6 komunitas ikan di habitat berbeda

advertisement
71
6
6.1
KOMUNITAS IKAN DI HABITAT BERBEDA
PENDAHULUAN
Sero merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya di daerah pantai.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pantai terdiri didalamnya beberapa ekosistem
seperti ekosistem estuaria (muara sungai), mangrove, lamun, dan terumbu karang.
Kesemua ekosistem tersebut sangat produktif hingga berfungsi sebagai daerah
pertumbuhan (nursery ground) bagi larva, post-larva dan juvenil dari berbagai
jenis ikan, udang, dan kerang-kerangan, dan daerah penangkapan (Dahuri 2003).
Bila dicermati secara seksama dengan keberadaan pengoperasian sero ini,
tentunya sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya ikan bila tidak dikelola
dengan baik. Terlebih lagi ukuran mata jaring sero yang sangat kecil (0,5 cm)
yang digunakan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone, tidak menutup
kemungkinan juvenil dan ikan-ikan yang belum matang gonad yang berada pada
habitat tersebut ikut tertangkap.
Hasil tangkapan merupakan parameter yang menjadi bahan pertimbangan
dalam memilih alat tangkap. Banyaknya hasil tangkapan sero sangat dipengaruhi
oleh berbagai faktor diantaranya kelimpahan ikan dalam perairan dan ukuran mata
jaring. Kelimpahan ikan itu sendiri sangat ditentukan oleh habitat atau kondisi
daerah penangkapan. Pemasangan sero di perairan pantai Pitumpanua di muara
sungai, mangrove, dan lamun banyak dijumpai jenis ikan yang tertangkap
menghuni ketiga habitat tersebut dan beruaya menurut umur dan waktu. Hal ini
tentu berdampak pada hasil tangkapan sesuai dinamika perubahan kelimpahan
ikan pada masing-masing habitat, sehingga kajian hasil tangkapan sero sangat
penting untuk dikaji.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui komposisi hasil tangkapan;
2) mengetahui kisaran ukuran panjang total ikan dan berat setiap jenis ikan;
3) membandingkan jumlah hasil tangkapan pada habitat berbeda; 4) menganalisis
hubungan panjang-berat ikan pada habitat berbeda; 5) mengidentifikasi parameter
lingkungan yang berpengaruh terhadap biomassa hasil tangkapan; dan
6) menentukan asosiasi antara hasil tangkapan dominan dengan habitat.
72
6.2
METODE PENELITIAN
6.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Pelaksanaan pengambilan sampel hasil tangkapan dilakukan selama 4
(empat) bulan, terhitung tanggal 15 Januari - 14 Mei 2011 selama 16 trip
penangkapan. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di 3 (tiga) unit sero pada 3
(tiga) daerah penangkapan sero yang berbeda yaitu muara sungai, mangrove, dan
lamun di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.
6.2.2 Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan selama pengambilan data untuk analisis
hasil tangkapan diantaranya perahu motor, sero, serok, global position system
(gps), measuring board / mistar, formalin 90%, plastik sample, cool box/kulkas,
timbangan analitik, kamera, buku identifikasi ikan, alat tulis/data sheet, dan alat
bantu lainnya.
6.2.3 Teknik Pengumpulan Data
Ikan yang tertangkap sero yang dioperasikan pada kondisi habitat berbeda
(muara sungai, mangrove, dan lamun) diambil sebanyak 25% dari total hasil
tangkapan setiap unit sero. Ikan dipisahkan berdasarkan jenisnya. kemudian ikan
diukur panjang total dengan measuring board atau mistar dan beratnya ditimbang
menggunakan timbangan. Panjang total diukur mulai dari ujung kepala terdepan
sampai ujung bagian ekornya.
6.2.4 Analisis Data
6.2.4.1 Analisis perbandingan hasil tangkapan berdasarkan waktu dan habitat
Untuk membandingkan hasil tangkapan semua jenis ikan dominan
tertangkap antara habitat dan waktu pengamatan maka digunakan analisis ragam
(ANOVA), dengan rancangan percobaan adalah rancangan acak kelompok
(RAK). Perlakuan adalah tiga habitat (muara sungai, mangrove, dan lamun).
Ulangan adalah 16 blok waktu penangkapan hasil tangkapan. Model matematis
rancangan tersebut sebagai berikut:
73
Yij = µ + Hi +Tj + εij.....................................................................(4)
Dimana : i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3 .....16
Yij = Respon pengamatan pada hasil tangkapan ke-i dan kelompok ke-j
µ = Nilai rataan umum
Hi = pengaruh hasil tangkapan ke-i (habitat i = 1,2, dan 3);
Tj = pengaruh kelompok (blok) waktu penangkapan ke-j;
εijk = Galat percobaan dari perlakuan ke-I dan kelompok ke-j.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA).
Analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS
Release 15.0. Untuk membandingkan antar habitat yang berbeda jika hasil uji F
dalam ANOVA signifikan berbeda maka digunakan uji lanjut menggunakan uji
beda rerata Tukey (Tukey’s HSD Test) (Zar 1984 dan Petersen 1985).
6.2.4.2 Analisis hubungan panjang-berat
Hubungan panjang-berat dihitung dengan menggunakan analisis biometri
(Romimohtarto dan Juwana 2001). dengan mengacu pada persamaan eksponensial
yang dikemukakan oleh Teisser (1960) dan Carlander (1968) dalam Effendie
(1997) :
W = aLb……………………………………………....…(5)
Dimana :
W = berat ikan (gram)
a. b = konstanta
L = panjang total (cm).
Nilai a dan b yang dihitung dari transformasi data ke dalam persamaan
regresi linier. sehingga membentuk persamaan :
log W = log a + b log L
…………………………………………… (6)
Jika nilai b < 3. maka pertumbuhan bersifat allometrik negatif. sedangkan
pola pertumbuhan bersifat allometrik positif dan isometrik apabila nilai b
masing-masing b > 3 dan b = 3 (Effendie 1997).
74
6.3
HASIL PENELITIAN
6.3.1 Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Sero
Jenis hasil tangkapan dominan pada alat tangkap sero di perairan pantai
Pitumpanua Teluk Bone yaitu ikan pepetek (Leiognathus splendens), baronang
lingkis (Siganus canaliculatus), kerong-kerong (Therapon jarbua), kuwe (Caranx
sexfaciatus), biji nangka (Upeneaus sulphureus), baronang (Siganus guttatus),
udang putih (Peneaus margueinsis), lencam (Lethrinus lentjam), barakuda
(Sphyraena sphyraena), kapas-kapas (Gerres kapas), dan kepiting rajungan
(Portunnus pelagicus).
Komposisi jumlah hasil tangkapan sero selama penelitian di perairan
pantai Pitumpanua Teluk Bone paling banyak tertangkap ikan pepetek dan paling
sedikit yaitu kepiting rajungan (Tabel 9). Untuk komposisi berat hasil tangkapan
terbanyak yaitu ikan barakuda dan terkecil yaitu udang putih (Tabel 10).
Tabel 9 Komposisi jumlah hasil tangkapan (%) sero berdasarkan jenis ikan setiap
habitat selama penelitian
No
Jenis ikan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Pepetek
Baronang lingkis
Kerong-kerong
Kuwe
Biji nangka
Baronang
Udang putih
Lencam
Barakuda
Kapas-kapas
Kepiting rajungan
Muara Sungai
(%)
25,72
9,60
12,57
7,05
10,13
7,16
6,36
4,72
6,79
7,10
2,81
Mangrove
(%)
17,96
12,89
14,58
9,98
6,60
7,50
7,34
6,44
7,29
5,12
4,28
Lamun
(%)
12,12
17,11
6,97
16,90
9,54
10,48
5,92
7,68
3,95
6,09
3,24
Rata-rata
(%)
18,60
13,20
11,37
11,31
8,76
8,38
6,54
6,28
6,01
6,10
3,44
75
Tabel 10 Komposisi berat hasil tangkapan (%) sero berdasarkan jenis ikan setiap
habitat selama penelitian
No
Jenis ikan
1 Barakuda
2 Kerong kerong
3 Baronang
4 B. Lingkis
5 Kuwe
6 Lencam
7 Biji nangka
8 Rajungan
9 Pepetek
10 Kapas-kapas
11 Udang putih
Total Presentase
Muara Sungai
(%)
24,49
18,06
13,18
7,08
6,35
5,61
7,32
3,58
6,27
4,31
3,50
100
Mangrove
(%)
23,12
18,97
11,81
12,51
7,73
6,75
4,15
4,64
3,58
2,88
3,87
100
Lamun
(%)
13,63
9,70
18,12
18,68
11,23
8,90
6,09
4,33
2,49
3,69
3,21
100
Rata-rata
(%)
20,41
15,58
14,37
12,76
8,43
7,09
5,85
4,18
4,11
3,63
3,52
100
6.3.2 Kisaran Berat dan Panjang Total Setiap Hasil Tangkapan Sero
Kisaran berat dan panjang total setiap hasil tangkapan sero hampir merata
pada setiap habitat. Kisaran panjang total dan berat jenis ikan yang tertangkap di
perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone (Tabel 11).
Tabel 11 Kisaran berat dan panjang total setiap jenis hasil tangkapan sero di
perairan pantai Pitumpanua selama penelitian
Jenis Ikan
Biji nangka
Baronang lingkis
Kerong-kerong
Lencam
Pepetek
Kapas-kapas
Kuwe
Baronang
Barakuda
Kepiting rajungan
Udang putih
Keterangan :
Kisaran Berat
(gr)
7-163
13-164
7-163
15-217
5-102
10-312
12-189
41-393
30-380
23-171
6-95
Kisaran Panjang
(cm)
5,6-20,3
5,9-25,7
5,6-20,3
8,3-20,8
6,0-23,2
4,2-18,6
6,0-21,2
8,0-23,5
11,8-55,0
6,0-15,2
5,0-16,8
A)
Martasuganda et al. (1991)
Wassef & Hady (1997)
C)
Situ & Sadovy (2004)
D)
Krajangdara (2004)
E)
Pauly (1977) dalam Sjafei & Saadah (2001)
F)
Sjafei & Syaputra (2009)
B)
G)
Tharwat & Rahman (2006)
Sutomo & Juwana (1990)
I)
Allam et al. (2004)
J)
Jazayery et al. (2011)
K)
Machado et al. (2009)
H)
Lmat
(cm)
10,2A
17,0B
18,0C
18,2D
9,0E
10,5F
30,0G
21,0H
17,3I
9,5J
15,2K
76
6.3.3 Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan Waktu
Penangkapan
Hasil tangkapan sero selama penelitian menunjukkan adanya variabilitas
jumlah hasil tangkapan menurut jenis ikan (Gambar 12). Disamping itu terlihat
bahwa ada jenis ikan yang jumlahnya tidak signifikan berbeda antar ketiga
habitat. Hal ini menunjukkan bahwa jenis ikan tersebut bervariasi menurut ukuran
rata-rata antara habitat. Selain perbedaan antara habitat, jumlah, dan berat hasil
tangkapan beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap dengan sero juga berbeda
menurut waktu penangkapan.
Analisis ragam (ANOVA) menyimpulkan bahwa semua jenis ikan yang
tertangkap berbeda menurut lokasi (habitat) tetapi tidak semua jenis ikan yang
tertangkap berbeda berdasarkan waktu penangkapan. Kepiting rajungan yang
tertangkap tidak berbeda menurut habitat dan waktu penangkapan, sedangkan
udang putih berbeda menurut lokasi dan berbeda menurut waktu penangkapan
(Lampiran 14). Total jumlah hasil tangkapan (kecuali kepiting dan udang)
berbeda menurut habitat dan tidak berbeda menurut waktu penanngkapan
(Lampiran 14).
Gambar 12 Jumlah hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan
selama penelitian.
77
Berat hasil tangkapan sero selama penelitian menunjukkan adanya
variabilitas menurut jenis ikan (Gambar 13). Analisis ragam menunjukkan bahwa
berat hasil tangkapan semua jenis ikan berbeda menurut waktu penangkapan dan
tidak semua jenis ikan berbeda menurut habitat (α = 0,05, Lampiran 15). Analisis
ragam (Anova) untuk total berat hasil tangkapan (kecuali kepiting dan udang)
berbeda menurut habitat dan waktu penanngkapan (α = 0,05, Lampiran 15).
Gambar 13 Berat hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan
selama penelitian
78
6.3.4 Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan
Analisis biometri menyimpulkan bahwa semua jenis hasil tangkapan pada
3 (tiga) habitat bersifat allometrik negatif. Artinya pertambahan panjang ikan
tidak secepat dengan pertambahan beratnya (Gambar 14 & 15 dan Lampiran 16).
Gambar 14 Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan biji nangka (a),
baronang lingkis (b), kerong-kerong (c), kapas-kapas (d),
lencam (e), pepetek (f), kuwe (g), dan baronang (h).
79
Gambar 15 Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan barakuda (i), hubungan
lebar karapas-berat rajungan (j), hubungan panjang karapaks-berat
udang putih (k).
80
6.3.5 Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter Lingkungan
Berdasarkan hasil perhitungan regresi linier berganda antara berat hasil
tangkapan setiap jenis ikan dengan parameter lingkungan (Lampiran 17-26) maka
didapatkan rangkuman yang menunjukkan hubungan antara berat ikan hasil
tangkapan dengan parameter lingkungan dan yang dominan pengaruhnya seperti
dirangkum dalam Tabel 12.
Tabel 12 Parameter yang digunakan dalam regresi dan parameter yang dominan
pengaruhnya serta besar koefisien determinasi (R2) yang didapatkan
dalam hasil regresi antara berat hasil tangkapan dengan parameter
lingkungan
Jenis Ikan
Biji nangka
Baronang lingkis
Kerong-kerong
Kapas-kapas
Lencam
Pepetek
Kuwe
Baronang
Barakuda
Total hasil tangkapan
Parameter
berpengaruh
Dominan
Suhu, salinitas, pH, DO, Klorofil a
arus dan klorofil a
Suhu, salinitas, pH, DO, DO dan arus
arus, klorofil a, fito, dan
zoo
Suhu, salinitas, pH, DO, Zoo, salinitas,
arus, klorofil a, fito, dan pH, dan klorofil
zoo
a
Suhu, salinitas, pH, DO, Suhu, DO, arus,
arus, klorofil a, fito, dan dan klorofil a
zoo
Suhu, salinitas, pH, DO, DO, arus, dan
arus, klorofil a, fito, dan klorofil a
zoo
Suhu, salinitas, DO, arus, Suhu, DO, arus,
dan fito
dan fito
Suhu, pH, DO, arus, Suhu dan DO
Klorofil a dan fito
Parameter dlm Regresi
R2
0,519
0,639
0,667
0,623
0,602
0,445
0,499
6.3.6 Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dengan Habitat
Hasil analisis factorial correspondence analiss (FCA) menunjukkan
bahwa terdapat asosiasi antara jenis ikan dengan habitat dan waktu tertentu.
Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa 87,47% keragaman terjelaskan dalam
3 sumbu utama pertama dengan akar ciri secara berurut masing-masing 0,076,
0,034 dan 0,015 (Tabel 13 & Lampiran 27). Habitat lamun berkontribusi cukup
81
besar dalam pembentukan sumbu utama 1 sedangkan mangrove dan muara sungai
berkontribusi besar dalam membetuk sumbu utama 2 positif dan negatif. Plot
jenis ikan dan habitat per waktu pengamatan menunjukkan bahwa ikan biji
nangka, baronang, baronang lingkis, kerong-kerong, barakuda, dan kuwe lebih
berasosiasi dengan habitat lamun. Ikan lencam, kapas-kapas, dan pepetek lebih
berasosiasi dengan habitat dekat mangrove sedangkan udang dan rajungan
berasosiasi dengan muara sungai (Gambar 16, 17 & 18).
Tabel 13 Hasil analisis factorial correspondence analiss (FCA) menunjukkan
bahwa terdapat asosiasi antara jenis ikan dengan habitat selama
penelitian
Eigenvalue
Inertia (%)
F1
0,076
52,922
F2
0,034
23,989
F3
0,015
10,554
F4
0,009
6,626
F5
0,005
3,432
F6
0,002
1,417
F7
0,001
0,678
F8
0,000
0,334
F9
0,000
0,028
F10
0,000
0,019
Cumulative %
52,922
76,911
87,465
94,091
97,523
98,940
99,618
99,952
99,981
100,000
Gambar 16 Plot stasiun dan waktu pengamatan pada sumbu FCA 1 dan 2.
82
Gambar 17 Plot jenis ikan pada sumbu FCA 1 dan 2.
Gambar 18 Konfigurasi tiga komponen utama untuk asosiasi antara jenis hasil
tangkapan dan habitat di lokasi pemasangan sero di Kecamatan
Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.
83
Asosiasi antara habitat dan jenis ikan yang dihitung berdasarkan biomassa
hasil tangkapan (Gambar 17 & 18) hal tersebut terjadi karena setiap jenis ikan
memiliki toleransi dan preverensi terhadap parameter lingkungan tertentu.
Kondisi optimal paramater lingkungan bagi ikan dan makanan setiap jenis ikan
yang berbeda antara jenis ikan dan perbedaan parameter lingkungan yang terjadi
pada setiap habitat dapat terjadi secara simultan dengan terjadinya perubahan
ukuran ikan. Demikian pula dengan perbedaan kebiasaan makanan dan pengaruh
parameter lingkungan terhadap jenis makanan masing-masing spesies dapat
menyebabkan perbedaan dan perubahan preverensi habitat bukan saja antar
spesies tetapi antar ukuran berbeda dalam spesies yang sama.
6.4
PEMBAHASAN
6.4.1 Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan
Jenis ikan yang tertangkap dengan sero selama penelitian nampak bahwa
jenis ikan pepetek, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, biji nangka, dan
baronang yang banyak tertangkap dan hampir merata di semua habitat (Tabel 9).
Hal ini disebabkan karena jenis ikan ini memang menghuni habitat muara sungai,
mangrove, dan lamun. Sebagian besar jenis hasil tangkapan tersebut tergolong
jenis ikan-ikan demersal kecil yang bernilai ekonomis penting (Boer et al. 2001).
Jenis ikan pelagis yang tertangkap hanya ikan barakuda. Kemungkinan jenis
ini mengejar mangsanya kemana-mana sehingga ikut tertangkap pada alat
tangkap, karena diketahui bahwa ikan barakuda tergolong ikan omnivor dan
karnivor. Ikan barakuda yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua dengan
alat tangkap sero memiliki volume yang tinggi. Berbeda yang ditemukan di
perairan Kabupaten Barru Selat Makassar dengan alat tangkap bagan rambo, jenis
ikan ini ditemukan relatif sedikit (Hatta 2010). Hal ini diduga karena pada alat
tangkap sero waktu tenggang pengangkatan alat tangkap sero (hauling) cukup
lama dibandingkan bagan rambo, sehingga diduga bahwa ikan barakuda dengan
leluasa mencari makan dalam bunuhan, dengan terperangkapnya pada bunuhan
menyulitkan untuk meloloskan diri melalui pintu bunuhan sero.
84
Jenis krustasea yang dominan tertangkap yaitu kepiting rajungan dan
udang putih. Tertangkapnya kedua jenis krustasea tersebut disebabkan karena
rajungan dan udang putih secara ekologis hidup bersama-sama dan berinteraksi
dalam satu ruang ekosistem dengan ikan pada daerah pantai. Diketahui bahwa
udang putih dan rajungan sebagian daur hidupnya berada di daerah pesisir pantai
seperti estuaria dan sebagian di laut (Saputra & Subiyanto 2007; Suharyanto &
Tjaronge 2009). Lebih lanjut dipertegas Pasquier & Pẻrez (2004) bahwa
keberadaan hidupnya pada masa juvenile di pantai atau estuaria dan dewasa
bermigrasi ke laut terbuka.
Banyaknya hasil tangkapan ikan demersal pada alat tangkap sero karena
pengoperasian sero berada pada perairan dangkal. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan oleh Widodo dan Suadi (2008) bahwa perairan dangkal dengan
kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta
relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang baik. Dipertegas
Yusof (2002) bahwa pada kedalaman perairan yang kurang dari 80 m didominasi
oleh ikan demersal 95,40% dari total hasil tangkapan, lebih lanjut mengatakan
bahwa perairan 5-18 meter di perairan Peninsular Malaysia tertangkap 62-89
jenis ikan demersal.
Berat hasil tangkapan yang terbanyak selama penelitian yaitu ikan
barakuda, kerong-kerong, baronang, baronang lingkis, kuwe, dan lencam
(Tabel 10). Urutan komposisi berat tersebut lebih disebabkan karena faktor
ukuran jenis ikan tersebut, dimana jenis ikan yang mempunyai ukuran lebih besar
memiliki komposisi berat yang lebih berat dibanding dengan jenis ikan yang
ukurannya lebih kecil, walaupun jumlah hasil tangkapannya lebih sedikit
dibanding ikan-ikan yang berukuran lebih kecil seperti pepetek, biji nangka, dan
kapas-kapas.
Penelitian yang di lakukan Pujiyati (2008) justru jenis ikan pepetek
merupakan berat hasil tangkapan yang paling banyak ditemukan di Laut Jawa
dengan alat tangkap bottom mini trawl yaitu 90,70 kg pada kedalaman 40 m.
Kemungkinan disebabkan kedalaman daerah penangkapan yang berbeda, karena
di perairan pantai Pitumpanua kedalaman daerah penangkapan sero hanya sekitar
8-15 m, sehingga beragam jenis ikan demersal yang tertangkap. Hal ini diperkuat
85
pernyataan Pujiyati (2008) berdasarkan hasil penelitiannya bahwa densitas ikan
demersal menyukai daerah dangkal, semakin dalam perairan densitas ikan
demersal semakin rendah. Begitu pula hasil penelitian Soadiq (2010) menemukan
pepetek sebagai hasil tangkapan terbanyak di perairan Selayar dengan alat
tangkap fyke net.
Komposisi berat ikan baronang yang tertangkap di perairan pantai
Pitumpanua yaitu rata-rata 14,37%. Tingginya persentase ini kemungkinan
disebabkan karena ikan baronang di daerah ini secara ekologis lebih mendukung
kelangsungan hidupnya. Hal ini dipertegas oleh Kurnia (2003) dalam penelitian di
tempat sama dengan alat tangkap bubu yaitu ternyata ikan baronang memiliki
berat hasil tangkapan yang lebih besar dibanding dengan ikan lainnya.
Hasil tangkapan seperti ikan pepetek, biji nangka, kapas-kapas, kepiting
rajungan, dan udang putih memiliki persentase berat hasil tangkapan yang kecil.
Kecilnya persentase komposisi berat hasil tangkapan bukan berarti bahwa jenis
hasil tangkapan ini dari segi jumlah hasil tangkapan lebih sedikit dengan lainnya,
bahkan jenis hasil tangkapan ini frekuensi kemunculan tertangkap lebih besar. Hal
sama yang diungkapkan oleh Imron (2008) bahwa jenis ikan-ikan demersal yang
kontinyu tertangkap di perairan Tegal Jawa Tengah dengan alat tangkap
dogol/cantrang dan jaring arad yaitu ditemukan 8 (delapan) jenis ikan demersal
seperti pepetek, biji nangka, dan udang yang juga ditemukan di perairan pantai
Pitumpanua.
6.4.2 Kisaran Panjang Total dan Berat Setiap Jenis Ikan
Kisaran panjang total ikan biji nangka yang tertangkap di perairan pantai
Pitumpanua yaitu 5,6-20 cm (Tabel 11). Kisaran tersebut lebih besar yang
didapatkan perairan Demak yaitu antara 8-30 cm dengan modus panjang yaitu
16,2 cm (Saputra et al. 2009). Begitupula kisaran yang ditemukan di perairan
Terengganu Peninsular, Malaysia juga lebih besar yaitu 22,8-24,3 cm (Rahardjo
1997). Kisaran yang ditemukan hampir sama di lokasi penelitian yaitu di perairan
Andhara-Oissa yaitu 9,1-17,7 cm (Reuben et al. 1992). Ukuran yang ditemukan
di Brondong Jawa Timur dengan alat tangkap danish seine yaitu 13,3 cm. Tidak
berbeda jauh juga yang ditemukan oleh Ernawati dan Sumiono (2006) di perairan
86
Selat Makassar yaitu 5,0-17,0 cm. Begitupula halnya yang ditemukan di Teluk
Palu dengan menggunakan pukat pantai yaitu 9,1 cm. Hal ini memberikan
indikasi bahwa ukuran-ukuran tersebut sangat dipengaruhi oleh lokasi daerah
penangkapan, dimana daerah penangkapan yang berdekatan memiliki kisaran
yang hampir sama. Kisaran-kisaran tersebut sudah sesuai yang dikemukakan oleh
Genisa (1999) bahwa kisaran ikan biji nangka umumnya tertangkap yaitu 15 cm.
Ikan baronang lingkis yang tertangkap di daerah perairan pantai
Pitumpanua Teluk Bone
yaitu 5,9-25,7 cm. Kisaran tersebut lebih banyak
tertangkap pada ukuran kecil sampai sedang. Penelitian ini sejalan yang
ditemukan oleh Jalil et al. (2003) bahwa ikan baronang lingkis tertangkap di
perairan Kecamatan Bua Kabupaten Luwu Teluk Bone memiliki kisaran 6,2-22,0
cm dan kisaran tersebut lebih banyak tertangkap pada kisaran kecil sampai
sedang. Kemiripan kisaran tersebut dikarenakan karena daerah penangkapannya
satu wilayah yaitu Teluk Bone.
Ikan kerong-kerong yang tertangkap yaitu pada kisaran 5,6-20,3 cm.
Kisaran ini hampir sama dikemukakan oleh Subani (1990) bahwa umumnya
tertangkap di perairan Indonesia pada kisaran 5,0-25,0 cm. Kisaran hampir sama
juga didapatkan di pantai selatan laut India yaitu 8,0-19,0 cm, dan yang
ditemukan di Teluk Rayong, Thailand yaitu 9,6-28, cm (www.fishbase.org).
Senada yang dikemukakan oleh Marwoto et al. (2006) bahwa jenis ikan kerongkerong yang tertangkap dengan jaring arad di perairan pantai Cilacap yaitu pada
kisaran panjang 6,6-20,6 cm. Bisa dikatakan bahwa jenis ikan ini ukurannya
hampir sama diberbagai daerah.
Kisaran panjang total ikan Kapas-kapas yang tertangkap di perairan
Pitumpanua Teluk Bone yaitu 4,2-18,6 cm. Kisaran ini sangat jauh berbeda yang
didapatkan pada penelitian tahun 2005 di lokasi yang sama yaitu tertangkap pada
kisaran 3,0-23,5 cm (Tenriware 2005). Bisa disimpulkan bahwa selama 5 (lima)
tahun terakhir ini, jenis ikan kapas-kapas yang berukuran di atas 20 cm sudah
habis tertangkap di lokasi tersebut. Kisaran ukuran panjang ikan yang ditemukan
jauh lebih kecil yang didapatkan di perairan pantai Mayangan, Jawa Barat yaitu
9,5-14,0 cm untuk jantan dan 10,2-16,5 cm untuk betina (Sjafei dan Syaputra
2009). Sejalan yang dikemukakan oleh Genisa (1999) bahwa ukuran ikan kapas-
87
kapas umumnya tertangkap pada ukuran panjang total 15 cm dan jenis ikan ini
bisa mencapai pada ukuran 25 cm.
Ikan lencam atau bisa dikenal katamba tertangkap pada kisaran 8,3-20,0
cm. Ukuran ini sangat kecil bila dibandingkan yang dikemukakan oleh Genisa
(1999) bahwa pada umumnya jenis ikan ini tertangkapa pada kisaran 25-35 cm.
Tahun 2005 di perairan pantai Pitumpanua masih ditemukan ukuran panjang
maksimun yaitu 25,9 cm (Tenriware 2005). Hal memberikan gambaran bahwa
jenis ikan lencam di lokasi tersebut semakin hari ukuran semakin kecil yang
tertangkap.
Ikan pepetek atau peperek cina tertangkap pada kisaran 6,0-23,2 cm. Diduga
bahwa jenis ikan ini merajai perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Dugaan ini
berdasarkan hasil tangkapan yang didapatkan yaitu paling banyak tertangkap dan
penelitian sebelumnya pada tahun 2005 ukuran jenis ikan ini hanya tertangkap
pada kisaran 3,4-17,4 cm, namun pada saat ini kisarannya lebih besar dari
sebelumnya. Kemungkinan pertumbuhan dan perkembangbiakan jenis ikan ini
lebih cepat. Pernyataan ini didukung oleh Pauly (1977) bahwa jenis ikan tersebut
berkembang biak dengan pesat karena jenis ikan ini terhindar dari pemangsa
karena keseluruhan tubuh pepetek menghasilkan cahaya, dimana cahaya ini
dilepaskan pada siang hari ke arah bawah berupa cahaya difusi yang cenderung
memecah bayangan dirinya menjadi tidak utuh, akibatnya pemangsa potensial
tidak dapat melihat nyata mangsanya dalam hal ini pepetek.
Ikan kuwe yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua kisaran ukuran
panjangnya masih sangat kecil yaitu 6,0-21,2 cm. Kisaran tersebut jauh lebih kecil
yang dikemukakan oleh Genisa (1999) bahwa jenis ikan ini umumnya tertangkap
pada ukuran panjang total 50 cm dan bisa mencapai pada ukuran 75 cm. Seperti
yang ditemukan di perairan Teluk Arab dengan alat tangkap trap ukuran kecil ikan
kuwe (Caranx sexfaciatus) didapatkan pada panjang 34 cm, sedangkan pada alat
tangkap trap ukuran besar didapatkan panjang 50 cm (Tharwat dan Rahman
2006).
Ikan baronang tertangkap pada kisaran 8,0-23,5 cm. Kisaran ini jauh lebih
kecil yang didapatkan di perairan Pulau Pari, wilayah Pulau-pulau Seribu yaitu
14,0-21,0 cm (Sutomo dan Juwana 1990). Tidak berbeda jauh yang dikemukakan
88
oleh Genisa (1999) bahwa jenis ikan ini umumnya tertangkapa pada ukuran 20 cm
dan bisa mencapai panjang 35 cm. Ikan barakuda tertangkap pada kisaran 11,855,0 cm. Kisaran ini hampir sama yang dikemukan oleh Genisa (1999) bahwa
umumnya tertangkap pada panjang 40-60 cm dan bisa mencapai 100 cm. Kisaran
tersebut sangat jauh berbeda yang ditemukan oleh Allam et al. (2004) di perairan
Mediterania yaitu Sphyraena chrysotaenia (13-27 cm), S. flavicauda (17-41 cm),
dan S. sphyraena (16-44 cm). Kemungkinan disebabkan karena kondisi iklim
yang berbeda dan daerah penangkapan.
Kepiting rajungan tertangkap pada kisaran lebar karapaks yaitu 6,0-15,2
cm. Kisaran ini hampir sama yang didapatkan di Pantai Khuzestan, Teluk Persia
yaitu dari kisaran 8,0-17,9 cm (Jazayeri et al. 2011). Kisaran ukuran yang
didapatkan masih jauh lebih besar bila dibandingkan di Tanzania dengan ukuran
terkecil 1,5 cm dan ukuran terbesarnya yaitu 11,5 cm (Chande dan Mgaya 2003).
Adanya perbedaan kisaran ukuran yang sangat mencolok, kemungkinan
disebabkan karena disetiap wilayah mempunyai rajungan yang berbeda baik itu
secara morfologi, genetik, dan ukurannya (Lai et al. 2010).
Kisaran panjang karapaks udang putih yang tertangkap di perairan pantai
Pitumpanua Teluk Bone yaitu 5,0-16,8 cm. Kisaran panjang ini tidak berbeda jauh
yang telah didapatkan di sekitar Perairan Semarang dengan menggunakan alat
tangkap jaring arad (baby trawl) yaitu (Pramonowibowo et al. 2007).
6.4.3 Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan Waktu
Penangkapan
Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan biji nangka yang tertangkap di
perairan pantai Pitumpanua berbeda menurut habitat/lokasi penangkapan tetapi
waktu penangkapan tidak menunjukkan adanya perbedaan. Jumlah yang
tertangkap pada daerah mangrove lebih sedikit di lamun sedangkan di muara
sungai tidak menunjukkan adanya perbedaan hasil tangkapan pada dua lokasi
lainnya. Sementara berat hasil tangkapan di muara sungai dan muara sungai lebih
sedikit dibanding pada lamun. Hal ini menunjukkan bahwa ikan biji nangka pada
daerah lamun variabilitas ukurannya lebih kecil dan jumlahnya lebih sedikit.
Tidak berbeda waktu penangkapan memberikan gambaran bahwa jenis ikan ini
tertangkap sepanjang tahun. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imron (2008)
89
bahwa salah satu ikan yang kontinyu tertangkap di perairan Tegal Jawa Tengah
yaitu ikan kuniran (biji nangka). Seperti halnya yang ditemukan di perairan Selat
Makassar salah satu jenis ikan kuniran yang lebih dominan tertangkap yaitu
Upeneaus sulphureus dibandingkan ikan kuniran jenis lainnya seperti U. vittatus,
U. tragula, U. bensasi, U. sundaicus, dan U. moluccensis (Ernawati dan Sumiono
2006)
Ikan baronang lingkis yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan
waktu penangkapan berdasarkan jumlah maupun berat hasil tangkapan. Jumlah
hasil tangkapan pada muara sungai dan mangrove lebih sedikit dibandingkan pada
daerah lamun, sementara berat hasil tangkapan berbeda dari ketiga habitat tersebut
(muara sungai < mangrove < lamun). Artinya berat hasil tangkapan terbanyak
pada daerah lamun dibandingkan kedua habitat tersebut, begitujuga dengan
jumlah hasil tangkapannya. Kuat dugaan bahwa dengan beratnya hasil tangkapan
di habitat kemungkinan disebabkan jenis ikan termasuk kedalam kelompok ikan
herbivora yang makanannya adalah alga, sehingga kondisi ekologisnya sangat
mendukung dibandingkan dengan kedua habitat lainnya. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Tuwo (2011) bahwa salah satu jenis ikan di daerah lamun yaitu
Siganus spp memanfaatkan lamun sebagai tempat berlindung, memijah dan
mengasuh anaknya, dan sebagai tempat mencari makan.
Ikan kerong-kerong yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan
waktu penangkapan berdasarkan jumlah dan berat hasil tangkapan. Jumlah hasil
tangkapan pada muara sungai dan mangrove lebih banyak dibanding di lamun,
namun berat hasil tangkapan lebih banyak di daerah muara sungai dibandingkan
kedua habitat lainnya. Diduga jenis ikan kerong-kerong bisa beradaptasi di daerah
estuari dan toleran pada salinitas rendah. Hal ini diperkuat penelitian Muchlisin
dan Azizah (2010) bahwa salah satu jenis ikan yang tertangkap di sungai-sungai
di perairan Aceh yaitu ikan kerong-kerong.
Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan kapas-kapas yang tertangkap
selama penelitian berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Jumlah
hasil tangkapan pada muara sungai dan lamun lebih besar dibanding pada
mangrove, sementara berat hasil tangkapan pada mangrove dan muara sungai
lebih sedikit dibanding di habitat lamun. Walaupun hasil tangkapan lebih banyak
90
di lamun dibandingkan mangrove, tetapi tidak menjamin berat hasil tangkapan
yang lebih banyak, ini menandakan bahwa ukuran ikan kapas-kapas pada habitat
lamun lebih kecil dibanding pada kedua habitat lainnya. Banyaknya hasil
tangkapan di daerah estuaria diduga jenis ikan kapas-kapas lebih menyukai
perairan yang air lebih sedikit tawar. Hal dibuktikan oleh Muchlisin dan Azizah
(2010) bahwa ikan dari famili Gerreidae tertangkap di muara-muara sungai di
perairan Aceh. Seperti halnya juga tertangkap di perairan sekitar hutan lindung
Angke Kapuk (Novanistati 2001 dalam Sjafei dan Syaputra 2009).
Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan lencam yang tertangkap berbeda
menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Jumlah hasil tangkapan di muara
sungai lebih sedikit dibanding di lamun, sedangkan di mangrove tidak ada
perbedaan jumlah hasil tangkapan dari kedua habitat tersebut. Berat hasil
tangkapan di muara sungai dan mangrove lebih banyak dibanding di lamun.
Kondisi seperti ini menujukkan bahwa keberadaan ikan lencam di lamun
kebanyakan ikan-ikan yang masih mudah atau juvenil (berukuran kecil).
Jumlah hasil tangkapan ikan pepetek berbeda menurut habitat/lokasi tapi
tidak berbeda menurut waktu penangkapan. Sementara berat hasil tangkapan
berbanding terbalik yaitu berbeda menurut waktu dan tidak berbeda menurut
lokasi. Artinya ikan pepetek yang tertangkap dengan jumlah berbeda dari setiap
habitat tidak menunjukkan adanya perbedaan berat di setiap habitat walaupun
waktu penangkapan yang berbeda, sehingga bisa disimpulkan bahwa jenis ikan ini
mempunyai variabilitas ukuran berat tidak berbeda setiap lokasi, tetapi variasi
jumlah setiap lokasi yang berbeda, walaupun jumlah hasil tangkapan ikan pepetek
lebih banyak didapatkan di muara sungai dibanding kedua habitat tersebut.
Jumlah hasil tangkapan ikan kuwe berbeda menurut habitat/lokasi tetapi
tidak berbeda menurut waktu penangkapan. Berat hasil tangkapan berbeda
menurut waktu tetapi tidak berbeda habitat/lokasi. Jumlah hasil tangkapan pada
muara sungai lebih sedikit dibanding di mangrove, sedangkan di lamun tidak
menunjukkan adanya perbedaan di kedua habitat tersebut. Walaupun dari segi
perbedaan jumlah hasil tangkapan terjadi pada habitat tertentu tetapi berat hasil
tangkapan tidak mempengaruhi di setiap habitat. Indikasi ini menunjukkan bahwa
pada daerah mangrove jenis ikan ini banyak ditemukan dibanding di kedua
91
habitat, namun ukuran berat seiap jenis ikan lebih kecil dibanding habitat lainnya.
Hal inilah menunjukkan adanya variasi ukuran berat setiap habitat.
Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan baronang yang tertangkap berbeda
menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Jumlah dan berat hasil tangkapan
pada muara sungai lebih sedikit dibanding di lamun, sedangkan di mangrove tidak
menunjukkan adanya perbedaan di kedua habitat tersebut. Jumlah dan berat hasil
tangkapan ikan barakuda yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan
waktu penangkapan. Jumlah tangkapan ikan barakuda lebih sedikit dibanding di
mangrove, sedangkan di muara tidak menunjukkan adanya perbedaan kedua
habitat tersebut. Berat hasil tangkapan menunjukkan bahwa pada muara sungai
lebih sedikit dibanding di lamun, sedangkan di mangrove tidak berbeda keduanya.
Artinya ikan barakuda di habitat lamun mempunyai ukuran berat yang lebih kecil
dibanding di habitat lainnya dan jumlahnya lebih sedikit.
Kepiting rajungan yang tertangkap tidak menunjukkan perbedaan jumlah
hasil tangkapan berdasarkan habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Sementara
berat hasil tangkapan berbeda menurut waktu dan lokasi penangkapan. Artinya
berat kepiting yang tertangkap berbeda menurut habitat walaupun jumlah kepiting
sama pada setiap habitat. Kemungkinan hal ini disebabkan karena pada habitat
tertentu mempunyai ketersediaan makanan yang cukup sehingga bobot atau berat
kepiting lebih besar dibanding pada habitat lainnnya. Terlihat bahwa pada muara
sungai berat kepiting rajungan lebih berat dibanding kedua habitat lainnya.
Udang putih yang tertangkap tidak menunjukkan adanya perbedaan jumlah
hasil tangkapan berdasarkan habitat/lokasi tetapi berbeda menurut waktu
penangkapan. Berat hasil tangkapan berbeda menurut habitat dan waktu
penangkapan. Artinya walaupun penangkapan udang dilakukan waktu yang
berbeda tetapi tidak menunjukkan adanya perbedaan jumlah tangkapan, tetapi
berdasarkan berat berbeda pada setiap habitat. Hal ini menunjukkan adanya
variasi berat udang putih pada ketiga habitat. Dimana berat udang putih yang
tertangkap di muara sungai lebih banyak dibanding kedua habitat lainnya.
Kemungkinan hal ini disebabkan karena udang yang tertangkap di mangrove
adalah udang-udang yang sudah berukuran besar karena sebagaimana kita ketahui
bahwa udang memijah di sekitar hutan bakau atau mangrove.
92
Berdasarkan total jumlah hasil tangkapan ikan (selain kepiting dan udang)
yang tertangkap berbeda menurut waktu penangkapan tetapi tidak berbeda
menurut habitat/lokasi. Sementara berat total hasil tangkapan ikan berbeda
menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Artinya waktu penangkapan tidak
mempengaruhi total jumlah hasil tangkapan, sedangkan waktu yang berbeda
mempengaruhi total berat hasil tangkapan setiap habitat. Dimana berat total hasil
tangkapan di mangrove lebih banyak dibanding di lamun, sedangkan di muara
sungai tidak berbeda dari kedua habitat tersebut.
Jumlah dan berat total hasil tangkapan berdasarkan waktu penangkapan
terlihat bahwa jumlah hasil tangkapan cenderung berfluktuasi selama penelitian
(Gambar 12 & 13). Dimana jumlah hasil tangkapan pada akhir bulan Januari
mulai menurun sampai pada awal Februari, dan kembali terjadi peningkatan
jumlah dan berat total hasil tangkapan mulai akhir Februari sampai awal April,
dan kembali menurun pada pertengahan April.
Berfluktuasinya hasil tangkapan sero selama penelitian memberikan
ilustrasi bahwa musim penangkapan ikan dengan alat tangkap sero di perairan
pantai Pitumpanua mulai bulan Januari – April, dengan puncak penangkapan pada
bulan Maret sampai pertengahan April. Hal ini didukung penelitian Budiman et
al. (2006) bahwa penangkapan ikan demersal di pesisir Kendal dengan alat
tangkap cantrang terjadi musim penangkapan pada bulan Januari, Maret, April,
dan puncak musim terjadi pada bulan Maret – April. Terjadinya fluktuasi hasil
tangkapan kemungkinan lebih cenderung dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
perairan. Hal ini terkait dengan pola kehidupan ikan yang tidak bisa dipisahkan
dengan adanya berbagai faktor lingkungan (Luasunaung et al. 2008) lebih lanjut
bahwa faktor fisik yang paling berpengaruh keberadaan sumberdaya ikan adalah
suhu dan salinitas. Laevastu dan Hayes (1982) dalam Luasunaung et al. (2008)
adanya perubahan baik suhu maupun salinitas akan mempengaruhi keadaan
organisme di suatu perairan. Marwoto et al. (2006) mengatakan bahwa distribusi
ikan di laut sangat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal dari lingkungan
diantaranya parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan
kedalaman, lapisan termoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen serta
kelimpahan makanan.
93
Hasil tangkapan di daerah lamun lebih banyak dibanding di muara sungai
dan mangrove. Hal ini kemungkinan karena pada daerah lamun memiliki
produktivitas sekunder dan dukungan yang besar terhadap kelimpahan dan
keragaman ikan (Gilanders 2006) sehingga padang lamun merupakan tempat
berbagai jenis ikan berlindung, mencari makan, bertelur, dan membesarkan
anaknya. Sejalan yang dikemukan oleh Bell dan Pollard (1989) dalam Rappe
(2010) mengindentifikasi karakteristik utama kumpulan ikan yang berasosiasi
dengan lamun dikatakan bahwa : (1) keanekaragaman dan kelimpahan ikan di
padang lamun biasanya lebih tinggi daripada substrat kosong, (2) sebagian besar
asosiasi ikan dengan padang lamun didapatkan dari plankton sehingga padang
lamun adalah daerah asuhan untuk banyak spesies, (3) zooplankton dan epifauna
krustasean adalah makanan utama ikan yang berasosiasi dengan lamun, dengan
tumbuhan, pengurai, dan komponen infauna dari jaring-jaring makanan di lamun
yang dimanfaatkan oleh ikan, (5) hubungan yang kuat terjadi antara padang lamun
dan habitat yang berbatasan, kelimpahan relatif dan komposisi spesies ikan di
padang lamun menjadi tergantung pada pada tipe (terumbu karang, estuaria,
mangrove) dan jarak dari habitat yang terdekat.
6.4.4 Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan
Analisis biometri menyimpulkan bahwa semua jenis hasil tangkapan pada
3 (tiga) habitat bersifat allometrik negatif. Artinya pertambahan panjang ikan
tidak secepat dengan pertambahan beratnya (Gambar 14 & 15, Lampiran 16).
Jenis hasil tangkapan yang menghampiri nilai b = 3 yaitu ikan biji nangka
dan jenis ikan yang memiliki nilai b paling kecil yaitu ikan baronang lingkis.
Hasil analisis biometri menunjukkan bahwa jenis ikan biji nangka, baronang
lingkis, lencam, kuwe, dan baronang memiliki nilai b pada habitat lamun lebih
tinggi bila dibandingkan dengan kedua habitat lainnya. Kemungkinan disebabkan
karena pada daerah lamun cukup tersedia sumber makanan, sehingga tidak salah
bila dikatakan bahwa daerah lamun sebagai tempat mencari makanan bagi ikan
atau biota lainnya yang berasosiasi dengannya. Jenis ikan tersebut merupakan
ikan-ikan karang. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Soadiq (2010) bahwa ikanikan karang yang tertangkap dengan fyke net di sekitar karang seperti famili
94
Serranidae, Lethrinidae, Lutjanidae, Mullidae, Nemipteridae, Plotoseidae, dan
Haemulidae diduga tertangkap karena sifat ini bermigrasi keluar karang secara
horizontal untuk mencari makanan .
Hubungan panjang-berat ikan kuniran yang ditemukan di perairan pantai
Pitumpanua Teluk Bone di habitat lamun tidak berbeda jauh yang ditemukan
di perairan Demak yaitu allometrik negatif dengan nilai b = 2,918 (Saputra et al.
2009). Nilai b tersebut menghampiri nilai b = 3, artinya pertumbuhan panjang
ikan kuniran di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone hampir seimbang dengan
pertumbuhan berat tubuhnya. Berbeda yang ditemukan oleh Sjafei & Susilawati
(2001) pertumbuhan ikan biji nangka yang didapatkan bersifat isometrik. Ikanikan lainnya yang didapatkan di perairan pantai Pitumpanua mempunyai nilai b
jauh lebih kecil dari nilai 3. Hal ini bisa dijelaskan bahwa pertumbuhan ikan kurus
atau pertumbuhan panjang lebih cepat dibanding beratnya.
Ikan kapas-kapas, pepetek, kerong-kerong, barakuda, dan udang putih
mempunyai nilai b yang hampir seragam (sama) pada ketiga habitat. Artinya
pertumbuhan jenis ikan tersebut tidak di pengaruhi oleh adanya faktor habitat.
Berbeda dengan kepiting rajungan didapatkan pada habitat mangrove nilai b lebih
besar dibanding dengan habitat lainnya. Kemungkinan hal ini terjadi karena
kepiting rajungan di daerah mangrove masih pada tahap juvenil yang tertangkap
sehingga pertumbuhan lebih cepat dibandingkan kepiting dewasa. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa walaupun dari segi jumlah lebih banyak ditemukan di
daerah mangrove tetapi berat total lebih kecil dibanding pada habitat lamun,
sehingga bisa disimpulkan bahwa kepiting yang tertangkap di habitat mangrove
adalah ukurannya hampir sama dengan ukuran yang kecil. Pernyataan ini
dibenarkan oleh Adam (2006) bahwa semakin jauh dari pantai, ukuran tubuh dan
bobot rajungan semakin meningkat. Lebih lanjut mempertegas bahwa kepiting
rajungan pada fase juvenil sampai dewasa berada pada daerah estuaria dalam hal
ini pantai.
95
6.4.5 Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter Lingkungan
Sesuai dengan hasil analisis yang disajikan dalam Tabel (12) terlihat bahwa
suhu dan DO sangat dominan mempengaruhi total berat hasil tangkapan.
Hasil tangkapan berat total ikan cenderung meningkat dengan menurunnya suhu
dan meningkatnya kadar DO. Hubungan yang menunjukkan meningkatnya berat
total hasil tangkapan dengan menurunnya suhu mengindikasikan bahwa
keseluruhan jenis ikan yang tertangkap dengan sero di sekitar pantai di lokasi
penelitian kemungkinan lebih menyukai air yang bersuhu lebih rendah di sekitar
muara sehingga populasinya meningkat ketika masukan air tawar yang lebih
dingin banyak yang masuk ke wilayah pantai melalui aliran sungai. Sementara
pengaruh kadar DO yang berbanding lurus dengan hasil tangkapan menunjukkan
bahwa kadar DO yang lebih tinggi memungkinkan lebih banyaknya ikan dan juga
berpengaruh langsung terhadap proses fisiologis respirasi ikan. Kondisi ini umum
terjadi seperti didapatkan oleh Ridho (1999) di perairan pantai barat Sumatera
bahwa tingginya keanekaragaman ikan dan keseragaman ikan demersal
dipengaruhi oleh salinitas yang rendah serta kadar oksigen terlarut (DO) dan suhu
yang tinggi. Sedangkan distribusi jenis-jenis ikan demersal di perairan Laut Cina
Selatan dipengaruhi oleh faktor suhu, salinitas, kecerahan,
dan kedalaman
perairan (Ridho 2004).
Pengaruh parameter lingkungan yang dominan pengaruhnya terhadap
berat hasil tangkapan nampak bervariasi diantara jenis ikan.
Suhu dominan
berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan kapas-kapas dan kuwe. Salinitas dan
pH berpengaruh dominan terhadap ikan kerong-kerong. Kecepatan arus
berpengaruh dominan terhadap ikan baronang lingkis, kapas-kapas, lencam dan
kuwe. Klorofil a terlihat dominan pengaruhnya terhadap berat hasil tangkapan
ikan biji nagka, kerong-kerong, kapas-kapas, dan lencam.
Fitoplankton
berpengaruh dominan terhadap ikan Kuwe sedangkan zooplankton berpengaruh
dominan terhadap ikan kerong-kerong.
Hubungan yang signifikan antara berat hasil tangkapan dengan parameter
lingkungan yang bervariasi pada setiap jenis ikan menunjukkan bahwa setiap jenis
ikan memiliki respon dan prevarensi habitat berdasarkan karakteristik
lingkungannya. Perlu diketahui bahwa hubungan linier yang signifikan yang
96
ditunjukkan dalam analisis tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Hubungan langsung yang paling mungkin terjadi secara teoritis adalah
pengaruh parameter fisika kimia yang memang dapat berpengaruh langsung
terhadap aktivitas biologis dan fisiologis setiap jenis ikan. Sementara pengaruh
parameter biologi seperti klorofil-a, kelimpahan fitoplankton dan zooplankton
dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh
tidak
langsung
dapat
terjadi
karena
parameter
biologi
mempengaruhi makanan atau predator terhadap suatu jenis ikan. Sebagai contoh
terlihat dari pengaruh dominan klorofil a terhadap ikan biji nangka sebagai ikan
omnivor yang tidak mengkonsumsi langsung fitoplankton yang mengandung
klorofil a. Mekanisme pengaruh tidak langsung klorofil a terhadap ikan biji
nangka dapat saja terjadi karena klorofil a mempengaruhi kelimpahan
zooplankton yang selanjutnya mempengaruhi salah satu makanan ikan biji nangka
yaitu udang-udangan
yang
banyak mengkonsumsi zooplankton.
Hal ini
menyebabkan semakin meningkatnya jumlah ikan biji nangka dengan
meningkatnya kandungan klorofil a dalam perairan. Hal serupa terjadi pada ikan
kuwe yang menunjukkan pengaruh dominan zooplankton sedangkan ikan kuwe
tidak mengkonsumsi langsung zooplankton.
Variasi pengaruh parameter lingkungan terhadap setiap jenis ikan dapat
menjelaskan terjadinya variasi perbedaan jumlah dan berat hasil tangkapan
berdasarkan waktu dan lokasi (habitat). Variasi lingkungan yang terlihat antara
muaras sungai, lamun dan sekitar daerah mangrove mempengaruhi baik secara
langsung maupun tidak langsung pertumbuhan dan kelangsungan hidup setiap
spesies ikan yang tertangkap dengan sero
Pengaruh parameter lingkungan bukan saja dapat bervariasi antar spesies
tetapi dalam spesies yang sama respon dan toleransi ikan dapat berbeda terhadap
paremater lingkungan. Hal ini sangat mendukung sebagai alasan sehingga terlihat
adanya variasi ukuran rata-rata hasil tangkapan yang relatif berbeda antar habitat
pada beberapa jenis ikan yang didapatkan dalam penelitian ini. Fakta ini terlihat
dari analisis hasil tangkapan yang menunjukkan jumlah tangkapan yang sama
pada beberapa jenis ikan namun menunjukkan perbedaan dalam berat.
97
6.4.6 Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dan Habitat
Hasil analisis FCA menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara hasil
tangkapan (jenis ikan) dengan habitat dan waktu tertentu di lokasi penelitian
(Gambar 17 & 18). Ditemukan 6 (enam) jenis ikan yang berasosiasi di habitat
lamun yaitu ikan biji nangka, baronang, baronang lingkis, kerong-kerong,
barakuda, dan kuwe. Ditemukannya jumlah ikan di habitat lamun lebih tinggi
dibanding kedua habitat lainnya kemungkinan karena pada daerah lamun
merupakan tempat berbagai jenis ikan berlindung, mencari makan, bertelur, dan
membesarkan anaknya. Hal ini dipertegas oleh Gilanders (2006) bahwa daerah
lamun memiliki kelimpahan dan keragaman ikan yang tinggi karena dukungan
produktivitas sekunder. Jenis-jenis ikan yang ditemukan di habitat lamun tersebut
merupakan ikan-ikan yang juga berasosiasi dengan habitat lain. Penelitian ini
sama yang ditemukan oleh Fahmi & Adrim (2009) bahwa jenis ikan-ikan yang
ditemukan pada lamun di Kepulauan Riau umumnya merupakan ikan-ikan yang
berasosiasi dengan habitat lain dan menjadikan padang lamun sebagai daerah
asuhan, pembesaran dan tempat mencari makanan. Ternyata jenis ikan yang
didapatkan oleh Fahmi & Adrim (2009) berbeda yang ditemukan di perairan
pantai Pitumpanua Teluk Bone. Dikatakan bahwa jenis Leiognathus spp dan
Gerres spp merupakan jenis ikan yang banyak ditemukan di padang lamun
sedangkan di lokasi penelitian ini, kedua jenis ikan tersebut lebih banyak
ditemukan/berasosiasi pada daerah mangrove.
Jenis-jenis ikan yang berasosiasi di habitat lamun di perairan pantai
Pitumpanua termasuk kedalam famili Siganidae, Theraponidae, dan Mulidae.
Famili-famili tersebut sama yang ditemukan di Teluk Kotania dan Pelitajaya
(Supriyadi 2009), hal ini kemungkinan disebabkan karena jenis lamun yang
banyak ditemukan di kedua daerah tersebut dari jenis Enhalus acoroides. Hal ini
diperkuat oleh Rappe (2010) bahwa ditemukannya ikan baronang dan baronang
lingkis di stasiun LPO (lamun padat monospesifik) diduga disebabkan antara lain
karena ikan tersebut memiliki kebiasaan hidup bergerombol di daerah padang
lamun, terutama lamun monospesifik yang hanya disusun oleh jenis Enhalus
acoroides. Selanjutnya dikatakan bahwa dari 14 famili yang ditemukan di padang
98
lamun Pulau Barrang Lompo, 2 (dua) diantaranya ditemukan di perairan pantai
Pitumpanua yaitu famili Siganidae dan Sphhyraenidae.
Ikan lencam, kapas-kapas, dan pepetek lebih berasosiasi dengan habitat
dekat mangrove. Ikan kapas-kapas sebenarnya ikan yang hidupnya lebih banyak
di estuaria, namun pada saat penelitian ini ditemukan lebih berasosiasi pada
daerah dekat mangrove, kemungkinan jenis ikan tersebut mencari tempat
pemijahan pada daerah sekitar mangrove. Sebagaimana yang dikemukan oleh
Blaber (1997) dalam Sjafei dan Syaputra (2009) bahwa jenis ikan ini di Natal,
Afrika Selatan meninggalkan estuaria saat ingin melakukan pemijahan. Lebih
lanjut dikatakan bahwa musim pemijahan biasanya pada bulan Februari, musim
pemijahan ini bertepatan pada saat melakukan penelitian.
Udang putih dan rajungan berasosiasi dengan muara sungai (Gambar 15).
Kedua jenis krustasea ini kemungkinan lebih dipengaruhi oleh sebagian daur
hidupnya berada di daerah pesisir pantai seperti estuaria dan sebagian di laut
(Saputra & Subiyanto 2007; Suharyanto & Tjaronge 2009). Pasquier & Pẻrez
(2004) bahwa udang putih dan kepiting rajungan keberadaan hidupnya pada masa
juvenile di pantai atau estuaria dan dewasa bermigrasi ke laut terbuka.
6.5
KESIMPULAN DAN SARAN
6.5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Komposisi hasil tangkapan dari jumlah hasil tangkapan paling banyak
ditemukan yaitu ikan pepetek, sedangkan berat (biomassa) hasil tangkapan
yaitu ikan barakuda.
2. Total jumlah hasil tangkapan ikan yang tertangkap berbeda menurut waktu
penangkapan tetapi tidak berbeda menurut habitat. Sementara berat total hasil
tangkapan ikan berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan.
3. Kisaran panjang total ikan yang tertangkap masih lebih banyak yang berukuran
juvenil atau ikan-ikan muda.
4. Hubungan panjang-berat hasil tangkapan pada semua habitat bersifat
allometrik negatif.
99
5. Parameter lingkungan yang sangat dominan pengaruhnya terhadap total berat
hasil tangkapan sero yaitu parameter suhu dan kadar oksigen terlarut (DO).
6. Ada perbedaan komunitas ikan pada ketiga habitat. Ikan biji nangka, baronang
lingkis, kerong-kerong, kuwe, baronang, dan barakuda lebih berasosiasi pada
habitat lamun. Ikan pepetek, kapas-kapas, dan lencam lebih berasosiasi pada
daerah sekitar mangrove. Kepiting rajungan dan udang putih lebih berasosiasi
pada muara sungai.
6.5.2 Saran
Sebaiknya dipertimbangkan pengelolaan sero di perairan pantai Pitumpanua
Teluk Bone saat ini karena terbukti kisaran panjang total ikan yang tertangkap
lebih banyak yang berukuran juvenil atau ikan-ikan muda. Perlu kiranya regulasi
untuk memperbesar mata jaring alat tangkap sero untuk meloloskan ikan-ikan
yang masih mudah.
.
Download