Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 PRINSIP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT ATAS KEPENTINGAN UMUM SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA Miya Savitri1 e-mail:[email protected] Abstract Kebutuhan masyarakat yang semakin modern membutuhkan lembagalembaga hukum yang semakin modern dan professional, termasuk lembaga hukum yang melayani kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Berbagai macam kepentingan dan kebutuhan masyarakat modern, mulai dari kebutuhan akan pemenuhan sandang, pangan, rumah, sarana transportasi, sampai pada pemenuhan akan kebutuhan kepentingan umum. Bilamana tanah tersebut diambil begitu saja dan dipergunakan untuk keperluan pembangunan, maka jelas akan mengorbankan hak asasi warga masyarakat. Untuk mendapatkan tanah dalam rangka penyelenggaraan atau untuk keperluan pembangunan, harus dilaksanakan dengan hati-hati dan dengan cara yang bijaksana. Setelah lahirnya otonomi daerah, dalam rangka untuk menampung aspirasi masyarakat di daerah, kepentingan umum dalam penafsirannya hams disesuaikan dengan masyarakat setempat, sikap pemerintah tidak dibenarkan secara parsial memihak bagi kepentingan golongan tertentu saja, tetapi dilakukan secara menyeluruh baik untuk kepentingan masyarakat pedesaan maupun kepentingan masyarakat perkotaan. Dengan demikian bila ada proyek pembangunan dalam masyarakat di daerah, maka sesuai dengan prinsip kepentingan umum, maka hak atas tanah masyarakat bukan menjadi objek dari kepentingan umum. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat haknya, hingga bermanfaat baik bagi kcsejahteraan dan kebahagiaan maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Akan tetapi, dalam hal ini ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga akhirnya akan tercapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria). Kata Kunci: Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, Kepentingan Umum, Undang-Undang Pokok Agraria Pendahuluan Tanah dan manusia mempunyai hubungan yang sangat erat karena tanah sebagai bagian permukaan bumi berupa alas yang terbentang luas tempat berpijaknya manusia. Tanah juga sebagai investasi barang tidak bergerak yang bersifat permanen untuk dapat 1 Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang, e-mail:[email protected] 360 Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 dijadikan investasi di masa depan. Demikian pula tanah sebagai investasi yang penting terhadap berbagi kepentingan umum. Keberadaan tanah tidak sebanding dengan pertambahan jumlah penduduk yang sangat pesat. Pertambahan penduduk yang merupakan perkembangan pertumbuhan bangsa dalam suatu negara, yang akan membawa perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek, mulai dari aspek sosial, budaya, ekonomi, sampai pada perubahan dan perkembangan aspek hukum. Perkembangan hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat agar hukum senantiasa dapat mampu mendukung dan mengikuti dinamika masyarakat akibat adanya pembangunan, serta sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan masyarakat masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek, akan membawa pola dan tingkah laku baru bagi masyarakatnya, ke arah masyarakat yang modern. Kebutuhan masyarakat yang semakin modern membutuhkan lembaga-lembaga hukum yang semakin modern dan professional, termasuk lembaga hukum yang melayani kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Berbagai macam kepentingan dan kebutuhan masyarakat modern, mulai dari kebutuhan akan pemenuhan sandang, pangan, rumah, sarana transportasi, sampai pada pemenuhan akan kebutuhan kepentingan umum. Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Pengaturan terhadap tanah di Indonesia termaktub dalam hukum agraria nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sebagai yang dimaksud diatas dan harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Hukum agraria nasional itu harus mewujudkan penjelmaan dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan. Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sebagai azas kerokhanian Negara dan cita-cita bangsa, seperti yang tercantum didalam Pembukaan Undang-undang Dasar. Hukum agraria tersebut harus pula merupakan 361 Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.Berdasarkan latar belakang yang telah diaparkan tersebut, permasalahan yang diangkat pada penulisan ini adalah prinsip perlindungan hukum bagi rakyat atas kepentingan umum setelah berlakunya Undang-undang Pokok Agraria. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan norm-legal-research digunakan untuk mengkaji prinsip perlindungan hukum bagi rakyat atas kepentingan umum setelah berlakunya Undang-undang Pokok Agraria. Pendekatan ini memerlukan berbagai disiplin ilmu sosial, ilmu hukum untuk mengkaji keberadaan hukum positif (Negara) di bidang hukum pertanahan. Penelitian normatif tentang hukum ini yang disebut sebagai norm-legal-research mengkaji dimana penelitian ini menempatkan hukum sebagai kebijakan yang selalu dikaitkan dengan masalah sosial. Penelitian ini merupakan penelitian yang menitikberatkan pada prinsip perlindungan hukum bagi rakyat atas kepentingan umum setelah berlakunya Undang-undang Pokok Agraria. Berdasarkan hal tersebut berkaitan dengan topik penelitian ini yaitu penelitian yang bersifat norm-sosiolegal dimana terdapat permasalahan analisis kebijakan hukum, kepatuhan terhadap aturan hukum, peranan lembaga atau institusi hukum dalam penegakan hukum, implementasi aturan hukum, pengaruh aturan hukum terhadap masalah sosial, pengaruh masalah social terhadap aturan hukum. Dalam penelitian ini, hukum ditempatkan sebagai variable terikat dan faktor-faktor non hukum yang mempengaruhi hukum dipandang sebagai variabel bebas. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah penelitian ini, yaitu prinsip perlindungan hukum bagi rakyat atas kepentingan umum setelah berlakunya Undang-undang Pokok Agraria. Bahan hukum sekunder penelitian ini adalah bahan hukum yang diketemukan dalam studi kepustakaan, seperti karya ilmiah baik yang termuat dalam literatur, atau buku- 362 Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 buku teks, dan jurnal penelitian ilmiah. Hasil dan Pembahasan Konsep Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat berkaitan dengan rumusan yang dalam kepustakaan berbahasa Belanda berbunyi “rechtsbescherming van de burgers tegen de over heid” dan dalam kepustakaan berbahasa Inggris “legal protection of the individual in relation to acts of administrative authorities”. Istilah “rakyat” sudah mengandung pengertian sebagai lawan dari istilah “pemerintah”. Istilah rakyat pada hakekatnya berarti yang diperintah (the governed, geregeerde). Dengan demikian, istilah rakyat mengandung arti yang lebih spesifik dibandingkan dengan istilah-istilah dalam bahasa asing, seperti: yolks, people, peuple. Kata-kata “terhadap pemerintah” atau “terhadap tindak pemerintahan” dapat menimbulkan kesan bahwa ada konfrontasi dengan pemerintah antara rakyat sebagai yang diperintah sebagai yang memerintah. Pandangan yang demikian tentunya bertentangan dengan falsafah hidup negara kita, yang memandang rakyat dan pemerintah sebagai partner dalam usaha mewujudkan cita-cita hidup bernegara. Pengertian “pemerintah” dikaitkan dengan istilah atau terminologi dalim bahasa Belanda “bestuur” atau dalam bahasa Inggris “administration”. Dalam bahasa Indonesia istilah “bestuur” maupun “regering” diterjemahkan dengan “pemerintah”, sehingga untuk membedakannya sering ditambahkan dengan keterangan “sempit” untuk “bestuur” dan keterangan “luas” untuk “regering” sehingga “bestuur “ adalah pemerintah dalam arti sempit dan “regering” pemerintah dalam arti luas. Dalam penulisan ini, penanganannya oleh peradilan umum “pemerintah” (meskipun tidak dicantumkan dalam judul tetapi terkandung dalam pengertian “rakyat”) adalah pemerintah dalam arti “bestuur” namun tambahan keterangan “sempit” tidak dicantumkan lagi karena pertimbangan teknis (untuk tidak terlalu panjang). “Bestuurshandeling” atau “administrative action” diterjemahkan dengan “tindak pemerintahan” istilah “pemerintahan” digunakan dalam arti fungsional, yaitu “besturen”.2 2 Philipus M. Hadjon, (1987). Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: PT. Bina Ilmu, Hlm. 2 363 Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 Dengan “tindak pemerintahan” sebagai titik sentral, (dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi rakyat), dibedakan dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu: perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif. Pada perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan demikian, perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan kepada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.3 Dibandingkan dengan sarana perlindungan hukum yang represif, sarana perlindungan hukum yang preventif dalam perkembangannya agak ketinggalan, namun akhir-akhir ini disadari pentingnya sarana perlindungan hukum yang preventif terutama dikaitkan dengan azas “freies emessen” (discretionaire bevoegdheid). Di Belanda terhadap “chikking” belum banyak diatur mengenal sarana perlindungan hukum bagi rakyat yang sifatnya preventif, tetapi terhadap bentuk “besluit” yang lain misalnya “ontwerp-bestem-mings plannen”, “ontwerp streek plannen”, “ontwerp structur plannen” (dalam wet op de Ruimtelijke Ordening) sudah diatur sarana preventif berupa keberatan (inspraak). Dengan sarana itu, misalnya sebelum pemerintah menetapkan bestemmingplannen, rakyat dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.4 Pada tahun 1975, sebuah tim dari Council of Europe (Conseil De L'Europe) mengadakan penelitian tentang “The Protection of the Individual in relation to Acts of Administrative Authorities”. Penelitian tersebut menitik-beratkan pada sarana perlindungan hukum yang preventif, misalnya: the right to be heard and access to information. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara Eropah terdapat tiga kategori dalam kaitannya dengan “the principle of hearing the parties”, yaitu: pertama, negara-negara yang memiliki undang-undang tentang ketentuan umum prosedur 3 4 Ibid. Op.cit., Hlm. 3 364 Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 administrasi negara pada dasarnya mengakui hak-hak tersebut, seperti: Austria, Republik Federasi Jarman, Norwegia, Spanyol, Swedia dan Swis; kedua, negara-negara yang tidak memiliki undang-undang tentang ketentuan umum prosedur administrasi negara namun hak itu diakui sebagai suatu ketentuan umum (general rule), seperti: Denmark dan Finlandia: ketiga, negara-negara yang tidak.memiliki ketentuan umum prosedur administrasi negara namun menjamin hak tersebut dalam kasus-kasus tertentu, seperti : Turki, Belgi, Luxembourg, Prancis dan Inggris. Menurut penelitian tersebut, arti penting dari “the right to be heard” adalah: pertama individu yang terkena tindak pemerintahan dapat mengemukakan hak-haknya dan kepentingannya, kedua, cara demikian menunjang suatu pemerintahan yang baik (good administration) dan dapat ditumbuhkan suasana saling percaya antara yang memerintah dan yang diperintah. Dengan kata lain “the right to be heard” mempunyai tujuan ganda, yaitu menjamin keadilan dan menjamin suatu pemerintahan yang baik. Meskipun hak untuk banding terhadap tindak pemerintahan diakui, namun “the right to be heard” rasanya lebih bermanfaat karena andaikata hanya diakui hak untuk minta banding, kemungkinan terjadi bahwa dengan berlalunya waktu, sulit bagi yang terkena tindak pemerintahan untuk mengumpulkan kembali bukti-bukti dan saksi-saksi yang relevan. Disamping itu, dengan adanya hak untuk didengar, kemungkinan sengketa antara pemerintah dan rakyat dapat dikurangi.5 Di Indonesia ditemukan bahwa belum ada pengaturan secara khusus mengenai sarana perlindungan hukum yang preventif. Hal ini mungkin disebabkan karena disamping sarana preventif itu sendiri masih baru (bagi negara-negara Barat) sehingga kepustakaan Hukum Administrasi Negara di Indonsia dewasa ini belum membahas sarana tersebut dan di pihak lain sejak tahun 1964 pemikiran kita lebih diarahkan kepada usaha pembentukan Peradilan Administrasi Negara sebagai sarana represif yang hingga kini belum terbentuk dan sejak tahun 1969 pemikiran kita lebih lagi diarahkan kepada kegiatan pem bangunan nasional yang lebih menitikberatkan pembangunan dalam bidang ekonomi. Sistem hukum di dunia modern terdiri atas 2 (dua) sistem induk, yaitu “civil law system” (modern Roman) dan “common law system”. Sistem hukum yang berbeda melahirkan perbedaan mengenai bentuk dan jenis sarana perlindungan hukum bagi 5 Ibid., Hlm. 4 365 Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 rakyat dalam hal ini sarana perlindungan hukum represif. Negara negara dengan “civil law system” mengakui adanya 2 (dua) set pengadilan, yaitu pengadilan umum (biasa) dan pengadilan admirlistrasi; sedangkan negara negara dengan “common law system” hanya mengenal satu set pengadilan yaitu “ordinary court”. Di samping kedua sistem tersebut, negara negara Skandinavia telah mengembangkan sendiri suatu lembaga perlindungan hukum bagi rakyat yang dikenal dengan nama “ombudsman”. Sebagai contoh untuk mendapatkan gambaran mengenai ketiga sistem dalam penanganan perlindungan hukum bagi rakyat, secara singkat dan diuraikan sarana perlindungan hukum bagi rakyat di beberapa negara dewasa ini. Agar dapat mencerminkan ketiga sistem tersebut, negara-negara yang diuraikan dalam hal ini adalah negara-negara yang dianggap mewakili sistem tersebut. Atas dasar itu, Prancis merupakan wakil negara-negara dengan “civil law system” mengingat bahwa Prancis adalah negara asal peradilan administrasi, Inggeris dan Amerika Serikat dari negaranegara dengan “common law system”, Swedia sebagai negara asal dari lembaga “Ombudsman”, Belanda yang masih banyak pengaruhnya dalam sistem hukum di Indonesia. Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonesia), landasan pijak kita adalah Pancasila sebagai dasar Ideologi dan dasar falsafah negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan konsep-konsep rechtsstaat dan "the rule of law". Konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia memberikan nya dan konsep "rechtsstaat dan "the rule of law" menciptakan sarana-nya, dengan demikian pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia akan subur dalam wadah "rechtsstaat" atau "the rule of law", sebaliknya, akan gersang di dalam negara-negara diktator atau totaliter. Konsepsi Barat sebagai kerangka pikir dengan landasan pijak pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonsia) adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukurn yang berdasarkan Pancasila. Pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikatakan bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara instrinsik melekat pada Pancasila dan 366 Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 seyogianya memberi warna dan corak serta isi negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah. Sejalan dengan itu, A.J. Milne dalam tulisannya berjudul "The Idea of Human Rights" mengatakan: "A regime which protects human rights is good, one which fails to protect them or worse still does not acknowledge their existence is bad". 6 Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Atas Kepentingan Umum Setelah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Bagi manusia, tanah merupakan hal terpenting bagi hidup dan kehidupannya. Di atas tanah, manusia dapat mencari nafkah seperti bertani, berkebun, dan berternak. Di atas tanah pula manusia membangun rumah sebagai tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan lainnya untuk perkantoran dan sebagainya. Tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan manusia. Dalam skala kecil, hasil yang diperoleh biasanya hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam skala besar, ditunjang oleh pengolahan dengan keahlian khusus dan pemanfaatan teknologi, dapat menciptakan peluang bisnis yang menggiurkan. Pendek kata, segala aktivitas manusia apa pun bentuknya, tidak akan lepas dari kebutuhan akan tanah. Bukanlah hal yang mengherankan apabila setiap orang pasti mempunyai keinginan untuk dapat memiliki tanah lengkap dengan perlindungan hukumnya. Perlindungan itu diwujudkan dengan pemberian berbagai macam hak atas tanah oleh negara sebagai petugas pengatur. Untuk dapat mewujudkan keteraturan dan ketertiban, perlu dibentuk perundang- undangan yang jelas dan tegas. Fungsi dan peran tanah dalam berbagai sektor kehidupan manusia memiliki ttiga aspek yang sangat strategis, yaitu aspek ekonomi, politik dan hukum, dan aspek sosial.7 Keempat aspek tersebut merupakan isu sentral yang paling terkait sebagai satu kesatuan 6 7 Ibid., Hlm. 38. Y. Wartaya Winangun, SJ, (2004), Tanah Sumber Nilai llidup, Cetakan 1, Yogyakarta: Kanisius, Hlm. 21 367 Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 yang terintegrasi dalam pengambilan proses kebijakan hukum pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah.8 Pengaturan hukum tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan segala pengaturan yang terkait di Indonesia telah mengalami proses perkembangan sejak unifikasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).9 Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam perkembangan hukum pertanahan di Indonesia dilakukan dengan cara dan menggunakan lembaga hukum yang pertama, yaitu pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Akan tetapi, dalam praktik ketentuan undang-undang ini tidak dapat berjalan. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai pembebasan hak atas tanah. Namun ketentuan ini dalam praktiknya banyak menimbulkan masalah sehingga tidak dapat berjalan secara efektif. Berdasarkan kenyataan ini pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan presiden mengenai pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.10 Dalam banyak hal pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak atas tanah selalu menimbulkan ekses yang mempunyai dampak cukup besar terhadap stabilitas masyarakat. Berbagai ketegangan timbul dalam masyarakat, karena adanya ketidaksepakatan antara pemilik tanah/ pemegang hak atas tanah yang tanahnya akan diambil untuk keperluan proyek-proyek pembangunan dan pihak penguasa yang bertugas untuk melakukan hal tersebut. Di samping itu, masalah timbul karena status hak yang tidak jelas. Begitu juga tentang bentuk dan besarnya ganti kerugian yang akan diberikan kepada masyarakat yang terkena dampak. Pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak-hak atas tanah tidak hanya dilakukan oleh pemerintah untuk pembangunan berbagai proyek pemerintah, namun juga diperuntukkan bagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum oleh pihak swasta tetapi pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk dan cara yang berbeda. Pemerintah melaksanakan pembebasan, untuk proyek pemerintah atau proyek fasilitas umum seperti 8 H. Idham, (2004), Konsolidasi Tanah Perkotaan dalam Perspektif Otonomi Daerah, Cetakan 1, Bandung: Alumni, Hlm. 1 9 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 telah mengakhiri dualisme hukum pertanahan di Indonesia, yang dengan tegas telah mencabut Agrarische Wet (S. 1875055), kemudian Domein verklaring yang tersebut dalam Pasal 1 Agrarische Besluit, Domein Verklaring untuk daerah Sumatra, Keresidenan Manado dan Kcresidenan Borneo, Koninklijk Besluit dan buku kedua dari Kitab Undang-Undang I lukum Perdata. Lihat, konsiderans Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. 10 Ketiga lembaga hukum terscbut masing-masing diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, dan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 368 Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 kantor pcmerintah, jalan raya, pelabuhan laut, pclabuhan udara, dan sebagainya. Adapun tujuan pembebasan dilakukan oleh pihak swasta dipergunakan untuk pembangunan berbagai fasilitas umum yang bersifat komersial misalnya, pcmbangunan perumahan/ real estate, pusat-pusat perbelanjaan/shopping center, pembangunan jalan bebas hambatan, dan lain-lain. Sengketa yang terjadi antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dan pihak swasta (yang didukung oleh oranb orang pemerintah) berkisar tentang bentuk dan bcsarnya ganti rugi, manipulasi pejabat (KKN) atau perantara- perantara yang melakukan manipulasi harga tanah, serta proses musyawarah yang kerap berubah menjadi intimidasi, baik secara fisik dan psikis terhadap pemilik tanah. Peraturan hukum mengenai pencabutan, pembebasan, atau pelepasan hak-hak atas tanah untuk keperluan pemerintah maupun swasta dalam praktiknya belum berjalan sesuai dengan isi dan jiwa dari ketentuan- ketentuannya sehingga pada satu pihak timbul kesan seakan-akan hak dan kepentingan rakyat pemilik tanah tidak mendapat perlindungan hukum. Adapun pemerintah atau pihak yang memerlukan tanah juga mengalami kesulitan-kesulitan dalam memperoleh tanah untuk membangun proyeknya. Secara faktual pelaksanaan pencabutan, pembebasan, dan pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum bernuansa konflik, baik dari sudut peraturan dan paradigma hukum yang berbeda antara masyarakat dengan penguasa/ pemerintah, serta penerapan hukum dari para hakim yang sangat bernuansa paham positivis yang mengabaikan kaidahkaidah sosial lainnya dan hukum yang hidup (living law) serta moral dalam masyarakat. Undang-Undang Pokok Agraria adalah undang-undang yang mengatur asas-asas serta soal-soal pokok dalam garis besarnya saja mengenai pertanahan, karenanya disebut undang-undang pokok agraria. Adapun pelaksanaannya akan diatur dalam berbagai undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan perundangan-undangan lainnya.11 Undang-Undang Pokok Agraria merupakan perundang-undangan yang dibentuk sebagai penyempurnaan perundang-undangan sebelumnya yang dianggap kurang mampu memberi keadilan bagi masyarakat pribumi sebagai pemilik “asli” tanah, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di seluruh wilayah Republik Indonesia. 11 Dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, disebutkan bahwa "Pada Pokoknya Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria ialah: a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan mcrupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. 369 Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 Tujuan utamanya menciptakan kemakmuran yang adil dan merata. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan dibentuknya konsep fungsi sosial hak atas tanah yang mewajibkan setiap pemegang hak atas tanah untuk senantiasa memperhatikan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum dalam pemanfaatan serta penggunaan tanahnya. Hal ini bukan berarti tidak ada penghormatan terhadap hakhak individu atas tanah. Undang-Undang Pokok Agraria justru mencoba menjembatani keharmonisan hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya. Jika seandainya ada seseorang yang “terpaksa” menyerahkan tanahnya untuk kepentingan umum, hal tersebut harus dilakukan melalui prosedur ganti kerugian yang memadai berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Setiap pemegang hak atas tanah diwajibkan untuk mempergunakan tanahnya sesuai dengan keadaan tanah, sifat, dan tujuan pemberian haknya. Seseorang tidak dibenarkan untuk mempergunakan maupun tidak mempergunakan tanahnya sekehendak hati tanpa mempertimbangkan kepentingan umum. Dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA, menguasai dan menggunakan tanah secara individual dimungkinkan dan diperbolehkan, hal itu ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 21, 29, 36, 42, dan 45 Undang-Undang Pokok Agraria yang berisikan persyaratan pemegang hak atas tanah juga menunjukkan prinsip penguasaan dan penggunaan tanah secara individu. Namun, hak-hak atas tanah yang individu dan bersifat pribadi tersebut dalam Undang-Undang Pokok Agraria, dalam dirinya terkandung unsur kebersamaan. Unsur kebersamaan atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada tiap hak atas tanah, karena semua hak atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada IIak Bangsa, yang merupakan hak bersama. Sifat pribadi hak-hak atas tanah yang sekaligus mengandung unsur kebersamaan atau kemasyarakatan tersebut, dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria telah mendapat penegasan, di mana semua hak atas tanah tnempunyai fungsi sosial. Namun salah satu persoalan yang masih dihadapi sehubungan dengan pelaksanaan kepentingan umum adalah menentukan titik keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi di dalam pembangunan.12 Pembahasan mengenai prinsip-prinsip kepentingan umum dalam pengadaan tanah untuk pembangunan menjadi penting karena: 1. Dalam sarana pembangunan, terutama pembangunan di bidang materiil, baik di kota maupun di desa banyak memerlukan tanah, misalkan pembuatan gedung 12 A.A. Oka, Mahendra, (1996), Menguak Masalah Hukum, Demukrasi dan Pertanahan, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Harapan, Hlm. 256 370 Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 sekolah inpres, pasar inpres, pelebaran jalan, semuanya memerlukan tanah sebagai sarana utamanya.13 Pemilikan tanah oleh individu sebagaimana diuraikan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria sewaktuwaktu dapat digugurkan karena berhadapan dengan pembangunan bagi kepentingan umum.14 Adapun di lain pihak sebagian dari warga masyarakat inemerlukan juga tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencariannya. Bilamana tanah tersebut diambil begitu saja dan dipergunakan untuk keperluan pembangunan, maka jelas akan mengorbankan hak asasi warga masyarakat.15 2. Sebagai titik tolak di dalam pembebasan tanah, pengadaan tanah, dan pencabutan hak atas tanah. Untuk mendapatkan tanah dalam rangka penyelenggaraan atau untuk keperluan pembangunan, harus dilaksanakan dengan hati-hati dan dengan cara yang bijaksana. Pembebasan tanah merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan bilamana pemerintah memerlukan sebidang tanah untuk kepentingan umum atau untuk kepentingan yang dapat menunjang pembangunan. 3. setelah lahirnya otonomi daerah, dalam rangka untuk menampung aspirasi masyarakat di daerah, kepentingan umum dalam penafsirannya hams disesuaikan dengan masyarakat setempat, sikap pemerintah tidak dibenarkan secara parsial memihak bagi kepentingan golongan tertentu saja, tetapi dilakukan secara menyeluruh baik untuk kepentingan masyarakat pedesaan maupun kepentingan masyarakat perkotaan. Dengan demikian bila ada proyek pembangunan dalam masyarakat di daerah, maka sesuai dengan prinsip kepentingan umum, maka hak atas tanah masyarakat bukan menjadi objek dari kepentingan umum. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Akan tetapi, dalam hal ini ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, 13 Abdurrahman, Masalah Pencahutan, 1978, Hak-Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Seri Hukum Agraria 1, Bandung: Alumni, Hlm. 13 14 15 Kelompok Kerja KPA Wilayah Irian Jaya, “Prinsip Hak Menguasai Tanah dan Sengketa Pertanahan di Irian Jaya” dalam Lapera, Penyunting, Prinsip-Prinsip Reforma Agraria, Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Cetakan 1, Tim Lapera, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, Agustus 2001, Hlm. 375 Op. cit., Abdurrahman, 1978 371 Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 hingga akhirnya akan tercapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat scluruhnya (Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria). Dengan memperhatikan sejarahnya, pelaksanaan fungsi sosial atas tanah dalam hukum adat telah berlangsung sejak lama, di mana fungsi sosial hak milik atas tanah sangat kuat dan menjiwainya.16 Menurut Koesno, nilai fungsi sosial sebenarnya inheren pada hak milik.17 Sedangkan di Eropa, pengertian kepentingan umum bar' timbul sekitar abad ke-19 sebagai reaksi dari penerapan dan penggunaan hak milik secara mutlak dan formalistis di dalam masa puncak perkembangan kapitalisme dan industrialisme di Eropa.18 Menurut Wolfgang Friedman, dalam masyarakat yang sederhana (praindustri) hak milik mempunyai fungsi memenuhi kebutuhan hidupnya seseorang sesuai dengan pekerjaannya dalam rangka pencarian nafkah.19 Semula dalam konsep kepentingan umum yang dianut hukum barat, hak perorangan itu dianggap mutlak. Kemudian kemutlakannya dikurangi sedikit demi sedikit dengan berkembangnya ajaran yang berpangkal pada individualisme.20 Sifat individualisme, yang masih merupakan ciri menonjol dari masyarakat Eropa, berbeda dengan komunisme/komunalisme primitif yang menyerap/meleburkan seluruh hak individu ke dalam kekuasaan masyarakat.21 Menurut pikiran dasar orang Barat, pada subjek hukum tertentu terdapat kekuasaan umum atas tanah yang mengandung benih-benih hak lainnya.22 Demikian juga dalam perundang-undangan negara-negara kapitalis Eropa (termasuk Soviet Rusia sebelum Revolusi 1917) sejak sebelum Perang Dunia Kedua, sudah diadakan pembatasan pada penggunaan dan bahkan pada penguasaan hak milik, yaitu23 1. 16 17 18 19 20 21 22 23 batas-batas yang diadakan oleh perundang-undangan; Munir Fuady, (1999), Hukum Bisnis dalarn Teori dan Praktik, Buku Kedua, Cetakan II, Bandung: Citra Aditya Bakti, Hlm. 205-206 Moh. Koesno, (1979), Catalan-Catatan terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Surabaya: Airlangga University Press, Hlm. 158-159 C.F.G. Sunaryati Hartono, (1978), Beberapa Pemikiran ke Arah Pembaruan Hukum Tanah, Bandung: Alumni, Hlm. 120 Wolfgang Friedman, (1972), Law in Changing Society. England: Penguin Books, Hlm. 93 Oloan Sitorus dan Normadyati, (1994), Hak Alas Tanah dan Kondominium Suatu Tinjauan Hukum, Cetakan Perdana, Jakarta: Dasamedia Utama, Hlm. 27 Max Gluckrnan, dalam Iman Sudiyat, (1982), Beberapa Masalah Penguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat Sedang Berkembang. Edisi Pertama, Cetakan Pcrtama. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Hlm. 41 A. Pitlo, “Het Systeem van het Nederlands Privaatrecht”, dalam Iman Sudiyat, Ibid., 1982, Hlm. 43 Op. cit., Sunaryati Hartono, Hlm. 122 372 Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 2. batas-batas kesopanan dalam masyarakat (tidak boleh mengganggu orang lain); 3. pencabutan hak milik untuk kepentingan umum, asal saja pencabutan hak milik itu dilakukan berdasarkan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi yang layak. Kesimpulan Sarana pembangunan, terutama pembangunan di bidang materiil, baik di kota maupun di desa banyak memerlukan tanah, misalkan pembuatan gedung sekolah inpres, pasar inpres, pelebaran jalan, semuanya memerlukan tanah sebagai sarana utamanya. Pemilikan tanah oleh individu sebagaimana diuraikan dalam Pasal 9 ayat (2) UndangUndang Pokok Agraria sewaktu-waktu dapat digugurkan karena berhadapan dengan pembangunan bagi kepentingan umum. Adapun di lain pihak sebagian dari warga masyarakat inemerlukan juga tanah sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencariannya. Bilamana tanah tersebut diambil begitu saja dan dipergunakan untuk keperluan pembangunan, maka jelas akan mengorbankan hak asasi warga masyarakat. Untuk mendapatkan tanah dalam rangka penyelenggaraan atau untuk keperluan pembangunan, harus dilaksanakan dengan hati-hati dan dengan cara yang bijaksana. Pembebasan tanah merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan bilamana pemerintah memerlukan sebidang tanah untuk kepentingan umum atau untuk kepentingan yang dapat menunjang pembangunan. Setelah lahirnya otonomi daerah, dalam rangka untuk menampung aspirasi masyarakat di daerah, kepentingan umum dalam penafsirannya hams disesuaikan dengan masyarakat setempat, sikap pemerintah tidak dibenarkan secara parsial memihak bagi kepentingan golongan tertentu saja, tetapi dilakukan secara menyeluruh baik untuk kepentingan masyarakat pedesaan maupun kepentingan masyarakat perkotaan. Dengan demikian bila ada proyek pembangunan dalam masyarakat di daerah, maka sesuai dengan prinsip kepentingan umum, maka hak atas tanah masyarakat bukan menjadi objek dari kepentingan umum. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat haknya, hingga bermanfaat baik bagi kcsejahteraan dan kebahagiaan maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Akan tetapi, dalam hal ini ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). 373 Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga akhirnya akan tercapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria). Daftar Pustaka Y. Wartaya Winangun, SJ, (2004), Tanah Sumber Nilai llidup, Cetakan 1, Yogyakarta: Kanisius. Fuady, Munir, (1999), Hukum Bisnis dalarn Teori dan Praktik, Buku Kedua, Cetakan II, Bandung: Citra Aditya Bakti. H. Idham, (2004), Konsolidasi Tanah Perkotaan dalam Perspektif Otonomi Daerah, Cetakan 1, Bandung: Alumni. Kelompok Kerja KPA Wilayah Irian Jaya, “Prinsip Hak Menguasai Tanah dan Sengketa Pertanahan di Irian Jaya” dalam Lapera, Penyunting, Prinsip-Prinsip Reforma Agraria, Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Cetakan 1, Tim Lapera, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, Agustus 2001. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, dan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 374