BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempa bumi adalah peristiwa bergetarnya lapisan bumi akibat pelepasan energi secara tiba-tiba di dalam bumi yang ditandai dengan bergeraknya lapisan batuan pada kerak bumi. Efek primer dari peristiwa gempa bumi adalah kerusakan struktur rumah hunian, gedung bertingkat, fasilitas umum, monumen, dan infrastruktur lainnya. Efek lain dari gempa bumi atau sering disebut bencana ikutan yang sangat umum terjadi misalnya gerakan tanah longsor, amblasan tanah dan peristiwa likuifaksi. Likuifaksi adalah peristiwa hilangnya kuat geser tanah yang disebabkan oleh beban siklik saat gempa bumi berlangsung. Getaran gempa memicu terjadinya peningkatan tegangan air pori sehingga ikatan antar partikelpartikel tanah mulai berkurang dan mudah lepas, hal ini menyebabkan tanah yang awalnya bersifat padat (solid) berperilaku seperti cairan (liquid). Ada begitu banyak peristiwa gempa bumi terjadi di Indonesia, salah satunya adalah Gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 27 Mei 2006 yang menimbulkan kerusakan cukup parah dan diikuti pula oleh peristiwa likuifaksi. Kecamatan Bantul, Piyungan, Pleret, Banguntapan, Jetis, serta Imogiri adalah beberapa daerah yang dilalui patahan Kali Opak dan tercatat mengalami sebaran lateral dan sand boil akibat gempa tersebut. Menurut data Dinas Pertanahan Kabupaten Bantul (2013), wilayah Kabupaten Bantul mempunyai tujuh jenis tanah yaitu tanah Renzina (1,59%), Alluvial (2,91%), Mediteranian (3,03%), Grumosol (6,67%), Latosol (13,12%), Lithosol (18,74%), dan Regosol (54,52%). 1 Tanah Alluvial adalah jenis tanah yang dominan di wilayah Kecamatan Pleret dengan sebaran seluas 177,44 ha (Saputra, 2012). Alluvial adalah tanah muda yang berasal dari gunung api, terdiri dari krakal, pasir, lanau dan lempung. Kali Opak Pleret berada dalam wilayah dengan sedimen pasir yang cukup besar dan tingkat kerapatan tanah relatif rendah tersebut, dilalui oleh Patahan Kali Opak yang aktif sehingga merupakan salah satu daerah yang rawan mengalami bencana gempa bumi dan rentan mengalami kerusakan akibat likufaksi (Adawiyah, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Seed dan Idriss (1971), dan Kramer (1996) mengungkapkan bahwa peristiwa likuifaksi dan sebaran kerusakan yang ditimbulkan umumnya terjadi pada daerah-daerah yang terbentuk oleh lapisan sedimen granular jenuh air dengan tingkat kerapatan yang cukup rendah, serta wilayah dengan kemungkinan pergerakan seismik di permukaan melebihi nilai batas ambang tertentu (Soebowo, 2007). Prakash (1981) menjelaskan bahwa tegangan air pori yang terakumulasi selama gempa akan semakin rendah seiring dengan bertambah besarnya nilai kerapatan relatif tanah. Pendapat tersebut didukung oleh Day (2002) yang menyebutkan bahwa tanah granular yang memiliki kepadatan relatif rendah, rentan terhadap likuifaksi. Tanah yang tidak padat akan cenderung berkontraksi selama terkena getaran seismik, yang menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan air pori secara signifikan. Meskipun bukti-bukti di lapangan telah menggambarkan adanya potensi bahaya likuifaksi akibat gempa bumi di wilayah Kali Opak dan sekitarnya, hanya beberapa penelitian dilakukan yang memfokuskan pada bahaya likuifaksi di wilayah ini. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengangkat topik penelitian 2 mengenai likuifaksi ini terutama secara eksperimental untuk mengetahui pengaruh kerapatan tanah terhadap potensi likuifaksi di wilayah Kali Opak. 1.2 Rumusan Masalah Peristiwa likuifaksi umumnya terjadi pada tanah yang memiliki gradasi buruk dengan kerapatan tanah yang relatif rendah. Hal ini terjadi dikarenakan tanah tersebut berpotensi menyimpan air lebih banyak, jika dibandingkan dengan tanah bergradasi baik yang memiliki kerapatan relatif yang tinggi. Salah satu daerah yang mengalami peristiwa likufaksi akibat Gempa Yogyakarta pada tahun 2006 adalah wilayah Kali Opak Pleret. Hal ini dibuktikan dengan munculnya beberapa titik-titik sand boil pasca gempa bumi tersebut. Berdasarkan latar belakang dan informasi yang telah dipaparkan di atas, maka dilakukan suatu penelitian yang mengangkat permasalahan: “Apakah ada pengaruh yang signifikan dari kerapatan tanah pasir terhadap mekanisme dan potensi likuifaksi khususnya pada wilayah Kali Opak Pleret?” 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Pengaruh kerapatan relatif tanah terhadap mekanisme likuifaksi. 2. Pengaruh kerapatan relatif tanah terhadap potensi likuifaksi. 3. Pengaruh PGA (Peak Ground Acceleration) dan kerapatan relatif tanah terhadap potensi likuifaksi. 4. Batasan kerapatan relatif tanah tidak mengalami likuifaksi. 3 1.4 Batasan Masalah Batasan masalah yang diambil pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tanah pasir yang digunakan berasal dari Kali Opak Pleret, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Kerapatan sampel tanah pasir divariasikan dengan kerapatan relatif (Rd) 25%, 35%, 45%, 55% sesuai dengan kriteria pasir lepas hingga pasir padat (Michigan Department of Transportation, 2009). 3. Data percepatan maksimum (peak ground acceleration) yang digunakan adalah percepatan maksimum pada tanah sedang untuk wilayah Kali Opak Pleret yang mengacu pada peraturan gempa SNI 1726:2012 serta didukung dengan hasil penelitian Fathani dkk. (2008) yakni sebesar 0,3g sampai dengan 0,4g. 4. Simpangan gerak maksimum alat shaking table sebesar 3 cm. 5. Skenario Gempa diambil sebesar 7 SR dengan waktu pembebanan dinamik ditentukan 32 detik (Chang dan Krinitszky, 1977). 6. Sampel tanah yang digunakan adalah tanah pada kondisi terganggu (disturbed). 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa manfaat, di antaranya: 1. Memahami konsep dan mekanisme likuifaksi. 2. Mengetahui pengaruh kerapatan relatif dan percepatan maksimum gempa terhadap potensi likuifaksi. 3. Mengetahui pengaruh peningkatan tegangan air pori terhadap mekanisme likuifaksi. 4 4. Mengetahui potensi kerusakan yang dapat terjadi akibat peristiwa likuifaksi. 5. Sebagai sumbangan ilmu dalam bidang geoteknik, khususnya masalah likuifaksi kepada masyarakat luas, pemerintah, dan instansi berwenang lainnya agar dapat memahami dampak likuifaksi serta upaya mitigasinya. 1.6 Keaslian Penelitian Ada banyak penelitian telah dilakukan untuk menjelaskan mekanisme likuifaksi, di antaranya: 1. Finn (1972), meneliti hubungan antara percepatan puncak batuan dasar akibat gempa bumi dan kerapatan relatif tanah terhadap potensi likuifaksi menggunakan shaking table. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ketahanan tanah terhadap likuifaksi akan berkurang bersamaan dengan meningkatnya percepatan maksimum gempa. 2. Kulasingam dkk. (2004) menggunakan shaking table untuk mengetahui potensi likuifaksi dengan kerapatan relatif tanah yang konstan (Rd = 30%) dan variasi pada percepatan maksimum gempa. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa semakin besar percepatan maksimum gempa, semakin besar pula potensi tanah untuk mengalami likuifaksi. 3. Özener dkk. (2009) melakukan investigasi perilaku likuifaksi dan membandingkan pengaruh kerapatan relatif (40%, 50%, 60% dan 72%) serta tambahan lapisan lanau terhadap mekanisme likuifaksi menggunakan alat shaking table. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kerapatan relatif tanah sangat berperan penting dalam mempengaruhi mekanisme likuifaksi. 5 4. Ha dkk. (2011) meneliti perilaku tegangan air pori, pengaruh beban siklik dan ketahanan tanah yang sudah digetarkan sebelumnya terhadap potensi likuifaksi pada tanah dengan kerapatan relatif tanah yang berbeda menggunakan shaking table. Hasil penelitian menjelaskan bahwa semakin seiring tanah digetarkan, semakin besar ketahanan tanah terhadap potensi likuifaksi. 5. Yogatama (2012) menganalisis potensi likuifaksi dengan menggunakan data NSPT untuk daerah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul untuk penentukan zona potensi likuifaksi dengan metode LPI (Liquefaction Potential Index). Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Bantul sangat rawan terhadap likuifaksi, karena mayoritas kawasan tersebut termasuk ke dalam zona high dan very high potential. 6. Setyabudi (2013) melakukan analisis probabilitas likuifaksi untuk wilayah Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta menggunakan metode LSI (Liquefaction Severity Index). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mayoritas wilayah Bantul khususnya di sekitar Kali Opak, berpotensi terhadap likuifaksi dan masuk dalam zona moderate, high dan very high. Sedangkan untuk zona low dan very low tersebar di wilayah Kotamadya Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. 7. Mase (2013) meneliti potensi likuifaksi di Kali Opak Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan shaking table dan analisis data N-SPT menggunakan metode tegangan maksimum kolom tanah kaku. Penelitian tersebut menggunakan percepatan maksimum gempa 0,3g sampai 0,4g, frekuensi getaran 1,4 Hz sampai 1,8 Hz dengan durasi getar 8, 16 ,32 6 detik dan kerapatan relatif tanah yang dikonstankan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah pasir Kali Opak Imogiri tersebut berpotensi likuifaksi untuk setiap beban dinamik yang diberikan. 8. Komaji (2013-2014) melakukan studi eksperimental pengaruh beban bangunan terhadap potensi likuifaksi pada tanah pasir Kali Opak Pleret menggunakan alat shaking table. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin besar beban bangunan yang diberikan, semakin besar pula ketahanan tanah terhadap potensi likuifaksi. Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian dengan metode eksperimental pada wilayah Kali Opak Pleret menggunakan shaking table yang berjudul Pengaruh Kerapatan Tanah Pasir Kali Opak Pleret Yogyakarta Terhadap Potensi Likuifaksi Berdasarkan Uji Shaking Table belum pernah dilakukan sebelumnya, khususnya di Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada. 7