pembuatan tapioka asam dengan fermentasi spontan skripsi puja

advertisement
PEMBUATAN TAPIOKA ASAM DENGAN FERMENTASI
SPONTAN
SKRIPSI
PUJA DWI SARI
F34080005
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PEMBUATAN TAPIOKA ASAM DENGAN FERMENTASI
SPONTAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Oleh
PUJA DWI SARI
F34080005
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi
: Pembuatan Tapioka Asam dengan Fermentasi Spontan
Nama
: PUJA DWI SARI
NIM
: F34080005
Menyetujui,
Dosen Pembimbing ,
(Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si)
NIP. 19661219 199103 2 001
Mengetahui:
Ketua Departemen,
(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti)
NIP. 19621009 198903 2001
Tanggal lulus :
SOUR CASSAVA STARCH PRODUCTION BY SPONTANEOUS FERMENTATION
Titi Candra Sunarti and Puja Dwi Sari
Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology,
Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java,
Indonesia.
Phone : 62 527 4826139, e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Sour cassava starch is a modified starch produced by spontaneous fermentation of native
cassava starch. The objectives of this research were to study the production process of sour cassava
starch and investigate the effect of spontaneous fermentation to quality, physicochemical and
functional properties of sour cassava starch. Sour cassava starch was prepared by spontaneous
fermentation with variation of fermentation time (0, 10, 20, 30, 40 and 50 days). Analysis of variance
(ANOVA) was employed for analyzed the result obtained from three replications. The result indicated
that during spontaneous fermentation, sour cassava starch is dominated by lactic acid bacteria
among other bacteria. High amount of organic acid made the environment become acid, and so pH
value becomed low, and it effected to suppress the growth of pathogenic bacteria. Growth of the yeast
also occurred during fermentation process after ten days. Sour cassava starch has an unique
characteristic. It has better expanding capability when toasted (1.18-1.28 ml/g) compared to native
cassava starch (1.15 ml/g). Structure of amorphous region in granules of cassava starch ruptured
during fermentation so that the value of clarity (51.13-61.88%T), solubility at 70°C (33.88-50.56%)
and swelling power at 70°C (0.85-1.71%) increase compared to native cassava starch (45.97%T);
(21.18%); and (0.45%) recpectively.
Keywords : sour cassava starch, spontaneous fermentation, physicochemical properties
Puja Dwi Sari. F34080005. Pembuatan Tapioka Asam dengan Fermentasi Spontan.
Dibawah bimbingan Titi Candra Sunarti. 2012
RINGKASAN
Industri tapioka di Indonesia umumnya industri skala kecil dan menengah dengan proses
pengolahannya masih dilakukan secara tradisional. Hal ini menyebabkan mutu tapioka yang
dihasilkan tidak seragam, baik dari bentuk fisik maupun keamanan pangannya yang kurang terjamin.
Sanitasi yang buruk dan peralatan yang masih sangat sederhana juga menyebabkan tingginya
pencemaran tapioka oleh berbagai mikroorganisme selama pengolahan. Tapioka asam merupakan
produk pati termodifikasi yang dihasilkan melalui fermentasi spontan dengan memanfaatkan bakteri
asam laktat dan pengeringan dibawah sinar matahari. Di Indonesia kebutuhan tapioka asam khususnya
industri kerupuk sangat besar, namun belum ada industri yang mengolahnya. Dengan pengembangan
dan perbaikan proses produksi melalui fermentasi secara spontan dan teknologi yang sederhana
sehingga dapat diaplikasikan dalam skala industri kecil atau rumah tangga, maka tapioka asam sangat
prospektif untuk dikembangkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses produksi tapioka asam melalui fermentasi
secara spontan dan mengkaji perbandingan karakteristik mutu tapioka asam dengan tapioka komersial
(alami). Metode yang dilakukan yaitu proses fermentasi spontan pada pati basah tapioka selama 10
samapi 50 hari pada suhu kamar. Tapioka asam yang dihasilkan dianalisis karakteristik mutu, dan
fisikokimianya. Analisis statistik yang digunakan adalah analysis of variance (ANOVA). ANOVA
merupakan metode statistika untuk menguji signifikansi perbedaan dari dua atau lebih nilai rata-rata.
Selama fermentasi spontan diketahui bahwa bakteri asam laktat mendominasi komunitas
bakteri yang ada dan mencapai fase eksponensial pada lama fermentasi 20 hari. Nilai pH mengalami
penurunan dari 4.75 hingga 3.36 yang diikuti oleh peningkatan total asam tertitrasi (2.23-7.36 ml
NaOH/100 g bahan) pada tapioka asam yang dihasilkan. Pada kondisi tersebut ditemukan
pertumbuhan kapang dan khamir mulai fermentasi 10 hari dan terus mengalami peningkatan sampai
50 hari fermentasi.
Kandungan komponen proksimat pada tapioka asam yang dihasilkan tidak berubah, namun
terjadi sedikit peningkatan pada kadar protein (0.44-0.49% bk) dibandingkan tapioka alami (0.19%
bk). Tapioka asam memiliki karakteristik yang unik yaitu memiliki kapasitas pengembangan
(expanding capability) (1.18-1.28 ml/g) yang lebih tinggi dari tapioka alami (1.15 ml/g). Selain itu,
pada granula tapioka asam yang diamati terlihat bagian amorf pada struktur amilosa pati mengalami
kerusakan sehingga menyebabkan nilai kejernihan pasta 1% (51.13-61.88%T), kelarutan (33.8850.56%) dan swelling power pada suhu 70°C (0.85-1.71%) meningkat dibandingkan tapioka alami
(45.97%T), (21.18%), dan (0.45%). Pada sifat amilografi diperoleh bahwa suhu awal gelatinisasi tidak
berubah (67.65°C) sedangkan breakdown viscosity lebih tinggi (4124-4617 cP) dibandingkan tapioka
alami (4077cP). Namun, setback viscosity (449-576 cP) dan final viscosity (2221-2487 cP) pada
tapioka asam lebih rendah dari tapioka alami (977 cP), dan (3178 cP). Viskositas maksimum pada
tapioka asam hampir sama dengan tapioka alami (6035-6442 cP).
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pembuatan Tapioka
Asam dengan Fermentasi Spontan adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan Dosen
Pembimbing Akademik, kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2012
Yang membuat pernyataan
Puja Dwi Sari
F34080005
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar di Insitut Pertanian Bogor. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak
sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian
Bogor.
BIODATA PENULIS
Puja Dwi Sari, lahir di Payakumbuh pada tanggal 25 Januari 1990.
Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Syahrial dan
Elmisdar. Pada tahun 1996 penulis memulai pendidikan di SD Negeri 07
Balai Batimah Tiakar dan lulus tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis
melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 5 Payakumbuh dan lulus tahun
2005. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1
Payakumbuh dan lulus pada tahun 2008.
Penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri, Institut
Pertanian Bogor tahun 2008 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan di Institut
Pertanian Bogor (IPB), penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Pati, Gula dan
Sukrokimia periode 2011/2012, dan Teknologi Minyak, Lemak dan Emulsi periode 2012/2013.
Penulis juga aktif dalam Organisasi Mahasiswa Daerah Payakumbuh yang bernama IKMP sebagai
sekretaris pada perode 2009/2010. Penulis juga berpartisipasi dalam kepanitian beberapa acara seperti
Hagatri 2010 dan Atsiri 2010.
Pada tahun 2011 penulis melakukan Praktek Lapang dengan judul Mempelajari Aspek Proses
Produksi dan Pengawasan Mutu Resin Starch-Based Biodegradable Plastics di PT. Tirtamarta,
Serang. Selanjutnya pada tahun 2012 penulis melaksanakan penelitian dengan judul Pembuatan
Tapioka Asam dengan Fermentasi Spontan dibawah bimbingan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, berkat, dan hidayah
serta kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dibuat sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama proses penelitian sampai penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan
baik moral maupun materil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Dr. Titi Candra Sunarti, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan
banyak arahan, bimbingan serta dukungan selama masa studi di TIN-IPB, pada saat
penelitian serta dalam penyusunan skripsi ini.
2. Prof. Dr. Ing-. Ir. Suprihatin dan Dr. Ika Amalia K, S.TP. M.Si selaku dosen penguji yang
telah memberikan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini.
3. Keluarga besar, terutama kedua orang tua dan uda Dika yang telah memberikan dukungan
dan doa serta keteladanan hidup bagi penulis.
4. Laboran TIN (Bu Ega, Bu Sri, Bu Rini, Bu Diyah, Pak Gunawan, Pak Diki, Pak Yogi, Pak
Edi dan Pak Sugiardi) dan teknisi Techno-Park FATETA atas kesediaannya membantu
penulis selama penelitian.
5. Terima kasih kepada Hari Putra yang telah memberikan bantuan, semangat dan dukungannya
kepada penulis.
6. Teman sebimbingan (Siti Aminah Oktaviyani dan Dony Noor Romadona), perjuangan kita
mulai dari praktik lapang sampai penelitian dan penulisan skripsi selama ini sungguh
mengesankan.
7. Teman-teman TIN 45 yang tergabung dalam Himpunan Solidaritas Labroratorium (Citra,
Lutfha, Fani, Ida, Anas, Niza, Dani, Abi) atas dukungan dan kebersamaannya selama
penelitian.
8. Keluarga besar Villa Taman Sehat (Sovi, Putri, Desi, Yolan, Dita, Nisa), terima kasih atas
kebersamaan dan keakraban kita selama ini.
9. Teman-teman TIN 45 terima kasih untuk tawa dan tangis bersamanya selama masa studi
Sarjana di IPB serta semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama
penelitian sampai penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dan bermanfaat demi perbaikan
skripsi ini. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi pembaca serta mampu memberikan
kontribusi untuk perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang teknologi pertanian.
Bogor, November 2012
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR LAMPIRAN
vi
I. PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang
1
1.2. Tujuan
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1. Ubi Kayu
3
2.2. Pati
5
2.3. Tapioka
8
2.4. Modifikasi Tapioka dengan Fermentasi
10
III. METODOLOGI
13
3.1. Bahan dan Alat
13
3.2. Metode Penelitian
13
3.2.1. Proses Pembuatan Tapioka Asam
13
3.2.2. Karakterisasi Cairan Fermentasi
14
3.2.3. Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Mutu Tapioka Asam
14
3.2.4. Karakterisasi Sifat Fungsional Tapioka Asam
14
3.3. Analysis of Variance (ANOVA)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
16
18
4.1. Produksi Tapioka Asam
18
4.2. Karakteristik Cairan Fermentasi
20
4.2.1. pH
21
4.2.2. Total Asam
21
4.2.3. Bakteri Asam Laktat
21
4.2.4. Total Plate Count
22
4.2.5. Total Soluble Carbohydrate
22
4.3. Karakteristik Sifat Fisikokimia dan Fungsional Tapioka Asam
22
4.3.1. Bentuk Granula Pati
24
4.3.2. Komponen Kimia Tapioka Asam
27
4.3.2.1. Kadar Air
27
4.3.2.2. Kadar Abu
27
4.3.2.3. Kadar Protein
27
ii
4.3.2.4. Kadar Lemak
28
4.3.2.5. Kadar Serat Kasar
28
4.3.2.6. Karbohidrat by Difference
38
4.3.3. Komponen Mutu Tapioka Asam
29
4.3.3.1. pH
29
4.3.3.2. Total Asam
29
4.3.3.3. Bakteri Asam Laktat
30
4.3.3.4. Total Plate Count
31
4.3.3.5. Kapang dan Khamir
31
4.3.3.6. Escherichia coli
32
4.3.4. Sifat Fungsional Tapioka Asam
32
4.3.4.1. Kejernihan Pasta 1%
32
4.3.4.2. Kelarutan Pasta dan Swelling Power 70°C
33
4.3.4.3. Sifat Amilografi
34
4.3.4.4. Expanding Capability
38
V. PENUTUP
40
5.1. Kesimpulan
40
5.2. Saran
40
DAFTAR PUSTAKA
41
LAMPIRAN
44
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bagian-bagian penyusun ubi kayu
3
Gambar 2. Struktur amilosa
5
Gambar 3. Struktur amilopektin
5
Gambar 4. Struktur amilopektin pada daerah kristalin dan amorf
6
Gambar 5. Model struktur granula pati
7
Gambar 6. Produksi asam laktat melalui fermentasi glukosa secara homofermentatif dan
heterofermentatif
12
Gambar 7. Kondisi fermentasi secara spontan pada tapioka
14
Gambar 8. Bagan alir pembuatan tapioka asam
15
Gambar 9. Mekanisme modifikasi pati pada tapioka asam
20
Gambar 10. Bentuk granula tapioka asam dengan mikroskop cahaya perbesaran 100X
25
Gambar 11. Pengamatan mikroskopik granula pada tapioka asam dengan mikroskop cahaya
terpolarisasi
Gambar 12. Grafik jumlah mikroorganisme pada tapioka asam
26
31
Gambar 13. Pola Rapid Visco Amilograph pada tapioka asam
36
Gambar 14. Perubahan granula pati selama proses gelatinisasi dan retrogradasi
37
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi kimia ubi kayu per 100 g bahan
4
Tabel 2. Rasio amilosa-amilopektin pada umbi-umbian
6
Tabel 3. Komposisi kimia tapioka
8
Tabel 4. Syarat mutu tapioka menurut SNI 3451:2011
9
Tabel 5. Standar kehalusan tapioka
10
Tabel 6. Tabel ANOVA
16
Tabel 7. Hasil analisis cairan fermentasi
21
Tabel 8. Hasil analisis sifat fisikokimia dan fungsional tapioka asam
23
Tabel 9. Sifat amilografi dengan RVA (Rapid Visco Analyzer)
35
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Karakterisasi komposisi mutu cairan fermentasi dan tapioka asam
44
Lampiran 2. Karakterisasi sifat fisikokimia tapioka asam
45
Lampiran 3. Karakterisasi sifat fungsional tapioka asam
48
Lampiran 4. ANOVA karakteristik cairan fermentasi
50
Lampiran 5. ANOVA karakteristik kimia, mutu dan fungsional tapioka asam
54
Lampiran 6. Visualisasi tapioka asam yang dihasilkan
65
Lampiran 7. Expanding capability pada tapioka asam
66
vi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ubi kayu merupakan salah satu komoditas pertanian jenis umbi-umbian yang banyak
dimanfaatkan sebagai sumber pangan di Indonesia. Ubi kayu dapat diolah menjadi berbagai
macam makanan tradisional yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif sumber
karbohidrat selain padi. Komoditas ini sangat mudah dibudidayakan karena dapat tumbuh pada
berbagai jenis tanah termasuk lahan kering dan kurang subur. Oleh karena itu penyebaran
produksi ubi kayu meluas ke semua provinsi di Indonesia.
Tapioka merupakan salah satu produk agroindustri yang memiliki banyak kegunaan
antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Tapioka juga merupakan salah satu
komoditi yang potensial dan memiliki prospek pengembangan yang bagus. Namun proses
pengolahan tapioka yang ada saat ini masih memiliki beberapa kelemahan. Industri tapioka di
Indonesia umumnya industri skala kecil dan menengah dengan proses pengolahannya masih
dilakukan secara tradisional. Hal ini menyebabkan mutu tapioka yang dihasilkan tidak seragam,
baik dari bentuk fisik maupun keamanan pangannya yang kurang terjamin. Sanitasi yang buruk
dan peralatan yang masih sangat sederhana juga menyebabkan tingginya pencemaran tapioka
oleh berbagai mikroorganisme selama pengolahan.
Tapioka asam merupakan salah satu produk pati termodifikasi yang dihasilkan melalui
proses fermentasi tapioka alami yang diikuti dengan pengeringan pada sinar matahari. Tapioka
asam memiliki sifat yang unik yaitu menghasilkan kapasitas pengembangan yang baik saat
dipanggang. Tapioka asam sudah dikenal di Amerika Selatan yaitu di Colombia yang dikenal
dengan almidon agrio dan di Brazil dengan polvilho azedo (Demiate et al., 2000). Pada kedua
negara tersebut, tapioka asam digunakan untuk pembuatan roti keju dan bermacam biskuit
tradisional lainnya. Di Indonesia tapioka asam digunakan di industri kerupuk tradisional dan
biasanya disiapkan langsung oleh pabrik dengan cara merendam tapioka alami selama selang
waktu tertentu. Selain itu, tapioka asam juga digunakan pada industri makanan lainnya seperti
industri biskuit, industri roti, industri kue (cake) dan berbagai industri lainnya yang
membutuhkan daya pengembangan tinggi. Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat khususnya
para pengusaha di Indonesia terhadap tapioka asam sangat besar, namun sampai saat ini belum
ada industri yang mengolahnya. Kebanyakan industri pengguna menyiapkan sendiri kebutuhan
tapioka asamnya.
Fermentasi secara spontan dapat dilakukan untuk menghasilkan tapioka asam. Prinsip
metode fermentasi tersebut yaitu memanfaatkan pertumbuhan mikroorganisme yang tumbuh
secara alami selama proses fermentasi. Salah satu mikroorganisme yang menguntungkan dalam
proses pengolahan tapioka ini adalah bakteri asam laktat. Selama proses fermentasi, bakteri asam
laktat mendominasi komunitas bakteri yang ada dan dapat menghasilkan asam laktat yang
merupakan produk utama fermentasi (Ampe et al., 2001). Selain itu, bakteri asam laktat juga
dapat memproduksi protein yang disebut bakteriosin. Baik senyawa bakteriosin maupun asam
laktat yang dihasilkan diharapkan mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang
sering dijumpai pada tapioka alami. Dengan demikian, keamanan pangan akan lebih terjamin.
Pengembangan dan perbaikan proses produksi yang sederhana melalui fermentasi
secara spontan dan dapat diaplikasikan industri kecil dan rumah tangga, maka produk tapioka
1
asam sangat prospektif untuk dikembangkan dan diharapkan dapat meningkatkan minat petani
untuk menanam ubi kayu sehingga akan meningkatkan pendapatan petani yang berdampak pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tapioka asam yang dihasilkan diharapkan memiliki mutu
dan sifat fungsional yang lebih baik dibandingkan dengan tapioka alami dari industri rakyat.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses produksi tapioka asam melalui
fermentasi secara spontan (alami). Secara khusus penelitian ini mengkaji pengaruh proses
fermentasi tapioka secara spontan terhadap karakteristik mutu, dan fisikokimia tapioka asam
yang dihasilkannya.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ubi Kayu
Tanaman ubi kayu atau ketela pohon di dalam dunia tumbuh-tumbuhan dinamakan Manihot
utilissima Pohl atau M. esculenta Crantz. Tanaman ini termasuk famili Euphorbiaceae yang dapat
tumbuh dengan baik pada ketinggian 10–700 m diatas permukaan laut dan pada daerah 25° lintang
utara- 25° lintang selatan. Tanah yang sesuai adalah tanah yang berstruktur remah, gembur, tidak liat
dan juga tidak poros serta mengandung unsur hara. Sementara itu pH yang dibutuhkan antara 4.5-8,
dengan pH idealnya adalah 5.8. Suhu udara minimal bagi pertumbuhan tanaman ubi kayu adalah
10°C. Suhu dibawah 10°C akan menghambat pertumbuhan tanaman, seperti tanaman menjadi kerdil
karena pertumbuhan bunga yang kurang sempurna. Curah hujan yang diperlukan antara 1.500-2500
mm/tahun dan kelembaban udara optimal untuk tanaman antara 60-65 % (Mastani, 2009).
Ubi kayu berasal dari negara Amerika Latin atau tepatnya dari negara Brazil. Penyebarannya
hampir ke seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India serta China. Ubi kayu atau ketela
pohon diperkirakan masuk ke Indonesia pada tahun 1852. Pada tahun 1852 Kebun Raya Bogor
menerima bibit ubi kayu dari Suriname yang pada tahun 1854 disebarkan ke seluruh karesidenan di
Pulau Jawa dan kawasan lain di luar Pulau Jawa, sedangkan pengembangannya dimulai sekitar tahun
1914-1918. Pada tahun 1968 Indonesia menjadi negara penghasil ubi kayu nomor 5 di dunia
(Rukmana, 1997).
Umbi ubi kayu rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis
ubi kayu yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi ubi kayu
tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan
keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia
(Anonim, 2012).
Ubi kayu memiliki umbi yang berfungsi sebagai cadangan makanan. Umbinya berbentuk
bulat memanjang, daging umbi mengandung pati dan tiap tanaman dapat menghasilkan 5-10 umbi
(Rukmana, 1997). Bagian penyusun umbi ubi kayu diperlihatkan pada Gambar 1.
Kulit luar
Kulit dalam (cortex)
Daging umbi
Tali vaskular tengah
Gambar 1. Bagian-bagian penyusun ubi kayu (CIAT, 2009)
Pada Gambar 1 terlihat potongan melintang ubi kayu yang terdiri dari kulit luar (periderm),
kulit dalam (cortex), daging umbi (flesh) dan tali vaskular tengah (central vascular strands). Kulit luar
3
terdiri dari beberapa lapisan sel mati yang membungkus umbi ubi kayu. Warnanya bervariasi, bentuk
dan teksturnya kadang tebal dan kasar, kadang tipis dan halus. Kulit dalam terletak di bawah kulit
luar, terdiri dari sklerenkima, parenkima kortikal, dan phloem. Warna kulit dalam bervariasi dari putih
atau krem sampai merah muda. Daging buah terletak di tengah umbi dan sebagian besar terdiri dari
sel-sel parenkima tempat penyimpanan yang berasal dari kambium. Daging umbi merupakan tempat
penyimpanan utama tanaman ubi kayu dimana butir-butir pati disimpan. Warna daging umbi
bervariasi dari putih sampai kuning. Benang vaskular tengah terdiri dari bundel xylem. Kadar serat dan
kekuatan benang ini tergantung pada kondisi lingkungan dan umur tanaman. Umbi ubi kayu bervariasi
bentuknya, tergantung kondisi tanah tempat tumbuhnya (Ekanayake et al., 1997).
Daging umbi pada ubi kayu dapat berwarna putih atau kuning. Komposisi kimia ubi kayu
dipengaruhi oleh faktor tanah, kondisi penanaman, kelembaban, suhu, varietas dan umur tanaman. Hal
lain yang perlu dicatat adalah kandungan racun sianida di dalam ubi kayu. Racun tersebut ada didalam
tanaman ubi kayu (akar, batang dan daun) dalam bentuk bebas maupun dalam bentuk terikat secara
kimia yaitu sebagai senyawa kompleks linamarin glukosa. Adanya sianida mudah dikenali dengan
munculnya rasa pahit. Tahap-tahap pengolahan sejak pengecilan ukuran hingga pengolahan lebih
lanjut akan mengurangi kadar racun ini sampai tingkat yang tidak membahayakan
(Wirakartakusumah, 1989). Tabel 1 berikut ini menyajikan komposisi kimia ubi kayu.
Tabel 1. Komposisi kimia ubi kayu per 100 g bahan
Jenis ubi kayu
Komponen
Putih
Kuning
Energi (kal)
146.00
157.00
Protein (g)
1.20
0.80
Lemak (g)
0.30
0.30
Karbohidrat (g)
34.70
37.90
Kalsium (g)
33.00
33.00
Fosfor (g)
40.00
40.00
Besi (g)
0.70
0.70
Vitamin A (SI)
0.00
385.00
Vitamin B (mg)
0.06
0.06
Vitamin C (mg)
30.00
30.00
Air (g)
62.50
60.00
Bagian yang dapat dimakan (g)
75.00
75.00
Sumber : Departemen Kesehatan RI (1990)
Komposisi kimia ubi kayu biasanya bervariasi tergantung dari varietas disamping faktor luar
seperti iklim, kesuburan tanah dan lain sebagainya. Komponen pati yang tinggi memungkinkan pati
digunakan sebagai sumber karbohidrat. Kadar pati ubi kayu akan sangat dipengaruhi oleh waktu
panen. Ubi kayu mengandung racun asam sianida (HCN) atau sianogenik glikosida. Berdasarkan
kadar HCN-nya ubi kayu terbagi atas dua jenis yaitu ubi kayu manis dan tidak beracun dengan
kadar HCN kurang dari 50 mg per kg ubi kayu segar. Kedua, jenis ubi kayu pahit, beracun dan
kandungan HCN-nya lebih besar dari 50 mg per kg ubi kayu segar (Hamid, 2012).
4
2.2
Pati
Pati merupakan salah satu jenis polisakarida terpenting dan tersebar luas di alam dan
memiliki rumus molekul (C6H10O5)n. Pati disimpan sebagai cadangan makanan bagi tumbuhtumbuhan, antara lain di dalam biji buah (padi, jagung, gandum), di dalam umbi (ubi kayu, ubi jalar,
talas), dan pada batang (aren dan sagu). Menurut Hart (1990), pati merupakan glukosa dengan ikatan
α-glikosidik. Sifat pati tergantung panjang rantai karbonnya dan perbandingan antara molekul yang
lurus dan bercabang rantai molekulnya. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama, yaitu
amilosa, amilopektin, dan bahan antara seperti lipid dan protein. Umumnya pati mengandung 15-30%
amilosa, 70-85% amilopektin dan 5-10% bahan antara. Pati terdiri dari dua fraksi yaitu amilosa dan
amilopektin (Winarno, 2002). Struktur amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.
Gambar 2. Struktur amilosa
Gambar 3. Struktur amilopektin
Amilosa mempunyai struktur lurus yang didominasi dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa.
Panjang polimer dipengaruhi oleh sumber pati dan akan mempengaruhi berat molekul amilosa. Pada
umumnya amilosa dari umbi-umbian mempunyai berat molekul yang lebih besar dibandingkan
dengan berat molekul amilosa serealia, dengan rantai polimer lebih panjang daripada rantai polimer
amilosa serealia (Moorthy, 2004). Amilosa memiliki kemampuan membentuk kristal karena struktur
rantai polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana ini dapat membentuk interaksi
molekuler yang kuat. Interaksi ini terjadi pada gugus hidroksil molekul amilosa. Pembentukan ikatan
hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada amilopektin (Taggart, 2004).
5
Amilopektin mempunyai titik percabangan dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa disamping
ikatan α-(1,4)-D-glukosa pada rantai lurusnya, dan memiliki bobot molekul yang besar. Amilopektin
juga dapat membentuk kristal, tetapi tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai
percabangan yang menghalangi terbentuknya kristal (Taggart, 2004).
Menurut Flach (1993) amilopektin mempunyai ukuran yang lebih besar daripada amilosa,
tetapi mempunyai kekentalan yang lebih rendah. Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih
banyak daripada amilosa. Butiran pati mengandung amilosa berkisar antara 15-30%, sedangkan
amilopektin berkisar antara 70-85%. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin akan berpengaruh
terhadap sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Tabel 2 menyajikan perbandingan jumlah amilosa
dan amilopektin yang berbeda pada setiap jenis sumber pati.
Tabel 2. Rasio amilosa-amilopektin pada umbi-umbian
Sumber Pati
Amilosa (%)
Amilopektin (%)
Ubi jalar
17.0
83.0
Ubi kayu
18.0
82.0
Talas
18.0
82.0
Kimpul
21.2
78.7
Ganyong
18.9
81.1
Suweg
18.3
81.7
Uwi
23.6
76.4
Gembili
24.3
75.7
Sumber : Sunarti (2005)
Pati terdiri dari bagian yang bersifat kristalin dan bagian amorf, yang letaknya berselang
seling membentuk cincin berlapis mengelilingi hilum. Bagian kristalin berisi ikatan pendek dari
amilopektin yang berklaster-klaster. Bagian amorf berisi percabangan amilopektin dan amilosa (Liu,
2005). Model molekul amilopektin pada daerah kristalin dan amorf dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur amilopektin pada daerah kristalin (1) dan amorf (2) (Liu, 2005)
6
Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Winarno (2002), menyatakan
bahwa granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga dibawah mikroskop
terlihat kristal hitam putih. Sifat inilah yang disebut birefringent. Pada saat granula mulai pecah, sifat
birefringent ini akan menghilang. Pada umumnya granula pati tidak terdapat dalam keadaan murni
karena adanya zat antara misalnya protein dan lemak. Granula pati memiliki hilum sebagai inti. Hilum
granula pati ada yang berada ditengah dan ada yang cenderung berada di tepi granula, tergantung asal
pati tersebut. Liu (2005) menggambarkan model struktur pati seperti pada Gambar 5.
Gambar 5. Model struktur granula pati (Liu, 2005)
Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda tergantung dari sumbernya.
Menurut Moorthy (2004), ukuran granula tapioka menunjukkan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40
µm dengan bentuk bulat dan oval. Variasi tersebut dipengaruhi oleh varietas tanaman ubi kayu dan
periode pertumbuhan pada musim yang berbeda. Menurut Satin (2007) bahwa sebaran dan ukuran
7
granula pati sangat menentukan karakterisasi fisik pati serta aplikasinya dalam produk pangan.
Ukuran granula adalah salah satu faktor yang menentukan suhu gelatinisasi. Ukuran granula pati juga
berpengaruh terhadap mutu pati yang dihasilkan dalam skala industri.
Granula pati dapat menyerap air dan membengkak. Meyer (1982) menyatakan bahwa
pengembangan granula pati dalam air dingin dapat mencapai 25-30% dari berat semula. Pada keadaan
tersebut granula pati tidak larut dalam air dingin tapi berbentuk suspensi. Winarno (1991)
menambahkan bahwa kemampuan pati menyerap air disebabkan oleh adanya gugus hidroksil pada
molekul pati. Pemanasan suspensi pati dalam air mengakibatkan suspensi menjadi keruh dan bila gaya
tarik-menarik antara molekul air lebih kuat daripada antar molekul pati, air akan terserap dan granula
pati membengkak. Masuknya air ke dalam granula meningkatkan viskositas suspensi pati.
Peningkatan volume granula pada selang suhu 55°C sampai 65°C masih memungkinkan
granula pati kembali pada kondisi semula. Apabila terjadi pembengkakan yang luar biasa, dan granula
pati tidak dapat kembali pada keadaan semula, maka perubahan ini disebut gelatinisasi. Suhu pada
saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi dan besarnya berbeda tergantung pada jenis pati dan
konsentrasinya (Winarno, 1991).
2.3
Tapioka
Tapioka merupakan pati yang diekstrak dari ubi kayu. Dalam memperoleh pati dari ubi kayu
(tapioka) harus dipertimbangkan usia atau kematangan dari tanaman ubi kayu. Usia optimum yang
telah ditemukan dari hasil percobaan terhadap salah satu varietas ubi kayu yang berasal dari jawa
yaitu San Pedro Preto adalah sekitar 18-20 bulan (Grace, 1977). Ketika umbi ubi kayu dibiarkan di
tanah, jumlah pati akan meningkat sampai pada titik tertentu, lalu umbi akan mejadi keras dan
menyerupai kayu, sehingga umbi akan sulit untuk ditangani ataupun diolah. Pati tapioka memiliki
bentuk granula oval, kerucut potong dengan ukuran diameter sebesar 20 µm (Beynum dan Roels,
1985). Komposisi kimia tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia tapioka
Komposisi
Jumlah
Serat (%)
0.5
Air (%)
15.0
Karbohidrat (%)
85.0
Protein (%)
0.5 – 0.7
Lemak (%)
0.2
Energi (kalori/100 g)
307.0
Sumber : Grace (1977)
Sebagai bahan baku industri pangan, tapioka telah banyak digunakan untuk sumber
karbohidrat (sumber kalori) maupun sebagai zat pengental (thickener) (Somaatmadja, 1984). Hal ini
dikarenakan kandungan pati yang tinggi dan sifat patinya mudah membengkak dalam air panas
dengan membentuk kekentalan yang dikehendaki. Dalam pembuatan tapioka berbagai faktor harus
diperhatikan untuk memperoleh hasil yang bermutu tinggi. Mutu tapioka ditentukan oleh kadar air,
serat dan kotoran, derajat putih dan kekentalan (Purwadaria, 1989).
8
Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), nilai pH tapioka tidak dipersyaratkan. Namun
demikian, beberapa institusi mensyaratkan nilai pH untuk mengetahui mutu tepung tapioka berkaitan
dengan proses pengolahan, misalnya pada proses pembentukan pasta. Pembentukan gel optimum
terjadi pada pH 4-7 (Winarno, 2002). Bila pH terlalu tinggi, pembentukan pasta makin cepat tercapai
tetapi akan cepat turun lagi. Sebaliknya, bila pH terlalu rendah, pembentukan pasta menjadi lambat
dan viskositasnya akan turun bila proses pemanasan dilanjutkan. Disamping itu, nilai pH ini juga
berpengaruh terhadap jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam tapioka seperti bakteri asam laktat
dan beberapa bakteri patogen. Mikroorganisme tersebut dapat mempengaruhi karakterisasi pati yang
dihasilkan. The Tapioca Institute of America (TIA) menetapkan standar pH tepung tapioka sekitar 4.56.5 (Radley, 1976). Syarat mutu tepung tapioka sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 4.
No
Tabel 4. Syarat Mutu Tapioka menurut SNI 3451:2011
Kriteria uji
Satuan
Persyaratan
1
Keadaan
1.1
Bentuk
-
Serbuk halus
1.2
Bau
-
Normal
1.3
Warna
-
Putih, khas tapioka
2
Kadar air (b/b)
%
Maks. 14
3
Abu (b/b)
%
Maks. 0.5
4
Serat kasar (b/b)
%
Maks. 0.4
5
Kadar pati (b/b)
%
Min. 75
6
Derajat putih (MgO = 100)
7
Derajat asam
8
Cemaran logam
8.1
Min. 91
mL NaOH 1 N / 100 g
Maks. 4
Kadmium (Cd)
Mg/kg
Maks 0.2
8.2
Timbal (Pb)
Mg/kg
Maks. 0.25
8.3
Timah (Sn)
Mg/kg
Maks. 40
8.4
Merkuri (Hg)
Mg/kg
Maks. 0.05
9
Cemaran arsen (As)
Mg/kg
Maks. 0.5
10
Cemaran mikroba
10.1
Angka lempeng total (35° C,
Koloni/g
Maks. 1x106
48 jam)
10.2
Escherichia coli
APM/g
Maks. 10
10.3
Bacillus cereus
Koloni/g
< 1x104
10.4
Kapang
Koloni/g
Maks. 1x104
Sumber : Badan Standardisasi Nasional (BSN) (2011)
Kehalusan tepung juga penting untuk menentukan mutu tepung tapioka. Tepung tapioka yang
baik adalah tepung yang tidak menggumpal dan memiliki kehalusan yang baik. Dalam SNI tidak
dipersyaratkan mengenai kehalusan tepung tapioka. Salah satu institusi yang menyaratkan kehalusan
sebagai syarat mutu tepung tapioka adalah The Tapioca Institute of America (TIA), yang membagi
9
tepung tapioka menjadi tiga kelas (grade) berdasarkan kehalusannya. Standar kehalusan tepung
tapioka menurut TIA disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Standar Kehalusan Tapioka
Grade
lolos ayak (%)
Ukuran ayakan
A
99
140
B
99
80
C
95
60
Sumber : Radley (1976)
Tapioka dibuat dengan mengekstrak bagian umbi ubi kayu. Proses ekstraksi umbi kayu relatif
mudah, karena kandungan protein dan lemaknya yang rendah. Jika proses pembuatannya dilakukan
dengan baik, pati yang dihasilkan akan berwarna putih bersih (Moorthy, 2004). Berdasarkan derajat
keputihan, maka semakin putih tapioka mutunya juga semakin baik. Pada pembuatan produk pangan
juga demikian, tapioka yang lebih putih biasanya lebih diharapkan sebagai bahan baku. Untuk
menghasilkan tapioka yang putih maka seringkali beberapa industri tapioka menambahkan bahan
pemutih pada proses pembuatan tapioka seperti NaOCl atau metabisulfit.
Dalam hal teknologi, ada perbedaan proses pembuatan tepung tapioka antara industri besar
dan industri rumah tangga. Pada industri besar, proses pembuatan tepung tapioka biasanya dilakukan
dengan menggunakan alat-alat atau mesin-mesin yang canggih, sedangkan pada industri rumah tangga
pembuatan tepung tapioka biasanya dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat-alat yang
sederhana sehingga kualitas pati rendah dengan kadar air tinggi, derajat asam yang tinggi dan
kandungan serat serta kotoran yang juga tinggi.
2.4
Modifikasi Pati dengan Fermentasi
Pati telah banyak digunakan pada pengolahan pangan, baik pada penggunaan di tingkat
industri pangan maupun sklarumah tangga. Pati yang digunakan umumnya berupa pati tanpa
perlakuan modifikasi (pati alami atau native starch). Walaupun pati alami cukup luas dalam
penggunaannya, namun memiliki kekurangan yang sering menghambat aplikasinya dalam proses
pengolahan pangan. kebanyakan pati alami menghasilkan suspensi pati dengan viskositas dan
kemampuan membentuk gel yang tidak seragam (konsisten). Hal ini disebabkan profil gelatinisasi pati
alami sangat dipengaruhi oleh iklim dan kondisi fisiologis tanaman sehingga jenis pati yang sama
belum tentu memiliki sifat fungsional yang sama. Menurut Kusnandar (2010), diantara kekurangan
yang utama adalah kebanyakan pati alami tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi, kondisi dan proses
mekanis. Kemudian pati alami memiliki kelarutan terbatas dalam air dan gel pati mudah mengalami
sineresis (pemisahan air dari struktur gelnya) akibat retrogradasi pati.
Oleh karena itu, pati alami sering dimodifikasi untuk menghasilkan pati yang sesuai dengan
kondisi proses pengolahan. Pati termodifikasi adalah pati yang telah mengalami perlakuan fisik
ataupun kimia yang bertujuan mengubah salah satu atau lebih sifat fisik atau kimia yang penting dari
pati (Cui, 2006). Modifikasi pati dilakukan untuk mengatasi sifat-sifat dasar pati alami yang kurang
menguntungkan tersebut sehingga dapat memperluas penggunaannya dalam proses pengolahan
pangan serta menghasilkan karakteristik produk pangan yang diinginkan. Pati diberi perlakuan
tertentu agar memiliki sifat yang lebih baik terutama sifat fisikokimia dan fungsionalnya. Beberapa
sifat asal yang dapat diubah yaitu suhu gelatinisasi, karakteristik selama proses gelatinisasi, ketahanan
10
oleh pemanasan, pengasaman dan pengadukan, serta kecenderungan retrogradasi. Modifikasi
dilakukan pada level molekuler dan level granular patinya.
Teknik modififkasi pati yang banyak dilakukan diantaranya adalah modifikasi secara fisik
(pregelatinisasi dan heat moisture treatment) dan modifikasi kimia (modifikasi ikatan silang,
subsitusi, oksidasi dan hidrolisis asam). Modifikasi dapat juga dilakukan secara kombinasi, misalnya
kombinasi modifikasi ikatan silang dan substitusi. Metode modifikasi lainnya yaitu dengan konversi
atau hidrolisis pati menjadi karbohidrat rantai pendek, misalnya membentuk maltodekstrin
(Kusnandar, 2010). Tapioka asam merupakan proses modifikasi pati dengan fermentasi yang
memanfaatkan pertumbuhan bakteri asam laktat untuk menghasilkan asam organik terutama asam
laktat.
Proses fermentasi spontan dilakukan dengan cara merendam bahan dalam air pada selang
waktu tertentu dengan memanfaatkan mikroorganisme dari lingkungan. Selama proses perendaman
tersebut terjadi perubahan sifat yang disebabkan adanya aktivitas bakteri antara lain adalah bakteri
asam laktat (Hounhouigan et al., 1993a, Johansson et al., 1995). Gibson dan Angus (2000)
mengatakan bahwa bakteri asam laktat didefinisikan sebagai suatu kelompok bakteri Gram positif
yang disatukan oleh berbagai morfologi. Bakteri asam laktat secara umum tidak berspora, berbentuk
bulat atau batang yang memproduksi asam laktat sebagai produk akhir metabolik utama selama
fermentasi karbohidrat. Bakteri asam laktat biasa digunakan di dalam industri makanan. Karthikeyan
dan Santosh (2009) mengatakan bahwa bakteri asam laktat mampu menurunkan pH makanan,
sehingga pada pH rendah pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme yang terdapat di dalam
makanan termasuk bakteri patogen dapat terhambat dan mampu memperpanjang umur simpan
makanan. Bakteri asam laktat tidak hanya menurunkan pH media, tetapi juga menghasilkan
antibiotik yang sering disebut sebagai bakteriosin, sehingga dapat menghambat pertumbuhan
bakteri pembusuk (Fardiaz, 1988).
Proses fermentasi tapioka menghasilkan beberapa perubahan sifat fisik dan fungsional produk
yang dihasilkan. Buckle et al., (1980) menyatakan bahwa selama proses fermentasi tapioka terdapat
peranan bakteri asam laktat yang menghasilkan asam laktat mencapai 66-82% dari total asam organik
yang terdapat pada tapioka asam. Bakteri asam laktat merupakan sebutan umum untuk bakteri yang
memfermentasikan gula seperti laktosa atau glukosa untuk menghasilkan sejumlah besar asam laktat.
Tapioka asam menghasilkan produk panggang pada baking test dengan volume yang lebih maksimal
dengan struktur yang lembut. Sifat amilograf menunjukkan bahwa viskositas pada tapioka asam lebih
rendah dibandingkan dengan tapioka konvensional. Selama proses fermentasi tidak hanya terdapat
modifikasi asam tetapi juga terdapat peranan enzim yang berasal dari mikroba yang tumbuh selama
fermentasi. Dari produk panggang yang dihasilkan dari tapioka asam ditemukan adanya lubanglubang kecil yang menunjukkan bukti bahwa adanya peranan enzim yang terlibat (Buckle et al.,
1980).
Bakteri asam laktat terdiri dari dua kelompok yaitu bakteri asam laktat homofermentatif dan
bakteri asam laktat heterofermentatif. Pada bakteri asam laktat homofermentatif, fermentasinya
disebut fermentasi homolaktat karena satu-satunya produk fermentasi yang dihasilkan adalah asam
laktat (Fardiaz, 1988). Bakteri asam laktat yang termasuk homofermentatif misalnya Streptococcus,
Pediococcus dan beberapa spesies Lactobacillus. Kelompok bakteri asam laktat lainnya adalah bakteri
asam laktat heterofermentatif, karena selain menghasilkan asam laktat juga memproduksi senyawasenyawa lainnya (Fardiaz, 1988). Bakteri asam laktat yang tergolong heterofermentatif misalnya
Leuconostoc dan beberapa spesies Lactobacillus. Pada Leuconostoc pemecahan glukosa menjadi asam
piruvat, asam asetat atau etanol dan karbondioksida.
11
Menurut Figueroa et al., (1995), fermentasi pada tapioka asam melibatkan dua kelompok
bakteri yaitu bakteri asam laktat heterofermentatif yang didominasi oleh spesies Leuconostoc yang
akan memulai pengasaman dan diikuti oleh bakteri asam laktat homofermentatif yang didominasi oleh
Lactobacillus plantarum. Selain bakteri juga ditemukan khamir yang tumbuh pada proses fermentasi
spontan tapioka (Lacerda et al., 2005). Proses pemecahan glukosa menjadi asam laktat oleh bakteri
homofermentatif dan heterofermentatif dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Produksi asam laktat melalui fermentasi glukosa secara homofermentatif (A)
dan heterofermentatif (B) (Rahayu, 1992)
12
III. METODOLOGI
3.1
Bahan dan Alat
3.1.1 Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi kayu manis yang berumur 8
bulan yang diperoleh dari petani ubi kayu di Desa Nagrak, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor
dan air bersih sebagai bahan pembantu. Bahan lain untuk fermentasi adalah air yang memiliki standar
air minum. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah H2SO4 pekat, NaOH, alkohol, pelarut heksan,
kertas saring, asam borat, indikator mengsel, indikator pp, glukosa murni, larutan phenol, NaCl, PCA
(Plate Count Agar), EMB agar (Eosin Methylene Blue), NA (Nutrient Agar), MRS Broth (de ManRogosa-Sharpe), PDA (Potato Dextrosa Agar), Bakto Agar, spritus dan parafin.
3.1.2 Alat
Peralatan yang digunakan untuk proses ekstraksi pati ubi kayu antara lain pisau, alat
pengupas kulit ubi kayu, Starch Line Extraction-plant, wadah plastik dan kain penutup. Peralatan
yang digunakan untuk pemanenan pati adalah tampah, blender, dan ayakan. Peralatan yang digunakan
untuk analisis yaitu peralatan gelas, spektrofotometer, pH meter, mikroskop, cawan aluminium, cawan
porselen, oven, desikator, tanur, labu kjeldahl, buret, alat destilasi, alat soxhlet, otoklaf, penangas air,
RVA (Rapid Visco Analizer), dan inkubator.
3.2
Metode Penelitian
3.2.1 Proses Pembuatan Tapioka Asam
Pembuatan tapioka asam menggunakan fermentasi spontan pada tapioka yang diekstrak dari
umbi ubi kayu. Proses ekstraksi pati dilakukan di F-Technopark, IPB menggunakan alat starch line
extraction-plant. Tahap awal pembuatan tapioka yaitu, pengupasan ubi kayu sebanyak 100 kg dengan
alat pengupas kulit ubi kayu. Setelah dikupas kemudian dicuci bersih dengan air berulang kali sampai
bersih. Proses selanjutnya yaitu pemarutan ubi kayu dengan mesin pemarut. Pada proses ini digunakan
air untuk melancarkan proses pemarutan sehingga terbentuk bubur pati. Selanjutnya proses filtrasi
bubur ubi kayu menggunakan alat vibrating screen. Proses filtrasi ini dilakukan sebanyak dua kali
ulangan. Hasil filtrasi didekantasi selama 4-5 jam untuk mengendapkan patinya. Endapan pati yang
dihasilkan, kemudian dicuci hingga bersih.
Tahap selanjutnya yaitu proses persiapan fermentasi spontan. Proses pertama yaitu
pemasukan sekitar 1000 g (volume ±1000 ml) pati basah ke dalam masing-masing wadah plastik yang
telah disiapkan. Selanjutnya ditambahkan 500 ml air (standar air minum) sebagai cairan fermentasi.
Wadah plastik ditutup dengan kain saring dan diikat yang bertujuan agar kotoran seperti debu tidak
dapat masuk sehingga proses fermentasi tidak terkontaminasi. Selanjutnya, wadah disimpan pada suhu
ruang dan difermentasi hingga 50 hari dengan pemanenan pati setiap 10 hari. Gambar 7 merupakan
gambaran kondisi fermentasi yang dilakukan.
13
Gambar 7. Kondisi fermentasi secara spontan pada tapioka
Tahap selanjutnya adalah proses pemanenan tapioka asam. Pertama, endapan pati dipisahkan
dari cairan fermentasi dan dicuci untuk menghilangkan kotoran yang terdapat pada permukaan pati.
Pati yang diperoleh kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari selama lebih kurang 7 jam. Pati
yang terbentuk dari hasil pengeringan yang tidak seragam dapat diblender dan diayak sehingga ukuran
tapioka asam yang diperoleh lebih seragam. Proses pembuatan tapioka asam dapat dilihat pada
Gambar 8.
3.2.2 Karakterisasi Cairan Fermentasi
Cairan fermentasi merupakan hasil samping proses fermentasi spontan tapioka asam.
Pengamatan karakterisasi cairan fermentasi meliputi analisis pH, total asam, analisis mikroba (TPC,
BAL, E.coli, kapang dan khamir) dan TSC (Total Soluble Carbohydrate). Prosedur analisis disajikan
pada Lampiran 1.
3.2.3 Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Mutu Tapioka asam
Pengamatan karakterisasi sifat fisikokimia tapioka asam meliputi bentuk granula pati,
karakterisasi kimia tapioka asam yang meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein,
kadar lemak, dan kadar serat kasar), dan kadar karbohidrat by difference. Karakterisasi mutu tapioka
asam meliputi pH, total asam, dan analisis mikroba (TPC, BAL, E.coli, kapang dan khamir). Prosedur
analisis komposisi mutu tapioka asam disajikan pada Lampiran 1, sedangkan prosedur analisis bentuk
granula pati serta komposisi kimia tapioka asam disajikan pada Lampiran 2.
3.2.4 Karakterisasi Sifat Fungsional Tapioka Asam
Pengamatan karakterisasi sifat fungsional tapioka asam meliputi kejernihan pasta, kelarutan
dan swelling power pada suhu 70°C, expanding capability dengan memodifikasi metode Demiate et al
(2000) dan sifat amilografi dengan Rapid Visco Analyzer (RVA). Prosedur analisis disajikan pada
Lampiran 3.
14
Ubi kayu
Pengupasan
Air bersih
Pencucian
Air sisa pencucian
Pemarutan
Ekstraksi
Ampas
Pengendapan (4-5 jam)
Pati basah
Air (standar air
minum)
Fermentasi (0-50 hari)
Pemisahan pati dengan cairan
fermentasi
Cairan Fermentasi
Pengeringan dibawah sinar
matahari (7-8 jam)
Pengecilan Ukuran
Tapioka asam
Gambar 8. Bagan alir pembuatan tapioka asam
15
Analysis of Variance (ANOVA)
3.3
Desain percobaan pada penelitian ini adalah pengaruh lama fermentasi spontan terhadap
karakteristik mutu cairan fermentasi dan karakteristik fisikokimia dan fungsional tapioka asam yang
dihasilkan. Perlakuannya adalah variasi lama fermentasi yaitu 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 hari dengan
masing-masing tiga kali ulangan.
ANOVA atau analisis ragam merupakan metode statistika untuk menguji signifikansi
perbedaan dari dua atau lebih nilai rata-rata. Pada dasarnya metode ini merupakan proses aritmetika
untuk membagi keragaman (jumlah kuadrat) total menjadi kompoen-kompenennya yang berhubungan
dengan sumber keragaman yang diketahui. Bentuk hipotesis yang akan diuji ialah :
H0
: µ1 = µ2 = … = µt (nilai rata-rata dari semua perlakuan adalah sama)
H1
: minimal ada satu nilai rata-rata yang tidak sama dengan yang lainnya
Hasil perhitungan pada ANOVA biasanya ditampilkan dalam bentuk tabel seperti yang terlihat dalam
Tabel 6 berikut :
Sumber
Tabel 6. Tabel ANOVA
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat Tengah
Keragaman
(db)
(JK)
(KT)
Perlakuan
t-1
JKP
KTP
Galat (error)
t(r-1)
JKG
KTG
Total
rt-1
JKT
F hitung
F
Keterangan :
t = jumlah perlakuan
r = jumlah ulangan pada setiap perlakuan
Nilai-nilai jumlah kuadrat, kuadrat tengah dan F hitung dicari dengan rumus-rumus sebagai berikut :
∑
∑
Keterangan :
Yij = data pada perlakuan ke-1 dan ulangan ke-j
Yi = total data pada perlakuan ke-i
Y.. = total data keseluruhan
16
Statistik uji yang digunakan adalah uji-F. F hitung merupakan nilai F yang diperoleh dari
hasil perhitungan dan merupakan rasio dari dua nilai dugaan yang bebas dari ragam yang sama.
Selanjutnya F hitung ini dibandingkan dengan F tabel, yakni nilai-nilai yang ada pada tabel distribusi
F pada derajat bebas yangs esuai dan taraf nyata yang telah ditentukan. Jika F hitung>F tabel, maka
keputusannya adalah tolak H0 dan terima H1, sedangkan jika F hitung ≤ F tabel maka keputusannya
adalah terima H0.
Apabila pengujian ANOVA menghasilkan penolakan terhadap H0 maka pengujian dapat
dilanjutkan untuk mengetahui nilai rata-rata dari perlakuan mana saja yang berbeda signifikan. Uji
lanjut yang digunakan adalah uji beda nyata terkecil (LSD). LSD merupakan kriteria uji untuk
menentukan signifikan atau tidaknya selisih antara dua rata-rata perlakuan yang dibandingkan. Nilai
LSD dicari dengan rumus :
√
Keterangan :
tα/2 = nilai distribusi t-student pada taraf nyata α dan derajat bebas galat
Keputusan ujinya jika selisih antara dua rata-rata perlakuan yang dibandingkan lebih besar
dari LSD maka dinyatakan berbeda signifikan pada tingkat kepercayaan (100 - α)%, sebaliknya jika
lebih kecil dari LSD maka tidak berbeda signifikan.
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Produksi Tapioka Asam
Komponen utama karbohidrat dalam bahan pangan adalah pati. Ekstraksi basah dilakukan
untuk memisahkan pati dari komponen bahan pangan lainnya, sehingga diperlukan air yang cukup
banyak. Ekstraksi tersebut bertujuan untuk melepaskan granula pati sehingga diperoleh pati yang
murni. Pengupasan kulit ubi kayu merupakan proses awal dalam pembuatan tapioka asam. Seperti
dalam pembuatan tapioka, kulit ubi kayu umumnya dikupas dengan pisau sehingga memerlukan
waktu yang relatif lama. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mempercepat waktu pengupasan
dengan menggunakan alat pengupas kulit ubi kayu, namun mutu kupasannya masih kurang bagus. Hal
ini dikarenakan hanya kulit bagian terluar yang berwarna coklat saja yang terbuang dan sebagian kecil
kulit bagian dalam yang berwarna putih. Hal ini menyebabkan kandungan asam sianida pada bubur
ubi kayu yang diperoleh akan tinggi karena asam sianida banyak terkandung pada bagian kulit putih
tersebut.
Ubi kayu yang telah dikupas secepatnya dicuci dengan air mengalir atau di dalam bak.
Tujuan pencucian ini untuk menghilangkan kotoran yang menempel selama pengupasan dan lendir
pada permukaan sehingga dapat mengurangi kadar asam sianida. Pencucian dilakukan berulang kali
untuk memastikan ubi kayu yang akan diproses selanjutnya sudah bersih. Ubi kayu yang sudah
dibersihkan kemudian diparut dengan alat pemarut ubi kayu. Pada tahap ini ditambahkan air untuk
memperlancar proses sehingga dihasilkan bubur ubi kayu. Pemarutan ini bertujuan untuk merusak
jaringan dan sel-sel ubi kayu agar pati dapat terekstraksi.
Tahap selanjutnya adalah pemerasan bubur ubi kayu dengan menggunakan vibrating screen.
Prinsip kerja alat ini adalah menahan padatan yang terdapat pada bubur ubi kayu sehingga dihasilkan
supernatan (cairan) yang mengandung pati. Pada alat tersebut terdapat dua saringan bertingkat dengan
ukuran 200 mesh dan 100 mesh sehingga bisa dipastikan supernatan tidak mengandung ampas ubi
kayu. Pemerasan bubur ubi kayu ini dilakukan sebanyak dua kali hingga cairan yang dihasilkan agak
jernih. Hal ini berarti kandungan pati dalam ampas ubi kayu tinggal sedikit. Pengendapan supernatan
yang diperoleh dilakukan dengan dekantasi selama 4-5 jam sehingga diperoleh endapan pati yang siap
untuk difermentasi. Pengendapan cara ini memanfaatkan gaya grafitasi untuk menurunkan granulagranula pati dan memisahkannya dari cairan.
Proses fermentasi spontan dilakukan dalam wadah-wadah plastik yang telah disiapkan.
Endapan pati basah yang diperoleh dimasukkan kedalam wadah-wadah tersebut dengan volume yang
sama. Kemudian ditambahkan air yang akan berfungsi sebagai cairan fermentasi. Pada fermentasi
spontan tidak ditambahkan starter bakteri asam laktat (Cardena dan deBuckle, 1980). Hal ini
dikarenakan fermentasi spontan merupakan teknik fermentasi yang memanfaatkan mikroba yang
tumbuh secara alami selama fermentasi. Pada bagian atas wadah fermentasi ditutup dengan kain yang
bertujuan untuk menghindari debu atau kotoran masuk. Kain yang digunakan harus tipis atau memiliki
pori-pori yang cukup besar sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran udara. Fermentasi spontan
dilakukan selama 50 hari dengan pengamatan setiap 10 hari. Selain waktu, proses fermentasi juga
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suhu, pH, aktivitas air dan ketersediaan oksigen.
Suhu adalah salah satu faktor lingkungan terpenting yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme. Suhu dapat mempengaruhi pertumbuhan dalam dua cara yang berlawanan. Pertama,
apabila suhu naik, kecepatan metabolisme mikroorganisme akan naik dan pertumbuhan dipercepat dan
18
sebaliknya apabila suhu turun, kecepatan metabolismenya juga turun dan pertumbuhan diperlambat.
Kedua, apabila suhu naik atau turun, tingkat pertumbuhan mungkin terhenti, komponen sel menjadi
tidak aktif dan sel-sel dapat mati. Suhu yang digunakan pada fermentasi spontan ini adalah suhu ruang
yang berkisar 25°C. Cardena dan de Buckle (1980) menyebutkan bahwa pada proses fermentasi
spontan dilakukan pada kondisi suhu ruang dengan kisaran suhu 15-25° C.
Setiap organisme juga mempunyai kisaran nilai pH dimana pertumbuhan masih
memungkinkan dan masing-masing biasanya memiliki pH optimum. Kebanyakan mikroorganisme
dapat tumbuh pada kisaran pH 6.0-8.0 dan nilai pH diluar kisaran 2.0 dan 10 biasanya bersifat
merusak. Ketersediaan oksigen juga mempengaruhi mikroorganisme yang tumbuh selama fermentasi.
Berdasarkan kebutuhan oksigen, mikroorganisme dikelompokkan menjadi mikroorganisme aerobik,
anaerobik, anaerobik fakultatif dan mikroerofilik. Mikroorganisme aerobik membutuhkan
ketersediaan oksigen, sedangkan anaerobik merupakan mikroorganisme yang tidak dapat tumbuh jika
adanya oksigen. Mikroorganisme anaerobik fakultatif akan mempergunakan oksigen jika tersedia dan
akan tetap hidup walaupun kondisi dalam anaerobik, sedangkan mikroerofilik yaitu mikroorganisme
yang tumbuh pada kadar oksigen lebih rendah dari kadar oksigen di atmosfer. Mikroorganisme juga
membutuhkan water activity yang berbeda. Bakteri membutuhkan aw yang tinggi berkisar 0.91,
sedangkan khamir membutuhkan nilai aw yang rendah sekitar 0.87 (Buckle, 1985).
Pati yang telah difermentasi kemudian dikeringkan dengan sinar matahari selama 7-9 jam
bergantung cuaca. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terdapat dalam bahan.
Pengeringan dengan sinar matahari berpengaruh terhadap baking expanding capability tapioka asam
yang dihasilkan, khususnya pada panjang gelombang UV tertentu. Vatanasuchart et al., (2005)
mengemukakan bahwa asam laktat dan energi UV dengan panjang gelombang 310-330 nm dapat
menyebabkan terjadinya depolimerisasi parsial pada struktur amilosa tapioka asam sehingga baking
expansion yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan menggunakan oven. Dengan demikian, ketika
pasta pati dipanaskan maka molekul air lebih mudah terserap dan membentuk ikatan hidrogen
sehingga akan mencapai viskositas yang lebih cepat. Tahapan terakhir adalah penghalusan tapioka
asam kasar dengan blender sehingga diperoleh tapioka dengan ukuran pati yang dikehendaki. Bentuk
tapioka asam yang dihasilkan secara visual dapat dilihat pada Lampiran 6.
Secara visual tidak terlihat perbedaan pada tapioka asam yang dihasilkan berdasarkan umur
fermentasinya. Akan tetapi, tekstur yang dimiliki oleh masing-masing tapioka tersebut berbeda. Umur
fermentasi yang lebih panjang akan menghasilkan tapioka asam dengan tekstur lebih halus yang
diringi dengan peningkatan jumlah bakteri asam laktat yang tumbuh. Hal ini menunjukkan bahwa
granula-granula pati digunakan oleh bakteri asam laktat sebagai subsrat untuk metabolismenya
sehingga dihasilkan asam laktat dan senyawa lainnya. Bakteri asam laktat juga memecah pati menjadi
molekul yang sederhana seperti glukosa. Granula pati yang awalnya memiliki ukuran yang lebih
besar, perlahan akan menjadi kecil dan memiliki bentuk yang tidak teratur dan seragam. Hal ini
bergantung pada jumlah bakteri asam laktat yang tumbuh. Selain itu, flavour tapioka asam yang
dihasilkan juga semakin baik seiring dengan makin lamanya fermentasi. Hal ini dikarenakan bakteri
asam laktat menghasilkan komponen aroma non volatil. Menurut Onyango et al., (2004), bakteri asam
laktat menghasilkan komponen utama berupa asam laktat yang merupakan komponen aroma non
volatil utama disamping komponen flavor yang lain yaitu asam karboksilat, ester dan aldehida.
Tapioka asam merupakan salah satu jenis pati termodifikasi. Proses modifikasi pada pati
dapat memperbaiki cooking properties sehingga pada aplikasi pengolahannya akan semakin mudah.
Proses modifikasi yang terjadi pada tapioka asam terjadi disebabkan oleh hidrolisis asam laktat yang
dihasilkan dan thermal treatment dari pengeringan menggunakan sinar matahari yang memiliki
panjang gelombang yang beragam.
19
Mekanisme modifikasi pati yang terjadi pada tapioka asam tidak lepas dari bagian yang
membentuk pati tersebut yaitu amilosa dan amilopektin. Pada bagian tersebut terdapat bagian amorf
dan kristalin yang berpengaruh terhadap sifat pati yang dihasilkan, khususnya sifat fungsional. Bagian
amorf merupakan bagian yang dapat larut, sedangkan bagian kristalin tidak dapat larut. Pada tapioka
asam bagian amorf akan mengalami kerusakan oleh asam laktat. Bagian amorf merupakan ikatan yang
lemah dan umumnya terdapat pada titik percabangan struktur pati sehingga mudah terputus oleh asam.
Pada saat bagian tersebut dirusak oleh asam maka percabangannya akan terputus dan akan terbentuk
sebagian rantai yang lurus sesuai dengan jumlah kerusakan yang terjadi. Gambar 9 memperlihatkan
mekanisme modifikasi pati pada bagian amorf tapioka asam.
A
A
A
A
A
A
A
A
Model cluster amilopektin native starch
A
Model cluster amilopektin tapioka asam
Ket : A = bagian amorf
Gambar 9. Mekanisme modifikasi pati pada tapioka asam (model cluster amilopektin
oleh Hizukuri, 1986)
Pada produksi tapioka asam, jumlah kerusakan pada bagian amorf yang diinginkan hanya
sebagian. Hal ini terkait dengan pengaruh bagian tersebut pada cooking properties pati yang
dihasilkan. Jika seluruh bagian amorf terpotong-potong maka bagian yang tersisa pada pati yaitu
bagian kristalin yang memiliki struktur yang kaku, sehingga cooking properties yang dihasilkan akan
menurun. Pengaruh ini dapat dilihat pada sifat fungsional tapioka asam yang dihasilkan.
4.2 Karakteristik Cairan Fermentasi
Proses fermentasi spontan menghasilkan produk samping berupa cairan fermentasi. Cairan
fermentasi diperoleh saat pemisahan pati dengan cairannya. Cairan fermentasi sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan mikroorganisme karena merupakan salah satu media untuk pertumbuhan
mikroba. Pada awal proses fermentasi, tumbuh berbagai jenis mikroba pada permukaan cairan
fermentasi dan membentuk sebuah lapisan yang berwarna gelap. Kemudian permukaan cairan
fermentasi perlahan bersih dari mikroorganisme ketika fermentasi dilanjutkan hingga 50 hari. Analisis
yang dilakukan pada cairan fermentasi meliputi nilai pH, total asam, jumlah bakteri asam laktat, TPC
dan Total Soluble Carbohydrate. Hasil analisis cairan fermentasi dapat dilihat pada Tabel 7.
20
Parameter
Tabel 7. Hasil analisis cairan fermentasi
fermentasi hari ke -
pH
10
4.18
20
b
3.75
30
b
3.39
40
a
3.65
50
b
3.63 b
Total Asam (ml NaOH/100g bahan)
15.84 a
46.05 ab
55.15 ab
72.45 ab
103.25 b
Bakteri Asam laktat (x 106 CFU/g)
0.72 a
59.60 abcd
19.56 abc
41.77 abcd
16.15 ab
Total Plate Count (x 106 CFU/g)
0.03 a
16.24 abc
16.66 abc
28.54 abcd
10.66 ab
178.87 a
601.01 ab
1052.61 abc
1116.50 abc
1594.70 abc
Total Soluble Carbohydrate (mg/L)
4.2.1. pH
Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 4 diperoleh bahwa terdapat satu
perlakuan yang berbeda signifikan dengan perlakuan lain pada taraf 5% yaitu cairan fermentasi 30
hari, sedangkan cairan fermentasi 10 hari, 20 hari, 40 hari dan 50 hari tidak berbeda signifikan. Nilai
pH cairan fermentasi 30 hari yaitu 3.39 dan merupakan nilai pH paling rendah, sedangkan pada
perlakuan lain berkisar antara 3.63-4.18. Pada cairan fermentasi 30 hari lingkungan fermentasi paling
asam dibandingkan dengan yang lain. Rendahnya nilai pH pada cairan fermentasi tersebut disebabkan
adanya asam organik yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang tumbuh selama proses fermentasi
terutama bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat menghasilkan asam laktat sehingga dapat
menurunkan pH pada cairan fermentasi.
4.2.2. Total asam
Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 4 diperoleh bahwa nilai total asam
berbeda signifikan pada cairan fermentasi 10 hari dan 50 hari, sedangkan pada cairan fermentasi 20
hari sampai 40 hari tidak berbeda signifikan pada taraf 5%. Kenaikan nilai total asam terjadi sampai
dengan fermentasi 50 hari artinya jumlah asam yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat semakin
tinggi. Hal ini berhubungan dengan jumlah bakteri asam laktat yang tumbuh selama fermentasi. Selain
dapat menurunkan pH, asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat juga dapat meningkatkan
total asam pada cairan fermentasi. Bakteri asam laktat memanfaatkan kandungan pati sebagai substrat
untuk diubah menjadi glukosa dan kemudian digunakan untuk menghasilkan asam laktat melalui
proses glikolisis.
4.2.3. Bakteri Asam Laktat
Dari analisis ANOVA dan uji lanjut LSD taraf 5% pada Lampiran 4 maka terdapat perlakuan
yang berbeda signifikan berdasarkan jumlah bakteri asam laktat. Cairan fermentasi 10 hari dengan
jumlah bakteri asam laktat paling rendah sebesar 0.72 x 106 CFU/g. Jumlah bakteri asam laktat
mengalami peningkatan pada cairan fermentasi 20 hari menjadi 5.96 x 106 CFU/g dan nilai tersebut
tidak berbeda signifikan dengan cairan fermentasi 40 hari (41.77 x 106 CFU/g). Pada cairan fermentasi
30 hari, jumlah bakteri asam laktat mengalami penurunan menjadi 19.56 x 106 CFU/g dan berbeda
signifikan dengan cairan fermentasi 20 hari. Hal yang serupa juga terjadi pada cairan fermentasi 50
hari dengan bakteri asam laktat sebesar 16.15 x 106 CFU/g. Perubahan jumlah bakteri asam laktat
disebabkan oleh berbagai faktor seperti suhu, ketersediaan oksigen dan subsrat yang sulit dikontrol
selama proses fermentasi.
21
4.2.4. Total Plate Count (TPC)
Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD taraf 5% pada Lampiran 4 maka terdapat perlakuan
yang berbeda signifikan berdasarkan TPC. TPC mengalami peningkatan yang signifikan sampai
fermentasi 40 hari menjadi 28.54 x 106 CFU/g. Namun, pada fermentasi 50 hari mengalami penurunan
yang signifikan menjadi 10.66 x 106 CFU/g. Penurunan TPC ini disebabkan kandungan total asam
yang semakin tinggi pada cairan fermentasi sehingga pertumbuhan mikroorganisme yang tidak tahan
terhadap asam akan terhambat. Penurunan TPC ini diduga menghasilkan biomassa berupa sel-sel
mikroba yang telah mati sehingga meningkatkan amonia pada cairan fermentasi dan meningkatkan
nilai pH yang terjadi mulai pada lama fermentasi 40 hari. Pertumbuhan bakteri asam laktat pada cairan
fermentasi sudah mulai terlihat dominan dibandingkan TPC mulai fermentasi selama 10 hari.
Walaupun pada fermentasi 30 hari jumlah bakteri asam laktat mengalami penurunan, namun
jumlahnya tetap lebih dominan dari TPC.
4.2.5 Total Soluble Carbohydrate (TSC)
Total Soluble Carbohydrate (TSC) menunjukkan karbohidrat yang terlarut pada cairan
fermentasi. Metode yang dipakai untuk mengukur TSC adalah metode fenol-asam sulfat. Dari hasil
ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 4 diperoleh bahwa cairan fermentasi 10 hari dan 20 hari
berbeda signifikan pada taraf 5% dengan perlakuan lain. Nilai TSC mengalami kenaikan hingga
fermentasi 50 hari. Peningkatan yang terjadi pada cairan fermentasi 30 hari sampai 50 hari tidak
berbeda signifikan. Peningkatan tersebut disebabkan oleh aktivitas bakteri asam laktat yang mengubah
pati pada tapioka menjadi gula-gula sederhana yang larut dalam cairan. Tingginya jumlah bakteri
asam laktat selama fermentasi mengakibatkan jumlah pati yang dipecah semakin banyak sehingga
jumlah gula sederhana juga semakin meningkat.
4.3 Karakteristik Sifat Fisikokimia dan Fungsional Tapioka Asam
Analisis yang dilakukan terhadap tapioka asam yaitu analisis terhadap sifat fisik, kimia, mutu
dan fungsional. Sifat fisik merupakan kriteria yang penting pada pati yang meliputi bentuk dan sifat
birefringence pada pati. Karakterisasi kimia tapioka asam meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar
abu, kadar protein, kadar serat kasar, kadar lemak, dan karbohidrat by difference). Karakterisasi mutu
pati meliputi nilai pH, total asam, dan analisis mikroba (TPC, bakteri asam laktat, Eschericia coli,
kapang dan khamir). Selain itu, juga perlu dilakukan karakterisasi fungsional tapioka asam yang
dihasilkan meliputi kejernihan, kelarutan, swelling power, sifat amilografi dan expanding capability.
Hasil analisis komponen kimia, mutu dan sifat fungsional tapioka asam dapat dilihat pada Tabel 8.
Terlihat bahwa perbedaan umur fermentasi menghasilkan sifat fisikokima dan fungsional tapioka
asam yang berbeda terutama dalam komponen mutunya.
22
Parameter
Tabel 8. Hasil analisis sifat fisikokimia dan fungsional tapioka asam
Fermentasi hari ke0
10
20
30
40
50
Komponen Kimia
Air (%)
11.93
15.60
14.06
16.71
14.62
12.59
b
a
c
b
b
0.22 b
Abu (% bk)
0.16
Protein (% bk)
0.19 a
0.20 b
0.49 c
0.44 c
0.45 c
0.49 c
Lemak (% bk)
1.19 b
1.45 b
1.06 ab
1.07 b
1.05 a
1.07 b
Serat Kasar (% bk)
0.11 a
0.12 b
0.11 b
0.11 b
0.11 b
0.11 b
86.43 b
82.49 b
83.43 b
81.47 a
83.52 b
85.51 b
pH
4.75 b
4.18 b
3.78 b
3.83 b
3.36 a
3.64 b
Total Asam (ml NaOH/100 g bahan)
2.23 a
4.75 b
6.13 b
6.22 b
7.30 c
7.36 c
Bakteri Asam laktat (x 106 CFU/g)
0.01 a
0.12 ab
14.93 abcd
19.53 abcde
10.43 abcd
5.01 abc
Total Plate Count (x 105 CFU/g)
0.17 a
3.96 ab
18.33 abcd
18.92 abcd
11.25 abc
9.33 abc
Kapang dan Khamir (x 105 CFU/g)
tt
0.01 ab
0.27 abc
2.49 abcd
2.58 abcd
2.65 abcd
Eschericia coli (CFU/g)
tt
tt
tt
tt
tt
tt
Kejernihan pasta (%T)
45.97 a
56.80 b
51.13 b
61.88 b
52.25 b
51.52 b
Kelarutan (%)
21.18 a
33.88 b
50.56 b
35.78 b
35.63 b
34.92 b
Swelling Power (%)
0.45 a
0.85 b
1.71 c
0.93 b
0.92 b
0.89 b
Expanding Capability (SV, ml/g)
1.15 a
1.18 a
1.21 a
1.22 a
1.27 a
1.28 a
Karbohidrat by different (% bk)
0.15
0.85
0.21
0.26
Komponen Mutu
Sifat Fungsional
*tt : tidak terdeteksi
23
23
4.3.1 Bentuk Granula Pati
Tapioka memiliki bentuk asli berupa butiran atau granula yang berwarna putih, tidak berbau,
tidak berasa, dan tidak berampas. Sifat fisik tapioka asam dapat dijelaskan melalui bentuk granula dan
sifat birefringence. Sifat mikroskopis granula pati dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber
patinya sebab pati yang terdapat dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk dan ukuran yang khas
dan beraneka ragam. Menurut Moorthy (2004), granula tapioka menunjukkan variasi yang besar yaitu
sekitar 5-40 µm dengan bentuk bulat dan oval. Sriroth et al., (1999) menambahkan bahwa ukuran
granula pati dari ubi kayu yaitu sekitar 8-22 µm, dengan rata-rata ukuran granula yaitu 15 µm (14
bulan masa panen) dan 12 µm (16 bulan masa panen). Perbedaan ukuran granula dapat dipengaruhi
oleh kondisi dan waktu panen ubi kayu. Hasil pengamatan bentuk granula tapioka dapat dilihat pada
Gambar 10.
Pada Gambar 7 tersebut terlihat bahwa terdapat perbedaan bentuk granula pati sesuai dengan
waktu fermentasinya. Secara umum, dapat terlihat bahwa semakin lama fermentasi kerusakan
terhadap granula pati semakin meningkat. Ampe et al., (2001) melaporkan bahwa tapioka asam yang
difermentasi selama 30 hari memperlihatkan kerusakan granula sebagai akibat terjadinya degradasi
pada pati yang semakin meningkat.
Bentuk granula tapioka alami (a) memperlihatkan bentuk sebagian besar granula masih utuh
yaitu bulat dan oval. Kemudian tapioka asam yang telah difermentasi selama 10 hari (b) memberikan
hasil yaitu terdapat granula yang sudah mulai mengalami kerusakan, walaupun masih banyak granula
yang masih utuh. Kerusakan granula meningkat pada tapioka asam yang difermentasi selama 20 hari
(c), terdapat banyak granula pati yang memiliki permukaan yang keropos pada bagian luar. Kerusakan
granula terus meningkat pada tapioka asam yang difermentasi selama 30 hari (d) yang
memperlihatkan banyaknya granula pati yang retak dan berlubang. Begitupun dengan tapioka asam
yang difermentasi selama 40 hari (e), kerusakan ditandai dengan granula pati yang berlubang, keropos
dan memiliki bentuk yang tidak beraturan. Pada tapioka asam dengan waktu fermentasi 50 hari (f)
terdapat granula pati sudah sangat rusak dan berlubang sehingga kemungkinan lapisan yang menyusun
granula tersebut banyak yang terkelupas tidak teratur. Kerusakan yang terjadi pada granula pati diduga
disebabkan oleh aktivitas bakteri asam laktat yang memecah pati menjadi komponen yang sederhana.
Jumlah bakteri asam laktat yang terus meningkat hingga mencapai fase eksponensial sejalan dengan
kerusakan yang terdapat pada granula tapioka asam.
24
(a) Fermentasi 0 hari
(b) Fermentasi 10 hari
(c) Fermentasi 20 hari
(d) Fermentasi 30 hari
(e) Fermentasi 40 hari
(f) Fermentasi 50 hari
Gambar 10. Bentuk granula tapioka asam dengan mikroskop cahaya perbesaran 100X
Granula pati pada tapioka asam menunjukkan sifat birefringence yaitu sifat granula pati
yang dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga dibawah mikroskop polarisasi membentuk
bidang warna kuning biru. Pada waktu granula rusak atau mulai pecah maka sifat birefringence akan
semakin berkurang (Gambar 11).
25
(a) Fermentasi 0 hari
(b) Fermentasi 10 hari
(c) Fermentasi 20 hari
(d) Fermentasi 30 hari
(e) Fermentasi 40 hari
(f) Fermentasi 50 hari
Gambar 11. Pengamatan mikroskopik granula pada tapioka asam dengan mikroskop cahaya
terpolarisasi (perbesaran 100X)
Whistler dan Paschall (1984) di dalam Permatasari (2007), melaporkan bahwa warna birukuning pada permukaan granula pati disebabkan karena adanya perbedaan indeks refraksi dalam
granula pati. Indeks refraksi dipengaruhi oleh struktur molekul amilosa di dalam pati. Bentuk heliks
dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati. Jika arah getar gelombang
cahaya paralel terhadap sumbu heliks amilosa, maka terjadi penyerapan cahaya secara intensif. Jika
arah getar gelombang cahaya tegak lurus terhadap sumbu heliks amilosa, maka terjadi sedikit atau
tidak ada penyerapan cahaya. Jadi setelah dilakukan fermentasi secara spontan, ada bagian dari pati
(amilopektin) yang bersifat amorf terpotong oleh asam. Hal ini yang menyebabkan sifat kristalinitas
meningkat sedangkan fraksi amorf semakin berkurang sehingga sifat birefringence juga semakin
berkurang.
26
4.3.2 Komponen Kimia Tapioka Asam
4.3.2.1 Kadar Air
Jumlah kandungan air dalam suatu bahan sangat mempengaruhi daya simpan bahan tersebut
terhadap serangan mikroba. Untuk memperpanjang umur simpan suatu bahan maka dilakukan
penghilangan sebagian air dalam bahan tersebut sehingga mencapai kadar air tertentu. Pengeringan
pada tapioka asam mempunyai tujuan untuk mengurangi kadar airnya sampai batas tertentu sehingga
pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan dapat dihambat.
Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa kadar air tapioka asam yang diperoleh berkisar
antara 11.93-16.71%. Perbedaan nilai kadar air pada tapioka asam ini dipengaruhi oleh proses
pengolahan, khususnya pada saat pengeringan. Pengeringan yang dilakukan pada tapioka asam yaitu
dengan penjemuran dibawah sinar matahari. Panas sinar matahari yang tidak stabil setiap waktu
sehingga dihasilkan tapioka asam yang memiliki kadar air yang bervariasi.
4.3.2.2 Kadar Abu
Kadar abu menunjukkan kandungan mineral dalam suatu bahan. Mineral merupakan zat
anorganik dalam bahan yang tidak terbakar selama proses pembakaran. Bahan-bahan organik dalam
proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai
kadar abu. Kadar abu sangat dipengaruhi oleh jenis bahan yang dianalisis dan cara pengabuannya.
Kadar abu adalah komponen yang tidak mudah menguap, tetap tinggal dalam pembakaran
dan pemijaran senyawa organik. Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan,
antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang
digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Komponen yang umum
terdapat pada senyawa organik alami adalah kalium, natrium, kalsium, magnesium, mangan dan besi.
Mineral yang banyak terkandung di dalam ubi kayu adalah kalsium dan phosfor.
Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 maka terdapat perlakuan yang
berbeda signifikan yaitu pada kadar abu pada tapioka yang dihasilkan pada 10 hari dan 20 hari
fermentasi. Tapioka asam yang dihasilkan dari fermentasi 20 hari memiliki kadar abu tertinggi sebesar
0.85 %, sedangkan pada perlakuan lain diperoleh kadar abu berkisar antara 0.15-0.26%. Nilai kadar
abu tapioka asam yang diperoleh lebih rendah dari nilai kadar abu tapioka ditetapkan oleh SNI
3451:2011 yaitu maksimal 0.5 %. Kadar abu pada pati dipengaruhi oleh proses pengolahan yaitu pada
tahap ektraksi. Ekstraksi yang dilakukan secara manual dengan menggunakan saringan bertingkat
memberi kemungkinan mineral yang terkandung dalam umbi ubi kayu dapat ikut terbuang bersama
ampas hasil ekstraksi sehingga kadar abu yang terukur menjadi lebih rendah. Sahlin (1999)
menjelaskan bahwa kadar abu tidak dipengaruhi oleh fermentasi kecuali jika pada proses fermentasi
tersebut ditambahkan beberapa garam atau terjadi leaching saat bagian yang cair dipisahkan dari
makanan yang difermentasi.
4.3.2.3 Kadar Protein
Protein merupakan komponen minor pada tapioka. Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD
pada Lampiran 5 maka diperoleh bahwa tapioka tanpa fermentasi (0 hari) atau yang selanjutnya
disebut sebagai tapioka alami dan tapioka asam yang difermentasi 10 hari berbeda signifikan dengan
perlakuan yang lain. Hal ini terlihat pada Tabel 8, diperoleh kadar protein tapioka alami dan tapioka
asam yang difermentasi 10 hari berturut-turut adalah 0.19% dan 0.20%, sedangkan pada perlakuan
yang lainnya diperoleh kadar protein tapioka asam berkisar antara 0.44-0.49%. Hasbullah (1985)
menyebutkan bahwa kadar protein pada tapioka tanpa fermentasi adalah sebesar 0.8%. Rendahnya
27
nilai kadar protein pada tapioka yang difermentasi disebabkan karena adanya protein yang larut dalam
air saat pencucian pati dan sebagian protein juga ikut terbuang bersama ampas sehingga kadar protein
yang terukur menjadi rendah.
4.3.2.4 Kadar Lemak
Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 diperoleh terdapat dua perlakuan
yang memiliki kadar lemak berbeda signifikan dengan perlakuan yang lainnya yaitu kadar lemak pada
tapioka asam yang difermentasi 20 hari dan 40 hari. Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa kadar lemak
pada kedua perlakuan tersebut berturut-turut adalah 1.06% dan 1.05%, sedangkan pada perlakuan lain
yaitu pada tapioka alami, tapioka asam yang difermentasi 10 hari, 30 hari dan 50 hari memiliki kadar
lemak yang berkisar antara 1.07-1.45%. Menurut Hasbullah (1985), kadar lemak pada tapioka biasa
yaitu 0.25%. Tingginya kadar lemak yang diperoleh pada tapioka asam dikarenakan tidak
dilakukannya pemurnian pati dari lemak (defatting) sehingga masih banyak terdapat lemak di dalam
pati. Lemak dalam pati tapioka tidak dapat dihilangkan secara seluruhnya. Hal ini mengacu pada
Leach (1965) di dalam Goldswoth (1999) yang melaporkan bahwa proses pemurnian pada pembuatan
tepung tapioka secara komersial tidak dapat dihilangkan secara keseluruhan substansi lemak maupun
proteinnya.
4.3.4.5 Kadar Serat Kasar
Serat merupakan bagian yang tidak terpisahkan pada struktur alami tanaman yang terdiri dari
beberapa komponen seperti lignin, selulosa, hemiselulosa, substansi pektik, gum, waxes, dan
oligosakarida yang tidak tercerna. Hemiselulosa dan substansi pektik yang mampu mengikat air dan
mengembang disebut serat larut. Sebagian hemiselulosa, selulosa dan lignin, yang sedikit mengikat air
disebut serat tidak larut atau serat kasar (Kalac dan Mika, 1997).
Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 maka kadar serat kasar pada tapioka
alami berbeda signifikan dengan kadar serat pada tapioka asam. Hasil analisis yang menunjukkan
bahwa kadar serat pada tapioka asam bernilai sama diduga bahwa sebagian besar serat yang
terkandung merupakan serat kasar yang terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan hemiselulosa.
Fermentasi yang dilakukan sampai 50 hari tidak mempengaruhi kadar serat dalam tapioka asam.
4.3.4.6 Karbohidrat by difference
Karbohidrat merupakan komponen tertinggi yang terdapat dalam tapioka. Ubi kayu yang
merupakan bahan baku dalam pembuatan tapioka merupakan salah satu sumber karbohidrat terbesar
selain padi dan jagung. Nilai karbohidrat pada tapioka asam yang diperoleh by difference yaitu 100%
dikurangi dengan komponen kimia pada tapioka (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar serat kasar
dan kadar lemak).
Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 diperoleh bahwa pada karbohidrat
pada tapioka asam yang telah difermentasi selama 30 hari berbeda signifikan dengan perlakuan lain.
Berdasarkan Tabel 8 nilai karbohidrat pada tapioka asam tersebut adalah 81.47%, sedangkan pada
tapioka asam dengan perlakuan lain berkisar antara 82.49–86.43%. Rendahnya kandungan karbohidrat
pada tapioka asam yang difermentasi selama 30 hari diduga berhubungan dengan jumlah mikroba
yang tumbuh pada periode tersebut, yang mana pada fermentasi 30 hari mikroba yang dominan yaitu
bakteri asam laktat yang mencapai pertumbuhan eksponensial. Bakteri asam laktat menggunakan pati
sebagai substrat untuk diubah menjadi gula sederhana dan kemudian digunakan untuk menghasilkan
asam laktat. Pati merupakan salah satu jenis karbohidrat yang tergolong jenis polisakarida.
28
4.3.3 Komponen Mutu Tapioka Asam
4.3.3.1 pH
Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion hidrogen dalam suatu bahan. Nilai pH di antara
lingkungan 0 ke 7 menunjukkan asidik, nilai pH diantara lingkungan 7 ke 14 menunjukkan alkaline
dan nilai pH 7 menandakan netral. Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 diperoleh
bahwa terdapat satu perlakuan yang berbeda signifikan yaitu tapioka asam dengan fermentasi selama
40 hari yang memiliki pH terendah sebesar 3.36. Pada periode tersebut lingkungan fermentasi lebih
asam dari perlakuan yang lain.
Nilai pH berhubungan dengan jumlah mikroorganisme yang tumbuh. Pada tapioka asam
yang difermentasi selama 20 hari, jumlah bakteri asam laktat mencapai fase eksponensial, pada
periode yang sama TPC juga mencapai fase eksponensial akan tetapi jumlahnya lebih rendah dari
jumlah bakteri asam laktat. Kemudian TPC pada tapioka asam yang difermentasi 40 hari mengalami
penurunan. Diduga pada selang periode fermentasi 30 hari sampai 40 hari, kondisi yang terbentuk
sangat asam yang dipengaruhi oleh jumlah bakteri asam laktat yang sangat tinggi sehingga pH yang
dihasilkan pada tapioka asam yang difermentasi 40 hari sangat rendah. Hal ini juga didukung oleh
penurunan TPC yang dimulai pada periode tersebut. Suasana dengan tingkat keasaman yang tinggi
membuat sebagian mikroorganisme yang tidak toleran terhadap asam tidak dapat bertahan sehingga
mengalami kematian.
4.3.3.2 Total Asam
Total asam menunjukkan kadar asam yang terkandung dalam suatu bahan. Prinsip
menghitung total asam yang diperoleh dengan metode titrasi adalah banyaknya basa yang dibutuhkan
untuk menetralkan kandungan asam pada sampel.
Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5, terdapat perlakuan yang berbeda
signifikan yaitu pada tapioka tanpa fermentasi dengan tapioka asam yang difermentasi 10 sampai 50
hari. Nilai total asam mengalami peningkatan hingga difermentasi selama 50 hari. Hal ini dikarenakan
selama fermentasi spontan dihasilkan berbagai asam dari aktivitas mikroba yang tumbuh, salah
satunya adalah bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat dapat menciptakan kondisi lingkungan
menjadi asam karena menghasilkan berbagai asam terutama asam laktat. Total asam dan nilai pH akan
mempengaruhi mikroorganisme yang tumbuh selama proses fermentasi. Kemudian, total asam pada
tapioka asam akan berpengaruh terhadap kerusakan yang terjadi pada bagian amorf pati, sehingga
akan berpengaruh terhadap sifat fungsional tapioka asam yang dihasilkan. Total asam yang terus
mengalami peningkatan maka akan semakin banyak bagian amorf yang terpotong-potong sehingga
akan menghasilkan tapioka asam dengan bagian kristalin yang tinggi. Bagian kristalin yang sangat
banyak pada struktur pati akan berpengaruh terhadap sifat fungsional yang dihasilkan seperti turunnya
swelling power dan kelarutan pati.
Bakteri asam laktat mengubah karbohidrat menjadi asam laktat dalam kondisi anaerob dan
proses ini dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Pada tahap awal, zat pati dari sumber karbohidrat akan
dihidrolisa menjadi maltosa oleh α dan β amilase yang merupakan enzim ekstraseluler pada
mikroorganisme, kemudian molekul maltosa ini akan dipecah menjadi glukosa oleh maltase dan pada
tahap terakhir bakteri asam laktat akan mengubah glukosa menjadi asam laktat dan sejumlah kecil
bahan lain seperti asam asetat, asam propionat dan etanol (Fardiaz, 1988).
Proses perubahan glukosa menjadi asam laktat terlebih dahulu mengalami perubahan menjadi
asam piruvat melalui jalur glikolisis dengan lintasan Embden-Meyerhof-Parnas (EMP). Proses
glikolisis dimulai dengan molekul glukosa dan diakhiri dengan terbentuknya asam piruvat. Proses
29
glikolisis dapat terjadi secara aerob dan anaerob dan dibagi menjadi 4 tahapan. Pada masing-masing
tahapan dihasilkan senyawa antara yang berbeda. Pada tahap pertama dimulai dengan penambahan
satu gugus fosfat dari ATP ke glukosa sehingga terbentuk glukosa-6-fosfat dengan reaksi fosforilasi.
Enzim heksokinase merupakan katalis dalam reaksi tersebut dibantu oleh ion Mg2+ sebagai kofaktor.
Reaksi berikutnya ialah isomerasi, yaitu pengubahan glukosa-6-fosfat menjadi fruktosa-6-fosfat,
dengan enzim fosfoglukoisomerase. Selanjutnya fruktosa-6-fosfat diubah menjadi fruktosa-1,6difosfat oleh enzim fosfofruktokinase dibantu oleh ion Mg2+ sebagai kofaktor. Dalam reaksi tersebut
gugus fosfat dipindahkan dari ATP kepada fruktosa-6-fosfat.
Tahap kedua dalam rangkaian reaksi glikolisis adalah penguraian molekul fruktosa-1,6difosfat membentuk dua molekul triosa fosfat, yaitu dihidroksi aseton fosfat dan D-gliseraldehida-3fosfat. Kemudian dilanjutkan dengan reaksi D-gliseraldehida-3-fosfat menjadi asam 1,3difosfogliserat. Pada tahap ketiga terjadi reaksi pengubahan asam 1,3-difosfogliserat menjadi asam 3fosfogliserat. Dalam reaksi ini dihasilkan molekul ATP. Fosfogliseril mutase bekerja sebagai katalis
pada reaksi pengubahan asam 3-fosfogliserat menjadi asam 2-fosfogliserat. Enzim ini berfungsi
memindahkan gugus fosfat dari suatu atom C kepada atom C lain dalam suatu molekul. Pada tahap
keempat terjadi reaksi pembentukan asam fosfofenol piruvat dari asam-2-fosfogliserar dengan katalis
enzim enolase dan ion Mg2+ sebagai kofaktor. Tahap akhir yaitu asam piruvat direduksi menggunakan
enzim laktat dehidrogenase sehingga terbentuk asam laktat.
4.3.3.3 Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri Gram positif yang tidak membentuk spora dan
memfermentasikan karbohidrat untuk menghasilkan asam laktat. Sebagian besar bakteri asam laktat
dapat tumbuh sama baiknya di lingkungan yang memiliki dan tidak memiliki oksigen sehingga
termasuk anaerob aerotoleran. Hampir semua bakteri asam laktat memperoleh energi dari
metabolisme gula sehingga habitat pertumbuhannya hanya terbatas pada lingkungan yang kaya nutrisi,
salah satunya adalah tapioka. Tapioka merupakan bahan yang kaya nutrisi untuk pertumbuhan
mikroba.
Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 maka pertumbuhan bakteri asam
laktat sangat bervariasi dan berbeda signifikan satu sama lain pada taraf nyata 5%. Jumlah bakteri
asam laktat mengalami peningkatan sampai 30 hari fermentasi yaitu mencapai 19.53 x 105 CFU/g.
Kemudian fermentasi lanjutan sampai 40 hari diperoleh jumlah bakteri asam laktat yang mengalami
penurunan menjadi 10.43 x 105 CFU/g. Jumlah ini tidak berbeda nyata dengan jumlah bakteri asam
laktat pada tapioka asam yang difermentasi 20 hari. Pada tapioka asam yang difermentasi 50 hari,
jumlah bakteri asam laktat terus mengalami penurunan menjadi 5.01 x 105 CFU/g. Grafik jumlah
bakteri asam laktat selama fermentasi dapat dilihat pada Gambar 12.
Pada hakekatnya pertumbuhan mikroorganisme mengalami empat fase yaitu fase lag, fase
eksponensial, fase stationer dan fase kematian. Keberadaan bakteri asam laktat sudah terdeteksi
sebelum proses fermentasi. Pertumbuhan bakteri asam laktat selanjutnya mengalami fase eksponensial
hingga 20 hari fermentasi dan fase stasioner terjadi pada rentang waktu 20 hari menuju 30 hari
fermentasi. Kemudian fase kematian diduga dimulai pada 30 hari fermentasi hingga 50 hari. Jika
dilihat dari fase pertumbuhan bakteri asam laktat tersebut maka umur fermentasi spontan yang paling
baik untuk memproduksi tapioka asam yaitu 20 hari saat fase eksponensial tercapai. Lacerda et al.,
(2005) menyebutkan bahwa ditemukan empat spesies bakteri asam laktat yang berhasil diidentifikasi
pada tapioka asam yang berasal dari dua industri di Brazil yaitu Lactobacillus brevis, Lactobacillus
fermentum, Lactobacillus perolens dan Lactobacillus Plantarum.
30
Logaritmik jumlah mikroorganisme (CFU/g)
7
6
5
4
BAL
3
TPC
2
Kapang dan
Khamir
1
0
0
10
20
30
40
50
60
Lama fermentasi (hari)
Gambar 12. Grafik jumlah mikroorganisme pada tapioka asam
4.3.3.4 TPC (Total Plate Count)
Total Plate Count (TPC) menunjukkan jumlah mikroba dalam suatu pangan. Dari hasil
ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 diperoleh perlakuan yang berbeda signifikan pada taraf
nyata 5% berdasarkan TPC pada tapioka asam. Tapioka alami memiliki TPC sebesar 0.17 x 104
CFU/g. Kemudian setelah difermentasi terjadi peningkatan TPC pada tapioka asam 10 hari, 20 hari
dan 30 hari dengan TPC berturut-turut 3.96 x 104 CFU/g, 18.33 x 104 CFU/g, dan 19.53 x 104 CFU/g.
TPC pada tapioka asam yang difermentasi 20 hari dan 30 hari tidak berbeda signifikan. Akan tetapi,
setelah difermentasi selama 40 hari sampai 50 hari terjadi penurunan TPC yang berturut-turut yaitu
11.25 x 104 CFU/g dan 9.33 x 104 CFU/g. Kedua nilai tersebut tidak berbeda signifikan pada taraf
nyata 5%.
Penurunan TPC yang terdapat pada tapioka asam dipengaruhi oleh jumlah bakteri asam laktat
yang terus meningkat selama proses fermentasi. Dari grafik pada Gambar 12 terlihat bahwa setelah
difermentasi 10 hari jumlah bakteri asam laktat lebih dominan dari TPC sampai fermentasi selama 50
hari. Bakteri asam laktat menghasilkan bakteriosin yang memiliki sifat bakteriostatik. Bakteriosin
tersebut mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dimulai setelah 10 hari fermentasi.
Seperti yang dijelaskan oleh Buckle (1985) bahwa terdapat 2 sifat bahan-bahan kimia yang dihasilkan
oleh mikroba yaitu sifat bakteriostatik dan bakterisidal. Bahan kimia yang bersifat bakteriostatik
berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan bakterisidal adalah bahan kimia yang
berfungsi untuk membunuh bakteri. Selain itu, bakteri asam laktat juga dapat menurunkan pH dan
menciptakan suasana menjadi asam sehingga pertumbuhan mikroba-mikroba yang tidak dapat
bertahan pada keadaan asam akan terhambat bahkan bisa mengalami kematian.
4.3.3.5 Kapang dan Khamir
Selain bakteri asam laktat, juga ditemukan kapang dan khamir pada tapioka asam yang
dihasilkan. Kapang dan khamir dapat tumbuh pada pH yang luas yaitu 2.0-8.5, akan tetapi biasanya
pertumbuhannya akan baik jika pada kondisi asam dan kadar air rendah.
Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 diperoleh hasil bahwa terdapat
perlakuan yang berbeda signifikan pada taraf nyata 5 % berdasarkan jumlah kapang dan khamir. Pada
tapioka sebelum fermentasi tidak ditemukan adanya kapang dan khamir. Kemudian setelah
31
difermentasi selama 10 hari mulai ditemukan adanya kapang dan khamir sebesar 0.10 x 105 CFU/g.
Setelah difermentasi 30 hari, jumlah kapang dan khamir meningkat signifikan menjadi 0.27 x 105
CFU/g. Pertumbuhan kapang dan khamir ini terus mengalami peningkatan hingga difermentasi selama
50 hari yaitu mencapai 2.65 x 105 CFU/g. Jumlah kapang dan khamir pada tapioka asam yang
difermentasi 30 hari, 40 hari dan 50 hari tidak berbeda signifikan pada taraf nyata 5%. Peningkatan
jumlah kapang dan khamir ini disebabkan semakin lama umur fermentasi maka lingkungan yang
diciptakan semakin asam sehingga semakin baik untuk pertumbuhan kapang dan khamir. Lacerda et
al., (2005) juga menyebutkan bahwa pada tapioka asam yang berasal dari dua industri di Brazil
ditemukan dua spesies khamir yaitu Galactomyces geotrichum dan spesies dari Issatchenkia.
4.3.3.6 E.coli
E. coli merupakan bakteri berbentuk batang pendek (kokobasil), Gram negatif, dan beberapa
galur mempunyai kapsul. Terdapat galur E.coli yang bersifat patogen dan non patogen. E.coli non
patogen banyak ditemukan di dalam usus besar manusia sebagai flora normal dan berperan dalam
pencernaan pangan dengan menghasilkan vitamin K dari bahan yang belum dicerna dalam usus besar.
E.coli yang bersifat patogen dapat menyebabkan kasus diare berat pada semua kelompok usia
melalui endotoksin yang dihasilkannya. Selain itu, E.coli juga dapat menyebabkan infeksi saluran urin
dan juga penyakit lain seperti pneumonia, meningitis dan traveler’s diarrhea. Meskipun infeksi E.coli
dapat diobati dengan antibiotika, namun dapat menyebabkan penderita mengarah pada kematian
karena toksin yang dihasilkan lebih banyak pada saat bakteri mati. Oleh sebab itu, keberadaan E.coli
patogen dalam bahan pangan dapat menyebabkan keracunan bagi manusia sebagai konsumen.
Berdasarkan hasil analisis E.coli pada tapioka asam yang dihasilkan tidak terdeteksi. Artinya
tapioka asam yang diperoleh aman untuk diolah menjadi makanan untuk dikonsumsi. Selain itu,
proses pengolahan, peralatan maupun air yang digunakan dalam pembuatan tapioka asam tergolong
baik. Disamping itu, pertumbuhan E.coli juga dapat ditekan dengan adanya bakteri asam laktat dan
bakteriosin yang dihasilkannya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Karthikeyan dan Santosh (2009)
yang mengatakan bahwa bakteri asam laktat mampu menurunkan pH makanan, sehingga pada pH
rendah pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme yang terdapat di dalam makanan termasuk
bakteri patogen dapat terhambat. Bakteri asam laktat juga menghasilkan antibiotik yang sering
disebut sebagai bakteriosin, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk (Fardiaz,
1988).
4.3.4 Sifat Fungsional Tapioka Asam
4.3.4.1 Kejernihan pasta 1%
Kejernihan pasta 1% terkait dengan sifat dispersi dan retrogradasi. Balagopalan et al. (1988)
menyatakan bahwa pati alami yang memiliki swelling power tinggi dan kecenderungan retrogradasinya rendah memiliki kejernihan pasta 1% yang lebih tinggi. Metode yang digunakan untuk mengukur
kejernihan pasta 1% pati ialah menggunakan transmisi cahaya dengan alat spektrofofometer.
Transmisi cahaya dapat digunakan untuk mengukur secara langsung pengembangan granula pati.
Pengamatan visual kejernihan pasta 1% bagaimanapun juga terkait dengan refleksi cahaya dari pasta
yang mencerminkan perbedaan homogenitas diantara granula-granula pati yang berkaitan dengan
keseragamannya dalam pelarutan (Balagopalan et al., 1988)
Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 diperoleh bahwa pada tapioka alami
berbeda secara signifikan pada taraf nyata 5% dengan perlakuan yang lain dengan kejernihan 45.97%.
32
Kemudian tapioka asam yang dihasilkan dengan fermentasi selama 10 hari sampai 50 hari diperoleh
nilai kejernihan yang tidak berbeda signifikan. Nilai kejernihan pasta 1% pada tapioka asam lebih
tinggi dibandingkan dengan tapioka alami. Granula pati terdiri dari dua fraksi yaitu fraksi kristalin dan
fraksi amorf. Fraksi kristalin sulit larut dalam air, sedangkan fraksi amorf mudah larut dalam air.
Selama proses fermentasi, fraksi amorf pada granula tapioka asam terpotong sehingga semakin
banyak bagian yang dapat larut dalam air. Dengan demikian, kejernihan pasta akan semakin tinggi.
Balagopalan et al., (1988) menyatakan bahwa suspensi pati alami dalam air dapat berwarna
buram (opaque), namun proses gelatinisasi pada granula pati dapat meningkatkan transparansi larutan
tersebut. Semakin tinggi nilai persen transmitten, maka semakin transparan suspensi yang dihasilkan.
Kejernihan pasta 1% sangat bergantung dari sifat dispersi dan sifat retrogradasi bahan. Tapioka asam
yang memiliki kejernihan pasta 1% yang tinggi menghasilkan pasta pati yang lebih bening atau
transparan, sehingga jika digunakan sebagai bahan baku akan menghasilkan produk dengan warna
yang jernih atau transparan.
4.3.4.2 Kelarutan dan Swelling Power pada suhu 70°C
Swelling power didefinisikan sebagai pertambahan volume dan berat maksimum yang
dialami pati dalam air (Balagopalan et al.,1988). Swelling power dan kelarutan terjadi karena adanya
ikatan non-kovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula
pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan
pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002).
Ketika dipanaskan dalam air, granula pati mulai mengembang (swelling). Swelling terjadi
pada daerah amorf granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul pati pada daerah amorf
akan terputus saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati akan terus
mengembang, sehingga viskositas meningkat hingga volume hidrasi maksimum yang dapat dicapai
oleh granula pati (Swinkels, 1985). Faktor-faktor seperti rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat
molekul dan panjang rantai, serta derajat percabangan dan konformasinya menentukan swelling power
dan kelarutan (Moorthy, 2004).
Swelling merupakan sifat yang dipengaruhi oleh amilopektin (Li dan Yeh, 2001). Proporsi
yang tinggi pada rantai cabang amilopektin memiliki kontribusi dalam peningkatan nilai swelling.
Selain itu, terdapat korelasi yang negatif antara swelling power dengan kadar amilosa, swelling power
menurun seiring dengan peningkatan kadar amilosa (Sasaki dan Matsuki, 1998 dalam Li dan Yeh,
2001). Amilosa dapat membentuk kompleks dengan lipida pada pati sehingga dapat menghambat
swelling (Charles et al., 2005). Pengukuran swelling power dapat dilakukan dengan membuat suspensi
pati dalam botol sentrifusa lalu dipanaskan selama 30 menit pada suhu yang telah ditentukan.
Kemudian bagian yang cair (supernatan) dipisahkan dari endapan. Swelling power diukur sebagai
berat pati yang mengembang (endapan) per berat pati kering. Tepung tapioka memiliki swelling power
yang besar (Balagopalan et al., 1988).
Ketika pati dipanaskan dalam air, sebagian molekul amilosa akan keluar dari granula pati dan
larut dalam air. Persentase pati yang larut dalam air ini dapat diukur dengan mengeringkan supernatan
yang dihasilkan saat pengukuran swelling power. Menurut Fleche (1985), ketika molekul pati sudah
benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang
pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Semakin tinggi suhu
maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula pati. Selama pemanasan akan
terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan
lebih banyak mengeluarkan amilosa.
33
Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 maka diperoleh bahwa kelarutan
pada tapioka alami berbeda signifikan dengan perlakuan lain pada taraf nyata 5%. Nilai kelarutan
pada perlakuan tersebut yaitu 21.18%. Pada tapioka asam yang dihasilkan dengan fermentasi 10 hari
sampai 50 hari tidak berbeda signifikan pada taraf nyata 5%. Namun, kelarutan pada tapioka asam
mengalami peningkatan dari tapioka alami. Tingginya nilai kelarutan menunjukkan semakin
banyaknya pati yang terlarut dalam air. Selama proses fermentasi terjadi pengembangan granula
sehingga ketika tapioka asam dipanaskan maka terjadi proses gelatinisasi yang semakin cepat yang
menyebabkan banyak granula yang pecah. Pecahnya granula pati menyebabkan semakin banyaknya
molekul pati yang keluar sehingga semakin banyak molekul pati yang larut dalam air dan
menyebabkan kelarutan meningkat.
Dari hasil ANOVA dan uji lanjut LSD pada Lampiran 5 diperoleh bahwa nilai swelling
power tapioka alami dan tapioka asam yang dihasilkan pada fermentasi 20 hari berbeda signifikan
pada taraf 5% dibandingkan dengan perlakuan lain. Tapioka alami memiliki swelling power yang
paling rendah yaitu 0.45%. Swelling power pada tapioka asam juga mengalami peningkatan jika
dibandingkan dengan tapioka alami. Nilai swelling power tertinggi juga terdapat pada tapioka asam
yang telah difermentasi selama 20 hari sebesar 1,71% dan berbeda nyata dibandingkan dengan tapioka
asam lainnya. Swelling power yang tinggi berarti semakin tinggi pula kemampuan pati mengembang
dalam air. Pada proses fermentasi fraksi amorf yang terdapat pada amilopektin akan terpotong
sehingga akan terjadi hidrasi air dengan mudah saat pemanasan. Hal ini menyebabkan granula pati
akan semakin mudah mengembang sehingga nilai swelling power akan meningkat. Perubahan nilai
swelling power bergantung dari banyaknya fraksi amorf yang terpotong selama fermentasi. Nilai
swelling power perlu diketahui untuk memperkirakan ukuran dan volume wadah yang digunakan
dalam proses produksi sehingga ketika tapioka asam mengalami swelling maka wadah tersebut masih
bisa menampung tapioka tersebut.
Pengembangan granula pati (swelling) yang tinggi pada pati sangat diinginkan pada produk
pati termodifikasi karena dapat menurunkan nilai viskositas. Hal ini berkaitan dengan aplikasi pati
dalam industri, khususnya industri makanan. Viskositas yang rendah akan menghasilkan produk
dengan tekstur yang lebih baik seperti kekenyalannya meningkat dan permukaannya lebih lembut.
Disamping itu, kelarutan yang tinggi, juga sangat penting untuk mencapai homogenitas pasta pati
ketika diproses. Dilihat dari data yang diperoleh, kelarutan dan swelling power tertinggi pada tapioka
asam dicapai pada fermentasi 20 hari. Nilai tersebut dipengaruhi oleh jumlah bagian amorf yang
mengalami kerusakan oleh asam laktat. Pada umur fermentasi 20 hari diduga jumlah optimal bagian
amorf yang terpotong-potong untuk menghasilkan nilai kelarutan dan swelling power yang tinggi.
Umur fermentasi yang semakin lama akan menghasilkan tapioka asam yang didominasi oleh bagian
kristalin yang sulit larut dan kaku karena semakin banyaknya jumlah amorf yang terpotong-potong.
Tapioka asam hanya terdapat bagian kristalin saja akan menghasilkan granula yang sulit mengembang
dan larut dalam air.
4.3.4.3 Sifat Amilografi
Pola gelatinisasi tapioka asam dipelajari dengan mengukur sifat-sifat amilografi sampel
dengan menggunakan alat Rapid Visco Analyzer (RVA). Pengamatan dilakukan terhadap suhu
gelatinisasi, viskositas maksimum, viskositas minimum, suhu saat viskositas maksimum, stabilitas
pasta (breakdown), viskositas balik (setback) dan stabilitas pendinginan.
Suhu gelatinisasi merupakan batasan suhu yang mengakibatkan hampir seluruh pati
mencapai pembengkakan maksimal dan pembengkakan tersebut bersifat irreversibel (tidak dapat
kembali seperti semula). Mekanisme gelatinisasi dapat dibagi menjadi 3 tahap. Tahap awal, air secara
34
perlahan-lahan bolak balik berimbibisi ke dalam granula, selanjutnya tahap kedua yaitu pada suhu
60°C sampai 85°C granula akan mengembang dengan cepat dan polimer yang lebih pendek akan larut,
sehingga pati kehilangan sifat birefringence-nya. Pada tahap ketiga, jika suhu tetap naik maka
molekul-molekul pati akan berdifusi keluar granula (Fennema, 1996). Hasil pengukuran sifat
amilografi tapioka asam disajikan pada Tabel 9, sedangkan pola amilografi tapioka asam dapat dilihat
pada Gambar 13.
Tabel 9. Sifat amilografi dengan RVA (Rapid Visco Analyzer)
Fermentasi
Pasting
o
Viskositas
Breakdown
Setback
Final
hari ke-
temperature ( C)
maksimum (cP)
viscosity (cP)
viscosity (cP)
viscosity (cP)
0
67.65
6278
4077
977
3178
10
67.65
6442
4617
449
2274
20
67.65
6237
4476
533
2294
30
67.65
6035
4124
576
2487
40
67.65
6311
4590
500
2221
50
67.65
6094
4321
570
2343
Menurut Leach (1965) di dalam Goldsworth (1999), yang dimaksud dengan suhu awal
gelatinisasi adalah suhu pada saat pertama kali viskositas mulai naik. Peningkatan viskositas ini
disebabkan karena terjadinya pembengkakan granula pati yang irreversibel di dalam air, dimana
energi kinetik molekul-molekul air lebih kuat daripada daya tarik menarik pati di dalam granula pati.
Juliano dan Kongseree (1968), mengemukakan bahwa tidak ada hubungan nyata antara gelatinisasi
dengan ukuran granula patinya. Tetapi suhu gelatinisasi mempunyai hubungan dengan kekompakan
granula dan amilopektin berdasarkan derajat polimerisasinya.
Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula diikuti berubahnya struktur granula
dan hilangnya sifat kristalin. Sebelum granula berubah, beberapa bahan (terutama amilosa) mulai
terpisah dari granula. Perubahan morfologis granula pati selama pengembangan tergantung pada sifat
alami pati itu sendiri. Setiap granula pati tidak selalu mengembang pada suhu yang sama, melainkan
akan mengembang pada kisaran suhu yang biasanya sebesar 10°C. Selain karakteristik granula,
terdapatnya komponen seperti protein, lemak dan gula pada pati juga mempengaruhi suhu awal
gelatinisasi. Menurut Glicksman (1969) bahwa lemak mampu berperan sebagai pengkompleks
amilosa dengan membentuk endapan yang tidak larut sehingga akan menghambat pengeluaran
amilosa dari granula. Dengan demikian diperlukan energi yang besar untuk melepaskan amilosa
sehingga suhu awal gelatinisasi menjadi lebih tinggi.
Keberadaan gula pada pemanasan pati akan menghambat gelatinisasi karena terhambatnya
pembengkakan granula pati oleh gula reduksi yang bersifat hidrofilik, sehingga semakin banyak
jumlah pati dibanding gula akan semakin cepat terjadinya gelatinisasi yang akan menurunkan suhu
awal gelatinisasi. Pada aplikasi pembuatan produk pangan, untuk menghindari suhu gelatinisasi yang
terlalu tinggi karena adanya gula, maka penambahan gula dilakukan setelah terjadinya gelatinisasi.
35
Gambar 13. Pola Rapid Visco Amilograph pada tapioka asam
36
36
Selama penyimpanan, adonan menjadi keruh dan biasanya terbentuk endapan yang tidak
larut. Hal ini disebabkan oleh rekristalinisasi molekul pati. pada awalnya amilosa membentuk rantai
double helix yang diikuti pengumpulan helix-helix. Fenomena ini disebut retrogradasi. Retrogradasi
adalah proses yang terjadi ketika molekul-molekul pati tergelatinisasi mulai bergabung kembali
membentuk suatu struktur yang merupakan proses larutnya rantai linier polisakarida dan mengurangi
kelarutan molekul. Fenomena retrogradasi merupakan hasil ikatan hidrogen antara molekul pati yang
mempunyai gugus hidroksil dan sisi penerima hidrogen. Pada tahap awal, dua atau lebih rantai
molekul pati membentuk ikatan sederhana yang dapat berkembang lebih luas pada suatu bagian secara
teratur yang akhirnya membentuk daerah kristalin (Srichuwong, 2006).
Srichuwong (2006) juga menggambarkan perubahan granula pati pada proses gelatinisasi dan
retrogradasi seperti pada Gambar 14. Pati mengalami pengembangan dengan peningkatan suhu.
mekanisme pengembangan tersebut disebabkan oleh melemahnya ikatan hidrogen yang
menghubungkan molekul amilosa dan amilopektin sehingga mengganggu kekompakan granula pati.
Saat pemanasan diteruskan, sebagian amilosa keluar. Setelah pengembangan maksimum dan
pemanasan dilanjutkan, granula akan pecah. Pada saat pendinginan akan terjadi penggabungan
kembali rantai linier pati.
Gambar 14. Perubahan granula pati selama proses gelatinisasi dan retrogradasi
(Srichuwong, 2006).
Berdasarkan pola amilografi suhu awal gelatinisasi untuk tapioka asam dan tapioka alami
yang dihasilkan sama yaitu 67.65°C. Hal ini berarti bahwa proses fermentasi spontan yang dilakukan
untuk menghasilkan tapioka asam tidak berpengaruh terhadap suhu awal gelatinisasi pati yang
dihasilkan dan didukung oleh hasil komponen kimia seperti lemak dan serat yang tidak berbeda
signifikan dengan tapioka alami. Meskipun protein tapioka asam lebih tinggi dari tapioka alami serta
meningkatnya gula yang diproduksi selama fermentasi oleh mikroorganisme yang tumbuh juga tidak
mempengaruhi suhu awal gelatinisasi antara tapioka alami dan tapioka asam. Hal ini dikarenakan pada
sebagian amorf tapioka asam telah terpotong-potong sehingga meningkatnya protein dan gula pada
tapioka asam tidak dapat mempengaruhi suhu awal gelatinisasi. Suhu dimana viskositas maksimum
tercapai disebut suhu akhir gelatinisasi. Pada suhu ini granula pati kehilangan sifat birefringence-nya
dan granula sudah tidak mempunyai sifat kristal lagi (Leach et al., 1959).
Viskositas maksimum merupakan titik puncak viskositas adonan pada proses pemanasan
yang merupakan indikator kemudahan jika dimasak dan juga menunjukkan kekuatan adonan yang
terbentuk dari gelatinisasi selama pengolahan dalam aplikasi makanan. Pola amilografi yang terbentuk
pada masing-masing tapioka asam yang dihasilkan terlihat bahwa kurva saat tercapainya viskositas
37
maksimum hampir sama. Berdasarkan Tabel 9, viskositas maksimum pada tapioka asam hampir sama
dengan tapioka alami yang berkisar antara 6035-6442 cP. Viskositas maksimum menggambarkan
fragilitas dari granula pati yang mengembang, yaitu mulai saat pertama kali mengembang sampai
granula tersebut pecah selama pengadukan terus menerus. Nilai viskositas maksimum perlu diketahui
untuk penggunaan pati dalam reaktor di industri. Hal ini berkaitan dengan penggunaan daya atau
energi yang digunakan untuk proses pengadukan pati tersebut didalam reaktor.
Jika proses pemanasan dilanjutkan pada suhu yang lebih tinggi, granula pati akan pecah dan
mengalami fragmentasi serta mengeluarkan molekul-molekul pati. Keadaan tersebut menyebabkan
viskositas suspensi turun. Penurunan tersebut terlihat pada pola amilografi tapioka asam hingga
mencapai viskositas minimum. Nilai penurunan viskositas yang terjadi dari viskositas yang terjadi
dari viskositas maksimum menuju viskositas minimum disebut dengan breakdown viscosity. Dari
hasil diperoleh, nilai breakdown viscosity tapioka asam (4124-4617 cP) lebih tinggi dari tapioka alami
(4077 cP).
Wurzburg (1968) melaporkan bahwa jika selama pemanasan terjadi pemecahan granula maka
amilosa yang keluar semakin banyak sehingga kerenderungan untuk terjadinya retrogradasi
meningkat. Kenaikan viskositas akan terjadi pada tahap pendinginan disebabkan oleh terjadinya
retrogradasi yaitu bergabungnya rantai molekul amilosa yang berdekatan melalui ikatan hidrogen
intermolekuler (Swinkels, 1985 di dalam Roels dan Beynum, 1985).
Pada bagian akhir pola amilografi pada Gambar 12 memperlihatkan bentuk yang berbeda
antara tapioka alami (0 hari fermentasi) dengan tapioka asam. Perbedaan tersebut akan menghasilkan
nilai setback viscosity dan final viscosity yang berbeda pula. Nilai kenaikan viskositas ketika pati
didinginkan disebut dengan setback viscosity, sedangkan final viscosity yaitu viskositas ketika pati
mencapai suhu akhir. Nilai setback viscosity dan final viscosity tapioka asam lebih rendah dari tapioka
alami. Nilai setback viscosity tapioka asam berkisar antara 449-576 cP, sedangkan pada tapioka alami
memiliki nilai sebesar 977 cP. Kemudian final viscosity pada tapioka asam berkisar antara 2221-2487
cP, sedangkan pada tapioka alami sebesar 3178 cP.
Proses fermentasi secara spontan diduga tidak mempengaruhi suhu awal fermentasi pada
tapioka asam yang dihasilkan. Akan tetapi, proses fermentasi tersebut dapat meningkatkan breakdown
viscosity dan menurunkan setback viscosity serta final viscosity pada tapioka asam yang dihasilkan.
Pada aplikasi di industri, viskositas yang diharapkan adalah pada final viscosity. Nilai final viscosity
yang lebih rendah pada tapioka asam akan memberikan tekstur yang lebih baik pada produk olahan
yang dihasilkan. Misalnya, aplikasi tapioka asam yang umumnya pada industri makanan terutama
produk bakery akan menghasilkan roti ataupun cookies yang memiliki tekstur lebih lembut sehingga
dapat menjadi salah satu daya tarik konsumen. Karakterisasi sifat amilografi diperlukan untuk
beberapa tujuan diantaranya adalah identifikasi perubahan respon amilografi akibat perbedaan
variabel bahan atau proses, pendugaan sifat pati dan tepung selama pengolahan dan identifikasi data
awal untuk keperluan set up peralatan pengolahan pati dan tepung.
4.3.4.4 Expanding Capability
Expanding capability merupakan kemampuan pati dalam meningkatkan volume adonan.
Expanding capability dihitung dengan baking test yang mana tapioka asam dibentuk menjadi adonan
dan dipanggang dalam oven pada suhu pemanggangan roti yang berkisar antara 180°-200°C.
Pertambahan volume setelah pemanggangan dinyatakan dalam spesifik volume (ml/g). Pada Lampiran
7 dapat dilihat perbedaaan expanding capability pada adonan tapioka asam setelah pemanggangan.
Berdasarkan hasil diperoleh bahwa nilai expanding capability pada tapioka asam mengalami
peningkatan selama proses fermentasi yaitu mulai dari 1.15 sampai 1.28 ml/g. Akan tetapi, dari hasil
38
ANOVA peningkatan tersebut tidak berbeda secara signifikan pada taraf nyata 5%. Hal ini disebabkan
peningkatan yang terjadi sangat kecil. Peningkatan nilai expanding capability ini disebabkan karena
adanya kandungan asam laktat yang terus meningkat pada tapioka asam yang dihasilkan selama
proses fermentasi. Asam tersebut akan merusak bagian amilosa dan amilopektin pada tapioka asam
terutama pada bagian amorf. Sifat amilosa pada tapioka asam sangat berpengaruh terhadap sifat
baking. Amilosa cenderung membentuk ikatan hidrogen intramolekular sehingga memiliki
kecendrungan yang tinggi untuk terkristalisasi (retrogradasi). Disamping itu juga memiliki
kemampuan membentuk heliks dan kompleks.
Sistem pengeringan yang dilakukan pada tapioka asam sangat mempengaruhi nilai expanding
capability yang dihasilkan. Pengeringan yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan sinar
matahari dan memberikan hasil expanding capability yang lebih tinggi dibandingkan tapioka alami.
Vatanasuchart et al., (2005) melakukan riset mengenai pengaruh pengeringan terhadap baking
expansion tapioka asam. perlakuan pengeringan yang dilakukan adalah menggunakan tiga UV dengan
panjang gelombang 280-420 nm (UVBA), 310-330 nm (UVB), 254 nm (UVC) dan hasilnya
dibandingkan dengan pengeringan menggunakan oven pada suhu 40°C dan tapioka alami. Hasil yang
diperoleh adalah tapioka asam yang dikeringkan dengan UVB memberikan nilai baking expansion
yang paling efektif yang mencapai 12.23 cm3/g dibandingkan dengan panjang gelombang UV yang
lain maupun oven dan tapioka alami (Vatanasuchart et al., 2005). Penurunan molekul amilosa dan
amilopektin pada tapioka asam diiradiasi oleh UVB sehingga menyebabkan depolimerisasi parsial
pada fragment linier dan struktur amorf pada adonan selama dipanggang (Vatanasuchart et al., 2005).
Kemudian Bertolini et al., (2001) juga menjelaskan bahwa expanding capability pada tapioka
asam selama pemanggangan dikaitkan dengan peningkatan tekanan pada adonan karena hidrasi air
pada granula pati dan nilai viskositas yang rendah karena terjadinya depolimerisasi pada pati.
Pembengkakan granula pati menyebabkan ukuran matriks sel pati akan berkurang. Adonan yang
dibentuk dari tapioka asam memiliki viskositas yang rendah sehingga akan mengembang lebih cepat.
Ikatan hidrogen yang semakin lemah pada proses pemanggangan menyebabkan struktur amorf akan
semakin banyak terputus dan terjadi hidrasi air yang tinggi pada granula pati. Pengembangan granula
pati yang semakin tinggi menyebabkan expanding capability pada adonan akan semakin tinggi.
Nilai expanding capability tapioka asam yang dihasilkan pada penelitian ini yang masih kecil
dibandingkan dengan nilai dari pustaka yang ada diduga disebabkan oleh panjang gelombang yang
tidak seragam yang terdapat pada sinar matahari (UV). Hal ini mempengaruhi depolimerisasi parsial
yang terjadi pada struktur amilosa dan amilopektin pati saat dipanggang. Walaupun demikian,
terjadinya peningkatan nilai expanding capability tapioka asam dibandingkan dengan tapioka alami
memberikan keunggulan pada produk tersebut. Tapioka asam dapat disebut produk organik karena
pada saat pengolahan untuk produk makanan terutama bakery, tidak perlu bahan tambahan pangan
untuk menghasilkan produk dengan kapasitas pengembangan yang tinggi sehingga lebih sehat untuk
dikonsumsi. Selain itu, keunggulan produk tapioka asam yang lainnya adalah dapat meningkatkan
keamanan pangan dengan menurunnya jumlah bakteri patogen oleh meningkatnya jumlah bakteri
asam laktat.
39
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Fermentasi spontan pada tapioka dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen yang
terdapat pada tapioka asam yang dihasilkan. Bakteri asam laktat mendominasi pertumbuhan
mikroorganisme selama fermentasi berlangsung dan dapat menurunkan nilai pH dan meningkatkan
total asam pada tapioka asam. Suasana fermentasi yang semakin asam membuat pertumbuhan
mikroba lainnya menjadi terhambat. Selain itu juga ditemukan adanya pertumbuhan kapang dan
khamir yang mulai terlihat pada umur fermentasi 10 hari dan jumlahnya terus mengalami peningkatan
seiring dengan semakin lamanya proses fermentasi dilakukan.
Secara umum, fermentasi spontan yang dilakukan pada tapioka asam tidak merubah komponen
kimia seperti kadar abu, kadar serat kasar, dan kadar lemak pada tapioka asam yang dihasilkan.
Namun terjadi peningkatan pada kadar protein (0.44-0.49% bk) dibandingkan tapioka alami (0.19%
bk). Selain itu, sifat fungsional tapioka asam yang dihasilkan juga berbeda dengan tapioka alami. Sifat
fungsional seperti kejernihan pasta 1% (51.13-61.88%T), kelarutan (33.88-50.56%) dan swelling
power pada suhu 70°C (0.85-1.71%) lebih tinggi dari tapioka alami (45.97%T), (21.18%), dan
(0.45%). Kemudian, expanding capability pada tapioka asam (1.18-1.28 ml/g) juga lebih tinggi
dibandingkan dengan tapioka alami (1.15 ml/g). Expanding capability pada tapioka asam mengalami
peningkatan karena total asam yang semakin tinggi seiring semakin lamanya proses fermentasi
sehingga tapioka asam memiliki kapasitas pengembangan yang baik saat dipanggang. Pada sifat
amilografi diperoleh bahwa suhu awal gelatinisasi tidak berubah (67.65°C) sedangkan breakdown
viscosity lebih tinggi (4124-4617 cP) dibandingkan tapioka alami (4077cP). Namun, setback viscosity
(449-576 cP) dan final viscosity (2221-2487 cP) pada tapioka asam lebih rendah dari tapioka alami
(977 cP), dan (3178 cP). Viskositas maksimum pada tapioka asam hampir sama dengan tapioka alami
(6035-6442 cP).
5.2 Saran
Penggunaan starter bakteri asam laktat untuk produksi tapioka asam diharapkan dapat
menghasilkan mutu produk yang seragam dengan kondisi fermentasi yang dapat terkendali jika
dibandingkan dengan fermentasi spontan. Selain itu juga diharapkan dapat menghasilkan tapioka asam
dengan kandungan asam laktat yang lebih tinggi sehingga nilai expanding capability produk dapat
lebih ditingkatkan. Disamping itu, penambahan starter bakteri asam laktat ini juga diharapkan dapat
memperpendek waktu fermentasi sehingga tapioka asam yang dihasilkan dapat lebih cepat.
40
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Singkong. http://id.wikipedia.org/wiki/Singkong [15 September 2012]
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemist. Washington,
DC.
Ampe F, Sircent A, Zakhia N. 2001. Dynamics of the microbial community responsible for traditional
sour cassava starch fermentation studied by denaturing gradient gel electrophoresis and
quantitative rRNA hydridization. Int J Food Microbiol 65: 45-54
[CIAT] International Center of Tropical Agriculture. 2009. Postharvest deterioration of the roots.
http://www.ciat.cgiar.org. [27 Desember 2011]
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 3451:2011 Tapioka. Jakarta: BSN.
Balagopalan, Padmaja CG, Nanda SK, Moorthy SN. 1988. Cassava in Food, Feed, and Industry.
Boca Raton Florida : CRC Pr.
Ben Omar N, Ampe F, Raimbault M, Guyot JP, Tailliez P. 2000. Moleculer diversity of lactic acid
bacteria from cassava sour starch (Colombia). Syst Appl Microb 23: 285-291.
Bertolini AC, Mestres C, Lourdin D, Della VG, Colonna P. 2001. Relationship between
thermomechanical properties and baking expansion of sour cassava starch (polvilho azedo). J
Sci Food Agric 81: 429–435.
Beynum GMAV, Roels JA. 1985. Carbohydrates: Starch Convertion Technology. New York : Marcel
Dekker.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan: Purnomo H dan
Adiono. Jakarta : Universitas Indonesia.
Cardenas OS, de Buckle TS. 1980. Sour cassava starch production : a preliminary study. J Food Sci
45: 1509-1512
Charles AL, Chang YH, Ko WC, Sriroth K, Huang TC. 2005. Influence of amylopectin structure and
amylose content on gelling properties of five cultivars of cassava starches. J Agric Food Chem
53: 2717-2725.
Demiate IM, Dupuy N, Huvene JP, Cereda MP, Wosiacki G. 2000. Relationship between baking
behavior of modified cassava straches and starch chemical structure determinated by FTIR
spectroscopy. Carbohyd Polym 42: 149-158.
Departemen Kesehatan. 1990. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Departeman Kesehatan RI:
Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi.
Ekanayake
IJ,
Osiru
DSO,
Porto
MCM.
1997.
Morphology
http://www.iita.org/cms/details/trnmat/ir961.html. [16 September 2012]
of
cassava.
Fardiaz S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas-Lembaga Sumberdaya
Informasi, Institut Pertanian Bogor.
Fennema OR. 1996. Food Chemistry. Third Edition. New York: Marcel Dekker.
Figueroa C, Davila AM, Pourquie J. 1995. Lactic acid bacteria of the sour cassava starch
fermentation. Lett Appl Microbiol 21: 126-130.
41
Flach M. 1993. Problems and prospects of sago palm development. Sago Palm 1: 8-17.
Fleche G. 1985. Chemical modification and degradation of starch. In: Beynum GMAV, Roels JA
(ed). Starch Conversion Technology. New York: Marcel Dekker.
Gibson G, Angus F. 2000. Prebiotics and Probiotics. England: Leatherhead.
Glicksman M. 1969. Gum Technology in Food Industry. London: Academic Pr.
Grace MR. 1977. Cassava Processing. Roma: FAO.
Hamid H. 2012. Pangan dan zat gizi. http://zaifbio.wordpress.com/ [16 September 2012]
Hart H. 1990. Kimia organik. Suatu Kuliah Singkat. Terjemahan: Ahmadi S. Jakarta : Erlangga.
Hizukuri S, Kaneko T, Takeda Y. 1983. Measurement of the chain length of amylopectin and its
relevance to the origin or crystallin polymorphism of starch granules. Biochem et Biophys Acta
760: 188-191
Hounhouigan DJ, Nout MJR, Nago CM, Houben JH, Rombouts FM. 1993. Composition of microbial
and physical attibutes of mawe, a fermented maize dough from benin. Int J Food Sci Technol
28: 513-517.
Julliano BO, Kongseree. 1968. Physicochemical properties of rice grain and starch from line differing
in amilosa content and gelatinization temperature. J Agric Food Chem 20: 714-717.
Karthikeyan V, Santosh SW. 2009. Isolation and partial characterization of bacteriocin produced
from Lactobacillus plantarum. J Microbiol 5: 233-239.
Lacerda ICA, Miranda RL , Borelli BM, Nunes AC, Nardi RMD, Lachance MA, Rosa CA. 2005.
Lactic acid bacteria and yeasts associated with spontaneous fermentations during the
production of sour cassava starch in brazil. Int J Food Microbiol 105: 213-219.
Leach HW, Mc Cowen LD, Schooh TJ. 1959. Structure of the starch granule, swelling and solubility
patterns of various starch. J Cereal Chem 36: 534.
Leach HW. 1965. Gelatinization of starch. In: Goldworth R (ed). Abundant of Plant Varieties. New
York: World Wide.
Li JY, Yeh AI. 2001. Relationship between thermal, rheological characteristics, and swelling power
for various starches. J Food Eng 50: 141-148.
Liu Q. 2005. Understanding starches and their role in foods. In: Cui SW (ed). Food Carbohydrates:
Chemistry, Physical Properties and Applications. Francis: CRC Pr.
Mastani. 2009. Budidaya singkong (Manihot esculenta). http://pertanian.blogdetik.com/ [16
September 2012]
Meyer LG. 1982. Food Chemistry. Westport : AVI.
Moorthy SN. 2004. Tropical sources of starch. In: Ann CE (ed). Starch in Food: Structure, Function,
and Application. Florida: CRC Pr.
Onyango C, Bley T, Raddatz H, Henle T. 2004. Flavour compounds in backslop fermented uji (an east
african sour porridge). Eur Food Res Technol 218: 579-583.
Purwadario HK. 1989. Teknologi Penanganan Pasca Panen Umbi Kayu. Deptan Bogor : FAO.
42
Radley JA. 1976. Starch Production Technology. London: Applied Science.
Rahayu WP, Ma’oen S, Suliantari, Fardiaz S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Bogor:
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Rukmana RH. 1997. Ubi Kayu, Budidaya, dan Pasca Panen. Jakarta: Kanisius.
Sahlin P. 1999. Fermentation as a method of food processing production of organis acids , pHdevelopment and microbila growth in fermenting cereals. [tesis]. Lund: Lund Institute of
Technology, Lund University.
Sasaki T, Matsuki J. 1998. Effect of wheat starch structure on swelling power. In: Li JY, Yeh AI
(ed). 2001. Relationship between thermal, rheological characteristics, and swelling power for
various starches. J Food Eng 50: 141-148.
Satin M. 2007. Functional Properties of Starches. Agroindustry and Post Harvest Management
Service.
Srichuwong S. 2006. Starches from different plant origins from structure to physicochemical
properties [disertasi]. Japan: Mie University.
Steinkraus KH. 2002. Fermentations in world food processing. Compre Rev Food Sci Food Safety 1:
23-32.
Subagio A. 2006. Ubi kayu subsitusi berbagai tepung-tepungan. Food Rev 1(3): 18-21.
Sunarti TC, Hayati A, Richana N. 2005. Production of maltodextrin from minor roots and tubers
starches. Jakarta : 10th Asean Food Conference, 8 Agustus 2005.
Swinkles JJM. 1985. Sources of starch, its chemistry and physics. In: Roels JA, Beynum GMAV (ed).
Starch Conversion Technology. New York: Marcel Dekker.
Taggart P. 2004. Starch as an ingredients : manufacture and applications. In: Ann CE (ed). Starch in
Food : Structure, Function, and Application. Florida: CRC Pr.
Vatanasuchart N, Naivikul O, Charoenrein S, Sriroth K. 2005. Moleculer properties of cassava starch
modified with different UV irradiations to enhance baking expansion. Carbohyd Polym 61: 8087.
Whistler RL, Paschall EF. 1984. Strach Chemistry and Technology. 2nded. USA: Academic Pr.
Winarno FG. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia.
Winarno FG. 2002. Kimia Pangan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Wirakartakusumah MA, Syarief R, Syah D. 1989. Pemanfaatan teknologi pangan dalam pengolahan
singkong. Makalah pada Seminar Nasional Peningkatan Nilai Tambah Singkong, Univ.
Padjadjaran, Bandung 10 Oktober 1989. Bul Pusbangtepa IPB 18: 27-42.
Wurzburg OB. 1968. Starch in food industry. In: Furia TE (ed). Handbook of Food Additives. Ohio:
The Chemical Rubber.
43
LAMPIRAN
Lampiran 1. Karakterisasi Komposisi Mutu Cairan Fermentasi dan Tapioka
Asam
1. pH (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak 2,5 g dilarutkan dalam 25 ml aquades. Pengukuran pH menggunakan alat
pH meter yang sudah dikalibrasi.
2. Total Asam (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak 10 g ditera dengan aquades sampai 50 ml. larutan tersebut disaring
menggunakan kertas saring hingga didapat 25 ml cairan jernih. Kemudian diberi indikator
phenolptalein dan dititrasi dengan NaOH 0,1 N yang sudah distandarisasi.
Keterangan :
fp
= faktor pengenceran
N NaOH= Normalitas NaOH
W
= bobot sampel (g)
3. Analisa Mikroba (AOAC, 1995)
Analisa mikroba diukur dengan menggunakan metode tuang. Sampel sebanyak 1 g
ditimbang, kemudian dilakukan pengenceran pada tingkat yang dikehendaki. Contoh dipipet sebanyak
1 ml lalu disebar dalam cawan petri dan digoyang hingga rata. Setelah itu dimasukkan media sesuai
analisa mikroba yang diinginkan. Untuk Total Plate Count menggunakan media PCA (Plate Count
Agar), analisa E.coli menggunakan media EMB (Eosin Methylene Blue), analisa total mikroba
menggunakan media NA (Nutrient Agar), analisa kapang dan khamir menggunakan PDA (Potato
Dextrosa Agar), dan analisa BAL menggunakan MRS Agar (de Man-Rogosa-Sharpe). Selanjutnya
diinkubasi selama 24-48 jam dalam inkubator pada suhu 37° C, kecuali untuk E.coli diinkubasi pada
suhu 45°C, dan setelah masa inkubasi selesai dilakukan perhitungan jumlah koloni. Secara khusus
koloni tipikal E. coli adalah koloni dengan warna hijau metalik. Jumlah mikroba dihitung berdasarkan
Standard Plate Count (SPC) dan dinyatakan dalam CFU/g.
4. Total Soluble Carbohydrate (Metode Phenol-AsamSulfat)
Sebanyak 1 ml larutan glukosa standar atau contoh dipipet, dan ditambahkan 0,5 ml larutan
phenol. Kemudian ditambahkan 2,5 ml larutan H2SO4 pekat dengan posisi pipet tegak lurus dan
dilepaskan dengan cepat. Pembacaan dengan spektrofotometer dilakukan dengan panjang gelombang
490 nm. Bila diperlukan, contoh diencerkan agar dapat terukur pada kisaran 0,2 – 0,8 %Abs
(Absorbansi). Kurva standar dibuat dengan konsentrasi glukosa standar 10-60 ppm.
44
Lampiran 2. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tapioka Asam
A. Bentuk Granula Pati (Metode Mikroskop Cahaya Terpolarisasi)
Bentuk granula pati diamti menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100 kali.
Suspensi pati untuk pengamatan disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi. Suspensi
tersebut diteteskan di atas gelas obyek dan kemudian ditutup dengan gelas penutup. Obyek diuji
dengan meneruskan cahaya melalui polarisator dan selama pengamatan, alat analisator diputar
sehingga cahaya terpolarisasi sempurna. Selanjutnya hasil pengamatan disimpan dalam bentuk file
JPEG.
B. Karakterisasi Komposisi Kimia Tapioka Asam
1. Kadar air (SNI 3451:2011)
Kadar air dihitung berdasarkan bobot yang hilang selama pemanasan dalam oven pada suhu
(130 ± 3) °C. Prosedur kerjanya adalah sebagai berikut cawan dipanaskan dalam oven pada suhu (130
± 3) °C selama kurang lebih satu jam dan dinginkan dalam desikator selama 20 menit sampai dengan
30 menit, kemudian timbang dengan neraca analitik. Sebanyak 2-5 g contoh dimasukkan ke dalam
cawan dan timbang. Cawan yang berisi contoh tersebut dipanaskan di dalam oven setelah suhu oven
(130 ± 3) °C selama satu jam. Pindahkan cawan ke dalam desikator dan dinginkan selama 20 menit
sampai dengan 30 menit sehingga suhunya sama dengan suhu ruang, kemudian timbang. Hitung kadar
air dalam contoh.
Keterangan :
A
= wadah + contoh sebelum dikeringkan (g)
B
= wadah + contoh setelah dikeringkan (g)
C
= bobot contoh (g)
2. Kadar abu (SNI 3451:2011)
Cawan dipanaskan dalam tanur pada suhu (550 ± 5) °C selama satu jam dan didinginkan
dalam desikator sehingga suhunya sama dengan suhu ruang kemudian ditimbang dengan neraca
analitik. Contoh sebanyak 3-5 g dimasukkan ke dalam cawan dan ditimbang. Cawan yang berisi
contoh tersebut ditempatkan dalam tanur pada suhu (550 ± 5) °C sampai terbentuk abu berwarna putih
dan diperoleh bobot tetap. Cawan dipindahkan ke dalam desikator sehingga suhunya sama dengan
suhu ruang kemudian ditimbang dan dihitung kadar abu dalam contoh.
Keterangan :
A
= cawan + contoh kering (g)
B
= cawan kosong (g)
C
= bobot contoh (g)
45
3. Kadar Protein (AOAC, 1995)
Sebanyak 0,1 g contoh dimasukkan ke dalam labu kjeldahl lalu ditambahkan 2,5 ml H 2SO4
pekat, dan 1 g katalis. Larutan didestruksi hingga menghasilkan larutan jernih kemudian didinginkan.
Larutan hasil destruksi dipindahkan ke alat destilasi dan ditambahkan 15 ml NaOH 50%. Labu
erlenmeyer yang berisi 25 ml larutan asam borat 2 % dan 2-3 tetes indikator mengsel (campuran metil
merah 0,02 % dalam alkohol dan metil biru 0,02 % dalam alkohol (2:1)) diletakkan dibawah
kondensor. Ujung batang tabung kondensor harus terendam dalam larutan asam borat. Destilasi
dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer mencapai 2 kali volume awal. Larutan yang
berada dalam erlenmeyer dititrasi dengan H2SO4 0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau
menjadi ungu. Setelah itu dilakukan juga penetapan blanko.
(
)
Keterangan :
a
= ml H2SO4 untuk titrasi blanko
b
= ml H2SO4 untuk titrasi contoh
N
= normalitas H2SO4
W
= bobot contoh (mg)
4. Kadar Lemak (AOAC, 1995)
Sebanyak 2 g contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organik heksan dalam alat soxlet
selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan dengan cara diangin-anginkan dan dikeringkan dalam
oven bersuhu 105° C. Contoh didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot
tetap.
5. Kadar Serat Kasar (SNI 3451:2011)
Contoh sebanyak 2-4 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml,
ditambahkan 100 ml larutan H2SO4 0,325 N kemudian dihidrolisis dalam otoklaf selama 15 menit
pada suhu 105° C. lalu ditambahkan 50 ml NaOH 1,25 N. Kemudian dihidrolisis kembali. Contoh
disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kertas saring tersebut
dicuci berturut-turut dengan air panas, 25 ml H2SO4 0,325 N lalu dengan air panas dan terakhir dengan
alkohol 25 ml. Angkat kertas saring beserta isinya, dimasukkan ke oven dan dikeringkan pada suhu
105 °C, dinginkan dan timbang sampai bobot tetap.
(
)
Keterangan :
a
= bobot residu serat dalam kertas saring (g)
b
= bobot kertas saring kering (g)
c
= bobot bahan (g)
46
6. Kadar Karbohidrat (by difference)
Kadar karbohidrat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
(
Keterangan :
A
= kadar abu
D
= kadar air
B
= kadar protein
E
= kadar serat kasar
C
= kadar lemak
)
47
Lampiran 3. Karakterisasi Sifat Fungsional Tapioka Asam
1. Sifat Amilografi
Pengukuran sifat-sifat amilografi dilakukan dengan menggunakan alat RVA (Rapid Visco
Analyzer). Langkah pertama yaitu persiapan alat dengan cara menekan tombol ‘on’ pada bagian
belakang alat dan menyalakan air pendingin. Selanjutnya buka software TCW3 (program RVA) dari
komputer. Selanjutnya, paddle dipasang ke paddle coupling dan dipilih zero dari menu run pada
toolbar. Proses tersebut ditunggu sampai nilai viskositas yang ditunjukkan stabil. Lalu, masukkan
nilai kadar air sampel pada program dan klik run. Secara otomatis program akan melakukan
perhitungan banyaknya akuades dan sampel yang akan dibutuhkan.
Kemudian pada persiapan sampel, dimasukkan akuades dan sampel yang telah ditimbang
kedalam canister. Lalu paddle dipasang paddle ke dalam canister dengan menggerakkan keatas dan
kebawah untuk mendispersikan sampel. Selanjutnya, paddle coupling diputar dengan tangan sehingga
bagian cekungannya menghadap ke depan. Lalu, bagian atas paddle didorong kedalam coupling
dengan ibu jari, sementara jari lainnya dibelakang coupling. Kemudian tombol tower ditekan perlahan
sampai terdengar vbunyi ‘klik’ dan lepaskan segera. Selanjutnya proses pengujian segera berjalan.
Setelah proses pengujian selesai, pilih menu Analysis Result dari menu view untuk melihat
hasil analisis. Kemudian, pilih report dan simpan grafik yang diperoleh dengan memilih menu save.
Dari hasil analisis viskositas maksimum, breakdown viscosity, final viscosity, setback viscosity dan
pasting temperature.
2. Swelling Power dan Kelarutan (Modifikasi metode Perez et al., 1999)
Suspensi pati disiapkan yaitu 0,5 g sampel dicampur dengan 50 ml aquades dalam labu
erlenmeyer 250 ml. Sampel ditempatkan pada penangas air pada suhu 95°C selama 2 jam dengan
pengadukan secara kontinyu. Pada suspensi tersebut diambil 30 ml larutan yang jernih kemudian
diletakkan pada cawan petri yang telah diketahui bobotnya. Cawan petri dikeringkan pada oven 100°C
hingga bobotnya tetap, kemudian ditimbang dan dihitung kenaikan bobotnya.
(
)
( )
( ) (
Keterangan :
)
a = bobot cawan petri awal (g)
b = bobot cawan petri akhir (g)
c = bobot erlenmeyer awal (g)
d = bobot erlenmeyer akhir (g)
3. Kejernihan Pasta 1 % (Modifikasi metode Perez et al., 1999)
Pasta pati disiapkan dengan cara mensuspensikan 50 mg sampel dalam 5 ml air (gunakan
tabung reaksi berulir). Selanjutnya suspensi dicelupkan pada air mendidih selama 30 menit. Tabung
dikocok setiap 5 menit. Sampel didinginkan hingga suhu kamar. Nilai transmisi (% T) dibaca pada
spektofotometer dengan panjang gelombang 650 nm. Aquades digunakan sebagai blanko.
48
4. Expanding Capability (Metode Demiate et al., 2000)
Sebanyak 12 g pati ditimbang dan ditambahkan 10 ml air mendidih. Selanjutnya dicampur
sehingga dihasilkan adonan yang homogen. Lalu, adonan tersebut dibentuk menjadi tiga bola kecil
dan dipanggang dalam oven pada suhu 200°C selama 25 menit. Setelah dipanggang, tiga bola tersebut
didinginkan pada suhu kamar dan ditimbang. Volume diukur dengan cara melapisi tiga bola tersebut
dengan parafin dan dimasukkan kedalam sebuah tabung yang berisi air. Volume air yang tumpah
dihitung sebagai volume bola (adonan) tersebut. Expanding capability dihitung dengan membagi
volume terhadap berat dan dinyatakan sebagai volume spesifik (ml/g).
49
Lampiran 4. ANOVA Karakteristik Cairan Fermentasi
1. pH
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
10
3
12.53
4.177
0.161
20
3
11.26
3.753
0.049
30
3
10.16
3.387
0.000
40
3
10.94
3.647
0.001
50
3
10.9
3.633
0.006
Jumlah kuadrat
(JK)
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah (KT)
F hitung
Nilai P
F tabel
Perlakuan
1.001
4.000
0.250
5.764
0.011
3.478
Galat (eror)
0.434
10.000
0.043
Total
1.435
14.000
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
UJI LANJUT LSD (LEAST SIGNIFICANT DIFFERENCE)
Nilai LSD = 0.032
Urutan rataan
Perlakuan
Rataan
30
50
40
20
10
3.387
3.633
3.647
3.753
4.177
0 tn
a
Notasi
30
3.387
a
50
3.633
0.247
0 tn
40
3.647
0.260
0 tn
b
20
3.753
0.367
0 tn
b
10
4.177
0.790
0 tn
b
b
b
2. Total Asam
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
10
3
47.520
15.840
3.098
20
3
138.160
46.053
45.173
30
3
165.440
55.147
12.649
40
3
217.360
72.453
4.905
50
3
309.760
103.253
519.106
50
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Jumlah kuadrat
(JK)
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah
F hitung
Nilai P
F tabel
Perlakuan
12550.75
4
3137.688
26.82105
2.51E-05
3.47805
Galat (eror)
1169.86
10
116.986
Total
13720.61
14
UJI LANJUT LSD (LEAST SIGNIFICANT DIFFERENCE)
Nilai LSD = 86.882
Urutan perlakuan
Perlakuan
10
20
30
40
50
15.840
46.053
55.147
72.453
103.253
Rataan
Notasi
10
15.840
0 tn
a
a
20
46.053
30.213
0 tn
30
55.147
39.307
0 tn
ab
40
72.453
56.613
0 tn
ab
50
103.253
87.413
0 tn
b
b
ab
3. Bakteri Asam Laktat
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
10
3
2147500
715833
130664583333
20
3
178800000
59600000
319760625000000
30
3
58685000
19561667
68171414583333
40
3
125300000
41766667
485353958333333
50
3
48450000
16150000
66793125000000
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Jumlah kuadrat
(JK)
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah
F hitung
Nilai P
F tabel
Perlakuan
6.42949E+15
4
1.60737E+15
8.548
0.003
3.478
Galat (eror)
1.88042E+15
10
1.88042E+14
Total
8.3099E+15
14
51
UJI LANJUT LSD (LEAST SIGNIFICANT DIFFERENCE)
Nilai LSD
= 139652493770000
Urutan perlakuan
Perlakuan
10
50
30
40
20
715833
16150000
19561667
41766667
59600000
Rataan
10
715833
0 tn
a
50
16150000
15434167
0 tn
30
19561667
18845833
2695833
40
41766667
41050833
24900833
5339167
0 tn
20
59600000
58884167
42734167
23172500
0 tn
Notasi
a
b
ab
0 tn
c
abc
d
abcd
abcd
4. TPC
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
10
3
99075
33025
11480625
20
3
48725000
16241667
8.90646E+12
30
3
49972511
16657504
8.65467E+12
40
3
85625555
28541852
1.02356E+14
50
3
31975000
10658333
3.35508E+13
Jumlah kuadrat
(JK)
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah
F hitung
Nilai P
F tabel
Perlakuan
1.28666E+15
4
3.2166E+14
10.480
0.001
3.478
Galat (eror)
3.06937E+14
10
3.0694E+13
Total
1.5936E+15
14
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
UJI LANJUT LSD (LEAST SIGNIFICANT DIFFERENCE)
Nilai LSD = 22795170113716
Urutan perlakuan
Perlakuan
Rataan
10
33025
50
10
50
20
30
40
33025
10658333
16241667
16657504
28541852
0 tn
a
10658333
10625308
0 tn
20
16241667
16208642
5550308
0 tn
30
16657504
16624479
5966145
0 tn
40
28541852
28508827
17850493
Notasi
a
b
ab
1608827
c
abc
abc
0 tn
d
abcd
52
5. TSC (Total Soluble Carbohydrate)
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
10
20
3
536.616
178.872
10332.704
3
1803.030
601.010
9352.920
30
3
3157.828
1052.609
346084.477
40
3
3349.495
1116.498
78956.569
50
3
4784.091
1594.697
70541.208
Jumlah kuadrat
(JK)
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah
F hitung
Nilai P
F tabel
8.455
0.003
3.47805
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Perlakuan
3485411.412
4
871352.853
Galat (eror)
1030535.755
10
103053.576
Total
4515947.167
14
UJI LANJUT LSD (LEAST SIGNIFICANT DIFFERENCE)
Nilai LSD = 76534.455
Urutan perlakuan
Perlakuan
10
Rataan
178.872
10
20
30
40
50
178.872
601.010
1052.609
1116.498
1594.697
0 tn
a
Notasi
a
20
601.010
422.138
0 tn
b
30
1052.609
873.737
272.727
0 tn
ab
40
1116.498
937.626
336.616
0 tn
abc
50
1594.697
1415.825
814.815
0 tn
abc
c
abc
53
Lampiran 5. ANOVA Karakteristik Kimia, Mutu dan Fungsional Tapioka
Asam
Karakteristik Kimia
1. Kadar Abu
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
0
3
0.472
0.158
4.88E-05
10
3
0.449
0.150
0.000302
20
3
2.554
0.851
0.005976
30
3
0.626
0.209
0.001884
40
3
0.767
0.256
4.21E-05
50
3
0.664
0.221
4.53E-05
Jumlah
kuadrat (JK)
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah
F hitung
Nilai P
F tabel
Perlakuan
1.089
5
0.218
157.474
1.65E-10
3.106
Galat (eror)
0.017
12
0.001
Total
1.106
17
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Uji lanjut LSD
Nilai LSD = 0.001
Urutan rataan
Perlakuan
Rataan
10
0
30
50
40
20
0.150
0.158
0.209
0.221
0.256
0.851
Notasi
10
0.150
0 tn
a
a
0
0.158
0.008 *
0 tn
30
0.209
0.059 *
0 tn
b
50
0.221
0.071 *
0 tn
b
40
0.256
0.106 *
0 tn
b
20
0.851
0.702 *
0.544 *
b
0.336 *
b
0.114 *
0 tn
c
c
54
2. Kadar Protein
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
0
3
0.574
0.191
0.000
10
3
0.587
0.196
0.000
20
3
1.475
0.492
0.013
30
3
1.310
0.437
0.002
40
3
1.347
0.449
0.001
50
3
1.476
0.492
0.009
Jumlah
kuadrat (JK)
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah
F hitung
Nilai P
F tabel
14.659
0.000
3.106
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Perlakuan
0.307
5.000
0.061
Galat (eror)
0.050
12.000
0.004
Total
0.357
17.000
Uji lanjut LSD
Nilai LSD : 0.003
Urutan rataan
Perlakuan
0
10
30
40
20
50
0.192
0.196
0.437
0.449
0.492
0.492
Rataan
0 tn
a
Notasi
0
0.192
a
10
0.196
0.004*
0 tn
b
30
0.437
0.245 *
0.049 *
0 tn
40
0.449
0.257 *
0.062 *
0 tn
c
20
0.492
0.300 *
0.104 *
0 tn
c
50
0.492
0.300 *
0.105 *
0 tn
c
b
c
c
3. Kadar Lemak
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
0
3
3.563
1.188
0.071
10
3
4.341
1.447
0.063
20
3
3.171
1.057
0.000
30
3
3.207
1.069
0.001
40
3
3.145
1.048
0.000
50
3
3.200
1.067
0.002
55
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Jumlah kuadrat
(JK)
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah
F hitung
Nilai P
F tabel
Perlakuan
0.366
5.000
0.073
3.179
0.047
3.106
Galat (eror)
0.276
12.000
0.023
Total
0.642
17.000
Uji lanjut LSD
Nilai LSD = 0.017
Urutan rataan
Perlakuan
Rataan
40
20
50
30
0
10
1.048
1.057
1.067
1.069
1.188
1.447
Notasi
40
1.048
0 tn
a
a
20
1.057
0.008 tn
0 tn
50
1.067
0.018 *
0 tn
b
30
1.069
0.021 *
0 tn
b
0
1.188
0.139 *
0 tn
b
10
1.447
0.398 *
0 tn
b
b
ab
4. Kadar Serat Kasar
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
0
3
0.320
0.107
0.00002
10
3
0.368
0.123
0.00007
20
3
0.321
0.107
0.00000
30
3
0.334
0.111
0.00003
40
3
0.325
0.108
0.00001
50
3
0.333
0.111
0.00002
Jumlah kuadrat
(JK)
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah
F hitung
Nilai P
F tabel
4.3269
0.0175
3.1059
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Perlakuan
0.0005
5.000
0.00011
Galat (eror)
0.0003
12.000
0.00003
Total
0.001
17.000
56
Uji lanjut LSD
Nilai LSD = 0.000018
Urutan rataan
Perlakuan
0
20
40
50
30
0.1067
0.1069
0.1084
0.1111
0.1112
Rataan
Notasi
0
0.1067
0 tn
a
20
0.1069
0.0002 *
0 tn
a
40
0.1084
0.0017 *
0 tn
b
50
0.1111
0.0044 *
0 tn
b
30
0.1112
0.0046 *
0 tn
b
10
0.1228
0.0161 *
0 tn
b
b
b
5. Kadar Karbohidrat by differences
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
0
3
Total
259.283
10
3
247.469
82.490
0.245
20
3
250.298
83.433
0.158
30
3
244.403
81.468
3.937
40
3
250.569
83.523
0.045
50
3
256.541
85.514
0.001
Jumlah
kuadrat (JK)
51.624
Derajat
bebas
5.000
Kuadrat
tengah
10.325
Galat (eror)
9.397
12.000
0.783
Total
61.021
17.000
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Perlakuan
Rata-rata
86.428
Varian
0.314
F hitung
Nilai P
13.184
0.000
F
tabel
3.106
Uji lanjut LSD
Nilai LSD = 0.569
Urutan rataan
30
81.468
10
82.490
20
83.433
40
83.523
50
85.514
0
86.428
Perlakuan
Rataan
Notasi
30
81.468
0 tn
a
10
82.490
1.022 *
0 tn
20
83.433
1.965 *
0 tn
b
40
83.523
2.055 *
0 tn
b
50
85.514
4.046 *
0 tn
b
0
86.428
4.960 *
0 tn
b
a
b
b
57
Karakteristik Mutu
1. pH
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
0
3
14.240
4.747
0.003
10
3
12.550
4.183
0.004
20
3
11.345
3.782
0.099
30
3
11.485
3.828
0.027
40
3
10.080
3.360
0.031
50
3
10.930
3.643
0.044
Jumlah
kuadrat (JK)
3.511
Derajat
bebas
5.000
Kuadrat
tengah
0.702
Galat (eror)
0.416
12.000
0.035
Total
3.927
17.000
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Perlakuan
F hitung
Nilai P
F tabel
20.259
0.00002
3.106
Uji LSD
Nilai LSD = 0.025
Urutan rataan
Perlakuan
Rataan
40
50
20
30
10
0
3.360
3.643
3.782
3.828
4.183
4.747
Notasi
40
3.360
0 tn
a
a
50
3.643
0.283 *
0 tn
20
3.782
0.422 *
0 tn
b
30
3.828
0.468 *
0 tn
b
10
4.183
0.823 *
0 tn
b
0
4.747
1.387 *
0 tn
b
b
b
2. Total Asam
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
0
3
6.682
2.227
0.010
10
3
14.253
4.751
0.494
20
3
18.399
6.133
0.391
30
3
18.656
6.219
0.010
40
3
21.912
7.304
0.054
50
3
22.088
7.363
0.096
58
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Jumlah
kuadrat (JK)
56.241
Derajat
bebas
5.000
Kuadrat
tengah
11.248
Galat (eror)
2.111
12.000
0.176
Total
58.352
17.000
Perlakuan
F hitung
Nilai P
F tabel
63.941
0.000
3.106
Uji lanjut LSD
Nilai LSD = 0.128
Urutan rataan
0
10
20
30
40
50
2.227
4.751
6.133
6.219
7.304
7.363
Perlakuan
Rataan
0
2.227
10
4.751
2.524
0 tn
20
6.133
3.906
0 tn
b
30
6.219
3.991
0 tn
b
40
7.304
5.077
0.326
0 tn
50
7.363
5.135
0.384
0 tn
0 tn
Notasi
a
a
b
b
c
c
c
3. Bakteri Asam Laktat
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
0
Total ulangan
3
Total
3400
Rata-rata
1133
Varian
740833
10
3
34825
11608
1041458
20
3
4480000
1493333
37352083333
30
3
5860000
1953333
1838589583333
40
3
3127500
1042500
571443750000
50
3
1502500
500833
95652083333
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Perlakuan
Jumlah
kuadrat (JK)
9.6363E+12
Derajat
bebas
5
Kuadrat
tengah
1.9273E+12
Galat (eror)
5.0861E+12
12
4.2384E+11
Total
1.4722E+13
17
F hitung
Nilai P
4.547
0.015
F
tabel
3.106
59
Uji lanjut LSD
Nilai LSD = 307849033117.419
Urutan rataan
Perlakuan
0
10
50
40
20
30
1133
11608
500833
1042500
1493333
1953333
Rataan
0
1133
0 tn
a
10
11608
10475 tn
0 tn
b
50
500833
499700 tn
488092 tn
0 tn
c
40
1042500
1041367 tn
1029758 tn
528925 tn
0 tn
20
1493333
1492200 tn
1480592 tn
979758 tn
0 tn
30
1953333
1952200 tn
1940592 tn
1439758 tn
397258 tn
a
ab
abc
d
abcd
abcd
0 tn
e
abcde
4. Total Plate Count
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
0
3
5050
1683
1013333
10
3
118700
39567
57915208
20
3
550000
183333
7.28E+09
30
3
567500
189167
1.36E+10
40
3
337500
112500
3.73E+09
50
3
280000
93333
7.03E+09
Jumlah kuadrat
(JK)
85050810694
Derajat
bebas
5
Kuadrat
tengah
1.701E+10
Galat (eror)
63455357083
12
5.288E+09
Total
1.48506E+11
17
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Perlakuan
F hitung
Nilai P
F tabel
3.217
0.045
3.106
Uji lanjut LSD
Nilai LSD = 3840811752.350
Urutan rataan
Perlakuan
0
10
50
40
20
30
1683
39567
93333
112500
183333
189167
Rataan
Notasi
0
1683
0 tn
a
10
39567
37917 tn
0 tn
b
50
93333
100017 tn
60450 tn
0 tn
40
112500
118350 tn
78783 tn
0 tn
20
183333
175017 tn
135450 tn
33783 tn
0 tn
30
189167
178350 tn
138783 tn
37117 tn
0 tn
Notasi
a
ab
c
abc
abc
d
abcd
abcd
60
5. Kapang dan Khamir
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
0
3
0
0
0
10
3
3525
1175
139375
20
3
80000
26667
564583333
30
3
747500
249167
1.308E+09
40
3
772500
257500
1425000000
50
3
795000
265000
918750000
Jumlah kuadrat
(JK)
2.78377E+11
Derajat
bebas
5
Kuadrat
tengah
5.5675E+10
Galat (eror)
8433612083
12
702801007
Total
2.8681E+11
17
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Perlakuan
F hitung
Nilai P
F tabel
79.219
9.12E-09
3.106
Uji Lanjut LSD
Nilai LSD = 510467798.044
Urutan rataan
Perlakuan
Rataan
0
0
0
10
20
30
40
40
0
1175
26667
249166.7
257500
265000
0 tn
a
Notasi
a
10
1175
1175 tn
0 tn
b
20
26667
26667 tn
25492 tn
0 tn
c
ab
30
249167
249167 tn
247992 tn
221325 tn
0 tn
40
257500
257500 tn
256325 tn
229658 tn
0 tn
abcd
50
265000
265000 tn
263825 tn
237158 tn
0 tn
abcd
abc
d
abcd
Karakteristik Fungsional
1. Kejernihan
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
0
3
137.900
45.967
8.223
10
3
170.400
56.800
3.723
20
3
153.400
51.133
0.341
30
3
185.650
61.883
11.851
40
3
156.750
52.250
9.167
50
3
154.550
51.517
1.491
61
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Jumlah kuadrat
(JK)
446.005
Derajat
bebas
5.000
Kuadrat
tengah
89.201
Galat (eror)
69.592
12.000
5.799
Total
515.596
17.000
Perlakuan
F hitung
Nilai P
F tabel
15.381
0.000
3.106
Uji Lanjut LSD
Nilai LSD = 4.212
Urutan rataan
Perlakuan
0
20
50
40
10
30
45.967
51.133
51.517
52.250
56.800
61.883
Rataan
Notasi
0
45.967
0 tn
a
a
20
51.133
5.17 *
0 tn
50
51.517
5.55 *
0 tn
b
40
52.250
6.28 *
0 tn
b
10
56.800
10.83 *
0 tn
b
30
61.883
15.92 *
0 tn
b
b
b
2. Kelarutan
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
0
3
63.550
21.183
1.815
10
3
101.650
33.883
0.069
20
3
151.668
50.556
4.211
30
3
107.355
35.785
0.379
40
3
106.885
35.628
1.012
50
3
104.766
34.922
0.207
Jumlah
kuadrat (JK)
1303.553
Derajat
bebas
5.000
Kuadrat
tengah
260.711
15.386
12.000
1.282
1318.939
17.000
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Perlakuan
Galat (eror)
Total
F hitung
Nilai P
F tabel
203.338
0.000
3.106
62
Uji Lanjut LSD
Nilai LSD = 0.931
Urutan rataan
Perlakuan
0
10
50
40
30
20
21.183
33.883
34.922
35.628
35.785
50.556
Rataan
Notasi
0
21.183
0 tn
a
10
33.883
12.699818
0 tn
a
50
34.922
13.738567
0 tn
b
40
35.628
14.445088
0 tn
b
30
35.785
14.601446
0 tn
b
20
50.556
29.372756
0 tn
b
b
b
3. Swelling Power
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
0
3
1.345
0.448
0.001
10
3
2.563
0.854
0.000
20
3
5.140
1.713
0.016
30
3
2.789
0.930
0.001
40
3
2.769
0.923
0.002
50
3
2.683
0.894
0.000
Jumlah
kuadrat (JK)
2.542
Derajat
bebas
5.000
Kuadrat
tengah
0.508
Galat (eror)
0.041
12.000
0.003
Total
2.582
17.000
Tabel ANOVA
Sumber keragaman
Perlakuan
F hitung
Nilai P
F tabel
150.162
0.000
3.106
Uji Lanjut LSD
Nilai LSD = 0.002
Urutan rataan
0
10
50
40
30
20
0.448
0.854
0.894
0.923
0.930
1.713
Perlakuan
Rataan
0
0.448
10
0.854
0.406
0 tn
50
0.894
0.446
0 tn
b
40
0.923
0.475
0 tn
b
30
0.930
0.481
0 tn
b
20
1.713
1.265
0 tn
Notasi
a
a
b
b
0.411
0 tn
c
c
63
4. Expanding Capability
Anova dengan satu faktor
Nilai statistik
Lama fermentasi
Total ulangan
Total
Rata-rata
Varian
0
2
2.300
1.150
0.000
10
2
2.353
1.177
0.000
20
2
2.410
1.205
0.008
30
2
2.442
1.221
0.000
40
2
2.544
1.272
0.001
50
2
2.556
1.278
0.017
Jumlah
kuadrat (JK)
0.026
Derajat
bebas
5.000
Kuadrat
tengah
0.005
Galat (eror)
0.026
6.000
0.004
Total
0.052
11.000
Tabel ANOVA
Sumber
keragaman
Perlakuan
F hitung
Nilai P
F tabel
1.219
0.402
4.387
Karena nilai F < F crit maka nilai expanding capability pada tapioka asam yang dihasilkan dari
fermentasi 0 hari, 10 hari, 20 hari, 30 hari, 40 hari dan 50 hari tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
64
Lampiran 6. Visualisasi Tapioka Asam yang dihasilkan
1. Tapioka alami (fermentasi 0 hari)
2. Tapioka asam dengan fermentasi 10 hari
3. Tapioka asam dengan fermentasi 20 hari
4. Tapioka asam dengan fermentasi 30 hari
5. Tapioka asam dengan fermentasi 40 hari
6. Tapioka asam dengan fermentasi 50 hari
65
Lampiran 7. Expanding Capability pada Tapioka Asam
1. Expanding capability tapioka alami
2. Expanding capability tapioka asam (10 hari)
3. Expanding capability tapioka asam (20 hari)
4. Expanding capability tapioka asam (30 hari)
5. Expanding capability tapioka asam (40 hari)
6. Expanding capability tapioka asam (50 hari)
66
Download