Seleksi Ideal Kandidat `Wakil Tuhan`

advertisement
VOL. VII NO. 3. NOVEMBER - DESEMBER 2012
MEDIA INFORMASI HUKUM DAN PERADILAN
Buletin Nov-Des 2012_Cover1.indd 1
LA
S PO
Pi ete RAN
l l
Di ar Mah E KHU
se A m S
pa & pa US
ka K t
ti Y
Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat
Telp : 021 390 6215, Fax : 021 390 6215, PO BOX 2685
e-mail : [email protected]
website : www.komisiyudisial.go.id
Seleksi Ideal
Kandidat
‘Wakil Tuhan’
12/10/2012 10:13:15 AM
VOL. VII - NO. 3. NOVEMBER - DESEMBER 2012
DAFTAR ISI
32 | LAPORAN KHUSUS
Setelah Empat Pilar
Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial
Disepakati
Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung menandatangani
empat peraturan bersama yang
menjembatani tugas-tugas
kedua lembaga. Bisa langsung
dipraktekkan.
14| LAPORAN UTAMA
Seleksi Ideal Kandidat ‘Wakil Tuhan’
Komisi Yudisial terus berusaha memperbaiki kualitas seleksi Calon Hakim
Agung. Sistem kamar yang diterapkan Mahkamah Agung menuntut seleksi
berdasarkan analisis kebutuhan.
4 | AKTUAL
43 | KOMPARASI
48 | KONSULTASI HUKUM
Ragam kegiatan internal maupun
eksternal Komisi Yudisial. Sosialisasi,
seminar, audiensi dan lain-lain.
Profil Singkat Komisi Yudisial di
Maroko, Mesir, Yordania, Libanon, dan
Palestina
Conflict of Interest
27 | SUDUT HUKUM
Mengenal Komisi Yudisial di Bumi
Arab
Mematri Idealisme dalam Pusaran
Godaan Suap
45 | INTERNASIONAL
Merajut Independensi Peradilan dalam
Skenario Perbaikan Kesejahteraan
Hakim
40 | LEBIH DEKAT
Anisah Shofiawati (Hakim PN Brebes)
Gagal Prediksi Gempa,
Dihukum Enam Tahun Penjara
Tidak seorang pun bisa membuat
predikasi akurat tentang gempa. Tetapi
di Italia, ilmuwan dihukum karena
memberikan informasi yang tidak
benar tentang gempa.
Hakim sebagai Pilihan Hidup
46 | RESENSI
Ada Apa
dengan Hukum
di Indonesia ?
Praktik-praktik penyelewengan
dalam penegakan hukum
seperti proses peradilan yang
diskriminatif, jual-beli putusan
hakim, atau tebang pilih kasus
merupakan realitas di negara ini.
50 | KALEIDOSKOP
Kaleidoskop 2012
Komisi Yudisial
58 | RELUNG
Kisah Elang
dan Kalkun
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
1
SEKAPUR SIRIH
Assalamualaikum. wr.wb
Pembina
Anggota Komisi Yudisial
Penanggung Jawab
Muzayyin Mahbub
Redaktur
Patmoko
Editor
Suwantoro
M. Yasin
Dewan Redaksi & Sekretariat
Arif Budiman
Adnan Faisal Panji
Aran Panji Jaya
A.J Day
Afifi
Arnis Duwita
Diah Purwadi
M. Ilham
M. Purwadi
Nur Agus Susanto
Prasita
Romlah Pelupessy
Penasehat Redaksi
Andi Djalal Latief
Hermansyah
Desain Grafis & Fotografer
Ahmad Wahyudi
Dinal Fedrian
Widya Eka Putra
Sirkulasi & Distribusi
Biro Umum
S
alah satu amanat konstitusi untuk Komisi Yudisial adalah mengusulkan
pengangkatan hakim agung ke DPR. Kalimat tersebut mungkin mudah
diucapkan namun tidak mudah untuk dilakukan. Ketika proses ini dilakukan
tentu sosok yang diusulkan harus mempunyai integritas serta kualitas yang
sangat baik dan tangguh. Oleh sebab itu sebelum Komisi Yudisial mengusulkan
pengangkatan hakim agung, lembaga ini terlebih dahulu menseleksi kandidatnya.
Proses seleksi tentu harus dilakukan seketat mungkin. Perintah konstitusi sebagaimana
disebutkan di atas mengingatkan bahwa proses pengusulan pengangkatan hakim
agung di masa lalu butuh diperbaiki. Maka menjadi kewajiban Komisi Yudisial untuk
melaksanakan perintah konstitusi itu dengan sebaik-baiknya. Karena konstitusi
secara tersirat menaruh asa pada lembaga ini memperbaiki proses pengusulan
pengangkatan hakim agung terdahulu.
Sebuah analogi sederhana dapat dibuat. Profesi hakim termasuk di dalamnya
hakim agung dijuluki dengan sebutan “wakil Tuhan”. Komisi Yudisial diberi tugas
mengusulkan pengangkatan hakim agung. Maka konklusinya Komisi Yudisial diberi
wewenang mengusulkan pengangkatan “wakil Tuhan”. Bacalah analogi tersebut
dalam-dalam dan rasakan bagaimana luar biasanya wewenang itu. Bersandar pada
argumentasi di atas maka pembaca kali ini akan disuguhkan laporan utama mengenai
proses seleksi calon hakim agung oleh Komisi Yudisial. Dengan gamblang akan
dijelaskan apa saja yang dilakukan Komisi Yudisial dalam menjalankan wewenang yang
satu ini .
Sementara dalam rubrik laporan khusus menyajikan ulasan mengenai empat
Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang sudah ditandatangani.
Hal tersebut merupakan momen positif bagi hubungan kedua lembaga dan
diharapkan mensinergikan keduanya untuk kepentingan peradilan yang agung dan
berwibawa.
Buletin ini merupakan edisi penghujung tahun. Guna mengingatkan kembali
momen-momen yang dilalui Komisi Yudisial tahun ini redaksi menghadirkannya
dalam bentuk kaleidoskop. Seiring berjalannya waktu menuju tutup tahun Redaksi
mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru 2013. Mari kita lakukan perubahan besar
dan positif di tahun depan.
Selamat Membaca.
Alamat Redaksi
Komisi Yudisial
Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat
PO.BOX 2685
Telp: (021) 390 6215
Fax: (021) 390 6215
e-mail: buletin@komisiyudisial. go.id
website: www.komisiyudisial. go.id
2
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
AKTUAL
SELAMAT ATAS KERJA SAMA
Komisi Yudisial, Mahkamah Agung,
Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,
Kementerian Sekretariat Negara
Sehingga Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94
Tahun 2012 Tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada
di Bawah Mahkamah Agung Berhasil Disahkan.
HAKIM SEJAHTERA
PROFESIONAL BEKERJA
PERILAKUNYA TERJAGA
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
3
Pelantikan pejabat struktural eselon II,
III, dan IV sesuai struktur organisasi baru
Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial.
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ JAYA
AKTUAL
Struktur Baru Sekretariat Jenderal Komisi Yudisal
Pelaksanaan Tugas
Harus Lebih Optimal
Amanat tugas-tugas baru Komisi Yudisial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2011 merupakan faktor utama perubahan struktur organisasi. Ketua Komisi
Yudisial Eman Suparman menghimbau agar pegawai dan pejabat di lingkungan
Komisi Yudisial ikhlas dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing.
B
erselang hampir setahun setelah
disahkannya Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial, struktur organisasi Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial turut mengalami
perubahan.
Struktur organisasi Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial saat ini diatur
dengan Peraturan Presiden Nomor 68
4
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
Tahun 2012 menggantikan Peraturan
Presiden Nomor 75 Tahun 2005. Peraturan
presiden itu dijabarkan lebih detil dengan
Peraturan Sekretaris Jenderal Komisi
Yudisial Nomor 04 Tahun 2012 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial.
Perubahan struktur organisasi ini
mencakup penambahan 1 biro, 3 bagian,
dan 8 sub bagian serta perubahan
nomenklatur. Biro Perencanaan dan
Kepatuhan Internal menjadi biro baru
dalam struktur organisasi Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial, sehingga
Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial
total memiliki enam biro.
Guna memaksimalkan
pelaksanaan tugas dan fungsi struktur
baru, dilakukan pelantikan sekaligus
rotasi pejabat struktural eselon II,
III, dan IV tanggal 31 Oktober 2012
bertempat di Auditorium Komisi
STRUKTUR ORGANISASI SEKRETARIAT JENDERAL KOMISI YUDISIAL
SEKRETARIAT JENDERAL
BIRO REKRUTMEN,
ADVOKASI DAN
PENINGKATAN KAPASITAS
HAKIM
BIRO PENGAWASAN
PERILAKU HAKIM
BIRO INVESTIGASI
BIRO PERENCANAAN
DAN
KEPATUHAN INTERNAL
BIRO UMUM
PUSAT ANALISIS DAN
LAYANAN INFORMASI
BAGIAN
REKRUTMEN HAKIM
BAGIAN
PENGOLAHAN
LAPORAN
MASYARAKAT
BAGIAN
ANALISIS, PRODUKSI
DAN DOKUMENTASI
BAGIAN
PERENCANAAN
DAN HUKUM
BAGIAN
TATA USAHA
DAN KEPEGAWAIAN
BIDANG
ANALISIS
BAGIAN
ADVOKASI DAN
PENINGKATAN
KAPASITAS HAKIM
BAGIAN
PERSIDANGAN
DAN PEMERIKSAAN
BAGIAN
PENDALAMAN KASUS
DAN PENELUSURAN
REKAM JEJAK
BAGIAN
KEPATUHAN
INTERNAL
BAGIAN
KEUANGAN
BIDANG
DATA DAN LAYANAN
INFORMASI
BAGIAN
PERLENGKAPAN
DAN RUMAH TANGGA
BAGIAN
PEMANTAUAN
PERILAKU HAKIM
BAGIAN PENGHUBUNG,
KERJASAMA DAN
HUBUNGAN ANTAR
LEMBAGA
Yudisial. Pelantikan dipimpin oleh
Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial
Muzayyin Mahbub. Prosesi pelantikan
juga diisi dengan penandatanganan
pakta integritas tentang prinsip-prinsip
penyelenggaraan sistem pemerintahan
yang baik.
Dalam sambutan usai pelantikan
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman
menghimbau agar pegawai dan pejabat
di lingkungan Komisi Yudisial ikhlas
dalam menjalankan tugas dan fungsinya
masing-masing.
“Keikhlasan bekerja dibutuhkan
agar hasil yang dilakukan dapat tercapai
dengan optimal tanpa mengharapkan
imbalan kecuali keridaan Allah SWT. Hal
itu berlaku bagi pegawai negeri sipil di
Komisi Yudisial,” pesan Eman.
Sehari pasca pelantikan, dilakukan
konsolidasi pejabat struktural eselon
II, III, dan IV. Sekretaris Jenderal Komisi
Yudisial Muzayyin Mahbub mengatakan
perubahan struktur kesetjenan menuntut
pelaksanaan tugas yang lebih baik.
“Ini sesuai tugas pokok dan fungsi
masing-masing. Amanah harus diemban
dan dijaga sebaik-baiknya,”kata Muzayyin
kepada para pejabat struktural di ruang
media Gedung Komisi Yudisial, (1/11).
Nasihat dari Ketua dan Sekretaris
Jenderal Komisi Yudisial ini ditanggapi
positif oleh salah satu pejabat yang
dilantik. Kepala Bagian Advokasi dan
Peningkatan Kapasitas Hakim Hamka
Kapopang mengatakan jabatan memang
sebuah amanat, bukan sesuatu yang
pantas untuk diminta-minta. Oleh karena
itu seseorang yang diamanati jabatan
harus ikhlas dan bertanggung jawab atas
pekerjaannya.
“Dia juga harus optimis dalam
menjalankan tugas,” tutur Hamka.
Terkait pekerjaannya sendiri sebagai
Kepala Bagian Advokasi dan Peningkatan
Kapasitas Hakim Hamka mengungkapkan
akan berusaha menghimbau masyarakat
agar tidak menjatuhkan kehormatan
dan keluhuran martabat hakim.
“Komisi Yudisial tidak ikhlas bila hakim
dilecehkan,” ucapnya. (Agus)
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
5
AKTUAL
Akreditasi Jurnal Yudisial
Kepedulian LIPI untuk Putusan
Hakim yang Berkualitas
Jurnal Yudisial yang
berisi analisis putusan
hakim mendapatkan
sertifikat akreditasi dari
LIPI. Komponen penilaian
tertinggi diberikan pada
kriteria substansi isi jurnal
dengan nilai 25,5.
S
alah satu publikasi yang diterbitkan
Komisi Yudisial yaitu Jurnal Yudisial
mendapatkan status terakreditasi
dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). Status itu diberikan
dengan Keputusan Kepala Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor
893/E/2012.
Pemberian salinan Keputusan
Kepala LIPI dan sertifikat akreditasi
dilakukan di Pusbindiklat Peneliti LIPI,
Cibinong, Bogor, Selasa (30/10) oleh
Sekretaris Utama LIPI Djusman Sajuti.
Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial
Patmoko menerima langsung pemberian
sertifikat akreditasi tersebut.
Kepala Pusbindiklat Peneliti LIPI
Enny Sudarmonowati mengatakan,
pemberian status akreditasi ini
merupakan hasil sidang periode III untuk
akreditasi majalah ilmiah yang dilakukan
pada September 2012.
6
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
"Pada periode ketiga ini terdapat
14 majalah ilmiah yang mengajukan
usulan akreditasi, terdiri dari 7 majalah
mengajukan usul akreditasi baru dan
7 majalah mengajukan usul akreditasi
ulang. Kesemua usulan ini berasal dari
11 instansi," kata Enny.
Hasil sidang penilaian akreditasi
kemudian memutuskan 7 majalah
ilmiah yang terakreditasi , 4 diantaranya
memperoleh akreditasi ulang dan 3
lainnya memperoleh akreditasi baru.
Masa berlaku akreditasi majalah ilmiah
ini selama tiga tahun.
"Tetapi ini akan terus dimonitor.
Setelah akreditasi, dua edisi harus
diserahkan ke kami, nanti kami cek
dan akan ada peringatan keras bagi
yang nilainya mepet-mepet ke batas
minimum nilai akreditasi yaitu 70.
Kalau misalnya tidak ada perubahan
bisa dicabut akreditasinya. Jadi jangan
mengira setelah mendapat akreditasi
langsung bisa bertahan selama tiga
tahun," tegas Enny. Enny menambahkan,
sampai dengan Oktober 2012 total
majalah ilmiah yang terakreditasi oleh
LIPI mencapai 177.
Total nilai yang diperoleh Jurnal
Yudisial dalam proses akreditasi ini
sebesar 78,25. Penilaian tertinggi
diberikan pada kriteria substansi dengan
nilai 25,5. Pemimpin redaksi Jurnal Yudisial
menyambut gembira status ini. "Kita baru
pertama mengajukan dan mendapat nilai
substansi yang bagus," ucap Patmoko. Ia
berharap dengan terakreditasinya Jurnal
Yudisial maka minat untuk menulis di
jurnal ini khususnya bagi akademisi akan
meningkat. Sehingga, pengalaman pahit
di masa lalu seperti tidak terbitnya jurnal
pada 2009 tidak terulang.
"Karena kita sudah punya sumber
dana, sumber daya manusia, dan
ilmiah tentang analisis terhadap putusan
hakim. “Putusan hakim sekarang ada
saluran kritisnya melalui Jurnal Yudisial
yang telah terakreditasi," ucapnya.
Ketua Panitia Penilai Majalah
Ilmiah (P2MI) LIPI Rochadi pada
kesempatan yang sama mengatakan
redaksi majalah ilmiah harus
memperhatikan beberapa hal agar
status akreditasinya tetap terjaga.
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
sumber-sumber naskah yang akan
bermunculan yang jumlahnya relatif
lebih banyak. Sehingga memudahkan
kita menentukan hal-hal yang berkait
substansi judul pada Jurnal Yudisial
yang akan datang,” tukas Kepala Pusat
Analisis dan Layanan Informasi Komisi
Yudisial ini.
Namun demik ian, diakui
Patmoko masih ada kelemahan dalam
Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial Patmoko menerima sertifikat akreditasi dari
Sekretaris Utama LIPI Djusman Sajuti.
proses penyusunan Jurnal Yudisial
terutama dokumentasi korespondensi
terbitnya suatu naskah. Dokumentasi
korespondensi yang selama ini belum
tertata baik itu dinilainya bakal
membuat kesulitan kaitannya dalam
pengajuan akreditasi yang akan
datang. Oleh karena itu penatausahaan
korespondensi antara penulis dan
redaksi akan dilakukan secara tertib,
tekadnya.
Dengan terak reditasinya
Jurnal Yudisial, ia melanjutkan,
mudah-mudahan putusan hakim akan
lebih bagus dan berkeadilan. Karena,
Jurnal Yudisial berisikan karya tulis
Petunjuk penulisan yang lengkap dan
jelas merupakan salah satunya. Dengan
petunjuk penulisan yang lengkap
dan jelas akan memudahkan penulis
untuk memasukkan tulisannya serta
memudahkan redaksi dalam proses
editing dan lainnya.
"Perbedaan tugas penyunting
dengan mitra bestari juga harus jelas.
Kalau untuk masalah redaksional dan
gaya penulisan agar sesuai kaidah karya
tulis ilmiah adalah tugas penyunting.
Sedangkan mitra bestari adalah suatu
pakar yang dimintakan penelahan
apakah karya ilmiah ini orisinal dan
komprehensif," ujar Rochadi.
Derajat kemajuan bangsa
Sementara, Sekretaris Utama LIPI
Djusman Sajuti dalam sambutannya
saat penyerahan sertifikat akreditasi
menyebutkan, semakin banyak artikel
yang ditulis dan dipublikasikan dalam
majalah ilmiah menunjukkan semakin
tinggi derajat kemajuan bangsa itu.
Ia mengutip catatan dari
Journal and Country Range tentang
daftar peringkat 236 negara
di seluruh dunia dilihat dari
produktivitas dan kualitas
publikasi internasional.
Amerika Serikat menempati
posisi pertama dengan jumlah
dokumen lebih dari lima
juta. Cina, Jepang, dan India
menjadi wakil Asia yang masuk
sepuluh besar. Singapura
menjadi negara di ASEAN yang
tertinggi peringkatnya yaitu
urutan 32. Sementara Thailand
dan Malaysia berada di posisi
42 dan 43.
"Lalu dimana posisi
Indonesia? Indonesia berada
di peringkat ke-65. Publikasi
ilmiah yang dihasilk an
Indonesia disebutkan hanya 12
ribuan. Dengan jumlah kutipan
tidak sampai 10 per artikel.
Sehingga kita masih jauh bila
ingin disebut negara berbasis ilmu
pengetahuan," kata Djusman. Oleh sebab
itu Djusman sangat berharap publikasi
ilmiah yang dihasilkan Indonesia
semakin bertambah jumlahnya dan
semakin meningkat kualitasnya.
"Bu Enny tadi mengatakan
bahwa jumlah total majalah ilmiah
yang terakreditasi sampai Oktober
2012 jumlahnya 177. Kalau kita lihat
dari segi jumlah mungkin banyak. Tetapi
kalau kita lihat sebagai media bagi para
peneliti ini masih sangat kurang. Kita
seharusnya masih butuh 800 jurnal,"
imbuhnya. (Dinal)
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
7
AKTUAL
Penghargaan Pengelolaan Barang Milik Negara
Buah Kedisiplinan Komisi Yudisial
Mengelola Barang Milik Negara
†† DOC. DJKN-KEMENKEU
Penerima penghargaan ini adalah insan-insan yang institusinya
menjaga barang milik negara, baik itu inventarisasi, penilaian,
utilisasi, maupun dalam bentuk pemeliharaan. Mereka layak
disebut negarawan, kata Menteri Keuangan.
Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Muzayyin Mahbub (paling kanan
bawah) menerima penghargaan Barang Milik Negara Awards.
K
omisi Yudisial meraih juara
pertama ajang Barang Milik
Negara (BMN) Awards yang
diselenggarakan Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian
Keuangan. Kategori penilaian yang
dimenangkan Komisi Yudisial adalah
utilisasi barang milik negara kelompok
kementerian/lembaga dengan jumlah
unit kuasa pengguna barang sampai
dengan 10 unit kerja.
Penghargaan tersebut diberikan
langsung Menteri Keuangan Agus
D.W. Martowardojo kepada Sekretaris
Jenderal Komisi Yudisial Muzayyin
8
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
Mahbub disaksikan Direktur Jenderal
Kekayaan Negara Hadiyanto, Kamis
(1/11), di Aula Dhanapala Gedung
Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat.
Apresiasi ini diberikan
berdasarkan bobot penilaian 60%
untuk penggunaan BMN dan 40%
untuk pemanfaatan BMN. Penilaian
juga mempertimbangkan opini
pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan
Kementerian/Lembaga (LKKL). Penilaian
atas penghargaan ini berdasarkan
data tahun 2011 yang diperoleh dari
Direktorat BMN, Direktorat Pengelolaan
Kekayaan Negara dan Sistem Informasi,
ser ta Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL).
BMN Awards melibatkan
84 kementerian/lembaga
dengan mempertimbangkan
perbedaan
beban
masing-masing dalam
melaksanakan pengelolaan
BMN.
Menurut Hadiyanto,
pemberian apresiasi ini
diharapkan dapat memacu
kementerian/lembaga dalam
meningkatkan kinerja di
bidang pengelolaan BMN.
"Sinergi dan komitmen yang
kuat dan berkelanjutan antara
DJKN selaku pengelola barang
dan kementerian/lembaga
selaku pengguna barang perlu tetap
dijaga dalam rangka mewujudkan
pengelolaan kekayaan negara yang lebih
berkualitas, akuntabel dan transparan,"
kata Hadiyanto.
Sedangkan menurut Agus D.W.
Martowardojo, penerima penghargaan
ini adalah insan-insan yang institusinya
menjaga barang milik negara, baik itu
inventarisasi, penilaian, utilisasi, maupun
dalam bentuk pemeliharaan. "Mereka
mempunyai prestasi yang sangat
signifikan. Mereka betul-betul dapat
disebut negarawan," demikian ungkap
Menteri Keuangan. (Eka Putra)
Penandatanganan MoU
Menggandeng BNN Menjaga
Perilaku Hakim
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ WIRAWAN
Sebuah upaya dari Komisi
Yudisial dalam mencegah
penyalahgunaan narkoba di
kalangan hakim, sekaligus
memantau perilaku hakim
dalam persidangan tindak
pidana narkotika.
Ketua Komisi Yudisial dan Kepala BNN
menandatangani nota kesepahaman.
K
ejahatan narkoba yang mulai
merambah ke aparat penegak
hukum termasuk hakim , menjadi
perhatian khusus bagi Komisi Yudisial.
Sejalan dengan visi Komisi Yudisial yaitu
terwujudnya Komisi Yudisial yang bersih,
transparan, partisipatif, akuntabel, dan
kompeten dalam mewujudkan hakim
bersih, jujur dan profesional, Komisi
Yudisial menggandeng Badan Narkotika
Nasional (BNN) untuk mempersempit
ruang gerak peredaran dan bisnis
narkoba.
Wujud kerja sama itu ditandai
dengan penandatanganan naskah
Memorandum of Understanding (MoU)
antara Komisi Yudisial dengan BNN dalam
bidang Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkoba (P4GN) termasuk didalamnya
proses persidangan kasus tindak pidana
narkotika dan precursornarkotika.
Penandatanganan MoU dilakukan di
Gedung Komisi Yudisial, Rabu (31/10).
Ketua Komisi Yudisial Eman
Suparman mengatakan MoU ini
membantu tugas Komisi Yudisial dalam
rangka menjaga dan menegakkan
keluhuran martabat serta perilaku
hakim. Komisi Yudisial menggandeng
BNN untuk menjaga perilaku hakim agar
tetap pada garis yang seharusnya mereka
lakukan dalam kasus-kasus tindak pidana
narkotika.
"Peristiwa ini sangat penting bagi
Komisi Yudisial karena pemberantasan
narkoba tidak bisa dilakukan sendirian,
untuk itu Komisi Yudisial sebagai penjaga
marwah hakim butuh kerja sama dengan
BNN," tambah Guru Besar Universitas
Padjadjaran ini.
Eman meminta sebelum mengajak
hakim menjaga marwahnya, Komisi
Yudisial harus introspeksi lebih dulu.
Komisi Yudisial harus terlebih dahulu
melakukan tes urine sebelum meminta
BNN melakukan hal yang sama di jajaran
Mahkamah Agung.
"Sebelum Komisi Yudisial minta
BNN tes urine di Mahkamah Agung,
Komisi Yudisial harus siap dites lebih
dulu," tambah Eman.
Sementara Ketua BNN Gories
Mere mengatakan MoU ini adalah wujud
nyata dan kebulatan tekad bersama
dalam rangka implementasi kebijakan
dan strategi nasional pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkoba tahun
2011-2015.
Selain itu MoU ini untuk
meningkatkan kerja sama dan sinergitas
antara Komisi Yudisial dan BNN untuk
bersama-sama mewujudkan Indonesia
bebas narkoba."Permasalahan narkoba
adalah permasalahan serius dan apabila
tidak ada penanganan sinergi dan
komprehensif maka bangsa Indonesia
akan mengalami kerugian yang sangat
besar karena akan kehilangan generasi
muda," ungkap Gories. (Jaya)
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
9
AKTUAL
Workshop Rapor Akuntabilitas Kinerja Pemerintah dan Yudikatif
Moralitas dan Integritas Pribadi Hakim
dalam Berkarier Sangat Diperlukan
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ JAYA
Penelaahan terhadap laporan masyarakat mengenai dugaan pelanggaran kode etik dan
pedoman perilaku hakim ke Komisi Yudisial mengindikasikan KKN yang dilakukan oknum
hakim dan aparat peradilan masih menjadi momok bagi citra peradilan.
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman menyampaikan pemikirannya dalam Workshop Rapor
Akuntabilitas Kinerja Pemerintah dan Yudikatif .
D
alamrangkamelakukanidentifikasi
akuntabilitas kinerja para
hakim sebagai penyelenggara
kekuasaan kehakiman, Komisi Yudisial
melakukan deteksi diantaranya melalui
laporan masyarakat yang masuk
mengenai dugaan pelanggaran kode etik
dan pedoman perilaku hakim.
Hasil temuan Komisi Yudisial
mengindikasikan bahwa korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) telah melibatkan
oknum hakim maupun aparat pengadilan
lainnya.
10
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
Oleh sebab itu Ketua Komisi
Yudisial Eman Suparman meminta para
hakim dan aparat pengadilan betul-betul
menjaga integritas dan moralitasnya
dalam menjalani karier. "Sesungguhnya
moralitas personal dan integritas diri
seorang hakim dalam menjalani karier
dan pengabdiannya sebagai aparatur
hukum sungguh sangat diperlukan,"
tegas Eman.
Eman menyampaikan
harapannya tersebut dalam
Workshop Rapor Akuntabilitas Kinerja
Pemerintah dan Yudikatif didukung
oleh USAID-Indonesia, di Hotel Clarion
Makassar, Senin (5/11).
K e t u a K o m i s i Yu d i s i a l
menambahkan laporan masyarakat
tentang dugaan pelanggaran kode
etik dan pedoman perilaku hakim yang
masuk ke Komisi Yudisial sampai dengan
Oktober 2012 berjumlah 1.237 laporan.
Dari jumlah itu sebanyak 477 laporan
sudah diregister. (Jaya)
Konsolidasi Nasional Pergerakan Mahasiswa Islam Putri Indonesia
Komisi Yudisial Mendukung
Eksistensi Perempuan
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ EKA
Dalam proses seleksi calon hakim agung Komisi Yudisial melakukan
penilaian yang objektif, transparan, dan akuntabel tanpa memandang jenis
kelamin. Hal itu juga berlaku dalam rekrutmen pegawai.
Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Muzayyin Mahbub berbicara mengenai kepemimpinan
perempuan dalam simposium konsolidasi nasional KOPRI PB PMII.
K
omisi Yudisial tidak akan
menghambat perempuan
untuk menjadi calon hakim
agung. Semua orang berhak untuk
mendaftarkan diri dan mengikuti
proses seleksi calon hakim agung tanpa
membedakan jenis kelamin. Ukuran
Komisi Yudisial dalam proses seleksi
calon hakim agung adalah penilaian
yang objektif, transparan, dan akuntabel,
bukan berdasarkan jenis kelamin.
Hal tersebut diucapkan
Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial
Muzayyin Mahbub dalam simposium
konsolidasi nasional Pergerakan
Mahasiswa Islam Putri Indonesia (KOPRI
PB PMII) di auditorium Komisi Yudisial,
Selasa (6/11).
Menurut Muzayyin, keberadaan
perempuan saat ini sangat dihargai
dan sejajar dengan kaum lelaki untuk
menjadi pemimpin atau peran strategis
lainnya.
“Terkait dengan keberadaan
Komisi Yudisial sebagai lembaga
negara yang salah satu wewenangnya
mengusulkan pengangkatan hakim
agung ke DPR, Komisi Yudisial tidak
akan menghambat perempuan untuk
menjadi calon hakim agung,” demikian
ungkap Muzayyin.
Dia menambahkan, dalam
merekrut pegawai pun Komisi Yudisial
tidak membeda-bedakan jenis kelamin
tetapi berdasarkan kapasitas dan
kemampuan calon pegawai melalui
serangkaian tes. Sehingga komposisi
pegawai Sekretariat Jenderal Komisi
Yudisial berdasarkan jenis kelamin
cukup seimbang.
Lebih lanjut Muzayyin mengajak
kepada seluruh kaum perempuan
khususnya KOPRI PMII berpartisipasi
dalam usaha memberantas mafia
peradilan, membantu wewenang Komisi
Yudisial dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim. “Apabila
menemukan adanya hakim yang diduga
melakukan pelanggaran kode etik dan
pedoman perilaku hakim maka dapat
dilaporkan ke Komisi Yudisial,” demikian
tutur pria kelahiran Brebes ini. (Eka
Putra)
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
11
AKTUAL
Capacity Building
Komisi Yudisial Harus Kompak
Jika Ingin Kuat
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ WIRAWAN
Sebuah kegiatan
diselenggarakan sebagai
sarana untuk mensolidkan
hubungan antar unit kerja di
Komisi Yudisial. Harapannya
kinerja Komisi Yudisial dapat
memenuhi amanat konstitusi
dan undang-undang.
Peserta capacity building Komisi Yudisial
berkumpul dan berfoto bersama
membangun keakraban.
S
ebuah organisasi yang
kuat meniscayakan adanya
kekompakan dan kebersamaan
antar elemen yang terdapat dalam
organisasi tersebut. Hal itu merupakan
rumus umum yang berlaku bagi lembaga
atau organisasi, tak terkecuali Komisi
Yudisial.
“A p a b i l a l e m b a g a i n i
kebersamaannya terus dibangun
dan suasana keterbukaannya terus
dijaga lembaga ini pasti akan kuat
dan besar. Tidak mungkin hanya
dengan tujuh anggota Komisi Yudisial
dan seorang Sekretaris Jenderal bisa
memenuhi amanat konstitusi dan
undang-undang.
Dibutuhkan kebersamaan
kita semua untuk memenuhi amanat
tersebut,” demikian dikatakan Ketua
Bidang Pengawasan Hakim dan
Investigasi Komisi Yudisial Suparman
Marzuki Jumat (19/10) saat dialog
terbuka antara pimpinan Komisi Yudisial
dengan karyawan Sekretariat Jenderal
12
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
dalam rangkaian kegiatan Capacity
Building Komisi Yudisial.
Menurut Suparman, proses
penguatan internal sebenarnya telah
dengan susah payah dibangun oleh
Komisi Yudisial era M. Busyro Muqoddas.
Selanjutnya, tambah dia, yang harus
dilakukan oleh Komisi Yudisial Jilid II
adalah mempertajam capaian Komisi
Yudisial Jilid I. Dia mencontohkan, saat
ini Komisi Yudisial tengah berusaha
menjalin kerja sama dengan Komisi
Yudisial di beberapa negara.
“Komisi Yudisial Indonesia
harus membuka diri agar betul-betul
mendapat tempat sebagai bagian dari
Komisi Yudisial internasional dan tidak
menjadi katak dalam tempurung,” tegas
mantan Ketua Pusham UII itu.
Jaja Ahmad Jayus, Ketua Bidang
SDM dan Litbang Komisi Yudisial
sependapat dengan Suparman. Menurut
Jaja, dalam suatu organisasi ghibah
dan fitnah seharusnya dijauhi. Apabila
organisasi ingin sehat maka segala
sesuatu yang menjadi permasalahan
harus disampaikan dengan terbuka dan
santun.
Penegasan tentang pentingnya
kebersamaan juga dilontarkan Abbas
Said Ketua Bidang Pencegahan dan
Pelayanan Masyarakat Komisi Yudisial.
Dia menginginkan agar kebersamaan
yang ada di Komisi Yudisial tak sekadar
lips service.
“Isu keakraban dan kekeluargaan
yang diangkat ini jangan hanya lips service
belaka tetapi harus menjadi kenyataan,”
ujar mantan hakim agung itu.
Kegiatan Capacity Building diikuti
seluruh elemen di Komisi Yudisial mulai
dari pimpinan, para ketua bidang, tenaga
ahli, pejabat eselon I, II, III, IV dan seluruh
karyawan sekretariat jenderal. Sekretaris
Jenderal Komisi Yudisial Drs. Muzayyin
Mahbub, M.Si mengatakan, kegiatan ini
merupakan agenda rutin tahunan yang
bertujuan memupuk dan mengokohkan
kebersamaan serta kekompakan antar
elemen di Komisi Yudisial. (Dinal)
Kesalehan sosial yang dilakukan
dengan berkurban dapat menjadi
cerminan kehidupan sehari-hari.
Pegawai Komisi Yudisial yang non
muslim turut menyumbangkan seekor
kambing.
Peringatan Idul Adha 1433 H
Berkurban Melintasi
Batas SARA
P
erayaan Idul Adha 1433 H di
kantor Komisi Yudisial, diisi
dengan pemotongan hewan
kurban, Senin (29/10) mulai pukul
07.30 WIB. Ketua Komisi Yudisial Eman
Suparman dalam sambutannya sebelum
pemotongan dilakukan mengatakan,
kesalehan sosial yang dilakukan dengan
berkurban dapat menjadi cerminan
dalam kehidupan sehari-hari, karena
bukan bulu atau darahnya yang sampai
kepada Allah SWT melainkan keihklasan
untuk berkurban.
Ketua Panitia Pemotongan
Hewan Kurban Komisi Yudisial tahun
2012, Roejito, menyampaikan jumlah
hewan kurban Idul Adha 1433 H di
Komisi Yudisial terdiri dari 3 ekor sapi
dan 4 ekor kambing.
“Jumlah ini berasal dari 25 orang
pemberi kurban. Selain itu terdapat satu
ekor kambing sebagai sedekah dari
Bendahara Komisi Yudisial yang non
muslim,” ujar Roejito yang juga Kepala
Bagian Perencanaan dan Hukum Komisi
Yudisial.
Usai pemotongan hewan kurban
terkumpul 448 paket daging sapi
dan 42 paket daging kambing yang
masing-masing berisi 1 kg daging
murni. Achmad Djaludin, salah satu
panitia pemotongan hewan kurban
mengatakan 42 paket daging kambing
dan 20 paket daging sapi diserahkan
kepada Panti Asuhan Yayasan Al
Kahfi, Jakarta Pusat. Selanjutnya, 150
paket daging sapi dibagikan kepada
warga di sekitar lingkungan kantor
Komisi Yudisial bekerjasama dengan
Ketua RT setempat. Selebihnya, hasil
pemotongan hewan kurban dibagikan
kepada petugas parkir di depan kantor
Komisi Yudisial, pegawai kantin, pegawai
kebersihan dan keamanan kantor Komisi
Yudisial. (Dinal)
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
13
LAPORAN UTAMA
Seleksi Ideal
Kandidat
‘Wakil Tuhan’
Komisi Yudisial terus berusaha memperbaiki
kualitas seleksi calon hakim agung. Sistem kamar
yang ditetapkan Mahkamah Agung menuntut seleksi
berdasarkan analisis kebutuhan.
14
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
S
ebagai wujud transparansi dan
akuntabilitas, Komisi Yudisial
mengumumkan secara resmi
ke publik 19 nama Calon
Hakim Agung (CHA) yang berhak ikut
tes wawancara, 21 November lalu. Tes
wawancara para kandidat ‘wakil Tuhan’
itu dilakukan pada 26-29 November 2012
secara terbuka. Ke-19 CHA itu sudah
melewati tahapan klarifikasi rekam jejak,
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
Dinal Fedrian
pemeriksaan kesehatan, tes kepribadian,
dan pembekalan.
Mek anisme seleksi yang
transparan dan terbuka semacam itu
selalu dilakukan dan sudah menjadi
komitmen Komisi Yudisial. Sebab,
proses seleksi di Komisi Yudisial pada
hakikatnya ditentukan melalui parameter
yang terukur. Prinsip keterbukaan dan
transparansi proses seleksi merupakan
bagian dari upaya menegakkan
independensi dan objektivitas penilaian.
“Segala pertimbangan yang bersifat
politis tidak kami perhatikan,” kata Ketua
Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial,
Taufiqurrohman Syahuri.
Apalagi proses seleksi CHA
merupakan amanat konstitusi yang
harus dipegang teguh Komisi Yudisial.
Pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang
merupakan hasil amandemen ke III dan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
mengamanatkan tugas mengusulkan
pengangkatan hakim agung, yang
kemudian dijabarkan ke dalam empat
tugas rinci yaitu melakukan pendaftaran,
melakukan seleksi, menetapkan, dan
mengusulkan CHA ke DPR. Itu berarti
proses seleksi bukan hanya berlangsung
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
15
LAPORAN UTAMA
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
Jumlah Pendaftar Seleksi CHA Periode 2006-2012
16
kompeten, formasi tidak
sesuai dengan kebutuhan,
Tahun
dan campur tangan pihak
Tahun Tahun
Tahun Tahun Tahun
Tahun
2008
luar. Hasil survei itu menjadi
Uraian
2006
2007
2009
2010
2011
2011-2012
dasar pengembangan
I
II
sumber daya manusia
Diajukan MA
54
30
23 48
42
13
50
73
hakim. Meskipun lebih
(karier)
menekankan pada seleksi
Diajukan
hakim tahap awal, survei
Pemerintah
itu juga merupakan potret
dan
76
29
49 25
37
40
57
38
umum untuk seleksi CHA
Masyarakat
(non karier)
sebelum 2004.
Keterlibatan Komisi
Jumlah
130
59
72 73
79
53
107
111
Yudisial diperkenalkan
Pendaftar
lewat Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004,
di Komisi Yudisial. Mahkamah Agung dan selaku kepala negara untuk mengangkat revisi atas aturan sebelumnya, Hal ini
DPR juga berperan besar. Mahkamah hakim agung berdasarkan daftar nama merupakan konsekuensi berlakunya
Agung merupakan salah satu institusi yang diusulkan oleh DPR. Mahkamah Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945
di samping pemerintah dan masyarakat Agung hanya sekadar memberikan hasil amandemen. Untuk setiap kursi
yang berhak mengajukan CHA untuk pertimbangan atas daftar nama yang hakim agung yang kosong diusulkan
mengikuti seleksi. Sementara DPR diusulkan DPR. Survei yang dilakukan tiga nama kandidat oleh Komisi Yudisial
berperan melakukan uji kelayakan dan Mahkamah Agung (2003) menunjukkan untuk diseleksi lagi di DPR.
Sejak 2006, sudah delapan kali
kepatutan terhadap CHA yang lulus adanya kelemahan sistem rekrutmen
seleksi dan diusulkan Komisi Yudisial.
hakim yaitu penentuan kelulusan proses seleksi CHA dilakukan. Jika
Keterlibatan Komisi Yudisial tidak jelas dan tidak terbuka, peminat ditotal, jumlah pendaftar seleksi yang
dalam proses seleksi dimulai pada 2006 yang berkualitas minim, perencanaan dilakukan Komisi Yudisial selama tujuh
silam. Sebelumnya, peran Presiden rekrutmen terpusat dan tidak melibatkan tahun berjalan sudah mencapai 684
dan DPR sangat besar. Pasal 8 ayat (1) pengadilan daerah, informasi rekrutmen orang. Tetapi sebenarnya, itu bukan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun kurang terbuka, persyaratan calon hakim jumlah riil karena ada kandidat yang
1985 tentang Mahkamah Agung tidak relevan dengan tanggung jawab beberapa kali mendaftar. Meski sudah
mengukuhkan kekuasaan presiden jabatan, pelaksana rekrutmen tidak gagal pada seleksi tahun sebelumnya,
yang bersangkutan tetap mencalonkan
diri ketika pendaftaran seleksi dibuka.
Angka pendaftar itu juga
memperlihatkan semakin luasnya
akses pencalonan hakim agung, dan
semakin beragamnya latar belakang para
kandidat. Di satu sisi, membuka peluang
bagi orang luar pengadilan menjadi
hakim agung memang mempersempit
ruang bagi hakim tinggi karir menjadi
hakim agung. Tetapi di sisi lain, akses
terbuka itu justru membuka hadirnya
hakim-hakim agung yang sesuai dengan
kebutuhan riil. Bagaimanapun proses
penanganan perkara membutuhkan
seorang hakim yang mengetahui
Proses pendaftaran seleksi calon hakim agung.
perkembangan ilmu hukum baik dari sisi
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
teori, hukum acara, maupun
informasi terbaru di bidang
hukum. Kasus-kasus riil
acapkali membutuhkan
kemampuan lebih hakim
agung untuk menanganinya
k arena tak bisa lagi
menggunakan paradigma
konvensional.
Dalam uji kelayakan,
kasus-kasus riil tersebut
biasanya diajukan. Para
calon diminta memberikan
analisis dan pendapat
hukum (legal opinion) atas
kasus yang diajukan Komisi
Yudisial. Hasilnya dinilai
oleh tim penilai karya tulis
profesional. “Dalam tes
kualitas calon hakim agung
diberikan soal untuk membuat putusan
hukum,” kata komisioner Komisi Yudisial
Taufiqurrohman Syahuri.
Proses seleksi sangat menentukan
hasil. Gambaran hakim agung yang ideal
menjadi cermin dalam menentukan
syarat-syarat kelulusan dan mekanisme
seleksi. Potret ideal itu bisa dilihat dari
berbagai sisi. Misalnya dari norma
perilaku hakim yang diinginkan.
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
sudah sepakat pada 10 norma dasar
perilaku hakim, yaitu adil, jujur, arif dan
bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi,
bertanggung jawab, menjunjung tinggi
harga diri, berdisiplin tinggi, rendah
hati, dan profesional. Gambaran ideal
itu kemudian dituangkan dalam semua
tahapan seleksi.
Untuk menuju ke tahap
independensi dan objektivitas yang lebih
baik, Komisi Yudisial terus melakukan
kajian dan pembahasan mekanisme
seleksi mengingat sampai saat ini seleksi
dilakukan setiap tahun.
Guna mencapai tujuan itu, Komisi
Yudisial tidak bekerja sendiri. Menurut
Heru Purnomo, Kepala Biro Rekrutmen,
Advokasi, dan Peningkatan Kapasitas
Klarifikasi calon hakim agung dengan mendatangi tempat kerjanya dan
menanyakan profil calon kepada rekan kerjanya.
Hakim ada tim teknis yang melibatkan
akademisi, praktisi, dan mantan hakim
agung. Mereka dilibatkan bukan saja
dalam menyusun soal-soal yang harus
diselesaikan, tetapi juga dalam proses
seleksi wawancara. Bahkan dalam seleksi
wawancara terbuka, tokoh hukum yang
dihadirkan berganti-ganti. Ada mantan
hakim agung, mantan hakim konstitusi,
guru besar ilmu hukum, dan ada pula
tokoh nasional.
Tak melulu teknis, hal substansial
yaitu regulasi juga terus disempurnakan.
Prosesnya termasuk meminta masukan
semua pemangku kepentingan. Regulasi
seleksi CHA terus diperbaiki mulai
dari 2006, 2007, 2008, hingga 2011.
Perubahan terakhir untuk menyesuaikan
dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2011.
Regulasi Komisi Yudisial teranyar
tentang seleksi calon hakim agung
memungkinkan hakim-hakim tingkat
pertama mencalonkan diri lewat jalur
non-karir asalkan mereka sudah bergelar
doktor dan punya pengalaman puluhan
tahun di bidang hukum. Meskipun ada
resistensi dari lingkungan Mahkamah
Agung, kebijakan itu sebenarnya
memberi peluang bagi hakim yang
punya pengetahuan dan berintegritas
tetapi dari sisi jenjang karir belum pernah
menjadi hakim tinggi.
Sistem Kamar
Proses seleksi pada tahun 2012 ini
berbeda dibanding sebelumnya. Analisis
kebutuhan menjadi pertimbangan
seiring pemberlakuan sistem kamar di
Mahkamah Agung.
Sejak 19 September
2011, Mahkamah Agung mulai
memperkenalkan sistem kamar bagi
hakim-hakim agung. Sistem kamar
adalah hasil pemikiran dan proses
panjang yang berangkat dari kondisi
empiris pelaksanaan fungsi Mahkamah
Agung.
Perangkat hukum pemberlakuan
sistem kamar adalah SK Ketua Mahkamah
Agung Nomor 142/KMA/SK/IX/2011
tentang Pedoman Penerapan Sistem
Kamar pada Mahkamah Agung, yang
kemudian diperbarui dengan SK Nomor
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
17
LAPORAN UTAMA
242,24 perkara per tahun, Fitria sampai
pada kesimpulan jumlah hakim agung
yang ideal adalah 75 orang. Tetapi ia
mengingatkan proses seleksi bukanlah
mengejar kuantitas jumlah hakim,
bukan pula mengejar jumlah putusan
yang berhasil diselesaikan setiap tahun.
Kualitas putusan jauh lebih penting, dan
karenanya kualitas hakim yang dihasilkan
dari seleksi juga harus berkualitas. Seleksi
yang berkualitas akan melahirkan hakim
yang berkualitas, dan seharusnya
berintegritas pula.
Menyadari hal itu Komisi Yudisial
juga akan menyesuaikan pola-pola
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ FAJAR
017/KMA/SK/II/2012. Ketua kamar dan
tim kelompok kerja juga sudah ditunjuk.
Dengan sistem ini, penanganan perkara
disesuaikan dengan kamar hakim. Hakim
agung bidang agama tak lagi diberi tugas
menangani perkara korupsi, atau hakim
peradilan militer memutus perkara
perceraian menurut agama.
Dalam diskusi terbatas tentang
sistem kamar yang digelar Lembaga
Advokasi untuk Independensi Peradilan
(LeIP), 27 September lalu, mantan Ketua
MA Harifin A Tumpa mengatakan tidak
mungkin sekarang ini seorang hakim
agung menguasai semua permasalahan
Tes kesehatan seleksi calon hakim agung Komisi Yudisial.
hukum. Hakim menangani perkara
sesuai kepakarannya. Latar belakang
hakim menjadi penting dalam konteks
ini, sehingga proses rekrutmennya juga
perlu menyesuaikan.
Fitria Irfanila, karyawan Komisi
Yudisial, dalam tesisnya di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia telah mengaitkan
seleksi CHA dengan analisis kebutuhan. Ia
berangkat dari jenis dan jumlah perkara
yang ditangani Mahkamah Agung lalu
melihat kebutuhan hakim agung ke
depan. Dengan 40,75 % rata-rata sisa
perkara setiap tahun, dan kemampuan
rata-rata per hakim memutus perkara
18
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
seleksi dengan kebutuhan sistem
kamar. Sehingga para kandidat dipilah
berdasarkan kamar pidana, kamar
perdata, kamar tata usaha negara,
kamar peradilan militer, dan kamar
agama. Bahkan ke depan bisa lebih
spesifik lagi ditambah kamar pidana
khusus, dan kamar perdata khusus.
Jadi, rekrutmen hakim didasarkan pada
kapasitas keilmuan dan bidang yang
digeluti CHA. “Komisi Yudisial sudah
mengarahkan kepada para calon untuk
memilih kamar, sehingga dalam seleksi
ini ada pembekalan per kamar-kamar,”
jelas Taufiqurrohman Syahuri.
Pembatasan
Semua masalah dan
perkembangan tata cara seleksi dibahas
dalam Rapat Pleno Komisi Yudisial.
Mekanisme seleksi telah dituangkan
dalam Peraturan Komisi Yudisial,
terakhir Peraturan Nomor 7 Tahun
2011. Namun ada hal-hal yang lebih
teknis dan spesifik dibahas Rapat Pleno
untuk kemudian diterapkan dalam
seleksi. Misalnya, jika sebelumnya
seleksi wawancara masuk tahap III,
kini menjadi tahap IV. Intinya, selalu
ada kemungkinan perkembangan yang
terjadi dalam setiap seleksi.
Salah satu contoh gagasan yang
berkembang di kalangan komisioner
adalah pembatasan kesempatan
mengikuti seleksi. Sebelum memutuskan
19 CHA lolos untuk mengikuti seleksi
wawancara pada November 2012,
Rapat Pleno Komisi Yudisial sempat
membahas kemungkinan pembatasan
itu. Ketua Komisi Yudisial, Eman
Suparman mengakui hingga kini
belum ada aturan yang membatasi
keikutsertaan seseorang dalam seleksi.
Proses pencalonan dari Mahkamah
Agung misalnya memungkinkan nama
yang sama diusulkan beberapa kali.
Faktanya, ada calon yang sudah dua tiga
kali mengikuti seleksi.
Menurut Eman, pembatasan itu
penting agar orang yang telah gagal
berkali-kali tak ikut seleksi lagi. Cuma,
praktiknya, ada masalah ketersediaan
sumber daya manusia. “Ke depan
mungkin harus ada pembatasan
keiikutsertaan seleksi calon hakim
agung agar tidak ada lagi orang-orang
yang berkali-kali gagal bisa ikut seleksi.
Mekanisme sedang kita susun,” kata
Ketua Komisi Yudisial itu.
Demi mendapatkan mekanisme
seleksi yang ideal penelitian juga
dilakukan terutama mengenai rekam
jejak hakim-hakim agung hasil seleksi
Komisi Yudisial yang kini bertugas di
Mahkamah Agung.
Ketat Dari Hulu
Sampai Hilir
Fajar Dewo
S
emula tanya jawab itu
berlangsung lancar. Hingga
ketika memasuki pertanyaan
ke 63. “Asas unus testis nullus testis
diatur dimana ya?”. Yang ditanya,
seorang perempuan, terdiam. Penanya
melanjutkan pertanyaan: apa artinya
actor sequitur forum rei? “Saya belum
pernah mendengarnya, Pak. Mungkin
ada istilah lain,” jawab yang ditanya
dengan polos.
Uji kelayakan menjadi tahap yang paling menentukan lolos
tidaknya CHA. Mekanisme seleksi diarahkan menghasilkan
hakim agung yang berintegritas dan berkualitas.
Nukilan tanya jawab itu bukan
cerita rekaan. Ini adalah cuplikan sebuah
tanya jawab yang berlangsung dalam
seleksi tahap wawancara terbuka di lantai
empat gedung Komisi Yudisial pada Selasa
pagi 1 Mei 2012 lalu. Ada 140 pertanyaan
yang diajukan panelis –terdiri dari tujuh
komisioner dan dua orang pewawancara
tamu—kepada seorang calon hakim
agung (CHA) dari jalur karier. Pertanyaan
tentang asas unus testis nullus testis dan
actor sequitur forum rei sebenarnya ingin
melihat pemahaman si calon tentang
hukum acara. Terkadang pertanyaan
yang diajukan ingin melihat wawasan
calon mengenai perkembangan hukum
terbaru.
Tes wawancara terbuka di Komisi
Yudisial adalah salah satu bagian dari
proses seleksi yang harus diikuti
CHA. Pemahaman tentang hukum
acara bahkan hanya bagian kecil dari
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
19
seleksi wawancara. Menurut
Taufiqurrohman Syahuri, ada
banyak tahapan yang harus
diikuti calon hakim agung.
Lolos dari satu tahapan
menjadi syarat untuk ikut pada
tahapan berikutnya.
Kalaupun berhasil
menjawab semua pertanyaan
mengenai pengetahuan
hukum, tak menjamin calon
lolos. Budiman Sanusi, Direktur
Psikologi Pengembangan
Sumber Daya Manusia
(PPSDM) Universitas Indonesia
mengatakan alur berpikir
bukan aspek dominan yang
dipertimbangkan dalam
penentuan lolos tidaknya CHA.
Aspek moralitas justru paling banyak,
yakni 30 % dari seluruh tahapan profile
assessment (lihat grafik). Integritas, yang
banyak dituntut dari para kandidat,
adalah bagian dari aspek moralitas.
“Setiap aspek memiliki persentase
tersendiri,” ujarnya.
Sudah beberapa kali PPSDM
dipercaya melakukan sebagian dari
tahapan seleksi CHA. Cara ini dilakukan
agar sesuai dengan kapasitas tim seleksi
dan menjaga objektivitas penilaian.
Menurut Kepala Biro Rekrutmen,
Advokasi, dan Peningkatan Kapasitas
Hakim Komisi Yudisial, Heru Purnomo,
tahapan seleksi sudah ditentukan dan
disusun dengan baik, termasuk tes
kepribadian yang diselenggarakan
PPSDM.
Ada beberapa tahapan
seleksi sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2011 dan Peraturan Komisi Yudisial
Nomor 7 Tahun 2011. Tahap pertama
adalah pengumuman pendaftaran
melalui media massa dan website
Komisi Yudisial. Diberikan waktu 15 hari
bagi kandidat yang memenuhi syarat
untuk mendaftar. Selanjutnya seleksi
persyaratan administrasi, seleksi kualitas,
20
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
LAPORAN UTAMA
Calon hakim agung menyerahkan karya profesi sebagai bagian dari
penilaian kualitas.
seleksi kepribadian, kesehatan, dan
pembekalan serta wawancara terbuka
hingga akhirnya diputuskan melalui
rapat pleno.
Seleksi kualitas terdiri dari menilai
kualitas putusan pengadilan, tuntutan
jaksa, pembelaan advokat, hasil karya
dan publikasi ilmiah akademisi dari calon
hakim agung; menilai kualitas karya
tulis yang ditentukan, yang dikerjakan
di tempat; menilai kualitas pendapat
hukum terhadap suatu kasus hukum
yang ditentukan oleh Komisi Yudisial.
Sementara seleksi kepribadian
terdiri dari penilaian diri (self assessment);
penelusuran rekam jejak (track record);
tes kepribadian (profile assessment).
Setiap tahapan sama pentingnya
d a n m e n j a d i p e n e nt u u nt u k
tahap berikutnya. Tetapi menurut
Taufiqurrohman Syahuri, bagian-bagian
dari tes terutama berkaitan dengan
kualitas dan integritas kandidat adalah
yang paling krusial. Tes kualitas dan
kepribadian memang tertutup, dalam arti
tak bisa diakses, tetapi pada tahap inilah
Grafik: Persentase Penilaian Tahap Profile Assessment
Seleksi Calon Hakim Agung
Alur Berpikir; 20%
Moralitas; 30%
Proses Berpikir; 20%
Kepribadian; 25%
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
yang banyak menentukan. Faktanya,
Cuma, Choky tetap mengBerdasarkan evaluasi pada dua uji
jumlah peserta akan turun drastis begitu garisbawahi pentingnya memfokuskan kelayakan dan kepatutan terakhir yang
memasuki tahap wawancara terbuka. diri pada kebutuhan yang diinginkan. dilakukan Komisi Yudisial, pertanyaan
Itu artinya banyak yang tak lolos dari uji Pada saat wawancara terbuka misalnya. bertele-tele masih sering diajukan. “Ada
Oleh karena waktu wawancara terbatas, baiknya penanya atau panelis dapat
kualitas dan kepribadian.
Komisi Yudisial tidak bekerja dan jumlah penanya banyak, maka lebih fokus untuk menanyakan hal-hal
sendiri menilai hasil seleksi. Sebuah tim seharusnya pertanyaan langsung to yang berkaitan dengan seleksi,” saran
teknis selalu dibentuk untuk memberi the point.
Choky.
penilaian, tim mana terdiri dari penilai
karya profesi, penilai karya tulis, penilai
Bagan: Tolok Ukur Uji Kelayakan Calon Hakim Agung
kepribadian, penilai kesehatan, dan
panel ahli.
Kualitas
Meskipun sebagian pekerjaan
• Putusan, tuntutan, pledoi, publikasi
ilmiah terdahulu
seleksi diberikan kepada lembaga
• Karya tulis di tempat
kompeten berdasarkan lelang, Komisi
• Legal opinion atas suatu kasus
Yudisial tetap melakukan pengawasan
agar jangan sampai proses seleksi itu
Wawancara
dipengaruhi faktor-faktor luar. Lolos
• Visi, Misi, dan Komitmen
• Hukum Acara
Kepribadian
Uji
dari tim teknis itu bukan berarti posisi
• Kode Etik dan Pedoman
• Penilaian diri
kelayakan
CHA aman. Masih ada tahapan yang tak
Perilaku Hakim
• Hasil rekam jejak
• Filsafat Hukum dan Teori
• Tes kepribadian
CHA
kalah penting, yaitu klarifikasi, misalnya,
Hukum
untuk mengetahui apakah calon adalah
• Wawasan Keilmuan
pembayar pajak yang patuh minimal tiga
tahun terakhir.
Selain pajak, Komisi Yudisial
Kesehatan
• Jasmanai
mengklarifikasi informasi yang diterima
• Rohani
berdasarkan penelusuran rekam jejak,
perilaku dalam keluarga dan lingkungan
sosial, asal usul kekayaan,
dan catatan calon selama
menjalankan profesi hukum.
Masyarakat Pemantau
Peradilan Indonesia (MaPPI)
Fakultas Hukum Universitas
Indonesia termasuk jejaring
Komisi Yudisial yang sering
melakukan pemantauan
seleksi dan penelusuran rekam
jejak para CHA. Ketua Harian
MaPPI Choky Ramadhan
menilai proses seleksi yang
dilakukan Komisi Yudisial
selama ini sudah cukup baik.
Apalagi melibatkan partisipasi
masyarakat, dan melakukan
wawancara terbuka. “Proses
seleksi yang dilakukan Komisi
Yudisial sejauh ini sudah cukup Tes penyelesaian kasus hukum seleksi calon hakim agung.
baik,” ujarnya.
21
LAPORAN UTAMA
Tanggung Jawab Moral Usai Seleksi
Dinal Fedrian
Pelantikan hakim agung
pertama setelah era Komisi
Yudisial.
S
eleksi Calon Hakim Agung
(CHA) di Komisi Yudisial
dilakukan secara ketat dan
menggunakan parameter yang dapat
dipertanggungjawabkan. Masyarakat
Pemantau Peradilan Indonesia
(MaPPI) Fakultas Hukum Universitas
Indonesia juga menilai proses seleksi
yang dilakukan Komisi Yudisial selama
ini sudah bagus. Selama delapan kali
melakukan seleksi, Komisi Yudisial
berusaha menghasilkan hakim agung
yang berkualitas dan berintegritas.
Hingga kini, sudah 26 hakim
agung yang lolos melalui seleksi di
Komisi Yudisial. Mereka adalah hakim
agung yang terpilih diantara ratusan
kandidat. Keterpilihan 26 orang hakim
agung selama 2006-2011 bukan hanya
hasil kerja Komisi Yudisial. Sebab, setelah
dari Komisi Yudisial, para kandidat
hakim agung juga harus mengikuti uji
kelayakan dan kepatutan di DPR. Hasil
pilihan DPR itu pula yang akhirnya
22
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ TATANG S
Jejak hakim-hakim agung
yang lolos melalui seleksi
di Komisi Yudisial akan
direkam. Sebagai wujud
pertanggungjawaban publik.
diserahkan dan kemudian diangkat
oleh Presiden.
Meskipun seleksi sudah dilakukan
seketat mungkin, dan melibatkan tim
lintas profesi, toh hasil kerja seleksi
belum tentu tanpa cacat. Apalagi seleksi
di Komisi Yudisial bukanlah hasil akhir,
karena masih ada proses uji kepatutan
dan kelayakan di DPR. Sehebat apapun
proses seleksi bukan jaminan seratus
persen kandidat yang lolos merupakan
hakim agung yang ideal. Kasus terakhir
yang menimpa hakim agung Achmad
Yamanie bisa dibaca dalam konteks ini.
Yamanie adalah salah seorang dari 26
hakim agung yang lolos melalui Komisi
Yudisial.
Seperti diketahui, hakim asal
Kalimantan Selatan itu sedang menjadi
sorotan dua bulan terakhir 2012
gara-gara perubahan vonis hukuman
mati terdakwa kasus narkotika Hanky
Gunawan. Yamanie menjadi anggota
majelis yang memutus perkara Hanky
di tingkat peninjauan kembali (PK).
Majelis PK mengubah hukuman mati
menjadi 15 tahun. Bahkan, menurut
Juru Bicara Mahkamah Agung Djoko
Sarwoko, ada tulisan tangan Yamanie
yang mengkorting vonis menjadi 12
tahun. Berbagai kalangan meminta
dugaan pemalsuan vonis ini diusut
aparat penegak hukum.
Komisi Yudisial tidak tinggal diam
dan terus mendorong agar Yamanie
diperiksa untuk membuktikan tudingan
miring. Komisi Yudisial berusaha agar
kasus ini ditangani bersama Mahkamah
Agung, sekaligus meminta Presiden
untuk tidak menerima pengunduran
diri Yamanie sebelum tudingan
miring terhadap yang bersangkutan
diklarifikasi.
Kasus ini membuktikan proses
seleksi bukan satu-satunya ukuran yang
menunjukkan seseorang berintegritas
atau tidak. Dengan kata lain, penelusuran
rekam jejak tidak hanya dilakukan pada
tetapi terutama juga terkait pada
kebutuhan pragmatis, mengingat
hakim-hakim agung yang memang
penting untuk diseleksi dalam waktu
dekat adalah untuk dua bidang hukum
ini. Dengan analisis yang lebih terfokus
dan mendalam, diharapkan hasil
penelitian dapat lebih bersentuhan
dengan kebutuhan perbaikan metode
seleksi calon hakim agung.
Penelitian ini bersifat eksploratif,
tidak ada hipotesis yang akan diuji. Justru
penelitian ini bertujuan menghasilkan
hipotesis yang dapat disumbangkan
bagi pengembangan desain penelitian
hakim yang profesional sekaligus figur
hakim yang diekspektasikan sebagai
agent of change.
Variabel kinerja para hakim
agung tersebut dalam lingkup organisasi
di Mahkamah Agung mencakup kinerja
yang tolok ukurnya terpantau dan
diterapkan di lingkungan Mahkamah
Agung. Misalnya kedisiplinan waktu
masuk kantor dan tingkat kehadiran
dalam rapat. Sedangkan variabel
integritas mencakup pergaulan di
lingkungan rumah atau pekerjaan lain
di luar Mahkamah Agung, misalnya
kampus.
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ TATANG S
saat seleksi CHA, tetapi juga setelah CHA
terpilih menjadi hakim agung. Program
penelusuran rekam jejak hakim agung
pilihan Komisi Yudisial merupakan
bentuk tanggung jawab moral.
Komisioner Komisi Yudisial,
Taufiqurrohman Syahuri, mengakui
tanggung jawab moral Komisi Yudisial
tidak berhenti begitu calon terpilih
menjadi hakim agung. Masih ada
tanggung jawab moral untuk melihat
rekam jejak para hakim agung, terutama
hasil pilihan Komisi Yudisial. “Komisi
Yudisial tetap mengawasi hakim agung
sampai pensiun,” ujarnya.
Choky Ramadhan juga
mendukung gagasan tersebut. Menurut
Ketua Harian MaPPI ini, Komisi Yudisial
perlu mengikuti rekam jejak hakim
agung yang dipilihnya. “Ini merupakan
bentuk tanggung jawab Komisi
Yudisial dalam melakukan tugasnya
untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan dan kelurahan martabat
hakim, sekaligus mengevaluasi proses
seleksi yang dilakukan Komisi Yudisial
sendiri,” pungkasnya.
Usul Choky ini tak bertepuk
sebelah tangan. Tahun 2011 dan sejak
September ini, tim litbang Komisi
Yudisial yang dikomandoi Ketua Bidang
SDM dan Litbang Jaja Ahmad Jayus
melakukan penelitian profesionalisme
hakim agung.
Dengan mempertimbangkan
faktor waktu, tenaga, dan biaya, subjek
penelitian ini dibatasi, dilakukan baru
terhadap 12 hakim agung hasil seleksi
yang diumumkan tahun 2006-2007.
Selanjutnya, putusan-putusan mereka
yang menjadi objek penelitian juga
dibatasi hanya dari periode tiga tahun
terakhir, yakni 2008, 2009, dan 2010.
Pembatasan lain adalah bidang perkara
dalam putusan hanya untuk perkara
pidana dan perdata.
Pembatasan ini tidak hanya
ditujukan untuk membuat analisis
menjadi lebih terfokus dan mendalam,
Hakim agung Achmad Yamanie ketika menjalani proses seleksi calon
hakim agung.
serupa pada periode berikutnya dengan
menjangkau subjek hakim yang lebih
luas dan objek putusan yang lebih
beragam.
Rumusan permasalahan dalam
penelitian ini adalah gambaran kinerja
para hakim agung dari sisi putusan,
kinerja, dan integritas yang dirangkum
sebagai potret profesionalisme.
Unsur putusan yang dikaji dibatasi
pada dua hal, yakni dimensi penalaran
hukum dan penemuan hukum. Dua
dimensi ini, selain lebih terukur, juga
lebih mudah diasosiasikan dengan sosok
Hasil dari penelitian ini akan
menjadi sumber referensi dalam
rangka laporan pertanggungjawaban
publik Komisi Yudisial sebagai institusi
pengawas eksternal perilaku hakim.
Penelitian ini juga diharapkan menjadi
desain awal bagi penelitian-penelitian
berikutnya yang ingin dikembangkan
oleh Komisi Yudisial dalam penelitian
kinerja hakim di Tanah Air.
Sumbangan lainnya, penelitian
ini dapat berguna bagi perbaikan
metode seleksi calon hakim agung pada
periode berikutnya.
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
23
LAPORAN UTAMA
Integritas dan Kualitas
Jadi Syarat Mutlak
Dinal Fedrian
24
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/EMRI
T
ahapan apa yang paling krusial
dalam proses seleksi calon
hakim agung Komisi Yudisial?
Kualitas, integr itas, dan
kesehatan. Dalam tes kualitas
calon hakim agung diberikan soal
untuk membuat keputusan hukum.
Kemudian juga diberikan soal tentang
permasalahan kode etik dan pedoman
perilaku hakim. Para calon juga
diharuskan membuat makalah di tempat
sesuai topik yang diberikan Komisi
Yudisial. Ditambah, hasil-hasil karya
profesi mereka seperti putusan bagi
hakim karier atau karya ilmiah seperti
hasil penelitian, publikasi, makalah
bagi mereka calon hakim agung non
karier. Kalau lulus dari tahap itu baru
masuk ke tes integritas. Rangkaiannya
adalah profile assessment, rekam jejak.
Tes Integritas dilakukan berbarengan
dengan tes kesehatan. Setelah lulus
tahap tes integritas dan kesehatan, baru
tes wawancara terbuka yang semua
orang boleh mendengar.
Apakah pelaksanaan seleksi
calon hakim agung disesuaikan dengan
kebijakan sistem kamar di Mahkamah
Agung?
I ya, sejak per tama saya
memimpin di rekrutmen saya sudah
memberi pilihan. Sebelum Mahkamah
Agung menerapkan sistem kamar kami
sudah mengarahkan kepada para calon
untuk memilih kamar-kamar. Sehingga
dalam seleksi ini ada pembekalan
per kamar-kamar. Masing-masing
kelas diberi materi sesuai dengan
kamarnya.
Taufiqurrohman Syahuri
Ketua Bidang Rekrutmen
Hakim Komisi Yudisial
Apakah tanggung jawab moral
Komisi Yudisial kemudian ketika
nama-nama calon hakim agung
diserahkan ke DPR sudah tuntas?
Iya, itu kewenangan DPR. Tapi
tanggung jawab moral ada. Jadi kita
mengharapkan DPR itu memilih sesuai
dengan penilaian Komisi Yudisial mana
yang lebih baik. Dari sisi ketatanegaraan
Komisi Yudisial tidak punya kewenangan
untuk mendikte DPR, sebaliknya DPR
juga tidak boleh mendikte Komisi
Yudisial mana saja yang harus diluluskan.
Meskipun didukung DPR kalau di
Komisi Yudisial dia gagal tes kualitas,
integritas dan kesehatan, tetap tidak
lolos. Masing-masing sudah punya
kewenangan dan fungsinya. Sesama bus
kota dilarang saling mendahului.
Bagaimana tanggung jawab
moral Komisi Yudisial terhadap para
calon hakim agung yang akhirnya
terpilih dan menempati posisi hakim
agung?
Kalau saya inginnya ada semacam
peningkatan kapasitas untuk hakim
agung. Misalnya diklat, seminar yang
khusus pesertanya hakim agung. Kita
hanya meningkatkan kapasitas kepada
hakim-hakim negeri dan hakim-hakim
tinggi. Padahal para hakim agung
perlu peningkatan kapasitas. Mereka
rutinitasnya membaca berkas, sementara
perkembangan ilmu mungkin tidak
intensif. Tujuannya agar ada semacam
pencerahan atau penyegaran bagi hakim
agung terutama kaitannya dengan
kasus-kasus yang aneh-aneh yang
muncul.
Apakah penting juga ketika kita
juga melihat kembali rekam jejak hakim
agung setelah terpilih?
Komisi Yudisial tetap mengawasi
hakim agung sampai pensiun. Semua
hakim agung diawasi oleh Komisi
Yudisial.
Apakah mungkin ada semacam
perbandingan rekam jejak sebelum
dia ikut seleksi calon hakim agung dan
terpilih menjadi hakim agung?
Itu harus melakukan penelitian.
Penelitian ini sedang dikerjakan Pak Jaja
(Komisioner Komisi Yudisial Bidang SDM
dan Litbang-red) terhadap lima hakim
agung pertama yang dipilih oleh Komisi
Yudisial.
Bagaimana pandangan Bapak
tentang hakim karier yang mengikuti
seleksi calon hakim agung melalui jalur
non karier karena sudah doktor?
Apakah salah kalau hakim itu
melalui pintu non karier? Apakah dia
harus tidak hakim dulu untuk ikut non
karier? Ini kan tidak ada aturannya. Dalam
undang-undang hanya dibagi persyaratan
untuk karier dan non karier.
Apakah calon hakim agung itu
seharusnya mengundurkan diri dulu?
Apa harus itu penafsirannya?
Kalau dibilang merusak pembinaan
saya juga bingung. Di sekolah saja
kalau memang ada siswa yang pintar
bisa langsung loncat kelas. PNS juga
begitu, anda masuk PNS dari jalur SMA.
Begitu anda kuliah dan menjadi sarjana
anda akan loncat pangkatnya. Jadi saya
merasa tidak merusak pembinaan, karena
para hakim tersebut sudah dibina oleh
perguruan tinggi menjadi doktor. Di dunia
akademis juga ada contohnya, seorang
dosen muda yang perkembangan
akademisnya signifikan sehingga cepat
menjadi doktor, begitu dia kembali
ke kampusnya mungkin dosen yang
lebih senior dibanding dia tetapi masih
bergelar master, bisa menjadi muridnya
ketika mengambil program doktor. Hakim
agung itu bukan karier, tetapi jabatan
publik yang dipilih DPR. Jabatan hakim
agung itu hak semua warga negara yang
memenuhi syarat.
Persiapan Optimal Setiap Seleksi
Fajar Dewo
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/EMRI
B
agaimana anda menyiapkan
hal-hal teknis seperti soal tertulis
dan psikotes seleksi CHA?
Komisi Yudisial membentuk
tim teknis yang terdiri dari akademisi,
praktisi, dan mantan hakim agung.
Tugas tim ini membantu Komisi Yudisial
menyusun soal kasus yang harus
diselesaikan oleh CHA dan melakukan
penilaian. Sedangkan, psikotes
dilakukan oleh konsultan SDM sebagai
pemenang lelang jasa assessment calon
hakim agung untuk melakukan profile
assessment terhadap CHA.
Untuk seleksi kepribadian, apa
yang ingin dilihat panitia?
Kami ingin mengetahui aspek
perilaku dari para calon hakim agung.
Selain itu diharapkan juga diperoleh
gambaran kemampuan/kompetensi
calon hakim agung (kemampuan
berinteraksi dalam kelompok organisasi,
kemampuan manajerial, kemampuan
mengambil keputusan dan kemampuan
kepemimpinan) yang dapat disajikan
secara terintegrasi sebagai dasar untuk
pertimbangan pengisian jabatan hakim
agung yang akan dikelolanya kemudian
hari.
Apakah kasus yang diselesaikan
calon setiap seleksi sama atau diubah
setiap tahun?
Kasus yang diselesaikan oleh
Heru Purnomo
Kepala Biro Rekrutmen, Advokasi,
dan Peningkatan Kapasitas Hakim
calon dalam setiap seleksi selalu
berubah mengikuti permasalahan yang
berkembang di masyarakat.
Untuk Seleksi Calon Hakim
Agung Tahun 2012 Periode II ini,
kasus yang diselesaikan terdiri dari
dua hal. Penyelesaian kasus hukum I
mengenai kasus pelanggaran kode etik
dan pedoman perilaku hakim. Jawaban
harus logis, argumentatif, runtut, dan
sistematis berdasarkan kode etik dan
pedoman perilaku hakim yang berlaku.
Sementara soal penyelesaian kasus
hukum ll, peserta harus menyusun
pendapat hukum dalam bentuk
putusan kasasi. Jawaban harus logis,
argumentatif, runtut, mempunyai dasar
hukum dan sistematis yang memuat
unsur-unsur suatu putusan pengadilan
sebagaimana diatur dalam hukum
acara.
Bagaimana kontrol Komisi
Yudisial terhadap setiap tahapan
seleksi?
Biro Rekrutmen, Advokasi dan
Peningkatan Kapasitas Hakim membuat
jadwal yang disusun sesuai dengan
tahapan yang telah ditetapkan UU
Nomor 18 Tahun 2011 dan Peraturan
KY Nomor 7 Tahun 2011 tentang Tata
Cara Seleksi Calon Hakim Agung.
Jadwal yang dibuat dalam kurun waktu
6 bulan untuk 1 kali seleksi mulai dari
pengumuman pendaftaran, seleksi
administrasi, seleksi kualitas, seleksi
rekam jejak, profile assessment, dan
pemeriksaan kesehatan serta terakhir
wawancara terbuka yang dilakukan
oleh komisioner dibantu tim panel ahli
dan negarawan hingga disampaikan
ke DPR. Jadwal seleksi CHA tersebut
ditetapkan melalui rapat pleno Komisi
Yudisial. Selain itu, Komisi Yudisial
membuka partisipasi masyarakat
seluas-luasnya untuk memonitor
pelaksanaan seleksi mulai awal sampai
akhir. Utamanya, terhadap rekam jejak
dan integritas calon hakim agung yang
bersangkutan. Partisipasi masyarakat
tersebut dapat disampaikan dengan
memberikan informasi atau pendapat
tertulis tentang integritas, perilaku, dan
karakter calon hakim agung.
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
25
LAPORAN UTAMA
Aspek Moralitas
Punya Porsi Besar
Fajar Dewo
†† DOC.PRI
B
Budiman Sanusi
Direktur PPSDM UI
Penegakan khusus dilihat
dari aspek-aspek pengukuran profile
assessment hakim yang sudah di
amanahi oleh komisioner Komisi
Yudisial, seperti aspek alur berpikir,
proses berpikir, kepribadian dan
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ FAJAR
agaimana pelaksanaan teknis
tes profile assessment Calon
Hakim Agung yang dilakukan
selama ini?
Kalau bicara teknis, maka yang
kita lakukan untuk profile assessment
bentuknya assessment center dengan
pendekatan multi assessor, multi tasks/
multi teknis dan multi approach.
Jadi peserta bukan hanya
diberikan bahan-bahan paper and pencil
tetapi juga diberikan in basket, dinamika
kelompok, presentasi dan wawancara,
itu yang membedakan profile assessment
dengan psikotest.
Kalau disebut psikotest tidak tepat
kami menyebutnya profile assessment
psychology (pemeriksaan psikologi yang
teknisnya dengan assessment center).
Apakah ada penegakan khusus
untuk setiap soal?
Suasana pelaksanaan salah satu rangkaian tes profile assessment calon
hakim agung.
26
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
moralitas dan masing-masing aspek
terdapat sub-aspek yang semua itu
diukur dengan teknis assessment
center.
Ta h a p - t a h a p p r o f i l e
assessment ini apa saja?
Tahap-tahap profile assessment
ini yaitu: mengerjakan paper and
pencil, mengerjakan in basket problem
(tugas-tugas/soal/permasalahan yang
menciptakan interpretasi konflik dan
multi tafsir yang bisa mengeluarkan/
menggali kemampuan proses berpikir,
logika berpikir, hati nurani dan
bagaimana mereka berpendapat).
Kemudian dinamika kelompok
yang dibagi dalam ruang-ruang kecil
dan setiap ruang ada dua assessor
lalu membuat bahan presentasi. Yang
terakhir adalah wawancara.
Apakah aspek integritas lebih
ditekankan daripada pengetahuan
dan kemampuan calon hakim agung
menganalisis kasus?
Aspek integritas itu masuk ke
dalam aspek moralitas. Pada setiap
aspek memiliki persentasi tersendiri.
Aspek alur berpikir 20%, proses berpikir
20%, kepribadian 25% dan moralitas
35%.
Te k n i s p e n i l a i a n n y a
bagaimana? Passing grade?
Teknis penilaiannya, dari semua
tahapan yang dilalui oleh peserta akan
kami kalibrasi (menyamakan pendapat
dari para assessor).
Kemudian akan kami ranking
dari 1 – 42 yang dilihat dari aspek-aspek
yang diukur pada setiap tahapan.
SUDUT HUKUM
†† DOC.PRI
Mematri Idealisme
dalam Pusaran
Godaan Suap
Fakhruddin Aziz
Rentetan kasus suap yang mendera segelintir oknum hakim
adalah catatan kelam dalam dunia penegakan hukum.
Hakim merupakan profesi luhur dan mulia, maka sungguh
memprihatinkan ketika segelintir oknum telah menodainya
dengan nekat menerima suap.
Hakim Pengadilan Agama Sambas,
Kalimantan Barat
M
enjadi hakim adalah
amanah yang tidak ringan.
Selain dituntut mampu
mempersembahkan keadilan, beragam
godaan menggiurkan akan selalu datang
silih berganti menebarkan ancaman
terhadap benteng idealismenya.
Berondongan suap bisa datang kapan
saja, dalam berbagai macam bentuk, dan
seringkali dalam situasi yang dilematis.
Ketika kasus suap oknum hakim
menyeruak ke permukaan, eksistensi
idealisme kerap dipertanyakan. Para“Yang
Mulia” ibarat sapu untuk membersihkan
kotoran. Logikanya, sapu tersebut tidak
akan mungkin mampu membersihkan
kotoran jika sapu itu juga belepotan
dengan kotoran yang menjijikkan. Oleh
karenanya, penegakan hukum yang baik
meniscayakan keberadaan para hakim
yang idealis, jujur, dan berintegritas
dalam upaya memancangkan pilar-pilar
keagungan hukum secara bersih, tanpa
pandang bulu, dan dalam kondisi
apapun. Fiat justitia ruat coelum (keadilan
hendaklah ditegakkan, meskipun langit
akan runtuh), demikian adagium populer
dari Lucius Calpurnius Piso Caesoninus.
Namun ironisnya, seringkali
idealisme menjadi hal aneh atau bahkan
dijadikan bahan olok-olok di dalam
belantara komunitas yang sudah tidak
ideal. Individu idealis kerap dicap sebagai
“sok suci” yang tak bisa memahami kultur
yang sudah mapan. Akhirnya, benteng
idealisme berpeluang keropos dan
roboh karena interaksi sosial di dalamnya
berpotensi membentuk kecenderungan
dan watak-watak baru.
Menjaga idealisme dalam konteks
kekinian memang bukan perkara
mudah. Gelombang arus modernisasi
dengan semangat materialisme dan
konsumerismenya menjadi tantangan
berarti bagi daya tahan idealisme. Ketika
individu sudah menghamba pada materi,
orientasi kehidupannya tak jauh dari
upaya penumpukan harta dan mengejar
kenikmatan duniawi meski menghalalkan
berbagai cara. Bahkan jika kecintaan
terhadap harta itu berlebihan, entitas
harta berpotensi diposisikan sebagai
“tuhan” yang selalu dipuja.
Kini, uang tidak hanya sebatas alat
tukar menukar (barter) seperti fungsi
awalnya. Namun, uang telah menjelma
menjadi cara dan alat dialogis untuk
meruntuhkan segala sesuatu, termasuk
benteng idealisme para penegak
hukum. Para pencari keadilan dengan
kekuatan kapitalnya sering mencoba
mempengaruhi hakim dengan harapan
putusannya bisa oleng dan berpihak
kepada mereka. Ketika relasi semacam
ini berjalan berulang-ulang, akhirnya
uang menjadi semacam candu yang
selalu nagih. Ungkapan populer wani piro
(berani berapa) telah menjadi semacam
kata kunci untuk memuluskan sebuah
hasrat.
Harta (uang) memang penting,
namun bukan segalanya. Harta bukanlah
muara akhir dari kehidupan, namun
sebatas sarana untuk bertahan hidup
dan beribadah. Maka, menumpuk
pundi-pundi uang dengan cara illegal
sungguh sesuatu yang menjijikkan dan
tak akan mampu memuaskan, karena
pada dasarnya manusia tak akan pernah
mencapai kata “puas”. Rasulullah SAW
bersabda: “Seandainya manusia diberi
dua lembah berisi harta, tentu ia masih
menginginkan lembah yang ketiga. Yang
bisa memenuhi dalam perut manusia
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
27
SUDUT HUKUM
hanyalah tanah. Allah tentu akan
menerima taubat bagi siapa saja yang
ingin bertaubat” (HR. Bukhari).
Oleh karenanya, watak koruptif,
manipulatif, dan serakah sudah
semestinya dikubur dalam-dalam, karena
berapapun harta yang diperoleh tak akan
mampu memuaskannya. Tokoh bijak dari
India, Mahatma Gandhi, juga pernah
berujar bahwa “Dunia ini cukup untuk
memenuhi kebutuhan semua orang,
tetapi tak akan pernah cukup untuk
satu orang yang serakah”. Petuah bijak
ini tentu patut menjadi renungan bagi
kita semua dalam menjalankan amanah
sebagai ujung tombak penegakan
hukum.
Sosok teladan
Dalam lintasan sejarah yang
mengiringi perjalanan bangsa ini,
ada beberapa tokoh penegak hukum
idealis yang bisa dijadikan teladan dan
inspirasi bagi kita. Di jajaran kepolisian
mengemuka nama Jenderal (Pol)
Hoegeng. Ia adalah sosok polisi yang
sederhana, jujur, dan antikorupsi. Bahkan
dengan nada bergurau, Gus Dur pernah
mengatakan bahwa di negeri ini ada dua
polisi yang tidak bisa disuap, yakni “polisi
tidur” dan Hoegeng.
Dari kejaksaan, sosok Baharuddin
Lopa namanya harum mewangi karena
sikapnya yang jujur, gigih, dan tanpa
pandang bulu dalam menegakkan
pilar-pilar keagungan hukum. Bahkan
setiap diberi hadiah, ia selalu menolaknya
dengan kata-kata yang sangat bijaksana
bahwa dirinya tidak perlu diberi hadiah
karena sudah memiliki gaji.
Dari korps hakim yang patut
menjadi teladan diantaranya adalah
Bismar Siregar. Ia adalah sosok hakim
yang dikenal idealis, jujur, dan bersahaja.
Kata-katanya yang masyhur adalah
putusan itu mahkota hakim. Sedangkan
dari profesi advokat, mengemuka nama
Yap Thiam Hien, sosok yang mengabdikan
hidupnya demi menegakkan keadilan
28
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
dan hak asasi manusia (HAM). Ia adalah
advokat teladan yang tanpa pamrih
berada di garda depan dalam membela
orang-orang tertindas. Sebaliknya, bukan
advokat yang gigih berburu materi
dengan menghalalkan segala cara.
Dalam konteks kekinian, di tengah
kondisi bangsa yang karut-marut dengan
berbagai persoalan yang menyelimuti,
publik tentu sangat merindukan
kehadiran sosok-sosok idealis dan
tangguh seperti nama-nama di atas.
Namun penulis yakin, dalam setiap
masa akan selalu lahir sosok-sosok
idealis dalam berbagai bidang, termasuk
dalam penegakan hukum. Meski kadang
hanya melintas sebentar saja, hal itu akan
menjadi pengingat dan pelecut bagi kita
bahwa “pohon idealisme” mesti selalu
dirawat dan jangan sampai dibiarkan
mati.
Sudah semestinya idealisme kita
pupuk dalam diri dan komunitas kita.
Bukan sebaliknya: diolok-olok, dibiarkan
keropos, dan kemudian dibiarkan roboh
secara pelan-pelan. Namun hal itu tidak
mudah, berbagai tantangan dan cibiran
akan selalu mengiringi keberadaannya.
Karena itu, perlu kesadaran kolektif
untuk menjaga dan menyuburkannya
di tengah pusaran godaan suap. Tidak
ada yang sia-sia menyuburkan idealisme,
karena hal itu akan membawa manfaat
dan kemaslahatan yang lebih besar bagi
kepentingan bersama.
Menilik sejarah, bangsa Indonesia
ini lahir juga karena idealisme para
founding father yang gigih dan
tanpa pamrih dalam mewujudkan
cita-cita bangsa. Maka sungguh
merupakan sebuah pengkhianatan
jika benteng idealisme itu harus hancur
berkeping-keping karena masifnya
perilaku koruptif.
Dalam konteks penegakan hukum
yang ideal, masyarakat semestinya
tidak hanya menuntut pencapaian
itu, tetapi juga turut berpartisipasi
aktif dengan tidak melanggengkan
tradisi tercela seperti suap dalam
menyelesaikan urusannya yang terkait
dengan hukum. Biarkan mekanisme
berjalan sebagaimana mestinya,
sehingga tonggak keadilan dapat berdiri
tegak tanpa direcoki oleh beragam
kepentingan yang menyelimuti.
Kesejahteraan hakim
Selain idealisme dan moralitas,
aspek kesejahteraan hakim juga punya
andil untuk mengeliminasi praktik
suap. Ketika tingkat kesejahteraan telah
memadai, para hakim diharapkan bisa
lebih fokus dalam mempersembahkan
keadilan bagi masyarakat dan
tidak sampai nekat menggadaikan
idealismenya karena berondongan suap
yang bertubi-tubi.
Mengenai hal ini, Presiden
telah menandatangani PP No. 94/2012
tentang Hak Keuangan dan Fasilitas
Hakim yang berada di bawah Mahkamah
Agung. Hal ini merupakan angin segar
bagi ribuan hakim yang sebelumnya
sempat diselimuti kegelisahan dan
ketidakpastian. Perjuangan selanjutnya
adalah membangun gerakan hakim jujur,
bersih, dan emoh dengan suap. Apapun,
bagaimanapun, dan kapanpun, praktik
suap menyuap mesti dihindari. Nabi SAW
bersabda: “Penyuap dan penerima suap
sama-sama masuk neraka” (HR. Thabrani).
Maka sungguh malang dan tragis nasib
mereka, di dunia maupun di hari kelak.
Terakhir, di tengah berbagai
sorotan publik dan persepsi miring
terhadap penegakan hukum di negeri
ini, bendera optimisme masih layak
dikibarkan karena sejatinya masih banyak
hakim tangguh, idealis, jujur, dan bersih
yang diharapkan mampu menularkan
virus-virus positifnya.
Artikel ini dimuat di Harian Jurnal
Nasional, 9 Mei 2012, dan telah
mengalami beberapa penambahan
dan penyuntingan seperlunya.
†† DOC.PRI
Merajut Independensi
Peradilan dalam
Skenario Perbaikan
Kesejahteraan Hakim
Mario Parakas
Hakim Pengadilan Negeri Argamakmur,
Bengkulu
P
roblematika tentang
keterbelengguan independensi
inilah yang selama ini
digadang-gadang menjadi pemicu
kegaduhan dalam sistem penegakan
hukum kita, yang pada akhirnya kerap
mencederai dan bahkan mengoyak rasa
keadilan masyarakat.
Dalam prakteknya lingkup
permasalahan independensi peradilan
ini hampir selalu berkutat dalam
dikotomi miskin atau kayanya si
justitia belen (pencari keadilan), dan/
atau rakyat (jelata) dengan penguasa
(berkedudukan)-nya si justitia belen,
serta beberapa variabel lainnya semisal
nepotisme kekeluargaan dan nepotisme
kelembagaan/institusional. Dari pola
pemetaan demikian, maka sejatinya
terdapat tiga faktor yang menentukan
eksistensialitas independensi peradilan.
Pertama, integritas hakim yang mencakup
aspek mentalitas dan kapabilitasnya.
Kedua, aspek infrastruktur penyokong
komponen pengadil dimaksud. Ketiga,
jaminan ketersediaan sistem kekuasaan
yudikatif yang steril dari segala bentuk
intervensi kekuasaan negara lainnya
Secara kontekstual, independensi peradilan dapat dimaknai
sebagai segenap keadaan atau kondisi yang menopang sikap
batin pengadil (hakim) yang merdeka dan leluasa dalam
mengeksplorasi serta kemudian mengejawantahkan nuraninya
tentang keadilan dalam sebuah proses mengadili (peradilan).
khususnya kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan legislatif.
Dalam basis pemahaman
atas adanya tiga faktor penentu
independensi peradilan tersebut,
maka skenario perbaikan kesejahteraan
hakim, yang telah sampai pada tahap
pengundangan PP No. 94 Tahun 2012
tentang Hak Keuangan dan Fasilitas
Hakim yang berada di bawah Mahkamah
Agung merupakan landasan normatif
atasnya. Meskipun benar kehadirannya
secara parsial tidak serta merta akan
absolut dan spontan mengubah wajah
peradilan dalam sekejap, namun
keberlakuan “rasionalisasi penghasilan/
kesejahteraan hakim” tersebut secara
inheren akan terabsorbsi dan selanjutnya
teraktualisasikan secara utuh sebagai
fundamen utama sekaligus katalisator
dalam percepatan perbaikan ketiga
faktor penentu independensi peradilan
tersebut.
Integritas hakim
Berbicara tentang integritas
hakim, berarti berbicara tentang
ranah mentalitas dan kapabilitas
(kecakapan dan kompetensi keilmuan)
hakim sebagai subjek pengadil.
Ranah yang dalam beberapa sintesis
selama ini kerap dijustifikasi sebagai
biang kebobrokan dunia peradilan
negeri ini. Rentetan penangkapan
oknum-oknum hakim penerima suap
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,
berbagai hasil survey yang menegaskan
masih rendahnya tingkat kepercayaan
publik terhadap lembaga peradilan,
hingga berbagai penelitian yang
mengasumsikan keengganan para
lulusan terbaik fakultas hukum untuk
berprofesi sebagai hakim, seolah menjadi
penegas atas sintesis demikian.
Selain bersubstansikan unsur
kapabilitas sebagai sebuah unsur
intrinsik yang “masih” terukur dan dapat
diprediksikan dalam konteks rekrutmen
sejak awal, harus dipahami bahwasannya
faktor integritas hakim juga mengandung
unsur mentalitas sebagai sebuah unsur
intrinsik yang bersifat lebih abstrak dan
sulit terukur dalam indikator-indikator
objektif.
Mentalitas lebih bersifat personal,
dan sepenuhnya digantungkan pada
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
29
SUDUT HUKUM
sikap batin (niat dan kehendak pribadi)
si hakim itu sendiri. Sehingga kesimpulan
tentang baik atau buruknya mentalitas
dimaksud akan dapat secara utuh
dirasakan setelah si hakim menjalankan
tugasnya mengadili. Berbasis pada
pemahaman tentang mentalitas dalam
karakteristiknya sebagai sebuah unsur
intrinsik tersebut, maka tentu saja
diperlukan sebuah sistem yang mampu
seoptimal mungkin menjamin“lurus”-nya
mentalitas hakim di sepanjang masa
tugasnya. Tanpa perlu kajian atau telaahan
yang terlampau rumit, jika semua
pihak jujur dan objektif dalam melihat
hal tersebut, tidak disangsikan kalau
semuanya akan berkata bahwa tingkat
kesejahteraan merupakan komponen
yang sama sekali tidak boleh dilupakan
di samping komponen-komponen lain
seperti pola pembinaan berkala yang
tegas dan terarah (mencakup jaminan
atas mekanisme reward and punishment)
dan komponen ketersediaan mekanisme
pengawasan yang ketat dan melekat.
Tanpa bermaksud mengecilkan
makna penyatuatapan lembaga
peradilan, penegasan paradigma
pemisahan kekuasaan sebagai hasil
amandemen I hingga IV UUD 1945,
atau bahkan kehadiran Komisi Yudisial,
meskipun kesemuanya secara substansial
harus diakui sebagai sebuah langkah
besar dan urgen, namun baik dalam
tataran kerangka berpikir logis maupun
dalam praktik dunia peradilan senyatanya
selama ini, langkah-langkah monumental
dalam bingkai reformasi peradilan
menjadi terasa hampa dan cenderung
nir-hasil ketika eksistensialitasnya tidak
disertai upaya sistematis di bidang
peningkatan integritas sumber daya
pengadil, termasuk dengan fakta adanya
pengabaian atas ketidakjelasan status
dan kesejahteraan hakim sebagai
unsur utama pengadil. Oleh karena itu,
dalam perspektif pemenuhan faktor
integritas hakim, maka pengundangan
PP No. 94 Tahun 2012 sejatinya akan
30
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
menjadi potongan puzzle terakhir yang
menggenapi agenda reformasi peradilan
dalam desain besar strategi mewujudkan
peradilan agung yang independen
(bebas dan berkeadilan).
Infrastruktur pendukung
bekerjanya hakim
Infrastruktur pendukung dalam
hal ini adalah segenap komponen dalam
struktur dan mekanisme pengadilan
yang membantu dan mendukung
hakim dalam melaksanakan tugas-tugas
yudisialnya. Selain itu, berbanding lurus
dengan keberlakuan teori sistem dari
Lawrence M. Friedman, ketersediaan
infrastruktur pendukung di sini juga
harus dimaknai sebagai ketersediaan
seperangkat norma dan kultur kehidupan
berhukum dalam arah yang mendukung
tugas dan kemandirian si hakim.
Kekuasaan kehakiman tidak
dapat dijalankan oleh hakim seorang
diri. Ia membutuhkan peran dan bantuan
bidang kepaniteraan, kejurusitaan,
dan sistem kesekretariatan lembaga
pengadilan. Kebobrokan sistem dan
mentalitas sumber daya manusia dalam
komponen-komponen dimaksud jelas
akan mempengaruhi tingkat akselerasi
hakim dalam menjalankan tugas-tugas
yudisialnya, dan bahkan dalam tataran
yang masif, kondisi sedemikian bukan
tidak mungkin akan dapat merongrong
independensi peradilan itu sendiri.
Pola pembenahan integritas seluruh
aparatur peradilan harus dilakukan
dengan basis pendekatan yang sama
dengan pola pembenahan integritas
hakim sebagaimana diuraikan di atas,
yakni dengan konsentrasi pada upaya
perbaikan kesejahteraan, pembinaan
berkala menyangkut teknis dan
profesionalisme, serta pemberlakuan
mekanisme pengawasan yang ketat dan
melekat atasnya.
Adanya sinergi dalam perbaikan
integritas hakim dan segenap komponen
peradilan yang mendukung sistem kerja
hakim, dalam taraf tertentu diyakini akan
mampu menghasilkan sebuah kultur
penegakan hukum yang bersih, jujur,
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan,
tegas dan berwibawa. Selanjutnya,
tingkat perbaikan kultur penegakan
hukum dalam lingkup penegak hukum
di lembaga peradilan secara signifikan
akan memberikan efek percepatan pada
perbaikan kultur kehidupan berhukum
secara utuh. Karena jelas dalam tahapan
demikian akan terbentuk resistensi
dari aparat peradilan terhadap segala
bentuk kecurangan dan praktik kotor
dalam segenap tahapan peradilan,
yang dalam praktiknya memang selalu
mensyaratkan adanya keterlibatan pihak
pejabat peradilan.
Kebersinambungan sikap
dan resistensi dari segenap aparatur
peradilan, lambat laun akan menggeser
paradigma dan budaya berpikir
dari masyarakat, khususnya pencari
keadilan. Paradigma dan budaya berpikir
yang terkesan pesimistis terhadap
proses peradilan apabila tidak disertai
praktik-praktik suap dan/atau bentuk
kecurangan lainnya, menjadi paradigma
dan budaya berpikir optimistis terhadap
kemurnian proses peradilan, yang di
dalamnya mengandung sikap tabu
atas praktik kecurangan dalam proses
peradilan.
Sebuah pola pergeseran
pemikiran yang apabila kemudian
dipadankan dengan ketersediaan
segenap norma yang mendasari
dan sekaligus menegaskan jaminan
keberlakuan independensi peradilan,
baik itu dalam tataran norma dasar
(UUD 1945), norma-norma substantif
terkait (UU Kekuasaan Kehakiman, UU
Mahkamah Agung, dll), norma-norma
penjabar/pengatur teknis pelaksanaan,
hingga pada norma-norma etik yang
menegaskan limitasi pengejawantahan
independensi peradilan dimaksud, maka
sejatinya seluruh unsur atau komponen
yang dibutuhkan guna mewujudkan cita
luhur independensi peradilan tersebut
telah terpenuhi.
Sistem kekuasaan
yudikatif yang merdeka
Faktor ketiga ini pada hakekatnya
merupakan bagian integral dari faktor
yang kedua, yakni sebagai sebuah
“keadaan” yang merupakan bagian dari
infrastruktur pendukung bekerjanya
hakim yang bebas dan bermartabat.
Hanya saja dengan memperhatikan
fenomena yang ada selama ini, tidak
dapat dipungkiri masih begitu kental
terasa adanya pola-pola perilaku
kekuasaan dan juga budaya atasnya
yang seolah melegitimasi hegemoni dua
pilar kekuasaan yang lain (eksekutif dan
legislatif ) di atas kekuasaan yudikatif,
hal mana acap kali berimplikasi
pada tergerogotinya independensi
peradilan.
Bercermin pada pola bagaimana
rezim otoritarian orde baru berkuasa,
di mana eksekutif menjalankan
intervensinya atas kekuasaan yudikatif
dengan dua pola yang tegas. Pertama,
menempatkan lembaga peradilan di
bawah departemen-departemen terkait
menyangkut teknis administratif dan
struktur penggajian segenap organ di
dalamnya. Kedua, secara terang-terangan
menempatkan representasi kekuasaan
yudikatif di daerah (Tingkat I dan Tingkat
II) sebagai anggota dari Musyawarah
Pimpinan Daerah (MUSPIDA), dipimpin
oleh kepala daerah (gubernur, bupati,
walikota) sebagai kepala wilayah dalam
pengejawantahan prinsip integrated field
administration yang dianut saat itu.
Jika pola pertama sebagai pola
di tingkat pusat sedikit demi sedikit
diperbaiki yakni dengan langkah-langkah
strategis seperti penyatuatapan lembaga
peradilan di bawah Mahkamah Agung,
namun tidak demikian halnya dengan
pola yang kedua, sebagai pola yang
secara substansial justru bersifat sangat
determinan, karena ia bekerja dalam
lingkup peradilan pada garda terdepan
di daerah (tingkat pertama dan tingkat
banding), yang secara nyata bersentuhan
langsung dengan masyarakat pencari
keadilan.
Dalam prakteknya sampai dengan
saat ini pimpinan lembaga peradilan di
tingkat pertama dan tingkat banding
masih dilibatkan dan melibatkan diri
dalam forum kemuspidaan. Lebih
parah lagi, “seolah” telah juga mendarah
daging sebuah kultur pada kebanyakan
hakim yang menganggap forum
kemuspidaan sebagai pencapaian yang
“membanggakan”. Sehingga acap kali
menempatkan “kepentingan forum”
tersebut di atas segenap esensi dan
urgensi yang sejatinya melekat dan
menjadi tujuan dalam tugas-tugas
yudisialnya.
Padahal forum kemuspidaan
sebenarnya telah kehilangan legitimasi
normatif pasca pencabutan fungsi
“kepala wilayah” dari kepala daerah
(bupati/walikota) sebagai salah satu
bentuk pengejawantahan paradigma
pemisahan kekuasaan buah proses
demokratisasi di era reformasi ini.
Terlebih apabila perspektif kajian
atasnya dikembalikan kepada konsep
dalam norma dasar konstitusi tentang
kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Gagasan dan nilai dalam norma dasar
itu sebenarnya telah secara jelas dan
rigid dijabarkan dalam UU Kekuasaan
Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009), UU
Mahkamah Agung (UU No. 3 Tahun 2009),
hingga PP No. 36 Tahun 2011 tentang
jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh
hakim agung dan hakim. Dalam Pasal 2
huruf k PP tersebut mengatur salah satu
jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh
hakim agung dan hakim yaitu menjadi
Anggota Musyawarah Pimpinan
Daerah.
Alasan-alasan pragmatis yang
selama ini mengemuka terkait masih
dilibatkan (melibatkan diri)-nya unsur
pimpinan pengadilan dalam forum
kemuspidaan, yakni menyangkut
rendahnya tingkat kesejahteraan
dan keterbatasan anggaran serta
fasilitas yang seharusnya mendukung
segenap tugas dan fungsi lembaga
peradilan di daerah. Maka skenario
perbaikan kesejahteraan hakim yang
realisasinya tinggal di ambang mata
pasca pengundangan PP No. 94 Tahun
2012, harus dimaknai sebagai sebuah
momentum besar sekaligus modal
yang sangat berharga bagi proses
reformasi kultural di lembaga peradilan,
termasuk penghentian keikutsertaan
unsur pimpinan pengadilan dalam
forum kemuspidaan sebagai langkah
strategis dalam mewujudkan peradilan
yang independen.
Dalam konteks ini, komponen
perbaikan kesejahteraan hakim tersebut
haruslah mampu menjadikan setiap
individu hakim sebagai “hakim yang
berjiwa hakim”, yakni hakim yang mampu
secara cermat mengidentifikasi dan
kemudian memfiltrasi dirinya terhadap
segala apa pun bentuk forum atau
kegiatan yang patut dipandangnya akan
berpotensi mengganggu kebebasan
dan objektifitasnya dalam mengemban
profesi luhur sebagai hakim.
Dari kajian tentang keberlakuan
tiga faktor penentu independensi
peradilan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa skenario perbaikan kesejahteraan
hakim tidak boleh hanya dimaknai
sebagai upaya perbaikan penghasilan
si hakim semata secara kuantitatif dan
individual dalam korelasinya dengan
esensi pencegahan bagi si hakim
bersangkutan dari segenap perbuatan
menyimpang. Melainkan, harus dimaknai
secara utuh dan integral sebagai
momentum besar pembaruan peradilan,
yang eksistensialitasnya harus mampu
menghadirkan efek percepatan ke arah
perbaikan kepada segenap aspek dan
komponen penunjang independensi
peradilan.
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
31
LAPORAN KHUSUS
Setelah Empat Pilar
Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial
Disepakati
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung menandatangani empat
peraturan bersama yang menjembatani tugas- tugas kedua
lembaga. Bisa langsung dipraktekkan.
M. Purwadi
32
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
P
enandatanganan empat
peraturan bersama antara
Mahk amah Agung dan
Komisi Yudisial merupakan
satu momentum yang sangat penting
bagi kerjasama dan sinergi antara dua
lembaga yang selama ini dianggap
kurang harmonis.
Peraturan bersama itu diharapkan
menciptakan sistem peradilan yang
bersih dan tertib, terutama menyangkut
pengawasan dan perekrutan hakim.
Penandatanganan dilakukan Ketua
Mahkamah Agung Hatta Ali dan Ketua
Komisi Yudisial Eman Suparman di ruang
Wiryono Gedung Mahkamah Agung,
pada Kamis (27/9).
Peraturan pertama adalah
Peraturan Bersama Nomor 01/PB/MA/
IX/2012-01/PB/P.KY/09/2012 tentang
Seleksi Pengangkatan Hakim. Selama
ini seleksi pengangkatan hakim
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung
tanpa melibatkan Komisi Yudisial.
Dengan adanya paket revisi
undang-undang bidang kekuasaan
kehakiman, proses pengangkatan
hakim harus dilaksanakan bersama-sama
Mahkamah Agung dengan Komisi
Yudisial. Sebenarnya, amanat tersebut
sudah lama disebutkan. Hanya saja,
regulasinya belum diatur oleh Presiden.
Peraturan kedua adalah Peraturan
Bersama Nomor 02/PB/MA/IX/2012-02/
PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan
Penegakan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim. Pedoman ini merupakan
penjabaran tentang bagaimana
melaksanakan kode etik dan pedoman
perilaku hakim (KEPPH).
Peraturan bersama tersebut bisa
disebut sebagai pilar bangunan bersama
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
33
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ ADNAN
LAPORAN KHUSUS
Pelaksanaan sidang Majelis Kehormatan Hakim.
karena selama ini terjadi perbedaan
perspektif antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial menyangkut beberapa
butir KEPPH. Masalah klasik yang
muncul misalnya Mahkamah Agung
mengatakan pelanggaran hukum acara
merupakan ranah teknis yudisial, tapi
Komisi Yudisial justru mengatakan hal itu
merupakan ranah KEPPH. Masalah klasik
ini kerap memunculkan ketegangan
kedua lembaga. Sampai-sampai
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali
mengistilahkan ketidakharmonisan
dua lembaga sebagai “Tom and Jerry
relationship”.
Dengan adanya kesepakatan
tersebut, minimal kebuntuan antara
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
bisa diterabas.
Peraturan ketiga yaitu Peraturan
Bersama Nomor 03/PB/MA/IX/2012-03/
PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Bersama. Pemeriksaan
bersama sebelumnya sudah diatur
dalam Pasal 22E ayat (2) UU Nomor 18
Tahun 2011. Pasal itu menyebutkan
dalam hal terjadi perbedaan pendapat
mengenai usulan Komisi Yudisial tentang
penjatuhan sanksi ringan, sedang, dan
berat selain pemberhentian tetap
dengan hak pensiun atau pemberhentian
tetap tidak dengan hormat, dilakukan
pemeriksaan bersama antara Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung terhadap
Empat Peraturan Bersama yang Ditandatangani
Ketua Komisi Yudisial dan Ketua Mahkamah Agung
1. Peraturan Bersama Nomor 01/PB/MA/IX/2012-01/PB/P.KY/09/2012 tentang
Seleksi Pengangkatan Hakim.
2. Peraturan Bersama Nomor 02/PB/MA/IX/2012-02/PB/P.KY/09/2012 tentang
Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
3. Peraturan Bersama Nomor 03/PB/MA/IX/2012-03/PB/P.KY/09/2012 tentang
Tata Cara Pemeriksaan Bersama.
4. Peraturan Bersama Nomor 04/PB/MA/IX/2012-04/PB/P.KY/09/2012 tentang
Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan
Hakim.
34
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
hakim yang bersangkutan. Pemeriksaan
bersama juga bisa dilakukan jika ada
permintaan dari kedua lembaga.
Terakhir, peraturan keempat yaitu
Peraturan Bersama Nomor 04/PB/MA/
IX/2012-04/PB/P.KY/09/2012 tentang
Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan
Keputusan Majelis Kehormatan Hakim.
Sebelumnya sudah pernah dibuat aturan
mengenai pengambilan keputusan
Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Hanya
saja, kesepakatan bersama terdahulu
sifatnya sementara. Saat itu, peraturan
tersebut sebenarnya hanya untuk
kepentingan sesaat, untuk menggelar
sidang MKH yang pertama.
Ketua Bidang Sumber Daya
Manusia, Penelitian dan Pengembangan
Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus,
mengatakan empat peraturan bersama
yang sudah ditandatangani harus
dijalankan dengan baik. Misalnya,
peraturan bersama tentang seleksi
pengangkatan hakim. Sebenarnya
peraturan tersebut masih bersifat ad hoc
atau sementara. Dikarenakan mekanisme
pengangkatan hakim terakhir tahun
2010 masih menggunakan mekanisme
lama, seperti halnya penerimaan
CPNS.
“Sekarang, masih dalam masa
transisi untuk memberikan legitimasi
kepada para hakim yang sudah diseleksi
pada 2010. Ke depan, amanat peraturan
bersama ini akan dibuat tersendiri
setelah posisi hakim sebagai pejabat
negara dalam bentuk peraturan
pemerintah ditetapkan. Selanjutnya
ada kewajiban buat Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial membuat peraturan
bersama tentang tata cara seleksi hakim
yang didalamnya Komisi Yudisial terlibat,”
jelas Jaja.
Dengan argumentasi
pengangkatan hakim harus ada
keterlibatan Komisi Yudisial, lanjut
dia, hal itulah yang menjiwai adanya
peraturan bersama antara Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial tentang
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ ANDRI
Calon hakim berkunjung ke Komisi Yudisial sebagai rangkaian program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu Angkatan ke-7. Komisi
Yudisial dapat berperan dalam seleksi pengangkatan hakim setelah adanya Peraturan Bersama MA dan KY tentang Seleksi Pengangkatan Hakim.
seleksi pengangk atan hak im.
Dalam peraturan ini Komisi Yudisial
mendapatkan perannya dalam seleksi
pengangkatan hakim. Diantaranya,
calon hakim penerimaan 2010 yang
sedang mengikuti pendidikan selama
dua tahun ini, wajib mengikuti mata ajar
dan menempuh ujian mengenai kode
etik dan pedoman perilaku hakim.
Selain itu, Komisi Yudisial
berwenang memantau perilaku calon
hakim selama magang.
“Pelibatan Komisi Yudisial
dalam seleksi pengangkatan hakim
menyangkut materi kode etik dan
pedoman perilaku hakim. Makanya
harus dipersiapkan modul-modulnya,
termasuk penyamaan persepsi antara
komisioner,” kata Jaja.
Satu substansi penting dalam
peraturan bersama menyangkut
tata kerja dan tata cara pengambilan
keputusan majelis kehormatan hakim
adalah mereka yang melakukan
pemeriksaan terhadap hakim yang
diduga melanggar KEPPH, tidak boleh
menjadi ketua maupun anggota saat
pelaksanaan MKH.
Hal ini berlaku bagi Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung.
Selama ini, biasanya, tiga komisioner
Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan
terhadap hakim, saksi, atau pihak terkait,
menyangkut pelanggaran KEPPH.
Sehubungan adanya ketentuan
dalam peraturan bersama tersebut,
sekarang cukup dua orang komisioner
yang terjun memeriksa. Sehingga
sisanya bisa menjadi anggota MKH.
Mengingat komposisi MKH terdiri dari
empat anggota Komisi Yudisial dan tiga
hakim agung.
Sementara anggota Komisi
Yudisial hanya tujuh orang. “Filosofinya,
pemeriksa diibaratkan sebagai penyidik.
Sementara anggota MKH diibaratkan
sebagai hakim. Apabila penyidik juga
menjadi hakim tentu rancu, karena sudah
terbentuk persepsinya mengenai hakim
terlapor saat melakukan pemeriksaan.
Anggota MKH sepatutnya lebih objektif
saat menyidangkan hakim terlapor.
Ketua Badan Pengawasan
Mahkamah Agung, M. Syarifuddin,
mengatakan peraturan bersama yang
ditandatangani ini bisa menjadi acuan
dalam menangani pengaduan yang
masuk dan disampaikan oleh Mahkamah
Agung. Hal ini pula, kata dia, yang
menjadi pegangan baik oleh Mahkamah
Agung maupun Komisi Yudisial.
Syarifuddin berharap empat
peraturan bersama ini akan menjadi
pedoman bersama dan menjembatani
kesenjangan antara Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial yang selama
ini terbangun karena perbedaan
pandangan dalam memahami
mekanisme pengawasan hakim.
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
35
†
††† BULETIN
BULETIN KOMISI
KOMISI YUDISIAL/
YUDISIAL/ DINAL
DINAL
LAPORAN KHUSUS
Rapat tim penghubung dan tim asistensi Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung.
Jembatan Kesenjangan
Telah Terbangun
Penandatanganan keempat
peraturan bersama ini
adalah manifestasi usaha
yang cukup panjang
dari Tim Penghubung
Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial
M. Purwadi
36
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
P
enandatanganan empat peraturan
bersama Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial merupakan
momentum positif hubungan
kelembagaan keduanya. Komisi Yudisial
dan Mahkamah Agung terlihat semakin
mesra pasca penandatanganan empat
peraturan bersama oleh masing-masing
ketua lembaga. Ketua Komisi Yudisial
Eman Suparman dan Ketua Mahkamah
Agung M. Hatta Ali menyambut positif
terbitnya empat peraturan bersama
ini. Eman Suparman mengungkapkan,
peraturan ini berfungsi sebagai panduan
bagi kedua belah pihak. “Bukan hanya
untuk mendekatkan persepsi antara
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
namun lebih kepada perlunya panduan
yang jelas agar Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung tidak dianggap
saling mengintervensi satu sama lain,”
tuturnya.
Ketua Mahkamah Agung M. Hatta
Ali mengatakan penandatanganan
keempat peraturan bersama ini adalah
manifestasi usaha yang cukup panjang
dari Tim Penghubung Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial. Mantan
Ketua Muda Pengawasan Mahkamah
Agung itu berharap peraturan bersama
ini dapat menciptakan keserasian dan
kesepahaman. Penandatanganan ini
juga menjadi gambaran dari komitmen
dan sinergitas Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial dalam menjaga martabat
dan kehormatan hakim. “Saya berharap
bahwa setelah penandatanganan
ini, media ataupun masyarakat tidak
lagi menganggap bahwa hubungan
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
“Dalam peraturan ini telah diatur secara
jelas untuk per poin kode etik sanksinya
apa saja,” katanya. Namun, kata Asep,
dalam aturan tersebut juga ada klausul
sanksi bisa diringankan maupun
diperberat tergantung akibat yang
dihasilkan. Dia juga mengungkapkan
bahwa dalam aturan ini merinci apakah
suatu laporan termasuk kategori
pelanggaran kode etik atau teknis
yudisial.
Hal senada dikatakan Hatta Ali.
Menurutnya, mekanisme penegakan
KEPPH akan lebih optimal dan sesuai
dengan aturan perundang-undangan.
Peraturan ini akan menjadi acuan
dalam menjatuhkan sanksi atas setiap
pelanggaran kode etik. “Yang terpenting,
ada kesepakatan atas pelanggaran yang
menjadi wewenang Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial,” ujarnya.
setelah ini Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial bisa berjalan seiringan dalam
menciptakan hakim yang terhormat dan
bermartabat. “Peraturan ini menyamakan
persepsi dalam hal penegakan etika
perilaku dan teknis yudisial. Aturan ini
juga membagi peran Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial dalam proses seleksi
pengangkatan hakim,” kata Asep.
Implikasi peraturan bersama
ini juga memungkinkan adanya
pemeriksaan bersama antara Mahkamah
Agung dengan Komisi Yudisial yang
akan digabungkan dalam satu laporan
pemeriksaan. Asep menjelaskan, Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung dapat
melakukan pemeriksaan bersama jika
ada perbedaan hasil pemeriksaan atau
laporan tersebut sama-sama masuk
ke Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial.
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ EKA
seperti Tom and Jerry relationship,”
ujarnya.
Juru Bicara Komisi Yudisial Asep
Rahmat Fajar mengatakan, dengan
ditandatanganinya empat peraturan
bersama itu membuat hubungan
Komisi Yudisial dengan Mahkamah
Agung semakin solid dan konstruktif.
Dengan begitu, pelaksanaan tugas dan
wewenang masing-masing lembaga pun
semakin optimal.
Ditegaskan Asep, dengan adanya
empat peraturan bersama tersebut,
masalah-masalah sensitif seperti porsi
masing-masing lembaga dalam seleksi
hakim dan wewenang masing-masing
lembaga terkait mana yang ranah
etika perilaku hakim dan mana yang
merupakan ranah teknis yudisial menjadi
jelas.
Asep menjelaskan, empat
peraturan yang ditandatangani
dua lembaga tersebut pada intinya
didasarkan atas dua hal yang selama
ini menjadi perbedaan tafsir, yakni
pengawasan dan perekrutan hakim.
“Ini (peraturan) dibuat dengan harapan
agar pelaksanaan kerja dua lembaga ini
semakin optimal.
Melaksanakan apa yang ada
dalam UU Komisi Yudisial dan kekuasaan
kehakiman,” kata Asep. Terkait dengan
perekrutan hakim, Asep mengatakan,
dalam peraturan ini Komisi Yudisial akan
diberikan waktu untuk mengisi materi
kode etik dan pedoman perilaku hakim
pada calon hakim yang ada saat ini dan
memberikan penilaian saat magang.
“Komisi Yudisial juga akan terlibat dalam
pelulusan calon hakim,” katanya.
Jika peraturan pemerintah terkait
hakim sebagai pejabat negara terbit,
lanjutnya, peraturan ini akan berubah
dan menyesuaikan dengan aturan yang
ada.
Tentang panduan penegakan
kode etik dan pedoman perilaku hakim,
Asep menyebutkan peraturan tersebut
telah merinci sanksi pelanggaran KEPPH.
Pelaksanaan Diskusi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang
diselenggarakan Komisi Yudisial di Jambi .
Tidak bisa dipungkiri, peraturan
bersama ini paling tidak berawal dari
dua alasan, yang pertama bahwa
selama ini mau tidak mau, suka atau
tidak suka, harus diakui masih ada
perbedaan penafsiran dalam hal kode
etik dan pedoman perilaku hakim juga
dalam perekrutan hakim. Diharapkan
Sementara terkait peraturan
mengenai tata kerja dan tata cara
pengambilan keputusan Majelis
Kehormatan Hakim (MKH), Asep
mengatakan peraturan tersebut hanya
penyempurnaan secara teknis dari
peraturan sebelumnya.
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
37
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
LAPORAN KHUSUS
Sosialisasi empat Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial kepada seluruh tenaga ahli dan pegawai Komisi Yudisial.
Jangan Hanya di atas Kertas
M. Purwadi
Momentum bersejarah penandatanganan peraturan bersama
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bisa langsung
dipraktekkan. Peraturan yang dibuat bersama ini tentunya
dapat memperlancar prosedur hubungan kerja kedua lembaga.
P
akar hukum tata negara dari
Universitas Gadjah Mada,
M Fajrul Falaakh, menilai
peraturan bersama yang
sudah diteken pimpinan Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial tentunya bisa
langsung dijalankan. Dia mencontohkan
adanya kasus pelanggaran kode etik
dan pedoman perilaku hakim yang
diduga dilakukan salah seorang hakim
agung, Achmad Yamanie. Menurut
Fajrul, pengunduran diri hakim
Yamanie yang sudah disimpulkanberdasarkan hasil pemeriksaan
M a h k a m a h Ag u n g - m e l a k u k a n
38
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
kelalaian harus dilakukan melalui
mekanisme pada lembaga berwenang.
Ini untuk menegaskan bahwa setiap
kesalahan dalam lembaga peradilan
akan diperlakukan dengan adil dan
mendapat sanksi setimpal.
Yamanie bisa saja beralasan
khilaf dan kasus tersebut hilang begitu
saja. Karena itu, peran Komisi Yudisial
dan Mahkamah Agung sangat penting
untuk menindaklanjuti kasus ini. “Bukan
hanya memberikan efek jera kepada
hakim lain, melainkan memperjelas
standar kesalahan dan sanksi. Nanti
semua orang yang melakukan kesalahan
bisa mudah menghindari proses hukum
hanya dengan mundur,” ungkapnya.
Sekadar diketahui, hakim agung
Achmad Yamanie telah mengajukan
pengunduran diri karena diduga
terlibat dalam pemalsuan vonis
bandar narkoba. Putusan Yamanie
dan dua rekannya yakni Imron Anwari
dan Hakim Nyak Pha, dalam sidang
PK meringankan hukuman Hanky
Gunawan dari hukuman mati menjadi
15 tahun. Belakangan terungkap ada
tulisan tangan Yamanie atas vonis
tersebut yang menurunkan hukuman
untuk Hanky menjadi 12 tahun tanpa
sepengetahuan anggota majelis hakim
lain.
Saat ini merupakan momentum
yang paling tepat untuk menunjukkan
pada publik bahwa peraturan bersama
yang sudah ditandatangani tersebut
bisa dijalankan dengan baik.
M Fajrul Falaakh
majelis kehormatan hakim (MKH) pada
11 Desember, terkait kasus Achmad
Yamanie. Dalam sidang tersebut majelis
akan mendengarkan pembelaan
diri Yamanie dan selanjutnya akan
menjatuhkan putusan terhadapnya.
Peraturan bersama Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial memang
dibuat untuk meminimalisir perselisihan
yang sering terjadi dalam pelaksanaan
tugas kedua lembaga yang identik.
Dengan membuat aturan bersama
memberi tanda bahwa Mahkamah
Agung sudah lebih terbuka.
Namun aturan yang masih
tergolong baru, belum terlihat apakah
dalam prosesnya Mahkamah Agung
mau tunduk terhadap aturan yang
dibuatnya secara bersama dengan
Komisi Yudisial ini. Choky juga berharap
penandatanganan peraturan bersama
ini bukan hanya bersifat formalitas.
Kepura-puraan menjalin mesra saat
di mata publik, dan ternyata main
kucing-kucingan di belakang.
Istilah ketegangan hubungan
dua lembaga ini, “Tom and Jerry
Relationship”, cukuplah menjadi
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
“Harus ada proses pelanggaran
kode etik misalnya dengan menggelar
MKH. Disitu akan diketahui sanksinya
apa? Dampaknya dari tindakan
unprofessional conduct itu apa?
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
kan bisa langsung membentuk itu,
dengan merujuk peraturan bersama
yang sudah dibuat itu,” kata Fajrul.
Ketua Komisi III DPR Gede
Pasek Suardika sependapat dengan
Fajrul terkait implementasi langsung
peraturan bersama antara Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial. Dia
menilai, peraturan bersama akan
terlihat efektivitasnya jika konkret
diaktualisasikan, seperti membentuk
MKH. Publik bisa langsung merasakan
tindaklanjut dari peraturan bersama
antara dua lembaga hukum tersebut.
“Kalau memang sudah ada peraturan
bersama, ya langsung action saja.
Yang penting konkret, bukan sekedar
formalitas belaka,” kata Pasek.
Ketua Harian Masyarak at
Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI)
FHUI, Choky Ramadhan, berpandangan
peraturan bersama ini belum dapat
dinilai efektif atau tidaknya, karena
baru dua bulan diberlakukan. Namun,
dengan peraturan bersama itu,
pembagian tupoksi kedua lembaga
menjadi lebih jelas, tidak tumpang
tindih.
Saat dikaitkan dengan kasus
hakim agung Achmad Yamanie yang
diduga melakukan pelanggaran kode
etik, dia mengatakan kalau Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial bisa langsung
menjalankan peraturan bersama ini
dengan melakukan pemeriksaan
bersama terhadap Yamanie dan dua
koleganya. Jika terjadi pertentangan,
hal itu bisa dibicarakan secara intensif
dan solutif.
Harapan Fajrul, Pasek, dan Choky
bukan lagi harapan hampa. Saat Buletin
ini naik cetak Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial sepakat membentuk
Gede Pasek Suardika
bagian dari masa lalu. Ke depan,
diharapkan kedua lembaga akan
mampu membangun sinergitas dan
harmonisasi dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim. Tidak
ada lagi tarik menarik kepentingan
antara Mahkamah Agung dengan
Komisi Yudisial, agar citra dunia
peradilan khususnya hakim semakin
baik, kendati check and balances juga
wajib diperhatikan.
Dengan peraturan bersama ini,
diharapkan kode etik dan pedoman
perilaku hakim semakin disempurnakan,
sehingga tidak ada lagi celah yang bisa
dimain-mainkan oleh oknum hakim
nakal. Demikian juga rekrutmen hakim
hendaknya diperketat, sehingga
hanya orang-orang yang mempunyai
komitmen tinggi dan berintegritas
dalam penegakan hukum yang bisa
masuk.
Dengan komitmen itu, diyakini
para hakim tidak akan menjual
integritasnya dengan uang, tidak takut
ancaman, tidak takut digertak, tidak
peduli dengan intervensi.
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
39
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
LEBIH DEKAT
Anisah Shofiawati
Hakim sebagai Pilihan Hidup
Patmoko
Bagi Anisah, Sulung dari empat bersaudara, menjadi hakim
sudah menjadi pilihan hidupnya. Takdir telah tergurat untuk
menjalani profesi pejabat negara yang bertugas mengadili dan
memutuskan perkara.
C
erita hakim dengan segudang
kesejahteraan memikat Anisah
muda yang saat itu masih duduk
sebagai mahasiswi pada tahun 1996. Pada
saat kuliah, ia bertemu salah seorang
dosen yang juga berprofesi sebagai
hakim. Menurut sang dosen, hakim
adalah profesi yang menyenangkan.
40
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
Kesejahteraannya tercukupi dan
mendapatkan fasilitas memadai dan
setiap tahun gaji hakim mengalami
kenaikan.
Kendati informasi dari dosen
menarik hatinya, ada satu dorongan yang
membuatnya menepis bayang-bayang
indah menjadi seorang hakim. Idealisme
menjadi pijakan Anisah untuk menjalani
prosesi sebagai hakim, terlebih setelah
beberapa saat lulus kuliah, dia tidak
langsung menjadi hakim, tapi menjadi
aktivis.
Benar apa yang diduga Anisah.
Fakta kehidupan hakim berbeda dengan
apa yang dibayangkan sebelumnya.
Kehidupan hakim menuntut lebih banyak
untuk prihatin dibandingkan mencecap
kesenangan. Ia pernah bertugas sebagai
hakim di salah satu kabupaten di
Sumatera. Bisa dibayangkan, selama ini
ia hidup di Jakarta yang menyediakan
berbagai fasilitas.
Pernah suatu ketika ia pulang ke
Jakarta untuk keperluan yang mendesak.
Uang yang dimilikinya hanya cukup
untuk pergi ke Jakarta saja. Lantas,
kontrakannya sekarang dilengkapi
pendingin udara, meski dengan
kekuatan kecil. Semua dibeli dengan cara
mencicil dari perusahaan pembiayaan
atau koperasi. Sambil tergelak, Anisah
mengaku masih mempunyai utang di
koperasi pegawai PN Brebes.
Kini Anisah mempunyai usaha di
bidang transportasi, Surat Keputusan
sebagai hakim miliknya untuk sementara
mengendap di bank sebagai jaminan
pinjaman. Uang pinjaman itu digunakan
untuk membuka usaha dan berharap
usahanya akan berkembang, sehingga
menjadi sandaran hidupnya kelak.
Untuk itu ia rela hidup apa adanya untuk
sementara waktu. Ibarat peribahasa
Anisah saat ini sedang berakit-rakit
dahulu.
Dia menggunakan gajinya untuk
membayar cicilan, besarnya lumayan,
hampir sama dengan jumlah gaji yang
diterima. Karena itu, untuk hidup
sehari-hari, dia mengandalkan uang
remunerasi yang masih 70%.
Anisah merasa, profesi hakim kini
sudah menjadi jalan hidupnya. Ilmu yang
dia pelajari di kampus sesuai dengan
profesinya saat ini. Inilah panggilan
jiwanya. Tidak ada penyesalan apa pun
saat menjalaninya, meski gaji dan fasilitas
yang dinikmatinya tidak sesuai bayangan
semula.
Memilih kehidupan sebagai
hakim mengingatkan Anisah pada
sosok sang ayah yang bernama Supangat
Atmowijojo. Supangat seorang mantan
hakim yang pernah menjabat sebagai
ketua Pengadilan Tinggi Agama di
Kalimantan dan ketua Pengadilan Agama
di beberapa daerah.
Dia melihat, apa yang dilakukan
sang ayah sangat berguna bagi orang lain.
Sebagai hakim, ayahnya menjadi tempat
bertanya bagi masyarakat sekelilingnya
jika menghadapi persoalan.
“Saya memilih menjadi hakim
mungkin juga karena bapak juga
hakim. Jadi, apa yang dilakukan bapak,
itulah yang saya lihat. Saya berpikir
bisa membantu orang ketika menjadi
hakim. Banyak yang bisa diperbuat untuk
masyarakat,” ujar wanita kelahiran 37
tahun silam ini.
Tak takut teror dan
ancaman
Teror dan ancaman, sebenarnya
bukan barang baru bagi Anisah yang kini
bertugas di Pengadilan Negeri Brebes,
Jawa Tengah. Dia pernah dibuntuti
sekelompok orang sepulang kerja.
Mereka berusaha menakut-nakuti
dan mencoba mempengaruhi Anisah
agar menjatuhkan vonis ringan bagi
seorang terdakwa kasus pembunuhan
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
bagaimana saat harus pulang dinas ke
Sumatera? Terpaksa, dia meminjam uang
dari adiknya.
Meminjam uang ke saudara,
baginya juga urusan prinsip. Lebih baik
terlihat miskin di mata keluarga, daripada
dia menerima uang-uang haram.
Kehidupan serba terbatas juga
dijalani di Pengadilan Negeri Brebes
sekarang ini. Tiga tahun bertugas
di Brebes, Anisah tinggal di rumah
kontrakan, bukan rumah dinas dengan
berbagai fasilitas lengkap. Rumah
kontrakan itu berlokasi di salah satu
perumahan tak jauh dari kantor
Pengadilan Negeri Brebes. Rumah itu
tergolong sangat sederhana, dua kamar
tidur dan ruang tamu. Di bagian belakang,
pemilik rumah sudah menambah ruang
untuk dapur dan kamar mandi.
Mengapa dia harus mengontrak?
Sebenarnya Pengadilan Negeri Brebes
memiliki beberapa rumah dinas.
Namun, rumah layak huni sangat
terbatas dan tidak sesuai dengan jumlah
hakim, sehingga hakim yang tidak
menerima jatah rumah dinas terpaksa
mengontrak.
Melihat rumah dinas yang dalam
kondisi rusak parah dan tidak layak huni
sungguh memprihatinkan. Pintu, kaca,
jendela dan kusen rumah keropos,
sebagian hilang entah ke mana. Rumput
liar tumbuh tak terkendali, menutupi
seluruh halaman. Bahkan tanaman
rambat memenuhi seluruh atap rumah
dinas. Atap rumah dinas pun berwarna
hijau tertutup daun. Letak rumah dinas
agak jauh dari perumahan penduduk,
sehingga dapat mengancam keamanan
hakim.
Anisah adalah salah seorang
hakim yang tidak menerima jatah
rumah dinas tersebut. Oleh sebab itu,
perempuan yang pernah terpilih sebagai
hakim terbaik versi Majalah Tempo ini
memilih mengontrak rumah.
Pelan-pelan Anisah melengkapi
kebutuhan rumahnya. Rumah
Anisah menjadi hakim ketua saat menyidangkan suatu perkara.
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
41
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
LEBIH DEKAT
PN Brebes tempat Anisah bekerja sebagai hakim
yang sedang disidangkannya. Pernah
juga persidangan yang dipimpin Anisah
didemo oleh massa, bahkan sempat
ricuh. Polisi sempat menemukan salah
satu anggota keluarga korban membawa
air keras. Belakangan diketahui, air keras
itu disiapkan untuk disemprotkan
pada si terdakwa. Keluarga korban
berteriak-teriak, agar Anisah menghukum
terdakwa seberat-beratnya.
Tekanan apa pun tak membuat
Anisah bergeming dan ia tetap
memutuskan terdakwa bersalah. Baginya,
pembuktian materiil dan syarat formal
hukum acaralah yang menentukan salah
atau tidaknya seorang terdakwa, bukan
tekanan dari pihak lain.
Menjadi hakim, menurut Anisah,
harus menyiapkan mental saat harus
menghadapi situasi yang penuh denan
tekanan. Dia sadar betul, bahwa profesi
ini penuh risiko. Ancaman yang pernah
diterimanya, dianggap belum berarti
apa-apa dibanding hal serupa yang
pernah diterima hakim lain. Mereka
pernah mengalami ancaman yang
taruhannya adalah nyawa.
“Saya tidak terpengaruh
ancaman. Bagi saya dan teman-teman
pada saat bersidang harus sesuai aturan.
Kami melaksanakan sesuai hukum
42
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
acara. Jadi, buat apa kami takut. Jangan
sampai ancaman itu mempengaruhi
putusan kami. Hakim harus independen,”
tegasnya. Anisah berprinsip, harus bisa
memenuhi hukum acara persidangan.
Ini paling penting. Baru setelah itu
pembuktian materiilnya. Jika semua
terpenuhi, Anisah baru bisa memutus
perkara secara independen dan tidak
terpengaruh apa pun kecuali fakta-fakta
persidangan.
Jiwa aktivis
Melihat berbagai kesulitan
tersebut, tak jarang Anisah membuat
berbagai terobosan di berbagai tempat
penugasan. Sayangnya, langkahnya
kadang membuat tak nyaman koleganya.
Tapi, baginya sejauh apa yang dilakukan
benar, maka ia akan tetap berpegang
teguh kendati harus berseberangan
dengan pihak lain.
Sebelum menjadi hakim, Anisah
sempat menjadi aktivis lembaga
swadaya masyarakat (LSM). Waktu itu
dia aktif berkampanye menyuarakan
kebebasan memperoleh informasi. Dia
tergabung dalam Koalisi Masyarakat
untuk Informasi Publik, bersama dengan
Indonesia Centre for Enviromental Law
(ICEL) dan Aliansi Jurnalis Independen
(AJI). Kegiatan itu dijalaninya usai
menyelesaikan pendidikan di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (UI).
Pengalaman menjalani aktivitas
di LSM memberi bekal penting dalam
kariernya sebagai hakim. Dia bersyukur
bisa menikmati dunia gerakan sosial itu.
Anisah mengaku banyak mengambil
semangat LSM, antara lain independensi
dan kreativitasnya. Saat bekerja di NGO,
dia harus kreatif merumuskan program
untuk bisa berkampanye secara
tepat, menyusun naskah akademik
hingga melakukan lobi ke pemangku
kepentingan.
Karena pengalaman itu pula dia
menjadi hakim yang berbicara terbuka
dan terlihat tidak terlalu birokratis.
Dia menyampaikan secara terbuka
perbedaan pendapatnya dengan hakim
lain. Jika tidak menemukan titik temu,
Anisah tak segan memberi dissenting
opinion, berbeda pendapat dengan
hakim yang lainnya.
“Kalau saya melihat dari hukum
materiil, majelis lain dari hukum formil.
Jadi beda pendapat sesuatu yang biasa.
Bukan sesuatu yang aneh, kita anggap
biasa,” ujarnya.
Anisah yakin dengan keputusan
yang diambil, karena ada mekanisme
pengadilan banding jika ada pihak
yang tidak puas dengan putusannya.
Menurut Anisah, ini salah satu karakter
warisan dari dunia aktivis, kuat dalam
berpendirian.
“Saya merasa, saya seperti
ini, bisa bersikap seperti ini karena
saya dulu di NGO. Tapi, saya tidak bisa
menggambarkan secara riil, sebenarnya
apa yang menyebabkan saya terlihat
sebagai alumni masyarakat sipil ini,”
ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia tahun 1999 ini.
Kisah selengkapnya bagaimana perjalanan
hidup Anisah Shofiawati dan hakim-hakim
lainnya, dapat dibaca dalam buku hakim
progresif yang akan diterbitkan Komisi
Yudisial.
KOMPARASI
Profil Singkat Komisi Yudisial di Maroko, Mesir, Yordania, Libanon, dan Palestina
Mengenal Komisi Yudisial di
Bumi Arab
Muhamad Ilham
S
ebagaimana telah diulas pada
beberapa edisi sebelumnya,
perkembangan lembaga seperti
Komisi Yudisial terus dilaporkan dan
dipantau oleh berbagai lembaga
internasional. Monitoring itu berjalan
setelah pada April 2004 sebuah working
group yang disponsori oleh dana bantuan
Amerika Serikat (IFES), melakukan
penelitian terhadap tren dan model
Komisi Yudisial yang berkembang di
Eropa Barat dan Amerika Latin dengan
judul “Global Best Practices:Judicial
Councils Lessons Learned from Europe
and Latin America”.
Penelitian yang dikomandoi oleh
Violaine Autheman dan Sandra Elena
tersebut dilakukan di 35 negara Eropa
Barat dan Amerika Latin. Pada November
2008, dua akademisi dari working group
tersebut yang bernama Nuno Garoupa
dan Tom Ginsburg dari Chicago University
melakukan penelitian kedua berjudul
“Guarding the Guardians:Judicial
Councils and Judicial Independence”.
Penelitian ini ditujukan untuk memotret
perkembangan dan bukti empirik praktik
lembaga seperti Komisi Yudisial di 121
negara dari sepuluh kawasan seperti Sub
Sahara Afrika, Asia Selatan, Asia Timur,
Asia Tenggara, Oceania, Timur Tengah/
Afrika Utara, Amerika Latin, Karibia, Eropa
Timur, dan Eropa Barat.
Sementara itu, tidak banyak
diketahui bahwa pada tahun yang
sama (2008), lembaga federasi HAM
internasional yang menamakan diri
International Federation for Human
Rights (FIDH) menyelenggarakan sebuah
konferensi internasional yang dihadiri
oleh berbagai negara Timur Tengah
dengan mengangkat tema Judicial
Councils Reforms for an Independent
Judiciary.
Konferensi yang mengambil
pembelajaran dari berbagai negara
seperti Maroko, Mesir, Libanon,
Yordania, dan Palestina ini memfokuskan
pembahasannya pada perkembangan
dan reformasi Komisi Yudisial di
masing-masing negara. Sebagaimana
ciri negara berkembang yang banyak
mengadopsi cara-cara mapan negara
di Eropa, sejumlah negara di Timur
Tengah memandang kehadiran Komisi
Yudisial sebagai salah satu upaya untuk
memperbaiki kondisi peradilan mereka,
dasar yang sama dengan Indonesia. Dari
konferensi tersebut dapat dipetakan
tipologi masing-masing Komisi Yudisial
di kawasan Timur Tengah.
Apabila dibandingkan dari
sisi dasar hukum, Maroko, Mesir,
dan Palestina memiliki kemiripan
dengan Indonesia. Kedudukan Komisi
Yudisial di masing-masing negara
itu diatur dengan konstitusi dan
undang-undang. Sementara dari segi
komposisi keanggotaan, Komisi Yudisial
negara-negara Timur Tengah mayoritas
berasal dari kalangan hakim.
Dari aspek ini sedikit sekali negara
yang sama persis perbandingannya
dengan Indonesia. Hanya Yordania yang
memiliki kemiripan karena mempunyai
jumlah anggota Komisi Yudisial sebanyak
tujuh orang. Namun semuanya berasal
dari unsur hakim. Berbeda dengan
Indonesia yang komposisi keanggotaan
Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam
UU No. 18 Tahun 2011 terdiri dari dua
orang mantan hakim, dua orang praktisi
hukum, dua orang akademisi hukum, dan
seorang anggota masyarakat.
Komisi Yudisial di Timur Tengah
pada dasarnya memiliki tugas terkait
seleksi, proses mutasi-promosi, dan
proses disiplin atas hakim. Dalam konteks
seleksi hakim, hanya sedikit negara
yang Komisi Yudisialnya memiliki peran
dominan, salah satunya Komisi Yudisial
Palestina. Berbanding lurus dengan
proses seleksi hakim, proses promosi
dan proses disiplin atas hakim juga tidak
banyak negara yang Komisi Yudisialnya
berperan optimal.
Peran dalam seleksi, proses
disiplin, dan promosi hakim di
negara-negara Timur Tengah lebih
didominasi pihak eksekutif. Dalam
konteks dari tiga tugas tersebut peran
Komisi Yudisial Indonesia bisa dibilang
lebih kuat terutama dalam proses
seleksi dan disiplin atas hakim. Dalam
dua wewenang tersebut di Indonesia,
eksekutif hanya menjalankan fungsi
administrasi.
Hal berbeda justru terdapat dalam
proses mutasi hakim. Rata-rata Komisi
Yudisial di negara Timur Tengah justru
memiliki peran dominan dalam dua
tugas ini. Di Libanon misalnya, apabila
dalam proses mutasi hakim terdapat
ketidaksepakatan dari eksekutif, maka
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
43
KOMPARASI
Komisi Yudisial Libanon dapat tidak
mengindahkan, karena mereka lebih
berwenang di bidang tersebut. Bahkan
di Yordania dan Palestina, Komisi Yudisial
di sana mempunyai wewenang penuh
untuk melakukan mutasi hakim.
Dalam hal manajemen dan
otonomi keuangan, Indonesia juga sedikit
lebih beruntung. Maroko, Yordania, dan
Libanon tidak memiliki kemandirian
manajemen dan pos anggaran. Hal ini
tentu berbeda dengan Indonesia yang
Komisi Yudisialnya memiliki sekretariat
jenderal sendiri untuk menjalankan fungsi
manajemen dan pos anggaran sendiri
dalam APBN. Dari segi kemandirian
manajemen dan anggaran ini hanya Mesir
yang posisinya kuat karena memiliki pos
anggaran tersendiri.
Dalam laporannya, FIDH tak
sekadar membedakan tipologi dari
Komisi Yudisial di kawasan Timur
Tengah. Laporan hasil konferensi juga
menginformasikan bahwa proses
reformasi terus berjalan bukan hanya
pada dunia peradilan di masing-masing
negara, tetapi juga pada Komisi
Yudisialnya. Itu pula yang menjadi hasil
utama dari konferensi. Sehingga dicapai
kesepakatan diantara negara-negara
tersebut untuk diformulasikan dalam
suatu kesimpulan, bahwa untuk tetap
menjaga independensi peradilan
maka proses reformasi terhadap pilar
penjaganya yakni Komisi Yudisial harus
tetap dijamin.
Tipologi Komisi Yudisial di Timur Tengah
Kewenangan (berhubungan langsung dengan hakim)
44
Otonomi
Manajemen dan
Keuangan
Negara
Dasar Hukum
Komposisi
Maroko
Berdarkan
konstitusi dan
undang-undang
6 orang dipilih
dan 4 orang
ex officio dari
unsur hakim
Sebagian
besar dari
kalangan
hakim namun
tidak semua
diseleksi
Seleksi berdasarkan
persaingan yang sehat
Peran eksekutif lebih
dominan dalam proses
seleksi
KY dapat
mengusulkan
mutasi
KY hanya
diberi porsi
konsultasi atau
setidak-tidaknya
diinformasikan
Proses
didominasi oleh
eksekutif
Tidak memiliki
kemandirian
manajemen dan
keuangan
Tidak memiliki kode
etik hakim
Dibentuk
berdasarkan
undang-undang
yang diusulkan
eksekutif
Mesir
Berdasarkan
konstitusi dan
undang-undang
Sebagian
besar dari
kalangan
hakim namun
tidak semua
diseleksi
Ketua KY
ditunjuk oleh
Presiden
Hakim ditunjuk berdasarkan
keputusan presiden tidak
berdasarkan seleksi
Berbagi
peran dengan
eksekutif, tapi
persetujuan KY
sangat penting
Berbagi
peran dengan
eksekutif, tapi
persetujuan KY
sangat penting
Proses
pengawasan
dilaporkan
kepada eksekutif
Komite disiplin
beranggotakan
para hakim
Memiliki pos
anggaran sendiri
Tidak memiliki kode
etik hakim
Yordania
Tidak ada di
konstitusi.
Dibentuk oleh
undang-undang
7 orang
anggota,
seluruhnya
hakim
KY memilih hakim dengan
rekomendasi dari eksekutif
KY memiliki
kewenangan
penuh dalam
proses mutasi
KYmenentukan
promosi atas
laporan dari
eksekutif
Proses
pengawasan
dilaporkan
kepada eksekutif
Komite disiplin
beranggotakan
anggota KY
Tidak memiliki
kemandirian
manajemen dan
keuangan
Kode etik disusun
oleh para hakim
dan dipublikasikan
tahun 2005
Libanon
Tidak ada di
konstitusi,
namun
berada dalam
salah satu
klausul dalam
undang-undang
10 orang
Hakim,
8 orang
ditunjuk oleh
eksekutif
dan 2 orang
melalui proses
pemilihan
Seleksi berdasarkan
persaingan yang sehat
KY memiliki peran konsultasi
dalam proses pemilihan
Dalam hal terjadi
ketidaksepakatan
dengan
eksekutif,
KY lebih
berwenang
KY hanya
memiliki peran
konsultasi
Proses dilakukan
oleh para hakim
dengan supervisi
dari eksekutif
Tidak memiliki
kemandirian
manajemen dan
keuangan Kode
etik disusun oleh
para hakim dan
diratifikasi oleh
eksekutif
Palestina
Berdasarkan
konstitusi dan
undang-undang
sendiri
8 dari 9
anggota
merupakan
hakim Tidak
seluruh
hakim melalui
pemilihan
KY menyeleksi hakim,
eksekutif yang melakukan
penunjukannya
KY memiliki
kewenangan
penuh
KY menyeleksi
promosi hakim,
eksekutif yang
melakukan
penunjukannya
KY melakukan
supervisi atas
prosesnya
Memiliki kode
etik hakim KY
mengevaluasi dan
melakukan kontrol
atas anggaran
peradilan
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
Seleksi dan Pemilihan
Mutasi
Promosi
Disiplin
INTERNASIONAL
Gagal Prediksi Gempa,
Dihukum Enam Tahun Penjara
Prasita
Tidak seorang pun bisa membuat predikasi akurat tentang
gempa. Tetapi di Italia, ilmuwan dihukum karena memberikan
informasi yang tidak benar tentang gempa.
tetap tinggal karena mempercayai
prediksi dari lembaga itu. Namun
para terdakwa berdalih tidak ada cara
yang akurat dan tak seorang pun bisa
memastikan terjadinya gempa besar.
Proses pengadilan yang telah
berlangsung sejak September 2011
diakhiri dengan pembacaan putusan
Menuai Protes
†† cdsweb.cern.ch
E
nam orang ilmuwan Italia
beserta satu orang pejabat
pemerintah divonis enam
tahun penjara terkait dengan kejadian
gempa tahun 2009 yang mengguncang
kota L’Aquila, Italia. Tujuh orang yang
bekerja pada National Commission for
the Forecast and Prevention of Major
Risk tersebut dianggap bersalah atas
hilangnya 309 nyawa dalam gempa
bumi berkekuatan 6,3 skala Richter itu.
Di antara para ilmuwan yang terbelit
kasus tersebut, terdapat ahli gempa dan
geologi yang memiliki reputasi di level
internasional.
Dalam pengadilan wilayah, jaksa
mengemukakan bahwa para terdakwa
telah memberikan informasi yang tidak
akurat, tidak lengkap dan kontradiktif
tentang getaran yang terjadi sebelum
gempa. Selama 4 bulan sebelum
terjadinya gempa besar, memang
telah terjadi 400 kali getaran yang
mengguncang kota itu. Para peneliti
lokal pun telah memperingatkan risiko
terjadinya gempa besar. Namun setelah
dilakukan rapat, salah seorang ilmuwan
melalui konferensi pers menyatakan
bahwa situasi saat itu normal dan tidak
ada yang perlu dikhawatirkan.
Salah satu saksi yang ayahnya
menjadi korban gempa mengungkapkan
bagaimana ayahnya memutuskan untuk
7,8 juta Euro dan seumur hidup dilarang
untuk menduduki jabatan publik.
Salah seorang pengacara
terdakwa, Marcello Petrelli, mengatakan
bahwa putusan tersebut sangat
tergesa-gesa dan sulit untuk dipahami.
Pengacara para terdakwa bersepakat
mereka akan mengajukan banding. Para
ilmuwan ini akan tetap bebas selama
proses banding dilakukan.
Luciano Maiani
oleh hakim Marco Billi pada akhir Oktober
lalu. Hakim memutus ketujuh orang
tersebut dipenjara selama enam tahun,
dua tahun lebih tinggi dari tuntutan
jaksa. Selain itu, mereka diperintahkan
untuk membayar kompensasi sebesar
Kejadian yang menimpa
para ilmuwan Italia ini sempat
menggemparkan komunitas ilmiah
internasional. Beberapa ilmuwan
mengkhawatirkan kasus tersebut
dapat menghalangi ilmuwan lain untuk
menyebarluaskan pengetahuan yang
dimilikinya karena takut berhadapan
dengan tuntutan hukum.
Luciano Maiani, ilmuwan yang
memimpin National Commission for
the Forecast and Prevention of Major
Risk, mengundurkan diri setelah vonis
hakim tersebut dibacakan. Menurut
Luciano, kriminalisasi tersebut menandai
berakhirnya peran para akademisi dan
profesional terhadap negara. Karena
tak mungkin untuk memberi saran dan
pertimbangan secara profesional kepada
negara dengan sistem hukum yang
seperti itu. Selain Maiani, Mauro Dolce,
direktur lembaga yang mengawasi
ancaman gunung berapi dan gempa
bumi juga menyatakan pengunduran
dirinya sebagai bentuk protes terhadap
putusan hakim atas kasus tersebut.
(Sumber: BBC, CNN, The Guardian)
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
45
RESENSI
Praktik-praktik penyelewengan
dalam penegakan hukum
seperti proses peradilan
yang diskriminatif, jual-beli
putusan hakim, atau tebang
pilih kasus merupakan
realitas di negara ini. Dampak
dari penyelewengan hukum
tersebut adalah hilangnya
rasa hormat dan timbulnya
ketidakpercayaan terhadap
aparat penegak hukum.
Sehingga membuat masyarakat
mencari keadilan sendiri.
Praktik-praktik main hakim
sendiri merupakan refleksi dari
gagalnya hukum ditegakkan.
P
ersoalan hukum seperti
disebutk an merupak an
satu rangkaian yang tidak
terpisahkan.Artinya tidak
ada persoalan hukum yang terjadi
disebabkan faktor tunggal. Ada
rangkaianpersoalan yang saling
terhubung sehingga keadilan tidak
tercipta dengan semestinya ditangan
para aparatnya. Inilah sistem hukum,
ketika sub sistem tidak berjalan secara
benar maka akan berpengaruh pada
sub sistem yang lain sehingga secara
keseluruhan terjadi penyimpangan
dalam bekerjanya sistem hukum
tersebut.
M e n u r u t Fr i e d m a n a d a
tigakerangka teoritis yang dapat
menjelaskan bekerjanya sistem
hukum dalam masyarakat. Ketiganya
adalah substansi hukum, struktur
hukum dan budaya hukum. Substansi
hukum mencakup produk kebijakan
46
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
Ada Apa
dengan
?
Hukum
di Indonesia
Imran
Tenaga Ahli Komisi Yudisial
Judul Buku :
Penyusun :
Tebal Halaman :
Penerbit :
Tahun terbit :
Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia
Komisi Yudisial
xiv + 353
Komisi Yudisial
2012
dari lembaga negara. Struktur hukum
menyangkut aparat yang bekerja
untuk menegakkan hukum. Sedangkan
budaya hukum menyangkut bagaimana
hukum dilaksanakan, dihindari ataupun
disalahgunakan. Ketiga subsistem
ini saling berpengaruh. Untuk
mengefektifkan bekerjanya hukum
dalam masyarakat ketiga subsistem
tersebut harus diperbaiki secara
menyeluruh bukan parsial. Ketiga sub
sistem tersebut membentuk apa yang
disebut dengan sistem hukum.
Dalam konteks ke-Indonesiaan
pembaruan sistem hukummenjadi
penting karena banyaknya persoalan
yang terjadi pada aparat-aparat
penegak hukum mulai dari polisi,
jaksa, pengadilan hingga lembaga
pemasyarakatan. Persoalan ini terus
saja terjadi karena tidak ada upaya
serius untuk melakukan pembaruan
sistem hukum tersebut. Di sisi lain
pembaruan tersebut dilakukan karena
adanya perubahan sosial ke masyarakat
menyangkut nilai-nilai, sikap, dan pola
perilaku di antara kelompok-kelompok
dalam masyarakat sehingga perubahan
tersebut tidak menjadi anarkis,
disebabkan tidak adanya kerangka yang
membatasinya.
Persoalan tersebut dimulai
dari perumusan peraturan
perundang-undangan yang sarat dengan
kepentingan-kepentingan tertentu baik
yang bersifat internal maupun eksternal
(hal.58). Selain itu perumusan suatu
kebijakan hukum hanya kuat secara
yuridis semata,sedangkan filosofis
dan sosiologisnya seringkali diabaikan
(hal.97). Padahal perumusan peraturan
perundang-undangan merupakan hasil
kristalisasi nilai-nilai yang hidup dan
berkembang dalam masyarakatserta
persepsi tentang keadilan yang
diinginkan oleh masyarakat. Oleh
karena itu untuk
mencegah celah yang
besar antara keinginan
penguasa dengan kemauan
masyarakat perlu dibuka
ruang publik yang besar untuk
memperbincangkan banyak
isu nasional. Hasil wacana
bisa dikomunikasikan secara
terencana dan negosiatif untuk
mempengaruhi pengambilan kata
putus oleh pejabat pemerintah
(hal.15).
Ketika perumusan
perundangan-undangan dilakukan
dengan cara dan tindakan yang tidak
melibatkan partisipasi publik maka
akan mengakibatkan munculnya
ketimpangan dalam pelaksanaannya
di lapangan. Hal ini sering tidak disadari
oleh para pembentuk hukum, yang tidak
melihat bahwa hukum bukan hanya
peraturan, melainkan juga bangunan
ide, kultur dan cita-cita. Ketika hukum
hanya dipandang sebagai peraturan
dan prosedur maka keberadaannya
hanya bersifat mekanis semata tanpa
ruh. Akibatnya kemudian memiliki
korelasi dalam implementasinya
oleh lembaga-lembaga hukum, yang
bertindak diskriminatif, menyuguhkan
kekerasan dan tidak sensitif gender
(hal.59). Di sisi yang lain suburnya
judicial corruption di lembaga-lembaga
penegak hukum juga disebabkan
rendahnya kualitas sumber daya
manusia baik secara intelektual maupun
spritual, birokrasi yang berjenjang,
pengawasan internal yang sangat lemah
serta rendahnya integritas pimpinan
lembaga-lembaga penegak hukum
yang membuat terpuruknya penegakan
hukum.
Selain persoalan peraturan
perundang-undangan dan aparatnya,
budaya hukum juga dapat memberikan
gambaran yang konkret tentang kondisi
hukum dalam masyarakat. Dalam
prespektif budaya hukum, efektifitas
sistem hukum
dapat terjadi
apabila tingkah laku
manusia di dalam masyarakat
sesuai dengan apa yang telah ditentukan
dalam peraturan hukum yang berlaku.
Oleh karena itu antara perumusan aturan
hukum dan pelaksanaan oleh aparatnya
akan berdampak pada budaya hukum
masyarakat. Ketika terjadi ketidakadilan
dalam pelaksanaan hukum, maka
dalam tingkatan yang praktis akan
memunculkan persepsi dan tindakan
yang tidak sesuai dengan cita-cita hukum
tersebut, hukum akan dipersepsikan
negatif. Hal ini dapat dilihat dari begitu
seringnya masyarakat main hakim
sendiri karena ketidakmampuan
aparatnya memberikan rasa keadilan
bagi masyarakat sehingga masyarakat
mencari model penyelesaian hukumnya
sendiri.
Budaya hukum adalah cermin
identitas dan sekaligus sumber refleksi,
sumber abstraksi yang terwujud dalam
nilai-nilai yang terkandung dalam setiap
produk hukum dan terlembagakan
dalam setiap institusi hukum, dalam
produk substansi hukum dan juga
terbentuk dalam sikap dan perilaku
setiap pejabat atau aparat dan pegawai
yang bekerja di bidang hukum serta
para pencari keadilan dan warga
masyarakat pada umumnya. Budaya
hukum juga mempengaruhi
cara kerja para pemimpin dan
mekanisme kepemimpinan
hukum dalam praktik (hal.39).
Membaca buku
“ D i a l e k t i k a Pe m b a r u a n
Sistem Hukum Indonesia”
yang diterbitkan Komisi
Yudisial, kita akan dibawa
kearah perdebatan teoritis
tentang hukum dengan
segala dinamikanya.Buku
ini terdiri dari lima bab, ditulis
oleh para pakar dalam bidangnya.
Walaupun nuansa buku sangat kental
dengan hal yang teoritis namun ada
juga tulisan yang ingin menampilkan
realitas penegakan hukum di negeri
ini, sebagai gambaran dari begitu
problematisnya penegakan hukum di
negeri ini. Terkesan penerbitan buku
ini untuk memberikan gambaran yang
utuh terhadap para pembaca.
Simpul-simpul permasalahan
dari sistem hukum yang ada di Indonesia
serta pembaruan seperti apa yang
harusnya dilakukan oleh para pengambil
kebijakan di negeri ini dalam merespon
begitu kompleksnya permasalahan
hukum yang dihadapi oleh bangsa ini.
Buku ini sangat menarik untuk dijadikan
referensi pengetahuan bukan saja para
akademisi namun juga bagi praktisi. Ada
keinginan yang kuat dari penulisan buku
ini, yaitupembaruan sistem hukum
harus diletakkan dalam konteks struktur
keadilan sosial, ekonomi, politik dan
kebudayaan. Jika strukturnya sangat
timpang secara hierarkis maka niscaya
yang akan ditegakkan bukanlah hukum
yang berkeadilan melainkan hanya
sekedar onggokan teks hukum yang
bersifat formalistik dan mekanistik
belaka.
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
47
KONSULTASI HUKUM
Conflict of
Interest
Pertanyaan:
Redaksi yang terhormat,
Pertanyaan saya ada kaitannya dengan pertanyaan pada rubrik
Konsultasi Hukum edisi lalu tentang whistle blower dan justice collaborator,
yang erat kaitannya dengan pemberantasan korupsi. Pertanyaan kali
ini mengenai conflict of interest yang dikatakan sebagai suatu konsep
anti korupsi fundamental. Apakah konsep anti korupsi fundamental
itu sudah dilaksanakan di Indonesia? Bagaimana hasilnya? Mengenai
pertanyaan pada rubrik Konsultasi Hukum edisi lalu yang telah dijawab,
saya dan teman-teman diskusi mengucapkan terima kasih kepada
redaksi.
Wira, Sukabumi
Jawaban:
Pertanyaan saudara sangat
bagus dan perlu disimak dengan teliti.
Istilah conflict of interest ini mempunyai
banyak pengertian, tidak hanya terbatas
pada perbuatan korupsi. Namun, dalam
menjawab pertanyaan saudara, saya
memfokuskan hanya pada conflict of
interest yang berkaitan dengan pidana
korupsi.
Salah satu penyebab utama dari
tindak pidana korupsi adalah conflict of
interest yang terjadi pada penyelenggara
negara. Dalam Undang-Undang
48
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas KKN dirumuskan, bahwa
yang dimaksud dengan penyelenggara
negara adalah pejabat negara yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif,
atau yudikatif dan pejabat lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggara negara
sesuai perundangan-undangan yang
berlaku.
Lalu mengapa conflict of interest
menjadi sebab terjadinya korupsi? Atau
A.J. Day, S.H
Tenaga Ahli Komisi Yudisial
sesuai pertanyaan saudara sebagai
konsep dasar anti korupsi? Para pakar
berpendapat, antara lain Tim Lankester
dari Oxford University, bahwa conflict
of interest sudah terjadi sejak adanya
public administration. Yang dimaksud
oleh Tim adalah conflict of interest di luar
private sector. Tim Lankester selanjutnya
mengatakan dilihat dari kacamata
modern barat, conflict of interest
merupakan akar penyalahgunaan
wewenang oleh para politisi dan pejabat
publik untuk kepentingan pribadi.
Kepentingan pribadi mereka tidak
sesuai dengan tujuan dari pemerintah
ataupun institusi yang mereka wakili
sebagai pejabat negara.
Konflik itu terjadi antara
tugas dan kewenangan yang dimiliki
dengan kepentingan pribadi pejabat
bersangkutan. Jika tujuan atau
kepentingan pribadi ini dicapai
dengan penggunaan kewenangan
yang ada pada pejabat tersebut, hal
demikian disebut abuse of power atau
menyalahgunakan kekuasaan.
Oleh karena itu adalah mutlak
untuk mengatasi penyalahgunaan
wewenang dan kedudukan, dilakukan
upaya-upaya secara terencana untuk
menghilangkan adanya conflict of
interest. Apabila upaya ini berhasil
dengan baik maka tindak pidana korupsi
akan dapat diminimalisir.
Sebagai contoh sebut saja
Singapura. Negara ini merupakan salah
satu yang paling bersih dari korupsi.
Usaha yang dilakukan Singapura
adalah menyamarkan garis pembatas
antara bisnis dengan pemerintahan.
Ikatan antara politisi dan pejabat
publik sangatlah erat. Hal ini ditunjang
dengan hanya ada satu partai politik di
Singapura. Semua negara yang telah
berhasil menurunkan tingkat conflict of
interest menunjukkan penurunan pada
angka korupsinya. Sebaliknya pada
negara-negara dimana terjadi abuse of
power untuk kepentingan pribadi atau
golongan, hal itu disebabkan belum
teratasinya conflict of interest.
Bagaimana dengan Indonesia?
Menurut pakar, konsep conflict of interest
di Indonesia belum terlalu dikenal
sebagai salah satu penyebab timbulnya
perbuatan koruptif.
Tidak ada satu pun
undang-undang yang mendefinisikan
bahwa conflict of interest adalah
penyebab perbuatan korupsi yang
sekarang telah menyebar ke semua
penyelenggara negara. Mengenai conflict
of interest , hanya ada sepintas yang
diatur di dalam perundang-undangan
yaitu menyangkut badan usaha.
KPK, dalam pelaksanaan tugasnya
secara preventif telah menerbitkan
buku panduan penanganan konflik
kepentingan bagi penyelenggara
negara.
Dalam buku panduan tersebut
secara rinci dijelaskan tentang apa yang
dimaksud dengan konflik kepentingan
yang terjadi di Indonesia dengan
mengemukakan contoh-contoh kasus
dalam bentuk tanya jawab. KPK juga telah
menggunakan sarana seminar regional
di Jakarta dimana sejumlah narasumber
terkenal didatangkan dari luar negeri.
Para pakar itu menyampaikan bahan
perbandingan tentang penanganan
konflik kepentingan di negara
masing-masing.
Semuanya telah dilakukan
sejak KPK jilid 1, namun gemanya
tidak sebesar yang terjadi saat KPK
berusaha melakukan tindakan represif.
Hal ini mungkin disebabkan karena
KPK tertimpa prahara sejak KPK jilid 2
sehingga mengganggu kinerja, dan yang
lebih hebat lagi adalah terungkapnya
kasus-kasus korupsi yang lebih besar
yang melibatkan para politisi terkemuka
maupun pejabat negara sehingga KPK
lebih memfokuskan diri pada tindakan
represif ketimbang preventif.
Dari uraian di atas, dengan
meniru negara-negara lain yang
berhasil menurunkan angka korupsi
melalui penghilangan conflict of interest,
maka hendaknya conflict of interest juga
dijadikan perhatian utama negara
kita.
Masa reformasi seharusnya
diawali dengan meninggalk an
praktik-praktik orde baru dimana
eksekutif terlalu berkuasa dan praktik
KKN merajalela. Conflict of interest yang
dipraktikkan oleh pejabat negara yang
mempunyai kepentingan dalam
usaha swasta yang ternyata
menjadi sumber terjadinya
korupsi seharusnya sudah
mulai diatasi. Upaya
pemberantasan
korupsi selama era
reformasi memang
cukup signifikan,
namun akar
permasalahan
berupa conflict
of interest belum
tersentuh secara
memadai.
Sebaliknya
conflict of interest
ini pada masa
reformasi telah
merambat ke daerah.
Di pusat maupun di
daerah dimana DPR atau
DPRD semakin bertambah
kewenangannya, maka conflict of
interest ini juga semakin merambati
DPR atau DPRD-nya. Bukan hanya itu,
sistem peradilan mulai dari pelaksana,
penyelidikan, penyidik, penuntutan,
serta persidangan pengadilan, conflict of
interest ini telah terlihat jelas. Tidak heran
apabila terjadi korupsi pada bidang
eksekutif yang selama ini juga telah
terjadi di bidang legislatif, juga peradilan
yang dikenal dengan mafia peradilan.
Di masa yang akan datang, dan
sebaiknya mulai sekarang ditingkatkan
upaya-upaya menghilangkan conflict
of interest dengan sistematis dan
sungguh-sungguh. Sehingga seperti
pada negara lain yang berhasil
menghilangkan conflict of interest,
tingkat korupsi di negara kita pun dapat
diturunkan serendah mungkin.
Demikianlah jawaban kami
atas pertanyaan saudara mengenai
conflict of interest sebagai suatu konsep
fundamental anti korupsi.
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
49
KALEIDOSKOP
KALEI 2012
DOSKOP
KOMISI YUDISIAL
Tahun 2012 dijalani dengan penuh dinamika bagi Komisi
Yudisial. Ada banyak momen penting dan berharga yang
tidak boleh dilupakan. Bahkan ada momen yang dapat
dikategorikan sebagai sejarah yaitu tuntutan para hakim
soal status dan kesejahteraannya. Rubrik Kaleidoskop
2012 Komisi Yudisial ini mencoba mengulas kembali
secara sekilas momen-momen tersebut.
‘2012’
januari
pebruari
maret
april
mei
junijuli
agustus
september
oktober
nopember
desember
50
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
JANUARI
16
Keprihatinan Vonis
Sendal Jepit
Sebagai bentuk keprihatinan vonis sendal jepit, Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) menyerahkan hasil investigasi terhadap kasus pencurian
sandal jepit yang menimpa AAL di Palu. KPAI juga menyerahkan 50 sandal
jepit yang merupakan sumbangan dari masyarakat sebagai bentuk dukungan
terhadap AAL.
Dokumen dan sandal tersebut diserahkan oleh Ketua KPAI Maria Ulfah Anshor
kepada Komisi Yudisial yang diterima Wakil Ketua H. Imam Anshori Saleh,
bertempat di ruang media, Lantai I Gedung KY Jalan Kramat Raya Nomor
57 Jakarta.
JANUARI
31
Diskusi Forum Jurnalis Komisi
Yudisial tentang Sistem
Hukum Indonesia
Sistem hukum di negara kita perlu dimodernisasi agar penegakan hukum dan
keadilan yang saat ini berantakan bisa berjalan dengan lebih baik. Rendahnya
kepercayaan masyarakat terhadap komisi-komisi negara merupakan satu
indikasi bahwa sistem hukum kita perlu diperbaharui lagi.
Demikian diungkapkan pakar hukum tata negara Jimly Asshidiqqie dalam
diskusi Forum Jurnalis Komisi Yudisial (ForjuKY ) yang berlangsung di ruang
media Komisi Yudisial.
JANUARI
26-27
Regional Workshop on
Judicial Integrity in Southeast
Asia
Penyelenggaraan workshop regional tentang integritas peradilan yang
bertajuk “Regional Workshop on Judicial Integrity in Southeast Asia:
Integrity-based Judicial Reform” diselenggarakan di Hotel Borobudur Jakarta.
Peserta kegiatan ini adalah para hakim agung, Wakil Ketua dan Anggota
Komisi Yudisial serta perwakilan dari hakim, akademisi, maupun pengamat
hukum dan peradilan dari Indonesia maupun Asia Pasifik.
Integritas peradilan merupakan syarat pokok suatu negara hukum yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan demokrasi. Oleh karenanya masalah
menjaga integritas peradilan menjadi masalah bersama.
FEBRUARI
9
Majelis Hakim Agung
Menetapkan Putusan Uji
Materiil tentang KEPPH
Majelis hakim agung yang diketuai Paulus Effendie Lotulung dalam putusannya
Nomor 36P/Hum/2011 menyatakan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir-butir 10.1,
10.2, 10.3, dan 10.4 Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua MA dan Ketua KY
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan perundang-undangan lebih tinggi, yaitu
Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 34A ayat (4) UU Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
51
KALEIDOSKOP
FEBRUARI
9-12
Rapat Kerja
Komisi Yudisial
Pimpinan Komisi Yudisial beserta jajaran sekretariat jenderal mengadakan
rapat kerja tahun 2012 di Garage Hotel, Kuningan, Jawa Barat. Kegiatan Raker
merupakan kegiatan rutin yang melibatkan seluruh jajaran pimpinan dan
staf diselenggarakan sekali dalam setahun sebagai arena evaluasi kegiatan
yang telah dilaksanakan, pembahasan dan mempertajam program kerja yang
akan datang, serta merancang jadwal pelaksanaan kegiatan berdasarkan
program kerja yang telah disusun.
MARET
8
Kerja sama Komisi Yudisial
dengan 34 Fakultas Hukum
Komisi Yudisial melakukan kerja sama dengan 34 fakultas hukum se -Indonesia.
Lingkup kerja sama ini ialah melakukan penelitian bersama sesuai dengan
tema atau topik yang disepakati para pihak, menyelenggarakan pertemuan
ilmiah dalam bentuk seminar, stadium general, diskusi, workshop/lokakarya
yang diharapkan bermanfaat bagi kepentingan para pihak, lembaga peradilan
dan masyarakat, pendidikan dan pelatihan para pihak, penerbitan buku dan
jurnal ilmiah secara berkala, sosialisasi dan pertukaran informasi dalam rangka
menjalankan tugas dan fungsi lembaga, serta program lain yang dianggap
perlu dan disepakati para pihak.
52
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
FEBRUARI
20
Rapat Perdana Tim
Penghubung dan Tim
Asistensi KY-MA di Kantor KY
Tim Penghubung dan Tim Asistensi Komisi Yudisial-Mahkamah Agung
dibentuk untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan
irisan tugas kedua lembaga. Ada empat isu penting yang dibahas tim ini
yaitu panduan penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim, tata
cara pemeriksaan bersama, tata cara pembentukan, tata kerja, dan tata
cara pengambilan keputusan majelis kehormatan hakim, serta seleksi
pengangkatan hakim.
MARET
21
Penyampaian Hasil
Eksaminasi Publik tentang
Putusan Uji Materiil MA
Tim eksaminasi putusan Mahkamah Agung Nomor 36 P/HUM/2011 Tahun 2012
tentang Keputusan Bersama Ketua MA dan KY tentang Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim yang terdiri dari Koodinator Indonesia Court Monitoring
(ICM) Tri Wahyu, Dosen FH Unibraw M. Ali Safaat, Dosen FH Unpas Anthon F.
Susanto, Dosen FH UGM Fajrul Falaakh dan Oce Madril, serta advokat senior
Kamal Firdaus menyerahkan hasil kajian mereka ke Komisi Yudisial. Majelis
eksaminasi menilai putusan tersebut secara etis tidak mendasar, secara yuridis
lemah dan menunjukkan kekacuan penalaran majelis hakim.
MARET
29
Sekretaris Jenderal
Kementerian Hukum Belanda
Kunjungi Komisi Yudisial
Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum Belanda Mr. Joris Demmink
mengunjungi Komisi Yudisial. Kunjungan ini ditujukan untuk memperkuat
hubungan antara Indonesia dan Belanda, lebih khusus di bidang hukum.
Pemerintah Belanda berharap bisa mewujudkan kerja sama dengan Komisi
Yudisial dalam rangka membangun sinergi positif antara Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung. Demmink didampingi oleh Wakil Duta Besar Belanda
untuk Indonesia dan beberapa staf termasuk Direktur Kerjasama Internasional
Kedutaan Belanda. Mereka diterima Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman,
didampingi oleh Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Ibrahim, dan Juru
Bicara Asep Rahmat Fajar.
APRIL
9
Hakim Datangi Komisi Yudisial
Menuntut Perbaikan Status
dan Kesejahteraan
Para hakim yang datang berasal dari lingkungan peradilan umum, agama, dan
TUN dari hampir seluruh wilayah Indonesia. Kedatangan mereka bertujuan
melakukan dialog mengenai isu kesejahteraan hakim. Martha Satria Putra,
hakim PTUN Palangkaraya sebagai juru bicara para hakim, dalam pertemuan
itu mengatakan mereka menuntut hak-hak konstitusional hakim sebagai
pejabat negara yaitu jaminan keamanan, protokoler, gaji, dan tunjangan.
APRIL
2
Kunjungan Bangladesh
Judicial Service Commision
Komisi Yudisial Bangladesh atau Bangladesh Judicial Service Commision
melakukan kunjungan kerja ke Komisi Yudisial Republik Indonesia. Rombongan
Bangladesh Judicial Service Commision terdiri dari lima orang dipimpin
oleh Ketuanya Surendra Kumar Sinha. Mereka diterima oleh Ketua Komisi
Yudisial Eman Suparman didampingi Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga
Ibrahim serta pejabat eselon I dan II. Pertemuan tersebut menjadi ajang tukar
pengalaman pelaksanaan kewenangan dan tugas antara Bangladesh Judicial
Service Commision dengan Komisi Yudisial Indonesia.
APRIL
23
Tahap Wawancara Terbuka
Seleksi Calon Hakim Agung
2011-2012
Tahap wawancara terbuka seleksi calon hakim agung 2011-2012 diikuti 45
calon hakim agung. Komposisinya, 10 orang berasal dari non karir dan 35
orang berasal dari unsur karir. Tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam
proses seleksi calon hakim agung. Wawancara terbuka berakhir pada 3 Mei
2012. Setelah itu, Komisi Yudisial memutuskan calon hakim agung yang lulus
tahapan seleksi akhir ini untuk diusulkan ke DPR.
Sebagai pejabat negara hakim tidak memperoleh fasilitas seperti biasanya
diterima seorang pejabat negara. Kemudian, sebagai PNS hakim juga tidak
menerima kenaikan gaji berkala yang selalu diterima PNS lain tiap tahun.
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
53
KALEIDOSKOP
MEI
14
Penyerahan Hasil Seleksi
Calon Hakim Agung 2011-2012
ke DPR
Komisi Yudisial menyerahkan 12 nama calon hakim agung yang lulus seleksi
tahap akhir kepada DPR. Dari 12 CHA tersebut, tidak ada satu calon pun yang
berasal dari non karier untuk menjalani fit and proper test yang dilakukan DPR.
Penyerahan nama tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial menyatakan bahwa Komisi Yudisial menetapkan
dan mengajukan tiga calon hakim agung kepada DPR untuk setiap satu
lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
MEI
29
Kunjungan Kerja Komisi
Yudisial ke Korea Selatan dan
Turki
Komisi Yudisial bertolak ke Korea Selatan dan Turki guna melakukan studi
banding terkait sistem seleksi pengangkatan hakim (termasuk seleksi
calon hakim agung), pendidikan dan peningkatan kapasitas hakim, serta
pengawasan hakim. Di Korea Selatan, tim yang dipimpin langsung oleh
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman dan Ketua Bidang Rekrutmen Hakim
Taufiqurrohman Syahuri berkunjung ke Kementerian Administrasi Peradilan
Nasional (Minister of National Court Administration) dan Pusat Penelitian dan
Pelatihan Peradilan (Judicial Research and Training Institute). Di Turki, Komisi
Yudisial mendatangi Akademi Kehakiman Turki(Justice Academy of Turkey)
dan The High Council of Judges and Prosecutors(HCJP).
54
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
MEI
22
Kunjungan Chief Executive
Judicial Commission of New
South Wales
Chief Executive Judicial Commission of New South Wales Ernest Schmatt
melakukan kunjungan kedua kalinya ke Komisi Yudisial. Sebelumnya, April
2006, Schmatt telah berkesempatan mengunjungi Komisi Yudisial. Dalam
kunjungan kali ini, dialog yang terjadi antara Schmatt dengan para anggota
Komisi Yudisial banyak membicarakan tentang pelaksanaan investigasi,
mencapai konsistensi dalam penjatuhan pidana, serta program pendidikan
dan pelatihan kepada hakim. Schmatt beserta Murali Sagi (Director Information
Management and Corporate Services Judicial Commission of New South Wales)
juga berkesempatan mempresentasikan keunggulanJudicial Information
Research System (Sistem Riset Informasi Yudisial/JIRS).
JUNI
18
Penandatanganan Nota
Kesepahaman Komisi Yudisial
dengan Ormas Keagamaan
Komisi Yudisial menjalin kerja sama dengan enam organisasi keagamaan yaitu
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Konferensi Waligereja Indonesia
(KWI), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI), dan Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi). Ketua
Komisi Yudisial, Eman Suparman, mengatakan tujuan penandatanganan MoU
ini agar fungsi pengawasan yang dijalankan Komisi Yudisial lebih optimal.
Menurutnya, organisasi keagamaan mempunyai peran dalam mengawal
integritas moral para hakim dari sisi keagamaan/keimanan.
JUNI
21-22
Penjaringan dalam rangka
Seleksi Calon Hakim Agung
Periode II Tahun 2012
Komisi Yudisial kembali menggelar seleksi calon hakim agung di tahun 2012.
Seleksi kali ini untuk menggantikan empat hakim agung yang akan pensiun
hingga Januari 2013 dan satu hakim agung untuk melengkapi kekurangan
seleksi sebelumnya. Empat hakim agung yang akan pensiun pada semester
II 2012 terdiri dari satu hakim agung kamar perdata, satu hakim agung
kamar tata usaha negara, dan dua hakim agung kamar pidana. Sementara
kekurangan hasil seleksi sebelumnya -semester I 2012- berasal dari kamar
pidana. Saat masa pendaftaran Komisi Yudisial melaksanakan sosialisasi
dan penjaringan calon hakim agung di kota Banda Aceh, Jakarta, Bandung,
Surabaya, dan Ambon.
JULI
10
Sidang Majelis Kehormatan
Hakim
Dua orang hakim berinisial PS dan ABS mendapatkan sanksi dari Majelis
Kehormatan Hakim akibat bertemu dengan kuasa hukum salah satu pihak
yang perkaranya ditangani mereka. Hal tersebut melanggar kode etik dan
pedoman perilaku hakim. Hakim PS telah melanggar Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim huruf C butir 1.2.2, butir 2.1.1, butir 2.2.1, butir 3.2.2, butir 5.1.3,
butir 5.1.4, dan butir 7.1. Sementara hakim ABS telah melanggar Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim huruf C butir 1.2.(2), butir 2.1.(1), butir 2.2.(1),
butir 3.1.(1), butir 5.1.2, butir 5.1.7, butir 6.1, butir 7.1 dan butir 9.1.
JUNI
26
Penilaian WTP untuk
Penyajian Laporan Keuangan
Komisi Yudisial oleh BPK
Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun ini kembali memberikan opini
tertinggi dalam pengelolaan anggaran yaitu Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP) bagi Komisi Yudisial. Opini ini merupakan yang kelima kali secara
berturut-turut diperoleh Komisi Yudisial. Anggota I BPK RI Moermahadi Soerja
Djanegara mengatakan Komisi Yudisial telah memenuhi kriteria berdasarkan
empat aspek pemeriksaan, yaitu: kesesuaian dengan standar akuntansi
pemerintah, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.
JULI
17
Penandatanganan Nota
Kesepahaman Komisi Yudisial
dengan Ormas Kepemudaan
Komisi Yudisial menjalin kerja sama dengan tujuh organisasi kepemudaan
(OKP) dalam rangka memperluas dukungan terhadap peradilan bersih di
Indonesia. Ketujuh OKP tersebut adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI),
Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Persatuan Pelajar Islam
(PPI), Gerakan Pemuda Indonesia (GPI), dan Generasi Muda Budhis Indonesia
(GMBI). Penandatanganan kerja sama dilakukan oleh Sekretaris Jenderal Komisi
Yudisial, Muzayyin Mahbub, dengan masing-masing ketua OKP.
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
55
KALEIDOSKOP
JULI
17
Pelaksanaan Diskusi Kode
Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim di Banjarmasin
Dalam kegiatan ini Ketua Komisi Yudisial Eman Suparmanmengatakan
peningkatan kapasitas hakim bukan hanya melalui lembaga formal yang ada
di Mahkamah Agung saja tapi juga melalui kerja sama dengan pihak lain.
Komisi Yudisial sedang mencari formula bagaimana Mahkamah Agung
melalui usulan Komisi Yudisial dapat mengirimkan hakim yang berprestasi
ke luar negeri untuk dididik di lembaga yang kompeten untuk peningkatan
kapasitas hakim.
AGUSTUS
14
Peringatan HUT ke-8 Komisi
Yudisial
Acara puncak peringatan HUT ke-8 Komisi Yudisial diisi dengan diskusi publik
bertema “Independensi dan Akuntabilitas Hakim dalam Memutus Perkara:
Tinjauan Etik dan Hukum”. Ada lima pembicara dalam diskusi ini. Mewakili
unsur hakim dimunculkan hakim agung Salman Luthan dan Surya Jaya. Dari
unsur Komisi Yudisial diwakili oleh Jaja Ahmad Jayus, Ketua Bidang SDM
dan Litbang. Mewakili unsur akademisi tampil Reza Indragiri Amriel, dosen
psikologi forensik Universitas Bina Nusantara. Tak ketinggalan Nasaruddin
Umar, Wakil Menteri Agama juga ikut berargumen di atas panggung mewakili
unsur keagamaan. Diskusi ini dimoderatori Asep Rahmat Fajar, Juru Bicara
Komisi Yudisial.
56
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
AGUSTUS
1-2
Proses Seleksi Kualitas Calon
Hakim Agung Periode II 2012
78 CHA yang mengikuti tahap II seleksi calon hakim agung (SCHA) 2012.
Rangkaian SCHA tahap II adalah pembuatan karya tulis di tempat, legal case I
(kasus Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim), legal case II (membuat contoh
putusan hakim), dan penilaian karya profesi masing-masing calon. Berbeda
dengan seleksi sebelumnya, pelaksanaan tes legal case kali ini diselenggarakan
dua kali dengan tema soal yang berbeda.
SEPTEMBER
12-14
Pelatihan Tematik Tindak
Pidana Khusus bagi Hakim
Tinggi di Medan
Sebagai wujud komitmen Komisi Yudisial dalam meningkatkan kapasitas
hakim diselenggarakan pelatihan tematik tindak pidana khusus untuk
para hakim tinggi. Pelatihan ini diselenggarakan di hotel Aston, Medan.
Pelatihan tematik tindak pidana khusus ini diikuti 35 hakim tinggi dari
Medan, Jakarta, Banda Aceh, Bandung, Bangka Belitung, Banten, Bengkulu,
Padang, Palembang, Pekanbaru, Pontianak, Tanjung Karang, Yogyakarta
dan Semarang.
SEPTEMBER
14-22
Kunjungan Kerja ke Italia dan
Perancis
Kunjungan kerja ke Italia dan Perancis diselenggarakan guna membuka
hubungan kerja sama dan mengetahui sejauh mana peran lembaga semacam
Komisi Yudisial di kedua negara. Dalam kunjungan di Italia lembaga yang
dikunjungi adalah Consiglio Superiore Della Magistratura. Sementara dalam
kunjungan kerja di Perancis lembaga yang dikunjungi adalah Conseil Superieur
de la Magistrature. Kedua lembaga tersebut memiliki tugas dan fungsi yang
identik dengan Komisi Yudisial sehingga dinilai layak dijadikan referensi.
SEPTEMBER
27
Penandatanganan Empat
Peraturan Bersama Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung
Peraturan bersama kedua lembaga ini terdiri dari Peraturan Bersama tentang
Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Peraturan
Bersama tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama, Peraturan Bersama
tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan
Keputusan Majelis Kehormatan Hakim,dan Peraturan Bersama tentang
Seleksi Pengangkatan Hakim.
Empat peraturan bersama ini merupakan hasil kerja dari Tim Penghubung
dan Tim Asistensi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang bertugas
menjembatani dan mengkomunikasikan kerja sama kedua lembaga.
SEPTEMBER
14
Kunjungan Kerja Asosiasi
Hakim Amerika Latin
Asosiasi Hakim Amerika Latin (AHAL) yang berasal dari Argentina melakukan
kunjungan kerja ke Komisi Yudisial. Rombongan AHAL terdiri dari Ketua, Ribchi
Rosi, dan Koordinator Program Internasional, Puan Manuel Matera. Mereka
diterima oleh Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Komisi Yudisial, Ibrahim,
didampingi Juru Bicara Komisi Yudisial, Asep Rahmat Fajar. Rosi menjelaskan,
tujuan dari kunjungan ini adalah menjalin kerja sama dengan hakim atau
komunitas hukum yang ada di Indonesia untuk berpartisipasi dalam seminar
internasional yang akan diselenggarakan Desember 2012.
NOVEMBER
12
MoU Bawaslu dan Komisi
Yudisial
Harapan untuk mewujudkan proses pelaksanaan pemilu yang kredibel,
bermartabat dan beretika tidak hanya tanggung jawab Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) semata. Hal itu juga menjadi tanggung jawab semua
lembaga dan komisi negara termasuk di dalamnya Komisi Yudisial dalam
memperkuat proses pemilu yang demokratis. Dalam kerangka itulah Bawaslu
dengan Komisi Yudisial melakukan penandatanganan nota kesepahaman
(MoU).
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
57
RELUNG
Kisah Elang
dan Kalkun
K
onon di suatu saat yang telah lama berlalu,
elang dan kalkun adalah burung yang
menjadi teman baik. Dimanapun mereka
berada, kedua teman selalu pergi bersama-sama.
Tidak aneh bagi manusia untuk melihat elang
dan kalkun terbang bersebelahan melintasi udara
bebas.
Satu hari ketika mereka terbang, kalkun
berbicara pada elang, “Mari kita turun dan
mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Perut
saya sudah keroncongan nih!”. Elang membalas,
“Kedengarannya ide yang bagus”.
Jadi kedua burung melayang turun ke bumi,
melihat beberapa binatang lain sedang makan
dan memutuskan bergabung dengan mereka.
Mereka mendarat dekat dengan seekor sapi. Sapi
ini tengah sibuk makan jagung,namun sewaktu
memperhatikan bahwa ada elang dan kalkun
sedang berdiri dekat dengannya, sapi berkata,
“Selamat datang, silakan cicipi jagung manis ini”.
Ajakan ini membuat kedua burung ini terkejut.
Mereka tidak biasa jika ada binatang lain berbagi
soal makanan mereka dengan mudahnya. Elang
bertanya,“Mengapa kamu bersedia membagikan
jagung milikmu bagi kami?”. Sapi menjawab,
“Oh, kami punya banyak makanan di sini.Tuan
petani memberikan bagi kami apapun yang kami
inginkan”. Dengan undangan itu, elang dan kalkun
menjadi terkejut dan menelan ludah. Sebelum
selesai, kalkun menanyakan lebih jauh tentang
tuan petani.
Sapi menjawab,“Yah, dia menumbuhkan
sendiri semua makanan kami. Kami sama sekali
tidak perlu bekerja untuk makanan”. Kalkun
tambah bingung,“Maksud kamu, tuan petani itu
memberikan padamu semua yang ingin kamu
makan?”. Sapi menjawab,“Tepat sekali!.Tidak
hanya itu, dia juga memberikan pada kami tempat
untuk tinggal.” Elang dan kalkun menjadi syok
58
EDISI
NOVEMBER - DESEMBER 2012
VOL. VII - NO. 3
berat!. Mereka belum pernah mendengar hal seperti
ini. Mereka selalu harus mencari makanan dan
bekerja untuk mencari naungan.
Ketika datang waktunya untuk
meninggalkan tempat itu, kalkun dan elang mulai
berdiskusi lagi tentang situasi ini. Kalkun berkata
pada elang,“Mungkin kita harus tinggal di sini.
Kita bisa mendapatkan semua makanan yang kita
inginkan tanpa perlu bekerja. Dan gudang yang
di sana cocok dijadikan sarang seperti yang telah
pernah dibangun. Di samping itu saya telah lelah
bila harus selalu bekerja untuk dapat hidup.”
Elang juga goyah dengan pengalaman
ini, “Saya tidak tahu tentang semua ini.
Kedengarannya terlalu baik untuk diterima.
Saya menemukan semua ini sulit untuk dipercaya
bahwa ada pihak yang mendapat sesuatu tanpa
imbalan. Di samping itu saya lebih
suka terbang tinggi dan bebas
mengarungi langit luas. Dan
bekerja untuk menyediakan
makanan dan tempat bernaung
tidaklah terlalu buruk. Pada
kenyataannya,saya menemukan hal
itu sebagai tantangan menarik”.
Akhirnya, kalkun memikirkan
semuanya dan memutuskan untuk
menetap dimana ada makanan
gratis dan juga naungan.
Namun elang
memutuskan bahwa
ia amat mencintai
k e m e r d e k a a n nya d i b a n d i n g
menyerahkannya begitu saja. Ia menikmati
tantangan rutin yang membuatnya hidup. Jadi
setelah mengucapkan selamat berpisah untuk
teman lamanya si kalkun, elang menetapkan
penerbangan untuk petualangan baru yang ia
tidak ketahui bagaimana ke depannya.
Semuanya berjalan baik bagi si kalkun. Dia
makan semua yang ia inginkan. Dia tidak pernah
bekerja. Dia bertumbuh menjadi burung gemuk
dan malas. Namun suatu hari dia mendengar
istri tuan petani menyebutkan bahwa hari raya
Thanksgiving akan datang dan alangkah indahnya
jika ada hidangan kalkun panggang untuk makan
malam. Mendengar hal itu, si kalkun memutuskan
sudah waktunya untuk pergi dari pertanian itu
dan bergabung kembali dengan teman baiknya,
si elang.
Namun ketika dia berusaha untuk terbang,
dia menemukan bahwa ia telah tumbuh terlalu
gemuk dan malas. Bukannya dapat terbang, dia
justru hanya bisa mengepak-ngepakkan sayapnya.
Akhirnya di hari Thanksgiving keluarga tuan
petani duduk bersama menghadapi daging kalkun
panggang besar yang sedap.
Ketika anda menyerah pada tantangan
hidup dalam pencarian keamanan, anda mungkin
sedang menyerahkan kemerdekaan anda…Dan
Anda akan menyesalinya setelah segalanya berlalu
dan tidak ada KESEMPATAN lagi…
Seperti pepatah kuno “selalu ada keju gratis
dalam perangkap tikus”.
Download