu saja tetapi juga sebagai makhluk
sosial. Namun demikian, pengertian perikemanusiaan atau
internasionalisme di atas juga mesti diimbangi dengan kesadaran
bahwa manusia yang merupakan satu umat itu, duduk di berbagai
bagian dari muka bumi yang satu sama berbeda dalam keadaan
tanah dan iklimnya, dan lain-lain, sehingga perbedaan sifat dalam
diri masing-masing manusia adalah keniscayaan. Perikemanusiaan
atau internasionalisme dalam konteks Indonesia di sini sudah
barang tentu terkait erat dengan kultur masyarakatnya.
Dengan melihat konteks masyarakatnya yang terumuskan
dalam slogan “Bhineka Tunggal Ika”, sila pertama dan kedua dalam
Pancasila sebagai dasar negara, dan status religious nation state
yang berbasis pada hukum, maka konsep kebebasan beragama di
Indonesia dapat dirumuskan dengan pola jaminan perlindungan
atas hak kebebasan berkeyakinan dan beragama serta keyakinan
dan agama itu sendiri yang berbasis pada nilai kemanusiaan yang
adil dan beradab. Namun demikian, untuk menuju masyarakat yang
berkeadilan dan berkeadaban tersebut diperlukan pembumian
konsep civil society dalamkehidupan berbangsa dan bernegara.
Tanpa basis itu, kiranya mustahil bagi bangsa Indonesia untuk
menjadi masyarakat yang bebas beragama dengan basis keadilan
dan berkedaban.
66
Dr. Rohidin, M. Ag
3.
Membumikan Civil Society: Menuju Masyarakat
Berkeadilan dan Berkeadaban
a.
Tinjauan Umum tentang Konsep Civil Society
Sebagai sebuah wacana kontemporer, hingga saat ini belum ada
satu kesepakatan mengenai rumusan teoretis dan konsep yang
baku tentang civil society,
civil
society sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa
di mana konsep tersebut akan diterapkan. Sebagai titik tolak,
civil society dari
berbagai pakar di berbagai negara yang menganalisis dan mengkaji
fenomena tersebut.38
Pertama,
latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet.
Ia mengatakan yang dimaksud dengan civil societyadalah suatu
masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan
ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka
bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang
mereka yakini. Ruang ini timbul di antara hubungan-hubungan
yang merupakan hasil komitmen keluarga dan hubunganhubungan yang menyangkut kewajiban mereka terhadap negara.
Oleh karenanya, yang dimaksud civil society adalah sebuah ruang
yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara. Tiadanya
pengaruh keluarga dan kekuasaan negara dalam civil society ini
diekspresikan dalam gambaran ciri-cirinya, yakni individulisme,
pasar (market) dan pluralisme. Batasan yang dikemukakan oleh
Rau ini menekankan pada adanya ruang hidup dalam kehidupan
sehari-hari serta memberikan integritas sistem nilai yang harus
ada dalam civil society, yakni individulisme, pasar (market), dan
pluralisme.
38
Dalam konteks Indonesia, konsep civil society ini mengalami
penerjemahan yang berbeda-beda dan dengan sudut pandang yang berbeda
pula, seperti masyarakat madani, masyarakat sipil, masyarakat kewargaan,
masyarakat warga, dan civil society itu sendiri. Lebih lanjut lihat dalam, A.
Ubaidillah (dkk.), Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM & Masyarakat
Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta, 2000, hlm. 138-141.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
67
Kedua,
latar belakang kasus Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa civil
society merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi
dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela
terbesar dari sebuah negara, suatu ruang publik yang mampu
mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang
mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersamasama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas
dan solidarlitas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat
kelompok inti dalam civil society ini. Konsep yang dikemukakan
oleh Han ini menekankan pada adanya ruang publik (public sphere)
serta mengandung empat ciri dan prasyarat bagi terbentuknya
civil society, yaitu (1) diakui dan dilindunginya hak-hak individu
dan kemerdekaan berserikat serta mandiri dari negara, (2) adanya
ruang publik yang memberikan kebebasan bagi siapa pun dalam
mengartikulasikan isu-isu politik, (3) terdapat gerakan-gerakan
kemasyarakatan yang berdasar pada nilai-nilai budaya tertentu,
dan (4) terdapat kelompok inti di antara kelompok pertengahan
yang mengakar dalam masyarakat yang menggerakkan masyarakat
dan melakukan modernisasi sosial-ekonomi.
Ketiga,
Kim Sunhyuk, masih
dalam konteks Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan civil society adalah suatu satuan yang terdiri atas kelompokkelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakangerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari negara,
yang merupakan satuan dasar dari (re)-produksi dan masyarakat
politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang
publik guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan
kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip
pada adanya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang relatif
memosisikan secara otonom dari pengaruh dan kekuasaan negara.
Eksistensi organisasi-organisasi ini mensyaratkan adanya ruang
publik (public sphere) yangmemungkinkan untuk memperjuangkan
kepentingan-kepentingan tertentu.
68
Dr. Rohidin, M. Ag
Berbagai batasan dalam memahami terma civil society di atas,
jelas merupakan suatu analisis dari kajian kontekstual terhadap
performa yang diinginkan dalam mewujudkan civil society. Hal
tersebut dapat dilihat dari perbedaan penekanan (aksentuasi)
dalam mensyaratkan idealisme civil society. Akan tetapi, dari
ketiga batasan di atas secara global dapat ditarik benang merah
bahwa yang dimaksud dengan civil society adalah sebuah kelompok
atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan
penguasa dan negara, memiliki ruang publik (public sphere) dalam
mengemukakan pendapat, serta adanya lembaga-lembaga yang
mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.
Dengan kata lain, meskipun belum dapat dikatakan telah terjadi
semacam pembakuan konseptual hingga saat ini, setidaknya ada
beberapa esensi dari makna civil society tersebut. Pertama, adanya
individu dan kelompok-kelompok mandiri dalam masyarakat
(politik, ekonomi, dan kultur). Kemandirian ini diukur terutama
ketika mereka berhadapan dengan kekuatan negara. Kedua,
adanya ruang publik bebas sebagai tempat wacana dan kiprah
politik bagi warga negara. Ruang publik inilah yang menjamin
proses pengambilan keputusan berjalan secara demokratis. Ketiga,
kemampuan masyarakat untuk mengimbangi kekuatan negara,
kendati tidak melenyapkannya secara total. Negara, bagaimanapun
juga tetap diperlukan kehadirannya sebagai pengawas dan pelerai
penjamin keamanan internal dan perlindungan eksternal.39
Adanya fakta keragaman pada aspek pemahaman tentang
makna civil society tersebut bukan saja disebabkan karena teori
tentang civil society terus mengalami perkembangan, namun juga
karena konteks di mana teori-teori itu dikembangkan mengalami
banyak perubahan. Perdebatan mengenai civil society yang terjadi
akhir-akhir ini, sebagian besar muncul dari perbedaan perspektif
teoretis yang digunakan serta kemampuan dalam melakukan
kontekstualisasi dalam ruang sejarah dan masyarakat tertentu.
Tokoh-tokoh seperti Ernest Gellner, Norberto Bobbio, dan Serif
39
Muhammad A.S. Hikam, Islam: Demokratisasi & Pemberdayaan Civil
Society, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2000, hlm. x.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
69
Mardin, merupakan sebagian nama dari para pakar yang telah
menunjukkan beberapa kesulitan dan problematika penerapan
konsep civil society dalam beragam konteks masyarakat. Kendati
demikian, kesulitan-kesulitan dan problematika tersebut
tidak serta-merta harus diterjemahkan dengan tertutupnya
kemungkinan.40
Konsep civil society sendiri telah mengalami perubahan
pemahaman selama lebih dari dua abad terakhir, mulai dari era
hingga akhir abad kedua puluh ketika konsep tersebut “ditemukan”
kembali oleh para aktivis pro-demokrasi. Dalam rentang waktu
tersebut, setidaknya konsep civil society telah dipergunakan dalam
beberapa pengertian, yaitu: (1) sebagai visi etis dalam kehidupan
bermasyarakat, (2) sebagai sistem kenegaraan, (3) sebagai
sebuah elemen ideologi kelas dominan, dan (4) sebagai kekuatan
penyeimbang dari tegaknya sebuah negara.
b. Karakteristik Civil Society
1) Free Public Sphere
Free public sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai
sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang yang bebas,
individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksitransaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan
kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat ini dikemukakan oleh Hannah
Arendt dan Habermas. Lebih lanjut dikatakan bahwa ruang publik
secara teoretis bisa diartikan sebagai wilayah, di mana masyarakat
sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap
kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara
40
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hefner, bahwa upaya untuk
melaksanakan gagasan dan kiprah civil society bukanlah hal yang telah
ditentukan terlebih dahulu oleh sebuah “insting peradaban lama.” Justru
sebaliknya, ia ditentukan oleh budaya dan lembaga yang senantiasa
membutuhkan perubahan-perubahan dan ia masih berada dalam jangkauan
manusia untuk melakukannya. Lihat, Robert Hefner, “A Muslim Civil Society?:
(ed.), History and Civility: The History and Cross-Cultural Possibility of a
Modern Political Ideal, Transaction Press, New Brunswiek, 1998, hlm. 286.
70
Dr. Rohidin, M. Ag
merdeka setiap menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul,
serta memublikasikan informasi kepada publik.
Sebagai prasyarat untuk mengembangkan dan mewujudkan
civil society dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free public
sphere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Karena
ruang publik yang bebas dalam tatanan
civil society, maka akan memungkinkan terganggunya aspirasi
masyarakat yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh
penguasa yang tiran dan otoriter.
2) Demokrasi
Demokrasi merupakan satu entitas yang menjadi penegak
implementasi civil society dalam kehidupan. Salah satu asumsi yang
dapat dikemukakan adalah bahwa setiap warga negara memiliki
kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya
termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya, yaitu
sebuah sikap demokratis dengan masyarakat sekitarnya dengan
tidak mempertimbangkan suku, ras, dan agama. Dengan kata
lain, demokrasi bahkan merupakan salah satu syarat mutlak bagi
penegakan civil society. Penegakan demokrasi di sini mencakup
berbagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya,
pendidikan, ekonomi, dan sebagainya.
Sedikit bergeser ke wilayah wacana demokrasi dalam konteks
Islam, menarik jika kita membaca pemikiran Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) tentang demokrasi. Baginya, konsep demokrasi adalah
konsekuensi logis yang dianggapnya sebagai salah satu dimensi
dalam ajaran Islam. Menurut Gus Dur, terdapat beberapa alasan
mengapa Islam dikatakan sebagai agama demokrasi. Pertama, Islam
adalah agama hukum, dengan pengertian agama Islam berlaku bagi
semua orang tanpa memandang kelas. Kedua, Islam memiliki asas
permusyawaratan (
). Artinya, adanya
tradisi bersama dalam membahas dan mengajukan pemikiran
secara terbuka dan pada akhirnya diakhiri dengan kesepakatan.
Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan.41
41
Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, PT Remaja Rosdakarya,
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
71
Masih dalam konteks demokrasi, prisma pemikiran Gus Dur
yang lain juga terkait pembelaan terhadap minoritas. Undangundang menjamin akan perlakuan yang sama terhadap warga
masyarakat terkait kebebasan berpendapat, hak mendapatkan
keamanan, serta hak memilih dan berpindah agama, di mana
Muslim yang mayoritas harus dapat melindungi mereka yang
minoritas. Lebih jauh, ia mengatakan:42
“…merupakan pengingkaran hakikat demokrasi yang ingin kita
tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang
tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga negara kelas
dua. Dalam keadaan demikian, persamaan kedudukan semua
warga negara di muka undang-undang tidak akan pernah
tercapai.”
Dalam konteks ke-Indonesia-an yang pluralis, hendaknya Islam tidak
ditempatkan sebagai ideologi alternatif seperti memosisikan syariah
berhadapan dengan kedaulatan rakyat. Kontribusi Islam dalam demokrasi
bisa dicapai bila dari Islam ditarik sejumlah prinsip universalnya, seperti
persamaan, keadilan, musyawarah, kebebasan, dan rule of law. Dari sini,
dapat dibaca bahwa pemikiran demokrasi Gus Dur menunjukkan bahwa
ia telah menerima konsep demokrasi liberal atau parlementer dan secara
tegas menolak pemikiran atau “kedaulatan Tuhan” atau pemikiran yang
berusaha mengawinkan kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan rakyat,
seperti yang dirumuskan oleh ᏕL\Ɨ¶DO'ƯQ5D¶LV43
Bandung, 1999, hlm. 85. Meski banyak orang mengatakan bahwa ia adalah
seorang yang inkonsisten karena sering membuat manuver dan ide-ide
yang membingungkan dan dianggap menyesatkan umatnya, namun justru
keinginannya menampilkan nilai-nilai Islam dalam segi kehidupan masyarakat
Indonesia yang plural menunjukkan bahwa ia sangat konsisten. Hal ini terlihat
dari perjuangan dan komitmennya dalam menyuarakan demokrasi, penegakan
hak asasi manusia (pembelaan terhadap kaum minoritas, termasuk pembelaan
terhadap perempuan), serta keadilan bagi setiap warga tanpa membedakan
identitas serta latar belakang ideologi.
42
Abdurrahman Wahid, “Agama dan Demokrasi”,
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia,LKiS, Yogyakarta, 1995,
hlm. 111.
43
72
Dikutip dari, Ibid., hlm. 115.
Dr. Rohidin, M. Ag
“Saya bersedia memakai yang manapun asal benar dan cocok
dengan hati nurani. Saya tidak memperdulikan kutipan
dari Injil atau Bhagawad Gita, kalau benar maka harus kita
terima. Dalam masalah bangsa, ayat-ayat al-Qur’an kita pakai
secara fungsional, bukannya untuk diyakini secara teologis.
Keyakinan teologis dipakai dalam persoalan mendasar. Tetapi
aplikasi, soal penafsiran. Berbicara penafsiran berarti bukan
lagi masalah teologis, tetapi sudah pemikiran.”
Kedaulatan ada di tangan rakyat, ini merupakan kata kunci dari
“demokrasi”. Rakyat yang menentukan arah dan haluan negara
menuju masa depan dalam kehidupan yang adil dan beradab demi
kesejahteraan bangsa dan negara. Mereka akan menentukan masa
depan bangsa ini. Singkatnya, rakyat menginginkan keadilan,
kesejahteraan hidup lahir maupun batin, baik secara material
maupun spiritual.
3) Toleransi
Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan dalam civil society
untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati
aktivitas yang dilakukan orang lain. Toleransi ini memungkinkan
akan adanya kesadaran masing-masing individu untuk menghargai
dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh
kelompok masyarakat lain yang berbeda. Toleransi menurut
Nurcholish Madjid merupakan persolan ajaran dan kewajiban
melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata
cara pergaulan yang enak, antara berbagai kelompok yang berbedabeda, maka hasil itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat
dari pelaksanaan ajaran yang benar.
Azyumardi Azra pun menyebutkan bahwa masyarakat madani
(civil society) lebih dari sekadar gerakan-gerakan pro-demokrasi.
Masyarakat madani juga mengacu pada kehidupan yang berkualitas
dan tamaddan (civility). Sipilitas meniscayakan toleransi, yakni
kesediaan individu-individu untuk menerima pandanganpandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
73
4) Pluralisme
Sebagai sebuah prasyarat penegakan civil society, maka pluralisme
harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah
tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan
dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak bisa
dipahami hanya dengan menerima kenyataan masyarakat yang
majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk
menerima kenyataan pluralisme itu dengan penilaian positif
sebagai bentuk rahmat Tuhan.
Menurut Nurcholish Madjid, konsep pluralisme ini merupakan
prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani (civil society).
Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities
with in the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah suatu
keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui
mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check andbalance).
Dengan demikian pluralisme di sini dapat kita pahami sebagai
pandangan yang menghargai kemajemukan serta menghormati
pihak lain (other), membuka diri terhadap warna-warni keyakinan,
kerelaan untuk berbagi (sharing), serta keterbukaan untuk saling
belajar (inklusivisme). Lebih lanjut Nurcholish mengatakan
bahwa sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan
dalam masyarakat yang majemuk, yakni masyarakat yang tidak
monopolitik. Jadi, tidak ada masyarakat yang tunggal, monopolitik,
yang sama dan sebagun dalam segala segi.
5) Keadilan Sosial (Social Justice)
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan
pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap
warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini
memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah
satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat.Seluruh
masyarakat memiliki hak yang sama untuk memperoleh kebijakankebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa).
74
Dr. Rohidin, M. Ag
Selain kelima karakteristik sebagaimana telah dikemukakan
di atas, masih ada satu elemen penting yang dari awal juga harus
menjadi dasar pemikiran, yaitu adanya pengakuan terhadap
hak-hak kemanusiaan. Tanpa didasari oleh elemen pengakuan
ini, niscaya kelima karakteristik di atas akan sulit—untuk tidak
mengatakan mustahil—untuk dapat terlaksana.44
c.
Pilar-Pilar Penegak Civil Society
Yang dimaksud dengan pilar penegak civil society adalah institusiinstitusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi
mengkritik kebijakan-kebijakan pihak penguasa yang diskriminatif
serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas.
Dalam penegakan civil society, pilar-pilar tersebut menjadi
prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat. Pilarpilar tersebut antara lain adalah lembaga swadaya masyarakat
(LSM), pers, supremasi hukum, perguruan tinggi dan partai politik.
1) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
LSM adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya
masyarakat yang tugas esensinya adalah membantu dan
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang
tertindas. Selain itu LSM dalam konteks civil society juga
bertugas mengadakan empowering (pemberdayaan) kepada
44
Sebagaimana kita pahami bersama, istilah kemanusiaan (humanity)
berasal dari kata dasar manusia, yang diartikan dengan makhluk yang berakal
budi. Dalam kamus kata tersebutdiartikan dengan:sifat-sifat manusia, secara
manusia, sebagai manusia, dan perikemanusian, segala sesuatu yang layak bagi
manusia. Lihat, Dendi Sugono (red.), op. Cit., hlm. 987. Sementara Driyarkara
kemanusiaan sebagai pandangan atau sikap hidup
yang mengakui bahwa manusia itu merupakan makhluk yang tersendiri
mempunyai tendensi-tendensi tersendiri serta sikap dan hubungannya
terhadap dunia dan sesamanya yang tersendiri pula. Karenanya, cara hidup,
cara berbahagia, caranya bekerja sama yang melekat pada diri manusia
mempunyai ciri-ciri yang khas, dan tidak terdapat di luar lingkungan manusia.
A. Sudiarja (ed.), op. Cit., hlm. 708-709.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
75
sehari-hari, seperti advokasi, pelatihan dan sosialisasi programprogram pembangunan masyarakat.
2) Pers
Pers merupakan institusi yang penting dalam penegakan
civil society.Pers punya kemampuan untuk mengkritik dan
menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisis
serta memublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang
berkenaan dengan warga negaranya. Hal tersebut pada
akhirnya mengarah pada adanya independensi pers serta
mampu menyajikan berita secara objektif dan transparan.
Sebagaimana diketahui, lewat pers—terlepas dari berbagai
kelebihan dan kekurangannya—kita dapat mengetahui
berbagai informasi lebih cepat. Maka tidak berlebihan kiranya
jika kemudian Ilham Prisgunanto mengatakan bahwa pers
adalah tonggak kekuatan kelima bagi suatu bangsa, sebab
tanpa pers negara menjadi tidak transparan dan rakyat
akan buta dengan kinerja pemerintah.45 Lebih dari itu, pers,
sebagaimana ditulis Yenrizal dan Rus’an Rusli, diyakini bisa
masuk ke dalam semua ruang yang selama ini tertutup rapat
tak terjamah (untouchable)46 dan juga memiliki tanggungjawab
dan keberpihakan kepada suara kebenaran masyarakat (social
responsibility). Selain itu, pada tataran ideal, pers juga memiliki
peran sebagai kontrol sosial, yaitu dengan memberitakan
hal-hal yang sifatnya pengawasan agar pemerintahan dapat
berjalan dengan baik. Sehingga dengan sendirinya, pers
mampu membentuk opini publik serta mampu memberikan
tekanan terhadap pihak-pihak yang berbuat kesalahan.
45
Ilham Prisgunanto, Praktik Ilmu Komunikasi dalam Kehidupan Seharihari, Teraju, Jakarta, 2004, hlm. 11.
46
dalam Suyitno (ed), Korupsi, Hukum, dan Moralitas Agama: Mewacanakan
Fikih Antikorupsi, Gama Media, Yogyakarta, 2006, hlm. 234.
76
Dr. Rohidin, M. Ag
Menurut Burhan Bungin, dalam menjalankan paradigmanya
sebagai institusi pelopor perubahan, pers memiliki peran:47
a) Sebagai institusi pencerahan masyarakat, yaitu sebagai
media edukasi.
b) Sebagai media informasi, yaitu media yang setiap saat
menyampaikan informasi kepada masyarakat.
c) Sebagai media hiburan sekaligus institusi budaya, yaitu
institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan serta
katalisator perkembangan kebudayaan.
3) Supremasi Hukum
Setiap warga negara, baik yang duduk dalam formasi
pemerintahan maupun sebagai rakyat, harus tunduk kepada
(aturan) hukum. Hal tersebut berarti bahwa perjuangan untuk
mewujudkan hak dan kebebasan antar-warga negara dan
antar-warga negara dengan pemerintahan haruslah dilakukan
dengan cara-cara yang tinggi. Selain itu, supremasi hukum juga
memberikan jaminan dan perlindungan dari segala bentuk
penindasan individu dan kelompok yang melanggar normanorma hukum serta segala bentuk penindasan hak asasi
manusia, sehingga terpola bentuk kehidupan yang civilized.
4) Perguruan Tinggi
Perguruan Tinggi (PT) merupakan bagian dari kekuatan
sosial dan masyarakat dan mengkritik berbagai kebijakan
pemerintah. Dengan catatan, gerak yang dilancarkan
oleh mahasiswa tersebut masih pada jalur yang benar dan
memosisikan diri pada rel dan realitas yang betul-betul
47
Lihat, Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi:
Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di
Masyarakat, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 85-86.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
77
objektif dan menyatakan kepentingan masyarakat (public).
Sebagai bagian dari pilar civil society maka PT memiliki
tugas utama mencari dan menciptakan ide-ide alternatif dan
konstruksi untuk dapat menjawab problematika yang dihadapi
oleh masyarakat. Di sisi lain, PT memiliki “Tri Dharma PT”,
yang harus dapat diimplementasikan berdasarkan kebutuhan
masyarakat (public).
Menurut Riswanda Immawan, PT memiliki tiga peran yang
strategis dalam mewujudkan civil society. Pertama, pemihakan
yang tegas pada prinsip egalitarianisme yang menjadi dasar
kehidupanpolitikyang demokratis. Kedua, membangun political
safety net, yakni dengan menggambarkan dan memublikasikan
informasi secara objektif dan tidak manipulatif. Political safety
net ini setidaknya dapat mencerahkan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan mereka terhadap informasi. Ketiga,
melakukan tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara yang
santun, saling menghormati, demokratis, serta meninggalkan
cara-cara yang agitatif dan anarkis.
5) Partai Politik
Partai Politik (parpol) merupakan wahana bagi warga negara
untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya. Sekalipun
memiliki tendensi politik dan rawan akan hegemoni negara,
tetapi bagaimanapun sebagai sebuah tempat ekspresi politik
warganegara, maka parpol menjadi prasyarat bagi tegaknya
civil society. Berkaitan dengan upaya penguatan civil society
di Indonesia, maka Muslim sebagai pihak mayoritas menjadi
sangat penting untuk dipertimbangkan. Upaya penguatan
civil society di Indonesia tidak bisa mengabaikan pentingnya
faktor umat Islam. Bahkan, dalam beberapa hal tertentu,
bisa dikatakan bahwa keberadaan Muslim merupakan basis
perubahan politik dan sosial di Indonesia. Mereka memiliki
potensi yang sangat besar dalam menentukan format dan
kehidupan politik Indonesia. Begitu pula dalam upaya
78
Dr. Rohidin, M. Ag
penguatan civil society, Muslim menduduki posisi terdepan
yang bisa diharapkan menjadi pengimbang dari kekuatan
negara yang cenderung dominatif. Dengan ungkapan lain,
Muslim Indonesia memiliki prasyarat—setidaknya secara
kuantitatif—bagi pertumbuhan dan penguatan civil society di
Indonesia.
Dalam hal ini, menurut Dawam Raharjo ada tiga strategi
yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam
memberdayakan civil society di Indonesia. Pertama, strategi
yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik. Strategi
ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin
berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran
berbangsa dan bernegara yang kuat. Saat ini yang diperlukan
adalah stabilitas politik sebagai landasan pembangunan,
karena pembangunan membutuhkan resiko politik yang
minim. Dengan demikian persatuan dan kesatuan bangsa
lebih diutamakan dari demokrasi. Kedua, strategi yang lebih
mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. Strategi
ini berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak
perlu menunggu rampungnya tahap pembangunan ekonomi.
Ketiga, strategi yang memilih membangun civil society sebagai
basis yang kuat ke arah demokratisasi. Strategi ini muncul
akibat kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama
dan kedua. Dengan begitu, strategi ini lebih mengutamakan
pendidikan dan penyadaran politik, terutama pada golongan
menengah yang makin luas.48
Ketiga model strategi pemberdayaan civil society tersebut
di atas dipertegas oleh Hikam bahwa di era transisi ini harus
dipikirkan prioritas-prioritas pemberdayaan dengan cara
memahami target-target grup yang paling strategis serta
penciptaan pendekatan-pendekatan yang tepat dalam
proses tersebut. Untuk keperluan itu, maka keterlibatan
kaum cendekiawan, LSM, ormas sosial dan keagamaan serta
48
Dawam Raharjo, “Masyarakat Madani: Demokrasi, Kemajuan dan
Keadilan.” Makalah dalam seminar “Strategi Penguatan Civil Society di
Indonesia,” 23-25 Oktober 1998 di Bogor.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
79
mahasiswa adalah mutlak adanya, karena merekalah yang
memiliki kemampuan dan sekaligus aktor pemberdayaan
tersebut.49
Penanaman pola hidup berbasis civil society ini menjadi
penting dalam kehidupan beragama di Indonesia karena
di dalamnya sarat dengan masyarakat yang penuh dengan
sikap toleran dan berkeadilan. Bahkan, dengan membuminya
konsep tersebut, bisa jadi Indonesia tidak membutuhkan lagi
bentuk regulasi tentang kehidupan beragama. Sebaliknya,
dengan bentuk regulasi semapan apapun jika civil society
tidak tertanam dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa
dan bernegara maka jaminan kehidupan beragama hanya
akan menjadi mimpi belaka. Namun demikian, untuk
menuju kehidupan yang berbasis civil society, baik sistem,
aparatur pemerintah, maupun masyarakat harus sama-sama
menopangnya dengan penuh kesungguhan. Dengan tanpa
kebersamaan tiga elemen tersebut sangat sulit kiranya civil
society akan membumi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
49
80
A. Ubaidillah (dkk.), op. Cit., hlm. 157.
Dr. Rohidin, M. Ag
TIGA
RENTANG BASIS IDEOLOGI KEBEBASAN
BERAGAMA
Sebagai bagian dari HAM, kebebasan beragama tidak bisa
dilepaskan dari pertarungan beberapa ideologi. Dalam rentang
sejarah perdebatan HAM terdapat setidaknya dua basis ideologi
dalam memandang universalitas HAM dan kebebasan beragama.
Dua basis ideologi ini berada pada dua titik ekstrem yang saling
bertolak belakang. Titik ekstrem pertama adalah ideologi
partikular-absolut yang memahami HAM dan juga kebebasan
beragama bersifat partikular secara absolut. Kebebasan beragama
di satu tempat tidak bisa diterapkan di tempat yang lain. Dengan
kata lain, tidak ada kebebasan agama yang benar-benar bebas dan
berlaku untuk setiap tempat, kondisi, dan masa.
Titik ekstrem kedua adalah ideologi universal absolut yang
memahami HAM dan kebebasan beragama berlaku secara
universal penuh. Ideologi ini memahami bahwa sebagai hak dasar
yang melekat pada diri manusia semenjak lahir di dunia, kebebasan
beragama tidak mengenal batasan apa pun dan pembatasan oleh
siapa pun. Ideologi ini mengambil posisi berlawanan penuh
terhadap ideologi pertama tadi. Nah, di antara dua titik ekstrem
ini penulis akan berupaya menghadirkan jalan tengah. Untuk
konteks Indonesia, penulis menawarkan ideologi Pancasila untuk
menghadirkan titik tengah.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
81
A.
Ideologi Partikular-Absolut
Persepsi Eksklusif
Basis
Pembentukan
Pandangan partikularisme menyangkut HAM dilatarbelakangi
bahwa setiap bangsa memiliki latar belakang ideologi, sosial,
dan budaya masing-masing yang sudah barang tentu memiliki
perbedaan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain.1 Dengan
universalisme HAM kepada seluruh lapisan bangsa adalah mustahil.
Terlebih lagi, universalisme HAM tersebut tidak lain merupakan
produk budaya Barat yang sudah barang tentu mengandung banyak
perbedaan dengan budaya Timur, yang nota bene banyak didiami
dan dianut oleh negera-negara berkembang.
Sistem kebersamaan (communal), yang telah lama ada dan
menjadi warisan dari generasi awal mereka merupakan prinsip
fundamental dan sistem masyarakat Timur. Hal ini sudah barang
tentu bertentangan dengan cara pandang masyarakat Barat yang
cenderung berbasis pada prinsip individualistik. Bagi masyarakat
Timur, prinsip keadilan sosial dibentuk bukan berdasarkan
HAM yang setara, melainkan status sosial yang tidak setara dan
gabungan “privilese” dengan tanggung jawab, bahkan kelompok
partikularisme mengatakan bahwa keberadaan masyarakat
tradisional adalah untuk menentang universalisme HAM yang
sudah menjadi asumsi.2
Penolakan masyarakat tradisional terhadap individualismeini
menyatukan mereka ke dalam misi bersama untuk menghadapi
resiko kehancuran budayanya. Pada saat masyarakat yang
merupakan bagian dari budaya-budaya yang diromantisasi
ini dianggap bukan sebagai individu yang riil—yang memiliki
kebutuhan, keinginan, dan nafsu—melainkan sebagai benda
pameran antropologi yang hidup, maka HAM bisa terlewatkan
dan tidak mungkin memiliki keinginan yang terkonstruksi secara
1
Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat: Hak Asasi Manusia dan Negara
Hukum, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996, hlm. 115.
2
82
Rhoda E. Howard, HAM: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj.
Dr. Rohidin, M. Ag
sosial dalam hal HAM seperti yang dimiliki masyarakat Barat,
sebagai masyarakat yang dianggap beradab dan tetap terisolasi.
Masyarakat tradisional tidak bisa perpikir abstrak, keluar dari
lingkungannya untuk meninjau hakikat kehidupan sosial atau
etika kelompoknya. Dengan demikian, memasukkan pandangan
ideal HAM, bahkan ke dalam wacana lisan dengan masyarakat
tradisional, adalah tindakan imperialis, menimbulkan proses
perubahan sosial yang akan merusak tatanan sosial pribumi.3
Masyarakat Barat sendiri pada mulanya adalah masyarakat
“tradisional”. Mereka telah mengalami proses perubahan sosial
selama berabad-abad, bukan merupakan konsekuensi dari
penegakan HAM bercorak indivisualistik secara tiba-tiba.
Masyarakat tradisional yang masih ada dianggap sebagai asalusul manusia modern. Masyarakat Barat memerlukan masyarakat
tradisional, bahkan ketika organisasi sosial mereka mengeksploitasi,
atau kejam terhadap banyak anggotanya agar mereka bisa menikmati
kemurnian masa lalu yang penuh dengan mitos. Integralistik
organis masyarakat tradisional, kesatuannya dengan alam, tekanan
terhadap pilihan individu mendorong keinginan Barat akan dunia
khalayan yang lebih bersahaja. Masyarakat tradisional adalah
komunitarian terbaik, yang tidak dicemari oleh individualisme.
Dalam masyarakat mereka, tidak seorang pun mempertanyakan
aturan; setiap orang, bahkan yang paling rendah, hidup harmonis
dengan yang lain dan dengan penguasa.4
Para kritikus universalisme HAM dari kelompok partikularis
mencari dunia yang tidak ada lagi. Kalau pun pernah ada, hal itu
tidak lebih sebagai suatu dunia komunitas, dunia individu-individu
yang bersatu dalam kelompok dan dunia yang terpadu dan menyatu
dengan alam. Pembelaan kelompok partikularis terhadap budayabudaya pribumi yang menentang HAM, yang telah mengalami
proses universalisasi hingga pada tingkat tertentu, merupakan
konsekuensi dari rasa khawatir mereka bahwa universalisme HAM
akan mendorong munculnya dunia sosial yang terindividualisasi,
atomistis, dan kompetitif. Kelompok partikularis mengidealisasikan
3
Ibid., hlm. 109.
4
Ibid., hlm. 109-110.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
83
komunitas Dunia Ketiga yang memberi teladan bagi budaya Barat
tentang masyarakat tradisional yang aman dan tenteram dan telah
hilang darinya, sekalipun Dunia Ketiga memperlihatkan banyak
pelanggaran HAM pada awal modernisasi.5
Cara hidup tradisional mengisyaratkan jiwa cemas orang
Barat mengingatkan mereka pada asal-usul kolektif asli yang
merupakan asal-muasal mereka. Individu-individu yang hidup
dalam masyarakat tradisional, pra-kapitalis komunitarian, seperti
orang-orang yang diminta Levi-Straus untuk tinggal di hutan, tidak
diperbolehkan berubah atau berpikir tentang apa yang mereka
inginkan dalam kehidupan. Sudah barang tentu jika mereka tidak
diperbolehkan menolak impian utopia dengan mengadopsi ideide Barat.6 Suku-suku masyarakat tradisional di Dunia Ketiga
kini tidak diperbolehkan tertarik mengadopsi atau mendukung
pandangan-pandangan individualis tentang otonomi pribadi atau
HAM. Mereka yang berbuat demikian segera disingkirkan karena
dianggap berubah “menjadi Barat”, yaitu tidak asli, merusak peran
psikologis yang mereka jalankan untuk orang Barat. Penting bagi
kita untuk menyadari bahwa gagasan Barat tentang HAM sejauh
yang dinyatakan oleh elit-elit politik Dunia Ketiga, mencerminkan
“westernisasi” elit ini.7 Oleh karena itu, meskipun masyarakat Barat
menghargai kebebasan intelektual dalam tradisi mereka, mereka
menolak hal itu bagi kaum intelektual dari tradisi lain; kaum
intelektual dari tradisi lain dianggap sebagai teladan konservatif,
bukan penentang radikal nilai-nilai budaya mereka sendiri.8
Dengan demikian, kelompok partikularisme absolut memandang
HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa, tanpa memberikan
5
Ibid., hlm. 110.
6
Ibid., hlm. 110-111.
7
Penyeragaman cara pandang berdasarkan Komentar Umum (
Common) dari PBB atau bahkan penuntutan penggunaan paradigma yang
biasa dipakai kaum liberal (baca: universal-absolut) untuk membatasi atau
mengukur hak kebebasan yang ada di Negara Hukum Indonesia pada dasarnya
merupakan bentuk intervensi (intoleransi) luar atau Barat juga. Simak
pertanyaan Munarman, sebagai Pihak Terkait dari Pemerintah, terhadap Siti
Juhro dalam Sidang Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 pada hari Rabu 17
Maret 2010 di Gedung MK Jakarta.
8
84
Ibid., hlm. 111.
Dr. Rohidin, M. Ag
alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan penolakan terhadap
berlakunya dokumen-dokumen/instrument-instrumen hukum
internasional berkaitan dengan HAM, sehingga banyak kalangan
berpendapat bahwa pandangan ini bersifat chauvinis, egois,
defensif, dan pasif tentang HAM.
Cara pandang di atas kemudian melahirkan kelompok
yang memiliki persepsi eksklusif terhadap HAM. Kelompok
ini memandang bahwa HAM tidak bisa digunakan untuk
kebebasan beragama. Amirsyah, seorang
anggota MUI misalnya, berpendapat bahwa HAM tidak boleh
merusak kedaulatan suatu agama, sebab jika atas nama HAM
kemudian merusak nilai-nilai agama, jelas hal itu tidak benar.9
Senada dengan Amirsyah adalah pernyataan Jainal Abidin,
Pengurus MUI D.I. Yogyakarta,menurutnya HAM harus dipahami
sebagai produk budaya, karena ia tidak bisa dilepaskan dari nilaiHAM Barat,
sementara Islam berangkat dari wahyu. Karena perbedaan itulah,
maka HAM di Barat dan Timur, termasuk Indonesia, itu berbeda.
Berkaitan dengan fatwa MUI, menurut Jainal tidak bisa atas dasar
HAM kemudian merusak nilai-nilai agama. Apa yang terjadi pada
kasus Ahmadiyah, sesungguhnya Ahmadiyah-lah yang melanggar
HAM, bukan MUI-nya, karena dalam ajaran Ahmadiyah sendiri
banyak yang mendeskriditkan kelompok
misalnya.10
Lebih tegas dari Jainal adalah pernyataan Sobri Lubis, Sekjen
FPI, baginya mereka (baca: Ahmadiyah) telah halal darahnya (baca:
boleh dibunuh), karena telah merusak akidah Islam yang benar.
“Persetan kitab HAM, tai kucing kitab HAM”, tegas Lubis saat
mengaitkan kasus Ahmadiyah dengan persoalan HAM.11 Mendekati
9
Wawancara dengan Amirsyah, anggota MUI pada tanggal 1 Februari
2010.
10
Wawancara dengan Jainal Abidin, Pengurus MUI Daerah Istimewa
Yogyakarta, pada hari Kamis, 18 Agustus 2011.
11
Ungkapan ini disampaikan oleh Sobri Lubis dalam sebuah Tabligh
Akbar di Kota Bogor pada tanggal 14 Februari 2008.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
85
Jainal dan Lubis adalah pernyataan Adian Husaini, baginya dunia
Islam tidak menjadikan DUHAM sebagai “kitab suci”, dan tidak
bersedia begitu saja mengadopsi sepenuhnya pasal-pasal dalam
DUHAM. Bahkan, seseorang yang mempercayai piagam ini, bagi
Adian, sesungguhnya telah meletakkannya di atas al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah saw. Dengan demikian, sesungguhnya mereka
telah menjadikan teks piagam lebih tinggi kedudukannya dari
teks kitab suci umat Islam.12Artinya, nilai-nilai agama sebagai
sesuatu yang bersifat partikular-absolut lebih dijunjung daripada
universalisme individumanusia berkaitan dengan HAM. Oleh
karena itu, bagi mereka, apa yang dilakukan MUI, sudah berada di
jalur yang tepat.
Jika kita bertolak dari teori persepsi Blumer, dapat dipahami
bahwa persepsi eksklusif terhadap fatwa MUI tentang aliran sesat
berkaitan dengan konsep kebebasan beragama terkonstruk sebagai
pengaruh dari penggunaan ideologi partikular-absolut dalam
memandang HAM. Sehingga sangat wajar jika agama, sebagai
bagian dari partikularisme, lebih dijunjung daripada universalisme
yang cenderung individualistik. Sehubungan dengan itu, maka
penggunaan ideologi partikular-absolut berkaitan dengan HAM
ini tampak kurang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil
dan beradab. Konstruksi demikian tampak bersifat theosentris,
dengan tanpa melihat unsur kemanusiaan sebagai realitas psikis
dari pemeluk agama itu sendiri.
B.
Ideologi Universal-Absolut
Persepsi Inklusif-Liberal
Basis
Pembentukan
Asal mula dan perkembangan HAM tidak dapat terpisahkan dari
perkembangan universalisme nilai moral.13 Sejarah perkembangan
12
Adian Husaini, Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas & Tidak
Kontroversial, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2005, hlm. 84.
13
Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran moral
secara rasional. Asal-muasal universalisme moral di Eropa terkait dengan
tulisan-tulisan Aristoteles. Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles
secara detail menguraikan suatu argumentasi yang mendukung keberadaan
86
Dr. Rohidin, M. Ag
HAM dapat dijelaskan dalam sejumlah doktrin moral
khusus yang, meskipun tidak mengekspresikan hak asasi manusia
kontemporer. Hal tersebut mencakup suatu pandangan moral
dan keadilan yang berasal dari sejumlah domain pra-sosial,
yang menyajikan dasar untuk membedakan antara prinsip dan
kepercayaan yang “benar” dan yang “konvensional”. Prasyarat yang
penting bagi pembelaan hak asasi manusia di antaranya adalah
konsep individu sebagai pemikul hak “alamiah” tertentu dan
beberapa pandangan umum mengenai nilai moral yang melekat
dan adil bagi setiap individu secara rasional.
ketertiban moral yang bersifat alamiah. Ketertiban alam ini harus menjadi
dasar bagi seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu
ketertiban alam kemudian diturunkan dalam serangkaian kriteria universal
yang komprehensif untuk menguji legitimasi dari sistem hukum yang
sebenarnya “buatan manusia”. Oleh karenanya, kriteria untuk menentukan
suatu sistem keadilan yang benar-benar rasional harus menjadi dasar dari segala
konvensi-konvensi sosial dalam sejarah manusia. “Hukum alam” ini sudah ada
menentukan bentuk dan isi dari keadilan yang alamiah ada pada “reason”, yang
terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga. Dasar dari doktrin hukum
alam adalah kepercayaan akan eksistensi suatu kode moral alami yang
kemanusiaan tertentu
yang bersifat fundamental. Penikmatan kita atas kepentingan mendasar tersebut
dijamin oleh hak-hak alamiah yang kita miliki. Hukum alam ini seharusnya
menjadi dasar dari sistem sosial-politik yang dibentuk kemudian. Oleh sebab
itu, hak alamiah diperlukan sebagai sesuatu yang serupa dengan hak yang
dimiliki individu terlepas dari nilai-nilai masyarakat maupun negara. Dengan
demikian hak alamiah adalah valid tanpa perlu pengakuan dari pejabat politis
John Locke, yang menyampaikan argumennya dalam karyanya, Two Treaties
(1688). Intisari pandangan Locke adalah pengakuan bahwa
seorang individu memiliki hak-hak alamiah yang terpisah dari pengakuan
politis yang diberikan negara pada mereka. Hak-hak alamiah ini dimiliki
secara terpisah dan dimiliki lebih dahulu dari pembentukan komunitas politik
mana pun, Locke melanjutkan argumentasinya dengan menyatakan bahwa
tujuan utama pelantikan pejabat politis di suatu negara berdaulat seharusnya
adalah untuk melindungi hak-hak alamiah mendasar individu. Bagi Locke,
perlindungan dan dukungan bagi hak alamiah
tunggal dalam pembentukan pemerintahan. Hak alamiah untuk hidup,
kebebasan dan hak milik menegaskan batasan bagi kewenangan dan jurisdiksi
negara. Negara hadir untuk melayani kepentingan dan hak-hak alamiah
masyarakatnya, bukan untuk melayani monarki atau sistem. Lihat, Knut D.
Asplund (dkk.) (ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta,
2010, hlm. 19-20.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
87
Dalam universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang
memiliki hak-hak yang tidak dapat dimungkiri, dan diarahkan pada
pemenuhan kepentingan pribadi.14 Dalam model partikularisme,
suatu komunitas adalah sebuah unit sosial. Dalam hal ini tidak
dikenal konsep seperti individualisme, kebebasan memilih,
dan persamaan. Perihal yang diakui adalah bahwa kepentingan
komunitas menjadi prioritas utama. Doktrin ini telah diterapkan
di berbagai negara yang menentang setiap penerapan konsep hak
dari Barat dan menganggapnya sebagai imperialisme budaya.
Namun demikian, negara-negara tersebut mengacuhkan fakta
bahwa mereka telah mengadopsi konsep nation state dari Barat
dan tujuan moderenisasi sebenarnya juga mencakup kemakmuran
secara ekonomi.
Pemahaman HAM dari sudut pandang univeralisme lebih
dilatarbelakangi oleh terbentuknya instrumen-instrumen hukum
internasional berkaitan dengan HAM. Secara mendasar hak
fundamental manusia terletak pada dua hal. Pertama, hak asasi
manusia (human rights), yaitu hak yang melekat pada manusia dan
secara asasi ada sejak manusia itu dilahirkan. Hal ini erat kaitannya
dengan eksistensi hidup manusia, bersifat statis dan utama, tidak
dapat dicabut, tidak tergantung dengan ada atau tidaknya orang lain
di sekitarnya. Wujud hak ini di antaranya berupa: kebebasan batin,
kebebasan beragama, kebebasan hidup pribadi, kebebasan untuk
berkumpul dan mengeluarkan pendapat, dan emansipasi wanita.
Kedua, hak undang-undang (legal rights), yaitu hak yang diberikan
undang-undang secara khusus kepada pribadi manusia. Oleh
karena diberikan, maka sifat pengaturannya harus jelas tertuang
dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Barangsiapa
yang tidak memenuhi ketentuan undang-undang, maka kepadanya
dapat dikenakan sanksi yang ditentukan oleh pembentuk undangundang.15
Sebagai instrumen perundang-undangan, HAM kemudian
14
Ibid., hlm. 20.
15
I Gede Arya B. Wiranta, “Hak Asasi (Anak) dalam Realitas Quo Vadis”,
dalam Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep, dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat,
88
Dr. Rohidin, M. Ag
masyarakat agar masyarakat mengetahui dan berupaya untuk
mengembangkan sarana-sarana pendukung agar apa yang
terkandung dalam HAM dapat ditaati. Hal demikian membawa
dampak pada perundang-undangan HAM yang dapat berlaku secara
efektif, untuk itu diperlukan adanya upaya-upaya pencanangan
perundang-undangan HAM dengan baik, pelaksana dalam
menunaikan tugasnya dapat searah dan senafas dengan bunyi serta
penafsiran yang telah disepakati, penegak HAM harus menuntut
para pelanggarnya.16
Cara pandang di atas sampai pada tataran tertentu menjadi
basis bagi terbentuknya persepsi kelompok inklusif-liberal. Betapa
tidak, bagi mereka perbedaan penafsiran dalam bingkai keagamaan
adalah suatu keniscayaan. Otoritas tafsir tidak hanya dimiliki oleh
seseorang atau lembaga tertentu, oleh karena itu kebenaran tafsir
bersifat relatif dan tidak pernah serta tidak akan pernah ada tafsir
16
G.G. Howards dan Rummers, Law It’s Nature and Limits, New
Jeresey Prestic Hall, 1999, hlm. 4647. Instrumen-instrumen hukum
intemasional menyangkut HAM adalah sebagai berikut: The Universal
Declaration of Human Rights, 1948 (DUHAM); The International
Covenant on Civil and Political Rights, 1966 (Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik); The International on Economic,
Social and Cultural Rights,1966 (Kovenan Internasional tentang Hakhak Ekonomi, Sosial dan Budaya); The Optional Protocol on Civil and
Political Rights, 1967 (Protokol Tambahan Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik); The International Convention on
1948 (Konvensi
Internasional tentang Pencegahan dari Pemberian Hukuman
Kejahatan Genosida); The International Convention on the Elimination
of All Forms of Racial Discrimination, 1969 (Konvensi Internasional
Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial); The International
Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against
Women, 1981 (Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan); The International Convention
Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment
or Punishment, 1984 (Konvensi Internasional Anti Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan
Bermartabat); The International Convention on the Rights on the Child,
1989 (Konvensi Internasional Tentang Hak Anak); The International
Convention Relating to the Status of Refuges, 1951 (Konvensi
Internasional yang Berhubungan dengan Status Pengungsi); dan The
International Protocol Relating to the Status of Refuges,1967 (Protokol
Internasional yang Berhubungan dengan Status Pengungsi).
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
89
tunggal. Pemahaman ahli ilmu tafsir dan keislaman selalu beragam,
bahkan bisa jadi saling bertentangan. Dalam keadaan seperti ini
justru, Nabi Muhammad saw., menggambarkan sebagai situasi
yang penuh rahmat, dengan catatan setiap pihak bersedia untuk
berdialog dan membangun toleransi keagamaan bagi kemuliaan
kemanusiaan, bukan mengubah keyakinan dengan cara klaimklaim sepihak seperti sekarang ini.17
Lebih dari itu, fatwa MUI tentang aliran sesat kegamaan,
bagi mereka, telah melanggar basis-basis moral Islam universal
serta bertentangan dengan HAM, khususnya hak dan kebebasan
beragama. Kebebasan beragama yang bersifat bebas tanpa batas,
bagi mereka, hanya ada pada forum internum, sementara kebebasan
beragama dalam bentuk kebebasan untuk memanifestasikan
agama atau keyakinannya digolongkan dalam kebebasan bertindak
(freedom to act).18 Kebebasan beragama dalam bentuk ini dapat
dibatasi dan diatur hanya berdasarkan undang-undang.
Artinya, nilai-nilai universalisme berkaitan dengan HAM,
khususnya dalam hal beragama, menjadi titik tolak pembentukan
persepsi mereka. Individu manusia menjadi prioritas utama mereka
dalam memandang fatwa berkaitan dengan kebebasan beragama
sebagai bagian dari HAM. Pola pikir semacam ini sudah barang
tentu sangat antroposentris, bahkan unsur-unsur teosentris dalam
agama menjadi kabur. Dengan demikian, unsur-unsur partikular
yang terdapat dalam setiap agama tidak mereka indahkan.
Akibatnya, pandangan mereka berkaitan dengan kebebasan
beragama justru tercerabut dari nilai-nilai kebudayaan bangsa
Indonesia yang terakumulasi dalam konsep Ketuhanan Yang Maha
Esa dengan basis kemanusiaan yang adil dan beradab.
17
Wawancara dengan Munir Mulkhan pada tanggal 4 Mei 2010. Telusuri
lebih lanjut dalam “Kala Fatwa jadi Penjara”, hlm. 169.
18
Wawancara dengan Hanick, Aktivis ICRP, pada tanggal 2 Februari 2010
di Jakarta.
90
Dr. Rohidin, M. Ag
C.
Ideologi Pancasila Sebagai Solusi atas Disharmoni
Persepsi dalam Bingkai Kebebasan Beragama
Perdebatan tentang HAM, baik yang bersifat universal maupun
partikular (cultural relativism), sudah lama berlangsung, dan sudah
barang tentu jika kedua pandangan tersebut disatukan merupakan
hal yang sangat sulit, sebab masing-masing berdiri pada posisinya.
Perdebatan keduanya tidak akan berakhir jika masing-masing
pandangan berakar pada titik tolak yang berbeda, terutama dalam
hal ideologi dan sosial-budaya dari sistem masyarakat yang berbeda.
Pandangan universalitas HAM didasari dari pandangan yang
bersifat individual, terutama adanya tuntutan kebebasan individu
(warga negara) yang muncul dari sistem masyarakat yang liberal.
Hal ini dapat dibuktikan dari perjalanan panjang sejarah HAM
di Barat, baik yang terjadi di Inggris, Amerika, maupun Prancis,
yang pada waktu itu menuntut adanya pembatasan kekuasaan bagi
penguasa (Raja). Tuntutan kebebasan dan perlunya pembatasan
kekuasaan bagi penguasa pada waktu itu, dengan perjalanan yang
panjang membuat masyarakat Barat meracik konsep HAM tersebut
lahirnya Piagam Magna Charta, Deklarasi Virginia, Deklarasi
Independen, Bill of Rights, dan Declaration des Droits del’homme
et du Citoyen. Piagam-piagam tentang HAM ini dijadikan dasar
tentang adanya tuntutan tentang kebebasan dari warga negara dan
adanya pembatasan bagi penguasa terutama dalam menjalankan
sistem pemerintahan. Baru pada abad ke-19, setelah berakhirnya
Perang Dunia II, masyarakat internasional terhentak untuk kembali
secara bersama-sama merumuskan konsepsi-konsepsi dasar HAM
ini dalam bentuk aturan yang bersifat hukum internasional yang
akan diberlakukan ke seluruh bangsa dan negara yang ada di dunia
ini. Keinginan ini dilakukan mengingat sebagai akibat dari adanya
Perang Dunia II tersebut, di mana banyaknya korban umat manusia
serta hancurnya peradaban mereka, sehingga perlu dibangun
secara bersama peradaban umat manusia tersebut dengan tetap
menghormati harkat martabat manusia (dignity). Akhirnya, pada
tahun 1948 dirumuskanlah konsepsi HAM tersebut dalam sebuah
deklarasi sebagaimana yang dikenal dengan UDHR, yang kemudian
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
91
diikuti dengan aturan-aturan hukum internasional yang lain, yaitu:
ICCPR, ICESCR (1966), serta Protokol Tambahan ICCPR (1967).
Keseluruhan instrumen hukum internasional ini sudah menjadi
bagian hukum positif internasional yang akan diberlakukan secara
universal dan mengikat bagi bangsa-bangsa dan negara-negara
Mereka yang berpaham partikularisme (cultural relativism)
menyangkut HAM tentunya sangat sulit menerima paham
universal HAM produk Barat tersebut. Hal ini terjadi karena HAM
Barat tersebut tidak sesuai dengan paham ketimuran, terutama
bagi negara-negara berkembang. HAM yang ada dan lahir di Barat
tidak sama dengan HAM yang ada di Timur. Sebab masyarakat
Timur selalu mengedepankan kepentingan kebersamaan (sense
communal), sehingga berbeda dengan masyarakat Barat yang
mengedepankan kepentingan individu. Dalam pandangan
ketimuran,prinsip keadilan sosial bukan berdasarkan HAM yang
setara, melainkan status sosial yang tidak setara dan gabungan
privilese dengan tanggung jawab. Sehingga masyarakat ketimuran
menentang universalitas HAM sebagaimana yang dimiliki Barat.
Berkaitan dengan disharmoni di atas—dalam konteks
kebebasan beragama—penggunaan ideologi Pancasila dapat
dijadikan sebagai solusinya. Hal demikian dianggap relevan
mengingat nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagai
representasi dari budaya bangsa, terkandung di dalamnya. Unsur
yang terkandung dalam sila kedua dari Pancasila tersebut adalah
berupa: adil dan beradab serta keadilan dan keadaban. Hal demikian
dapat disederhanakan dalam ragaan sebagai berikut:
92
Dr. Rohidin, M. Ag
Ragaan 3.1.
Penggunaan Ideologi Pancasila sebagai Solusi atas Disharmoni
Persepsi dalam Bingkai Kebebasan Beragama
HAM
Universalisme
Partikularisme
Universal-Absolut
Universal-Relatif
Universal-Absolut
Antroposentris
Theo-Antroposentris
Theosentris
Humanistik
Kolektivisme
Individualisme
PANCASILA
Konsep Kebebasan Beragama Berbasis Nilai
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Fatwa MUI
Persepsi Eksklusif
Persepsi Inklusif-Moderat
Persepsi Inklusif-Liberal
Pancasila, bagi Kaelan, merupakan ruh dari budaya bangsa.
Berkaitan dengan fatwa dan kebebasan beragama, sebagai bagian
dari HAM, Pancasila memuat unsur-unsur theo-antroposentris.
Di samping Pancasila menjamin hak-hak individu, Pancasila juga
melindungi agama itu sendiri. Artinya, warga negara berhak dan
bebas dalam hal memeluk keyakinan atau agama, tanpa adanya
intervensi, tetapi ia juga harus menghormati keberadaan keyakinan
atau agama lain, tegas Kaelan.19
19
Wawancara pada tanggal 22 Agustus 2011 di UGM Yogyakarta.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
93
Sebagai individu yang mandiri, relasi antar sesama manusia
secara individu, dalam bingkai masyarakat secara komunal, dengan
negara secara administratif, dan dengan antar manusia secara
universal, mempunyai hak dan kewajiban. Hubungan keduanya
secara praktis seimbang, di mana tidak ada intervensi apapun
atas salah satu dari dua hal tersebut. Hak-hak yang dimiliki setiap
personal manusia dalam bernegara dan bermasyarakat, tarmasuk
hak beragama dan berkeyakinan, wajib dijamin, dihormati, dan
diselenggarakan oleh pemerintah dan oleh setiap personal manusia
dengan tetap memerhatikan statusnya sebagai makhluk sosial.
Jika pemenuhan hak-hak tersebut hanya terbatas pada dirinya,
sebagai makhluk individu belaka, maka yang terjadi adalah
kecenderungan untuk merugikan kepentingan manusia lain,
disadari ataupun tidak. Meskipun demikian, pemenuhan hak-hak
tersebut tidak berarti secara mutlak ia bebas untuk melaksanakan
haknya, melainkan dibatasi oleh adanya kewajiban terhadap
sesama manusia, masyarakat, maupun negara. Artinya, kata adil
dalam sila kedua dari Pancasila tersebut dipahami sebagai bentuk
kewajiban bagi pemerintah maupun manusia, secara individu
maupun komunal masyarakat dalam melaksanakan pemenuhan
hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia agar dapat hidup layak
sebagaimana manusia seutuhnya.
Pemahaman tersebut memiliki konsekuensi logis bahwa
penghormatan atas setiap pribadi manusia merupakan kewajiban
tersendiri bagi seseorang, sebagai pribadi, kelompok masyarakat,
maupun bagi pemerintah. Hak dan kebebasan beragama dan
berkeyakinan yang dimiliki oleh setiap manusia tidak boleh
dirampas oleh pihak lain. Karena itu, pemaksaan untuk mengikuti
kehendak pihak lain secara kekerasan tidak dapat ditoleransi,
karena secara mendasar pemaksaan dengan kekerasan atas
manusia merupakan suatu bentuk pembudakan. Pemerintah dan
masyarakat berkewajiban untuk memenuhi apa yang menjadi hak
setiap manusia. Pemenuhan kewajiban tersebut, baik terhadap
lingkungan masyarakatnya maupun terhadap pemerintah dan
negaranya, adalah konsekuensi logis atas statusnya sebagai
makhluk sosial.
94
Dr. Rohidin, M. Ag
Ketentuan yang berlaku dengan pengertian sila kedua di
atas, sebagaimana telah dilansir sebelumnya, adalah bahwa setiap
manusia diakui memiliki derajat yang sama, hak dan kewajiban,
dan selaras dengan prinsip keadilan. Karenanya, apa yang telah
menjadi hak setiap manusia, terlebih persoalan keberagamaan,
secara individu adalah objek penghormatan bagi siapa pun.
Penghormatan di sini mesti diimbangi pula dengan pemenuhan
kewajiban oleh setiap pribadi manusia terhadap lingkungannya,
karena manusia tidak hanya mempunyai pengertian sebagai
makhluk individu saja tetapi juga sebagai makhluksosial. Namun
demikian, pengertian perikemanusiaan atau internasionalisme di
atas juga mesti diimbangi dengan kesadaran bahwa manusia yang
merupakan satu umat itu, duduk di berbagai bagian dari muka
bumi yang satu sama berbeda dalam keadaan tanah dan iklimnya,
dan lain-lain, sehingga perbedaan sifat dalam diri masingmasing manusia adalah keniscayaan. Perikemanusiaan atau
internasionalisme dalam konteks Indonesia di sini sudah barang
tentu terkait erat dengan kultur masyarakatnya.
Model demikiantampaknya menjadi basis ideologi dari
terbentuknya persepsi inklusif-moderat. Sehubungan dengan itu,
Kaelan mengungkapkan bahwa berkaitan dengan fatwa tentang
aliran sesat, MUI memang memiliki hak untuk melakukan
penilaian. Jika ada suatu kelompok yang melakukan penodaan
terhadap agama maka negara harus menghukumnya, karena
penodaan terhadap agama memang diatur dalam perundangundangan. Namun demikian, tegas Kaelan, tidak serta-merta
fatwa MUI menjadi landasannya, karena fatwa hanya bersifat
legal opinion, bahkan, dalam kasus Ahmadiyah misalnya, MUI
harus berhati-hati. Lebih-lebih jika MUI membiarkan fatwanya
dipersepsikan (pen.mewujud) dalam bentuk tindakan anarkis.20
Sejalan dengan Kaelan adalah Wawan, baginya dalam sejarah
perjalanan Islam, kelompok mainstream selalu memiliki otoritas
untuk menilai sebuah ajaran itu menyimpang atau tidak. Asalkan
argumentasinya jelas, hal itu tidak masalah. Justru menjadi masalah
ketika sudah disesatkan lantas hak-hak sipil mereka dibatasi atau
20
Ibid.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
95
bahkan dilanggar. Sehingga, ragam
sebagai akibat dari fatwa, tandas Wawan, harus benar-benar
dicegah, baik oleh MUI sendiri, lebih-lebih oleh negara, sebagai
pelindung agama dan kelompok keagamaan.21
HAM dalam perspektif Pancasila, dengan demikian, di samping
mengamini nilai-nilai universal juga menghormati keberadaan
nilai-nilai partikular yang dimiliki oleh setiap bangsa. Artinya,
HAM dalam perspektif Pancasila sejalan dengan pandangan
universalisme-relatif. Pandangan ini meyakini bahwa persoalan
HAM merupakan perihal universal, namun menyangkut pula
tentang pengecualian (exeptions) yang didasarkan atas asas-asas
hukum internasional untuk tetap diakui keberadaannya.
21
96
Wawancara pada tanggal 10 Agustus 2010 di Sleman Yogyakarta.
Dr. Rohidin, M. Ag
EMPAT
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
Problem intoleransi dalam ranah keagamaan di Indonesia bisa
dikatakan cukup marak. Hal ini tampak dalam berbagai aksi
yang terjadi mulai dari bersifat lunak hingga menggunakan
pemerintah, pemuka agama, elit politik, dan aparat penegak
hukum ternyata tidak satu visi. Mereka justru terbelah ke dalam
dua kubu yang saling bertolak belakang bahkan cenderung
berseteru. Fakta menunjukkanbahwa tak jarang tindak intoleransi
satu pihak memicu tindak intoleransi pihak lain dalam skala yang
lebih luas. Sebab itulah, kita perlu menghadirkan konstruksi baru
kebebasan beragama yang bisa menjembatani dua kubu tersebut
sekaligus sesuai dengan Pancasila sebagai norma dasar Negara
Hukum Indonesia.
A.
Potret Intoleransi Keagamaandi Indonesia
Dilihat dari perspektif agama, Indonesia merupakan negara
keberagamaan masyarakat terbagi ke dalam lima agama lain:
Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Namun
demikian, secara ideologis dan religio-politis Indonesia bukanlah
“Negara Islam,” Indonesia tetap menjadi negara yang didasarkan
kepada ideologi resmi, yang dikenal dengan Pancasila: (1)
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau monoteisme; (2)
kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) persatuan Indonesia; (4)
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
97
demokrasi; dan (5) keadilan sosial. Soekarno, Presiden Republik
Indonesia pertama, telah menawarkan lima dasar dalam Pancasila
tersebut sebagai bagian dari modus vivendi antara nasionalisme
sekuler yang diwakili oleh kaum nasionalis-sekuler dan gagasan
negara Islam yang diwacanakan oleh kaum nasionalis-Islam.1
Dari sini, dapat dilihat bahwa negara memiliki peran yang
sosial, termasuk di dalam wilayah kehidupan beragama setiap warga
negaranya. Meskipun demikian, agama dan negara bukanlah dua
entitas yang menyatu dan juga tidak berarti sama sekali terpisah,
namun keduanya memiliki peranan yang berbeda dalam mengatur
kehidupan manusia dalam bidangnya masing-masing. Negara
mengatur manusia dalam hubungannya dengan pemerintah dan
mengatur hubungan manusia sebagai subjek hukum dengan sesama
subjek hukum lainnya, sementara agama mengatur manusia dalam
hubungannya dengan sesama dalam pergaulan dan hubungan
dengan Tuhannya. Sehingga, dalam posisi ideal, negara dapat
bekerjasama dengan agama, dan lebih jauh dengan berbagai aliran
kepercayaan yang ada, untuk kemudian secara tegas menciptakan
kerukunan dan kedamaian di antara masyarakat dan menegakkan
hukum yang berlaku serta, pada titik tertentu, menentang segenap
tindakan anarkisme atas nama agama.
Akan tetapi, pada dimensi faktualnya, di Indonesia—
sebagaimana juga yang terjadi di wilayah negara lain—seringkali
agama dan negara (baca: politik) menjadi entitas yang tumpang
tindih. Sebagai akibatnya, agama kerapdijadikan sebagaialat
legitimasi dan manipulasi untuk kepentingan dan target politik.
Di era pemeritahan Soeharto, misalnya, seringkali negara
mengkooptasi Islam untuk mengontrol kekuasaannya. Hal ini
1
Selain melewati perjalanan yang cukup panjang, penetapan lima dasar
dalam Pancasila tersebut juga tidak sepi dari perdebatan dan tarik-ulur
kepentingan yang berakhir pada penghapusan tujuh kata yang termaktub
dalam Piagam Jakarta. Lihat, misalnya, dalam Ahmad A. Sofyan & M.
Roychan Madjid,
Titian Ilahi Press,
Yogyakarta, 2003, hlm. 37-43. Bandingkan dengan Siti Musdah Mulia “Potret
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era Reformasi” dalam Elza Peldi
Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70
Tahun Djohan Efendi, ICRP, Jakarta, 2009, hlm. 335.
98
Dr. Rohidin, M. Ag
berujung pada pembentukan beberapa organisasi keagamaan
berbasis kelembagaan oleh pemerintah seperti MUI, yang kemudian
dijadikan sebagai legitimasikebijakan politik pemerintah. Efek lain
dari hal ini adalah intervensi negara yang terlampau jauh masuk
dalam ranah garapan agama dan urusan moral seperti persoalan
keyakinan (akidah) warganya dalam memilih dan memeluk
agama dan kepercayaan tertentu yang berakhir pada pembatasan
kebebasan warganya dalam beragama melalui beragam aturan
hukum.2
Seiring dengan berjalannya waktu, beragam produk hukum
yang membatasi dan melarang kebebasan warganya untuk
menganut agama dan keyakinannya ini, ternyata telah melahirkan
beragam pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan (violation of right to freedom of religion or belief).3
Sebagai contoh adalah fenomena kekerasan seputar kebebasan
beragama di Indonesia yang dari tahun ke tahun justru semakin
memburuk jika dibandingkan dengan era sebelum reformasi.
Praktik kekerasan—baik dalam bentuk pengusiran, penghancuran
tempat ibadat, maupun intimidasi dan pemaksaan, baik secara
2
Intervensi yang dilakukan negara ini tentu dirasa berlebihan mengingat
persoalan akidah dan keyakinan merupakan hak setiap warga negara yang
justru harus dilindungi dan mendapatkan jaminan dari negara sebagaimana
yang telah digariskan dalam undang-undang. Hal ini juga pernah diungkapkan
oleh Presiden Soeharto di hadapan peserta Rapat Kerja Depag (sekarang
Kemenag) pada tanggal 24 Maret 1984, bahwa:
“Negara dan pemerintah kita menghormati kebebasan beragama
bagi setiap penduduk dan menjalankan ibadat menurut agama dan
kepercayaannya itu. Agama adalah masalah keyakinan, dan tidak ada
satu kekuasaan duniawi yang mampu dan berhak mencampuri keyakinan
hati seseorang. Apa yang harus kita lakukan adalah melayani hajat
kehidupan beragama bangsa kita sebaik-baiknya dan seadil-adilnya….
Kita ingin kebebasan beragama benar-benar dilaksanakan sehingga tidak
ada golongan agama, betapapun kecilnya jumlah mereka, yang merasa
tertekan atau dibatasi kebebasan beragama mereka.”
3
Adalah setiap bentuk kegagalan atau kelalaian negara dalam
implementasi seperti campur tangan atas kebebasan orang atau tidak
melindungi seseorang atau kelompok orang yang menjadi sasaran intoleransi
atau tindak pidana berdasarkan agama dan keyakinan. Lihat, Ismail Hasani
(ed.), Siding and Acting Intolerantly: Intolerance by Society and Restriction by
the State in Freedom of Religion/ Belief in Indonesia, SETARA Institute, Jakarta,
2009, hlm. 14.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
99
agama minoritas
atau sekte-sekte tertentu—menyebar semakin luas dan liar tidak
terkendali. Bahkan tidak jarang di beberapa daerah, justru aksi
kekerasan tersebut didukung oleh aparatur pemerintah seperti
polisi. Di tengah upaya pemerintah era reformasi yang sedang
berusaha untuk terus membumikan pelaksanaan HAM di negeri
ini, tentu berbagai aksi anarkis berbasis agama tersebut menjadi
sebuah anomali tersendiri.
Dalam konteks ini, yang tampak kemudian adalah negara
terkesan ambigu dan lemah dalam meregulasi wacana dan praktek
kebebasan beragama di negeri ini sebagaimana mestinya, sesuai
dengan porsi dan proporsinya yang tepat. Ambiguitas ini salah
satunya tampak dalam sikap negara yang terlalu jauh melakukan
intervensi terhadap urusan akidah dan keyakinan seseorang atau
sekelompok warga negara yang menganut keyakinan tertentu.
Akan tetapi pada sisi yang lain, dalam beberapa kasus, kriminalitas
dan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang beragama
terhadap kelompok lainnya dibiarkan begitu saja oleh negara tanpa
ada tindakan hukum yang jelas. Padahal, dalam perspektif HAM
kebebasan beragama atau berkeyakinan diletakkan sebagai hak
individu yang tidak bisa ditunda atau ditangguhkan pemenuhannya
(non derogable rights).4
Dalam konteks yang lain, jika kita mengacu kepada instrumen
HAM, terdapat dua bentuk cara negara melakukan pelanggaran:
(1) dengan cara melakukan tindakan aktif yang memungkinkan
terjadinya pembatasan, pembedaan, campur tangan, dan/atau
menghalang-halangi penikmatan kebebasan seseorang dalam
beragama atau berkeyakinan (by commission); (2) dengan cara
4
Selain kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak-hak yang juga
terkandung dalam prinsip non derogable rights ini mencakup: hak hidup
(tidak dibunuh), hak atas keutuhan diri (tidak disiksa, diculik, dianiaya,
diperkosa), hak untuk tidak diperbudak, hak untuk bebas berpikir, hak
untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk tidak dipenjara atas
kegagalannya memenuhi kewajiban kontraktual, serta hak untuk tidak
dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dengan demikian, setiap
tindakan yang dapat menghilangkan hak-hak di atas dari diri seseorang atau
sekelompok orang, maka dapat digolongkan sebagai sebuah pelanggaran
HAM. Ismail Hasani (ed.), op. Cit., hlm. 13-14.
100
Dr. Rohidin, M. Ag
membiarkan hak-hak seseorang menjadi terlanggar, termasuk
membiarkan setiap tindak kekerasan yang dilakukan oleh seseorang
tidak diproses secara hukum (by omission).5 Sementara pelanggaran
kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilakukan oleh warga
negara terhadap warga negara lainnya secara garis besar mencakup:
(1) tindakan kriminal berupa pembakaran rumah ibadat, intimidasi,
intoleransi.
Terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh negara,
Ghufron Mahmudi menyatakan bahwa pelanggaran tersebut
disebabkan oleh ketidakmampuan negara dalam mengambil jarak
terhadap persoalan agama yang muncul di masyarakat. Kebebasan
beragama dan keyakinan merupakan bagian dari hak-hak sipil
dan politik yang dikategorikan sebagai hak negatif (negative
rights)—berbeda dengan hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya
yang dikategorikan sebagai hak positif (positive rights), yang
bisa terpenuhi jika negara ikut berperan aktif memajukannya.
Sebaliknya, hak negatif bisa diwujudkan bila negara tidak terlalu
banyak mencampuri urusan agama dan keyakinan tersebut.6
Pada tataran yuridis-formal, Indonesia sebenarnya telah
memberikan jaminan konstitusional kepada setiap warga negaranya
untuk memeluk agama dan kepercayaan serta menjalankan ibadat
sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945 dan Ketetapan MPR No. II/1978
tentang Pedoman Penghayat dan Pengamal Aliran Kepercayaan.
5
Wawancara dengan Eko Riyadi, Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia
(Pusham UII), pada tanggal 20 Agustus 2011. Dalam beberapa kasus, terlihat
sikap aparat keamanan yang membiarkan dan tidak melakukan pencegahan
sehingga mendorong sekelompok orang untuk tetap melakukan aksinya
seperti menutup tempat ibadat atau menyerangkelompok kepercayaan lain.
Sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam pengendalian keamanan
dan ketertiban di masyarakat, aparat keamanan seharusnya menindak pelaku
kekerasan tersebut. Tetapi tidak jarang aparat keamanan membiarkan, seakan
tindakan pelaku kekerasan dibenarkan. Tindakan pembiaran ini tentu tidak
dapat dibenarkan karena sama halnya negara tidak memberikan jaminan
dan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Lihat,
Indonesia: Perspektif
Kebebasan Beragama/Berkeyakinan”, Makalah dalam Annual Converence on
Islamic Studies (ACIS) Ke-10 di Banjarmasin, 1-4 November 2010, hlm. 722.
6
Ibid., hlm. 722.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
101
Jaminan ini kemudian diperkuat dengan langkah pemerintah
HAM yang mengatur jaminan
kebebasan beragama dan keyakinan yaitu ICCPR khususnya Pasal
7
Tidak berhenti
sampai di sini, berbagai produk kebijakan turunan, baik dalam
bentuk Keppres, Perpres, Keputusan Bersama, dan fatwa melalui
lembaga keagamaan, juga terus muncul sebagai upaya menjamin
hak warga dalam beragama dan keyakinan.
Dengan adanya konsep yang mapan dalam Konstitusi
sebagaimana terurai sebelumnya, bagi penulis hal itu sudah cukup
untuk menjadi referensi pemerintah dalam mengimplementasikan
kebebasan beragama secara menyeluruh. Sebab, secara normatif hal
tersebut memang dapat dikatakan sudah cukup ideal (baca: indah).
Akan tetapi, idealisme tersebut masih mengandung kesenjangan
di ranah implementasi. Hal ini terbukti dengan masih maraknya
praktik kekerasan berbasis agama yang dialami oleh kelompokkelompok minoritas, terlebih yang diklaim “sesat.”
Pada bagian ini, akan dilihat tingkat keberhasilan implementasi
berbagai peraturan tersebut dan sejauh mana negara menjalankan
kewajiban generiknya untuk menghormati (to respect) dan
melindungi (to protect) kebebasan beragama atau berkeyakinan
dengan mengemukakan sekian tindak kekerasan8 yang terjadi
7
Pasal tersebut mencakup: (1) kebebasan untuk menganut atau memilih
agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik di tempat
umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya
dalam kegiatan ibadat, penataan, pengamalan, dan pengajaran, (2) tanpa
pemaksaan sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau memilih
agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya, (3) kebebasan untuk
mengejawantahkan agama dan kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi
oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan apabila diperlukan untuk melindungi
keamanan, ketertiban dan kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak
dan kebebasan mendasar orang lain, dan (4) Negara-negara Pihak Kovenan
ini berjanji untuk menghormati kebebasan orangtua, dan apabila diakui, wali
hukum yang sah, untuk memastikan bahwa agama dan moral bagi anak-anak
mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Ismail Hasani (ed.), op. Cit.,
hlm. 8-9.
8
kepada manusia maupun barang dengan tujuan menghancurkan, merusak,
atau melukai. Termasuk ke dalam kategori kekerasan ini adalah berbagai
perusakan dan penyegelan secara ilegal terhadap sebuah tempat atau aset
102
Dr. Rohidin, M. Ag
dalam era reformasi, yang kemudian akan dilakukan
pada
era Orde Baru dan Orde Lama.Data-data pelanggaran kebebasan
beragama dan keyakinan di sini penulis kutip dari berbagai sumber,
baik dalam bentuk buku maupun laporan penelitian berkala seperti
yang dilakukan oleh SETARA Institute, The Wahid Institute, CRCS
UGM maupun lembaga-lembaga lain. Dalam buku ini, dari seluruh
bentuk-bentuk pelanggaran yang berkaitan dengan munculnya
fatwa tentang aliran sesat dari berbagai lembaga keagamaan dan/
atau yang mengandung unsur-unsur penyesatan yang disajikan
secara kronologis dalam bentuk tabel.
Penyajian berbagai pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan yang hanya dibatasi pada konteks fatwa-fatwa ini
sendiri bertujuan untuk menunjukkan bahwa keluarnya fatwa
yang sedianya dimaksudkan untuk meredam maraknya berbagai
aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas, justru dipersepsikan
secara berlebihan oleh sebagian masyarakat melalui tindakan
anarkis “berkedok” agama. Meskipun fatwa bukanlah satu-satunya
alasan bagi terciptanya sebuah persepsi dalam bentuk kekerasan
dan pelanggaran HAM di masyarakat, namun paling tidak dapat
dilihat bahwa ternyata pengeluaran fatwa penyesatan terhadap
sebuah kelompok keyakinan/keagamaan bukanlah satu-satunya
upaya rekonsiliasi yang tepat karena fatwa-fatwa tersebut masih
memunculkan multi-tafsir di kalangan umat.
yang dimiliki oleh sebuah kelompok keagamaan. Lihat, Laporan Tahunan
Kehidupan Beragama di Indonesia tahun 2008 CRCS, hlm. 11.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
103
Tabel. 4.1.
Dinamika Kebebasan Beragama dan Keyakinan
Berkaitan dengan Fatwa MUI
Waktu
7 Mei 2005
16 Mei 2005
29 Juli 2005
104
Tempat
Keterangan
Kepanjen,
Malang, Jatim
- MUI Malang dan MUI Jatim mengeluarkan fatwa klaim sesat
terhadap Muhammad Yusman
Roy dalam kasus salat dua bahasa.
- Bupati
Malang
mengajukan
Yusman Roy ke Pengadilan dengan
tuduhan penodaan agama.
- Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen
memvonis Yusman 2 tahun
penjara.
Desa
Krampilan,
Kec. Besuk,
Kraksaan,
Probolinggo
MUI
Kab.
Probolinggo
mengeluarkan fatwa penyesatan
terhadap M. Ardhi
Husein,
Pimpinan Yayasan Kanker dan
Narkoba Cahaya Alam (YKNCA)
Desa Krampilan, karena dianggap
menyebarkan aliran sesat melalui
bukunya
Menuju Terang 2.” Husein diajukan
ke pengadilan dengan tuduhan
penodaan agama.
Brebes
Kepolisian dan Pemerintah Daerah
(Pemda) Brebes membubarkan
kelompok Kanjeng Patih Kala
Jenggel
pimpinan
Kasnawi,
setelah dinyatakan sesat oleh MUI
setempat.
Dr. Rohidin, M. Ag
4
September
2005
14
November
2005
29
Desember
2005
Jl. Utan
Kayu 68 H,
Matraman,
Jakarta Timur.
Kurang
lebih
30-an
orang
mendatangi
Komunitas
Utan
Kayu dengan membawa spanduk
bertuliskan “Kami Mendukung
Fatwa MUI dan Mendesak Muspika
Matraman untuk Mengusir JIL dan
antek-anteknya”, “JIL Haram, Darah
Ulil Halal”, dan lain-lain. Mereka
juga menuntut agar JIL diusir dari
Utan Kayu.
Paseh, Kab.
Sumedang
- MUI
Kecamatan
Paseh
menyesatkan kelompok Husnul
Huluq.
- Massa membakar rumah pengikut
ajaran tersebut.
Jakarta
- Pada tanggal 22 Desember 1997
MUI memfatwa bahwa kelompok
keyakinan
pimpinan
Lia
Aminuddin sesat-menyesatkan.
- Lia Aminuddin alias Lia Eden
ditahan Polda Metro Jaya atas
sangkaan melakukan penodaan
terhadap agama dan menghasut
atau mengajak orang lain untuk
mengikuti ajarannya. Ia dijerat
pasal 156a, 157, 335, dan 336 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP)
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
105
Januari
2009
11
Januari
2009
106
Perum
Parahyangan
Kencana,
Desa
Nagrak, Kec.
Cangkuang,
Kab. Bandung
Desa Jajar,
Kec. Talun,
Kab. Blitar
Dr. Rohidin, M. Ag
- Sekitar seratus massa dari
Gerakan Reformis Indonesia
(Garis)
melakukan
demo
menyatakan kelompok Amanah
Keagungan Ilahi (AKI) adalah
sesat, mencoreng nama Islam, dan
meresahkan masyarakat Muslim.
- Perwakilan AKI, Garis, dan MUI
melakukan negosiasi. Akhirnya
perwakilan AKI menandatangani
pernyataan menghentikan segala
aktivitas dan kegiatan yang dinilai
Garis menyimpang dari syariah
Islam.
- PAKEM
melakukan
kajian
terhadap AKI dan memutuskan
bahwa AKI pimpinan Wahyu
Kurnia/Syamsu di Cangkuang
tidak sesat. Sedangkan AKI
versi Andreas sesat karena
mencampuradukkanantara agama
Islam dan agama lain.
- Sekretaris MUI Blitar menyatakan
bahwaaliran Tiket Masuk Surga
(aliran Dununge Urip) yang
dipimpin oleh Suliyani telah
berkembang di Blitar beberapa
bulan sebelumnya. Aliran ini
mewajibkan seluruh pengikutnya
menandatangani
kesanggupan
membayar sejumlah biaya untuk
jaminan masuk surga dari Rp. 3
juta hingga Rp. 7 juta.
- Ketua MUI menyatakan aliran ini
sesat karena menyalahi syariah
Islam dan polisi bisa menjerat
pelaku dengan pasal penodaan
agama. MUI meminta warga untuk
tidak bertindak anarkis. Kapolres
Blitar akan berkoordinasi dengan
MUI untuk mengkaji aliran ini
dan kalau terbukti sesat, aparat
akan membubarkannya.
Februari
2009
Sangkapura,
Kab. Gresik
- Menurut beberapa pihak, Ali
Akbar aliasSoleh Akbar adalah
Dukun Kampung yang membuka
praktik pengobatan. Menurut
MUI, Ali Akbar mempraktekkan
aliran sesat. Menurutnya, Ali
meminta pasiennya untuk memuja
sebagai Tuhan, mengajarkan
syahadat bahwa dirinya adalah
Allah dan sekaligus Rasulullah
serta menginjak-injak al-Qur’an.
- Untuk menghindari amuk massa,
pada tanggal 10 Februari 2009,
polisi membawa Ali ke Polsek
Sangkapura. Di Polsek, Ali
membantah telah menginjakinjak al-Qur’an. Setelah ditahan 24
jam, kepolisian membebaskan Ali
karena tidak memiliki bukti kuat
untuk menetapkannya sebagai
tersangka.
- Menindaklanjuti kasus ini, MUI,
para tokoh agama, dan Muspika
Sangkapura menetapkan Ali Akbar
harus keluar dari Sangkapura.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
107
6 Februari
2009
9 Juni 2009
Juni 2009
108
Kec. Diwek,
Kec. Jombang,
dan Kec.
Tambelang di
Jombang
- Pengurus
MUI
Jombang
menyatakan aliran Noto Ati
adalah sesat. Menurutnya, aliran
ini mengutamakan wirid dan
mengabaikan al-Qur’an, menolak
tradisi sungkeman Idul Fitri,
fanatisme berlebihan terhadap
guru, larangan bertakziyah, dan
larangan terhadap anak-anak
untuk bersekolah dan berinteraksi
sosial.
- Depag menerima laporan kajian
MUI, namun Depag menyatakan
aliran ini telah membubarkan diri.
Luwu, Sulsel
MUI Luwu mengeluarkan fatwa
penyesatan melalui SK No. 2/MUS/
MUI-LW/VI/2009 berisi larangan
paham keselamatan Ambo (dkk.)
di Dusun Pandada. Fatwa ini
merupakan tindak lanjut dari hasil
rapat koordinasi sebelumnya yang
kemudian oleh Kejari Balopa akan
diteruskan ke Bakorpakem Pusat
sebagai landasan pelarangan.
Desa Air Batu,
Kec. Renah
Pembarap,
Kab.
Merangin
Dr. Rohidin, M. Ag
- Tarekat Naqsabandiyah mulai
dianut luas di Air Batu sejak tahun
2005.Sebagian warga melaporkan
ada 20 prinsip ajaran dalam ajaran
Tarekat Naqsabandiyah di Air
Batu yang menyesatkan seperti
Tuhan Beranak, malaikat tidak
pernah ada dan bila iman sudah
sempurna, salat tidak wajib lagi.
- Ketua MUI Merangin menyatakan
pada dasarnya ajaran Tarekat
Naqsabandiyah tidak sesat, tetapi
praktiknya di Air Batu adalah
sesat.
- Pada 23 Juni 2009 diadakan
pertemuan di kantor Depag
(sekarang
Kemenag)
antara
MUI dan pengikut Tarekat
Naqsabandiyah. Hadir pula dalam
pertemuan tersebut kepala Depag,
Kasat Intel Polres, Camat, dan
Kapolsek. MUI dalam pertemuan
tersebut menyatakan aktivitas
tarekat Naqsabandiyah segera
dihentikan dan melarang guru
Tarekat
Naqsabandiyah
Ali
Wardana masuk ke Desa Air Batu.
Juni 2009
Kawasan
hutan lindung
Kab. Luwu
- Sejak
tahun
2007,
Ambo
menyebarkan aliran Maddina
Lekko Pini Bunda Maryam.
Pengikutnya meyakini aliran ini
sebagai salah satu agama yang
diturunkan Allah SWT sebagai
pelengkap ajaran Islam.
- MUI mengadakan pertemuan
di Kejari Belopa yang dihadiri
oleh
Muspida
Kab.
Luwu
untuk membahas ajaran Ambo.
Pertemuan berikutnya diadakan
di Depag. Kemudian MUI
menetapkan secara resmi dengan
surat keputusan bahwa aliran
yang dibawa Ambo menyesatkan
karena tidak sesuai dengan agama
dan adat di wilayah itu.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
109
- Kejari
Belopa
meneruskan
fatwa ini ke Bakorpakem Pusat.
Bersamaan menunggu keputusan
Bakor Pakem Pusat, Bakorpakem
Luwu
mengawasi
aktivitas
pengikut paham ini. Ambo
diperiksa oleh polisi pada akhir
Juni 2009. Sebaliknya, 20 pengikut
Ambo menyatakan bertaubat di
depan aparat Kab. Luwu.
14 Oktober
2009
OktoberNovember
2009
110
Madiun, Jawa
Timur
Warga Dusun Tawangrejo Kec.
Gumarang, Madiun yang tergabung
dalam Forum Keadilan Masyarakat
Babadan (FKMB) melaporkan
ke MUI setempat bahwa ajaran
yang
dikembangkan
Sukarno
sesat. Sebelumnya warga juga
menggerebek rumah Sukarno yang
waktu itu kosong.
Kelurahan
Kranggan, Gg.
5, Mojokerto,
Jatim
- Pada
Oktober
2009,
MUI
Mojokerto menyatakan bahwa
Aliran Ilmu Kalam Santriloka
pimpinan Anwar aliasAchmad
Nafan aliasMbah Aan adalah
sesat. Aliran ini memublikasikan
VCD dan buku berjudul Wind
of
Change.Pengurus
Cabang
Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota
Mojokerto pada 31 Oktober
mendukung pernyataan MUI dan
secara simbolis membakar buku
dan VCD Santriloka. Pengurus
Wilayah (PW) Muhammadiyah
Jawa Timur juga berpendapat
serupa.
Dr. Rohidin, M. Ag
- Menurut pihak-pihak yang tidak
setuju dengan Santriloka di atas,
Santriloka
telah
menistakan
agama seperti mengajarkan puasa
Ramadhan dan salat bukan suatu
kewajiban. Al-Qur’an yang asli
bukan berbahasa Arab, melainkan
bahasa Kawi, Sansekerta, dan Jawa
Kuno.
- Pada 28 Oktober 2009, Mbah Aan
mengajarkan ajaran-ajarannya di
sebuah padepokan di Kelurahan
Kranggan. Aliran ini memiliki
pengikut sekitar 700 orang.
Paginya,
setelah
malamnya
memberikan
pengajaran
di
padepokan tersebut, Mbah Aan
ditangkap polisi dan dibawa ke
kantor Polres Kota Mojokerto.
Setelah 7 hari ditahan, pada 5
November, Mbah Aan ditetapkan
sebagai tersangka.
12
November
2009
Desa
Kauman, Kec.
Kota, Kudus,
Jateng
- Diisukan Sabdo Kusumo alias
Kusmanto
Sujono
menulis
buku Syahadat Makrifat yang
menyatakan Syahadat: “…dan saya
bersaksi bahwa Sabdo Kusumo
utusan Allah” (dalam bahasa
Arab).
- MUI
mengumpulkan
berkas
tertulis ajaran Sabdo Kusumo dan
membuat surat pernyataan ke
Polres Kudus bahwa aliran yang
memiliki pengikut sekitar puluhan
orang tersebut sesat melalui surat
pernyataan bernomor K.30/MUI/
XI/2009.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
111
- Depag memanggil Sabdo Kusumo
untuk dimintai keterangan. Dia
membantah telah menulis buku
Syahadat Makrifat. Dia mengaku
mengarang
buku
Sabdaning
Suma: Kaweruh Sangkan Paraning
Dumadi Ngalam Pernataning
Itu pun
yang menulis kata-katanya adalah
temannya, Kholiq dan Abdul
Latief. Sabdo Kusumo mengaku,
yang juga ditegaskan istrinya,
bahwa dia tidak bisa membaca
dan menulis bahasa Arab.
- Pada 12 November 2009 di
depan pejabat Depag di Kantor
Depag Kudus, Sabdo Kusumo
menandatangani surat pernyataan
tidak
pernah
menyebarkan
ajaran menyesatkan sebagaimana
tercantum dalam buku Syahadat
Makrifat.
2 Desember
2009
112
Sumatera
Selatan
Dr. Rohidin, M. Ag
Komisi fatwa MUI Sumatera
Selatan menyatakan aliran Amanat
Keagungan Illahi (AKI) sesat dan
dilarang berkembang di daerah ini.
Pelarangan dikeluarkan melalui
fatwa bernomor A-003/SKF/MUISS/XII/2009 tentang ajaran AKI
kelompok ini dinilai meniadakan
kewajiban salat dan puasa bagi
pengikutnya.
Tabel. 4.2.
Kekerasan Berbasis Identitas Keagamaan dan Perbedaan
Pandangan atau Praktik Keagamaan
Peristiwa
Penyerangan
terhadap
kelompok
Satariah Sahid
Waktu
(2008)
22
Januari
Tempat
Keterangan
Kelurahan
Bangan,
Deli, Medan
- 2 orang kritis, puluhan
luka-luka.
- Kelompok
penyerang berupaya
menghancurkan
tempat pengajian
Satariah Sahid.
- Argumen penganut
Satariah Sahid:
“Meneruskan ajaran
Syekh Abdurrahman
Singkil, seorang
penyebar agama Islam
di masa lalu”.
- Argumen penyerang:
“Ajaran Satariah Sahid
melenceng dari ajaran
Islam”.
- Akhirnya Camat
Medan Belawan
membekukan kegiatan
Satariah Sahid untuk
sementara waktu.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
113
Penyerangan
terhadap
fasilitas masjid
dan pesantren
Darusy Syifa
di Lombok
Timur
Bentrokan
antara
pengikut
MMI dan
umat Muslim
di Lombok
Timur
114
7 Maret
14-15
Maret
Dr. Rohidin, M. Ag
Desa
Karleko,
Labuhan
Haji,
Lombok
Timur, NTB
Dusun
Tereng, Desa
Karleko,
Labuhan
Haji,
Lombok
Timur, NTB
- Sekelompok orang
menyerang dan
merusak fasilitas
masjid dan pesantren
Darusy Syifa.
- Pihak Darusy
Syifa tidak bisa
penyerang tersebut.
- Pihak Darusy Syifa
merasa tidak memiliki
musuh dan masalah
dengan lingkungan di
sekitarnya.
- Kasus ini telah
dilaporkan ke Komnas
HAM.
- 1 orang luka parah
di bagian kepala,
beberapa korban
luka-luka ringan, dan
dua rumah terkena
lemparan batu.
perbedaan tata cara
penyelenggaraan salat
Jumat. Pengikut MMI
menggunakan satu
kali azan dan warga
Muslim lainnya dua
kali azan sebagaimana
tradisi yang telah lama
dipraktikkan.
- Polisi menahan 3
anggota MMI.
Bentrokan
antara anggota
Laskar Umat
Islam (LUI)
dan warga di
Solo
17 Maret
Joyosuran,
Semanggi,
Pasar
Kliwon, Solo
- 2 orang warga
meninggal dunia dan 1
orang luka parah.
- Belasan pemuda
meminum minuman
keras. Sekitar
100 anggota LUI
menyerangnya.
Beberapa pemuda
meminta bantuan
warga lainnya dan
bentrokan semakin
sengit sampai jatuh
korban.
- Poltabes Solo
menetapkan 7
tersangka dalam
bentrokan tersebut.
- Atap 2 rumah tokoh
- Dakwah kelompok
Pengusiran
warga
terhadap
tokoh aliran
Lombok Barat
12 Mei
Dusun
Mesanggok,
Gapuk,
Geruk,
Lombok
Barat
warga sering
mendiskreditkan
paham keislaman
warga dengan
menganggapnya
bidय़ah dan sesat.
- Puluhan warga
mendatangi dan
melempari rumah
H. Mukti, tempat
pengajian kelompok
melempari rumah H.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
115
- Polisi mengevakuasi
pengikutnya saat
peristiwa terjadi.
- Hasil musyawarah
yang juga didatangi
oleh Kadus
Mesanggok, Kades
Gapuk, Kapolsek,
Kakandepag dan
Ketua MUI Lobar
memutuskan warga
dan H. Mukti pindah
dari kampung mereka.
Penyerangan
terhadap aksi
damai Aliansi
Kebangsaan
danKebebasan
Beragama dan
Berkeyakinan
(AKKBB) di
Monas
116
1 Juni
Dr. Rohidin, M. Ag
Monumen
Nasional
(Monas),
Jakarta
- Tidak kurang dari 70
orang AKKBB terluka.
- Massa dari Komado
Laskar Islam (KLI)
yang terdiri dari FPI
dan HTI menyerang
kelompok AKKBB
yang sedang
memperingati hari
kelahiran Pancasila.
- KLI menuduh AKKBB
membela Ahmadiyah.
- Polisi menangkap
59 aktivis KLI,
menjadikan 8 orang di
antaranya tersangka
dan memvonis
Rizieq Shihab dan
Munarman 1,5 tahun
penjara.
Dari waktu ke waktu berbagai bentuk kekerasan yang dialami
oleh kelompok yang diklaim sesat atau menyimpang semakin
kasus kekerasan yang terjadi, Ahmadiyah menjadi kelompok yang
paling sering menjadi sasaran kekerasan dari berbagai kelompok di
luar Ahmadiyah. Sebagaimana yang telah disaksikan, beragam aksi
anarkis yang terjadi di masyarakat terhadap kelompok Ahmadiyah
ini justru semakin memburuk pasca-dikeluarkannya Surat
Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri No. 3/2008, KEP-033/A/
JA/6/2008 pada 9 Juni 2008 tentang Peringatan dan Perintah
Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI dan
Warga Masyarakat.
Akibat dari dikeluarkannya SKB tersebut, tentu Ahmadiyah
semakin terpojok untuk melakukan segala aktivitasnya karena
adanya ancaman dari kelompok-kelompok penentangnya yang
merasa mempunyai dasar hukum berdasarkan SKB untuk melarang
segala jenis perkumpulan Ahmadiyah yang menjurus pada syiar
keagamaan mereka. Selain itu, penganut Ahmadiyah juga tidak
bisa bebas berkumpul dan berserikat dengan sesama anggota
Ahmadiyah karena adanya ‘kecurigaan’ para penentang mereka.9
9
Hal ini tentu telah melenceng jauh dari apa yang ada di dalam SKB, sebab
dalam SKB tersebut dinyatakan bahwa semua jenis manifestasi keagamaan
boleh dilakukan oleh Ahmadiyah sejauh hal itu tidak mengganggu keamanan,
kesehatan, ketertiban, dan moralitas umum. Al-Khanif, op. Cit., 257.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
117
Tabel. 4.3.
Potret Intoleransi dan Persekusi yang Dialami oleh Kelompok
Ahmadiyah
Waktu
Tempat
Keterangan
15 Juli
2005
Parung, Bogor
- Ratusan massa yang
menamakan dirinya Gerakan
Umat Islam (GUI) yang
dipimpin oleh Habib Abdur
Rahman Assegaf merusak dan
menyerang kampus Mubarak
milik JAI.
- Ratusan anggota JAI dievakuasi.
04
Februari
2006
Dusun
Gegelang, Desa
Gegerung, Kec.
Lingsar, Kab.
Lombok Barat
Penyerbuan perkampungan
milik Jemaat Ahmadiyah oleh
warga.
17
Februari
2006
Bulukumba
Penyegelan tempat ibadat Jemaat
Ahmadiyah oleh Bupati atas
desakan massa Laskar Jundullah
dan Ormas Islam yang tergabung
dalam Ikatan Aliansi Gerakan
Muslim Bulukumba.
5 Maret
2008
Jl. Nagarawangi
No. 71, Kota
Tasikmalaya,
Jabar
Sekelompok orang berpeci putih
melemparkan batu ke balai
pertemuan aset JAI. Akibatnya 12
kaca jendela dan 1 set pintu kaca
pecah.
27 April
2008
Parakan Salak
Rt. 02 Rw. 02,
Sukabumi,
Jabar
Massa membakar Masjid alFurqon dan Madrasah milik JAI.
118
Dr. Rohidin, M. Ag
30 April
2008
Citareun Udik,
Cibungbulang,
Bogor
Puluhan warga membongkar
masjid Ahmadiyah.
Pembongkaran ini disaksikan
oleh aparat dan Polres Bogor.
13 Juni
2008
Jl. Perintis
Kemerdekaan,
Kota Bogor
Ribuan massa dan 14 organisasi
Islam menyegel sekertariat JAI.
18 Juni
2008
Desa Sukadana
dan Desa
Penyairan,
Campaka,
Cianjur, Jabar
Sekitar 100 massa menyegel 6
masjid milik Ahmadiyyah.
20 Juni
2008
Jl. Anuang No.
112, Makassar,
Sulawesi
Selatan
FPI Silawesi Selatan menyegel
Masjid An-Nusrat dan
Sekretariat Pengurus Wilayah
Ahmadiyah Sulsel.
20 Juni
2008
Jl. Dr. Muwardi,
Cianjur, Jabar
Ratusan massa menyegel Masjid
Ahmadiyah.
8 Agustus
2008
Kebon
Muncang dan
Kebon Kelapa,
Parakansalak,
Sukabumi
Warga merusak Masjid
Baiturrahman dan Musola
Baitud Do’a milik Ahmadiyah.
19 Agustus
2008
Jl. Raya Bukit
Indah Ciputat,
Tangerang,
Banten
Sekitar 200 orang yang
tergabung dalam Forum
Masyarakat Muslim Ciputat
menyegel Masjid Baitul Qoyyum.
5 Oktober
2008
Tanjung
Medan, Pujod,
Rakon Hilir,
Riau
Masjid Mahoto dihancurkan.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
119
2 Januari
2009
7 Februari
2009
120
Pondok
Pesantren
Soko Tunggal,
Sendangguwo,
Semarang
Polwiltabes Semarang dan
Kepolisian Resort Semarang
Selatan membubarkan Pengajian
JAI Semarang di Pondok
Pesantren Soko Tunggal secara
paksa dengan alasan bahwa
kegiatan ini belum mendapatkan
izin pelaksanaan. Pihak
kepolisian hanya menerima surat
pemberitahuan dari pimpinan
Pesantren.
Jakarta
Ketua MUI Pusat, Kholil
Ridwan, mendesak pemerintah
mengeluarkan undang-undang
tentang aliran sesat. Hal itu
disampaikan ketika ia menjadi
narasumber dalam bedah buku
Nabi-Nabi Palsu di arena Islamic
Book Fair di Istora Senayan
Jakarta. Kholil juga mendesak
Kejaksaan Agung (Kejagung) RI
dan pemerintah untuk segera
mengeluarkan keputusan
pembubaran Ahmadiyah dan
mengingatkan umat Islam
agar pembubaran Ahmadiyah
terus didengungkan di setiap
pengajian.
Dr. Rohidin, M. Ag
13 Maret
2009
19 Maret
2009
21 Maret
2009
Depok,
Barat
Jawa
Ketua FPI Kota Depok Jawa
Barat, Habib Idrus al-Gadri
menyatakan, “FPI Kota Depok
memutuskan untuk tidak
memilih (golput) dalam pemilu
legislatif dan pemilu presiden
mendatang karena hingga saat
ini belum ada calon legislatif
ataupun calon pemimpin
yang bertekad membubarkan
Ahmadiyah”.
Jakarta
Direktur Lembaga Penelitian
dan Pengkajian Islam (LPPI),
Amin Djamaluddin, melaporkan
Pemimpin, Ketua Umum, dan
Pengurus Jemaat Ahmadiyah ke
Reserse dan Kriminal Markas
Besar Kepolisian terkait ulang
tahun Ahmadiyah di Kuningan.
Amin menganggap kegiatan
itu melanggar SKB tiga menteri
tentang Ahmadiyah dan
larangan mengadakan kegiatan.
Jakarta Selatan
Dalam sebuah kampanye, Salim
bin Umar al-Attar dari Partai
Kebangkitan Nasional Ulama
(PKNU) berjanji melarang atau
membubarkan kelompok yang
dianggap telah menodai Islam
seperti Ahmadiyah jika calegnya
berhasil memperoleh kursi di
DPR RI.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
121
25 Maret
2009
25 Maret
2009
122
Kota Bandung,
Jawa Barat
Aksi unjuk rasa sekitar seribu
massa Garis, FPI Kota Bandung,
AGAP, FUI, Aliansi Gerakan
Anti Maksiat (A-GAM)
Majalengka, PAS Indonesia,
Forum Penyelamat Akidah
Umat Kec. Kadungora Garut dan
Forum Pemberdayaan Masjid
Sumedang di Gedung Sate
Bandung menuntut Gubernur
Jawa Barat, Ahmad Heryawan,
segera melakukan pelarangan
serta pembubaran Ahmadiyah di
wilayah Jawa Barat.
Bandung, Jawa
Barat
Ratusan orang dari berbagai
organisasi Islam, di antaranya
kader FPI mendatangi Gedung
Sate dan menuntut gubernur
Jawa Barat, Ahmad Heryawan,
menerbitkan SK pembubaran
Ahmadiyah. Massa juga
menuntut pembersihan antekantek Yahudi dan Zionis Israel
seperti Rotary Club di Jabar.
Dr. Rohidin, M. Ag
1
April
2009
Jakarta
Ribuan umat Muslim gabungan
ormas-ormas Islam seperti
FPI, Laskar Aswaja, Gerakan
Cinta Nabi, FUI, Aliansi Damai
Anti Penistaan Islam (ADA
API), gabungan Majelis Ta’lim
se-Jabotabek serta gabungan
Pondok Pesantren se-Indonesia
berunjuk rasa di depan istana
untuk menyuarakan agar
Susilo Bambang Yudhoyono
mengeluarkan Keputusan
Presiden (Keppres) pembubaran
Ahmadiyah. Dalam aksi ini,
KH. Nur Iskandar SQ. sebagai
juru bicara menyatakan:
“Jika presiden tidak bisa
membubarkan dan/atau
menyatakan bahwa Ahmadiyah
bukan Islam, maka para kiai
se-Indonesia akan menyerukan
pada umat Islam untuk tidak
memilih Susilo Bambang
Yudhoyono pada Pilpres 2009”.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
123
13 Mei
2009
Surabaya, Jawa
Timur
Ketua Musyawarah Ulama seJawa Timur, Helmy Basaiban,
menuntut Jusuf Kalla dan
Wiranto membubarkan
Ahmadiyah jika terpilih
menjadi presiden dalam Pemilu.
Pernyataan ini disampaikan
saat ia memberikan sambutan
dalam pertemuan Musyawarah
Ulama Jawa Timur di Rumah
Makan Agis, Surabaya. Tetapi,
dalam jawabannya Jusuf Kalla
tidak menjawab secara tegas:
“Untuk aliran sesat tentu harus
diluruskan secara syari’at juga.
Namun jika secara syariah juga
tidak bisa, maka kewajiban
negara untuk menegakkan
hukumnya”.
6 Juni
2009
Jl. Ciputat Raya,
Gg. Sekolah No.
18 Rt. 001/Rw.
01 Kebayoran
Lama, Jakarta
Masjid Ahmadiyah di Jakarta
Selatan dibakar oleh dua orang
tidak dikenal saat beberapa
orang Jemaat Ahmadiyah
melaksanakan salat Subuh
berjamaah.
Bandung, Jawa
Barat
Pernyataan ketua MUI Pusat,
KH. Cholil Ridwan: “Belajar dari
Gubernur Sumatera Selatan,
Alex Nurdin, yang tidak kiai
saja berani membubarkan
Ahmadiyah di daerahnya. Masak
Gubernur Jawa Barat yang kiai
tidak berani membubarkan
Ahmadiyah.”
7 Juni
2009
124
Dr. Rohidin, M. Ag
2 Juli 2009
FUI dan FPI berdemonstrasi di
depan Kantor Depag Pusat untuk
menyoal keberatan mereka atas
tidak efektifnya SKB. Kepada
pengendara yang melintas,
Jakarta
dan selebaran berisi dukungan
kepada pasangan Jusuf KallaWiranto dalam Pilpres 2009 dan
pembubaran Ahmadiyah.
11 Agustus
2009
11
Desember
2009
Sumatera Barat
Depag Sumatera Barat
menyetujui larangan Jemaat
Ahmadiyah beribadat haji yang
dikeluarkan Pemerintah Arab
Saudi. Kepala Bidang Haji,
Zakat, dan Wakaf Kantor Depag
Sumatera Barat, Japeri Jarap,
menghimbau instansi seperti RT
atau lurah, agar melaporkan jika
ada warganya dari Ahmadiyah
yang ikut mendaftar ibadat haji.
Jakarta Selatan
Warga Bukit Duri, Tebet, Jakarta
Selatan, menyegel sebuah rumah
ibadat sekaligus tempat tinggal
milik sekelompok pengikut
ajaran Ahmadiyah. Penyegelan
terhadap rumah ibadat berlantai
dua ini berlangsung tanpa
keributan. Warga berpendapat
para Jemaat Ahmadiyah ini
melanggar SKB tiga menteri
karena tetap melakukan kegiatan
keagamaan.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
125
Jika ditelusuri lebih dalam, berbagai bentuk pelanggaran
kebebasan beragama dan berkeyakinan pada era reformasi
di atas sebenarnya tidak terlepas dari warisan kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah era Orde Baru, dan lebih jauh oleh
pemerintah era Orde Lama.10 Sebagaimana diungkapkan oleh
Musdah Mulia, selama 32 tahun masa kekuasaannya, rezim Orde
Baru nyaris sempurna melakukan intervensi terhadap kehidupan
beragama di tanah air. Intervensi itu, menurut Musdah, setidaknya
mengambil tiga bentuk. Pertama, campur tangan negara terhadap
keyakinan dan kehidupan keberagamaan warga. Intervensi
jenis ini diwujudkan dalam bentuk pelarangan terhadap buku,
perayaan, atau kelompok keagamaan tertentu yang dinilai dapat
mengganggu dan memunculkan perlawanan atas kekuasaan.
Keberhasilan intervensi ini dibuktikan dalam bentuk pelarangan
terhadap lebih dari seratus aliran kepercayaan atau kebatinan yang
berhaluan kiri oleh Pemerintah Orde Baru hanya dalam kurun
dua tahun awal masa kekuasaannya. Kedua
“agama resmi” dan ”agama tidak resmi”.11
rezim Orde Baru hanya melakukan kontrol terhadap kelompok di
10
Embrio dari warisan ini berawal dari munculnya berbagai aliran
kebatinan, baik dalam ranah politik maupun sosial, yang kemudian melahirkan
dua perkakas hukum yaitu Bakorpakem, yang terdiri dari Jaksa Agung,
Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri dan UU No. 1/PNPS/1965. Dalam
perkembangannya, PNPS yang berisi tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/
atau Penodaan Agama tersebut digunakan sebagai alat untuk membentengi
“agama-agama resmi” dari “serangan” aliran-aliran sempalan. Hal ini tentu
saja menjadi intervensi nyata dari pemerintah terhadap kehidupan warga
negaranya. Intervensi negara ke dalam wilayah privat (baca:keberagamaan)
masyarakat ini sendiri disinyalir terjadi setelah adanya kegagalan partai-partai
Islam memperoleh suara mayoritas dari kelompok-kelompok minoritas ini
pada Pemilu 1955.
11
Pada dataran wacana, pernyataan Musdah ini terlihat berseberangan
dengan pernyataan Presiden Soeharto yang disampaikannya dalam berbagai
kesempatan. Dengan mengacu kepada penjelasan TAP MPR tentang P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), Presiden Soeharto
menyatakan bahwa pemerintah tidak mencampuri masalah intern keagamaan,
baik yang berkaitan dengan masalah penafsiran, pengamalan, maupun
pelembagaan agama dari masing-masing umat beragama. Dalam kesempatan
yang lain, Presiden Soeharto menandaskan bahwa di Indonesia tidak mengenal
agama yang
diakui dan tidak diakui. Lihat, Djohan Efendi “Jaminan Konstitusional Bagi
Kebebasan beragama di Indonesia” dalam Nurcholish Madjid, (dkk.), Passing
Over: Melintas Batas Agama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 111.
126
Dr. Rohidin, M. Ag
luar “agama resmi” yang dianggap mengancam kekuasaannya lewat
tangan agama-agama resmi. Salah satu efek yang ditimbulkan
dari intervensi jenis kedua ini, agama-agama yang dianggap resmi
kemudian seolahmenjadi perpanjangan tangan dari penguasa
(baca:pemerintah) karena mereka diberikan kewenangan untuk
mengontrol berbagai bentuk kegiatan dan tafsir keagamaan oleh
masyarakat. Ketiga,intervensi yang diwujudkan dalam bentuk
proses kolonialisasi agama-agama mayoritas terhadap kelompok
kepercayaan atau agama-agama lokal melalui islamisasi atau
kristenisasi sebagai efek dari intervensi jenis kedua.12
Beberapa kasus pelanggaran kebebasan beragama dan
keyakinan yang terjadi pada era Orde Baru di antaranya sebagaimana
yang tampak pada tabel berikut ini:
Tabel. 4.4.
Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Keyakinan pada Era
Orde Baru
Waktu
Agustus
1968
Kasus
H.B Jassin:
Cerpen
“Langit Makin
Mendung”
dalam Majalah
Sastra, Th. VI.
No. 8, Edisi
Agustus 1968
Gambaran
- Cerpen yang ditulis oleh seorang
tokoh bernama Ki Panjikusmin
tersebut dianggap melecehkan
Islam.
Akibatnya,
ratusan
eksemplar majalah Sastra disita di
berbagai toko, agen, dan pengecer
di kota Medan.
- Kantor majalah Sastra didatangi
50 pemuda yang mencoret-coret
dinding kantornya dengan berbagai
macam penghinaan, “H.B Jassin
Kunjuk!” (baca: Kunyuk), “H.B
Ini Kantor Lekra, Majalah Sastra:
Anti Islam”, misalnya.
12
Siti Musdah Mulia, op. Cit., hlm. 335.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
127
- H.B Jassin selaku Redaktur Majalah
Sastra diseret ke pengadilan.
Namun, di muka pengadilan ia
bersikeras tidak
mengungkap
identitas Ki Panjikusmin dengan
berpegang pada UU Pers 1966.
- H.B Jassin dikenai Pasal 156a
KUHP karena dianggap melakukan
penodaan agama dan dihukum
satu tahun penjara dengan masa
percobaan dua tahun.
Arswendo
Atmowiloto
dalam
Oktober
Publikasi
1990
Hasil Angket
Tabloid
Monitor, 1990
128
Dr. Rohidin, M. Ag
- Pada Senin, 15 Oktober 1990,
Tabloid Monitor menurunkan
hasil angket mengenai tokoh yang
paling dikagumi pembaca. Hasil
angket itu menunjukkan Nabi
Muhammad menempati urutan
kesebelas sebagai tokoh yang paling
dikagumi, satu tingkat di bawah
Arswendo Atmowiloto, Pemimpin
Redaksi Monitor yang menempati
peringkat kesepuluh. Publikasi
tersebut menimbulkan kegemparan
di kalangan umat Islam.
- Monitor dianggap melecehkan Nabi
Muhammad dan membangkitkan
kembali sentimen suku, agama,
dan ras.
- Arswendo Atmowiloto dikenai
Pasal 156a KUHP dengan tuduhan
penodaan agama dan dihukum
lima tahun penjara.
A p r i l
1996
Saleh bin
Abdul Kadir
alias Hamid,
Situbondo,
1996 13
- Saleh, seorang penjaga masjid,
menyatakan kepada K.H. Achmad
Zaini, pimpinan pondok Nurul
Hikam, bahwa Allah adalah
makhluk biasa dan K.H. As’ad
Situbondo dan tokoh NU yang
sangat dihormati, meninggal tidak
sempurna (Madura: mate takacer).
- Saleh dikenai Pasal 156a KUHP
dengan tuduhan penodaan agama
dan dihukum lima tahun penjara.
Tanpa bermaksud mengabaikan landasan-landasan hukum yang
lain, dari sekian produk kebijakan terkait jaminan dalam beragama
dan berkeyakinan yang telah disebutkan di atas, tindak kekerasan
di atas sebagian diakibatkan karena adanya inkonsistensi dari
pemerintah dalam mematuhi landasan hukum nasional, dan
1413
Selain itu,
pemerintah juga terkesan bersikap tebang pilih dalam menghukum
para pelaku kekerasan.
13
Kasus yang menimpa Saleh ini terus merambat menjadi semakin besar
yang kemudian berujung dengan terjadinya peristiwa kerusuhan di Situbondo.
Telusuri lebih lanjut terkait kasus ini dan beberapa kasus kekerasan lain yang
kental dengan nuansa SARA yang terjadi dalam di tahun 1995-1996 dalam, A.
Made Tony Supriatma (ed.), 1996: Tahun Kekerasan, Potret Pelanggaran HAM
di Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1997, hlm. 54-75.
14
Di dalam hukum internasional, sebuah
sebuah instrumen internasional harus menunjukkan kepatuhan terhadap
negara juga harus
memerhatikan aturan hukum yang diatur oleh deklarasi internasional yang
telah menjadi norma-norma absolut yang tidak bisa ditangguhkan dalam
keadaan apapun juga seperti genosida, perbudakan, dan hak untuk hidup.
Norma tersebut harus dijalankan sebagai bagian dari kepatuhan negara
terhadap moralitas yang dikandung dalam hak tersebut. Lihat Al-Khanif, op.
Cit., hlm. 210.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
129
Selain karena faktor kegamangan pemerintah tersebut,
,
sebagian juga diakibatkan karena adanya kesan diskriminasi yang
tercermin dalam fatwa-fatwa yang (di antaranya) dikeluarkan
oleh lembaga MUI, baik yang berada di tingkatan daerah maupun
pusat.14 Fatwa-fatwa MUI yang sejatinya hanya bersifat legal
opinion tersebut kemudian dipersepsikan oleh sebagian kalangan
sebagai legal binding untuk membatasi kebebasan beragama.15
Kekuatan “legalitas” fatwa-fatwa MUI tersebut paling tidak
disebabkan karena adanya kedekatan dan keterkaitan MUI dengan
pemerintah. Hal ini karena semenjak awal didirikannya, MUI dan
juga lembaga-lembaga keagamaan lainnya seperti Walubi, PGI,
KWI, Hindu Dharma Indonesia, dan Matakin, dimaksudkan untuk
menjadi bagian dari instrumen rezim otoriter Orde Baru untuk
menyangga kekuasaan dan menjinakkan (baca:mengontrol) setiap
bentuk gerakan keagamaan dari “agama-agama tidak resmi” dan
masyarakat atau kelompok masyarakat pada umumnya.
Kondisi ini tentu mengajak kita untuk kembali bersikap kritis
terhadap fatwa ataupun pendapat yang bisa memancing emosi
massa. Meski secara tekstual, dalam materi fatwa MUI, tidak ada
diktum atau klausul untuk menyerang dan melakukan tindakan
kekerasan terhadap kelompok atau aliran yang dianggap “sesat”,
“
umat Islam, fatwa bermodel seperti itu adalah jenis fatwa yang
paling efektif dalam menggerakkan nalar dan emosi masyarakat
untuk melakukan tindakan kekerasan dan main hakim sendiri.16
14
Telusuri lebih lanjut tentang berbagai fatwa MUI dalam kurun 19762010 di bidang akidah dan aliran keagamaan dalam, MUI, Himpunan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia, MUI, Jakarta, 2010, hlm. 35-123.
15
Yang perlu menjadi penekanan dalam hal ini adalah bahwa sistem
hukum Indonesia tidak mengenal fatwa di dalam hierarki perundangundangan negara. Fatwa bukanlah hukum positif sehingga keberadaan fatwa
tidak mengikat melainkan berisi subjektivitas moral dari organisasi-organisasi
Islam yang mendukungnya. Sehingga, ketika sebuah fatwa bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar yang termaktub dalam Pancasila, maka sudah
seharusnya fatwa tersebut tidak boleh dikeluarkan. Al-Khanif, loc. Cit.
16
Bagaimanapun, fatwa-fatwa otoriter diduga kuat berpotensi
menimbulkan tindakan anarki dan kekerasan. Peristiwa terbunuhnya
ᦰUᒱ
ᦰ
” karena dianggap melampaui
130
Dr. Rohidin, M. Ag
Pada dasarnya semua warga negara yang beragama
mendapatkan jaminan. Tetapi jaminan tersebut dibelah menjadi
“jaminan penuh” dan “jaminan seadanya”. “Jaminan penuh” dalam
pengertian bahwa agama-agama itu selain dijamin oleh UUD juga
mendapatkan bantuan dan perlindungan hukum dari serangan
pemahaman-pemahaman di luar mainstream. Sementara “jaminan
seadanya” adalah kosakata untuk menggambarkan model jaminan
negara tanpa adanya pengakuan yang melindunginya.17
Di sinilah kiranya setiap entitas di negeri ini perlu untuk terus
mengupayakan pencarian kebenaran yang lapang dan terbuka
serta tidak membelenggu jiwa, dan ini hanya dapat diperoleh
dengan merealisasikan dialog konstruktif yang terbuka untuk
mencapai kata mufakat (
). Dialog di sini tentu
bukanlah sebuah polemik tempat orang beradu argumentasi
lewat pena, bukan debat untuk saling mengemukakan kebenaran
wewenang sebagai Pemimpin umat Islam yang digariskan Allah dan Rasulᦰ
ᐅ
setelah dituduh percaya kepada “hukum manusia” mungkin dapat dijadikan
sebagai satu gambaran. Dalam konteks sejarah umat Islam modern, gambaran
kembali dapat kita lihat dari peristiwa yang menimpa Syekh Muhammad
murtad
dan
oleh
ᦰ
Farag Fouda ditembak mati di halaman rumahnya oleh pengikut kelompok
radikal setelah atasannya menjatuhkan fatwa
dan murtad kepadanya.
Novelis Naguib Mahfouz mengalami percobaan pembunuhan setelah ada
fatwa bahwa novelnya, $ZOƗG ᏡDUDWLQƗ, bertentangan dengan Islam.Pemikir
Islam Sudan, Ustad Muhammad Mahmoud Thahadigantung sampai mati
setelah divonis murtad. Dalam konteks ini, Analisis Tindak Ujar (speech act
analysis) sebagai sebuah kerangka teoretis, sebagaimana dikembangkan oleh
Austin (1962), penulisanggap relevan jika digunakan sebagai alat bantu untuk
melihat korelasi antara fatwa-fatwa sesat MUI dan tindak kekerasan oleh
masyarakat. Dalam kerangka teoretis speech act analysis ini, setiap tindak ujar
selalu memiliki dan melibatkan dua pihak, yakni penutur sebagai pihak yang
mengeluarkan ujaran dan petutur sebagai pihak yang menerima ujaran. Dalam
hubungan antara penutur dan petutur tersebut, secara kategoris, terdapat tiga
macam. Pertama, tindak lokusi (locutionary act), yang merupakan tindak ujar
untuk menyatakan sesuatu. Kedua, tindak ilokusi (illocutionary act), yang
merupakan tindak ujar yang dilahirkan dan dimanfaatkan untuk melakukan
sesuatu. Ketiga, tindak perlokusi (perlocutinary act), yang merupakan tindak
ujar yang memiliki dampak, daya dorong, serta pengaruh kuat bagi yang
menerima atau mendengarnya untuk melakukan sesuatu.
17
Tedi Kholiludin, Kuasa Negara Atas Agama: Politik Pengakuan,
Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil, RaSAIL Media Group,
Semarang, 2009, hlm. 163.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
131
pendapat dari seseorang dan mencari kesalahan pendapat orang
lain, dan bukan pula sebuah apologi sehingga orang berusaha
mempertahankan kepercayaannya karena terancam. Namun,
dialog di sini pada hakekatnya adalah suatu percakapan bebas,
terus terang, dan bertanggung jawab, yang didasari oleh sikap
saling pengertian dalam menanggulangi masalah kehidupan umat,
baik material maupun spiritual, sehingga perlu dikembangkan
prinsip “agree in disagreement” (setuju dalam perbedaan).18 Dengan
perspektif yang berbeda, dialog dapat pula kita tafsirkan sebagai
implementasi konkret dari semangat multikulturalisme, di mana
orientasinya adalah kehendak untuk membawa masyarakat dalam
suasana rukun, damai, egaliter, toleran, saling menghargai, saling
menghormati, tanpa menghilangkan kompleksitas perbedaan yang
ada.
Mengacu kepada pemaparan di atas, dapat ditarik dua
kesimpulan mendasar terkait dinamika kebebasan beragama yang
terjadi di Indonesia. Pertama, dinamika kebebasan beragama di
negeri ini ternyata berbanding lurus dengan dinamika perpolitikan
yang sedang berjalan. Kedua, dari sekian jumlah kasus kekerasan
terhadap kelompok-kelompok minoritas yang terjadi dalam kurun
reformasi, Orde Baru, dan Orde Lama—di samping fakta kekerasankekerasan lain yang belum termaktub dalam tulisan ini—sebagian
besar akibat dari persepsi yang berlebihan atas dikeluarkannya
fatwa tentang aliran sesat oleh lembaga keagamaan berupa MUI
serta adanya klaim-klaim sesat lain dari masyarakat, ormas Islam,
dan aparat pemerintah.19
18
Dengan bahasa yang berbeda, Hans Khung, seorang Teolog Kristen,
sebagaimana dikutip Komaruddin Hidayat, menyatakan bahwa dialog
merupakan prasyarat pokok bagi terciptanya hidup damai dalam suatu negara.
Ia mengatakan,“No peace among the nations without peace among religions;
no peace among religions without dialogue between the religions; no dialogue
between religions without investigation the foundation of the religions”.
Komaruddin Hidayat, “Membangun Teologi Dialogis dan Inklusivistik”, dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over, Melintasi Batas
Agama, Jakarta: Gramedia, 1998 hlm. 37.
19
Terlepas dari adanya distingsi pada wilayah implementasi, beragam
klaim penyesatan yang merebak ini tentu berlawanan dengan pernyataan
Presiden Soeharto dalam acara Ramah Tamah dengan peserta Rapat Kerja MUI
pada 8 Maret 1984. Pada kesempatan tersebut, Soeharto sempat menyatakan,
132
Dr. Rohidin, M. Ag
Kembali kepada fakta yang telah penulis kemukakan di
awal, meskipun Negara Indonesia telah meletakkan dasar-dasar
penghormatan terhadap kebebasan beragama dan keyakinan
sebagaimana tertuang dalam berbagai produk legislasi yang secara
normatif sudah tampak ideal, ternyata hal itu belum sepenuhnya
menjaminimplementasi hak asasi beragama kepada warga negara.
Konklusi ini bisa dilihat dari masih suburnya berbagai pelanggaran
kebebasan beragama dan keyakinan yang dilakukan oleh aparat
negara, dan juga berbagai tindakan intoleransi yang dilakukan oleh
masyarakat dan/atau kelompok masyarakat.
Mengacu kepada pembahasan bab ini, terlihat bahwa toleransi
yang hingga saat ini gencar diwacanakan, ternyata masih sebatas
jargon politis semata, sebab agama masih dipahami sebatas simbol,
ritus, dan seremoni belaka dengan mengabaikan spiritualitas dan
kemanusiaan. Bagaimanapun, hak setiap orang untuk beragama
dan berkeyakinan bukanlah pemberian negara atau pemberian
golongan tertentu, sebagaimana yang tertuang dalam TAP MPR No.
II/1978, dan hak ini tentu tidak mungkin dapat ditaklukkan dengan
kekuasaan (negara). Karenanya, dengan berkaca kepada maraknya
aksi pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan yang hingga
saat ini masih terus bergulir, maka rekonstruksi wacana tentang
relasi agama dan negara kiranya perlu kembali dilakukan oleh
segenap elemen bangsa ini.
B.
Relasi Agama dan Negara Perspektif Pancasila
Berkaitan dengan Konsep Kebebasan Beragama
Ketika mendirikan Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat,
founding fathers tidak hanya didukung oleh organisasi sosial
dan politik, tetapi juga didukung oleh institusi lain bernama
“Hendaklah disadari bahwa negara kita menganut kebebasan beragama dan
kebebasan menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaan masingmasing. Prinsip ini hendaknya menjadi anutan dan pegangan, bukan saja oleh
negara melainkan juga oleh lembaga keagamaan masyarakat kita. Masingmasing kita, perorangan atau kelompok maupun lembaga, bahkan negara
sekalipun, tidak berhak memaksakan suatu paham, baik dalam keyakinan,
bentuk, dan pelaksanaan ibadat, maupun dalam pelembagaan.” Lihat, Djohan
Efendi, op. Cit., hlm. 119.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
133
agama. Tidak satu pun lembaga keagamaan yang ada di Indonesia
menentang aspirasi founding fathers. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa proses mendirikan Negara Indonesia yang
merdeka dan berdaulat berlangsung secara cepat dan berjalan
mulus.
Proses mendirikan Negara Indonesia diwarnai oleh faktorfaktor rasional-objektif. Hal semacam ini terlihat dalam berbagai
macam perundingan para wakil BPUPKI. Kesepakatan bersama
yang diwarnai oleh faktor-faktor rasional-objektif itu menekankan
Negara Indonesia berdasarkan pada nilai kemanusiaan, persatuan,
keadilan sosial yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa demi
membangun kemanusiaan Indonesia dan persaudaraan segala
bangsa.20 Proses me-negara yang ditentukan oleh faktor-faktor
rasional-objektif tersebut menekankan pada kebangsaan sebagai
ideologi yang memperjuangkan kesatuan bangsa.21
Berdirinya Negara Indonesia yang dilandasi Pancasila,
sebagaimana dimaksudkan oleh founding fathers, memfungsikan
agama-agama turut aktif memperjuangkan dan menegakkan nilainilai kemerdekaan, kerakyatan, keadilan, dan kesatuan. Identitas
masing-masing agama tidak dilenyapkan, tetapi agama-agama
diletakkan dalam kerangka yang lebih luas, yaitu bahwa agamaagama perlu mengadakan kontekstualisasi ajaran-ajarannya
di Indonesia. Dengan kata lain, ideologi kebangsaan menjadi
semacam konteks yang tidak dapat ditiadakan oleh agama-agama.
Kerangka kesatuan bangsa itulah yang menjadi semacam
norma dasar negara Indonesia yang digunakan untuk meniadakan
gerakan-gerakan agama yang berusaha memanfaatkan negara
demi kepentingan agama tertentu dalam arti kelompok tertentu,
seperti gerakan DI/TII.22 Dalam hal ini, agama dimengerti oleh
founding fathers sebagai suatu institusi yang tidak pernah berusaha
20
M. Hatta, “Ke Arah Indonesia Merdeka?”, dalam Miriam Budiharja
(ed.), Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta, 1980, hlm. 21-54.
21
A.M.W. Pranarka,Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, CSIS, Jakarta,
1985, hlm. 47-48.
22
Anhar Gonggong dan Abdul Qahhar Mudzakar, Dari Patriot Hingga
Pemberontak, Gramedia, Jakarta, 1992, hlm. 123-124.
134
Dr. Rohidin, M. Ag
menggantikan konstitusi negara. Mengapa? Karena agama yang
dipahami itu sebagai suatu institusi yang memiliki semangat
kesetiakawanan, kemanusiaan, kerukunan, kesalehan, ketakwaan,
dan tentu saja kebangsaan.
Di Indonesia kepentingan agama senafas dengan kepentingan
negara, yaitu menegakkan nilai-nilai kemerdekaan, keadilan,
kemanusiaan, kerakyatan, dan kesatuan. Permasalahan yang muncul
adalah bagaimanakah peran agama-agama dan negara menuju
tingkat kehidupan bermasyarakat dan berbangsa? Pertanyaan
semacam ini perlu diajukan karena dalam tingkat ‘negara’ peranan
tingkat kehidupan bermasyarakat dan berbangsa faktor-faktor
emosional subjektif sangat berperan. Bukankah agama-agama yang
datang ke Indonesia memiliki klaim-klaim kebenaran ajarannya
tersendiri? Dengan demikian, agama-agama itu menggalang
perasaan solidaritas kelompok secara lebih riil dan memadai jika
dibandingkan dengan perasaan solidaritas kebangsaan Indonesia.
Perasaan solidaritas kelompok yang padat semacam ini secara
langsung dan tidak langsung mendorong agama-agama menuntut
perannya sebagai ‘anak emas’ di Indonesia. Permasalahan yang
timbul di Indonesia adalah tidak ada satu agama pun yang berhak
menyandang gelar anak emas. Agama-agama dipaksa oleh ideologi
kebangsaan Indonesia berperan sebagai anak bangsa.23
Teori tentang hubungan agama dan negara secara garis besar
dibedakan menjadi trikotomi paradigma pemikiran, yaitu:24
23
John Titaley, “Pluralisme Agama dan Nasionalisme, Peranan
Agama dalamPembentukan Dasar Kehidupan Berbangsa di 1ndonesia,”
Makalah, dalam SeminarAgama-agama X11, Bogor/Tugu, September
1992, hlm. 16.
24
Disarikan dari: Dede Rosyada (dkk.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia,
dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Jakarta, Jakarta, 2003, hlm. 61., Hani
Astika, “Hubungan Agama dan Negara dalam Islam”, dalam Jurnal al-Manahij,
vol. 2, No. 1, Januari-Juni, 2008, hlm. 68-70., Gunarto, “Pemikiran Munawwir
Syadzali tentang Islam dan Negara dalam Perbandingan Penafsirannya antara
T.B. Simatupang dan Eka Darmaputra dari Perspektif Kehidupan Beragama
dan Pancasila”, dalam Jurnal Teologi Stulos, vol. 6, No. 1, April 2007, hlm. 53-70.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
135
1. Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan
agama dan negara yang menganggap bahwa agama dan negara
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya
merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Wilayah agama
meliputi politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik
dan keagamaan sekaligus. Oleh karena itu, kepala negara adalah
pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik sekaligus.
Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar “kedaulatan Ilahi”
(divine sovereignty), karena pendukung konsep ini meyakini bahwa
kedaulatan berasal dan berada di tangan Tuhan. Oleh karena itu,
rakyat yang menaati segala ketentuan negara berarti ia taat kepada
agama. Sebaliknya, memberontak dan melawan negara berarti
melawan agama yang berarti juga melawan Tuhan. Dengan model
seperti ini, negara sangat potensial melakukan otoritarianisme
dan kesewenang-wenangan. Alasannya, karena rakyat tidak dapat
melakukan kontrol terhadap penguasa yang dapat berlindung di
balik agama.
2. Paradigma Simbiotik
Dalam paradigma simbiotik dinyatakan bahwa agama dan negara
berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat
timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara
karena dengan adanya negara maka agama akan dapat berkembang
secara lebih baik. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena
dengan agama maka negara dapat berkembang dalam bimbingan
etika dan moral spiritual. Hanya saja, dalam tataran praktis,
persetubuhan agama dan negara yang terjadi justru negara
menelikung agama. Ajaran Islam, misalnya, yang semestinya
mengatur kehidupan politik dari sektor etika, justru diatur oleh
elit-elit politik, sehingga tetap cenderung menuju konsep ”Islam
adalah agama dan negara”.25
25
Bagi Arif Hidayat, paradigma simbiosis ini mengandaikan terpenuhinya
empat prinsip, yakni theokrasi, demokrasi, nomokrasi, dan ekokrasi. Hubungan
keempat prinsip tersebut bersifat berkait berkelindan satu sama lain, dalam
136
Dr. Rohidin, M. Ag
3. Paradigma Sekularistik
Menurut pandangan paradigma sekularistik, agama dan negara
harus dipisahkan dengan tegas. Negara dan agama merupakan dua
bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya
masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan
tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada
pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku
adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia
melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum
agama. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran
negara kepada Islam. Atau paling tidak, menolak determinasi Islam
pada bentuk tertentu dari negara.
Negara Indonesia tidak hanya kaya akan sumber daya alam, pun
juga demikian agama dan keyakinan yang dianut oleh warganya.
Kekayaan di sektor keagamaan tersebut mengakibatkan Indonesia
mendapat predikat sebagai bangsa multireligi. Dari sejumlah agama
dan keyakinan yang ada, Islam adalah agama yang dipeluk oleh
mayoritas warga negara. Meskipun demikian, pada kenyataannya
Islam tidak diposisikan sebagai dasar negara.
Negara demokrasi model Barat lazimnya bersifat sekuler,
dan hal ini tidak dikehendaki oleh segenap elemen bangsa
Indonesia, negara komunis lazimnya bersifat atheis, yang menolak
agama dalam suatu negara, sedangkan negara agama memiliki
konsekuensi kelompok agama tertentu akan menguasai negara dan
di Indonesia dalam hal ini Islam. Oleh karena itu, founding fathers
tampaknya menentukan pilihan yang khas dan inovatif tentang
bentuk negara dalam hubungannya dengan agama. Dengan melalui
pembahasan yang sangat serius disertai dengan komitmen moral
yang sangat tinggi sampailah pada suatu pilihan bahwa Negara
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Dasar Negara tersebut tidak dipahami sebagai prinsip
dalam konteks teologis, melainkan prinsip hidup bersama dalam
suatu Negara, dari berbagai lapisan masyarakat yang memiliki
arti tidak bisa mengunggulkan sebagiannya dan mengabaikan sebagian yang
lain. Wawancara pada tanggal 17 Oktober 2011 di Semarang.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
137
keyakinan agama yang berbeda-beda. Hal demikian dimaksudkan
untuk menciptakan kehidupan manusia yang bermartabat dan
berkeadaban.
Konsekuensi logis dari penggunaan Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagai dasar negara adalah bahwa kehidupan agama tidak
dipisahkan sama sekali, melainkan justru agama mendapatkan
legitimasi
sebagaimana
terkandung dalam Pembukaan
Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung dalam sila pertama
Indonesia,
bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dalam hal hubungan
negara dan agama. Peraturan perundang-undangan Indonesia
bukan mengatur ruang akidah umat beragama, melainkan
mengatur ruang publik warga negara dalam hubungan antar
manusia. Dengan demikian, bertolak dari tiga paradigma relasi
agama dan negara di atas maka Indonesia termasuk negara yang
menggunakan paradigma simbiotik.
C.
‹‰‹Ƥƒ•‹ ‡‘•–”—•‹ ƒ–ƒ• ”‘„Ž‡ƒ–‹ƒ ‘•‡’
Kebebasan Beragama Berbasis Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab dalam Bingkai Hukum
Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa kebebasan
beragama di Indonesia secara konseptual-normatif telah dijamin
oleh Pancasila dan UUD 1945. Konsepsi normatif tersebut jika
dihubungkan dengan konsep kemanusiaan yang adil dan beradab,
mengandung pengertian dan pengakuan akan penghargaan
terhadap sesama manusia, di mana asal-usul, keyakinan,
warna kulit, bahasa, jenis kelamin, jumlah harta milik maupun
pandangan politiknya, adalah sama, dalam artitidak ada perbedaan
di antara masing-masing individu manusia dan tidak ada manusia
yang diciptakan dengan nilai yang lebih tinggi dari manusia yang
lain. Seluruh manusia diciptakan dengan nilai yang sama rata.
Persamaan derajat di antara manusia ini bersifat universal. Atas
dasar pandangan tersebut, muncul pengakuan rasa persaudaraan,
138
Dr. Rohidin, M. Ag
di mana masing-masing individu manusia merasa menjadi saudara
dari manusia yang lain, dan berada dalam satu wadah besar keluarga
umat manusia untuk mencapai kesejahteraan bersama.26
Namun demikian, asumsi kerangka normatif yang mapan
tersebut tidak serta-merta mapan pula dalam peraturan
perundang-undangan turunannya. Sebaliknya, hal tersebut kerap
menimbulkan kekecewaan, karena pengakuan kuatnya jaminan
kerangka normatif di atas ternyata belum menjadi realita yang
dapat dinikmati oleh semua warga negara. Banyak warga Negara
Indonesia yang masih merasa dibelenggu kebebasannya dalam
hal kebebasan mengekspresikan keagamaan dan keyakinannya.
Demikian juga dalam realitas kehidupan masyarakatnya, ragam
pelanggaran dan tidak adanya ketaatan serta penghormatan
terhadap konstitusi merupakan potret faktual.
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya dalam kerangka
pemikiran bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu
mensyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum.
Sistem hukum yang dimaksud terdiri atas tiga komponen, yakni
komponen struktur hukum, komponen substansi hukum, dan
komponen budaya hukum. Substansi hukum dalam wujudnya
sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai
instrumen resmi yang memperoleh aspirasi untuk dikembangkan,
yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi
masalah-masalah sosial kontemporer. Hukum dengan karakter
yang demikian itu dikonsepsikan sebagai law as a tool of social
engineering dari Roscoe Pound, atau yang di dalam terminologi
Mochtar Kusumatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi
sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.27
Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini kerap disebutkan
sebagai hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif
mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni hukum yang
memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan
26
Noor MS Bakry, op. Cit., hlm. 46.
27
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta, 1989,
hlm. 51. Mochtar Kusumatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm. 11.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
139
hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada
warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi, dan politis
untuk dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam
masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum
responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi
hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga
bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada
demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat.28 Berkaitan dengan
karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono melihat bahwa
UUD 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum
sebagai sarana rekayasa sosial ini.29
Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan
perundang-undangan, di samping ditentukan oleh suasana atau
erat dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota
legislatif itu sendiri. Dengan kata lain, kebijakan perundangundangan dalam bentuk apapun yang dikeluarkan oleh pihak
yang berwenang erat kaitannya dengan kondisi dan kepentingan
pembuatnya. Menurut James Anderson, sebagaimana dilansir
sebelumnya, kebijakan merupakan arah tindakan yang bermaksud
untuk ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam
mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep demikian
berimplikasi pada tiga hal. Pertama, orientasi kebijakan publik
adalah tujuan, bukan perilaku secara serampangan. Kedua,
kebijakan adalah pola tindakan aparatur pemerintah, bukan
keputusan-keputusan secara tersendiri. Ketiga, kebijakan adalah
perilaku pemerintah dalam mengatur perihal teknis, bukan
keinginan pemerintah.
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka sifat kebijakan
publik berkaitan dengan hukum kebebasan beragama dapat
28
Max Weber dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum
dan Perkembangan Sosial, Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm. 483.
29
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 53.
140
Dr. Rohidin, M. Ag
dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa
sebagai representasi dari kasus kebebasan beragama di negeri
ini, maka kategori-kategori tersebut antara lain adalah tuntutantuntutan kebijakan; keputusan-keputusan kebijakan; pernyataanpernyataan kebijakan; hasil-hasil kebijakan; dan dampak-dampak
kebijakan, yang kesemuanya berkaitan dengan Ahmadiyah.
Sistem politik yang terdiri atas badan-badan legislatif (DPR),
eksekutif (Presiden), yudikatif (Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi); partai-partai politik, kelompok kepentingan (aktivis
pro-HAM dan aktivis gerakan Islam-radikal), media massa;
anggota masyarakat non-Ahmadiyah, tokoh-tokoh masyarakat
(MUI, NU, Muhammadiyah, dan akademisi, misalnya), struktur
birokrasi; prosedur, mekanisme politik, sikap dan perilaku
pembuat keputusan, semuanya berinteraksi dalam suatu kegiatan
atau proses untuk mengubah inputs, yang beragam berkaitan
dengan kasus Ahmadiyah, menjadi outputs, kebijakan mengenai
Ahmadiyah. Proses pembentukan kebijakan berkaitan dengan
kasus Ahmadiyah, sebagai contoh, tersebut dapat dijelaskan
melalui ragaan berikut:
Ragaan. 4.1.
Teori Kebijakan Publik Berkaitan dengan Hukum Kebebasan
Beragama dengan Contoh Kasus Ahmadiyah
Intra (MUI, NU,
Muhammadiyah,
akademisi, aktivis pro
HAM, aktivis gerakan
Islam-radikal, media
massa, dan anggota
masyarakat non
Ahmadiyah)
Extra (ICCPR,
Deklarasi Kairo,
OKI, dan
DUHAM)
Demokrasi
DPR dan
Presiden
I
N
P
U
T
S
deman
G
support
Information
feedback
Conversion
of deman into
output
Information
feedback
A
U
T
H
O
R Kebijakan tentang
I Ahmadiyah (output)
T
H
I
E
S
The flow of
effects from the
environment
intra-societal environment:
x sistem ekologis
x sistem biologis
x sistem personalitas
x sistem sosial
Feedback
loop
extra-societal environment:
x sistem politik internasional
x sistem ekologi internasional
x sistem sosial internasional
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
141
Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun
berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang, maka
dalam konteks membangun hukum yang demokratis, tinjauan
tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan.
Dikemukakan oleh Gardiner bahwa pembentuk undang-undang
tidak semata-mata berkewajiban to adapt the law to this changed
society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan
sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu
sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian, tidak lagi
semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi justru
mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini Roeslan
Saleh menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur yang
merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya
merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk undangundang.30 Sehingga, konstruksi pembentukan (kebijakan) hukum
berkaitan dengan kasus Ahmadiyah sebagaimana tergambar di atas
sejatinya sangat ditentukan oleh pembuatnya.
Namun demikian—sebagaimana telah berkali-kali diungkap—
meskipun dalam kerangka normatif jaminan kebebasan beragama
dan berkeyakinan telah mapan tidak serta-merta mapan pula
dalam aplikasinya. Pelaksanaan hukum kebebasan beragama
bukan dibebankan hanya pada satu elemen negara, pemerintah
saja, misalnya, melainkan seluruh aspek yang berkepentingan
dengannya. Dengan bertolak dari teori bekerjanya hukum Seidmen
dan Chambliss, maka hukum kebebasan beragama akan berhasil
jika memenuhi beberapa hal. Pertama, masing-masing elemen
menempatkan dan melaksanakan tugasnya masing-masing
dengan sebaik mungkin sebagaimana fungsinya. Fungsi-fungsi
tersebut adalah (a) hukum kebebasan beragama yang ada, (b)
sanksi-sanksi hukum kebebasan beragama, (c) aktivitas lembaga
penerap sanksi, seperti: pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian,
dan (d) seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, ekonomi,
yang memengaruhinya. Kedua, jika hukum kebebasan beragama
sudah berhasil menggerakkan perilaku anggota masyarakat,
30
Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundangundangan, Bina Aksara, Jakarta, 1979, hlm. 12.
142
Dr. Rohidin, M. Ag
maka keadaan itu merupakan sesuatu yang bersifat khas dalam
masyarakat tersebut. Ketiga, penggunaan hukum kebebasan
beragama bersifat sama, berikut sanksinya, dan ditempatkan
dalam konteks waktu dan tempat tertentu. Oleh karenanya,
pelaksanaan hukum kebebasan beragama tersebut untuk waktu
dan tempat yang berbeda dan juga dengan lembaga penerap
sanksi yang berbeda serta kompleks kekuatan sosial, politik,
ekonomi, yang memengaruhi pemegang peran yang berbeda pula,
tidak dapat diharapkan akan menimbulkan aktivitas pemegang
peran yang sama dengan yang terjadi di tempat asal dari hukum
tersebut. Berikut ragaan teori bekerjanya hukum berkaitan dengan
kebebasan beragama di Indonesia:
Ragaan. 4.2.
Bekerjanya Hukum Kebebasan Beragama
Kekuatan Sosial dan
Personal
Tuntutan
Masyarakat
Umpan
Balik
DPR, Presiden, Menteri
Norma
Norma
Kegiatan
Penerapan
Sanksi
MK dan MA
KekuatanKekuatan
Sosial dan Personal
Umpan
Balik
MUI,
Muhammadiyah,
NU, dll
Umpan
Balik
KekuatanKekuatan
Sosial dan Personal
Dari beberapa tawaran konseptual dan sedikit gambaran berkaitan
dengan Ahmadiyah, analisis penegakan dan kebijakan hukum di
atas tampaknya dapat disederhanakan dalam tiga komponen.
Pertama substansi hukum itu sendiri, kedua adalah komponen
penegak serta pembuat hukumnya dan ketiga adalah komponen
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
143
budaya hukum. Ketiga komponen inilah yang mesti dilihat dalam
rangka tegaknya asas kebebasan beragama di Indonesia.
1.
Ambiguitas Produk Regulasi Jaminan Kebebasan
Beragama: Problem Substansi Hukum
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa meskipun secara
kerangka normatif-yuridis konsep kebebasan beragama sangat
mapan, tetapi pada tataran legislasi dan peraturan penunjangnya
masih mengandung banyak persoalan. Berikut beberapa bentuk
legislasi dan peraturan yang penulis nilai sarat dengan ragam
persoalan:
a.
UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/
atau Penodaan Agama
Pokok-pokok penting dalam undang-undang ini sesungguhnya
adalah pelarangan melakukan penafsiran dan kegiatan keagamaan
yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.31 Dalam Pasal 4
dikatakan bahwa:
“Pada KUHP diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai
berikut:
‘Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun
barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan
31
Pasal 1. Pada penjelasan pasalnya disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan agama tersebut adalah enam agama di Indonesia. Bagi Nicola Corlbran,
Undang-undang tersebut menandakan bila persepsi negara tentang agama
masih didominasi oleh pemahaman arus utama yang menyatakan bahwa
suatu agama harus memiliki Tuhan, Nabi, dan kitab suci. Nicola Corlbran,
”Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia: Jaminan Secara
Normatif dan Pelaksanaannya dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”,
dalam Tore Lindholm (dkk.), Kebebasan Beragam atau Berkeyakinan, Seberapa
Jauh? Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 690.
144
Dr. Rohidin, M. Ag
perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang
pada
pokoknya
bersifat
permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama
yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut
agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang
Maha Esa.’
Perundangan itu, bagi sebagian pegiat HAM, selain dianggap
bertentangan dengan semangat kebebasan beragama sebagai
amanat Konstitusi, juga dinilai sebagai bentuk intervensi
negara yang sebenarnya tidak perlu—dan bahkan tidak boleh—
dilakukan.32
Regulasi tersebut pada dasarnya lahir dalam konteks yang
berbeda dengan realitas Indonesia yang dihadapi sekarang. Saat itu,
demokrasi terpimpin adalah sistem kepemerintahan yang sedang
demokrasi terpimpin
adalah otoriter, sentralistik, dan terpusat di tangan Presiden
Soekarno. Sehingga, produk-produk hukum yang keluar pun tidak
dapat keluar dari suasana politik tersebut, yakni otoritarian dan
sentralistik.33 Artinya, konstruksi hukum dalam undang-undang
32
Menarik kategorisasi yang dibuat oleh As’ad Said Ali, menurutnya
kewenangan negara dalam mengatur keagamaan dapat dipetakan menjadi
lima hal. Pertama, kehadiran negara bisa bermakna wajib untuk menjalankan
kesempurnaan pelaksanaan syariah Islam, keberadaan wali hakim dalam
persoalan nikahnya umat muslim, misalnya. Kedua, kehadiran negara bisa
bermakna menjadi syarat kesempurnaan ibadat, persoalan haji, misalnya,
Ketiga, hampir sama dengan poin kedua. Kehadiran negara bisa memperlancar
pelaksanaan ibadat, namun tingkat keterlibatan negara tidak seintensif poin
kedua di atas, misalnya persoalan zakat. Keempat, mubah. Negara bisa dan
juga bisa tidak hadir, misalnya, dalam hal perbaikan dan pengelolaan tempattempat ibadat, lembaga pendidikan keagamaan, dan sebagainya. Kelima,
negara terlarang masuk dalam urusan agama bila menyangkut peribadatan.
Otoritas masalah tersebut adalah para pemuka agama. Jika muncul silang
sengketa menyangkut ibadat, negara harus bertindak adil dan dan tidak
terlibat dalam pokok masalahnya. Namun, negara harus tetap berupaya keras
menjaga kerukunan atau tertib sosial. Lihat, As’ad Said Ali, Negara Pancasila:
Jalan Kemaslahatan Bangsa, LP3ES, Jakarta, 2009, hlm. 198-202.
33
Sebagaimana terlansir dalam Surat Permohonan Pemohon Judicial
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
145
tersebut juga sangat kental dengan nuansa politis semacam itu.
Sementara, Indonesia yang dihadapi sekarang berbeda, terlebih
kaitannya dengan kehidupan beragama, yang cenderung partikular
dalam arti tergantung pada kelompok keagamaannya masingmasing.
Pelarangan di atas secara tidak langsung berimplikasi pada
asumsi adanya kebenaran tafsir yang bersifat tunggal. Padahal,
kebenaran dalam agama dan keyakinan secara mendasar bersifat
relatif. Relativitas yang selaras dengan semangat pluralisme ini
kemudian dianggap dikebiri begitu saja oleh asumsi kebenaran
tunggal di atas. Bagaimana tidak, benar dan tidaknya sebuah tafsir
keagamaan oleh negara dikembalikan kepada Depag (Sekarang
Kemenag). Berkaitan dengan hal tersebut, Kemenag telah
membentuk lembaga otonom yang salah satu tugasnya adalah
memberikan pandangan (baca: fatwa) tentang kebenaran suatu
tafsir keagamaan tersebut. Lembaga-lembaga tersebut adalah:
MUI, KWI, PGI, Walubi, PHDI, dan Matakin.34
Review UU No. 1 PNPS/ 1965 bernomor: 140/PUUVII/2009 tertanggal 20
Oktober 2009. Lebih dari itu, Ahmad Fedyani Syaifuddin mengungkapkan
bahwa undang-undang tersebut dibuat dalam semangat positivistik, integrasi,
pencegahan kekacauan politik, dan benturan kepercayaan masyarakat.
Pernyataan Ahmad Fedyani Syaifuddin dalam Sidang Judicial Review UU No.
1/PNPS/1965 pada Jumat, 19 Maret 2010 di Gedung MK, Jakarta. Sementara
itu, menurut Moeslim Abdurrahman secara historis undang-undang tersebut
muncul dalam situasi politik yang kacau, yakni banyaknya pertikaian antara
Islam dan Komunis. Pernyataan Moeslim Abdurrahman dalam Sidang Judicial
Review UU No. 1/PNPS/1965 pada Rabu, 24 Maret 2010 di Gedung MK, Jakarta.
34
Meskipun Kemenag menyerahkan kewenangannya pada lembagalembaga bentukannya, dalam konteks hukum pidana apa yang menjadi putusan
lembaga-lembaga tersebut bagi penulistidak bisa serta-merta dijadikan dasar
dalam merespons persoalan aliran sesat. Seharusnya, ragam ambiguitas di
atas harus diperjelas sedemikian rupa, termasuk apa yang dimaksud dengan
penafsiran menyimpang dan pokok-pokok ajaran agama. Karena, hal ini
akan sangat tergantung kepada mazhab mainstream yang dianut oleh si
penafsir. Sedangkan jika negara merumuskan pokok-pokok ajaran agama dan
berpihak pada satu mazhab dari ajaran tersebut, maka negara sudah terjebak
pada model negara agama. Oleh karena itu jika undang-undang ini masih
ingin dipertahankan, maka rumusan-rumusan pasalnya harus diperbaiki.
Mengingat pemidanaan seseorang atau suatu kelompok tidak bisa dilakukan
berdasarkan suatu opini, melainkan harus memenuhi empat prinsip,
sebagaimana diungkap oleh Machteld Boot dengan mengutip pendapat
Jescheck dan Weigend. Pertama,nullum crimen, noela poena sine lege praevia.
Artinya, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya. Kedua,nullum
146
Dr. Rohidin, M. Ag
Oemar Senoadji, sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief,
mengungkapkan bahwa teori-teori delik agama pada intinya
terdapat tiga hal sebagai berikut:35
1) Religionesschutz-theorie (teori perlindungan agama).
Menurut teori ini, agama itu sendiri yang dilihat sebagai
kepentingan hukum atau objek yang akan dilindungi (yang
dipandang perlu untuk dilindungi) oleh negara, melalui
peraturan perundang-undangan yang dibuatnya.
2)
(teori perlindungan perasaan
keagamaan). Menurut teori ini, kepentingan hukum yang
akan dilindungi adalah “rasa/perasaan keagamaan” dari
orang-orang yang beragama.
3) Friedensschutz-theorie (teori perlindungan perdamaian/
ketentraman umat beragama). Objek atau kepentingan
hukum yang dilindungi menurut teori ini adalah
crimen, nulla peona sine lege scripta. Artinya, tidak ada perbuatan pidana,
tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis. Ketiga,nullum crimen nulla
poena sine lege certa. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana
tanpa aturan undang-undang yang jelas. Keempat,nullum crimen noela poena
sine lege stricta. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa
undang-undang yang ketat. Lihat, Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas dan
Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm 4-5.
Dengan demikian, setiap tindakan yang akan dikriminalisasi atau dijadikan
perbuatan pidana, seharusnya dirumuskan secara jelas dan tegas, tidak kabur
dan ambigus. Hal ini semata-mata untuk menegakkan rasa keadilan dan
menghindari tindakan kesewenang-wenangan dari penguasa, yang dalam hal
ini penegak hukum. Hal senada juga dinyatakan oleh Andi Hamzah bahwa
rumusan delik penodaan agama harus sesuai dengan asas legalitas nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Harus ada ketentuan peraturan
perundang-undangan sebelum adanya perbuatan pidana. Seseorang baru
dapat dijatuhi pidana apabila ada undang-undang yang melarang perbuatan
pidana tersebut terlebih dahulu. Asas tersebut dianggap kurang memadai
karena banyak undang-undang karet (baca: multitafsir), sehingga semua
orang bisa menafsirkannya. Oleh karena itu, muncullah asas berikutnya yang
berbunyi, nullum crimen sine lege scripta, yang berarti tidak ada delik tanpa
undang-undang yang ketat sebelumnya. Pernyataan Andi Hamzah, sebagai
Ahli, dalam Sidang Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965pada Rabu, 3 Maret
2010 di Gedung MK, Jakarta.
35
Barda Nawawi Arief, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy)
di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara, Badan Penerbit Undip,
Semarang, 2010, hlm. 2.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
147
“kedamaian/ketentraman beragama interkonfessional (di
antara pemeluk agama/kepercayaan). Dengan kata lain,
ketertiban umum merupakan tujuan dari teori ini.
Bertolak dari tiga teori tersebut, lanjut Senoadji, adanya Pasal
156a KUHP tersebut dapat dipahami bahwa dilihat dari status dan
penempatannya yang terletak pada bab V (Kejahatan dan Ketertiban
Umum) maka ia termasuk delik terhadap ketertiban umum, di
mana tujuannya bermaksud untuk melindungi ketentraman orang
beragama. Jadi, objek yang dilindungi adalah “rasa ketentraman
orang beragama yang dapat membahayakan ketertiban umum”.
Namun demikian, berbeda jika dilihat secara redaksional
teksnya, penodaan agama tersebut sudah dapat dipidanakan
tanpa harus mengganggu ketenteraman orang beragama dan
tanpa mengganggu/membahayakan ketertiban umum, sekalipun
dilakukan di hadapan orang-orang yang tidak beragama.36 Dengan
kata lain, yang menjadi objek perlindungan adalah agama itu
sendiri, bukan pemeluknya (ketertiban umum). Hal demikian
merupakan salah satu bentuk ambiguitas dalam undang-undang
ini.37
Hingga saat ini, banyak gagasan yang muncul bahwa persoalan
agama dan/atau penodaan agama tidak perlu diatur oleh negara.
Dengan kata lain, negara tidak semestinya mencampuri urusan
keyakinan warga negaranya. Kebijakan pemerintah yang hanya
mengakui enam agama “resmi” membuat para penganut agama lain
tidak mendapatkan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara.
Bahkan, muncul pendapat yang mengatakan bahwa kehidupan
36
Ibid., hlm. 5.
37
Pada saat undang-undang ini di-judicial review, Mahkamah Konstitusi
(MK) sendiri mengakui bahwa baik dalam lingkup formal maupun secara
substansial harus lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan multitafsir.
Namun demikian, karena MK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan
perbaikan redaksional atau cakupan isi, melainkan hanya boleh menyatakan
konstitusional atau tidak konstitusional, maka mengingat substansi undangundang tersebut secara keseluruhan adalah konstitusional, MK tidak dapat
membatalkan atau mengubah redaksionalnya. MK, Risalah Sidang Pengujian
UU No. 1/PNPS/1965, MK, Jakarta, 2010, hlm. 304-305.
148
Dr. Rohidin, M. Ag
agama di Indonesia lebih baik bila tanpa negara. Artinya, negara
tidak perlu ikut campur mengatur kehidupan beragama sebab
negara justru membuat kehidupan agama menjadi tidak baik.
Menanggapi persoalan ini, Adnan Buyung Nasution, sebagaimana
dikutip Mahfud MD, berpendapat bahwa negara tidak berhak
mencampuri urusan agama, terlebih lagi melakukan pengakuan
terhadap agama tertentu.38 Argumen yang mendukung gagasan
itu, negara mesti bersikap netral terhadap semua agama dan tidak
boleh melarang timbulnya suatu aliran kepercayaan atau agama
apapun. Jika terdapat suatu kelompok yang ingin mendirikan
agama sendiri, artinya tidak bisa dilarang oleh negara. Menurut
pendukung gagasan tersebut, ketentuan yang menunjukkan
intervensi negara terhadap agama dalam UU No. 1/PNPS/1965 tidak
lagi diperlukan. Kebebasan berpikir dan berkeyakinan melekat,
tidak boleh dibatasi, tidak dapat ditunda, dan tidak patut dirampas.
Berkaitan dengan intervensi tersebut—dan kontroversi
Ahmadiyah sebagai konteksnya—muncul SKB No. 3/2008, Kep033/A/JA/6/2008 dan No. 199/2008 tentang Peringatan dan
Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat, yang
ditandatangani Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam
Negeri pada tanggal 9 Juni 2008, dan merupakan hasil kontroversi
panjang yang melelahkan. Meskipun di dalam SKB tersebut tidak
terdapat istilah “pembekuan” atau “pelarangan dan pembubaran”
JAI, seperti yang dituntut mereka yang anti terhadap Ahmadiyah,
keluarnya SKB ditengarai merupakan salah satu titik panas dalam
rangkaian tindak kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di seluruh
pelosok negeri ini. Sebagaimana telah dilansir sebelumnya, kasuskasus kekerasan terhadap anggota Ahmadiyah ini sangat mewarnai
masa-masa setelah keluarnya SKB.
Beberapa bulan setelah diterbitkannya SKB tersebut,
diterbitkan pula Surat Edaran Bersama (SEB) No. SE/SJ/1322/2008;
38
Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi”,
Makalah, disampaikandalam Konverensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan
Kebebasan Beragama di Indonesia Menurut Komitmen Presiden dan Wakil
Presiden Terpilih, diselenggarakan oleh ICRP pada tanggal 5 Oktober 2009.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
149
SE/B-1065/D/Dsp.4/08/2008; dan SE/119/921/D.III/2008, yang
dikeluarkan oleh Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa
Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan
Politik Departemen Dalam Negeri. Dalam SEB tersebut ditegaskan
bahwa absahnya SKB sebagai tindak lanjut dari UU No. 1/PNPS/1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
jo. UU No. 5/1969, dengan mengacu pada pasal 7 ayat (4) UU No.
10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
b. Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006, No. 8
Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan
Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat
Pada tahun 2006, Pemerintah (cq. Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri) mengeluarkan Peraturan Bersama No. 9 Tahun 2006/
No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat. Aturan perundangan ini menggantikan
Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 1/BER/MDN-MAG Tahun 1969 tentang Pendirian
Rumah Ibadat. SKB tersebut dianggap belum mengatur secara rinci
prosedur pendirian tempat ibadat, dan oleh karena itu adalah salah
satu penyebab penutupan, perusakan, dan penyerangan tempat
ibadat.
Menurut PBM di atas, pendirian rumah ibadat didasarkan
pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan
komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang
bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.39 Sebelum didirikan,
pemohon harus memenuhi persyaratan khusus yang meliputi;
daftar nama Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadat
paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai
dengan tingkat batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau
39
150
Pasal 13 ayat (1).
Dr. Rohidin, M. Ag
propinsi; dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang
yang disahkan oleh lurah/desa; rekomendasi tertulis kepala kantor
departemen agama kabupaten/kota; dan rekomendasi rertulis
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Berkaitan dengan PBM tersebut, ada beberapa persoalan yang
menurut penulis justru kurang sesuai dengan amanat konstitusi.
Pertama, aturan perundangan tersebut menitikberatkan pada
pembatasan pendirian rumah ibadat, padahal konstitusi, dan
bahkan Kovenan Internasional, telah mengamanatkan bahwa
suatu pembatasan dilakukan harus berdasarkan atau ditetapkan
dengan hukum. Sementara itu, yang dimaksud dengan hukum
adalah undang-undang, bukan dalam bentuk kebijakan berupa
PBM. Kedua, yang dimaksud dengan rumah ibadat dalam peraturan
tersebut adalah “bangunan… yang dipergunakan untuk beribadat
bagi para pemeluk masing-masing agama”, yakni agama resmi.
Sementara itu, ragam kepercayaan yang tidak termasuk dalam agama
tersebut juga hidup di negeri ini dan berhak untuk menjalankan
kepercayaannya secara bebas dan aman. Namun demikian, dengan
adanya aturan tersebut, secara tidak langsung dapat dipahami
bahwa mereka tidak berhak untuk mendirikan tempat ibadat.
Ketiga, kuantitas pemeluk agama di setiap daerah berbeda, ada
yang berjumlah banyak dan tidak sedikit yang hanya beberapa
orang. Aturan kuantitas dalam aturan di atas tampaknya tidak
mampu mengakomodasi minoritas pemeluk agama dalam suatu
komunitas. Kaum Muslim di Manokwari, Papua, Nusa Tenggara
Timur (NTT), Bali dan Sulawesi Utara, misalnya, mayoritas daerah
tersebut adalah non-muslim, sementara komunitas muslimnya
adalah minoritas yang berjumlah kurang dari standart minimal di
atas.40
40 Lihat, “Umat Islam juga Sulit Membangun Masjid”, dalam http://
www.berita2.com/nasional/umum/7070-umat-islam-juga-sulit-membangunmasjid.html, (Diakses pada tanggal 30 Maret 2011).
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
151
c.
UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
(ICCPR)
ICCPR merupakan salah satu intrumen internasional yang disahkan
oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966 dan berlaku
efektif pada tanggal 23 Maret 1976. Secara mendasar hak-hak sipil
dan politik ini merupakan hak-hak yang bersumber dari martabat
dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati
keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hakhak dan kebebasannya dalam bidang sosial dan politik. Pascadisahkannya kovenan tersebut, negara-negara anggota PBB tidak
bahkan meminta Sekretaris Jenderal untuk mendesak negara-negara
anggota untuk melaporkan secara periodik mengenai kemajuan
pemerintah, organisasi nonpemerintah, dan Sekretaris Jenderal untuk mengumumkan teks
kovenan seluas mungkin.41 Berkaitan dengan hal itu, Indonesia,
melalui UU No. 12 Tahun 2005, telah turut serta menjadi bagian
dari 192 states parties
dikatakan bahwa kovenan ini memiliki tingkat universalitas yang
sangat tinggi bila dibanding dengan perjanjian internasional HAM
lainnya.
Sebagai sebuah produk deklarasi internasional, sudah barang
tentu nilai-nilai universalitas yang berbasis pada humanisme
(individualistik) sangat kental dalam kandungannya. Artinya, tidak
serta-merta jika kovenan tersebut diaplikasikan dalam sebuah
negara tertentu akan relevan dengan akar budayanya, termasuk
dalam hal ini adalah Indonesia. Secara umum, memang terdapat
kesesuaian antara konstitusi dengan kovenan tersebut, tetapi
tampaknya terdapat beberapa poin yang dalam pandangan penulis
kurang sesuai dengan Pancasila. Salah satu bentuknya terdapat
dalam Pasal 18 ayat (1).
41
Ahmad Suaedy (dkk.), Islam, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia:
Problematika Hak Kebebasan Beragama, dan Berkeyakinan di Indonesia, The
Wahid Institute, Jakarta, 2009, hlm. 17.
152
Dr. Rohidin, M. Ag
Secara sepintas, Pasal 18 ayat (1) tampak tidak memiliki masalah
dan sejalan dengan konstitusi, karena di dalamnya sarat dengan
muatan jaminan atas hak seseorang dalam berpikir, berkeyakinan,
dan beragama. Namun demikian, dalam penjelasannya disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan kebebasan berkeyakinan dan
beragama tersebut termasuk pula kebebasan untuk tidak beragama
(baca: atheis).42 Sementara itu, dengan jelas disebutkan dalam
Pancasila bahwa Negara Indonesia pertama-tama berasaskan
“Ketuhanan yang Maha Esa”, selain memang secara sosio-kultural
keberagamaan dan/atau keberkeyakinan merupakan bagian di
dalamnya.43
42
Lihat, Komentar Umum 22 untuk Pasal 18, Komite HAM, 1993.
43
Kasus yang sama, dalam pandangan penulis, juga tampak pada Pasal
18 ayat (4), yang berbunyi: “Negara Pihak dalam Kovenanini berjanji untuk
menghormati kebebasan orangtua dan apabila diakui, wali hukum yang sah,
untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka
sesuai dengan keyakinan mereka sendiri”. Ayat ini memberikan kepada orangtua
jaminan untuk menentukan dan menjamin pendidikan agama dan moral anakanak mereka. Hal ini ditambahkan pada tahapan terakhir dalam perancangan.
Hak ini merupakan bagian lingkup budaya dan sosial yang menjadi bagian
dari kovenan mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, dan ada dalam
kaitan dengan hak tentang pendidikan (Pasal 13 ayat [3]). Sebagai state parties,
mestinya Indonesia membebaskan orangtua untuk memutuskan pendidikan
agama dan moral apa yang ingin mereka berikan kepada anak-anak mereka.
Negara jelas tidak berkewajiban untuk mengarahkan sekolah-sekolah umum
Kovenan ini tidak mengatur bagaimana dan di mana pendidikan religius
ataupun moral seharusnya diadakan, apakah sebaiknya di dalam sekolah
atau luar sekolah. Negara juga tidak dituntut untuk mendanai pendidikan
religius, tetapi hanya sebatas memberi toleransi apabila para orangtua ingin
menyediakan atau mendanai sendiri pendidikan religius dan moral tersebut.
Lihat, Karl Josef Partsh, “Kebebasan Beragama, Berekspresi, dan Kebebasan
Kerpolitik”, dalamIfdhal Kasim (ed.), Hak Sipil dan Politik: Esai-esai Pilihan,
ELSAM, Jakarta, 2001, hlm. 246-247. Jika demikian pemahamannya, maka
bagi penulisperundangan tersebut bertentangan dengan budaya bangsa,
di mana masyarakat Indonesia, hingga saat ini, masih mendambakan
pendidikan agama. Di samping itu, berkaitan dengan pilihan jenis agama di
masyarakat masih mengenal dan mengidamkan kesamaan, meskipun dalam
beberapa kasus tidak demikian halnya. Dengan kata lain, para orangtua masih
menghendaki pendidikan keagamaannya anaknya dijamin dan diatur oleh
pemerintah, dan penentuan pilihannya pun masih tergantung sama kehendak
orangtua.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
153
d. Perda-perda Bernuansa Syariah
Sejak awal tahun 2000-an, isu formalisasi agama menyeruak ke
publik, meskipun ini bukan yang pertama dalam sejarah Indonesia.
Isu tersebut berbentuk apa yang disebut dengan Peraturan Daerah
(Perda) syariah Islam. Sejauh ini terdapat beberapa argumentasi
yang bisa direkam sebagai landasan adanya perda-perda bernuansa
agama (Islam). Pertama, umat Islam di Indonesia adalah mayoritas,
namun sepanjang sejarahnya umat Islam (tepatnya, Islam politik)
belum pernah mengembalikan bangsa ini. Kedua, sejak tahun 1997
Indonesia diterpa krisis multidimensi dan hingga kini krisis itu
belum dilalui dengan baik. Semua cara sudah dicoba, tetapi ternyata
Indonesia belum sembuh dari penyakit “krisis”. Islam sebagai
alternatif yang bisa mengobati krisis multidimensi belum pernah
dicoba, hingga sekaranglah saatnya menerapkan sistem Islam itu.
Ketiga, momentum otonomi daerah memberi keleluasaan daerah
untuk membuat perda yang sesuai dengan karakteristik daerah.
Keempat, para perumus perda itu juga berlindung di balik konstitusi,
Pasal 29 UUD 1945, di mana negara memberi jaminan kepada
warganya untuk beribadat menurut agama dan keyakinannya.
Singkatnya, perda bernuansa agama dianggap sebagai bagian dari
ekspresi kebebasan beribadat.
Saat buku ini disusun, tidak kurang dari 22 daerah (kabupaten/
kota) telah menetapkan jenis perda bernuansa agama. Kementerian
Hukum dan HAM (Kemenkumham) pada dasarnya telah
mempersoalkan puluhan perda yang mayoritas bernuansa syariah.
Perda-perda bermasalah tersebut berjumlah hingga mencapai 96.44
Jenis-jenis perda tersebut paling tidak dapat dipetakan menjadi
empat kategori.45Pertama, jenis perda yang terkait dengan isu
44
Kemenkumham, Peraturan Daerah yang Dipermasalahkan, dalam
http://www.kemenkumham.go.id, (Diakses pada tanggal 23 Februari 2011).
45
yang dibuat oleh Ahmad Suaedy. Dalam karyanya, Perpektif Pesantren: Islam
perdaperda syariah menjadi tiga jenis. Pertama, perda-perda yang berkaitan dengan
isu keprihatinan publik (public order) atau pengaturan moral masyarakat,
seperti perda anti perjudian, anti prostitusi, dan anti minuman keras. Kedua,
perda-perda yang berkaitan dengan keterampilan beragama dan kewajiban
ritual keagamaan. Aturan ini seperti aturan tentang kewajiban baca al-Qur’an,
154
Dr. Rohidin, M. Ag
moralitas masyarakat secara umum. Meski menyangkut moral,
namun perda jenis ini sebenarnya menjadi concern semua agama.
Perda jenis ini, terutama diwakili oleh perda anti pelacuran,
perizinan yang ada hampir di semua daerah, di mana istilah
generiknya adalah perda anti kemaksiatan.46Kedua, jenis perda yang
terkait dengan fashion dan mode pakaian lainnya seperti keharusan
memakai jilbab dan jenis pakaian lainnya di tempat-tempat
tertentu. Perda jenis ini juga banyak sekali muncul di berbagai
daerah. Berbeda dengan yang pertama, perda fashion ini jelas sangat
sebagai perda syariah Islam. Siapa pun akan mengatakan bahwa
dalam jilbab ada kepentingan untuk menunjukkan identitas
keislaman.47Ketiga, jenis perda yang terkait dengan keterampilan
Islam. Ketiga, perda yang berkaitan dengan simbol-simbol keagamaan, seperti
kewajiban memakai jilbab bagi perempuan dan baju koko bagi laki-laki pada
hari Jumat. Ahmad Suaedy, Perpektif Pesantren: Islam
Sosial Baru Islam Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2009, hlm. 146-147.
46
Lihat misalnya, Perda Kota Tangerang No. 08 Tahun 2005 Seri E, Perda
Kota Bengkulu No. 24 Tahun 2000, Perda Provinsi Sumatera Barat No. 11 Tahun
2001, Perda Kota Bukittinggi No. 10 Tahun 2003, Perda Kota Solok No. 6 Tahun
2005, Perda Kab. Padang Pariaman No. 2 Tahun 2004, Perda Sumatera Selatan
No. 13 Tahun 2002, Perda Kota Palembang No. 2 Tahun 2004, Perda Kab. Lahat
No. 3 Tahun 2002, Perda Kota Bandar Lampung No. 15 Tahun 2005, Perda
Kota Batam No. 6 Tahun 2002, Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005, Perda
Kab. Indramayu No. 7 Tahun 1999, Perda Kab. Garut No. 6 Tahun 2000, Perda
Kab. Tasikmalaya No. 28 Tahun 2000, Perda Kab. Purwakarta No. 10 Februari
2005, Perda Kab. Depok 28 April 2005, Perda Kab. Jember No. 14 Tahun 2001,
Perda Kab. Gresik No. 7 Tahun 2002, Perda Kota Kupang No. 39 Tahun 1999,
Perda Kota Banjarmasin No. 4 Tahun 2005, dan Perda Provinsi Gorontalo No.
6 Tahun 2003.
47
Seperti yang tergambar dalam Perda Kab. Lima Puluh Kota No. 5
Tahun 2003. Dalam Perda tersebut, salah satunya, siswi, diwajibkan “Memakai
kerudung yang menutupi rambut telinga, leher, dan tengkuk serta dada”.
Jika siswi bersangkutan tidak mengindahkan aturan tersebut, sanksi yang
diberikan melalui tahapan; (1) ditegur secara lisan, (2) ditegur secara tertulis,
(3) diberitahukan kepada orangtua, (4) tidak diperbolehkan mengikuti
pelajaran di sekolah, (5) dikeluarkan/dipindahkan dari sekolah. Sementara
itu, pendidikan adalah hak bagi setiap warga, terlebih mereka yang berumur
wajib belajar, bagimana mungkin kewajiban warga negara yang berupa belajar
justru dipasung dengan sanksi dari pelanggaran terhadap perda yang dapat
dikatakan justru kontraproduktif dengan konstitusi tersebut. Selain Perda
Kabupaten Lima Puluh Kota tersebut adalah; Perda Kab. Agam No. 5 Tahun
2005; Perda Kab. Sawahlunto/Sijunjung No. 2 Tahun 2003; Perda Kab. Pasaman
No. 22 Tahun 2003; Perda Kota Solok No. 6 Tahun 2002; Perda Kota Batam No.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
155
beragama, seperti keharusan bisa baca tulis al-Qur’an sebagaimana
terdapat di Indramayu, Bulukumba (Sulsel), dan sebagainya. Pada
tingkat tertentu, perda keharusan di Madrasah Diniyyah Awwaliyah
dapat digolongkan sebagai perda keterampilan beragama. Perda
jenis ini juga sangat tipikal dengan Islam sehingga tampak sekali
kepentingan Islam mendominasi munculnya perda tersebut. Perda
keterampilan baca tulis al-Qur’an dan Madrasah Diniyyah ini
dikaitkan dengan aktivitas lain. Keterampilan baca tulis al-Qur’an
menjadi syarat untuk nikah, naik pangkat bagi Pegawai Negeri Sipil
(PNS), bahkan untuk memperoleh pelayanan publik. Sedangkan
ijazah Madrasah Diniyyah dijadikan syarat untuk dapat meneruskan
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Lulusan Sekolah Dasar (SD)
yang akan melanjutkan ke Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP)
harus menyertakan ijazah MadrasahDiniyyah.48Keempat, perda
yang terkait dengan pemungutan dana sosial dari masyarakat
melalui perda zakat, infak, dan sedekah. Beberapa perda jenis ini
antara lain Perda No. 12 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Zakat di
Sukabumi, Perda No. 9 Tahun 2002 di Lombok Timur NTB, Perda
No. 4 Tahun 2001 Tentang Zakat, Infak, dan Sedekah di Cilegon dan
lain sebagainya.49 Perda jenis ini merupakan respektasi aktual atas
pemberlakuan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi undangundang. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
6 Tahun 2002; Perda Kab. Enrekang No. 6 Tahun 2005; Perda Kab. Maros No. 15
Tahun 2005; dan Perda Bulukumba No. 5 Tahun 2003.
48
Lihat, misalnya, Perda Kab. Lima Puluh Kota No. 6 Tahun 2003, Perda
Kab. Sawahlunto/Sijunjung No. 1 Tahun 2003, Perda Kab. Pasaman No. 21 Tahun
2003, Perda Kab. Pesisir No. 8 Tahun 2004, Perda Kota Solok No. 10 Tahun 2001,
Perda Kota Padang No. 3 dan 6 Tahun 2003, Perda Kab. Banjarmasin No. 10
Tahun 2001 dan No. 4 Tahun 2004, Perda Kab. Enrekang No. 6 Tahun 2005,
Perda Kab. Gowa No. 7 Tahun 2003, Perda Kab. Bulukumba No. 4 dan 90 Tahun
2003, dan Perda Kota Gorontalo No. 22 Tahun 2005.
49
Perda-perda lain dalam kategori ini di antaranya adalah Perda Kab.
Pesisir Selatan No. 31 Tahun 2003, Perda Kab. Bukittinggi No. 29 Tahun 2004,
Perda Kab. Solok No. 13 Tahun 2003, Perda Provinsi Banten No. 4 Tahun 2004,
Perda Kab. Cilegon No. 4 Tahun 2001, Perda Kab. Serang No. 6 Tahun 2002,
Perda Kab. Tangerang No. 24 Tahun 2004, Perda Kab. Cianjur No. 7 Tahun
2000, Perda Kab. Karawang No. 10 Tahun 2002, Perda Kab. Garut No. 1 Tahun
2003, Perda Kab. Bandung No. 9 Tahun 2005, Perda Kab. Lombok Timur No. 9
Tahun 2002, Perda Kab. Banjarmasin No. 9 Tahun 2003, Perda Kab. Maros No.
17 Tahun 2005, dan Perda Kab. Bulukumba No. 2 Tahun 2003.
156
Dr. Rohidin, M. Ag
kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Dalam kasus
di Lombok Timur, sebagaimana dilansir Rumadi, perda ini menuai
protes dari para guru. Mereka menolak zakat profesi dengan
memotong sebanyak 2.5% setiap bulan. Setelah terjadi gelombang
demonstrasi para guru di Lombok Timur, akhirnya perda ini
dibekukan. Kemarahan dan penolakan para guru ini bisa dipahami,
karena gaji mereka yang pas-pasan justru menjadi “sapi perahan”
birokrasi atas nama agama. Mereka ini sebenarnya lebih tepat
disebut sebagai
฀ (orang yang berhak menerima zakat) dan
bukan
(orang yang wajib mengeluarkan zakat).50
2. Kerapuhan Aparatur Penegak Hukum dalam
Mengawal Jaminan Kebebasan Beragama:
Problem Struktur Hukum
Friedman dalam teori three elements law system, menyatakan bahwa
efektif atau tidaknya penegakan hukum salah satunya ditentukan
oleh kuat tidaknya struktur hukum (legal structure), yakni
merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang
memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan
instansi-instansi penegak hukum. Di Indonesia yang merupakan
struktur dari sistem hukum adalah institusi dan penegak hukum
seperti advokat, polisi, jaksa, dan hakim. Dalam kasus kebebasan
beragama, penulis akan menggeneralkan dengan istilah alat-alat
negara, karena pada kenyataannya yang merespons kasus-kasus
yang terkait dengan kebebasan beragama bukan hanya empat
elemen tersebut. Namun demikian, dalam hal ini penulis tidak
akan mengupas satu persatu bagaimana fungsi dan tugas catur
wangsa tersebut, melainkan hanya akan melihat respons mereka
yaitu tindakan aktif (by commission) dan pembiaran (by omission).
Kategori pelanggaran tindakan represif dan pembiaran
dalam kerangka hukum kebebasan beragama merupakan bentuk
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, karena negara
50
Baca, Rumadi, “Mengawal Pluralisme di Tengah Kegamangan Negara”,
dalam Ahmad Suaedy (dkk.), op. Cit., hlm. 29.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
157
merupakan state parties yang terkait secara hukum maupun terikat
Kovenan Internasional
Hak-hak Sipil dan Politik, di mana Pasal 18 menegaskan tentang
kewajiban negara menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan.
Mengingat konstitusi Indonesia juga menegaskan jaminan
kebebasan beragama atau berkeyakinan (Pasal 28E), negara
juga dianggap telah melakukan pelanggaran konstitusional atas
jaminan hak konstitusional warga negara untuk bebas beragama
atau berkeyakinan, termasuk menjalankan ritual ibadatnya. Dua
dibuat oleh Setara Institute dalam Laporan Kondisi Kebebasan
Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia 2008. Dalam laporan
tersebut disebutkan bahwa di tahun 2008 negara telah melakukan
99 pelanggaran tindakan aktif yang dapat dikategorikan dalam
17 bentuk, sementara 89 pelanggaran negara berbentuk tindakan
pembiaran atas aksi kekerasan dan pembiaran tidak memroses
secara hukum atas tindakan kriminal.
Pelanggaran tindakan aktif tersebut di antaranya berjumlah
8 dalam bentuk pelarangan ibadat dan aktivitas keagamaan.
BupatiSukabumi, sebagai Aparatur Negara, pada tanggal 29 April
2008 melarang aktivitas di enam tempat ibadat Ahmadiyah di
Sukabumi: Masjid al-Furqan Parakansalak; Masjid Mubasirin di
Kampung Ciletung Desa Lebak Sari Kec. Parakansalak; Masjid
Ar-Rahman di Kampung Cigombong, Desa atau Kec. Warung
Kiara; Masjid Al-Barokah di Kampung Panjalu Desa Kerawang,
Kec. Sukabumi; Masjid Al-Huda di Kampung Bojong Lowa, Desa
Sukamantri, Kec. Cisaat; dan Masjid Al-Fadhol di Kampung
Simpang Sangit, Desa Bojong Jengkol Kec. Jampang. Pada tanggal
25 Juni 2008, Kejari Tasikmalaya melarang Ahmadiyah melakukan
salat Jumat dan mengadakan kegiatan di masjid. Pada tanggal
10 Juni 2008, Wali Kota Cimahi H. M. Itoh Tochija meminta agar
Ahmadiyah di Kota Cimahi menghentikan aktivitasnya dengan
dalih tidak sesuai dengan SKB. Wali Kota juga meminta Muspida di
Kota Cimahi lebih tegas dan melakukan tindakan nyata jika terjadi
pelanggaran di lapangan. Pada tanggal 19 Juli 2008, di Tangerang,
Banten, Ketua RT, Lurah, dan Camat Kec. Tangerang melarang
158
Dr. Rohidin, M. Ag
warga Ahmadiyah beribadat dan menghentikan secara paksa
kegiatan Jemaat Ahmadiyah Kec. Tangerang. Pada tanggal 30 April
2008 di Cianjur, Jawa Barat, Kapolsek Ciranjang Cianjur melarang
Jemaat Ahmadiyah melakukan ibadat secara berbeda. Pada tanggal
14 Juni 2008, di Kalimantan Tengah, Kakanwil Depag Kalimantan
Tengah, H. Anshari meminta kepada Jemaat Ahmadiyah agar
menghentikan penyebaran keyakinannya. Pada tanggal 25 Juni
2008, di Tasikmalaya, Kejari Tasikmalaya melarang Ahmadiyah
melakukan salat Jumat dan kegiatan di Masjid.
Pelanggaran tindakan pembiaran tersebut di antaranya
berjumlah 3 dalam bentuk pembakaran tempat ibadat. Pada tanggal
13 Januari 2008 di Lombok Barat,NTB, terjadi pembakaran Pura
Sangkareang milik umat Budha. Pada tanggal 28 April 2008 terjadi
pembakaran Masjid dan Madrasah Al-Furqon milik JAI di Kampung
Parakan Salak RT 02/RW 02 Desa atau Kecamatan Parakan Salak,
Kab. Sukabumi oleh Forum Komunikasi Jam’iyatul Mubalighin
(FKJM) Parakan Salak. Pada tanggal 20 Mei 2008 di Purwakarta
Jawa Barat, terjadi pembakaran gedung sarana pendidikan dan
rumah yang difungsikan sebagai Gereja Jemaat Protestan.
3.
Krisis Kepercayaan dan Minimnya Kesadaran
Masyarakat
terhadap
Hukum
Kebebasan
Beragama: Problematika Budaya Hukum
Yang dimaksud dengan budaya hukum (legal culture), sebagaimana
dikatakan di atas, adalah keterlibatan masyarakat berkaitan dengan
hukum, yang dalam hal ini adalah kebebasan beragama. Keterlibatan
masyarakat di dalam pelaksanaan hukum memperlihatkan adanya
hubungan antara budaya dan hukum, sehingga ketaatan dan
ketidaktaatan seseorang terhadap hukum sangat dipengaruhi oleh
budaya hukum. Budaya hukum inilah yang menentukan sikap, ideide, nilai-nilai seseorang terhadap hukum di dalam masyarakat.
Keterlibatan masyarakat di dalam pelaksanaan hukum kebebasan
beragama tampak dalam dua aspek, yakni sikap dan harapan.
Berkaitan dengan sikap, sebagaimana terlihat dalam perundangundangan bahwa terdapat perbedaan mendasar yang berpotensi
memunculkan tindakan berlebihan. Perbedaan tersebut terletak
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
159
pada batasan kebebasan. Di dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang
bebas dalam berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Cakupan hak
ini adalah menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri, dan untuk menjalankan agama dan kepercayaannya
dalam kegiatan ibadat, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
Sebagaimana tersurat dalam Pasal 18 ayat (3), kebebasan tersebut
hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang
diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan,
atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang
lain. Mendekati hal tersebut adalah UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 23
ayat (2). Kebebasan dalam perundangan ini dibatasi oleh nilai-nilai
agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan
bangsa. Berbeda dengan UU No. 1/PNPS/1965 Pasal 1, di mana di
dalamnya justru melarang penafsiran dan kegiatan yang dianggap
menyimpang dari pokok ajaran agama. Persoalan menyimpang dan
tidak menyimpang dalam hal beragama atau berkeyakinan adalah
suatu keniscayaan, dan jika yang berhak menentukan benar dan
tidaknya suatu bentuk penafsiran keagamaan atau kepercayaan
adalah pihak tertentu, bukan pemeluknya, sebagaimana tampak
dalam penjelasan pasal demi pasal, maka hal tersebut merupakan
pembatasan yang justru bertentangan dengan dua perundangundangan sebelumnya.
Perbedaan batasan tersebut ditanggapi masyarakat secara
parsial dan kerap dijadikan legitimasi oleh masing-masing
kelompok untuk mengabsahkan tindakannya, yang cenderung
mengganggu hak dan kebebasan pihak lain dalam menjalankan
agama dan keyakinannya. Contoh yang kerap muncul adalah kasus
Ahmadiyah. Dengan menyandarkan diri pada UU No. 1/PNPS/1965,
pihak MUI melalui fatwa tentang aliran sesatnya mendesak
kepada pemerintah untuk membubarkan organisasi tersebut.
Fatwa tersebut yang ditambah dengan penyandaranpada UU No.
1/PNPS/1965 dijadikan legitimasi (baca: dipersepsi) oleh banyak
kelompok untuk melakukan (dalam bentuk) penyerangan secara
brutal kepada pihak Ahmadiyah. Bahkan, beberapa kepala daerah
mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang berisi tentang beberapa
larangan beraktivitas bagi JAI, seperti SK Gubernur Jawa Timur
160
Dr. Rohidin, M. Ag
No. 188/94/KPTS/013/2011. Dengan keluarnya SK, yang disinyalir
sebagai kepanjangan tangan dari SKB No. 3/2008, Kep-033/A/
JA/6/2008 dan No. 199/2008 tentang Peringatan dan Perintah
kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat, yang ditandatangani
Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri pada
tanggal 9 Juni 2008, tersebut masyarakat kemudian beraksi dengan
beragam cara, menurunkan papan nama salah satu Kantor Cabang
Ahmadiyah di Madiun, misalnya.51
Hal yang sama juga terjadi di Pusat Jemaat Ahmadiyah Jawa
Timur, sebagaimana dilakukan oleh Polisi setempat.52 Demikian juga
yang tampak pada demonstran anti Ahmadiyah yang menyuarakan
aspirasinya agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah tersebut
dengan mentendensikan argumentasinya pada UU No. 1/
PNPS/1965, sebagaimana yang terjadi di Kuningan.53 Lain MUI dan
masyarakat anti Ahmadiyah, lain pula para aktivis HAM, dengan
mentendensikan dirinya pada UU No. 12 Tahun 2005, mereka justru
mengkritik terbitnya SKB dan Perda-perda turunan SKB tersebut,
sebagaimana dilakukan oleh Komnas HAM.54
Sementara itu, selaras dengan harapan masyarakat terkait rasa
keadilan yang didapatkan, sebagaimana di atas, bisa kita ambil
contohkasus Ahmadiyah. Pada saat munculnya SKB Tiga Menteri,
Ahmadiyah seharusnya mengajukan gugatan hukum, karena secara
jelas SKB tersebut kurang sesuai dengan semangat konstitusi.
Perihal peninjauan kembali terhadap perundang-undangan
pernah dilakukan oleh aktivis HAM, yakni mengajukan peninjauan
51
http://www.seruu.com/index.php/2011030242453/utama/nasional/
penurunan-plang-ahmadiyah-uu-kalah-dengan-perda-42453/menu-id-691.
html, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).
52
http://surabaya.detik.com/read/2011/02/28/174700/1581502/466/
papan-nama-pusat-kegiatan-ahmadiyah-jatim-dicopot, (Diakses pada tanggal
12 Maret 2011).
53
Lihat, http://www.seruu.com/index.php/2011030242377/kota/regional/
maraknya-perda-anti-ahmadiyah-picu-aksi-massa-di-kuningan-42377/menuid-759.html;, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).
54
http://www.komnasham.go.id/2010-10-03-02-09-01/66-hot-news/647komnas-ham-sk-larang-aktivitas-ahmadiyah-harus-dikaji-ulang-dengan-uu,
(Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
161
ulang atas UU No. 1/PNPS/1965 yang mereka nilai bertentangan
dengan semangat konstitusi, namun pengajuan tersebut ditolak
oleh Mahkamah Konstitusi.55 Demikian juga dengan kasus perdaperda larangan Ahmadiyah untuk beraktivitas, sebagai organisasi
yang terdaftar secara sah, Ahmadiyah seharusnya melakukan
peninjauan ulang atas perda-perda tersebut, meskipun hingga
buku ini dituliskan wacana tersebut telah bergulir,56 meski dengan
jelas banyak turunan perundang-undangan diajukan untuk ditinjau
ulang yang ditolak dengan beragam alasan.
Budaya hukum di masyarakat pada dasarnya akan berjalan
dengan baik jika konsep civil society dapat tertanam dengan baik
dalam kehidupan bermasyakat. Sikap kaum Muslim awal yang
tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat dapat
dijadikan pedomannya. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk
akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka
bersikap seimbang (tawa‫ڍڍ‬u‫ )ڒ‬dalam mengejar kebahagiaan dunia
dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah
mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam
hanya menunggu waktu saja.
Dalam konteks negara, selain dianggap memiliki kapasitas
sebagai kekuatan penyeimbang (balancing force) dari
kecenderungan-kecenderungan dominatif dan intervensionis
negara, civil society juga dinilai mampu melahirkan kekuatan kritis
) di dalam masyarakat. Itulah sebabnya
civil society dianggap sebagai sebuah prasyarat menuju kebebasan
(condition of liberty). Kebebasan di sini dapat diartikan sebagai
55
Bagi MK, para pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya terkait
permohonan pengujian formil maupun keseluruhan permohonan pengujian
materiil. Pertentangan norma antara Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
3, serta Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap Pasal 1 ayat (3),
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tidak terbukti
menurut hukum. Karena itu, MK memutuskan untuk menolak permohonan
para pemohon secara keseluruhan. Telusuri lebih lanjut dalam, MK, op. Cit.,
hlm. 306.
56
Lihat, http://surabaya.detik.com/read/2011/02/28/205935/1581618/466/
ahmadiyah-akan-gugat-keputusan-gubernur-jatim. (Diakses pada tanggal 12
Maret 2011).
162
Dr. Rohidin, M. Ag
kebebasan dari (freedom from) segala dominasi dan hegemoni
kekuasaan, dan kebebasan untuk (freedom for) berpartisipasi dalam
berbagai proses kemasyarakatan secara sukarela dan rasional.57
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, kebebasan
tersebut tentu hanya bisa terwujud dalam suatu sistem kekuasaan
yang demokratis.58 Masyarakat dalam konsep civil society adalah
masyarakat yang “biasa-biasa” saja, dan karenanya tidak lepas dari
kontradiksi internal. Hal itu terjadi karena di dalamnya terdapat
masalah-masalah kelas, entitas, dan juga gender, yang—pada titik
tertentu—berpotensi merusak civil society.
Dalam konsep civil society, permasalahan-permasalahan di
atas bukan untuk dihindari, tetapi yang diinginkan dari realitas
itu adalah adanya kemampuan untuk melakukan tawar-menawar
lewat dialog antar unsur tersebut dalam suatu ruang publik yang
bebas (free public sphere). Dengan demikian,
inhern di sana tidak untuk dirusak tapi dapat diselesaikan melalui
mekanisme-mekanisme yang bersifat setara. Paling tidak, terdapat
empat sebab internal yang bisa ditunjuk mengapa kohesivitas
antar elemen masyarakat belum maksimal.59Pertama, masih belum
terciptanya solidaritas yang kuat antar elemen progresif dalam civil
society, karena masih belum pudarnya pengaruh primordialisme
atau trauma masa lalu. Antar kelompok agama, etnis, dan
kelompok masih cenderung tercipta kecurigaan-kecurigaan yang
berlebihan. Kedua, belum terlihat jelas adanya platform umum
(common platform) yang bisa dipakai oleh kelompok pekerja
demokrasi secara bersama-sama. Isu-isu yang dibangun belum
benar-benar dimuarakan untuk kepentingan bersama, tetapi hanya
57
Lihat dalam Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat
Menuju Kebebasan, Mizan, Bandung, 1995.
58
Khusus dalam hubungannya dengan negara, paling tidak civil society
dapat melakukan salah satu dari tiga fungsi pokoknya. Pertama, civil society
berdiri sebagai perisai bagi masyarakat dari perilaku negara yang cenderung
hegemonik, otoritarian, dan represif. Kedua, jika negara tidak hegemonik,
civil society muncul sebagai mitra negara dalam melaksanakan kepentingan
publik. Ketiga, bila kehidupan publik telah diakomodasi secara baik oleh
negara, maka civil society dapat memainkan fungsinya secara komplementer,
di mana ia muncul untuk melengkapi kebutuhan masyarakat.
59
Muhammad A.S. Hikam, op. Cit., hlm. xiii.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
163
sekadar simbolisme dan penonjolan kelompoknya masing-masing.
Ketiga, masih lemahnya kepemimpinan dalam civil society—
secara kualitatif maupun kuantitatif—yang mampu menandingi
pengaruh aparat negara. Kelima, masih kuatnya orientasi elitis
dalam kelompok pekerja demokrasi sehingga belum mampu
menggalang simpati massa. Isu-isu yang dibangun banyak yang
mubazir, karena bahasa dan logika yang digunakan sangat elitis dan
cukup jauh dengan tingkat pemahaman dan kesadaran psikologis
massa bawah.
Dalam civil society, warga negara bekerjasama membangun
ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang
bersifat non-governmental untuk mencapai kebaikan bersama
(public good). Karena itu, tekanan sentral civil society terletak
pada independensinya terhadap negara (vis a vis the state). Dari
sinilah kemudian civil society dipahami sebagai akar dan awal
keterkaitannya dengan demokrasi dan demokratisasi. Hubungan
antara civil society dengan demokrasi (demokratisasi), sebagaimana
dikemukakan oleh Dawam Raharjo, ibarat dua sisi mata uang yang
bersifat ko-eksistensi. Hanya dalam civil society yang kuatlah
demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana
demokratislah civil society dapat berkembang secara wajar.
Metafor tentang hubungan antara civil society dengan
demokrasi juga dikemukakan oleh Nurcholish Madjid. Menurutnya,
civil society merupakan ‘rumah’ persemaian demokrasi. Perlambang
demokrasinya adalah pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan
rahasia. Namun demokrasi tidak hanya bersemayam dalam pemilu,
sebab jika demokrasi harus memiliki “rumah”, maka rumahnya
adalah civil society.
Dalam konteks keterkaitan antara civil society dengan
demokratisasiini, Larry Diamond secara sistematis menyebutkan
bahwa terdapat enam kontribusi civil society terhadap proses
demokratisasi. Pertama, ia menyediakan wahana sumber daya
politik, ekonomi, kebudayaan, dan moral untuk mengawasi dan
menjaga keseimbangan pejabat Negara. Kedua, pluralisme dalam
civil society, bila diorganisasi akan menjadi dasar yang penting bagi
persaingan demokratis. Ketiga, memperkaya partisipasi politik dan
164
Dr. Rohidin, M. Ag
meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. Keempat, ikut menjaga
stabilitas negara. Kelima, tempat menggembleng pimpinan politik.
Keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat
runtuhnya rezim. Lebih jauh, Diamond menegaskan bahwa suatu
organisasi betapapun otonomnya, jika ia menginjak-injak prosedur
demokrasi—seperti toleransi, kerja sama, tanggung jawab,
keterbukaan dan saling percaya—maka organisasi tersebut tidak
akan mungkin menjadi sarana demokrasi.60
Dengan demikian, kebebasan beragama di negara ini hanya
akan terwujud jika demokrasi telah benar-benar berjalan dengan
baik. Maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya, mengutip
61
adalah:
Mungkinkah demokrasi tegak di tengah masyarakat yang tidak
civilized (madani)? Mungkinkan civil society dapat ditegakkan di
dalam sistem yang tidak demokratis? Dua pertanyaan tersebut
menjadi dasar dalam mengaktualisasikan dan mewujudkan
masyarakat yang bebas beragama sebagai salah satu kondisi yang
mesti ada dalam sebuah tatanan masyarakat, dan lebih jauh tatanan
negara, yang demokratis. Dengan kata lain, untuk menciptakan
sebuah tatanan masyarakat yang bebas beragama dalam konteks
civil society, prasyarat yang terlebih dahulu dipenuhi adalah
teraktualisasinya demokrasi secara menyeluruh dalam sebuah
negara.
Apa yang telah tergambar dalam tiga aspek tersebut
menunjukkan betapa problem kebebasan beragama di Indonesia ini
sangat mendesak untuk segera diselesaikan. Jika problem tersebut
dibiarkan berlarut-larut sudah barang tentu akan mengganggu
jalannya proses pembangunan. Tidak hanya itu, pembiaran yang
berkelanjutan tersebut bisa jadi akan mengancam stabilitas
Pemerintahan, dan bahkan eksistensi negaranya, karena—diakui
atau tidak—persoalan agama adalah persoalan sensitif yang tidak
60
A. Ubaidillah (dkk.), op. Cit., hlm. 152.
61
Civil Society di NegaraNegara Arab” dalam Bernard Lewis, et. al., Islam, Liberalisme, Demokrasi:
Paramadina,
Jakarta, 2002, hlm. 233.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
165
serta-merta dapat diselesaikan dengan mudah oleh suatu negara.
D.
Proses dan Konstruksi Baru Konsep Kebebasan
Beragama di Negara Hukum Indonesia Berbasis Nilai
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Indonesia adalah negara yang tidak perlu lagi diragukan dalam
hal menerima dan mengakui kebebasan beragama, bahkan
menempatkannya sebagai sesuatu yang konstitutif dan mengikat.
Namun demikian, sebagaimana kerap diungkap di muka bahwa
kemapanan konseptual tersebut tidak sejalan dengan produk
regulasi turunannya dan realitas pandangan masyarakat, termasuk
intelektual Muslimyang berkaitan dengan fatwa MUI tentang aliran
sesat keagamaan.
Buku ini hendak melakukan rekonstruksi ragam problem
tersebut agar sejalan dengan konsep normatifnya, Pancasila.
Artinya, objek rekonstruksi ini adalah ketidaksepahaman sebagaian
masyarakat berkaitan dengan konsep kebebasan beragama
kaitannya dengan fatwa MUI tentang aliran sesat di Negara Hukum
Indoneisa. Adapun basis rekonstruksinya adalah nilai kemanusiaan
yang adil dan beradab, yang menjadi salah satu nilai fundamental
Pancasila.
Pemilihan nilai dari Pancasila sebagai basisnya ini lebih
ragam unsur atas konsep-konsep, yang beberapa elemen pokok
partikularnya bertentangan. Sebagai sebuah titik temu dari
beragam unsur, Pancasila—dalam pandangan Mahfud MD.—
sebenarnya merupakan perwujudan dari konsep prismatik. Sebagai
konsepsi prismatik, Pancasila mengandung unsur-unsur yang baik
dan cocok dengan nilai khas budaya Indonesia yang sudah hidup di
kalangan masyarakat selama berabad-abad.
Dengan demikian, paling tidak, ada dua hal yang dapat
dijadikan pertimbangan dalam menyusun konsep kebebasan
beragama dengan basis prismatik ini. Pertama, memuat unsur yang
baik dari pandangan kolektivisme, yang berbasis pada ideologi
partikular-absolut, dan individualisme, yang berbasis pada ideologi
166
Dr. Rohidin, M. Ag
—‹˜‡”•ƒŽǦƒ„•‘Ž—–Ǥ‡„ƒ‰ƒ‹•‡„—ƒŠ„ƒ‰•ƒǡ†‘‡•‹ƒ‡‹Ž‹‹akar
•‘•‹‘Ǧ—Ž–—”ƒŽ›ƒ‰•ƒ‰ƒ–’Ž—”ƒŽǤŽ—”ƒŽ‹–ƒ•–‡”•‡„—–‡–ƒ”ƒ’ƒ†ƒ
beragamnya suku dan budaya. Namun demikian, pluralitas tersebut
dapat disatukan dalam semboyan, “Bhineka Tunggal Ika”. Artinya,
•‡„‘›ƒ –‡”•‡„—– ‡Œƒ†‹ ‰ƒ”‹• ’‡‰Š—„—‰ †ƒ”‹ —•—”Ǧ—•—”
yang berbeda tersebut. Kedua, Indonesia adalah Negara Hukum
yang menganut paham religious nation state, dalam arti bukan
negara agama dan bukan pula negara •‡—Ž‡”Ǥ ‡Š‹‰‰ƒ, aturan
mengenai keberagamaan dan/atau keagamaan dapat dikonstruksi
dalam bingkai hukum yang
ƒ…ƒ•‹Žƒǡ
bukan agama. Dua hal tersebut dapat disederhanakan dalam ragaan
sebagai berikut:
Ragaan. 4.3.
‘•‡’‡„‡„ƒ•ƒ‡”ƒ‰ƒƒ”‹•ƒ–‹
Kecenderungan:
Mengutamakan
kepentingan
kolektif
Konsep Kebebasan Beragama
di Negara Hukum Indonesia
(Religious Nation State)
Existing:
Eksklusif
Berbasis
partikular
absolut
Kecenderungan:
Mengutamakan
kepentingan
individualisti
Existing:
Liberal
Berbasis
universal
absolut
NILAI KEMANUSIAAN YANG
ADIL DAN BERADAB
Hal demikian itu pada dasarnya tampak jelas dalam sila pertama
ƒ…ƒ•‹Žƒǡ ›ƒ‹ ‡–—Šƒƒ ƒ‰ ƒŠƒ •ƒǤ ‡„ƒ‰ƒ‹ rechtsidee
konsep kebebasan beragama di Indonesia—sebagaimana telah
diungkap sebelumnya—nilai dasar yang termuat di dalamnya tidak
hanya berdimensi teologis, tetapi juga politis. Implikasinya adalah
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
167
bahwa nilai dasar itu menuntut orang untuk mengembangkan sikap
saling menghormati dan bekerjasama antar-pemeluk agama dan/atau
kepercayaan yang beragam terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain. Berikut
gambaran dialektika dua persepsi di atas beserta proses prismatiknya,
sehingga menjadi bahan pertimbangan konstruksi baru konsep
kebebasan beragama di Negara Hukum Indonesia:
Tabel 4.5.
Dialektika Kondisi Existing Problem Kebebasan Beragama di Negara
Hukum Indonesia Berkaitan dengan Persepsi Intelektual Muslim
terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat
Titik Perbedaan
Kolektivisme
Individualisme
Bentuk Persepsi
Eksklusif
Inklusif-Liberal
Basis Nilai
Agama
Humanisme
Basis Ideologi
Partikular-Absolut
Universal-Absolut
Dasar Legitimasi
UU No. 1/PNPS/1965
UU No. 12 Tahun
2005
168
Dr. Rohidin, M. Ag
Pandangan
atas Fatwa MUI
tentang Aliran
Sesat berkaitan
dengan
Kebebasan
Beragama
1. Pemerintah harus
melindungi
agama dan
pemeluknya.
1. Pemerintah
harus melindungi
pemeluk agama
dan pengikut suatu
keyakinan (aliran
kepercayaan),
bukan agama dan
keyakinan itu
sendiri.
2. Aliran sesat bukan
termasuk bagian
dari problem
kebebasan
beragama
(sebagai bagian
dari HAM).
2. Aliran sesat
termasuk bagian
dari problem
kebebasan
beragama (sebagai
bagian dari HAM).
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
169
170
3. Suatu keyakinan
atau aliran
kepercayaan yang
dianggap sesat
bukan bagian dari
hak kebebasan
beragama sebagai
bagian dari HAM,
justru ia telah
melanggar HAM.
3. Semua aliran
atau keyakinan
adalah bagian dari
hak kebebasan
beragama yang
merupakan bagian
dari HAM.
4. Kebenaran tafsir
keagamaan
dapat ditentukan
secara kolektif
(mainstream).
4. Tafsir keagamaan
tidak memiliki
kebenaran mutlak,
artinya ditentukan
oleh keyakinan
individu.
5. Fatwa MUI,
sebagai contoh
tafsir keagamaan,
memang bersifat
legal opinion
tetapi karena
kolektivitasnya
maka
kebenarannya
bersifat mutlak.
5. Fatwa MUI,
sebagai contoh
tafsir keagamaan,
bersifat legal
opinion. Karena itu,
ia sejajar dengan
bentuk tafsiran
lain yang mungkin
bertentangan.
6. Berkaitan dengan
kasus persekusi,
aliran sesatlah
yang menjadi
pemicunya.
6. Berkaitan dengan
kasus persekusi,
aliran sesat bukan
sebagai pemicunya.
Dr. Rohidin, M. Ag
Konsekuensinya
Pemerintah harus
tegas untuk
membubarkan dan
melarang aliran
yang dianggap sesat
oleh MUI.
Pemerintah harus
menindak tegas para
pelaku persekusi, dan
wajib melindungi
para penganut suatu
keyakinan atau aliran
kepercayaan yang
dianggap sesat oleh
MUI.
Tabel 4.6.
Konstruksi Baru Konsep Kebebasan Beragama di Negara Hukum
Indonesia Berkaitan dengan Persepsi Intelektual Muslim terhadap
Fatwa MUI tentang Aliran Sesat
Bentuk Persepsi
Inklusif-Moderat
Basis Nilai
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
(Pancasila)
Basis Ideologi
Universal-Relatif
Dasar Legitimasi
UUD 1945
Pandangan
atas Fatwa MUI
tentang Aliran
Sesat berkaitan
dengan Kebebasan
Beragama
1. Pola perlindungan dan penjaminannya
ditekankan pada pemeluk agama atau
penganut suatu keyakinan (aliran
kepercayaan) beserta agama dan
keyakinan (kepercayaan) itu sendiri
dalam batasan-batasan tertentu.
2. Aliran sesat termasuk bagian dari
problem kebebasan beragama sebagai
bagian dari HAM, selama ia secara
konstitusional dapat dikatakan
demikian.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
171
3. Suatu keyakinan atau aliran
kepercayaan yang dianggap sesat
dapat dikatakan melanggar hak
kebebasan beragama yang merupakan
bagian dari HAM jika memang secara
konstitusional dapat dikatakan
demikian.
4.Tafsir keagamaan memang tidak
memiliki kebenaran yang bersifat
mutlak, akan tetapi tidak sertamerta kemudian seseorang dengan
bebas melakukan penafsiran dengan
tanpa metodologi yang dapat
dipertanggungjawabkan.
5. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir
keagamaan, bersifat legal opinion
dan bisa menjadi referensi dalam
menentukan kebijakan kasus aliran
sesat, tetapi bukan merupakan satusatunya referensi.
6.Berkaitan dengan kasus persekusi, jika
secara konstitusional pelakunya dapat
dikatakan melanggar hukum, baik
itu dari pihak aliran yang dianggap
sesat maupun pelaku persekusi, maka
keduanya bisa jadi dikatakan sebagai
pemicu.
172
Dr. Rohidin, M. Ag
Konsekuensi
Pembentukan regulasi turunan yang
dapat mengakomodasi jaminan
perlindungan atas individu pemeluk
agama atau penganut suatu keyakinan
(aliran kepercayaan) beserta agama dan
keyakinan (kepercayaan) itu sendiri
dalam batas-batas tertentu yang selaras
dengan nilai kemanusiaan yang adil
dan beradab adalah konsekuensi bagi
pemerintah.
Batasan-batasan yang dimaksud dalam tabel 4.6. contohnya
adalah apa yang diistilahkan dengan blashphemy.62 Hal demikian
menjadi lazim karena, sebagaimana telah dikatakan sebelumnya,
Indonesia adalah Religious Nation State63 dan didasarkan atas
hukum yang berisi nilai-nilai Pancasila, bukan agama. Sementara
itu, kenyataan yang ada adalah bahwa produk regulasi turunan
tentang sosial-keagamaan satu sama lain tampak kontraproduktif,
dan bahkan kontradiktif. Sehingga, re-evaluasi dan harmonisasi
62
Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan blashphemy adalah; “Any oral or written reproach maliciously cast
Book of Common Preyer, intended to wound the feelings of mankind or to excite
contempt and hartred against the church by law established, or to promote
immorality”. Hanry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing,
St. Paul Minn, 1990, hlm. 171. Artinya, agama dan seperangkatnya dapat
dilindungi oleh negara hanya dalam batasan untuk tidak direndahkan dalam
bentuk penghinaan. Sementara itu, pada wilayah penafsiran keagamaan,
negara tidak memiliki hak untuk mengaturnya. Di samping karena secara
fundamental agama memang berpotensi untuk ditafsiri secara beragam, juga
tidak akan ditemukannya general terminology yang akomodatif dari ragam
perbedaan dalam dunia penafsiran. Mendekati pola semacam itu adalah
pandangan Kaelan, menurutnya regulasi tentang kebebasan beragama harus
bertumpu pada jaminan perlindungan atas pemeluk keyakinan atau agama
sekaligus institusi keyakinan atau keagamaan itu sendiri. Berkaitan dengan
tafsir keagamaan, Kaelan berpandangan bahwa hal tersebut menjadi sah
selama tidak dianggap menghina institusi keyakinan atau keagamaan lain.
Wawancara dengan Kaelan, Guru Besar UGM, di Yogyakarta pada tanggal 22
Agustus 2011. Bandingkan dengan, Barda Nawawi Arif, op. Cit., hlm. 65-66.
63
Hal senada juga diungkapkan oleh Amidhan, Pihak Terkait, dalam
Sidang Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 pada hari Kamis, 4 Februari 2010
di Gedung MK Jakarta.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
173
adalah konsekuensinya. Agenda tersebut dapat dijalankan secara
konsisten mengacu pada Pancasila yang telah menggariskan empat
kaidah penuntun hukum nasional. Kaidah-kaidah ini tidak terlepas
dari kedudukan Pancasila yang menjadi citra hukum (rechtsidee)
dan merupakan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia.
Berkaitan dengan konsep kebebasan beragama, maka kaidahkaidah penuntun itu dapat dijabarkan dalam bentuk:
1. Hukum kebebasan beragama di Indonesia bertujuan dan
menjamin integrasi bangsa. Konsep hukum tersebut tidak
boleh memuat isi yang berpotensi menyebabkan terjadinya
disintegrasi bangsa.
2. Hukum kebebasan beragama di Indonesia dirumuskan
dengan pola yang selaras dengan cita pembangunan
demokrasi dan nomokrasi. Konsep hukum tersebut tidak
dibuat berdasar paradigma keagamaan mainstream semata,
dan prosedur
yang benar.
3. Hukum kebebasan beragama di Indonesia diproduk dalam
rangka membangun keadilan sosial. Tidak bisa dibenarkan
jika produk hukum tersebut berpotensi mendorong atau
membiarkan terjadinya jurang sosial karena eksploitasi
oleh golongan mainstream terhadap minoritas tanpa
perlindungan Negara. Selain itu, konstruksi hukum
kebebasan beragama juga diarahkan untuk menjaga agar
minoritas tidak dibiarkan menghadapi sendiri pihak
mainstream yang sudah pasti akan selalu dimenangkan
oleh yang mainstream.
4. Hukum kebebasan beragama di Indonesia diproduk dalam
rangka membangun toleransi beragama dan berkeadaban.
Konsep hukum tersebut tidak boleh mengistimewakan
atau mendiskriminasi kelompok tertentu berdasar besar
atau kecilnya pemeluk agama dan/atau keyakinan (yang
mendasarkan pada satu agama atau keyakinan tertentu)
dan bukan negara sekuler (yang tidak peduli atau hampa
spirit keagamaan). Konsep hukum negara tidak dapat
174
Dr. Rohidin, M. Ag
mewajibkan berlakunya hukum agama, tetapi negara
memfasilitasi, melindungi, dan menjamin keamanannya
jika warganya akan melaksanakan ajaran agama karena
keyakinan dan kesadarannya sendiri.
Dalam menyusun aturan soal agama, kaidah pertama dan
keempat di atas mesti diperhatikan, karena hukum Indonesia
bertujuan dan menjamin integrasi bangsa, dan pada saat bersamaan
membangun toleransi beragama serta berkeadaban. Harus disadari,
agama dalam arti keyakinan secara fundamental merupakan wilayah
privat, sehingga negara memiliki kewenangan untuk mengaturnya
hanya dalam batas-batas tertentu atas kepentingan ketertiban
sosial, bukan kepentingan agama itu sendiri. Sehingga, pengaturan
terbatas pada bagimana masing-masing orang mengekspresikan
keyakinannya supaya tidak merugikan atau melanggar hak orang
lain. Aturan hukum sebaiknya hanya mengatur kehidupan bersama,
interaksi, dan interelasi antar warga negara yang berbeda agama
dan/atau kepercayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Artinya, hukum diproduk bukan dalam rangka
mengatur kegiatan dan keagamaan secara individual dan internal
komunitas pemeluk agama, apalagi mengatur kegiatan keagamaan
yang terkait dengan pengalaman, sakralitas, dan ritualitas menurut
keyakinan masing-masing agama atau suatu keyakinan. Tidak
boleh, misalnya, negara membuat aturan hukum yang mewajibkan
sesuatu yang sudah diwajibkan oleh agama atau suatu keyakinan,
atau sebaliknya melarang sesuatu yang sudah jelas-jelas dilarang
agama atau suatu keyakinan.
Selain itu, nilai-nilai humanitas juga mesti terkandung di
segala produk hukum. Bertolak dari gagasan hukum progresif
Satjipto Rahardjo—sebagaimana telah diungkap dalam kerangka
pemikiran—maka diproduknya sebuah hukum ditujukan untuk
manusia, dalam arti bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak
beragama
tetap menjunjung nilai-nilai humanitas. Jika suatu produk hukum
berkaitan dengan hal tersebut kurang dianggap relevan, UU No.
1/PNPS/1965 misalnya, maka pihak berwenang mestinya tidak
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
175
gamang untuk merevisinya. Karena, segala produk hukum sejatinya
selalu berada pada status “law in the making”, yakni selalu berproses
dan menjadi.
Bertolak dari ragam persoalan dan kerangka prismatika
tersebut, maka konsep kebebasan beragama di Negara Hukum
Indonesia dapat dirumuskan dalam pola jaminan perlindungan
atas hak kebebasan berkeyakinan dan beragama serta keyakinan
dan agama itu sendiri yang berbasis pada nilai kemanusiaan
yang adil dan beradab. Dengan pola semacam ini, tidak bisa
dengan serta-merta seseorang memaksakan kehendak keyakinan
atau keberagamaannya kepada orang lain, termasuk dalam hal
penafsiran. Seseorang juga tidak bisa dengan sesuka hati melakukan
penghinaan terhadap suatu agama atau keyakinan, termasuk pula
ritus-ritus yang menyertainya. Selain itu, seseorang juga dilarang
untuk mengganggu prosesi upacara suatu agama atau keyakinan,
apalagi melakukan perusakan-perusakan terhadap tempat-tempat
peribadatan keagamaan atau suatu keyakinan. Pola semacam ini
dapat disederhanakan dalam ragaan sebagai berikut:
176
Dr. Rohidin, M. Ag
Ragaan. 4.4.
‘•‡’‡„‡„ƒ•ƒ‡”ƒ‰ƒƒ”‹•ƒ–‹†‹Negara Hukum
Indonesia Berbasis Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
UniversalAbsolut
Antroposentris
PartikularAbsolut
Universalisme
Individualisme
HAM PANCASILA
Partikularisme
UniversalRelatif
Theosentris
Kolektivisme
TheoAntroposentris
Humanistik
Bhineka Tunggal Ika
Ketuhanan YME
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
PASAL 28 DAN 29 UUD 1945
Regulasi
HAK:
1. Berpikir dan berpendapat terkait
persoalan agama atau keyakinan.
2. Memeluk agama atau keyakinan.
3. Mendapatkan jaminan atas
kebebasan berpikir dan
berpendapat terkait persoalan
agama atau keyakinan.
4. Mendapatkan jaminan atas
kepemelukan seseorang terhadap
agama atau keyakinan.
5. Mendapatkan perlindungan atas
keagamaan atau keyakinan
seseorang.
6. Mendapatkan perlindungan atas
tempattempat peribadatan,
termasuk ritus dan upacara
upacara keagamaan atau
keyakinan, yang dimiliki.
KEWAJIBAN:
1. Menghormati
hak kebebasan
berpikir dan
berpendapat
terkait persoalan
agama atau
keyakinan.
2. Menghormati
agama atau
keyakinan orang
lain.
3. Menghormati
keberadaan
tempattempat
peribadatan,
termasuk ritus
dan upacara
upacara agama
atau keyakinan.
LARANGAN:
1. Menghina suatu agama
atau keyakinan,
termasuk halhal yang
terkait di dalamnya.
2. Menghasut seseorang
untuk meniadakan
keyakinan terhadap
Tuhan.
3. Melakukan persekusi
terhadap suatu agama
atau keyakinan, baik
fisik maupun mental.
4. Mengganggu upacara
upacara agama atau
keyakinan.
5. Merusak tempattempat
peribadatan
suatukeagamaan atau
keyakinan.
Terkait dengan kehidupan beragama, penulis merekomendasikan
lima agenda besar sebagai solusi dari problem utama kebebasan
beragama di Negara Hukum Indonesia. Lima agenda tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
‡”„ƒ‹ƒ †ƒ Šƒ”‘‹•ƒ•‹ ’”‘†—Ǧ’”‘†— Š——ǡ
’‡”—†ƒ‰Ǧ—†ƒ‰ƒ –‡–ƒ‰ ‡„‡„ƒ•ƒ beragama.
”‘†—Š——–‡”•‡„—–perlu disesuaikan dengan semangat
ƒ…ƒ•‹Žƒ›ƒ‰•‡…ƒ”ƒ‡•’Ž‹•‹–•—†ƒŠ‡„‡”‹†ƒ•ƒ”„ƒ‰‹
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
177
perlindungan dan jaminan, termasuk pula re-evaluasi dan
harmonisasi atas ketentuan-ketentuan dalam kovenan
internasional tentang kebebasan beragama, baik dari segi
materinya itu sendiri maupun tentang kelembagaan dan
peradilannya.
2. Melakukan inventarisasi, mengevaluasi, dan mengkaji
seluruh produk hukum, yang berlaku dan kurang sesuai
dengan semangat Pancasila. Ada beberapa pasal dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang kurang
sesuai dengan semangat Pancasila.
3. Mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansiinstansi peradilan dan instansi lainnya yang terkait dengan
penegakan supremasi hukum dan perlindungan kebebasan
beragama. Sebagaimana tampak dalam pembahasan
problematika hukum kebebasan beragama, rendahnya
kapasitas sistem peradilan juga turut andil dalam
meningkatnya kasus pelanggaran kebebasan beragama di
Indonesia.
4. Sosialisasi dan pemahaman tentang konsep kebebasan
beragama dengan basis Pancasila itu sendiri, khususnya
di kalangan pemerintah, utamanya di kalangan
instansi yang secara langsung maupun tidak langsung
bersentuhan dengan masalah kebebasan beragama.
Sosialisasi pemahaman ini terkait dengan penegakan
profesionalisme aparat di dalam melaksanakan bidang
kerjanya. Gamangnya aparat pemerintah dalam mengurusi
dan berurusan dengan masyarakat yang partisipasi politik
dan daya kritisnya makin tinggi ini disebabkan, antara lain
karena mereka umumnya kurang dapat melaksanakan
rambu-rambu profesionalismenya. Ini berlaku bagi aparat
sipil maupun aparat keamanan.
5. Kerjasama dengan kalangan di luar pemerintahan yang
memiliki kepedulian tinggi terhadap penegakan hukum
kebebasan beragama. Langkah ini juga dirancang guna
mensosialisasikan pemahaman tentang kebebasan
beragama secara merata di dalam masyarakat. Karena,
178
Dr. Rohidin, M. Ag
diakui atau tidak, munculnya
masyarakat juga kerap dilandasi dengan pengetahuan yang
dangkal tentang kebebasan beragama.
Namun demikian, perlu menjadi titik tekan, betapapun produk
hukum dianggap mapan, kebebasan beragama tidak akan
teraplikasikan jika sektor aparatur penegak hukum dan budaya
masyarakatnya belum siap. Sebaliknya, betapapun produk hukum
tidak dianggap mapan, tetapi jika budaya masyarakatnya sangat
mapan, maka kebebasan beragama akan berjalan dengan sendirinya
secara sempurna. Dengan kata lain, problem kebebasan beragama
sesungguhnya dengan sendirinya akan teratasi jika civil society
telah membumi dalam kehidupan masyarakat.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
179
180
Dr. Rohidin, M. Ag
LIMA
Penutup
Kebebasan beragama dan keyakinan (freedom of religion and belief)
merupakan salah satu bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang
secara kodrati melekat pada diri manusia serta bersifat universal
dan langgeng. Oleh karena itu, ia harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, serta tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau
dirampas oleh siapa pun. Hak ini selain tercantum dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), terdapat juga dalam
berbagai dokumen historis HAM lainnya, seperti dokumen Magna
Charta (1215), Bill of Rights England (1689), Rights of Man France
(1789), Bill of Rights of USA (1791), Rights of Russian People (1917),
dan International Bill of Rights (1966). Pada perkembangannya,
kebebasan ini kemudian lebih rinci diatur dalam Pasal 18, 20 ayat
(2), dan Pasal 27 Instrumen InternationalCovenant on Civil and
Political Rights (ICCPR).
Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap penjaminan
kebebasan beragama dan berkeyakinan tampak semakin
terutama setelah amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pada amandemen kedua UUD 1945, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) memasukkan satu bab yang secara khusus memberi
landasan penjaminan HAM bagi setiap warga negara, yakni BAB
XA. Pada bab ini, terdapat sepuluh pasal tentang HAM yang hampir
seluruhnya mengadopsi prinsip-prinsip DUHAM dan ICCPR. Salah
satu hak asasi yang diatur dalam bab ini menyangkut hak kebebasan
beragama dan keyakinan bagi setiap warga negara, seperti yang
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
181
diatur dalam Pasal 28E UUD 1945. Pasal ini menegaskan tentang
cakupan hak kebebasan beragama dan (ber)-keyakinan—yakni
hak untuk memeluk agama, hak untuk menganut satu keyakinan,
dan hak untuk beribadat menurut agama dan keyakinannya.
Konsekuensinya, setiap warga negara memiliki hak yang sama
dalam ketiga aspek tersebut. Jaminan konstitusi mengenai hakhak tersebut diperkuat oleh beberapa peraturan perundangundangan di bawah UUD 1945, antara lain Undang-Undang (UU)
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, terutama Pasal 4, Pasal 12, dan
Pasal 22. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni
dalam Pasal 6 dan Pasal 43 ayat (1), UU No. 12 Tahun 2005 tentang
Kovenan Hak Sipil dan Politik atau ICCPR, terutama yang
diatur dalam Pasal 18, 20, dan 27.
ICCPR yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia ini bukan sekadar sebagai bentuk pengadopsian prinsip
internasional hak sipil dan politik ke dalam hukum nasional,
Indonesia
ke dalam suatu kedudukan dan kewajiban tertentu. Dengan
Indonesia memutuskan
kebijakannya untuk menempatkan dirinya dalam pemantauan
badan internasional, khususnya terkait hak sipil dan politik.
Hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama (right
to freedom of thought, conscience, and religion) merupakan salah
satu hak yang tidak dapat dibatasi dalam keadaan apa pun (nonderogable rights). Ini berbeda dengan kebebasan menjalankan
agama atau keyakinan yang dapat dibatasi (derogable rights),
karena hak ini berkaitan dengan hak-hak orang lain. Meskipun
pembatasan kebebasan beragama sudah diatur secara jelas,
yakni untuk melindungi lima keamanan yang diperlukan oleh
masyarakat, di dalam UUD 1945 Pasal 28J ditambah satu aspek lagi,
yakni meletakkan kesesuaian dengan moral dan nilai-nilai agama
sebagai pertimbangan. Pasal inilah yang kemudian dipersoalkan
oleh pembela HAM universal-absolut, kaitannya dengan moral
seperti apa serta nilai-nilai apa saja dari agama itu yang dijadikan
pertimbangan. Problematika pertimbangan dalam pembatasan
seperti ini dapat dipahami, karena bagi pembela HAM universal-
182
Dr. Rohidin, M. Ag
absolut yang terpenting adalah melindungi individu-individu
pemeluk agama atau keyakinannya, bukan pada agama atau suatu
keyakinan yang dipeluk atau dianut. Berbeda dengan pandangan
tersebut, bagi sebagian masyarakat yang lain pembatasan seperti
itu masih dimungkinkan sepanjang diatur oleh undang-undang,
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi rasa keadilan
sesuai dengan pertimbangan moral dan nilai-nilai agama.
Jika cara pandang yang digunakan adalah perspektif sebagian
masyarakat yang menyetujui adanya pertimbangan tersebut,
maka Pasal 28J UUD 1945 sesungguhnya sejalan dengan berbagai
Indonesia. Pola pemikiran demikian berimplikasi pada cara pandang
terhadap UU No. 1/PNPS/1965 sebagai salah satu pembatasan yang
dilakukan dengan undang-undang. Dengan adanya peluang yang
diberikan oleh Pasal 28J tersebut, maka UU No. 1/PNPS/1965 tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
Sebagaimana tampak pada namanya, UU No. 1/PNPS/1965
tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama, semula adalah
Penetapan Presiden (PNPS) yang dikeluarkan tahun 1965. Pada
perkembangannya, PNPS tersebut ditetapkan menjadi undangundang (baca: diperundangkan) melalui UU No. 5 Tahun 1969.
Latar belakang yang mendasari dikeluarkannya UU No. 1/
PNPS/1965 tidak terlepas dari aspek ideologis, integralitasnasionalis, dan aspek sosial kemasyarakatan keagamaan atau
sosial-religius. Dengan kata lain, menjadi ironis jika sebuah negara
yang masyarakatnya beragama tidak ada perangkat hukum yang
menjamin dan melindungi agama dari perbuatan menyimpang
dan menodai agama, bahkan ajaran-ajaran untuk tidak memeluk
agama yang banyak menimbulkan bahaya bagi persatuan nasional
dan bagi agama serta ketenteraman beragama. Pasal 1 dari undangundang tersebut berbunyi:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan
umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
183
yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.
Kalimat “penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama” berarti mengandaikan adanya institusi
atau lembaga yang berwenang untuk menentukan tafsir mana yang
benar dan mana yang menyimpang. Dalam penjelasan undangundang tersebut dikatakan bahwa “Pokok-pokok ajaran agama
dapat diketahui oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian
Agama [Kemenag]) yang untuk itu mempunyai alat-alat/caracara untuk menyelidikinya”. Sebagaimana telah diketahui bersama
bahwa saat ini komposisi Kemenag lebih didominasi oleh personperson manajerial yang bukan dari kalangan agamawan (Islam:
ulama), sementara kalangan yang dianggap dapat mengetahui
adanya unsur penyimpangan dari pokok ajaran agama (Islam)
hanyalah para ahli agama (Islam), ulama.
Di Indonesia terdapat organisasi kemasyarakatan (ormas)
Islam bernama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dari namanya saja,
sekilas dapat dipahami bahwa person yang terlibat di dalamnya
berstatus sebagai ulama, meskipun pada bagian-bagian tertentu
terdapat person-person yang bukan ulama. Secara struktural, elite
MUI memiliki komposisi yang beragam, dalam pengertian diduduki
oleh ragam ulama yang berasal dari lintas Ormas Islam. Komposisi
demikian ini kemudian dianggap sebagai keterwakilan dari masingmasing Ormas. Anggapan keterwakilan inilah yang kemudian
memberi nilai tawar tersendiri bagi MUI di mata pemerintah dan
sebagian masyarakat. Namun demikian, bukan berarti pemerintah
selama ini selalu mengekor kepada MUI. Dalam kasus penodaan
agama, pertimbangan ulama bagi pemerintah adalah suatu
keniscayaan referensial. Untuk saat ini, bagi pemerintah, suara
MUI dapat dinilai representatif dan dapat dikatakan sebagai
฀.
Kenyataannya memang demikian, dalam arti bahwa umumnya
kasus pembubaran atau pelarangan aliran sesat yang dilakukan
oleh pemerintah sebagai implikasi dari adanya fatwa MUI. Dengan
demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada saat ini
184
Dr. Rohidin, M. Ag
amanat dalam undang-undang tersebut kerap dilimpahkan kepada
MUI.
Sejak didirikan pada 1975, MUI pusat telah mengeluarkan
delapan fatwa tentang aliran sesat. Delapan fatwa tersebut
ditujukan untuk aliran-aliran sebagai berikut: (1) Islam Jamaah
atau Darul Hadis; (2)
฀
Munkir
al-Sunnah (Kelompok Penolak Sunnah/Hadis Rasul); (5) Darul
Arqam; (6) Kelompok Salamullah; (7) Ahmadiyah (Qadiyan dan
Lahore); dan (8) Al-Qiyadah al-Islamiyah. Beragam aliran lain juga
pernah dinyatakan sesat oleh beberapa MUI Daerah. Kelompok
Husnul Huluq, misalnya, aliran ini dinyatakan sesat oleh MUI
Kecamatan Paseh, Kab. Sumedang pada tahun 2005. Demikian
juga beberapa aliran lain, seperti: sebuah aliran salat dua bahasa
pimpinan Yusman Roy yang dinyatakan sesat oleh MUI Jawa Timur
pada tahun 2005, aliran Amanat Keagungan Ilahi yang dinyatakan
sesat oleh MUI Sumatera Selatan pada tahun 2009, aliran Ilmu
Kalam Santriloka yang dinyatakan sesat oleh MUI Mojokerto pada
tahun 2009, dan aliran Sabda Kusuma yang dinyatakan sesat oleh
MUI Jawa Tengah pada tahun 2011.
Berkaitan dengan kebebasan beragama sebagai bagian dari
HAM, ragam fatwa (baca: penilaian sesat) yang dikeluarkan oleh
MUI—baik pusat maupun daerah—tersebut ditanggapi secara
beragam oleh kalangan intelektual Muslim. Ada yang mengakuinya
sebagai kebenaran hingga harus dikawal sedemikian rupa
meskipun sebagian persepsi mereka kemudian mewujud dalam
tindakan anarkis, ada yang mengakuinya sebagai kebenaran tetapi
tidak wajib untuk mengikutinya apalagi mengawalnya, ada pula
yang justru menganggap MUI telah melanggar HAM karena telah
menilai mereka sebagai aliran sesat. Artinya, terjadi dialektika
antara fatwa MUI dan konsep kebebasan beragama sebagai bagian
dari HAM yang telah terbingkai dalam konstruksi hukum karena
Indonesia adalah Negara Hukum.
Pada saat dialektika ini mewujud dalam tindak intoleransi
keberagamaan, maka pada saat itu juga persepsi tersebut berkaitberkelindan dengan persoalan HAM dan hukum. Persepsi intelektual
Muslim terhadap fatwa MUI tentang aliran sesat ini menjadi pintu
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
185
masuk dalam mengkaji problematika konsep kebebasan beragama
di Negara Hukum Indonesia. Pasalnya, mengupas persoalan fatwa
MUI tentang aliran sesat kaitannya dengan HAM dan hukum tidak
hanya berada dalam dataran praksis, lebih dari itu dataran teoretis
juga menjadi pewarnaannya. Dialektika tersebut mengandaikan
adanya relasi beberapa elemen penting, yakni Negara Hukum
Indonesia beserta sistemnya, masyarakat beraliran mainstream
beserta elite agamawannya, MUI beserta fatwanya, dan kelompok
keagamaan atau keyakinan (kepercayaan) minoritas yang dicap
sesat, namun titik tekan di sini utamanya adalah fatwa MUI, Negara
Hukum Indonesia, dan HAM.
Kelompok yang menggunakan ideologi HAM partikularabsolutmenganggap benar apa yang dilakukan oleh MUI, di
samping karena komitmen keagamaan yang mereka pegang
dan jalankan juga melegitimasi persepsinya dengan UU No. 1/
PNPS/1965. Namun, karena pemerintah tidak tegas dalam
meresponnya sebagian di antara mereka kemudian berreaksi
secara berlebihan dengan melakukan berbagai bentuk persekusi.
Sedangkan kelompok yang menggunakan ideologi HAM universalabsolut menganggap fatwa MUI bertentangan dengan HAM
mentendensikan persepsinya pada UU No. 12 Tahun 2005. Artinya,
secara tidak langsung dapat dipahami bahwa bentuk regulasi
berkaitan dengan jaminan kebebasan beragama di Indonesia masih
terdapat permasalahan.
Inti permasalahan regulatif tersebut pada dasarnya
terletak pada ambiguitasnya. Di satu sisi kebebasan beragama
mendapatkan jaminan konstitusional sebagai bagian dari HAM.
Namun di sisi lain,konstitusi serta instrumen perundanganundangan lainnya masih membatasi hak kebebasan berpikir,
berkeyakinan, dan beragama sebagai hak kodrat yang dimiliki
setiap manusia. Kontradiksi persepsi intelektual Muslim terhadap
fatwa MUI tentang aliran sesat berkaitan dengan konsep kebebasan
beragama di Indonesia dapat teratasi jika ambiguitas regulasinya
dapat diatasi dengan baik. Untuk itu, sudah saatnya dirumuskan
konsep kebebasan beragama dalam bingkai hukum berdasarkan
kesepakatan hakikat negara ini yang menyatakan bukan negara
agama dan bukan negara sekuler. Sekalipun oleh sebagian
186
Dr. Rohidin, M. Ag
masyarakat hasil kesepakatan tersebut dijadikan ruang silang
pendapat yang cukup tajam mengenai kebebasan beragama.
Bahkan, dapat dikatakan bahwa masalah kebebasan beragama
adalah masalah rumit dan kompleks, yang tidak hanya dalam
rumusan regulasinya, tetapi juga masalah pelaksanaannya di
lapangan.
Setidaknya terdapat tiga ranah masalah yang muncul dari
konsep kebebasan beragama di Negara Hukum Indonesia. Pertama,
ranah struktur hukum yang dalam hal ini negara atau pemerintah
dengan berbagai aparaturnya (polisi, jaksa, dan hakim). Kedua,
ranah substansi hukum, yakni tentang adanya berbagai jenis
peraturan perundangan yang kontradiktif satu sama lain. Ketiga,
ranah budaya hukum, sebab, meski keduanya telah mapan, hak
kebebasan beragama tidak akan berjalan dengan baik jika budaya
hukumnya tidak kondusif, terlebih jika persepsi kontradiktif
sebagaimana di atas tidak dapat disatukan.
Buku ini berupaya mencari solusi dari problem konseptual
kebebasan beragama berbasis nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab, sebagai salah satu sila dari Pancasila. Dalam buku ini,
gagasan hukum progresif Satjipto Rahardjo, teori black box
kebijakan publik David Easton, teori sistem hukum Lawrence M.
Friedman, teori bekerjanya hukum dalam masyarakat ChamblissSeidman, dan teori prismatik Fred W. Riggs digunakan untuk
menjawab persoalan tersebut.
Hasil penelusuran penulis menunjukkan bahwa fatwa MUI
berkaitan dengan aliran sesat keagamaan ditanggapi secara beragam
oleh kalangan intelektual Muslim. Ragam persepsi ini dapat
dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu eksklusif, inklusifmoderat, dan inklusif-liberal.Kelompok eksklusif memandang
bahwa fatwa MUI tentang aliran sesat keagamaan di Indonesia
tidak melanggar HAM, khususnya hak kebebasan beragama. HAM,
bagi mereka tidak identik dengan kebolehan merusak kedaulatan
suatu agama, karena jika atas nama HAM, kemudian merusak nilainilai agama, maka hal itu tidak bisa dibenarkan. Karena itu, dalam
konteks fatwa tentang aliran sesat keagamaan, bagi mereka, MUI
sudah berada pada jalur yang benar. Sementara itu, dalam konteks
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
187
status dan otoritas fatwa berkaitan dengan tata hukum di Indonesia,
bagi mereka, sekalipun fatwa hanya bersifat legal opinion, tetapi
akan menjadi sumber rujukan ketika dikaitkan dengan UU No. 1/
PNPS/1965.
Kelompok inklusif-moderat memandang bahwa sebagai
representasi dari elit agamawan dalam Islam, MUI memiliki hak
untuk menilai suatu kelompok kegamaan seimannya yang berbeda
dalam persoalan akidah. Namun demikian, sebagai sebuah legal
opinion, fatwa juga mengandung dissenting opinion. Adanya
potensi ini berimplikasi pada keharusan MUI untuk menerima
dissenting opinion tersebut dan mempertanggungjawabkannya
di hadapan publik guna menuai predikat otoritatifnya.Sementara
itu, dalam konteks status dan otoritas fatwa berkaitan dengan
tata hukum di Indonesia, bagi mereka, MUI berhak meminta
dukungan negara, tetapi tidak berhak untuk memaksanya agar
mengikuti hasil fatwanya dengan cara melarang penyebaran aliran
yang dinyatakan sesat, membekukan organisasi, serta menutup
semua aktivitas dan tempat kegiatannya. Demikian ini, bagi
mereka, karena adanya keharusan negara untuk bersikap netral.
Dalam persoalan kebebasan beragama, bagi mereka, negara hanya
memiliki kewajiban untuk menjaga dan menjamin keamanan
setiap pemeluk agama dan/atau penganut suatu keyakinan, bukan
mengintervensinya.
Kelompok inklusif-liberal memandang bahwa fatwa MUI
tentang aliran sesat keagamaan telah melanggar basis-basis
moral keislaman universal serta bertentangan dengan HAM, dan
bahkan konstitusi, terlebih lagi jika MUI kemudian “memaksa”
negara untuk mengikuti hasil fatwanya dengan cara melarang
penyebaran aliran yang dinyatakan sesat, membekukan organisasi,
serta menutup semua aktivitas dan tempat kegiatannya. Berkaitan
dengan persoalan kebebasan beragama, bagi mereka bebas tanpa
batas hanya ada pada forum internum, sementara kebebasan dalam
bingkai “tindakan” boleh untuk dibatasi berdasarkan undangundang. Namun demikian, pembatasan dengan model UU No.
1/PNPS/1965, sebagaimana tercermin dalam Pasal 1, termasuk
pelanggaran nilai-nilai dasar HAM. Karena, perbedaan penafsiran
dalam sebuah agama adalah keniscayaan, dan otoritas kebenaran
188
Dr. Rohidin, M. Ag
tafsir tidak bisa dimiliki atau ditentukan oleh perorangan atau
lembaga tertentu.1
Dari tiga bentuk persepsi tersebut, dua di antaranya (eksklusif
dan inklusif-liberal) dinilai kurang sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal tersebut disebabkan
karena persepsi mereka berbasis pada dua ideologi HAM yang
bertolak belakang. Jika persepsi eksklusif berbasis pada ideologi
HAM partikular-absolut, sementara inklusif-liberal berbasis
pada ideologi HAM universal-absolut. Dari kenyataan demikian,
penulis memberikan solusi untuk kembali menggunakan ideologi
Pancasila dalam memandang fatwa MUI tentang aliran sesat
berkaitan dengan kebebasan beragama. Hal demikian menjadi
penting mengingat di dalamnya, Pancasila mengandung nilai-nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Melihat demikian itu, konsep kebebasan beragama dapat
dikonstruksikan dengan berbasis pada nilai kemanusiaan yang adil
dan beradab, sehingga ideologi HAM-nya didasarkan pada model
universal-relatif. Adapun dasar legitimasi yang digunakan adalah
Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, dalam memandang
fatwa MUI tentang aliran sesat berkaitan dengan kebebasan
beragama, yang dilindungi dan dijamin pemerintah adalah pemeluk
agama atau penganut suatu keyakinan (aliran kepercayaan) dan
agama serta keyakinan itu sendiri dalam batasan-batasan tertentu.
Aliran sesat termasuk bagian dari problem kebebasan beragama
(sebagai bagian dari HAM) selama ia secara konstitusional dapat
dikatakan demikian. Aliran kepercayaan atau keyakinan yang
dianggap sesat dapat dikatakan melanggar hak kebebasan beragama
sebagai bagian dari HAM jika memang secara konstitusional dapat
dikatakan demikian. Tafsir keagamaan memang tidak memiliki
kebenaran yang bersifat mutlak karena ia merupakan produk
manusia, akan tetapi tidak serta-merta kemudian seseorang dengan
1
Terkait persepsi intelektual muslim terhadap fatwa MUI ini lihat
Rohidin, Mendebat Fatwa MUI; Silang Perspektif Intelektual Muslim terhadap
Fatwa MUI tentang Aliran Sesat Keagamaan, Lintang Rasi Aksara Books,
Yogyakarta, 2013.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
189
bebas melakukan penafsiran dengan tanpa metodologi yang
dapat dipertanggungjawabkan. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir
keagamaan, bersifat legal opinion dan bisa menjadi referensi dalam
menentukan kebijakan kasus aliran sesat, tetapi bukan merupakan
satu-satunya referensi. Berkaitan dengan kasus persekusi, jika secara
konstitusional pelakunya dapat dikatakan melanggar hukum, baik
itu dari pihak aliran yang dianggap sesat maupun pelaku persekusi,
maka keduanya bisa jadi dikatakan sebagai pemicu. Berdasarkan
hal tersebut, maka pembentukan regulasi turunan yang dapat
mengakomodasi jaminan perlindungan atas individu pemeluk
agama atau penganut suatu keyakinan (aliran kepercayaan)
beserta agama dan keyakinan (kepercayaan) itu sendiri dalam
batas-batas tertentu yang selaras dengan nilai kemanusiaan yang
adil dan beradab adalah konsekuensi bagi pemerintah. Berikut
gambaran sederhana dialektika dua persepsi kontradiktif beserta
bentuk prismatikanya sebagai konstruksi baru konsep kebebasan
beragama:
Tabel 5.1
Dialektika Kondisi Existing Problem Kebebasan Beragama
di Negara Hukum Indonesia Berkaitan dengan Persepsi
intelektual Muslim terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat
Titik
Perbedaan
Kolektivisme
Individualisme
Bentuk Persepsi
Eksklusif
Inklusif-Liberal
Basis Nilai
Agama
Humanisme
Basis Ideologi
Partikular-Absolut
Universal-Absolut
Dasar Legitimasi
UU
No.
PNPS/1965
UU No. 12 Tahun 2005
190
Dr. Rohidin, M. Ag
1/
1.
Pandangan
atas Fatwa MUI
tentang Aliran
Sesat berkaitan
dengan
Kebebasan
Beragama
1.
Pemerintah harus
melindungi
pemeluk agama
dan pengikut suatu
keyakinan (aliran
kepercayaan),
bukan agama dan
keyakinan itu
sendiri.
1.
Aliran sesat
termasuk bagian
dari problem
kebebasan
beragama (sebagai
bagian dari HAM).
1.
Semua aliran
atau keyakinan
adalah bagian dari
hak kebebasan
beragama yang
merupakan bagian
dari HAM.
Pemerintah
harus
melindungi
agama dan
pemeluknya.
2. Aliran sesat
bukan
termasuk
bagian dari
problem
kebebasan
beragama
(sebagai
bagian dari
HAM).
3. Suatu
keyakinan
atau aliran
kepercayaan
yang dianggap
sesat bukan
bagian dari
hak kebebasan
beragama
sebagai bagian
dari HAM,
justru ia telah
melanggar
HAM.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
191
4. Kebenaran
tafsir
keagamaan
dapat
ditentukan
secara kolektif
(mainstream).
5. Fatwa MUI,
sebagai
contoh tafsir
keagamaan,
memang
bersifat legal
opinion
tetapi karena
kolektivitasnya
maka
kebenarannya
bersifat
mutlak.
6. Berkaitan
dengan kasus
persekusi,
aliran sesatlah
yang menjadi
pemicunya.
Konsekuensinya
192
Pemerintah harus
tegas untuk
membubarkan dan
melarang aliran
yang dianggap
sesat oleh MUI.
Dr. Rohidin, M. Ag
1.
Tafsir keagamaan
tidak memiliki
kebenaran mutlak,
artinya ditentukan
oleh keyakinan
individu.
1.
Fatwa MUI,
sebagai contoh
tafsir keagamaan,
bersifat legal
opinion. Karena
itu, ia sejajar
dengan bentuk
tafsiran lain
yang mungkin
bertentangan.
1.
Berkaitan dengan
kasus persekusi,
aliran sesat
bukan sebagai
pemicunya.
Pemerintah harus
menindak tegas para
pelaku persekusi, dan
wajib melindungi
para penganut suatu
keyakinan atau aliran
kepercayaan yang
dianggap sesat oleh
MUI.
Tabel 5.2
Konstruksi Baru Konsep Kebebasan Beragama
di Negara Hukum Indonesia Berkaitan dengan Persepsi
Intelektual Muslim terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat
Bentuk Persepsi
Inklusif-Moderat
Basis Nilai
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
(Pancasila)
Basis Ideologi
Universal-Relatif
Dasar Legitimasi
UUD 1945
1. Pola perlindungan dan penjaminannya
ditekankan pada pemeluk agama atau
penganut suatu keyakinan (aliran
kepercayaan) beserta agama dan
keyakinan (kepercayaan) itu sendiri
dalam batasan-batasan tertentu.
Pandangan
atas Fatwa
MUI tentang
Aliran Sesat
berkaitan dengan
Kebebasan
Beragama
2. Aliran sesat termasuk bagian dari
problem kebebasan beragama sebagai
bagian dari HAM, selama ia secara
konstitusional
dapat
dikatakan
demikian.
3. Suatu keyakinan atau aliran kepercayaan
yang dianggap sesat dapat dikatakan
melanggar hak kebebasan beragama
yang merupakan bagian dari HAM jika
memang secara konstitusional dapat
dikatakan demikian.
4. Tafsir keagamaan memang tidak
memiliki kebenaran yang bersifat
mutlak, akan tetapi tidak sertamerta kemudian seseorang dengan
bebas melakukan penafsiran dengan
tanpa metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
193
5. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir
keagamaan, bersifat legal opinion
dan bisa menjadi referensi dalam
menentukan kebijakan kasus aliran
sesat, tetapi bukan merupakan satusatunya referensi.
6. Berkaitan dengan kasus persekusi, jika
secara konstitusional pelakunya dapat
dikatakan melanggar hukum, baik
itu dari pihak aliran yang dianggap
sesat maupun pelaku persekusi, maka
keduanya bisa jadi dikatakan sebagai
pemicu.
Konsekuensi
Pembentukan regulasi turunan yang
dapat mengakomodasi jaminan perlindungan
atas
individu
pemeluk
agama atau penganut suatu keyakinan
(aliran kepercayaan) beserta agama dan
keyakinan (kepercayaan) itu sendiri dalam
batas-batas tertentu yang selaras dengan
nilai kemanusiaan yang adil dan beradab
adalah konsekuensi bagi pemerintah.
Hemat penulis, saat ini problematika kebebasan beragama di
Indonesia dalam bingkai hukum terletak pada tiga aspek, yakni:
substansi, struktur, dan budaya hukum. Pada aspek substansi,
terdapat beberapa produk regulasi yang kontradiktif, dan bahkan
kontraproduktif dengan konstitusi yang berbasis pada nilai-nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab. Beberapa bentuk regulasi
tersebut di antaranya adalah UU No. 1/PNPS Tahun 1965 Pasal 1,
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No. 8 dan 9 Tahun 2006 Pasal 13 ayat (1), UU No. 12 Tahun 2005
(ICCPR) Pasal 18 ayat (1), dan beberapa Peraturan Daerah (Perda)
bernuansa syariah. Sementara pada aspek struktur, kerapuhan
aparatur penegak hukum kentara dalam mengawal jaminan
194
Dr. Rohidin, M. Ag
kebebasan beragama. Kerapuhan ini berimplikasi pada bentuk
tindakan aktif (by commission) dan pembiaran (by omission).
Sehingga, aparatur pemerintah, yang sejatinya menjalankan
amanah dan mengawal konstitusi berbasis nilai-nilai kemanusiaan
yang adil dan beradab, justru—dalam beberapa kasus—tampak
bertolak belakang dengan (untuk tidak mengatakan menghianati
amanah)—konstitusi. Melihat kerapuhan yang berkepanjangan
tersebut, krisis kepercayaan pun akhirnya muncul dalam sebagian
benak masyarakat. Implikasi yang muncul kemudian adalah
timbulnya ragam intoleransi, dan bahkan persekusi. Pihak pelaku
melegitimasi tindakannya pada bentuk regulasi yang sesuai,
demikian juga para korban yang mencoba melakukan pembelaan
dengan melegitimasikan pada bentuk regulasi lain yang selaras
pula, dan tidak mau ketinggalan para pembela pelaku maupun
korban, yang sama-sama melegitimasikan pembelaannya pada
bentuk regulasi yang selaras. Artinya atomisme dalam pemahaman
hukum muncul dari bentuk regulasi kontradiktif-kontraproduktif
di atas, di samping minimnya kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya supremasi hukum. Inilah beberapa bentuk problem
yang terdapat pada aspek budaya. Jika ketiga aspek tersebut
berfungsi dan bergerak sebagaimana mestinya, niscaya problem
kebebasan beragama akan dapat teratasi dengan baik.
Melihat hal demikian itu, penulis memberikan blue print
bahwa konsep kebebasan beragama di Indonesia dalam bingkai
hukum mesti dikonstruksikan dengan tidak keluar dari empat
kaidah penuntun, berupa (a) bertujuan dan menjamin integritas
bangsa, (b) bersamaan dalam misi membangun demokrasi dan
nomokrasi, (c) membangun keadilan sosial, dan (d) membangun
toleransi beragama dan berkeadaban. Bertolak dari hal tersebut,
maka konsep kebebasan beragama dapat dikonstruksikan dengan
pola jaminan perlindungan atas hak kebebasan berkeyakinan dan
beragama serta keyakinan dan agama itu sendiri yang berbasis pada
nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan pola semacam
ini, tidak bisa dengan serta-merta seseorang memaksakan
kehendak keyakinan atau keberagamaannya kepada orang lain,
termasuk dalam hal penafsiran. Seseorang juga tidak bisa dengan
sesuka hati menghinasuatu agama atau keyakinan, termasuk pula
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
195
ritus-ritus yang menyertainya. Selain itu, seseorang juga dilarang
untuk mengganggu prosesi upacara suatu agama atau keyakinan,
apalagi melakukan perusakan-perusakan terhadap tempat-tempat
peribadatan keagamaan atau suatu keyakinan. Namun demikian,
betapapun produk hukum dianggap mapan, kebebasan beragama
tidak akan teraplikasikan jika sektor aparatur penegak hukum dan
budaya masyarakatnya belum siap. Sebaliknya, betapapun produk
hukum tidak dianggap mapan, tetapi jika budaya masyarakatnya
sangat mapan, maka kebebasan beragama akan berjalan dengan
sendirinya secara sempurna. Dengan kata lain, problem kebebasan
beragama sesungguhnya dengan sendirinya akan teratasi jika civil
society telah membumi dalam kehidupan masyarakat.
Pilihan terhadap konsep kebebasan beragama berbasis pada
nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dengan mengambil
kasus persepsi intelektual Muslim terhadap fatwa MUI tentang
aliran sesat berimplikasi pada beberapa aspek berkaitan konsep
kebebasan beragama di Negara Hukum Indonesia.
1.
Implikasi Paradigmatik
Sebagaimana telah diulas sebelumnya bahwa hingga
saat ini kebebasan beragama dikonsepsikan oleh sebagian
intelektual Muslim dengan basis yang kurang sesuai
dengan Pancasila. Di satu sisi mereka mengkonsepsikan
kebebasan beragama dengan berbasis pada HAM universalabsolut, yang cenderung antroposentris, sedang sisi yang
lain mengkonsepsikannya dengan basis HAM partikularabsolut, yang cenderung theosentris. Implikasi yang
muncul kemudian adalah persepsi yang bertolak belakang
terkait kebebasan beragama.
Sehubungan dengan itu, maka kebebasan beragama
dikonsepsikan
dengan
menggunakan
Pancasila
sebagai basisnya. Pemilihan Pancasila sebagai basis
konseptual menjadi relevan mengingat ia merupakan
staatfundamentalnorm. Selain itu, Pancasila juga
merupakan perwujudan dari ideologi HAM universal-
196
Dr. Rohidin, M. Ag
relatif, yang cenderung theo-antroposentris. Dengan
demikian, maka agama atau keyakinan beserta pemeluknya
dapat dijamin dan dilindungi dengan baik.
2. Implikasi Teoretis
Secara teoretis Pancasila merupakan perwujudan
dari prismatika antara nilai sosial paguyuban dan nilai
sosial patembayan. Jika nilai sosial paguyuban lebih
menekankan pada kepentingan bersama, sementara nilai
sosial patembayan lebih menekankan pada kepentingan
dan kebebasan individu. Sehubungan dengan itu, selama
ini kebebasan beragama di Negara Hukum Indonesia
dikonsepsikan dalam bingkai nilai sosial paguyuban dan
patembayan. Jika nilai sosial paguyuban terwujud dalam
kelompok eksklusif, sementara nilai sosial patembayan
terwujud dalam kelompok liberal-inklusif.
Kebebasan beragama oleh kelompok eksklusif
dikonsepsikan dalam pengertian bebas untuk memilih dan
mengekspresikan suatu agama atau keyakinan. Kebebasan
untuk memilih memiliki pengertian adanya larangan atas
warga negara yang tidak beragama atau berkeyakinan.
Sementara kebebasan untuk mengekspresikan tidak
bersifat mutlak, dalam arti bahwa ekspresi keberagamaan
atau keyakinan seseorang tidak bisa melenceng dari
mainstream. Artinya, agama atau keyakinan secara
institusional mendapatkan perlindungan dari negara,
sehingga jika ada tafsir keagamaan atau keyakinan yang
diaggap menyimpang, misalnya, negara diwajibkan untuk
memproteksinya.
Kelompok inklusif-liberal mengkonsepsikan kebebasan
beragama dalam pengertian bebas untuk memeluk dan
mengekspresikan suatu agama atau keyakinan, termasuk
tidak memeluk agama atau menganut suatu keyakinan, dan
bahkan penafsiran terhadap suatu agama atau keyakinan.
Kebebasan di sini tidak bersifat mutlak, dalam arti dapat
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
197
dibatasi oleh undang-undang yang jelas dan komprehensif.
Namun demikian, pembatasan ini hanya boleh dilakukan
dalam ranah ketertiban sosial. Artinya, konsep tersebut
dikonstruksikan dengan berlandaskan pada nilai-nilai
humanistik, di mana perlindungan terhadap individu
kemanusiaan lebih diutamakan daripada kolektivisme
berbasis agama.
Bertolak dari teori Riggs di atas, maka kebebasan
beragama di Negara Hukum Indonesia dapat dikonsepsikan
dalam pengertian jaminan perlindungan atas hak kebebasan
berkeyakinan dan beragama serta keyakinan dan agama
itu sendiri yang berbasis pada nilai kemanusiaan yang adil
dan
individu yang tidak beragama atau berkeyakinan. Sementara
pengertian berekspresi adalah menjalankan agama atau
keyakinannya, dan termasuk pula penafsirannya. Namun
demikian, kebebasan di sini dapat dibatasi oleh undangundang yang jelas dan komprehensif dalam koridor
perlindungan atas suatu agama atau keyakinan secara
institusional yang berkaitan dengan ketertiban umum.
Konsepsi tersebut merupakan perwujudan dari prismatika
dua nilai di atas.
Konsepsi tersebut menegaskan bahwa relasi antara
negara dan agama di Indonesia bersifat simbiosis,
keduanya bersifat timbal-balik dan saling memerlukan.
Agama memerlukan negara karena dengan adanya
negara maka agama akan dapat berkembang secara lebih
baik. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena
dengan agama maka negara dapat berkembang dalam
bimbingan etika dan moral spiritual. Hal demikian tentu
berbeda dengan bentuk relasi yang bersifat integralistik,
yangmenganggap bahwa keduanya merupakan suatu
kesatuan dan tidak dapat dipisahkan, demikian juga
sama berbedanya dengan bentuk relasi yang bersifat
sekularistik, yang memandang bahwa negara dan agama
merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga
198
Dr. Rohidin, M. Ag
keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama
lain melakukan intervensi. Sehubungan dengan itu, maka
Indonesia bukan negara agama dan bukan pula negara
sekuler, tetapi religious nation state.
3. Implikasi Praktis
Problem kebebasan beragama tidak akan larut dari
negeri ini jika produk regulasinya banyak yang bersifat
kontradiktif-kontraproduktif. Tidak berhenti pada
perbaikan bentuk regulasi, peningkatan penegakan
hukum juga sangat urgen untuk segera dijalankan. Namun,
keduanya tidak akan berjalan jika kesadaran masyarakatnya
tidak mendukung. Artinya, ranah substansi, struktur,
dan budaya hukum mesti sama-sama bergerak menuju
perubahan untuk mencapai hak kebebasan beragama
yang benar-benar terjamin. Dengan ditegakkannya hak
kebebasan beragama dengan basis nilai kemanusiaan
yang adil dan beradab, niscaya praktik-praktik intolerance
religious yang kerap mengganggu proses pembangunan
akan dapat diminimalisir dengan baik.
persepsi
intelektual Muslim terhadap fatwa MUI tentang aliran sesat
dan penegakan hukum tentang kebebasan beragama, penulis
merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Fatwa MUI tentang aliran sesat berkedudukan sebagai legal
opinion, yang berpotensi mengandung dissenting opinion.
Intelektual Muslim, dan bahkan seluruh masyarakat, mesti
mempersepsikannya dengan berlandaskan pada Pancasila,
terutama sila kedua. Baik yang mengamini maupun yang
menolaknya, masyarakat secara umum dilarang keras
untuk mengawal dan menanggapinya secara berlebihan,
apalagi dengan melakukan persekusi. Demikian juga
dengan negara, tidak bisa serta-merta menjadikan
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
199
fatwa MUI sebagai referensi yang paling utama. Dalam
mengeluarkan kebijakan terkait aliran sesat, kebijakan
negara mesti didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.
2. MUI berhak untuk menilai sesat dan tidaknya suatu aliran,
akan tetapi dalam merumuskannya mesti menggunakan
metodologi yang tepat dan akurat. Selain itu, sebelum
fatwa tersebut disahkan, MUI disarankan untuk melakukan
uji publik terkait dengan produk fatwanya di hadapan
kelompok akademisi, tokoh-tokoh agama non-MUI, dan
masyarakat luas. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan
masukan dari mereka, sehingga pada akhirnya fatwa
tersebut betul-betul memiliki otoritas yang sangat kuat.
3. Konsep kebebasan beragam merupakan bagian dari
HAM, yang diilhami dari dua semangat berbeda
berupa partikularisme dan universalisme. Pancasila,
sebagai ideologi yang lahir dalam bingkai kebhinekaan,
mengakomodasi dua semangat tersebut yang terkonstruksi
dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun
demikian, pada kenyataannya terdapat beberapa produk
regulasi turunan yang tidak konsisten dan koheren dengan
nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal tersebut
sebagaimana tampak pada UU PNPS No. 1 Tahun 1965
Pasal 1 dan UU No. 12 Tahun 2005 Pasal 18 ayat (1). Melihat
demikian itu, maka disarankan agar regulasi turunan
tentang kebebasan beragama berkaitan dengan aliran sesat
beserta kebijakan-kebijakan yang menjadi turunannya
segera ditinjau ulang dan direvisi untuk kembali ditarik
pada semangat Pancasila dan UUD 1945 Pasal 28 dan 29.
4. Mengingat betapa krusialnya problem keberagamaan,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) disarankan untuk segera
membentuk dan/atau mengesahkan regulasi komprehensif
yang sejalan dengan semangat konstitusi. Konsep yang
dapat diusulkan adalah sebagai berikut:
a. Hak
Hak-hak keberagamaan seseorang dapat diformulasikan
200
Dr. Rohidin, M. Ag
dalam bentuk hak untuk (1) berpikir dan berpendapat
terkait persoalan agama atau keyakinan, (2) memeluk
agama atau keyakinan, (3) mendapatkan jaminan atas
kebebasan berpikir dan berpendapat terkait persoalan
agama atau keyakinan, (4) mendapatkan jaminan atas
kepemelukan seseorang terhadap agama atau keyakinan,
(5) mendapatkan perlindungan atas keagamaan atau
keyakinan seseorang, dan (6) mendapatkan perlindungan
atas tempat-tempat peribadatan, termasuk ritus dan
upacara-upacara keagamaan atau keyakinan, yang dimiliki.
b. Kewajiban
Kewajiban-kewajiban warga negara dalam hal keberagamaan
dapat diformulasikan dalam bentuk kewajiban untuk (1)
menghormati hak kebebasan berpikir dan berpendapat
terkait persoalan agama atau keyakinan, (2) menghormati
agama atau keyakinan orang lain, dan (3) menghormati
keberadaan tempat-tempat peribadatan, termasuk ritus
dan upacara-upacara agama atau keyakinan.
c. Larangan
Larangan-larangan dalam hal keberagamaan dapat
diformulasikan dalam bentuk larangan untuk (1)
menghina suatu agama atau keyakinan, termasuk hal-hal
yang terkait di dalamnya, (2) menghasut seseorang untuk
meniadakan keyakinan terhadap Tuhan, (3) melakukan
persekusi terhadap suatu agama atau keyakinan, baik
agama atau keyakinan, dan (5) merusak tempat-tempat
peribadatan suatu keagamaan atau keyakinan. []
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
201
202
Dr. Rohidin, M. Ag
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Al Marsudi, Subandi, Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma
Reformasi,
Ali, As’ad Said, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Bangsa,
Jakarta: LP3ES, 2009.
Alim, Muhammad, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam
Konstitusi Madinah dan UUD 1945, Yogyakarta: UII Press,
2001
Civil Society di NegaraNegara Arab” dalam Bernard Lewis, et. al., Islam, Liberalisme,
Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin,
Jakarta: Paramadina, 2002.
Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia,
Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2010.
Arief, Barda Nawawi, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan
(Blasphemy) di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara,
Semarang: Badan Penerbit Undip, 2010.
Asplund, Knut D. (dkk.) (ed.), Hukum Hak Asasi Manusia,
Yogyakarta: PUSHAM UII, 2010.
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi,
Jakarta: Konstitusi Press, 2006
___________, UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional dalam
Pluralisme Indonesia dalam, Beragama, Berkeyakinan, dan
Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
203
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Jakarta: Publikasi
SETARA Institute, 2009.
Baderin, Mashood A., Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan
Hukum Islam,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2003.
Bakry, Noor MS, Pancasila: YuridisKenegaraan, Yogyakarta: Liberty,
1985.
___________, Orientasi Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Liberti, 2001.
Basah, Sjahran, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan
Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni, 1985.
Budiharja, Miriam (ed.), Masalah Kenegaraan, Jakarta: Gramedia,
1980.
Bungin, Burhan, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta:
Kencana, 2007.
Campbell, Henry (ed.),
Terms and Phrases of American and English Jurisprudence,
Ancient and Modern, St. Paul: West Publishing Co, 1990.
Dendy Sugono (red.), Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdiknas,
2008.
HAM dalam Dimensi/
Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/
Aplikasi Hukum (Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat,
Bogor: Ghalia Indonesia, 2007.
Perkembangan Dimensi HAM dan Proses
Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia
(HAKHAM), Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.
El Muhtaj, Majda, Dimensi-dimensi HAM:Mengurai Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya, Jakarta: Rajawali Press, 2008.
___________, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari
UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002,
Jakarta: Kencana, 2007.
204
Dr. Rohidin, M. Ag
Gellner, Ernest, Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju
Kebebasan, Bandung: Mizan, 1995.
Gonggong, Anhar dan Abdul Qahhar Mudzakar, Dari Patriot
Hingga Pemberontak, Jakarta: Gramedia, 1992.
Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia:
Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya
oleh Pengadilan dan Lingkungan Peradilan Umum dan
Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya: Bina
Ilmu, 1987.
Hamidi, Jazim dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap
Agama: Studi Konvergensi atas Politik Aliran Keagamaan dan
Reposisi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: UII Press,
2001.
Handoyo, B. Hestu Cipto, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan
dan Hak Asasi Manusia: Memahami Proses Konsolidasi
Sistem Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta: Universitas Atma
Jaya, 2003.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem
Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991.
Hasani, Ismail (ed.), Siding and Acting Intolerantly: Intolerance by
Society and Restriction by the State in Freedom of Religion/
Belief in Indonesia, Jakarta: SETARA Institute, 2009.
Hefner, Robert, (ed.), History and Civility: The History and
Cross-Cultural Possibility of a Modern Political Ideal, New
Brunswiek: Transaction Press, 1998.
Hewitt, Martin, Welfare, Ideology, and Need: Developing Perspectives
on the Welfare State, Harvester Wheatsheaf, Maryland, 1992.
Hiariej, Eddy O.S, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam
Hukum Pidana, Jakarta: Erlangga, 2009.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over,
Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia, 1998.,
Hikam, Muhammad A.S., Islam: Demokratisasi & Pemberdayaan
Civil Society, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2000.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
205
Hoogvelt, Ankie M., Sosiologi Masyarakat sedang Berkembang, Jakarta:
Rajawali Press, 1985.
Howard, Rhoda E., HAM: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya,
2000.
Howards, G.G. dan Rummers, Law It’s Nature and Limits, New
Jeresey Prestic Hall, 1999.
Husaini, Adian, Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas & Tidak
Kontroversial, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Iskandar, Pranoto, Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar
Kontekstual, Cianjur: IMR Press, 2010.
Kaelan, Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa, Yogyakarta:
Paradigma, 2002.
Kholiludin, Tedi, Kuasa Negara Atas Agama: Politik Pengakuan,
Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil,
Semarang: RaSAIL Media Group, 2009.
Kusuma, RM. AB. (penghimpun), Lahirnya UUD 1945, Jakarta:
Badan Penerbit Fak. Hukum UI, 2004,
Kusumatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta, 1986
Madjid, Nurcholish, (dkk.), Passing Over: Melintas Batas Agama,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Mahfud MD, Moh., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta:
Gama Media, 1999.
___________, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta:
___________, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
Jakarta: LP3ES, 2006.
Manan, Bagir, Kedaulatan Rakyat: Hak Asasi Manusia dan Negara
Hukum, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.
Miller, David (ed.), Liberty, Oxford: Oxford University Press, 1991.
206
Dr. Rohidin, M. Ag
MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: MUI,
2010.
Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep, dan Implikasinya
dalam Perspektif Hukum & Masyarakat,
Aditama, 2005.
Naning, Ramdlon, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di
Indonesia, Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas
Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia,
1983.
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara, 1989.
Pranarka, A.M.W.,Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, Jakarta:
CSIS, 1985.
Prisgunanto, Ilham, Praktik Ilmu Komunikasi dalam Kehidupan
Sehari-hari, Jakarta: Teraju, 2004
Pudjiarto, Harum,
Implementasinya dalam Hukum Pidana di Indonesia,
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1999.
Rohidin, Mendebat Fatwa MUI; Silang Perspektif Intelektual Muslim
terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat Keagamaan,
Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2013.
Rosyada, Dede (dkk.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2003
Saleh, Roeslan, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam
Perundang-undangan, Jakarta: Bina Aksara, 1979.
Smith, Rhona K. M. (dkk.), Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:
PUSHAM UII, 2010.
Sofyan, Ahmad A. & M. Roychan Madjid,
Negara & Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003.
Suaedy, Ahmad (dkk.), Beragama, Berkeyakinan dan Berkonstitusi:
Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/
Berkeyakinan di Indonesia Jakarta: Publikasi Setara Institute,
2009.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
207
___________, (dkk.), Islam, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia:
Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di
Indonesia, Jakarta: The WAHID Institute, 2009.
___________, Perpektif Pesantren: Islam
Baru Islam Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2009.
Sudiarja, A. (ed.), Karya Lengkap Driyakara: Esai-esai Filsafat
Pemikir yang Terlibat Penuh dengan Perjuangan Bangsanya,
Yogyakarta: Kompas Media Nusantara, Gramedia Pustaka
Utama, Kanisius, dan Ordo Serikat Jesus Provinsi Indonesia,
2006.
Sumantri, Sri, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD
1945, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1989.
Supriatma, A. Made Tony (ed.), 1996: Tahun Kekerasan, Potret
Pelanggaran HAM di Indonesia, Jakarta: YLBHI, 1997.
Suseno, Franz Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Jakarta: Kanisius,
1992.
___________, Rechtsstaat, Bukan Machsstaat, dalam Mencari
Makna Kebangsaan, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Suyitno (ed), Korupsi, Hukum, dan Moralitas Agama: Mewacanakan
Fikih Antikorupsi, Yogyakarta: Gama Media, 2006.
Taher, Elza Peldi (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga
Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Efendi, ICRP, Jakarta,
2009.
Ubaidillah, A. (dkk.), Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM &
Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000.
Wahid, Abdurrahman, “Agama dan Demokrasi”,
Karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia,
Yogyakarta: LKiS, 1995.
___________, Membangun Demokrasi, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1999.
Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.
208
Dr. Rohidin, M. Ag
Weber, Max dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto,
Hukum dan Perkembangan Sosial, Jakarta: Sinar Harapan,
1988.
B. Laporan Penelitian, Jurnal, Makalah, dan Surat Kabar
Indonesia:
Perspektif Kebebasan Beragama/Berkeyakinan”, Makalah
dalam Annual Converence on Islamic Studies (ACIS) Ke-10 di
Banjarmasin, 1-4 November 2010.
Asshiddiqie, Jimly, “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi”, Makalah,
Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Astika, Hani, “Hubungan Agama dan Negara dalam Islam”, dalam
Jurnal al-Manahij, vol. 2, No. 1, Januari-Juni, 2008.
CRCS, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia tahun
2008.
Donnelly, Jack, “Human Right and Human Dignity: An Anallytic
Critique of Non-Western Conceptions of Human Right”,
The American Political Science Review, Vol. 76, No. 2., dalam
http://links.jstor.org, (Diakses pada tanggal 20 Desember
2010).
Gunarto, “Pemikiran Munawwir Syadzali tentang Islam dan Negara
dalam Perbandingan Penafsirannya antara T.B. Simatupang
dan Eka Darmaputra dari Perspektif Kehidupan Beragama
dan Pancasila”, dalam Jurnal Teologi Stulos, vol. 6, No. 1, April
2007.
Macklem, Timothy, ” Faith as a Secular Value”,
February 2000.
,
Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi”,
Makalah, disampaikandalam Konverensi Tokoh Agama
ICRP: Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia
Menurut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih,
diselenggarakan oleh ICRP pada tanggal 5 Oktober 2009.
___________, “Mimpi Demokrasi dari Bung Karno”, Jawa Pos,
27September 2006.
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
209
___________, “Undang-undang Politik, Keormasan dan
Instrumentasi di Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, Yogyakarta, UII Press No. 10, vol. 5. 1998.
Pujirahayu, Esmi Warassih, “Peranan Kultur Hukum dalam
Penegakan Hukum”; dalam Masalah-Masalah Hukum No. 2
Tahun 1995.
Raharjo, Dawam, “Masyarakat Madani: Demokrasi, Kemajuan dan
Keadilan.” Makalah dalam seminar “Strategi Penguatan Civil
Society di Indonesia,” 23-25 Oktober 1998 di Bogor.
Rahardjo, Satjipto, “Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia”, dalam
Kompas, 2003, hlm. 10.
Rehman, Javaid, “Accommodating Religious Identities in an Islamic
State: International Law, Freedom of Religion and the Rights
of Religious Minorities” dalam International Journal on
7: 2000.
Februari, 15-19, 1965, The Dynamic Aspect of the Rule of Law
in the Modern Age, International Commission of Jurist, 1965.
Sutiyoso, Bambang, “Konsepsi Hak Asasi Manusia dan
Implementasinya di Indonesia”, dalam UNISIA, Yogyakarta,
UII Press No. 10, vol. 5. 1998.
Titaley, John, “Pluralisme Agama dan Nasionalisme, Peranan
Agama dalamPembentukan Dasar Kehidupan Berbangsa
di 1ndonesia,” Makalah, dalam SeminarAgama-agama
X11, Bogor/Tugu, September 1992.
C. Perundang-Undangan dan Peraturan
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 11/MUNAS VII/
MUI/15/2005 Tentang Ahmadiyah.
Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)
MK, Risalah Sidang Pengujian UU No. 1/PNPS/1965, Jakarta: MK,
2010.
210
Dr. Rohidin, M. Ag
Peraturan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP)
The Declaration on The Elimination of All Forms of Intolerance
and of Discrimination based on Religion or Belief (EAIDRB).
The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang Undang Dasar Tahun 1945 [Amandemen Kedua]
Undang Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Undang Undang No. 28 Tahun 1997 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kepolisian.
United Nations, The Universal Declaration of Human Rights
(Online) dalam http://www.un.org/en/documents/udhr/,
D. Internet
http://en.wikipedia.org/wiki/UDHR, (Diakses pada tanggal 23
Desember 2010).
http://surabaya.detik.com/read/2011/02/28/174700/1581502/46
6/papan-nama-pusat-kegiatan-ahmadiyah-jatim-dicopot,
(Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).
http://surabaya.detik.com/read/2011/02/28/205935/1581618/466/
ahmadiyah-akan-gugat-keputusan-gubernur-jatim. (Diakses
pada tanggal 12 Maret 2011).
http://www.komnasham.go.id/2010-10-03-02-09-01/66-hotnews/647-komnas-ham-sk-larang-aktivitas-ahmadiyahharus-dikaji-ulang-dengan-uu, (Diakses pada tanggal 12
Maret 2011).
http://www.seruu.com/index.php/2011030242377/kota/regional/
maraknya-perda-anti-ahmadiyah-picu-aksi-massa-dikuningan-42377/menu-id-759.html;, (Diakses pada tanggal
12 Maret 2011).
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
211
http://www.seruu.com/index.php/2011030242453/utama/
nasional/penurunan-plang-ahmadiyah-uu-kalah-denganperda-42453/menu-id-691.html, (Diakses pada tanggal 12
Maret 2011).
http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm#art18 (Diakses pada
tanggal 27 Desember 2010).
Kemenkumham, Peraturan Daerah yang Dipermasalahkan, dalam
http://www.kemenkumham.go.id, (Diakses pada tanggal 23
Februari 2011).
Littman, David. “Universal Human Rights and Human Rights in
Islam”, Midstream, February/March 1999, dalam, http://web.
archive.org/web/20060501234759/http://mypage.bluewin.
ch/ameland/Islam.html, (Diakses pada tanggal 11 Desember
2010).
Newman, Jay, On Religious Freedom, (E-Book), University of
Ottawa Press, dalam http://books.google.co.uk/books/id=Z
ig=v_ONZVSgZrVp1jV39xYlnKXaNJk (Diakses pada tanggal
12 Desember 2010).
E. Narasumber Wawancara
Amirsyah, anggota MUI pada tanggal 1 Februari 2010.
Arif Hidayat pada tanggal 17 Oktober 2011 di Semarang.
Eko Riyadi, Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham UII),
pada tanggal 20 Agustus 2011.
Hanick, Aktivis ICRP, pada tanggal 2 Pebruari 2010 di Jakarta.
Jainal Abidin, Pengurus MUI Daerah Istimewa Yogyakarta, pada
hari Kamis, 18 Agustus 2011.
Kaelan, Guru Besar UGM, di Yogyakarta pada tanggal 22 Agustus
2011.
Munir Mulkhan pada tanggal 4 Mei 2010.
Wawan pada tanggal 10 Agustus 2010 di Sleman Yogyakarta.
212
Dr. Rohidin, M. Ag
INDEKS
A
B
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 71
adil 7, 12, 40, 63, 65, 66, 73, 86, 87,
90, 92, 94, 97, 138, 142, 145,
166, 173, 176, 187, 189, 190,
194, 195, 196, 198, 199, 200
agama 4, 8, 11, 12, 13, 14, 15, 16,
17, 25, 31, 34, 35, 36, 37, 38,
39, 40, 41, 42, 44, 45, 46, 47,
60, 66, 71, 72, 81, 85, 86, 90,
93, 95, 96, 97, 98, 99, 100,
101, 102, 103, 104, 105, 106,
107, 109, 111, 113, 126, 127,
128, 129, 130, 131, 133, 134,
135, 136, 137, 138, 144, 145,
146, 147, 148, 149, 151, 153,
154, 155, 157, 160, 163, 166,
167, 168, 169, 171, 173, 174,
175, 176, 182, 183, 184, 186,
187, 188, 189, 190, 210
agama resmi 40, 126, 127, 151
Ahmadiyah 85, 95, 116, 117, 118,
119, 120, 121, 122, 123, 124,
125, 141, 142, 143, 149, 158,
159, 160, 161, 162, 185, 210
aliran sesat keagamaan 166, 187,
188
Aquinas 7, 9, 10
Bakorpakem 108, 110, 126
Barat 4, 7, 17, 24, 82, 83, 84, 85, 88,
91, 92, 115, 118, 121, 122,
124, 125, 137, 155, 159
beradab 65, 66, 73, 83, 86, 90, 92,
97, 138, 166, 173, 176, 187,
189, 190, 194, 195, 196, 198,
199, 200
BPUPKI 20, 21, 22, 23, 24, 134
Budaya 3, 82, 89, 159, 162, 204, 206
budaya Barat 24, 82, 84
budaya Timur 82
C
civil society 66, 67, 68, 69, 70, 71,
73, 74, 75, 76, 78, 79, 80, 162,
163, 164, 165, 179, 196
common law 51, 60
D
Deklarasi Kairo 17
demokrasi 5, 20, 58, 70, 71, 72, 73,
79, 98, 136, 137, 140, 145,
163, 164, 165, 174, 195
demokrasi terpimpin 145
Dewan HAM PBB 41
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
213
200
DUHAM 12, 13, 14, 15, 16, 17, 26,
28, 47, 86, 89, 181
E
eksklusif 85, 86, 187, 189, 197
Eropa Kontinental 50, 56
F
fatwa MUI 85, 86, 90, 95, 112, 130,
166, 184, 185, 186, 187, 188,
189, 196, 199, 200
FPI 85, 116, 119, 121, 122, 123, 125
FUI 122, 123, 125
G
grondwet 21, 23
H
hak 2, 3, 4, 5, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
15, 16, 17, 21, 22, 23, 24, 25,
26, 28, 31, 34, 35, 36, 38, 40,
41, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,
51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58,
60, 62, 64, 65, 66, 68, 72, 74,
75, 77, 81, 84, 87, 88, 89, 90,
93, 94, 95, 99, 100, 101, 102,
129, 133, 140, 148, 152, 153,
155, 158, 160, 170, 172, 173,
175, 176, 181, 182, 183, 186,
187, 188, 189, 191, 193, 195,
198, 199, 200, 201
hak beragama 12, 13, 65, 94
HAM 1, 2, 3, 4, 5, 7, 10, 11, 12, 13,
14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 24,
25, 26, 28, 29, 31, 32, 33, 34,
36, 38, 41, 45, 47, 48, 49, 50,
55, 67, 81, 82, 83, 84, 85, 86,
87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 96,
100, 102, 103, 114, 129, 130,
141, 145, 152, 153, 154, 157,
214
Dr. Rohidin, M. Ag
161, 169, 170, 171, 172, 181,
182, 185, 186, 187, 188, 189,
191, 193, 196, 200, 204, 206,
208
hukum 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15,
16, 17, 18, 19, 20, 22, 23, 25,
36, 38, 40, 43, 44, 47, 48, 49,
50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57,
58, 59, 60, 61, 65, 66, 68, 71,
75, 77, 85, 87, 88, 89, 91, 92,
96, 97, 98, 99, 100, 101, 102,
117, 126, 129, 130, 131, 137,
139, 140, 142, 143, 144, 145,
146, 147, 151, 153, 157, 158,
159, 160, 161, 162, 167, 172,
173, 174, 175, 176, 177, 178,
179, 182, 183, 185, 186, 187,
188, 190, 194, 195, 196, 199
hukum Islam 16, 17
Hukum Islam 16, 204
Hukum Pancasila 49, 55, 56, 57,
58, 61
human 2, 10, 25, 47, 48, 88
humanisme 152
I
ICCPR 15, 16, 41, 45, 47, 92, 102,
152, 181, 182, 194, 211
ideologi 1, 70, 72, 81, 82, 86, 91, 92,
95, 97, 134, 135, 166, 186,
189, 196, 200
ideologi Pancasila 81, 92, 189
Immanuel Kant 50
imperialis 83
imperialisme 21, 88
individu 4, 6, 8, 10, 11, 22, 31, 37,
45, 49, 52, 53, 59, 63, 65, 66,
67, 68, 69, 70, 73, 77, 82, 83,
84, 87, 88, 91, 92, 93, 94, 95,
100, 138, 139, 170, 173, 183,
190, 192, 194, 197, 198
individualisme 5, 21, 22, 23, 56, 60,
83, 88, 166
Indonesia 2, 4, 5, 13, 18, 19, 20, 22,
24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31,
32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 41,
43, 47, 49, 50, 54, 55, 56, 57,
58, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67,
72, 78, 79, 80, 81, 84, 85, 90,
95, 97, 98, 99, 101, 103, 106,
122, 123, 126, 129, 130, 132,
133, 134, 135, 137, 138, 139,
143, 144, 145, 146, 147, 149,
152, 153, 154, 155, 157, 158,
161, 165, 166, 167, 168, 171,
173, 174, 175, 176, 177, 178,
181, 182, 183, 184, 185, 186,
187, 188, 190, 193, 194, 195,
196, 197, 198, 199, 203, 204,
205, 207, 208, 209, 210
integralistik 22, 136, 198
intoleransi 46, 84, 97, 99, 101, 133,
185, 195
J
JAI 117, 118, 119, 120, 149, 159,
160
jaksa 157, 187
jaminan 2, 20, 21, 23, 25, 26, 28, 34,
36, 37, 38, 41, 42, 50, 65, 66,
77, 80, 99, 101, 102, 106, 129,
131, 139, 142, 153, 154, 158,
173, 176, 178, 186, 190, 194,
195, 198, 201
jaminan kebebasan 34, 36, 102,
142, 158, 186, 194
jaminan penuh 38, 131
jaminan seadanya 131
Jimly Asshiddiqie 1, 18, 50, 51, 54
K
kafir 40, 85, 130
kapitalis 52, 53, 84
kapitalisme 21
keadilan 9, 22, 56, 60, 65, 66, 72,
73, 82, 87, 92, 95, 98, 134,
135, 147, 161, 174, 183, 195
keadilan sosial 22, 56, 82, 92, 98,
134, 174
kebebasan beragama 1, 2, 12, 13,
14, 15, 16, 17, 34, 35, 36, 38,
41, 42, 43, 45, 46, 47, 61, 64,
65, 66, 81, 85, 86, 88, 90, 92,
93, 94, 97, 99, 100, 101, 102,
103, 126, 127, 130, 132, 133,
138, 140, 141, 142, 143, 144,
145, 157, 158, 159, 165, 166,
167, 168, 169, 170, 171, 172,
173, 174, 176, 177, 178, 179,
181, 182, 185, 186, 187, 188,
189, 190, 191, 193, 194, 195,
196, 197, 198, 199, 200
kebijakan publik 140, 187
kejaksaan 142
kemanusiaan 1, 7, 11, 17, 25, 39, 61,
62, 65, 66, 75, 86, 87, 90, 92,
97, 133, 134, 135, 138, 164,
166, 173, 176, 187, 189, 190,
194, 195, 196, 198, 199, 200
kemanusiaan yang adil dan beradab
65, 66, 86, 90, 92, 97, 138,
166, 173, 176, 187, 189, 190,
194, 195, 196, 198, 199, 200
Kementerian Hukum dan HAM
(Kemenkumham) 154
kepolisian 107, 120, 142
ketertiban sosial 175, 198
Kim Sunhyuk 68
kolektif 12, 36, 63, 84, 170, 192
kolektivisme 60, 166, 198
Komnas HAM 114, 161
Konferensi Meja Bundar (KMB) 27
konflik 27, 69, 130, 163, 179
Konstitusi 1, 18, 19, 20, 24, 26, 27,
28, 29, 30, 31, 36, 50, 54, 58,
102, 141, 145, 148, 149, 152,
162, 203, 204, 206, 208, 209
Konstitusi RIS 19, 26, 27, 28, 29,
30, 31
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
215
Kovenan 15, 34, 36, 38, 89, 102,
151, 152, 153, 158, 182
Kristen 7, 8, 16, 37, 132
KWI 130, 146
L
legal opinion 95, 130, 170, 172, 188,
190, 192, 194, 199
Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) 75
liberal 32, 52, 53, 72, 84, 89, 91,
187, 188, 189, 197
liberalisme 21, 22
M
Mahfud MD 20, 24, 25, 31, 52, 53,
55, 58, 59, 61, 149, 166, 206,
209
Mahkamah Konstitusi (MK) 148
Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) 35, 181
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
184
Matakin 130, 146
menteri 121, 125
Moh. Hatta 21, 22, 23
Montesqiueu 11
Muhammadiyah 58, 110, 141
Muhammad saw 90
N
Nabi 90, 120, 123, 128, 144
negara 1, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 13, 14,
16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23,
24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 32,
33, 34, 35, 36, 38, 39, 40, 41,
42, 46, 47, 49, 50, 51, 52, 53,
54, 55, 56, 57, 60, 62, 63, 65,
66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73,
74, 76, 77, 78, 79, 82, 87, 88,
91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98,
99, 100, 101, 102, 124, 126,
216
Dr. Rohidin, M. Ag
129, 130, 131, 132, 133, 134,
135, 136, 137, 138, 139, 142,
144, 145, 146, 147, 148, 149,
152, 154, 155, 157, 158, 162,
163, 164, 165, 166, 167, 173,
174, 175, 181, 182, 183, 186,
187, 188, 197, 198, 199, 200,
201
Negara Hukum 18, 19, 34, 43, 49,
55, 56, 57, 58, 61, 82, 84, 97,
166, 167, 168, 171, 176, 177,
185, 186, 187, 190, 193, 196,
197, 198, 206
nilai 1, 6, 7, 12, 46, 47, 58, 59, 61,
62, 66, 67, 68, 72, 84, 85, 86,
87, 90, 92, 96, 134, 135, 138,
144, 152, 159, 160, 162, 166,
167, 168, 173, 175, 176, 182,
183, 184, 187, 188, 189, 190,
194, 195, 196, 197, 198, 199,
200
O
otoriter 42, 71, 130, 145, 165
P
Pancasila 1, 19, 33, 40, 49, 55, 56,
57, 58, 60, 61, 62, 63, 64, 65,
66, 81, 91, 92, 93, 94, 96, 97,
98, 116, 126, 130, 133, 134,
135, 138, 142, 145, 152, 153,
166, 167, 171, 173, 174, 177,
178, 187, 189, 193, 196, 197,
199, 200, 203, 204, 206, 207,
209
paradigma 20, 42, 84, 135, 136,
137, 138, 174
partai politik 4, 75, 141
partikular 48, 81, 86, 90, 91, 96,
146, 166, 186, 189, 196
partikular-absolut 81, 86, 166, 189,
196
partikularisme 1, 82, 84, 86, 88, 92,
200
PBB 12, 13, 14, 16, 17, 26, 27, 28,
41, 84, 152
pemerintah 4, 8, 10, 19, 30, 32, 34,
36, 37, 39, 40, 42, 46, 51, 52,
53, 54, 56, 57, 62, 65, 66, 74,
76, 77, 80, 94, 97, 98, 99, 100,
102, 120, 126, 127, 129, 130,
132, 140, 142, 148, 152, 153,
160, 161, 173, 178, 184, 186,
187, 189, 190, 194, 195
pendidikan 12, 15, 35, 39, 40, 65,
71, 79, 145, 153, 155, 156,
159
penegakan hukum 139, 157, 178,
199
perda 154, 155, 156, 157, 161, 162,
211, 212
perda syariah 154, 155
pers 23, 75, 76, 77
persekusi 96, 170, 171, 172, 186,
190, 192, 194, 195, 199, 201
persepsi 85, 86, 89, 90, 95, 103, 132,
144, 168, 185, 186, 187, 189,
190, 196, 199
pesantren 114
PGI 130, 146
PHDI 146
pidana 99, 144, 146, 147
pluralisme 67, 68, 74, 146, 164
polisi 100, 107, 110, 111, 157, 187
Presiden 32, 33, 98, 99, 123, 126,
132, 141, 145, 149, 183, 209,
211
R
rechtsstaat 49, 50, 51, 52, 54, 55
rekonstruksi 133, 166
Republik Indonesia Serikat (RIS)
27
Romawi 6, 7, 8, 9
ruang publik 68, 69, 70, 71, 138,
163
rule of law 18, 49, 50, 51, 53, 55,
60, 72
S
Salamullah 185
sekularistik 137, 198
simbiosis 136, 198
simbiotik 136, 138
Siti Musdah Mulia 37, 98, 127
SKB 117, 121, 125, 149, 150, 158,
161
Soeharto 98, 99, 126, 132
Soekarno 20, 21, 22, 32, 33, 55, 98,
145
Soepomo 20, 21, 22, 31, 55
staat 22
Stoik 5, 6, 10
struktur hukum 139, 157, 187
substansi hukum 139, 143, 187
Sunnī 85
supremasi hukum 75, 77, 178
Susilo Bambang Yudhoyono 123
T
tertib 62, 145
Timur 22, 24, 29, 30, 67, 82, 85, 92,
105, 110, 114, 124, 151, 156,
157, 161, 185
toleransi 73, 90, 133, 153, 165, 174,
175, 195
U
UDHR 17, 91, 211
Universal 13, 16, 86, 89, 168, 171,
181, 190, 193, 211, 212
universal-absolut 84, 167, 182, 186,
189, 196
universalisme 1, 7, 82, 83, 86, 88,
90, 96, 200
universal-relatif 189, 196
UUD 1945 18, 19, 20, 21, 24, 25,
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
217
26, 27, 28, 31, 32, 33, 34, 35,
37, 38, 53, 55, 56, 101, 138,
140, 142, 154, 162, 171, 181,
182, 183, 189, 193, 200, 203,
204, 206, 207, 208
UUDS 1950 19, 29, 30, 31, 32, 33
W
Walubi 130, 146
warga negara 3, 5, 7, 19, 21, 22, 23,
24, 25, 26, 34, 35, 38, 39, 40,
46, 51, 55, 68, 69, 70, 71, 72,
74, 77, 78, 91, 93, 99, 100,
101, 131, 133, 137, 138, 139,
148, 155, 158, 164, 175, 181,
182, 197, 201
218
Dr. Rohidin, M. Ag
Y
Yamin 21, 23, 55
Yunani 5, 6
TENTANG PENULIS
Rohidin kelahiran Subang Jawa Barat, 06 Maret 1967, anak dari
pasangan H. Syafei dan Hj. Sawinah adalah staf pengajar Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia. Masa kecil dilalui di kampung
halamannya, tepi Pantai Pondok Bali, Pamanukan, Subang,
dengan menimba pendidikan Sekolah Dasar hingga lulus pada
1980. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren
Persatuan Islam Benda Tasikmalaya, selesai 1986. Pada 1991,
Rohidin menyelesaikan Studi Strata 1 (S1) di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Studi Strata 2 (S2) ditempuh di Program Kerjasama
UI-IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, selesai 1997. Pada 2007 ia
melanjutkan studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro Semarang, selesai pada 19 Maret 2013.
Alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga ini telah
menulis beberapa artikel di Jurnal seperti “Pemikiran Hukum Islam
“White Crime Collar dalam Perspektif Islam” (Jurnal Hukum FH
UII) dan “Problematika Beragama di Indonesia: Potret Persepsi
Masyarakat terhadap Otoritas Fatwa MUI” (Jurnal Hukum FH UII),
“Fatwa Sesat MUI terhadap Aliran Keagamaan di Indonesia Ditinjau
dari Perspektif HAM” (Jurnal Hukum FH Unnes Semarang).
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
219
Di antara beberapa penelitian yang pernah dilakukannya
adalah: “Qiyas sebagai Metode Penemuan Hukum Islam” (Penelitian
di Fakultas Hukum UII), “Internalisasi Beberapa Ketentuan
Hukum Waris Adat ke dalam Kompilasi Hukum Islam” (penelitian
individual, Penelitian di Lembaga Penelitian UII), “Pengaruh
Lokal terhadap Kompilasi Hukum Islam” (Penelitian Individu,
Penelitian di Lembaga Penelitian UII), “Sebab-sebab Perceraian
di Yogyakarta” (Penelitian Lembaga Penelitian UII), “Peran Ulama
dalam Sosialisasi Kebijakan Integrasi Sosial Penyandang Cacat ke
dalam Mainstream Masyarakat” (Penelitian Lembaga Penelitian
UII), “Kawin Siri di Kalangan Mahasiswa Yogyakarta” (Penelitian
di Fakultas Hukum), “Fatwa Sesat Majelis Ulama Indonesia: Studi
Tentang Paradigma MUI dalam Mengeluarkan Fatwa Sesat dan
Kaitannya dengan Prinsip-Prinsip HAM”, (Penelitian di Lembaga
Penelitian UII), “Persepsi Masyarakat terhadap Fatwa MUI tentang
Aliran Sesat Keagamaan” (Penelitian DP2M Dikti), dan “Corak
Berpikir Keagamaan dan Toleransi: Studi Kasus Mahasiswa Aktivis
Islam di DIY” (Penelitian di DP2M Dikti). []
220
Dr. Rohidin, M. Ag
Download