1 HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS INTERAKSI SOSIAL IBU DENGAN KEKERASAN PADA ANAK Fauziah Firda Sonny Andrianto INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan negatif antara intensitas interaksi sosial ibu dengan kekerasan pada anak. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara intensitas interaksi sosial ibu dengan kekerasan pada anak. Semakin tinggi intensitas interaksi sosial ibu, semakin rendah kekerasan pada anak. Sebaliknya, semakin rendah intensitas interaksi sosial ibu, semakin tinggi kekerasan pada anak. Subjek dalam penelitian ini adalah ibu yangmemiliki anak usia 4-10 tahun. Teknik pengambilan subjek yang digunakan adalah metode purposive sampling. Adapun skala yang digunakan disusun sendiri oleh peneliti, yaitu skala intensitas interaksi sosial dengan jumlah aitem 22, mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Soekanto (1990) dan skala kekerasan pada anak yang berdasar pada aspek yang dikemukakan oleh Berns (2004) dengan jumlah aitem 16. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS 13.00 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara intensitas interaksi sosial ibu dengan kekerasan pada anak. Korelasi product moment dari Pearson menunjukkan korelasi sebesar r=- 0,420 dan p= 0,00 (p< 0,01) yang artinya ada hubungan yang signifikan antara intensitas interaksi sosialibu dengan kekerasan pada anak. Jadi hipotesis penelitian diterima. Kata kunci : Intensitas Interaksi Sosial, Kekerasan Pada Anak 2 PENGANTAR Anak adalah anugerah terbesar bagi setiap orang tua, sudah semestinyalah orang tua memberikan rasa kasih sayang dan rasa aman pada setiap anaknya. Setiap orang tua tentu menginginkan anaknya tumbuh menjadi manusia yang baik, sukses serta menjadi anak yang berguna, menerapkan pendisiplinan merupakan salah satu yang diterapkan orangtua. Disiplin merupakan cara masyarakat mengajarkan kepada anak-anak perilaku moral yang diterima kelompok. Tujuannya adalah memberitahukan kepada anak-anak perilaku mana yang baik dan mana yang buruk dan mendorongnya untuk berperilaku sesuai dengan standar-standar ini. Selama masa awal kanak-kanak yang harus ditekankan adalah aspek pendidikan dari disiplin dan hukuman hanya diberikan kalau terbukti anak-anak mengerti apa yang diharapkan dan terlebih lagi kalau ia sengaja melanggar harapan - harapan ini (Hurlock, 1980). Meskipun banyak orang tua yang mencintai dan memberikan kasih sayang untuk anaknya namun beberapa tidak dapat memperlakukan anak secara tidak tepat dan bahkan ada yang melukai atau membunuh anaknya (Papalia, Olds & Feldman, 2002). Tindak kekerasan ini tidak hanya berbentuk fisik, tetapi juga psikologis dan seksual. Tetapi, sejauh ini kekerasan fisik dan seksual yang paling sering muncul, tidak sebatas menjewer, mencubit, memukul, tetapi bisa jauh lebih parah. Padahal sudah ada undang-undang yang mengatur tentang perlindungan anak yaitu pasal 4 dan pasal 22 Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menyatakan bahwa 3 “Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” Pasal 22 menyatakan bahwa “Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak” (www.pdat.co.id). Menurut Office Manager Komnas Perlindungan anak jumlah anak korban kekerasan meningkat dari tahun ke tahun, perlakuan salah tersebut tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisik psikis dan seksual tapi juga penganiayaan berat dan pembunuhan. Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Dr. Seto Mulyadi (www.pikiranrakyat.com) mengakui kasus kekerasan pada anak mengaalami peningkatan. Tahun 2004 terdapat 441 kasus dan tahun 2005 meningkat menjadi 736 kasus. Dari jumlah itu 327 kasus kekerasan secara seksual, 233 kasus kekerasan secara fisik, 176 kasus kekerasan secara psikis, sedangkan jumlah kasus penelantaran anak sebanyak 130 kasus. Di Amerika Serikat setiap tahunnya dilaporkan lebih dari satu juta kasus kekerasan fisik, kekerasan seksual dan penolakan. Berdasarkan data Plan Indonesia saat ini diperkirakan ada 871 kasus kekerasan terhadap anak. Pelaku kekerasan pada anak umumnya adalah orang yang dikenal oleh anak yaitu sebanyak 69% sedangkan yang tidak dikenal anak 31% dan kekerasan itu lebih banyak dilakukan oleh orang tua, setidaknya 80% kekerasan yang bersifat psikologis dilakukan oleh ibu. 4 Data lain yang dimuat dalam harian Kompas menjelaskan bahwa dilhat dari pelaku kekerasan, beberapa kasus tindak kekerasan terhadap anak pelakunya adalah orangtuanya sendiri, sedangkan dilihat dari usia anak yang mengalami tindak kekerasan dari 871 orang korban terdapat 805 diantaranya berumur dibawah 15 tahun. Demikian juga data dari LSM SPEKHAM (Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan HAM) Solo mengungkapkan dari 72 kasus kekerasan di Surakarta 54,2% korbannya adalah anak di bawah umur (Tursilarini, 2005). Seperti yang diungkapkan Kohlberg (Santrock, 1995) dalam teori perkembangan moralnya anak-anak berada pada tingkat satu yaitu penalaran prakonvensional (preconventional morality), pada tingkat ini anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Jadi, sudah sewajarnya jika orangtua banyak memberikan hukuman dan hadiah pada usia anak-anak Orangtua juga perlu menyesuaikan perilaku mereka terhadap anak, yang didasarkan pada kedeewasaan perkembangan anak. Pada tahun awal interaksi orangtua anak bergerak dari kegiatan-kegiatan yang sangat terfokus pada pengasuhan rutin seperti memberi makan, mengganti popok, memandikan, dan menidurkan ke arah kegiatan-kegiatan yang bersifat bukan pengasuhan seperti permainan dan pertukaran-pertukaran tatapan dan suara, pada tahun selanjutnya orangtua seringkali menangani persoalan-persoalan disiplin dengan manipulasi fisik, tetapi ketika anak bertumbuh lebih besar orangtua berubah secara lebih luas dengan 5 memberi penalaran, nasehat moral, dan memberi atau tidak memberi hak-hak khusus (Santrock, 1995). Gelles (Olson & DeFrain, 2003) mengungkapkan bahwa kehidupan yang terasing merupakan salah satu yang menyebabkan orangtua melakukan kekerasan pada anak-anaknya, mereka cenderung terisolasi dari komunitasnya dengan sedikit teman dan dukungan dari luar. Dukungan dari sanak saudara, tetangga dan temanteman mengurangi kemungkinan orangtua akan melakukan kekerasan pada anak mereka, karena sedikit banyak hal itu mengurangi keterasingan orangtua. Memiliki hubungan dengan orang lain yang mendukungnya juga dapat mengurangi stres pada orangtua, orangtua dapat memperoleh bantuan dari orang lain mengenai masalah anak, masalah finansial atau kondisi sulit lainnya. Keimanan yang kuat, berpartisipasi dalam kegiatan gereja juga dapat mengganti kondisi negatif lain dan mengurangi risiko kekerasan pada anak (Berndt, 1997). Beberapa contoh kasus kekerasan anak disebutkan bahwa seorang balita yang bernama Annisa Nabila berusia empat tahun tewas setelah tubuhnya ditutup terpal oleh kedua orang tuanya. Menurut ketua RT setempat keluarga tersebut memang keluarga tertutup, kalaupun berhubungan hanya seperlunya saja (Tabloid Nyata, Juni 2005). Ny Yeni yang membakar kedua anaknya juga disebutkan oleh salah seorang kerabatnya adalah orang yang tertutup, pendiam dan selalu memendam sendiri semua masalahnya (www.kompas.com). Ny. Yuni yang menghabisi putri kandungnya yang berusia delapan tahun juga dikenal warga sekitar sebagai keluarga yang cuek, bahkan anak-anaknya dilarang bermain dengan anak- 6 anak di sekitar tempat tinggalnya (Tabloid Nurani, edisi 185 tahun IV 01-07 Juli 2004). Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin menguji apakah ada hubungan antara intensitas interaksi sosial orang tua dengan kekerasan pada anak? METODE PENELITIAN Subyek penelitian dalam penelitian ini memiliki beberapa karakteristik yaitu: wanita yang sudah menikah, memiliki anak usia empat sampai 10 tahun. Metode pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala untuk mengungkap aspek – aspek dari variabel – variabel yang ingin diketahui. Skala yang digunakan adalah skala kekerasan pada anak dan intensitas interaksi sosial ibu. 1. Skala kekerasan pada anak Skala kekerasan pada anak digunakan untuk mengetahui tingkat kekerasan pada anak yang dilakukan ibu. Skala ini dibuat berdasarkan bentuk -bentuk kekerasan menurut Berns (2004) yaitu: 1. Kekerasan fisik 2. Kekerasan seksual 3. Kekerasan psikologis/ emosional Masing – masing aitem memiliki empat alternatif jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Subyek akan mendapatkan nilai 4: untuk jawaban sangat sesuai (SS), nilai 3: untuk jawaban sesuai (S), nilai 2: untuk jawaban tidak sesuai (TS) dan nilai 1: untuk jawaban sangat tidak sesuai (STS) pada aitem-aitem favourabel, sedangkan pada aitem- 7 aitem unfavourabel subyek akan mendapatkan nilai 1: untuk jawaban sangat sesuai (SS), nilai 2: untuk jawaban sesuai (S), nilai 3: untuk jawaban tidak sesuai (TS) dan nilai 4: untuk jawaban sangat tidak sesuai (STS). 2. Skala intensitas interaksi sosial Skala intensitas interaksi sosial digunakan untuk mengetahui intensitas interaksi sosial ibu skala ini dibuat berdasarkan bentuk-bentuk interaksi sosial yang diungkapkan Soekanto (1990). Dua syarat agar dapat terjadi agar terjadi interaksi sosial yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi yang berwujud gerak badaniah, pembicaraan atau sikap Masing – masing aitem memiliki empat alternatif jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Subyek akan mendapatkan nilai 4: untuk jawaban sangat sesuai (SS), nilai 3: untuk jawaban sesuai (S), nilai 2: untuk jawaban tidak sesuai (TS) dan nilai 1: untuk jawaban sangat tidak sesuai (STS) pada aitem-aitem favorable, sedangkan pada aitem-aitem unfavorable subyek akan mendapatkan nilai 1: untuk jawaban sangat sesuai (SS), nilai 2: untuk jawaban sesuai (S), nilai 3: untuk jawaban tidak sesuai (TS) dan nilai 4: untuk jawaban sangat tidak sesuai (STS). Untuk menguji adanya korelasi antara intensitas interaksi social ibu dengan kekekerasan pada anak, digunakan teknik Product Moment Pearson dari program SPSS 13.00 for Windows. 8 HASIL PENELITIAN Tabel 1 Deskripsi Data Penelitian Variable Hipotetik Min Maks Kekerasan pada 16 64 Anak Interaksi sosial 22 88 Rerata 40 Min 16 55 58 Empirik Maks Rerata 38 26,130 87 69,590 Berdasarkan deskripsi data penelitian di atas dapat dilihat apakah kekerasan pada anak dan intensitas interaksi social ibu tergolong tinggi, sedang atau rendah, yaitu dengan cara membuat kategorisasi masing – masing variable berdasar nilai hipotetik. a. Kekerasan pada Anak Pada skala kekerasan pada anak dapat dilihat sebaran hipotetiknya yang diuraikan untuk mengetahui keadaan subyek penelitian pada tabel berikut : Tabel 2 Kriteria kategori Skala Kekerasan pada anak Kategori Nilai Rendah x<32 Sedang 32=x<48 Tinggi 48=x Frekuensi 90 10 0 % 90% 10% 0% Setelah mendapatkan kriteria di atas, maka dapat disimpulkan bahwa subyek penelitian yang tergolong rendah melakukan kekerasan pada anak sebanyak 90 orang atau 90%. Yang tergolong sedang dalam melakukan kekerasan pada anak 9 sebanyak 10 orang atau 10%. Sedangkan untuk yang tergolong melakukan kekerasan pada anak dalam kategori tinggi tidak ada. b. Intensitas interaksi Sosial Pada skala intensitas interaksi sosial data dilihat sebaran hipotetiknya yang diuraikan untuk mengetahui keadaan kelompok subyek penelitian pada tabel berikut ini : Tabel 3 Kriteria Kategori Skala Intensitas Interaksi Sosial Kategori Nilai Frekuensi Tinggi 66 < x 70 Sedang 44 = x < 66 30 Rendah x=44 0 % 70% 30% 0% Setelah mendapatkan kriteria di atas, maka dapat disimpulkan bahwa subyek penelitian yang tergolong tinggi dalam melakukan interaksi sosial 70 orang atau 70%. Yang tergolong sedang dalam melakukan interaksi sosial sebanyak 30 orang atau 30%. . Tidak terdapat subyek yang melakukan interaksi sosial kategori rendah. . Dari hasil uji normalitas dapat diketahui bahwa hasil sebaran skor variable interaksi sosial adalah normal (p= 0,165; p> 0,05). Sedangkan hasil sebaran skor variabel kekerasan pada anak adalah normal (p= 0,155; p> 0,05). Berikut ini tabel hasil uji normalitas: 10 Tabel 4 Tabel Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parametersa,b Most Extreme Differences JMLKAS 100 26,1300 4,84644 ,113 ,077 -,113 1,131 ,155 Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) JMLIS 100 69,5900 5,76316 ,112 ,112 -,064 1,116 ,165 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Dari hasil uji linearitas dapat dikatakan bahwa variabel kekekerasan pada anak memiliki korelasi yang linear dengan variabel intensitas interaksi sosial ibu dengan F= 22,336 dan p= 0,00 (p < 0,05). Berikut ini tabel uji linearitas: Tabel 5 Tabel Uji Linearitas ANOVA Table Sum of Squares JMLKAS * JMLIS Between (Combined) 931,310 Groups Linearity 409,695 Deviation from Linearity 521,615 Within Groups 1394,000 Total 2325,310 df 23 1 22 76 99 Mean Square F 40,492 2,208 409,695 22,336 23,710 1,293 18,342 Sig. ,005 ,000 ,205 Uji hipotesis menunjukkan hasil besarnya koefisien korelasi antara variable kekerasan pada anak dan variabel intensitas interaksi sosial ibu adalah sebesar rxy =- 0,420 dan p = 0,000 (p< 0,01). Hal ini berarti bahwa ada hubungan negatif yang cukup kuat antara intensitas interaksi sosial dengan kekerasan pada anak. 11 Maka hipotesis yang diajukan peneliti diterima. Semakin rendah kekerasan pada anak, semakin tinggi intensitas interaksi social ibu. Hasil analisis juga menunjukkan koefisien determinasi (R squared) variabel kekerasan pada anak dengan dukungan istri sebesar 0,176, berarti variabel intensitas interaksi social ibu memiliki sumbangan efektif sebesar 17,6% dalam melakukan kekerasan pada anak. Hasil uji korelasi Pearson dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 6 Tabel Uji Korelasi Pearson Correlations JMLKAS JMLIS Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N JMLKAS 1 , 100 -,420** ,000 100 JMLIS -,420** ,000 100 1 , 100 **. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). PEMBAHASAN Penelitian ini membuktikan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara intensitas interaksi social ibu dengan kekerasan pada anak, artinya semakin tinggi intensitas interaksi social ibu dengan lingkungan sekitarnya maka akan semakin rendah tingkat kekerasan pada anak yang dilakukan ibu. Semakin rendah intensitas interaksi social ibu dengan lingkungan sekitarnya maka semakin tinggi tingkat kekerasan pada anak yang dilakukan ibu. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan peneliti diterima. 12 Seperti yang diungkapkan Soekanto (1990) Kehidupan terasing dapat disebabkan karena secara badaniah seseorang sama sekali diasingkan dari hubungan orang-orang lainnya. Padahal, seperti diketahui perkembangan jiwa seseorang banyak ditentukan oleh pergaulannya dengan orang-orang lain. (Soekanto, 1990). Sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan Gelles (Olson & DeFrain, 1993) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan anak pada suatu keluarga adalah kehidupan yang terasing, keluarga yang melakukan kekerasan cenderung terisolasi dari komunitasnya dengan sedikit teman dan sumber dukungan dari luar, dimana kehidupan yang terasing ini disebabkan oleh kurangnya interaksi sosial dengan pihak luar. Zigler&Hall berpendapat (Bendt, 1997) orangtua yang melakukan kekerasan seringkali memiliki kehidupan yang terasing, mereka tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan sanak famili dan jarang tinggal dekat dengan sanak famili, mereka tergabung dalam sedikit perkumpulan masyarakat seperti kelompok bisnis atau kelompok-kelompok lain. Mereka jarang datang di gereja atau bersosialisasi dengan anggota gereja. Hasil analisis menunjukkan koefisien determinasi (R squared) variable kekerasan pada anak dengan intensitas interaksi social ibu sebesar 0,176, berarti variable intensitas interaksi social ibu memiliki sumbangan efektif sebesar 17,6% dalam kemungkinan seorang ibu melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya. Kekerasan pada anak banyak dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor – faktor lain yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan kekerasan pada anak, antara lain ,Masalah ekonomi menurut Gelles 13 (Olson&DeFrain,2003) Tidak bekerja, pendapatan rendah, sakitnya anggota keluarga dan ketidakmampuan membayar biaya medis adalah sumber stress pada banyak kehidupan pengasuhan orang dan tua yang masalah melakukan kepribadian kekerasan. orangtua Ketidakmampuan juga disebut dalam Gelles (Olson&DeFrain,2003) sebagai factor yang menyebabkan seseorang melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya, orangtua yang melakukan kekerasan seringkali memiliki harapan yang tidak realistis pada anak mereka, memiliki pengetahuan yang minim mengenai perkembangan anak dan menunjukkan ketidakmampuan dalam menjalin hubungan dengan anak, selain itu mereka juga seringkali memiliki harga diri yang rendah dan kepribadian tidak matang, kurang rasa empati dan lebih egois, tingkat stress yang tinggi disebut juga dapat mempengaruhi tingkat kekerasan yang dilakukan orangtua sebagai coping terhadap stressnya tersebut. Faktor yang berasal dari factor anak diantaranya adalah anak yang berbeda dengan yang lain anak yang bebeda dengan yang lain, Gelles (Olson&DeFrain,2003) mengatakan anak-anak dengan penyakit kronis, gangguan emosional, hiperaktif, retardasi mental atau cacat fisik berisiko tinggi terhadap kekerasan. Anak-anak yang tidak diharapkan juga berisiko terhadap kekerasan,ukuran keluarga atau jumlah anak yang dimiliki juga disebut dapat memicu terjadinya kekerasan pada anak Orangtua yang memiliki dua anak berpeluang 50% lebih besar untuk melakukan kekerasan pada anak daripada orangtua yang memiliki satu anak. Angka kekerasan pada anak ini ditemukan puncaknya pada lima anak dan turun pada keluargakeluarga yang lebih besar. 14 Faktor eksternal juga dapat mempengaruhi seseorang melakukan kekerasan pada anak yaitu kekerasan domestik pada keluarga asal dan budaya kekerasan banyak orangtua yang melakukan kekerasan menjadi saksi kekerasan yang dilakukan orangtua mereka sendiri dan pernah dihukum secara fisik oleh orangtua mereka selain itu Beberapa budaya dan cabang budaya terlihat lebih toleran terhadap kekerasan pada anak. Contohnya, anak-anak yang tinggal diantara para tetangga yang tidak aman memiliki risiko lebih besar mendapat kekerasan daripada anak-anak yang tumbuh di lingkungan tetangga yang damai. Faktor yang berasal dari orangtua itu sendiri yaitu orangtua tunggal dan orangtua tiri, disebutkan orangtua tunggal anak-anak yang tinggal dengan orangtua tunggal cenderung mendapat kekerasan daripada yang tinggal dengan orangtua lengkap, mungkin dikarenakan stress sering dihubungkan dengan orangtua tunggal, sedangkan untuk factor orangtua tiri disebutkan seorang anak yang tinggal dengan orangtua tiri cenderung mendapat kekerasan dari pada anak yang tinggal dengan orangtua kandung mungkin karena kurangnya pertalian biologis antara orangtua tiri dengan anak dapat membantu perkembangan rasa kurang toleransi. Kelemahan penelitian ini adalah metode penyebaran angket yang tidak langsung kepada subyek. Sehingga besar kemungkinan pengisisan angket yang tidak berdasar kenyataan. Pada penelitian selanjutnya hendaknya hal tersebut dapat diatasi sehingga akan diperoleh data yang lebih akurat mengenai kekerasan pada anak. 15 Kesimpulan Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara intensitas interaksi social ibu dengan kekerasan pada anak, dengan koefisien korelasi sebesar rxy = -0,420 dan p = 0,000 (p < 0,01). Hal ini berarti bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan istri dengan keterlibatan suami dalam pengasuhan. Maka hipotesis yang diajukan peneliti diterima. Semakin tinggi intensitas interaksi social ibu, maka semakin rendah kekerasan pada anak, semakin rendah intensitas interaksi social ibu , maka semakin tinggi tingkat kekerasan pada anak. Intensitas interaksi sosial mempunyai sumbangan efektif sebesar 17,6 % terhadap tingkat kekerasan pada anak. Hal ini berarti masih terdapat 82,4% berasal dari sumbangan variabel lain yang turut berperan dalam menentukan tingkat kekerasan pada anak. Saran Berdasar penelitian ini, penulis memiliki beberapa saran, yaitu : 1. Bagi para orangtua hendaknya tetap menjalin hubungan baik dan membuka diri dengan lingkungan sekitar karena kekerasan pada anak dilakukan karena sang orangtua memiliki masalah jadi dengan membuka diri dengan orang lain orangtua dapat menceritakan masalahnya atau meminta bantuan kepada tetangga atau saudara ketika ada masalah bukan dengan melampiaskan kekesalan pada anak, selain itu orangtua juga harus tetap bersikap bijaksana terhadap anak mengenai bagaimana kita dapat mendidik anak tanpa harus membahayakan atau merugikan anak. 16 2. Untuk peneliti yang mengambil tema sejenis, hendaknya memperhatikan faktor – faktor lain yang mempengaruhi kekerasan pada anak seperti faktor ekonomi yang banyak disebut sebagai penyebab utama orangtua melakukan kekerasan pada anak karena sebagian besar kasus kekerasan pada anak terjadi pada keluarga yang kurang mampu atau mengenai status oarangtua apakah orangtua kandung atau orangtua tiri, faktor lain yang juga penting untuk diteliti adalah latar belakang keluarga asal, banyak orangtua yang melakukan kekerasan juga merupakan korban kekerasan yang dilakukan orangtua mereka dulu. 17 DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, A. Drs. H. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta Azwar, S. 2003. Penyusunan Alat Ukur Psikologi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar Balita Jadi Korban Ritual. Juni 2005. Tabloid Nyata. Berndt, T. J. 1997. Child Development. USA: Brown&Benchmark Publisher. Berns, R. M. 2004. Child, School, Community Socialization&Support. Belmont: Thomson Learning Inc. Chaplin, JP. 2000. Kamus Psikologi.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Drever, J. 1986. Kamus Psikologi. Jakarta: PT. Bina Aksara. Hetherington, E. M&Parke, R. D. 1993. Child Psychology A Contemporary Viewpoint 4 th edition. New York: Mc. Graw Hill Inc. Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Kartono, K. Dr.& Gulo, D. 1987. Kamus Psikologi. Bandung: CV. Pionir Jaya. Ling, Y & Dariyo, A. 2002. Interaksi Sosial Di Sekolah dan Harga Diri Pelajar Sekolah Menengah Umum. Phronesis Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. Vol 4 No. 7, 3549 Nauzubillah, Ibu Tega Habisi Anak Kandung. 1-7 Juli 2004. Tabloid Nurani. Olson, D. H&DeFrain, J. 2003. Mariages and Families Intimacy, Diversity, and Strengths. New York: Mc. Graw Hill Inc. Papalia, D. F, Olds, S.W &Feldman, R. D. 2002. A Child’ s World Infancy Through Adolesence. New York: Mc. Graw Hill Inc. Patnani, M, Ekowarni, E dan Etsem, M. B. 2002. Kekerasan Fisik terhadap Anak dan Strategi Coping yang Dikembangkan Anak. Indigeneous Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, Vol 6 No. 1, 40-51. Popenoe, D. 1977. Sociology. New Jersey: Prentice Hall Inc. 18 Santrock, J. W. 1998. Child Development International edition 8th ed. New York: Mc.Graw Hill. ___________. 1995. Life Span Development Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga Sarwono, S. W. Prof. Dr. 2002. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sugiarto, S, Prambahan D. S dan Pratitis, N. T. 2004. Pengaruh Social Story Terhadap Kemampuan Berinteraksi Sosial Pada Anak Autis. Anima Indonesian Psychological Journal, Vol.19 No 3, 250-270. Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Tursilarini, Tateki Y. 2005. Tindak Kekerasan Terhadap Anak: Suatu Tinjauan Aspek Budaya. Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol IV No. 13. www.kompas.com/kesehatan/news/0601/1025/085522.htm www.pdat.co.id/hg/reference_pdat/2005/2005/01/03/uu%20RI%20nomor2023%tah un%202002%20tentang%20perlindungan%20anak.doc www.pikiranrakyat.com/cetak/2006/012006/15/hikmah/utama01.htm 19 IDENTITAS PENULIS: NAMA : FAUZIAH FIRDA ALAMAT : JL. AROWANA BTN XV/11 JEMBER NO TELEPON : 0331-484433