HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PALASARI KECAMATAN CIATER KABUPATEN SUBANG TAHUN 2010 Ridwan Setiawan, Ida , Budi Poltekes Jurusan Keperawatan Bandung ABSTRAK Di Indonesia penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Episode penyakit batuk pilek pada balita Indonesia diperkirakan sebesar tiga sampai enam kali pertahun. Ini berarti seorang balita rata-rata mendapatkan serangan batuk pilek sebanyak tiga sampai enam kali setahun (Depkes RI, 2002). Faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA yaitu faktor langsung dan tidak langsung. Untuk faktor langsung imunisasi dan status gizi. Sedangkan faktor tidak langsung, faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan fisik. Kaitannya dengan penelitian ini tidak semua unsur-unsur dari faktor yang diambil secara utuh hanya faktor yang dominan saja yaitu faktor status gizi (Nency, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Palasari Kecamatan Ciater Kabupaten Subang. Rancangan penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan korelasi dengan cross sectional . Populasi 240 dengan jumlah sampel 71 balita menggunakan teknik accidental sampling, diuji dengan menggunakan uji hubungan melalui statistik Koefisien Kontingensi dari Chi-Square atau Chi-Kuadrat. Hasil Penelitian ini menunjukka sebagian kecil status gizi kurang, yaitu sebanyak 21 orang (29,60%), sebanyak 46 (64,80%) balita bukan Pneumonia dan sebagian kecil pneumonia, yaitu 25 responden (35,20%). Ada hubungan status gizi balita dengan Pneumonia pada balita (1-5 tahun) di Wilayah Kerja Puskesmas PalasariKabupaten Subang, dengan hasil P-value = 0,000 < (α = 0,05). Dari hasil analisis didapatkan OR = 27 . Kesimpulan sebagian besar responden balita (1-5 tahun) berstatus gizi baik , sebagian besar responden balita (1-5 tahun) bukan pneumonia di Wilayah Kerja Puskesmas palasari Kabupaten Subang Key word : Status Gizi, pneumonia. A. PENDAHULUAN Di Indonesia penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Episode penyakit batuk pilek pada balita Indonesia diperkirakan sebesar tiga sampai enam kali pertahun. Ini berarti seorang balita rata-rata mendapatkan serangan batuk pilek sebanyak tiga sampai enam kali setahun (Depkes RI, 2002). ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan didunia kematian pada anak berusia di bawah lima tahun pada setiap tahunnya (WHO, 2003). Di Jawa Barat, penyakit ISPA merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat. Pada Tahun 2007, penyakit pneumonia adalah penyebab nomor satu (15,71%) dari penyebab kematiaan balita di Rumah Sakit dan pada tahun 2007, cakupan penemuan pneumonia balita di Jawa Barat mencapai (1,3%). Angka tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2008 mencapai 50,6% (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat, 2008). Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Subang Tahun 2008, bahwa pola penyakit rawat jalan di Puskesmas seluruh Kabupaten Subang untuk semua golongan umur di dominasi oleh penyakit ISPA, di mana ISPA menempati urutan pertama dari lima besar penyakit yaitu 13047 balita (26,5%). Puskesmas Palasari merupakan Puskesmas yang berada di Kabupaten Subang yang kejadian ISPA setiap tahun mengalami peningkatan. Menurut data dari Puskesmas Palasari ISPA merupakan penyakit yang setiap tahunnya menempati urutan pertama dari lima pola penyakit rawat jalan di Puskesmas Palasari dan mengalami peningkatan tiap tahunnya. Adapun hasil pencatatan dan pelaporan penemuan penderita ISPA pada anak usia balita yang berkunjung ke Puskesmas Palasari dari bulan Januari sampai dengan Desember Tahun 2009 yaitu 240 orang. Pada empat bulan terakhir penyakit ISPA ini mengalami peningkatan 54 orang ( 49 non pneumonia dan 5 orang pneumonia) (Laporan Puskesmas Palasari, 2008). ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus maupun riketsia tanpa atau disertai radang parenkim paru (Alsagaff dan Mukty,2006). Terjadinya ISPA di pengaruhi atau ditimbulkan oleh tiga hal yaitu adanya kuman (terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia) keadaan daya tahan tubuh (status gizi dan imunisasi) dan keadaan lingkungan (rumah yang kurang ventilasi, lembab, basah, dan kepadatan penghuni (Depkes, 2003). Kematiaan pada penderita ISPA terjadi jika penyakit telah mencapai derajat ISPA berat. Paling sering kematiaan terjadi karena infeksi telah mencapai paru-paru, keadaan ini disebut sebagai radang paru mendadak atau pneumonia. Sebagaian besar keadaan ini terjadi karena penyakit ringan (ISPA ringan) yang di abaikan. Seringkali penyakit ini di mulai dengan batuk pilek biasa, tetapi karena daya tahan tubuh (status gizi ) anak lemah maka penyakit dengan cepat menjalar ke paru-paru. Jika penyakit yang telah menjalar ke paru-paru dan anak tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan yang tepat, anak tersebut dapat meninggal (Depkes, 2002). ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernafasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya. Kelainan pada sistem pernapasan terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan bawah, asma dan ibro kistik, menempati bagian yang cukup besar pada lapangan pediatri. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin (Levi S, 2005). Sedangkan faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA yaitu faktor langsung dan tidak langsung. Untuk faktor langsung imunisasi dan status gizi. Sedangkan faktor tidak langsung, faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan fisik. Kaitannya dengan penelitian ini tidak semua unsur-unsur dari faktor yang diambil secara utuh hanya faktor yang dominan saja yaitu faktor status gizi (Nency, 2005). Hal ini disebabkan untuk status imunisasi yang ada di Puskesmas Palasari sudah mencapai target yang telah ditetapkan, sedangkan status gizi di Puskesmas Palasari merupakan permasalahan kesehatan yang belum terselesaikan yang ditandai dengan masih tingginya angka gizi kurang, yaitu sebesar 12,39% dari jumlah balita 946. Sehingga dari data diatas dapat diketahui bahwa tingginya angka kekurangan gizi kurang secara langsung ataupun tidak langsung akan berdampak pada terjadinya Infeksi Saluran Pernafasan Akut. (Admin, 2008). Status gizi yang baik terjadi bila tubuh memperoleh asupan zat gizi yang cukup sehingga dapat digunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan fisik, perkembangan otak dan kecerdasan, produktivitas kerja serta daya tahan tubuh terhadap infeksi secara optimal (Moehji, 2004). Berdasarkan data yang telah diperoleh peneliti pada bulan September 2009 dari status gizi kurang, pada balita yang berada di wilayah kerja Puskesmas Palasari yang menyebabkan terjadinya penyakit Infeksi ISPA dibandingkan dengan balita yang memiliki gizi yang baik. Dari data yang telah peneliti temukan diketahui dari 10 balita yang mengalami gizi kurang, 7 balita mengalami ISPA bukan Pneumonia dan 3 balita ISPA Pneumonia. Berdasarkan uaraian-uaraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang : “Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Palasari Kecamatan Ciater Kabupaten Subang”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Palasari Kecamatan Ciater Kabupaten Subang. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1. Diidentifikasinya status gizi pada balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Palasari Kecamatan Ciater Kabupaten Subang. 2. Diidentifikasinya kejadian pneumonia pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Palasari Kecamatan Ciater Kabupaten Subang. 3. Diidentifikasinya hubungan antara status gizi dengan kejadiaan pneumonia pada balita di Puskesmas Palasari Kecamatan Ciater Kabupaten Subang. B. METODOLOGI PENELITIAN 1. Rancangan penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Adapun Kerangka Pemikiran Independen Dependen Faktor langsung Imunisasi Status Gizi Pneumonia Kejadian ISPA Faktor tidak langsung: a. Faktor lingkungan sosial (kepadatan penduduk) b. Faktor lingkungan Fisik Sumber: Yetty Nency, 2005 Tidak Pneumonia Ket : : Yang diteliti : Yang tidak diteliti 2. Hipotesis Ho = Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Palasari Kabupaten Subang. Ha = Ada hubungan antara status gizi dengan kejadiaan pneumonia pada balita di Wilayah Kerja puskesmas Palasari Kabupaten Subang. 3. Definisi Operasional N o 1 Variabel Independen Status gizi Definisi Operasional Suatu keadaan untuk mengetahui tingkatan dari keadaan gizi yang akan diklasifikasikan Alat Ukur Cara ukur Timbangan balita (weigh scal) Pengukuran berat badan berdasarkan umur anak saat ini Hasil Ukur 1. Gizi kurang, bila BB/U < 80% 2. Gizi baik, bila BB/U ≥ 80% (WHO-NCHS) Skala Ordinal 2 Dependen Balita yang Kejadian ISPA didiagnosa dokter mengidap ISPA pada waktu di lakukan penelitian Diagnosa dokter Data sekunder (hasil dari medical record) 1. 2. ISPA Tidak ISPA Ordinal 4. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah balita yang berobat ke Puskesmas Palasari pada periode Pebruari 2010 dengan ISPA. Adapun jumlah pasien ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Palasari sebanyak 240 orang pada tahun 2009.Dari hasil perhitungan sampel , Jumlah sample pada penelitian ini adalah 71 balita. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling, 5. Analisa Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisa univariat untuk mengetahui distribusi frekuensi dan persentasi dari tiap variabel. Kemudian dilakukan analisa bivariat ini meliputi hubungan status gizi dengan kejadian ISPA. Untuk menguji hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA diuji dengan menggunakan uji hubungan melalui statistik Koefisien Kontingensi dari Chi-Square atau Chi-Kuadrat. Uji hubungan dilakukan dengan menguji signifikansi Chi-Square hasil perhitungan dengan hipotesis statistik sebagai berikut : a. Jika p value < α (0,05), maka ada hubungan dan Ho di tolak b. Jika p value > α (0,05), maka tidak ada hubungan atau Ho gagal ditolak C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Analisa Univariat a. Status Gizi dan Kejadian Pneumonia Tabel 1. Distribusi Frekuensi Status Gizi BalitaDi Wilayah Kerja Puskesmas Palasari Kabupaten Subang Variabel Status Gizi Kurang Baik TOTAL Pneumonia Pneumonia Bukan Pneumonia TOTAL Frekuensi Persentase 21 50 71 29,60 70,40 100 25 46 71 35,20 64,80 100% Berdasarkan tabel 1 sebagian kecil status gizi kurang, yaitu sebanyak 21 orang (29,60%). Dan sebagian besar responden yaitu sebanyak 46 (64,80%) balita bukan Pneumonia dan sebagian kecil pneumonia, yaitu sebanyak 25 responden (35,20%). b. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Pneumonia Di Wilayah Kerja Puskesmas Palasari kabupaten subang Tabel 2. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Pneumonia Di Wilayah Kerja Puskesmas PalasariKabupaten Subang Status Gizi Kurang Baik Jumlah Pneumonia Bukan Pneumonia Pneumonia 18 4 (81,8%) (18,2%) 7 42 (14,3%) (85,7%) 25 46 (35,2%) (64,8%) Jumlah PValue X2 CI OR 22 (100%) 49 (67,9%) 71 (100%) 0,000 27,4 7,022103,82 4 27,0 Pneumonia adalah peradanga pada parenkim paru dimana terisi dengan cairan radang dengan atau tanpa disertai infeksi dari sel radang ke dalam dinding alveoli dan rongga intestinum (Amir, 2000). Penyebab umumnya dari pneumonia pada anak yang berumur 1 bulan sampai dengan 6 tahun.adalah streptococcus pneomoniae dan haemofilus infleuza stretype B (Arguades dkk, 2000). Maeskipun pneumonia dapat disebabkan oleh penyebaran hematologik dari fokal infeksi ditempat cairan serta aspirasi benda asing, tetapi pada umunya pneumonia timbul sebagai komplikasi dari infeksi saluran pernafasan akut pada bagiann atas infeksi saluran pernafasan akut bagian atas biasanya disebabkan oleh virus dan beberapa diantaranya oleh bakteri. Pada umumnya penayakit saluran pernafasan di mulai dengan keluhankeuhan dengan gejala yang ringan seperti sesak dan demam. Dalam perjalanannya penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan semakin berat dapat jatuh kedalam keadaan gagal pernafasan dan mungkin dapat mengakibatkan kematian. Hasil penelitian diatas menunjukan bahwa hubungan status gizi balita dengan Pneumonia pada balita (1-5 tahun) di Wilayah Kerja Puskesmas PalasariKabupaten Subang, dengan hasil P-value = 0,000 < (α = 0,05) , berarti ada hubungan status gizi balita dengan Pneumonia pada Balita. Dari hasil analisis didapatkan OR = 27 hal ini berarti balita yang berstatus gizi kurang mempunyai resiko Pneumonia 27 kali lebih tinggi dari balita yang berstatus gizi baik. Gangguan status gizi dapat berupa KEP kekurangan energi protein, defisiensi vitamin A, kekurangan asam folat, kekurangan Fe, peridoksin dan Zn dan mungkin dengan gangguan mekanisme pertahanan tubuh dan menyebabkan infeksi. Pada keadaan malnutrisi, status imun terganggu sehingga akan mudah teserang infeksi. Pada keadaan kekurangan energi protein terjadi suatu perubahan dalam sel mediator imunitass dalam fungsi komplemen dan dalam respon sekresi bacterial netrofil, dalam sistem Ig A. Sekresi Ig A yang terendah berasamaan dengan imunitas mukosa dan menyebabkan kolonisasi dan kontak phatogen –phatogen dengan epitel sehingga terjadi penyebaran sistemik infeksi (Depkes RI, 2002). Anak-anak yang menderita malnutrisi mengalami penurunan sekrsi Ig A dalam cairan resoirasi dan komplemen serum dan komplemen serum, dan merekapun mengalami gangguan regenerasi epitel respirasi yang mengakibatkan infeksi pada paru-paru. Salah satu jenis dari gangguan status gizi buruk adalah kwasirkor, yaitu masukan protein yang kurang. Ditinjau dari golongan umur, kwashiorkor sering terjadi pada anak balita. Pada defisiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang sangat berlebih, karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori dalm dietnya. Menurunnya status gizi pada KEP selain dikarenakan persediaan protein jaringan tubuh, hal ini sebagai upaya pemenuhan energi dan juga digunakan sebagai asam amino bagi jaringan tubuh yang lebih utama seperti otak dan jantung. Hal ini mengakibatkan penuruanan sintseis asam amino baru yang sangat di perlukan sebagai fungsi antibody. Linder (1992) menyatakan bahwa pada KEP penurunan serum protein yang berfungsi sebagi faktor anti mikroba dan pertahanan termasuk lisoenzim, komplemen transferin dan protein lainnya dengan fungsi opsinik. Hal ini semua dapat mengakibatkan menurunnya imunitas penderita terhadap berbagai infeksi. Tubuh memiliki 3 macam pertahanan untuk menolak infeksi, yaitu: melalui sel (munitas seluler), melalui cairan (imunitas humoral) dan aktivitas leukosit polimorfonucleus (Pudjiadi, 2002). Telah diketahui pada penderita KEP didapati kelenjar timus dan tionsil yang atrofik, mengurangnya jumlah t-limfosit yang berkorelasi dengan menurunnya imunitas seluler. Dengan menurunnya imunitas, maka invasi kuman gram negative atau kuman-kuman yang biasnya tidak begitu virulen sering menyababkan kematian pada penderita KEP. Pada penderita KEP kadar komplemen –komplemen serum ini lebih rendah, jka dibandngkan anak dengan gizi baik. Jadi pada KEP terdapat gangguan pada imunitas humoral yang disebabkan oleh menurunnya komplemen protein (Pudjiadi, 2002). Leukosit bertugas untuk memfagositir kuman sebelum membunuihnya. Pada poenderita KEP, aktivitas untuk memfagositir maupnmembunuh kuman menjadi penurunan. Berdasarkan hasil penelitian diatas maka salah satu cara untuk mencegah pneumonia. Penanggulangan masalah gizi perlu dilakuakn secara terpadu antar departemen dan kelompok profesi, melalui upaya-upaya peningkatan pengadaan pangan, penganekaragaman produksi dan konsumsi pangan, peningkatan status social ekonom, pendidikan dan kesehatan reproduksi dan konsumsi pangan, peningkatan status social ekonomi, pendidikan dan kesehhatan masyarakat, serta peningkatan teknologi hasil pertanian dan teknologi pangan. (Sunita Almatsier, 2004) Berdasakan Departemen Kesehatan dan Kesejahtraan Sosial R.I. (2000) untuk menanggulangi masalah gizi ini maka perlu dilakukan konseling gizi dan penyuluhan kelompok. Konseling dan penyuluhan gizi merupakan tugas ahli gizi di Puskesmas yang dapat di jadikan bekal bagi orang tua balita atau keluarganya dalam melakukan perawatan dan pemberian gizi selanjutnya di rumah tangga. Konseling dilakukan secara perorangan sedangkan penyuluhan gizi lebih bersifat umum yang diberikan kepada kelompok masyarakat. Materi konseling gizi harus disesuaikan dengan kondisi balita dan di sampaikan secara jelas agar mudah di mengerti. D. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan a. Sebagian besar responden balita (1-5 tahun) di Wilayah Puskesmas Blanakan berstatus gizi baik di Wilayah Kerja Puskesmas palasari Kabupaten Subang. b. Sebagian besar responden balita (1-5 tahun) di Wilayah Puskesmas Blanakan bukan pneumonia di Wilayah Kerja Puskesmas palasari Kabupaten Subang c. Ada hubungan status gizi pada balita (1-5 tahun) dengan terjadinya pneumonia di Wilayah Kerja Puskesmas palasari Kabupaten Subang 2. Saran Hasil penelitian menunjukan terdapat hubungan status gizi dengan terjadinya. Bedasarkan hasil penelitian tersebut dianjurkan para petugas kesehatan untuk lebih meningkatkan kesadaran masyarakat dengan melakukan pendidikan kesehatan atau penyuluhan tentang pentingnya gizi terhadap kesehatan . DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. (2001). Prisip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, Azrul. (2000). Buku Pedoman Pemberian MP-ASI. Jakarta. Dinkes kab subang. (2006). Strategi Penurunan AKI dan AKB di Kabupaten Subang. Subang: Dinkes Kabupaten Subang. Garna, Heri dkk. (2005). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi Ke 3. Bandung: FKUP. Hatta, Meutia. 2005. 6,7 Juta Balita Indonesia Kurang Gizi. Jakarta. www.bkkb.go.id. Diperoleh 2 Mei 2008. Hidayad , A. A. (2005). Pengantar Ilmu keperawatan. Edisi pertama . Jakarta : Salemba Medika. Luluk, L.S. (2005). Resiko Pemberian MP-ASI Terlalu Dini. http://WWW.gizi.net/asi/indeks.shtml. Diperoleh 4 April 2008. Kartasapoetra. (2005). Korelasi Gizi Kesehatan dan Produktifitas Kerja. Jakarta: Bharatara Karya Aksara. Kozier, B., et. al. (2004). Fundamental of Nursing. Amerika. Pearson Education Inc.Mar’at. 1984. Sikap Manusia: Perubahan Serta Pengukurannya. Bandung: Ghalia Indonesia. Markum, A.H. (2002). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI. Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metoda Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nyoman, I Dewa. (2001). Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC. Persagi. (1999). Visi dan Misi Gizi Dalam Mencapai Indonesia Sehat Tahun 2010. Jakarta. Puskesmas Pagaden. (2008). Laporan keadaan Status Gizi Balita. Subang. Sediaoetama, A.D. (1999). Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat Pudjadi, S. (2000). Ilmu Gizi Klinis Pada Anak Edisi Ke-4. Jakarta: FKUI. Pamungkasiwi, Endang. (2000). Gizi buruk di Masyarakat dan Upaya Pencegahanya. Persi Co.Id. Sulistijiani. (2001). Menjaga Kesehatan Bayi dan balita. Jakarta: Puspa Swara. Supari, S.F. (2006). 43 Meninggal Akibat Gizi Buruk dan Gizi Kurang. WWW.bkkbn.go,id. Diperoleh 16 April 2008. Suyatno, et. all. (2001). Pengaruh Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Tradisional terhadap Kejadian ISPA, Diare dan Status Gizi Bayi Pada 4 (empat) Bulan Pertama Kehidupan. Yokyakarta Majalah Berita Kedokteran Masyarakat. Tahun XVII: BKM Falkultas Kedokteran UGM. Werdiningsih, Atiek, dkk. (2001). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perbaikan Status Gizi Buruk di Kabupaten Bantul dan Sleman. Yogyakarta Majalah Berita Kedokteran Masyarakat. Tahun XVII : BKM Fakultas Kedokteran UGM. , (2000). Hak Asasi Bayi dan Pekan ASI Sedunia. Jakarta : EGC.