PEnUUASAN AXSES PUNTIrc MTTxu".Iu POUTIK YANG

advertisement
PEnUUASANAXSES PUNTIrc
MTTxu".IuPOUTIK YANG DELIBERATIF
Oleh: Arif Susanto
Salah satu konsepsi yang paling tradisional tentang politik adalah bahwa politik
merupakan penyelenggaraanurusan publik. Konsepsl tersebut berimplikasi pada
'nilai-nilai bersama'sebagailandasanuntuk
terbukanyakemungkinanuntuk menetapkan
menentukanapa yang etis dan apa yang tidak etis dalam politik. Pada yang privat, orang
memiliki kebebasanindividual relatifnya untrrk menentukan apa yarrg patut dan sesuai
bagi dirinya. Sementara,pada yang publik bingkai kebebasanidealnya dibangun sebagai
hasil kesepakatanbersama(yang mungkin tidak selalu utuh dan stabil) di antarapelakupelaku yang berpengetahuan dan berkcsadaran; suatu batas yang dibutuhkan agar
kebebasantersebuttidak terpisah dari tanogungjawabdan tersuruk menjadi ancamanbagi
esensi kebebasanitu sendiri. Wilayah publik selalu mengandaikan tanggutigiawab
manusia dalam kerangka hubungannyadengan lingkungan. Pada dasarnya,setiap dir^
berhakataskebebasandasartefientu I'ang dibutuhkanuntuk menjag',
ruemaltgsctar;r.J"an
kehidupan.Namun, bingkai kebebasandibutuhkanagar hak satu pihak
keberlangsungan
tidak tercederaioleh upa-)'ap*menuhanhak pihak yang lain. Bingkai semacalnitu pun
idealnva iidak sernatamewakili nilai-nilai dominan yang menuntut suatu aplopriasi
sepihak. agar ia tidak berubah r.renjadi tekanan dominatif yang justru membatasi
kebebasansosial.
Manakala menyangkut perumusandan pelaksanaanumsan publik, politik adalah
juga penyelenggaraankekuasaan.Muatan kekuasaan,kita tahu, hadir manakalatindakan
seseorangmemiliki keterkaitan dengan orang lain. Dimensi kekuasaan ada dalam
hubungan antar-orang; sebab, relasi memang tidak pemah terbangun daiam suatu
kesetara:,i yang mutlak. Uniknya, efektifitas penyelenggaraanumsan publik antara lain
ditentukan oleh pendayagunaankekuasaan.Tanpa kekuasaan,negara sebagaisuatu unit
akan gagal berfungsi, mengingat tidak ada kendali dalam suatu kerangka sistemik untuk
merumuskandan melaksanakankebijakan. Maka amat penting untuk memberi substansi
etis pada kekuasaan,terutama kekuasaanpolitik. Tanpa muatan etis, politik dapatjatuh
melulu sebagai penyelengqataankekuasaan yang berperspektif du'ninasi; penguasaan
yang satu atasyang lain.
Kembali ke pemahaman mula tentang masyarakat politik sebagai masyarakat
adab, apa yang menjadi pembeda utama antaramasyarak-atpolltik dan masyarakatprapolitik ialah tatanan sosral yang menopang keberlangsungan masyarakat tersebut.
Masyarakatpolitik memiliki 'kesepakatan'yang mengikat dan menjadi rujukan bersama
bagi merekayang menjadi bagiannya-semacamkontrak sosial yang tidak dikenal pada
masyarakatpra-politik. Kesepakatansebagairujukan bersamamerupakansuatu rajutan
norma yang dimaksudkan sebagai sarana untuk mengejawantahkankeadaban daiam
hubunganantar-orang.Norma tersebut antaralain memilah apa yang sah dan apa yang
tidak sah dalam penyelenggaraankekuasaan; suatu basis bagi legitimasi kekuasaan
politik. Dengan kesep:katan semacam itu, pcmenuhanhak dan perlindungan atas hak
juga tidak lantasmembuatmanusiayang satumenjadi 'serigala' bagi manusiayang lain.
Perlindungan terhadap kemanusiaan adalah pula perlindungan terhadap kehidupan.
Dalam konteks ini, masyarakatpolitik menjadi jalan menuju kebebasan.
Bagi HannahArendt (1959) polis (brdangpublik) adalahruang kebebasan;bebas
dalam arti merdeka dari ketidaksetaraanyang hadir dalam penguasaan.Kesetaraan
merupaiianinti kcoebasan.Menjadi yang politik -1'aitu hidup dalarn suatupolls- berarti
bahr,vaurusan bersama diputuskan melalui persuasi, bukan melaiui paksaan dart
l,ekerasan.Dengan begitu politik mengandaikantindakan saling Can bersama,bukan
suatu dominasi. Dalam kerangka kesaiingan semacam ini, substansi negara adalah
komunikasi, sementara komunikasi adalah aktivitas, gerakan, dinamika di antara
individu-individu yang berhenti berada manakala individu-individu itu tercerai-berai
(Hardiman,200l). Jika keberagamandan pertentangandipercaya sebagai sesuatuyang
alamiah hadir dalam setiap masyarakat, maka politik yang berporos pada komunikasi
dapat diajukan sebagaimedia resolusi konflik di antarakepentingan-kepenting.lyang
majemuk. Politik, pada akhimya, menjadi salah satu perwujudan kegiatan manusia yang
amat penting dan otentik (secara sosial) apabila di dalamnya terjadi interaksi di antara
warganegarayang merdeka dan setarademi kemanfaatanterbesarbagi publik.
Pengakuanterhadapkesetaraankini menjadi salah : rtu karakter yang membentuk
perbedaanantara demokrasi modern dan demokrasi klasik. Pemerintahanrakyat Athena
dalam peradabanYunani Kuno, .nisalnya, tidak memberi hak politik bagi para budak,
perempuan, dan kaum pendatang -suatu eksklusi yang secara mendasar berlawanan
dengan semangat demokrasi. Meskipun demokrasi tidak semata berbicara tentang
kesetaraan,tetapi kesetaraanadalah suatu kemestian kondisi bagi demokrasi. Dengan
begitr,-, tidak mungkin untuk menyebut suatu tatanan politik yang men:biakkan
ketimpangan secara sistematis sebagai tatanan yang
demokratis. Kesetaraan
memungkinkanpolitik menjadi gelanggangyang kompetitif, yaitu ketika setiap orang
memiliki kesempatan yang relatif sama untuk rnengunjukkan suatu pilihan tindakan.
Kesetaraanjuga memberi peluang kemungkinan yang lebih besarbagi orang untuk dapat
mewujudkan kehendaknya ketimbang manakala orang berada dalam kungkungan
dominasi.
.Iikapolitik dimengertisebagai'seni kernrrngkinan',maka politik mesti membuka
keiuasan mang yang optimal bagi publik untuk berpartisipasi. Semakin luas ruang
partisipasi, sernakin banyak pilihan-pilihan tindakan yang mungkin untuk diambil.
Keluasan ruang partisipasi juga memgngkinkan orang untuk tidak sekadar pasif,
melainkan aktif sebagai subjek )'ang berlindak. Orang dapat memperiuangkan
kepentingann)'asesuai dengan tatanannormatif yang mengatur mekanismepengunjukan
kehendak. Kalan$hn iiberalis biasanya sangat peduli terhadap isu perlindungan atas
kebebasanpolitik semacam ini. Mereka umumnya menghendakiperan politik yang
memungkinkan \varganegarauntuk secara bebas mengejar kepentingan privatnya,
sementarakekuasaan negara mesti dijalankan berdasarkan kepentingan warganegara
secara umum. Pada hakikatnya, politik partisipatoris semacam ini bertolakbelakang
dengan penguasaan yang cenderung membatasi atau bahkan menutup sama sekali
alternatif pilihan bagi publik.
Selain partisipasi politik dan perlindungan terhadap kebebasan,demokrasi pada
tataran minimal juga mempersyaratkansuatu prosedur pengambilan kepuJusan.Dalar'r
banyak kasus, keputusan diambil dengan merujuk pada suara terbanyak (majority rule).
Hal ini berangkatdari pengandaianbahwa suaraterbanyakmewakili bagian terbesardari
kehendak publik. Suara terbanyak adalah mekanisme minimal yang mungkin untuk
dijalankan secaraoptimal oleh demokrasi modern yang komplel's unhrk mengenali dan
memastikansuatu 'kehendak bersama'. Tentu saja, sebagaimanadikemukakan oleh para
pengkritik majoriiy rule, rr^odel ini tidak akan pernah mampu menangkap kehendak
genuine setiap warganegara.Tetapi, patut pula rntuk ditimbang bahwa kompleksitas
persoalandan besamyajumlah warganegaramenjadi hambatanyang harus diatasi oleh
prosedurpolitik agar ia dapat berjalan secaraefektif. Operasionalisasidemokrasi,dengan
.4emikian,mesti memerhatikan kualitas keputusanyang beranjak dari dan menuju pada
kemanfaatan terbesar bagi publik sebagaimana dimaksud di atas. Merujuk pada
pemahamanSchumpeterian-yang melihat demokrasisebagaisuatu metode kelembagaan
dalam kerangkapengambilankeputusanpolitik (periksaSchumpeter,1987)- demokrasi
kemudian harus memastikan bahwa warganegarabebas untuk mengusungberaga.misu
untuk diartikulasikan baik secara langsung maupun tak langsung. Pengaturan
kelembagaansemacamitu mewujud antara lain pada pemilihan umum sebagaiprosedur
untuk mengenaiikehendakwarganegara.
Nemun dernikian,secarasubstansialdemokrasirnenuntutlebih daripadasekadar
terpenuhinyaprosedurpemilihan umum. Sebab,pemenuhanprosedurpemilihan umum
saja belum memadai untuk tenvujudnya 'pemerintahanrakyat'. Suatu rezim dapat saja
pemilihan umuffr secaraberkala sembarimemobilisasiwarganegara
menyelenggarakan
untuk turutsertasekadarmenjadi penggembiradalampesta-porapolitik yang kosongdari
esensidemokrasi(ingatrezim Orde Baru yangmenyebutpemilihanumum sebagai'pesta
demokrasi')atau memaksamerekauntuk memberikandukunganterhadapkelanggengan
keliuasaanrezim tersebut. Kita pun paham bahwa partisipasi politik tidak selalu
bermakna tindakan voluntaristik yang dilakukan tanpa tekanan. Artinya, ada jebakan
elektoralisme manakala orang secara sederhana melihat penyelenggaraanpemilihan
umum sebagaitolok ukur tunggal demokrasi. Elektoralismejelas tidak sebangundengan
demokrasi. Substansi demokrasi berbicara soal partisipasi sadar publik dalam politik,
sementara elektoralisme dapat saja abai terhadap partisipasi non-voluntaris publik
sebagaihasil tekanan dominatif oleh elite. Dengan menimbang moli-f tindakan p'ublik
untuk terlibat dalam penyelenggarunnsuatu pemilihan umum, demokrasi elektoral yang
sekadarpatuh pada prosedur formal penyelenggaraanpemilihan umum dapat dibedakan
dari demokrasi substansialyang peduli pada hakikat kebebasandan kesetaraandalam
politik.
Persoalanyang mengernuhakemudian adalah bagaimana memperserr^pitruang
gerak para demagog-yang memanipulasiemosi publik melalui prasangkapolitik demi
keuntungan sepihak mereka- dalam suatu tatanan yang justru demokratis. Di beberapa
negaradengan tatanan demokrasi yang relatif terkonsolidasi, kita bahkan dapat melihat
partai, atau kandidat yang posisi sikapnya dapat dikategorikan sebagai ekstren, justru
memperolehsimpati yang tidak kecil dari publik pemilih. Dengan pandangansempit
berbasiskomunitas, mereka menggagaskebijakan eksklusi sistematisterhadapkalangan
minoritas; dan dalam tekanan sosio-ekonomi yang kuat, kadang gagasansemacamitu
menjadi masuk akal bagi publik pemilih. Hal ini menunjukkan bahwa tatanandemokrasi,
yang sesungguhnyamengedepankankebebasan,dapat pula dimanfaatkan sebagaijalan
bagi para demagoguntuk membunuhkebebasanitu sendiri.
Di sinilah aspek kontr.rl publik dalam politik menemukansignifikasinya. Dalarn
prcses pemilihan umutn, kampanye kadang menjadi wahana yang penuh muslihat untuk
memperdaya publik -terutama mereka yang tidak cukup berdaya secara sosial. Pada
dasarnyakampanye memungkinkan adanya komunikasi manakala para kandidat secara
terbuka mengemukakanprogram-progrannya, sementarapublik dapat secara intens
mencermatialternatif yang tersaji di hadapannyasebelum mengambil suatu pilihan.
Kampanl,eyang komunikatif memberipeluangbagi publik untuk dapatmembuatpilihan
berdasarkan
pertimbangan-perlimbangan
rasional,bukan sekadar'memilih kucing dalam
karung'. Di sisi lain, elitisme yang sesungguhnyamelekat pada demokrasiperwakilan
dapat ditransformasi menjadi elitisme yang kompetitif apabila para kandidat bersaing
untuk tidak semata memperebutkanjabatan publik, melainkan pula membeberkandiri
sebagai'halaman-halamanyang dapat dibaca secarakritis oleh publik'. Denganbegitu,
kegiatan ini dapat menjadi ruang diskursus dalam demokrasi deliberatif yang
mengedepankan
komunikasi.
Prosedur demokrasi, menurut Habermas (1996), membuka, -ialan bag.
terbangunnyasuatu jejaring yang terbentuk dari pertimbangan-pertimbanganpragmatis,
permufakatan,serta diskursus mengenai pemahaman-diridan keadilan. Hal ini menjadi
basisbagi pengandaianbahwa tatananyang rasional dan berkeadilansesungguhnyadapat
diwujudkan selama alur informasi tidak dihambat. Jelas bahrla orang tidak dapat
berbicara tentang publik yang memiliki kesadaranpolitik dan mampu terlibat dalam
nencermatanintensional terhadap pilihan tindakan, seandainyapublik sendiri tidak
memiliki cukup informasi tentangsituasi yaug dihadapi.Publik yang berdayamenjadi
suatrr keniscayaandalam prosedur permusyawaratan,karena itu proses politik tidak
hanya harus membuka ruang bagi keterlibatan optimal publik, melainkan pula
memastikan bahwa akses para pelaku politik terhadap informasi tidak timpang.
Ketimpangan akses terhadap informasi dapat terjadi ketika tidak tersedia sumber
iniormasi alternatif atau terjadi penguasaanoligopolistis terhadap sarana komunikasi.
Diskursussulit urtuk hidup di atas bangunanoligarkisme,ia tidak mungkin pula lahir
dari tatananyang totaliter.
Di samping ketimpangan informasi, dalam komunikasi politik kerap pula terjadi
distorsi )'ang mengganggu transfer informasi. Yang menjadi persoalan adalah ketika
distorsi lebih disebabkanoleh cara penlajian informasi yang secarasengajadidesain
untuk mengelabuipublik. Politik masa k-ni banyak dipengaruhioleh cara oekerja a la
pasar.Produsenyang pahamcaraberoperasipasartidak bekerjasecarapasifmenanggapi
kebutuhankonsumen,merekajustru secaraotoritatif mengendalikanpasar.Tidak sekadar
reaktif memenuhi petmintaan pasar, para produsen--dengansumberda,va
lebii:
1,an_e
lengkap ketimbang apa yang dimiliki oleh konsumerl- bahkan dapat menentukanapa
yang dibutuhkanoleh konsumen.Yang harr-rsdipahamiadalahbahwa ciistorsiinformasi
menciptakandisparitas.Ketirnpangansemacamini memberi keuntunganterbesarbagi
. merekayang aksesterhadapsumberdayanya
lebih kuat. Kerja politik yang menggunakan
logika semacamini akan mengacaukanmakna publik. Sebab,publik tidak iagi dipahami
dalam kerangkasegalayang menyangkutkeumumanatau komunitas yang terbuka dan
melingkupi,melainkansematasebagaiangkadukunganpolitik.
Cara kerja pasar modern serupa dengan cara kerja teater; keduanya lebih
diarahkan untuk menyentuh sisi emosional pihak lawan (konsumen pada pasar, audiens
pada teater). Tidak mengherankanjika dalam kehidupan politik kontemporer,panggung
kampanye pemilihan pejabat publik kini beroperasimirip panggung hiburan. Bedanya,
panggung kampanye adalah sosio-drama yang bersifat perrnanen, kompleks, dan
memberi bertumpuk informasi yang bahkan sulit untuk dicerna oleh publik sendiri.
'Kekuatan
komunikasi kampanye lebih terletak pada kisah-kisah yang digubah para
kandidat dan perhelatan-perhelatanyang mereka gelar demi menyuguhkrn segenap
6
kemampuan,harapan, dan nilai mereka ketimbang bersandarpada serenretanfakta dan
angka, sebab dan akibat, serta kecenderungan-kecenderungan
statistik', demikian
Gronbeck (2000). Public relations dalam kampanye-kampanyekini lebih bermakna
sebagai cara untuk mengelabui publik ketimbang cara untuk berkomunikasi dengan
publik, ia merjadi upaya untuk menginformasikan citra sebagaimanayang dikehendak;
oleh sang penyampai pesan. Dalam konteks ini kehendakuntuk membangun citra (yang
sesungguhnyatidak otentik) lebih mengemukadaripadakehendakuntuk membuatpublik
menjadi well-informed. Kehendak semacam itu semakin menyesatkan publik ketika
kampanye negatif menjadi bagian strategis upaya seorangkandidat untuk melemalrkan
kandidat lainnya. Di Amerika Serikat, misalnya, mengemuka pandangan bahwa
'sei':ngan terhadap lawan dapat memberi kesan yang lebih mendalam kepada calon
nemilih ketimbangsegalapesanyang mengunjukkankebaikan' (Polsby dan Wildavsky,
1991).MoJel kampar:yesepertiitrr semakinmendistorsiinformasi,publik pun tidak lagi
mendapatkanhaknya untuk memperoleh informasi yang benar. Alih-alih menjadi
berdaya,upaya publik untuk mencerapinformasi sebanyakmungkin dari para kandidat
dapatberbuahkoleksi keboliongandan fitnah.
Apa yang terjadi di indonesia pun saya pikir tidak jauh berbeda. Saat masa
kampanyenrenielangpemilihan pejabatpublik, para calon pemilih berhadapandengan
berlimpah inforrnasi yang pada akhirnya membuat mereka hampir tidak mungkin
'bertemu' dengan para kandidat lewat
menentukanpirihan yang otentik. Warganegara
tayangantelevisi, poster dan selebarandi segenappenjuru kota/desa,maupun panggung
'pentas drama'. Tetapi,
kampanye terbuka di berbagai tempat publik sebagai
mengherankanbahwa perjumpaan-perjumpaansemacamitu tidak dapat menjadi media
diskursus tempat elite dan massa memperbincangkan persoalan dan menawarkan
alternatif jawaban. Di sana informasi tidak berjalan mengikuti alur komunikasi.
Komunikasi politik yang konsiderat memang tidak mungkin dibangun dalam qituasi
timpang, tanpa logika sebab-akibat, serta tanpa pemahaman memadai tentang subjek
yang dihadapi. Di berbagai kesempatan kampanye, para kandidat kadang berdialog
'pementasan'semacamitu
denganpara audiens.Tetapi, keterlibatan audiensdalam suatu
bukanlahketerlibatanyang penuh; pentasdrama memangtidak pernatrm:ngajak audiens
untuk menjadi pelakon utama dalam suatupergelaran.
Berhadapan dengan kenya-taan senlper itu,
Gronbeck memberi tawaran
pencermatanterhadapmotif, karakter, dan kompetensipara kandidat sebagaidasaruntuk
membuatpenilaianetis ataspilihan yang tersedia(perhatikantabel).
MORAL
VANTAGES
BTHICAL PIVOTS
Motives
Character
MessageMakers
Are candidates'
mouves acceptable?
Are candidates'
characterological styles
acceptable?
MessageConsumers
What politicai motives
do set of voters find
acceptable?
\\ hat characterological Wrat measuresof
sty'lesdo sets of voters
competence are used
find acceptable?
by particular sets of
voters?
Messages
Are candidates'
motives expressedin
acceptablervays?
Are candidates'
clrlracterologicalsryles
depicted in acceptable
walts?
It-
Sit,.radons
\\4rat motii'es are
acceptablein various
srtuations?
\\'irat characterological
sfiles are expected in
varit-rus siruations?
Have candidates
demonstrated
political competence?
Are candidates
illustrating their
political competence
in messagesand
fesponsesto
opponents' messages?
Do candidatesread
various politicai
situations
cornpetentiy?
Questionsthat Cqn Guide voters' Ethical Judgmentsin presidential Campaign
Sumber:BruceE.Gronbe.k(2000).
PencermatanGronbeckberangkatdari dua hal. Pertama,karenakampanyepolitik
telah menjadi suatu panggung sosio-drama, maka dia menarik suatu analisis atasnya
berdasarkantiga dimensi utama suatu pertunjukan, yaitu: tindakan atau plot (mythos),
karakter (ethos), dan pemikiran (dianoia). Tiga dimensi inilah yang kemudian
mengeruclt menjadi tiga poros etis yang meliputi motif, karakter, dan kompetensi yang
dapat dijadikan acuan bagi para calon pemilih untuk membandingkanapa yang mereki. kehendakidan apa yang dapat mereka indera dari para kandidat. Kedua, dia menekankan
pentingnya kejujuran dalam politik mengingat orang membutuhkan kepastian manakala
perubahan berlangsung terus-menerus,juga karena kejujuran dapat menjadi patokan
untuk menilai motif, karakter, dan kompetensi seseorang.Meskipun demikian, , i1orrg""O
sendiri mengakui bahwa publik tidak pernah bisa benar-benarpaham tentang kandidat
yang meieka hadapi dan persoalanyang diusungn;radalam kampanyepolitik, mengingat
apa yang disajikan kepada (dan untuk diketahui oleh) publik sesungguhnyateiah lebih
dulu melalui penyeleksian.Dan lebih dari itu, semuanyadikemas dalam simbol-simbol
'apa yang sesungguhnya'kepada publik. Dari Gronbeck
yang kerap menyembunyikan
orang Japat memahami bahwa superfisialitas tampak sebagai musuh bagi komunikAsi
politik.
Berangkat dari posisi bahwa kesepakatandalam politik mesti diambil melalui
persuasi,bukan melalui paksaandan kekerasan;maka pemutarbalikan fakta dan sensor
sistemik terhadap infolmasi publik mesti dikategorikan sebagai kekerasan dalam
komunikasi politik. Sebab,komunikasi politik yang timpang (akibat tiadanya kehendak
untuk bersikap terbuka dan senjangnyaaksesterhadap informasi) dapat mempersempit
ruang nalar. Bagaimana nalu' dapat beriungsi optimal sebagai iirstrumen untuk
nengambil keputusanjika informasi yang dicerap tidak utuhi Tatananyang rasional dan
berkeadilan, sekali lagi, mempersyaratkanlancarn-i arus informasi. Dengan demikian,
kekerasan komunikasi menopang kegagalan proses politik untuk menjadi sarana
urusan publik bukan
I(etiki..penyelenggaraan
perwujudankebebasanbagi rvarganegara.
lagi menjadiinti prosespolitik, kedaulatanrakyatpun beradadalam ancaman.Menyimak
Habermas(1999),kedaulatanrakyat mesti mew"rjudhanyadalamkondisi diskursif dalam
proses pernbentukan-opini-dankehendak yang bermacam ragam. Tetapi. diskursus
mempersyaratkankesetaraan,bukan ketimpangan. Jika penguasaanatas sumberdaye
timpang, maka hubungan politik hanya akan melahirkan dominasi, bukan demokrasi.
Dominasi oleh elite terhadap massa akan membuat politik menjadi arena upaya untuk
mengakumulasikekuasaansemata.Kenyataannya,demokrasi superfisial memberi ruang
yang nyaman bagi para demagog yang menunggangidemos untuk meraih kepentingan
sepihakmereka.
Penilaian etis Gronbeck, bagaimana pun, dapat menjadi pintu masuk untuk
membuat massa menjadi lebih berdaya di hadapan elite. Ketid*jujuran
paling tidak
dapat diminimasi pada tataran yang tidak terlampau ekstrem ketika publik memiliki
informasi yang memadai tentang situasi yang mereka hadapi. Pada saat yang sama,
publik yangwell-informed sepatutnyamengembangkansuatu solidaritas yang dengannya
mereka mampu membangun otonouf. Publik yang berdaya akan memiliki kekuatan
kontrol dan posisi tawar yang lebih baik untuk mendesakkankehendak
bersama demi
memengaruhipioses pengambilan keprrtusan.Prosespembentukanopini
dan keheirdak
dalam politik, denganbegitu, beroperasidalam komunitasyang berdaya danpeduli.
Habermas sendiri percaya bahwa keberhasilan perwujudan politik deliberatir
bergantungpada pelembagaanprosedur permufakatan dan kondisi dalam komunikasi,
sertapada saling-hubtrnganantaraprosesdeliberasiyang terlembagakandan
opini publik
yang terbangun secara informal. Namun demikian, prosedur permufakatan
tidak lantas
menetralkan kekuasaan dan tindakan strategis untuk memperjuangkan
kepentingan.
Demokrasi majemuk mengemuka manakala beragam kepentingan yang
saling
bersinggungan atau bahkan bertolakbelakatrg berkontestasi tanpa yang
satu secara
semena-menamenidakkan yang lain. Jika kita memahami bahwa konflik
menjadi salah
satukarakter yang lekat pada tubuh demokrasi,tentu kesepahamanyang
terwujud rnelalui
proses permufakatrn tidak rnerupakan suatu kesepahaman yang
selalu stabil dan
perrnanen.Karena politik sebagaiprosedurdimaksudkansebagai
cara untuk mengelola
hubungan antarmanusiayang selalu memiliki potensi konflik, maka kehendak
untuk
mengandaikankeutuhanpemahamanyang nirkonflik niscayamerupakansuatupretensi
untukmenguburpoiitik.
SurnberBacaan:
Arendt, Hannah,1959,TheHuman condition,New york: DoubledayAchor
Books.
Gronbeck, Bruce E., The Ethical Performance of Candidates in American presidential
Campaign Dramas, dalam Robert E Denton Jr., (ed), 2000, political
CommunicationEthics: An Oxymoron?,Newyork: praegei.
Habermas, Ji.irgen, Popular sovereignty as procedure, d,alam James
Bohman and
william Rehg (eds), 1999,DeliberaltiveDemocracy,cambridge:MIT press.
Habermas, Jiirgen, 1996, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse
Theoryof Law and Democracy,Oxford: polity press.
Hardiman, F Budi, 2001, "politik" dan "Antipoliiik,, Hannah Arendt
tentang Krisis
Negara, dalam ATMA nan JAyA Tahun XV No. 3.
Polsby, Nelson W. dan Wildavsky, Aaron, 1991,Presidential Elections,New york:
The
FreePress.
schumpeter,Joseph-A.,.1987(6thedt), capitalism, socialism, and Democracy,
Lcndon:
Unwin Paperbacks
l0
Download