BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN MODEL Konsep dan definisi konsep perlu untuk dikemukakan agar tidak terjadi kerancuan dan memperjelas makna konsep yang digunakan dalam penelitian. Melalui konsep tersebut, diharapkan pula akan dapat menjadi dasar dalam melakukan penelitian, sehingga dapat merumuskan karakteristik yang memadai secara teoretis untuk dapat diterapkan pada satu obyek tertentu (Ihalauw, 2008). Konsep yang telah dipilih akan didefinisikan dengan jelas agar hasil penelitian dapat dipahami tak hanya oleh kalangan tertentu saja, tetapi juga oleh masyarakat yang lebih luas. Beranjak dari hal di atas, maka pada bab ini akan dipaparkan mengenai landasan teori, perumusan proposisi, dan pengembangan model penelitian. 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Manajemen Pemasaran Jasa Lovelock dan Wright (2007) mendefinisikan jasa (service) sebagai tindakan atau kinerja yang menciptakan manfaat bagi konsumen dengan mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam diri penerima jasa. Lupiyoadi (2001) menyatakan bahwa jasa sebagai suatu kegiatan yang terjadi dari interaksi dengan seseorang atau mesin yang akan menghasilkan kepuasan konsumen. Sedangkan Kotler dan Keller (2007) mendefinisikan jasa sebagai setiap tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tanwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Jadi, dapat diartikan bahwa 13 jasa adalah suatu kegiatan yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang menciptakan manfaat bagi pihak lain. Menurut Kotler dan Keller (2007) terdapat empat karakteristik jasa yang berdampak pada desain pemasaran jasa, sebagai berikut. Ketanwujudan (intangibility) yang berarti jasa tidak dapat dilihat, disentuh, dan dirasakan, maupun didengar sebelum jasa dibeli konsumen. Perusahaan jasa berusaha menunjukkan kualitasnya melalui bukti secara fisik. Misalnya, pengusaha hotel berusaha untuk mengembangkan kualitasnya agar sesuai dengan nilai yang diharapkan pelanggan melalui kebersihannya, kecepatan pelayanan, maupun manfaat-manfaat lainnya. Karakteristik kedua adalah ketakterpisahan (inseparability). Jasa umumnya diproduksi dan dikonsumsi pada saat bersamaan. Jika seseorang melakukan pembelian jasa, maka penyedia jasa tersebut merupakan bagian dari jasa. Konsumen selalu menunggu sampai jasa tersebut diproduksi, sehingga interaksi penyedia jasa dan konsumen merupakan ciri utama dari pemasaran jasa. Jasa juga tergantung kepada siapa penyedia jasa tersebut dan kapan serta di mana jasa diproduksi, mengakibatkan jasa memiliki karakteristik keanekaraman (variability). Hal ini mengakibatkan pembeli jasa sangat berhati-hati terhadap adanya perbedaan tersebut, sehingga sering kali meminta pendapat dari orang lain sebelum memilih suatu jasa. Karakteristik terakhir adalah ketaktahanlamaan (perishability), yang berarti bahwa jasa tidak dapat disimpan. Karakteristik ini tidak akan menjadi masalah jika permintaan tetap. Namun, jika perusahaan berfluktuasi, maka perusahaan jasa mengalami masalah. Misalnya, hotel yang harus melayani lebih 14 banyak tamu pada high seasons untuk memenuhi permintaan konsumen. Kombinasi produk, harga, promosi, dan saluran distribusi akan membentuk suatu sinergi dan kombinasi yang dikenal sebagai bauran pemasaran (marketing mix) melalui 4P {produk (product), harga (price), tempat (place), dan promosi (promotion)}. Morrison (2002) menambahkan karakteristik orang (people), proses (process), dan bukti fisik (physical evidence) untuk bauran pemasaran bidang jasa, sehingga menjadi 7P. Bauran pemasaran tersebut merupakan kumpulan dari peubah-peubah dalam bidang pemasaran yang dapat dikendalikan yang digunakan oleh suatu badan usaha untuk mencapai tujuan pemasaran dalam pasar sasaran (Kotler dan Keller, 2007). Perusahaan jasa harus menggunakan berbagai strategi dalam memasarkan produk dan fasilitas yang dimiliki, karena kondisi persaingan pada industri jasa saat ini sangat ketat. Jika mereka tidak menggunakan strategi yang tepat, maka perusahaan akan kalah dalam persaingan merebut pangsa pasar (Budi, 2013). 2.1.2. Perilaku Konsumen Schiffman dan Kanuk (2000) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai “proses yang dilalui oleh seseorang dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak pasca konsumsi produk, jasa, maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya”. Dengan kata lain, perilaku konsumen merupakan studi tentang bagaimana pembuat keputusan (individu, kelompok, atau organisasi) membuat keputusan-keputusan beli atau melakukan transaksi pembelian suatu produk dan mengkonsumsinya (Prasetijo dan Ihalauw, 2005). Selanjutnya, Schiffman dan Kanuk 15 (2000) menjabarkan bahwa studi perilaku konsumen merupakan pembelajaran tentang bagaimana masing-masing individu membuat keputusan dalam membelanjakan sumber dayanya (uang, waktu, tenaga) melalui proses pemecahan masalah yang mengacu pada tindakan bijaksana dan bernalar yang dijalankan untuk menghasilkan pemenuhan kebutuhan. Perilaku konsumen disebutkan oleh Schiffman dan Kanuk (2000) sebagai proses yang terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama berupa tahap perolehan (acquisition) ketika konsumen mencari (searching) dan membeli (purchasing). Tahap konsumsi (consumption) merupakan tahap kedua ketika konsumen menggunakan (using) dan mengevaluasi (evaluating). Tahap terakhir berupa tindakan pasca beli (disposition), berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh konsumen setelah produk itu digunakan atau dikonsumsi. Lebih lanjut lagi, Prasetijo dan Ihalauw (2005) memusatkan perilaku konsumen pada bagaimana konsumen secara individu membuat keputusan beli dengan menggunakan sumbersumber tersedia, yaitu waktu, uang dan upaya, untuk ditukar dengan barang dan jasa yang dikonsumsi. Oleh karena itu, semua faktor internal dan eksternal yang memengaruhi seseorang dalam membuat keputusan beli, mengkonsumsi dan membuangnya, menjadi aspekaspek perilaku konsumen. Secara khusus dalam bidang jasa perhotelan, perilaku positif konsumen mengindikasikan bahwa hotel telah memberikan pelayanan kepada para tamu secara baik dan memuaskan (Budi, 2013). Artinya, pelanggan menilai dari produk yang dapat memuaskan kebutuhan mereka. Hal ini mnejadi penyebab di mana hotel secara keseluruhan diukur dari keberhasilannya memberikan 16 pelayanan kepada tamu. Pihak hotel selalu dituntut untuk mengetahui pemahaman yang lebih lengkap mengenai perilaku pembelian konsumennya, karena bagi perusahaan yang terenting adalah bagaimana memahami keinginan dan kebutuhan konsumen, serta bagaimana pihak manajemen dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen, sehingga konsumen terpuaskan. Untuk dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan konsumen tidaklah mudah karena banyak hal yang harus diperhatikan, seperti bagaimana pengalaman dari tamu yang menginap, pendapatan tamu, serta dari fasilitas kamar, fasilitas hotel, menu makanan dan minuman, tarif kamar, media promosi, keramahan karyawan, pelayanan, lokasi hotel, penanganan pemesanan kamar, cerita pengalaman dari rekan yang sebelumnya telah menginap, dan sebagainya (Budi, 2013). Dengan memahami perilaku pembelian konsumen, maka perusahaan dapat memenuhi keinginan mereka. Seorang pemasar mempelajari perilaku konsumen untuk memungkinkan mereka meramalkan bagaimana para konsumen bereaksi terhadap berbagai pesan promosi dan untuk memahami cara mereka mengambil keputusan dalam rangka pembeliannya. 2.1.3. Peubah-peubah yang Digunakan dalam Penelitian 2.1.3.1. Getok Tular Menurut Word of Mouth Marketing Association pengertian dari getok tular adalah usaha meneruskan informasi dari satu konsumen ke konsumen lain (Sumardy, Silviana, dan Melone, 2011). Getok tular tidak dapat dibuat-buat atau diciptakan, karena 17 getok tular dilakukan oleh konsumen dengan sukarela tanpa mendapatkan imbalan (Wirtz dan Chew, 2002). Komunikasi personal ini dipandang sebagai sumber yang lebih dapat dipercaya atau dapat diandalkan ketimbang dengan informasi dari nonpersonal. Selain itu, komunikasi ini dipandang sebagai jenis aktivitas pemasaran paling efektif di Indonesia (Sumardy, Silviana, dan Melone, 2011). Menurut Brown, Barry, Dacin, dan Gunst (2005), getok tular terjadi ketika pelanggan berbicara kepada orang lain mengenai pendapatnya tentang suatu merk, produk, layanan atau perusahaan tertentu pada orang lain. Apabila pelanggan menyebarkan opininya mengenai kebaikan produk maka disebut sebagai getok tular positif, tetapi bila pelanggan menyebarluaskan opininya mengenai keburukan produk maka disebut sebagai getok tular negatif. Getok tular positif sangat penting ketika seseorang melakukan bisnis dengan suatu perusahaan dan melakukan rekomendasi kepada orang lain mengenai perusahaan tersebut. Studi terdahulu menyatakan bahwa getok tular positif sembilan kali lebih efektif dan merupakan bentuk periklanan tradisional yang dapat merubah ketidaksenangan atau kenetralan seseorang menjadi sikap positif terhadap suatu produk/ jasa (Babin, Lee, Kim, dan Griffin, 2005). Awalnya, komunikasi getok tular dipandang sebelah mata karena sifatnya yang komunikasi “one to one”, tidak massal dan hanya terbatas hanya pada suatu area tertentu saja (Sumardy, Silviana, dan Melone, 2011). Namun, dewasa ini jumlah media massa sudah sangat membludak dan teknologi komunikasi sudah 18 semakin maju, sehingga dapat menciptakan komunikasi “one to many”. Komunikasi getok tular semakin diminati oleh pelaku bisnis, karena mudah menyebar melalui media dan masyarakat cenderung lebih mempercayai cerita orang lain yang telah menjadi pelanggan suatu produk atau jasa sebelumnya, ketimbang janji-janji perusahaan (Solomon, 2011). Semakin banyaknya pilihan media dan kemajuan teknologi internet menyebabkan konsumen dapat dengan mudah mencari informasi mengenai suatu produk. Konsumen juga dapat dengan mudah mengungkapkan rasa suka atau tidak sukanya terhadap suatu produk baik melalui komunitas tradisional ataupun komunitas di dunia maya seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path, serta jejaring-jejaring sosial yang akan terus semakin berkembang. Getok tular yang memanfaatkan jejearing sosial yang diakses melalui internet dikenal pula sebagai word of mouse (Sumardy, Silviana, dan Melone, 2011; Ihalauw, 2013). Internet dan teknologi komunikasi dapat membuat kesempatan baru bagi konsumen untuk berbagi pengalaman tentang produk atau jasa yang dikonsumsi secara online. Hal tersebut terjadi pada era new media, yang muncul di akhir abad ke-20 yang mengacu pada permintaan akses ke media internet kapan saja, di mana saja, melalui perangkat digital, serta terdapat umpan balik yang sangat interaktif dari siapa saja pengguna internet yang juga membuka konten yang sama (Neti, 2011). Lebih lanjut, Solomon (2011) menjelaskan bahwa sejak tahun 2000 internet telah memasuki fase baru yang disebut Web 2.0, di mana semua menjadi lebih interaktif dan telah menjadi area untuk setiap orang yang terhubung dengan internet. Perkembangan fase 19 Web 2.0 secara tidak langsung mengarahkan model komunikasi getok tular menjadi komunikasi “many to many” melalui jejaringjejaring sosial yang telah banyak diikuti masyarakat dengan sangat mudah (Sumardy, Silviana, dan Melone, 2011). Komunikasi getok tular dapat menjadi sangat berpengaruh dalam suatu keputusan pembelian, sehingga menjadi sangat penting dalam perusahaan bidang jasa yang bersifat intangible (tanwujud) (Lovelock dan Wright, 2007). Alasannya adalah sulit untuk mengevaluasi produk jasa sebelum melakukan pembelian terhadap produk jasa tersebut. Lebih jauh lagi, Tjiptono (2012) berpendapat bahwa jasa tidak memiliki standar ukuran tertentu, sehingga jasa lebih berisiko ketimbang barang. Maka, pengelola bisnis jasa perlu melakukan pengelolaan pelanggan agar pelanggan melakukakan getok tular positif. Getok tular merupakan suatu mekanisme tertua di mana melaluinya dapat disebarluaskan, diekspresikan dan dibangun mengenai opini seseorang terhadap produk, merk, dan jasa (Cengiz dan Yayla, 2007). Arndt (Cengiz dan Yayla, 2007) mendefinisikan getok tular sebagai komunikasi dari satu orang kepada orang lain, di mana seseorang yang menjadi penerima informasi tidak merasakan adanya nilai komersial ketika si pemberi informasi merekomendasi hal-hal yang berkaitan dengan merk, produk atau jasa tertentu. Studi yang dilakukan oleh Cengiz dan Yayla (2007) tersebut mengembangkan model bahwa getok tular dapat dipengaruhi oleh persepsi nilai, kepuasan, dan kesetiaan pelanggan. Babin, Lee, Kim, dan Griffin (2005) mempertegas bahwa pelayanan dapat memengaruhi getok tular 20 melalui kepuasan dan kesenangan pelanggan terhadap pelayanan yang diperoleh. 2.1.3.2. Kegembiraan-Hati Pelanggan Mascarenhas, Kesavan, dan Bernacchi mendefinisikan kegembiraan-hati pelanggan (customer delight) pada publikasinya tahun 2004 sebagai reaksi positif pelanggan ketika mereka menerima suatu pelayanan atau produk yang memberikan nilai melebihi harapan mereka. Mereka juga menjelaskan bahwa untuk menciptakan kegembiraan-hati (delight), perusahaan harus mengerti pelanggan, keinginan pelanggan, mengantisipasi kebutuhan memberikan lebih dari apa yang diharapkan pelanggan, dan membuat setiap aspek menjadi sesuatu yang menyenangkan, atau menjadi pengalaman yang menyenangkan. Oliver, Rust, dan Varki (1997) menganggap delight sebagai emosi yang kompleks, kombinasi “joy” dan “surprise”. Pelanggan seperti ini mempunyai keterikatan emosi yang tinggi dan kognisi positif.. Para manajer harus menciptakan kegembiraan-hati pelanggan (customer delight), tidak hanya kepuasan pelanggan (customer satisfaction) (Verma, 2003). Hasil penelitian Lovelock (Raharso, 2008) membuktikan adanya korelasi yang rendah antara kepuasan dengan loyalitas. Hanya pelanggan yang benarbenar puas (=delight) yang akan loyal kepada perusahaan (Kwong dan Yau, 2002). Hal tersebut berarti bahwa kepuasan pelanggan tidak cukup dijadikan sebagai dasar untuk memenangkan kompetisi dan meningkatkan penjualan. 21 Dimensi keterkejutan diyakini sebagai prasyarat utama pembentuk kegembiraan-hati. Karena responden yang sangat senang oleh keterkejutan (pleasantly surprise) akan memberi nilai yang lebih tinggi pada skala kepuasan, sedangkan responden yang tidak berada dalam situasi tersebut akan memberikan nilai kepuasan yang moderat (Kwong dan Yau, 2002). Selain surprise, Raharso (2005) memasukkan 5 dimensi kegembiraan-hati yang secara essensial merupakan kebutuhan dasar manusia, yaitu justice, esteem, security, trust, dan variety. Hasil uji validitas dan reliabilitas terhadap kelima dimensi tersebut menghasilkan tiga domain kegembiraan-hati, yaitu justice, esteem, dan finishing touch (Raharso, 2005). 2.1.3.3. Kualitas Layanan Jasa Kualitas layanan oleh Tjiptono (2012) didefinisikan sebagai penilaian pelanggan atas keunggulan/ keistimewaan suatu produk/ jasa secara menyeluruh. Kualitas layanan dipandang sebagai salah satu komponen penting yang perlu diwujudkan oleh perusahaan untuk mendatangkan konsumen baru dan dapat mengurangi kemungkinan pelanggan lama berpindah ke perusahaan lain (Lovelock dan Wright, 2007). Kartajaya dan Ridwansyah pada tahun 2012 menegaskan bahwa layanan yang baik merupakan salah satu syarat kesuksesan pada perusahaan jasa. Riset SERVQUAL kualitas yang layanan didasarkan didominasi atas oleh model instrumen kesenjangan (Parasuraman, Zeithaml, dan Berry, 1988). Ide sentral model ini adalah kualitas layanan (perceived quality = Q) merupakan 22 perbedaan skor antara persepsi (perception = P) dengan harapan (expectation = E), sehingga Q = P – E. SERVQUAL dapat digunakan dalam berbagai setting penelitian dengan adaptasi pada beberapa instrumen sesuai konteks jasa yang diteliti. Menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1988), konsumen akan menilai kualitas jasa melalui lima dimensi pelayanan sebagai tolok ukur sebagai berikut. Pertama, keberwujudan (tangible) merupakan sesuatu yang tampak/ nyata, misalnya penampilan para pegawai dan fasilitas-fasilitas fisik lainnya, serta perlengkapan yang menunjang pelaksanaan pelayanan. Kedua, keandalan (reliability) yang berupa kemampuan untuk memberikan secara tepat dan benar jenis pelayanan seperti telah dijanjikan kepada konsumen. Dimensi ketiga adalah kedayatanggapan (responsiveness) yang merupakan kesadaran untuk cepat bertindak membantu konsumen dalam memberikan pelayanan tepat waktu. Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1988) menempatkan penjaminan (assurance) sebagai dimensi keempat yang berisi pengetahuan, sopan santun, dan kepercayaan yang didapatkan dari pegawai. Dimensi tersebut memiliki ciri-ciri kompensasi untuk memberikan pelayanan, sopan, dan respek terhadap konsumen. Empati (empathy) merupakan dimensi terakhir yang memberikan perhatian kepada individu secara khusus. Dimensi empati memiliki ciri-ciri kemauan untuk melakukan pendekatan, memberikan perlindungan, serta usaha untuk mengerti keinginan, kebutuhan dan perasaan konsumen. 23 2.1.3.4. Upaya Keterhubungan Selain kekuatan dari kualitas layanan jasa, dibutuhkan pula layanan atribut pinggiran sebagai penunjang. Dalam tahun 2006, hasil penelitian Utami menunjukkan bahwa beberapa perusahaan dikatakan telah mengalami tahap kedewasaan (maturity) ketika kesulitan dalam mendeferensiasikan diri hanya berdasarkan seleksi terhadap produk (barang dan jasa) saja. Oleh karena itu, pihak manajemen diharapkan melakukan aktivitas dan usaha yang lebih keras melalui pembenahan proses, layanan, dan teknologi. Menurut Odekerken, De Wulf, dan Schumacher (2003) dalam Utami (2006), peningkatan usaha tersebut dapat dilakukan melalui upaya membangun keterhubungan. Utami (2006) mendefinisikan upaya keterhubungan (relationship effort) kepada pelanggan sebagai usaha aktif manajemen dalam memberikan kontribusi terhadap harapan konsumen untuk mewujudkan customer retentions. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dalam penelitian ini, upaya keterhubungan dipandang sebagai bagian dari kualitas layanan atribut pinggiran. Empat aktivitas yang harus diperhatikan dalam upaya mempertahankan dan membuat pelanggan menjadi setia melalui aktivitas upaya keterhubungan adalah sebagai berikut : komunikasi (communication), perlakuan istimewa (preferential treatment), personalisasi (personalization) dan pemberian hadiah (rewarding) (Utami, 2006). 2.1.3.5. Persepsi Reputasi Perusahaan Schiffman dan Kanuk (2000) menyebutkan bahwa persepsi adalah cara orang dalam memandang dunia ini. Cara memandang 24 dunia pasti dipengaruhi oleh sesuatu dari dalam maupun luar orang yang bersangkutan. Solomon (2011) secara lebih teknis mendefinisikan persepsi sebagai proses di mana sensasi yang diterima oleh seseorang dipilah dan dipilih, kemudian diatur dan akhirnya diinterpretasikan. Sensasi datang dan diterima oleh manusia melalui panca indera, yaitu mata, telinga, hidung, mulut, dan kulit yang diseput sebagai sistem sensorik. Input sensorik atau sensasi yang diterima oleh sistem sensorik manusia disebut juga dengan stimulus. Persepsi konsumen adalah obyek yang sangat penting dalam pemasaran. Prasetijo dan Ihalauw (2005) menyatakan bahwa persepsi konsumen merupakan proses yang rumit, tak hanya melibatkan panca indera, tetapi juga melibatkan faktorfaktor psikologis. Dalam menangkap sensasi, sistem sensorik memiliki keterbatasan berupa ambang rangsang. Pemasar harus memperhitungkan dengan cermat supaya pesan yang disampaikan dapat diterima secara efektif karena adanya keterbatasan tersebut. Persepsi konsumen akhirnya akan mengarah pada pembelajaran konsumen dan menentukan konsumen dalam bersikap terhadap perusahaan selanjutnya (Prasetijo dan Ihalauw, 2005). Beck dan Franke (2008) menyatakan bahwa salah satu aspek penting dalam persepsi konsumen adalah reputasi perusahaan. Lebih lanjut, menurut mereka reputasi adalah suatu konsep yang berhubungan dengan citra perusahaan dan penilaian dari pihak luar terhadap kualitas suatu perusahaan yang berasal dari kinerja perusahaan pada masa lampau. Mereka juga berpendapat bahwa dalam dunia bisnis, reputasi mencerminkan perbandingan dari kumpulan berbagai faktor, seperti: kualitas 25 barang, transaksi finansial yang terpercaya, tingkat dari kualitas layanan. Reputasi perusahaan industri jasa menurut Nguyen dan Leblanc (Wang et al., 2006) tergantung pada bagaimana penyedia jasa memuaskan kebutuhan konsumen. Lebih lanjut, Weigelt dan Camerer berpendapat bahwa reputasi perusahaan yang baik dapat meningkatkan kepercayaan pelanggan untuk menggunakan jasa dari perusahaan, sehingga reputasi dapat menjadi faktor strategis untuk menghasilkan laba yang lebih bagi perusahaan (Wang et al., 2006). Jin, Park, dan Kim pada publikasinya tahun 2008 menambahkan bahwa reputasi tidak hanya diperhatikan sebagai atribut dalam suatu perusahaan, tetapi juga harus diperhatikan bagaimana reputasi tersebut akan terus ada di masa depan. Berdasarkan uraian tersebut, maka reputasi perlu dikembangkan dari waktu ke waktu karena dapat memiliki dampak yang besar atas penjualan, pendapatan, dan penilaian. Model pengukuran reputasi perusahaan telah dikembangkan oleh Fombrun dan Shanley (1990) melalui 20 atribut pertanyaan yang diklasifikasikan menjadi 6 dimensi, yaitu : emotional appeal, barang dan jasa, kinerja keuangan, visi dan kepemimpinan, lingkungan kerja, dan tanggung jawab sosial. Wang et al. (2006) menggunakan item-item berikut untuk melakukan analisis terhadap reputasi perusahaan: persepsi responden secara keseluruhan terhadap pengalaman total yang diberikan perusahaan (overall perceptions of respondents’ total experience with the firm), persepsi komparatif responden dibandingkan dengan kompetitornya (comparative perceptions 26 with competitors), serta masa depan jangka panjang perusahaan (the firms’ long-term futures). 2.1.3.6. Lokasi Jasa yang bersifat tanwujud diyakini lebih sulit dievaluasi, karenanya dapat menimbulkan tingkat ketidakpastian dan persepsi risiko yang besar. Oleh karena itu, untuk menekan ketidakpastian, para pelanggan seringkali lebih memerhatikan simbol, tanda, petunjuk, atau bukti fisik kualitas jasa bersangkutan. Para pelanggan menurut Tjiptono (2012) akan menyimpulkan kualitas jasa dari aspek tempat atau lokasi (place), orang (people), peralatan (equipment), bahan dan materi komunikasi (communication materials), simbol (symbols), dan harga (price) yang mereka amati. Lupiyoadi (2001) menyatakan lokasi berarti berhubungan di mana perusahaan harus bermarkas dan melakukan operasi. Dalam hal ini ada tiga jenis interaksi yang memengaruhi lokasi. Pertama, konsumen mendatangi pemberi jasa. Apabila keadaannya seperti ini, maka lokasi menjadi sangat penting. Perusahaan sebaiknya memilih tempat dekat dengan konsumen sehingga mudah dijangkau, dengan kata lain harus strategis. Kedua, pemberi jasa mendatangi konsumen. Dalam hal ini, lokasi tidaklah terlalu penting. Namun, yang harus diperhatikan adalah penyampaian jasa tetap berkualitas. Ketiga, pemberi jasa dan konsumen tidak bertemu secara langsung, artinya penyedia jasa dan konsumen berinteraksi melalui sarana tertentu seperti telepon, komputer, ataupun surat. Dalam hal ini, lokasi menjadi sangat tidak penting selama komunikasi antar kedua belah pihak 27 dapat terlaksana. Berdasarkan ketiga jenis interaksi tersebut, bisnis jasa perhotelan menggunakan jenis interaksi pertama, di mana lokasi yang strategis menjadi sangat penting bagi keberlangsungan hotel. Menurut Tjiptono (2012), pemilihan lokasi memerlukan pertimbangan yang cermat terhadap beberapa faktor berikut : 1. Akses, yaitu kemudahan untuk menjangkau. 2. Visiabilitas, yaitu kemudahan untuk dilihat. 3. Lalu-lintas, terdiri atas 2 hal yang diperhatikan : a) Banyaknya orang yang lalu lalang bisa memberikan peluang yang besar tejadinya impuls buying. b) Kepadatan dan kemacetan bisa menjadi hambatan. 4. Tempat parkir yang luas dan aman. 5. Ekspansi, yaitu tersedia tempat yang luas untuk perluasan di kemudian hari. 6. Lingkungan yaitu daerah sekitar yang mendukung jasa yang ditawarkan. 7. Persaingan yaitu lokasi dengan pesaing sejenis. 8. Peraturan pemerintah. Menurut Levy dan Weitz (2007), tujuan strategi lokasi adalah untuk memaksimalkan keuntungan lokasi bagi perusahaan. Keputusan lokasi sering bergantung pada tipe bisnis. Pada analisis lokasi di sektor industri manufaktur strategi yang dilakukan terfokus pada minimisasi biaya. Sedangkan pada sektor jasa, fokus ditujukan untuk memaksimalkan pendapatan. Hal ini disebabkan karena pada perusahaan manufaktur biaya cenderung sangat berbeda di antara lokasi yang berbeda, sementara pada perusahaan jasa, lokasi sering memiliki dampak pendapatan 28 daripada biaya. Oleh karena itu, bagi perusahaan jasa, lokasi yang spesifik sering kali lebih memengaruhi pendapatan daripada memengaruhi biaya. Lokasi bisnis yang paling tepat untuk bisnis jasa, misalnya adalah tempat dengan potensi pasar yang besar (Tjiptono, 2012). Faktor-faktor seperti kepadatan lalu lintas, kepadatan populasi, dan taraf kehidupan di sekitar lokasi juga menjadi faktor penting dalam pemilihan lokasi. Lokasi merupakan pertimbangan paling awal dan paling utama bagi perusahaan dalam memulai suatu bisnis (Levy dan Weitz, 2007). Lebih lanjut lagi, mereka menyebutkan bahwa lokasi memiliki dampak kontingensi yang kuat terhadap keterhubungan aspek-aspek bisnis tertentu. Misalnya, lokasi memberikan dampak kontingensi terhadap pengaruh kepuasan pelanggan pada minat guna jasa ulang (Ratnasari dan Aksa, 2011). Artinya, kepuasan pelanggan akan menyebabkan minat guna jasa ulang ketika lokasi perusahaan strategis. Jika tidak, maka kepuasan tidak akan mengarah ke minat guna jasa ulang. 2.2. Perumusan Proposisi 2.2.1. Kaitan antara Kualitas Layanan Jasa dengan KegembiraanHati Pelanggan Verma (2003) melakukan penelitian menggunakan teknik critical incident (dengan menggunakan kata sifat pleasurable, unforgettable, memorable, surprisingly memorable, dan delighted sebagai keywords), menyatakan bahwa dimensi yang bersifat “people-oriented” atau aspek behavioral ternyata memberi kontribusi terbesar bagi terbentuknya kegembiraan-hati 29 pelanggan. Aspek terpenting yang menurut Verma memberikan kontribusi terbesar pada pembentukan kegembiraan-hati pelanggan adalah bagaimana kualitas layanan yang diberikan oleh karyawan kepada para pelanggan tersebut. Lebih lanjut, penelusuran Raharso tahun 2005 menguraikan bahwa aspek tersebut diwakili oleh faktor kebaikan (courtesy), yang meliputi: kesopanan karyawan, rasa hormat, keakraban, dan perhatian. Respon karyawan pada permintaan pelanggan dan hasrat untuk tulus menolong pelanggan merupakan aspek kedua terpenting untuk membangun kegembiraan-hati pelanggan. Selain itu, pemahaman terhadap kebutuhan pelanggan merupakan kontributor terbesar bagi terbentuknya kegembiraan-hati pelanggan melalui pelayanan yang diberikan. Dalam publikasinya tahun 2003, Hanselman menyebutkan aspek yang memberikan kontribusi terbesar pada pembentukan kegembiraan-hati pelanggan adalah bagaimana konsumen diperlakukan sebagai sebuah bagian penting dari aspek pelayanan. Aspek kesopanan karyawan, rasa hormat, dan keakraban menyebabkan konsumen mendapat pengalaman yang membahagiakan. Berdasarkan uraian tersebut, salah satu aspek pembentuk kegembiraan-hati adalah unsur pelayanan. Dapat dikatakan pula bahwa perusahaan yang mampu memberikan kualitas layanan yang semakin baik (di atas batas minimal) akan semakin mampu memberikan kegembiraan kepada pelanggannya. Oleh karena itu, diajukan proposisi pertama : P1: Kualitas layanan jasa berpengaruh kegembiraan-hati pelanggan. 30 positif terhadap 2.2.2. Kaitan antara Upaya Keterhubungan dengan KegembiraanHati Pelanggan Upaya keterhubungan dalam penelitian ini diasumsikan sebagai bagian dari kualitas layanan atribut pinggiran. Upaya keterhubungan dan kualitas layanan yang unggul diistilahkan sebagai strategi penguat relationship outcomes yang meliputi kepercayaan, komitmen, dan kepuasan relasional pelanggan (Utami, 2006). Berpijak pada keterangan tersebut, maka kegembiraan-hati pelanggan dapat dikategorikan sebagai salah satu relationship outcomes. Hasil penelitian Kumar, Olshavsky, dan King (2001) menyatakan bahwa kegembiraan-hati didasarkan pada kesenangan yang nyata. Kegembiraan-hati pelanggan tidak hanya fokus pada keterkejutan pelanggan pada setiap transaksi, tetapi ditunjukkan dan fokus pada aktivitas yang utama dalam menjaga kelangsungan hubungan antara perusahaan dengan pelanggan (Kumar, Olshavsky, dan King, 2001). Berdasarkan keteranganketerangan tersebut, maka proposisi kedua yang diajukan dalam penelitian ini yaitu : P2: Upaya keterhubungan berpengaruh positif terhadap kegembiraan-hati pelanggan. 2.2.3. Kaitan antara Persepsi Reputasi dengan Kegembiraan-Hati Pelanggan Suatu perusahaan dengan reputasi yang tinggi akan merasa segan untuk membahayakan asset yang dimilikinya dengan cara memenuhi janjinya dan kewajibannya. Hal itu terjadi sebab pelanggan lebih menyukai organisasi yang memiliki reputasi 31 yang bagus (Kabadayi, Alan, dan Erdebil, 2011). Oleh karena itu, reputasi perusahaan dianggap menjadi faktor yang memberikan kontribusi terhadap kegembiraan-hati pelanggan. Bennett dan Gabriel pada tahun 2001 menggunakan persepsi reputasi sebagai peubah penting dalam loyalitas pelanggan terhadap perusahaan. Hasil penelitian tersebut adalah persepsi reputasi memiliki keterhubungan positif dan signifikan dalam memengaruhi loyalitas. Reputasi yang baik memberikan kejelasan status dari perusahaan, sehingga pelanggan menjadi tidak ragu, puas, dan senang untuk mengonsumsi produk dan jasa dari perusahaan tersebut. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Kim dan Ahn (2007), yang menyatakan bahwa kepuasan, kesenangan, dan loyalitas pelanggan akan meningkat ketika perusahaan tersebut dianggap pelanggan memiliki reputasi yang bagus. Oleh karena itu, proposisi ketiga yang diajukan dalam penelitian ini adalah : P3: Persepsi reputasi hotel berpengaruh positif terhadap kegembiraan-hati pelanggan. 2.2.4. Lokasi Memoderasi Kaitan antara Upaya Keterhubungan dan Kegembiraan-Hati Pelanggan Dalam membangun sebuah usaha diperlukan sebuah tapakkedudukan di mana sebuah perusahaan tersebut akan berlokasi. Menurut Levy dan Weitz (2007), letak atau lokasi perusahaan sering disebut sebagai tempat perusahaan melakukan kegiatan sehari-hari. Mayoritas dari para pengguna jasa hotel adalah mereka yang berasal dari luar daerah yang sedang memiliki urusan di sekitar hotel itu berada baik untuk tujuan wisata, bisnis 32 ataupun hanya sebagai tempat transit sementara untuk kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Oleh karena itu, lokasi hotel yang strategis akan memudahkan konsumen untuk mendapatkan akses terhadap hotel tersebut. Kedekatan hotel dengan beberapa tempat tujuan wisata atau fasilitas-fasilitas umum akan menjadi nilai lebih bagi perusahaan. Menurut Utami (2006) lokasi mempunyai kekuatan dalam mendukung ataupun menghancurkan strategi perusahaan, misalnya dalam menciptakan keterhubungan yang langgeng dengan pelanggan. Oleh karena itu, penyedia jasa harus benar-benar mempertimbangkan, menyeleksi dan memilih lokasi yang responsif terhadap kemungkinan perubahan ekonomi, demografis, budaya, persaingan, dan peraturan di masa mendatang. Strategi tersebut terkait dengan upaya keterhubungan yang dilakukan pihak hotel agar para tamu merasa nyaman dan diterima dengan baik ketika menginap. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa upaya keterhubungan akan lebih sulit dilakukan dalam rangka menciptakan kegembiraan-hati pelanggan ketika lokasi hotel tidak strategis. Oleh karena itu, proposisi yang diajukan dalam penelitian ini adalah : P4: Lokasi memoderasi antara pengaruh upaya keterhubungan terhadap tingkat kegembiraan-hati pelanggan. 2.2.5. Lokasi Memoderasi Kaitan antara Persepsi Reputasi dan Kegembiraan-Hati Pelanggan Levy dan Weitz (2007) berpendapat bahwa pemilihan lokasi merupakan hal terpenting yang harus diperhitungkan sebelum memulai pembangunan usaha. Memilih lokasi yang tepat 33 dan strategis akan meningkatkan peluang pengembangan keunggulan bersaing yang berkelanjutan dan akan mencipta citra yang baik di mata pelanggan. Lebih lanjut lagi, mereka juga menyebutkan bahwa konsumen cenderung mementingkan faktor lokasi ketika memilih toko atau penyedia jasa yang ingin dikunjungi. Alasannya adalah lokasi membawa pencitraan tertentu yang berujung pula pada kepuasan dan kegembiraan-hati konsumen ketika mereka melakukan transaksi dengan pihak perusahaan terkait. Oleh karena itu, proposisi keenam yang diajukan dalam penelitian ini adalah : P5 : Lokasi memoderasi antara pengaruh persepsi reputasi hotel oleh pelanggan terhadap tingkat kegembiraan-hati pelanggan. 2.2.6. Kaitan Kegembiraan-Hati Pelanggan dengan Getok Tular Hubungan antara kegembiraan-hati pelanggan dengan getok tular ditunjukkan secara tegas oleh beberapa peneliti, antara lain: Westbrook dan Oliver (1991), Kumar (1996), serta Oliver, Rust, dan Varki (1997) yang disarikan oleh James dan Taylor pada tahun 2004. Menurut beberapa peneliti tersebut, kegembiraan-hati pelanggan berkontribusi dalam menambah kepuasan pelanggan, komunikasi getok tular, pembelian ulang dan lebih banyak lagi evaluasi positif lain. Swanson dan Davis juga menyebutkan hal yang sejalan dalam tinjauan literaturnya tahun 2012, bahwa kegembiraan-hati mendorong terjadinya hasil bisnis yang positif seperti komunikasi getok tular, loyalitas, dan peningkatan profit. Berpijak pada uraian tersebut, maka proposisi terakhir yang diajukan pada penelitian ini adalah : P6: Semakin tinggi tingkat kegembiraan-hati pelanggan, maka getok tular akan semakin sering dilakukan. 34 2.3. Pengembangan Model Penelitian Model konseptual kerangka pemikiran teoretis dari penelitian ini adalah sebagai berikut (Gambar 2.1). Kualitas Layanan Jasa Upaya Keterhubungan P1 P2 KegembiraanHati Pelanggan P6 Getok Tular P3 Persepsi Reputasi P4 P5 Lokasi Gambar 2.1. Peraga Pengembangan Kerangka Pemikiran Teoretis. 35 36