VOL. VII - NO. 1. JULI - AGUSTUS 2012 DAFTAR ISI 36 | SELINTAS Mahkamah Syar’iyah Aceh Bangunan Keadilan Masyarakat Aceh . 13 | LAPORAN UTAMA Komisi Yudisial di Ruang Akademis K ehadiran Komisi Yudisial telah menjadi pusat perdebatan dan perhatian berbagai kalangan. Seorang hakim tinggi dan seorang anggota Komisi Hukum DPR menulis disertasi tentang Komisi Yudisial. Karya-karya lain hadir pula dengan sudut pandang dan fokus kajian berbeda. Bagaimana para penulis karya tersebut memandang Komisi Yudisial? 3 | AKTUAL 50 | KOMPARASI Ragam kegiatan internal maupun eksternal Komisi Yudisial. Sosialisasi, seminar, audiensi dan lain-lain. Rekrutmen dan Pembinaan Hakim ala Korsel dan Turki 28 | SUDUT HUKUM Puasa bagi Para Hakim Peran Kebangsaan Seorang Hakim 32 | LEBIH DEKAT 39 | LAPORAN KHUSUS Kesejahteraan Hakim Jadi Prioritas Komisi Yudisial Tuntutan hakim di Indonesia yang meminta perbaikan status dan kesejahteraan sejatinya telah menjadi perhatian Komisi Yudisial, bahkan persoalan tersebut telah disampaikan pimpinan dan anggota Komisi Yudisial periode 2010 - 2015 ke hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awal 2011. 52 | DOTKOM Laman Harapan dari Pengadilan M. Hatta Ali Ketua Mahkamah Agung KY dan MA Harus Bersinergi Wujudkan Keagungan Peradilan 54 | RESENSI Reformasi Peradilan yang Berorientasi Sosial 56 | KONSULTASI HUKUM 47 | KATA YUSTISIA Sidang MKH Tabunya Hakim Bertemu Pihak Berperkara Sengketa Pra Yudisial dan Beracara dalam Perkara Perdata 58 | RELUNG Cangkir yang Cantik EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 1 1 8/8/2012 1:02:17 PM SEKAPUR SIRIH Assalamualaikum. wr.wb Pembina Anggota Komisi Yudisial Penanggung Jawab Muzayyin Mahbub Redaktur Patmoko Editor Suwantoro M. Yasin Dewan Redaksi & Sekretariat Arif Budiman Adnan Faisal Panji Aran Panji Jaya A.J Day Afifi Arnis Duwita Diah Purwadi M. Ilham M. Purwadi Nur Agus Susanto Prasita Romlah Pelupessy Penasehat Redaksi Andi Djalal Latief Hermansyah Desain Grafis & Fotografer Ahmad Wahyudi Dinal Fedrian Widya Eka Putra U ndang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 13 Agustus 2004. Berselang hampir setahun kemudian, 2 Agustus 2005, anggota Komisi Yudisial jilid I mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tanda dimulainya kiprah Komisi Yudisial. Inilah sebabnya bulan Agustus menjadi istimewa bagi Komisi Yudisial. Bulan Agustus adalah momen kelahiran Komisi Yudisial. Seiring perjalanan waktu sejak kelahirannya, kajian tentang kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan pun menjadi pilihan mahasiswa fakultas hukum dari program sarjana hingga doktor untuk dijadikan skripsi hingga disertasi. Selain itu, buku-buku yang membahas Komisi Yudisial juga bermunculan. Selain tema tentang kedudukannya, isu seksi lain yang sering dijadikan obyek penelitian adalah tugas komisi ini dalam melakukan pengawasan hakim. Inilah sebabnya dalam momen ulang tahun kali ini redaksi mengangkat berbagai hasil penelitian, utamanya disertasi, dan buku-buku yang membahas tentang Komisi Yudisial. Kami mewawancarai para penulis disertasi dan buku itu untuk mengetahui motivasi kepeduliannya pada Komisi Yudisial. Hasil penelitian dan tulisan mereka tentu membawa kritik dan masukan sangat bermanfaat bagi Komisi Yudisial. Semua kisah itu disajikan dalam rubrik Laporan Utama bertema “Komisi Yudisial di Ruang Akademis”. Momen ulang tahun kali ini juga bertambah istimewa berkat disepakatinya draft Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden oleh tim lintas lembaga tentang status dan kesejahteraan hakim. Terasa sangat istimewa karena amanat baru yang wajib ditanggung oleh Komisi Yudisial sesuai UU No. 18 Tahun 2011 adalah mengupayakan peningkatan kesejahteraan hakim. Amanat ini sesungguhnya berat namun berhasil disepakatinya draft peraturan tersebut pastinya menggembirakan bagi Komisi Yudisial terlebih bagi para hakim. Cerita tentang kesejahteraan hakim yang menjadi prioritas Komisi Yudisial hingga mendekati kenyataan ini kami sajikan dalam rubrik Laporan Khusus. Masih banyak cerita-cerita menarik lainnya yang disajikan dalam Buletin edisi HUT Komisi Yudisial ini. Dirgahayu Komisi Yudisial. Sirkulasi & Distribusi Biro Umum Selamat Membaca. Alamat Redaksi Komisi Yudisial Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat PO.BOX 2685 Telp: (021) 390 6215 Fax: (021) 390 6215 e-mail: buletin@komisiyudisial. go.id website: www.komisiyudisial. go.id 2 EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 2 8/8/2012 1:02:29 PM BULETIN KOMISI YUDISIAL/LUKMAN AKTUAL Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial Taufiqurrohman Syahuri menjadi narasumber acara Sosialisasi dan Penjaringan Calon Hakim Agung di Bandung, (22 /6/2012) . Mencari Kembali CHA yang Berkualitas dan Berintegritas K omisi Yudisial kembali menggelar seleksi calon hakim agung di tahun 2012. Seleksi kali ini untuk menggantikan empat hakim agung yang akan pensiun hingga Januari 2013 dan satu hakim agung untuk melengkapi kekurangan seleksi sebelumnya. Pelaksanaan seleksi ini sesuai surat permintaan Mahkamah Agung No. 048/KMA/Hk.01/2012 tanggal 16 Mei 2012 perihal pengisian jabatan hakim agung yang ditujukan kepada Ketua Komisi Yudisial. Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurrohman Syahuri mengatakan empat hakim agung yang akan pensiun pada semester II 2012 terdiri dari satu hakim agung kamar perdata, satu hakim agung kamar tata usaha negara, dan dua hakim agung kamar pidana. Sementara kekurangan hasil seleksi sebelumnya -semester I 2012- berasal dari kamar pidana. Masa pendaftaran calon hakim agung (CHA) berlangsung dari tanggal 8 sampai dengan 28 Juni 2012. Saat masa pendaftaran Komisi Yudisial melaksanakan sosialisasi dan penjaringan calon hakim agung di kota Banda Aceh, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Ambon. Tercatat, 119 CHA yang mendaftar. Komposisinya terdiri dari 87 hakim karir dan 32 dari jalur non karir. Rapat pleno Komisi Yudisial pada tanggal 16 Juli 2012 kemudian memutuskan 81 CHA dinyatakan lulus seleksi administrasi. Adapun komposisi tersebut yaitu 58 orang dari hakim karier dan sisanya 23 orang dari jalur non karier. Tahapan seleksi calon hakim agung berikutnya yaitu pembuatan karya tulis di tempat, penyelesaian kasus hukum, dan penilaian karya profesi CHA. Proses ini telah dilaksanakan pada 1 - 2 Agustus 2012 di Bogor dan Surabaya. Dari 81 CHA yang berhak mengikuti seleksi ini, tiga orang diantaranya mengundurkan diri. Komitmen Komisi Yudisial untuk mencari calon hakim agung yang memiliki kualitas dan integritas tetap konsisten untuk dijalankan dalam pelaksanaan seleksi kali ini. “Kami tetap mengutamakan kualitas dan integritas dan tetap berani menyerahkan hasil seleksi ke DPR meski tidak memenuhi kuota,” kata Taufiq saat konferensi pers pembukaan pendaftaran seleksi di Kantor Komisi Yudisial, Jumat (8/6). (Dinal) EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 3 3 8/8/2012 1:02:34 PM AKTUAL BULETIN KOMISI YUDISIAL/ IDEN Opini WTP Kelima Komisi Yudisial Sekjen Komisi Yudisial Muzayyin Mahbub menerima secara simbolis opini WTP dari Ketua BPK Hadi Purnomo. K o m i s i Yu d i s i a l k e m b a l i mendapatkan opini Wajar Tanpa Pegecualian ( WTP) untuk kelima kalinya secara berturut turut sejak tahun 2008. Penyerahan opini WTP atas pengelolaan laporan keuangan itu disampaikan oleh BPK akhir Juni lalu. Dalam sambutannya Anggota I BPK RI Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, Komisi Yudisial telah memenuhi kriteria berdasarkan empat aspek pemeriksaan, yaitu: kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintah, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern. Sekjen Komisi Yudisial, Muzayyin Mahbub mengungkapkan opini WTP ini bukan berarti Komisi Yudisial telah sempurna dalam pengelolaan keuangan, tapi merupakan spirit untuk mempertahankan opini WTP pada tahun-tahun berikutnya. “Dan kekurangsempurnaan di sana sini harus kami lakukan perbaikannya,” paparnya setelah menerima penghargaan. Dia juga mengucapkan terima kasih kepada segenap karyawan di Komisi Yudisial yang memiliki komitmen tinggi untuk mendorong pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel. (Iden) Anggaran Penyerapan Maksimal Komisi Yudisial S ekretaris Jenderal Komisi Yudisial, Muzayyin Mahbub, menyampaikan realisasi anggaran Komisi Yudisial semester I 2012 mencapai lebih dari 40%. Penyerapan ini merupakan tertinggi nomor dua bagi kementerian/lembaga menurut catatan Kantor Perbendaharaan Kas Negara Jakarta IV. Hal tersebut disampaikan Muzayyin dalam rapat kerja tengah tahun Komisi Yudisial yang dihadiri Ketua, Wakil Ketua, dan para Anggota Komisi Yudisial serta pejabat struktural eselon II, III, dan IV Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial. Selain itu, Muzayyin juga menyampaik an bahwa dalam 4 pengelolaan anggaran tahun 2011, Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun ini kembali memberikan opini tertinggi dalam pengelolaan anggaran yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bagi Komisi Yudisial. Opini ini merupakan yang kelima kali secara berturut-turut diperoleh Komisi Yudisial. Sementara itu, Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman, mengamanatkan perlunya penempatan pegawai sesuai kompetensi. Hal ini terutama untuk mengakomodasi peran Komisi Yudisial yang semakin signifikan pasca pengesahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011. “Tidak ada pilihan bagi organisasi dalam menghadapi perubahan kecuali membenahi sumber daya manusia (SDM). Maka diperlukan penempatan pegawai sesuai kompetensi, sesuai kemampuannya,” ujar Eman pada saat pembukaan rapat kerja tersebut di Bandung, (5/7). Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 adalah Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Undang-undang tersebut memberikan beberapa amanat baru bagi Komisi Yudisial sehingga diperlukan perubahan organisasi di lingkungan Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial. (Nura) EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 4 8/8/2012 1:02:36 PM Hubungan Antar Lembaga BULETIN KOMISI YUDISIAL/ WIRA Merajut Sinergi dengan Organisasi Keagamaan dan Kepemudaan Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman berjabat tangan dengan perwakilan dari PBNU setelah penandatanganan MoU. Adapun ruang lingkup kerja sama ini ialah sosialisasi dan kampanye bersama dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim dan penegakan hukum, partisipasi dalam pelaporan dan pengawasan kinerja hakim di Indonesia, menjadi narasumber dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial maupun OKP, dan program lain yang disepakati demi kemajuan bangsa. Melalui kerja sama ini diharapkan akan terjadi sinergisitas antara Komisi Yudisial dan OKP dalam mewujudkan peradilan yang bersih, imparsial, Wakil Ketua Komisi Yudisial Imam Anshori Shaoleh dan Sekjen transparan dan Komisi Yudisial Muzayyin Mahbub berfoto bersama dengan perwakilan organisasi kepemudaan setelah penandatanganan akuntabel. BULETIN KOMISI YUDISIAL/ JAYA K omisi Yudisial menjalin kerja sama dengan tujuh organisasi kepemudaan (OKP) dalam rangka memperluas dukungan terhadap peradilan bersih di Indonesia. Adapun tujuh OKP tersebut adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Persatuan Pelajar Islam (PPI), Gerakan Pemuda Indonesia (GPI), dan Generasi Muda Budhis Indonesia (GMBI). Penandatanganan kerja sama dilakukan oleh Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial, Muzayyin Mahbub, dengan masing-masing ketua OKP yang dilaksanakan pada 17 Juli 2012 bertempat di Auditorium Komisi Yudisial. Sebelumnya, pada 18 Juni 2012 Komisi Yudisial juga menjalin kerjasama dengan enam organisasi keagamaan. Kerjasama tersebut juga diformalkan dalam kegiatan penandatanganan MoU. Enam organisasi keagamaan itu adalah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan DPP Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi). Ketua Komisi Yudisial, Eman Suparman, mengatakan tujuan penandatanganan MoU ini agar fungsi pengawasan yang dijalankan Komisi Yudisial lebih optimal. “Kerjasama ini sangat penting untuk menciptakan peradilan yang bersih dari praktik mafia peradilan yang salah aktornya adalah hakim. Penegakan profesionalitas dan integritas moral hakim merupakan tanggung jawab bersama,” katanya. M e n u r u t ny a , o r g a n i s a s i keagamaan mempunyai peran dalam mengawal integritas moral para hakim dari sisi keagamaan/keimanan. (Nura) MoU. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 5 5 8/8/2012 1:02:46 PM AKTUAL Penelitian Putusan Hakim Suatu Upaya Peningkatan Kapasitas Hakim K hakim. Hal tersebut diungkapkannya dalam pembukaan acara “Presentasi Laporan Penelitian Putusan Hakim Tahun 2012 (Tahap II)”, di Hotel Horison Bandung, Jum’at, (15/6). Acara yang berlangsung tanggal 14-16 Juni 2012 ini dihadiri oleh Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Andalas (Unand), Universitas Jambi, Universitas Lampung, Universitas Pancasila, Universitas Pasundan, Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Udayana, Universitas Jendral Soedirman (Unsoed), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Tanjung Pura, Universitas 45 Makassar dan Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa). Eman mengungkapkan, kegiatan ini merupakan kerjasama Komisi Yudisial dengan Jejaring Perguruan Tinggi (PT) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terdiri dai 14 PT dan satu LSM yang dipilih berdasarkan hasil evaluasi kinerja dalam penelitian putusan sebelumnya. K e t u a K o m i s i Yu d i s i a l menambahkan, ia berharap para hakim melalui putusan yang dihasilkannya menjadi kontributor dalam pelayanan terhadap publik dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. “Semakin berkualitas putusan yang dihasilkan maka peran lembaga yudikatif akan semakin dirasakan konstribusinya serta manfaatnya bagi masyarakat, bangsa dan negara” tambah Guru Besar Universitas Padjadjaran ini. (Jaya) BULETIN KOMISI YUDISIAL/ JAYA omisi Yudisial sebagaimana diatur dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dapat menganalisis putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan legalitas yang dimiliki itu Komisi Yudisial secara rutin setiap tahun melakukan penelitian putusan hakim yang dilakukan oleh perguruan tinggi. Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman mengungkapkan, penelitian putusan hakim ini dilakukan guna menopang tugas Komisi Yudisial dalam memotret kualitas putusan hakim, yang nantinya dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi calon hakim agung. Penelitian putusan hakim juga dilakukan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan kapasitas Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman didampingi para Ketua Bidang saat menghadiri presentasi hasil penelitian putusan hakim tahun 2012 tahap II di Bandung. 6 EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 6 8/8/2012 1:02:54 PM BULETIN KOMISI YUDISIAL/ ANDRI Peradilan Bersih Butuh Kerjasama Berbagai Elemen Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Komisi Yudisial Ibarahim menjadi pembicara pada simposium internasional di Surabaya. K etua Bidang Hubungan Antar Lembaga Komisi Yudisial, Ibrahim, menghimbau agar berbagai elemen saling bekerjasama dalam menguatkan dan mewujudkan peradilan bersih di Indonesia. Penyamaan persepsi dari berbagai elemen tersebut diharapkan dapat meminimalisir tantangan dalam upaya mewujudkan peradilan bersih. Hal tersebut dikatakannya ketika menjadi pembicara kunci pada simposium internasional bertajuk “Judicial Power and Challenge in Developing an Independent and Good Judiciary in Democratic System”, di Surabaya (29/6). Dalam membangun peradilan bersih, kata Ibrahim, perlu ada sistem pendukung yang penting yaitu sistem peradilan yang baik (fair and impartial enforcement/independent impartial enforcement as human right). Dalam konteks tersebut peran Komisi Yudisial melekat pada fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim yang menjadi kewenangannya. Dalam melakukan fungsi pengawasan, Komisi Yudisial telah membangun kerjasama dengan jejaring baik itu perguruan tinggi maupun civil society. “Tujuannya untuk mempercepat perwujudan peradilan yang fair dan imparsial yang telah ada dalam blue print Mahkamah Agung Republik Indonesia,” ujar Ibrahim. Hakim, tambahnya, harus menjunjung tinggi fairness,fearless dan favorness. Favorness yang dimaksud adalah tidak mendukung masing – masing pihak. Hakim harus independen tetapi dibaliknya hakim juga harus memiliki akuntabilitas. Dan, pada akhirnya independensi hakim tidak bersifat absolut semata. Independensi hakim dalam melaksanakan kewenangannya memutus perkara bersifat relatif karena dibatasi hukum dan perundang-undangan. Saat penutupan simposium dilakukan penandatanganan MoU antara Komisi Yudisial dan Badan Kerjasama Akademisi untuk Pengawasan Pengkajian dan Pengembangan Peradilan di Indonesia (BKA-P4I). Melalui MoU tersebut menandakan komitmen Komisi Yudisial dan BKA-P4I untuk bekerjasama dalam program penguatan kelembagaan dan fungsi Komisi Yudisial serta program pengkajian dan peningkatan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Penandatanganan MoU dilakukan oleh Sekjen Komisi Yudisial, Muzayyin Mahbub dan Widodo wakil dari BKA-P4I. Radian Salman, Dosen FH Unair, mengungkapkan tujuan utama dari simposium internasional ini adalah menyamakan persepsi berbagai elemen yang terlibat dalam rangka penguatan dan perwujudan peradilan bersih. Elemen tersebut terdiri dari Komisi Yudisial, APHAMKA, CFG Thailand dan institusi pendidikan serta masyarakat. Simposium internasional ini terselenggara berkat kerjasama Komisi Yudisial, Hans Seidel Foundation, CFG Thailand, APHAMKA dan FH Universitas Dr. Sutomo. (Andri) EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 7 7 8/8/2012 1:03:06 PM AKTUAL Mengajak Advokat Tidak Menyuap Hakim BULETIN KOMISI YUDISIAL/ JAYA P rofesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, senantiasa melibatkan profesi advokat. “Saya minta para advokat seluruh Indonesia apapun organisasinya harus berani menolak permintaan hakim dan jangan berusaha untuk selalu ingin menang di dalam berperkara dengan menyuap hakim,” Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman mengungkapkan hal tersebut di Jakarta Media Center (Gedung Dewan Pers), Kebon Sirih, Jakarta, dalam rangka Sarasehan Nasional Pembangunan Indonesia Berkeadilan (Hukum dan HAM) yang diselenggarakan Gerakan Karya Justitia Indonesia (GKJI), akhir Juni lalu. Nakalnya para hakim, lanjut Eman, disebabkan antara lain situasi Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman menjadi pembicara pada sarasehan nasional di Jakarta. dan keadaan yang membuat mereka jadi nakal dengan memanfaatkan segala peluang untuk melakukan pelanggaran. Di akhir ceramah yang dibawakan, Eman mengajak seluruh anggota GKJI dapat bahu membahu dengan Komisi Yudisial Pengadilan HAM di Indonesia BULETIN KOMISI YUDISIAL/ LUKMAN Melanggengkan Impunity Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki berfoto bersama setelah peluncuran buku di Universitas Sriwijaya Palembang. K elemahan undang-undang, tidak adanya kemauan hukum dan politik, serta tidak adanya komitmen kemanusiaan negara dan agen-agen negara dalam menyelesaikan 8 pelanggaran berat HAM masa lalu, selain menjadi alasan kegagalan pengadilan HAM ad hoc, juga menjadi sebab tidak adanya proses lebih lanjut atas pelanggaran berat HAM masa lalu. untuk memberantas mafia peradilan yang tidak akan selesai kalau hakimnya tidak baik. “Peran serta anggota GKJI dibutuhkan mencapai tujuan itu,” tutup Eman. (Jaya) Hal tersebut mengemuka dalam diskusi peluncuran buku berjudul “Pengadilan HAM di Indonesia Melanggengkan Impunity” karya Anggota Komisi Yudisial Suparman Marzuki. Acara ini berlangsung di ruang Zainul Arifin Universitas Sriwijaya, Palembang, (12/07). Masalah utama yang menghantui penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah bayang-bayang kegagalan. Seminar nasional dan peluncuran buku ini dibuka Rektor Universitas Sriwijaya Badia Perizade, dipandu oleh moderator Ruben Ahmad dan pembicara lainnya yakni Hakim Agung Artidjo Alkostar dan Dekan FH Unsri Amzulian Rifai. Menurut Badia, seminar nasional dan peluncuran buku sangat penting dan berguna untuk memberikan wawasan khususnya bagi dosen, mahasiswa dan masyarakat. (Lukman) EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 8 8/8/2012 1:03:22 PM Muhammadiyah Berperan Wujudkan Keadilan di Pengadilan BULETIN KOMISI YUDISIAL/ RAY K eberadaan Muhammadiyah merupakan salah satu aset terbesar bangsa Indonesia Anggota Komisi Yudisial Taufiqurrohman Syahuri mengatakan, Muhammadiyah memiliki beragam badan usaha seperti perguruan tinggi yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Menyadari hal tersebut, Muhammadiyah memiliki kesadaran untuk mempersiapkan kader-kader penerus bangsa yang mampu mewujudkan harapan pendiri bangsa khususnya keadilan dalam proses penegakan hukum. “Muhammadiyah mensyaratkan pemimpin yang bersikap adil, bermoral baik, dan menerima kritik untuk membangun,” kata Taufiq pada saat menjadi pembicara dalam pertemuan tiga bulanan Muhammadiyah Cabang Senggom, Brebes, pertengahan Juni lalu. Keadilan, lanjut Taufiq, menurut ajaran Islam merupakan perintah Allah SWT sebagaimana tersurat dalam Al Maidah ayat 8 yang berbunyi: “Hai Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial Taufiqurrohman Syahuri menghadiri dan menjadi narasumber pertemuan tiga bulanan Muhammadiyah cabang Senggom, Brebes. orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Merujuk pada perintah tersebut, maka keadilan harus menjadi komitmen bersama aparat hukum, termasuk di dalamnya kader Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia. (Ray) Ketum PBNU: Tekankan Kekuatan Spiritual pada Ramadhan 1433 H BULETIN KOMISI YUDISIAL/ FAJAR D Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj menjadi pembicara dalam pengajian menyambut Ramadhan di kantor KY. alam rangka menyambut bulan suci Ramadhan 1433 H, Komisi Yudisial menyelenggarakan pengajian dan tausiyah. Kegiatan itu dibuka oleh Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman. Tujuan kegiatan ini adalah mempersiapkan jiwa dan rohani dalam menyongsong bulan Ramadhan. Inti dari acara ini diisi dengan Tausiyah oleh Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj. Ia menekankan tiga hal dalam menyambut bulan suci Ramadhan yaitu kebenaran ilmiah, kebenaran iman dan kebesaran hati. “Ketiganya sebagai kekuatan spiritual,” ujarnya di hadapan seluruh pimpinan dan pegawai Komisi Yudisial serta para undangan, Senin (16/7), bertempat di Auditorium Komisi Yudisial. (Fajar) EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 9 9 8/8/2012 1:03:37 PM AKTUAL Komisi Yudisial Dampingi Hakim Tuntut Haknya K omisi Yudisial memilik i kewajiban moral mendampingi para hakim memperjuangkan hak-haknya, termasuk kesejahteraan. Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman m e n g at a k a n , s e l a i n m e m i l i k i kewenangan pengusulan calon hakim agung dan pengawasan hakim, Komisi Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim. “Ini sebagai upaya untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim,” kata dia dalam acara seminar nasional yang diselenggarakan oleh Universitas Slamet Riyadi Surakarta (Unisri) dengan tema “Kesejahteraan Hakim Masa Kini untuk Mewujudkan Peradilan yang Bersih dan Berwibawa” di bulan Juni lalu. Eman menambahkan upaya peningkatan kapasitas hakim melalui peningkatan kesejahteraan hakim telah dilakukan oleh Komisi Yudisial. Misalnya pada awal Februari 2011 Komisi Yudisial melakukan kunjungan kerja ke Surabaya dan Semarang untuk mendapatkan kejelasan mengenai permasalahan hak-hak keuangan para hakim ad hoc Tipikor yang belum diterima. “ Terkait masalah tersebut Komisi Yudisial menyampaikan kepada Kementerian Keuangan untuk memperhatikan permasalahan hak-hak keuangan para hakim tersebut agar segera diselesaikan, ” ujarnya dihadapan para peserta seminar yang terdiri dari para hakim pengadilan negeri dan tinggi di Jawa Tengah dan para mahasiswa beserta dosen Fakultas Hukum Unisri. Laporan Wartawan Membantu Tugas Komisi Yudisial BULETIN KOMISI YUDISIAL/ NURA P 10 eran media dalam mewujudkan peradilan bersih tidak perlu diragukan oleh semua pihak. Berbekal tulisannya, wartawan dapat mendorong peradilan menjalankan tugasnya dengan baik. Anggota Komisi Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Komisi Yudisial Ibarahim didampingi Sekjen Muzayyin Mahbub dan Kepala Bagian Perencanaan dan Hukum Roejito saat bertandang ke kantor Pontianak Post. Lebih lanjut Eman menegaskan peningkatan kualitas, integritas, serta moralitas para hakim dalam arti seutuhnya saat ini menjadi perhatian Komisi Yudisial dalam rangk a peningkatan kualitas hakim. Karena hal ini sejalan dengan tugas serta kewenangan konstitutional Komisi Yudisial yaitu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. “Demikian pentingnya aspek moralitas ini dibina secara terus menerus oleh karena hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi, yang putusannya harus menjadi mahkota bagi dirinya serta memberikan manfaat bagi masyarakat, memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum,” ungkap Eman. (Emry) Yudisial, Ibrahim, mengatakan media adalah salah satu alat sosialisasi yang efektif. Bahkan laporan dari wartawan sangat berguna membantu kerja Komisi Yudisial. “Tulisan teman-teman media mendukung data dan rekam jejak calon hakim agung,” kata Ibrahim yang juga Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga pada saat bertandang ke kantor Pontianak Post, Jalan Gajah Mada, Pontianak, (8/6), yang didampingi Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Muzayyin Mahbub. Selain hal itu, kata Ibrahim, media juga memberikan informasi tentang perilaku hakim dimana hal itu menjadi kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasinya. Dalam kasus-kasus yang menyita perhatian publik maka hakim tidak berani melakukan perbuatan-perbuatan yang mendorong terjadinya pelanggaran perilaku. (Nura) EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 10 8/8/2012 1:03:43 PM Usaha Komisi Yudisial Mencegah Pelanggaran KEPPH BULETIN KOMISI YUDISIAL/ NURA K ode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) menjadi dasar komitmen bersama Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam penyelenggaraan pengawasan hakim. Salah satu langkah untuk menginternalisasikan KEPPH ini melalui sosialisasi dan workshop kepada hakim yang diselenggarakan di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), (24/5). Kegiatan yang bertajuk “Mencari Solusi Bersama dalam rangka Mencegah Terjadinya Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim”, berlangsung di Aula Mahkamah Syariah Aceh. Acara ini dihadiri oleh Ketua Bidang Investigasi dan Pengawasan Hakim Suparman Marzuki dan Ketua Bidang Pencegahan dan Pelayanan Masyarakat H. Abbas Said. Selain keduanya yang mewakili Komisi Yudisial, kegiatan ini menghadirkan narasumber lain yaitu Ketua Pengadilan Tinggi Aceh H. M. Mas’ud Halim, dan Wakil Ketua Mahkamah Syariah Aceh H. Armia Ibrahim. Suparman dalam kesempatan itu mengatakan keberadaan Komisi Pelaksanaan Diskusi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang diselenggarakan Komisi Yudisial di Nanggroe Aceh Darussalam. Yudisial tidak semata-mata melakukan pengawasan bersifat represif namun juga menjalankan pengawasan preventif. Salah satu upaya yang dilakukan dalam kerangka pengawasan preventif ialah meningkatkan kapasitas hakim dan berusaha mewujudkan kesejahteraan hakim. “Hakim sebagai pejabat negara sehingga fasilitasnya harus sesuai Hubungan Antar Lembaga Komisi Yudisial Jalin Kerja Sama dengan UIN Sunan Gunung Djati K omisi Yudisial dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati berkomitmen untuk bekerja sama diawali dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara kedua lembaga di aula utama UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, (26/5). Ketua Komisi Yudisial, Eman Suparman, mengungkapkan melalui kerjasama ini diharapkan ada proses saling tukar menukar informasi tentang hasil pemantauan peradilan. Namun, tambahnya, informasi yang akan disampaikan ke Komisi Yudisial itu harus berdasarkan fakta dan bukti yang nyata. Lebih lanjut, Guru Besar Universitas Padjadjaran ini juga memberikan peluang pada pihak UIN Sunan Gunung Djati dalam bidang penelitian atas putusan-putusan yang dikeluarkan oleh hakim-hakim pengadilan agama. “Hakim pengadilan agama berpotensi untuk dicalonkan menjadi hakim agung kamar agama, sehingga untuk memetakan profesionalismenya maka putusannya dengan posisi tersebut,” papar Suparman di hadapan 79 hakim se-wilayah NAD. Sementara itu, Abbas said menekankan bahwa hakim adalah profesi mulai sehingga harus dijaga martabat dan keluhurannya. Konsekuensinya para hakim seharusnya tidak melakukan perbuatan yang tercela dan mencederai kewibawaannya.(NurA) diteliti oleh para akademisi yang kompeten di bidangnya,” papar Eman. Sementara itu Oyo Sunaryo Mukhlas, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati, mengatakan tujuan utama penandatanganan nota kesepahaman ini untuk mendorong partisipasi dari kalangan akademisi di bidang pengawasan penegakan hukum di Indonesia, melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat dalam bingkai Tridharma Perguruan Tinggi. Dalam kesempatan itu juga diadakan seminar nasional yang berjudul ”Revitalisasi Peran dan Fungsi Komisi Yudisial dalam Pengawasan Penegakan Hukum di Indonesia”. (Adnan). EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 11 11 8/8/2012 1:03:53 PM AKTUAL Kuliah Umum di Universitas Jambi BULETIN KOMISI YUDISIAL/ JAYA Budaya Hukum Faktor Penting Penegakan Hukum Ketua Bidang SDM dan Litbang Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus dan Sekjen Muzayyin Mahbub menjadi pembicara dalam kuliah umum di Universitas Jambi. M enegakkan hukum yang berkeadilan tidak dapat dilaksanak an melalui pendekatan struktur melalui aparat hukum semata, namun juga melalui pendekatan substansi dan budaya. Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus mengatakan banyak persoalan dalam proses penegakan hukum dipengaruhi berbagai faktor, sehingga bangsa ini belum bisa keluar dari berbagai persoalan hukum. Faktor tersebut adalah aspek substansi hukum, aspek struktur hukum dan aspek budaya hukum. “Sebaik-baiknya struktur hukum dan substansi hukum kalau aspek budaya hukum belum maksimal maka penegakan hukum akan terus menjadi persoalan,” ungkap pria asal Kuningan ini dalam Kuliah Umum Etika dan Tanggung Jawab Profesi “Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Jambi, Sabtu (2/6). Sementara itu, Sekretaris Jendral Komisi Yudisial Muzayyin Mahbub pada acara yang sama mengupas persoalan tentang kelembagaan Komisi Yudisial terkait kewenangannya dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung ke DPR dan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim. “Dua kewenangan ini sangat strategis, dalam mewujudkan peradilan yang bersih dan menciptakan hakim-hakim yang baik,” ungkap pria kelahiran Brebes ini. Dalam hal rekomendasi sanksi, saat ini telah diatur bahwa rekomendasi yang disampaikan Komisi Yudisial kepada Makamah Agung terkait pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bersifat mengikat. Acara yang berlangsung di Auditorium Rektorat Universitas Jambi ini merupakan kerjasama Komisi Yudisial dengan Fakultas Hukum Universitas Jambi, dalam kerangka materi ajar tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. (Jaya) Panggilan “Yang Mulia” Hanya Milik Hakim J abatan publik yang mendapatkan kehormatan adalah hakim. Oleh sebab itu tidak berlebihan apabila hakim dipanggil dengan sebutan “Yang Mulia”. Sebutan ini bahkan tidak dimiliki oleh profesi yang lain. Menurut Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Komisi Yudisial, Ibrahim, sebutan “Yang Mulia” memang pantas disematkan kepada korps hakim, mengingat keberadaan hakim sangat penting dalam penegakan hukum. 12 Hakim menentukan nasib seseorang sehingga disebut sebagai wakil Tuhan di dunia. Oleh sebab itu, hakim memiliki independensi yang tidak boleh dimasuki oleh lembaga lain termasuk Komisi Yudisial. “Meski demikian, ada batasan-batasan dalam menjaga independensi tersebut,” paparnya. Hal di atas dikemukakan oleh Ibrahim ketika menjadi narasumber dalam kegiatan sosialisasi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bertempat di Hotel Kapuas Palace, Pontianak, awal Juni lalu. Terkait dengan penyelenggaraan kegiatan, Ibrahim menambahkan kegiatan sosialisasi ini dibutuhkan untuk mencapai tujuan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yaitu membangun peradilan yang bersih. “Keputusan hakim tidak akan memuaskan semua pihak. Tapi ada pendekatan dua belah pihak dimana putusan berdasarkan pada fakta di lapangan,” ujar dia. (Nura) EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 12 8/8/2012 1:04:05 PM LAPORAN UTAMA Komisi Yudisial di Ruang Akademis Dinal Fedrian B erhasil mempertahankan disertasi merupakan kebanggaan bagi seorang p r o m ove n d u s . A p a l a g i perjalanan mendapatkan gelar doktor dalam ilmu hukum itu dilakukan di tengah-tengah tugas mengabdi untuk negara dan kepentingan rakyat. Itulah yang dilakukan R. Achmad Dimyati Natakusumah. Anggota DPR itu berhasil mempertahankan disertasi di depan sidang Guru Besar Universitas Padjadjaran Bandung pada 8 Juni lalu. Judul disertasinya Kedudukan Komisi Yudisial dalam Mewujudkan Reformasi Peradilan. ILUSTRASI YUDI Kehadiran Komisi Yudisial telah menjadi pusat perdebatan dan perhatian berbagai kalangan. Seorang hakim tinggi dan seorang anggota Komisi Hukum DPR menulis disertasi tentang Komisi Yudisial. Karya-karya lain hadir pula dengan sudut pandang dan fokus kajian berbeda. Bagaimana para penulis karya tersebut memandang Komisi Yudisial? Sebagai anggota DPR, Dimyati melihat kelemahan kedudukan dan wewenang Komisi Yudisial dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004. Undang-undang tersebut akhirnya direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 yang disahkan pada 9 November 2011. Dalam disertasinya, Dimyati berpendapat bahwa Komisi Yudisial merupakan landing of the last resort dalam upaya membangun sistem peradilan yang bersih dan bebas dari mafia hukum. Dimyati bukan satu-satunya orang yang membawa tema tentang Komisi Yudisial ke bangku akademis. Atang Irawan, dosen Universitas Pasundan berhasil mempertahankan disertasi tentang Komisi Yudisial pada 9 Juli 2012 lalu. Dari kalangan hakim, tercatat nama H. Bunyamin Alamsyah. Melakukan kajian selama dua tahun diselingi tugas-tugas penting sebagai hakim, Bunyamin berhasil menyelesaikan dan mempertahankan disertasi doktor ilmu hukum ‘Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia’ di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, April 2010. Menurut hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandar Lampung ini, sebagai lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan, kehadiran Komisi EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 13 13 8/8/2012 1:04:09 PM DOC.PRI LAPORAN UTAMA Hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandar Lampung Bunyamin Alamsyah hendak memasuki ruang ujian sidang promosi doktor di FH UII, Yogyakarta. Yudisial patut dikaji lebih mendalam. Ada tiga alasan utama yang membuat Bunyamin Alamsyah menaruh perhatian pada Komisi Yudisial. Pertama, secara normatif, Komisi Yudisial hadir dalam kerangka pelaksanaan negara hukum. Dengan kata lain, kehadiran Komisi Yudisial mempunyai landasan konstitusional yang sangat kuat, seperti diatur dalam Pasal 20, 24, 24 A, 24 B, 24 C, dan Pasal 25 UUD 1945. Kedua, secara filosofis, para hakim yang mempunyai kedudukan terhormat perlu dijaga martabatnya. Komisi Yudisial diberikan wewenang konstitusional mengawasi perilaku hakim baik preventif maupun represif. “Nampak urgen bagi saya dari kacamata teoritis maupun praktis untuk mengkajinya,” kata Bunyamin. Alasan ketiga, secara sosiologis, Komisi Yudisial lahir sebagai satu jawaban atas reformasi lembaga kekuasaan kehakiman yang mempunyai peran 14 penting dalam mengawal dan berusaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Namun, diakui Bunyamin, proses penulisan disertasi tidaklah gampang. Selain karena banyak waktunya habis menjalankan tugas kedinasan sebagai hakim, juga karena literatur yang masih minim. Hakim peradilan agama kelahiran 5 Mei 1955 itu telah mengunjungi perpustakaan Universitas Padjadjaran di Bandung, Universitas Indonesia, dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Ternyata, masih sulit menemukan disertasi tentang Komisi Yudisial (lihat wawancara Bunyamin Alamsyah). Semua strata Penelusuran yang dilakukan tim redaksi buletin menemukan fakta bahwa sudah ada karya ilmiah pada semua jenjang pendidikan, strata-1 --hingga program doktor ilmu hukum yang membahas tentang Komisi Yudisial. Tema yang diangkat pun beragam, baik dari sisi kelembagaan maupun dalam rangka menjalankan fungsi-fungsinya. Belum dihitung karya ilmiah berupa artikel atau tulisan di media massa, buletin, dan jurnal, atau makalah yang dipresentasikan dalam diskusi ilmiah. Kita bisa menemukan ribuan artikel dengan sudut pandang dan fokus tulisan yang berbeda. Salah satu fokus perhatian para penulis adalah hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung pasca putusan Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Simon Butt, akademisi Australia, sampai menulis sebuah artikel, “Banishing Judicial Accountability? The Constitutional Court’s Decision in the Dispute Between the Supreme Court and the Judicial Commission”. Tulisan ini menjadi bagian dari buku Democracy and the Promise of Good Governance (Institute of Southeast Asia Studies, 2007). EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 14 8/8/2012 1:04:11 PM BULETIN KOMISI YUDISIAL/ JAYA Sidang promosi doktor R. A Dimyati Natakusumah dii FH Unpad. Disertasi Dimyati membahas tentang Komisi Yudisial. Di dalam negeri, perhatian kalangan akademis terhadap Komisi Yudisial jauh lebih besar. Kunjungan rombongan dosen dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi ke Komisi Yudisial memperlihatkan antusiasme. Apalagi selama ini Komisi Yudisial menjalin hubungan jejaring dengan kalangan kampus. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, Mustafa Abdullah, berpendapat Komisi Yudisial adalah lembaga yang menarik untuk diteliti dan dikaji secara akademis. Sebagai institusi negara yang relatif baru, banyak hal yang bisa dibahas. Fungsi pengawasan merupakan salah satu aspek penting yang, menurut Mustafa Abdullah, menarik untuk dilirik para peneliti dan civitas akademika. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan tim redaksi, dua aspek penting yang paling banyak mendapat perhatian kalangan akademisi dan praktisi adalah fungsi pengawasan hakim dan aspek kelembagaan Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pengawasan hakim Fungsi pengawasan Komisi Yudisial menjadi isu penting bagi kalangan akademisi dan praktisi hukum, terutama setelah ada permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Prim Fahrur Razi, mahasiswa magister ilmu hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang yang berprofesi sebagai hakim, termasuk yang tertarik meneliti masalah ini. Tesis Prim, Sengketa Kewenangan Pengawasan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, berhasil dia pertahankan pada 2007 silam di bawah bimbingan Dekan Fakultas Hukum Undip saat itu, Arief Hidayat. Menurut Prim, sulit dipungkiri bahwa Komisi Yudisial merupakan salah satu bagian dari paket reformasi peradilan mengingat berbagai sorotan buruk terhadap kinerja lembaga peradilan di Indonesia, baik pada tingkat judex facti maupun judex juris. Dalam tesisnya, Prim Fahrur Razi menguraikan bagaimana perbedaan pandangan para pakar hukum tentang fungsi pengawasan Komisi Yudisial. Menurut Prim, sengketa kewenangan pengawasan hakim lebih disebabkan kesalahpahaman atau perbedaan persepsi terhadap rumusan pasal 24 B UUD 1945. Revisi Undang-Undang Komisi Yudisial menjadi salah satu solusinya. Sesuai rumusan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, Komisi Yudisial menjalankan fungsi pengawasan terhadap hakim. Komisi Yudisial menjalankan fungsi pengawasan secara eksternal, sedangkan secara internal dilakukan oleh Mahkamah Agung. Bagaimana fungsi pengawasan kedua EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 15 15 8/8/2012 1:04:19 PM LAPORAN UTAMA UPN Veteran Jakarta. Maret lalu, Supriyansyah mempertahankan skripsi berjudul Penerapan Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Indonesia dalam Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman yang Mandiri. Dua tahun sebelumnya, Fitriyeni Fitri menulis Efektivitas Komisi Yudisial dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Hakim di Universitas Andalas Padang. Kelembagaan Aspek kedua yang paling banyak menarik perhatian peneliti adalah kelembagaan Komisi Yudisial. Bunyamin Alamsyah, Dimyati, Ahsin Thohari, Maurice Rogers dan Titik Triwulan Tutik adalah beberapa peneliti yang mengangkat isu ini. Ketika amandemen konstitusi memperkenalkan dua lembaga baru, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, timbul pertanyaan di benak para akademisi dan praktisi bagaimana “wajah” kedua lembaga itu kelak dan bagaimana hubungan fungsionalnya dengan lembaga negara lainnya. Rasa penasaran itulah, ditambah dorongan dari Jimly Asshiddiqie, yang membuat A. Ahsin Thohari mengangkat eksistensi Komisi Yudisial saat menyelesaikan magister hukumnya di Universitas Indonesia. Ahsin tergolong civitas akademika Indonesia pertama yang menulis dan menerbitkan buku tentang Komisi Yudisial. Di cetak lima ribu eksemplar, buku karya Ahsin pertama kali terbit pada Oktober 2004. Keputusan Presiden tentang pengangkatan tujuh orang komisioner Komisi Yudisial baru terbit pada 2 Juli 2005, dan sebulan kemudian para komisioner mengucapkan sumpah di hadapan Presiden sebagai tanda resmi bertugas. Karena itu pula karya Ahsin menjadi referensi penting tentang Komisi Yudisial. Dari Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, tercatat satu tesis yang mengkaji Komisi Yudisial dari sisi kelembagaan. Maurice Rogers, kelahiran 23 September 1984, menulis tesis Tinjauan Kritis Kedudukan BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL lembaga, juga telah menarik perhatian Tatang Ekatmoko dari Universitas Mataram, dan Andriyani di Universitas Airlangga. Tesis Andriyani mengangkat tema Hubungan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial Terhadap Perilaku Hakim (2007). Dalam menjalankan fungsi pengawasan, Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung tak akan bisa berjalan sendiri. Sebab, yang berhadapan langsung dengan para hakim sehari-hari adalah masyarakat pencari keadilan. Seorang karyawan Komisi Yudisial, Aris Purnomo, melihat pentingnya peran masyarakat sipil dalam pengawasan hakim. Dalam tesisnya dalam bidang sosiologi di Universitas Indonesia, Aris menulis tentang Penguatan Peran Komisi Yudisial dalam Pengawasan Hakim Melalui Civil Society (2011). Karena itulah, Aris menyatakan civil society tak bisa diabaikan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Tema pengawasan hakim juga menjadi pilihan Supriyansyah, mahasiswa Kunjungan mahasiswa fakultas hukum ke Komisi Yudisial pertanda cukup tingginya minat kalangan kampus terhadap Komisi Yudisial . 16 EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 16 8/8/2012 1:04:25 PM dan Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Amandemen UUD 1945. Dalam tesisnya, Rogers mengakui pentingnya pengawasan eksternal yang dilakukan Komisi Yudisial agar para hakim sungguh-sungguh melaksanakan tugas dan kewajibannya. Kehadiran Komisi Yudisial bisa mengimbangi peran parlemen dalam pengangkatan dan penilaian kinerja hakim. Penulis lain yang mengupas tentang kelembagaan Komisi Yudisial adalah Titik Triwulan Tutik. Ia menulis sebuah buku berjudul Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945. Buku ini diterbitkan pada 2007. Dari pandangan para penulis di atas dapat ditarik kesimpulan tentang pentingnya kehadiran Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan pada umumnya, dan reformasi dunia peradilan pada khususnya. Komisi Yudisial diharapkan mampu mengembalikan keagungan lembaga peradilan. Fokus kajian lain Ketua Komisi Yudisial, H. Eman Suparman mengatakan kajian-kajian tentang Komisi Yudisial selama ini masih lebih banyak berkutat pada kedudukan dan kewenangan khususnya pengawasan. “Saya melihat kajian-kajian orang tentang Komisi Yudisial masih seputar kedudukan lembaga ini dalam struktur ketatanegaraan,” ujarnya. Padahal, menurut Prof. Eman Suparman, masih banyak hal lain yang layak dijadikan fokus penelitian. Kewenangan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, misalnya, belum disentuh sama sekali oleh para peneliti. Memperkenalkan dan bekerjasama terus menerus dengan kalangan perguruan tinggi menjadi salah satu upaya untuk menambah jumlah kajian dan karya tentang Komisi Yudisial. Eman percaya dengan cara itu semakin banyak akademisi yang tertarik melakukan penelitian. Tentu saja, akan lebih bermanfaat jika fokus dan sudut pandang kajiannya berbeda-beda. Penelusuran yang lebih intens mungkin akan menemukan lebih banyak karya anak bangsa mengenai Komisi Yudisial. Apapun fokus perhatian para penulis, semuanya akan menjadi masukan bagi Komisi Yudisial ke depan dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya. Dirgahayu Komisi Yudisial. Ugensi Komisi Yudisial di Mata Mereka R. Achmad Dimyati Natakusumah (Anggota DPR/S-3 Unpad Bandung) Keberadaan dan kehadiran Komisi Yudisial dalam sistem negara hukum dan ketatanegaraan Indonesia memberikan harapan akan perbaikan sistem peradilan. Keberadaan Komisi Yudisial ke depan diharapkan terus sebagai pendorong dalam reformasi peradilan. Komisi Yudisial sebagai satu-satunya lembaga dalam bentuk komisi independen yang diatur secara tegas dalam konstitusi akan terus menjadi pelopor reformasi peradilan, khususnya dalam mencari dan memperbaiki kualitas dan integritas para hakim. H. Bunyamin Alamsyah (Hakim Tinggi Agama/S-3 UII) Komisi Yudisial merupakan lembaga negara baru yang bersifat mandiri, hal mana secara konstitusional legitimate. Ini menunjukkan bahwa lembaga negara ini sederajat dan sejajar dengan lembaga negara lainnya. Hal ini untuk memperkuat dan melengkapi negara hukum yang demokratis. Kedudukan Komisi Yudisial berada di ranah kekuasaan kehakiman, akan tetapi ia bukan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan pelaksana code of ethics atau kode etik hakim dengan melakukan pengawasan perilaku Hakim Agung dan hakim-hakim di bawah Mahkamah Agung. Prim Fahrur Razi (Hakim/S-2 Undip Semarang) Perlunya penyusunan Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyebutkan secara rinci tugas pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial, sehingga putusannya lebih jelas dan daya berlakunya semakin kuat. Maurice Rogers (S-2 USU Medan) Pengawasan eksternal terhadap hakim oleh Komisi Yudisial memegang peranan yang sangat penting dan bertujuan agar para hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 17 17 8/8/2012 1:04:26 PM LAPORAN UTAMA Dari Kritik Hingga Masukan Patmoko S aat menjadi promotor bagi R. Achmad Dimyati Natakusumah, Eman Suparman masih ingat perbedaan pandangannya dengan promovendus. Pandangan Dimyati bahwa Komisi Yudisial adalah auxiliary organ kurang disetujuinya karena sesuai peraturan perundang-undangan para ketua lembaga negara, termasuk Komisi Yudisial, mempunyai kedudukan sejajar. Konstitusi juga jelas menyebut Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang independen. Meskipun promotornya notabene Ketua Komisi Yudisial, Dimyati tak sungkan mengkritik Komisi Yudisial dalam disertasinya yang dipertahankan Juni lalu di Universitas Padjadjaran Bandung. “Disertasi Dimyati sendiri juga mengkritik keberadaan Komisi Yudisial karena dianggap belum optimal,” kata Eman. Hal ini menunjukkan bahwa karya-karya akademis tentang Komisi Yudisial tak selamanya sejalan dengan pemikiran yang berkembang di Komisi Yudisial sendiri. Ahsin Thohari memang menilai Komisi Yudiisial masih menjanjikan dalam struktur ketatanegaraan sebagai pemegang ekuilibrium kekuasaan kehakiman. Namun sejumlah karya melayangkan kritik, termasuk tentang problem kewenangan Komisi Yudisial. Kritik yang dilontarkan terutama sebelum periode 2011 memang sudah 18 BULETIN KOMISI YUDISIAL/ ADNAN Karya tulis tentang Komisi Yudisial juga berisi kritik. Dijadikan sebagai cambuk untuk memperbaiki diri. Beragam buku dan ringkasan disertasi tentang Komisi Yudisial yang tersimpan di Perpustakaan Komisi Yudisial. diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011. Misalnya, tentang perbedaan tafsiran fungsi pengawasan hakim yang dikemukakan dalam tesis Prim Fahrur Razi di Undip Semarang. Dalam tesisnya Prim mengingatkan agar tata cara pengawasan hakim dilakukan sebaik-baiknya agar tidak mengakibatkan perbenturan antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung. Beberapa penelitian dan karya yang sudah dibukukan menilai Komisi Yudisial kurang bisa bekerja optimal karena kewenangannya terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004. Kini, setelah ada revisi, kewenangannya sudah bertambah. Amandemen Undang-Undang tentang Komisi Yudisial memang diusulkan hampir semua peneliti yang melakukan kajian sebelum tahun 2011. Bunyamin Alamsyah, hakim tinggi agama yang mempertahankan disertasi di UII Yogyakarta, mengakui hingga kini masih ada perbedaan pandangan tentang kedudukan Komisi Yudisial seperti yang diperdebatkan promotor dan promovendus di atas. Bunyamin menyarankan agar ke depan dilakukan perubahan mendasar. “Ke depan kiranya perlu diatur secara jelas agar Komisi Yudisial diposisikan sebagai lembaga negara dan merupakan bagian kekuasaan kehakiman, meskipun sebagai pelaksana code of ethics,” ujarnya. Pola hubungan kemitraan antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung menjadi masukan penting yang disampaikan sejumlah penulis karya yang berhasil ditelusuri. Bunyamin Alamsyah merekomendasikan antara lain agar diatur lebih jelas dan tegas kedudukan dan wewenang Komisi Yudisial khususnya pengawasan. Juga memperjelas hubungannya dengan sistem kekuasaan kehakiman dan sistem penegakan hukum secara menyeluruh. Kritik membangun terhadap Komisi Yudisial, tentu saja, tak hanya disampaikan lewat karya ilmiah di dunia kampus. Masyarakat sipil sudah sering menyampaikan langsung atau tidak langsung kritik dan saran-saran penting. Bahk an dalam setiap pertemuan dengan kalangan civil society, kritik itu bagaikan cambuk yang melecut semua unsur di Komisi Yudisial untuk bekerja lebih baik. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 18 8/8/2012 1:04:28 PM Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman Komisi Yudisial Semakin Banyak Diminati S ebagai Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman, mengetahui beberapa kajian ilmiah tentang Komisi ini. Ia bahkan menjadi promotor untuk disertasi seorang anggota Komisi Hukum DPR. Redaksi mewawancarai Prof. Eman di ruangannya berkaitan dengan karya ilmiah tersebut. Berikut petikannya: Bagaimana Bapak melihat minat kalangan kampus yang melakukan penelitian terhadap Komisi Yudisial? Saya melihat Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang baru sudah semakin banyak diminati untuk diketahui keberadaannya, kewenangannya, bagaimana posisinya BULETIN KOMISI YUDISIAL/ ADNAN Dinal Fedrian dalam struktur ketatanegaraan. Karena, orang akhirnya penasaran. Komisi Yudisial ini tergolong teori trias politika yang mana. Saya melihat kajian-kajian orang tentang Komisi Yudisial ini seputar kedudukan lembaga ini dalam struktur ketatanegaraan. Belum kepada konteks-konteks yang lain. Kendatipun Komisi Yudisial memiliki kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, namun penelitian tentang hal ini malah banyak belum dikaji orang. Hal-hal apa saja dari Komisi Yudisial yang sudah diteliti? Utamanya kalau saya lihat dari disertasi atau tesis yang ditulis sebenarnya Komisi Yudisial ini kewenangannya seberapa jauh. Lembaga ini disebut lembaga negara menurut Undang-Undang Protokol bahkan disebutkan setara dengan lembaga negara yang lainnya. Tetapi apakah kewenangannya sudah sedemikian besar pula dimiliki. Jadi saya anggap curiosity dari para peneliti Komisi Yudisial ini ingin tahu apakah ada keseimbangan antara kewenangan yang dimiliki Komisi Yudisial dengan kedudukannya sebagai sebuah lembaga negara dalam struktur ketatanegaraan. Bagian mana yang belum diteliti? Masih banyak. Bahkan menurut saya yang belum sama sekali dijamah oleh para peneliti adalah kewenangan lainnya yang menyangkut menjaga dan EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 19 19 8/8/2012 1:04:41 PM LAPORAN UTAMA masalah penguatan. Saya mengatakan penguatan yang mana lagi yang akan diberikan dan diutak-atik. Karena UU Perubahan tentang UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial baru saja disahkan. Mestinya berbicara penguatan ini sebelum revisi disahkan. Yang harus diberikan kepada Komisi Yudisial sekarang adalah kewenangan untuk menjatuhkan sanksi bukan hanya penguatan. Kedua, promovendus saya beranggapan bahwa Komisi Yudisial ini adalah auxiliary organ, saya tidak setuju sebab UU Keprotokolan jelas mengatakan bahwa para ketua lembaga negara ini memiliki kedudukan sejajar. Komisi Yudisial di dalam UUD disebut sebagai lembaga negara yang independen. Dan sempat pada salah satu saat diskusi kami bahkan Komisi Yudisial hampir disamakan kedudukannya seperti Bank Indonesia. Sebagai sebuah lembaga negara saya katakan tidak, Komisi Yudisial ini sejajar dengan tujuh lembaga negara lainnya. Tetapi pada waktunya memang dia bisa memahami. BULETIN KOMISI YUDISIAL/ ADNAN menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim itu. Apa yang dimaksud dengan menjaga itu. Menegakkan seperti apa. Karena buktinya kata menegakkan itu kita juga tidak bisa menjatuhkan sanksi. Sementara kewenangan menjatuhkan sanksi itu dimiliki oleh Mahkamah Agung bukan oleh Komisi Yudisial. Sedangkan Komisi Yudisial hanya dapat sebatas memberikan rekomendasi. Kata ‘menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat’ ini hanya sebatas memberi rekomendasi sanksi, ini yang seharusnya diteliti. Sehingga akan diteliti asal-usul pemberian kewenangan ini sampai seberapa jauh perdebatan politik di MPR-nya atau di parlemennya waktu itu. Jadi mereka harus meneliti tentang memorie van toelichting. Saat menjadi promotor untuk disertasi tentang Komisi Yudisial. Apakah Bapak pernah berbeda pendapat dengan promovendus? Perbedaan pendapat saya dengan promovendus (Dimyati Natakusumah) ketika membicarakan Apakah hasil penelitian selama ini juga mengkritik Komisi Yudisial? Bahkan diser tasi Dimyati sendiri juga mengkritik keberadaan Komisi Yudisial karena dianggap belum optimal. Padahal saya katakan optimal atau tidaknya kewenangan yang dimiliki Komisi Yudisial kan tergantung pemberian. Kewenangan ini kan merupakan landasan berpijaknya Komisi Yudisial. Bagaimana bisa optimal untuk menjatuhkan sanksi padahal Komisi Yudisial tidak punya kewenangan untuk menjatuhkan sanksi. Kritik itu juga tidak harus ditujukan ke Komisi Yudisial saja tetapi juga ke lembaga negara yang melahirkan Komisi Yudisial. Walaupun memang faktanya Komisi Yudisial memiliki kelemahan seperti yang dikatakan peneliti. Apa saran dari Bapak agar kajian ilmiah tentang Komisi Yudisial terus berkembang? Tidak ada cara lain kecuali Komisi Yudisial diperkenalkan dalam berbagai forum di perguruan tinggi. Karena hanya perguruan tinggi yang bisa melakukan kajian ilmiah atas lembaga ini. Tanpa itu tidak mungkin. Dan perbanyak tulisan-tulisan mengenai Komisi Yudisial di berbagai media. Dengan cara itu maka bahan bacaan yang akan diserap oleh para mahasiswa dari berbagai tingkatan akan lebih banyak lagi. Dan si pengkaji Komisi Yudisial pun tidak boleh mengambil sudut pandang yang sama dalam kajiannya, harus berbagai aspek dikaji. Saya dalam beberapa kesempatan mengusulkan agar Komisi Yudisial mengadakan even misalnya Debat Mahasiswa tentang Pemahaman atas Komisi Yudisial perihal wewenangnya, tugasnya, dan strukturnya dalam ketatanegaraan. Even itu akan menambah khazanah mereka dalam memahami Komisi Yudisial. Mahasiswa fakultas hukum sedang melakukan penelitian di perpustakaan Komisi Yudisial. 20 EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 20 8/8/2012 1:04:53 PM Walau Sulit, Tetap Menarik Dikaji Dinal Fedrian eskipun pekerjaan sehari-hari adalah hakim pengadilan tinggi agama, H. Bunyamin Alamsyah punya ketertarikan sendiri meneliti Komisi Yudisial sebagai tema disertasinya. Berikut penjelasannya: hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Secara filosofis para hakim yang mempunyai kedudukan terhormat perlu dijaga martabatnya, Komisi Yudisial secara ekseternal diberikan wewenang konstitusional untuk mengawasinya, baik pengawasan represif maupun preventif, oleh karenanya ini nampak urgent bagi saya baik dari kacamata teoritis maupun praktis untuk mengkajinya. Secara sosiologis, Komisi Yudisial lahir sebagai satu jawaban reformasi lembaga kekuasaan kehakiman yang mempunyai peranan penting dalam mengawal dan berusaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan Hakim Agung serta pengawasan yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim. Apa yang mendorong Bapak menulis disertasi tentang Komisi Yudisial? Ada beberapa alasan yang mendorong saya mengkaji kedudukan Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan RI. Secara normatif, Komisi Yudisial dijamin oleh landasan konstitusi negara RI seperti Pasal 20, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25 UUD 1945 pasca amandemen. Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyatakan Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Apakah sebelumnya Bapak sering berinteraksi dengan kegiatan Komisi Yudisial? Saya belum banyak berinteraksi dengan Komisi Yudisial meskipun memang beberapa kali mengikuti kegiatan ilmiah yang diadakan oleh Komisi Yudisial seperti di Bogor, namun tatkala saya mengikuti perkuliahan Prof. Mahfud MD, beliau banyak memaparkan tentang arah kebijakan politik hukum di negara Republik Indonesia, bahwa kebijakan hukum itu mempunyai maksud mengubah iklim stagnan ke Bunyamin Alamsyah Hakim Tinggi Agama Bandar Lampung M arah kondusif dan progresif, sehingga dalam mengawal lembaga kekuasaan kehakiman termasuk para hakim perlu ada pengawasan eksternal dan bukan hanya pengawasan internal dari Mahkamah Agung sendiri, sehingga lahirlah Komisi Yudisial, itu pulalah yang mendorong untuk mengamati Komisi Yudisial RI. Berapa lama waktu yang Bapak butuhkan menulis disertasi itu? Waktu yang dibutuhkan untuk menulis disertasi kurang lebih 2 tahun, sebab disamping literatur Komisi Yudisial masih langka, juga kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas, termasuk harus membagi waktu antara kerja dan menyelesaikan disertasi (waktu itu Penulis bekerja sebagai Waka PA klas 1A Majalengka, pindah menjadi Waka PA klas 1A Bandung, Ketua PA klas 1B Bekasi, manjadi Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Jambi dan sekarang Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Bandarlampung). Disamping itu saya juga mengadakan penelitian di Mahkamah Agung Saudi Arabia tentang lembaga pengawasan para hakim sembari saya ditugaskan oleh MA-RI cq Dirjen Badan Peradilan Agama mengikuti studi banding dan belajar hukum di Jamiatul Imam ibn Su’ud Riyadh selama 40 hari sekitar tahun 2008, oleh karenanya masa penulisan tersebut relatif lama. Komisi Yudisial disana bernama Al-Hiah Al-Roqobah. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 21 21 8/8/2012 1:04:54 PM BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL LAPORAN UTAMA Pertemuan ketua lembaga-lembaga negara di Mahkamah Konstitusi yang dihadiri Ketua Komisi Yudisial. Kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan banyak diteliti. Apakah ada kesulitan yang dialami saat melakukan penelitian? Meneliti keduduk an dan wewenang Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia relatif agak sulit karena disamping lembaga baru literaturnya pun masih minim, meskipun demikian tulisan-tulisan di jurnal sudah banyak namun masih kurang. Apakah literatur ilmiah tentang Komisi Yudisial sudah banyak? Pada saat itu agak sulit menemukan disertasi tentang Komisi Yudisial. Beberapa kali saya berkunjung ke Perpustakaan Universitas Padjadjaran Bandung, Universitas Indonesia di Jakarta, juga Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta masih belum saya temui. Apa saja temuan dari penelitian Bapak? Diantara temuan yang saya dapatkan. Pertama, saat itu kedudukan 22 Komisi Yudisial masih diperdebatkan, satu pihak ada yang berpendapat bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara penunjang dan di pihak lainnya Komisi Yudisial adalah lembaga negara mandiri yang dijamin UU. Saya mengikuti pendapat ini. Kedua, Indonesia adalah negara hukum, yang dalam tugasnya terdapat pembagian kekuasaan. Dalam pembagian kekuasaan tersebut perlu ada lembaga kontrol dalam menjaga dan mengawal pemerintahan yang bersih. Seperti halnya dalam lembaga kekuasaan kehak iman terdapat lembaga pengawasan internal dan eksternal oleh Komisi Yudisial. Ketiga, Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal dan Mahkamah Agung sebagai objek pengawasan tentu diperlukan sinergitas. Maka keluarlah keputusan bersama tentang tentang kode etik dan pedoman perilaku Hakim. Keempat, UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial masih terdapat kekurangsempurnaan. Kini sudah disempurnakan dengan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial. Apa usulan Bapak untuk memperkuat Komisi Yudisial ke depan? Untuk memperkuat kedudukan dan wewenang Komisi Yudisial perlu adanya konsistensi pimpinan dan seluruh jajaran Komisi Yudisial. Kemudian terus mensosialisasikan lembaga negara tersebut baik itu melalui lembaga pemerintahan, lembaga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, lembaga jejaring sosial termasuk dengan lembaga kekuasaan kehakiman. Di samping itu perlu juga mendorong ke arah perbaikan kesejahteraan bagi aparat peradilan dan mendorong adanya penegakkan tabsyir (reward) dan tandzir (punishment). EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 22 8/8/2012 1:05:04 PM Wajah Komisi Yudisial dalam Referensi Dinal Fedrian Buku yang secara khusus membahas Komisi Yudisial terus bermunculan, meskipun jumlahnya belum banyak. Buku-buku yang sudah terbit menjadi gudang ilmu. Komisi Yudisial menjadikannya sebagai referensi dan bahan introspeksi. S ebelum Komisi Yudisial resmi berdiri dan anggotanya dilantik, para penulis sudah menaruh minat besar untuk melakukan kajian. Pada awalnya, kebutuhan untuk mengetahui Komisi Yudisial diperoleh dari buku terjemahan sebagai bagian dari studi komparatif. Ke dalam kategori ini bisa dimasukkan buku Wim Voerman. Sarjana hukum Belanda ini menulis buku Raden voor de Rechtspraak in landen van de Europese Unie. Dua orang praktisi hukum asal Indonesia menerjemahkan buku ini dan pertama kali terbit tahun 2002, setahun setelah amandemen konstitusi mengintrodusir Komisi Yudisial. Buku-buku berikut ini melukis ‘wajah’ Komisi Yudisial dari berbagai sudut pandang. Wim Voermans. Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa. Terjemahan dari buku Raden voor de rechtspraak in landen van de Europese Unie. Penerjemah Adi Nugroho dan M. Zaki Hussein. Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, cet-1, Agustus 2002. Amandemen ketiga UUD 1945 (2001) memperkenalkan lembaga baru bernama Komisi Yudisial. Inilah buku pertama yang dirilis sebagai bahan komparasi agar masyarakat lebih mengenal Komisi Yudisial. Penerbitan buku ini, tulis Rifqi Sjarif Assegaf dalam pengantar, “bertujuan untuk mengisi kekosongan referensi mengenai hal-hal seputar Komisi Yudisial di Indonesia”. Direktur Eksekutif LeIP ini berharap, materi referensi ini mampu menghadirkan diskusi yang lebih bermutu untuk memperkuat konsep Komisi Yudisial di Indonesia. Ada tiga model Komisi Yudisial yang dikenal di Eropa. Pertama, model Eropa Utara seperti Swedia, Denmark dan Irlandia. Model ini memberikan wewenang luas kepada Komisi Yudisial, termasuk kewenangan dalam bidang penganggaran, logistik, kontrol, pengawasan, pengangkatan, tindakan indisipliner, perekrutan, dan aspek lain berkaitan dengan lembaga peradilan. Kedua, model Eropa Selatan yang dikenal di Italia, Perancis, dan Swedia, dimana Komisi Yudisial hanya berwenang memberikan nasihat dalam pengangkatan hakim dan pegawai pengadilan serta wewenang mengambil tindakan indisipliner terhadap hakim. Ketiga, model tak terbagi (undevided model) dikenal di Jerman dan Belanda, dimana tidak ada lembaga perantara seperti Komisi Yudisial dalam hal pengelolaan pengadilan. Pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah yang berwenang. ***** A Ahsin Thohari. Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan. Jakarta: Elsam, 2004. Tebalnya 350 halaman, di luar daftar isi dan pengantar, buku Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan ini bisa disebut karya pionir yang ditulis EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 23 23 8/8/2012 1:05:05 PM LAPORAN UTAMA akademisi Indonesia tentang Komisi Yudisial. Ditulis dalam proses awal pembentukan Komisi Yudisial, karya A. Ahsin Thohari ini menghadirkan apa yang disebut Jimly Asshiddiqie, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, sebagai “topik aktual dalam diskursus hukum tata negara Indonesia”. Betapa tidak, lewat buku ini kita dapat menelusuri konteks historis, sosiologis, dan yuridis kehadiran Komisi Yudisial. Termasuk menelusuri gagasan-gagasan yang muncul sebelum Komisi Yudisial hadir, seperti Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan Dewan Kehormatan Hakim (DKH). Terungkap bahwa nama Komisi Yudisial pertama kali bukanlah pada amandemen UUD 1945, melainkan pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Undang-Undang ini sudah menyebut pentingnya membentuk Komisi Yudisial untuk melakukan fungsi pengawasan hakim, yang bersifat independen dan anggotanya dipilih dari orang-orang yang punya integritas tinggi. Setelah melakukan kajian mendalam atas praktik di luar negeri dan pemikiran ketatanegaraan di Indonesia, Ahsin mengatakan dalam buku ini bahwa pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia harus mengakomodir faktor penyebab dan peran yang dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial di berbagai negara. Dalam buku ini Ahsin menyajikan lima faktor penyebab atau alasan pentingnya mendirikan Komisi Yudisial, serta lima peran yang dapat dilakukan Komisi Yudisial dalam suatu negara. Suatu kenyataan yang tak bisa dipungkiri adalah pembentukan Komisi Yudisial di Indonesia tak bisa dilepaskan dari model perbandingan di luar negeri. Cuma, sebagai lembaga baru yang hadir di tengah-tengah keterpurukan lembaga peradilan, Komisi Yudisial 24 mengemban amanah yang sangat penting. ***** O.C Kaligis. Mahkamah Agung vs Komisi Yudisial di Mahkamah Konstitusi: Reformasi Pengawasan Hakim. Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2006. Hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung telah mengalami dinamika, dan pernah mencapai titik nadir ketika 31 hakim agung mengajukan judicial review Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial ke Mahkamah Konstitusi. Para hakim agung memberikan kuasa hukum antara lain kepada O.C Kaligis. Pada 23 Agustus 2006 Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan No. 005/PUU-IV/2006 yang pada intinya dapat dimaknai menghapuskan wewenang Komisi Yudisial mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi. Bagi penulis, putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapuskan peran Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan hakim perlu direnungkan. Satu hari setelah putusan itu, OC Kaligis sudah membuatkan kata pengantar buku ini. Bagaimanapun proses cepat penerbitan buku ini menunjukkan semangat penyusun untuk mendokumentasikan proses hukum yang begitu penting. Buku ini berupaya mendokumentasikan ‘sebagian’ bahan persidangan di Mahkamah Konstitusi, ditambah beberapa kliping. Dikatakan ‘sebagian’ karena belum semua bahan didokumentasikan. Termasuk pula dialog selama sidang mendengarkan keterangan pemerintah dan pihak terkait pada 11 April 2006. Lepas dari posisi penulis sebagai pengacara dari pemohon judicial review, dokumentasi bahan-bahan persidangan ke dalam buku tetap penting bagi generasi ke depan. Bahan yang tersedia dalam buku ini minimal bisa menyajikan informasi tentang latar belakang mengapa para hakim agung mempersoalkan beberapa pasal dari UU Komisi Yudisial. ***** Fajlurrahman Jurdi. Komisi Yudisial: Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim. Yogyakarta: Kreasi Wacana, cet-1, November 2007. Komisi Yudisial: Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim (2007) yang ditulis Fajlurrahman Jurdi bisa EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 24 8/8/2012 1:05:07 PM disebut sebagai buku dukungan terhadap Komisi Yudisial setelah Komisi ini ‘dikalahkan’ lewat judicial review Undang-Undang No. 22 Tahun 2004. Jurdi adalah Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi, dan Perubahan Sosial (Pukap Indonesia) periode 2004-2010. Buku ini ditulis ketika Jurdi masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Buku ini adalah “hasil refleksi kemarahan yang berpintal-pintal dari episode sengketa yang kemudian menghancurkan Komisi Yudisial”, yang membuat Komisi ini “harus mencari legitimasi sosiologis, intelektual, dan konstitusional”. Putusan Mahkamah Konstitusi dianggap penulis telah mendelegitimasi kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi perilaku sebagian hakim agung. Buku ini mulai dari pembahasan konsepsi negara hukum, lalu loncat ke masalah otonomi moral hakim dan kehadiran Komisi Yudisial. Lalu beralih lagi ke tema konstitusi, Mahkamah Konstitusi, dan wewenang judicial review. Dari sinilah penulis membuka pintu masuk pemikiran bahwa putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagai upaya delegitimasi. Penulis malah memandang putusan itu bukan saja sebagai bentuk perlawanan Mahkamah Agung, tetapi juga resistensi dari Mahkamah Konstitusi. Dua bab terakhir buku Jurdi memuat saran dan masukan atas revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2004, dan perdebatan tentang istilah yang lebih pas dipakai: Komisi Yudisial atau Mahkamah Yudisial. Lembaga bernama “Mahkamah” merasa lebih superior sehingga tidak mau diawasi oleh lembaga bernama “Komisi”. Penulis memang mengakui karyanya bukan buku utuh. Cuma, dalam pencarian intelektual, Fajlurrahman Jurdi merasa masih langka buku mengenai Komisi Yudisial, dan masih sangat sedikit orang yang mau menyumbangkan pemikiran terhadap Komisi ini. “Dalam buku ini, dia adalah anak bangsa yang begitu khawatir akan runtuhnya moral hukum di negeri ini,” tulis Andhory Ilyas, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dalam pengantar buku ini. ***** Sirajuddin dan Zulkarnain. Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik Menuju Peradilan yang Bersih dan Berwibawa. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006. Latar belakang orang yang tertarik menulis buku tentang Komisi Yudisial berbeda-beda. Kedua penulis buku ini berlatar belakang dosen Fakultas Hukum Universitas Widyagama, Malang. Oleh karena itu, buku Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik tak bisa dilepaskan dari aktivitas penelitian mereka sebagai akademisi. Materinya adalah pengembangan dari dua hasil penelitian, yang telah mengalami pengujian di beberapa tempat, lalu kemudian dituangkan ke dalam buku. Penulis berangkat dari pemikian umum (communis opinion doctorum) bahwa peradilan di Indonesia masih jauh dari ‘keadilan’ sebagai tujuan hukum. Irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ seolah tak lebih dari hiasan belaka dari putusan hakim. Kebobrokan peradilan sering dipertontonkan secara telanjang. Nah, Komisi Yudisial dibentuk untuk memperbaiki kebobrokan itu. Menurut penulis, pembentukan Komisi Yudisial merupakan konsekuensi logis yang muncul dari penyatuan atap lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung. Penyatuatapan berpotensi menimbulkan monopolisi kekuasaan kehakiman dengan segala eksesnya. Materi buku ini sebenarnya memuat dua hal yang berbeda. Pertama, membahas Komisi Yudisial dalam format kekuasaan kehakiman yang mandiri. Kedua, membahas eksaminasi publik. Eksaminasi publik adalah upaya yang dilakukan orang-orang di luar pengadilan yang bertujuan untuk mewujudkan eksaminasi atau kajian terhadap putusan hakim. Benang merah dari kedua topik itu ada pada tujuan eksaminasi, yakni menuju peradilan yang bersih dan berwibawa. Lantas, apa hubungan Komisi Yudisial dengan eksaminasi publik? Secara sederhana, penulis menyatakan Komisi Yudisial dapat memanfaatkan hasil eksaminasi publik yang dilakukan oleh berbagai kalangan untuk melakukan pengawasan eksternal terhadap hakim. Bagi kedua penulis, eksaminasi publik lebih memberikan dampak moral kepada para pengambil keputusan ketimbang dampak hukum. Eksaminasi tidak akan mempengaruhi putusan pengadilan, tetapi secara tidak langsung berpengaruh pada para pengambil keputusan di mata publik. Penulis percaya semakin berkualitas hasil eksaminasi semakin efektif pengaruh moral eksaminasi itu terhadap kinerja aparat penegak hukum baik polisi dan jaksa maupun hakim. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 25 25 8/8/2012 1:05:08 PM LAPORAN UTAMA Tantangan Komisi Yudisial: Resistensi Anasir Terhadap Reformasi Peradilan Patmoko A. AHSIN THOHARI Penulis buku Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan A hsin, begitu dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini biasa disapa, adalah orang Indonesia pertama yang menulis buku khusus tentang Komisi Yudisial. Buku yang berasal dari tesis itu sudah terbit sebelum anggota Komisi Yudisial pertama dilantik dan bekerja. Berikut penuturannya: Buku Anda menjadi referensi penting bagi banyak orang. Berapa dulu terbit? Pada saat saya kuliah, antara tahun 2001-2004, momennya pada saat itu memang masih euforia reformasi. Salah satunya ditandai dengan perubahan UUD 1945. Aspek perubahan penting di antaranya adalah di ranah kekuasaan kehakiman dimana di dalamnya diamanatkan pembentukan dua lembaga baru, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Oleh karena itu, saya 26 melihat perlunya studi yang mendalam terhadap kekuasaan kehakiman pascaperubahan UUD 1945. Sehingga, saya berkesimpulan tesis S-2 saya akan lebih bermakna jika dapat menjadi bagian dari usaha-usaha menuju Indonesia yang lebih demokratis dengan menempatkan rule of law sebagai panduannya. Lalu pilihannya adalah melakukan studi terhadap kekuasaan kehakiman, dan lebih sempit lagi adalah Komisi Yudisial. Bahwa kemudian buku saya menjadi referensi penting bagi banyak orang, itu di luar dugaan saya. Saya hanya berterima kasih kepada orang-orang tersebut yang telah menghargai karya saya. Dulu diterbitkan Elsam lima ribu eksemplar. Buku itu disusun berdasarkan tesis Anda di UI? Ya. Judul aslinya waktu masih berbentuk tesis S-2 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia adalah Komisi Yudisial: Susunan dan Kedudukannya di Berbagai Negara serta Pelembagaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Mengapa Anda tertarik menulis tentang Komisi Yudisial? Saya memang mempunyai ketertarikan tersendiri dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan. Karena, lembaga ini khususnya di negara-negara yang belum mempunyai kultur demokrasi yang mapan, selalu menjadi target intervensi kekuasaan lain di luarnya, baik kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, maupun masyarakat sendiri. Akibatnya, kekuasaan kehakiman tidak dapat mengimplementasikan gagasan independent and impartial judiciary secara maksimal. Pada awalnya saya ingin menulis struktur kekuasaan kehakiman pascaperubahan UUD 1945 dengan titik berat pembahasan pada pola hubungan ketatanegaraan antara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Akan tetapi, pembimbing saya, Prof. Jimly Asshiddiqie menyarankan agar saya mempersempit tema dengan titik berat pembahasan khusus pada Komisi Yudisial saja. Pada mulanya, saya merasa cukup berat karena berhadapan dengan kelangkaan literatur yang berkenaan dengan Komisi Yudisial. Akan tetapi, pada akhirnya saya diingatkan oleh pembimbing bahwa lembaga baru semacam Komisi Yudisial yang belum jelas susunan, kedudukan, dan pelembagaannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ini patut mendapatkan perhatian akademis yang serius. Dengan injeksi moral dari Prof. Jimly ini lalu saya mulai menikmati setiap tantangan-tantangan dalam tahap penulisan tesis. Buku itu disusun sebelum Komisi Yudisial resmi berdiri, ada rencana merevisi atau menambah bagian? Banyak orang yang bertanya seperti itu kepada saya. Keinginan itu ada. Tapi, sampai sekarang belum terlaksana. Meskipun demikian, muatan-muatan EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 26 8/8/2012 1:05:12 PM baru berkenaan dengan dinamika Komisi Yudisial saya tulis dalam kesempatan lain di beberapa jurnal ilmiah, koran, dan penelitian bersama Komisi Hukum Nasional. Bagaimana pandangan Anda tentang Komisi Yudisial saat ini? Menurut saya, Komisi Yudisial masih menjanjikan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sebagai pemegang ekuilibrium kekuasaan kehakiman. Pertama, dengan kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung, Komisi Yudisial berperan sebagai institusi yang memastikan perekrutan hakim agung murni melalui pertimbanganpertimbangan merit system. Bahwa kemudian DPR memprosesnya secara politik, itu setelah disaring oleh Komisi Yudisial melalui mekanisme merit system tersebut. Kedua, dengan kewenangan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim serta kewenangan lain, Komisi Yudisial berperan sebagai pengawas eksternal yang kredibel, objektif, dan jauh dari pengawasan yang bersifat kolutif. Hemat saya, naif jika kita percaya bahwa pengawasan internal di MA sudah mencukupi dan tanpa masalah. Semua pengawasan internal selalu mempunyai problem struktural dan independensi. Secara umum Komisi Yudisial mampu berperan sesuai dengan amanat UUD 1945. Akan tetapi, tantangannya memang selalu tidak mudah, khususnya resistensi dari anasir-anasir yang kurang bersahabat dengan gagasan reformasi peradilan. Apakah Anda melihat cukup banyak referensi buku mengenai Komisi Yudisial saat ini? Ketertarikan masyarakat akademis maupun masyarakat biasa terhadap Komisi Yudisial sudah meningkat. Akan tetapi, pertumbuhan buku-buku mengenai Komisi Yudisial saya kira masih perlu ditingkatkan agar lebih produktif lagi di masa-masa yang akan datang. Apa yang seharusnya dilakukan untuk menumbuhkan semangat ilmiah menulis tentang Komisi Yudisial? Jika kita bandingkan dengan Mahk amah Konstitusi sebagai sesama ogan konstitusional yang lahir pascaperubahan UUD 1945 bersama-sama dengan Komisi Yudisial, memang minat orang untuk menulis Komisi Yudisial masih kalah banyak. Akan tetapi, itu tidak menunjukkan bahwa Komisi Yudisial k alah penting kehadirannya dalam sistem ketatanegaraan. Saya kira, prospek Komisi Yudisial masih ada dan terbentang luas di depan. Judicial Commission of New South Wales, di Australia, misalnya, butuh waktu dua puluh tahun untuk menjadi lembaga yang kehadirannya semula kontroversial menjadi lembaga yang kredibel, sehingga salah satu tajuk yang selalu diagungkan untuk menggambarkan pasang surut keberadaannya adalah from controversy to credibility. Dengan terus melaksanakan kewenangannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terus membuat gebrakan-gebrakan positif dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung, menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim serta kewenangan lain, saya kira Komisi Yudisial akan menjadi lembaga yang “seksi” dan pada akhirnya akan mengundang minat orang untuk meneliti dan menulis Komisi Yudisial. Jadi, buat Komisi Yudisial, just do it!. Lima Hal tentang Komisi Yudisial Versi Ahsin Thohari No. Alasan Membentuk Peran yang Bisa Dijalankan 1. Lemahnya monitoring intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring dilakukan secara internal saja. Melakukan monitoring intensif dengan melibatkan masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya. 2. Tidak ada lembaga penghubung antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan pemerintah (dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM). 3. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak efisien dan efektif menjalankan tugas karena masih disibukkan urusan teknis non-hukum. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam berbagai aspek karena MA tidak lagi disibukkan hal-hal teknis seperti rekrutmen dan monitoring hakim. 4. Rendahnya kualitas dan inkonsistensi putusan lembaga peradilan, diperparah tidak berjalannya pengawasan. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan. 5. Rekrutmen hakim terlalu bias politik. Meminimalisasi terjadinya politisasi rekrutmen hakim. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 27 27 8/8/2012 1:05:13 PM SUDUT HUKUM Puasa bagi Para Hakim Urgensi puasa A dalah hakim berinisial PS yang harus mengakhiri kariernya dengan cacat di hadapan Majelis Kehormatan Hakim lantaran berkaraoke dengan pihak berperkara dalam kasus perdata yang ditanganinya. Tak lama berselang sanksi cukup berat juga dijatuhkan kepada hakim berinisial ABS yang terbukti mempermainkan timbangan keadilan dengan cara meminta uang dari pihak berperkara sebesar Rp. 50 juta. Deret perilaku tak terpuji itu menyelingkuhi sifat otentik seorang hakim yang dituntut menjaga budi pekerti luhur dan profesi hakim sebagai kemuliaan (officium nobile). Apalagi jika merujuk pada jumlah hukuman disiplin MA dari Januari-Juni 2012 yang bertengger di angka 81, kita patut tercengang sebab 16 diantaranya yang dikenai sanksi disiplin adalah hakim. Tidak bisa disalahkan jika masyarakat kemudian memandang skeptis lembaga peradilan. Karena kenyataanya masih ada perilaku korup yang mempengaruhi hakim 28 DOC. PRI Harga diri hukum kembali terjerembap karena ulah hakim. Sepak terjang lembaga peradilan yang seyogianya memberikan keadilan sebagai kebutuhan pokok rohaniah manusia mengalami reduksi nilai akibat praktik transaksi jual beli hukum yang kotor serta menjijikkan. Achmad Fauzi Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan dalam menakar timbangan keadilan. Yang menjadi soal ketika generalisasi skeptisisme publik justru mematikan harapan untuk membangun peradilan bersih dan bermartabat, sehingga cita-cita Indonesia sebagai negara hukum sukar diwujudkan. Saya yakin masih banyak hakim-hakim di Indonesia yang memiliki idealisme tinggi dan menjadikan agama sebagai supreme morality. Mereka bekerja di bawah sumpah, sadar jika di sebelah kanan-kirinya ada malaikat pencatat amal, hatinya terjaga, mempersamakan semua orang di muka hukum dan menolak keras segala bentuk penyuapan. Hanya tidak etis jika diekspose media, karena kesannya mendamba pujian. Tapi dalam konteks ini, kepada pundak merekalah palu keagungan hukum dimandatkan. Sehingga skeptisisme itu menjelma menjadi harapan baru yang menggambarkan bahwa peradilan kita masih memiliki masa depan. Momen puasa Ramadhan 1433 H merupakan masa pencucian jiwa bagi para hakim agar bersih dari kuasa nafsu serakah, magnet keduniawian dan bentuk perilaku tak terpuji lainnya (ahlaq al mazmumah). Hakim adalah personifikasi keadilan, keluhuran martabat, dan sebaik-baik penjaga amanat. Bahkan dianggap wakil Tuhan di bumi. Menjadi ironis jika perilaku hakim justru berlawanan dengan sifat otentik yang melekat pada profesi tersebut. Karena itu pelatihan rohani (puasa) dengan menahan lapar dan nafsu dari sejak pagi hingga petang merefleksikan persenyawaan kodrati antara watak hakim sebagai manusia biasa dengan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Adil dan Bijaksana. Puasa mendidik hakim menyadari harkat kemanusiaannya sehingga dalam mengemban jabatan tidak pongah dan sewenang-wenang. Hakim harus memiliki sifat rendah hati yang berpangkal pada kesadaran keterbatasan kemampuan diri dan pengakuan terhadap zat Yang Maha Sempurna. Pengakuan diri sebagai makhluk lemah bukan dalam tafsir memberikan legitimasi ruang untuk dikendalikan oleh otoritas lain dalam menangani perkara. Sekadar menahan lapar saat puasa adalah selemah-lemahnya iman. Masih ada lagi tingkatan puasa yang lebih tinggi dan berorientasi pada pengendalian diri. Teringat ketika Rasulullah menyudahi perang Badar, para sahabat mengira pertarungan telah usai. Rasulullah pun mengenalkan bentuk perang akbar yang pemenangnya kelak mencerminkan kesejatian manusia. Perang itu adalah perlawaan atas kebiri nafsu kebinatangan yang menjadi antitesis atas sifat-sifat EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 28 8/8/2012 1:05:15 PM manusia. Itulah jenis puasa khawas al khawas yang relevan bagi pembentukan karakter hakim. Puasa para hakim tidak sekadar menahan lapar dan dahaga. Lebih dari itu, hakim harus mampu mengendalikan hawa nafsu yang bersifat rohaniah. Di dalam ibadah puasa terdapat nilai keluhuran yang bisa diejawantahkan dalam praktik penegakan hukum. Pertama, nilai keadilan. Keadilan adalah muara dari semua hukum. Plato (427-347 SM) menganatomi keadilan layaknya keseimbangan jiwa manusia yang terdiri atas pikiran (logistikon), nafsu (ephitumatikon) dan perasaan (thumoeindes). Ketiganya merupakan unsur yang terus diasah dan tak dapat dipisahkan. Islam menyerukan keadilan agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, menetapkan putusan hukum antara manusia dengan adil tanpa pandang bulu, melarang memperturutkan hawa nafsu untuk memperkosa keadilan dan memutar lidah untuk sebuah persekongkolan (An Nisa’: 58 dan 135). Ayat tersebut menyentil para hakim agar berhati-hati dan bersikap adil dalam mempertimbangkan putusan. Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya tidak boleh memberikan kesan bahwa salah satu pihak berada dalam posisi istimewa, menunjukkan suka atau tidak suka melalui perkataan maupun perbuatan, karena semua orang memiliki kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law). Perlakuan yang sama terhadap semua orang itu tercermin dalam ritual puasa di mana orang berbondong-bondong menuju masjid guna melaksanakan tarawih berjamaah. Di dalam masjid tidak ada lagi perbedaan kasta ekonomi dan kelas sosial, pangkat dan jabatan, suku maupun golongan, semua setara tanpa diskriminasi. Kedua, nilai kejujuran. Saat ini kejujuran merupakan barang langka di negeri ini. Orang kerap menggadaikan harga diri dan kejujurannya untuk mengeruk materi. Hakim juga demikian, menukar mutiara kejujuran dengan gemerlap duniawi yang sifatnya sesaat. Akibatnya praktik suap dan jual beli perkara selalu menghiasi wajah hukum kita. Padahal kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran mengenai hakikat yang haq dan bathil. Puasa mendidik kita untuk berbuat jujur dan menyelaraskan antara kata dan perbuatan. Internalisasi nilai kejujuran bagi pembentukan integritas hakim bermakna penting karena hakim yang jujur akan memutus perkara berdasarkan nurani, bukan pesanan. Hakim ulat Tapi, tahukah anda jika belakangan ini orang jujur justru tersisih karena diusir dari kampung? Ironi itu mungkin juga berlaku di berbagai lembaga birokrasi, tak terkecuali ranah penegak hukum. Kejujuran seorang penegak hukum di lingkungan sistem yang bobrok kadangkala menjadi cibiran karena dianggap menghambat keberlangsungan tradisi praktik kotor. Tak pelak, kesalehan individual harus kalah perang dengan kebatilan yang terorganisasi. Padahal kejujuran menjadi miniatur dalam mengukur integritas dan tingkat kepercayaan seseorang. Hakim yang suka menerima suap dan memperdagangkan putusan adalah hakim perusak dan bermental ulat. Di mana-mana ulat dideskripsikan binatang menjijikkan dan menggerogoti daun yang ditumpangi. Tapi ulat punya nilai filosofis bisa melakukan metamorfosis mencari hakikat diri dalam proteksi kepompong. Ulat berpuasa dengan menanggalkan jiwa perusaknya tanpa tergoda oleh urusan perut. Setelah berhasil mengalienasi diri dari jerat duniawi, ulat dalam kepompong bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Binatang yang semula menjijikkan itu, kini berubah lembut, indah dan menyenangkan. Filosofi ulat menjadi cambuk bagi hakim bermental perusak untuk melakukan metamorfosis melalui puasa sehingga mentransformasi sifat pembangun. Tentu sangat berat karena pada mulanya penuh cibiran dan pengasingan. Tapi jika konsisten, di ujung lorong akan terbit cahaya terang menyinari gelapnya belantara penegakan hukum kita. Menolak suap Puasa membangun kekuatan mental hakim untuk katakan tidak pada suap. Disadari godaan suap merupakan persoalan serius yang datang silih berganti. Suap di pengadilan berjalan dengan caranya sendiri-sendiri. Ia kadangkala datang ketika hakim benar-benar membutuhkan sokongan finansial. Kalaupun hakim itu tangguh mempertahakan idealisme, tidak jarang keluarganya menjadi sasaran suap. Dalam kitab suci manapun penyuap dan penerima suap ganjarannya neraka. Karena itu proses pendeseminasian Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang dilakukan secara simultan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial ke daerah-daerah sejatinya bermuara pada pembentukan karakter hakim yang tangguh dan kuat godaan. Namun butir-butir KEPPH ini tidak berjalan maksimal manakala kerjasama kewenangan Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial dalam hal pengawasan tidak berjalan seirama. Sepanjang tidak menyentuh ranah putusan, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial perlu merapatkan barisan dalam mengawasi dan menjaga keluhuran, martabat dan perilaku hakim. Artikel ini dimuat di harian Jawa Pos tanggal 21 Juli 2012 dan telah mengalami penambahan serta penyuntingan seperlunya. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 29 29 8/8/2012 1:05:15 PM SUDUT HUKUM Peran Kebangsaan Seorang Hakim S alah satu pilar diantara empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, di samping Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Saat ini pilar Negara Kesatuan Repubik Indonesia dihadapkan pada permasalahan semakin mengemukanya tuntutan kedaerahan hingga separatisme, yang berkelindan dengan pragmatisme. Dalam konteks Indonesia, potensi disintegrasi dengan membonceng semangat kedaerahan telah ada sejak masa awal berdirinya Republik ini, saat Belanda memaksakan bentuk negara federal dengan membentuk negara-negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Nyatanya hal itu menjadi suatu upaya sia-sia Belanda, karena bangsa Indonesia memilih kembali ke khittah sebagaimana dikehendaki dalam Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi dan UUD 1945 yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kini, dalam era yang sangat terbuka pasca-reformasi upaya dan hasrat kedaerahan ini jumbuh serta berkelindan dengan hasrat politik-ekonomi lokal, yang ternyata motif utamanya bukanlah memerdekakan diri, namun hanya merupakan artikulasi segelintir pemangku kepentingan demi mendapatkan privilege secara mudah atas berbagai‘sumber daya’ di daerah. Tarikan-tarikan kedaerahan yang proporsional demi kemajuan daerah mesti dimaklumi dan didukung, namun kalau sudah tidak lagi proporsional, profesional dan mengabaikan keadilan, maka tarikan kedaerahan tersebut layak dipertanyakan. 30 remunerasipns.com Pendahuluan Sudarsono Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Tanjungpinang Secara historis, ide negara kesatuan bukanlah ide baru bagi bangsa ini, karena semenjak zaman nenek moyang telah dikenal konsepsi Nusantara yang diaplikasikan oleh kerajaan-kerajaan besar masa silam, kemudian konsep Aslia dari Tan Malaka pada 1920an, hingga Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Puncak dari proses panjang tersebut adalah perdebatan mendalam BPUPKI dan PPKI yang melahirkan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Pancasila dan UUD 1945. Oleh Sri Soemantri hal ini dinyatakan sebagai “tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.”1 Pada titik ini, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah salah satu warisan agung dari para founding fathers yang mesti dijaga dan dikembangkan. 1 A. Mukti Arto. Konsepsi Ideal Mahkamah Agung. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001. Hal: 13. Untuk menjaga dan mengembangkan warisan agung tersebut, maka dibutuhkan adanya ketahanan nasional yang kuat. Ketahanan nasional berarti kondisi dinamis yang merupakan integrasi dan kondisi tiap-tiap aspek dari kehidupan bangsa dan negara. Pada hakikatnya, ketahanan nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara”.2 Salah satu unsur dalam ketahanan nasional adalah tegaknya hukum, karena hanya dalam hukum yang tegak dimungkinkan adanya stabilitas nasional dan pembangunan nasional.3 Hal ini karena hukum sangat berkaitan dengan keadilan, dan keadilan merupakan salah satu kebutuhan rohani utama seorang manusia, yang jika tidak terpenuhi akan dapat menimbulkan keresahan sosial, konflik sosial, hingga disintegrasi sosial (bandingkan: Pembukaan Pedoman Perilaku Hakim). Segi positif hakim Indonesia dalam memajukan pilar NKRI Ada beberapa hal yang membuat hakim berada pada posisi penting dalam menegakkan NKRI. Pertama, hakim berada pada posisi sentral guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.4 Bagaimanapun, putusan hakim adalah ‘hukum’ yang menyelesaikan pertikaian-sengketa para pihak dan memulihkan keguncangan sosial akibat suatu tindak pidana dalam masyarakat. Tanpa adanya putusan hakim, maka yang berlaku adalah perilaku main 2 Kohar Hari Sumarno, Hukum dan Ketahanan Nasional. Jakarta, Sinar Harapan, 1986. Hal: 200. 3 Ibid. Hal: 209. 4 Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 19 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 30 8/8/2012 1:05:17 PM hakim sendiri, yang tentu berujung pada disintegrasi sosial. Kedua, semua hakim berada dalam naungan Mahkamah Agung, yang notabene adalah instansi pusat, sehingga pola-pikir seorang hakim pastilah berdimensi nasional, tidak primordialkedaerahan. Ketiga, secara personal, hakim adalah sosok pilihan, yang memiliki keunggulan dari sisi fisik, pendidikan maupun etika, hal mana terbukti dari telah lolosnya mereka dalam tahapan pemeriksaan administratif, ujian maupun pendidikan dan latihan calon hakim. Dengan sumber daya manusia yang telah teruji, diharapkan hakim dapat merespon dan mengatasi segala permasalahan yang terjadi dalam penugasannya, termasuk permasalahan-permasalahan yang bersifat kedaerahan. Keempat, di daerah tugasnya, dalam forum resmi maupun tidak resmi hakim dapat memberikan pandangan-pandangan hukum atas berbagai permasalahan di daerah sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Hakim dalam tugas pokok dan fungsinya di berbagai daerah kerap mengadili permasalahan-permasalahan daerah. Sehingga seorang hakim pastilah banyak pengalaman dan dapat mengkomparasikan permasalahan dan solusi antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Kelima, budaya masyarakat yang masih menghormati hukum. Dengan masih dihormatinya hukum beserta aparaturnya, hakim memiliki posisi yang terpandang di masyarakat. Sehingga akan sangat dinantikan perannya oleh masyarakat di daerah. Keenam, hakim adalah sosok yang telah dan akan berpindah-pindah tugas. Hal itu menuntut adanya daya-adaptif terhadap lingkungan yang baru, dan di sisi lain juga menuntut adanya pemahaman yang komprehensif atas berbagai gejala sosial yang terjadi di masyarakat, baik sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 20095 maupun sebagai tuntutan survivalnya. Beberapa kendala hakim Indonesia memajukan pilar NKRI Namun patut disayangkan, potensi hakim yang sedemikian besar tersebut belum tereksplorasi secara optimal karena beberapa hal, antara lain: Pertama, persoalan klasik dimana anggaran kekuasaan yudikatif paling lemah dibandingkan kekuasaan eksekutif dan legislatif (yang juga memiliki fungsi anggaran). Tentu sedikitnya anggaran bagi hakim bukanlah kendala hakim untuk melaksanakan tugas pokoknya. Karena pada dasarnya spirit seorang hakim adalah pengabdian. Namun mengingat seorang hakim secara atributif-konstitusional adalah pemegang kekuasaan kehakiman, maka sudah sewajarnya ia memperoleh hak-hak jabatan negara yang layak. Hal tersebut tentunya akan menambah wibawa hakim, yang pada akhirnya akan mewujudkan amanat konstitusi untuk menegakkan hukum dan keadilan. Kedua, sistem ketatanegaran kita yang kurang mengakomodir kekuasaan yudikatif. Eksekutif memiliki fungsi legislasi atas UU, Peraturan Pemerintah dan seterusnya yang notabene pada dasarnya adalah domain legislatif. Sebaliknya, legislatif memiliki fungsi anggaran dan fungsi ‘pengusulan/ persetujuan’ terhadap jabatan-jabatan eksekutif tertentu. Tidak diikutkannya kekuasaan yudikatif pada dasarnya adalah baik, yaitu demi menjaga obyektivitas, independensi dan keluhuran martabat kekuasaan yudikatif. Namun, implikasinya secara faktual cukup disayangkan, karena sumber daya kekuasaan yudikatif yang sedemikian besar di setiap daerah kurang diberdayakan dalam membangun daerah sesuai dengan koridor hukum yang ada, 5 Untuk “menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.” yang notabene membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, realita politik kemasyarakatan yang kurang kondusif bagi lembaga peradilan, dimana banyak bermunculan opini dan pemberitaan tidak faktual-berimbang yang mendiskreditkan lembaga peradilan. Padahal, mestinya disadari bahwa ‘delegitimasi’ lembaga peradilan semacam ini juga akan mengakibatkan makin terpuruknya wibawa hukum, yang ujung-ujungnya adalah ketidaktertiban dan disintegrasi sosial. Keempat, materi diklat untuk calon hakim maupun hakim kebanyakan berupa teknis peradilan. Sedangkan materi yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab hakim sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia masih belum tereksplorasi secara mendalam. Materi pendidikan kebangsaan dan kewarganegaraan hanya dilakukan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dan beberapa instansi terkait. Hal ini dapat dimaklumi karena hingga kini wacana politik dan kenegaraan kita masih secara parsial memandang hakim hanya sebagai ‘pemutus perkara’, belum sebagai kader penyemai semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penutup Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hakim sangat berperan dalam menunjang tegaknya pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari beberapa kendala di atas, dapat disarankan agar materi pendidikan kebangsaan juga disampaikan dalam diklat hakim, lebih mengintensifkan peran kemasyarakatan hakim dengan tanpa mengurangi independensinya, dan memenuhi kedudukan protokoler hakim berikut hak-haknya yang lain sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang, agar hakim memiliki kedudukan dan martabat yang selayaknya. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 31 31 8/8/2012 1:05:17 PM BULETIN KOMISI YUDISIAL/ ANDHIKA LEBIH DEKAT M. Hatta Ali Ketua Mahkamah Agung KY dan MA Harus Bersinergi Wujudkan Keagungan Peradilan Dinal Fedrian, Nur Agus Susanto H atta Ali kini tengah berada di puncak karirnya sebagai hakim. Pria kelahiran Pare-Pare 7 April 1950 ini sejak 1 Maret 2012 resmi menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung usai mengucapkan sumpah di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara. Ia terpilih sebagai Ketua Mahkamah Agung menggantikan Harifin A Tumpa. Bagi Komisi Yudisial sosoknya mewarnai perjalanan hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung. Ia 32 merupakan hakim agung generasi pertama sejak kehadiran Komisi Yudisial yang mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung ke DPR. Lulusan Doktor Ilmu Hukum dari Unpad ini berhasil lulus seleksi calon hakim agung Komisi Yudisial tahun 2006. Sebelum menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung, Hatta Ali merupakan Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung. Tanggung jawabnya sangat identik dengan wewenang yang dimiliki Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat serta perilaku hakim. Sebagai Ketua Muda Pengawasan ia bertanggung jawab mengurangi pelanggaranpelanggaran perilaku para hakim. Sebab Ketua Muda Pengawasan merupakan pengawas internal para hakim. Saat menjabat sebagai Ketua Muda Pengawasan ia juga dipercaya menjadi Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi). Sebagai ketua organisasi para hakim, saat itu, ia diharapkan dapat EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 32 8/8/2012 1:05:20 PM Komisi Yudisial memasuki kiprahnya yang ke-7 tahun pada Agustus ini. Apa refleksi dan harapan Bapak kepada Komisi Yudisial? Akhir-akhir ini makin terjalin kerjasama yang baik antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Tentu dalam perjalanan selama ini ada riak-riak dalam hubungan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, tetapi itu adalah hal biasa. Kalau tidak ada riaknya mungkin tidak ada seninya. Tetapi segala riak itu bisa dikomunikasikan sehingga bisa berbalik menjadi baik. Itulah prinsip saya dalam menjalin hubungan dengan Komisi Yudisial. Satu hal juga Komisi Yudisial sekarang tidak terlalu gampang menyatakan kesalahan suatu kasus. Kalau dahulu begitu ada hakim yang memvonis janggal langsung dinyatakan bersalah padahal belum dilakukan pemeriksaan. Sebab bagaimanapun hakim-hakim kalau sudah divonis atau dibocorkan namanya sebelum dilakukan pemeriksaan dan belum tentu bersalah, mereka pasti menyatakan keberatan ke Mahkamah Agung. Jadi asas praduga tidak bersalah perlu dijaga Komisi Yudisial. Sebab kalau belum apa-apa sudah diekspose hal tersebut malah meruntuhkan kehormatan, dan keluhuran martabat hakim. Efek buruknya nanti orang yang tidak bersalah malahan berbuat salah. Saya tidak berbuat salah tetapi sudah diekspose bersalah, sekalian saja saya buat salah. Jadi bagaimana hubungan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai pengawas internal dan pengawas eksternal hakim? Perlu terus berkoordinasi agar tidak terjadi perbenturan. Apabila ada kasus yang sudah ditangani oleh Mahkamah Agung maka Komisi Yudisial tidak perlu lagi menanganinya. Begitu juga sebaliknya supaya lebih efisien. Kemudian apabila terjadi perbedaan pendapat di dalam pengawasan, dalam Undang-Undang Komisi Yudisial itu sudah diatur mengenai pemeriksaan bersama. Apakah sinergitas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial menjadi prioritas Bapak sebagai Ketua Mahkamah Agung? Saya kira hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung harus tetap harmonis, tetap berkoordinasi. Hal ini sudah kita lakukan, ada tim penghubung dan tim asistensi yang membantu hubungan kerjasama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Tim penghubung dan tim asistensi ini dibentuk di Mahkamah Agung dan juga di Komisi Yudisial untuk membantu hubungan kerjasama yang sifatnya lebih detil di antara kedua lembaga. Jadi, untuk mencari jalan tengah yang ada antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial coba dilakukan komunikasi. Karena tanpa komunikasi kita tidak tahu bagaimana memecahkan masalah yang ada. Dengan komunikasi yang dilakukan baik formal maupun informal saya kira sangat efektif. Oleh karena tujuan adanya Komisi Yudisial itu baik untuk melakukan pengawasan agar tercipta personil-personil yang baik di Mahkamah Agung, maka kita menyambut baik kehadiran Komisi Yudisial. Terutama BULETIN KOMISI YUDISIAL/ TATANG S meningkatkan kesejahteraan para hakim. Menurutnya terdapat korelasi positif antara peningkatan kesejahteraan hakim dengan penurunan pelanggaran perilaku hakim. Ia ber pendapat dengan terpenuhinya kesejahteraan, para hakim akan berpikir sepuluh kali untuk melakukan pelanggaran. Terutama berkaitan dengan penyuapan. Komisi Yudisial bagi Hatta Ali dipandang positif sebagai mitra Mahkamah Agung. Ia menyadari bahwa Mahkamah Agung membutuhkan mitra kerja yang dapat membantu terutama untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Dalam bahasa Hatta Ali dikatakan Mahkamah Agung mempunyai keterbatasan personil maupun anggaran untuk melaksanakan proses tersebut. Hatta Ali (tengah) saat dilantik menjadi hakim agung. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 33 33 8/8/2012 1:05:22 PM LEBIH DEKAT personil hakim karena pencari keadilan mengharapkan hakim-hakim yang baik, profesional, berintegritas, dan jujur. Oleh karena itu tujuan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sama untuk menindaklanjuti laporan-laporan masyarakat. Tanpa adanya laporan masyarakat kita tidak mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada di pelosok. Dengan pengalaman yang Bapak miliki bagaimana sebetulnya seluk beluk pegawasan hakim dan bagaimana pula implementasinya yang akan Bapak terapkan selagi Bapak menjabat Ketua Mahkamah Agung? Yang pasti pengawasan hakim itu tidak mudah atau terang bagi saya. Sehingga bila ada pengaduan-pengaduan masyarakat yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung saya sudah bisa mendisposisi dengan memberikan petunjuk kepada Ketua Muda Pengawasan dalam penanganan kasus tersebut. Sebab bagaimana pun feeling saya lebih tajam/ lebih cepat menangkap. Bagaimana Bapak memandang laporan-laporan masyarakat yang masuk ke Komisi Yudisial? Saya katakan hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial akan tetap baik sebab tujuannya sama demokrat.or.id Bapak sebelum menjadi Ketua Mahkamah Agung adalah Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung, kira-kira bagaimana konsep pengawasan hakim yang akan Bapak jalankan sekarang sebagai Ketua Mahkamah Agung? Masalah pengawasan hakim bisa dibilang bagi saya sudah mendarah daging. Karena sejak menjadi CPNS di Departemen Kehakiman saya sudah ditempatkan di Inspektorat Jenderal. Tentunya setelah menjadi Ketua Mahkamah Agung masalah pengawasan tetap menjadi prioritas. Sebab sebaik-baiknya suatu institusi pasti ada juga yang nakal di dalamnya. Untuk orang-orang seperti ini kita lakukan tindakan represif. Untuk yang lainnya kita lakukan tindakan preventif supaya jangan sampai tertulari oleh oknum-oknum yang nakal. Selain itu kita juga melakukan pembinaan untuk meningkatkan kualitas. Presiden SBY dan Ibu Ani serta Wapres Boediono menyalami Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali. 34 yaitu melakukan pengawasan. Sepanjang, kita bisa menjaga rambu-rambu yang ada pada masing-masing lembaga. Misalnya masalah teknis yudisial, itu sepenuhnya adalah kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengawasan. Sementara ranah Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan sepanjang berkaitan dengan Kode Etik atau Pedoman Perilaku Hakim. Kalau ini berjalan sesuai aturan undang-undang yang mengatur kompetensi masing-masing maka tidak akan terjadi persinggungan. Apa sebetulnya definisi teknis yudisial? Misalnya ada putusan hakim lalu dikoreksi oleh Komisi Yudisial kemudian dikatakan bahwa putusan itu tidak benar. Sebab bila berkaitan dengan urusan teknis, ada satu pihak yang tidak puas ada ketentuan undang-undang yang mengatur bahwa yang merasa dirugikan bisa mengajukan banding atau kasasi. Yang kita jaga itu jangan sampai independensi hakim terganggu dengan adanya pengawasan yang bersifat teknis yang merupakan wewenang penuh hakim. Kita saja Mahkamah Agung dalam hal yang bersifat teknis harus berhati-hati. Kita yang mempunyai kewenangan melakukan pengawasan teknis sendiri harus bisa memilah-milah bagian mana yang memang kesalahan mendasar tidak boleh dilakukan oleh setiap hakim, bagian mana yang murni bersifat teknis. Sebab kalau hakim membuka ruang intervensi untuk hal-hal di luar peradilan maka akan merugikan pencari keadilan sebab hakim pasti tidak objektif lagi. Masyarakat menginginkan jaminan hakim bebas intervensi. Bagaimana pandangan Bapak mengenai korelasi antara pengawasan hakim dengan tingkat kesejahteraan hakim? Kesejahteraan hakim selama ini memang belum sepenuhnya memadai. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 34 8/8/2012 1:05:23 PM Dalam arti kata mungkin para hakim yang ingin menyekolahkan anaknya masih mengalami permasalahan biaya. Dan masalah lain-lain seperti kesehatan. Tetapi dalam kacamata seorang pengawas hal itu tidak boleh dijadikan alasan. Kesejahteraan apapun yang didapatkan sekarang ini tidak boleh menjadi alasan untuk tidak melakukan ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan. Dalam kaca mata saya sebagai seorang hakim yang paling penting adalah kejujuran. Kalau dari segi kualitasnya kurang sebagai seorang hakim masih dapat kita benahi dalam proses perjalanan karirnya. Tetapi kalau dari asalnya mempunyai sifat tidak jujur, curang, tidak berintegritas, ini berbahaya sebagai hakim. Menuntut kesejahteraan itu boleh saja. Tetapi jangan sampai karena alasan kurang sejahtera lalu melakukan pelanggaran. Ini berarti nilai kejujurannya tidak ada. Sejauh mana korelasi tingkat kesejahteraan hakim dengan perilakunya? Dengan terpenuhinya kesejahteraan, para hakim akan berpikir sepuluh kali untuk melakukan pelanggaran. Terutama berkaitan dengan penyuapan. Mereka akan berpikir untuk apa lagi disuap karena semua sudah dipenuhi. Yang saya khawatirkan kalau ada hakim anaknya sakit atau mau masuk sekolah kemudian ada penawaran masuk untuk memberikan sejumlah uang, khawatirnya dia lupa segala-galanya sehingga menerima uang itu. Apabila kesejahteraan sudah terpenuhi tetapi masih ada hakim yang tetap nakal saya kira kita perlu menindak secara tegas. Dengan kesejahteraan yang naik harus ada kompensasinya yaitu menunjukkan hal-hal yang baik, tidak melakukan pelanggaran. Bagaimana harapan Bapak terhadap para hakim sendiri? Visi Mahkamah Agung adalah mewujudkan peradilan yang agung. Arti visi ini sangat luas yaitu pengadilan sudah mendapat kepercayaan masyarakat atau hakimnya sudah profesional, hakimnya kesejahteraannya sudah bagus, sudah penuh wibawa. Selain itu misi Mahkamah Agung ada empat. Pertama, menjaga kemandirian badan peradilan. Artinya siapa pun tidak boleh ikut campur dalam kekuasaan kehakiman termasuk Mahkamah Agung sendiri apalagi yang non Mahkamah Agung. Kedua, memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan bagi pencari keadilan. Ini sudah banyak SEMA yang kita keluarkan. Misalnya penyelesaian perkara tidak boleh lebih dari enam bulan. Ketiga, meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan. Ini sangat menentukan. Apabila pimpinan pengadilan tingkat pertama dan banding kualitas kepemimpinannya kurang maka anak buahnya juga akan kurang semua. Proses pengawasan melekat itu kan di kepemimpinan. Keempat, meningk atk an kredibilitas dan transparansi badan peradilan. Ini juga sudah banyak SEMA yang keluar seperti SEMA No. 144 tahun 2007 yang telah diperbarui. Contoh lainnya, putusan dalam waktu 2x24 jam sudah harus dimuat di website. Kemudian setiap pengadilan harus ada desk informasi dan pengaduan. Itulah kita menuju ke sana mudah-mudahan keempat misi ini dapat terpenuhi dalam waktu sesingkatsingkatnya. Nama : M. Hatta Ali Tempat/Tanggal Lahir : Pare-Pare, 7 April 1950 Jabatan : Ketua Mahkamah Agung RI Pendidikan Terakhir : Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Riwayat Karir : CPNS Depkeh 01-03-1978 PNS depkeh 01-06-1979 Pemeriksa Itjen Depkeh. 01-10-1980 Cakim PN Jakarta Utara 10-03-1982 Hakim PN Sabang 05-04-1984 Plh KPN Sabang 08-07-1989 Hakim PN Lubuk pakam 01-04-1990 WKPN Gorontalo 07-04-1995 KPN Bitung 18-11-1996 Hakim PN Jakarta Utara 23-12-1998 KPN Manado 16-06-2000 KPN Tangerang 05-07-2001 Hakim Tinggi PT Denpasar 21-05-2003 Sekretaris KMA 29-12-2004 Dirjen Badilum 02-08-2005 Hakim Agung 23-07-2007 Ketua Muda Pengawasan MA 08-04-2009 EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 35 35 8/8/2012 1:05:24 PM BULETIN KOMISI YUDISIAL/ NURA SELINTAS Gedung Mahkamah Syar’iyah Aceh S uparman Marzuki berargumen gedung pengadilan harus memiliki karakter yang jelas dibandingkan gedung yang lain. Seyogianya gedung pengadilan harus lebih megah dibandingkan gedung lain. Selain itu, gedung pengadilan juga menunjukkan keagungan dan kehormatan lembaga peradilan itu sendiri. “Seseorang yang masuk ke gedung pengadilan memiliki rasa ketundukan pada lembaga hukum,” tambah dia dalam kesempatan yang berbeda. Apa yang disampaikan Suparman Marzuki tentang gedung Mahkamah Syar’iyah benar adanya. Fakta di propinsi paling barat Indonesia menunjukkan bahwa keberadaan gedung Mahkamah Syar’iyah itu terlihat berbeda. Bahkan, gedung itu bisa jadi salah satu gedung termegah di propinsi yang pernah dilanda bencana hebat, Tsunami tahun 2004. Keberadaan Mahkamah Syar’iyah yang mengepankan hukum Islam sesuai dengan karakter masyarakat NAD. Menjadi bagian dari perjalanan 36 Mahkamah Syar’iyah Aceh Bangunan Keadilan Masyarakat Aceh Nur Agus Susanto “Seharusnya gedung pengadilan itu seperti Mahkamah Syar’iyah Aceh (Mahsyar). Kemegahan dan keagungan gedung menampakkan kewibawaan peradilan,” kata Anggota Komisi Yudisial Dr. Suparman Marzuki, S.H., M,Si., saat menjadi pembicara dalam kegiatan sosialisasi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), beberapa waktu lalu. sejarah panjang penduduk NAD yang menjunjung tinggi ajaran agama Islam, teguh dalam aqidah dan taat menjalankan syariat Islam, sebagaimana disimpulkan dalam untaian kata “Adat Bak Poteu Meureuhom, Hukum Bak Syiah Kuala” yang bermakna adat istiadat kerajaan/masyarakat diatur oleh sultan, tapi dalam bidang hukum wewenangnya di pundak ulama. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 36 8/8/2012 1:05:37 PM Keberadaan bangunan Mahsyar berada di jalan T. Nyak Arief yang menempati sala satu area bernama Komplek Keistimewaan Aceh, bersebelahan dengan Kantor Gubernur Aceh dan gedung pemerintahan lain. Dibandingkan bangunan lain, gedung tempat para wakil Tuhan berkantor terlihat megah nan eksotis. Memasuki bangunan Mahsyar, atau pengadilan agama tingkat banding, kita terlebih dahulu dihadapkan hamparan lahan parkir yang luas. Bangunan gedung lebih tinggi dibandingkan tanah “mengharuskan” para tamu dan pengunjung lebih dulu menapaki undakan tangga sepanjang 10 meter untuk mencapai pintu masuk. Begitu menjejakkan kaki di pintu masuk yang merupakan lantai II, pandangan pengunjung tertumbuk pada meja penerima tamu dan tiga soko atau tiang berbalut marmer berwarna coklat dan guratan warna kuning emas. Di samping kanan pintu masuk terdapat komputer yang berisi layanan informasi pengadilan seperti jadwal sidang dan infomasi lain. Sementara di samping kiri terdapat prasasti penandatanganan pembangunan gedung dan papan informasi kehadiran para pimpinan dan hakim tinggi di Mahsyar Aceh. Ruangan pimpinan dan panitera/ sekretaris Mahsyar berada di sebelah kiri meja penerima tamu. Lantai ruangan tersebut terhampar dilapisi karpet warna coklat. Jika ada tamu maka dia harus menanggalkan alas kaki tanpa terkecuali. Cara itu dilakukan agar menjaga kesucian ruangan. Lantai III gedung Mahsyar Aceh diperuntukkan bagi staf dan pegawai di bawah kendali panitera/sekretaris. Ada ruangan khusus teknologi informasi, ruang kepegawaian, ruang tata usaha, dan kearsipan, serta ruangan-ruangan lain yang berada di sebelah kiri. Ada satu satu hal yang berbeda di gedung ini yaitu ruang pertemuan. Ruangan ini menjadi kebanggaan Mahsyar Aceh. Luas ruangan ini kurang lebih 300 meter persegi bergaya minimalis yang memadukan warna dinding coklat dengan kayu warna hitam, serta dipercantik dengan langit-langit warna coklat dan lampu hias berwarna kuning emas. “Kami mempersilakan masyarakat Aceh menggunakan ruangan ini untuk pertemuan semacam seminar dan Dengan bantuan tanah tersebut, maka pembangunan gedung Mahkamah Syar’iyah Aceh tidak membutuhkan dana besar. Alokasi anggaran pembangunan gedung yang dibutuhkan sebesar Rp 16 miliar. Panitera/Sekretaris Mahsyar Aceh Syamsikar menjelaskan sesuai instruksi pimpinan bahwa pembangunan gedung harus sesuai dengan bestek yang sudah direncanakan. Tidak boleh kurang ataupun lebih. Alhasil, dengan alokasi dana yang ada tetap dapat acehtraffic.com Lepas alas kaki Pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh sebagai wujud penerapan syariat Islam. diskusi saat kantor libur,” ujar Wakil Ketua Mahkamah Syar’ iyah M. Jamil Ibrahim. Cara itu dilakukan untuk membangun kedekatan dengan masyarakat. Mengandalkan kejujuran Jamil menambahkan pembangunan gedung berlantai III ini mengunakan APBN tahun 2007 dan 2008. Luas bangunan Mahkamah Syar’iyah Aceh mencapai 4.100M². Sementara itu, tanah tempat bangunan ini berdiri merupakan bantuan Pemda NAD dengan luas ± 6.000 M2. memperoleh kualitas bangunan sesuai yang diharapkan, seperti sekarang ini. Mengulas tentang proses infrastruktur pembangunan gedung ini tidak bisa dilepaskan dengan proses pembangunan suprasruktur Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Dasar pembangunan gedung Mahkamah Syar’iyah di Aceh dimulai tahun 2003 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Propinsi di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Keppres tersebut merujuk pada Undang-undang EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 37 37 8/8/2012 1:05:38 PM SELINTAS bangsa yang sejahtera, aman tenteram, tertib dan untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum dalam rangka memberikan pengayoman kepada masyarakat Qonun itu mengemukakan bahwa Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang ahwal al syakhshiyah, mu’amalah, dan jinayah. www.ms-aceh.go.id Manajemen perkara Idris Mahmudy Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Keppres tertanggal 3 Maret 2003 itu menyebutkan Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh berubah nama menjadi Mahkamah Syar’iyah Propinsi yang akan dijadikan sebagai pengadilan tingkat banding. Sedangkan pengadilan agama di kabupaten dan kotamadya berubah menjadi Mahkamah Sy a r ’i y a h K a b u p a te n a t a u Kotamadya sebagai pengadilan tingkat pertama. Jumlah Mahsyar yang berada di kabupaten/kota berjumlah 20. Selain Keppres, UU tersebut juga mengamanatkan adanya peraturan daerah yang disebut Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah NAD dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. Berdasarkan Qanun Propinsi NAD Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam dikatakan tujuan pembentukan Mahsyar antara lain untuk bersama-sama dengan peradilan yang lain mewujudkan tata kehidupan 38 Mengutip laporan resmi tahunan 2011, Mahsyar Aceh tercatat menerima 141 perkara perdata ditambah dengan sisa tahun 2010 sebanyak 3 perkara, sehingga berjumlah 144 perkara. Dalam kurun waktu tahun 2011 telah diselesaikan 129 perkara, sedangkan sisa akhir tahun sebanyak 15 perkara. Sementara perkara pidana/jinayat tercatat hanya 9 perkara. Komposisi perkara perdata terdiri cerai talak mencapai 24 perkara, cerai gugat sebanyak 63, kewarisan dengan 29 perkara, harta bersama dengan jumlah 20 perkara. Sementara untuk perkara banding untuk pidana/jinayat tercatat perkara khalwat / mesum mencapai 1 perkara, M a i s i r /judi sebanyak 7 perkara, dan khamar/minuman keras tercatat 1 perkara. Mahsyar Aceh memiliki15 hakim termasuk ketua dan wakil ketua. Mahkamah ini membawahi 20 Mahsyar yang berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. Jumlah pegawai keseluruhan Mahsyar sampai akhir Desember 2011 tercatat 489 orang, dengan rincian tenaga teknis Yudisial yang terdiri hakim dan panitera sebanyak 340 orang dan tenaga non teknis yudisial 149 orang. Dalam kurun waktu satu tahun Mahkamah Syar’iyah Aceh dan 20 Mahkamah Syar’iyah di kabupaten/kota memperoleh alokasi anggaran Rp 54,4 miliar. Jumlah tersebut terbagi di tiga komponen, belanja pegawai, belanja modal, dan dan belanja barang. Lima generasi Mengutip tulisan Miswar Sulaiman, dikatakan Peradilan Islam di Aceh telah berfungsi sejak era Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1600-an. Pada masa Iskandar Muda itu berlaku pula slogan, “adat bak po teumeureuhom, hukom bak syiah kuala, qanun bak putroe phang, reusam bak lakseumana”. Ada satu fakta pelaksanaan hukum Islam ketika Meurah Pupok bin Sultan Iskandar Muda terbukti berselingkuh dengan isteri seorang perwira kerajaan Aceh. Ia dihukum rajam sesuai hukum Islam. Muncul pertanyaan kenapa Sultan sampai hati melaksanakan hukuman itu? Sultan berkata, “matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat ta mita”. Mahfumnya, mati seorang anak tau di mana kuburannya, tapi kalau adat dan hukum tidak ditegakkan, tak tahu bagaimana kesudahannya. Peradilan Islam di Aceh telah mengalami sejarah panjang. Enam era sudah dilalui yakni masa Kerajaan Aceh, masa kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang, masa revolusi fisik, era kembali ke Negara Kesatuan RI, dan era otonomi khusus. Masing-masing era memiliki karakteristik tertentu. Peradilan agama di Aceh memasuki babak baru dengan lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Sebab salah satu lembaga yang harus ada untuk mendukung penegakan peradilan syariat Islam di Aceh, yakni dibentuknya Mahsyah-. Mahkamah Syar’iyah juga harus menganut tiga tingkat peradilan, yakni Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota sebagai pengadilan tingkat pertama, Mahkamah Syar’iyah propinsi sebagai pengadilan tingkat banding dan tingkat kasasi di Mahkamah Agung. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 38 8/8/2012 1:05:42 PM LAPORAN KHUSUS BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL Dinal Fedrian Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman didampingi Anggota Komisi Yudisial Taufiqurrohman Syahuri dan Jaja Ahmad jayus serta Juru Bicara Asep Rahmat Fajar saat melakukan audiensi dengan para hakim yang menuntut perbaikan status dan kesejahteraan di kantor Komisi Yudisial. Kesejahteraan Hakim Jadi Prioritas Komisi Yudisial M. Purwadi Tuntutan hakim di Indonesia yang meminta perbaikan status dan kesejahteraan sejatinya menjadi perhatian Komisi Yudisial, dan persoalan tersebut telah disampaikan pimpinan beserta anggota Komisi Yudisial periode 2010 - 2015 ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awal 2011. K etua Komisi Yudisial Eman Suparman mengatakan setiap kali bertemu dengan pemangku kebijakan atau pertemuan dengan pimpinan lembaga negara lain, pihaknya tak pernah ragu menyampaikan isu mengenai kesejahteraan hakim. Pasalnya, hakim merupakan salah satu ujung tombak penegakan hukum di tanah air. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 39 39 8/8/2012 1:05:56 PM LAPORAN KHUSUS Selama ini, para hakim hidup dengan apa adanya, mengingat gaji yang minim dan tunjangan yang tidak mencukupi. Karena keterpaksaan itulah, kata Eman, mereka terpaksa melirik kanan dan kiri guna memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat. Demontrasinya para hakim ke sejumlah tempat, seperti Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan DPR merupakan kesadaran pribadi untuk memperjuangkan kesejahteraan hidupnya. Mereka sadar atas apa yang dilakukan. Mereka hanya ingin menunjukkan bahwa hakim sebenarnya tidak ingin menyalahi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, tapi kondisi dan keterbatasan yang memaksa itu. Eman meyakini, para hakim bisa diajak menjadi baik asalkan hak-haknya dan tunjangan jabatan atas mereka terpenuhi. Catatan penting bagi mereka, jika hak dan tunjangan itu tetap tidak terpenuhi, maka iktikad mereka untuk baik akan sulit terwujud. Pasalnya, gaji dan tunjangan yang diberikan negara tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup pribadi dan keluarganya. “Sempat terlintas dalam pikiran, kenapa para hakim masih saja melirik ke kanan dan ke ke kiri. Apakah memang mereka itu serakah atau memang gajinya kecil sehingga terpaksa cari-cari tambahan. Namun, itu semua kembali kepada pribadi masing-masing hakim,”tutur Guru Besar FH Unpad ini. Contohnya, para hakim yang juga dosennya saat mengenyam pendidikan di Unpad, tetap sanggup menjaga kejujuran dan integritasnya meskipun dengan gaji dan tunjangan pas-pasan. Eman berkeyakinan, para hakim bersedia memenuhi ajakan Komisi Yudisial untuk menjaga Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim asalkan lembaga pengawas hakim tersebut juga bertanggung jawab memperjuangkan hak-haknya. Tentunya bagi Eman selaku ketua Komisi Yudisial yang bercita-cita menegakkan wibawa citra hakim, tidak ada pilihan lain kecuali mendukung tuntutan mereka. BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL Perjuangan para hakim dalam menyampaikan aspirasi, menyangkut kesejahteraan hidupnya ke Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan lembaga lainnya menunjukkan fenomena langka. Dari fenomena ini, Eman menangkap sinyal positif, bahwa para hakim sudah bersedia diajak baik. Bersedia bersama sama mengembalikan citra dunia peradilan yang sudah mulai kelam karena ulah para oknum hakim yang tidak mematuhi aturan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Hanya saja, saat mereka sadar akan tanggung jawab dan kewajibannya sebagai sang pengadil, justru terbentur penghasilan yang minim dan jauh dari kecukupan. Makanya, hemat Eman, jika menginginkan para hakim bisa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik, negara harus memberikan hak-haknya sebagai pejabat negara, termasuk sejumlah tunjangan-tunjangan yang seharusnya mereka terima selama menjabat sebagai hakim. Anggota Komisi Yudisial periode 2010-2015 dan Sekjen serta Juru Bicara Komisi Yudisial melakukan pertemuan dengan Presiden, tahun 2011. Salah satu masalah yang dibahas adalah kesejahteraan hakim. 40 EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 40 8/8/2012 1:06:03 PM Mutasi, promosi, dan kesejahteraan hakim Pekerjaan sebagai hakim yang berpindah-pindah daerah tugas, juga memiliki keterkaitan erat dengan kesejahteraannya. Oleh sebab itu, Eman minta agar pola mutasi dan promosi hakim mempertimbangkan kesejahteraan hakim. Ia mengatakan berdasarkan pengalamannya selama ini berdialog dengan para hakim di daerah masih ditemui hakim tidak diberikan fasilitas primer seperti rumah dinas. Mereka tinggal di tempat kos yang disewa per bulan dengan luas ruangan rata-rata berukuran 3x3 meter. Contoh BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL Bukti keseriusan Komisi Yudisial memperjuangkan status dan kesejahteraan hakim bisa terlihat dari upayanya, diantaranya mengantar puluhan hakim yang beraudiensi ke DPR dan KemenPAN dan RB. Komisi Yudisial selaku lembaga pengawas hakim turut memfasilitasi dan berbicara dengan dua lembaga tersebut guna mengaspirasikan keinginan para hakim. Bahk an, Komisi Yudisial mengundang sejumlah lembaga terkait seperti Menkeu, MenPAN dan RB, Mensesneg, dan pihak MA, untuk membicarakan tuntutan para hakim yang menginginkan kejelasan status dan peningkatan kesejahteraan hidupnya. “Untungnya mereka respon dan itu satu bukti bahwa mimpi saya Insya Allah bisa terbukti seandainya semua pihak mau komitmen kepada apa yang dituntut mereka,” harap Eman. Eman menilai, selama ini status hakim tidak tegas. Hakim diakui sebagai pejabat negara dan pegawai negeri sipil (PNS). Sebagai pejabat negara korps ”jubah hitam” tersebut tidak memperoleh fasilitas seperti yang diterima seorang pejabat negara. Demikian pula dengan status sebagai PNS, hakim tak memperoleh kenaikan gaji berkala yang selalu diterima PNS lain tiap tahun. Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman menjadi pembicara pada Rapat Koordinasi Pembaruan Pola Mutasi dan Promosi Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc di Lingkungan Peradilan Umum Mahkamah Agung di Bogor. seperti ini ia dapatkan ketika berkunjung ke Gorontalo. “Saya berharap mutasi disertai dengan fasilitas yang memadai dan tidak membuat hakim menjadi menderita,” ujar Eman ketika menjadi narasumber dalam kegiatan Rapat Koordinasi Pembaruan Pola Mutasi dan Promosi Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc di Lingkungan Peradilan Umum Mahkamah Agung di Bogor, (13/6). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung. Pentingnya mempertimbangkan faktor kesejahteraan dalam proses mutasi dan promosi adalah untuk menghindari terjadinya penurunan kualitas hidup para hakim. Kurangnya fasilitas perumahan dan perlengkapannya serta berpisah dengan istri atau suami dan anak-anak dari para hakim, menurut Ketua Komisi Yudisial, akan sangat berpengaruh kepada kualitas hidup mereka. “Jadi Komisi Yudisial punya sudut pandang mensejahterakan para hakim lewat mutasi dan promosi. Karena, kalau tidak kita tidak akan punya peradilan yang agung sesuai blue print Mahkamah Agung,” ujar Eman di hadapan Dirjen Badilum Cicut Sutiarso dan para peserta rapat lainnya. Selain faktor kesejahteraan, Eman juga meminta dalam proses mutasi dan promosi hakim memperhatikan faktor peningkatan kapasitas, dan peningkatan ketenteraman, serta ketenangan para hakim. Ia menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke Pengadilan Negeri Poso (PN Poso) dimana ada keluhan dari hakim karena diintimidasi bahkan diancam akan dibunuh oleh para pihak yang ditangani perkaranya. Selain itu, dalam kunjungannya tahun lalu itu Ketua Komisi Yudisial menemukan fakta hanya ada 4 hakim di PN Poso termasuk Ketua PN tanpa ada wakilnya. “Mereka kebanjiran perkara karena wilayah hukum PN Poso meliputi 3 kabupaten,” tuturnya. “Sebaiknya perlu ada kerjasama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung soal database hakim beserta rekam jejak mutasi-promosinya,” ucapnya. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 41 41 8/8/2012 1:06:16 PM LAPORAN KHUSUS Tim Kecil Status dan Kesejahteraan Hakim Agar Yang Mulia Betul-Betul Mulia M. Purwadi Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman menjadi pembicara dalam seminar nasional tentang kesejahteraan hakim. F ungsi dan tugas Hakim adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga, profesi sebagai pemberi keadilan itu sangat mulia. Dapat pula dikatakan bahwa hakim itu bertanggung jawab langsung kepada-Nya. Di samping, hakim juga mempunyai tanggung jawab sosial kepada masyarakat (social accountability). Namun, walaupun begitu hakim tetap manusia biasa yang bisa khilaf, keliru dan salah. Banyak faktor yang menjadikan seorang hakim menyimpang dari tugas dan tanggungjawabnya. Salah satunya 42 menyangkut kesejahteraan hidup pribadi dan keluarga yang kurang terjamin oleh pemerintah. Akibat fatal bisa saja terjadi, kedaulatan Indonesia sebagai negara hukum bisa terancam jika kesejahteraan hakim sebagai salah satu sendi penjaganya tidak terjamin. Jadi, harus ada perhatian khusus dari lembaga terkait seperti Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), dan Sekretariat Negara (Setneg) untuk memperjuangkan kesejahteraan wakil Tuhan tersebut. Sulit mengharapkan terjadinya penguatan hukum dan keadilan di negeri ini jika para hakim sebagai garda terdepan keadilan bekerja dengan dukungan kesejahteraan yang tak memadai. Tuntutan para hakim yang mengaspirasikan status dan kesejahteraannya, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan sistem remunerasi sebagai bagian dari reformasi birokrasi. Para hakim sejatinya bukan birokrat sebagaimana dipahami secara umum. Mereka adalah pejabat negara dari salah satu cabang kekuasaan. Kedudukan hakim yang istimewa ini sesuai dengan pesan konstitusi EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 42 8/8/2012 1:06:18 PM BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sehingga, jika ditelisik dari persoalan ini, tuntutan kenaikan gaji hakim bisa dipahami dari dua hal. Pertama, sebagai penopang utama cabang kekuasaan yudikatif, dimana hakim tidak ikut serta dalam pembuatan undang-undang (UU) sebagaimana pemerintah dan DPR. Terutama dalam UU APBN, di dalamnya pemerintah dan DPR dapat menentukan gaji, bonus, dan kegiatan proyek sebagai sumber pendapatan. Hakim sebagai cabang kekuasaan yudikatif hanya bisa mengusulkan nasib mereka, tetapi tidak bisa ikut dalam politik pengambilan keputusan untuk menentukan pendapatan mereka. Apalagi, sebagai hakim, mereka harus menjaga integritas dan etika untuk tidak ikut dalam proses lobi politik yang sifatnya untuk kepentingan pribadi. Kedua, berbeda dengan pemerintah, hakim hanya hidup dari gaji dan tunjangan karena mereka tidak boleh terlibat dalam pengerjaan proyek. Sehingga wajar jika para hakim yang memiliki beban berat dalam menjunjung Komplek perumahan kehakiman di Jakarta. integritas dan keadilan mengungkapkan beban kesejahteraan yang mereka pikul dalam tugas terhormatnya. Dalam upaya merespon aspirasi perwakilan hakim Indonesia yang menuntut status dan kesejahteraan hakim, lima lembaga terkait seperti, MA, KY, Kemenkeu, KemenPAN dan RB, dan Setneg, melakukan pertemuan guna membahas persoalan tersebut. Mereka sepakat membentuk tim kecil untuk membahas status dan kesejahteraan hakim yang dipimpin MA sebagai leading sector. Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung Widayatno Sastro Hardjono, yang mewakili Mahkamah Agung dalam tim kecil, mengatakan, tim kecil bertujuan menindaklanjuti tuntutan yang dilakukan oleh para hakim terkait status pejabat negara, tunjangan dan fasilitas yang didapatkan. Namun, tim kecil yang dipimpinnya itu, tidak hanya membahas masalah gaji dan tunjangan, tetapi juga mengembalikan statusnya sesuai dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Masa bekerja bagi tim kecil ini berakhir Juli 2012. Hal itu, menurut Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Ridwan Mansyur, sesuai dengan Surat Keputusan Ketua MA (SK KMA) tentang Pembentukan Tim Kecil. Minimnya waktu pembahasan, membuat tim kecil yang terdiri dari gabungan beberapa lembaga, mengintensifkan pertemuan. Tujuannya, target yang dibebankan berupa usulan draft PP dan Perpres tentang penjabaran status dan kesejahteraan hakim sebagai pejabat negara terealisasi dan secepatnya bisa diserahkan ke Setneg pada akhir Juli. Tim kecil, menurut Ridwan, membahas dua draft PP menyangkut kedudukan dan hak hakim sebagai pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, dan hak keuangan dan fasilitas hakim ad hoc sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Kedua peraturan ini secara khusus mengatur kedudukan, hak, tunjangan, dan fasillitas hakim dan hakim ad hoc. Mengingat, karakteristik hakim sebagai pejabat negara sangat berbeda dengan pejabat negara pada umumnya. Pejabat negara sesudah lima tahun berakhir masa jabatannya. Namun, kalau hakim sejak dilantik hingga pensiun berstatus pejabat negara dengan pangkat/golongan yang berbeda. Deputi SDM Aparatur MenPAN dan RB Ramli Effendi Naibaho, yang mewakili MenPAN dan RB dalam tim ini menyebutkan, sejak 2008 pemerintah sudah berusaha memperhatikan pemenuhan hak dan tunjangan hakim sebagai pejabat negara. Hanya saja, saat itu kondisinya tak memungkinkan untuk memberikan pemenuhan itu. Makanya, solusi sementara memberikan tunjangan remunerasi berdasarkan grade kinerjanya masing-masing, meski istilah itu dinilai tidak tepat. “Hak hakim sebagai pejabat negara perlu penyelarasan dengan pejabat negara lainnya, tetapi memang EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 43 43 8/8/2012 1:06:30 PM 44 infobanknews.com BULETIN KOMISI YUDISIAL/ JAYA BULETIN KOMISI YUDISIAL/ iNDAH LAPORAN KHUSUS Jaja Ahmad Jayus Ketua Bidang SDM, Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial Widayatno Sastro Hardjono Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung Agus Martowardojo Menteri Keuangan ini tidak terlepas dari kemampuan keuangan negara. Makanya, tak heran ketika gaji pokok PNS naik, gaji pokok hakim tidak ikut naik karena status hakim sebagai pejabat negara,” jelasnya. Dukungan positif juga terlontar dari MenPAN dan RB Azwar Abubakar. Dengan ikut sertanya instansi yang ia pimpin dalam tim kecil ini ia berharap hak-hak konstitusional para hakim seluruh Indonesia dapat terpenuhi. Terutama agar sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan hakim sebagai pejabat negara. “Hari ini kita dengar semuanya tentang status hakim sebagai pejabat negara jadi bukan hak-hak keuangan tetapi juga hak-hak protokoler, tunjangan perjalanan, rumah, itu juga diperhatikan tentu sesuai dengan kemampuan keuangan negara,” ujar Azwar. Menentukan besaran gaji dan tunjangan hakim baik karier maupun ad hoc tidak mudah karena banyak aspek yang mesti dipertimbangkan. Seperti kriteria penugasan kelas pengadilan (Kelas II, IB, IA) dan golongan/ kepangkatan sesuai masa kerja. Besaran tunjangan hakim PN Tual tak mungkin sama dengan hakim PN Pontianak (kelas IA). Inilah yang terus menerus dibahas dalam rapat-rapat tim kecil. Ketua Bidang SDM dan Litbang Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus menuturkan, saat proses pembahasan gaji dan tunjangan hakim, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mempunyai draft usulan masing-masing. “Komisi Yudisial sudah menyampaikan draft soal besaran gaji dan tunjangan hakim yang ideal kepada tim kecil supaya menjadi acuan dalam pembahasan. Namun, Mahkamah Agung juga memiliki draft serupa. Usulan-usulan tersebut digodok dalam rapat, karena unsur-unsurnya apa saja tidak sama antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial,” kata dia. Kini, tim kecil telah memenuhi tuntutan beban kerjanya. Dalam rapat laporan tim kecil kepada pimpinan masing-masing lembaga yang tergabung dalam tim tersebut, (24/7), telah mencapai kesepakatan draft Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden mengenai penjabaran status dan kesejahteraan hakim. Jika draft peraturan-peraturan itu berlaku dan hakim sudah menerima hak-haknya sebagai pejabat negara, otomatis PP tentang remunerasi bagi hakim tidak berlaku lagi. Namun, remunerasi bagi pejabat struktural/ fungsional lain di Mahkamah Agung masih berlaku. Penantian para hakim nampaknya akan segera berakhir. Apabila Presiden menyetujui draft peraturan tersebut maka “Yang Mulia” hanya tinggal menunggu waktu menerima kenyataan peningkatan kesejahteraan mereka. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, status pejabat negara dan hak-haknya yang melekat pada hakim harus disosialisasikan. Sehingga nantinya tidak menimbulkan kecemburuan PNS kementerian atau lembaga lain. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 44 8/8/2012 1:06:39 PM Kesejahteraan Hakim Mendekati Kenyataan M. Purwadi, Dinal fedrian Angin segar akan segera menghampiri kehidupan para hakim. Tuntutan mereka atas kejelasan status dan perbaikan kesejahteraan yang mulai intensif digelorakan sejak awal April lalu mendekati kenyataan untuk dipenuhi. T im kecil tentang status dan kesejahteraan hakim yang terdiri dari beberapa institusi menyepakati draft Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai penjabaran status dan kesejahteraan hakim sebagai pejabat negara. Kesepakatan tersebut diambil dalam rapat laporan tim kecil tentang status dan kesejahteraan hakim kepada pimpinan masing-masing lembaga yang tergabung dalam tim tersebut yaitu Ketua Komisi Yudisial, Ketua Mahkamah Agung, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Keuangan, dan Menteri Sekretaris Negara (diwakili oleh Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara), Selasa (24/7), di gedung Mahkamah Agung. Ketua Bidang Sumber Daya Manusia Penelitian dan Pengembangan Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus yang merupakan anggota tim kecil menjelaskan, rapat menyepakati besaran gaji hakim tingkat pertama berkisar antara Rp10 juta – Rp11 juta. Penghasilan tersebut terdiri dari gaji pokok hakim yang disamakan dengan gaji pokok PNS dan tunjangan jabatan sebagai hakim. Selain jumlah tersebut hakim akan mendapatkan fasilitas sebagai pejabat negara sesuai peraturan perundang-undangan dan akan mendapat tunjangan kemahalan untuk beberapa wilayah tertentu. Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Ridwan Mansyur, saat jumpa pers usai rapat tersebut juga mengkonfirmasi hal yang sama. “Yang diusulkan oleh tim kecil kesejahteraan hakim, gaji dan tunjangan hakim tingkat pertama minimal berkisar Rp10,6 juta hingga Rp11 juta. Komponen itu masih ditambah dengan hak tunjangan perumahan dan kendaraan. Klasifikasi penghasilan tersebut akan didasarkan pada jenjang karier, kepangkatan, tempat penugasan, dan kelas pengadilan. Tetapi, ini akan dihitung ulang oleh Menkeu berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut,” kata dia. Ridwan menambahkan, awalnya tim kecil status dan kesejahteraan hakim mengusulkan skala gaji dan tunjangan hakim antara Rp8,5 juta hingga Rp26 juta. Sementara pihak Menkeu menyusun skala gaji dan tunjangan hakim berkisar Rp6,9 juta hingga Rp29 juta. “Usulannya tidak berbeda jauh, sehingga disepakati minimal Rp10,6 juta ke atas untuk gaji dan tunjangan hakim sebagai pejabat negara,” tegas Ridwan. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 45 45 8/8/2012 1:06:41 PM LAPORAN KHUSUS Pejabat Negara yang Melaksanakan Kekuasaan Kehakiman. Kedua, Draft Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman. Ketiga, Draft Peraturan Presiden tentang Hak Keuangan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Keempat, Draft Peraturan Presiden tentang Hak Keuangan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Perikanan. Kelima, Hak Keuangan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial. Hal ini tentu kemajuan yang sangat berarti bagi perjuangan para hakim. Sebagaimana diketahui, pada awal April lalu beberapa hakim dari daerah, berbondong-bondong datang ke ibukota menyuarakan tuntutannya, perbaikan kesejahteraan. Waktu bertemu dengan pimpinan dan anggota Komisi Yudisial, (9/4), dengan tegas mereka menyatakan bahwa hak-hak konstitusional hakim seperti hak tunjangan jabatan dan gaji, rumah dinas, kendaraan dinas, protokoler, keamanan dan sebagainya hingga kini belum diperoleh. “Hak-hak itu hanya dinikmati level pimpinan, itu pun hanya sebagian,”kata Martha Satria Putra, hakim PTUN Palangkaraya saat berdialog dengan pimpinan dan anggota Komisi Yudisial di kantor Komisi Yudisial. BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL Di dalam Pasal 3 draft PP tentang Kedudukan dan Hak Hakim sebagai Pejabat Negara yang Melaksanakan Kekuasaan Kehakiman menyebutkan, hakim berhak atas gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, sarana transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan protokol, pensiun, dan jaminan lainnya. Kemudian dalam Pasal 4 menyebutkan besaran gaji dan tunjangan jabatan disesuaikan dengan jenjang karier (golongan), masa jabatan (masa kerja), wilayah penempatan tugas, dan kelas pengadilan. Pasal 5-nya mengatur bahwa setiap hakim akan memperoleh rumah negara dan sarana transportasi. Tetapi, jika rumah negara dan sarana transportasi belum tersedia, hakim dapat memperoleh tunjangan perumahan dan transportasi. “Untuk fasilitas kendaraan dan rumah dinas akan disesuaikan dengan aturan keprotokoleran yang sedang disusun. Misalnya, hak protokoler ketua pengadilan disejajarkan dengan sekretaris daerah,” kata Ridwan. Secara detil terdapat lima draft peraturan yang disepakati dalam rapat laporan tim gabungan untuk kesejahteraan hakim. Pertama, Draft Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kedudukan dan Hak Hakim Sebagai Saat itu para hakim yang datang berasal dari berbagai daerah, hampir mewakili semua wilayah di Indonesia. Pernyataan – pernyataan yang mereka lontarkan pun cukup tegas, isyarat keprihatinan yang sudah sekian lama mereka jalani. Semua cerita tentang kesulitan yang harus mereka hadapi saat bertugas tumpah dan mengalir dengan lancar untuk dikeluh-kesahkan. Keluh-kesah “Yang Mulia” ini juga disampaikan kepada Mahkamah Agung, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Komisi Hukum DPR. Dalam kunjungan ke MenPAN dan RB serta DPR, Komisi Yudisial turut mendampingi. Kini segalanya nampak mulai bersinar. Masa kegelapan yang mewarnai kehidupan para hakim akan segera sirna, apabila draft PP dan Perpres tentang penjabaran status dan kesejahteraan hakim sebagai pejabat negara ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menteri PAN dan RB Azwar Abubakar berjanji akan segera mengajukan draft PP ini ke Presiden untuk disahkan. “Paling lambat bisa realisasi tahun depan (2013). Saya janjinya waktu itu selesai Rancangan PP tahun ini, tetapi bayarnya paling lambat tahun depan,” kata Azwar mengingatkan. Komisi Yudisial pun berharap draft PP dan Perpres tersebut dapat segera disahkan oleh Presiden. Apalagi bila melihat sikap pemerintah dalam tim kecil yang diwakili oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Sekretaris Negara, dan Kementerian PAN dan RB yang kooperatif dalam pembahasan draft PP dan Perpres tersebut. “Semoga sikap yang ditunjukkan para menteri dalam rapat laporan tim kecil menjadi cerminan sikap Presiden. Sehingga paling lambat awal 2013 konsep kesejahteraan hakim ini bisa dilaksanakan,” tutup Jaja Ahmad Jayus. Salah seorang hakim sedang menjukkan foto rumah hakim yang dinilai tidak layak. 46 EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 46 8/8/2012 1:06:52 PM BULETIN KOMISI YUDISIAL/ YULIAN KATA YUSTISIA Pelaksanaan sidang Majelis Kehormatan Hakim, 10 Juli 2012, di gedung MA. Tabunya Hakim Bertemu Pihak Berperkara Festy Rahma Hidayati K araoke saat ini merupakan sarana hiburan yang cukup diminati. Aktivitas tersebut kini menjadi salah satu sarana untuk berkumpul bersama keluarga ataupun teman dekat. Seiring bermunculannya tempat karaoke keluarga, perlahan-lahan kesan negatif dari aktivitas karaoke mulai luntur. Namun, bagaimana jadinya apabila ada hakim dan kuasa hukum dari salah satu pihak yang ditangani kasusnya melakukan karaoke bersama? Acara nyanyi bareng itu juga dibayari oleh sang kuasa hukum. Tentu hal itu menjadi masalah buat sang hakim. Alhasil, akibat Dua orang hakim mendapatkan sanksi dari Majelis Kehormatan Hakim akibat bertemu dengan kuasa hukum salah satu pihak yang perkaranya ditangani mereka. Hal tersebut melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. karaoke bareng, hakim PN Dps berinisial PS harus duduk sebagai terlapor di sidang majelis kehormatan hakim awal Juli ini. Alkisah di bulan Desember 2011 Komisi Yudisial menerima laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang tercatat dalam register Nomor: 0730/L/KY/XII/2011. Yang menjadi terlapor tentu hakim PS. Dalam laporan diungkapkan, PS sebagai ketua majelis hakim perkara Nomor: 432/Pdt.G/2010/PN Dps melakukan komunikasi dan pertemuan dengan kuasa hukum penggugat. Pertemuan itu dilakukan sebelum maupun sesudah perkara dimaksud diputus. Salah satu bentuk pertemuannya, ya dengan nyanyi bareng tadi dan difasilitasi oleh sang kuasa hukum penggugat. Berdasarkan hasil pemeriksaan Komisi Yudisial ternyata terungkap juga bahwa hakim PS dengan kuasa hukum penggugat sudah EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 47 47 8/8/2012 1:07:06 PM BULETIN KOMISI YUDISIAL/ YULIAN KATA YUSTISIA Para pengunjung sedang menyaksikan sidang Majelis Kehormatan Hakim di gedung MA. cukup lama berteman dan terbilang akrab. Disebutkan juga bahwa hakim PS sering meminjam uang kepada si kuasa hukum itu. Setelah memeriksa dengan seksama dan melakukan rapat pleno, akhirnya Komisi Yudisial berkesimpulan bahwa hakim PS telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim huruf C butir 1.2.2, butir 2.1.1, butir 2.2.1, butir 3.2.2, butir 5.1.3, butir 5.1.4, dan butir 7.1. Secara umum hal-hal yang diatur dalam butir-butir yang disebutkan tadi adalah: hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak-pihak yang berperkara di luar persidangan, hakim harus berperilaku jujur dan menghindari perbuatan tercela, hakim tidak boleh menerima fasilitas dari advokat, hakim harus menghindari hubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan pihak-pihak yang perkaranya tengah diperiksa hakim bersangkutan. Rapat pleno Komisi Yudisial pun mengusulkan kepada Mahkamah Agung agar hakim PS dijatuhi hukuman pemberhentian tetap tidak dengan hormat. Dalam pembelaannya di hadapan majelis kehormatan hakim, hakim PS mengatakan semua keterangan yang diberikannya waktu diperiksa Komisi 48 Yudisial dilakukan dengan pengaruh/ diarahkan Ketua PN Dps. Ia juga menyatakan Ketua PN Dps melakukan intervensi dalam perkara Nomor 432/ Pdt.G/2010/PN. Dps itu. Sehingga hakim terlapor merasa dikorbankan di sidang majelis kehormatan hakim, sementara ia mengeluhkan Ketua PN Dps yang tidak kena imbas perbuatannya. Setelah mendengarkan dan menimbang pembelaan diri yang diajukan hakim PS, sidang majelis kehormatan hakim akhirnya mengambil keputusan. Majelis menyatakan menolak pembelaan hakim terlapor dan menyatakan ia telah terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Majelis akhirnya menjatuhkan hukuman berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri untuk hakim terlapor. Dalam pertimbangan majelis, hal-hal yang memberatkan bagi terlapor yaitu ia menyampaikan pembelaan dan keterangan yang berbelit-belit serta berbohong. Hal lain, terlapor juga pernah dijatuhi sanksi disiplin sebelumnya. Pada saat menjadi Ketua PN Pati terlapor dipindahkan menjadi Wakil Ketua PN Palangkaraya karena suka bermain radio komunikasi dan sering berhubungan dengan wanita. Kemudian, saat menjabat Wakil Ketua PN Palangkaraya terlapor dipindah menjadi hakim biasa di PN Mataram karena pernah dilaporkan warga setempat dengan tuduhan penggelapan mobil. Satu-satunya hal yang meringankan menurut pertimbangan majelis, terlapor akan memasuki usia pensiun pada 2013 dan telah bertugas serta memberikan pengabdian cukup lama. Keputusan majelis kehormatan hakim atas kasus ini diambil tanggal 10 Juli 2012. Komposisi majelis kehormatan hakim kasus ini terdiri dari empat anggota Komisi Yudisial yaitu Jaja Ahmad Jayus (Ketua Majelis), Suparman Marzuki, Ibrahim, dan Taufiqurrohman Syahuri, serta tiga orang hakim agung yaitu Imam Soebechi, Zaharuddin Utama, dan Sri Murwahyuni. Percobaan tawar menawar putusan Pada hari yang sama, majelis kehormatan hakim juga menggelar sidang dengan terlapor ABS asal PN Slmn. Awalnya hakim ABS dilaporkan ke Komisi Yudisial oleh Linus M.E Roymond Renwarin yang tercatat dalam register Nomor: 0513/L/KY/VIII/2011. Terlapor diduga bertemu dengan kuasa hukum tergugat untuk membahas perkara yang sedang disidangkan. Ia juga berusaha melakukan tawar menawar putusan dengan meminta sejumlah uang kepada pihak yang berperkara (pelapor ke Komisi Yudisial) agar dapat dimenangkan dalam perkara tersebut. Adapun perkara yang dimaksud yaitu perkara Nomor: 113/ Pdt.G/2010/PN.Slmn. Komisi Yudisial lantas melakukan pemeriksaan. Kemudian kesimpulan dari pemeriksaan diputuskan dalam rapat pleno. Hasilnya, Komisi Yudisial mengusulkan kepada Mahkamah Agung agar terlapor dijatuhi sanksi pemberhentian tetap dengan hak pensiun. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 48 8/8/2012 1:07:16 PM Komisi Yudisial menilai terlapor telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim huruf C butir 1.2.(2), butir 2.1.(1), butir 2.2.(1), butir 3.1.(1), butir 5.1.2, butir 5.1.7, butir 6.1, butir 7.1 dan butir 9.1. Butir-butir di atas mengatur ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan hakim antara lain: hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan, hakim harus berperilaku jujur dan menghindari perbuatan tercela, hakim dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak lain, hakim harus melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus karena amanat sebagai hakim akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pembelaannya terlapor menyampaikan pertemuan dengan kuasa hukum tergugat dilakukan akibat ia terus menerus diminta bertemu di luar sidang. Sehingga atas dasar kemanusiaan terlapor memenuhi ajakan kuasa hukum tergugat untuk bertemu dan tertarik melakukan perbuatan sebagaimana disebutkan tadi. Pembelaan lainnya, perkara yang ditangani itu akhirnya diputus sesuai dengan hasil musyawarah majelis hakim tanpa ada pengaruh apapun. Terlapor juga merasa menyesal dan khilaf atas perbuatan yang ia lakukan. Setelah mendengarkan pembelaan diri terlapor majelis akhirnya memutuskan ABS dimutasikan ke Pengadilan Tinggi Semarang sebagai hakim non palu selama dua tahun dengan akibat hukum dikurangi tunjangan remunerasi sebesar 100 % setiap bulan selama dua tahun. Apa yang diputuskan oleh majelis kehormatan hakim ini memang lebih ringan dibandingkan usulan sanksi yang diajukan Komisi Yudisial ke Mahkamah Agung. Hal yang meringankan bagi terlapor yaitu ia mengakui perbuatannya serta berjanji tidak mengulangi kesalahannya. Terlapor yang lahir pada 21 Mei 1972 juga dinilai masih muda sehingga cukup beralasan bagi terlapor untuk diberikan kesempatan memperbaiki diri dan dibina. Dalam persidangan hakim ABS juga memberikan keterangan yang tidak berbelit-belit. S ementara hal-hal yang memberatkan yaitu perbuatan hakim terlapor telah merusak citra pengadilan dan kepercayaan masyarakat akan dunia peradilan. Selain itu dalam pembelaannya di hadapan sidang majelis kehormatan hakim juga tidak terungkap hal-hal baru yang sudah didapatkan dari pemeriksaan Komisi Yudisial. Komposisi majelis kehormatan hakim untuk kasus ini terdiri dari empat anggota Komisi Yudisial yaitu Suparman Marzuki (Ketua Majelis), Taufiqurrohman Syahuri, Ibrahim, dan Jaja Ahmad Jayus. Sementara tiga hakim agung yang menjadi anggota majelis ini yaitu Imam Soebechi, Zaharuddin Utama, dan Sri Murwahyuni. Tabel Pelaksanaan Sidang Majelis Kehormatan Hakim 2011-10 Juli 2012 No. No. Penetapan Sidang MKH Hakim Terlapor Tanggal Putusan Putusan 1. 01/MKH/IV/2011 ED 24 Mei 2011 Dimutasikan ke PN Jambi sebagai hakim yustisial selama 2 tahun. 2. 02/MKH/XI/2011 DS 22 November 2011 Diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dari jabatan hakim. 3. 03/MKH/XI/2011 DD 22 November 2011 Diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan hakim. 4. 04/MKH/XI/2011 JP 6 Desember 2011 Disiplin ringan berupa “teguram tertulis dengan akibat hukumannya dikurangi tunjangan kinerja sebesar 75% selama (tiga) bulan” 5. 05/MKH/XII/2011 HP 4 Januari 2012 Dimutasikan sebagai hakin non palu 1 tahun 6. 01/MKH/II/2012 ABD 6 Maret 2012 Diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dari hakim dan PNS 7. 02/MKH/VII/2012 PS 10 Juli 2012 Diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dari jabatan hakim 8. 03/MKH/VII/2012 ABS 10 Juli 2012 Dimutasikan sebagai hakin non palu ke PT Semarang dan dikurangi remunerasi sebesar 100% selama 2 tahun EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 49 49 8/8/2012 1:07:16 PM KOMPARASI Rekrutmen dan Pembinaan Hakim ala Korsel dan Turki Komisi Yudisial bertolak ke Korea Selatan dan Turki guna melakukan studi banding terkait sistem seleksi pengangkatan hakim (termasuk seleksi calon hakim agung), pendidikan dan peningkatan kapasitas hakim, serta pengawasan hakim. Kunjungan kerja tersebut berlangsung pada 26 Mei – 4 Juni 2012. Hasil kunjungan kerja di Korea Selatan D alam kunjungan di Korea Selatan, tim yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman dan Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurrohman Syahuri berkunjung ke Kementerian Administrasi Peradilan Nasional (Minister of National Court Administration) dan Pusat Penelitian dan Pelatihan Peradilan (Judicial Research and Training Institute). Seleksi pengangkatan hakim dan calon hakim agung di Korea Selatan Kehadiran rombongan Komisi Yudisial ke Kementerian Administrasi Peradilan Nasional (Minister of National Court Administration) Korea Selatan diterima oleh hakim agung Cha Han Sung 50 BULETIN KOMISI YUDISIAL/ RAY Hermansyah Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman, Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurrohman Syahuri, Tenaga Ahli Hermansyah, dan Kepala Biro Seleksi dan Penghargaan Hakim Heru Purnomo berfoto bersama dengan pejabat Kementerian Administrasi Peradilan Nasional Korean Selatan. yang juga Menteri Administrasi Peradilan Nasional Korea Selatan. Dalam kunjungan ini diperoleh materi seputar sistem dan kebijakan seleksi pengangkatan hakim dan calon hakim agung. Di Korea Selatan, untuk menjadi hakim harus memenuhi kualifikasi lulus ujian nasional peradilan (National Judicial Examination) dan menyelesaikan program pelatihan selama dua tahun di JRTI. Sistem ini berlaku sampai dengan 2017. Sementara mulai tahun 2018 2019, hakim diseleksi dari lulusan sekolah hukum dan mempunyai pengalaman di bidang hukum selama lima tahun. Selanjutnya, tahun 2020 - 2021, hakim akan diseleksi dari lulusan sekolah hukum dan mempunyai pengalaman di bidang hukum selama tujuh tahun. Sedangkan tahun 2022, hakim akan diseleksi dari lulusan sekolah hukum dan mempunyai pengalaman di bidang hukum selama sepuluh tahun. Khusus untuk menjadi hakim agung, seseorang harus memenuhi persyaratan, antara lain berusia minimal 45 tahun dan memiliki pengalaman di bidang hukum minimal 20 tahun. Pendidikan dan pelatihan serta peningkatan kapasitas hakim di Korea Selatan Lebih lanjut, rombongan mencoba menggali lebih dalam materi seputar sistem dan kebijakan pendidikan hakim, serta sistem dan kebijakan peningkatan kapasitas hakim di Judicial Research and Training Institute (JRTI). Kedatangan Komisi Yudisial ke JRTI diterima oleh hakim Kim, Yi-Su (Presiden JRTI) dan Lee, Jae Won (Wakil Presiden JRTI) dan jajarannya. Program pelatihan hakim di Korea Selatan berlangsung selama dua tahun, bersifat teoritis dan praktis. Peserta pelatihan ini diharuskan telah lulus ujian nasional peradilan (National Judicial Examination) dan ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 50 8/8/2012 1:07:23 PM Secara garis besar kurikulum pelatihan yang dilakukan oleh JRTI pada semester pertama, meliputi studi teoritis. Sementara semester kedua, selain studi teoritis ditambah dengan program externship. Peserta pelatihan di semester ketiga mengikuti program externship. Dan di semester keempat, peserta akan memperoleh pengetahuan secara komprehensif melalui studi terpadu. Selain itu, JRTI juga menekankan pada pendidikan etika hukum. Materi ini diberikan untuk memastikan bahwa peserta pelatihan memenuhi tanggung jawab etika dan sosial dalam melakukan praktek hukum di kemudian hari. Sistem pengawasan hakim di Korea Selatan Untuk sistem pengawasan hakim di Korea Selatan dilakukan oleh Inspektur Jenderal Etika Yudisial (Inspector General for Judicial Ethics) yang merupakan salah satu unit kerja di Kementerian Administrasi Peradilan Nasional. Inspektur Jenderal Etika Yudisial ini dibagi menjadi: Director of Judicial Ethics and Inspection 1, Director of Judicial Ethics and Inspection 2, dan Director of Judicial Ethics and Inspection Planning. Inspektur Jenderal Etika Yudisial ini menyelenggarakan kegiatan-kegiatan dan tindakan dengan mengamati pada keseluruhan etika yudisial. Hasil kunjungan kerja di Turki hakim dan jaksa yang diselenggarakan oleh Kementerian Kehakiman Turki. Selama dua tahun sebagai calon hakim mereka mengikuti pendidikan dan latihan di Akademi Kehakiman Turki. Setalah itu bagi calon hakim yang dinilai layak berdasarkan hasil seleksi, barulah ia diangkat sebagai hakim oleh The High Council of Judges and Prosecutors (HCJP). Di Turk i, Komisi Yudisial mendatangi Akademi Kehakiman Turki (Justice Academy of Turkey) dan The High Council of Judges and Prosecutors (HCJP). Dalam kunjungan ke Akademi Kehakiman Turki, rombongan diterima oleh Huseyin Yildirim selaku Presiden Akademi Kehakiman Turki, beserta jajarannya. Diskusi tentang sistem dan kebijakan pendidikan hakim, serta sistem dan kebijakan peningkatan kapasitas hakim banyak digali di sini. Sedangkan kunjungan ke The High Council of Judges and Prosecutors (HCJP) diterima oleh unsur Pimpinan dan Anggota HCJP yang terdiri dari: Bulent Cicekli, Huseyin Serter, Rasim Aytin, serta Wakil Sekretaris Jenderal HCJP Engin Durnagol. Pada kesempatan ini, rombongan Komisi Yudisial berdiskusi seputar sistem dan kebijakan seleksi pengangkatan hakim (termasuk sistem seleksi calon hakim agung), sistem dan kebijakan pengawasan hakim, serta mekanisme penjatuhan sanksi terhadap hakim. Pendidikan dan pelatihan serta peningkatan kapasitas hakim di Turki Sistem pendidikan dan latihan serta peningkatan kapasitas bagi hakim dan jaksa di Turki dilaksanakan oleh Akademi Kehakiman Turki. Secara garis besar program pelatihan di Akademi Kehakiman Turki dibagi dalam dua bentuk, yaitu Initial Training dan In-Service Training. Untuk Initial Training bagi calon hakim dan calon jaksa diberikan selama dua tahun, termasuk empat bulan untuk persiapan dan empat bulan pelatihan tingkat akhir. Sementara untuk In-Service Training, Akademi Kehakiman Turki menyelenggarakan kegiatan seperti kursus-kursus, seminar, simposium, konferensi dan kegiatan sejenis yang berkaitan dengan praktik bagi hakim, jaksa, pengacara dan notaris. Kagiatan ini ditujukan untuk membantu mereka dalam meningkatkan profesionalitas, keterampilan, pengalaman dan kompetensinya. Seleksi pengangkatan hakim di Turki Di Turki, calon hakim diseleksi dari lulusan sekolah hukum. Calon hakim juga diharuskan lulus ujian calon BULETIN KOMISI YUDISIAL/ RAY Sistem pengawasan hakim di Turki Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman, Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurrohman Syahuri, Tenaga Ahli Hermansyah, dan Kepala Biro Seleksi dan Penghargaan Hakim Heru Purnomo saat berkunjung ke The High Council of Judges and Prosecutors (HCJP) Turki. HCJP juga melakukan pengawasan bagi hakim dan jaksa, khususnya oleh Third Chamber HCJP. Secara teknis pengawasan hakim ini dilakukan oleh Dewan Inspeksi (Inspection Board) yang disupervisi oleh Third Chamber HCJP. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 51 51 8/8/2012 1:07:28 PM DOTKOM Laman Harapan dari Pengadilan Adnan Faisal Pandji W ajah pengadilan bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Salah satunya lewat informasi yang disajikan pengadilan kepada para pencari keadilan. Kemajuan teknologi memudahkan pengelola pengadilan menyampaikan beragam informasi kepada masyarakat. Hipotesisnya, semakin banyak informasi yang dibaca dan dipahami warga semakin tinggi kualitas penegakan hukum dan kesadaran hukum. Karena itu, transparansi dunia peradilan menjadi keniscayaan. Transparansi bahkan bisa dijadikan sebagai bagian dari reward and punishment. Itulah yang selama enam tahun terakhir terus dikembangkan Mahkamah Agung. Perangkat hukumnya pun disiapkan mulai dari SK KMA No. 144 Tahun 2007 hingga SK KMA 1-144 Tahun 2011. Laman (website) pengadilan terus dibangun dan dikembangkan. Dari 699 pengadilan yang sudah memiliki laman pada tahun 2010, meningkat menjadi 751 pada tahun berikutnya. Ini berarti ada peningkatan lebih dari 50 pengadilan yang sudah mempunyai laman. Ironisnya, masih ada 12 pengadilan yang belum memiliki 52 BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL Sebuah hasil riset penilaian terhadap pengelolaan website pengadilan tahun 2011 diluncurkan. Siapa terbaik dan terburuk? Situs Pengadilan Agama Mempawah Kalimantan Barat. laman. Penyebabnya mulai dari jaringan internet hingga status pengadilan bersangkutan sebagai pengadilan yang baru dibentuk. Baru-baru ini Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) meluncurkan buku hasil penilaian website pengadilan tahun 2011. Menurut Muhammad Faiz Azis, koordinator peneliti PSHK yang melakukan penelitian itu, penilaian laman tak bisa dilepaskan dari semangat keterbukaan informasi baik yang diperkenalkan lewat SK Ketua MA No. 144/KMA/SK/VII/2007 –biasa disebut SK KMA No. 144 Tahun 2007—dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Penilaian website di lingkungan peradilan ternyata mendapat sambutan positif. Didukung lembaga donor dari Australia, The Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ), penelitian dilakukan selama empat bulan (November 2011 hingga Februari 2012). Tim memantau satu per satu pengadilan melalui lamannya. Tim peneliti memantau apakah setiap laman memuat tiga jenis informasi yang diamanatkan peraturan perundang-undangan. Pertama, informasi yang wajib diumumkan secara berkala oleh pengadilan. Kedua, informasi yang wajib diumumkan hanya oleh Mahkamah Agung. Ketiga, informasi yang wajib tersedia setiap saat dan dapat diakses publik. Skor penilaian terbilang sederhana. Ada puluhan jenis informasi yang dipakai sebagai dasar penilaian. Jika informasinya lengkap diberi skor 2, jika tidak lengkap diberi nilai 1, dan jika tidak ada informasi yang tersedia diberi skor 0. Kriteria penilaian telah dirumuskan dalam SK Ketua MA No. 1-144 Tahun 2011 dan regulasi lain yang relevan. Jumlah pengadilan yang dipantau 825 unit, plus beberapa unit kerja di bawah Mahkamah Agung. Jumlah itu terdiri dari 67 pengadilan tingkat banding dan 758 pengadilan tingkat pertama. Apabila digabung dengan EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 52 8/8/2012 1:07:29 PM BULETIN KOMISI YUDISIAL/ ADNAN tujuh unit kerja di bawah Mahkamah Agung, jumlah total lembaga yang dipantau adalah 832 unit. Jumlahnya meningkat disbanding penelitian tahun sebelumnya yang berjumlah 807 unit. Menurut Azis, ini bukan penilaian pertama terhadap layanan informasi melalui situs web pengadilan. Pada 2010 penilaian yang sama dilakukan oleh The National Legal Reform Program (NLRP) bekerjasama dengan PT Tata Nusa. Kini, penilaian dilakukan PSHK. Kriteria penilaian merupakan salah satu unsur pembeda. Dulu, hanya ada 16 jenis informasi yang dinilai, sedangkan kini ada 46 (pengadilan tingkat banding) hingga 47 kriteria (pengadilan tingkat pertama). Penilaian tahun 2011 memperlihatkan sejumlah hal baru. Misalnya, peningkatan jumlah laman pengadilan dan pergeseran pengadilan terbaik. Tim menyoroti aksesibilitas laman bagi penyandang cacat. Jik a dipilah berdasark an tingkatan dan jenis peradilan, maka Pengadilan Tinggi Banjarmasin menjadi yang terbaik di level pengadilan tinggi umum, sedangkan Pengadilan Negeri Sleman menjadi nomor wahid di Situs Pengadilan Tinggi Agama Palembang. jenjang pengadilan Jumlah Pengadilan yang Websitenya Dinilai Tahun 2011 negeri. Untuk No. Jenis Pengadilan Jumlah Prosentase (%) peradilan agama, 1. Pengadilan Tinggi 30 3,64 PTA Palembang 2. Pengadilan Tinggi Agama 29 3,52 menduduki posisi 3. Pengadilan Tinggi TUN 4 0,48 pertama menggusur 4. Pengadilan Militer Utama 1 0,12 PTA Yogyakarta. 5. Pengadilan Militer Tinggi 3 0,36 Sedangkan level pengadilan agama 6. Pengadilan Negeri 352 42,67 dimenangkan oleh 7. Pengadilan Agama 359 43,52 Pengadilan Agama 8. Pengadilan TUN 28 3,39 (PA) Mempawah. 9. Pengadilan Militer 19 2,30 Melejitnya Total 825 100 % PA Mempawah ke Sumber: PSHK, 2012 posisi atas dinilai mengejutkan karena berdasarkan penilaian tahun dinilai pada tingkat pertama tetapi tidak 2010, PA Mempawah tidak masuk lima dinilai pada tingkat banding. besar. Di lingkungan peradilan tata Berdasarkan penilaian, usaha negara, PT TUN Medan tetap pengadilan terbaik untuk tingkat menempati posisi nomor wahid di level pertama adalah Pengadilan Agama banding, sedangkan tingkat pertama Mempawah dengan skor 73. Sedangkan dimenangkan PTUN Yogyakarta. tingkat banding, the best of the best Pengadilan Militer Utama Jakarta dan adalah Pengadilan Tinggi Agama Pengadilan Militer Madiun menjadi Palembang dengan skor 54. Meskipun yang terbaik di lingkungan peradilan demikian, kedua pengadilan tetap belum militer. mencapai skor maksimal 94. Apapun hasilnya, penilaian The best of the best website ini akan memberikan dampak Tim peneliti PSHK juga positif bagi masyarakat. Menurut M. Faiz menentukan Azis, tujuan pokok penelitian adalah agar pengadilan terbaik masyarakat memperoleh kemudahan dari yang terbaik. akses dan keterbukaan informasi Cuma, ada perbedaan di lembaga peradilan, disamping kriteria penilaian mendorong kepatuhan pengadilan dibanding penelitian terhadap regulasi keterbukaan p e r t a m a . P a d a informasi. tahun 2010, tak ada Bagi pengadilan, hasil kajian ini pembedaan tingkat bisa menjadi pendorong untuk lebih pengadilan. Kini, pada berkompetisi secara sehat memberikan penelitian kedua, pelayanan terbaik bagi masyarakat. Bagi tim membedakan Mahkamah Agung, penilaian ini penting tingkatan pengadilan, untuk melakukan pengawasan. sehingga melahirkan Itu pula sebabnya, kata Azis, hasil dua pengadilan penelitian website pengadilan sudah yang masuk kategori disampaikan secara resmi ke Mahkamah the best of the best. Agung. “Kami melakukan audiensi dan Pertimbangannya sosialisasi kepada MA setelah kegiatan ada informasi yang kami selesai,” pungkasnya. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 53 53 8/8/2012 1:07:32 PM RESENSI Reformasi Peradilan yang Berorientasi Sosial Abdul Halim Hakim Pengadilan Agama Bawean, Gresik, Jawa Timur Buku ini ditulis oleh dua orang Australia, Cate Sumner, seorang peneliti senior tentang isu-isu akses pada keadilan, hak asasi manusia dan reformasi peradilan di Asia dan Tim Lindsey, seorang profesor hukum Asia dan Direktur Pusat Hukum Asia di Universitas Melbourne, Australia. A da dua hal menarik tentang peradilan agama dalam buku ini yang tidak diketahui banyak orang. Pertama, peran yang dimainkannya pada masa reformasi sebagai lembaga yang konsisten menopang pemahaman Islam moderat, di tengah kencangnya isu penerapan syariah Islam di Indonesia pasca lengsernya Soeharto. Kedua, keberhasilan reformasi sistem peradilan yang berorientasi sosial, dengan memperluas dan mempermudah akses keadilan bagi masyarakat marjinal, seperti wanita, masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal jauh di tempat terpencil, dan keterkaitannya dengan pembangunan serta program-program pengentasan kemiskinan. Sehingga para penulis buku ini seringkali menyatakan bahwa“reformasi yang terjadi di peradilan 54 Judul Buku : Penulis : Tebal Halaman : Penerbit : Tahun terbit : Courting Reform: Indonesia’s Islamic Courts and Justice For The Poor Cate Sumner & Tim Lindsey 72 Lowy Institute for International Policy 2010 agama memberikan contoh yang baik untuk reformasi sistem peradilan di Indonesia pada umumnya dan bahkan sistem-sistem peradilan Islam di dunia muslim”. Peradilan agama pasca Soeharto Para penulis memulai buku ini dengan mengemukakan konsepsi yang selama ini mereka anggap salah. Persepsi dunia barat tentang Islam di Indonesia seringkali didominasi oleh citra minoritas garis keras yang menuntut sebuah negara syariah. Dalam kenyataannya, arus utama institusi-institusi Islam telah memainkan bagian penting pada masa setelah kejatuhan Soeharto, dalam demokratisasi dan pembaruan institusi. Diantaranya adalah pengadilan agama. Setelah kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, di bawah supervisi Mahkamah Agung, hakim-hakim peradilan agama telah menjaga semangat dasar negara Pancasila dan penafsiranpenafsiran syariah yang berdasarkan perundang-undangan resmi negara. Pendukung Islamisasi yang konservatif di Indonesia seringkali dikritik karena sikap keras mereka terhadap para wanita, seperti dukungan mereka terhadap larangan berpakaian yang tidak menutup aurat bagi perempuan, atau larangan bagi mereka untuk bepergian secara bebas di tempat umum. Peradilan agama justru telah melakukan upaya-upaya hukum untuk meningkatkan posisi hukum dan kapasitas perempuan untuk mendapatkan hak-haknya dalam keluarga. Khususnya hak dalam berperkara dalam kasus perceraian dengan cepat dan murah, (hal.8-12). Meskipun dalam catatan sejarahnya peradilan ini seringkali diabaikan, namun keberadaannya dan keterikatannya dengan masyarakat pada umumnya lebih dekat secara individual dibandingkan peradilan lain. Survey yang dilakukan tentang persepsi publik sepanjang tahun 2007-2009 terhadap pengguna pengadilan agama, menunjukkan performa yang konsisten dan dianggap baik di tengah reputasi dunia peradilan Indonesia yang sedang terpuruk. Pada tahun 2007 dan 2009, para penulis terlibat dalam survey terhadap para pengguna peradilan agama, sebagai bagian dari sebuah proyek penelitian yang berjudul Access and Equity Study of the General and Religious Courts. Penelitian ini didanai oleh Ausaid dan Indonesia Australia Legal Development Facility (IALDF). Dari seribu responden yang disurvey ditemukan bahwa sebanyak 83,3% responden merasa hakim mendengarkan mereka. 88,2% responden merasa mereka dilayani dengan sangat EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 54 8/8/2012 1:07:32 PM baik oleh para petugas pengadilan. 73% responden merasa para petugas bersedia dan berkenan menjawab pertanyaan dan menjelaskan prosedur-prosedur berperkara. 74% responden merasa perkara mereka telah disidangkan secara cepat dan efisien. 62% responden merasa bahwa proses persidangan sangat ramah. Dan terakhir 71,1% menyatakan akan kembali ke pengadilan agama jika mereka mengalami sengketa yang sama di masa yang akan datang, (hal. 13-14). Banyak hal yang bisa diperdebatkan dalam survey ini, namun paling tidak, indikasi-indikasi ini menunjukkan suatu pernyataan sikap kepuasan terhadap peradilan agama sangat baik. Dari perspektif ini, menurut para penulis buku ini, peradilan agama dapat dilihat sebagai institusi peradilan yang paling berhasil. Dalam beberapa hal, ini sangat ironis. Sebagaimana peradilan ini secara historis telah lama diabaikan oleh pemerintah karena dianggap tidak lebih penting dari peradilan yang lain. Dan ketika wajah peradilan di Indonesia dianggap penuh mafia, peradilan agama pada umumnya dianggap tidak korup dan memberikan pelayanan yang baik bagi para pencari keadilan. Pe m b a h a s a n awa l b u k u ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perubahan peranan peradilan agama yang sama sekali tidak mempengaruhi tumbuhnya islamisasi dalam sistem peradilan di Indonesia. Peradilan agama dan masyarakat marjinal Bagian selanjutnya dari buku ini mencermati peranan krusial yang dilakukan peradilan agama dalam program-program pembangunan pemerintah dan pengentasan kemiskinan. Bagian ini menguji bagaimana konsistensi dan korelasi reformasi di peradilan agama berkaitan erat dengan reformasi hukum dan peradilan di Indonesia secara lebih luas, dan telah menolong para perempuan dan kelompok masyarakat marjinal mendapatkan akses yang lebih luas dan leluasa terhadap pelayanan-pelayanan publik, khususnya program-program pengentasan kemiskinan. Ada tiga perubahan utama yang dilakukan peradilan agama dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Pertama, pelayanan yang diberikan. Kedua, peningkatan transparansi pengadilan melalui publikasi berita dan informasi yang terperinci tentang hasil kinerja dan berbagai aspek pengadilan. Ketiga, penggunaan tolak ukur baru untuk meningkatkan akses seluas-luasnya terhadap pencari keadilan yang biasa termarjinalkan seperti wanita, orang miskin dan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah terpencil, (Hal. 17) Akses terhadap peradilan agama bagi rakyat miskin telah meningkat melalui program berperkara gratis (prodeo). Hampir semua kasus-kasus prodeo ini melibatkan wanita sebagai Penggugat. Hal ini sangat penting karena kasus-kasus hukum keluarga telah membantu wanita sebagai kepala keluarga (kurang lebih 14% dari 65 juta kepala keluarga di Indonesia) untuk melegalkan status mereka. Implikasinya, ini akan memfasilitasi akses program-program kesejahteraan sosial pemerintah, termasuk bantuan langsung tunai, jaminan kesehatan, beras bersubsidi dan pendaftaran anak-anak untuk bersekolah. Meningkatnya kemudahan akses pada pengadilan agama akan membantu memecahkan siklus kemiskinan yang berurat akar bagi wanita-wanita kepala keluarga. Dalam hal transparansi dan keterbukaan informasi , pada tahun 2005 Direktorat Jenderal Peradilan Agama Mahkamah Agung tidak mempunyai website. Apalagi 372 pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di seluruh Indonesia. Namun saat ini lebih dari 300 website di seluruh pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama memuat informasi tentang kinerja pengadilan, statistik penanganan perkara, putusan dan keadaan para pegawai pengadilan yang dapat diakses secara online dengan sangat mudah. Hal ini mengangkat profil peradilan agama sebagai sebuah institusi penting untuk memperluas partisipasi negara dalam program-program pro-rakyat miskin karena kewenangannya dalam menangani perkara-perkara perdata tertentu. Peradilan agama di bawah supervisi Mahkamah Agung sekarang berdiri sebagai model, bagi pembaruan peradilan di Indonesia. Bahkan memberikan pelajaran berharga bagi peradilan-peradilan Islam di dunia muslim, yang rata-rata masih konservatif secara sosial dan agama dibandingkan di Indonesia. Selamat membaca! EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 55 55 8/8/2012 1:07:33 PM KONSULTASI HUKUM Sengketa Pra Yudisial dan Beracara dalam Perkara Perdata A.J. Day, S.H Tenaga Ahli Komisi Yudisial Pertanyaan: S aya dipidana oleh pengadilan negeri dengan pidana penjara selama enam bulan karena telah menjual tanah milik saya sendiri warisan dari kakek saya yang telah meninggal dunia. Karena saya adalah ahli waris, saya mempunyai hak menjual tanah tersebut. Yang mengadukan adalah paman kandung saya. Saya mengajukan keberatan di sidang pengadilan, dan menyatakan bahwa yang saya jual adalah hak saya sebagai ahli waris. Keberatan saya diterima oleh hakim dan saya tidak dijatuhi pidana. Ternyata paman menggugat saya di pengadilan yang sama sebagai tergugat dengan gugatan saya telah menjual tanah secara tidak sah dan perbuatan saya adalah melawan hukum. Merasa diri saya benar, saya tidak memberi jawaban atas gugatan tersebut karena pasti saya akan dimenangkan seperti halnya dalam perkara pidana. Sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku, saya tidak boleh membantah atas keteranganketerangan yang diberikan oleh paman saya di depan sidang. Ternyata saya dikalahkan oleh hakim. Saya oleh jaksa penuntut umum, diajukan kembali ke pengadilan karena telah melakukan tindak pidana melanggar pasal 385 KUHP dan saya dipidana pula oleh hakim yang dulu telah menerima keberatan saya bahwa 56 saya adalah pemilik tanah tersebut. Pertanyaan saya, apa boleh saya dijatuhi pidana padahal hakim yang sama telah menerima keberatan saya, dan mengapa hakim mengabulkan gugatan paman saya ketika saya digugat padahal jelas saya adalah ahli waris dan oleh karenanya saya adalah pemilik tanah tersebut. Mengapa hakim tidak memperhatikan adat kebiasaan kami yang tidak boleh berbantah dengan paman sendiri yang kedudukannya adalah pengganti orang tua saya. Mengapa saya kemudian dijatuhi pidana pula padahal saya sudah kehilangan tanah saya ini berarti saya dua kali dihukum oleh pengadilan. Jimi, Jakarta Jawaban: Pe r s o a l a n ya n g s a u d a ra tanyakan menyangkut apa yang disebut perselisihan pra yudisial dalam acara pidana ketika saudara diajukan sebagai terdakwa oleh jaksa penuntut umum. Persoalan kedua adalah menyangkut beracara dalam perkara perdata. Dalam acara pidana yang jelas saudara telah didakwa melanggar pasal 385 KUHP atau yang dikenal dengan stellionat yaitu menjual tanah milik orang lain atau orang lain turut berhak atas tanah tersebut. Karena dalam perkara pidana, hakim berkewajiban mencari kebenaran materiil, yaitu apa sesungguhnya yang telah terjadi. Maka dalam upaya mencari kebenaran materiil inilah, hakim pidana telah menunda menjatuhkan pidana terhadap saudara dimana saudara adalah terdakwa. Ini tidak berarti perkara pidananya sudah diputus. Hal inilah yang disebut sengketa pra yudisial, artinya perlu diselesaikan terlebih dahulu siapakah pemilik tanah tersebut. Dalam pemeriksaan perkara pidana yang berperan adalah jaksa penuntut umum (JPU), atau JPU adalah dominus litis. Sehingga JPU lah yang mendakwa saudara karena telah melanggar pasal 385 KUHP. Karena saudara beralasan, bahwa saudara adalah pemilik tanah yang saudara jual, maka saudara tidak mungkin dijatuhi pidana karena menjual tanah sendiri. Perkara pidana tersebut di tunda, untuk menunggu putusan hakim perdata tentang siapakah sebenarnya pemilik tanah yang dipersengketakan. Jika saudara oleh hakim perdata di nyatakan benar adalah pemilik tanah, maka perkara pidana yang tertunda akan di lanjutkan dan saudara akan divonis bebas dari dakwaan. Sebaliknya, pada perkara perdata yang menjadi dominus litis adalah para pihak. Paman saudara sebagai penggugat dan saudara sebagai tergugat I dan pembeli sebagai tergugat EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 56 8/8/2012 1:07:35 PM II adalah dominus litis. Penggugat dan tergugatlah yang harus berperan memberikan pembuktian, bukan hakim. Kalau pada acara pidana yang dicari adalah kebenaran materiil, pada acara perdata yang dicari adalah kebenaran formil, dimana apabila yang dikatakan oleh pihak yang satu tidak dibantah oleh pihak lawan maka hal tersebut di terima sebagai kebenaran, Jika alasan saudara karena menghormati adat kebiasaan setempat, tidak membantah apa yang dikemukakan penggugat yaitu paman saudara, pasti akan dikalahkan. Hakim hanya mendengar apa yang menjadi argumentasi pihak-pihak dalam bentuk jawaban gugat dari saudara sebagai tergugat dan selanjutnya, argumentasi penggugat yang disebut dengan replik dan duplik oleh tergugat. Kemudian masing-masing pihak memberi kesimpulan beserta bukti-bukti secara berimbang. Asas ini disebut asas audi et alteram atau memberi kesempatan yang sama bagi kedua belah pihak. Karena yang dicari pada persidangan perkara perdata adalah kebenaran formil. Jika saudara sebagai tergugat tidak membantah gugatan dan tidak mengajukan bukti sebagai pemilik tanah tersebut dan menyerahkan sepenuhnya kepada hakim maka saudara pasti akan kalah, walaupun tanah tersebut adalah milik saudara, pembuktian di sidang lah yang menentukan. Pu t u s a n s i d a n g p e r k a ra pidana pada tahap pertama tersebut bukanlah putusan akhir, melainkan hanya penundaan sambil menunggu putusan perdata yang menentukan siapa pemilik tanah tersebut. Apabila dalam perkara perdata dinyatakan tanah tersebut bukanlah milik saudara maka proses pidana akan dilanjutkan. Dan, ternyata dakwaan JPU dinyatakan terbukti oleh hakim dan saudara dijatuhi pidana sesuai ketentuan pasal 385 KUHP. Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut saudara diberi waktu tujuh hari untuk menerima atau menolak putusan tersebut. Apabila saudara menolak putusan tersebut maka dalam tenggang waktu tujuh hari tersebut saudara harus menyatakan penolakan ke pengadilan melalui panitera yang akan mencatat permohonan banding. Saudara akan diberi kesempatan untuk membaca putusan, serta membuat memori banding. Isi memori banding adalah segala sesuatu yang saudara anggap sebagai kekeliruan majelis hakim. Setelah adanya putusan pengadilan tinggi, saudara masih diberi hak oleh undang-undang untuk meminta kasasi, yaitu pemeriksaan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi di Indonesia. Sebenarnya ketika saudara dikalahkan dalam perkara perdata saudara juga mempunyai hak yang sama seperti pada perkara pidana. Karena saudara sampai dijatuhkan pidana penjara enam bulan, berarti saudara tidak menggunakan hak saudara dalam perkara perdata. Demikian lah sekedar penjelasan kami semoga saudara puas adanya. Terima kasih. EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 57 57 8/8/2012 1:07:41 PM RELUNG Cangkir yang Cantik S epasang kakek dan nenek pergi belanja di sebuah toko suvenir untuk mencari hadiah buat cucu mereka. Kemudian mata mereka tertuju kepada sebuah cangkir yang cantik. “Lihat cangkir itu,” kata si nenek kepada suaminya. “Kau benar, inilah cangkir tercantik yang pernah aku lihat,” ujar si kakek. Saat mereka mendekati cangkir itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud berbicara “Terima kasih untuk perhatiannya, perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik. Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi, aku hanyalah seonggok tanah liat yang tidak berguna. Namun suatu hari ada seorang pengrajin dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah roda berputar. Kemudian ia mulai memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing. Stop ! Stop ! Aku berteriak, Tetapi orang itu berkata “belum !” lalu ia mulai menyodok dan meninjuku berulang-ulang. Stop! Stop ! teriakku lagi.Tapi orang ini masih saja meninjuku, tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku ke dalam perapian. Panas ! Panas !Teriakku dengan keras. Stop ! Cukup ! Teriakku lagi. Tapi orang ini berkata “belum !” Akhirnya ia mengangkat aku dari perapian itu dan membiarkan aku sampai dingin.Aku pikir, selesailah penderitaanku. Oh ternyata belum. Setelah dingin aku 58 diberikan kepada seorang wanita muda dan dan ia mulai mewarnai aku.Asapnya begitu memualkan. Stop ! Stop ! Aku berteriak. Wanita itu berkata “belum !” Lalu ia memberikan aku kepada seorang pria dan ia memasukkan aku lagi ke perapian yang lebih panas dari sebelumnya!Tolong ! Hentikan penyiksaan ini ! Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya.Tapi orang ini tidak peduli dengan teriakanku.Ia terus membakarku. Setelah puas “menyiksaku” kini aku dibiarkan dingin. Setelah benar-benar dingin, seorang wanita cantik mengangkatku dan menempatkan aku dekat kaca. Aku melihat diriku. Aku terkejut sekali. Aku hampir tidak percaya, karena di hadapanku berdiri sebuah cangkir yang begitu cantik. Semua kesakitan dan penderitaanku yang lalu menjadi sirna tatkala kulihat diriku. Sahabat, dalam kehidupan ini adakalanya kita seperti disuruh berlari, ada kalanya kita seperti digencet permasalahan kehidupan.Tapi sadarlah bahwa lakon-lakon itu merupakan cara Tuhan untuk membuat kita kuat. Hingga cita-cita kita tercapai. Memang pada saat itu tidaklah menyenangkan, sakit, penuh penderitaan, dan banyak air mata. Tetapi inilah satu-satunya cara untuk mengubah kita supaya menjadi cantik dan memancarkan kemuliaan. “Sahabat, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai pencobaan, sebab Anda tahu bahwa ujian terhadap kita menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya Anda menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.” Apabila Anda sedang menghadapi ujian hidup, jangan kecil hati, karena akhir dari apa yang sedang anda hadapi adalah kenyataan bahwa anda lebih baik, dan makin cantik dalam kehidupan ini.(disarikan dari berbagai sumber) EDISI JULI - AGUSTUS 2012 VOL. VII - NO. 1 Buletin Juli-Agsts.indd 58 8/8/2012 1:07:44 PM