hubungan status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita di

advertisement
HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS PALASARI KECAMATAN CIATER KABUPATEN
SUBANG TAHUN 2010
Ridwan Setiawan, Ida , Budi
Poltekes Jurusan Keperawatan Bandung
ABSTRAK
Di Indonesia penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering
terjadi pada anak. Episode penyakit batuk pilek pada balita Indonesia diperkirakan sebesar tiga
sampai enam kali pertahun. Ini berarti seorang balita rata-rata mendapatkan serangan batuk
pilek sebanyak tiga sampai enam kali setahun (Depkes RI, 2002). Faktor yang mempengaruhi
terjadinya ISPA yaitu faktor langsung dan tidak langsung. Untuk faktor langsung imunisasi
dan status gizi. Sedangkan faktor tidak langsung, faktor lingkungan sosial dan faktor
lingkungan fisik. Kaitannya dengan penelitian ini tidak semua unsur-unsur dari faktor yang
diambil secara utuh hanya faktor yang dominan saja yaitu faktor status gizi (Nency, 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian pneumonia
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Palasari Kecamatan Ciater Kabupaten Subang.
Rancangan penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan korelasi dengan cross sectional .
Populasi 240 dengan jumlah sampel 71 balita menggunakan teknik accidental sampling, diuji
dengan menggunakan uji hubungan melalui statistik Koefisien Kontingensi dari Chi-Square
atau Chi-Kuadrat.
Hasil Penelitian ini menunjukka sebagian kecil status gizi kurang, yaitu sebanyak 21 orang
(29,60%), sebanyak 46 (64,80%) balita bukan Pneumonia dan sebagian kecil pneumonia, yaitu
25 responden (35,20%). Ada hubungan status gizi balita dengan Pneumonia pada balita (1-5
tahun) di Wilayah Kerja Puskesmas PalasariKabupaten Subang, dengan hasil P-value = 0,000
< (α = 0,05). Dari hasil analisis didapatkan OR = 27 .
Kesimpulan sebagian besar responden balita (1-5 tahun) berstatus gizi baik , sebagian besar
responden balita (1-5 tahun) bukan pneumonia di Wilayah Kerja Puskesmas palasari
Kabupaten Subang
Key word : Status Gizi, pneumonia.
A. PENDAHULUAN
Di Indonesia penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit
yang sering terjadi pada anak. Episode penyakit batuk pilek pada balita Indonesia
diperkirakan sebesar tiga sampai enam kali pertahun. Ini berarti seorang balita rata-rata
mendapatkan serangan batuk pilek sebanyak tiga sampai enam kali setahun (Depkes RI,
2002). ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan didunia kematian pada anak
berusia di bawah lima tahun pada setiap tahunnya (WHO, 2003).
Di Jawa Barat, penyakit ISPA merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat.
Pada Tahun 2007, penyakit pneumonia adalah penyebab nomor satu (15,71%) dari
penyebab kematiaan balita di Rumah Sakit dan pada tahun 2007, cakupan penemuan
pneumonia balita di Jawa Barat mencapai (1,3%). Angka tersebut mengalami peningkatan
pada tahun 2008 mencapai 50,6% (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat, 2008).
Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Subang Tahun 2008, bahwa pola penyakit
rawat jalan di Puskesmas seluruh Kabupaten Subang untuk semua golongan umur di
dominasi oleh penyakit ISPA, di mana ISPA menempati urutan pertama dari lima besar
penyakit yaitu 13047 balita (26,5%).
Puskesmas Palasari merupakan Puskesmas yang berada di Kabupaten Subang yang
kejadian ISPA setiap tahun mengalami peningkatan. Menurut data dari Puskesmas
Palasari ISPA merupakan penyakit yang setiap tahunnya menempati urutan pertama dari
lima pola penyakit rawat jalan di Puskesmas Palasari dan mengalami peningkatan tiap
tahunnya.
Adapun hasil pencatatan dan pelaporan penemuan penderita ISPA pada anak usia
balita yang berkunjung ke Puskesmas Palasari
dari bulan Januari sampai dengan
Desember Tahun 2009 yaitu 240 orang. Pada empat bulan terakhir penyakit ISPA ini
mengalami peningkatan 54 orang ( 49 non pneumonia dan 5 orang pneumonia) (Laporan
Puskesmas Palasari, 2008).
ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan
oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus maupun riketsia tanpa atau disertai radang
parenkim paru (Alsagaff dan Mukty,2006). Terjadinya ISPA di pengaruhi atau ditimbulkan
oleh tiga hal yaitu adanya kuman (terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia)
keadaan daya tahan tubuh (status gizi dan imunisasi) dan keadaan lingkungan (rumah
yang kurang ventilasi, lembab, basah, dan kepadatan penghuni (Depkes, 2003).
Kematiaan pada penderita ISPA terjadi jika penyakit telah mencapai derajat ISPA
berat. Paling sering kematiaan terjadi karena infeksi telah mencapai paru-paru, keadaan
ini disebut sebagai radang paru mendadak atau pneumonia. Sebagaian besar keadaan ini
terjadi karena penyakit ringan (ISPA ringan) yang di abaikan. Seringkali penyakit ini di
mulai dengan batuk pilek biasa, tetapi karena daya tahan tubuh (status gizi ) anak lemah
maka penyakit dengan cepat menjalar ke paru-paru. Jika penyakit yang telah menjalar ke
paru-paru dan anak tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan yang tepat, anak
tersebut dapat meninggal (Depkes, 2002).
ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernafasan yang
mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya. Kelainan
pada sistem pernapasan terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan bawah,
asma dan ibro kistik, menempati bagian yang cukup besar pada lapangan pediatri. Infeksi
saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada
semua golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin (Levi S, 2005).
Sedangkan faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA yaitu faktor langsung dan
tidak langsung. Untuk faktor langsung imunisasi dan status gizi. Sedangkan faktor tidak
langsung, faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan fisik. Kaitannya dengan penelitian
ini tidak semua unsur-unsur dari faktor yang diambil secara utuh hanya faktor yang
dominan saja yaitu faktor status gizi (Nency, 2005). Hal ini disebabkan untuk status
imunisasi yang ada di Puskesmas Palasari sudah mencapai target yang telah ditetapkan,
sedangkan status gizi di Puskesmas Palasari merupakan permasalahan kesehatan yang
belum terselesaikan yang ditandai dengan masih tingginya angka gizi kurang, yaitu
sebesar 12,39% dari jumlah balita 946. Sehingga dari data diatas dapat diketahui bahwa
tingginya angka kekurangan gizi kurang secara langsung ataupun tidak langsung akan
berdampak pada terjadinya Infeksi Saluran Pernafasan Akut. (Admin, 2008).
Status gizi yang baik terjadi bila tubuh memperoleh asupan zat gizi yang cukup
sehingga dapat digunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan fisik, perkembangan otak dan
kecerdasan, produktivitas kerja serta daya tahan tubuh terhadap infeksi secara optimal
(Moehji, 2004).
Berdasarkan data yang telah diperoleh peneliti pada bulan September 2009 dari
status gizi kurang, pada balita yang berada di wilayah kerja Puskesmas Palasari yang
menyebabkan terjadinya penyakit Infeksi ISPA dibandingkan dengan balita yang memiliki
gizi yang baik. Dari data yang telah peneliti temukan diketahui dari 10 balita yang
mengalami gizi kurang, 7 balita mengalami ISPA bukan Pneumonia dan 3 balita ISPA
Pneumonia.
Berdasarkan uaraian-uaraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang :
“Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Palasari Kecamatan Ciater Kabupaten Subang”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian
pneumonia pada balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Palasari Kecamatan Ciater
Kabupaten Subang. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Diidentifikasinya status gizi pada balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Palasari
Kecamatan Ciater Kabupaten Subang.
2. Diidentifikasinya kejadian pneumonia pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Palasari
Kecamatan Ciater Kabupaten Subang.
3. Diidentifikasinya hubungan antara status gizi dengan kejadiaan pneumonia pada balita
di Puskesmas Palasari Kecamatan Ciater Kabupaten Subang.
B. METODOLOGI PENELITIAN
1. Rancangan penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan
cross sectional. Adapun Kerangka Pemikiran
Independen
Dependen
Faktor langsung
Imunisasi
Status Gizi
Pneumonia
Kejadian ISPA
Faktor tidak langsung:
a. Faktor lingkungan sosial
(kepadatan penduduk)
b. Faktor lingkungan Fisik
Sumber: Yetty Nency, 2005
Tidak
Pneumonia
Ket :
: Yang diteliti
: Yang tidak diteliti
2. Hipotesis
Ho = Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Palasari Kabupaten Subang.
Ha =
Ada hubungan antara status gizi dengan kejadiaan pneumonia pada balita di
Wilayah Kerja puskesmas Palasari Kabupaten Subang.
3. Definisi Operasional
N
o
1
Variabel
Independen
Status gizi
Definisi
Operasional
Suatu keadaan
untuk
mengetahui
tingkatan dari
keadaan gizi
yang akan
diklasifikasikan
Alat Ukur
Cara ukur
Timbangan
balita
(weigh
scal)
Pengukuran
berat badan
berdasarkan
umur anak
saat ini
Hasil Ukur
1.
Gizi
kurang,
bila BB/U
< 80%
2. Gizi baik,
bila BB/U
≥ 80%
(WHO-NCHS)
Skala
Ordinal
2
Dependen
Balita yang
Kejadian ISPA didiagnosa
dokter
mengidap ISPA
pada waktu di
lakukan
penelitian
Diagnosa
dokter
Data sekunder
(hasil dari
medical
record)
1.
2.
ISPA
Tidak
ISPA
Ordinal
4. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah balita yang berobat ke Puskesmas
Palasari pada periode Pebruari 2010 dengan ISPA. Adapun jumlah pasien ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Palasari sebanyak 240 orang pada tahun 2009.Dari
hasil perhitungan sampel , Jumlah sample pada penelitian ini adalah 71 balita.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik
accidental sampling,
5. Analisa Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisa univariat untuk mengetahui
distribusi frekuensi dan persentasi dari tiap variabel. Kemudian dilakukan analisa
bivariat ini meliputi hubungan status gizi dengan kejadian ISPA. Untuk menguji
hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA diuji dengan menggunakan uji
hubungan melalui statistik Koefisien Kontingensi dari Chi-Square atau Chi-Kuadrat. Uji
hubungan dilakukan dengan menguji signifikansi Chi-Square hasil perhitungan dengan
hipotesis statistik sebagai berikut :
a.
Jika p value < α (0,05), maka ada hubungan dan Ho di tolak
b.
Jika p value > α (0,05), maka tidak ada hubungan atau Ho gagal ditolak
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.
Analisa Univariat
a. Status Gizi dan Kejadian Pneumonia
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Status Gizi BalitaDi Wilayah Kerja Puskesmas
Palasari Kabupaten Subang
Variabel
Status Gizi
Kurang
Baik
TOTAL
Pneumonia
Pneumonia
Bukan Pneumonia
TOTAL
Frekuensi
Persentase
21
50
71
29,60
70,40
100
25
46
71
35,20
64,80
100%
Berdasarkan tabel 1 sebagian kecil status gizi kurang, yaitu sebanyak 21
orang (29,60%). Dan sebagian besar responden yaitu sebanyak 46 (64,80%)
balita bukan Pneumonia dan sebagian kecil pneumonia, yaitu sebanyak 25
responden (35,20%).
b. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Pneumonia Di Wilayah Kerja Puskesmas
Palasari kabupaten subang
Tabel 2. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Pneumonia Di Wilayah Kerja
Puskesmas PalasariKabupaten Subang
Status Gizi
Kurang
Baik
Jumlah
Pneumonia
Bukan
Pneumonia
Pneumonia
18
4
(81,8%)
(18,2%)
7
42
(14,3%)
(85,7%)
25
46
(35,2%)
(64,8%)
Jumlah
PValue
X2
CI
OR
22
(100%)
49
(67,9%)
71
(100%)
0,000
27,4
7,022103,82
4
27,0
Pneumonia adalah peradanga pada parenkim paru dimana terisi dengan
cairan radang dengan atau tanpa disertai infeksi dari sel radang ke dalam dinding
alveoli dan rongga intestinum (Amir, 2000).
Penyebab umumnya
dari pneumonia pada anak yang berumur 1 bulan
sampai dengan 6 tahun.adalah streptococcus pneomoniae dan haemofilus
infleuza stretype B (Arguades dkk, 2000). Maeskipun pneumonia dapat
disebabkan oleh penyebaran hematologik dari fokal infeksi ditempat cairan serta
aspirasi benda asing, tetapi pada umunya pneumonia timbul sebagai komplikasi
dari infeksi
saluran pernafasan akut pada bagiann
atas infeksi saluran
pernafasan akut bagian atas biasanya disebabkan oleh virus dan beberapa
diantaranya oleh bakteri.
Pada umumnya penayakit saluran pernafasan di mulai dengan keluhankeuhan dengan gejala
yang ringan seperti sesak dan demam. Dalam
perjalanannya penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan semakin
berat dapat jatuh
kedalam keadaan gagal pernafasan dan mungkin dapat
mengakibatkan kematian.
Hasil penelitian diatas menunjukan bahwa hubungan status gizi balita dengan
Pneumonia
pada
balita
(1-5
tahun)
di
Wilayah
Kerja
Puskesmas
PalasariKabupaten Subang, dengan hasil P-value = 0,000 < (α = 0,05) , berarti
ada hubungan status gizi balita dengan Pneumonia pada Balita.
Dari hasil analisis didapatkan OR = 27 hal ini berarti balita yang berstatus gizi
kurang mempunyai
resiko Pneumonia 27 kali lebih tinggi dari balita yang
berstatus gizi baik.
Gangguan status gizi dapat berupa KEP kekurangan energi protein, defisiensi
vitamin A, kekurangan asam folat,
kekurangan Fe, peridoksin dan Zn dan
mungkin dengan gangguan mekanisme pertahanan tubuh dan menyebabkan
infeksi.
Pada keadaan malnutrisi, status imun terganggu sehingga akan mudah
teserang infeksi. Pada keadaan kekurangan energi protein terjadi suatu perubahan
dalam sel mediator imunitass dalam fungsi
komplemen dan dalam respon sekresi
bacterial netrofil, dalam sistem
Ig A. Sekresi Ig A yang terendah
berasamaan dengan imunitas mukosa dan menyebabkan kolonisasi dan kontak
phatogen –phatogen dengan epitel sehingga terjadi penyebaran sistemik infeksi
(Depkes RI, 2002).
Anak-anak yang menderita malnutrisi mengalami penurunan sekrsi Ig A
dalam cairan resoirasi dan komplemen serum dan komplemen serum, dan
merekapun mengalami gangguan regenerasi epitel respirasi yang mengakibatkan
infeksi pada paru-paru. Salah satu jenis dari gangguan status gizi buruk adalah
kwasirkor, yaitu masukan protein yang kurang. Ditinjau dari golongan umur,
kwashiorkor sering terjadi pada anak balita. Pada defisiensi protein murni tidak
terjadi katabolisme jaringan yang sangat berlebih, karena persediaan energi dapat
dipenuhi oleh jumlah kalori dalm dietnya.
Menurunnya status gizi pada KEP selain dikarenakan persediaan protein
jaringan tubuh, hal ini sebagai upaya pemenuhan energi dan juga digunakan
sebagai asam amino bagi jaringan tubuh yang lebih utama seperti otak dan
jantung. Hal ini mengakibatkan penuruanan sintseis asam amino baru yang
sangat di perlukan sebagai fungsi antibody. Linder (1992) menyatakan bahwa
pada KEP penurunan serum protein yang berfungsi sebagi faktor anti mikroba
dan pertahanan termasuk lisoenzim, komplemen transferin dan protein lainnya
dengan fungsi opsinik. Hal ini semua dapat mengakibatkan menurunnya imunitas
penderita terhadap berbagai infeksi.
Tubuh memiliki 3 macam pertahanan untuk menolak infeksi, yaitu: melalui sel
(munitas seluler), melalui cairan (imunitas humoral) dan aktivitas leukosit
polimorfonucleus (Pudjiadi, 2002). Telah diketahui pada penderita KEP didapati
kelenjar timus dan tionsil yang atrofik, mengurangnya jumlah t-limfosit yang
berkorelasi dengan menurunnya imunitas seluler. Dengan menurunnya imunitas,
maka invasi kuman gram negative atau kuman-kuman yang biasnya tidak begitu
virulen sering menyababkan kematian pada penderita KEP.
Pada penderita KEP kadar komplemen –komplemen serum ini lebih rendah,
jka dibandngkan anak dengan gizi baik. Jadi pada KEP terdapat gangguan pada
imunitas
humoral yang disebabkan oleh menurunnya
komplemen protein
(Pudjiadi, 2002).
Leukosit bertugas untuk memfagositir kuman sebelum membunuihnya. Pada
poenderita KEP, aktivitas untuk memfagositir maupnmembunuh kuman menjadi
penurunan.
Berdasarkan hasil penelitian diatas maka salah satu cara untuk mencegah
pneumonia. Penanggulangan masalah gizi perlu dilakuakn secara terpadu antar
departemen dan kelompok profesi, melalui upaya-upaya peningkatan pengadaan
pangan, penganekaragaman produksi dan konsumsi pangan, peningkatan status
social ekonom, pendidikan dan kesehatan reproduksi dan konsumsi pangan,
peningkatan status social ekonomi, pendidikan dan kesehhatan masyarakat, serta
peningkatan teknologi hasil pertanian dan teknologi pangan. (Sunita Almatsier,
2004)
Berdasakan Departemen Kesehatan dan Kesejahtraan Sosial R.I. (2000)
untuk menanggulangi masalah gizi ini maka perlu dilakukan konseling gizi dan
penyuluhan kelompok. Konseling dan penyuluhan gizi merupakan tugas ahli gizi di
Puskesmas yang dapat di jadikan bekal bagi orang tua balita atau keluarganya
dalam melakukan perawatan dan pemberian gizi selanjutnya di rumah tangga.
Konseling dilakukan secara perorangan sedangkan penyuluhan gizi lebih bersifat
umum yang diberikan kepada kelompok masyarakat. Materi konseling gizi harus
disesuaikan dengan kondisi balita dan di sampaikan secara jelas agar mudah di
mengerti.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Sebagian besar responden balita (1-5 tahun) di Wilayah Puskesmas Blanakan
berstatus gizi baik di Wilayah Kerja Puskesmas palasari Kabupaten Subang.
b. Sebagian besar responden balita (1-5 tahun) di Wilayah Puskesmas Blanakan
bukan pneumonia di Wilayah Kerja Puskesmas palasari Kabupaten Subang
c. Ada hubungan status gizi pada balita (1-5 tahun) dengan terjadinya pneumonia di
Wilayah Kerja Puskesmas palasari Kabupaten Subang
2. Saran
Hasil penelitian menunjukan terdapat hubungan status gizi dengan terjadinya.
Bedasarkan hasil penelitian tersebut dianjurkan para petugas kesehatan untuk lebih
meningkatkan kesadaran masyarakat dengan melakukan pendidikan kesehatan atau
penyuluhan tentang pentingnya gizi terhadap kesehatan .
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. (2001). Prisip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar, Azrul. (2000). Buku Pedoman Pemberian MP-ASI. Jakarta.
Dinkes kab subang. (2006). Strategi Penurunan AKI dan AKB di Kabupaten Subang. Subang:
Dinkes Kabupaten Subang.
Garna, Heri dkk. (2005). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi Ke 3.
Bandung: FKUP.
Hatta, Meutia. 2005. 6,7 Juta Balita Indonesia Kurang Gizi. Jakarta. www.bkkb.go.id. Diperoleh
2 Mei 2008.
Hidayad , A. A. (2005). Pengantar Ilmu keperawatan. Edisi pertama . Jakarta : Salemba
Medika.
Luluk, L.S. (2005). Resiko Pemberian MP-ASI Terlalu Dini.
http://WWW.gizi.net/asi/indeks.shtml. Diperoleh 4 April 2008.
Kartasapoetra. (2005). Korelasi Gizi Kesehatan dan Produktifitas Kerja. Jakarta: Bharatara
Karya Aksara.
Kozier, B., et. al. (2004). Fundamental of Nursing. Amerika. Pearson Education Inc.Mar’at.
1984. Sikap Manusia: Perubahan Serta Pengukurannya. Bandung: Ghalia Indonesia.
Markum, A.H. (2002). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI.
Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metoda Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
EGC.
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nyoman, I Dewa. (2001). Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.
Persagi. (1999). Visi dan Misi Gizi Dalam Mencapai Indonesia Sehat Tahun 2010. Jakarta.
Puskesmas Pagaden. (2008). Laporan keadaan Status Gizi Balita. Subang.
Sediaoetama, A.D. (1999). Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat
Pudjadi, S. (2000). Ilmu Gizi Klinis Pada Anak Edisi Ke-4. Jakarta: FKUI.
Pamungkasiwi, Endang. (2000). Gizi buruk di Masyarakat dan Upaya Pencegahanya. Persi
Co.Id.
Sulistijiani. (2001). Menjaga Kesehatan Bayi dan balita. Jakarta: Puspa Swara.
Supari, S.F. (2006). 43 Meninggal Akibat Gizi Buruk dan Gizi Kurang. WWW.bkkbn.go,id.
Diperoleh 16 April 2008.
Suyatno, et. all. (2001). Pengaruh Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Tradisional
terhadap Kejadian ISPA, Diare dan Status Gizi Bayi Pada 4 (empat) Bulan Pertama
Kehidupan. Yokyakarta Majalah Berita Kedokteran Masyarakat. Tahun XVII: BKM
Falkultas Kedokteran UGM.
Werdiningsih, Atiek, dkk. (2001). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perbaikan Status Gizi
Buruk di Kabupaten Bantul dan Sleman. Yogyakarta Majalah Berita Kedokteran
Masyarakat. Tahun XVII : BKM Fakultas Kedokteran UGM.
, (2000). Hak Asasi Bayi dan Pekan ASI Sedunia. Jakarta : EGC.
Download