TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Bakteri metanotrof adalah bakteri Gram negatif, bersifat aerob dan menggunakan metan sebagai sumber karbon dan energi (Auman 2001). Karakteristik penting dari metanotrof ini ialah memiliki enzim metan monooksigenase yang dapat mengkatalisis metan menjadi metanol. Jenis metanotrof yang telah dilaporkan ialah metanotrof obligat dan fakultatif. Metanotrof obligat hanya tumbuh dengan menggunakan metan (CH4) dan metanol (CH3OH), sedangkan metanotrof fakultatif dapat tumbuh dengan menggunakan senyawa multikarbon seperti etanol dan propanol (Lynch et al. 1982). Whittenbury et al.(1970) menggolongkan bakteri pengoksidasi CH4 ke dalam lima genus berdasarkan perbedaan morfologi, tipe bentuk fase istirahat, struktur membran intrasitoplasma, dan beberapa karakteristik fisiologi. Kelima genus tersebut ialah Methylomonas, Methylobacter, Methylococcus, Methylosistis, dan Methylosinus. Berdasarkan perbedaan jalur biosintesis dan morfologinya, bakteri metanotrof dibagi 3 tipe (Tabel 1). Tipe I mensintesis formaldehida dengan menggunakan jalur Ribulosa Monofosfat (RuMP), contohnya dari genus Methylomonas dan Methylobacter. Tipe II mensintesis formaldehida melalui jalur serin, contohnya dari genus Methylosinus dan Methylocystis. Tipe X metanotrof mensintesis formaldehida menggunakan jalur RuMP dan dihasilkan juga enzim ribulosa-bifosfat karboksilase meskipun hanya dalam konsentrasi yang sedikit. Perbedaan lain dari ketiga jenis metanotrof tersebut dilihat dari kemampuan hidup pada suhu tinggi. Metanotrof tipe X mampu hidup pada suhu tinggi (lebih dari 45 0C) daripada tipe I dan II (Hanson & Hanson 1996). Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan Proses oksidasi metan diawali dari katalisasi metan menjadi metanol dengan menggunakan bantuan enzim metan monooksigenase (MMO). Enzim MMO bekerja dengan mekanisme memutus ikatan O-O. Satu atom oksigennya akan berikatan dengan metan membentuk metanol, sedangkan atom oksigen yang lain akan direduksi menjadi H2O. Terdapat dua jenis enzim metan monooksigenase yaitu enzim metan monooksigenase terlarut (sMMO) dan enzim metan monooksigenase terikat membran (pMMO). Tabel 1 Karakteristik metanotrof tipe I, tipe II, dan tipe X (Hanson & Hanson 1996) Karakteristik Tipe I Tipe II Tipe X Morfologi sel batang batang, kokus, pendek, roset sering tunggal Pertumbuhan sepasang pada Tidak tidak ya Kandungan G-C (% 49-60 62-67 59-65 Fiksasi nitrogen Tidak ya ya Lintasan RuMP Ya tidak ya Lintasan serin Tidak ya kadang- 450 C mol) kadang Bentuk fase istirahat : eksospora Tidak beberapa tidak galur sista Subdivisi Proteobakteri beberapa beberapa beberapa galur galur galur Gamma alfa gamma Hampir semua metanotrof memiliki pMMO kecuali Methylocella, sedangkan sMMO tidak ada di semua metanotrof tetapi dimiliki oleh sebagian metanotrof tipe II dan metanotrof tipe X (Mancinelli 1995). Proses oksidasi metan lebih dominan dikatalisis oleh enzim pMMO (Lieberman & Rosenzweig 2004). Untuk mengekspresikan aktivitas enzim pMMO dibutuhkan ion Cu (tembaga) dalam media tumbuhnya. Konsentrasi Cu yang dibutuhkan lebih dari 0,85 sampai 1μmol/ bobot kering sel. Enzim pMMO telah ditemukan pada semua bakteri metanotrof (Zahn & Dispirito 1996) dari sekitar 130 bakteri yang telah diisolasi (Bowman et al. 1993; Hanson & Hanson 1996). Metanol akan dioksidasi oleh enzim metanol dehidrogenase menjadi formaldehida. Enzim formaldehida dehidrogenase mengoksidasi formaldehida menjadi format, dan kemudian dioksidasi lagi oleh format dehidrogenase menjadi CO2 (Gambar 1). S M M O Metanol dehidroge nase Formaldeh id dehidroge nase Format dehidroge nase p M M 1 OProses Gambar oksidasi metan oleh bakteri metanotrof (Hanson & Hanson 1996). .1996) Asimilasi formaldehida juga dapat digunakan untuk sintesis senyawa multikarbon. Jalur ini terdapat dua jenis yaitu jalur serin dan jalur RuMP (ribulosa monofosfat). Jalur serin digunakan oleh metanotrof tipe II. Senyawa asetil ko-A disintesis dari satu molekul formaldehida dan satu molekul CO2. Jalur serin membutuhkan kekuatan reduksi dan energi dalam bentuk dua molekul NADH dan ATP untuk setiap pembentukan satu molekul asetil ko-A. Asetil ko-A digunakan untuk membentuk materi sel yang baru. Jalur asimilasi formaldehida yang lain ialah RuMP. Jalur ini digunakan oleh bakteri metanotrof tipe I. Jalur ini lebih efisien dari jalur serin karena semua karbon yang diperoleh dari formaldehida digunakan untuk materi sel. Oksidasi formaldehida pada jalur ini tidak membutuhkan kekuatan reduksi sehingga seluruhnya digunakan sebagai bahan untuk membuat materi sel. Jalur RuMP membutuhkan satu molekul ATP untuk setiap pembentukan satu molekul gliseraldehida-3- fosfat. Dengan demikian bakteri metanotrof tipe I memiliki jumlah sel yang lebih besar dibandingkan metanotrof tipe II. Hal ini sesuai dengan rendahnya energi yang diperlukan pada jalur ini (Madigan et al. 2006). Emisi Metan (CH4) dari Lahan Sawah Menurut Hanson dan Hanson (1996), CH4 menjadi salah satu penyebab pemanasan global karena kemampuannya dalam menyerap radiasi infra merah 30 kali lebih besar dibandingkan dengan karbondioksida. Gas CH4 mempunyai kapasitas pemanasan global 21 lebih besar daripada CO2 dan 206 kali lebih besar dari N2O. Menurut Ciceron dan Oremland (1998), pembentukan CH4 terjadi melalui dua cara yaitu degradasi bahan organik secara anaerob (biogenik) dan pembebasan langsung melalui produksi dan pembakaran bahan bakar minyak atau kebocoran gas alam (nonbiogenik). Gas CH4 dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri metanogen pada lahan yang tergenang. Bakteri metanogen memiliki pH yang sensitif. Bakteri metanogen ini hidup pada pH 6-8 dengan pH optimumnya sekitar 7, dan suhu optimumnya dalam menghasilkan CH4 ialah 25 oC (Conrad 1996). Metanogen dapat memanfaatkan H2, CO2, asam format, asam asetat sebagai sumber karbon dan energinya. Metanogenesis terjadi pada kondisi anaerob, tersedianya bahan organik dari akar, dan pH tanah mendekati netral (Neue & Roger 1994). Tanaman padi juga memegang peranan penting dalam melepaskan metan (CH4) ke atmosfer dari lahan sawah. Ruang udara pada pembuluh aerenkim daun, batang, dan akar yang berkembang dengan baik merupakan penyebab utama terjadinya pertukaran gas dari dalam tanah ke udara. Perbedaan gradien konsentrasi air di sekitar akar dengan ruang antar sel pada akar menyebabkan CH4 terlarut terdifusi. Pada dinding korteks, metan terlarut berubah menjadi gas dan disalurkan ke batang melalui pembuluh aerenkim (IRRI 1998). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emisi Metan Perombakan bahan organik secara anaerobik dikendalikan oleh karakteristik fisik, kimia dan mikrobiologi lingkungan tanaman padi, yang berpengaruh terhadap aktivitas bakteri penghasil metan. Faktor-faktor yang mempengaruhi emisi metan dari lahan sawah sebagai berikut: 1. Potensial redoks (Eh) tanah Potensial redoks (Eh) tanah merupakan faktor penting dalam produksi metan. Potensial redoks (Eh) menunjukkan status reaksi oksidasi dan reduksi oksidan-oksidan tanah sebagai penyedia oksigen dalam tanah. Aktivitas bakteri metanogen dan metanotrof sangat tergantung dengan ketersediaan oksigen dalam kondisi tanah jenuh air. Produksi CH4 terjadi pada kisaran nilai Eh -150 mV (Hou et al. 2000) dan bergerak sampai di bawah -300 mV (Minamikawa et al. 2006) karena bakteri metanogen sebagai penghasil CH4 bekerja optimal pada nilai Eh kurang dari -150 mV (Setyanto 2004). 2. pH tanah Sifat reaksi tanah yang dinyatakan dengan pH didasarkan pada jumlah ion - H+ atau OH dalam larutan tanah. Sebagian besar bakteri metanogen bersifat neutrofilik, yaitu hidup pada kisaran pH antara 6 sampai 8 (Setyanto 2004). Pembentukan CH4 maksimum terjadi pada pH 6,9 hingga 7,1 (Wang 1993). 3. Suhu tanah Suhu tanah berkaitan erat dengan aktivitas mikrob di dalam tanah. Sebagian besar bakteri metanogen bersifat mesofilik yang beraktivitas optimal pada suhu 25 oC (Conrad 1996). Perubahan suhu akan mempengaruhi produksi CH4 pada tanah sawah. Pada kondisi tersedia substrat, peningkatan suhu dari 17-30 oC menyebabkan peningkatan produksi CH4 2,5 sampai 3,5 kali lipat. 4. Varietas padi Tanaman padi bertindak sebagai media bagi pelepasan CH4 yang dihasilkan dari dalam tanah ke atmosfer, melalui pembuluh aerenkima daun, batang dan akar padi. Selanjutnya CH4 akan dilepaskan melalui pori-pori mikro pada pelepah daun bagian bawah. Varietas padi mempunyai bentuk, kerapatan dan jumlah pembuluh aerenkima yang berbeda. Perbedaan ini akan mempengaruhi kemampuan tanaman padi mengemisikan CH4 (Setyanto 2004). Biomasa akar dan tanaman juga berpengaruh terhadap emisi CH4 terutama pada stadium awal. Pada fase awal pertumbuhan tanaman padi banyak eksudat akar yang dilepas ke rizosfir sebagai hasil samping metabolisme karbon oleh tanaman (Setyanto 2004). Semakin banyak eksudat akar, emisi CH4 makin tinggi. Jumlah biomasa akar juga mempengaruhi emisi CH4, makin banyak biomasa akar yang terbentuk maka emisi CH4 makin tinggi pula. Jumlah anakan juga merupakan faktor penentu besarnya pelepasan CH4. Semakin banyak anakan maka kerapatan dan jumlah pembuluh aerinkima meningkat (Wihardjaka 2001). 5. Bahan organik tanah Bahan organik tanah memberikan sumbangan terhadap kesuburan pertumbuhan tanaman baik secara fisik, kimia dan biologi. Bahan organik merupakan penyedia unsur-unsur N, P, dan S untuk tanaman. Ketersediaan substrat organik mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam tanah karena bertindak sebagai sumber energi dan secara fisik berperan dalam memperbaiki struktur tanah. Sumber bahan organik yang ditambahkan sangat menentukan pembentukan CH4 di lahan sawah. Penelitian Wihardjaka (2001) dengan menggunakan beberapa jenis bahan organik pada tanah sawah memberikan hasil bahwa emisi CH4 terbesar didapat dari penambahan pupuk kandang, diikuti berturut-turut jerami segar, kompos, dan tanpa bahan organik. Berkaitan dengan bahan organik tanah potensial redoks (Eh) tanah akan rendah jika tersedia karbon organik tanah dalam jumlah yang cukup dan memungkinkan terbentuknya CH4 (Hou et al. 2000).