BAB IV PEMBAHAS AN DAN HAS IL PENGUJIAN IV.1 Penentuan Skenario Penilaian M odel penilaian perusahaan yang lazim digunakan adalah dividend discounted model (DDM ). M odel ini menilai suatu perusahaan berdasarkan dividen yang dibagikan kepada para pemegang sahamnya. Namun, ada beberapa perusahaan dengan laba yang cukup besar tidak pernah membayarkan dividennya, atau tidak membayarkan dividen secara teratur, ataupun dividen yang diberikan kepada pemegang saham tidak berhubungan langsung dengan laba yang diperoleh perusahaan pada tahun berjalan. Untuk perusahaan seperti ini, penggunaan DDM untuk menilai perusahaan akan menjadi kurang tepat. Selain DDM , model penilaian perusahaan berdasarkan arus kas dapat dibagi menjadi dua, yaitu free cash flow to equity (FCFE) dan free cash flow to firm (FCFF). M odel penilaian FCFE digunakan apabila perusahaan memiliki komposisi utang yang stabil, sementara model FCFF digunakan untuk perusahaan yang memiliki komposisi utang yang tidak stabil. Penilaian perusahaan dengan FCFE dengan mendiskontokan required rate of return on equity (r), sedangkan penilaian perusahaan dengan FCFF merupakan penilaian untuk keseluruhan perusahaan, dengan mendiskontokan biaya modal rata-rata tertimbang (WACC). Dalam model FCFF, proporsi struktur modal perusahaan merupakan salah satu kunci dalam memaksimalkan nilai perusahaan. Selama periode 2005 – 2009, PT Astra International Tbk pernah satu kali tidak membagikan dividen yang biasanya dibayarkan dua kali dalam satu tahun. 31 Hal ini terjadi pada tahun 2008, dimana perusahaan hanya membayarkan dividennya satu kali saja. Perusahaan juga memiliki komposisi utang jangka panjang (non-current liabilities) yang kurang stabil dan berfluktuasi antara 24,96% – 42,37%. Karena alasan-alasan tersebut di atas, maka penulis menggunakan model penilaian FCFF dalam melakukan penelitian. Di samping model penilaian, adapun tiga skenario penilaian untuk estimasi harga wajar saham, antara lain: 1. stable growth, dimana tidak ada pertumbuhan tinggi atau perusahaan sudah dalam pertumbuhan stabil. Stable growth umumnya digunakan apabila tingkat pertumbuhan perusahaan lebih kecil atau sama dengan tingkat pertumbuhan ekonomi; 2. two-stage growth, dimana akan ada pertumbuhan tinggi pada suatu periode, kemudian akan turun ke tingkat pertumbuhan stabil. Two-stage growth umumnya digunakan apabila tingkat pertumbuhan perusahaan lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan ekonomi dan perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, akan tetapi keunggulan kompetitif tersebut dibatasi oleh waktu; 3. three-stage growth, dimana akan ada pertumbuhan tinggi pada suatu periode, kemudian tingkat pertumbuhan akan menurun bertahap ke tingkat pertumbuhan stabil. Three-stage growth umumnya digunakan apabila tingkat pertumbuhan perusahaan lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan ekonomi, dan perusahaan juga memiliki keunggulan kompetitif yang tidak dibatasi oleh waktu. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan salah satu dari ketiga skenario penilaian yang tersedia di atas, yaitu stable growth. PT Astra International Tbk. 32 merupakan perusahaan dengan enam lini bisnis dimana otomotif merupakan lini yang terpenting dan memberikan kontribusi kurang lebih 50% bagi pendapatan bersih perusahaan di tahun 2009. Penulis menggunakan skenario stable growth dengan beberapa asumsi. Pertama, banyak pesaing yang bergerak dalam bidang yang sama, bermain di pasar dengan kompetisi yang kuat, sehingga tidak memungkinkan bagi perusahaan untuk mencapai tingkat pertumbuhan tinggi yang bertahan lama, sehingga digunakan tingkat pertumbuhan yang lebih kecil atau sama dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Kedua, penulis juga berasumsi dengan keadaan sekarang ini, dimana di Indonesia rentan oleh kemacetan, kemacetan tersebut terjadi di mana-mana dan tidak hanya pada Ibukota DKI Jakarta saja. Salah satu faktor penyebab kemacetan yaitu tingkat pelebaran jalan yang lebih lambat daripada tingkat pertumbuhan kendaraan. Dengan keadaan seperti ini, lama kelamaan masyarakat akan jenuh untuk memiliki atau membeli kendaraan baru, sehingga pendapatan perusahaan cenderung stabil. Ketiga, penulis mengasumsikan adanya AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang mempengaruhi perekonomian di Indonesia. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam, Indonesia, M alaysia, Philippines, Singapura dan Thailand pada tahun 2010, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015. Dengan adanya AFTA 2010, di mana produk-produk luar negeri akan masuk ke Indonesia tanpa dipungut bea cukai, maka produk-produk perusahaan lokal harus siap bersaing dengan produk luar 33 negeri tersebut. Hal ini akan berdampak pada penjualan perusahaan lokal yang mungkin tingkat pertumbuhannya tidak sepesat seperti tahun sebelumnya. Keempat, penulis berasumsi bahwa tingkat pertumbuhan perusahaan tidak lebih dari tingkat pertumbuhan ekonomi karena harga baja domestik diprediksi meningkat untuk pengiriman April – Juni 2010. Kenaikan harga baja domestik dipengaruhi oleh melonjaknya harga bahan baku baja, dan permintaan baja di China dan luar China yang meningkat. Perusahaan menggunakan bahan baku baja dalam divisi otomotifnya. Apabila harga baja naik, maka harga pokok produk juga akan meningkat, yang akan berdampak pada laba perusahaan yang semakin kecil atau turun. Oleh karena itu, penulis berasumsi bahwa tingkat pertumbuhan perusahaan untuk tahun 2010 akan lebih kecil atau sama dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan menggunakan skenario stable growth dalam penelitian ini. Dalam skenario penilaian stable growth, akan diuraikan perhitungan dan analisis biaya modal rata-rata tertimbang serta arus kas bebas perusahaan untuk mengestimasikan harga wajar saham periode 2010. IV.2 Analisis Biaya Modal Rata-rata Tertimbang Penilaian saham dapat digunakan dengan dua cara, yaitu analisis fundamental dan analisis teknikal. Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis fundamental, yaitu mengevaluasi nilai suatu saham dengan menggunakan data-data keuangan untuk menilai kinerja perusahaan dan potensi pertumbuhan di masa mendatang. Data-data historis ini akan digunakan untuk memprediksi pergerakan saham ke depan. 34 Penelitian menggunakan data historis lima tahun yang lalu yaitu tahun 2005 sampai dengan 2009, yang diproyeksikan ke periode 2010 seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010, sehingga dapat diketahui estimas i harga wajar saham pada tahun 2010 dengan me-nilai sekarang-kan estimasi arus kas bebas yang diperoleh perusahaan tahun 2010. Estimasi harga wajar saham PT Astra International Tbk. menggunakan pendekatan biaya modal rata-rata tertimbang (WACC). Untuk memperoleh WACC, harus diketahui terlebih dahulu nilai dari tiap-tiap komponen biaya yang berada di dalamnya, antara lain: biaya utang setelah pajak (kd (1 – T)), biaya saham preferen (kp), dan biaya laba yang ditahan (ks). Untuk menghitung biaya utang setelah pajak dan biaya saham preferen (jika ada) relatif mudah, akan tetapi untuk menghitung biaya laba yang ditahan cukup sulit. Berikut ini akan dibahas metode perhitungan biaya laba yang ditahan dengan pendekatan capital asset pricing model (CAPM ), biaya utang, sampai dengan WACC. IV.2.1 Pendekatan CAPM Pendekatan yang paling umum digunakan untuk menghitung biaya laba yang ditahan (ks) atau disebut juga biaya ekuitas adalah dengan menggunakan pendekatan Capital Asset Pricing Model (CAPM ). Data-data yang diperlukan untuk menghitung biaya ekuitas yaitu harga saham PT Astra International (ASII), Indeks Harga Saham Gabungan (IH SG), dan tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) per tahun yang berubah-ubah tiap bulan selama periode 2005 sampai dengan 2009. 35 Gambar IV.1 : Pergerakan Harga S aham AS II dan IHS G 40,000 3,000 ASII IHSG 35,000 2,500 30,000 2,000 25,000 20,000 1,500 15,000 1,000 10,000 500 5,000 Jul 09 Jan 09 Jul 08 Jan 08 Jul 07 Jan 07 Jul 06 Jan 06 Jul 05 ‐ Jan 05 ‐ Berdasarkan grafik pergerakan harga saham ASII dan IHSG di atas, selama periode 2005 – 2009 diketahui trend IHSG cenderung naik selama periode Januari 2005 sampai dengan Februari 2008, kemudian IHSG terus menurun tajam sampai dengan November 2008 hingga mencapai 1.241,54. Penurunan IHSG dipengaruhi oleh krisis keuangan global tahun 2008, sehingga memaks a Otoritas Bursa untuk melakukan penghentian perdagangan selama 3 hari untuk mencegah terpuruknya bursa akibat sentimen negatif. Setelah itu IHSG kembali naik sedikit demi sedikit. Peningkatan tajam terjadi pada Februari sampai dengan Juli 2009. Titik terendah IH SG sebesar 1.029,61 pada April 2005 dan titik tertinggi 2.745,83 pada Desember 2007. Hampir sama dengan pergerakan IHSG, trend harga saham ASII terus naik dari titik terendah Rp 9.100 pada November 2005 hingga mencapai titik tertinggi Rp 34.700 pada Desember 2009. Harga saham ASII pernah jatuh drastis pada 36 Oktober 2008 menjadi Rp 9.350 dan harga tersebut merupakan penutupan terendah saham ASII selama periode 2008. Namun seiring dengan pemulihan IHSG, saham ASII naik tajam terutama pada bulan Februari 2009 sampai dengan Juli 2009. Pertama-tama, penulis melakukan perhitungan tingkat pengembalian harga saham ASII yang disimbolkan dengan Ri, dan tingkat pengembalian IHSG yang disimbolkan dengan Rm atau kM. kM merupakan tingkat pengembalian pasar. Contoh perhitungan aritmatika tingkat pengembalian ASII dan IHSG pada bulan Februari 2005 terhadap ASII dan IHSG bulan Januari 2005. T ingkat Pengembalian ASII Feb 2005 = Nilai ASII Feb 2005 - Nilai ASII Jan 2005 Nilai ASII Jan 2005 = (Rp 10.800 – Rp 10.050) / Rp 10.050 = 7,46% T ingkat Pengembalian IHSG Feb 2005 = Nilai IHSG Feb 2005 - Nilai IHSG Jan 2005 Nilai IHSG Jan 2005 = (1.073,83 – 1.045,44) / 1.045,44 = 2,72% Berdasarkan perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi kenaikkan harga ASII pada Februari 2005 dibandingkan dengan bulan Januari 2005 yang menyebabkan tingkat pengembalian bernilai positif sebesar 7,46%. Begitu pula dengan IHSG, tingkat pengembalian pasar naik sebesar 2,72% yang artinya pasar saham secara keseluruhan semakin baik. Kinerja perusahaan yang makin baik merupakan salah satu penyebab kenaikkan tingkat pengembalian harga saham ASII melebihi tingkat pengembalian IH SG. Untuk perhitungan bulan selanjutnya sama dengan contoh di atas, dan dilakukan sampai dengan 37 Desember 2009. Pergerakan tingkat pengembalian ASII dan IHSG periode 2005 sampai dengan 2009 dapat dilihat pada Gambar IV.2 Gambar IV.2 : Pergerakan Tingkat Pengembalian AS II dan IHS G 40% 30% 20% 10% 0% ‐10% ‐20% ASII (Ri) ‐30% IHSG (Rm) ‐40% Aug 09 Feb 09 Aug 08 Feb 08 Aug 07 Feb 07 Aug 06 Feb 06 Aug 05 Feb 05 ‐50% Berdasarkan grafik pergerakan tingkat pengembalian ASII dan IH SG di atas, selama periode 2005 – 2009 diketahui trend tingkat pengembalian IH SG terus berfluktuasi, dengan titik terendah -31,42% pada Oktober 2008 dan titik tertinggi 20,13% pada April 2009. Rata-rata tingkat pengembalian IHSG selama periode 2005 – 2009 sebesar 1,51% per bulan atau 18,15% per tahun. Rata-rata tingkat pengembalian IHSG dihitung dengan geometric average karena datanya berfluktuatif. GMR = = jml data 59 1 + tk. pengembalian IHSG Feb 2005 1 + tk. pengembalian 1 + tk. pengembalian x…x IHSG Mar 2005 IHSG Des 2009 1 + 2,72% 1 + 0,59% 1 – 4,68% x … x 1 + 4,91% - 1 = 1,51% 38 -1 Hampir sama dengan tingkat pengembalian IHSG, trend tingkat pengembalian A SII juga berfluktuasi dengan titik terendah -45,32% pada Oktober 2008 dan titik tertinggi 32,99% pada Oktober 2007. Harga saham ASII yang jatuh juga mempengaruhi tingkat pengembaliannya. Pada Oktober 2008 sewaktu tingkat pengembalian IH SG turun, ASII turun lebih tajam daripada pasar. Hal ini menunjukkan bahwa A SII sensitif terhadap pasar. Tingkat sensitivitas ini juga dapat dibuktikan dengan perhitungan beta perusahaan. Ratarata tingkat pengembalian ASII selama periode 2005 – 2009 sebesar 2,12% per bulan atau 25,47%. Rata-rata tingkat pengembalian ASII dihitung dengan geometric average karena datanya berfluktuatif. GMR = = jml data 59 1 + tk. pengembalian ASII Feb 2005 1 + tk. pengembalian 1 + tk. pengembalian x…x ASII Mar 2005 ASII Des 2009 1 + 7,46% 1 – 2,78% 1 + 0,48% x … x 1 + 7,26% - 1 = 2,12% Kedua, penulis melakukan perhitungan beta yang disimbolkan dengan bi. Beta ditentukan berdasarkan tingkat pengembalian A SII dan IH SG. Beta dihitung dengan menggunakan fungsi SLOPE dalam software M icrosoft Excel. Perhitungan beta sebagai berikut. Beta =SLOPE(Ri;Rm) = 1,42 Ri merupakan tingkat pengembalian ASII per bulan, sedangkan Rm adalah tingkat pengembalian IHSG per bulan selama periode 2005 – 2009. Beta yang dihasilkan melalui perhitungan sebesar 1,42, sedangkan beta menurut Business & Financial News, Breaking US & International News (www.reuters.com) pada tanggal 25 Juli 2010 adalah sebesar 1,44. Beta hasil perhitungan dan reuters tidak 39 -1 berbeda jauh, oleh karena itu penulis menggunakan beta hasil perhitungan untuk melakukan analisis selanjutnya. Beta senilai 1,42 artinya harga saham ASII sensitif terhadap pasar dan juga lebih agresif atau spekulatif daripada pasar. Apabila perekonomian pasar sedang membaik, harga saham ASII dapat naik dengan pesat melebihi IHSG, ataupun sebaliknya. Semakin besar nilai beta, berarti semakin besar pula resiko saham tersebut. Setelah tingkat pengembalian pasar (Rm) dan Beta (bi) telah diukur, maka hal ketiga yang dilakukan adalah menentukan tingkat bunga BI (BI Rate) yang disimbolkan dengan kRF. BI rate merupakan dasar tingkat pengembalian bebas risiko yang menjadi acuan suku bunga bagi bank-bank di Indonesia. BI rate yang digunakan adalah BI rate pada Desember 2009 yaitu sebesar 6,50% per tahun. BI rate memiliki titik terendah hingga 6,50% pada A gustus sampai dengan Desember 2009 dan memiliki titik tertingginya 12,75% pada Desember 2005 sampai dengan April 2006. Hal ini berarti mengestimasikan biaya ekuitas dimulai dari 6,50% kemudian kenaikkan atau penurunannya mencerminkan risiko saham seperti yang diukur oleh koefisien betanya. Dari hasil perhitungan ketiga komponen biaya ekuitas, yaitu: tingkat pengembalian pasar (kM), beta (bi) dan BI rate (kRF), maka akan didapat biaya ekuitas dengan pendekatan CAPM . Tingkat pengembalian pasar (kM) yang dipakai adalah 18,15% karena ks yang dipakai untuk menghitung WACC yang relevan dengan FCFF adalah data setahun. Perhitungan biaya ekuitas dengan pendekatan CAPM sebagai berikut. 40 ks = kRF + (kM – kRF) b i = 6,50% + (18,15% – 6,50%) 1,42 = 23,03% Perhitungan biaya ekuitas (ks) beserta komponen-komponennya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel IV.1 : Perhitungan ks dengan Pendekatan CAPM Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa selama periode 2005 – 2009 tingkat pengembalian harga saham A SII sebesar 2,12% per bulan atau sebesar 25,47% per tahun. Tingkat pengembalian IH SG atau pasar sebesar 1,51% atau sebesar 18,15% per tahun. Tingkat pengembalian ASII lebih besar daripada tingkat pengembalian pasar yang artinya harga saham ASII bergerak lebih cepat dibandingkan pasar dan menyebabkan harga saham A SII terus melonjak naik melebihi rata-rata pergerakan pasar. Hal ini akan membuat para investor tertarik untuk investasi pada saham ASII. Setelah dilakukan perhitungan, koefisien beta yang menggambarkan sensitivitas suatu saham terhadap pasar nilainya sebesar 1,42. Artinya apabila pasar berubah 1%, maka saham ASII berubah sebesar 1,42%. Saham yang koefisien betanya lebih dari 1,0 berarti saham tersebut lebih agresif daripada pasar atau dengan kata lain, saham A SII bersifat spekulatif. Apabila beta naik sebanyak 0,1; maka nilai ks naik sebesar 1,16%, hal ini menunjukkan bahw a 41 saham ASII beresiko tinggi. Sedangkan untuk BI Rate atau tingkat pengembalian bebas risiko nilainya 6,50% per tahun pada Desember 2009. Dengan metode CAPM , ketika dilakukan perhitungan diperoleh nilai ks = 23,03%. Biaya ekuitas (ks) yang diperoleh sebesar 23,03% menunjukkan tingkat pengembalian minimum yang harus diharapkan manajemen untuk menjustifikasi saldo laba ditahan dan menanamkannya kembali ke dalam bisnis daripada membayarkannya kepada pemegang saham sebagai dividen. Dengan kata lain, karena investor memiliki peluang untuk mendapatkan 23,03% jika laba dibayarkan kepada mereka sebagai dividen, maka biaya kesempatan perusahaan untuk ekuitas dari saldo laba ditahan adalah 23,03%. Nilai ks inilah yang akan dijadikan dasar untuk menghitung WACC. IV.2.2 Biaya Utang Biaya utang pada umumnya adalah biaya yang ditanggung perusahaan apabila perusahaan memiliki utang kepada pihak-pihak tertentu. M enentukan nilai biaya utang (kd) pada suatu perusahaan tidak sesulit menentukan biaya laba yang ditahan atau biaya ekuitas (ks). Data-data yang diperlukan untuk menentukan biaya utang yaitu tingkat bunga bebas resiko (kRF) atau BI rate Desember 2009, default spread for countr y dan default spread for firm berdasarkan peringkat Pefindo (Pefindo rating) pada catatan atas laporan keuangan 2009 yang disesuaikan dengan default spread for rating classes: Early 2009 (Sumber: Damodaran, 2010: p.92). 42 Tabel IV.2 : Default Spreads for Rating Classes (Early 2009) Rating AAA AA A+ A ABBB BB B+ B BCCC CC C D Default Spread 1,25% 1,75% 2,25% 2,50% 3,00% 3,50% 4,25% 5,00% 6,00% 7,25% 8,50% 10,00% 12,00% 15,00% Inte rest Rate of Bond 4,75% 5,25% 5,75% 6,00% 6,50% 7,00% 7,75% 8,50% 9,50% 10,75% 12,00% 13,50% 15,50% 18,50% Rata-rata pefindo rating surat berharga yang diterbitkan memiliki peringkat AA-, namum karena peringkat tersebut tidak ada dalam tabel di atas, maka penulis mengambil peringkat satu level di bawah AA- yaitu peringkat A+. Default spread for country dan default spread for firm pada peringkat A+ masing-masing bernilai 2,25% dan 5,75%. BI rate pada Desember 2009 sebesar 6,50%. Perhitungan biaya utang (kd) adalah sebagai berikut. k d 2009 = k RF + Default spread for country + Default spread for firm = 6,50% + 2,25% + 5,75% = 14,50% Berdasarkan perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa biaya utang pada tahun 2009 cukup tinggi yaitu 14,50%, yang artinya perusahaan harus membayar bunga yang tinggi untuk utang baru yang dipinjam perusahaan. Perhitungan kd berdasarkan tingkat suku bunga Bank Indonesia yang dipengaruhi oleh rating default spread for country dan default spread for firm pada perusahaan tersebut. 43 Tarif pajak mempengaruhi biaya utang, dimana bunga yang dikenakan atas utang tersebut adalah biaya yang dapat dikurangkan atau dengan kata lain bunga akan memberikan pengurangan pajak yang mengurangi biaya utang bersih. Jadi, penulis juga harus menentukan besarnya persentase pajak pada periode 2009. Perhitungan persentase pajak untuk tahun 2009. Pajak % 2009 = = Pajak 2009 Laba sebelum pajak 2009 Rp 3.958.000.000.000 = 24,13% Rp 16.402.000.000.000 Berdasarkan hasil persentase pajak di atas, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan perusahaan membayar pajak tahun 2009 sebesar 24,13% dari laba sebelum pajak pada tahun 2009. Penulis menghitung tarif pajak dengan menggunakan pembayaran pajak yang dilakukan perusahaan berdasarkan laba sebelum pajak pada laporan komersial perusahaan, tanpa memperhatikan peraturan tarif pajak yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada periode 2009 yaitu sebesar 28% untuk Wajib Pajak Badan. Tarif pajak ini yang akan digunakan untuk menentukan biaya utang setelah pajak. Tarif pajak menjadi pengurang biaya utang, sehingga biaya utang setelah pajak adalah 11,00% yang artinya perusahaan harus menyanggupi membayar suku bunga 11,00% kepada kreditor apabila melakukan penambahan utang baru. IV.2.3 Biaya Modal Rata-rata Tertimbang Pada PT Astra International Tbk. biaya modalnya hanya menggunakan dua sumber dana saja, yaitu utang jangka panjang dan laba ditahan atau ekuitas. Dapat dinyatakan demikian, karena selama periode 2005 – 2009, perusahaan 44 tidak mengeluarkan saham preferen ataupun saham biasa baru untuk menambah modalnya. Perusahaan hanya menggunakan utang jangka panjang dan ekuitas saham sebagai sumber pendanaan perusahaan selama periode tersebut. Data yang dibutuhkan untuk menghitung proporsi struktur modal perusahaan adalah laporan keuangan perusahaan dalam bentuk neraca (balance sheet) selama periode 2005 sampai dengan 2009. Total komponen modal merupakan total keseluruhan sumber pendanaan (kewajiban jangka panjang dan saham biasa atau ekuitas). Contoh perhitungan proporsi struktur modal perusahaan tahun 2005. W d 2005 = total utang jangka panjang 2005 / total komponen modal 2005 = Rp 15.018.298.000.000 / Rp 35.442.643.000.000 = 42,37% W s 2005 = total saham biasa 2005 / total komponen modal 2005 = Rp 20.424.345.000.000 / Rp 35.442.643.000.000 = 57,63% Pada perhitungan untuk tahun 2005 diperoleh proporsi struktur modal perusahaan 42,37% utang dan 57,63% ekuitas biasa. Artinya, setiap penambahan modal pada tahun 2005, akan terdiri atas 42,37% utang dan 57,63% ekuitas biasa. Begitu pula perhitungan proporsi struktur modal dan penjelasan untuk tahun 2006 sampai dengan 2009. Setiap perusahaan akan memiliki sebuah struktur permodalan yang optimal, yang didefinisikan sebagai campuran utang, dan saham biasa yang menyebabkan harga sahamnya dapat dimaksimalkan. PT Astra International Tbk. memiliki struktur modal yang tidak tetap setiap tahunnya selama periode 2005 – 2009, jadi penulis mengambil struktur permodalan tahun terakhir (tahun 2009) yang dianggap sebagai struktur permodalan optimal perusahaan, yaitu terdiri dari 45 24,96% utang dan 75,04% ekuitas biasa. Artinya, setiap penambahan modal pada perusahaan terdiri atas 24,96% utang dan 75,04% ekuitas atau saham biasa. Setelah menentukan semua komponen WACC, yaitu rata-rata komponen biaya utang setelah pajak, biaya laba ditahan, dan proporsi struktur modal perusahaan, maka akan dapat menghitung WACC. Perhitungan WACC PT Astra International Tbk. dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel IV.3 : Biaya Modal Rata-rata Tertimbang (WACC) Berdasarkan hasil perhitungan WACC di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap penambahan satu rupiah pada modal PT Astra International Tbk. akan terdiri dari 24,96 sen utang dengan biaya setelah pajak sebesar 11,00%; dan 75,04 sen ekuitas biasa dengan biaya 23,03%. WACC bernilai 20,02%, artinya ekspektasi tingkat pengembalian yang diminta oleh investor utang maupun ekuitas sebesar 20,02%. Selama PT Astra International Tbk. tetap menjaga struktur permodalannya untuk selalu tepat pada sasarannya, dan sepanjang komponen biayanya tetap bernilai sama, maka biaya modal rata-rata tertimbangnya akan menjadi 20,02%. IV.3 Free Cash Flow to Firm Free cash flow to firm (FCFF) akan mencerminkan kas yang benar-benar tersedia untuk didistribusikan kepada para investor dan lebih relevan untuk 46 digunakan ketika mengestimasikan nilai dari suatu perusahaan. Nilai dari operasi sebuah perusahan akan bergantung pada seluruh arus kas bebas yang diharapkan di masa mendatang. Oleh karena itu, penulis melakukan perhitungan arus kas bebas (FCFF), yang kemudian akan dikombinasikan dengan biaya modal ratarata tertimbang untuk menentukan estimasi harga wajar saham. Data yang diperlukan untuk menghitung arus kas bebas berasal dari laporan keuangan PT Astra International Tbk. periode 2005 – 2009, komponen FCFF yaitu, laba operasi setelah pajak (EBIT (1 – T)), penyusutan dan amortisasi (depreciation and amortization), pengeluaran modal (capital expenditure), dan perubahan modal kerja (change in working capital). Berbeda dengan komponen FCFF lainnya, nilai EBIT (1 – T) tidak didapatkan secara langsung dari laporan keuangan perusahaan. Perhitungan EBIT dilakukan dengan menjumlahkan laba sebelum pajak penghasilan (profit befor e income tax) pada laporan laba rugi dengan beban bunga (interest expense). Kemudian dihitung nilai EBIT setelah pajak untuk tahun tersebut. Contoh perhitungan EBIT (1 – T) tahun 2005 sebagai berikut. EBIT 1 – T = laba sebelum pajak 2005 + beban bunga 2005 (1 – pajak (%) = Rp 8.205.759.000.000 + Rp 423.236.000.000 (1 – 22,82% = Rp 6.659.615.000.000 Grafik masing-masing komponen arus kas bebas dapat dilihat pada Gambar IV.3 di bawah ini. 47 Trillions Gambar IV.3 : Komponen FCFF Periode 2005 – 2009 14 12 10 8 6 4 2 0 ‐2 2005 EBIT (1 ‐ T) 2006 2007 Depre. & Amort. 2008 CapEx 2009 Chg. in WC EBIT (1 – T) perusahaan secara keseluruhan semakin meningkat dan naik tajam pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2008. Pada tahun 2006 terjadi penurunan nilai EBIT (1 – T) karena pendapatan perusahaan menurun sebesar 10% dari tahun 2005 yang diakibatkan menurunnya penjualan divisi otomotif sebesar 19% dan peningkatan 4% pada divisi non-otomotif. Untuk depreciation and amortization meningkat secara bertahap dari 2005 sampai dengan 2009. Capital expenditure bergerak seiring dengan EBIT (1 – T), apabila EBIT (1 – T) tinggi, maka capital expenditure juga nilainya tinggi, tetapi nilainya tidak melebihi EBIT (1 – T). Pada tahun 2005 capital expenditure hampir mendekati nilai EBIT (1 – T) atau nilainya cukup tinggi karena perusahaan mengalokasikan capital expenditure pada akuisisi 35% kepemilikan di PT Toyo Fuji Logistic Indonesia. Pada tahun 2008, capital expenditure juga naik cukup tinggi dari tahun sebelumnya karena dialokasikan pada peningkatan kepemilikan saham 48 pada PT M arga M andalasakti dari 34% menjadi 62,6%. Sedangkan untuk change in working capital nilainya berfluktuasi, pada tahun 2006 dan tahun 2009 modal kerja perusahaan bernilai negatif. Hal ini berarti perusahaan berhasil meningkatkan modal kerja sendiri lebih banyak daripada tahun sebelumnya, atau kegiatan operasi perusahaan berhasil menambah arus kas atau EBIT (1 – T). Data-data yang diperlukan untuk menghitung arus kas bebas tersedia pada laporan keuangan perusahaan, jadi dapat dengan mudah dilakukan perhitungan arus kas bebas setiap tahunnya. FCFF dihitung selama periode 2005 sampai dengan 2009. Berikut contoh perhitungan FCFF tahun 2005 dan tabel FCFF selama periode 2005 – 2009. FCFF = EBIT (1 - T) 2005 + Depreciation 2005 – Capital Expenditure 2005 – ∆ Working Capital 2005 FCFF = Rp 6.659.615.000.000 + Rp 1.597.296.000.000 – Rp 5.158.295.000.000 – Rp 2.519.000.000.000 = Rp 579.616.000.000 Tabel IV.4 : Free Cash Flow to Firm (FCFF) 49 Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa kas yang tersedia untuk didistribusikan kepada para investor berfluktuasi, namun di akhir tahun 2009 nilainya meningkat. Pada tahun 2005, FCFF nilainya kecil karena perusahaan melakukan beberapa pengeluaran modal (capital expenditure) yang cukup besar antara lain joint venture 50:50 dengan Toyota Financial Service Corporation of Japan pada 14 Oktober 2005, dan membeli 35% saham PT Toyo Fuji Logistic Indonesia pada 9 Desember 2005. Ketersediaan FCFF untuk didistribusikan kepada pemegang saham yang semakin meningkat merupakan salah satu faktor yang akan membuat investor baru tertarik untuk berinvestasi atau membeli saham PT Astra International Tbk. Setelah menghitung FCFF periode 2005 sampai dengan 2009, selanjutnya adalah menilai perusahaan dengan men-nilai sekarang-kan FCFF tahun 2010, yaitu FCFF tahun 2009 di tambahkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. IV.4 Estimasi Harga Wajar S aham Pada sub-bab sebelumnya telah dibahas mengenai biaya modal rata-rata tertimbang (WACC) sebesar 20,02% dan free cash flow to firm (FCFF) tahun 2009 yang akan digunakan untuk melakukan penilaian harga wajar saham PT Astra International Tbk. tahun 2010. M odel penilaian yang akan digunakan oleh penulis untuk mengestimasi harga wajar saham yaitu model penilaian FCFF. 50 IV.4.1 Price to Book Value (PBV) Pada perhitungan dengan model penilaian FCFF, akan didapatkan nilai buku saham pada tahun 2010, maka untuk mendapatkan nilai wajar sahamnya, harus diketahui rasio nilai pasar/nilai buku atau (PBV ratio) terlebih dahulu selama 5 tahun terakhir yaitu periode 2005 – 2009. Data yang diperlukan untuk melakukan perhitungan PBV ratio, yaitu harga pasar per lembar saham per Desember periode 2005 – 2009 yang dapat diperoleh melalui website umum, dan nilai buku per lembar saham yang diperoleh dari laporan keuangan perusahaan. Nilai buku per lembar saham atau sering disebut book value (BV) dihitung dengan melakukan pembagian antara jumlah ekuitas perusahaan dengan jumlah saham beredar. Contoh perhitungan nilai buku per saham tahun 2005. Nilai buku per lembar saham 2005 = = Ekuitas saham biasa 2005 Jumlah saham beredar 2005 Rp 20.424.345.000.000 = Rp 5.045 4.048.355.314 Nilai buku per lembar saham tahun 2005 sebesar Rp 5.045 artinya nilai aset perusahaan yang secara teoritis akan diterima pemegang saham jika perusahaan tersebut dijual atau dilikuidasi sebesar Rp 5.045 per lembar saham. Untuk nilai buku per lembar saham tahun 2006 – 2009 dilakukan dengan cara yang sama seperti di atas. Setelah itu dilakukan perbandingan dengan harga pasar aktualnya atau menghitung PBV ratio. Contoh perhitungan PBV ratio tahun 2005. PBV ratio 2005 = = Harga pasar per lembar saham 2005 Nilai buku per lembar saham 2005 Rp 10.200 = 2,02 Rp 5.045 51 PBV ratio tahun 2005 sebesar 2,02 yang artinya nilai pasar saham harganya 2,02 kali daripada harga bukunya, perusahaan memiliki nilai/citra yang bagus dalam bisnisnya yang tercermin dalam harga saham perusahaan. Untuk perhitungan PBV ratio tahun 2006 – 2009 sama seperti perhitungan di atas. Berikut ini tabel PBV ratio selama lima tahun terakhir (periode 2005 – 2009). Tabel IV.5 : PBV ratio 2005 – 2009 Pada tabel di atas, diketahui bahwa pada tahun 2007, perusahaan memiliki harga pasar yang bagus yaitu 4,10 kali dari nilai bukunya. Namun, pada tahun 2008, perusahaan terkena dampak krisis global sehingga PBV ratio menurun menjadi 1,29 dan merupakan PBV ratio terkecil selama periode 2005 – 2009. Pada tahun 2009 harga pasar saham perusahaan mulai meningkat sampai dengan saat ini. Rata-rata PBV ratio selama periode 2005 – 2009 yaitu 2,75. IV.4.2 Tingkat Pertumbuhan FCFF Selain PBV ratio, untuk melakukan penilaian harga wajar saham, penulis harus menentukan tingkat pertumbuhan FCFF berdasarkan scenario growth yang telah dipilih dan dibahas pada awal bab IV ini. Penulis telah memilih skenario 52 stable growth dimana tingkat pertumbuhan perusahaan lebih kecil atau maksimal sebesar tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2010. Pada dasarnya pertumbuhan FCFF jarang sekali melewati pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, maka pertumbuhan FCFF diasumsikan sama dengan pertumbuhan ekonomi. Penulis melakukan estimasi harga wajar saham pada awal tahun 2010 dan juga pada awal April 2010 Pada awal Januari 2010, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2010 sebesar 5,00% – 5,50% dengan tingkat inflas i 5% – 6% selama tahun 2010. Oleh karena itu, penulis menggunakan tingkat pertumbuhan maksimal sebesar 5,50% untuk mengestimasi harga wajar saham awal tahun 2010. Pada April 2010, Bank Indonesia juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2010 berkisar antara 5,50% – 6,00%. Oleh karena itu, penulis menggunakan tingkat pertumbuhan 6,00% untuk mengestimasi harga wajar saham awal April 2010. IV.4.3 Estimasi Harga Wajar S aham Awal 2010 Setelah mengetahui tingkat pertumbuhan FCFF yang diharapkan untuk tahun selanjutnya, maka dalam estimasi harga wajar saham dengan model penilaian FCFF, penulis melakukan perhitungan secara bertahap. Pertama-tama, penulis melakukan perhitungan nilai perusahaan berdasarkan FCFF tahun 2009 yang tumbuh sesuai dengan tingkat pertumbuhan yang diharapkan, kemudian dibagi dengan selisih WACC dengan tingkat pertumbuhan tersebut. Perhitungan nilai perusahaan sebagai berikut. 53 Nilai perusahaan Jan 2010 = = FCFF 2009 x (1 + tingkat pertumbuhan FCFF) (WACC – tingkat pertumbuhan FCFF) Rp 9.320.964.000.000 x (1 + 5,50%) (20,02% – 5,50%) = Rp 67.703.656.000.000 Nilai perusahaan PT Astra International cukup tinggi, nilai ini mencerminkan nilai perusahaan yang memiliki proyeksi arus kas yang besar untuk didistribusikan kepada kreditor dan pemegang saham. Nilai perusahaan ini juga merupakan prospek ke depan perusahaan yang akan tercermin dalam harga sahamnya yang semakin tinggi. Nilai perusahaan merupakan total dari kewajiban dan ekuitas yang terdapat pada perusahaan tersebut, maka untuk mendapatkan nilai ekuitas biasa, total nilai perusahaan harus dikurangkan dengan book value (BV) utang tahun 2009 sebesar Rp 40.006.000.000.000. Nilai ekuitas biasa tersebut merupakan nilai yang tersisa bagi pemegang saham. Semakin besar nilai ekuitas biasa, maka semakin besar estimasi harga buku saham perusahaan tersebut. Estimasi harga buku saham tahun 2010 merupakan hasil bagi antara nilai ekuitas biasa dengan jumlah saham yang beredar. Jumlah saham yang beredar dari tahun 2005 sampai dengan 2009 jumlahnya tetap yaitu 4.048.355.314 lembar saham. Perhitungan nilai ekuitas biasa dan estimasi harga buku saham tahun 2010 dengan tingkat pertumbuhan FCFF 5,50% adalah sebagai berikut. Nilai ekuitas biasa Jan 2010 = Nilai perusahaan Jan 2010 – Total kewajiban = Rp 67.703.656.000.000 – Rp 40.006.000.000.000 = Rp 27.697.656.000.000 Estimasi harga buku saham Jan 2010 = Nilai ekuitas biasa Jan 2010 Jumlah saham beredar 54 = Rp 27.697.656.000.000 = Rp 6.842 4.048.355.314 Estimasi harga buku saham berdasarkan model penilaian FCFF sebesar Rp 6.842 per lembar saham atau mengarah ke Rp 6.850 per lembar saham. Untuk mendapatkan harga wajar saham, maka estimasi harga buku saham harus dikalikan dengan rata-rata PBV ratio sebesar 2,75. Perhitungan estimasi harga wajar saham awal 2010 sebagai berikut. Harga wajar saham Jan 2010 = Estimasi harga buku saham Jan 2010 x PBV ratio = Rp 6.850 x 2,75 = Rp 18.870 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka estimasi harga wajar saham di awal 2010 sebesar Rp 18.870 per lembar saham atau mengarah ke Rp 18.900 per lembar saham. Harga wajar ini sangat berbeda jauh dengan harga aktual awal Januari 2010 yaitu sebesar Rp 35.300. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan asumsi yang digunakan oleh penulis dengan asumsi dari para investor marginal di pasar. Penulis berpandangan pesimis dan hati-hati dalam menentukan setiap perhitungan yang dipakai, sehingga menyebabkan harga wajar saham nilainya berada di bawah harga pasar. IV.4.4 Estimasi Harga Wajar S aham April 2010 Dalam mengestimasi harga wajar saham April 2010, pertama-tama dilakukan perhitungan FCFF berdasarkan laporan keuangan kuartal pertama tahun 2010 (belum diaudit). Kemudian, hasil FCFF kuartal pertama tahun 2010 tersebut ditambahkan dengan FCFF 2009 dan dikurangkan dengan FCFF kuartal 55 pertama tahun 2009 untuk mendapatkan FCFF selama setahun yang berakhir tanggal 31 M aret 2010. Tabel IV.6 : Perhitungan FCFF 2010 Dalam mengestimasi bulan April 2010, penulis menggunakan tingkat pertumbuhan FCFF sebesar 6,00%. Sama halnya seperti di atas, dalam estimas i harga wajar saham dengan model penilaian FCFF, penulis melakukan perhitungan secara bertahap. Pertama-tama, penulis melakukan perhitungan nilai perusahaan berdasarkan FCFF April tahun 2010 yang tumbuh sesuai dengan tingkat pertumbuhan yang diharapkan, kemudian dibagi dengan selisih WACC dengan tingkat pertumbuhan tersebut. Perhitungan nilai perusahaan sebagai berikut. 56 Nilai perusahaan Apr 2010 = = FCFF 2010 (Q1) x (1 + tingkat pertumbuhan FCFF) (WACC – tingkat pertumbuhan FCFF) Rp 9.372.036.000.000 x (1 + 6,00%) (20,02% – 6,00%) = Rp 70.835.745.000.000 Nilai perusahaan PT Astra International cukup tinggi pada April 2010 dibandingkan dengan Januari 2010, nilai ini mencerminkan keadaan perusahaan yang semakin baik di tahun 2010. BV utang tahun 2009 dan jumlah saham yang beredar sama yaitu Rp 40.006.000.000.000 dan 4.048.355.314 lembar saham. Perhitungan nilai ekuitas biasa dan estimasi harga buku saham tahun 2010 dengan tingkat pertumbuhan FCFF 6,00% adalah sebagai berikut. Nilai ekuitas biasa Apr 2010 = Nilai perusahaan Apr 2010 – T otal kewajiban = Rp 70.835.745.000.000 – Rp 40.006.000.000.000 = Rp 30.829.745.000.000 Estimasi harga buku saham Apr 2010 = = Nilai ekuitas biasa Apr 2010 Jumlah saham beredar Rp 30.829.745.000.000 = Rp 7.615 4.048.355.314 Estimasi harga buku saham berdasarkan model penilaian FCFF sebesar Rp 7.615 per lembar saham atau mengarah ke Rp 7.600 per lembar saham. Untuk mendapatkan harga wajar saham, maka estimasi harga buku saham harus dikalikan dengan rata-rata PBV ratio sebesar 2,75. Perhitungan estimasi harga wajar saham April 2010 sebagai berikut. Harga wajar saham Apr 2010 = Estimasi harga buku saham Apr 2010 x PBV ratio = Rp 7.600 x 2,75 = Rp 20.936 57 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka estimasi harga wajar saham di April 2010 sebesar Rp 20.936 per lembar saham atau mengarah ke Rp 20.900 per lembar saham. Harga wajar ini sangat berbeda jauh dengan harga aktual awal April 2010 yaitu sebesar Rp 44.500. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan asumsi yang digunakan oleh penulis dengan asumsi dari para investor marginal di pasar. Penulis berpandangan pesimis dan hati-hati dalam menentukan setiap perhitungan yang dipakai, sehingga menyebabkan harga wajar saham nilainya berada di bawah harga pasar. Dari model penilaian FCFF yang diuraikan oleh penulis, dapat disimpulkan bahwa estimasi harga wajar saham A SII berkisar diantara Rp 18.900 – Rp 20.900. Ini merupakan harga wajar saham yang aman secara teoritis yang mengikuti tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010. Penulis berpandangan pesimis, oleh karena itu estimasi harga wajar saham ini merupakan harga minimum apabila perusahaan sedang dalam kondisi buruk (harga terburuk). Estimasi harga wajar saham menghasilkan angka tersebut apabila sampai akhir tahun 2010 PT Astra International Tbk. tidak melakukan stock split. Apabila perusahaan melakukan stock split, maka estimasi harga wajar saham nilainya akan semakin rendah. Stock split sudah diusulkan oleh beberapa pemegang saham perusahaan, namun perusahaan sampai dengan bulan Juni 2010 belum melakukan stock split. Hasil estimasi harga wajar saham ini berada dibawah harga aktualnya, karena penulis berpandangan pesimis dalam menentukan komponen perhitungan yang dipakai dalam model penilaian ini. Pelaku pasar cenderung menginginkan 58 harga yang lebih tinggi dari perkiraan riset, oleh karena itu, penulis menggunakan pandangan pesimis. Di samping itu, analisis ini hanya menggunakan analisis fundamental atau tidak dilengkapi dengan analisis teknikal, maka secara fundamental, nilai saham ASII meningkat sesuai pertumbuhan ekonomi. Dengan nilai saham yang lebih tinggi di pasar (overvalue), maka investor sebaiknya menjual saham ASII tersebut ataupun terus menahan saham tersebut sampai dengan harga pasar saham yang lebih tinggi, sehingga investor akan memperoleh capital gain yang lebih besar. 59