Anteseden dan Desenden dari Kegembiraan

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN MODEL
Konsep dan definisi konsep perlu untuk dikemukakan agar tidak
terjadi kerancuan dan memperjelas makna konsep yang digunakan
dalam penelitian. Melalui konsep tersebut, diharapkan pula akan dapat
menjadi
dasar
dalam
melakukan
penelitian,
sehingga
dapat
merumuskan karakteristik yang memadai secara teoretis untuk dapat
diterapkan pada satu obyek tertentu (Ihalauw, 2008). Konsep yang telah
dipilih akan didefinisikan dengan jelas agar hasil penelitian dapat
dipahami tak hanya oleh kalangan tertentu saja, tetapi juga oleh
masyarakat yang lebih luas. Beranjak dari hal di atas, maka pada bab
ini akan dipaparkan mengenai landasan teori, perumusan proposisi, dan
pengembangan model penelitian.
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Manajemen Pemasaran Jasa
Lovelock dan Wright (2007) mendefinisikan jasa (service)
sebagai tindakan atau kinerja yang menciptakan manfaat bagi
konsumen dengan mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam
diri penerima jasa. Lupiyoadi (2001) menyatakan bahwa jasa
sebagai suatu kegiatan yang terjadi dari interaksi dengan seseorang
atau
mesin
yang
akan
menghasilkan kepuasan konsumen.
Sedangkan Kotler dan Keller (2007) mendefinisikan jasa sebagai
setiap tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan oleh satu pihak
kepada pihak lain, yang pada dasarnya tanwujud dan tidak
mengakibatkan kepemilikan apapun. Jadi, dapat diartikan bahwa
13
jasa adalah suatu kegiatan yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada
pihak lain yang menciptakan manfaat bagi pihak lain.
Menurut Kotler dan Keller (2007) terdapat empat karakteristik
jasa yang berdampak pada desain pemasaran jasa, sebagai berikut.
Ketanwujudan (intangibility) yang berarti jasa tidak dapat dilihat,
disentuh, dan dirasakan, maupun didengar sebelum jasa dibeli
konsumen. Perusahaan jasa berusaha menunjukkan kualitasnya
melalui bukti secara fisik. Misalnya, pengusaha hotel berusaha untuk
mengembangkan kualitasnya agar sesuai dengan nilai yang
diharapkan pelanggan melalui kebersihannya, kecepatan pelayanan,
maupun manfaat-manfaat lainnya. Karakteristik kedua adalah
ketakterpisahan (inseparability). Jasa umumnya diproduksi dan
dikonsumsi pada saat bersamaan. Jika seseorang melakukan
pembelian jasa, maka penyedia jasa tersebut merupakan bagian dari
jasa. Konsumen selalu menunggu sampai jasa tersebut diproduksi,
sehingga interaksi penyedia jasa dan konsumen merupakan ciri
utama dari pemasaran jasa.
Jasa juga tergantung kepada siapa penyedia jasa tersebut dan
kapan serta di mana jasa diproduksi, mengakibatkan jasa memiliki
karakteristik keanekaraman (variability). Hal ini mengakibatkan
pembeli jasa sangat berhati-hati terhadap adanya perbedaan tersebut,
sehingga sering kali meminta pendapat dari orang lain sebelum
memilih suatu jasa. Karakteristik terakhir adalah ketaktahanlamaan
(perishability), yang berarti bahwa jasa tidak dapat disimpan.
Karakteristik ini tidak akan menjadi masalah jika permintaan tetap.
Namun, jika perusahaan berfluktuasi, maka perusahaan jasa
mengalami masalah. Misalnya, hotel yang harus melayani lebih
14
banyak tamu pada high seasons untuk memenuhi permintaan
konsumen.
Kombinasi produk, harga, promosi, dan saluran distribusi akan
membentuk suatu sinergi dan kombinasi yang dikenal sebagai
bauran pemasaran (marketing mix) melalui 4P {produk (product),
harga (price), tempat (place), dan promosi (promotion)}. Morrison
(2002) menambahkan karakteristik orang (people), proses (process),
dan bukti fisik (physical evidence) untuk bauran pemasaran bidang
jasa, sehingga menjadi 7P. Bauran pemasaran tersebut merupakan
kumpulan dari peubah-peubah dalam bidang pemasaran yang dapat
dikendalikan yang digunakan oleh suatu badan usaha untuk
mencapai tujuan pemasaran dalam pasar sasaran (Kotler dan Keller,
2007). Perusahaan jasa harus menggunakan berbagai strategi dalam
memasarkan produk dan fasilitas yang dimiliki, karena kondisi
persaingan pada industri jasa saat ini sangat ketat. Jika mereka tidak
menggunakan strategi yang tepat, maka perusahaan akan kalah
dalam persaingan merebut pangsa pasar (Budi, 2013).
2.1.2. Perilaku Konsumen
Schiffman dan Kanuk (2000)
mendefinisikan perilaku
konsumen sebagai “proses yang dilalui oleh seseorang dalam
mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak
pasca konsumsi produk, jasa, maupun ide yang diharapkan bisa
memenuhi kebutuhannya”. Dengan kata lain, perilaku konsumen
merupakan studi tentang bagaimana pembuat keputusan (individu,
kelompok, atau organisasi) membuat keputusan-keputusan beli atau
melakukan transaksi pembelian suatu produk dan mengkonsumsinya
(Prasetijo dan Ihalauw, 2005). Selanjutnya, Schiffman dan Kanuk
15
(2000) menjabarkan bahwa studi perilaku konsumen merupakan
pembelajaran tentang bagaimana masing-masing individu membuat
keputusan dalam membelanjakan sumber dayanya (uang, waktu,
tenaga) melalui proses pemecahan masalah yang mengacu pada
tindakan bijaksana dan bernalar yang dijalankan untuk menghasilkan
pemenuhan kebutuhan.
Perilaku konsumen disebutkan oleh Schiffman dan Kanuk
(2000) sebagai proses yang terdiri dari beberapa tahap. Tahap
pertama berupa tahap perolehan (acquisition) ketika konsumen
mencari (searching) dan membeli (purchasing). Tahap konsumsi
(consumption)
merupakan
tahap
kedua
ketika
konsumen
menggunakan (using) dan mengevaluasi (evaluating). Tahap terakhir
berupa tindakan pasca beli (disposition), berkaitan dengan apa yang
dilakukan oleh konsumen setelah produk itu digunakan atau
dikonsumsi. Lebih lanjut lagi, Prasetijo dan Ihalauw (2005)
memusatkan perilaku konsumen pada bagaimana konsumen secara
individu membuat keputusan beli dengan menggunakan sumbersumber tersedia, yaitu waktu, uang dan upaya, untuk ditukar dengan
barang dan jasa yang dikonsumsi. Oleh karena itu, semua faktor
internal dan eksternal yang memengaruhi seseorang dalam membuat
keputusan beli, mengkonsumsi dan membuangnya, menjadi aspekaspek perilaku konsumen.
Secara khusus dalam bidang jasa perhotelan, perilaku positif
konsumen
mengindikasikan
bahwa
hotel
telah
memberikan
pelayanan kepada para tamu secara baik dan memuaskan (Budi,
2013). Artinya, pelanggan menilai dari produk yang dapat
memuaskan kebutuhan mereka. Hal ini mnejadi penyebab di mana
hotel secara keseluruhan diukur dari keberhasilannya memberikan
16
pelayanan kepada tamu. Pihak hotel selalu dituntut untuk
mengetahui pemahaman yang lebih lengkap mengenai perilaku
pembelian konsumennya, karena bagi perusahaan yang terenting
adalah bagaimana memahami keinginan dan kebutuhan konsumen,
serta bagaimana pihak manajemen dapat memenuhi keinginan dan
kebutuhan konsumen, sehingga konsumen terpuaskan.
Untuk dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan konsumen
tidaklah mudah karena banyak hal yang harus diperhatikan, seperti
bagaimana pengalaman dari tamu yang menginap, pendapatan tamu,
serta dari fasilitas kamar, fasilitas hotel, menu makanan dan
minuman, tarif kamar, media promosi, keramahan karyawan,
pelayanan, lokasi hotel, penanganan pemesanan kamar, cerita
pengalaman dari rekan yang sebelumnya telah menginap, dan
sebagainya (Budi, 2013).
Dengan memahami perilaku pembelian konsumen, maka
perusahaan dapat memenuhi keinginan mereka. Seorang pemasar
mempelajari perilaku konsumen untuk memungkinkan mereka
meramalkan bagaimana para konsumen bereaksi terhadap berbagai
pesan promosi dan untuk memahami cara mereka mengambil
keputusan dalam rangka pembeliannya.
2.1.3. Peubah-peubah yang Digunakan dalam Penelitian
2.1.3.1. Getok Tular
Menurut Word of Mouth Marketing Association pengertian
dari getok tular adalah usaha meneruskan informasi dari satu
konsumen ke konsumen lain (Sumardy, Silviana, dan Melone,
2011). Getok tular tidak dapat dibuat-buat atau diciptakan, karena
17
getok tular dilakukan oleh konsumen dengan sukarela tanpa
mendapatkan imbalan (Wirtz dan Chew, 2002). Komunikasi
personal ini dipandang sebagai sumber yang lebih dapat
dipercaya atau dapat diandalkan ketimbang dengan informasi dari
nonpersonal. Selain itu, komunikasi ini dipandang sebagai jenis
aktivitas pemasaran paling efektif di Indonesia (Sumardy,
Silviana, dan Melone, 2011).
Menurut Brown, Barry, Dacin, dan Gunst (2005), getok
tular terjadi ketika pelanggan berbicara kepada orang lain
mengenai pendapatnya tentang suatu merk, produk, layanan atau
perusahaan tertentu pada orang lain. Apabila pelanggan
menyebarkan opininya mengenai kebaikan produk maka disebut
sebagai getok tular positif, tetapi bila pelanggan menyebarluaskan
opininya mengenai keburukan produk maka disebut sebagai
getok tular negatif.
Getok tular positif sangat penting ketika seseorang
melakukan bisnis dengan suatu perusahaan dan melakukan
rekomendasi kepada orang lain mengenai perusahaan tersebut.
Studi terdahulu menyatakan bahwa getok tular positif sembilan
kali lebih efektif dan merupakan bentuk periklanan tradisional
yang dapat merubah ketidaksenangan atau kenetralan seseorang
menjadi sikap positif terhadap suatu produk/ jasa (Babin, Lee,
Kim, dan Griffin, 2005).
Awalnya, komunikasi getok tular dipandang sebelah mata
karena sifatnya yang komunikasi “one to one”, tidak massal dan
hanya terbatas hanya pada suatu area tertentu saja (Sumardy,
Silviana, dan Melone, 2011). Namun, dewasa ini jumlah media
massa sudah sangat membludak dan teknologi komunikasi sudah
18
semakin maju, sehingga dapat menciptakan komunikasi “one to
many”. Komunikasi getok tular semakin diminati oleh pelaku
bisnis, karena mudah menyebar melalui media dan masyarakat
cenderung lebih mempercayai cerita orang lain yang telah
menjadi pelanggan suatu produk
atau jasa
sebelumnya,
ketimbang janji-janji perusahaan (Solomon, 2011).
Semakin banyaknya pilihan media dan kemajuan teknologi
internet menyebabkan konsumen dapat dengan mudah mencari
informasi mengenai suatu produk. Konsumen juga dapat dengan
mudah mengungkapkan rasa suka atau tidak sukanya terhadap
suatu produk baik melalui komunitas tradisional ataupun
komunitas di dunia maya seperti Facebook, Twitter, Instagram,
Path, serta jejaring-jejaring sosial yang akan terus semakin
berkembang. Getok tular yang memanfaatkan jejearing sosial
yang diakses melalui internet dikenal pula sebagai word of mouse
(Sumardy, Silviana, dan Melone, 2011; Ihalauw, 2013).
Internet
dan
teknologi
komunikasi
dapat
membuat
kesempatan baru bagi konsumen untuk berbagi pengalaman
tentang produk atau jasa yang dikonsumsi secara online. Hal
tersebut terjadi pada era new media, yang muncul di akhir abad
ke-20 yang mengacu pada permintaan akses ke media internet
kapan saja, di mana saja, melalui perangkat digital, serta terdapat
umpan balik yang sangat interaktif dari siapa saja pengguna
internet yang juga membuka konten yang sama (Neti, 2011).
Lebih lanjut, Solomon (2011) menjelaskan bahwa sejak tahun
2000 internet telah memasuki fase baru yang disebut Web 2.0, di
mana semua menjadi lebih interaktif dan telah menjadi area untuk
setiap orang yang terhubung dengan internet. Perkembangan fase
19
Web 2.0 secara tidak langsung mengarahkan model komunikasi
getok tular menjadi komunikasi “many to many” melalui jejaringjejaring sosial yang telah banyak diikuti masyarakat dengan
sangat mudah (Sumardy, Silviana, dan Melone, 2011).
Komunikasi getok tular dapat menjadi sangat berpengaruh
dalam suatu keputusan pembelian, sehingga menjadi sangat
penting dalam perusahaan bidang jasa yang bersifat intangible
(tanwujud) (Lovelock dan Wright, 2007). Alasannya adalah sulit
untuk mengevaluasi produk jasa sebelum melakukan pembelian
terhadap produk jasa tersebut. Lebih jauh lagi, Tjiptono (2012)
berpendapat bahwa jasa tidak memiliki standar ukuran tertentu,
sehingga jasa lebih berisiko ketimbang barang. Maka, pengelola
bisnis jasa perlu melakukan pengelolaan pelanggan agar
pelanggan melakukakan getok tular positif.
Getok tular merupakan suatu mekanisme tertua di mana
melaluinya dapat disebarluaskan, diekspresikan dan dibangun
mengenai opini seseorang terhadap produk, merk, dan jasa
(Cengiz dan Yayla, 2007). Arndt (Cengiz dan Yayla, 2007)
mendefinisikan getok tular sebagai komunikasi dari satu orang
kepada orang lain, di mana seseorang yang menjadi penerima
informasi tidak merasakan adanya nilai komersial ketika si
pemberi informasi merekomendasi hal-hal yang berkaitan dengan
merk, produk atau jasa tertentu. Studi yang dilakukan oleh
Cengiz dan Yayla (2007) tersebut mengembangkan model bahwa
getok tular dapat dipengaruhi oleh persepsi nilai, kepuasan, dan
kesetiaan pelanggan. Babin, Lee, Kim, dan Griffin (2005)
mempertegas bahwa pelayanan dapat memengaruhi getok tular
20
melalui kepuasan dan kesenangan pelanggan terhadap pelayanan
yang diperoleh.
2.1.3.2. Kegembiraan-Hati Pelanggan
Mascarenhas, Kesavan, dan Bernacchi mendefinisikan
kegembiraan-hati
pelanggan
(customer
delight)
pada
publikasinya tahun 2004 sebagai reaksi positif pelanggan ketika
mereka menerima suatu pelayanan atau produk yang memberikan
nilai melebihi harapan mereka. Mereka juga menjelaskan bahwa
untuk menciptakan kegembiraan-hati (delight), perusahaan harus
mengerti
pelanggan,
keinginan
pelanggan,
mengantisipasi
kebutuhan
memberikan lebih dari apa yang diharapkan
pelanggan, dan membuat setiap aspek menjadi sesuatu yang
menyenangkan, atau menjadi pengalaman yang menyenangkan.
Oliver, Rust, dan Varki (1997) menganggap delight sebagai
emosi yang kompleks, kombinasi “joy” dan “surprise”.
Pelanggan seperti ini mempunyai keterikatan emosi yang tinggi
dan kognisi positif..
Para
manajer
harus
menciptakan
kegembiraan-hati
pelanggan (customer delight), tidak hanya kepuasan pelanggan
(customer satisfaction) (Verma, 2003). Hasil penelitian Lovelock
(Raharso, 2008) membuktikan adanya korelasi yang rendah
antara kepuasan dengan loyalitas. Hanya pelanggan yang benarbenar puas (=delight) yang akan loyal kepada perusahaan
(Kwong dan Yau, 2002). Hal tersebut berarti bahwa kepuasan
pelanggan
tidak
cukup
dijadikan
sebagai
dasar
untuk
memenangkan kompetisi dan meningkatkan penjualan.
21
Dimensi keterkejutan diyakini sebagai prasyarat utama
pembentuk kegembiraan-hati. Karena responden yang sangat
senang oleh keterkejutan (pleasantly surprise) akan memberi
nilai yang lebih tinggi pada skala kepuasan, sedangkan responden
yang tidak berada dalam situasi tersebut akan memberikan nilai
kepuasan yang moderat (Kwong dan Yau, 2002). Selain surprise,
Raharso (2005) memasukkan 5 dimensi kegembiraan-hati yang
secara essensial merupakan kebutuhan dasar manusia, yaitu
justice, esteem, security, trust, dan variety. Hasil uji validitas dan
reliabilitas terhadap kelima dimensi tersebut menghasilkan tiga
domain kegembiraan-hati, yaitu justice, esteem, dan finishing
touch (Raharso, 2005).
2.1.3.3. Kualitas Layanan Jasa
Kualitas layanan oleh Tjiptono (2012) didefinisikan sebagai
penilaian pelanggan atas keunggulan/ keistimewaan suatu
produk/ jasa secara menyeluruh. Kualitas layanan dipandang
sebagai salah satu komponen penting yang perlu diwujudkan oleh
perusahaan untuk mendatangkan konsumen baru dan dapat
mengurangi
kemungkinan
pelanggan
lama
berpindah
ke
perusahaan lain (Lovelock dan Wright, 2007). Kartajaya dan
Ridwansyah pada tahun 2012 menegaskan bahwa layanan yang
baik merupakan salah satu syarat kesuksesan pada perusahaan
jasa.
Riset
SERVQUAL
kualitas
yang
layanan
didasarkan
didominasi
atas
oleh
model
instrumen
kesenjangan
(Parasuraman, Zeithaml, dan Berry, 1988). Ide sentral model ini
adalah kualitas layanan (perceived quality = Q) merupakan
22
perbedaan skor antara persepsi (perception = P) dengan harapan
(expectation = E), sehingga Q = P – E. SERVQUAL dapat
digunakan dalam berbagai setting penelitian dengan adaptasi
pada beberapa instrumen sesuai konteks jasa yang diteliti.
Menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1988),
konsumen akan menilai kualitas jasa melalui lima dimensi
pelayanan sebagai tolok ukur sebagai berikut. Pertama,
keberwujudan (tangible) merupakan sesuatu yang tampak/ nyata,
misalnya penampilan para pegawai dan fasilitas-fasilitas fisik
lainnya, serta perlengkapan yang menunjang pelaksanaan
pelayanan.
Kedua,
keandalan
(reliability)
yang
berupa
kemampuan untuk memberikan secara tepat dan benar jenis
pelayanan seperti telah dijanjikan kepada konsumen. Dimensi
ketiga adalah kedayatanggapan (responsiveness) yang merupakan
kesadaran untuk cepat bertindak membantu konsumen dalam
memberikan pelayanan tepat waktu.
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1988) menempatkan
penjaminan (assurance) sebagai dimensi keempat yang berisi
pengetahuan, sopan santun, dan kepercayaan yang didapatkan
dari pegawai. Dimensi tersebut memiliki ciri-ciri kompensasi
untuk memberikan pelayanan, sopan, dan respek terhadap
konsumen. Empati (empathy) merupakan dimensi terakhir yang
memberikan perhatian kepada individu secara khusus. Dimensi
empati memiliki ciri-ciri kemauan untuk melakukan pendekatan,
memberikan perlindungan, serta usaha untuk mengerti keinginan,
kebutuhan dan perasaan konsumen.
23
2.1.3.4. Upaya Keterhubungan
Selain kekuatan dari kualitas layanan jasa, dibutuhkan pula
layanan atribut pinggiran sebagai penunjang. Dalam tahun 2006,
hasil penelitian Utami menunjukkan bahwa beberapa perusahaan
dikatakan telah mengalami tahap kedewasaan (maturity) ketika
kesulitan dalam mendeferensiasikan diri hanya berdasarkan
seleksi terhadap produk (barang dan jasa) saja. Oleh karena itu,
pihak manajemen diharapkan melakukan aktivitas dan usaha
yang lebih keras melalui pembenahan proses, layanan, dan
teknologi. Menurut Odekerken, De Wulf, dan Schumacher (2003)
dalam Utami (2006), peningkatan usaha tersebut dapat dilakukan
melalui upaya membangun keterhubungan.
Utami
(2006)
mendefinisikan
upaya
keterhubungan
(relationship effort) kepada pelanggan sebagai usaha aktif
manajemen dalam memberikan kontribusi terhadap harapan
konsumen untuk mewujudkan customer retentions. Berdasarkan
pendapat
tersebut,
maka
dalam
penelitian
ini,
upaya
keterhubungan dipandang sebagai bagian dari kualitas layanan
atribut pinggiran. Empat aktivitas yang harus diperhatikan dalam
upaya mempertahankan dan membuat pelanggan menjadi setia
melalui aktivitas upaya keterhubungan adalah sebagai berikut :
komunikasi (communication), perlakuan istimewa (preferential
treatment), personalisasi (personalization) dan pemberian hadiah
(rewarding) (Utami, 2006).
2.1.3.5. Persepsi Reputasi Perusahaan
Schiffman dan Kanuk (2000) menyebutkan bahwa persepsi
adalah cara orang dalam memandang dunia ini. Cara memandang
24
dunia pasti dipengaruhi oleh sesuatu dari dalam maupun luar
orang yang bersangkutan. Solomon (2011) secara lebih teknis
mendefinisikan persepsi sebagai proses di mana sensasi yang
diterima oleh seseorang dipilah dan dipilih, kemudian diatur dan
akhirnya diinterpretasikan. Sensasi datang dan diterima oleh
manusia melalui panca indera, yaitu mata, telinga, hidung, mulut,
dan kulit yang diseput sebagai sistem sensorik. Input sensorik
atau sensasi yang diterima oleh sistem sensorik manusia disebut
juga dengan stimulus.
Persepsi konsumen adalah obyek yang sangat penting
dalam pemasaran. Prasetijo dan Ihalauw (2005) menyatakan
bahwa persepsi konsumen merupakan proses yang rumit, tak
hanya melibatkan panca indera, tetapi juga melibatkan faktorfaktor psikologis. Dalam menangkap sensasi, sistem sensorik
memiliki keterbatasan berupa ambang rangsang. Pemasar harus
memperhitungkan dengan cermat supaya pesan yang disampaikan
dapat diterima secara efektif karena adanya keterbatasan tersebut.
Persepsi konsumen akhirnya akan mengarah pada pembelajaran
konsumen dan menentukan konsumen dalam bersikap terhadap
perusahaan selanjutnya (Prasetijo dan Ihalauw, 2005).
Beck dan Franke (2008) menyatakan bahwa salah satu
aspek penting dalam persepsi konsumen adalah reputasi
perusahaan. Lebih lanjut, menurut mereka reputasi adalah suatu
konsep yang berhubungan dengan citra perusahaan dan penilaian
dari pihak luar terhadap kualitas suatu perusahaan yang berasal
dari kinerja perusahaan pada masa lampau. Mereka juga
berpendapat bahwa dalam dunia bisnis, reputasi mencerminkan
perbandingan dari kumpulan berbagai faktor, seperti: kualitas
25
barang, transaksi finansial yang terpercaya, tingkat dari kualitas
layanan.
Reputasi perusahaan industri jasa menurut Nguyen dan
Leblanc (Wang et al., 2006) tergantung pada bagaimana penyedia
jasa memuaskan kebutuhan konsumen. Lebih lanjut, Weigelt dan
Camerer berpendapat bahwa reputasi perusahaan yang baik dapat
meningkatkan kepercayaan pelanggan untuk menggunakan jasa
dari perusahaan, sehingga reputasi dapat menjadi faktor strategis
untuk menghasilkan laba yang lebih bagi perusahaan (Wang et
al., 2006).
Jin, Park, dan Kim pada publikasinya tahun 2008
menambahkan bahwa reputasi tidak hanya diperhatikan sebagai
atribut dalam suatu perusahaan, tetapi juga harus diperhatikan
bagaimana reputasi tersebut akan terus ada di masa depan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka reputasi perlu dikembangkan
dari waktu ke waktu karena dapat memiliki dampak yang besar
atas penjualan, pendapatan, dan penilaian.
Model pengukuran reputasi perusahaan telah dikembangkan
oleh Fombrun dan Shanley (1990) melalui 20 atribut pertanyaan
yang diklasifikasikan menjadi 6 dimensi, yaitu : emotional
appeal,
barang
dan
jasa,
kinerja
keuangan,
visi
dan
kepemimpinan, lingkungan kerja, dan tanggung jawab sosial.
Wang et al. (2006) menggunakan item-item berikut untuk
melakukan analisis terhadap reputasi perusahaan: persepsi
responden secara keseluruhan terhadap pengalaman total yang
diberikan perusahaan (overall perceptions of respondents’ total
experience with the firm), persepsi komparatif responden
dibandingkan dengan kompetitornya (comparative perceptions
26
with competitors), serta masa depan jangka panjang perusahaan
(the firms’ long-term futures).
2.1.3.6. Lokasi
Jasa yang bersifat tanwujud diyakini lebih sulit dievaluasi,
karenanya dapat menimbulkan tingkat ketidakpastian dan
persepsi risiko yang besar. Oleh karena itu, untuk menekan
ketidakpastian, para pelanggan seringkali lebih memerhatikan
simbol,
tanda,
petunjuk,
atau
bukti
fisik
kualitas
jasa
bersangkutan. Para pelanggan menurut Tjiptono (2012) akan
menyimpulkan kualitas jasa dari aspek tempat atau lokasi (place),
orang (people), peralatan (equipment), bahan dan materi
komunikasi (communication materials), simbol (symbols), dan
harga (price) yang mereka amati.
Lupiyoadi (2001) menyatakan lokasi berarti berhubungan
di mana perusahaan harus bermarkas dan melakukan operasi.
Dalam hal ini ada tiga jenis interaksi yang memengaruhi lokasi.
Pertama,
konsumen
mendatangi
pemberi
jasa.
Apabila
keadaannya seperti ini, maka lokasi menjadi sangat penting.
Perusahaan sebaiknya memilih tempat dekat dengan konsumen
sehingga mudah dijangkau, dengan kata lain harus strategis.
Kedua, pemberi jasa mendatangi konsumen. Dalam hal ini, lokasi
tidaklah terlalu penting. Namun, yang harus diperhatikan adalah
penyampaian jasa tetap berkualitas. Ketiga, pemberi jasa dan
konsumen tidak bertemu secara langsung, artinya penyedia jasa
dan konsumen berinteraksi melalui sarana tertentu seperti
telepon, komputer, ataupun surat. Dalam hal ini, lokasi menjadi
sangat tidak penting selama komunikasi antar kedua belah pihak
27
dapat terlaksana. Berdasarkan ketiga jenis interaksi tersebut,
bisnis jasa perhotelan menggunakan jenis interaksi pertama, di
mana lokasi yang strategis menjadi sangat penting bagi
keberlangsungan hotel.
Menurut Tjiptono (2012), pemilihan lokasi memerlukan
pertimbangan yang cermat terhadap beberapa faktor berikut :
1. Akses, yaitu kemudahan untuk menjangkau.
2. Visiabilitas, yaitu kemudahan untuk dilihat.
3. Lalu-lintas, terdiri atas 2 hal yang diperhatikan :
a) Banyaknya orang yang lalu lalang bisa memberikan
peluang yang besar tejadinya impuls buying.
b) Kepadatan dan kemacetan bisa menjadi hambatan.
4. Tempat parkir yang luas dan aman.
5. Ekspansi, yaitu tersedia tempat yang luas untuk perluasan di
kemudian hari.
6. Lingkungan yaitu daerah sekitar yang mendukung jasa yang
ditawarkan.
7. Persaingan yaitu lokasi dengan pesaing sejenis.
8. Peraturan pemerintah.
Menurut Levy dan Weitz (2007), tujuan strategi lokasi
adalah
untuk
memaksimalkan
keuntungan
lokasi
bagi
perusahaan. Keputusan lokasi sering bergantung pada tipe bisnis.
Pada analisis lokasi di sektor industri manufaktur strategi yang
dilakukan terfokus pada minimisasi biaya. Sedangkan pada sektor
jasa, fokus ditujukan untuk memaksimalkan pendapatan. Hal ini
disebabkan karena pada perusahaan manufaktur biaya cenderung
sangat berbeda di antara lokasi yang berbeda, sementara pada
perusahaan jasa, lokasi sering memiliki dampak pendapatan
28
daripada biaya. Oleh karena itu, bagi perusahaan jasa, lokasi yang
spesifik sering kali lebih memengaruhi pendapatan daripada
memengaruhi biaya. Lokasi bisnis yang paling tepat untuk bisnis
jasa, misalnya adalah tempat dengan potensi pasar yang besar
(Tjiptono, 2012). Faktor-faktor seperti kepadatan lalu lintas,
kepadatan populasi, dan taraf kehidupan di sekitar lokasi juga
menjadi faktor penting dalam pemilihan lokasi.
Lokasi merupakan pertimbangan paling awal dan paling
utama bagi perusahaan dalam memulai suatu bisnis (Levy dan
Weitz, 2007). Lebih lanjut lagi, mereka menyebutkan bahwa
lokasi memiliki dampak kontingensi yang kuat terhadap
keterhubungan aspek-aspek bisnis tertentu. Misalnya, lokasi
memberikan dampak kontingensi terhadap pengaruh kepuasan
pelanggan pada minat guna jasa ulang (Ratnasari dan Aksa,
2011). Artinya, kepuasan pelanggan akan menyebabkan minat
guna jasa ulang ketika lokasi perusahaan strategis. Jika tidak,
maka kepuasan tidak akan mengarah ke minat guna jasa ulang.
2.2. Perumusan Proposisi
2.2.1. Kaitan antara Kualitas Layanan Jasa dengan KegembiraanHati Pelanggan
Verma (2003) melakukan penelitian menggunakan teknik
critical incident (dengan menggunakan kata sifat pleasurable,
unforgettable, memorable, surprisingly memorable, dan delighted
sebagai keywords), menyatakan bahwa dimensi yang bersifat
“people-oriented” atau aspek behavioral ternyata memberi
kontribusi
terbesar
bagi
terbentuknya
kegembiraan-hati
29
pelanggan. Aspek terpenting yang menurut Verma memberikan
kontribusi
terbesar
pada
pembentukan
kegembiraan-hati
pelanggan adalah bagaimana kualitas layanan yang diberikan
oleh karyawan kepada para pelanggan tersebut.
Lebih lanjut, penelusuran Raharso tahun 2005 menguraikan
bahwa aspek tersebut diwakili oleh faktor kebaikan (courtesy),
yang meliputi: kesopanan karyawan, rasa hormat, keakraban, dan
perhatian. Respon karyawan pada permintaan pelanggan dan
hasrat untuk tulus menolong pelanggan merupakan aspek kedua
terpenting untuk membangun kegembiraan-hati pelanggan. Selain
itu, pemahaman terhadap kebutuhan pelanggan merupakan
kontributor
terbesar
bagi
terbentuknya
kegembiraan-hati
pelanggan melalui pelayanan yang diberikan.
Dalam publikasinya tahun 2003, Hanselman menyebutkan
aspek yang memberikan kontribusi terbesar pada pembentukan
kegembiraan-hati
pelanggan
adalah
bagaimana
konsumen
diperlakukan sebagai sebuah bagian penting dari aspek
pelayanan. Aspek kesopanan karyawan, rasa hormat, dan
keakraban menyebabkan konsumen mendapat pengalaman yang
membahagiakan. Berdasarkan uraian tersebut, salah satu aspek
pembentuk kegembiraan-hati adalah unsur pelayanan. Dapat
dikatakan pula bahwa perusahaan yang mampu memberikan
kualitas layanan yang semakin baik (di atas batas minimal) akan
semakin mampu memberikan kegembiraan kepada pelanggannya.
Oleh karena itu, diajukan proposisi pertama :
P1:
Kualitas
layanan
jasa
berpengaruh
kegembiraan-hati pelanggan.
30
positif
terhadap
2.2.2. Kaitan antara Upaya Keterhubungan dengan KegembiraanHati Pelanggan
Upaya keterhubungan dalam penelitian ini diasumsikan
sebagai bagian dari kualitas layanan atribut pinggiran. Upaya
keterhubungan dan kualitas layanan yang unggul diistilahkan
sebagai strategi penguat relationship outcomes yang meliputi
kepercayaan, komitmen, dan kepuasan relasional pelanggan
(Utami, 2006). Berpijak pada keterangan tersebut, maka
kegembiraan-hati pelanggan dapat dikategorikan sebagai salah
satu relationship outcomes.
Hasil penelitian Kumar, Olshavsky, dan King (2001)
menyatakan
bahwa
kegembiraan-hati
didasarkan
pada
kesenangan yang nyata. Kegembiraan-hati pelanggan tidak hanya
fokus pada keterkejutan pelanggan pada setiap transaksi, tetapi
ditunjukkan dan fokus pada aktivitas yang utama dalam menjaga
kelangsungan hubungan antara perusahaan dengan pelanggan
(Kumar, Olshavsky, dan King, 2001). Berdasarkan keteranganketerangan tersebut, maka proposisi kedua yang diajukan dalam
penelitian ini yaitu :
P2:
Upaya
keterhubungan
berpengaruh
positif
terhadap
kegembiraan-hati pelanggan.
2.2.3. Kaitan antara Persepsi Reputasi dengan Kegembiraan-Hati
Pelanggan
Suatu perusahaan dengan reputasi yang tinggi akan merasa
segan untuk membahayakan asset yang dimilikinya dengan cara
memenuhi janjinya dan kewajibannya. Hal itu terjadi sebab
pelanggan lebih menyukai organisasi yang memiliki reputasi
31
yang bagus (Kabadayi, Alan, dan Erdebil, 2011). Oleh karena itu,
reputasi perusahaan dianggap menjadi faktor yang memberikan
kontribusi terhadap kegembiraan-hati pelanggan.
Bennett dan Gabriel pada tahun 2001 menggunakan
persepsi reputasi sebagai peubah penting dalam loyalitas
pelanggan terhadap perusahaan. Hasil penelitian tersebut adalah
persepsi reputasi memiliki keterhubungan positif dan signifikan
dalam memengaruhi loyalitas. Reputasi yang baik memberikan
kejelasan status dari perusahaan, sehingga pelanggan menjadi
tidak ragu, puas, dan senang untuk mengonsumsi produk dan jasa
dari perusahaan tersebut. Hal tersebut sejalan dengan penelitian
Kim dan Ahn (2007), yang menyatakan bahwa kepuasan,
kesenangan, dan loyalitas pelanggan akan meningkat ketika
perusahaan tersebut dianggap pelanggan memiliki reputasi yang
bagus. Oleh karena itu, proposisi ketiga yang diajukan dalam
penelitian ini adalah :
P3: Persepsi reputasi hotel berpengaruh positif terhadap
kegembiraan-hati pelanggan.
2.2.4. Lokasi Memoderasi Kaitan antara Upaya Keterhubungan
dan Kegembiraan-Hati Pelanggan
Dalam membangun sebuah usaha diperlukan sebuah tapakkedudukan di mana sebuah perusahaan tersebut akan berlokasi.
Menurut Levy dan Weitz (2007), letak atau lokasi perusahaan
sering disebut sebagai tempat perusahaan melakukan kegiatan
sehari-hari. Mayoritas dari para pengguna jasa hotel adalah
mereka yang berasal dari luar daerah yang sedang memiliki
urusan di sekitar hotel itu berada baik untuk tujuan wisata, bisnis
32
ataupun hanya sebagai tempat transit sementara untuk kemudian
melanjutkan perjalanan mereka. Oleh karena itu, lokasi hotel
yang strategis akan memudahkan konsumen untuk mendapatkan
akses terhadap hotel tersebut. Kedekatan hotel dengan beberapa
tempat tujuan wisata atau fasilitas-fasilitas umum akan menjadi
nilai lebih bagi perusahaan. Menurut Utami (2006) lokasi
mempunyai kekuatan dalam mendukung ataupun menghancurkan
strategi perusahaan, misalnya dalam menciptakan keterhubungan
yang langgeng dengan pelanggan. Oleh karena itu, penyedia jasa
harus benar-benar mempertimbangkan, menyeleksi dan memilih
lokasi yang responsif terhadap kemungkinan perubahan ekonomi,
demografis,
budaya,
persaingan,
dan peraturan di masa
mendatang. Strategi tersebut terkait dengan upaya keterhubungan
yang dilakukan pihak hotel agar para tamu merasa nyaman dan
diterima dengan baik ketika menginap.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa upaya
keterhubungan akan lebih sulit
dilakukan dalam rangka
menciptakan kegembiraan-hati pelanggan ketika lokasi hotel
tidak strategis. Oleh karena itu, proposisi yang diajukan dalam
penelitian ini adalah :
P4: Lokasi memoderasi antara pengaruh upaya keterhubungan
terhadap tingkat kegembiraan-hati pelanggan.
2.2.5. Lokasi Memoderasi Kaitan antara Persepsi Reputasi dan
Kegembiraan-Hati Pelanggan
Levy dan Weitz (2007) berpendapat bahwa pemilihan
lokasi merupakan hal terpenting yang harus diperhitungkan
sebelum memulai pembangunan usaha. Memilih lokasi yang tepat
33
dan strategis akan meningkatkan peluang
pengembangan
keunggulan bersaing yang berkelanjutan dan akan mencipta citra
yang baik di mata pelanggan. Lebih lanjut lagi, mereka juga
menyebutkan bahwa konsumen cenderung mementingkan faktor
lokasi ketika memilih toko atau penyedia jasa yang ingin
dikunjungi. Alasannya adalah lokasi membawa pencitraan
tertentu yang berujung pula pada kepuasan dan kegembiraan-hati
konsumen ketika mereka melakukan transaksi dengan pihak
perusahaan terkait. Oleh karena itu, proposisi keenam yang
diajukan dalam penelitian ini adalah :
P5 : Lokasi memoderasi antara pengaruh persepsi reputasi hotel
oleh pelanggan terhadap tingkat kegembiraan-hati pelanggan.
2.2.6. Kaitan Kegembiraan-Hati Pelanggan dengan Getok Tular
Hubungan antara kegembiraan-hati pelanggan dengan getok
tular ditunjukkan secara tegas oleh beberapa peneliti, antara lain:
Westbrook dan Oliver (1991), Kumar (1996), serta Oliver, Rust,
dan Varki (1997) yang disarikan oleh James dan Taylor pada
tahun 2004. Menurut beberapa peneliti tersebut, kegembiraan-hati
pelanggan berkontribusi dalam menambah kepuasan pelanggan,
komunikasi getok tular, pembelian ulang dan lebih banyak lagi
evaluasi positif lain. Swanson dan Davis juga menyebutkan hal
yang sejalan dalam tinjauan literaturnya tahun 2012, bahwa
kegembiraan-hati mendorong terjadinya hasil bisnis yang positif
seperti komunikasi getok tular, loyalitas, dan peningkatan profit.
Berpijak pada uraian tersebut, maka proposisi terakhir yang
diajukan pada penelitian ini adalah :
P6: Semakin tinggi tingkat kegembiraan-hati pelanggan, maka
getok tular akan semakin sering dilakukan.
34
2.3. Pengembangan Model Penelitian
Model konseptual kerangka pemikiran teoretis dari penelitian ini
adalah sebagai berikut (Gambar 2.1).
Kualitas
Layanan Jasa
Upaya
Keterhubungan
P1
P2
KegembiraanHati
Pelanggan
P6
Getok
Tular
P3
Persepsi
Reputasi
P4
P5
Lokasi
Gambar 2.1. Peraga Pengembangan Kerangka Pemikiran Teoretis.
35
36
Download