BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak diundangkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
outsourcing pekerja menjadi menjamur. Outsourcing merupakan suatu hubungan
kerja dimana pekerja/ buruh yang dipekerjakan di suatu perusahaan dengan sistem
kontrak. Akan tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan pemberi
kerja, melainkan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja. Dalam hal ini para
pengusaha merasa aman dalam rangka efisiensi biaya produksi (cost of production)
jika buruh yang dikontrak kerja adalah buruh milik perusahaan jasa pekerja, maka
yang bertanggung jawab terhadap buruh outsourcing tadi adalah perusahaan jasa
pekerja.
Outsourcing adalah suatu bentuk perjanjian antara perusahaan satu sebagai
pengguna jasa dengan perusahaan yang lain sebagai penyedia jasa. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh Retno Kusumayanti sebagai berikut:
Outsourcing berasal dari kata out yang berarti keluar dan source yang berarti
sumber. Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat ditarik suatu definisi
operasional mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara
perusahaan A sebagai pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa,
dimana perusahaan A meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga
kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan A dengan membayar sejumlah
uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan.1
Retno Kusumayanti. 2010. Pelaksanaan Outsourcing Dalam Kaitannya Dengan
Perlindungan Hak Pekerja. Diunduh dari http://s2.hukum.univpancasila.ac.id/ pada tanggal 9 Maret
2011
1
2
Pengertian outsourcing tidak disebutkan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, namun demikian pengertian outsourcing kurang lebih sama seperti
yang tercantum dalam Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 yang menentukan sebagai
berikut:
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Dalam Undang-undang makna dari outsourcing adalah menyerahkan sebagian
dari pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Dalam kenyataan di lapangan, praktik
outsourcing lebih dikenal dengan istilah penggunaan perusahaan sebagai penyalur
tenaga kerja. Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 menegaskan tentang penyerahan
sebagian dari pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya sebagai berikut:
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk
badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain sebagaimana dimak-sud dalam ayat (2) sekurangkurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada
perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
3
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara
perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan
atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu
tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan
kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh
dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7).
Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 selanjutnya menegaskan tentang larangan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk menggunakan jasa pekerja/buruh
untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi, sebagai berikut:
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali
untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan lang-sung dengan proses produksi harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara
tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal
4
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Abu Umar. 2010. Outsourcing Di Mata Undang-Undang. Diunduh dari http://www.pks
sumatera.org pada tanggal 9 Maret 2011. (Abu Umar adalah anggota DPR RI dari Fraksi PKS)
2
5
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf
a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum
status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.
Penjelasan Pasal 66 ayat (1) selanjutnya menegaskan bahwa:
Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya
diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu
tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar
usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain:
usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi
pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan),
usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan
angkutan pekerja/buruh.
Berdasarkan ketentuan Pasal 65 dan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 tersebut
Abu Umar memberikan penjelasan sebagai berikut:
Di dalam undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
khsususnya pada pasal 65 dan 66 menyebutkan bahwa penggunaan outsourcing
dapat dilakukan sepanjang itu adalah pekerjaan di luar dari pekerjaan utama,
artinya bahwa praktek outsourcing sesungguhnya dibenarkan oleh Undangundang untuk pekerjaan yang bukan pekerjaan utama. Selama outsourcing
digunakan untuk pekerjaan sampingan atau pekerjaan yang bukan pekerjaan
utama maka outsourcing tersebut dibenarkan menurut undang-undang. Akan
tetapi bila pekerjaan itu adalah pekerjaan utama, maka sesungguhnya praktek
outsourcing batal demi hukum.2
Berdasarkan Penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, Abu Umar
mengatakan bahwa jenis usaha atau kegiatan yang diperbolehkan untuk dioutsourcing hanya ada 5 jenis usaha yaitu:
1. Usaha pelayanan kebersihan (cleaning sevice).
2. Usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering).
6
3. Usaha tenaga pengamanan (security/satpam).
4. Usaha jasa penunjang pertambangan dan perminyakan.
5. Usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Selain dari lima jenis kegiatan
seperti yang disebutkan di atas, outsourcing tidak diperbolehkan dan bila
terjadi, maka hal tersebut batal demi hukum.3
Permasalahan yang terjadi di lapangan adalah adanya pelanggaran terhadap
ketentuan yang ada dalam Undang-undang. Untuk masalah outsourcing, yang sering
terjadi adalah pengusaha melakukan praktik outsourcing untuk jenis usaha yang
masuk dalam kategori pekerjaan utama. Alasan yang sering digunakan oleh para
pengusaha adalah bahwa penafsiran tentang definisi dari pekerjaan utama masih
belum jelas, padahal kalau merujuk pada Penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU No. 13
Tahun 2003 terlihat jelas bahwa yang boleh di-outsourcing hanyalah 5 jenis kegiatan
saja. Jadi penafsiran terkait dengan defenisi pekerjaan utama harusnya merujuk pada
penjelasan tersebut.
Penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan mengenai outsourcing, baik
oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh maupun perusahaan yang
memanfaatkan jasa pekerja/buruh, inilah maka diperlukan suatu pengawasan
ketenagakerjaan. Abu Umar berkaitan dengan hal tersebut memberikan pendapatnya
sebagai berikut:
Dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia, dikenal adanya istilah pengawasan
ketenagakerjaan yang mempunyai fungsi utama yaitu; melakukan pencegahan
dan penindakan atas pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan (penegakan
hukum). Adapun tujuan dari pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan adalah
untuk melindungi pencari kerja, melindungi hak pekerja, melindungi keselamatan
pekerja dan melindungi jaminan sosial pekerja. Namun sekarang ini tujuan
tersebut tidak kunjung tercapai karena kenyataannya masih banyak hak-hak para
pekerja tidak tepenuhi dan jaminan sosial para pekerja juga tidak terlindungi.
Contoh yang paling konkret adalah tentang permasalahan outsourcing. Di dalam
undang-undang telah diatur tentang pekerjaan mana saja yang boleh
dioutsourcing, namun kenyataanya banyak perusahaan yang tidak mengindahkan
hal tersebut sehingga hak-hak pekerja tidak terlindungi. Peran pengawas
ketenagakerjaan sangat lemah bahkan bisa dibilang tidak berjalan. Permasalahan
7
3
Ibid, tanpa halaman.
8
utama sehingga praktik outsourcing yang tidak sesuai dengan undang-undang
ketenagakerjaan tetap subur adalah karena lemahnya atau tidak berjalannya
fungsi tenaga pengawas yang ada di lingkungan dinas tenaga kerja. Kalau
seandainya berjalan, maka praktek outsourcing yang illegal tentunya tidak akan
merajalela seperti sekarang ini.4
Abu Umar lebih lanjut menjelaskan sebagai berikut:
Oleh karena itu, yang harus dipertanyakan adalah apakah keberadaan
Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan (PPK) masih layak
ada/atau tidak karena selama ini para pekerja belum merasakan manfaat
keberadaannya secara maksimal, di sisi lain penjabaran tentang fungsi dan tugas
dari Dirjen PPK tidak jelas. Salah satu bukti tidak berjalannya fungsi pengawasan
ketenagakerjaan adalah maraknya praktek outsourcing yang tidak sesuai dengan
UU No. 13 Tahun 2003, namun tidak ada penindakan dari Dinas Tenaga Kerja
maupun Departemen Tenaga Kerja. Bahkan di beberapa daerah, praktek
outsourcing mendapatkan perlindungan dari pengawas itu sendiri .5
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai pengawasan ketenagakerjaan, dengan judul:
“PENGAWA SAN KETENAGAKERJAAN OLEH PEGAWAI PENGAWAS
KETENAGAKERJAAN TERHADAP PRAKTiK OUTSOURCING DI
KABU PATEN BANJARN EGARA (Studi di Dinas Tenaga Kerja Banj arnegara).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengawasan ketenagakerjaan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan terhadap praktik outsourcing di Kabupaten Banj arnegara ?
2. Hambata-hambatan apa yang muncul dalam proses pengawasan ketenagakerjaan
oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap praktik outsourcing di
Kabupaten Banjarnegara ?
C. Tujuan Penelitian
4
5
Ibid, tanpa halaman.
Ibid, tanpa halaman.
9
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Proses pengawasan ketenagakerjaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan
terhadap praktik outsourcing di Kabupaten Banjarnegara.
2. Hambatan-hambatan yang muncul dalam proses pengawasan ketenagakerjaan
oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap praktik outsourcing di
Banjarnegara dan langkah yang diambil untuk mengatasi hambatan tersebut.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi teori ilmu
hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua pihak,
baik bagi pemerintah daerah maupun pekerja/buruh, yaitu mengenai
ketenagakerjaan terhadap praktik outsourcing.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Ketenagakerjaan
1. Pengertian Ketenagakerjaan
Pengertian ketenagakerjaan menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Hardijan Rusli dalam hal pengertian ketenagakerjaan tersebut menjelaskan
sebagai berikut:
Hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum masa kerja
misalnya adalah kesempatan kerja, perencanaan tenaga kerja dan penempatan
tenaga kerja, sedangkan hal sesudah masa kerja, misalnya adalah masalah
pensiun. Hal yang dibahas dalam UU No. 13 Tahun 2003 ini sebagian besar
atau hampir seluruhnya adalah merupakan hal-hal yang berhubungan dengan
tenaga kerja pada waktu selama masa kerja dan hal yang berhubungan dengan
tenaga kerja sesudah masa kerja, misalnya pensiun dibahas dalam pemutusan
hubungan kerja.6
Pasal 1 angka 2 selanjutnya menyatakan tentang pengertian tenaga kerja
sebagai berikut:
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
6
Hardijan Rusli. 2004. Hukum Ketenagakerjaan. Ghalia Indonesia. Jakarta hal. 12-13
11
Berdasarkan pengertian tenaga kerja tersebut, Hardijan Rusli memberikan
penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:
Pengertian tenaga kerja ini lebih luas dari pengertian pekerja/ buruh karena
pengertian tenaga kerja mencakup pekerja/buruh, yaitu tenaga kerja yang
sedang terikat dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja yang belum
bekerja. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan kata lain, pekerja/buruh adalah
tenaga kerja yang sedang dalam ikatan hubungan kerja.7
2. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan
Batasan pengertian hukum ketenagakerjaan, dulu disebut hukum
perburuhan atau arbeidrechts, juga sama dengan pengertian hukum itu sendiri,
yakni masih beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing ahli hukum.
Tidak satupun batasan pengertian itu dapat memuaskan karena masing-masing
ahli hukum memiliki alasan tersendiri. Mereka melihat hukum ketenagakerjaan
dari berbagai sudut pandang yang berbeda, akibatnya pengertian yang dibuat tentu
berbeda antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lainnya. Sebagai
perbandingan, berikut beberapa pendapat ahli hukum, sebagaimana dikutip oleh
Abdul Khakim, mengenai pengertian hukum ketenagakerjaan:
Molenaar dan Asikin menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah bagian
hukum yang berlaku yang pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja
dan pengusaha serta antara tenaga kerja dan tenaga kerja. Soetikno
menyatakan bahwa hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan hukum
mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi
ditempatkan di bawah perintah/pimpinan orang lain dan mengenai keadaankeadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan hubungan kerja.
Syahrani menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah keseluruhan
peraturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan perburuhan, yaitu
hubungan antara buruh dengan majikan dan hubungan buruh dan majikan
dengan pemerintah.8
Ibid. hal. 13
Abdul Khakim. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Berdasarkan UU
No. 13 Tahun 2003 PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4-5
7
8
10
Lalu Husni mengemukakan pendapatnya tentang pengertian hukum
ketenagakerjaan sebagai berikut:
Hukum ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan
dengan tenaga kerja, baik sebelum kerja, selama atau dalam hubungan kerja,
dan sesudah hubungan kerja. Jadi pengertian hukum ketenagakerjaan lebih
luas dari hukum perburuhan yang selama ini dikenal yang ruang lingkupnya
hanya berkenaan dengan hubungan hukum antara buruh dengan majikan
dalam hubungan kerja saja.9
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka hukum ketenagakerjaan memilik
unsur-unsur:
a. Serangkaian peraturan yang berbntuk tertulis dan tidak tertulis
b. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan
pengusaha/majikan
c. Adanya orang bekerja pada dan di bawah orang lain, dengan mendapat
upah sebagai balas jasa.
d. Mengatur perlindungan pekerja/buruh, meliputi masalah keadaan sakit,
haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja buruh.
Dengan demikian, hukum ketenagakerjaan adalah peraturan hukum yuang
mengatur hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan dengan
segala konsekuensinya.10
3. Tujuan Hukum Ketenagakerjaan
Berdasarkan Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003 bahwa pembangunan
ketenagakerjaan bertujuan untuk:
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja
yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Tujuan hukum ketenagakerjaan dikemukakan oleh Sendjun H. Manulang
sebagai berikut:
9
Lalu Husni. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. RajaGrafindo Persada.
13
Jakarta. hal. 24
10
Abdul Khakim. 2003. Op. Cit. hal. 5-6
Sendjun H. Manulang. 1995. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan dan Peraturan
Perusahan. Rineka Cipta. Jakarta. hal. 2.
11
a. Untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang
ketenagakerjaan.
b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari
pengusaha.
Butir (a) lebih menunjukkan bahwa hukum ketenagakerjaan harus menjaga
ketertiban, keamanan, dan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait dalam
proses produksi, untuk mencapai ketenangan bekerja dan kelangsungan
berusaha. Sedangkan butir (b) dilatarbelakangi adanya pengalaman selama ini
yang kerap kali terjadi kesewenang-wenangan pengusaha terhadap
pekerja/buruh. Untuk itu diperlukan suatu perlindungan hukum secara
komprehensif dan konkret oleh pemerintah.11
4. Sifat Hukum Ketenagakerjaan
Hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan antara tenaga kerja dan
pengusaha yang berarti mengatur kepentingan orang perorangan. Atas dasar
itulah, maka hukum ketenagakerjaan bersifat privat (perdata) Di samping itu,
dalam pelaksanaan hubungan kerja untuk masalah-masalah tertentu diperlukan
campur tangan pemerintah, karenanya hukum ketenagakerjaan bersifat publik.
Abdul Khakim membagi sifat hukum ketenagakerjaan menjadi 2 (dua), yaitu:
Bersifat imperatif dan bersifat fakultatif. Hukum bersifat imperatif atau
dwingenrehct (hukum memaksa) artinya hukum yang harus ditaati secara
mutlak, tidak boleh dilanggar, contoh:
a. Pasal 42 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengenai perlunya izin
penggunaan tenaga kerja asing.
b. Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengenai ketentuan pembuatan
perjanjian kerja antar waktu tertentu (PKWT)
c. Pasal 153 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengenai larangan melakukan
PHK terhadap kasus-kasus tertentu.
d. Pasal 4 ayat (1) UU No.3 Tahun 1992 mengenai kewajiban pengusaha
untuk mengikutsertakan para pekerjanya ke dalam Program Jamsostek.
e. Pasal 13 Peraturan Menaker No. PER-01/MEN/1999 mengenai larangan
bagi perusahaan yang membayar upah lebih rendah dari Upah Minimum.
Sedangkan hukum bersifat fakultatif atau regelendrecht/aanvul-lendrecht
(hukum yang mengatur/melengkapi), artinya hukum yang dapat
dike sampigkan pelaksanaannya, contoh:
15
12
a. Pasal 51 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengenai pembuatan perjanjian
kerja bisa ditulis dan tidak ditulis.
b. Pasal 60 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengenai perjanjiankerja waktu
tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan 3 (tiga) bulan.
c. Pasal 16 PP No. 8 Tahun 1981 mengenai kebebasan pengusaha untuk
membayar gaji di tempat yang lazim.
d. Pasal 2 PP No. 14 Tahun 1993 mengenai kewajiban ikut serta dalam
program Jamsostek, di mana program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
(JPK) dapat diabaikan sepanjang pengusaha telah memberikan pelayanan
kesehatan dengan manfaat yang lebih baik dari standar Jamsostek.12
B. Ketenagakerjaan Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerj aan
1. Ruang Lingkup UU No. 13 Tahun 2003
Ketenagakerjaan diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dilaksanakan
dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga
diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan
merata, baik materil maupun spiritual.13
Hardijan Rusli, berkenaan dengan pembangunan ketenagakerjaan
berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan
penjelasan sebagai berikut:
UU No. 13 Tahun 2003 kiranya diusahakan sebagai peraturan yang
menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber
daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja
Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga
kerja, dan pembinaan hubungan industrial, tetapi, bila dilihat dari pengertian
12
Abdul Khakim. 2003. Op. Cit. hal. 8-9
Sendjun H. Manulang. 1995. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan dan Peraturan
Perusahan. Rineka Cipta. Jakarta. hal. 2.
11
13
Penjelasan Umum atas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
17
ketenagakerjaan sebagai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja, maka UU No. 13 Tahun
2003 ini belumlah menyeluruh dan komprehensif karena hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sesudah masa kerja, seperti
masalah pensiun tidak dibahas dalam undang-undang ini.14
2. Landasan, Asas, dan Tujuan
Landasan pembangunan ketenagakerjaan ada dua, yaitu didasarkan pada
Pancasila dan UUD 1945, yaitu sebagai berikut:
Pancasila, yang terdiri dari:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3) Persatuan Indonesia.
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.15
Pasal-pasal UUD 1945 yang menjadi landasan bagi pembangunan
ketenagakerjaan adalah:
a. Pasal 27 ayat ayat (2) UUD 1945:
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
Pasal yang sama dengan pasal 27 ialah Pasal 28D ayat (2) UUD 1945
manyatakan bahwa:
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
b. Pasal 28H ayat 1 UUD 1945:
Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
Hardijan Rusli. 2004. Op. Cit. hal. 9 15
Ibid. hal. 13
14
18
c. Pasal 28H ayat 2 UUD 1945:
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan.
d. Pasal 28H ayat 3 UUD 1945:
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
e. Pasal 28H ayat 4 UUD 1945:
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
f. Pasal 281 ayat 2 UUD 1945:
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu.
Asas pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003
diatur pada Pasal 3 sebagai berikut:
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan
dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Penjelasan Pasal 3 selanjutnya menentukan sebagai berikut:
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas
pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil
dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan
keterkaitan dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha, dan
pekerja/ buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan
secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling menguntungkan.
19
Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003 selanjutnya menyatakan tentang tujuan
pembangunan ketenagakerjaan sebagai berikut:
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja
yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarga
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 tersebut, Hardijan Rusli menjelaskan sebagai
berikut:
a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi.
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan
yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya
bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini
diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal
dalam Pembangunan Nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai
kemanusiaannya sehingga dapat meningkatkan harkat, martabat, dan harga
diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan
merata, baik materil maupun spiritual.
b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja
yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan RI sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan
kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga
kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian
pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat
mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah.
c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga
terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan
pekerja/ buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi
yang kondusif bagi pengernbangan dunia usaha.
d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarga.
Masyarakat Indonesia sebagian besar adalah merupakan tenaga kerja dan
keluarganya, karena itu kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya
mempunyai andil yang besar dalam mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata,
20
baik materil maupun spiritual tidak dapat dicapai bila tenaga kerja dan
keluarganya tidak sej ahtera. Meni ngkatkan kesej ahteraan tenaga kerj a dan
keluarganya merupakan bagian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia.16
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis
kelamin, suku, ras, agama, dan aliran yang bersangkutan, termasuk perlakuan
yang sama terhadap para penyandang cacat. Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2003
menyatakan bahwa:
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi
untuk memperoleh pekerjaan.
Ketentuan ini sama seperti ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D
ayat (2) UUD 1945 yang intinya adalah setiap orang berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, karena pekerjaan itu merupakan hak
bagi setiap orang, maka tidak boleh ada orang yang menghalangi hak tersebut
dengan cara membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama dan aliran politik. Pasal
6 UU No. 13 Tahun 2003 selanjutnya menyatakan bahwa:
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa
diskriminasi dari pengusaha.
Hardijan Rusli mengatakan bahwa pengertian “pengusaha” dalam Pasal 6
ini perlu mendapat perhatian karena pengertian pengusaha secara umum adalah:
a. Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menj alankan suatu
perusahaan milik sendiri.
b. Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan, baik miliknya sendiri maupun bukan
miliknya sendiri yang berkedudukan di luar Indonesia.17
16
17
Ibid. hal. 15-16
Ibid. hal. 17
21
Hardijan Rusli lebih jauh lagi menjelaskan sebagai berikut:
Secara umum pengertian penguasaha adalah mencakup orang pribadi,
persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan.
Sedangkan pengertian pengusaha dalam Pasal 6 ini harus dibaca sehubungan
dengan pengertian dari kata pekerja/buruh, yaitu setiap orang yang terikat
dalam suatu hubungan kerja, sehingga pengertian pengusaha dalam Pasal 6
adalah pengusaha yang terikat dalam suatu hubungan kerja dengan
pekerja/buruh tersebut atau pengusaha yang memberikan pekerjaan pada
pekerja/buruh tersebut. Dengan kata lain, pengusaha dalam Pasal 6 ini adalah
pengusaha tertentu, maksudnya pengusaha yang memberi pekerjaan kepada
pekerja/buruh tersebut saja atau pengusaha yang terikat dalam hubungan kerja
dengan pekerja tersebut.18
Pengusaha yang memberikan pekerjaan itu (tidak mencakup pengusaha
lainnya karena pengusaha lainnya tidak terikat hubungan kerja dengan
pekerja/buruh) harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit dan aliran politik.
Karena dalam UU No. 13 Tahun 2003 ini tidak diberikan definisinya, maka perlu
juga dikaji untuk kepastian hukum, yaitu:
a. Pengertian orang pribadi, pesekutuan atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan itu mencakup siapa saja Apakah hanya tingkat direktur
saja termasuk sebagai pengusaha ? atau pengusaha itu mencakup tingkatan
mana saja, asal merupakan atasan dari pekerja/buruh dapat dianggap
sebagai pengusaha ?
Begitu pula dalam hubungannya dengan Pasal 5, apakah bagian informasi
dapat dianggap sebagai pengusaha atau perlakuan yang membedakan itu
tidak membedakan siapa subjek pelakunya, baik itu pengusaha atau bukan
dapat dikenakan ancaman pelanggaran Pasal 5 ini?
b. Pengertian diskirminasi mencakup perbuatan apa saja ?
Mengingat Pasal 5 dan Pasal 6 adalah merupakan peraturan untuk
memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kerja (termasuk
pekerja/buruh) maka pengertian pengusaha ini harus diartikan secara luas,
yaitu mencakup siapa saja yang menjalankan tugas dalam perusahaan atau
yang merupakan atasan dari pekerja/buruh.19
18
19
Ibid.
Ibid. hal. 18
22
Pasal 5 merupakan perlindungan bagi tenaga kerja, yang mencakup:
a. Orang yang belum bekerja, yaitu orang yang tidak terikat dalam hubungan
kerja, dan
b. Orang yang sedang terikat dalam hubungan kerja (pekerja/buruh), karena
orang yang terikat dalam suatu hubungan kerja juga berhak untuk
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau yang lebih disukai oleh
pekerja/buruh.
Sedangkan Pasal 6 merupakan perlindungan bagi pekerja/buruh (orang yang
sedang dalam ikatan hubungan kerja saja. Selain itu, perbedaan Pasal 5 dengan
Pasal 6 adalah mengenai subjek pelakunya. Pasal 5 berlaku bagi siapa saja,
dalam arti tidak terbatas bagi pengusaha tertentu saja, melainkan mencakup
pengertian pengusaha secara umum, artinya bisa pengusaha atau siapa saja dan
sebagainya, termasuk pengusaha perusahaan penempatan tenaga kerja, tetapi
dalam Pasal 6 subjek pelakunya adalah terbatas bagi pengusaha yang
mempekerjakan pekerja/buruh tersebut.20
Sanksi hukum atas orang yang melanggar Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 13
Tahun 2003 adalah berupa sanksi administratif, yang dapat berupa:
a. teguran
b. peringatan tertulis
c. pembatalan kegiatan usaha
d. pembekuan kegiatan usaha
e. pembatalan persetujuan
f. pembatalan pendaftaran
g. pemberhentian sementara sebagian atau seluruh alat produks
h. pencabutan izin
Pejabat yang dapat mengenakan sanksi administrasi adalah Menteri Tenaga
Kerja atau pejabat yang ditunjuknya.21
C. Perjanjian Kerja
Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tentang Ketenagakerjaan telah menyatakan
pengertian bahwa:
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan
perintah
20
21
Ibid. hal. 18-19
Ibid. hal. 19
23
Pada dasarnya, hubungan kerja yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha,
terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha, di mana pekerja
menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah
dan di mana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja
dengan membayar upah. Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian kerja.
Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan
hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan
pengusaha. Menurut Hartono Widodo dan Judiantoro:
Hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang
secara teratur demi kepentingan orang lain yang meme rintahnya
(pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.22
Selanjutnya Tjepi F. Aloewir, mengemukakan bahwa:
Pengertian hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha
dan pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu
tertentu maupun tidak tertentu. Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal
mengenai:
1. Pembuatan perjanjian kerja (merupakan titik tolak adanya suatu hubungan
kerja)
2 Kewajiban pekerja (yaitu melakukan pekerjaan, sekaligus merupakan hak dari
pengusaha atas pekerjaan tersebut)
3. Kewajiban Pengusaha (yaitu membayar upah kepada pekerja, sekaligus
merupakan hak dari si pekerja atas upah)
4. Berakhirnya hubungan kerja
5. Cara penyelesaian perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan.23
Perbedaan kedudukan secara ekonomi dan sosial antara pekerja/buruh dan
pengusaha menimbulkan hubungan subordinatif yang terbingkai dalam hubungan
kerja sehingga menimbulkan posisi tidak semitrikal antar keduanya. Dalam konteks
22
Hartono Widodo dan Judiantoro. 1992. Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
Rajawali Pers. Jakarta. hal. 10.
23
Tjepi F. Aloewic. 1996. Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan
Penyelesaian Perselisihan Industrial. Cetakan ke-1 1 .BPHN. Jakarta. hal. 32.
20
inilah hukum dijadikan sarana guna memberikan perlindungan terhadap
pekerja/buruh, karena sebagai konsekwensi dari hubungan kerja munculah hak dan
kewajiban yang oleh hukum harus dijaga dan dilindungi. Menurut Soepomo
sebagaimana dikutip Abdul Khakim:
Hubungan kerja ialah suatu hubungan antara seorang buruh dan seorang
majikan dimana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara
kedua belah pihak. Mereka terikat dalam suatu perjanjian, di satu pihak
pekerja/buruh bersedia bekerja dengan menerima upah dan pengusaha
mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah.24
Dasar hubungan kerja adalah perjanjian kerja yang kemudian memunculkan
unsur pekerjaan, upah dan perintah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Adrian
Sutedi sebagai berikut:
Yang menjadi dasar hubungan kerja adalah perjanjian kerja. Atas dasar
perjanjian kerja itu kemudian muncul unsur pekerjaan, upah dan perintah.
Dengan demikian hubungan kerja tersebut adalah sesuatu yang abstrak,
sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkret atau nyata. Dengan
adanya perjanjian kerja, akan ada ikatan antara pengusaha dan pekerja. Dengan
perkataan lain, ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan
hubungan kerj a.25
1. Pengertian Perjanjian Kerja
Secara umum pengertian dari perjanjian kerja dapat dilihat dalam Pasal 1
angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan:
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para
pihak.
R. Subekti mengemukakan pendapatnya tentang pengertian perjanjian kerja
sebagai berikut:
Abdul Khakim. 2007. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Berdasarkan UU
No. 13 Tahun 2003 PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 25.
25
Adrian Sutedi. 2009. Hukum Perburuhan. Sinar Grafika. Jakarta, hal. 45.
24
25
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan,
perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu
yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda
“dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu
(majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak
yang lain (buruh)26
Selain pengertian normatif seperti tersebut di atas, Imam Soepomo,
sebagaimana dikutip oleh Lalu Husni berpendapat bahwa:
Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak ke satu (buruh),
mengikatkan diri untuk bekerj a dengan menerima upah dari pihak kedua yakni
majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk memperkerjakan buruh dengan
membayar upah.27
Pembuatan perjanjian kerja dapat dilakukan baik secara tertulis maupun
lisan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UU No. 13 Tahun 2003 yang
menyatakan:
(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Pasal 52 lebih lanjut menyatakan sebagai berikut:
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerj aan yang diperj anj ikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(2) Perj anj ian kerj a yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat
dibatalkan.
(3) Perj anj ian kerj a yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi
hukum.
R. Subekti. 1992. Aneka Perjanjian. Citra Aditya Bakti. Bandung. hal. 63.
Lal u Husni. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Raj aGrafindo Persada.
Jakarta. hal. 54-55
26
27
26
Biaya yang timbul dari diadakannya pembuatan perjanjian kerja merupakan
tanggung jawab pengusaha, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 53 yang
menyatakan:
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan
perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
Konsep pekerja/buruh, pemberi kerja, pengusaha dan perusahaan adalah
konsep sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 3, angka 4, angka 5 dan angka
6 UU No. 13 Tahun 2003. Pasal 1 angka 3 menyatakan tentang pengertian pekerja
atau buruh sebagai berikut:
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
Sedangkan pengertian pemberi kerja ditentukan pada Pasal 1 angka 4
bahwa:
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pasal 1 angka 5 selanjutnya menyatakan tentang pengertian pengusaha:
Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
27
Pasal 1 angka 6 menyatakan tentang pengertian perusahaan sebagai berikut:
Perusahaan adalah:
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
2. Unsur-unsur Perjanjian Kerja
Berdasarkan pengertian perjanjian kerja, Lalu Husni memberikan
kesimpulan mengenai unsur dari perjanjian kerja yakni:
a. Adanya unsur work atau pekerjaan
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan
(obyek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh
pekerja, hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. Hal ini
dijelaskan dalam KUHPerdata pasal 1603a yang berbunyi:
Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan
ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya.
Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena
bersangkutan dengan keterampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika
pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.
b. Adanya unsur perintah
Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha
adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha
untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Di sinilah
perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainya, misalnya hubungan
antara dokter dengan pasien, pengacara dengan klien. Hubungan tersebut
bukan merupakan hubungan kerja karena dokter, pengacara tidak tunduk
pada perintah pasien atau klien.
c. Adanya unsur upah
Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja),
bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada
pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur
upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja.
Seperti seorang narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan
tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktik
lapangan di hotel.28
28
Ibid. hal. 55-57
28
3. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja
Lalu Husni memberikan penjelasan mengenai empat syarat sahnya
perjanjian sebagai berikut:
Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi
yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian kerja harus setuju atau sepakat, setia-sekata mengenai hal-hal yang
diperjanjkan. Apa yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang
lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak
pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan.
Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat
perjanjian maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat
perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang
bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan
memberikan batasan umur minimal 18 tahun, sebagaimana diatur pada Pasal 1
angka 26 yang menyatakan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur
dibawah 18 (delapan belas) tahun. Selain itu seseorang dikatakan cakap
membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya atau waras.
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320 ayat (3)
KUHPerdata adalah hal tertentu atau suatu pokok persoalan tertentu.
Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja anatar
pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan
kewajiban para pihak. Obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian
kerja yang harus disebutkan secara jelas.29
Keempat syarat tersebut bersifat komulatif, sebagaimana dikatakan oleh
Lalu Husni sebagai berikut:
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya
baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas
kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam
membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subyektif
karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan
syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan
harus halal disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek
perjanjian. Kalau syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal
demi hukum artinya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah
ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat subyektif, maka akibat hukum dari
perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak yang tidak memberikan persetujuan
29
Ibid. hal. 57-58
29
secara tidak bebas, demikian juga oleh orang tua/wali atau pengampu bagi
orang yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan
perjanjian itu kepada hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai
kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.30
4. Bentuk dan Jangka Waktu Perjanjian Kerja
Bentuk perjanjian kerja dapat dilakukan baik secara tertulis maupun lisan.
Secara normatif, bentuk tertulis dalam perjanjian kerja menjamin kepastian hak
dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan kan sangat membantu
proses pembuktian. Bentuk tertulis dan lisan dalam perjanjian kerja ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UU No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut:
(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Kenyataan dalam praktek menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan
yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja secara tertulis disebabkan karena
ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karena kelaziman, sehingga atas
dasar kepercayaan membuat perjanjian secara lisan.
Perjanjian kerja yang dibuat utuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 sebagai
berikut:
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
Lalu Husni menjelaskan bahwa:
Ketentuan Pasal 57 ayat (1) tersebut dimaksudkan untuk lebih mejamin atau
menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya
kontrak kerja. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak boleh mensyaratkan
30
Ibid. hal. 57
30
adanya masa percobaan. Masa percobaan adalah masa atau waktu untuk
menilai kinerja dankesungguhan, keahlian seorang pekerja. Lama masa
percobaan adalah 3 bulan. Dalam masa percobaan, pengusaha dapat
mengakhiri hubungan kerja secara sepihak (tanpa izin dari pejabat yang
berwenang). Ketentuan yang tidak membolehkan adanya masa percobaan
dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu karena perjanjian kerja berlangsug
relatif singkat. Dalam masa percobaan ini pengusaha dilarang membayar upah
di bawah upah minimum yang berlaku.31
Jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu bagi
hubungan kerja yang dibatasi jangka waktu berlakunya, dan waktu tidak tertentu
bagi hubungan kerja yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau selesainya
pekerjaan tertentu. Lalu Husni dalam hal ini menjelaskan lebih lanjut sebagai
berikut:
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut dengan
perjanjian kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap. Status pekerjanya adalah
pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan untuk perjanjian kerja
yang dibuat untuk waktu tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian
kerja tetap dan status pekerjanya adalah pekerja tetap.32
Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 selanjutnya menyatakan sebagai berikut:
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap.
31
32
Ibid. hal. 60-61
Ibid. hal. 60
31
5. Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja
Kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian umumnya disebut prestasi.
Dalam hal prestasi ini R. Subekti. menjelaskan sebagai berikut:
Suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima
kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak yang diperolehnya,
dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga
memperoleh hak yang dianggap sebagai kebalikan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepadanya.33
Zaeni Ashadie, di pihak lain menjelaskan sebagai berikut:
Dalam perjanjian kerja, karena merupakan salah satu dari bentuk khusus
perjanjian, maka apa yang menjadi hak pekerja/buruh akan menjadi kewajiban
pengusaha, dan sebaliknya apa yang menjadi hak pengusaha akan menjadi
kewajiban pekerja/buruh.34
Berdasarkan pendapat di atas, maka selanjutnya dapat diuraikan mengenai
kewajiban para pihak dalam perjanjian sebagai berikut:
a. Kewajiban Pekerja/Buruh
Jika dirinci satu per satu, banyak sekali kewajiban pekerja/buruh, hanya
saja yang perlu diingat, dalam hal melaksanakan kewajibannya itu,
pekerja/buruh haruslah bertindak sebagai seorang pekerja/buruh yang baik.35
Lalu Husni menjelaskan bahwa pada intinya kewajiban pekerja/buruh
adalah sebagai berikut:
1) Buruh/pekerja wajib melakukan pekerjaan. Melakukan pekerjaan adalah
tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri. Untuk
itulah mengingat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang sangat
pribadi sifatnya karena berkaitan dengan keahliannya, maka berdasarkan
ketentuan peraturan perundangan jika pekerja meninggal dunia, maka
hubungan kerja berakhir dengan sendirinya demi hukum.
R. Subekti. 1992. Op. Cit. hal. 29-30
Zaeni Ashadie. 2007. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja.
PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. hal. 60.
35
Ibid. hal. 61
33
34
32
2) Buruh/pekerja menaati aturan dan petunjuk pengusaha. Dalam melakukan
pekerjaan pekerja wajib menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha.
Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam
peraturan perusahaan sehingga menjadi jelas ruang lingkup dari petunjuk
tersebut.36
b. Kewajiban Pengusaha
Kewajiban utama pengusaha dengan adanya hubungan kerja dengan
pekerja/buruh adalah membayar upah. Lalu Husni mengemukakan
pendapatnya tentang kewajiban pengusaha sebagai berikut:
1) Kewajiban membayar upah. Dalam hubungan kerja, kewajiban utama
pengusaha adalah membayar upah kepada pekerjanya secra tepat waktu.
2) Kewajiban memberikan istirahat/cuti. Pihak pengusaha diwajibkan untuk
memberikanistirahat tahunankepada pekerja secara teratur. Hak atas
istirahat ini penting artinya untuk menghilangkankejenuhanpekerja dalam
melakukanpekerjaan. Dengan demikian diharapkan gairah kerja akan
tetap stabil.
3) Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan. Dalam perkembangan
hukum ketenagakerjaan, kewajiban ini tidak hanya terbatas pada pekerja
yang bertempat tinggal di rumah majikan, tetapi juga bagi pekerja yang
tidak bertempat tinggal di rumah majikan. Perlindungan bagi tenaga kerja
yang sakit, kecelakaan, kematian telah dijamin melalui perlindungan
Jamsostek sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Jamsostek.
4) Kewajiban memberikan surat keterangan. Pengusaha wajib memberikan
surat keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi tanda tangan. Dalam
surat keterangan tersebut dijelaskan mengenai sifat pekerjaan yang
dilakukan, lamanya masa kerja. Surat keterangan juga diberikan
meskipun inisiatif pemutusan hubungan kerja datangnya dari pihak
pekerja. Surat keterangan tersebut penting artinya sebagai bekal pekerja
dalam mencaripekerjaan baru, sehingga ia diperlakukan sesuai dengan
pengalaman kerjanya.37
Kewajiban pengusaha yang telah dipaparkan di atas merupakan hak pekerja,
sebaliknya kewajiban pekerja merupakan hak pengusaha.
36
37
Lalu Husni. 2003.Op. Cit. hal. 62.
Ibid. hal. 62-64
33
D. Outsourcing
1. Pengaturan Outsourcing
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak secara tegas
memberikan pernyataan tentang outsourcing, namun hanya memberikan batasan
tentang penyerahan sebagian pekerjaan dari satu perusahaan ke perusahaan
(penyedia jasa pekerja) untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Pasal 64 dalam
hal ini menyatakan bahwa:
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan j asa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis
a. Pemborongan Pekerjaan
Berdasarkan Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
diatur bahwa:
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk
badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
peru saha an l ai n seba gai m ana di m aksu d dal am a yat (2 )
sekurangkurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat
kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
34
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara
perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian
kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan ayat
(3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja
pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih
menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi
pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja
pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7)
b. Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh
Penyediaan jasa pekerja/buruh diatur dalam Pasal 66 UU No. 13 Tahun
2003 yang menyatakan bahwa:
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali
untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada hruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
dan/atau perjanjian waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis
dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindingan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerj/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
35
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2)
huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhii, maka demi
hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
UU No. 13 Tahun 2003 dan Kepmenakertrans Nomor 101/Men/VI/2004
tidak mengatur secara rinci klasifikasi mengenai jenis-jenis pekerjaan pokok
(core business) dan pekerjaan penunjang (non core business), kategori yang
ditentukan bersifat umum dan tidak mengakomodir perkembangan dunia
usaha, sehingga dalam pelaksanaannya terjadi tumpang tindih dan
penyelewengan. Pelanggaran atas ketentuan dan syarat-syarat outsourcing
tidak dikenakan sanksi pidana atau sanksi adminstrasi, dalam Pasal 65 ayat (8)
dan Pasal 66 ayat (4) hanya menentukan apabila syarat-syarat outsourcing
tersebut tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan vendor beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan principal. Artinya principal hanya dibebani untuk
menj ali n hubungan kerj a dengan pekerj a/buruh dengan segala konsekwensi nya
apabila syarat-syarat outsourcing tidak terpenuhi.
2. Makna Outsourcing
Makna outsourcing menurut Thomas L. Wheelen dan J.David Hunger,
sebagaimana dikutip Amin Widjaja, adalah:
Outsourcing is a process in which resources are purchased from others
through long-term contracts instead of being made with the company”
(terjemahan bebasnya; Outsourcing adalah suatu proses dimana sumbersumber daya dibeli dari orang lain melalui kontrak jangka panjang sebagai
ganti yang dulunya dibuat sendiri oleh perusahaan) Pengertian di atas lebih
menekankan pada istilah yang berkaitan dengan proses “Alih Daya” dari suatu
proses bisnis melalui sebuah perjanjian/kontrak.38
38
Amin Widjaja. 2008. Outsourcing Konsep dan Kasus. Harvarindo. Jakarta. hal 11
36
Sementara menurut Libertus Jehani:
Outsourcing adalah penyerahan pekerjaan tertentu suatu perusahaan kepada
pihak ketiga yang dilakukan dengan tujuan untuk membagi risiko dan
mengurangi beban perusahaan tersebut. Penyerahan pekerjaan tersebut
dilakukan atas dasar perjanjian kerjasama operasional antara perusahaan
pemberi kerja (principal) dengan perusahaan penerima pekerjaan (perusahaan
outsourcing).39
Amin Widjaja, mengutip pendapat Mason A. Carpenter dan Wm. Gerald
Sanders, memberikan pengertian mengenaikonsep outsourcing sebagai berikut:
a. Outsourcing is activity performed for a company by people other than its
full-time employees. (Outsourcing adalah aktivitas yang dilakukan untuk
suatu perusahaan oleh orang-orang selain para karyawan yang bekerja
penuh-waktu)
b. Outsourcing is contracting with external suppliers to perform certain parts
of a company’s normal value chain of activities. Value chain is total
primary and support value-adding activites by which a firm produce,
distribute, and market a product. (Outsourcing merupakan kontrak kerja
dengan penyedia/pemasok luar untuk mengerjakan bagian-bagian tertentu
dari nilai rantai aktivitas-aktivitas normal perusahaan. Rantai nilai
merupakan aktivitas-aktivitas primer total dan pendukung tambahan nilai
di mana perusahaan menghasilkan, mendistribusikan dan memasarkan
suatu produk).40
Terdapat perbedaan pengertian antara pemborongan pekerjaan dalam
KUHPerdata dengan pemborongan pekerjaan dalan UU No. 13 Tahun 2003,
dalam KUH Perdata semata-mata pemborongan dengan obyek pekerjaan tertentu
sedangkan dalam UU No. 13 Tahun 2003 selain mengatur pemborongan
pekerjaan juga mengatur penyediaan jasa pekerja/buruh untuk melaksanakan
pekerjaan tertentu. Outsourcing juga berbeda dengan kontrak kerja biasa. Kontrak
kerja biasa umumnya sekedar menyerahkan pekerjaan tertentu kepada pihak
ketiga untuk jangka pendek dan tidak diikuti dengan transfer sumber daya
manusia, peralatan atau asset perusahaan. Sedangkan dalam outsourcing,
39
40
Libertus Jehani. 2008. Hak-Hak Karyawan Kontrak. Forum Sahabat. Jakarta. hal.1
Ibid, hal 12.
33
kerjasama yang diharapkan adalah untuk jangka panjang (long term) sehingga
selalu diikuti dengan transfer sumberdaya manusia, peralatan atau asset
perusahaan.41
Dalam praktik outsourcing terdapat tiga pihak yang melakukan hubungan
hukum, yaitu pihak perusahaan pemberi kerja, pihak perusahaan penerima
pekerjaan atau penyedia jasa tenaga kerja dan pihak pekerja/buruh, dimana
hubungan hukum pekerja/buruh bukan dengan perusahaan principal tetapi dengan
perusahaan penerima pekerjaan. Penentuan sifat dan jenis pekerjaan tertentu yang
dapat di-outsource merupakan hal yang prinsip dalam praktik outsourcing, karena
hanya sifat dan jenis atau kegiatan penunjang perusahaan saja yang boleh dioutsource, outsourcing tidak boleh dilakukan untuk sifat dan jenis kegiatan
pokok.
Konsep dan pengertian usaha pokok atau (core business) dan kegiatan
penunjang atau (non core business) adalah konsep yang berubah dan
berkembangsecara dinamis. Pan Mohamad Fais, mengutip pendapat Alexander
dan Young, mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan
core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah:
a. Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.
b. Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.
c. Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun
di waktu yang akan datang.
d. Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi,
atau peremajaan kembali.42
41
Sehat Damanik, 2006. Outsourcing & Perjanjian Kerja menurut UU. No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. DSS Publishing. Jakarta, hal. 38
42
Pan Mohamad Fais. Jurnal Hukum, Outsourcing (Alih Daya) dan Pengelolaan Tenaga
Kerja di Perusaahaan. Diaksese melalui http//www.makeproverty history.org. Pada tanggal 10
Juni 2011
38
Ketetapan akan sifat dan jenis pekerjaan penunjang perusahaan secara
keseluruhan saja yang boleh di-outsource ini berlaku dalam dua jenis outsourcing,
baik pemborongan pekerjaan maupun penyediaan jasa pekerja/buruh.
3. Manfaat Outsourcing
Kecenderungan beberapa perusahan untuk mempekerjakan karyawan
dengan sistem outsourcing pada saat ini, umumnya dilatarbelakangi oleh strategi
perusahan untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production) Dengan
menggunakan sistem outsourcing pihak perusahaan berusaha untuk menghemat
pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di
perusahaan yang bersangkutan.43
Bagi perusahaan-perusahaan besar, outsourcing sangat bermanfaat untuk
meningkatkan keluwesan dan kreativitas usahanya dalam rangka meningkatkan
fokus bisnis, menekan biaya produksi, menciptakan produk unggul yang
berkualitas, mempercepat pelayanan dalam memenuhi tuntutan pasar yang
semakin kompetitif serta membagi resiko usaha dalam berbagai masalah termasuk
ketenagakerjaan. Dengan outsourcing memberi peluang kepada pengusaha untuk
melakukan efisiensi dan menghindari risiko/ekonomis seperti beban yang
berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. Untuk memperoleh keunggulan
kompetitif, ada dua hal yang dilakukan oleh pengusaha berkaitan dengan
ketenagakerjaan, yakni melakukan hubungan kerja dengan pekerja melalui
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan melakukan Outsourcing.44
43
44
Adrian Sutedi. 2009. Op.Cit. hal 217.
Sehat Damanik. 2006. Op. Cit .hal. 19
35
Menurut Sehat Damanik, alasan perusahaan melakukan outsourcing, yaitu:
a. Meningkatkan fokus perusahaan;
b. Memanfaatkan kemampuan kelas dunia;
d. Mempercepat keuntungan yang diperoleh dari reengineering;
d. Membagi resiko;
e. Sumber daya sendiri dapat dipergunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lain;
f. Memungkinkan tersedianya dana kapital;
g. Menciptakan dana segar;
h. Mengurangi dan mengendalikan biaya operasi;
i. Memperoleh sumber daya yang tidak dimiliki sendiri;
j. Memecahkan masalah yang sulit dikendalikan atau dikelola.45
Manfaat outsourcing bagi masyarakat adalah untuk perluasan kesempatan
kerja, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Iftida Yasar, Wakil Sekretaris Jenderal
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), yang mengatakan:
Bisnis outsourcing cukup menjanjikan karena di negara lain kontribusinya
cukup besar, outsourcing sebagai salah satu solusi dalam menanggulangi
bertambahnya jumlah pengangguran di Indonesia, Outsourcing bisa jadi salah
satu solusi dari perluasan kesempatan kerja, jadi apapun bentuk outsourcing
tersebut selama memberikan hak karyawan sesuai aturan maka akan
membantu menyelamatkan pekerja yang kena pemutusan hubungan kerja
(PHK).46
Bagi pemerintah, pelaksanaan outsourcing memberikan manfaat untuk
mengembangkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dan
pertumbuhan ekonomi nasional melalui pengembangan kegiatan usaha kecil
menengah dan koperasi. Keberadaan Perusahaan yang bergerak pada bidang
outsourcing besar secara tidak langsung telah membantu Pemerintah dalam
mengatasi pengangguran (menyerap tenaga kerja) dengan menciptakan lapangan
pekerjaan baik bagi diri mereka sendiri maupun orang lain, mendorong kegiatan
ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat.47
Ibid. Hal.38.
Iftida Yasar. 2009. Tekan PHK Dengan Bisnis Outsourcing. Diakses melalui
http//www.google.co.id// pada tanggal 5 Juni 2011.
47
Sehat Damanik. 2006. Op. Cit. hal.46.
45
46
40
4. Kompleksitas Outsourcing
Legalisasi sistem outsourcing di Indonesia banyak mendapatkan kritikan
dari beberapa praktisi hukum ketenagakerjaan. Menurut Pan Mohamad Faiz,
secara garis besar permasalahan hukum yang terkait dengan penerapan
outsourcing di Indonesia sebagai berikut:
a. Bagaimana perusahaan melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama
(core business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness)
yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (alih daya)?
b. Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing (alih daya)
dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing?
d. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bila ada karyawan
outsource yang melanggar aturan kerja pada lokasi perusahaan pemberi
kerja?48
Kompleksitas outsourcing mengandung dimensi ekonomis, sosial
kesejahteraan dan sosial-politik. Dari segi dimensi ekonomis karena mencakup
kebutuhan pasar kerja, perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan daya beli masyarakat serta pertumbuhan dunia usaha. Dari segi sosial
kesejahteraan karena mencakup masalah pengupahan dan jaminan sosial,
penetapan upah minimum, hubungan kerja, syarat-syarat kerja, perlindungan
tenaga kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, penyelesaian perselisihan,
kebebasan berserikat dan hubungan industrial serta peningkatan produktivitas
perusahaan. Dalam praktiknya seringkali terjadi diskriminasi upah antara pekerja
tetap yang bekerja pada perusahaan principal dengan pekerja/buruh outourcing
(umumnya pekerja kontrak). Dengan sistem kerja kontrak, kelangsungan kerja
pekerja perusahaan outsourcing tidak terjamin. Sedangkan dari segi sosial-politik
menyangkut penanggulangan pengangguran dan kemiskinan, keseimbangan
Pan Mohamad Fais. Jurnal Hukum, Outsourcing (Alih Daya) dan Pengelolaan Tenaga
Kerja di Perusaahaan. Diaksese melalui http//www.makeproverty history.org. Pada tanggal 10
Juni 2011
48
37
investasi, pembinaan hubungan industrial, peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan, penegakan hukum dan ketersediaan serta kesiapan aparatur.49
E. Pengawasan Ketenagakerjaan
Penegakan hukum ketenagakerjaan dilaksanakan oleh Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan sebagai aparatur negara yang bertanggungjawab untuk mengawasi
penerapan hukum ketenagakerjaan. Hal ini tertuang dalam Pasal 176 UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan:
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin
pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerj aan.
Adapun maksud diadakannya pengawasan ketenagakerjaan, menurut Hari
Supriyanto, adalah sebagai berikut:
1. Mengawasi berlakunya undang-undang dan peraturan perburuhan pada
khususnya;
2. Mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan
keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat undangundang dan peraturan-peraturan perburuhan;
3. Menjalankan pekerjaan lain-lainnya yang diserahkan kepadanya dengan
undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya.50
Lalu Husni di pihak lain berpendapat sebagai berikut:
Pengawasan ketenagakerjaan dimaksudkan untuk mendidik agar pengusaha
selalu tunduk menjalankan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku sehingga
akan dapat menjamin keamanan dan kestabilan pelaksanaan hubungan kerja,
karena seringkali perselisihan ketenagakerjaan diebabkan oleh pengusaha tidak
memberikan perlindungan hukum kepada pekerjanya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Di samping itu, pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan akan
menjamin pelaksanaan peratura-peraturan ketenagakerjaan di semua perusahaan
secara sama, sehingga akan menjamin tidak terjadinya persaingan yang tidak
sehat.51
Libertus Jehani. 2008. Hak-Hak Karyawan Kontrak. Forum Sahabat. Jakarta.hal.3.
Hari Supriyanto. 2004. Op Cit., hal. 44
51
Lalu Husni. 2003. Op. Cit. hal. 120
49
50
42
Tugas dan fungsi pengawas ketenagakerjaan menurut Djoko Triyanto, adalah:
1. Mengawasi pelaksanaan semua peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerj aan;
2. Memberikan informasi, peringatan dan nasehat teknis kepada pengusaha dan
tenaga kerja dalam menj alankan peraturan perundangundangan
ketenagakerjaan agar dapat berjalan dengan baik, dan
3. Melaporkan dan melakukan penyidikan berkaitan pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan pengusaha terhadap pelaksanaan peraturan perundangundangan ketenagakerjaan kepada yang lebih berwenang, setelah diberikan
peringatan beberapa kali.52
F. Perlindungan Hukum Pekerja
1. Makna Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar
yang bertuj uan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan
kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi. Hal ini sebagaimana dikatakan
oleh Sanadianto sebagai berikut:
Definisi dari perlindungan hukum itu sendiri yaitu segala daya upaya yang
dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta
yang bertuj uan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan
kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. Pada prinsipnya
perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita,
Sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam
Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen) diantaranya menyatakan prinsip
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan
Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Elemen pokok
negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap “fundamental
rights” (tiada negara hukum tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap
“fundamental rights”.53
52
Djoko Triyanto. 2004. Hubungan Kerja di Perusahaan Jasa Konstruksi. Mandar Maju.
Bandung, hal. 159
53
Sanadianto. 2008. Tinjauan Umum Perlindungan Hukum. Diakses melalui
http://one.indoskripsi.com/tinjauan-umum-perlindungaan-hukum. Pada tanggal 20 Juli 2011
43
Perlindungan hukum berarti perlindungan menurut hukum dan undangundang yang berlaku, dengan asumsi bahwa tidak ada orang yang mutlak salah
dan tidak ada orang yang mutlak benar, sehingga seseorang yang dituduh bersalah
maka orang itu harus diperiksa dan diadili sesuai hukum dan undang-undang yang
berlaku. Barita Tambunan dalam hal ini mengatakan sebagai berikut:
Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yaitu “perlindungan” dan
“hukum”. Artinya, perlindungan menurut hukum dan undang-undang yang
berlaku. Bahwa pada hakekatnya tidak ada orang yang mutlak salah dan tidak
ada orang yang mutlak benar. Apabila seseorang dituduh bersalah maka orang
yang dituduh bersalah itu harus diperiksa dan diadili sesuai hukum dan
undang-undang yang berlaku. Apabila seseorang yang dituduh bersalah akan
tetapi diperiksa dan diadili tidak sesuai hukum dan undang-undang yang
berlaku maka apa bedanya orang yang memeriksa dan mengadili dengan
orang yang dituduh bersalah itu.54
Erwin Yuniatiningsih di pihak lain mengemukakan pendapatnya mengenai
pengertian perlindungan hukum sebagai berikut:
Perlindungan hukum adalah melindungi hak setiap orang untuk
mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undangundang, maka oleh karena itu untuk setiap pelanggaran hukum yang
dituduhkan padanya serta dampak yang diderita olehnya ia berhak pula untuk
mendapat hukum yang diperlukan sesuai dengan asas hukum.55
Harjono memberikan pendapatnya mengenai perlindungan hukum sebagai
berikut:
Batasan-batasan mengenai “perlindungan hukum” sulit ditemukan, hal ini
mungkin didasari pemikiran bahwa orang telah dianggap tahu secara umum
apa yang dimaksud dengan perlindungan hukum sehingga tidak diperlukan
lagi sebuah konsep tentang apa yang dimaksud “perlindungan hukum”.
Barita Tambunan. 2008. Pengertian Perlindungan Hukum : Tanya Jawab. Diakses
melal ui http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080318051947AAf1sB0 Pada tanggal
20 Juli 2011
55
Erwin Yuniatini ngsih. 2007. Kebutuhan Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban
Tindak Pidana Perkosaan di Indonesia. Diakses melal ui:
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browsedanop=readdanid=jiptumm-gdl-s1-2002-erwin-486954
pidanadanq=Nasional. Pada tanggal 20 Juli 2011
hal .13.
45
Konsekuensi dari tidak adanya konsep tersebut akhirnya menimbulkan
keragaman dalam pemberian maknanya, padahal perlindungan hukum selalu
menjadi tema pokok dalam setiap kajian hukum.56
Harjono lebih lanjut menjelaskan sebagai berikut:
Padanan kata perlindungan hukum dalam bahasa Inggris adalah “legal
protection”, dalam bahasa Belanda “rechtsbecherming”. Kedua istilah
tersebut juga mengandung konsep atau pengertian hukum yang berbeda
untuk memberi makna sesungguhnya dari perlindungan hukum.
Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan
menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh
hukum, ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan
tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi
tersebut ke dalam sebuah hak hukum.57
Berdasarkan batasan tersebut jelaslah bahwa konsep-konsep umum dari
perlindungan hukum adalah perlindungan dan hukum. Perlindungan hukum terdiri
dari dua suku kata, yaitu “perlindungan” dan “hukum”, artinya perlindungan
menurut hukum dan undang-undang yang berlaku.
Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan
menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum,
ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu
dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam
sebuah hak hukum. Dalam ilmu hukum “Hak” disebut juga hukum subyektif,
Hukum subyektif merupakan segi aktif dari pada hubungan hukum yang diberikan
oleh hukum obyektif (norma-norma, kaidah, recht). Perlindungan hukum selalu
terkait dengan peran dan fungsi hukum sebagai pengatur dan pelindung
kepentingan masyarakat. Bronislaw Malinowski mengatakan Bahwa hukum tidak
hanya berperan di dalam keadaan-keadaan yang penuh kekerasan dan
pertentangan, akan tetapi bahwa hukum juga berperan pada aktivitas sehari-hari.58
Harjono. 2008. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa. Penerbit Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Jakarta, hal. 373.
57
Ibid, hal. 357.
58
Soeroso. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan Kedelapan. Sinar Grafika. Jakarta..
56
46
Hukum menentukan kepentingan-kepentingan masyarakat yang dapat
ditingkatkan menjadi hak-hak hukum yang dapat dipaksakan pemenuhannya. Hak
diberikan kepada pendukung hak yang sering dikenal dengan entitas hukum (legal
entities, rechtspersoon) yang dapat berupa orang-perorangan secara kodrati
(naturlijke) dan dapat juga entitas hukum nir kodrati yaitu entitas hukum atas
hasil rekaan hukum.59
Menurut Marmi Emmy Mustafa, mengutip pendapat Roscoe Pound,
terdapat 3 (tiga) penggolongan kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum,
yaitu:
Pertama; menyangkut kepentingan pribadi (individual interest), kedua;
yang menyangkut kepentingan masyarakat (sosial interest), dan ketiga;
menyangkut kepentingan umum (publik interest).60
Kepentingan individu (individu interest) ini terdiri dari kepentingan pribadi,
sedangkan kepentingan kemasyarakatan (sosial interst) terdiri dari keamanan
sosial, keamanan atas lembaga-lembaga sosial, kesusilaan umum, perlindungan
atas sumber-sumber sosial dari kepunahan, perkembangan sosial, dan kehidupan
manusia. Adapun kepentingan publik (publik interst) berupa kepentingan negara
dalam bertindak sebagai representasi dari kepentingan masyarakat.61
Berkaitan dengan peran hukum sebagai alat untuk memberikan
perlindungan dan fungsi hukum untuk mengatur pergaulan serta menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat, Soerjono Soekanto, mengutip
pendapat Bohannan yang terkenal dengan konsepsi reinstitutionalization of norm,
menyatakan bahwa:
Harjono. 2008. Op.Cit. hal.377.
Marmi Emmy Mustafa. 2007. Prinsif-Prinsif Beracara Dalam Penegakan Hukum Paten
di Indonesia Dikatikan Dengan TRiPs- WTO. Alumni, Bandung. hal. 58.
59
60
47
61
Ibid.
48
Suatu lembaga hukum merupakan alat yang dipergunakan oleh wargawarga suatu masyarakat untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang
terjadi dan untuk mencegah terjadinya penyalah-gunaan daripada aturanaturan yang terhimpun di dalam pelbagai lembaga kemasyarakatan. Setiap
masyarakat mempunyai lembaga-lembaga hukum dalam arti ini, dan juga
lembaga-lembaga non-hukum lainnya.62
Selanjutnya Soerjono Soekanto, mengatakan bahwa:
Lembaga hukum memberikan ketentuanketentuan tentang cara-cara
menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang timbul di dalam hubungannya
dengan tugas-tugas lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya”. Cara-cara
menyelesaikan perselisihan yang timbul inilah yang kemudian dinamakan
upaya hukum. Upaya hukum diperlukan agar kepentingan-kepentingan yang
telah menjadi hak benar-benar dapat terjaga dari gangguan pihak lain.63
2. Makna Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan
Kontradiksi antar kepentingan yang berbeda antara pekerj a/buruh dengan
pengusaha, menuntut campur tangan pemerintah untuk melakukan perlindungan
hukum terhadap tenaga kerja. Hal ini tertuang dalam Pasal 4 huruf c UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa:
Tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan
kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.
Menurut Senjun H. Manulang, sebagaimana dikutip oleh Hari Supriyanto,
tujuan hukum perburuhan adalah:
a. Untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam bidang
ketenagakerj aan;
b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tak terbatas dari
pengusaha, misalnya dengan membuat perjanjian atau menciptakan
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa agar pengusaha tidak bertindak
sewenang-wenang terhadap tenaga kerja sebagai pihak yang lemah.64
Soerjono Soekanto. 1983. Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka
Pembangunan Di Indonesia. UI Press. Jakarta. hal .15.
63
Ibid.
64
Hari Supriyanto. 2004. Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik, Studi Hukum
Perburuhan di Indonesia, Penerbit: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hal. 19
62
49
Hari Supriyanto lebih lanjut menjelaskan tentang pentingnya perlindungan
hukum bagi pekerja/buruh sebagai berikut:
Perlindungan hukum bagi pekerja/buruh diberikan mengingat adanya
hubungan diperatas (dienstverhoeding) antara pekerja/buruh dengan
pengusaha, dienstverhoeding menj adikan pekerj a/buruh sebagai pihak yang
lemah dan termarjinalkan dalam hubungan kerja. ”kelompok yang
termarjinalkan tersebut sebagian besar dapat dikenali dari parameter
kehidupan ekonomi mereka yang sangat rendah, meskipun tidak secara
keseluruhan marj inal isasi tersebut berimplikasi ekonomi .65
Kedudukan pekerja pada hakikatnya dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari
segi yuridis dan dari segi sosial ekonomis. Dari segi sosial ekonomis, pekerja
membutuhkan perlindungan hukum dari negara atas kemungkinan adanya
tindakan sewenang-wenang dari pengusaha.66 Bentuk perlindungan yang
diberikan pemerintah adalah dengan membuat peraturan-peraturan yang mengikat
pekerja/buruh dan majikan, mengadakan pembinaan, serta melaksanakan proses
hubungan industrial. H ubungan industrial pada dasarnya adalah proses terbinanya
komunikasi, konsultasi musyawarah serta berunding dan ditopang oleh
kemampuan dan komitmen yang tinggi dari semua elemen yang ada di dalam
perusahaan.67
Secara yuridis berdasarkan Pasal 27 UUD 1945 kedudukan pekerja/buruh
sama dengan majikan/pengusaha, namun secara sosial ekonomis kedudukan
keduanya tidak sama, dimana kedudukan majikan lebih tinggi dari pekerja/buruh.
Kedudukan tinggi rendah dalam hubungan kerja ini mengakibatkan adanya
hubungan diperatas (dienstverhoeding), sehingga menimbulkan kecenderungan
pihak majikan/pengusaha untuk berbuat sewenang -wenang kepada
pekerj a/buruhnya.
65
Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik, Studi Hukum Perburuhan di Indonesia,
Penerbit: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. hal. 270.
66
Asri Wij ayanti. 2009. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Si nar Grafi ka. Jakarta.
hal. 8
67
Adrian Sutedi. 2009. Op. Cit. hal. 23
50
Perlindungan tenaga kerja menurut Abdul Khakim dibagi menjadi 3 (tiga)
macam, yaitu sebagai berikut:
a. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja
di luar kehendaknya.
b. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan
kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk
berorganisasi.
c. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
keamanan dan keselamatan kerj a.68
Perlindungan terhadap pekerja/buruh dimaksudkan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan
serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha. Menurut Adrian Sutedi:
Hanya ada dua cara melindungi pekerja/buruh. Pertama, melalui undangundang perburuhan. Melalui undang-undang buruhakan terlindungi secara
hukum, mulai dari jaminan negara memberikan pekerjaan yang layak,
melindunginya di tempat kerja (kesehatan, keselamatan kerja, dan upah layak)
sampai dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun. Kedua, melalui
serikat pekerja/serikat buruh. Sekalipun undang-undang perburuhan bagus,
tetapi buruh tetap memerlukan kehadiran serikat pekerja/serikat buruh untuk
pembuatan perjanjian kerja bersama (PKB). PKB adalah sebuah dokumen
perjanjian bersama antara pengusaha dan pekerja yang berisi hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Hanya melalui serikat pekerja/serikat
buruhlah, bukan melalui LSM atau partai politik, bisa berunding untuk
mendapatkan hak-hak tambahan (di luar ketentuan undang-undang) untuk
menambah kesejahteraan pekerj a.69
Berbicara mengenai hak pekerja/buruh berarti membicarakan hak-hak asasi,
maupun hak yang bukan asasi. Hak asasi adalah hak yang melekat pada diri
pekerja/buruh itu sendiri yang dibawa sejak lahir dan jika hak tersebut
terlepas/terpisah dari diri pekerja itu akan menjadi turun derajad dan harkatnya
sebagai manusia. Sedangkan hak yang bukan asasi berupa hak pekerja/buruh yang
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sifatnya non asasi.
68
69
Abdul Khakim. 2003. Op. Cit. hal. 62
Adrian Sutedi. 2009. Op. Cit. hal. 13.
51
3. Penegakan Hukum
Proses penegakan hukum merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka
mewujudkan ide-ide atau konsep yang abstrak menjadi kenyataan, usaha untuk
mewujudkan idea atau nilai selalu melibatkan lingkungan serta berbagai pengaruh
faktor lainnya.70 Oleh karena itu apabila hendak menegakkan hukum, maka
hukum harus dipandang sebagai satu kesatuan sistem. Menurut Lawrence M.
Friedman sebagaimana dikutip Esmi Warassih, hukum itu merupakan gabungan
antara komponen struktur, substansi dan kultur.71
Friedman, sebagaimana dikutip oleh Natabaya, menyatakan sebagai berikut:
Oleh Friedman struktur hukum diibaratkan seperti mesin, substansi
diibaratkan sebagai apa yang dihasilkan atau yang dikerjakan oleh me sin, dan
kultur atau budaya hukum adalah siapa saja yang memutuskan untuk
menghidupkan atau mematikan mesin itu. Satu saja komponen pendukung
tidak berfungsi niscaya sistem mengalami disfunction (pincang)72
Kepincangan-kepincangan dalam penegakan hukum ketenagakerjaan
memang bermula dari tidak berfungsinya sistem hukum ketenagakerjaan, yang
berimplikasi pada kompleksitas masalah ketenagakerjaan.
a. Sistem Penegakan Hukum
Menurut Satjipto Rahardjo, sebagaimana dikutip Nyoman Serikat Putra
Jaya, penegakan hukum adalah:
Suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konnsef menjadi
kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut keinginankeinginan hukum di sini adalah pikiran-pikiran pembuat undang-undang
yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.73
Esmi Warassih. 2005 Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Editor: Karolus
Kopong Medan dan Mahmutarom, HR. PT. Suryandaru Utama, Semarang, hal. 78.
71
Ibid, hal. 30
72
Natabaya. 2006. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Sekjen dan
Kepaniteraan MK. RI. Jakarta, hal. 23.
73
Nyoman Serikat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum
Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung hal. 134
70
46
Agar hukum berfungsi dengan baik, hukum harus memenuhi 3 (tiga) macam
kelakuan hukum, yaitu:
Pertama, Hal berlakunya secara yuridis dimana penentuannya
berdasarkan kaedah yang lebih tinggi (ini didasarkan pada teori “Stufenbau”
nya Kelsen), kaedah hukum itu terbentuk menurut cara yang telah
ditetapkan, dan menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan
akibatnya. Kedua, hal berlakunya hukum secara filosofis, artinya bahwa
hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang
tertinggi. Ketiga, Hal berlakunya hukum secara sosiologis, yang berintikan
pada efektivitas hukum. Perihal ini ada dua teori yang menyatakan sebagai
berikut:
1) Teori kekuasaan yang pada pokoknya menyatakan, bahwa hukum
berlaku secara sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa,
terlepas apakah masyarakat menerima atau menolaknya.
2) Teori pengakuan yang berpokok pangkal pada pendirian, bahwa
berlakunya hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh
mereka kepada siapa hukum tadi tertuju.
Tiga macam kelakuan hukum tersebut merupakan satu kesatuan dalam
sistem hukum, sebab apabila salah satu tidak terpenuhi maka akan terdapat
kepincangan-kepincangan. Apabila hukum hanya mempunyai kekuatan
yuridis, maka ada kemungkinan bahwa hukum tadi hanya merupakan
kaedah yang mati (dode regel), jika kaedah hukum hanya mempunyai
kelakuan sosiologis dalam arti teori kekuasan, maka hukum tersebut
menjadi aturan pemaksa, dan apabila suatu kaedah hukum hanya
mempunyai kelakuan folosofis, maka hukum tersebut hanya berupa anganangan. 74
Menurut Soerjono Soekanto ada empat faktor yang saling berkaitan dan
merupakan inti dari sistem penegakan hukum, ke empat faktor tersebut adalah:
1) Hukum atau peraturan itu sendiri. Kemungkinannya adalah bahwa terjadi
ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidangbidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidak cocokan
antara peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau
hukum kebiasaaan. Kadangkala ada ketidak serasian antara hukum
tercatat dengan hukum kebiasaaan, dan seterusnya.
2) Mentalitas petugas yang menegakkan hukum. Penegak hukum antara lain
mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan
seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik, akan
tetapi mental penegak hukum kurang baik, maka akan terj adi gangguan
pada sistem penegakan hukum.
74
Soerj ono Soekanto. 1983. Op. Cit. hal .35.
53
3) Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum. Kalau
peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas
penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai (dalam ukuranukuran tertentu), maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan
semestinya.
4) Kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan perilaku warga masyarakat.75
b. Peran Administrasi Negara
Supremasi hukum merupakan salah satu aspek daripada kedaulatan suatu
negara untuk menerapkan kaedah-kaedah tertentu terhadap warga negara. Hal
ini terkait dengan keadaan politik yang memberikan corak dan bentuk pada
pelaksanaan rule of law tersebut. Soejono Soekanto mengatakan:
Suatu sistem politik merupakan suatu mekanisme untuk mengidentifisir
serta mengemukakan masalah-masalah, serta merupakan pembentukan dan
pengaturan pengambilan keputusan dalam masalah-masalah publik. Apabila
mekanisme tadi bersifat syah dan resmi, maka namanya adalah pemerintah.
Jadi disatu pihak pemerintah menyediakan suatu mekanisme yang resmi dan
berwenang untuk mengambil keputusan-keputusan, sedangkan dilain pihak
pemerintah menyediakan fasilitas-fasilitas untuk memberikan dasar-dasar
bagi syahnya pengambilan keputusankeputusan tadi. Dengan demikian dari
sudut sistem politik, maka suatu kaedah mempunyai sifat hukum oleh
karena kaedah itu dipertahankan oleh negara, dalam hal ini oleh pejabatpejabatnya.76
Apa sebabnya pemerintah sering memandang perlu bercampur tangan
dengan pemeliharaan kepentingan umum. Selekasnya ada keperluan yang
harus dipenuhi, karena orang-orang yang bertabiat aktif dan mempunyai cara
berpikir yang konstruktif akan berusaha untuk memenuhi keperluan itu. Dan
akan mengambil keuntungan dari usahanya.77
Ibid. hal. 36.
Ibid. hal.78.
77
A.Siti Soetami. 2000. Hukum Administrasi Negara. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Semarang. hal 35.
75
76
54
Campur tangan negara dalam pemeliharaan kepentingan umum
menjadikan peran pemerintah kemudian menjadi semakin luas, menurut
Utrecht:
Sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan kemasyarakatan,
maka lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas. Dalam
melakukan fungsinya, maka administrasi negara melakukan bermacammacam perbuatan untuk menyelenggarakan kepentingan umum.78
Perbuat an adm i ni st rasi negara yang d i sebut j uga best urs
handeling/overheids handeling adalah perbuatan yang dilakukan oleh alat
perlengkapan pemerintah/penguasa dalam tingkat tinggi dan rendahan secara
spontan dan mandiri (zelfstanding) untuk pemeliharaan kepentingan negara dan
rakyat.79
Besturs handeling/ overheids handeling di bidang ketenagakerjaan,
adalah perbuatan administrasi negara dalam fungsinya:
1) sebagai stabilisator dan dinamisator dalam pelaksanaan hubungan kerja;
2) sebagai penengah dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
3) bersama semua pihak menciptakan ketenangan kerja dan keamanan di
perusahaan;
4) mendorong tumbuh kembangnya perusahaan sebagai partner pemerintah;
5) mengadakan pengawasan terhadap jalannya perusahaan dan pelaksanaan
peraturan yang berlaku, sekaligus memberikan teguran pada pelanggaran
yang telah dilakukan, dan apabila masih tidak diindahkan maka
selanjutnya dapat memberikan suatu tindakan konkret berupa pencabutan
izin atau penutupan perusahaan.80
78
Utrecht. 1986. Pengantar Hukum Administrasi Negara. Pustaka Tinta Mas. Surabaya.
hal 28.
79
Diana Halim Koentjoro. 2004. Hukum Administrasi Negara. Ghalia Indonesia.
Jakarta. hal 55
80
Soedarjadi. 2009. Hak dan Kewajiban Pekerja-Pengusaha. Pustaka Yustisia.
Yogyakarta. hal 16
55
Meskipun hubungan hukum antara pekerja/buruh dengan pengusaha
timbul karena Perjanjian Kerja yang bersifat Keperdataan, namun karena
dalam prakteknya sering terjadi kepincangan-kepincangan yang disebabkan
perbedaan status/kedudukan para pihak, mengakibatkan dalam hubungan kerja
itu terjadi hubungan tinggi rendah, sehingga pekerja/buruh tidak bebas pada
saat menentukan isi perjanjian kerja. Pekerja/buruh menjadi pihak yang
termarjinalkan dan kadangkala terjadi tindakan sewenang-wenang dari
pengusaha terhadap mereka. Untuk menjaga keseimbangan kepentingan antara
pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah kemudian menyusun kebijakan
dalam rangka membatasi perilaku para pihak dalam hubungan kerja, termasuk
memberikan perlindungan hukum bagi pekerja/buruh dengan mengeluarkan
produk perundang-undangan dan membentuk perangkat administrasi negara
untuk mengadakan pengawasan di bidang ketenagakerjaan. Sejak pemerintah
masuk dalam ranah hukum ketenagakerjaan maka sejak itu pula hukum
ketenagakerjaan yang semula bersifat privat menjadi hukum publik.
c. Fungsi Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 32 UU No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, bahwa konsep pengawasan ketenagakerjaan adalah:
Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan
menegakkan pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang
ketenagakerjaan.
Selanjutnya dalam Pasal 176 disebutkan bahwa:
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna
menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
56
Pengawasan ketenagakerjaan merupakan sistem dengan mekanisme yang
efektif dan vital dalam menjamin efektivitas penegakan hukum
ketenagakerjaan dan penerapan peraturan perundang -undangan
ketenagakerjaan dalam rangka menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban bagi pengusaha dan pekerja/buruh, menjaga kelangsungan usaha
dan ketenangan kerja, meningkatkan produktivitas kerja serta melindungi
pekerja/buruh. Abdul Khakim mengatakan:
Pengawasan Ketenagakerjaan berfungsi untuk meniadakan atau
memperkecil pelanggaran terhadap norma kerja dan norma Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3) sehingga proses hubungan industrial dapat
berjalan dengan baik dan harmonis. Pengawasan ketenagakerjaan
merupakan unsur penting dalam perlindungan tenaga kerja, sekaligus
sebagai upaya penegakan hukum ketenagakerjaan secara menyeluruh karena
kondisi persyaratan kerja bagi pekerja/buruh belum dapat dikatakan cukup
hanya dengan penetapan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan,
agar hukum ketenagakerjaan dipatuhi maka perlu eksistensi dan peran aktif
dari petugas pengawas ketenagakerjaan.81
Abdul Khakim, mengutip pendapat Sendjun H. Manulang, fungsi
pengawasan ketenagakerjaan adalah:
1) Mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
2) Memberikan penerangan teknis dan nasihat kepada pengusaha dan
tenaga kerja agar tercapai pelaksanaan Undang-Undang Ketenagakerjaan
secara efektif.
3) Melaporkan kepada pihak berwenang atas kecurangan dan
penyelewengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.82
Selanjutnya Abdul Khakim mengatakan bahwa secara operasional pengawasan
ketenagakerjaan meliputi:
1) Sosialisasi Norma Ketenagakerjaan, untuk meningkatkan pemahaman
norma kerja bagi masyarakat industri, sehingga tumbuh persepsi positif
dan m endorong kesadaran untuk m elaksanakan ketentuan
ketenagakerjaan secara proporsional dan bertanggungjawab.
81
82
Abdul Khakim. 2003. Op.Cit. hal.123.
Ibid. hal.125.
57
2) Tahapan Pelaksanaan Pengawasan.
a) Upaya pembinaan (preventif educative), yang ditempuh dengan
memberikan penyuluhan kepada masyarakat industri, penyebarluasan
informasi ketenagakerjaan, pelayanan konsultasi dan lain-lain.
b) Tindakan refresif non yustisial, yang ditempuh dengan memberikan
peringatan secara lisan pada saat pemeriksaaan, maupun peringatan
secara tertulis melalui nota pemeriksaan kepada pimpinan perusahaan
apabila ditemui pelanggaran.
c) Tindakan refresif yustisial, sebagai alternatif terakhir dan dilakukan
elalui lembaga peradilan. Upaya ini ditempuh apabila Pegawai
Pengawas sudah melakukan pembinaan dan memberikan peringatan,
tetapi pengusaha tetap tidak mengindahkan maksud pembinaan
tersebut. Dengan demikian Pegawai Pengawas dapat melanjutkan
tindakan tahap penegakan hukum melalui Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) Ketenagakerjaan agar dilakukan penyidikan dan
menindaklanjuti sesuai prosedur hukum yang berlaku (KUHP).83
Pelaksanaan fungsi pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh Pegawai
Pengawas Ketenagakerjaan sebagai aparatur negara. Victor M. Situmorang dan
Jusuf Juhir mengatakan:
Secara etimologi, istilah aparatur berasal dari kata aparat yakni alat,
badan, instansi, pegawai negeri. Sedangkan aparatur disamakan artinya
dengan aparat tersebut di atas, yakni dapat diartikan sebagai alat Negara,
aparat pemerintah. Aparatur pemerintah adalah alat kelengkapan Negara
yang terutama meliputi bidang kelembagaan ketatalaksanaan dan
kepegawaian, yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan roda
pemerintahan sehari-hari. Dengan demikian pengertian aparatur tidak hanya
dikaitkan dengan orangnya, tetapi juga organisasi, fasilitas, ketentuan
pengaturan dan sebagainya.84
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagai aparatur penegak hukum
dapat menerima pengaduan dari pekerja/buruh termasuk pekerja/buruh
outsourcing, serta pengaduan dari SP/SB atau pengusaha terhadap setiap
peristiwa pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan selanjutnya dapat memproses pengaduan
Ibid.
Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir. 1994. Aspek Hukum Pengawasan Melekat
Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah. Rineka Cipta. Jakarta, hal. 83.
83
84
52
tersebut sesuai prosedur hukum yang berlaku. Berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 182 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, selain PPNS, kepada Pegawai
Pengawas Ketenagakerjaan dapat diberikan wewenang untuk:
a. melakukan pemeriksaaan atas kebenaran laporan serta keterangan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atas penyitaan bahan barang bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
g. memberhentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang
membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode adalah suatu cara untuk menemukan jawaban akan sesuatu hal. Cara
penemuan tersebut sudah tersusun dalam langkah-langkah tertentu yang sistematis.85
Metode menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cara kerja yang bersistem
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditentukan.86
Penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau
menguji kebenaran dari suatu pengetahuan. Menemukan berarti berusaha
memperoleh sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan. Mengembangkan
berarti mempeluas dan menggali lebih dalam sesuatu yang telah ada. Menguji
kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada masih atau menjadi diragukan
kebenarannya.87
Suatu penelitian perlu didukung oleh metode yang baik dan benar, agar
diperoleh hasil yang tepat dan dapat dipertanggunjawabkan kebenarannya. Dengan
kata lain metode harus ada dalam pelaksanaan penelitian. Penelitian hukum
merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode yang berupa cara
berpikir dan berbuat untuk persiapan penelitian, sistematika, dan pemikiran tertentu
yang mempelajari satu atau lebih gej ala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.
85
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. 1986. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). CV. Rajawali. Jakarta, hal. 1
86
W.J.S Poerwodarminto.. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka Jakarta.
hal. 87
87
Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta,
hal. 13-14
60
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif. Ronny Hanitijo Soemitro berpendapat sebagai berikut:
Pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan yang menggunakan
konsepsi legistis positivis. Konsepsi ini memandang hukum sebagai norma-norma
tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga dan pejabat yang berwenang,
selain itu konsepsi ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang
mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat dan
menganggap norma lain itu bukan sebagai norma hukum.88
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu suatu
penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan dari objek atau masalah
yang diteliti tanpa bermaksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang
bersifat umum.
C.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara, selain
itu juga dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Unsoed.
D.
Sumber Data
Data yang digunakan dalam penulisan hukum ini ada dua macam, yaitu data
sekunder dan data primer. Data primer digunakan sebagai data pendukung atau
pelengkap data sekunder. Kedua sumber data tersebut dijelaskan sebagai berikut:
60
Ibid, hal. 15
61
1. Data Sekunder
Data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier, dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri dari:
1) Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945
2) Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait dengan penelitian ini,
yaitu:
a) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
b) Kep.Menaketrans Nomor: Kep.101/Men/VI/2004 Tentang Tata Cara
Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
c) Kep.Menaketrans Nomor: Kep. 220/Men/X/2004 tentang Syarat-Syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, antara lain:
1) Pustaka di bidang hukum.
2) Artikel-artikel ilmiah, baik dari koran maupun internet,
3) Hasil penelitian yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti.
c) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa:
1) Kamus hukum
2) Ensiklopedia
2. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari obyek penelitian
yang berupa keterangan hasil wawancara.
62
E. Metode Pengumpulan Data
1. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi kepustakaan. Data
sekunder diolah dengan cara mengutip, menyadur tulisan baik yang berupa bukubuku, dokumen, karya ilmiah, maupun peraturan perundang-undangan.
2. Data Primer
Data primer digunakan sebagai data pendukung atau pelengkap data sekunder.
Data primer diperoleh dengan cara wawancara dengan para pihak yang terkait
dengan penelitian ini.
F. Metode Penyajian Data
Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara
sistematis. Sistematis di sini maksudnya adalah keseluruhan data sekunder dan data
primer yang diperoleh sebagai hasil penelitian akan dihubungkan satu dengan yang
lainnya sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan satu
kesatuan yang utuh.
G. Analisis Data
Seluruh data yang telah terkumpul secara lengkap dari hasil penelitian
kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif.
Normatif, karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan
yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif yaitu menghubungkan
paparan hasil penelitian yang tersistematis tersebut dengan yang didapat dari teori
hukum, postulat hukum, serta hukum positif, untuk dapat menjelaskan permasalahan
secara ilmiah dan bukan dalam bentuk angka-angka.89
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Data Sekunder
1.1. Dasar Hukum Outsourcing di Indonesia
1.1.1. Outsourcing Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
Praktik Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) dan
outsourcing merupakan wujud dari kebijakan Pasar Kerja Fleksibel
yang dimintakan kepada pemerintah Indonesia oleh IMF
(international Monetary Fund , World Bank dan ILO (International
Labour Organisation) sebagai syarat pemberian bantuan untuk
menangani krisis ekonomi 1997. Kebijakan Pasar Kerja Fleksibel
merupakan salah satu konsep kunci dari kebijakan perbaikan iklim
investasi yang juga disyaratkan oleh IMF dan dicantumkan dalam
Letter of Intent atau nota kesepakatan ke-21 antara Indonesia dan
IMF butir 37 dan 42. Kesepakatan dengan IMF tersebut menjadi
acuan dasar bagi penyusunan rangkaian kebijakan dan peraturan
perbaikan iklim investasi dan fleksibilitas tenaga kerj a.90
90
Ringkasan Eksekutif hasil studi mengenai Praktek Kerja Kontrak dan
Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di Indonesia yang dilakukan oleh
Akatiga-Pusat Analisis Sosial dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia
(FSPMI) bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES).
Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) berdasarkan
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 59 yang
menyatakan:
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan
atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan
untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau
diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka
waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun
dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja
waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum
perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan
maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat
diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh)
hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama,
pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat
(4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian
kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.
Sedangkan mengenai outsourcing diatur dalam Pasal 64
sampai dengan Pasal 66. Pengertian outsourcing tidak disebutkan
dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun
59
demikian pengertian outsourcing kurang lebih sama seperti yang
tercantum dalam Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 yang
menentukan sebagai berikut:
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis.
Dalam UU No. 13 Tahun 2003 makna dari outsourcing
adalah menyerahkan sebagian dari pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh. Dalam kenyataan di lapangan,
praktik outsourcing lebih dikenal dengan istilah penggunaan
perusahaan sebagai penyalur tenaga kerja. Pasal 65 UU No. 13
Tahun 2003 menegaskan tentang penyerahan sebagian dari
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya sebagai berikut:
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung
dari pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
berbentuk badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh
pada perusahaan lain sebagaimana dimak-sud dalam ayat (2)
sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara
tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang
dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau
perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan
beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan
perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka
hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai
dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 selanjutnya menegaskan
tentang larangan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk
menggunakan jasa pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan
pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi, sebagai berikut:
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan
kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang
atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan lang-sung dengan proses
produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja
untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian
67
kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja,
serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh
dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib
memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang
berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak
terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.
Penjelasan Pasal 66 ayat (1) selanjutnya menegaskan bahwa:
Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha
pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan
pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Yang dimaksud kegiatan
jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di
luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan
tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning
service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh
catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan
pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan
perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.
Berdasarkan ketentuan Pasal 65 dan Pasal 66 UU No. 13
Tahun 2003 tersebut Abu Umar memberikan penjelasan sebagai
berikut:
Di dalam UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
khsususnya pada pasal 65 dan 66 menyebutkan bahwa
penggunaan outsourcing dapat dilakukan sepanjang itu adalah
pekerjaan di luar dari pekerjaan utama, artinya bahwa praktek
outsourcing sesungguhnya dibenarkan oleh Undang-undang
68
u
ntuk pekerjaan yang bukan pekerjaan utama. Selama
outsourcing digunakan untuk pekerjaan sampingan atau
pekerjaan yang bukan pekerjaan utama maka outsourcing
tersebut dibenarkan menurut undang-undang. Akan tetapi bila
pekerjaan itu adalah pekerjaan utama, maka sesungguhnya
praktik outsourcing batal demi hukum.91
Berdasarkan Penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU No. 13 Tahun
2003, Abu Umar mengatakan bahwa jenis usaha atau kegiatan yang
diperbolehkan untuk di-outsourcing hanya ada 5 jenis usaha yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)
Usaha pelayanan kebersihan (cleaning sevice).
Usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering).
Usaha tenaga pengamanan (security/satpam).
Usaha jasa penunjang pertambangan dan perminyakan.
Usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Selain dari lima
jenis kegiatan seperti yang disebutkan di atas, outsourcing tidak
diperbolehkan dan bila terjadi, maka hal tersebut batal demi
hukum.92
Permasalahan yang terjadi di lapangan adalah adanya
pelanggaran terhadap ketentuan yang ada dalam Undang-undang.
Untuk masalah outsourcing, yang sering terjadi adalah pengusaha
melakukan praktik outsourcing untuk jenis usaha yang masuk
dalam kategori pekerjaan utama. Alasan yang sering digunakan
oleh para pengusaha adalah bahwa penafsiran tentang definisi dari
pekerjaan utama masih belum jelas, padahal kalau merujuk pada
Penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 terlihat jelas
bahwa yang boleh di-outsourcing hanyalah 5 jenis kegiatan saja.
Jadi penafsiran terkait dengan defenisi pekerjaan utama harusnya
merujuk pada penjelasan tersebut.
Abu Umar. 2010. Outsourcing Di Mata Undang-Undang. Diunduh dari
http://www.pks-sumatera.org pada tanggal 9 Maret 2011. (Abu Umar adalah anggota
DPR RI dari Fraksi PKS)
92
Ibid, tanpa halaman.
91
69
1.1.2. Outsourcing Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor: KEP. 220/MEN/X/2004 tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan
Kepada Perusahaan Lain
Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor: KEP. 220/MEN/X/2004 mengatur tentang pengertian
perusahaan, perusahaan penerima pemborongan pekerjaan dan
pekerja/buruh sebagai berikut:
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:
(1) Perusahaan yang selanjutnya disebut perusahaan pemberi
pekerjaan adalah:
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan
hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
(2) Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan adalah
perusahaan lain yang menerima penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan.
(3) Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada
perusahaan penerima pemborongan pekerjaan dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu harus memenuhi
syarat tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang berlaku,
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 sebagai berikut:
(1) Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih
rendah daripada ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku.
(2) Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk
sektor usaha dan atau pekerjaan tertentu.
70
Perusahaan pemborong pekerjaan sebagai pihak yang
melaksanakan sebagian pekerjaan, dipersyaratkan harus berbadan
hukum, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.
220/MEN/X/2004 sebagai berikut:
(1) Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan akan menyerahkan
sebagian pelaksanakan pekerjaan kepada perusahaan
pemborong pekerjaan harus diserahkan kepada perusahaan
yang berbadan hukum.
(2) Ketentuan mengenai berbadan hukum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dikecuali bagi:
a. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang
pengadaan barang;
b. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang
jasa pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultansi yang
dalam melaksanakan pekerjaan tersebut mempekerjakan
pekerja/buruh kurang dari 10 (sepuluh) orang.
(3) Apabila perusahaan pemborong pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) akan menyerahkan lagi sebagian
pekerjaan yang diterima dari perusahaan pemberi pekerjaan,
maka penyerahan tersebut dapat diberikan kepada perusahaan
pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum
(4) Dalam hal perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan
berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak
melaksanakan kewajibannya memenuhi hak-hak pekerja/buruh
dalam hubungan kerja maka perusahaan yang berbadan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab
dalam memenuhi kewajiban tersebut.
Apabila dalam suatu daerah tidak terdapat perusahan
pemborong pekerjaan yang berbadan hukum, maka dapat
diserahkan kepada perusahaan yang bukan berbadan hukum,
dengan syarat perusahaan tersebut bertangungjawab memenuhi
hak-hak pekerja yang dituangkan dalam perjanjian pemborongan
pekerjaan. Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: KEP. 220/MEN/X/2004 menyatakan bahwa:
71
(1) Dalam hal di satu daerah tidak terdapat perusahaan pemborong
pekerjaan yang berbadan hukum atau terdapat perusahaan
pemborong pekerjaan berbadan hukum tetapi tidak memenuhi
kualifikasi untuk dapat melaksanakan sebagian pekerjaan dari
perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan dapat diserahkan pada perusahaan
pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum.
(2) Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan yang bukan
berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bertanggung jawab memenuhi hak-hak pekerja/buruh yang
terjadi dalam hubungan kerja antara perusahaan yang bukan
berbadan hukum tersebut dengan pekerjaan/buruhnya
(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
dituangkan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan antara
perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan pemborong
pekerjaan.
Hak-hak pekerja/buru wajib dimuat dalam setiap perjanjian
pemborongan pekerjaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 5
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.
220/MEN/X/2004:
Setiap perjanjian pemborongan pekerjaan wajib memuat
ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh
dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Pekerjaan yang dapat diborongkan kepada perusahaan
pemborong pekerjaan harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: KEP. 220/MEN/X/2004 yang menyatakan
sebagai berikut:
(1) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan
pemborong pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik
manajemen maupun pemberi pekerjaan. kegiatan
pelaksanaan pekerjaan ;
72
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung
dari pemberi pekerjaan dimaksudkan untuk memberi
penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai
dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi
pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan
yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan
sesuai dengan alur kegiatan kerja perusahaan
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung artinya
kegiatan tersebut adalah merupakan kegiatan tambahan
yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi
pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan
sebagaimana biasanya.
(2) Perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan
sebagian pelaksanan pekerjaannya kepada perusahaan
pemborong pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses
pelaksanaan pekerjaan.
(3) Berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) perusahaan pemberi
pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan
penunjang berdasarkan ketentuan ayat (1) serta melaporkan
kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
1.1.3. Outsourcing Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor: KEP.101/MEN/VI/2004 tentang
Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor: KEP. 101 /MEN/VI/2004 diantara menyatakan tentang
pengertian pekerja, pengusaha, perusahaan, perusahaan penyedia
jasa sebagai berikut:
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
2. Pengusaha adalah
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan
muliknya;
73
c orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudkan di luar
wilayah Indonesia.
3. Perusahaan adalah
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan
hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurusan dan mempekerjakan orang lain dengan
membayar upah atau nimbalan dalam bentuk lain.
4. Perusahaan penyedia jasa adalah perusahaan berbadan hukum
yang dalam kegiatan usahanya menyediakan jasa pekerja/buruh
untuk dipekerjakan di perusahaan pemberi pekerjaan.
Pasal 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor: KEP. 101 /MEN/VI/2004 mengatur tentang permohonan ijin
operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, sebagai
berikut:
(1) Untuk dapat menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
perusahaan wajib memiliki ijin operasional dari instansi yang
bert anggung j aw ab di bi dang ket enagakerj aan di
kabupaten/Kabupatensesuai domisili perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh.
(2) Untuk mendapatkan ijin operasional perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh perusahaan menyampaikan permohonan dengan
melampirkan:
a. copy pengesahan sebagai badab hukum berbentuk
Perseorangan Terbatas atau Koperasi;
b. copy anggaran dasar yang di dalamnya memuat kegiatan
usaha penyedia jasa pekerja/buruh;
c. copy SIUP;
d. copy wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku.
(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah menerbitkan
ijin operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu
paling lama 30m (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan
diterima.
74
Permohonan ijin operasional perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 2, berlaku untuk
seluruh Indonesia dengan jangka waktu yang sama, hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor: KEP. 101 /MEN/VI/2004 yang
menyatakan sebagai berikut:
Ijin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku
di seluruh Indonesia untuk jangka waktu yang sama.
Antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan
pemberi pekerjaan, wajib membuat perjanjian tertulis yang
sekurang-kurangnya memuat jenis pekerjaan yang akan dilakukan,
hubungan kerja yang terjadi dan perusahaan penyedia jasa/buruh
bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh sebelumnya. Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.101/MEN/VI/2004 dalam hal
ini menyatakan sebagai berikut:
Dalam hal perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari
perusahaan pemberi pekerjaan, kedua belah pihak wajib membuat
perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat:
a. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari
perusahaan jasa;
b. penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana
dimaksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara
perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang
dipekerrjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan
upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan
yang timbul manjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
c. penegasan bahwa perusahaan penyedia jasaja/buruh bersedia
menerima pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerja yang terus
menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi
penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
75
Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor: KEP. 101 /MEN/VI/2004 menyatakan bahwa perjanjian
antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan
pemberi pekerjaan harus didaftarkan pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Ketentuan
selengkapnya Pasal 5 adalah sebagai berikut:
(1) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus
didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/Kabupatentempat perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan
(2) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerjaan/buruh
melaksanakan pekerjaan pada perusahaan pemberi kerja yang
berada
dalam
wilayah
lebih
dari
satu
kabupaten/Kabupatendalam satu proinsi, maka pendaftaran
dilakukan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan provinsi.
(3) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
melaksanakan pekerjaan pada perusahaan pemberi kerja yang
berada dalam wilayah lebih dari satu provinsi, maka
pendaftaran dilakukan pada Direktorat Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial.
(4) Pendaftaran perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3) harus melampirkan draft perjanjian kerja.
Pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
melakukan perjanjian dan menerbitkan bukti pendaftaran antara
perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pemberi
pekerjaan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
KEP.101/MEN/VI/2004 yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 pejabat instansi yang bertanggung jawaab di bidang
ketenagakerjaan melakukan perjanjian tersebut;
(2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4, maka pejabat yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan menerbitkan bukti pendaftaran.
76
(3) Dalam hal terdaftar ketentuan yang tidak sesuai dengan
ketentuan pasal 4, maka pejabat yang bertnaggung jawab di
bidang ketenagakerjaan membuat catatan pada bukti
pendaftaran bahwa perjanjian dimaksud tidak sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 4.
Perusahaan penyedia jasa pekerja yang tidak mendaftarkan
perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh, maka instansi yang
bertanggung jawab di bdang ketenagakerjaan mencabut ijin
operasional perusahaan penyedia jasa keperja/buruh yang
bersangkutan, sedangkan hak-hak pekerja/buruh tetap menjadi
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang
bersangkutan. Pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: KEP. 101 /MEN/VI/2004 dalam hal ini
menyatakan sebagai berikut:
(1) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak
mendaftarkan perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh, maka
instansi yang bertanggung jawab di bdang ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 mencabut ijin operasional
perusahaan penyedia jasa keperja/buruh yang bersangkutan
setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5.
(2) Dalam hal ijin operasional dicabut, hak-hak pekerja/buruh tetap
menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh yang bersangkutan.
1.2. Pengawasan Ketenagakerjaan
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan untuk menjamin semua
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dipatuhi dan
dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait. Untuk itu, pengawasan
ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas yang kompeten
tergabung dalam unit tersendiri pada Pemerintah Pusat, Pemerintah
77
P
rovinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kabupaten. Dengan demikian
pegawai pengawas dapat melakukan tugasnya dan mengambil keputusan
secara independen, tidak terpengaruh oleh pihak lain.
Pengawasan ketenagakerjaan merupakan unsur penting dalam
perlindungan tenaga kerja, sekaligus sebagai upaya penegakan hukum
ketenagakerjaan secara menyeluruh. Penegakan hukum ditempuh dalam 2
(dua) cara, yaitu: preventif dan refresif. Pada dasarnya kedua cara itu
ditempuh sangat bergantung dari tingkat kepatuhan masyarakat
(pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh) terhadap
ketentuan hukum ketenagakerjaan. Tindakan preventif dilakukan jika
memungkinkan dan masih adanya kesadaran masyarakat untuk mematuhi
hukum. Namun bila tindakan preventif tidak efektif lagi, maka ditempuh
tindakkan refresif dengan maksud agar masyarakat mau melaksanakan
hukum walaupun dengan keterpaksaan.93
Pengawasan perburuhan/ketenagakerjaan dimaksudkan untuk
mendidik agar pengusaha atau perusahaan selalu tunduk menjalankan
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku sehingga akan dapat menjamin
keamanan dan kestabilan pelaksanaan hubungan kerja, karena seringkali
perselisihan perburuhan disebabkan karena pengusaha tidak memberikan
perlindungan hukum kepada buruhnya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Di samping itu pelaksanaan pengawasan perburuhan akan
menjamin pelaksanaan peraturan-peraturan perburuhan di semua
perusahaan secara sama, sehingga akan menjamin tidak terjadinya
persaingan yang tidak sehat (unfair competition)94
93
Abdul Khakim. 2003. Op. Cit. hal. 123
78
9
4
Lalu Husni. 2003. Op. Cit. hal. 120
Pengawasan perburuhan/ketenagakerjaan dilakukan dengan
melakukan kunjungan ke perusahaan-perusahaan untuk mengamati,
mengawasi pelaksanaan hak-hak normatif pekerja. Jika hak-hak pekerja
belum dipenuhi oleh pengusaha, pegawai pengawas dapat melakukan
teguran agar hak-hak pekerja diberikan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang ada, jika tidak diindahkan pegawai pengawas yang
merupakan penyidik pegawai negeri sipil di bidang perburuhan dapat
menyidik pengusaha tersebut untuk selanjutnya dibuatkan berita acara
pemeriksaan untuk diproses lebih lanjut ke pengadilan.95
Dalam melaksanakan tugasnya Pegawai Pengawas berhak dan wajib
melakukan:
1) Memasuki semua tempat dimana dijalankan atau biasa dijalankan
pekerjaan atau dapat disangka bahwa di situ dijalankan pekerjaan dan
juga segala rumah yang disewakan atau dipergunakan oleh pengusaha
atau wakilnya untuk perumahan atau perawatan pekerja.
2) Jika terjadi penolakan untuk memasuki tempat-tempat tersebut,
Pegawai Pengawas berhak meminta bantuan POLRI.
3) Mendapatkan keterangan sejelas-jelasnya dari pengusaha atau wakilnya
dan pekerja/buruh mengenai kondisi hubungan kerja pada perusahaan
yang bersangkutan.
4) Menanyai pekerja/buruh tanpa dihadiri pihak ketiga.
5) Harus melakukan koordinasi dengan serikat pekerja/serikat buruh.
6) Wajib merahasiakan segala keterangan yang didapat dari pemeriksaan
tersebut.
7) Wajib mengusut pelanggaran.96
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus
sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (1) UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan kewenangan-kewenangan
95
96
Ibid. hal. 121
Abdul Khakim. 2003. Op. Cit. hal. 124-12 5
73
sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 182 ayat (2). Ketentuan selengkapnya
Pasal 182 adalah sebagai berikut:
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada
pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus
sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan
tentang tindak pidana di bidang ketenaga-kerjaan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti
dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang
membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang
ketenagakerjaan.
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi pengawasan. Dengan
demikian tugas dan fungsi Pengawasan Ketenagakerjaan tidak dapat
dilaksanakan oleh orang lain selain Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud Pasal 176 dan Pasal 177 UU No. 13 Tahun 2003.
Pasal 176 menyatakan bahwa:
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas
ketenaga-kerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna
m enj am i n pel ak sa naa n pe rat ur an p er undang -un dang an
ketenagakerjaan.
80
Sedangkan pada Pasal 177 dinyatakan sebagai berikut:
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Berdasarkan
ketentuan
tersebut,
maka
Pegawai
Pengawas
Ketenagakerjaan perlu diberdayakan semaksimal mungkin. Untuk dapat
menjalankan tugas Pengawasan Ketenagakerjaan, Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan harus diangkat/ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi atas usul Gubernur, Bupati/WaliKabupaten, setelah yang
bersangkutan dinyatakan lulus diklat teknis Pengawas Ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud Pasal 177 UU No. 13 Tahun 2003.
Adapun fungsi Pengawas Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut::
1) Mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
2) Memberikan penerangan teknis dan nasihat kepada pengusaha dan
tenaga kerja agar tercapainya pelaksanaa Undang-Undang
Ketenagakerjaan secara efektif.
3) Melaporkan kepada pihak berwenang atas kecurangan dan
penyelewengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Fungsi Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan:
1) Menjamin penegakan ketentuan hukum mengenai kondisi kerja dan
perlindungan pekerja saat melaksanakan pekerjaannya, seperti
ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja, pengupahan, keselamatan,
kesehatan dan kesejahteraan, penggunaan pekerja/buruh anak dan
orang muda serta masalah-masalah lain yang terkait, sepanjang
ketentuan tersebut dapat ditegakkan oleh pengawas ketenagakerjaan.
2) Memberikan keterangan teknis dan nasehat kepada pengusaha dan
pekerja/buruh mengenai cara yang paling efektif untuk mentaati
ketentuan hukum.
3) Memberitahukan kepada pihak yang berwenang mengenai terjadinya
penyimpangan atau penyalahgunaan yang secara khusus tidak diatur
dalam ketentuan hukum yang berlaku.
4) Tugas lain yang dapat menjadi tanggung jawab pengawas
ketenagakerjaan tidak boleh menghalangi pelaksanaan tugas pokok
pengawas atau mengurangi kewenangannya dan ketidakberpihakannya
yang diperlukan bagi pengawas dalam berhubungan dengan pengusaha
dan pekerja/buruh.97
97
Sendjun H. Manulang. 1995. Op. Cit. Hal. 125
81
Pasal 1 huruf a Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
Per.03/Men/1984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu
menyatakan bahwa pegawai pengawas ketenagakejaan adalah Pegawai
Departemen Tenaga Kerja yang diserahi tugas mengawasi pelaksanaan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang terdiri dari Pegawai
Pengawas Umum dan Pegawai Pengawas Spesialis.
Pasal 1 huruf d Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
Per.03/Men/1 984 menyatakan bahwa pengawasan ketenagakerjaan terpadu
adalah suatu sistem pengawasan pelaksanaan peraturan perundangundangan yang merupakan kegiatan:
1) penyusunan rencana;
2) pemeriksaan di perusahaan atau di tempat kerja;
3) penindakan korektif baik secara preventif maupun represif;
4) pelaporan hasil pemeriksaan
Pasal 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.03/Men/1984
menyatakan bahwa: tujuan pengawasan ketenagakerjaan terpadu, yaitu:
1) Mengawasi
pelaksanaan
peraturan
perundang-undangan
ketenagakerjaan;
2) Memberi penerangan tehnis serta nasehat kepada pengusaha atau
pengurus dan atau tenaga kerja tentang hal-hal yang dapat menjamin
pelaksanaan efektif dari pada peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan;
3) Mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang hubungan kerja dan
keadaan ketenagakerjaan dalam arti yang luas guna pembentukan dan
penyempurnaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Mengingat bahwa pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan adalah
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan maka setiap langkah
atau tahap kegiatan pemeriksaan dan pengujian objek pengawasan
76
ketenagakerjaan tidak boleh menyimpang dari ketentuan peraturan
perundang-undangan, standar, kriteria dan mekanisme yang ditetapkan.
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan dengan cara melaksanakan
pemeriksaan dan atau pengujian baik pertama, berkala, ulang dan khusus
terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan. Pasal 4 Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor Per.03/Men/1 984 menyatakan bahwa tahap
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan terpadu meliputi:
1) Pemeriksaan pertama, adalah pemeriksaan lengkap yang dilakukan
kepada perusahaan atau tempat kerja baru yang belum pernah
diperiksa;
2) Kontrol (pemeriksaan berkala), adalah pemeriksaan ulang yang
dilakukan setelah pemeriksaan pertama baik secara lengkap maupun
tidak;
3) Pemeriksaan khusus, adalah pemeriksaan yangdilakukan terhadap
masalah ketenagakerjaan yang bersifat khusus seperti pengujian,
kecelakaan, adanya laporan pihak ketiga, perintah atasan
Pasal 9 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.03/Men/1984
menyatakan bahwa tugas dan kewajiban pegawai pengawas umum adalah:
1) Melaksanakan pemeriksaan pertama dan kontrol (berkala) di
perusahaan atau di tempat kerja;
2) Memberikan bimbingan, pembinaan dan penyuluhan kepada tenaga
kerja dan pengusaha atau pengurus tentang peraturan perundangundangan ketenagakerjaan;
3) Merahasiakan segala sesuatu yang diperoleh yang perlu dirahasiakan
dalam menjalankan tugas dan kewajibannya;
4) Melaporkan semua kegiatan yang berhubungan dengan tugas dan
kewajibannya;
5) Mencatat hasil pemeriksaan dalam buku Akte Pengawasan
Ketenagakerjaan dan disimpan oleh pengusaha atau pengurus.
Tugas dan kewajiban pegawai pengawas spesialis diatur pada Pasal
12 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.03/Men/1984 sebagai
berikut:
83
1) Melaksanakan kontrol (pemeriksaan berkala) di perusahaan atau tempat
kerja;
2) Memberikan bimbingan, pembinaan dan penyuluhan kepadatenaga
kerja dan pengusaha atau pengurus tentang peraturan perundangundangan ketenagakerjaan;
3) Merahasiakan segala sesuatu yang diperoleh yang perlu dirahasiakan
dalam menjalankan tugas dan kewajibannya;
4) Melaporkan semua kegiatan yang berhubungan dengan tugas dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan;
5) M encat at hasil
pemeriksaan
dalam
buku
Akte
PengawasanKetenagakerjaan dan disimpan oleh pengusaha atau
pengurus.
Berdasarkan Surat Edaran Nomor: SE.918/MEN/PPK-SES/XI/2004
tentang Pelaksanaan Pengawasan Ketenagakerjaan di Propinsi dan
Kabupaten/Kabupaten, pelaksanaan tugas pengawasan ketenagakerjaan,
pegawai pengawas ketenagakerjaan berkewajiban untuk:
1) Menyusun rencana
kerja
pemeriksaan
(bulanan)
yang
diketahui/disahkan oleh pimpinan atau atasannya.
2) Melakukan pemeriksaan dan atau pengujian dilapangan/perusahaan
secara komprehensif dan tuntas.
3) Mencatat hasil temuan pemeriksaan dan atau pengujian dalam buku,
akte pengawasan ketenagakerjaan dan atau akte izin/pengesahan.
4) Membuat nota pemeriksaan dan laporan pemeriksaan.
5) Memantau pelaksanaan dan menindak lanjuti hasil temuan pemeriksaan
dan atau pengujian.
Terhadap pelanggaran yang memerlukan tindak lanjut penyidikan
harus dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang telah
berkualifikasi PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 UU No.13.
Tahun 2003. Secara operasional pengawasan ketenagakerjaan meliputi:
1) Sosialisasi Norma Ketenagakerjaan
Sasaran kegiatan ini agar tercapai peningkatan pemahaman norma kerja
bagi masyarakat industri, sehingga tumbuh persepsi positif dan
mendorong kesadaran untuk melaksanakan ketentuan ketenagakerjaan.
2) Tahapan Pelaksanaan Pengawasan
a) Upaya pembinaan (preventive educative), yang ditempuh dengan
memberikan penyuluhan kepada masyarakat industri,
penyebarluasan informasi ketentuan ketenagakerjaan pelayanan
konsultasi dan lain-lain.
84
b) Tindakan refresif nonyustisial, yang ditempuh dengan memberikan
peringatan tertulis melalui nota pemeriksaan kepada pimpinan
perusahaan apabila ditemui pelanggaran. Di samping juga
memberikan petunjuk secara lisan pada saat pemeriksaan.
c) Tindakan refresif yustisial, sebagai alternatif terakhir dan dilakukan
melalui lembaga peradilan. Upaya ini ditempuh bila Pegawai
Pengawas sudah melakukan pembinaan dan memberikan
peringatan, tetapi pengusaha tetap tidak mengindahkan maksud
pembinaan tersebut. Dengan demikian Pegawai Pengawas sebagai
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berkewajiban melakukan
penyidikan dan menindaklanjuti sesuai dengan prosedur hukum
yang berlaku.98
Skema proses pengaduan terhadap pelanggaran atau tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan digambarkan sebagai berikut:
Bila terjadi pelanggaran atau
tindak pidana terhadap UU
Ketenagakerjaan, para pihak
melaporkan atau mengadukan
kepada Pegawai Pengawas
Pegawai Pengawas
melakukan pemeriksaan
ke lokasi
Berdasarkan hasil pemeriksaan,
Pegawai Pengawas melakukan
somasi bertahap (1, 2 dan 3)
Tidak dilaksanakan
Dilaksanakan
Berkas disampaikan ke Polri
Kejaksaan Negeri
Gambar 1. Diagram Proses Pengaduan99
98
99
Abdul Khakim. 2003. Op. Cit. hal. 125-126
Ibid. hal. 128
85
Hubungan kerja yang terjadi dalam outsourcing yaitu hubungan kerja
antara perusahaan outsourcing dengan pekerja melalui suatu perjanjian
kerja. Sedangkan hubungan yang terjadi antara perusahaan outsourcing
dengan perusahaan pengguna tenaga kerja adalah sebatas hubungan
menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan outsourcing melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja
yang dibuat secara tertulis. Dengan adanya perjanjian pemborongan antara
perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna tenaga kerja, maka
terjadilah suatu praktek outsourcing. Hubungan kerja yang terjadi antara
perusahaan outsourcing dengan pekerjanya secara tidak langsung telah
melibatkan pemerintah dalam upaya penegakan hukum ketenagakerjaan,
hal ini dilakukan untuk melindungi hak-hak pengusaha dan pekerja dalam
pelaksanaan hubungan kerja. Dalam hal upaya penegakan hukum tenaga
kerja, pemerintah melakukan dengan pengawasan ketenagakerjaan.
Pengawasan ketenagakerjaan merupakan unsur penting dalam perlindungan
tenaga kerja, sekaligus sebagai upaya penegakan hukum ketenagakerjaan
secara menyeluruh. Dalam pelaksanaannya sistem outsourcing sangatlah
riskan terjadi pelanggaran, untuk itu diperlukan suatu pengawasan terhadap
norma kerja dan pengawasan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja
(K3) untuk melindungi hak-hak pekerja yang dipekerjakan dalam suatu
praktek outsourcing. Dengan adanya hambatan-hambatan yang timbul
dalam pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan, maka diperlukan adanya
solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
86
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapat dibuat bagan alur
proses pengawasan ketenagakerjaan sebagai berikut:
UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan
Kepmenakertrans Nomor:
KEP. 101 /MEN/VI/2004
tentang Tata Cara Perijinan
Perusahaan Penyedia Jasa
Pekerj a/ B u ruh
Perusahaan
Outsourcing
Kepmenakertrans Nomor: KEP.
220/MEN/X/2004 tentang SyaratSyarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada
Perusahaan Lain
Pekerja
Outsourcing
Pemerintah
melalui
Depnakertrans
Perusahaan
PenggunaTenaga
Kerja
Praktik
Outsourcing
Pengawasan Terhadap
Norma Kerja
Pengawasan Terhadap
Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
Hambatan
Solusi
Pelaksanaan
Pengawasan oleh
Pegawa Pengawas
Ketenagakerjaan
87
Gambar 2. Bagan alur proses pengawasan ketenagakerjaan
88
1.3. Praktik Outsourcing di Kabupaten Banjarnegara
Terdapat beberapa perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang
beroperasi di wilayah Kabupaten Banjarnegara, yaitu sebagai berikut:
Tabel 1. Perusahaan Outsourcing yang beroperasi di Kabupaten
Banjarnegara
No.
Nama Perusahaan Outsourcing
Alamat
Vendor Outsourcing selain Satpam
1. PT. Intrias Mandiri Sejati
Yogyakarta
2. PT. Karyaputra Surya Gemilang
Yogyakarta
3. PT. Mutualplus Global Resources
Yogyakarta
4. PT. Outsourcing Indonesia
Yogyakarta
5. PT. Prima Karya Sarana Sejahtera
Yogyakarta
6. PT. Prismas Jamintara
Yogyakarta
7. PT. Sumberdaya Dian Mandiri
Yogyakarta
Vendor Satpam dan Cleaning Service
1. PT. BravoSatria Perkasa
Yogyakarta
2. PT. Sigap Prima Astrea
Yogyakarta
3. PT. Prima Karya Sarana Sejahtera
Yogyakarta
4. PT. Adita Farasjaya
Semarang
5. PT. Huta Inspira
Semarang
6. PT Adimitra Pratama
Semarang
7. PT. Bhumi Elang Perkasa
Semarang
8. PT. Grinatha
Semarang
Sedangkan perusahaan pemberi pekerjaan yang memanfaatkan jasa
dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh atau perusahaan outsourcing
di Kabupaten Banjarnegara adalah perusahaan yang bergerak di bidang
keuangan dan perbankan, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2. Perusahaan pemberi pekerjaan yang memanfaatkan jasa
perusahaan outsourcing
No.
Nama Perusahaan
Bidang Usaha
1. Bank Jateng
Perbankan
2. Bank Rakyat Indonesia
Perbankan
3. Bank Danamon
Perbankan
4. Bank Mega
Perbankan
5. Bank Niaga
Perbankan
6. Bank Mandiri
Perbankan
89
Adapun jenis-jenis pekerjaan yang di-outsourcing disajikan pada
tabel sebagai berikut:
Tabel 3. Jenis pekerjaan yang di-outsourcing
No.
Jenis Pekerjaan
1. Administrasi umum dan SDM
2. Aministrasi kredit
3. Teller
4. Administrasi back office
5. Pemasaran
6. Pengawasan kredit
7. Administrasi kredit
8. Administrasi analisis
9. Administrasi akuntansi
10.
Satpam
11.
Cleaning servis
12.
Driver
13.
Pesuruh
Sebagaimana diketahui bahwa dalam perjanjian kerja antara pekerja
dengan perusahaan outsourcing harus dituangkan dalam bentuk perjanjian
tertulis, hal ini dapat dicontohkan perjanjian kerja antara PT . Prima Karya
Sarana Sejahtera dengan pihak pekerja sebagai berikut:
Perjanjian Kerja
Antara
PT . Prima Karya Sarana Sejahtera
Dengan
Tri Panji Rakhmanto
No: B/449-VII/SDM/07/201 1
I. Siti Adimurwani, Kepala Cabang PT . Prima Karya Sarana Sejahtera
Yogyakarta, bertindak untuk dan atas nama PT . Prima Karya Sarana
Sejahtera, perusahaan yang menjalankan usaha di bidang penyedia jasa
pekerja, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA
II. Nama
: Tri Panji Rakhmanto
Jenis Kelamin
: Pria
Tempat/Tanggal Lahir : Kebumen/12/10/1991
Alamat/Tempat Tinggal : Panjatan RT 06/03 Karanganyar Kebumen
Selanjutnya disebut PIHAK KEDUA
Dengan ini PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA (kedua belah pihak)
menyatakan setuju untuk mengadakan perjanjian kerja waktu tertentu guna
melaksanakan tugas/pekerjaan dengan ketentuan dan syarat sebagai
berikut:
90
Pasal 1
PENGERTIAN UMUM
Dalam perjanjian kerja ini yang dimaksud dengan:
1. Pekerja adalah PIHAK KEDUA yang mempunyai hubungan kerja
dengan PIHAK PERTAMA karena pelaksanaan tugas/pekerjaan yang
dimaksud dalam Pasal 2 berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu
menurut perjanjian kerja ini.
2. Daftar hadir adalah catatan kehadiran pekerja yang dikelola oleh
koordinator/pengawas bagi pekerja di perusahaan tempat pekerja
menjalankan pekerjaannya.
3. Rekanan adalah orang, badan, atau institusi yang bekerja sama dengan
dan atau menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada PIHAK
PERTAMA melalui ”Perjanjian Pemborongan Pekerjaan dan atau
Penyediaan Jasa Pekerjaan” dan untuk itu PIHAK PERTAMA
menempatkan PIHAK KEDUA sebagai pekerja.
Pasal 2
JENIS DAN LINGKUP PEKERJAAN
(1) PIHAK KEDUA setuju untuk melaksanakan pekerjaan yang diberikan
PIHAK PERTAMA sebagai Satuan Pengaman dengan status/kedudukan
sebagai pekerja waktu tertentu, ditempatkan di Kanca BRI Banj arnegara.
(2) Ruang lingkup pekerjaan yang diserahkan oleh PIHAK PERTAMA
kepada PIHAK KEDUA disesuaikan dengan jabatan/tugas PIHAK
KEDUA dan dituangkan dalam bentuk surat penugasan yang diberikan
oleh PIHAK PERTAMA.
(3) PIHAK KEDUA bersedia ditempatkan di lokasi kerja PIHAK
PERTAMA dan atau rekanan dan bersedia sewaktu-waktu dipindahkan
dari satu lokasi ke lokasi lain dengan upah dan fasilitas sesuai standar
upah dan fasilitas yang berlaku di perusahaan PIHAK PERTAMA.
Pasal 3
JANGKA WAKTU PERJANJIAN
(1) Perjanjian kerja ini berlaku sejak tanggal 01 Juli 2011 sampai dengan
tanggal 30 Juni 2012.
(2) Jangka waktu perjanjian kerja yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
dapat diperpanjang berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak
sepanjang jumlah jangka waktu perjanjian awal dan perpanjangannya
tidak lebih dari 2 tahun.
91
Pasal 4
KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA
(1) PIHAK PERTAMA berkewajiban membayar upah kepada PIHAK
KEDUA yang akan dibayarkan secara bulanan setiap tanggal 25 bulan
pembayaran, dengan komponen sebagai berikut:
a) Upah pokok sebesar Rp 750.000
b) Tunjangan tetap Rp 370.000
c) Tunjangan tidak tetap Rp 30.000
(2) PIHAK REKANAN akan memberikan lumpsum baya perjalanan dinas
kepada PIHAK KEDUA berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi
pekerja waktu tertentu di REKANAN apabila PIHAK KEDUA
ditugaskan untuk melaksanakan perjalanan dinas oleh REKANAN atas
beban biaya REKANAN.
(3) PIHAK PERTAMA berkewajiban membayar upah lembur bagi pekerja
yang melaksanakan tugas lembur sesuai ketentuan yang berlaku di
PIHAK PERTAMA dan atau REKANAN.
(4) PIHAK PERTAMA memberikan cuti selama 12 hari kerja dalam 1 tahun
kepada PIHAK KEDUA, dengan catatan cuti tersebut dapat dilaksanakan
apabila PIHAK KEDUA telah bekerja pada PIHAK PERTAMA dan atau
REKANAN sekurang-kurangnya 6 bulan terus-menerus sesuai dengan
ketentuan yang berlaku pada PIHAK PERTAMA.
(5) Atas pelaksanaan cuti tersebut PIHAK PERTAMA akan memberikan
Tunjangan Uang Perjalanan Cuti Tahunan (TUPCT) sesuai ketentuan
yang berlaku bagi P-PKWT di PIHAK PERTAMA sebesar 100% dari
upah pokok yang dimaksud ayat (1) pasal ini.
(6) Jika PIHAK KEDUA pada saat pembayaran Tunjangan Hari Raya
Keagamaan telah bekerja secara terus menerus selama 3 bulan di PIHAK
PERTAMA maka PIHAK PERTAMA berkewajiban memberikan uang
THRK kepada PIHAK KEDUA berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi
pekerja di PIHAK PERTAMA dengan ketentuan bahwa jika masa kerja
PIHAK KEDUA 3 bulan atau lebih tetapi kurang dari 1 tahun pada saat
pembayaran THRK, maka pembayaran THRK dilakukan secara
proporsional dari tahun yang bersangkutan, dengan rumur: (bulan masa
kerja dari periode pembayaran THRK tahun yang bersangkutan dibagi 12
kali (upah pokok).
(7) PIHAK PERTAMA mengikutsertakan PIHAK KEDUA dalam Program
Pensiun Iuran Pasti-Dana Pensiun Lembaga Keuangan (PPIP-DPLK),
dengan iurang yang ditetapkan sesuai kemampuan dan menjadi beban
PIHAK PERTAMA, dan dengan kepesertaan dalam PPIP-DPLK tersebut
PIHAK PERTAMA tidak berkerwajiban membayar uang pesaongn, uang
penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, sebagaimana dimaksud
Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003 dan atau kompensasi apapun kepada
PIHAK KEDUA.
(8) PIHAK PERTAMA wajib mengikutsertakan PIHAK KEDUA dalam
Program Jamsostek yangterdiri dari Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan
92
Kematian dan Jaminan Hari Tua yang perhitungannya atau preminya
dihitung dari upah pokok yang dimaksud ayat (1) pasal ini.
(9) PIHAK PERTAMA memberikan fasilitas Rawat Inap dan Rawat Jalan
untuk pekerja, sedangkan 1 istri/suami dan anak pertama yaitu berupa
penggantian biaya rawatinap bagi keluarga pekerja yang menjalankan
rawat inap dengan ketentuan pelaksanaannya diatur tersendiri oleh
PIHAK PERTAMA.
Pasal 5
KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA
(1) PIHAK KEDUA dengan segala kemampuan melaksanakan tugas yang
telah diberikan oleh PIHAK PERTAMA dan atau REKANAN kepadanya
dengan sebaik-baiknya serta senantiasa melindungi kepentingan PIHAK
PERTAMA dan atau REKANAN.
(2) PIHAK KEDUA wajib memenuhi target yang setiap periode tertentu
ditetapkan oleh PIHAK REKANAN.
(3) PIHAK KEDUA tidak melakukan pelanggaran dan atau kejahatan baik
yang diatur dalam KUHP, UU Tindak Pidana Khusus (Korupsi) maupun
perundangan lainnya yang berlaku, serta tidak melakukan tindakan yang
langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan kerugian secara
administrasi, finansial dan atau dapat merusak citra PIHAK PERTAMA
dan atau REKANAN.
(4) PIHAK KEDUA wajib mentaati perjanjian ini, peraturan perusahaan dan
peraturan lain yang dikeluarkan oleh PIHAK PERTAMA dan atau
REKANAN dan menjaga kepentingan PIHAK PERTAMA dan atau
REKANAN dengan sebaik-baiknya.
(5) PIHAK KEDUA wajib memelihara dengan tertib dan lengkap semua
catatan/data, arsip yang berhubungan dengan pekerjaannya yang
seharusnya dilakukan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya serta
membolehkan REKANAN atau wakilnya untuk meneliti, memeriksa dan
membuat salinannya.
(6) PIHAK KEDUA diwajibkan untuk memberikan kepada REKANAN dan
atau PIHAK PERTAMA segala informasi yang menyangkut tugas
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya setiap saat REKANAN dan
atau PIHAK PERTAMA membutuhkan.
(7) PIHAK KEDUA tidak memberikan keterangan tentang keadaan
keuangan nasabah yang tercatat pada REKANAN, serta hal-hal lain yang
harus atau sepatutnya dirahasiakan oleh Bank menurut kelaziman yang
berlaku dalam dunia perbankan, atau oleh suatu perusahaan.
(8) PIHAK KEDUA tidak memberikan keterangan kepada media cetak dan
elektronik serta pihak lain, dan tidak pula membicarakan di luar
hubungan dinas segala sesuatu yang diketahuinya mengenai REKANAN
dan atau PIHAK PERTAMA.
93
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
Kewajiban
yang tercantum dalam ayat (7) dan ayat (8) pasal ini berlaku terus sampai
dengan 1 tahun setelah PIHAK KEDUA tidak lagi bekerja pada
REKANAN dan atau PIHAK PERTAMA.
PIHAK KEDUA bersedia mengganti segala kerugian yang diderita oleh
REKANAN dan atau PIHAK PERTAMA dan menerima sanksi sesuai
dengan peraturan yang berlaku sebagai akibat kelalaian/kesalahan yang
dilakukan oleh PIHAK KEDUA dalam melaksanakan tugas pekerjaan
yang menjadi tanggung jawabnya.
PIHAK KEDUA bersedia dikenakan pengurangan atas upahnya
berdasarkan peraturan yang berlaku bagi Pekerja Waktu tertentu di
PIHAK PERTAMA apabila tidak hadir secara penuh selama jam kerja
berdasarkan daftar hadir yang telah disetujui REKANAN dan akan
diperhitungkan pada pembayaran upah.
PIHAK KEDUA tidak menuntut fasilitas/hak/kesejahteraan lain selain
yang telah ditentukan dalam Pasal 4 perjanjian ini.
PIHAK KEDUA tidak diperkenankan bekerja pada perusahaan selain
perusahaan yang ditunjuk oleh PIHAK PERTAMA selama jangka waktu
pelaksanaan perjanjian kerja ini.
PIHAK KEDUA wajib memberitahukan kepada PIHAK PERTAMA
setiap terjadi perubahan alamat rumah tinggal, ahli waris, susunan
keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.
PIHAK KEDUA wajib menyediakan tenaga pengganti sesuai dengan
kualifikasi apabila PIHAK KEDUA berhalangan melaksanakan tugas
pekerjaannya, dengan biaya menjadi beban PIHAK PERTAMA sesuai
ketentuan yang berlaku.
Pada saat perjanjian ini ditandatangani, PIHAK KEDUA wajib
menyerahkan ijazah pendidikan terakhir asli untuk disimpan oleh PIHAK
PERTAMA selama PIHAK KEDUA mempunyai hubungan kerja dengan
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA tidak diperbolehkan
meminjam ijazah tersebut tanpa rekomendasi dari pimpinan unit kerja
REKANAN dan PIHAK PERTAMA.
2. Data Primer
Berdasarkan keterangan hasil wawancara dengan pihak Dinas Tenaga
Kerja Kabupaten Banjarnegara,100 didapat data primer tentang pelaksanaan
pengawasan norma kerja dan pelaksanaan pengawasan kesehatan dan
keselamatan kerja, yaitu sebagai berikut:
100 Wawancara dilakukan pada tanggal 4 Agustus 2011
94
2.1. Pelaksanaan pengawasan norma kerja yang dilakukan Pegawai
Pengawas Ketenagakerjaan terhadap praktik outsourcing di
Kabupaten Banjarnegara
Pengawasan
terhadap
pelaksanaan
perundang-undangan
ketenagakerjaan termasuk di dalamnya praktik outsourcing di Dinas
Tenaga Kerja Banjarnegara dilaksanakan oleh Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan yang merupakan bagian dari Sub Dinas Pengawasan,
yaitu sebagai berikut:
2.1.1. Pengawasan terhadap praktik outsourcing oleh Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan Kabupaten Banjarnegara dilakukan terhadap jenis
outsourcing yang berbentuk penyedia tenaga kerja. Pendataan
terhadap perusahaan outsourcing yang melakukan penyediaan
tenaga kerja/buruh dapat dilakukan dengan baik karena adanya
keharusan bagi perusahaan outsourcing yang ingin melakukan
praktik outsourcing yang berupa penyediaan tenaga kerja/buruh
untuk memiliki ijin operasional perusahaan yang diterbitkan oleh
Dinas Tenaga Kerja Banjarnegara.
2.1.2. Pelaksanaan pengawasan terhadap praktik outsourcing di
K abupat en B anj a rne gar a, yai t u Pega w ai Pengaw as
Ketenagakerjaan Kabupaten Banjarnegara melakukan suatu
pengawasan lapangan. Pengawasan lapangan dilaksanakan dengan
melakukan kunjungan dan pemeriksaan ke perusahaan outsourcing.
Namun demikian pemeriksaan lapangan ini sulit dilakukan secara
kontinyu karena terkendala biaya, jarak serta waktu. Hal ini terjadi
95
karena perusahaan outsourcing tidak ada yang berdomisili atau
beralamat di Banjarnegara, semuanya dari Semarang dan
Yogyakarta, sehingga sulit untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan.
2.1.3. Jenis pemeriksaan lapangan yang dilaksanakan Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
1) Pemeriksaan pertama yaitu pemeriksaan yang mencakup aspek
norma kerja dan norma kesehatan dan keselamatan kerja;
2) Pemeriksaan berkala yaitu pemeriksaan yang dilakukan secara
berkala minimal satu tahun sekali yang pemeriksaannya secara
umum sama dengan apa yang dilakukan pada pemeriksaan
pertama;
3) Pemeriksaan khusus yaitu pemeriksaan yang dilakukan apabila
ada hal-hal tertentu, misalnya ada pengaduan atau atas perintah
atasan untuk suatu hal di perusahaan.
2.1.4. Wujud pengawasan terhadap praktik outsourcing adalah sebagai
berikut:
1) Pengawasan terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi
perusahaan untuk dapat melakukan praktek outsourcing:
a) Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundangundangan mengenai ijin operasional perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh
Pengawasan dilakukan berdasarkan pada Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
96
KEP.101/MEN/VI/2004 Tentang Tata Cara Perijinan
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Pengawasan ini
dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap
dokumen mengenai ijin operasional perusahaan penyedia
jasa/buruh.
b) Pengawasan terhadap perjanjian penyediaan jasa
pekerja/buruh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Pengawasan dilakukan berdasarkan pada Pasal 66 UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
KEP.101/MEN/VI/2004 Tentang Tata Cara Perijinan
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Pengawasan ini
dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap isi dari
perjanjian penyediaan tenaga kerja/buruh yang dibuat
secara tertulis antara perusaahaan outsourcing dengan
perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing.
c) Pengawasan terhadap syarat-syarat penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
Pengawasan ini dilaksanakan dengan melakukan
pemeriksaan terhadap isi dari perjanjian pemborongan
pekerjaan yang dibuat secara tertulis oleh perusahaan
outsourcing dengan perusahaan yang menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaannya. Pengawasan ini
97
dilakukan berdasarkan pada Pasal 65 UU Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:
KEP.220/MEN/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
2) Pengawasan terhadap norma kerja:
a) Pengawasan terhadap waktu kerja dan waktu istirahat yang
diterapkan perusahaan outsourcing dalam mempekerjakan
pekerjanya
Pengawasan ini dilakukan pegawai pengawas dengan
melakukan pemeriksaan terhadap dokumen waktu kerja dan
waktu istirahat yang diterapkan oleh perusahaan
outsourcing. Pengawasan dilakukan untuk mengetahui
bagaimana pelaksanaan waktu kerja dan waktu istirahat
yang diterapkan perusahaan outsourcing. Pengawasan ini
juga dilakukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan
cuti dan kerja lembur. Pengawasan ini dilakukan
berdasarkan pada Pasal 77 - Pasal 85 UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan
b) Pengawasan terhadap hubungan kerja yang terjadi antara
perusahaan outsourcing dengan pekerja
Pengawasan ini dilakukan dengan memeriksa perjanjian
kerja yang dibuat antara pekerja dengan perusahaan
98
outsourcing. Dari pemeriksaan tersebut dapat diketahui
mengenai bentuk dan jangka waktu hubungan kerja yang
terj adi antara perusahaan outsourcing dengan pekerj anya.
Pengawasan ini dilaksanakan berdasarkan pada Pasal 50 Pasal 63 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
c)
Pengawasan terhadap perlindungan terhadap penyandang
cacat
Pengawasan ini diakukan dengan memperhatikan Pasal 67
ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
administratif terhadap daftar karyawan yang bekerja di
perusahaan dan pengecekan ke tempat kerja.
d) Pengawasan terhadap perlindungan terhadap pekerja anak
Pengawasan ini dilakukan dengan memperhatikan Pasal 68
–
Pasal 75 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang mengatur tentang perlindungan terhadap pekerj a anak.
Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
terhadap daftar karyawan yang bekerja di perusahaan dan
melakukan pengecekan ke tempat kerja.
e)
Pengawasan terhadap perlindungan terhadap pekerja
perempuan
Pengawasan ini dilakukan dengan memeriksa daftar pekerja
perempuan yang ada di perusahaan. Pengawasan ini
92
dilaksanakan berdasarkan pada Pasal 76 UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur tentang
perlindungan terhadap pekerja perempuan.
f)
Pengawasan terhadap upah yang diterima pekerja
outsourcing dari perusahaan outsourcing
Pengawasan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
terhadap daftar upah dan slip gaji yang diterima dan
ditandatangani oleh pekerja. Pengawasan ini dilakukan
untuk mengetahui besarnya upah minimum yang diterima
oleh pekerja, sistem pengupahan yang dilakukan , tempat
pembayaran upah dan waktu pembayaran upah.
Pemeriksaan juga dilakukan untuk mengetahui komponenkomponen upah yang dibayarkan kepada pekerja serta
potongan-potongan yang dilakukan terhadap upah yang
diberikan tersebut.
Pengawasan ini dilakukan berdasarkan pada Pasal 88 Pasal 98 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
PP No. 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah,
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-72/MEN/1984
tentang Dasar Perhitungan Upah Lembur; Keputusan
Gubernur Jawa Tengah Nomor: 561.4/78/2006.
g) Pengawasan terhadap jaminan sosial tenaga kerja yang
diterima pekerja outsourcing dari perusahaan outsourcing
Pengawasan ini dilaksanakan dengan melakukan
pemeriksaan terhadap bukti kepesertaan program
Jamsostek, bukti pembayaran iuran program Jamsostek
100
bulan terakhir. Pengawasan ini dilaksanakan berdasarkan
pada Pasal 99 UU N o. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja, PP No. 14 Tahun 1993 tentang
Penyelengaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja jo
PP No. 83 Tahun 2000 tentang Perubahan atas PP No. 14
Tahun 1993 tentang Penyelengaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun
1993 tentang Penyakit yang Timbul Karena Hubungan
Kerja, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER03/1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.
h) Pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan norma
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) umum.
Pengawasan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
terhadap norma kesehatan dan keselamatan kerja yang
harus ada di perusahaan sesuai dengan jenis usahanya.
Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan pendataan
mengenai ijin sertifikasi penggunaan alat-alat yang
digunakan dalam pelaksanaaan kegiatan usaha dan
pemeriksaan kondisi kerja di perusahaan. Pelaksanaan
pengawasan ini dilakukan berdasarkan pada Pasal 86 Pasal 87 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dan UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Dalam pemeriksaan lapangan ini Pegawai Pengawas
101
94
melakukan wawancara dengan pekerja outsourcing.
Wawancara diperlukan untuk membuktikan kebenaran dari
data yang diberikan oleh pengusaha mengenai daftar upah,
hubungan kerja, waktu kerja, pekerja anak, pekerja cacat,
pekerja perempuan, jaminan sosial tenaga kerja,
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) umum serta hal-hal
yang berhubungan dengan kondisi kerja. Wawancara ini
dilakukan di perusahaan outsourcing maupun di perusahaan
pengguna tenaga kerja outsourcing yang bersangkutan
dimana pekerja outsourcing bekerja, hal ini dilakukan untuk
melindungi hak-hak pekerja baik di perusahaan outsourcing
maupun di perusahaan penggunanya.
2.1.5. Hasil temuan-temuan dalam pemeriksaan dicatat dalam laporan
hasil pemeriksaan/pengujian pengawasan ketenagakerjaan. Di
dalam
laporan
hasil
pemeriksaan/pengujian
pengawasan
ketenagakerjaan memuat suatu kesimpulan. Kesimpulan tersebut
merupakan hasil analisa dari temuan-temuan yang didapatkan oleh
Pegawai Pengawas pada saat melakukan pengawasan terhadap
perusahaan outsourcing yang diperiksa.
2.1.6. Laporan hasil pemeriksaan/pengujian pengawasan ketenagakerjaan
yang dibuat oleh Pegawai Pengawas Kabupaten Banjarnegara
tersebut kemudian disampaikan kepada pimpinan yaitu Kepala Sub
Dinas Pengawasan Dinas Tenaga Kerja Banjarnegara. Selanjutnya
laporan individu tersebut direkapitulasi dalam formulir yang telah
ditetapkan menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi Nomor: PER.09/MEN/V/2005 tentang Tata Cara
Penyampaian Laporan Pelaksanaan Pengawasan Ketenagakerjaan.
2.1.7. Pelaksanaan pemeriksaan berkala yang dilakukan oleh pegawai
pengawas ketenagakerjaan Kabupaten Banjarnegara dilaksanakan
minimal 1 (satu) tahun sekali. Dalam satu tahun, pemeriksaan tidak
mungkin dilakukan lebih dari satu kali terhadap satu perusahaan,
kecuali bila ada indikasi adanya suatu pelanggaran dalam
perusahaan yang bersangkutan dan harus dilakukan suatu
pemeriksaan khusus. Hal ini disebabkan karena adanya
keterbatasan dari personil Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dan
keterbatasan dana operasional untuk melakukan suatu pengawasan.
Selama ini Pegawai Pengawas belum pernah membuat nota
pemeriksaan yang ditujukan kepada perusahaan outsourcing karena
dalam pemeriksaan yang dilakukan pegawai pengawas selama ini
belum pernah ditemukan pelanggaran yang dilakukan perusahaan
outsourcing terhadap ketentuan yang mengatur mengenai norma
kerja dan syarat-syarat dalam pelaksanaan outsourcing di
Kabupaten Banjarnegara. Laporan mengenai adanya indikasi
pelanggaran dalam pelaksanaan outsourcing juga belum pernah
diterima oleh Pegawai Pengawas, jadi pengawasan khusus belum
pernah dilakukan terhadap perusahaan outsourcing.
2.1.8. Hubungan kerja yang terjadi antara perusahaan outsourcing dengan
pekerjanya telah dituangkan dalam suatu perjanjian kerja yang
dibuat secara tertulis antara perusahaan outsourcing dengan
pekerjanya. Perjanjian kerja yang dilakukan antara perusahaan
outsourcing dengan pekerjanya dibuat untuk waktu tertentu atau
10
3
waktu tidak tertentu telah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Waktu kerja dan istirahat yang diterapkan
perusahaan outsourcing terhadap pekerjanya telah dilaksanakan
dengan baik sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 77 UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu pekerja dalam 1
minggu melakukan 40 (empat puluh) jam kerja baik dilakukan
selama 5 (lima) hari kerja atau 6 (enam) hari kerja.
2.1.9 Pengupahan yang dilakukan perusahaan-perusahaan outsourcing
terhadap pekerjanya juga sudah sesuai dengan ketentuan
pengupahan, yaitu rata-rata sebesar Rp 1.000.000. Upah yang
diterima pekerja outsourcing tersebut sedikit lebih tinggi dari Upah
Minimum Kabupaten (UMK) Banjarnegara berdasarkan Keputusan
Gubernur Jawa Tengah Nomor SK 561.4/69/2010 Tanggal SK 18
November 2010, tanggal berlaku 01 Januari, tahun berlaku 2011
yaitu sebesar Rp. 730.000,00.
2.1.10. Dari temuan yang didapatkan di lapangan bahwa selama ini
pegawai pengawas belum pernah mendapati perusahaan
outsourcing di Kabupaten Banjarnegara yang mempekerjakan anak
atau pekerja cacat. Perlindungan terhadap pekerja wanita yang
dilakukan perusahaan-perusahaan outsourcing juga telah dilakukan
dengan baik, dari hasil pengawasan dan pemeriksaan yang
dilakukan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan selama ini
perusahaan-perusahaan outsourcing di Banjarnegara tidak pernah
mempekerjakan pekerja wanita untuk melakukan pekerjaan pada
pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
10
4
2.1.11. Sesuai dengan apa yang hasil pemeriksaan di lapangan, perusahaan
outsourcing di Kabupaten Banjarnegara telah memberikan jaminan
sosial tenaga kerja kepada pekerjanya dengan mendaftarkan semua
pekerjanya dalam program Jamsostek.
2.1.12. Hal -hal yang menjadi ham batan pegaw ai pengawas
ketenagakerjaan Kabupaten Banjarnegara dalam melaksanakan
pengawasan terhadap praktek outsourcing sehingga pengawasan
tidak dapat dilakukan secara optimal antara lain:
1) Belum adanya peraturan perundang-undangan yang
pelaksanaan pengawasan khusus untuk outsourcing
Tidak adanya suatu peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang bagaimana seharusnya pengawasan terhadap
outsourcing dilakukan menyebabkan tidak adanya dasar hukum
yang jelas bagi pegawai pengawas dalam melaksanakan suatu
pengawasan terhadap pelaksanaan outsourcing.
2) Kurangnya kuantitas dan kualitas pegawai pengawas
ketenagakerjaan
Jumlah personil pegawai pengawas ketenagakerjaan di
Kabupaten Banjarnegara hanya berjumlah 5 (lima) orang, hal
ini menjadi salah satu hambatan dalam melaksanakan
pengawasan ketenagakerjaaan terhadap praktek outsourcing,
karena pegawai pengawas ketenagakerjaan tidak hanya
melakukan pengawasan terhadap perusahaan outsourcing saja,
akan tetapi seluruh perusahaan yang ada di Kabupaten
Banjarnegara.
98
Dilihat dari segi kualitas, tidak adanya peningkatan kemampuan
dari institusi Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara
sendiri untuk meningkatkan kualitas dari pegawainya. Baik
dengan mengikuti pelatihan ataupun diadakan pembekalan
terkait dengan permasalahan outsourcing.
3) Perusahaan outsourcing tidak ada yang berdomisili atau
beralamat di Banjarnegara, semuanya dari Semarang dan
Yogyakarta, sehingga sulit untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan.
4) Keterbatasan biaya
Permasalahan dana operasional untuk melakukan pengawasan
dari APBD yang dirasa masih kurang.
2.2. Pelaksanaan pengawasan kesehatan dan keselamatan kerja yang
dilakukan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan terhadap praktik
outsourcing di Kabupaten Banjarnegara
2.2.1. Pelaksanaan pengawasan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja
pada praktik outsourcing yang dilakukan Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Dinas Tenaga
Kerja Kabupaten Banjarnegara tidak jauh berbeda dengan
pengawasan terhadap perusahaan biasa, karena pada dasarnya
pegawai pengawas dalam melaksanakan tugasnya tidak
memandang apakah perusahaan yang diperiksa merupakan
perusahaan outsourcing atau bukan, selama ada obyek kesehatan
dan keselamatan kerja, maka pegawai pengawas kesehatan dan
keselamatan kerja dapat melakukan pemeriksaan.
106
2.2.2. Pelaksanaan pengawasan kesehatan dan keselamatan kerja
dilaksanakan pada saat pemeriksaan lapangan dilakukan, baik itu
pemeriksaan pertama, berkala, maupun pemeriksaan khusus bila
ada indikasi terjadinya pelanggaran. Pelaksanaan pengawasan
kesehatan dan keselamatan kerja yang dilakukan Pegawai
Pengawas Ketenagakerjaan Kabupaten Banjarnegara dilaksanakan
berdasarkan PERMEN Nomor: 03/MEN/1 984 tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan Terpadu. Pengawasan dilakukan untuk
mengetahui bagaimana perusahaan outsourcing melakukan
perlindungan terhadap pekerja outsourcing yang berhubungan
dengan kesehatan dan keselamatan kerja. Dalam pemeriksaan ini
Pegawai Pengawas melakukan pemeriksaan dan pengujian terhadap
alat-alat yang dipergunakan dalam melakukan pekerjaan seharihari.
2.2.3. Pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Kerja disesuaikan dengan
jenis pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan outsourcing yang
bersangkutan. Di wilayah Kabupaten Banjarnegara sendiri
penggunaan pekerja outsourcing tidak pernah digunakan dalam
suatu proses produksi yang dapat menimbulkan resiko tinggi yang
mengakibatkan suatu kecelakaan kerja. Karena pada dasarnya
kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja outsourcing
bukan merupakan pekerjaan pokok yang berhubungan dengan
proses produksi yang tidak mempunyai resiko tinggi menyebabkan
suatu kecelakaan kerja, maka pengawasan terhadap perlindungan
kesehatan dan keselamatan kerja khusus terhadap pekerja hampir
tidak pernah dilakukan.
107
B. Pembahasan
1. Pengawasan Ketenagakerjaan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan
Terhadap Praktik Outsourcing di Banjarnegara
a. Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Norma Kerja yang dilakukan
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan terhadap praktik outsourcing di
Banj arnegara
Pengawasan terhadap praktik outsourcing oleh Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan Kabupaten Banjarnegara telah dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang ada, yaitu Pegawai Pengawas berhak:
1) mengawasi berlakunya Undang-undang dan peraturan-peraturan
perburuhan pada khususnya;
2) mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan
kerja dan keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna
membuat Undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan;
3) menjalankan pekerjaan lain-lainya yang diserahkan kepadanya dengan
Undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya
Hal ini dapat dilihat dalam hasil penelitian pada data primer nomor
2.1.4. tentang wujud pengawasan terhadap praktik outsourcing, yaitu bahwa
dalam melaksanakan pengawasan outsourcing Pegawai Pengawas melakukan
pengawasan terhadap seluruh peraturan perundang-undangan tentang
ketenagakerjaan termasuk di dalamnya mengenai pengawasan terhadap
norma kerja yang ada dalam praktik outsourcing. Dalam melakukan
pengawasan, Pegawai Pengawas juga mengumpulkan bahan-bahan dan
keterangan yang diperoleh melalui dokumen-dokumen di perusahaan yang
108
101
diperiksa maupun keterangan yang diperoleh dari pengusaha maupun
pekerja. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Hari Supriyanto yang
menyatakan bahwa:
Maksud diadakannya pengawasan ketenagakerjaan, menurut adalah sebagai
berikut:
1) Mengawasi berlakunya undang-undang dan peraturan perburuhan pada
khususnya;
2) Mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan
kerja dan keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna
membuat undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan;
3) Menjalankan pekerjaan lain-lainnya yang diserahkan kepadanya dengan
undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya.101
Lalu Husni di pihak lain berpendapat sebagai berikut:
Pengawasan ketenagakerjaan dimaksudkan untuk mendidik agar
pengusaha selalu tunduk menjalankan ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku sehingga akan dapat menjamin keamanan dan kestabilan
pelaksanaan hubungan kerja, karena seringkali perselisihan
ketenagakerjaan diebabkan oleh pengusaha tidak memberikan
perlindungan hukum kepada pekerjanya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Di samping itu, pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan akan
menjamin pelaksanaan peratura-peraturan ketenagakerjaan di semua
perusahaan secara sama, sehingga akan menjamin tidak terjadinya
persaingan yang tidak sehat.102
Pelaksanaan pengawasan yang dilaksanakan Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan seksi norma kerja telah mengacu pada lingkup pengawasan
yang diatur menurut PERMEN Nomor: 03/MEN/1984 tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan Terpadu dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: SE-. 91 8/MEN/PPK-SES/XI/2004
tentang Pelaksanaan Pengawasan Ketenagakerjaan di Propinsi
Kabupaten/Kota.
101
Hari Supriyanto. 2004. Op Cit., hal. 44
102
Lalu Husni. 2003. Op. Cit. hal. 120
110
Berdasarkan data primer nomor 2.1.2. pengawasan terhadap norma
kerja dilaksanakan melalui pemeriksaan lapangan yang dilaksanakan
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Kabupaten Banjarnegara dengan
melakukan kunjungan ke perusahaan outsourcing. Dalam kunjungan ke
perusahaan outsourcing tersebut dilakukan pertemuan dengan
pengusaha/wakil yang telah ditetapkan oleh perusahaan outsourcing yang
bersangkutan. Berdasarkan data primer nomor 2.1.4. tentang wujud
pengawasan terhadap praktik outsourcing, pemeriksaan dilakukan terhadap
dokumen-dokumen perusahaan, antara lain: ijin operasional perusahaan,
perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan tenaga
kerja/buruh, upah, waktu kerja dan waktu istirahat, hubungan kerja, jaminan
sosial, perlindungan bagi pekerja cacat, anak maupun pekerja perempuan,
dan pemeriksaan administratif terhadap ijin-ijin dalam hal perlindungan
kesehatan dan keselamatan kerja.
Wawancara dengan pekerja/buruh outsourcing telah dilakukan baik di
perusahaan outsourcing maupun di perusahaan pemberi kerja, hal ini sesuai
dengan data primer nomor 2.1.4. angka 2) huruf h), yaitu untuk membuktikan
keterangan-keterangan yang diperoleh dari pengusaha mengenai daftar upah,
hubungan kerja, waktu kerja, pekerja anak, pekerja cacat, pekerja perempuan,
jaminan sosial tenaga kerja, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) umum
serta hal-hal yang berhubungan dengan kondisi kerja.
Dilakukannya pengawasan seperti sebagaimana tersebut di atas, maka
dapat disimpulkan bentuk dan cara pelaksanaan pengawasan terhadap norma
kerja dalam praktik outsourcing yang dilakukan Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan di Kabupaten Banjarnegara adalah:.
111
1) Membuat rencana kerja untuk melakukan pemeriksaan lapangan;
2) Melakukan kunjungan ke perusahaan outsourcing maupun ke perusahaan
pengguna pekerja outsourcing;
3) Melakukan pertemuan dengan wakil yang ditunjuk oleh perusahaan;
4) Melakukan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen perusahaan antara
lain: ijin operasional perusahaan, perjanjian pemborongan pekerjaan atau
perjanjian penyediaan tenaga kerja/buruh, upah, waktu kerja, hubungan
kerja, jaminan sosial, perlindungan bagi pekerja anak, perlindungan
pekerja cacat maupun perlindungan pekerja perempuan dan pemeriksaan
administratif terhadap ijin-ijin dalam hal perlindungan kesehatan dan
keselamatan kerja;
5) Melakukan wawancara dengan pekerja outsourcing di perusahaan
outsourcing maupun di perusahaan pemberi kerja;
6) Mencatat temuan-temuan yang didapatkan dalam pemeriksaan dan
pengujian, kemudian melakukan analisa terhadap temuan-temuan
tersebut untuk dijadikan suatu kesimpulan dalam laporan hasil
pemeriksaan/pengujian pengawasan ketenagakerjaan.
Pencatatan temuan-temuan yang didapatkan dalam pemeriksaan dan
pengujian, dan dituangkan dalam bentuk laporan hasil pemeriksaan/
pengujian pengawasan ketenagakerjaan merupakan tugas dan fungsi
pengawas ketenagakerjaan. Hal ini sebagaimana dikatakan Djoko Triyanto,
bahwa tugas dan fungsi pengawas ketenagakerjaan adalah:
1) Mengawasi pelaksanaan semua peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan;
2) Memberikan informasi, peringatan dan nasehat teknis kepada pengusaha
dan tenaga kerja dalam menjalankan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan agar dapat berjalan dengan baik, dan
112
3
) Melaporkan dan melakukan penyidikan berkaitan pelanggaranpelanggaran yang dilakukan pengusaha terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan kepada yang lebih berwenang,
setelah diberikan peringatan beberapa kali.103
Dalam hal pendaftaran perjanjian penyediaan jasa/buruh atau perjanjian
pemborongan pekerjaan yang dibuat antara perusahaan outsourcing dengan
perusahaan pengguna, telah didaftarkan pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan, dalam hal ini Dinas Tenaga
Kerja Kabupaten Banjarnegara. Hal ini merupakan suatu keawajiban yang
harus dipatuhi oleh perusahaan penyedia jasa penyedia jasa/buruh sesuai
ketentuan yang ada pada Pasal 5 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Dan Transmigrasi Nomor: KEP. 101 /MEN/VI/2004 tentang Tata Cara
Perijinan Perusahaan Jasa Pekerja/Buruh.
Apabila tidak mendaftarkan perjanjian tersebut maka dapat dilakukan
suatu penindakan karena telah terjadi suatu pelanggaran, tindakan tersebut
adalah mencabut ijin operasional perusahaan outsourcing yang bersangkutan
hal ini sesuai dengan ketentuan yang ada pada Pasal 7 ayat (1) Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor: KEP. 101 /MEN/VI/2004
Tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Jasa Pekerja/Buruh yang bahwa
Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak mendaftarkan
perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh, maka instansi yang bertanggung
jawab di bdang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
mencabut ijin operasional perusahaan penyedia jasa keperja/buruh yang
bersangkutan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5.
103
Djoko Triyanto. 2004. Op. Cit., hal. 159
113
b. Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja
yang dilakukan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan terhadap praktik
outsourcing di Banjarnegara
Salah satu unsur yang sangat penting untuk menjamin terlaksananya
peraturan kesehatan dan keselamatan kerja adalah adanya suatu sistem
pengawasan yang bertugas mengawasi pelaksanaan perundang-undangan.
Unsur pengawasan merupakan salah satu kebijaksanaan yang bersifat
preventif untuk mendeteksi sedini mungkin terjadinya pelanggaranpelanggaran di bidang keselamatan kerja. Sebagai penegak hukum, pegawai
pengawas ketenagakerjaan diharapkan dapat mendeteksi sedini mungkin
resiko-resiko yang akan terjadi di lapangan.
Untuk melindungi keselamatan pekerja atau buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan
kesehatan kerja. Perlindungan tersebut seharusnya dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 86 ayat
(1) UU No. 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa:
Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilainilai agama.
Sesuai dengan rumusan pada pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa semua pekerja/buruh berhak mendapatkan hak untuk memperoleh
keselamatan dan kesehatan kerja, tidak terkecuali pekerja/buruh outsourcing.
Untuk mewujudkan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, maka
pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara
melalui Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan telah melakukan upaya
106
pengawasan di perusahaan atau di tempat kerja yang mempekerjakan
pekerja/buruh outsourcing. Hal ini dilaksanakan berdasarkan pada ketentuan
pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja,
menyatakan bahwa:
Tempat kerja terdiri dari tiga unsur:
1. Tempat dimana dilakukan pekerjaan bagi sesuatu usaha;
2. Adanya tenaga kerja yang bekerja di sana;
3. Adanya bahaya kerja di tempat itu.
Sebagaimana telah diuraikan dalam hasil penelitian, bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan,
kesehatan dan keselamatan kerja hanya dilakukan terhadap aspek pekerjanya,
yang dalam hal ini adalah alat perlindungan diri yang digunakan oleh pekerja
dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal ini dikarenakan pekerjaan yang
dilakukan pekerja outsourcing di Kabupaten Banjarnegara tidak
menyebabkan resiko tinggi secara langsung yang dapat menyebabkan suatu
kecelakaan kerja.
Beberapa ketentuan penting yang telah dilaksanakan dalam
pengawasan antara lain adalah Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan
Kabupaten Banjarnegara telah melakukan kewajibannya untuk melakukan
pengawasan terhadap pekerja, pegawai pengawas telah melakukan kunjungan
ke tempat dimana pekerja outsourcing tersebut menjalankan pekerjaannya
baik di perusahaan outsourcing yang melakukan pemborongan pekerjaan
maupun di perusahaan pengguna jasa tenaga kerja outsourcing walaupun
pengawasan yang dilakukan di perusahaan pengguna tidak dilakukan secara
khusus untuk melakukan pengawasan praktik outsourcing, pengawasan di
perusahaan yang melakukan pemeriksaan terhadap alat perlindungan diri
yang digunakan oleh pekerja.
115
Pegawai pengawas juga telah melakukan wawancara dengan pekerja
outsourcing baik yang bekerja di perusahaan outsourcing yang berbentuk
perusahaan pemborongan pekerjaan maupun terhadap pekerja outsourcing
yang bekerja di perusahaan pengguna tenaga outsourcing. Dengan tahapantahapan pengawasan yang telah dilakukan oleh pegawai pengawas
ketenagakerjaan kesehatan dan keselamatan kerja tersebut secara umum
pengawasan yang dilakukan telah dilaksanakan dengan cukup baik karena
tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengawasan praktik outsourcing telah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam PERMEN Nomor:
03/MEN/1 984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu, Surat Edaran
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: SE-.9 1 8/MEN/PPKSES/XI/2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan Ketenagakerjaan di Propinsi
Kabupaten/Kota.
2. Hamb atan -ha mbatan y ang mun cul dalam Proses Penga wa sa n
Ketenagakerjaan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan terhadap
Praktik Outsourcing di Banjarnegara
Pegawai pengawas ketenagakerjaan memegang peranan yang penting
dalam penegakan hukum ketenagakerjaan di Indonesia, sebagai penegak hukum
pegawai pengawas memegang peranan penting dalam memberikan perlindungan
hukum pengusaha maupun pekerja. Namun demikian, sumber daya manusia pada
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara baik dari segi kuantitas maupun
kualitas sangat kurang untuk memenuhi standar sebagai suatu lembaga
pemerintah yang mempunyai tugas berat sebagai penegak hukum atau untuk
116
mengawal adanya praktik outsourcing. Dari segi kuantitas, kurangnya jumlah
personil pegawai pengawas ketenagakerjaan yang hanya berjumlah 5 (lima)
orang, berbanding dengan 15 (lima belas) perusahaan outsourcing, menjadi suatu
hambatan intern dari Dinas Tenaga Kerja.
Kuantitas pegawai pengawas ketenagakerjaan merupakan salah satu
hambatan yang cukup besar dalam pelaksanaan pengawasan. Dapat dilihat dalam
hasil penelitian bahwa dalam satu bulan setiap pegawai pengawas yang
berjumlah 5 (lima) orang mempunyai kewajiban untuk melakukan pengawasan
terhadap 15 (lima belas) perusahaan outsourcing.
Dilihat dari segi kualitas, tidak adanya peningkatan kemampuan dari
institusi Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara sendiri untuk
meningkatkan kualitas dari pegawainya untuk mengikuti pelatihan ataupun
pembekalan terkait dengan permasalahan outsourcing. Untuk meningkatkan
kemampuan, pegawai pengawas tersebut harus berusaha secara mandiri atau
swadaya, tidak ada fasilitas yang diberikan oleh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten
Banjarnegara.
Solusi yang seharusnya dilakukan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten
Banjarnegara adalah mengusulkan kepada kementerian terkait untuk melakukan
penambahan jumlah pegawai pengawas ketenagakerjaan di Dinas Tenaga Kerja
Kabupaten Banjarnegara sehingga tidak terjadi ketimpangan yang begitu besar
antara jumlah obyek pengawasan dengan subyek yang melakukan pengawasan.
Demi meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam hal ini pegawai
pengawas ketenagakerjaan, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara harus
melakukan pembekalan dan pelatihan yang terkait dengan masalah outsourcing.
117
Keterbatasan biaya juga menjadi suatu hambatan pelaksanaan pengawasan
outsourcing di Wilayah Kabupaten Banjarnegara. Biaya menjadi hambatan
karena perusahaan outsourcing yang beroperasi justru beralamat di luar
Kabupaten Banjarnegara (Semarang dan Yogyakarta), sehingga membutuhkan
pembiayaan yang sangat besar. Solusi untuk masalah ini tentunya, pihak Dinas
Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara hendaknya mengusulkan untuk
menambah anggaran untuk operasional pengawasan, karena jika hal ini dibiarkan
maka pengawasan ketenagakerjaan di Kabupaten Banjarnegara akan selamanya
tidak dapat berjalan secara optimal.
Hambatan lain yang terjadi dalam pelaksanaan pengawasan outsourcing
yang terjadi adalah belum adanya suatu peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang bagaimana seharusnya pengawasan terhadap outsourcing
dilakukan, menyebabkan tidak adanya dasar hukum yang jelas bagi pegawai
pengawas dalam melaksanakan suatu pengawasan terhadap pelaksanaan
outsourcing. Maka solusi yang dibutuhkan untuk mengatasi hambatan ini adalah
diperlukan adanya peraturan perundang-undangan tentang petunjuk pelaksanaan
pengawasan outsourcing agar ada dasar hukum yang jelas dalam melakukan
pengawasannya.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Pengawasan ketenagakerjaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap
praktek outsourcing di Banjarnegara, meliputi:
a. Pelaksanaan pengawasan terhadap norma kerja
Pelaksanaan pengawasan norma kerja yang dilakukan pegawai pengawas
ketenagakerjaan terhadap praktek outsourcing telah dilaksanakan sesuai
dengan aturan yang berlaku, yaitu dilakukan terhadap objek-objek
pengawasan, antara lain: upah, hubungan kerja, waktu kerja, pekerja
perempuan, pekerja anak, pekerja cacat, jaminan sosial tenaga kerja,
keselamatan dan kesehatan kerja umum, ijin operasional perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh dan perjanjian pemborongan pekerjaan/
perjanjian penyediaan jasa pekerja atau buruh.
b. Pelaksanaan pengawasan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja
Pelaksanaan pengawasan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja yang
dilakukan pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap praktek outsourcing
telah dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Obyek kesehatan dan
keselamatan kerja yang diawasi adalah pengawasan terhadap penggunaan
alat perlindungan diri yang digunakan oleh pekerja outsourcing dalam
melakukan pekerjaannya. Pengawasan kesehatan dan keselamatan kerja
119
dalam praktek outsourcing hanya dilakukan terhadap alat perlindungan diri
yang digunakan oleh pekerja karena pada dasarnya pekerjaan yang dioutsource-kan tidak mengandung resiko tinggi yang dapat menyebabkan
suatu kecelakaan kerja.
2. Hambatan-hambatan yang muncul dalam proses pengawasan ketenagakerjaan
oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap praktek outsourcing di
Banjarnegara adalah:
a. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pelaksanaan pengawasan khusus untuk outsourcing.
b. Kurangnya kuantitas dan kualitas personil pegawai pengawas
ketenagakerjaan.
c. Keterbatasan biaya untuk melakukan pengawasan ketenagakerjaan.
d. Domisili perusahaan outsourcing yang berada di luar Kabupaten
Banjarnegara (yaitu berada di Semarang dan Yogyakarta) menyulitkan untuk
dilakukan pengawasan secara optimal.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan serta kesimpulan yang telah
diuraikan, maka dapat diajukan saran-saran sebagai berikut :
1. Diperlukan adanya suatu peraturan perunadang-undangan yang mengatur secara
lengkap mengenai tata cara pelaksanaan dan pengawasan outsourcing.
2. Dengan keterbatasan personil dalam hal kuantitas dan kualitas diperlukan adanya
penambahan jumlah personil dalam sistem kepegawaian dan meningkatkan
sumber daya manusia dari segi kualitas dengan mengadakan pembekalan dan
pelatihan secara periodik.
120
3. Keterbatasan biaya operasional yang dialami Dinas Tenaga Kerja Kabupaten
Banjarnegara dalam melakukan suatu pengawasan ketenagakerjaan hendaknya
dapat diatasi dengan melakukan perencanaan untuk menambah dana biaya
operasional pengawasan ketenagakerjaan.
Download