BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diundangkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, outsourcing pekerja menjadi menjamur. Outsourcing merupakan suatu hubungan kerja dimana pekerja/ buruh yang dipekerjakan di suatu perusahaan dengan sistem kontrak. Akan tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan pemberi kerja, melainkan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja. Dalam hal ini para pengusaha merasa aman dalam rangka efisiensi biaya produksi (cost of production) jika buruh yang dikontrak kerja adalah buruh milik perusahaan jasa pekerja, maka yang bertanggung jawab terhadap buruh outsourcing tadi adalah perusahaan jasa pekerja. Outsourcing adalah suatu bentuk perjanjian antara perusahaan satu sebagai pengguna jasa dengan perusahaan yang lain sebagai penyedia jasa. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Retno Kusumayanti sebagai berikut: Outsourcing berasal dari kata out yang berarti keluar dan source yang berarti sumber. Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan A sebagai pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan A dengan membayar sejumlah uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan.1 Retno Kusumayanti. 2010. Pelaksanaan Outsourcing Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Pekerja. Diunduh dari http://s2.hukum.univpancasila.ac.id/ pada tanggal 9 Maret 2011 1 2 Pengertian outsourcing tidak disebutkan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun demikian pengertian outsourcing kurang lebih sama seperti yang tercantum dalam Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 yang menentukan sebagai berikut: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dalam Undang-undang makna dari outsourcing adalah menyerahkan sebagian dari pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Dalam kenyataan di lapangan, praktik outsourcing lebih dikenal dengan istilah penggunaan perusahaan sebagai penyalur tenaga kerja. Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 menegaskan tentang penyerahan sebagian dari pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya sebagai berikut: (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. (2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. (3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum. (4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimak-sud dalam ayat (2) sekurangkurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. 3 (6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. (7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. (8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. (9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 selanjutnya menegaskan tentang larangan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk menggunakan jasa pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, sebagai berikut: (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. (2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan lang-sung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal 4 sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Abu Umar. 2010. Outsourcing Di Mata Undang-Undang. Diunduh dari http://www.pks sumatera.org pada tanggal 9 Maret 2011. (Abu Umar adalah anggota DPR RI dari Fraksi PKS) 2 5 (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Penjelasan Pasal 66 ayat (1) selanjutnya menegaskan bahwa: Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Berdasarkan ketentuan Pasal 65 dan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 tersebut Abu Umar memberikan penjelasan sebagai berikut: Di dalam undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan khsususnya pada pasal 65 dan 66 menyebutkan bahwa penggunaan outsourcing dapat dilakukan sepanjang itu adalah pekerjaan di luar dari pekerjaan utama, artinya bahwa praktek outsourcing sesungguhnya dibenarkan oleh Undangundang untuk pekerjaan yang bukan pekerjaan utama. Selama outsourcing digunakan untuk pekerjaan sampingan atau pekerjaan yang bukan pekerjaan utama maka outsourcing tersebut dibenarkan menurut undang-undang. Akan tetapi bila pekerjaan itu adalah pekerjaan utama, maka sesungguhnya praktek outsourcing batal demi hukum.2 Berdasarkan Penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, Abu Umar mengatakan bahwa jenis usaha atau kegiatan yang diperbolehkan untuk dioutsourcing hanya ada 5 jenis usaha yaitu: 1. Usaha pelayanan kebersihan (cleaning sevice). 2. Usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering). 6 3. Usaha tenaga pengamanan (security/satpam). 4. Usaha jasa penunjang pertambangan dan perminyakan. 5. Usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Selain dari lima jenis kegiatan seperti yang disebutkan di atas, outsourcing tidak diperbolehkan dan bila terjadi, maka hal tersebut batal demi hukum.3 Permasalahan yang terjadi di lapangan adalah adanya pelanggaran terhadap ketentuan yang ada dalam Undang-undang. Untuk masalah outsourcing, yang sering terjadi adalah pengusaha melakukan praktik outsourcing untuk jenis usaha yang masuk dalam kategori pekerjaan utama. Alasan yang sering digunakan oleh para pengusaha adalah bahwa penafsiran tentang definisi dari pekerjaan utama masih belum jelas, padahal kalau merujuk pada Penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 terlihat jelas bahwa yang boleh di-outsourcing hanyalah 5 jenis kegiatan saja. Jadi penafsiran terkait dengan defenisi pekerjaan utama harusnya merujuk pada penjelasan tersebut. Penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan mengenai outsourcing, baik oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh maupun perusahaan yang memanfaatkan jasa pekerja/buruh, inilah maka diperlukan suatu pengawasan ketenagakerjaan. Abu Umar berkaitan dengan hal tersebut memberikan pendapatnya sebagai berikut: Dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia, dikenal adanya istilah pengawasan ketenagakerjaan yang mempunyai fungsi utama yaitu; melakukan pencegahan dan penindakan atas pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan (penegakan hukum). Adapun tujuan dari pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan adalah untuk melindungi pencari kerja, melindungi hak pekerja, melindungi keselamatan pekerja dan melindungi jaminan sosial pekerja. Namun sekarang ini tujuan tersebut tidak kunjung tercapai karena kenyataannya masih banyak hak-hak para pekerja tidak tepenuhi dan jaminan sosial para pekerja juga tidak terlindungi. Contoh yang paling konkret adalah tentang permasalahan outsourcing. Di dalam undang-undang telah diatur tentang pekerjaan mana saja yang boleh dioutsourcing, namun kenyataanya banyak perusahaan yang tidak mengindahkan hal tersebut sehingga hak-hak pekerja tidak terlindungi. Peran pengawas ketenagakerjaan sangat lemah bahkan bisa dibilang tidak berjalan. Permasalahan 7 3 Ibid, tanpa halaman. 8 utama sehingga praktik outsourcing yang tidak sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan tetap subur adalah karena lemahnya atau tidak berjalannya fungsi tenaga pengawas yang ada di lingkungan dinas tenaga kerja. Kalau seandainya berjalan, maka praktek outsourcing yang illegal tentunya tidak akan merajalela seperti sekarang ini.4 Abu Umar lebih lanjut menjelaskan sebagai berikut: Oleh karena itu, yang harus dipertanyakan adalah apakah keberadaan Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan (PPK) masih layak ada/atau tidak karena selama ini para pekerja belum merasakan manfaat keberadaannya secara maksimal, di sisi lain penjabaran tentang fungsi dan tugas dari Dirjen PPK tidak jelas. Salah satu bukti tidak berjalannya fungsi pengawasan ketenagakerjaan adalah maraknya praktek outsourcing yang tidak sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003, namun tidak ada penindakan dari Dinas Tenaga Kerja maupun Departemen Tenaga Kerja. Bahkan di beberapa daerah, praktek outsourcing mendapatkan perlindungan dari pengawas itu sendiri .5 Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengawasan ketenagakerjaan, dengan judul: “PENGAWA SAN KETENAGAKERJAAN OLEH PEGAWAI PENGAWAS KETENAGAKERJAAN TERHADAP PRAKTiK OUTSOURCING DI KABU PATEN BANJARN EGARA (Studi di Dinas Tenaga Kerja Banj arnegara). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengawasan ketenagakerjaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap praktik outsourcing di Kabupaten Banj arnegara ? 2. Hambata-hambatan apa yang muncul dalam proses pengawasan ketenagakerjaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap praktik outsourcing di Kabupaten Banjarnegara ? C. Tujuan Penelitian 4 5 Ibid, tanpa halaman. Ibid, tanpa halaman. 9 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Proses pengawasan ketenagakerjaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap praktik outsourcing di Kabupaten Banjarnegara. 2. Hambatan-hambatan yang muncul dalam proses pengawasan ketenagakerjaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap praktik outsourcing di Banjarnegara dan langkah yang diambil untuk mengatasi hambatan tersebut. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi teori ilmu hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua pihak, baik bagi pemerintah daerah maupun pekerja/buruh, yaitu mengenai ketenagakerjaan terhadap praktik outsourcing. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Ketenagakerjaan 1. Pengertian Ketenagakerjaan Pengertian ketenagakerjaan menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut: Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Hardijan Rusli dalam hal pengertian ketenagakerjaan tersebut menjelaskan sebagai berikut: Hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum masa kerja misalnya adalah kesempatan kerja, perencanaan tenaga kerja dan penempatan tenaga kerja, sedangkan hal sesudah masa kerja, misalnya adalah masalah pensiun. Hal yang dibahas dalam UU No. 13 Tahun 2003 ini sebagian besar atau hampir seluruhnya adalah merupakan hal-hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu selama masa kerja dan hal yang berhubungan dengan tenaga kerja sesudah masa kerja, misalnya pensiun dibahas dalam pemutusan hubungan kerja.6 Pasal 1 angka 2 selanjutnya menyatakan tentang pengertian tenaga kerja sebagai berikut: Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 6 Hardijan Rusli. 2004. Hukum Ketenagakerjaan. Ghalia Indonesia. Jakarta hal. 12-13 11 Berdasarkan pengertian tenaga kerja tersebut, Hardijan Rusli memberikan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: Pengertian tenaga kerja ini lebih luas dari pengertian pekerja/ buruh karena pengertian tenaga kerja mencakup pekerja/buruh, yaitu tenaga kerja yang sedang terikat dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja yang belum bekerja. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan kata lain, pekerja/buruh adalah tenaga kerja yang sedang dalam ikatan hubungan kerja.7 2. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan Batasan pengertian hukum ketenagakerjaan, dulu disebut hukum perburuhan atau arbeidrechts, juga sama dengan pengertian hukum itu sendiri, yakni masih beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing ahli hukum. Tidak satupun batasan pengertian itu dapat memuaskan karena masing-masing ahli hukum memiliki alasan tersendiri. Mereka melihat hukum ketenagakerjaan dari berbagai sudut pandang yang berbeda, akibatnya pengertian yang dibuat tentu berbeda antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lainnya. Sebagai perbandingan, berikut beberapa pendapat ahli hukum, sebagaimana dikutip oleh Abdul Khakim, mengenai pengertian hukum ketenagakerjaan: Molenaar dan Asikin menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku yang pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha serta antara tenaga kerja dan tenaga kerja. Soetikno menyatakan bahwa hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan di bawah perintah/pimpinan orang lain dan mengenai keadaankeadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan hubungan kerja. Syahrani menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan perburuhan, yaitu hubungan antara buruh dengan majikan dan hubungan buruh dan majikan dengan pemerintah.8 Ibid. hal. 13 Abdul Khakim. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4-5 7 8 10 Lalu Husni mengemukakan pendapatnya tentang pengertian hukum ketenagakerjaan sebagai berikut: Hukum ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja, baik sebelum kerja, selama atau dalam hubungan kerja, dan sesudah hubungan kerja. Jadi pengertian hukum ketenagakerjaan lebih luas dari hukum perburuhan yang selama ini dikenal yang ruang lingkupnya hanya berkenaan dengan hubungan hukum antara buruh dengan majikan dalam hubungan kerja saja.9 Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka hukum ketenagakerjaan memilik unsur-unsur: a. Serangkaian peraturan yang berbntuk tertulis dan tidak tertulis b. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha/majikan c. Adanya orang bekerja pada dan di bawah orang lain, dengan mendapat upah sebagai balas jasa. d. Mengatur perlindungan pekerja/buruh, meliputi masalah keadaan sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja buruh. Dengan demikian, hukum ketenagakerjaan adalah peraturan hukum yuang mengatur hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan dengan segala konsekuensinya.10 3. Tujuan Hukum Ketenagakerjaan Berdasarkan Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003 bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk: a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Tujuan hukum ketenagakerjaan dikemukakan oleh Sendjun H. Manulang sebagai berikut: 9 Lalu Husni. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. RajaGrafindo Persada. 13 Jakarta. hal. 24 10 Abdul Khakim. 2003. Op. Cit. hal. 5-6 Sendjun H. Manulang. 1995. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan dan Peraturan Perusahan. Rineka Cipta. Jakarta. hal. 2. 11 a. Untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan. b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha. Butir (a) lebih menunjukkan bahwa hukum ketenagakerjaan harus menjaga ketertiban, keamanan, dan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait dalam proses produksi, untuk mencapai ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha. Sedangkan butir (b) dilatarbelakangi adanya pengalaman selama ini yang kerap kali terjadi kesewenang-wenangan pengusaha terhadap pekerja/buruh. Untuk itu diperlukan suatu perlindungan hukum secara komprehensif dan konkret oleh pemerintah.11 4. Sifat Hukum Ketenagakerjaan Hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha yang berarti mengatur kepentingan orang perorangan. Atas dasar itulah, maka hukum ketenagakerjaan bersifat privat (perdata) Di samping itu, dalam pelaksanaan hubungan kerja untuk masalah-masalah tertentu diperlukan campur tangan pemerintah, karenanya hukum ketenagakerjaan bersifat publik. Abdul Khakim membagi sifat hukum ketenagakerjaan menjadi 2 (dua), yaitu: Bersifat imperatif dan bersifat fakultatif. Hukum bersifat imperatif atau dwingenrehct (hukum memaksa) artinya hukum yang harus ditaati secara mutlak, tidak boleh dilanggar, contoh: a. Pasal 42 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengenai perlunya izin penggunaan tenaga kerja asing. b. Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengenai ketentuan pembuatan perjanjian kerja antar waktu tertentu (PKWT) c. Pasal 153 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengenai larangan melakukan PHK terhadap kasus-kasus tertentu. d. Pasal 4 ayat (1) UU No.3 Tahun 1992 mengenai kewajiban pengusaha untuk mengikutsertakan para pekerjanya ke dalam Program Jamsostek. e. Pasal 13 Peraturan Menaker No. PER-01/MEN/1999 mengenai larangan bagi perusahaan yang membayar upah lebih rendah dari Upah Minimum. Sedangkan hukum bersifat fakultatif atau regelendrecht/aanvul-lendrecht (hukum yang mengatur/melengkapi), artinya hukum yang dapat dike sampigkan pelaksanaannya, contoh: 15 12 a. Pasal 51 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengenai pembuatan perjanjian kerja bisa ditulis dan tidak ditulis. b. Pasal 60 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengenai perjanjiankerja waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan 3 (tiga) bulan. c. Pasal 16 PP No. 8 Tahun 1981 mengenai kebebasan pengusaha untuk membayar gaji di tempat yang lazim. d. Pasal 2 PP No. 14 Tahun 1993 mengenai kewajiban ikut serta dalam program Jamsostek, di mana program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) dapat diabaikan sepanjang pengusaha telah memberikan pelayanan kesehatan dengan manfaat yang lebih baik dari standar Jamsostek.12 B. Ketenagakerjaan Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerj aan 1. Ruang Lingkup UU No. 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materil maupun spiritual.13 Hardijan Rusli, berkenaan dengan pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan penjelasan sebagai berikut: UU No. 13 Tahun 2003 kiranya diusahakan sebagai peraturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial, tetapi, bila dilihat dari pengertian 12 Abdul Khakim. 2003. Op. Cit. hal. 8-9 Sendjun H. Manulang. 1995. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan dan Peraturan Perusahan. Rineka Cipta. Jakarta. hal. 2. 11 13 Penjelasan Umum atas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 17 ketenagakerjaan sebagai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja, maka UU No. 13 Tahun 2003 ini belumlah menyeluruh dan komprehensif karena hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sesudah masa kerja, seperti masalah pensiun tidak dibahas dalam undang-undang ini.14 2. Landasan, Asas, dan Tujuan Landasan pembangunan ketenagakerjaan ada dua, yaitu didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, yaitu sebagai berikut: Pancasila, yang terdiri dari: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab. 3) Persatuan Indonesia. 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.15 Pasal-pasal UUD 1945 yang menjadi landasan bagi pembangunan ketenagakerjaan adalah: a. Pasal 27 ayat ayat (2) UUD 1945: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal yang sama dengan pasal 27 ialah Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 manyatakan bahwa: Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. b. Pasal 28H ayat 1 UUD 1945: Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hardijan Rusli. 2004. Op. Cit. hal. 9 15 Ibid. hal. 13 14 18 c. Pasal 28H ayat 2 UUD 1945: Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. d. Pasal 28H ayat 3 UUD 1945: Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. e. Pasal 28H ayat 4 UUD 1945: Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. f. Pasal 281 ayat 2 UUD 1945: Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Asas pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 diatur pada Pasal 3 sebagai berikut: Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Penjelasan Pasal 3 selanjutnya menentukan sebagai berikut: Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja/ buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling menguntungkan. 19 Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003 selanjutnya menyatakan tentang tujuan pembangunan ketenagakerjaan sebagai berikut: Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan: a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarga Berdasarkan ketentuan Pasal 4 tersebut, Hardijan Rusli menjelaskan sebagai berikut: a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi. Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya sehingga dapat meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materil maupun spiritual. b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah. Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan RI sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah. c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan. Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/ buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengernbangan dunia usaha. d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarga. Masyarakat Indonesia sebagian besar adalah merupakan tenaga kerja dan keluarganya, karena itu kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya mempunyai andil yang besar dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, 20 baik materil maupun spiritual tidak dapat dicapai bila tenaga kerja dan keluarganya tidak sej ahtera. Meni ngkatkan kesej ahteraan tenaga kerj a dan keluarganya merupakan bagian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.16 Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat. Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa: Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Ketentuan ini sama seperti ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang intinya adalah setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, karena pekerjaan itu merupakan hak bagi setiap orang, maka tidak boleh ada orang yang menghalangi hak tersebut dengan cara membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama dan aliran politik. Pasal 6 UU No. 13 Tahun 2003 selanjutnya menyatakan bahwa: Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Hardijan Rusli mengatakan bahwa pengertian “pengusaha” dalam Pasal 6 ini perlu mendapat perhatian karena pengertian pengusaha secara umum adalah: a. Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menj alankan suatu perusahaan milik sendiri. b. Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya. c. Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan, baik miliknya sendiri maupun bukan miliknya sendiri yang berkedudukan di luar Indonesia.17 16 17 Ibid. hal. 15-16 Ibid. hal. 17 21 Hardijan Rusli lebih jauh lagi menjelaskan sebagai berikut: Secara umum pengertian penguasaha adalah mencakup orang pribadi, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan. Sedangkan pengertian pengusaha dalam Pasal 6 ini harus dibaca sehubungan dengan pengertian dari kata pekerja/buruh, yaitu setiap orang yang terikat dalam suatu hubungan kerja, sehingga pengertian pengusaha dalam Pasal 6 adalah pengusaha yang terikat dalam suatu hubungan kerja dengan pekerja/buruh tersebut atau pengusaha yang memberikan pekerjaan pada pekerja/buruh tersebut. Dengan kata lain, pengusaha dalam Pasal 6 ini adalah pengusaha tertentu, maksudnya pengusaha yang memberi pekerjaan kepada pekerja/buruh tersebut saja atau pengusaha yang terikat dalam hubungan kerja dengan pekerja tersebut.18 Pengusaha yang memberikan pekerjaan itu (tidak mencakup pengusaha lainnya karena pengusaha lainnya tidak terikat hubungan kerja dengan pekerja/buruh) harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit dan aliran politik. Karena dalam UU No. 13 Tahun 2003 ini tidak diberikan definisinya, maka perlu juga dikaji untuk kepastian hukum, yaitu: a. Pengertian orang pribadi, pesekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan itu mencakup siapa saja Apakah hanya tingkat direktur saja termasuk sebagai pengusaha ? atau pengusaha itu mencakup tingkatan mana saja, asal merupakan atasan dari pekerja/buruh dapat dianggap sebagai pengusaha ? Begitu pula dalam hubungannya dengan Pasal 5, apakah bagian informasi dapat dianggap sebagai pengusaha atau perlakuan yang membedakan itu tidak membedakan siapa subjek pelakunya, baik itu pengusaha atau bukan dapat dikenakan ancaman pelanggaran Pasal 5 ini? b. Pengertian diskirminasi mencakup perbuatan apa saja ? Mengingat Pasal 5 dan Pasal 6 adalah merupakan peraturan untuk memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kerja (termasuk pekerja/buruh) maka pengertian pengusaha ini harus diartikan secara luas, yaitu mencakup siapa saja yang menjalankan tugas dalam perusahaan atau yang merupakan atasan dari pekerja/buruh.19 18 19 Ibid. Ibid. hal. 18 22 Pasal 5 merupakan perlindungan bagi tenaga kerja, yang mencakup: a. Orang yang belum bekerja, yaitu orang yang tidak terikat dalam hubungan kerja, dan b. Orang yang sedang terikat dalam hubungan kerja (pekerja/buruh), karena orang yang terikat dalam suatu hubungan kerja juga berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau yang lebih disukai oleh pekerja/buruh. Sedangkan Pasal 6 merupakan perlindungan bagi pekerja/buruh (orang yang sedang dalam ikatan hubungan kerja saja. Selain itu, perbedaan Pasal 5 dengan Pasal 6 adalah mengenai subjek pelakunya. Pasal 5 berlaku bagi siapa saja, dalam arti tidak terbatas bagi pengusaha tertentu saja, melainkan mencakup pengertian pengusaha secara umum, artinya bisa pengusaha atau siapa saja dan sebagainya, termasuk pengusaha perusahaan penempatan tenaga kerja, tetapi dalam Pasal 6 subjek pelakunya adalah terbatas bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh tersebut.20 Sanksi hukum atas orang yang melanggar Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 13 Tahun 2003 adalah berupa sanksi administratif, yang dapat berupa: a. teguran b. peringatan tertulis c. pembatalan kegiatan usaha d. pembekuan kegiatan usaha e. pembatalan persetujuan f. pembatalan pendaftaran g. pemberhentian sementara sebagian atau seluruh alat produks h. pencabutan izin Pejabat yang dapat mengenakan sanksi administrasi adalah Menteri Tenaga Kerja atau pejabat yang ditunjuknya.21 C. Perjanjian Kerja Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tentang Ketenagakerjaan telah menyatakan pengertian bahwa: Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah 20 21 Ibid. hal. 18-19 Ibid. hal. 19 23 Pada dasarnya, hubungan kerja yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha, di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan di mana pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian kerja. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha. Menurut Hartono Widodo dan Judiantoro: Hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang meme rintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.22 Selanjutnya Tjepi F. Aloewir, mengemukakan bahwa: Pengertian hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu. Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal mengenai: 1. Pembuatan perjanjian kerja (merupakan titik tolak adanya suatu hubungan kerja) 2 Kewajiban pekerja (yaitu melakukan pekerjaan, sekaligus merupakan hak dari pengusaha atas pekerjaan tersebut) 3. Kewajiban Pengusaha (yaitu membayar upah kepada pekerja, sekaligus merupakan hak dari si pekerja atas upah) 4. Berakhirnya hubungan kerja 5. Cara penyelesaian perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan.23 Perbedaan kedudukan secara ekonomi dan sosial antara pekerja/buruh dan pengusaha menimbulkan hubungan subordinatif yang terbingkai dalam hubungan kerja sehingga menimbulkan posisi tidak semitrikal antar keduanya. Dalam konteks 22 Hartono Widodo dan Judiantoro. 1992. Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Rajawali Pers. Jakarta. hal. 10. 23 Tjepi F. Aloewic. 1996. Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Industrial. Cetakan ke-1 1 .BPHN. Jakarta. hal. 32. 20 inilah hukum dijadikan sarana guna memberikan perlindungan terhadap pekerja/buruh, karena sebagai konsekwensi dari hubungan kerja munculah hak dan kewajiban yang oleh hukum harus dijaga dan dilindungi. Menurut Soepomo sebagaimana dikutip Abdul Khakim: Hubungan kerja ialah suatu hubungan antara seorang buruh dan seorang majikan dimana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara kedua belah pihak. Mereka terikat dalam suatu perjanjian, di satu pihak pekerja/buruh bersedia bekerja dengan menerima upah dan pengusaha mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah.24 Dasar hubungan kerja adalah perjanjian kerja yang kemudian memunculkan unsur pekerjaan, upah dan perintah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Adrian Sutedi sebagai berikut: Yang menjadi dasar hubungan kerja adalah perjanjian kerja. Atas dasar perjanjian kerja itu kemudian muncul unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dengan demikian hubungan kerja tersebut adalah sesuatu yang abstrak, sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkret atau nyata. Dengan adanya perjanjian kerja, akan ada ikatan antara pengusaha dan pekerja. Dengan perkataan lain, ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan hubungan kerj a.25 1. Pengertian Perjanjian Kerja Secara umum pengertian dari perjanjian kerja dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan: Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. R. Subekti mengemukakan pendapatnya tentang pengertian perjanjian kerja sebagai berikut: Abdul Khakim. 2007. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 25. 25 Adrian Sutedi. 2009. Hukum Perburuhan. Sinar Grafika. Jakarta, hal. 45. 24 25 Perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda “dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh)26 Selain pengertian normatif seperti tersebut di atas, Imam Soepomo, sebagaimana dikutip oleh Lalu Husni berpendapat bahwa: Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak ke satu (buruh), mengikatkan diri untuk bekerj a dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah.27 Pembuatan perjanjian kerja dapat dilakukan baik secara tertulis maupun lisan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UU No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan: (1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. (2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Pasal 52 lebih lanjut menyatakan sebagai berikut: (1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar : a. kesepakatan kedua belah pihak; b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c. adanya pekerj aan yang diperj anj ikan; dan d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. (2) Perj anj ian kerj a yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan. (3) Perj anj ian kerj a yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum. R. Subekti. 1992. Aneka Perjanjian. Citra Aditya Bakti. Bandung. hal. 63. Lal u Husni. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Raj aGrafindo Persada. Jakarta. hal. 54-55 26 27 26 Biaya yang timbul dari diadakannya pembuatan perjanjian kerja merupakan tanggung jawab pengusaha, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 53 yang menyatakan: Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha. Konsep pekerja/buruh, pemberi kerja, pengusaha dan perusahaan adalah konsep sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 3, angka 4, angka 5 dan angka 6 UU No. 13 Tahun 2003. Pasal 1 angka 3 menyatakan tentang pengertian pekerja atau buruh sebagai berikut: Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan pengertian pemberi kerja ditentukan pada Pasal 1 angka 4 bahwa: Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pasal 1 angka 5 selanjutnya menyatakan tentang pengertian pengusaha: Pengusaha adalah: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 27 Pasal 1 angka 6 menyatakan tentang pengertian perusahaan sebagai berikut: Perusahaan adalah: a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 2. Unsur-unsur Perjanjian Kerja Berdasarkan pengertian perjanjian kerja, Lalu Husni memberikan kesimpulan mengenai unsur dari perjanjian kerja yakni: a. Adanya unsur work atau pekerjaan Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata pasal 1603a yang berbunyi: Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya. Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum. b. Adanya unsur perintah Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainya, misalnya hubungan antara dokter dengan pasien, pengacara dengan klien. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja karena dokter, pengacara tidak tunduk pada perintah pasien atau klien. c. Adanya unsur upah Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktik lapangan di hotel.28 28 Ibid. hal. 55-57 28 3. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Lalu Husni memberikan penjelasan mengenai empat syarat sahnya perjanjian sebagai berikut: Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju atau sepakat, setia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjkan. Apa yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan. Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 tahun, sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 26 yang menyatakan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun. Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya atau waras. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata adalah hal tertentu atau suatu pokok persoalan tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja anatar pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak. Obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.29 Keempat syarat tersebut bersifat komulatif, sebagaimana dikatakan oleh Lalu Husni sebagai berikut: Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subyektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Kalau syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat subyektif, maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak yang tidak memberikan persetujuan 29 Ibid. hal. 57-58 29 secara tidak bebas, demikian juga oleh orang tua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.30 4. Bentuk dan Jangka Waktu Perjanjian Kerja Bentuk perjanjian kerja dapat dilakukan baik secara tertulis maupun lisan. Secara normatif, bentuk tertulis dalam perjanjian kerja menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan kan sangat membantu proses pembuktian. Bentuk tertulis dan lisan dalam perjanjian kerja ini sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UU No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut: (1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. (2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Kenyataan dalam praktek menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja secara tertulis disebabkan karena ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karena kelaziman, sehingga atas dasar kepercayaan membuat perjanjian secara lisan. Perjanjian kerja yang dibuat utuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Lalu Husni menjelaskan bahwa: Ketentuan Pasal 57 ayat (1) tersebut dimaksudkan untuk lebih mejamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak boleh mensyaratkan 30 Ibid. hal. 57 30 adanya masa percobaan. Masa percobaan adalah masa atau waktu untuk menilai kinerja dankesungguhan, keahlian seorang pekerja. Lama masa percobaan adalah 3 bulan. Dalam masa percobaan, pengusaha dapat mengakhiri hubungan kerja secara sepihak (tanpa izin dari pejabat yang berwenang). Ketentuan yang tidak membolehkan adanya masa percobaan dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu karena perjanjian kerja berlangsug relatif singkat. Dalam masa percobaan ini pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.31 Jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu bagi hubungan kerja yang dibatasi jangka waktu berlakunya, dan waktu tidak tertentu bagi hubungan kerja yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau selesainya pekerjaan tertentu. Lalu Husni dalam hal ini menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut: Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut dengan perjanjian kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap. Status pekerjanya adalah pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan untuk perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap dan status pekerjanya adalah pekerja tetap.32 Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 selanjutnya menyatakan sebagai berikut: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. 31 32 Ibid. hal. 60-61 Ibid. hal. 60 31 5. Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja Kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian umumnya disebut prestasi. Dalam hal prestasi ini R. Subekti. menjelaskan sebagai berikut: Suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak yang diperolehnya, dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh hak yang dianggap sebagai kebalikan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya.33 Zaeni Ashadie, di pihak lain menjelaskan sebagai berikut: Dalam perjanjian kerja, karena merupakan salah satu dari bentuk khusus perjanjian, maka apa yang menjadi hak pekerja/buruh akan menjadi kewajiban pengusaha, dan sebaliknya apa yang menjadi hak pengusaha akan menjadi kewajiban pekerja/buruh.34 Berdasarkan pendapat di atas, maka selanjutnya dapat diuraikan mengenai kewajiban para pihak dalam perjanjian sebagai berikut: a. Kewajiban Pekerja/Buruh Jika dirinci satu per satu, banyak sekali kewajiban pekerja/buruh, hanya saja yang perlu diingat, dalam hal melaksanakan kewajibannya itu, pekerja/buruh haruslah bertindak sebagai seorang pekerja/buruh yang baik.35 Lalu Husni menjelaskan bahwa pada intinya kewajiban pekerja/buruh adalah sebagai berikut: 1) Buruh/pekerja wajib melakukan pekerjaan. Melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri. Untuk itulah mengingat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang sangat pribadi sifatnya karena berkaitan dengan keahliannya, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundangan jika pekerja meninggal dunia, maka hubungan kerja berakhir dengan sendirinya demi hukum. R. Subekti. 1992. Op. Cit. hal. 29-30 Zaeni Ashadie. 2007. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. hal. 60. 35 Ibid. hal. 61 33 34 32 2) Buruh/pekerja menaati aturan dan petunjuk pengusaha. Dalam melakukan pekerjaan pekerja wajib menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga menjadi jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut.36 b. Kewajiban Pengusaha Kewajiban utama pengusaha dengan adanya hubungan kerja dengan pekerja/buruh adalah membayar upah. Lalu Husni mengemukakan pendapatnya tentang kewajiban pengusaha sebagai berikut: 1) Kewajiban membayar upah. Dalam hubungan kerja, kewajiban utama pengusaha adalah membayar upah kepada pekerjanya secra tepat waktu. 2) Kewajiban memberikan istirahat/cuti. Pihak pengusaha diwajibkan untuk memberikanistirahat tahunankepada pekerja secara teratur. Hak atas istirahat ini penting artinya untuk menghilangkankejenuhanpekerja dalam melakukanpekerjaan. Dengan demikian diharapkan gairah kerja akan tetap stabil. 3) Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan. Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan, kewajiban ini tidak hanya terbatas pada pekerja yang bertempat tinggal di rumah majikan, tetapi juga bagi pekerja yang tidak bertempat tinggal di rumah majikan. Perlindungan bagi tenaga kerja yang sakit, kecelakaan, kematian telah dijamin melalui perlindungan Jamsostek sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Jamsostek. 4) Kewajiban memberikan surat keterangan. Pengusaha wajib memberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi tanda tangan. Dalam surat keterangan tersebut dijelaskan mengenai sifat pekerjaan yang dilakukan, lamanya masa kerja. Surat keterangan juga diberikan meskipun inisiatif pemutusan hubungan kerja datangnya dari pihak pekerja. Surat keterangan tersebut penting artinya sebagai bekal pekerja dalam mencaripekerjaan baru, sehingga ia diperlakukan sesuai dengan pengalaman kerjanya.37 Kewajiban pengusaha yang telah dipaparkan di atas merupakan hak pekerja, sebaliknya kewajiban pekerja merupakan hak pengusaha. 36 37 Lalu Husni. 2003.Op. Cit. hal. 62. Ibid. hal. 62-64 33 D. Outsourcing 1. Pengaturan Outsourcing UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak secara tegas memberikan pernyataan tentang outsourcing, namun hanya memberikan batasan tentang penyerahan sebagian pekerjaan dari satu perusahaan ke perusahaan (penyedia jasa pekerja) untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Pasal 64 dalam hal ini menyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan j asa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis a. Pemborongan Pekerjaan Berdasarkan Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diatur bahwa: (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. (2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. (3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum. (4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada peru saha an l ai n seba gai m ana di m aksu d dal am a yat (2 ) sekurangkurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 34 (5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. (6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. (7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. (8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. (9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) b. Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh Penyediaan jasa pekerja/buruh diatur dalam Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa: (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. (2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b. perjanjian yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada hruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c. perlindingan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerj/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. 35 (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhii, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. UU No. 13 Tahun 2003 dan Kepmenakertrans Nomor 101/Men/VI/2004 tidak mengatur secara rinci klasifikasi mengenai jenis-jenis pekerjaan pokok (core business) dan pekerjaan penunjang (non core business), kategori yang ditentukan bersifat umum dan tidak mengakomodir perkembangan dunia usaha, sehingga dalam pelaksanaannya terjadi tumpang tindih dan penyelewengan. Pelanggaran atas ketentuan dan syarat-syarat outsourcing tidak dikenakan sanksi pidana atau sanksi adminstrasi, dalam Pasal 65 ayat (8) dan Pasal 66 ayat (4) hanya menentukan apabila syarat-syarat outsourcing tersebut tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan vendor beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan principal. Artinya principal hanya dibebani untuk menj ali n hubungan kerj a dengan pekerj a/buruh dengan segala konsekwensi nya apabila syarat-syarat outsourcing tidak terpenuhi. 2. Makna Outsourcing Makna outsourcing menurut Thomas L. Wheelen dan J.David Hunger, sebagaimana dikutip Amin Widjaja, adalah: Outsourcing is a process in which resources are purchased from others through long-term contracts instead of being made with the company” (terjemahan bebasnya; Outsourcing adalah suatu proses dimana sumbersumber daya dibeli dari orang lain melalui kontrak jangka panjang sebagai ganti yang dulunya dibuat sendiri oleh perusahaan) Pengertian di atas lebih menekankan pada istilah yang berkaitan dengan proses “Alih Daya” dari suatu proses bisnis melalui sebuah perjanjian/kontrak.38 38 Amin Widjaja. 2008. Outsourcing Konsep dan Kasus. Harvarindo. Jakarta. hal 11 36 Sementara menurut Libertus Jehani: Outsourcing adalah penyerahan pekerjaan tertentu suatu perusahaan kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan tujuan untuk membagi risiko dan mengurangi beban perusahaan tersebut. Penyerahan pekerjaan tersebut dilakukan atas dasar perjanjian kerjasama operasional antara perusahaan pemberi kerja (principal) dengan perusahaan penerima pekerjaan (perusahaan outsourcing).39 Amin Widjaja, mengutip pendapat Mason A. Carpenter dan Wm. Gerald Sanders, memberikan pengertian mengenaikonsep outsourcing sebagai berikut: a. Outsourcing is activity performed for a company by people other than its full-time employees. (Outsourcing adalah aktivitas yang dilakukan untuk suatu perusahaan oleh orang-orang selain para karyawan yang bekerja penuh-waktu) b. Outsourcing is contracting with external suppliers to perform certain parts of a company’s normal value chain of activities. Value chain is total primary and support value-adding activites by which a firm produce, distribute, and market a product. (Outsourcing merupakan kontrak kerja dengan penyedia/pemasok luar untuk mengerjakan bagian-bagian tertentu dari nilai rantai aktivitas-aktivitas normal perusahaan. Rantai nilai merupakan aktivitas-aktivitas primer total dan pendukung tambahan nilai di mana perusahaan menghasilkan, mendistribusikan dan memasarkan suatu produk).40 Terdapat perbedaan pengertian antara pemborongan pekerjaan dalam KUHPerdata dengan pemborongan pekerjaan dalan UU No. 13 Tahun 2003, dalam KUH Perdata semata-mata pemborongan dengan obyek pekerjaan tertentu sedangkan dalam UU No. 13 Tahun 2003 selain mengatur pemborongan pekerjaan juga mengatur penyediaan jasa pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan tertentu. Outsourcing juga berbeda dengan kontrak kerja biasa. Kontrak kerja biasa umumnya sekedar menyerahkan pekerjaan tertentu kepada pihak ketiga untuk jangka pendek dan tidak diikuti dengan transfer sumber daya manusia, peralatan atau asset perusahaan. Sedangkan dalam outsourcing, 39 40 Libertus Jehani. 2008. Hak-Hak Karyawan Kontrak. Forum Sahabat. Jakarta. hal.1 Ibid, hal 12. 33 kerjasama yang diharapkan adalah untuk jangka panjang (long term) sehingga selalu diikuti dengan transfer sumberdaya manusia, peralatan atau asset perusahaan.41 Dalam praktik outsourcing terdapat tiga pihak yang melakukan hubungan hukum, yaitu pihak perusahaan pemberi kerja, pihak perusahaan penerima pekerjaan atau penyedia jasa tenaga kerja dan pihak pekerja/buruh, dimana hubungan hukum pekerja/buruh bukan dengan perusahaan principal tetapi dengan perusahaan penerima pekerjaan. Penentuan sifat dan jenis pekerjaan tertentu yang dapat di-outsource merupakan hal yang prinsip dalam praktik outsourcing, karena hanya sifat dan jenis atau kegiatan penunjang perusahaan saja yang boleh dioutsource, outsourcing tidak boleh dilakukan untuk sifat dan jenis kegiatan pokok. Konsep dan pengertian usaha pokok atau (core business) dan kegiatan penunjang atau (non core business) adalah konsep yang berubah dan berkembangsecara dinamis. Pan Mohamad Fais, mengutip pendapat Alexander dan Young, mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah: a. Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan. b. Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis. c. Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang. d. Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.42 41 Sehat Damanik, 2006. Outsourcing & Perjanjian Kerja menurut UU. No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. DSS Publishing. Jakarta, hal. 38 42 Pan Mohamad Fais. Jurnal Hukum, Outsourcing (Alih Daya) dan Pengelolaan Tenaga Kerja di Perusaahaan. Diaksese melalui http//www.makeproverty history.org. Pada tanggal 10 Juni 2011 38 Ketetapan akan sifat dan jenis pekerjaan penunjang perusahaan secara keseluruhan saja yang boleh di-outsource ini berlaku dalam dua jenis outsourcing, baik pemborongan pekerjaan maupun penyediaan jasa pekerja/buruh. 3. Manfaat Outsourcing Kecenderungan beberapa perusahan untuk mempekerjakan karyawan dengan sistem outsourcing pada saat ini, umumnya dilatarbelakangi oleh strategi perusahan untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production) Dengan menggunakan sistem outsourcing pihak perusahaan berusaha untuk menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.43 Bagi perusahaan-perusahaan besar, outsourcing sangat bermanfaat untuk meningkatkan keluwesan dan kreativitas usahanya dalam rangka meningkatkan fokus bisnis, menekan biaya produksi, menciptakan produk unggul yang berkualitas, mempercepat pelayanan dalam memenuhi tuntutan pasar yang semakin kompetitif serta membagi resiko usaha dalam berbagai masalah termasuk ketenagakerjaan. Dengan outsourcing memberi peluang kepada pengusaha untuk melakukan efisiensi dan menghindari risiko/ekonomis seperti beban yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. Untuk memperoleh keunggulan kompetitif, ada dua hal yang dilakukan oleh pengusaha berkaitan dengan ketenagakerjaan, yakni melakukan hubungan kerja dengan pekerja melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan melakukan Outsourcing.44 43 44 Adrian Sutedi. 2009. Op.Cit. hal 217. Sehat Damanik. 2006. Op. Cit .hal. 19 35 Menurut Sehat Damanik, alasan perusahaan melakukan outsourcing, yaitu: a. Meningkatkan fokus perusahaan; b. Memanfaatkan kemampuan kelas dunia; d. Mempercepat keuntungan yang diperoleh dari reengineering; d. Membagi resiko; e. Sumber daya sendiri dapat dipergunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lain; f. Memungkinkan tersedianya dana kapital; g. Menciptakan dana segar; h. Mengurangi dan mengendalikan biaya operasi; i. Memperoleh sumber daya yang tidak dimiliki sendiri; j. Memecahkan masalah yang sulit dikendalikan atau dikelola.45 Manfaat outsourcing bagi masyarakat adalah untuk perluasan kesempatan kerja, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Iftida Yasar, Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), yang mengatakan: Bisnis outsourcing cukup menjanjikan karena di negara lain kontribusinya cukup besar, outsourcing sebagai salah satu solusi dalam menanggulangi bertambahnya jumlah pengangguran di Indonesia, Outsourcing bisa jadi salah satu solusi dari perluasan kesempatan kerja, jadi apapun bentuk outsourcing tersebut selama memberikan hak karyawan sesuai aturan maka akan membantu menyelamatkan pekerja yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK).46 Bagi pemerintah, pelaksanaan outsourcing memberikan manfaat untuk mengembangkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional melalui pengembangan kegiatan usaha kecil menengah dan koperasi. Keberadaan Perusahaan yang bergerak pada bidang outsourcing besar secara tidak langsung telah membantu Pemerintah dalam mengatasi pengangguran (menyerap tenaga kerja) dengan menciptakan lapangan pekerjaan baik bagi diri mereka sendiri maupun orang lain, mendorong kegiatan ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat.47 Ibid. Hal.38. Iftida Yasar. 2009. Tekan PHK Dengan Bisnis Outsourcing. Diakses melalui http//www.google.co.id// pada tanggal 5 Juni 2011. 47 Sehat Damanik. 2006. Op. Cit. hal.46. 45 46 40 4. Kompleksitas Outsourcing Legalisasi sistem outsourcing di Indonesia banyak mendapatkan kritikan dari beberapa praktisi hukum ketenagakerjaan. Menurut Pan Mohamad Faiz, secara garis besar permasalahan hukum yang terkait dengan penerapan outsourcing di Indonesia sebagai berikut: a. Bagaimana perusahaan melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (alih daya)? b. Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing (alih daya) dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing? d. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bila ada karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada lokasi perusahaan pemberi kerja?48 Kompleksitas outsourcing mengandung dimensi ekonomis, sosial kesejahteraan dan sosial-politik. Dari segi dimensi ekonomis karena mencakup kebutuhan pasar kerja, perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya beli masyarakat serta pertumbuhan dunia usaha. Dari segi sosial kesejahteraan karena mencakup masalah pengupahan dan jaminan sosial, penetapan upah minimum, hubungan kerja, syarat-syarat kerja, perlindungan tenaga kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, penyelesaian perselisihan, kebebasan berserikat dan hubungan industrial serta peningkatan produktivitas perusahaan. Dalam praktiknya seringkali terjadi diskriminasi upah antara pekerja tetap yang bekerja pada perusahaan principal dengan pekerja/buruh outourcing (umumnya pekerja kontrak). Dengan sistem kerja kontrak, kelangsungan kerja pekerja perusahaan outsourcing tidak terjamin. Sedangkan dari segi sosial-politik menyangkut penanggulangan pengangguran dan kemiskinan, keseimbangan Pan Mohamad Fais. Jurnal Hukum, Outsourcing (Alih Daya) dan Pengelolaan Tenaga Kerja di Perusaahaan. Diaksese melalui http//www.makeproverty history.org. Pada tanggal 10 Juni 2011 48 37 investasi, pembinaan hubungan industrial, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, penegakan hukum dan ketersediaan serta kesiapan aparatur.49 E. Pengawasan Ketenagakerjaan Penegakan hukum ketenagakerjaan dilaksanakan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagai aparatur negara yang bertanggungjawab untuk mengawasi penerapan hukum ketenagakerjaan. Hal ini tertuang dalam Pasal 176 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan: Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerj aan. Adapun maksud diadakannya pengawasan ketenagakerjaan, menurut Hari Supriyanto, adalah sebagai berikut: 1. Mengawasi berlakunya undang-undang dan peraturan perburuhan pada khususnya; 2. Mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat undangundang dan peraturan-peraturan perburuhan; 3. Menjalankan pekerjaan lain-lainnya yang diserahkan kepadanya dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya.50 Lalu Husni di pihak lain berpendapat sebagai berikut: Pengawasan ketenagakerjaan dimaksudkan untuk mendidik agar pengusaha selalu tunduk menjalankan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku sehingga akan dapat menjamin keamanan dan kestabilan pelaksanaan hubungan kerja, karena seringkali perselisihan ketenagakerjaan diebabkan oleh pengusaha tidak memberikan perlindungan hukum kepada pekerjanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di samping itu, pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan akan menjamin pelaksanaan peratura-peraturan ketenagakerjaan di semua perusahaan secara sama, sehingga akan menjamin tidak terjadinya persaingan yang tidak sehat.51 Libertus Jehani. 2008. Hak-Hak Karyawan Kontrak. Forum Sahabat. Jakarta.hal.3. Hari Supriyanto. 2004. Op Cit., hal. 44 51 Lalu Husni. 2003. Op. Cit. hal. 120 49 50 42 Tugas dan fungsi pengawas ketenagakerjaan menurut Djoko Triyanto, adalah: 1. Mengawasi pelaksanaan semua peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerj aan; 2. Memberikan informasi, peringatan dan nasehat teknis kepada pengusaha dan tenaga kerja dalam menj alankan peraturan perundangundangan ketenagakerjaan agar dapat berjalan dengan baik, dan 3. Melaporkan dan melakukan penyidikan berkaitan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pengusaha terhadap pelaksanaan peraturan perundangundangan ketenagakerjaan kepada yang lebih berwenang, setelah diberikan peringatan beberapa kali.52 F. Perlindungan Hukum Pekerja 1. Makna Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar yang bertuj uan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Sanadianto sebagai berikut: Definisi dari perlindungan hukum itu sendiri yaitu segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertuj uan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, Sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen) diantaranya menyatakan prinsip Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Elemen pokok negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap “fundamental rights” (tiada negara hukum tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap “fundamental rights”.53 52 Djoko Triyanto. 2004. Hubungan Kerja di Perusahaan Jasa Konstruksi. Mandar Maju. Bandung, hal. 159 53 Sanadianto. 2008. Tinjauan Umum Perlindungan Hukum. Diakses melalui http://one.indoskripsi.com/tinjauan-umum-perlindungaan-hukum. Pada tanggal 20 Juli 2011 43 Perlindungan hukum berarti perlindungan menurut hukum dan undangundang yang berlaku, dengan asumsi bahwa tidak ada orang yang mutlak salah dan tidak ada orang yang mutlak benar, sehingga seseorang yang dituduh bersalah maka orang itu harus diperiksa dan diadili sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku. Barita Tambunan dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yaitu “perlindungan” dan “hukum”. Artinya, perlindungan menurut hukum dan undang-undang yang berlaku. Bahwa pada hakekatnya tidak ada orang yang mutlak salah dan tidak ada orang yang mutlak benar. Apabila seseorang dituduh bersalah maka orang yang dituduh bersalah itu harus diperiksa dan diadili sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku. Apabila seseorang yang dituduh bersalah akan tetapi diperiksa dan diadili tidak sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku maka apa bedanya orang yang memeriksa dan mengadili dengan orang yang dituduh bersalah itu.54 Erwin Yuniatiningsih di pihak lain mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perlindungan hukum sebagai berikut: Perlindungan hukum adalah melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undangundang, maka oleh karena itu untuk setiap pelanggaran hukum yang dituduhkan padanya serta dampak yang diderita olehnya ia berhak pula untuk mendapat hukum yang diperlukan sesuai dengan asas hukum.55 Harjono memberikan pendapatnya mengenai perlindungan hukum sebagai berikut: Batasan-batasan mengenai “perlindungan hukum” sulit ditemukan, hal ini mungkin didasari pemikiran bahwa orang telah dianggap tahu secara umum apa yang dimaksud dengan perlindungan hukum sehingga tidak diperlukan lagi sebuah konsep tentang apa yang dimaksud “perlindungan hukum”. Barita Tambunan. 2008. Pengertian Perlindungan Hukum : Tanya Jawab. Diakses melal ui http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080318051947AAf1sB0 Pada tanggal 20 Juli 2011 55 Erwin Yuniatini ngsih. 2007. Kebutuhan Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Tindak Pidana Perkosaan di Indonesia. Diakses melal ui: http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browsedanop=readdanid=jiptumm-gdl-s1-2002-erwin-486954 pidanadanq=Nasional. Pada tanggal 20 Juli 2011 hal .13. 45 Konsekuensi dari tidak adanya konsep tersebut akhirnya menimbulkan keragaman dalam pemberian maknanya, padahal perlindungan hukum selalu menjadi tema pokok dalam setiap kajian hukum.56 Harjono lebih lanjut menjelaskan sebagai berikut: Padanan kata perlindungan hukum dalam bahasa Inggris adalah “legal protection”, dalam bahasa Belanda “rechtsbecherming”. Kedua istilah tersebut juga mengandung konsep atau pengertian hukum yang berbeda untuk memberi makna sesungguhnya dari perlindungan hukum. Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam sebuah hak hukum.57 Berdasarkan batasan tersebut jelaslah bahwa konsep-konsep umum dari perlindungan hukum adalah perlindungan dan hukum. Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata, yaitu “perlindungan” dan “hukum”, artinya perlindungan menurut hukum dan undang-undang yang berlaku. Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam sebuah hak hukum. Dalam ilmu hukum “Hak” disebut juga hukum subyektif, Hukum subyektif merupakan segi aktif dari pada hubungan hukum yang diberikan oleh hukum obyektif (norma-norma, kaidah, recht). Perlindungan hukum selalu terkait dengan peran dan fungsi hukum sebagai pengatur dan pelindung kepentingan masyarakat. Bronislaw Malinowski mengatakan Bahwa hukum tidak hanya berperan di dalam keadaan-keadaan yang penuh kekerasan dan pertentangan, akan tetapi bahwa hukum juga berperan pada aktivitas sehari-hari.58 Harjono. 2008. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa. Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Jakarta, hal. 373. 57 Ibid, hal. 357. 58 Soeroso. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan Kedelapan. Sinar Grafika. Jakarta.. 56 46 Hukum menentukan kepentingan-kepentingan masyarakat yang dapat ditingkatkan menjadi hak-hak hukum yang dapat dipaksakan pemenuhannya. Hak diberikan kepada pendukung hak yang sering dikenal dengan entitas hukum (legal entities, rechtspersoon) yang dapat berupa orang-perorangan secara kodrati (naturlijke) dan dapat juga entitas hukum nir kodrati yaitu entitas hukum atas hasil rekaan hukum.59 Menurut Marmi Emmy Mustafa, mengutip pendapat Roscoe Pound, terdapat 3 (tiga) penggolongan kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu: Pertama; menyangkut kepentingan pribadi (individual interest), kedua; yang menyangkut kepentingan masyarakat (sosial interest), dan ketiga; menyangkut kepentingan umum (publik interest).60 Kepentingan individu (individu interest) ini terdiri dari kepentingan pribadi, sedangkan kepentingan kemasyarakatan (sosial interst) terdiri dari keamanan sosial, keamanan atas lembaga-lembaga sosial, kesusilaan umum, perlindungan atas sumber-sumber sosial dari kepunahan, perkembangan sosial, dan kehidupan manusia. Adapun kepentingan publik (publik interst) berupa kepentingan negara dalam bertindak sebagai representasi dari kepentingan masyarakat.61 Berkaitan dengan peran hukum sebagai alat untuk memberikan perlindungan dan fungsi hukum untuk mengatur pergaulan serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat, Soerjono Soekanto, mengutip pendapat Bohannan yang terkenal dengan konsepsi reinstitutionalization of norm, menyatakan bahwa: Harjono. 2008. Op.Cit. hal.377. Marmi Emmy Mustafa. 2007. Prinsif-Prinsif Beracara Dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia Dikatikan Dengan TRiPs- WTO. Alumni, Bandung. hal. 58. 59 60 47 61 Ibid. 48 Suatu lembaga hukum merupakan alat yang dipergunakan oleh wargawarga suatu masyarakat untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi dan untuk mencegah terjadinya penyalah-gunaan daripada aturanaturan yang terhimpun di dalam pelbagai lembaga kemasyarakatan. Setiap masyarakat mempunyai lembaga-lembaga hukum dalam arti ini, dan juga lembaga-lembaga non-hukum lainnya.62 Selanjutnya Soerjono Soekanto, mengatakan bahwa: Lembaga hukum memberikan ketentuanketentuan tentang cara-cara menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang timbul di dalam hubungannya dengan tugas-tugas lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya”. Cara-cara menyelesaikan perselisihan yang timbul inilah yang kemudian dinamakan upaya hukum. Upaya hukum diperlukan agar kepentingan-kepentingan yang telah menjadi hak benar-benar dapat terjaga dari gangguan pihak lain.63 2. Makna Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan Kontradiksi antar kepentingan yang berbeda antara pekerj a/buruh dengan pengusaha, menuntut campur tangan pemerintah untuk melakukan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja. Hal ini tertuang dalam Pasal 4 huruf c UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa: Tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan. Menurut Senjun H. Manulang, sebagaimana dikutip oleh Hari Supriyanto, tujuan hukum perburuhan adalah: a. Untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerj aan; b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tak terbatas dari pengusaha, misalnya dengan membuat perjanjian atau menciptakan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa agar pengusaha tidak bertindak sewenang-wenang terhadap tenaga kerja sebagai pihak yang lemah.64 Soerjono Soekanto. 1983. Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia. UI Press. Jakarta. hal .15. 63 Ibid. 64 Hari Supriyanto. 2004. Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik, Studi Hukum Perburuhan di Indonesia, Penerbit: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hal. 19 62 49 Hari Supriyanto lebih lanjut menjelaskan tentang pentingnya perlindungan hukum bagi pekerja/buruh sebagai berikut: Perlindungan hukum bagi pekerja/buruh diberikan mengingat adanya hubungan diperatas (dienstverhoeding) antara pekerja/buruh dengan pengusaha, dienstverhoeding menj adikan pekerj a/buruh sebagai pihak yang lemah dan termarjinalkan dalam hubungan kerja. ”kelompok yang termarjinalkan tersebut sebagian besar dapat dikenali dari parameter kehidupan ekonomi mereka yang sangat rendah, meskipun tidak secara keseluruhan marj inal isasi tersebut berimplikasi ekonomi .65 Kedudukan pekerja pada hakikatnya dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi yuridis dan dari segi sosial ekonomis. Dari segi sosial ekonomis, pekerja membutuhkan perlindungan hukum dari negara atas kemungkinan adanya tindakan sewenang-wenang dari pengusaha.66 Bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah adalah dengan membuat peraturan-peraturan yang mengikat pekerja/buruh dan majikan, mengadakan pembinaan, serta melaksanakan proses hubungan industrial. H ubungan industrial pada dasarnya adalah proses terbinanya komunikasi, konsultasi musyawarah serta berunding dan ditopang oleh kemampuan dan komitmen yang tinggi dari semua elemen yang ada di dalam perusahaan.67 Secara yuridis berdasarkan Pasal 27 UUD 1945 kedudukan pekerja/buruh sama dengan majikan/pengusaha, namun secara sosial ekonomis kedudukan keduanya tidak sama, dimana kedudukan majikan lebih tinggi dari pekerja/buruh. Kedudukan tinggi rendah dalam hubungan kerja ini mengakibatkan adanya hubungan diperatas (dienstverhoeding), sehingga menimbulkan kecenderungan pihak majikan/pengusaha untuk berbuat sewenang -wenang kepada pekerj a/buruhnya. 65 Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik, Studi Hukum Perburuhan di Indonesia, Penerbit: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. hal. 270. 66 Asri Wij ayanti. 2009. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Si nar Grafi ka. Jakarta. hal. 8 67 Adrian Sutedi. 2009. Op. Cit. hal. 23 50 Perlindungan tenaga kerja menurut Abdul Khakim dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu sebagai berikut: a. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya. b. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. c. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerj a.68 Perlindungan terhadap pekerja/buruh dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Menurut Adrian Sutedi: Hanya ada dua cara melindungi pekerja/buruh. Pertama, melalui undangundang perburuhan. Melalui undang-undang buruhakan terlindungi secara hukum, mulai dari jaminan negara memberikan pekerjaan yang layak, melindunginya di tempat kerja (kesehatan, keselamatan kerja, dan upah layak) sampai dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun. Kedua, melalui serikat pekerja/serikat buruh. Sekalipun undang-undang perburuhan bagus, tetapi buruh tetap memerlukan kehadiran serikat pekerja/serikat buruh untuk pembuatan perjanjian kerja bersama (PKB). PKB adalah sebuah dokumen perjanjian bersama antara pengusaha dan pekerja yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hanya melalui serikat pekerja/serikat buruhlah, bukan melalui LSM atau partai politik, bisa berunding untuk mendapatkan hak-hak tambahan (di luar ketentuan undang-undang) untuk menambah kesejahteraan pekerj a.69 Berbicara mengenai hak pekerja/buruh berarti membicarakan hak-hak asasi, maupun hak yang bukan asasi. Hak asasi adalah hak yang melekat pada diri pekerja/buruh itu sendiri yang dibawa sejak lahir dan jika hak tersebut terlepas/terpisah dari diri pekerja itu akan menjadi turun derajad dan harkatnya sebagai manusia. Sedangkan hak yang bukan asasi berupa hak pekerja/buruh yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sifatnya non asasi. 68 69 Abdul Khakim. 2003. Op. Cit. hal. 62 Adrian Sutedi. 2009. Op. Cit. hal. 13. 51 3. Penegakan Hukum Proses penegakan hukum merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka mewujudkan ide-ide atau konsep yang abstrak menjadi kenyataan, usaha untuk mewujudkan idea atau nilai selalu melibatkan lingkungan serta berbagai pengaruh faktor lainnya.70 Oleh karena itu apabila hendak menegakkan hukum, maka hukum harus dipandang sebagai satu kesatuan sistem. Menurut Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip Esmi Warassih, hukum itu merupakan gabungan antara komponen struktur, substansi dan kultur.71 Friedman, sebagaimana dikutip oleh Natabaya, menyatakan sebagai berikut: Oleh Friedman struktur hukum diibaratkan seperti mesin, substansi diibaratkan sebagai apa yang dihasilkan atau yang dikerjakan oleh me sin, dan kultur atau budaya hukum adalah siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan mesin itu. Satu saja komponen pendukung tidak berfungsi niscaya sistem mengalami disfunction (pincang)72 Kepincangan-kepincangan dalam penegakan hukum ketenagakerjaan memang bermula dari tidak berfungsinya sistem hukum ketenagakerjaan, yang berimplikasi pada kompleksitas masalah ketenagakerjaan. a. Sistem Penegakan Hukum Menurut Satjipto Rahardjo, sebagaimana dikutip Nyoman Serikat Putra Jaya, penegakan hukum adalah: Suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konnsef menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut keinginankeinginan hukum di sini adalah pikiran-pikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.73 Esmi Warassih. 2005 Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Editor: Karolus Kopong Medan dan Mahmutarom, HR. PT. Suryandaru Utama, Semarang, hal. 78. 71 Ibid, hal. 30 72 Natabaya. 2006. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Sekjen dan Kepaniteraan MK. RI. Jakarta, hal. 23. 73 Nyoman Serikat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung hal. 134 70 46 Agar hukum berfungsi dengan baik, hukum harus memenuhi 3 (tiga) macam kelakuan hukum, yaitu: Pertama, Hal berlakunya secara yuridis dimana penentuannya berdasarkan kaedah yang lebih tinggi (ini didasarkan pada teori “Stufenbau” nya Kelsen), kaedah hukum itu terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan, dan menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya. Kedua, hal berlakunya hukum secara filosofis, artinya bahwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi. Ketiga, Hal berlakunya hukum secara sosiologis, yang berintikan pada efektivitas hukum. Perihal ini ada dua teori yang menyatakan sebagai berikut: 1) Teori kekuasaan yang pada pokoknya menyatakan, bahwa hukum berlaku secara sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, terlepas apakah masyarakat menerima atau menolaknya. 2) Teori pengakuan yang berpokok pangkal pada pendirian, bahwa berlakunya hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa hukum tadi tertuju. Tiga macam kelakuan hukum tersebut merupakan satu kesatuan dalam sistem hukum, sebab apabila salah satu tidak terpenuhi maka akan terdapat kepincangan-kepincangan. Apabila hukum hanya mempunyai kekuatan yuridis, maka ada kemungkinan bahwa hukum tadi hanya merupakan kaedah yang mati (dode regel), jika kaedah hukum hanya mempunyai kelakuan sosiologis dalam arti teori kekuasan, maka hukum tersebut menjadi aturan pemaksa, dan apabila suatu kaedah hukum hanya mempunyai kelakuan folosofis, maka hukum tersebut hanya berupa anganangan. 74 Menurut Soerjono Soekanto ada empat faktor yang saling berkaitan dan merupakan inti dari sistem penegakan hukum, ke empat faktor tersebut adalah: 1) Hukum atau peraturan itu sendiri. Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidangbidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidak cocokan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaaan. Kadangkala ada ketidak serasian antara hukum tercatat dengan hukum kebiasaaan, dan seterusnya. 2) Mentalitas petugas yang menegakkan hukum. Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik, akan tetapi mental penegak hukum kurang baik, maka akan terj adi gangguan pada sistem penegakan hukum. 74 Soerj ono Soekanto. 1983. Op. Cit. hal .35. 53 3) Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum. Kalau peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai (dalam ukuranukuran tertentu), maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya. 4) Kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan perilaku warga masyarakat.75 b. Peran Administrasi Negara Supremasi hukum merupakan salah satu aspek daripada kedaulatan suatu negara untuk menerapkan kaedah-kaedah tertentu terhadap warga negara. Hal ini terkait dengan keadaan politik yang memberikan corak dan bentuk pada pelaksanaan rule of law tersebut. Soejono Soekanto mengatakan: Suatu sistem politik merupakan suatu mekanisme untuk mengidentifisir serta mengemukakan masalah-masalah, serta merupakan pembentukan dan pengaturan pengambilan keputusan dalam masalah-masalah publik. Apabila mekanisme tadi bersifat syah dan resmi, maka namanya adalah pemerintah. Jadi disatu pihak pemerintah menyediakan suatu mekanisme yang resmi dan berwenang untuk mengambil keputusan-keputusan, sedangkan dilain pihak pemerintah menyediakan fasilitas-fasilitas untuk memberikan dasar-dasar bagi syahnya pengambilan keputusankeputusan tadi. Dengan demikian dari sudut sistem politik, maka suatu kaedah mempunyai sifat hukum oleh karena kaedah itu dipertahankan oleh negara, dalam hal ini oleh pejabatpejabatnya.76 Apa sebabnya pemerintah sering memandang perlu bercampur tangan dengan pemeliharaan kepentingan umum. Selekasnya ada keperluan yang harus dipenuhi, karena orang-orang yang bertabiat aktif dan mempunyai cara berpikir yang konstruktif akan berusaha untuk memenuhi keperluan itu. Dan akan mengambil keuntungan dari usahanya.77 Ibid. hal. 36. Ibid. hal.78. 77 A.Siti Soetami. 2000. Hukum Administrasi Negara. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. hal 35. 75 76 54 Campur tangan negara dalam pemeliharaan kepentingan umum menjadikan peran pemerintah kemudian menjadi semakin luas, menurut Utrecht: Sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, maka lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas. Dalam melakukan fungsinya, maka administrasi negara melakukan bermacammacam perbuatan untuk menyelenggarakan kepentingan umum.78 Perbuat an adm i ni st rasi negara yang d i sebut j uga best urs handeling/overheids handeling adalah perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan pemerintah/penguasa dalam tingkat tinggi dan rendahan secara spontan dan mandiri (zelfstanding) untuk pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.79 Besturs handeling/ overheids handeling di bidang ketenagakerjaan, adalah perbuatan administrasi negara dalam fungsinya: 1) sebagai stabilisator dan dinamisator dalam pelaksanaan hubungan kerja; 2) sebagai penengah dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial; 3) bersama semua pihak menciptakan ketenangan kerja dan keamanan di perusahaan; 4) mendorong tumbuh kembangnya perusahaan sebagai partner pemerintah; 5) mengadakan pengawasan terhadap jalannya perusahaan dan pelaksanaan peraturan yang berlaku, sekaligus memberikan teguran pada pelanggaran yang telah dilakukan, dan apabila masih tidak diindahkan maka selanjutnya dapat memberikan suatu tindakan konkret berupa pencabutan izin atau penutupan perusahaan.80 78 Utrecht. 1986. Pengantar Hukum Administrasi Negara. Pustaka Tinta Mas. Surabaya. hal 28. 79 Diana Halim Koentjoro. 2004. Hukum Administrasi Negara. Ghalia Indonesia. Jakarta. hal 55 80 Soedarjadi. 2009. Hak dan Kewajiban Pekerja-Pengusaha. Pustaka Yustisia. Yogyakarta. hal 16 55 Meskipun hubungan hukum antara pekerja/buruh dengan pengusaha timbul karena Perjanjian Kerja yang bersifat Keperdataan, namun karena dalam prakteknya sering terjadi kepincangan-kepincangan yang disebabkan perbedaan status/kedudukan para pihak, mengakibatkan dalam hubungan kerja itu terjadi hubungan tinggi rendah, sehingga pekerja/buruh tidak bebas pada saat menentukan isi perjanjian kerja. Pekerja/buruh menjadi pihak yang termarjinalkan dan kadangkala terjadi tindakan sewenang-wenang dari pengusaha terhadap mereka. Untuk menjaga keseimbangan kepentingan antara pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah kemudian menyusun kebijakan dalam rangka membatasi perilaku para pihak dalam hubungan kerja, termasuk memberikan perlindungan hukum bagi pekerja/buruh dengan mengeluarkan produk perundang-undangan dan membentuk perangkat administrasi negara untuk mengadakan pengawasan di bidang ketenagakerjaan. Sejak pemerintah masuk dalam ranah hukum ketenagakerjaan maka sejak itu pula hukum ketenagakerjaan yang semula bersifat privat menjadi hukum publik. c. Fungsi Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 32 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, bahwa konsep pengawasan ketenagakerjaan adalah: Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang ketenagakerjaan. Selanjutnya dalam Pasal 176 disebutkan bahwa: Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. 56 Pengawasan ketenagakerjaan merupakan sistem dengan mekanisme yang efektif dan vital dalam menjamin efektivitas penegakan hukum ketenagakerjaan dan penerapan peraturan perundang -undangan ketenagakerjaan dalam rangka menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi pengusaha dan pekerja/buruh, menjaga kelangsungan usaha dan ketenangan kerja, meningkatkan produktivitas kerja serta melindungi pekerja/buruh. Abdul Khakim mengatakan: Pengawasan Ketenagakerjaan berfungsi untuk meniadakan atau memperkecil pelanggaran terhadap norma kerja dan norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sehingga proses hubungan industrial dapat berjalan dengan baik dan harmonis. Pengawasan ketenagakerjaan merupakan unsur penting dalam perlindungan tenaga kerja, sekaligus sebagai upaya penegakan hukum ketenagakerjaan secara menyeluruh karena kondisi persyaratan kerja bagi pekerja/buruh belum dapat dikatakan cukup hanya dengan penetapan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, agar hukum ketenagakerjaan dipatuhi maka perlu eksistensi dan peran aktif dari petugas pengawas ketenagakerjaan.81 Abdul Khakim, mengutip pendapat Sendjun H. Manulang, fungsi pengawasan ketenagakerjaan adalah: 1) Mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Ketenagakerjaan. 2) Memberikan penerangan teknis dan nasihat kepada pengusaha dan tenaga kerja agar tercapai pelaksanaan Undang-Undang Ketenagakerjaan secara efektif. 3) Melaporkan kepada pihak berwenang atas kecurangan dan penyelewengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.82 Selanjutnya Abdul Khakim mengatakan bahwa secara operasional pengawasan ketenagakerjaan meliputi: 1) Sosialisasi Norma Ketenagakerjaan, untuk meningkatkan pemahaman norma kerja bagi masyarakat industri, sehingga tumbuh persepsi positif dan m endorong kesadaran untuk m elaksanakan ketentuan ketenagakerjaan secara proporsional dan bertanggungjawab. 81 82 Abdul Khakim. 2003. Op.Cit. hal.123. Ibid. hal.125. 57 2) Tahapan Pelaksanaan Pengawasan. a) Upaya pembinaan (preventif educative), yang ditempuh dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat industri, penyebarluasan informasi ketenagakerjaan, pelayanan konsultasi dan lain-lain. b) Tindakan refresif non yustisial, yang ditempuh dengan memberikan peringatan secara lisan pada saat pemeriksaaan, maupun peringatan secara tertulis melalui nota pemeriksaan kepada pimpinan perusahaan apabila ditemui pelanggaran. c) Tindakan refresif yustisial, sebagai alternatif terakhir dan dilakukan elalui lembaga peradilan. Upaya ini ditempuh apabila Pegawai Pengawas sudah melakukan pembinaan dan memberikan peringatan, tetapi pengusaha tetap tidak mengindahkan maksud pembinaan tersebut. Dengan demikian Pegawai Pengawas dapat melanjutkan tindakan tahap penegakan hukum melalui Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ketenagakerjaan agar dilakukan penyidikan dan menindaklanjuti sesuai prosedur hukum yang berlaku (KUHP).83 Pelaksanaan fungsi pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagai aparatur negara. Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir mengatakan: Secara etimologi, istilah aparatur berasal dari kata aparat yakni alat, badan, instansi, pegawai negeri. Sedangkan aparatur disamakan artinya dengan aparat tersebut di atas, yakni dapat diartikan sebagai alat Negara, aparat pemerintah. Aparatur pemerintah adalah alat kelengkapan Negara yang terutama meliputi bidang kelembagaan ketatalaksanaan dan kepegawaian, yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari. Dengan demikian pengertian aparatur tidak hanya dikaitkan dengan orangnya, tetapi juga organisasi, fasilitas, ketentuan pengaturan dan sebagainya.84 Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagai aparatur penegak hukum dapat menerima pengaduan dari pekerja/buruh termasuk pekerja/buruh outsourcing, serta pengaduan dari SP/SB atau pengusaha terhadap setiap peristiwa pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan selanjutnya dapat memproses pengaduan Ibid. Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir. 1994. Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah. Rineka Cipta. Jakarta, hal. 83. 83 84 52 tersebut sesuai prosedur hukum yang berlaku. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 182 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, selain PPNS, kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dapat diberikan wewenang untuk: a. melakukan pemeriksaaan atas kebenaran laporan serta keterangan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; d. melakukan pemeriksaan atas penyitaan bahan barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; g. memberhentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan. BAB III METODE PENELITIAN Metode adalah suatu cara untuk menemukan jawaban akan sesuatu hal. Cara penemuan tersebut sudah tersusun dalam langkah-langkah tertentu yang sistematis.85 Metode menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.86 Penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran dari suatu pengetahuan. Menemukan berarti berusaha memperoleh sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan. Mengembangkan berarti mempeluas dan menggali lebih dalam sesuatu yang telah ada. Menguji kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada masih atau menjadi diragukan kebenarannya.87 Suatu penelitian perlu didukung oleh metode yang baik dan benar, agar diperoleh hasil yang tepat dan dapat dipertanggunjawabkan kebenarannya. Dengan kata lain metode harus ada dalam pelaksanaan penelitian. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode yang berupa cara berpikir dan berbuat untuk persiapan penelitian, sistematika, dan pemikiran tertentu yang mempelajari satu atau lebih gej ala hukum tertentu dengan cara menganalisanya. 85 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. 1986. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). CV. Rajawali. Jakarta, hal. 1 86 W.J.S Poerwodarminto.. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka Jakarta. hal. 87 87 Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta, hal. 13-14 60 A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Ronny Hanitijo Soemitro berpendapat sebagai berikut: Pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis positivis. Konsepsi ini memandang hukum sebagai norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga dan pejabat yang berwenang, selain itu konsepsi ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat dan menganggap norma lain itu bukan sebagai norma hukum.88 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan dari objek atau masalah yang diteliti tanpa bermaksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum. C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara, selain itu juga dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Unsoed. D. Sumber Data Data yang digunakan dalam penulisan hukum ini ada dua macam, yaitu data sekunder dan data primer. Data primer digunakan sebagai data pendukung atau pelengkap data sekunder. Kedua sumber data tersebut dijelaskan sebagai berikut: 60 Ibid, hal. 15 61 1. Data Sekunder Data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, dengan penjelasan sebagai berikut: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri dari: 1) Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 2) Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait dengan penelitian ini, yaitu: a) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. b) Kep.Menaketrans Nomor: Kep.101/Men/VI/2004 Tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh c) Kep.Menaketrans Nomor: Kep. 220/Men/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara lain: 1) Pustaka di bidang hukum. 2) Artikel-artikel ilmiah, baik dari koran maupun internet, 3) Hasil penelitian yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti. c) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa: 1) Kamus hukum 2) Ensiklopedia 2. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari obyek penelitian yang berupa keterangan hasil wawancara. 62 E. Metode Pengumpulan Data 1. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi kepustakaan. Data sekunder diolah dengan cara mengutip, menyadur tulisan baik yang berupa bukubuku, dokumen, karya ilmiah, maupun peraturan perundang-undangan. 2. Data Primer Data primer digunakan sebagai data pendukung atau pelengkap data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara dengan para pihak yang terkait dengan penelitian ini. F. Metode Penyajian Data Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis. Sistematis di sini maksudnya adalah keseluruhan data sekunder dan data primer yang diperoleh sebagai hasil penelitian akan dihubungkan satu dengan yang lainnya sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. G. Analisis Data Seluruh data yang telah terkumpul secara lengkap dari hasil penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif. Normatif, karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif yaitu menghubungkan paparan hasil penelitian yang tersistematis tersebut dengan yang didapat dari teori hukum, postulat hukum, serta hukum positif, untuk dapat menjelaskan permasalahan secara ilmiah dan bukan dalam bentuk angka-angka.89 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Data Sekunder 1.1. Dasar Hukum Outsourcing di Indonesia 1.1.1. Outsourcing Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Praktik Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) dan outsourcing merupakan wujud dari kebijakan Pasar Kerja Fleksibel yang dimintakan kepada pemerintah Indonesia oleh IMF (international Monetary Fund , World Bank dan ILO (International Labour Organisation) sebagai syarat pemberian bantuan untuk menangani krisis ekonomi 1997. Kebijakan Pasar Kerja Fleksibel merupakan salah satu konsep kunci dari kebijakan perbaikan iklim investasi yang juga disyaratkan oleh IMF dan dicantumkan dalam Letter of Intent atau nota kesepakatan ke-21 antara Indonesia dan IMF butir 37 dan 42. Kesepakatan dengan IMF tersebut menjadi acuan dasar bagi penyusunan rangkaian kebijakan dan peraturan perbaikan iklim investasi dan fleksibilitas tenaga kerj a.90 90 Ringkasan Eksekutif hasil studi mengenai Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di Indonesia yang dilakukan oleh Akatiga-Pusat Analisis Sosial dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES). Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 59 yang menyatakan: (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. (4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. (6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. (7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. (8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Sedangkan mengenai outsourcing diatur dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66. Pengertian outsourcing tidak disebutkan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun 59 demikian pengertian outsourcing kurang lebih sama seperti yang tercantum dalam Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 yang menentukan sebagai berikut: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dalam UU No. 13 Tahun 2003 makna dari outsourcing adalah menyerahkan sebagian dari pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Dalam kenyataan di lapangan, praktik outsourcing lebih dikenal dengan istilah penggunaan perusahaan sebagai penyalur tenaga kerja. Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 menegaskan tentang penyerahan sebagian dari pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya sebagai berikut: (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. (2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut: a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. (3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum. (4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimak-sud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. (6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. (7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. (8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. (9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 selanjutnya menegaskan tentang larangan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk menggunakan jasa pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, sebagai berikut: (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. (2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan lang-sung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian 67 kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini. (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Penjelasan Pasal 66 ayat (1) selanjutnya menegaskan bahwa: Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Berdasarkan ketentuan Pasal 65 dan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 tersebut Abu Umar memberikan penjelasan sebagai berikut: Di dalam UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan khsususnya pada pasal 65 dan 66 menyebutkan bahwa penggunaan outsourcing dapat dilakukan sepanjang itu adalah pekerjaan di luar dari pekerjaan utama, artinya bahwa praktek outsourcing sesungguhnya dibenarkan oleh Undang-undang 68 u ntuk pekerjaan yang bukan pekerjaan utama. Selama outsourcing digunakan untuk pekerjaan sampingan atau pekerjaan yang bukan pekerjaan utama maka outsourcing tersebut dibenarkan menurut undang-undang. Akan tetapi bila pekerjaan itu adalah pekerjaan utama, maka sesungguhnya praktik outsourcing batal demi hukum.91 Berdasarkan Penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, Abu Umar mengatakan bahwa jenis usaha atau kegiatan yang diperbolehkan untuk di-outsourcing hanya ada 5 jenis usaha yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) Usaha pelayanan kebersihan (cleaning sevice). Usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering). Usaha tenaga pengamanan (security/satpam). Usaha jasa penunjang pertambangan dan perminyakan. Usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Selain dari lima jenis kegiatan seperti yang disebutkan di atas, outsourcing tidak diperbolehkan dan bila terjadi, maka hal tersebut batal demi hukum.92 Permasalahan yang terjadi di lapangan adalah adanya pelanggaran terhadap ketentuan yang ada dalam Undang-undang. Untuk masalah outsourcing, yang sering terjadi adalah pengusaha melakukan praktik outsourcing untuk jenis usaha yang masuk dalam kategori pekerjaan utama. Alasan yang sering digunakan oleh para pengusaha adalah bahwa penafsiran tentang definisi dari pekerjaan utama masih belum jelas, padahal kalau merujuk pada Penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 terlihat jelas bahwa yang boleh di-outsourcing hanyalah 5 jenis kegiatan saja. Jadi penafsiran terkait dengan defenisi pekerjaan utama harusnya merujuk pada penjelasan tersebut. Abu Umar. 2010. Outsourcing Di Mata Undang-Undang. Diunduh dari http://www.pks-sumatera.org pada tanggal 9 Maret 2011. (Abu Umar adalah anggota DPR RI dari Fraksi PKS) 92 Ibid, tanpa halaman. 91 69 1.1.2. Outsourcing Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP. 220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP. 220/MEN/X/2004 mengatur tentang pengertian perusahaan, perusahaan penerima pemborongan pekerjaan dan pekerja/buruh sebagai berikut: Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan: (1) Perusahaan yang selanjutnya disebut perusahaan pemberi pekerjaan adalah: a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. (2) Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan adalah perusahaan lain yang menerima penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan. (3) Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu harus memenuhi syarat tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 sebagai berikut: (1) Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah daripada ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. (2) Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan atau pekerjaan tertentu. 70 Perusahaan pemborong pekerjaan sebagai pihak yang melaksanakan sebagian pekerjaan, dipersyaratkan harus berbadan hukum, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP. 220/MEN/X/2004 sebagai berikut: (1) Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan akan menyerahkan sebagian pelaksanakan pekerjaan kepada perusahaan pemborong pekerjaan harus diserahkan kepada perusahaan yang berbadan hukum. (2) Ketentuan mengenai berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikecuali bagi: a. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang pengadaan barang; b. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang jasa pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultansi yang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 10 (sepuluh) orang. (3) Apabila perusahaan pemborong pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan menyerahkan lagi sebagian pekerjaan yang diterima dari perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan tersebut dapat diberikan kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum (4) Dalam hal perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak melaksanakan kewajibannya memenuhi hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja maka perusahaan yang berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban tersebut. Apabila dalam suatu daerah tidak terdapat perusahan pemborong pekerjaan yang berbadan hukum, maka dapat diserahkan kepada perusahaan yang bukan berbadan hukum, dengan syarat perusahaan tersebut bertangungjawab memenuhi hak-hak pekerja yang dituangkan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan. Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP. 220/MEN/X/2004 menyatakan bahwa: 71 (1) Dalam hal di satu daerah tidak terdapat perusahaan pemborong pekerjaan yang berbadan hukum atau terdapat perusahaan pemborong pekerjaan berbadan hukum tetapi tidak memenuhi kualifikasi untuk dapat melaksanakan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat diserahkan pada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum. (2) Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan yang bukan berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab memenuhi hak-hak pekerja/buruh yang terjadi dalam hubungan kerja antara perusahaan yang bukan berbadan hukum tersebut dengan pekerjaan/buruhnya (3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dituangkan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan pemborong pekerjaan. Hak-hak pekerja/buru wajib dimuat dalam setiap perjanjian pemborongan pekerjaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP. 220/MEN/X/2004: Setiap perjanjian pemborongan pekerjaan wajib memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pekerjaan yang dapat diborongkan kepada perusahaan pemborong pekerjaan harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP. 220/MEN/X/2004 yang menyatakan sebagai berikut: (1) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan pemborong pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun pemberi pekerjaan. kegiatan pelaksanaan pekerjaan ; 72 b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan; c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan alur kegiatan kerja perusahaan d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung artinya kegiatan tersebut adalah merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana biasanya. (2) Perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian pelaksanan pekerjaannya kepada perusahaan pemborong pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan. (3) Berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan penunjang berdasarkan ketentuan ayat (1) serta melaporkan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat. 1.1.3. Outsourcing Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP. 101 /MEN/VI/2004 diantara menyatakan tentang pengertian pekerja, pengusaha, perusahaan, perusahaan penyedia jasa sebagai berikut: Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 2. Pengusaha adalah a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan muliknya; 73 c orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudkan di luar wilayah Indonesia. 3. Perusahaan adalah a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurusan dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau nimbalan dalam bentuk lain. 4. Perusahaan penyedia jasa adalah perusahaan berbadan hukum yang dalam kegiatan usahanya menyediakan jasa pekerja/buruh untuk dipekerjakan di perusahaan pemberi pekerjaan. Pasal 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP. 101 /MEN/VI/2004 mengatur tentang permohonan ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, sebagai berikut: (1) Untuk dapat menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh perusahaan wajib memiliki ijin operasional dari instansi yang bert anggung j aw ab di bi dang ket enagakerj aan di kabupaten/Kabupatensesuai domisili perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. (2) Untuk mendapatkan ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh perusahaan menyampaikan permohonan dengan melampirkan: a. copy pengesahan sebagai badab hukum berbentuk Perseorangan Terbatas atau Koperasi; b. copy anggaran dasar yang di dalamnya memuat kegiatan usaha penyedia jasa pekerja/buruh; c. copy SIUP; d. copy wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku. (3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah menerbitkan ijin operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu paling lama 30m (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima. 74 Permohonan ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 2, berlaku untuk seluruh Indonesia dengan jangka waktu yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP. 101 /MEN/VI/2004 yang menyatakan sebagai berikut: Ijin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku di seluruh Indonesia untuk jangka waktu yang sama. Antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan, wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat jenis pekerjaan yang akan dilakukan, hubungan kerja yang terjadi dan perusahaan penyedia jasa/buruh bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya. Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.101/MEN/VI/2004 dalam hal ini menyatakan sebagai berikut: Dalam hal perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat: a. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan jasa; b. penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerrjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul manjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; c. penegasan bahwa perusahaan penyedia jasaja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerja yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. 75 Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP. 101 /MEN/VI/2004 menyatakan bahwa perjanjian antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan harus didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Ketentuan selengkapnya Pasal 5 adalah sebagai berikut: (1) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/Kabupatentempat perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan (2) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerjaan/buruh melaksanakan pekerjaan pada perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu kabupaten/Kabupatendalam satu proinsi, maka pendaftaran dilakukan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi. (3) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan pada perusahaan pemberi kerja yang berada dalam wilayah lebih dari satu provinsi, maka pendaftaran dilakukan pada Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial. (4) Pendaftaran perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) harus melampirkan draft perjanjian kerja. Pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melakukan perjanjian dan menerbitkan bukti pendaftaran antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.101/MEN/VI/2004 yang menyatakan sebagai berikut: (1) Dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 pejabat instansi yang bertanggung jawaab di bidang ketenagakerjaan melakukan perjanjian tersebut; (2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan menerbitkan bukti pendaftaran. 76 (3) Dalam hal terdaftar ketentuan yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 4, maka pejabat yang bertnaggung jawab di bidang ketenagakerjaan membuat catatan pada bukti pendaftaran bahwa perjanjian dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4. Perusahaan penyedia jasa pekerja yang tidak mendaftarkan perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh, maka instansi yang bertanggung jawab di bdang ketenagakerjaan mencabut ijin operasional perusahaan penyedia jasa keperja/buruh yang bersangkutan, sedangkan hak-hak pekerja/buruh tetap menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan. Pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP. 101 /MEN/VI/2004 dalam hal ini menyatakan sebagai berikut: (1) Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak mendaftarkan perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh, maka instansi yang bertanggung jawab di bdang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 mencabut ijin operasional perusahaan penyedia jasa keperja/buruh yang bersangkutan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (2) Dalam hal ijin operasional dicabut, hak-hak pekerja/buruh tetap menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan. 1.2. Pengawasan Ketenagakerjaan Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan untuk menjamin semua peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dipatuhi dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait. Untuk itu, pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas yang kompeten tergabung dalam unit tersendiri pada Pemerintah Pusat, Pemerintah 77 P rovinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kabupaten. Dengan demikian pegawai pengawas dapat melakukan tugasnya dan mengambil keputusan secara independen, tidak terpengaruh oleh pihak lain. Pengawasan ketenagakerjaan merupakan unsur penting dalam perlindungan tenaga kerja, sekaligus sebagai upaya penegakan hukum ketenagakerjaan secara menyeluruh. Penegakan hukum ditempuh dalam 2 (dua) cara, yaitu: preventif dan refresif. Pada dasarnya kedua cara itu ditempuh sangat bergantung dari tingkat kepatuhan masyarakat (pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh) terhadap ketentuan hukum ketenagakerjaan. Tindakan preventif dilakukan jika memungkinkan dan masih adanya kesadaran masyarakat untuk mematuhi hukum. Namun bila tindakan preventif tidak efektif lagi, maka ditempuh tindakkan refresif dengan maksud agar masyarakat mau melaksanakan hukum walaupun dengan keterpaksaan.93 Pengawasan perburuhan/ketenagakerjaan dimaksudkan untuk mendidik agar pengusaha atau perusahaan selalu tunduk menjalankan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku sehingga akan dapat menjamin keamanan dan kestabilan pelaksanaan hubungan kerja, karena seringkali perselisihan perburuhan disebabkan karena pengusaha tidak memberikan perlindungan hukum kepada buruhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di samping itu pelaksanaan pengawasan perburuhan akan menjamin pelaksanaan peraturan-peraturan perburuhan di semua perusahaan secara sama, sehingga akan menjamin tidak terjadinya persaingan yang tidak sehat (unfair competition)94 93 Abdul Khakim. 2003. Op. Cit. hal. 123 78 9 4 Lalu Husni. 2003. Op. Cit. hal. 120 Pengawasan perburuhan/ketenagakerjaan dilakukan dengan melakukan kunjungan ke perusahaan-perusahaan untuk mengamati, mengawasi pelaksanaan hak-hak normatif pekerja. Jika hak-hak pekerja belum dipenuhi oleh pengusaha, pegawai pengawas dapat melakukan teguran agar hak-hak pekerja diberikan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang ada, jika tidak diindahkan pegawai pengawas yang merupakan penyidik pegawai negeri sipil di bidang perburuhan dapat menyidik pengusaha tersebut untuk selanjutnya dibuatkan berita acara pemeriksaan untuk diproses lebih lanjut ke pengadilan.95 Dalam melaksanakan tugasnya Pegawai Pengawas berhak dan wajib melakukan: 1) Memasuki semua tempat dimana dijalankan atau biasa dijalankan pekerjaan atau dapat disangka bahwa di situ dijalankan pekerjaan dan juga segala rumah yang disewakan atau dipergunakan oleh pengusaha atau wakilnya untuk perumahan atau perawatan pekerja. 2) Jika terjadi penolakan untuk memasuki tempat-tempat tersebut, Pegawai Pengawas berhak meminta bantuan POLRI. 3) Mendapatkan keterangan sejelas-jelasnya dari pengusaha atau wakilnya dan pekerja/buruh mengenai kondisi hubungan kerja pada perusahaan yang bersangkutan. 4) Menanyai pekerja/buruh tanpa dihadiri pihak ketiga. 5) Harus melakukan koordinasi dengan serikat pekerja/serikat buruh. 6) Wajib merahasiakan segala keterangan yang didapat dari pemeriksaan tersebut. 7) Wajib mengusut pelanggaran.96 Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan kewenangan-kewenangan 95 96 Ibid. hal. 121 Abdul Khakim. 2003. Op. Cit. hal. 124-12 5 73 sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 182 ayat (2). Ketentuan selengkapnya Pasal 182 adalah sebagai berikut: (1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenaga-kerjaan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan. (3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi pengawasan. Dengan demikian tugas dan fungsi Pengawasan Ketenagakerjaan tidak dapat dilaksanakan oleh orang lain selain Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud Pasal 176 dan Pasal 177 UU No. 13 Tahun 2003. Pasal 176 menyatakan bahwa: Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenaga-kerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna m enj am i n pel ak sa naa n pe rat ur an p er undang -un dang an ketenagakerjaan. 80 Sedangkan pada Pasal 177 dinyatakan sebagai berikut: Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan perlu diberdayakan semaksimal mungkin. Untuk dapat menjalankan tugas Pengawasan Ketenagakerjaan, Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan harus diangkat/ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atas usul Gubernur, Bupati/WaliKabupaten, setelah yang bersangkutan dinyatakan lulus diklat teknis Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud Pasal 177 UU No. 13 Tahun 2003. Adapun fungsi Pengawas Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:: 1) Mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Ketenagakerjaan. 2) Memberikan penerangan teknis dan nasihat kepada pengusaha dan tenaga kerja agar tercapainya pelaksanaa Undang-Undang Ketenagakerjaan secara efektif. 3) Melaporkan kepada pihak berwenang atas kecurangan dan penyelewengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Fungsi Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan: 1) Menjamin penegakan ketentuan hukum mengenai kondisi kerja dan perlindungan pekerja saat melaksanakan pekerjaannya, seperti ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja, pengupahan, keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan, penggunaan pekerja/buruh anak dan orang muda serta masalah-masalah lain yang terkait, sepanjang ketentuan tersebut dapat ditegakkan oleh pengawas ketenagakerjaan. 2) Memberikan keterangan teknis dan nasehat kepada pengusaha dan pekerja/buruh mengenai cara yang paling efektif untuk mentaati ketentuan hukum. 3) Memberitahukan kepada pihak yang berwenang mengenai terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan yang secara khusus tidak diatur dalam ketentuan hukum yang berlaku. 4) Tugas lain yang dapat menjadi tanggung jawab pengawas ketenagakerjaan tidak boleh menghalangi pelaksanaan tugas pokok pengawas atau mengurangi kewenangannya dan ketidakberpihakannya yang diperlukan bagi pengawas dalam berhubungan dengan pengusaha dan pekerja/buruh.97 97 Sendjun H. Manulang. 1995. Op. Cit. Hal. 125 81 Pasal 1 huruf a Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.03/Men/1984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu menyatakan bahwa pegawai pengawas ketenagakejaan adalah Pegawai Departemen Tenaga Kerja yang diserahi tugas mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang terdiri dari Pegawai Pengawas Umum dan Pegawai Pengawas Spesialis. Pasal 1 huruf d Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.03/Men/1 984 menyatakan bahwa pengawasan ketenagakerjaan terpadu adalah suatu sistem pengawasan pelaksanaan peraturan perundangundangan yang merupakan kegiatan: 1) penyusunan rencana; 2) pemeriksaan di perusahaan atau di tempat kerja; 3) penindakan korektif baik secara preventif maupun represif; 4) pelaporan hasil pemeriksaan Pasal 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.03/Men/1984 menyatakan bahwa: tujuan pengawasan ketenagakerjaan terpadu, yaitu: 1) Mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; 2) Memberi penerangan tehnis serta nasehat kepada pengusaha atau pengurus dan atau tenaga kerja tentang hal-hal yang dapat menjamin pelaksanaan efektif dari pada peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; 3) Mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang hubungan kerja dan keadaan ketenagakerjaan dalam arti yang luas guna pembentukan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Mengingat bahwa pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan adalah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan maka setiap langkah atau tahap kegiatan pemeriksaan dan pengujian objek pengawasan 76 ketenagakerjaan tidak boleh menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan, standar, kriteria dan mekanisme yang ditetapkan. Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan dengan cara melaksanakan pemeriksaan dan atau pengujian baik pertama, berkala, ulang dan khusus terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan. Pasal 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.03/Men/1 984 menyatakan bahwa tahap pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan terpadu meliputi: 1) Pemeriksaan pertama, adalah pemeriksaan lengkap yang dilakukan kepada perusahaan atau tempat kerja baru yang belum pernah diperiksa; 2) Kontrol (pemeriksaan berkala), adalah pemeriksaan ulang yang dilakukan setelah pemeriksaan pertama baik secara lengkap maupun tidak; 3) Pemeriksaan khusus, adalah pemeriksaan yangdilakukan terhadap masalah ketenagakerjaan yang bersifat khusus seperti pengujian, kecelakaan, adanya laporan pihak ketiga, perintah atasan Pasal 9 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.03/Men/1984 menyatakan bahwa tugas dan kewajiban pegawai pengawas umum adalah: 1) Melaksanakan pemeriksaan pertama dan kontrol (berkala) di perusahaan atau di tempat kerja; 2) Memberikan bimbingan, pembinaan dan penyuluhan kepada tenaga kerja dan pengusaha atau pengurus tentang peraturan perundangundangan ketenagakerjaan; 3) Merahasiakan segala sesuatu yang diperoleh yang perlu dirahasiakan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya; 4) Melaporkan semua kegiatan yang berhubungan dengan tugas dan kewajibannya; 5) Mencatat hasil pemeriksaan dalam buku Akte Pengawasan Ketenagakerjaan dan disimpan oleh pengusaha atau pengurus. Tugas dan kewajiban pegawai pengawas spesialis diatur pada Pasal 12 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.03/Men/1984 sebagai berikut: 83 1) Melaksanakan kontrol (pemeriksaan berkala) di perusahaan atau tempat kerja; 2) Memberikan bimbingan, pembinaan dan penyuluhan kepadatenaga kerja dan pengusaha atau pengurus tentang peraturan perundangundangan ketenagakerjaan; 3) Merahasiakan segala sesuatu yang diperoleh yang perlu dirahasiakan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya; 4) Melaporkan semua kegiatan yang berhubungan dengan tugas dan kewajiban sesuai dengan ketentuan; 5) M encat at hasil pemeriksaan dalam buku Akte PengawasanKetenagakerjaan dan disimpan oleh pengusaha atau pengurus. Berdasarkan Surat Edaran Nomor: SE.918/MEN/PPK-SES/XI/2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan Ketenagakerjaan di Propinsi dan Kabupaten/Kabupaten, pelaksanaan tugas pengawasan ketenagakerjaan, pegawai pengawas ketenagakerjaan berkewajiban untuk: 1) Menyusun rencana kerja pemeriksaan (bulanan) yang diketahui/disahkan oleh pimpinan atau atasannya. 2) Melakukan pemeriksaan dan atau pengujian dilapangan/perusahaan secara komprehensif dan tuntas. 3) Mencatat hasil temuan pemeriksaan dan atau pengujian dalam buku, akte pengawasan ketenagakerjaan dan atau akte izin/pengesahan. 4) Membuat nota pemeriksaan dan laporan pemeriksaan. 5) Memantau pelaksanaan dan menindak lanjuti hasil temuan pemeriksaan dan atau pengujian. Terhadap pelanggaran yang memerlukan tindak lanjut penyidikan harus dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang telah berkualifikasi PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 UU No.13. Tahun 2003. Secara operasional pengawasan ketenagakerjaan meliputi: 1) Sosialisasi Norma Ketenagakerjaan Sasaran kegiatan ini agar tercapai peningkatan pemahaman norma kerja bagi masyarakat industri, sehingga tumbuh persepsi positif dan mendorong kesadaran untuk melaksanakan ketentuan ketenagakerjaan. 2) Tahapan Pelaksanaan Pengawasan a) Upaya pembinaan (preventive educative), yang ditempuh dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat industri, penyebarluasan informasi ketentuan ketenagakerjaan pelayanan konsultasi dan lain-lain. 84 b) Tindakan refresif nonyustisial, yang ditempuh dengan memberikan peringatan tertulis melalui nota pemeriksaan kepada pimpinan perusahaan apabila ditemui pelanggaran. Di samping juga memberikan petunjuk secara lisan pada saat pemeriksaan. c) Tindakan refresif yustisial, sebagai alternatif terakhir dan dilakukan melalui lembaga peradilan. Upaya ini ditempuh bila Pegawai Pengawas sudah melakukan pembinaan dan memberikan peringatan, tetapi pengusaha tetap tidak mengindahkan maksud pembinaan tersebut. Dengan demikian Pegawai Pengawas sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berkewajiban melakukan penyidikan dan menindaklanjuti sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.98 Skema proses pengaduan terhadap pelanggaran atau tindak pidana di bidang ketenagakerjaan digambarkan sebagai berikut: Bila terjadi pelanggaran atau tindak pidana terhadap UU Ketenagakerjaan, para pihak melaporkan atau mengadukan kepada Pegawai Pengawas Pegawai Pengawas melakukan pemeriksaan ke lokasi Berdasarkan hasil pemeriksaan, Pegawai Pengawas melakukan somasi bertahap (1, 2 dan 3) Tidak dilaksanakan Dilaksanakan Berkas disampaikan ke Polri Kejaksaan Negeri Gambar 1. Diagram Proses Pengaduan99 98 99 Abdul Khakim. 2003. Op. Cit. hal. 125-126 Ibid. hal. 128 85 Hubungan kerja yang terjadi dalam outsourcing yaitu hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja melalui suatu perjanjian kerja. Sedangkan hubungan yang terjadi antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna tenaga kerja adalah sebatas hubungan menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan outsourcing melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Dengan adanya perjanjian pemborongan antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna tenaga kerja, maka terjadilah suatu praktek outsourcing. Hubungan kerja yang terjadi antara perusahaan outsourcing dengan pekerjanya secara tidak langsung telah melibatkan pemerintah dalam upaya penegakan hukum ketenagakerjaan, hal ini dilakukan untuk melindungi hak-hak pengusaha dan pekerja dalam pelaksanaan hubungan kerja. Dalam hal upaya penegakan hukum tenaga kerja, pemerintah melakukan dengan pengawasan ketenagakerjaan. Pengawasan ketenagakerjaan merupakan unsur penting dalam perlindungan tenaga kerja, sekaligus sebagai upaya penegakan hukum ketenagakerjaan secara menyeluruh. Dalam pelaksanaannya sistem outsourcing sangatlah riskan terjadi pelanggaran, untuk itu diperlukan suatu pengawasan terhadap norma kerja dan pengawasan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3) untuk melindungi hak-hak pekerja yang dipekerjakan dalam suatu praktek outsourcing. Dengan adanya hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan, maka diperlukan adanya solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. 86 Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapat dibuat bagan alur proses pengawasan ketenagakerjaan sebagai berikut: UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Kepmenakertrans Nomor: KEP. 101 /MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerj a/ B u ruh Perusahaan Outsourcing Kepmenakertrans Nomor: KEP. 220/MEN/X/2004 tentang SyaratSyarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain Pekerja Outsourcing Pemerintah melalui Depnakertrans Perusahaan PenggunaTenaga Kerja Praktik Outsourcing Pengawasan Terhadap Norma Kerja Pengawasan Terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja Hambatan Solusi Pelaksanaan Pengawasan oleh Pegawa Pengawas Ketenagakerjaan 87 Gambar 2. Bagan alur proses pengawasan ketenagakerjaan 88 1.3. Praktik Outsourcing di Kabupaten Banjarnegara Terdapat beberapa perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang beroperasi di wilayah Kabupaten Banjarnegara, yaitu sebagai berikut: Tabel 1. Perusahaan Outsourcing yang beroperasi di Kabupaten Banjarnegara No. Nama Perusahaan Outsourcing Alamat Vendor Outsourcing selain Satpam 1. PT. Intrias Mandiri Sejati Yogyakarta 2. PT. Karyaputra Surya Gemilang Yogyakarta 3. PT. Mutualplus Global Resources Yogyakarta 4. PT. Outsourcing Indonesia Yogyakarta 5. PT. Prima Karya Sarana Sejahtera Yogyakarta 6. PT. Prismas Jamintara Yogyakarta 7. PT. Sumberdaya Dian Mandiri Yogyakarta Vendor Satpam dan Cleaning Service 1. PT. BravoSatria Perkasa Yogyakarta 2. PT. Sigap Prima Astrea Yogyakarta 3. PT. Prima Karya Sarana Sejahtera Yogyakarta 4. PT. Adita Farasjaya Semarang 5. PT. Huta Inspira Semarang 6. PT Adimitra Pratama Semarang 7. PT. Bhumi Elang Perkasa Semarang 8. PT. Grinatha Semarang Sedangkan perusahaan pemberi pekerjaan yang memanfaatkan jasa dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh atau perusahaan outsourcing di Kabupaten Banjarnegara adalah perusahaan yang bergerak di bidang keuangan dan perbankan, yaitu sebagai berikut: Tabel 2. Perusahaan pemberi pekerjaan yang memanfaatkan jasa perusahaan outsourcing No. Nama Perusahaan Bidang Usaha 1. Bank Jateng Perbankan 2. Bank Rakyat Indonesia Perbankan 3. Bank Danamon Perbankan 4. Bank Mega Perbankan 5. Bank Niaga Perbankan 6. Bank Mandiri Perbankan 89 Adapun jenis-jenis pekerjaan yang di-outsourcing disajikan pada tabel sebagai berikut: Tabel 3. Jenis pekerjaan yang di-outsourcing No. Jenis Pekerjaan 1. Administrasi umum dan SDM 2. Aministrasi kredit 3. Teller 4. Administrasi back office 5. Pemasaran 6. Pengawasan kredit 7. Administrasi kredit 8. Administrasi analisis 9. Administrasi akuntansi 10. Satpam 11. Cleaning servis 12. Driver 13. Pesuruh Sebagaimana diketahui bahwa dalam perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing harus dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis, hal ini dapat dicontohkan perjanjian kerja antara PT . Prima Karya Sarana Sejahtera dengan pihak pekerja sebagai berikut: Perjanjian Kerja Antara PT . Prima Karya Sarana Sejahtera Dengan Tri Panji Rakhmanto No: B/449-VII/SDM/07/201 1 I. Siti Adimurwani, Kepala Cabang PT . Prima Karya Sarana Sejahtera Yogyakarta, bertindak untuk dan atas nama PT . Prima Karya Sarana Sejahtera, perusahaan yang menjalankan usaha di bidang penyedia jasa pekerja, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA II. Nama : Tri Panji Rakhmanto Jenis Kelamin : Pria Tempat/Tanggal Lahir : Kebumen/12/10/1991 Alamat/Tempat Tinggal : Panjatan RT 06/03 Karanganyar Kebumen Selanjutnya disebut PIHAK KEDUA Dengan ini PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA (kedua belah pihak) menyatakan setuju untuk mengadakan perjanjian kerja waktu tertentu guna melaksanakan tugas/pekerjaan dengan ketentuan dan syarat sebagai berikut: 90 Pasal 1 PENGERTIAN UMUM Dalam perjanjian kerja ini yang dimaksud dengan: 1. Pekerja adalah PIHAK KEDUA yang mempunyai hubungan kerja dengan PIHAK PERTAMA karena pelaksanaan tugas/pekerjaan yang dimaksud dalam Pasal 2 berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu menurut perjanjian kerja ini. 2. Daftar hadir adalah catatan kehadiran pekerja yang dikelola oleh koordinator/pengawas bagi pekerja di perusahaan tempat pekerja menjalankan pekerjaannya. 3. Rekanan adalah orang, badan, atau institusi yang bekerja sama dengan dan atau menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada PIHAK PERTAMA melalui ”Perjanjian Pemborongan Pekerjaan dan atau Penyediaan Jasa Pekerjaan” dan untuk itu PIHAK PERTAMA menempatkan PIHAK KEDUA sebagai pekerja. Pasal 2 JENIS DAN LINGKUP PEKERJAAN (1) PIHAK KEDUA setuju untuk melaksanakan pekerjaan yang diberikan PIHAK PERTAMA sebagai Satuan Pengaman dengan status/kedudukan sebagai pekerja waktu tertentu, ditempatkan di Kanca BRI Banj arnegara. (2) Ruang lingkup pekerjaan yang diserahkan oleh PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA disesuaikan dengan jabatan/tugas PIHAK KEDUA dan dituangkan dalam bentuk surat penugasan yang diberikan oleh PIHAK PERTAMA. (3) PIHAK KEDUA bersedia ditempatkan di lokasi kerja PIHAK PERTAMA dan atau rekanan dan bersedia sewaktu-waktu dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lain dengan upah dan fasilitas sesuai standar upah dan fasilitas yang berlaku di perusahaan PIHAK PERTAMA. Pasal 3 JANGKA WAKTU PERJANJIAN (1) Perjanjian kerja ini berlaku sejak tanggal 01 Juli 2011 sampai dengan tanggal 30 Juni 2012. (2) Jangka waktu perjanjian kerja yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dapat diperpanjang berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak sepanjang jumlah jangka waktu perjanjian awal dan perpanjangannya tidak lebih dari 2 tahun. 91 Pasal 4 KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA (1) PIHAK PERTAMA berkewajiban membayar upah kepada PIHAK KEDUA yang akan dibayarkan secara bulanan setiap tanggal 25 bulan pembayaran, dengan komponen sebagai berikut: a) Upah pokok sebesar Rp 750.000 b) Tunjangan tetap Rp 370.000 c) Tunjangan tidak tetap Rp 30.000 (2) PIHAK REKANAN akan memberikan lumpsum baya perjalanan dinas kepada PIHAK KEDUA berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi pekerja waktu tertentu di REKANAN apabila PIHAK KEDUA ditugaskan untuk melaksanakan perjalanan dinas oleh REKANAN atas beban biaya REKANAN. (3) PIHAK PERTAMA berkewajiban membayar upah lembur bagi pekerja yang melaksanakan tugas lembur sesuai ketentuan yang berlaku di PIHAK PERTAMA dan atau REKANAN. (4) PIHAK PERTAMA memberikan cuti selama 12 hari kerja dalam 1 tahun kepada PIHAK KEDUA, dengan catatan cuti tersebut dapat dilaksanakan apabila PIHAK KEDUA telah bekerja pada PIHAK PERTAMA dan atau REKANAN sekurang-kurangnya 6 bulan terus-menerus sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada PIHAK PERTAMA. (5) Atas pelaksanaan cuti tersebut PIHAK PERTAMA akan memberikan Tunjangan Uang Perjalanan Cuti Tahunan (TUPCT) sesuai ketentuan yang berlaku bagi P-PKWT di PIHAK PERTAMA sebesar 100% dari upah pokok yang dimaksud ayat (1) pasal ini. (6) Jika PIHAK KEDUA pada saat pembayaran Tunjangan Hari Raya Keagamaan telah bekerja secara terus menerus selama 3 bulan di PIHAK PERTAMA maka PIHAK PERTAMA berkewajiban memberikan uang THRK kepada PIHAK KEDUA berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi pekerja di PIHAK PERTAMA dengan ketentuan bahwa jika masa kerja PIHAK KEDUA 3 bulan atau lebih tetapi kurang dari 1 tahun pada saat pembayaran THRK, maka pembayaran THRK dilakukan secara proporsional dari tahun yang bersangkutan, dengan rumur: (bulan masa kerja dari periode pembayaran THRK tahun yang bersangkutan dibagi 12 kali (upah pokok). (7) PIHAK PERTAMA mengikutsertakan PIHAK KEDUA dalam Program Pensiun Iuran Pasti-Dana Pensiun Lembaga Keuangan (PPIP-DPLK), dengan iurang yang ditetapkan sesuai kemampuan dan menjadi beban PIHAK PERTAMA, dan dengan kepesertaan dalam PPIP-DPLK tersebut PIHAK PERTAMA tidak berkerwajiban membayar uang pesaongn, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, sebagaimana dimaksud Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003 dan atau kompensasi apapun kepada PIHAK KEDUA. (8) PIHAK PERTAMA wajib mengikutsertakan PIHAK KEDUA dalam Program Jamsostek yangterdiri dari Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan 92 Kematian dan Jaminan Hari Tua yang perhitungannya atau preminya dihitung dari upah pokok yang dimaksud ayat (1) pasal ini. (9) PIHAK PERTAMA memberikan fasilitas Rawat Inap dan Rawat Jalan untuk pekerja, sedangkan 1 istri/suami dan anak pertama yaitu berupa penggantian biaya rawatinap bagi keluarga pekerja yang menjalankan rawat inap dengan ketentuan pelaksanaannya diatur tersendiri oleh PIHAK PERTAMA. Pasal 5 KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA (1) PIHAK KEDUA dengan segala kemampuan melaksanakan tugas yang telah diberikan oleh PIHAK PERTAMA dan atau REKANAN kepadanya dengan sebaik-baiknya serta senantiasa melindungi kepentingan PIHAK PERTAMA dan atau REKANAN. (2) PIHAK KEDUA wajib memenuhi target yang setiap periode tertentu ditetapkan oleh PIHAK REKANAN. (3) PIHAK KEDUA tidak melakukan pelanggaran dan atau kejahatan baik yang diatur dalam KUHP, UU Tindak Pidana Khusus (Korupsi) maupun perundangan lainnya yang berlaku, serta tidak melakukan tindakan yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan kerugian secara administrasi, finansial dan atau dapat merusak citra PIHAK PERTAMA dan atau REKANAN. (4) PIHAK KEDUA wajib mentaati perjanjian ini, peraturan perusahaan dan peraturan lain yang dikeluarkan oleh PIHAK PERTAMA dan atau REKANAN dan menjaga kepentingan PIHAK PERTAMA dan atau REKANAN dengan sebaik-baiknya. (5) PIHAK KEDUA wajib memelihara dengan tertib dan lengkap semua catatan/data, arsip yang berhubungan dengan pekerjaannya yang seharusnya dilakukan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya serta membolehkan REKANAN atau wakilnya untuk meneliti, memeriksa dan membuat salinannya. (6) PIHAK KEDUA diwajibkan untuk memberikan kepada REKANAN dan atau PIHAK PERTAMA segala informasi yang menyangkut tugas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya setiap saat REKANAN dan atau PIHAK PERTAMA membutuhkan. (7) PIHAK KEDUA tidak memberikan keterangan tentang keadaan keuangan nasabah yang tercatat pada REKANAN, serta hal-hal lain yang harus atau sepatutnya dirahasiakan oleh Bank menurut kelaziman yang berlaku dalam dunia perbankan, atau oleh suatu perusahaan. (8) PIHAK KEDUA tidak memberikan keterangan kepada media cetak dan elektronik serta pihak lain, dan tidak pula membicarakan di luar hubungan dinas segala sesuatu yang diketahuinya mengenai REKANAN dan atau PIHAK PERTAMA. 93 (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) Kewajiban yang tercantum dalam ayat (7) dan ayat (8) pasal ini berlaku terus sampai dengan 1 tahun setelah PIHAK KEDUA tidak lagi bekerja pada REKANAN dan atau PIHAK PERTAMA. PIHAK KEDUA bersedia mengganti segala kerugian yang diderita oleh REKANAN dan atau PIHAK PERTAMA dan menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku sebagai akibat kelalaian/kesalahan yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA dalam melaksanakan tugas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. PIHAK KEDUA bersedia dikenakan pengurangan atas upahnya berdasarkan peraturan yang berlaku bagi Pekerja Waktu tertentu di PIHAK PERTAMA apabila tidak hadir secara penuh selama jam kerja berdasarkan daftar hadir yang telah disetujui REKANAN dan akan diperhitungkan pada pembayaran upah. PIHAK KEDUA tidak menuntut fasilitas/hak/kesejahteraan lain selain yang telah ditentukan dalam Pasal 4 perjanjian ini. PIHAK KEDUA tidak diperkenankan bekerja pada perusahaan selain perusahaan yang ditunjuk oleh PIHAK PERTAMA selama jangka waktu pelaksanaan perjanjian kerja ini. PIHAK KEDUA wajib memberitahukan kepada PIHAK PERTAMA setiap terjadi perubahan alamat rumah tinggal, ahli waris, susunan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. PIHAK KEDUA wajib menyediakan tenaga pengganti sesuai dengan kualifikasi apabila PIHAK KEDUA berhalangan melaksanakan tugas pekerjaannya, dengan biaya menjadi beban PIHAK PERTAMA sesuai ketentuan yang berlaku. Pada saat perjanjian ini ditandatangani, PIHAK KEDUA wajib menyerahkan ijazah pendidikan terakhir asli untuk disimpan oleh PIHAK PERTAMA selama PIHAK KEDUA mempunyai hubungan kerja dengan PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA tidak diperbolehkan meminjam ijazah tersebut tanpa rekomendasi dari pimpinan unit kerja REKANAN dan PIHAK PERTAMA. 2. Data Primer Berdasarkan keterangan hasil wawancara dengan pihak Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara,100 didapat data primer tentang pelaksanaan pengawasan norma kerja dan pelaksanaan pengawasan kesehatan dan keselamatan kerja, yaitu sebagai berikut: 100 Wawancara dilakukan pada tanggal 4 Agustus 2011 94 2.1. Pelaksanaan pengawasan norma kerja yang dilakukan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan terhadap praktik outsourcing di Kabupaten Banjarnegara Pengawasan terhadap pelaksanaan perundang-undangan ketenagakerjaan termasuk di dalamnya praktik outsourcing di Dinas Tenaga Kerja Banjarnegara dilaksanakan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang merupakan bagian dari Sub Dinas Pengawasan, yaitu sebagai berikut: 2.1.1. Pengawasan terhadap praktik outsourcing oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Kabupaten Banjarnegara dilakukan terhadap jenis outsourcing yang berbentuk penyedia tenaga kerja. Pendataan terhadap perusahaan outsourcing yang melakukan penyediaan tenaga kerja/buruh dapat dilakukan dengan baik karena adanya keharusan bagi perusahaan outsourcing yang ingin melakukan praktik outsourcing yang berupa penyediaan tenaga kerja/buruh untuk memiliki ijin operasional perusahaan yang diterbitkan oleh Dinas Tenaga Kerja Banjarnegara. 2.1.2. Pelaksanaan pengawasan terhadap praktik outsourcing di K abupat en B anj a rne gar a, yai t u Pega w ai Pengaw as Ketenagakerjaan Kabupaten Banjarnegara melakukan suatu pengawasan lapangan. Pengawasan lapangan dilaksanakan dengan melakukan kunjungan dan pemeriksaan ke perusahaan outsourcing. Namun demikian pemeriksaan lapangan ini sulit dilakukan secara kontinyu karena terkendala biaya, jarak serta waktu. Hal ini terjadi 95 karena perusahaan outsourcing tidak ada yang berdomisili atau beralamat di Banjarnegara, semuanya dari Semarang dan Yogyakarta, sehingga sulit untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. 2.1.3. Jenis pemeriksaan lapangan yang dilaksanakan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: 1) Pemeriksaan pertama yaitu pemeriksaan yang mencakup aspek norma kerja dan norma kesehatan dan keselamatan kerja; 2) Pemeriksaan berkala yaitu pemeriksaan yang dilakukan secara berkala minimal satu tahun sekali yang pemeriksaannya secara umum sama dengan apa yang dilakukan pada pemeriksaan pertama; 3) Pemeriksaan khusus yaitu pemeriksaan yang dilakukan apabila ada hal-hal tertentu, misalnya ada pengaduan atau atas perintah atasan untuk suatu hal di perusahaan. 2.1.4. Wujud pengawasan terhadap praktik outsourcing adalah sebagai berikut: 1) Pengawasan terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi perusahaan untuk dapat melakukan praktek outsourcing: a) Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundangundangan mengenai ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh Pengawasan dilakukan berdasarkan pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: 96 KEP.101/MEN/VI/2004 Tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Pengawasan ini dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap dokumen mengenai ijin operasional perusahaan penyedia jasa/buruh. b) Pengawasan terhadap perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Pengawasan dilakukan berdasarkan pada Pasal 66 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.101/MEN/VI/2004 Tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Pengawasan ini dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap isi dari perjanjian penyediaan tenaga kerja/buruh yang dibuat secara tertulis antara perusaahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing. c) Pengawasan terhadap syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain Pengawasan ini dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan terhadap isi dari perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis oleh perusahaan outsourcing dengan perusahaan yang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya. Pengawasan ini 97 dilakukan berdasarkan pada Pasal 65 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.220/MEN/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. 2) Pengawasan terhadap norma kerja: a) Pengawasan terhadap waktu kerja dan waktu istirahat yang diterapkan perusahaan outsourcing dalam mempekerjakan pekerjanya Pengawasan ini dilakukan pegawai pengawas dengan melakukan pemeriksaan terhadap dokumen waktu kerja dan waktu istirahat yang diterapkan oleh perusahaan outsourcing. Pengawasan dilakukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan waktu kerja dan waktu istirahat yang diterapkan perusahaan outsourcing. Pengawasan ini juga dilakukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan cuti dan kerja lembur. Pengawasan ini dilakukan berdasarkan pada Pasal 77 - Pasal 85 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan b) Pengawasan terhadap hubungan kerja yang terjadi antara perusahaan outsourcing dengan pekerja Pengawasan ini dilakukan dengan memeriksa perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja dengan perusahaan 98 outsourcing. Dari pemeriksaan tersebut dapat diketahui mengenai bentuk dan jangka waktu hubungan kerja yang terj adi antara perusahaan outsourcing dengan pekerj anya. Pengawasan ini dilaksanakan berdasarkan pada Pasal 50 Pasal 63 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. c) Pengawasan terhadap perlindungan terhadap penyandang cacat Pengawasan ini diakukan dengan memperhatikan Pasal 67 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan administratif terhadap daftar karyawan yang bekerja di perusahaan dan pengecekan ke tempat kerja. d) Pengawasan terhadap perlindungan terhadap pekerja anak Pengawasan ini dilakukan dengan memperhatikan Pasal 68 – Pasal 75 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur tentang perlindungan terhadap pekerj a anak. Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap daftar karyawan yang bekerja di perusahaan dan melakukan pengecekan ke tempat kerja. e) Pengawasan terhadap perlindungan terhadap pekerja perempuan Pengawasan ini dilakukan dengan memeriksa daftar pekerja perempuan yang ada di perusahaan. Pengawasan ini 92 dilaksanakan berdasarkan pada Pasal 76 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur tentang perlindungan terhadap pekerja perempuan. f) Pengawasan terhadap upah yang diterima pekerja outsourcing dari perusahaan outsourcing Pengawasan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap daftar upah dan slip gaji yang diterima dan ditandatangani oleh pekerja. Pengawasan ini dilakukan untuk mengetahui besarnya upah minimum yang diterima oleh pekerja, sistem pengupahan yang dilakukan , tempat pembayaran upah dan waktu pembayaran upah. Pemeriksaan juga dilakukan untuk mengetahui komponenkomponen upah yang dibayarkan kepada pekerja serta potongan-potongan yang dilakukan terhadap upah yang diberikan tersebut. Pengawasan ini dilakukan berdasarkan pada Pasal 88 Pasal 98 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PP No. 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-72/MEN/1984 tentang Dasar Perhitungan Upah Lembur; Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 561.4/78/2006. g) Pengawasan terhadap jaminan sosial tenaga kerja yang diterima pekerja outsourcing dari perusahaan outsourcing Pengawasan ini dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan terhadap bukti kepesertaan program Jamsostek, bukti pembayaran iuran program Jamsostek 100 bulan terakhir. Pengawasan ini dilaksanakan berdasarkan pada Pasal 99 UU N o. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelengaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja jo PP No. 83 Tahun 2000 tentang Perubahan atas PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelengaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul Karena Hubungan Kerja, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER03/1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. h) Pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan norma keselamatan dan kesehatan kerja (K3) umum. Pengawasan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap norma kesehatan dan keselamatan kerja yang harus ada di perusahaan sesuai dengan jenis usahanya. Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan pendataan mengenai ijin sertifikasi penggunaan alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaaan kegiatan usaha dan pemeriksaan kondisi kerja di perusahaan. Pelaksanaan pengawasan ini dilakukan berdasarkan pada Pasal 86 Pasal 87 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Dalam pemeriksaan lapangan ini Pegawai Pengawas 101 94 melakukan wawancara dengan pekerja outsourcing. Wawancara diperlukan untuk membuktikan kebenaran dari data yang diberikan oleh pengusaha mengenai daftar upah, hubungan kerja, waktu kerja, pekerja anak, pekerja cacat, pekerja perempuan, jaminan sosial tenaga kerja, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) umum serta hal-hal yang berhubungan dengan kondisi kerja. Wawancara ini dilakukan di perusahaan outsourcing maupun di perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing yang bersangkutan dimana pekerja outsourcing bekerja, hal ini dilakukan untuk melindungi hak-hak pekerja baik di perusahaan outsourcing maupun di perusahaan penggunanya. 2.1.5. Hasil temuan-temuan dalam pemeriksaan dicatat dalam laporan hasil pemeriksaan/pengujian pengawasan ketenagakerjaan. Di dalam laporan hasil pemeriksaan/pengujian pengawasan ketenagakerjaan memuat suatu kesimpulan. Kesimpulan tersebut merupakan hasil analisa dari temuan-temuan yang didapatkan oleh Pegawai Pengawas pada saat melakukan pengawasan terhadap perusahaan outsourcing yang diperiksa. 2.1.6. Laporan hasil pemeriksaan/pengujian pengawasan ketenagakerjaan yang dibuat oleh Pegawai Pengawas Kabupaten Banjarnegara tersebut kemudian disampaikan kepada pimpinan yaitu Kepala Sub Dinas Pengawasan Dinas Tenaga Kerja Banjarnegara. Selanjutnya laporan individu tersebut direkapitulasi dalam formulir yang telah ditetapkan menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor: PER.09/MEN/V/2005 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Pelaksanaan Pengawasan Ketenagakerjaan. 2.1.7. Pelaksanaan pemeriksaan berkala yang dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan Kabupaten Banjarnegara dilaksanakan minimal 1 (satu) tahun sekali. Dalam satu tahun, pemeriksaan tidak mungkin dilakukan lebih dari satu kali terhadap satu perusahaan, kecuali bila ada indikasi adanya suatu pelanggaran dalam perusahaan yang bersangkutan dan harus dilakukan suatu pemeriksaan khusus. Hal ini disebabkan karena adanya keterbatasan dari personil Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dan keterbatasan dana operasional untuk melakukan suatu pengawasan. Selama ini Pegawai Pengawas belum pernah membuat nota pemeriksaan yang ditujukan kepada perusahaan outsourcing karena dalam pemeriksaan yang dilakukan pegawai pengawas selama ini belum pernah ditemukan pelanggaran yang dilakukan perusahaan outsourcing terhadap ketentuan yang mengatur mengenai norma kerja dan syarat-syarat dalam pelaksanaan outsourcing di Kabupaten Banjarnegara. Laporan mengenai adanya indikasi pelanggaran dalam pelaksanaan outsourcing juga belum pernah diterima oleh Pegawai Pengawas, jadi pengawasan khusus belum pernah dilakukan terhadap perusahaan outsourcing. 2.1.8. Hubungan kerja yang terjadi antara perusahaan outsourcing dengan pekerjanya telah dituangkan dalam suatu perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis antara perusahaan outsourcing dengan pekerjanya. Perjanjian kerja yang dilakukan antara perusahaan outsourcing dengan pekerjanya dibuat untuk waktu tertentu atau 10 3 waktu tidak tertentu telah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Waktu kerja dan istirahat yang diterapkan perusahaan outsourcing terhadap pekerjanya telah dilaksanakan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 77 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu pekerja dalam 1 minggu melakukan 40 (empat puluh) jam kerja baik dilakukan selama 5 (lima) hari kerja atau 6 (enam) hari kerja. 2.1.9 Pengupahan yang dilakukan perusahaan-perusahaan outsourcing terhadap pekerjanya juga sudah sesuai dengan ketentuan pengupahan, yaitu rata-rata sebesar Rp 1.000.000. Upah yang diterima pekerja outsourcing tersebut sedikit lebih tinggi dari Upah Minimum Kabupaten (UMK) Banjarnegara berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor SK 561.4/69/2010 Tanggal SK 18 November 2010, tanggal berlaku 01 Januari, tahun berlaku 2011 yaitu sebesar Rp. 730.000,00. 2.1.10. Dari temuan yang didapatkan di lapangan bahwa selama ini pegawai pengawas belum pernah mendapati perusahaan outsourcing di Kabupaten Banjarnegara yang mempekerjakan anak atau pekerja cacat. Perlindungan terhadap pekerja wanita yang dilakukan perusahaan-perusahaan outsourcing juga telah dilakukan dengan baik, dari hasil pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan selama ini perusahaan-perusahaan outsourcing di Banjarnegara tidak pernah mempekerjakan pekerja wanita untuk melakukan pekerjaan pada pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. 10 4 2.1.11. Sesuai dengan apa yang hasil pemeriksaan di lapangan, perusahaan outsourcing di Kabupaten Banjarnegara telah memberikan jaminan sosial tenaga kerja kepada pekerjanya dengan mendaftarkan semua pekerjanya dalam program Jamsostek. 2.1.12. Hal -hal yang menjadi ham batan pegaw ai pengawas ketenagakerjaan Kabupaten Banjarnegara dalam melaksanakan pengawasan terhadap praktek outsourcing sehingga pengawasan tidak dapat dilakukan secara optimal antara lain: 1) Belum adanya peraturan perundang-undangan yang pelaksanaan pengawasan khusus untuk outsourcing Tidak adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bagaimana seharusnya pengawasan terhadap outsourcing dilakukan menyebabkan tidak adanya dasar hukum yang jelas bagi pegawai pengawas dalam melaksanakan suatu pengawasan terhadap pelaksanaan outsourcing. 2) Kurangnya kuantitas dan kualitas pegawai pengawas ketenagakerjaan Jumlah personil pegawai pengawas ketenagakerjaan di Kabupaten Banjarnegara hanya berjumlah 5 (lima) orang, hal ini menjadi salah satu hambatan dalam melaksanakan pengawasan ketenagakerjaaan terhadap praktek outsourcing, karena pegawai pengawas ketenagakerjaan tidak hanya melakukan pengawasan terhadap perusahaan outsourcing saja, akan tetapi seluruh perusahaan yang ada di Kabupaten Banjarnegara. 98 Dilihat dari segi kualitas, tidak adanya peningkatan kemampuan dari institusi Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara sendiri untuk meningkatkan kualitas dari pegawainya. Baik dengan mengikuti pelatihan ataupun diadakan pembekalan terkait dengan permasalahan outsourcing. 3) Perusahaan outsourcing tidak ada yang berdomisili atau beralamat di Banjarnegara, semuanya dari Semarang dan Yogyakarta, sehingga sulit untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. 4) Keterbatasan biaya Permasalahan dana operasional untuk melakukan pengawasan dari APBD yang dirasa masih kurang. 2.2. Pelaksanaan pengawasan kesehatan dan keselamatan kerja yang dilakukan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan terhadap praktik outsourcing di Kabupaten Banjarnegara 2.2.1. Pelaksanaan pengawasan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja pada praktik outsourcing yang dilakukan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara tidak jauh berbeda dengan pengawasan terhadap perusahaan biasa, karena pada dasarnya pegawai pengawas dalam melaksanakan tugasnya tidak memandang apakah perusahaan yang diperiksa merupakan perusahaan outsourcing atau bukan, selama ada obyek kesehatan dan keselamatan kerja, maka pegawai pengawas kesehatan dan keselamatan kerja dapat melakukan pemeriksaan. 106 2.2.2. Pelaksanaan pengawasan kesehatan dan keselamatan kerja dilaksanakan pada saat pemeriksaan lapangan dilakukan, baik itu pemeriksaan pertama, berkala, maupun pemeriksaan khusus bila ada indikasi terjadinya pelanggaran. Pelaksanaan pengawasan kesehatan dan keselamatan kerja yang dilakukan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Kabupaten Banjarnegara dilaksanakan berdasarkan PERMEN Nomor: 03/MEN/1 984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu. Pengawasan dilakukan untuk mengetahui bagaimana perusahaan outsourcing melakukan perlindungan terhadap pekerja outsourcing yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan kerja. Dalam pemeriksaan ini Pegawai Pengawas melakukan pemeriksaan dan pengujian terhadap alat-alat yang dipergunakan dalam melakukan pekerjaan seharihari. 2.2.3. Pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Kerja disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan outsourcing yang bersangkutan. Di wilayah Kabupaten Banjarnegara sendiri penggunaan pekerja outsourcing tidak pernah digunakan dalam suatu proses produksi yang dapat menimbulkan resiko tinggi yang mengakibatkan suatu kecelakaan kerja. Karena pada dasarnya kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja outsourcing bukan merupakan pekerjaan pokok yang berhubungan dengan proses produksi yang tidak mempunyai resiko tinggi menyebabkan suatu kecelakaan kerja, maka pengawasan terhadap perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja khusus terhadap pekerja hampir tidak pernah dilakukan. 107 B. Pembahasan 1. Pengawasan Ketenagakerjaan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Terhadap Praktik Outsourcing di Banjarnegara a. Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Norma Kerja yang dilakukan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan terhadap praktik outsourcing di Banj arnegara Pengawasan terhadap praktik outsourcing oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Kabupaten Banjarnegara telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada, yaitu Pegawai Pengawas berhak: 1) mengawasi berlakunya Undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan pada khususnya; 2) mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat Undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan; 3) menjalankan pekerjaan lain-lainya yang diserahkan kepadanya dengan Undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya Hal ini dapat dilihat dalam hasil penelitian pada data primer nomor 2.1.4. tentang wujud pengawasan terhadap praktik outsourcing, yaitu bahwa dalam melaksanakan pengawasan outsourcing Pegawai Pengawas melakukan pengawasan terhadap seluruh peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan termasuk di dalamnya mengenai pengawasan terhadap norma kerja yang ada dalam praktik outsourcing. Dalam melakukan pengawasan, Pegawai Pengawas juga mengumpulkan bahan-bahan dan keterangan yang diperoleh melalui dokumen-dokumen di perusahaan yang 108 101 diperiksa maupun keterangan yang diperoleh dari pengusaha maupun pekerja. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Hari Supriyanto yang menyatakan bahwa: Maksud diadakannya pengawasan ketenagakerjaan, menurut adalah sebagai berikut: 1) Mengawasi berlakunya undang-undang dan peraturan perburuhan pada khususnya; 2) Mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan; 3) Menjalankan pekerjaan lain-lainnya yang diserahkan kepadanya dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya.101 Lalu Husni di pihak lain berpendapat sebagai berikut: Pengawasan ketenagakerjaan dimaksudkan untuk mendidik agar pengusaha selalu tunduk menjalankan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku sehingga akan dapat menjamin keamanan dan kestabilan pelaksanaan hubungan kerja, karena seringkali perselisihan ketenagakerjaan diebabkan oleh pengusaha tidak memberikan perlindungan hukum kepada pekerjanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di samping itu, pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan akan menjamin pelaksanaan peratura-peraturan ketenagakerjaan di semua perusahaan secara sama, sehingga akan menjamin tidak terjadinya persaingan yang tidak sehat.102 Pelaksanaan pengawasan yang dilaksanakan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan seksi norma kerja telah mengacu pada lingkup pengawasan yang diatur menurut PERMEN Nomor: 03/MEN/1984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: SE-. 91 8/MEN/PPK-SES/XI/2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan Ketenagakerjaan di Propinsi Kabupaten/Kota. 101 Hari Supriyanto. 2004. Op Cit., hal. 44 102 Lalu Husni. 2003. Op. Cit. hal. 120 110 Berdasarkan data primer nomor 2.1.2. pengawasan terhadap norma kerja dilaksanakan melalui pemeriksaan lapangan yang dilaksanakan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Kabupaten Banjarnegara dengan melakukan kunjungan ke perusahaan outsourcing. Dalam kunjungan ke perusahaan outsourcing tersebut dilakukan pertemuan dengan pengusaha/wakil yang telah ditetapkan oleh perusahaan outsourcing yang bersangkutan. Berdasarkan data primer nomor 2.1.4. tentang wujud pengawasan terhadap praktik outsourcing, pemeriksaan dilakukan terhadap dokumen-dokumen perusahaan, antara lain: ijin operasional perusahaan, perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan tenaga kerja/buruh, upah, waktu kerja dan waktu istirahat, hubungan kerja, jaminan sosial, perlindungan bagi pekerja cacat, anak maupun pekerja perempuan, dan pemeriksaan administratif terhadap ijin-ijin dalam hal perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Wawancara dengan pekerja/buruh outsourcing telah dilakukan baik di perusahaan outsourcing maupun di perusahaan pemberi kerja, hal ini sesuai dengan data primer nomor 2.1.4. angka 2) huruf h), yaitu untuk membuktikan keterangan-keterangan yang diperoleh dari pengusaha mengenai daftar upah, hubungan kerja, waktu kerja, pekerja anak, pekerja cacat, pekerja perempuan, jaminan sosial tenaga kerja, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) umum serta hal-hal yang berhubungan dengan kondisi kerja. Dilakukannya pengawasan seperti sebagaimana tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bentuk dan cara pelaksanaan pengawasan terhadap norma kerja dalam praktik outsourcing yang dilakukan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan di Kabupaten Banjarnegara adalah:. 111 1) Membuat rencana kerja untuk melakukan pemeriksaan lapangan; 2) Melakukan kunjungan ke perusahaan outsourcing maupun ke perusahaan pengguna pekerja outsourcing; 3) Melakukan pertemuan dengan wakil yang ditunjuk oleh perusahaan; 4) Melakukan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen perusahaan antara lain: ijin operasional perusahaan, perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan tenaga kerja/buruh, upah, waktu kerja, hubungan kerja, jaminan sosial, perlindungan bagi pekerja anak, perlindungan pekerja cacat maupun perlindungan pekerja perempuan dan pemeriksaan administratif terhadap ijin-ijin dalam hal perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja; 5) Melakukan wawancara dengan pekerja outsourcing di perusahaan outsourcing maupun di perusahaan pemberi kerja; 6) Mencatat temuan-temuan yang didapatkan dalam pemeriksaan dan pengujian, kemudian melakukan analisa terhadap temuan-temuan tersebut untuk dijadikan suatu kesimpulan dalam laporan hasil pemeriksaan/pengujian pengawasan ketenagakerjaan. Pencatatan temuan-temuan yang didapatkan dalam pemeriksaan dan pengujian, dan dituangkan dalam bentuk laporan hasil pemeriksaan/ pengujian pengawasan ketenagakerjaan merupakan tugas dan fungsi pengawas ketenagakerjaan. Hal ini sebagaimana dikatakan Djoko Triyanto, bahwa tugas dan fungsi pengawas ketenagakerjaan adalah: 1) Mengawasi pelaksanaan semua peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan; 2) Memberikan informasi, peringatan dan nasehat teknis kepada pengusaha dan tenaga kerja dalam menjalankan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan agar dapat berjalan dengan baik, dan 112 3 ) Melaporkan dan melakukan penyidikan berkaitan pelanggaranpelanggaran yang dilakukan pengusaha terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan kepada yang lebih berwenang, setelah diberikan peringatan beberapa kali.103 Dalam hal pendaftaran perjanjian penyediaan jasa/buruh atau perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna, telah didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan, dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara. Hal ini merupakan suatu keawajiban yang harus dipatuhi oleh perusahaan penyedia jasa penyedia jasa/buruh sesuai ketentuan yang ada pada Pasal 5 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor: KEP. 101 /MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Jasa Pekerja/Buruh. Apabila tidak mendaftarkan perjanjian tersebut maka dapat dilakukan suatu penindakan karena telah terjadi suatu pelanggaran, tindakan tersebut adalah mencabut ijin operasional perusahaan outsourcing yang bersangkutan hal ini sesuai dengan ketentuan yang ada pada Pasal 7 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor: KEP. 101 /MEN/VI/2004 Tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Jasa Pekerja/Buruh yang bahwa Dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak mendaftarkan perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh, maka instansi yang bertanggung jawab di bdang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 mencabut ijin operasional perusahaan penyedia jasa keperja/buruh yang bersangkutan setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. 103 Djoko Triyanto. 2004. Op. Cit., hal. 159 113 b. Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang dilakukan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan terhadap praktik outsourcing di Banjarnegara Salah satu unsur yang sangat penting untuk menjamin terlaksananya peraturan kesehatan dan keselamatan kerja adalah adanya suatu sistem pengawasan yang bertugas mengawasi pelaksanaan perundang-undangan. Unsur pengawasan merupakan salah satu kebijaksanaan yang bersifat preventif untuk mendeteksi sedini mungkin terjadinya pelanggaranpelanggaran di bidang keselamatan kerja. Sebagai penegak hukum, pegawai pengawas ketenagakerjaan diharapkan dapat mendeteksi sedini mungkin resiko-resiko yang akan terjadi di lapangan. Untuk melindungi keselamatan pekerja atau buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Perlindungan tersebut seharusnya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 86 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa: Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilainilai agama. Sesuai dengan rumusan pada pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa semua pekerja/buruh berhak mendapatkan hak untuk memperoleh keselamatan dan kesehatan kerja, tidak terkecuali pekerja/buruh outsourcing. Untuk mewujudkan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, maka pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara melalui Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan telah melakukan upaya 106 pengawasan di perusahaan atau di tempat kerja yang mempekerjakan pekerja/buruh outsourcing. Hal ini dilaksanakan berdasarkan pada ketentuan pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, menyatakan bahwa: Tempat kerja terdiri dari tiga unsur: 1. Tempat dimana dilakukan pekerjaan bagi sesuatu usaha; 2. Adanya tenaga kerja yang bekerja di sana; 3. Adanya bahaya kerja di tempat itu. Sebagaimana telah diuraikan dalam hasil penelitian, bahwa pengawasan yang dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan, kesehatan dan keselamatan kerja hanya dilakukan terhadap aspek pekerjanya, yang dalam hal ini adalah alat perlindungan diri yang digunakan oleh pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal ini dikarenakan pekerjaan yang dilakukan pekerja outsourcing di Kabupaten Banjarnegara tidak menyebabkan resiko tinggi secara langsung yang dapat menyebabkan suatu kecelakaan kerja. Beberapa ketentuan penting yang telah dilaksanakan dalam pengawasan antara lain adalah Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Kabupaten Banjarnegara telah melakukan kewajibannya untuk melakukan pengawasan terhadap pekerja, pegawai pengawas telah melakukan kunjungan ke tempat dimana pekerja outsourcing tersebut menjalankan pekerjaannya baik di perusahaan outsourcing yang melakukan pemborongan pekerjaan maupun di perusahaan pengguna jasa tenaga kerja outsourcing walaupun pengawasan yang dilakukan di perusahaan pengguna tidak dilakukan secara khusus untuk melakukan pengawasan praktik outsourcing, pengawasan di perusahaan yang melakukan pemeriksaan terhadap alat perlindungan diri yang digunakan oleh pekerja. 115 Pegawai pengawas juga telah melakukan wawancara dengan pekerja outsourcing baik yang bekerja di perusahaan outsourcing yang berbentuk perusahaan pemborongan pekerjaan maupun terhadap pekerja outsourcing yang bekerja di perusahaan pengguna tenaga outsourcing. Dengan tahapantahapan pengawasan yang telah dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan kesehatan dan keselamatan kerja tersebut secara umum pengawasan yang dilakukan telah dilaksanakan dengan cukup baik karena tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengawasan praktik outsourcing telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam PERMEN Nomor: 03/MEN/1 984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: SE-.9 1 8/MEN/PPKSES/XI/2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan Ketenagakerjaan di Propinsi Kabupaten/Kota. 2. Hamb atan -ha mbatan y ang mun cul dalam Proses Penga wa sa n Ketenagakerjaan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan terhadap Praktik Outsourcing di Banjarnegara Pegawai pengawas ketenagakerjaan memegang peranan yang penting dalam penegakan hukum ketenagakerjaan di Indonesia, sebagai penegak hukum pegawai pengawas memegang peranan penting dalam memberikan perlindungan hukum pengusaha maupun pekerja. Namun demikian, sumber daya manusia pada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara baik dari segi kuantitas maupun kualitas sangat kurang untuk memenuhi standar sebagai suatu lembaga pemerintah yang mempunyai tugas berat sebagai penegak hukum atau untuk 116 mengawal adanya praktik outsourcing. Dari segi kuantitas, kurangnya jumlah personil pegawai pengawas ketenagakerjaan yang hanya berjumlah 5 (lima) orang, berbanding dengan 15 (lima belas) perusahaan outsourcing, menjadi suatu hambatan intern dari Dinas Tenaga Kerja. Kuantitas pegawai pengawas ketenagakerjaan merupakan salah satu hambatan yang cukup besar dalam pelaksanaan pengawasan. Dapat dilihat dalam hasil penelitian bahwa dalam satu bulan setiap pegawai pengawas yang berjumlah 5 (lima) orang mempunyai kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap 15 (lima belas) perusahaan outsourcing. Dilihat dari segi kualitas, tidak adanya peningkatan kemampuan dari institusi Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara sendiri untuk meningkatkan kualitas dari pegawainya untuk mengikuti pelatihan ataupun pembekalan terkait dengan permasalahan outsourcing. Untuk meningkatkan kemampuan, pegawai pengawas tersebut harus berusaha secara mandiri atau swadaya, tidak ada fasilitas yang diberikan oleh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara. Solusi yang seharusnya dilakukan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara adalah mengusulkan kepada kementerian terkait untuk melakukan penambahan jumlah pegawai pengawas ketenagakerjaan di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara sehingga tidak terjadi ketimpangan yang begitu besar antara jumlah obyek pengawasan dengan subyek yang melakukan pengawasan. Demi meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam hal ini pegawai pengawas ketenagakerjaan, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara harus melakukan pembekalan dan pelatihan yang terkait dengan masalah outsourcing. 117 Keterbatasan biaya juga menjadi suatu hambatan pelaksanaan pengawasan outsourcing di Wilayah Kabupaten Banjarnegara. Biaya menjadi hambatan karena perusahaan outsourcing yang beroperasi justru beralamat di luar Kabupaten Banjarnegara (Semarang dan Yogyakarta), sehingga membutuhkan pembiayaan yang sangat besar. Solusi untuk masalah ini tentunya, pihak Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara hendaknya mengusulkan untuk menambah anggaran untuk operasional pengawasan, karena jika hal ini dibiarkan maka pengawasan ketenagakerjaan di Kabupaten Banjarnegara akan selamanya tidak dapat berjalan secara optimal. Hambatan lain yang terjadi dalam pelaksanaan pengawasan outsourcing yang terjadi adalah belum adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bagaimana seharusnya pengawasan terhadap outsourcing dilakukan, menyebabkan tidak adanya dasar hukum yang jelas bagi pegawai pengawas dalam melaksanakan suatu pengawasan terhadap pelaksanaan outsourcing. Maka solusi yang dibutuhkan untuk mengatasi hambatan ini adalah diperlukan adanya peraturan perundang-undangan tentang petunjuk pelaksanaan pengawasan outsourcing agar ada dasar hukum yang jelas dalam melakukan pengawasannya. BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pengawasan ketenagakerjaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap praktek outsourcing di Banjarnegara, meliputi: a. Pelaksanaan pengawasan terhadap norma kerja Pelaksanaan pengawasan norma kerja yang dilakukan pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap praktek outsourcing telah dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, yaitu dilakukan terhadap objek-objek pengawasan, antara lain: upah, hubungan kerja, waktu kerja, pekerja perempuan, pekerja anak, pekerja cacat, jaminan sosial tenaga kerja, keselamatan dan kesehatan kerja umum, ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan perjanjian pemborongan pekerjaan/ perjanjian penyediaan jasa pekerja atau buruh. b. Pelaksanaan pengawasan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja Pelaksanaan pengawasan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja yang dilakukan pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap praktek outsourcing telah dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Obyek kesehatan dan keselamatan kerja yang diawasi adalah pengawasan terhadap penggunaan alat perlindungan diri yang digunakan oleh pekerja outsourcing dalam melakukan pekerjaannya. Pengawasan kesehatan dan keselamatan kerja 119 dalam praktek outsourcing hanya dilakukan terhadap alat perlindungan diri yang digunakan oleh pekerja karena pada dasarnya pekerjaan yang dioutsource-kan tidak mengandung resiko tinggi yang dapat menyebabkan suatu kecelakaan kerja. 2. Hambatan-hambatan yang muncul dalam proses pengawasan ketenagakerjaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap praktek outsourcing di Banjarnegara adalah: a. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan pengawasan khusus untuk outsourcing. b. Kurangnya kuantitas dan kualitas personil pegawai pengawas ketenagakerjaan. c. Keterbatasan biaya untuk melakukan pengawasan ketenagakerjaan. d. Domisili perusahaan outsourcing yang berada di luar Kabupaten Banjarnegara (yaitu berada di Semarang dan Yogyakarta) menyulitkan untuk dilakukan pengawasan secara optimal. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan serta kesimpulan yang telah diuraikan, maka dapat diajukan saran-saran sebagai berikut : 1. Diperlukan adanya suatu peraturan perunadang-undangan yang mengatur secara lengkap mengenai tata cara pelaksanaan dan pengawasan outsourcing. 2. Dengan keterbatasan personil dalam hal kuantitas dan kualitas diperlukan adanya penambahan jumlah personil dalam sistem kepegawaian dan meningkatkan sumber daya manusia dari segi kualitas dengan mengadakan pembekalan dan pelatihan secara periodik. 120 3. Keterbatasan biaya operasional yang dialami Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjarnegara dalam melakukan suatu pengawasan ketenagakerjaan hendaknya dapat diatasi dengan melakukan perencanaan untuk menambah dana biaya operasional pengawasan ketenagakerjaan.