Buletin Juli-Agustus 2012

advertisement
VOL. VII - NO. 1. JULI - AGUSTUS 2012
DAFTAR ISI
36 | SELINTAS
Mahkamah Syar’iyah Aceh
Bangunan Keadilan Masyarakat
Aceh .
13 | LAPORAN UTAMA
Komisi Yudisial di Ruang Akademis
K
ehadiran Komisi Yudisial telah menjadi pusat perdebatan dan perhatian
berbagai kalangan. Seorang hakim tinggi dan seorang anggota Komisi
Hukum DPR menulis disertasi tentang Komisi Yudisial. Karya-karya lain
hadir pula dengan sudut pandang dan fokus kajian berbeda. Bagaimana para
penulis karya tersebut memandang Komisi Yudisial?
3 | AKTUAL
50 | KOMPARASI
Ragam kegiatan internal maupun
eksternal Komisi Yudisial. Sosialisasi,
seminar, audiensi dan lain-lain.
Rekrutmen dan Pembinaan Hakim
ala Korsel dan Turki
28 | SUDUT HUKUM
Puasa bagi Para Hakim
Peran Kebangsaan
Seorang Hakim
32 | LEBIH DEKAT
39 | LAPORAN KHUSUS
Kesejahteraan Hakim
Jadi Prioritas
Komisi Yudisial
Tuntutan hakim di Indonesia
yang meminta perbaikan status
dan kesejahteraan sejatinya telah
menjadi perhatian Komisi Yudisial,
bahkan persoalan tersebut telah
disampaikan pimpinan dan
anggota Komisi Yudisial periode
2010 - 2015 ke hadapan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada
awal 2011.
52 | DOTKOM
Laman Harapan dari Pengadilan
M. Hatta Ali
Ketua Mahkamah Agung
KY dan MA Harus Bersinergi
Wujudkan Keagungan Peradilan
54 | RESENSI
Reformasi Peradilan yang
Berorientasi Sosial
56 | KONSULTASI HUKUM
47 | KATA YUSTISIA
Sidang MKH
Tabunya Hakim Bertemu Pihak
Berperkara
Sengketa Pra Yudisial dan
Beracara dalam Perkara Perdata
58 | RELUNG
Cangkir yang Cantik
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 1
1
8/8/2012 1:02:17 PM
SEKAPUR SIRIH
Assalamualaikum. wr.wb
Pembina
Anggota Komisi Yudisial
Penanggung Jawab
Muzayyin Mahbub
Redaktur
Patmoko
Editor
Suwantoro
M. Yasin
Dewan Redaksi & Sekretariat
Arif Budiman
Adnan Faisal Panji
Aran Panji Jaya
A.J Day
Afifi
Arnis Duwita
Diah Purwadi
M. Ilham
M. Purwadi
Nur Agus Susanto
Prasita
Romlah Pelupessy
Penasehat Redaksi
Andi Djalal Latief
Hermansyah
Desain Grafis & Fotografer
Ahmad Wahyudi
Dinal Fedrian
Widya Eka Putra
U
ndang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial disahkan oleh
Presiden Megawati Soekarnoputri pada 13 Agustus 2004. Berselang hampir
setahun kemudian, 2 Agustus 2005, anggota Komisi Yudisial jilid I mengucapkan
sumpah jabatan di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tanda
dimulainya kiprah Komisi Yudisial. Inilah sebabnya bulan Agustus menjadi istimewa bagi
Komisi Yudisial. Bulan Agustus adalah momen kelahiran Komisi Yudisial.
Seiring perjalanan waktu sejak kelahirannya, kajian tentang kedudukan Komisi
Yudisial dalam struktur ketatanegaraan pun menjadi pilihan mahasiswa fakultas
hukum dari program sarjana hingga doktor untuk dijadikan skripsi hingga disertasi. Selain itu, buku-buku yang membahas Komisi Yudisial juga bermunculan.
Selain tema tentang kedudukannya, isu seksi lain yang sering dijadikan obyek
penelitian adalah tugas komisi ini dalam melakukan pengawasan hakim.
Inilah sebabnya dalam momen ulang tahun kali ini redaksi mengangkat berbagai hasil penelitian, utamanya disertasi, dan buku-buku yang membahas
tentang Komisi Yudisial. Kami mewawancarai para penulis disertasi dan buku itu
untuk mengetahui motivasi kepeduliannya pada Komisi Yudisial. Hasil penelitian dan tulisan mereka tentu membawa kritik dan masukan sangat bermanfaat
bagi Komisi Yudisial. Semua kisah itu disajikan dalam rubrik Laporan Utama
bertema “Komisi Yudisial di Ruang Akademis”.
Momen ulang tahun kali ini juga bertambah istimewa berkat disepakatinya
draft Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden oleh tim lintas lembaga
tentang status dan kesejahteraan hakim. Terasa sangat istimewa karena amanat
baru yang wajib ditanggung oleh Komisi Yudisial sesuai UU No. 18 Tahun 2011
adalah mengupayakan peningkatan kesejahteraan hakim. Amanat ini sesungguhnya berat namun berhasil disepakatinya draft peraturan tersebut pastinya
menggembirakan bagi Komisi Yudisial terlebih bagi para hakim. Cerita tentang
kesejahteraan hakim yang menjadi prioritas Komisi Yudisial hingga mendekati
kenyataan ini kami sajikan dalam rubrik Laporan Khusus.
Masih banyak cerita-cerita menarik lainnya yang disajikan dalam Buletin edisi
HUT Komisi Yudisial ini. Dirgahayu Komisi Yudisial.
Sirkulasi & Distribusi
Biro Umum
Selamat Membaca.
Alamat Redaksi
Komisi Yudisial
Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat
PO.BOX 2685
Telp: (021) 390 6215
Fax: (021) 390 6215
e-mail: buletin@komisiyudisial. go.id
website: www.komisiyudisial. go.id
2
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 2
8/8/2012 1:02:29 PM
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/LUKMAN
AKTUAL
Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial Taufiqurrohman Syahuri menjadi narasumber acara Sosialisasi dan Penjaringan Calon Hakim
Agung di Bandung, (22 /6/2012) .
Mencari Kembali CHA yang
Berkualitas dan Berintegritas
K
omisi Yudisial kembali
menggelar seleksi calon
hakim agung di tahun
2012. Seleksi kali ini untuk
menggantikan empat hakim agung yang
akan pensiun hingga Januari 2013 dan
satu hakim agung untuk melengkapi
kekurangan seleksi sebelumnya.
Pelaksanaan seleksi ini sesuai surat
permintaan Mahkamah Agung No.
048/KMA/Hk.01/2012 tanggal 16 Mei
2012 perihal pengisian jabatan hakim
agung yang ditujukan kepada Ketua
Komisi Yudisial.
Ketua Bidang Rekrutmen Hakim
Taufiqurrohman Syahuri mengatakan
empat hakim agung yang akan pensiun
pada semester II 2012 terdiri dari satu
hakim agung kamar perdata, satu
hakim agung kamar tata usaha negara,
dan dua hakim agung kamar pidana.
Sementara kekurangan hasil seleksi
sebelumnya -semester I 2012- berasal
dari kamar pidana. Masa pendaftaran
calon hakim agung (CHA) berlangsung
dari tanggal 8 sampai dengan 28 Juni
2012. Saat masa pendaftaran Komisi
Yudisial melaksanakan sosialisasi dan
penjaringan calon hakim agung di kota
Banda Aceh, Jakarta, Bandung, Surabaya,
dan Ambon.
Tercatat, 119 CHA yang mendaftar.
Komposisinya terdiri dari 87 hakim karir
dan 32 dari jalur non karir. Rapat pleno
Komisi Yudisial pada tanggal 16 Juli
2012 kemudian memutuskan 81 CHA
dinyatakan lulus seleksi administrasi.
Adapun komposisi tersebut yaitu 58
orang dari hakim karier dan sisanya
23 orang dari jalur non karier. Tahapan
seleksi calon hakim agung berikutnya
yaitu pembuatan karya tulis di tempat,
penyelesaian kasus hukum, dan penilaian
karya profesi CHA. Proses ini telah
dilaksanakan pada 1 - 2 Agustus 2012 di
Bogor dan Surabaya. Dari 81 CHA yang
berhak mengikuti seleksi ini, tiga orang
diantaranya mengundurkan diri.
Komitmen Komisi Yudisial untuk
mencari calon hakim agung yang
memiliki kualitas dan integritas tetap
konsisten untuk dijalankan dalam
pelaksanaan seleksi kali ini. “Kami tetap
mengutamakan kualitas dan integritas
dan tetap berani menyerahkan hasil
seleksi ke DPR meski tidak memenuhi
kuota,” kata Taufiq saat konferensi
pers pembukaan pendaftaran seleksi
di Kantor Komisi Yudisial, Jumat (8/6).
(Dinal)
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 3
3
8/8/2012 1:02:34 PM
AKTUAL
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ IDEN
Opini WTP Kelima Komisi Yudisial
Sekjen Komisi Yudisial Muzayyin Mahbub menerima secara simbolis opini WTP dari Ketua BPK
Hadi Purnomo.
K
o m i s i Yu d i s i a l k e m b a l i
mendapatkan opini Wajar
Tanpa Pegecualian ( WTP)
untuk kelima kalinya secara berturut
turut sejak tahun 2008. Penyerahan
opini WTP atas pengelolaan laporan
keuangan itu disampaikan oleh BPK
akhir Juni lalu. Dalam sambutannya
Anggota I BPK RI Moermahadi Soerja
Djanegara mengatakan, Komisi Yudisial
telah memenuhi kriteria berdasarkan
empat aspek pemeriksaan, yaitu:
kesesuaian dengan standar akuntansi
pemerintah, kecukupan pengungkapan,
kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan, dan efektivitas
sistem pengendalian intern.
Sekjen Komisi Yudisial, Muzayyin
Mahbub mengungkapkan opini WTP
ini bukan berarti Komisi Yudisial
telah sempurna dalam pengelolaan
keuangan, tapi merupakan spirit
untuk mempertahankan opini WTP
pada tahun-tahun berikutnya. “Dan
kekurangsempurnaan di sana sini harus
kami lakukan perbaikannya,” paparnya
setelah menerima penghargaan.
Dia juga mengucapkan terima
kasih kepada segenap karyawan di
Komisi Yudisial yang memiliki komitmen
tinggi untuk mendorong pengelolaan
keuangan yang transparan dan
akuntabel. (Iden)
Anggaran
Penyerapan Maksimal Komisi Yudisial
S
ekretaris Jenderal Komisi Yudisial,
Muzayyin Mahbub, menyampaikan
realisasi anggaran Komisi Yudisial
semester I 2012 mencapai lebih dari 40%.
Penyerapan ini merupakan tertinggi
nomor dua bagi kementerian/lembaga
menurut catatan Kantor Perbendaharaan
Kas Negara Jakarta IV. Hal tersebut
disampaikan Muzayyin dalam rapat
kerja tengah tahun Komisi Yudisial yang
dihadiri Ketua, Wakil Ketua, dan para
Anggota Komisi Yudisial serta pejabat
struktural eselon II, III, dan IV Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial.
Selain itu, Muzayyin juga
menyampaik an bahwa dalam
4
pengelolaan anggaran tahun 2011,
Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun
ini kembali memberikan opini tertinggi
dalam pengelolaan anggaran yaitu
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bagi
Komisi Yudisial. Opini ini merupakan
yang kelima kali secara berturut-turut
diperoleh Komisi Yudisial.
Sementara itu, Ketua
Komisi Yudisial Eman Suparman,
mengamanatkan perlunya penempatan
pegawai sesuai kompetensi. Hal ini
terutama untuk mengakomodasi peran
Komisi Yudisial yang semakin signifikan
pasca pengesahan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011. “Tidak ada pilihan
bagi organisasi dalam menghadapi
perubahan kecuali membenahi sumber
daya manusia (SDM). Maka diperlukan
penempatan pegawai sesuai kompetensi,
sesuai kemampuannya,” ujar Eman pada
saat pembukaan rapat kerja tersebut di
Bandung, (5/7).
Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2011 adalah Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial. Undang-undang
tersebut memberikan beberapa amanat
baru bagi Komisi Yudisial sehingga
diperlukan perubahan organisasi di
lingkungan Sekretariat Jenderal Komisi
Yudisial. (Nura)
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 4
8/8/2012 1:02:36 PM
Hubungan Antar Lembaga
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ WIRA
Merajut Sinergi dengan Organisasi
Keagamaan dan Kepemudaan
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman berjabat tangan dengan perwakilan dari PBNU setelah
penandatanganan MoU.
Adapun ruang lingkup kerja sama
ini ialah sosialisasi dan kampanye bersama
dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim dan penegakan hukum,
partisipasi dalam pelaporan dan
pengawasan kinerja hakim di Indonesia, menjadi narasumber dalam kegiatan yang
diselenggarakan oleh
Komisi Yudisial maupun
OKP, dan program lain
yang disepakati demi
kemajuan bangsa.
Melalui kerja
sama ini diharapkan
akan terjadi sinergisitas
antara Komisi Yudisial
dan OKP dalam
mewujudkan peradilan
yang bersih, imparsial,
Wakil Ketua Komisi Yudisial Imam Anshori Shaoleh dan Sekjen
transparan dan
Komisi Yudisial Muzayyin Mahbub berfoto bersama dengan
perwakilan organisasi kepemudaan setelah penandatanganan
akuntabel.
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ JAYA
K
omisi Yudisial menjalin
kerja sama dengan tujuh
organisasi kepemudaan (OKP)
dalam rangka memperluas
dukungan terhadap peradilan bersih di
Indonesia. Adapun tujuh OKP tersebut
adalah Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI), Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
(PMKRI), Gerakan Angkatan Muda Kristen
Indonesia (GAMKI), Persatuan Pelajar Islam
(PPI), Gerakan Pemuda Indonesia (GPI),
dan Generasi Muda Budhis Indonesia
(GMBI).
Penandatanganan kerja sama dilakukan oleh Sekretaris Jenderal
Komisi Yudisial, Muzayyin Mahbub,
dengan masing-masing ketua OKP yang
dilaksanakan pada 17 Juli 2012 bertempat
di Auditorium Komisi Yudisial. Sebelumnya, pada 18 Juni 2012
Komisi Yudisial juga menjalin kerjasama
dengan enam organisasi keagamaan.
Kerjasama tersebut juga diformalkan
dalam kegiatan penandatanganan MoU.
Enam organisasi keagamaan itu adalah
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU),
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI),
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia
(PGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia
(PHDI), dan DPP Perwalian Umat Budha
Indonesia (Walubi).
Ketua Komisi Yudisial, Eman
Suparman, mengatakan tujuan
penandatanganan MoU ini agar fungsi
pengawasan yang dijalankan Komisi
Yudisial lebih optimal. “Kerjasama ini
sangat penting untuk menciptakan
peradilan yang bersih dari praktik mafia
peradilan yang salah aktornya adalah
hakim. Penegakan profesionalitas dan
integritas moral hakim merupakan
tanggung jawab bersama,” katanya.
M e n u r u t ny a , o r g a n i s a s i
keagamaan mempunyai peran dalam
mengawal integritas moral para hakim
dari sisi keagamaan/keimanan. (Nura)
MoU.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 5
5
8/8/2012 1:02:46 PM
AKTUAL
Penelitian Putusan Hakim
Suatu Upaya Peningkatan Kapasitas Hakim
K
hakim. Hal tersebut diungkapkannya
dalam pembukaan acara “Presentasi
Laporan Penelitian Putusan Hakim
Tahun 2012 (Tahap II)”, di Hotel Horison
Bandung, Jum’at, (15/6).
Acara yang berlangsung
tanggal 14-16 Juni 2012 ini dihadiri
oleh Universitas Syiah Kuala (Unsyiah),
Universitas Sumatera Utara (USU),
Universitas Andalas (Unand), Universitas
Jambi, Universitas Lampung, Universitas
Pancasila, Universitas Pasundan,
Universitas Islam Indonesia (UII),
Universitas Lambung Mangkurat,
Universitas Udayana, Universitas
Jendral Soedirman (Unsoed), Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM),
Universitas Tanjung Pura, Universitas
45 Makassar dan Perkumpulan untuk
Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat
dan Ekologis (HuMa).
Eman mengungkapkan, kegiatan
ini merupakan kerjasama Komisi Yudisial
dengan Jejaring Perguruan Tinggi (PT)
dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang terdiri dai 14 PT dan satu LSM yang
dipilih berdasarkan hasil evaluasi kinerja
dalam penelitian putusan sebelumnya.
K e t u a K o m i s i Yu d i s i a l
menambahkan, ia berharap para hakim
melalui putusan yang dihasilkannya
menjadi kontributor dalam pelayanan
terhadap publik dalam menegakkan
keadilan dan kebenaran.
“Semakin berkualitas putusan
yang dihasilkan maka peran lembaga yudikatif akan semakin dirasakan
konstribusinya serta manfaatnya bagi
masyarakat, bangsa dan negara” tambah
Guru Besar Universitas Padjadjaran ini.
(Jaya)
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ JAYA
omisi
Yudisial
sebagaimana diatur
dengan Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman dapat
menganalisis putusan hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap. Dengan
legalitas yang dimiliki itu Komisi Yudisial
secara rutin setiap tahun melakukan
penelitian putusan hakim yang dilakukan
oleh perguruan tinggi.
Ketua Komisi Yudisial Eman
Suparman mengungkapkan, penelitian
putusan hakim ini dilakukan guna
menopang tugas Komisi Yudisial dalam
memotret kualitas putusan hakim,
yang nantinya dipakai sebagai bahan
pertimbangan dalam seleksi calon hakim
agung.
Penelitian putusan hakim juga
dilakukan sebagai bahan pertimbangan
dalam upaya peningkatan kapasitas
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman didampingi para Ketua Bidang saat menghadiri presentasi hasil penelitian putusan hakim tahun 2012 tahap II
di Bandung.
6
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 6
8/8/2012 1:02:54 PM
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ ANDRI
Peradilan Bersih Butuh Kerjasama
Berbagai Elemen
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Komisi Yudisial Ibarahim menjadi pembicara pada simposium internasional di Surabaya.
K
etua Bidang Hubungan Antar
Lembaga Komisi Yudisial,
Ibrahim, menghimbau agar
berbagai elemen saling
bekerjasama dalam menguatkan
dan mewujudkan peradilan bersih di
Indonesia. Penyamaan persepsi dari
berbagai elemen tersebut diharapkan
dapat meminimalisir tantangan dalam
upaya mewujudkan peradilan bersih. Hal
tersebut dikatakannya ketika menjadi
pembicara kunci pada simposium
internasional bertajuk “Judicial Power and
Challenge in Developing an Independent
and Good Judiciary in Democratic System”,
di Surabaya (29/6).
Dalam membangun peradilan
bersih, kata Ibrahim, perlu ada sistem
pendukung yang penting yaitu sistem
peradilan yang baik (fair and impartial
enforcement/independent impartial
enforcement as human right).
Dalam konteks tersebut peran
Komisi Yudisial melekat pada fungsi
pengawasan terhadap perilaku hakim
yang menjadi kewenangannya. Dalam
melakukan fungsi pengawasan, Komisi
Yudisial telah membangun kerjasama
dengan jejaring baik itu perguruan tinggi
maupun civil society. “Tujuannya untuk
mempercepat perwujudan peradilan
yang fair dan imparsial yang telah ada
dalam blue print Mahkamah Agung
Republik Indonesia,” ujar Ibrahim.
Hakim, tambahnya, harus
menjunjung tinggi fairness,fearless dan
favorness. Favorness yang dimaksud
adalah tidak mendukung masing –
masing pihak. Hakim harus independen
tetapi dibaliknya hakim juga harus
memiliki akuntabilitas. Dan, pada akhirnya
independensi hakim tidak bersifat absolut
semata. Independensi hakim dalam
melaksanakan kewenangannya memutus
perkara bersifat relatif karena dibatasi
hukum dan perundang-undangan.
Saat penutupan simposium
dilakukan penandatanganan MoU
antara Komisi Yudisial dan Badan
Kerjasama Akademisi untuk Pengawasan
Pengkajian dan Pengembangan Peradilan
di Indonesia (BKA-P4I). Melalui MoU
tersebut menandakan komitmen Komisi
Yudisial dan BKA-P4I untuk bekerjasama
dalam program penguatan kelembagaan
dan fungsi Komisi Yudisial serta program
pengkajian dan peningkatan kehormatan
dan keluhuran martabat hakim.
Penandatanganan MoU dilakukan oleh
Sekjen Komisi Yudisial, Muzayyin Mahbub
dan Widodo wakil dari BKA-P4I.
Radian Salman, Dosen FH Unair,
mengungkapkan tujuan utama dari
simposium internasional ini adalah
menyamakan persepsi berbagai elemen
yang terlibat dalam rangka penguatan
dan perwujudan peradilan bersih. Elemen
tersebut terdiri dari Komisi Yudisial,
APHAMKA, CFG Thailand dan institusi
pendidikan serta masyarakat.
Simposium internasional ini
terselenggara berkat kerjasama Komisi
Yudisial, Hans Seidel Foundation, CFG
Thailand, APHAMKA dan FH Universitas
Dr. Sutomo. (Andri)
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 7
7
8/8/2012 1:03:06 PM
AKTUAL
Mengajak Advokat Tidak Menyuap Hakim
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ JAYA
P
rofesi advokat memiliki peran
penting dalam upaya penegakan
hukum. Setiap proses hukum,
baik pidana, perdata, tata usaha
negara, bahkan tata negara, senantiasa
melibatkan profesi advokat. “Saya minta para advokat seluruh
Indonesia apapun organisasinya harus
berani menolak permintaan hakim dan
jangan berusaha untuk selalu ingin
menang di dalam berperkara dengan
menyuap hakim,” Ketua Komisi Yudisial
Eman Suparman mengungkapkan
hal tersebut di Jakarta Media Center
(Gedung Dewan Pers), Kebon Sirih,
Jakarta, dalam rangka Sarasehan Nasional
Pembangunan Indonesia Berkeadilan
(Hukum dan HAM) yang diselenggarakan
Gerakan Karya Justitia Indonesia (GKJI),
akhir Juni lalu.
Nakalnya para hakim, lanjut
Eman, disebabkan antara lain situasi
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman menjadi pembicara pada sarasehan nasional di Jakarta.
dan keadaan yang membuat mereka
jadi nakal dengan memanfaatkan segala
peluang untuk melakukan pelanggaran.
Di akhir ceramah yang dibawakan, Eman
mengajak seluruh anggota GKJI dapat
bahu membahu dengan Komisi Yudisial
Pengadilan HAM di Indonesia
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ LUKMAN
Melanggengkan Impunity
Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki
berfoto bersama setelah peluncuran buku di Universitas Sriwijaya Palembang.
K
elemahan undang-undang,
tidak adanya kemauan hukum
dan politik, serta tidak adanya
komitmen kemanusiaan negara dan
agen-agen negara dalam menyelesaikan
8
pelanggaran berat HAM masa lalu, selain
menjadi alasan kegagalan pengadilan
HAM ad hoc, juga menjadi sebab
tidak adanya proses lebih lanjut atas
pelanggaran berat HAM masa lalu.
untuk memberantas mafia peradilan
yang tidak akan selesai kalau hakimnya
tidak baik. “Peran serta anggota GKJI
dibutuhkan mencapai tujuan itu,” tutup
Eman. (Jaya)
Hal tersebut mengemuka
dalam diskusi peluncuran buku
berjudul “Pengadilan HAM di Indonesia
Melanggengkan Impunity” karya
Anggota Komisi Yudisial Suparman
Marzuki. Acara ini berlangsung di
ruang Zainul Arifin Universitas Sriwijaya,
Palembang, (12/07).
Masalah utama yang menghantui
penyelesaian pelanggaran HAM
masa lalu adalah bayang-bayang
kegagalan. Seminar nasional dan
peluncuran buku ini dibuka Rektor
Universitas Sriwijaya Badia Perizade,
dipandu oleh moderator Ruben Ahmad
dan pembicara lainnya yakni Hakim
Agung Artidjo Alkostar dan Dekan FH
Unsri Amzulian Rifai. Menurut Badia,
seminar nasional dan peluncuran buku
sangat penting dan berguna untuk
memberikan wawasan khususnya bagi
dosen, mahasiswa dan masyarakat.
(Lukman)
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 8
8/8/2012 1:03:22 PM
Muhammadiyah Berperan
Wujudkan Keadilan di Pengadilan
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ RAY
K
eberadaan Muhammadiyah
merupakan salah satu aset terbesar bangsa Indonesia
Anggota Komisi Yudisial Taufiqurrohman
Syahuri mengatakan, Muhammadiyah
memiliki beragam badan usaha seperti
perguruan tinggi yang tersebar di
seluruh pelosok tanah air. Menyadari
hal tersebut, Muhammadiyah memiliki
kesadaran untuk mempersiapkan
kader-kader penerus bangsa yang
mampu mewujudkan harapan pendiri
bangsa khususnya keadilan dalam proses
penegakan hukum. “Muhammadiyah
mensyaratkan pemimpin yang bersikap adil, bermoral baik, dan menerima
kritik untuk membangun,” kata Taufiq
pada saat menjadi pembicara dalam
pertemuan tiga bulanan Muhammadiyah
Cabang Senggom, Brebes, pertengahan
Juni lalu.
Keadilan, lanjut Taufiq, menurut
ajaran Islam merupakan perintah Allah
SWT sebagaimana tersurat dalam Al
Maidah ayat 8 yang berbunyi: “Hai
Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial Taufiqurrohman Syahuri menghadiri dan
menjadi narasumber pertemuan tiga bulanan Muhammadiyah cabang Senggom, Brebes.
orang-orang yang beriman hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Merujuk pada perintah tersebut,
maka keadilan harus menjadi komitmen
bersama aparat hukum, termasuk di
dalamnya kader Muhammadiyah yang
tersebar di seluruh Indonesia. (Ray)
Ketum PBNU: Tekankan Kekuatan Spiritual
pada Ramadhan 1433 H
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ FAJAR
D
Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj menjadi pembicara
dalam pengajian menyambut Ramadhan di kantor KY.
alam rangka menyambut bulan suci Ramadhan 1433 H, Komisi
Yudisial menyelenggarakan pengajian dan tausiyah. Kegiatan
itu dibuka oleh Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman.
Tujuan kegiatan ini adalah mempersiapkan jiwa dan rohani dalam
menyongsong bulan Ramadhan.
Inti dari acara ini diisi dengan Tausiyah oleh Ketua Umum
PBNU Said Agil Siradj. Ia menekankan tiga hal dalam menyambut
bulan suci Ramadhan yaitu kebenaran ilmiah, kebenaran iman dan
kebesaran hati.
“Ketiganya sebagai kekuatan spiritual,” ujarnya di hadapan
seluruh pimpinan dan pegawai Komisi Yudisial serta para undangan,
Senin (16/7), bertempat di Auditorium Komisi Yudisial. (Fajar)
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 9
9
8/8/2012 1:03:37 PM
AKTUAL
Komisi Yudisial Dampingi Hakim Tuntut Haknya
K
omisi Yudisial memilik i
kewajiban moral mendampingi
para hakim memperjuangkan
hak-haknya, termasuk kesejahteraan.
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman
m e n g at a k a n , s e l a i n m e m i l i k i
kewenangan pengusulan calon
hakim agung dan pengawasan hakim,
Komisi Yudisial juga mempunyai tugas
mengupayakan peningkatan kapasitas
dan kesejahteraan hakim.
“Ini sebagai upaya untuk
menegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim,”
kata dia dalam acara seminar nasional
yang diselenggarakan oleh Universitas
Slamet Riyadi Surakarta (Unisri) dengan
tema “Kesejahteraan Hakim Masa Kini
untuk Mewujudkan Peradilan yang Bersih
dan Berwibawa” di bulan Juni lalu.
Eman menambahkan upaya
peningkatan kapasitas hakim melalui
peningkatan kesejahteraan hakim telah
dilakukan oleh Komisi Yudisial. Misalnya
pada awal Februari 2011 Komisi Yudisial
melakukan kunjungan kerja ke Surabaya
dan Semarang untuk mendapatkan
kejelasan mengenai permasalahan
hak-hak keuangan para hakim ad hoc
Tipikor yang belum diterima.
“ Terkait masalah tersebut
Komisi Yudisial menyampaikan
kepada Kementerian Keuangan untuk
memperhatikan permasalahan hak-hak
keuangan para hakim tersebut agar
segera diselesaikan, ” ujarnya dihadapan
para peserta seminar yang terdiri dari para hakim pengadilan negeri dan tinggi
di Jawa Tengah dan para mahasiswa
beserta dosen Fakultas Hukum Unisri.
Laporan Wartawan Membantu
Tugas Komisi Yudisial
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ NURA
P
10
eran media dalam mewujudkan
peradilan bersih tidak perlu
diragukan oleh semua pihak.
Berbekal tulisannya, wartawan dapat
mendorong peradilan menjalankan
tugasnya dengan baik. Anggota Komisi
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Komisi Yudisial Ibarahim didampingi
Sekjen Muzayyin Mahbub dan Kepala Bagian Perencanaan dan Hukum Roejito saat
bertandang ke kantor Pontianak Post.
Lebih lanjut Eman menegaskan
peningkatan kualitas, integritas,
serta moralitas para hakim dalam arti
seutuhnya saat ini menjadi perhatian
Komisi Yudisial dalam rangk a
peningkatan kualitas hakim. Karena
hal ini sejalan dengan tugas serta
kewenangan konstitutional Komisi
Yudisial yaitu menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim. “Demikian pentingnya
aspek moralitas ini dibina secara terus
menerus oleh karena hakim adalah wakil
Tuhan di muka bumi, yang putusannya
harus menjadi mahkota bagi dirinya
serta memberikan manfaat bagi
masyarakat, memberikan rasa keadilan
dan kepastian hukum,” ungkap Eman.
(Emry)
Yudisial, Ibrahim, mengatakan media
adalah salah satu alat sosialisasi yang
efektif. Bahkan laporan dari wartawan
sangat berguna membantu kerja
Komisi Yudisial. “Tulisan teman-teman
media mendukung data dan rekam
jejak calon hakim agung,” kata Ibrahim
yang juga Ketua Bidang Hubungan
Antar Lembaga pada saat bertandang
ke kantor Pontianak Post, Jalan
Gajah Mada, Pontianak, (8/6), yang
didampingi Sekretaris Jenderal Komisi
Yudisial Muzayyin Mahbub. Selain hal itu, kata Ibrahim,
media juga memberikan informasi
tentang perilaku hakim dimana hal
itu menjadi kewenangan Komisi
Yudisial untuk mengawasinya. Dalam
kasus-kasus yang menyita perhatian
publik maka hakim tidak berani
melakukan perbuatan-perbuatan yang
mendorong terjadinya pelanggaran
perilaku. (Nura)
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 10
8/8/2012 1:03:43 PM
Usaha Komisi Yudisial Mencegah
Pelanggaran KEPPH
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ NURA
K
ode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim (KEPPH) menjadi dasar
komitmen bersama Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung dalam
penyelenggaraan pengawasan
hakim. Salah satu langkah untuk
menginternalisasikan KEPPH ini melalui
sosialisasi dan workshop kepada hakim
yang diselenggarakan di Propinsi Nangroe
Aceh Darussalam (NAD), (24/5).
Kegiatan yang bertajuk “Mencari
Solusi Bersama dalam rangka Mencegah
Terjadinya Pelanggaran Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim”, berlangsung
di Aula Mahkamah Syariah Aceh. Acara
ini dihadiri oleh Ketua Bidang Investigasi
dan Pengawasan Hakim Suparman
Marzuki dan Ketua Bidang Pencegahan
dan Pelayanan Masyarakat H. Abbas Said. Selain keduanya yang mewakili Komisi
Yudisial, kegiatan ini menghadirkan
narasumber lain yaitu Ketua Pengadilan
Tinggi Aceh H. M. Mas’ud Halim, dan Wakil
Ketua Mahkamah Syariah Aceh H. Armia
Ibrahim.
Suparman dalam kesempatan
itu mengatakan keberadaan Komisi
Pelaksanaan Diskusi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang diselenggarakan Komisi
Yudisial di Nanggroe Aceh Darussalam.
Yudisial tidak semata-mata melakukan
pengawasan bersifat represif namun juga
menjalankan pengawasan preventif.
Salah satu upaya yang dilakukan dalam
kerangka pengawasan preventif ialah
meningkatkan kapasitas hakim dan
berusaha mewujudkan kesejahteraan
hakim. “Hakim sebagai pejabat negara
sehingga fasilitasnya harus sesuai
Hubungan Antar Lembaga
Komisi Yudisial Jalin Kerja Sama
dengan UIN Sunan Gunung Djati
K
omisi Yudisial dan Universitas
Islam Negeri (UIN) Sunan
Gunung Djati berkomitmen
untuk bekerja sama diawali dengan
ditandatanganinya nota kesepahaman
antara kedua lembaga di aula utama
UIN Sunan Gunung Djati, Bandung,
(26/5).
Ketua Komisi Yudisial, Eman
Suparman, mengungkapkan melalui
kerjasama ini diharapkan ada proses
saling tukar menukar informasi
tentang hasil pemantauan peradilan.
Namun, tambahnya, informasi yang
akan disampaikan ke Komisi Yudisial
itu harus berdasarkan fakta dan bukti
yang nyata.
Lebih lanjut, Guru Besar
Universitas Padjadjaran ini juga
memberikan peluang pada pihak UIN
Sunan Gunung Djati dalam bidang
penelitian atas putusan-putusan
yang dikeluarkan oleh hakim-hakim
pengadilan agama. “Hakim pengadilan
agama berpotensi untuk dicalonkan
menjadi hakim agung kamar
agama, sehingga untuk memetakan
profesionalismenya maka putusannya
dengan posisi tersebut,” papar Suparman
di hadapan 79 hakim se-wilayah NAD.
Sementara itu, Abbas said
menekankan bahwa hakim adalah profesi
mulai sehingga harus dijaga martabat
dan keluhurannya. Konsekuensinya
para hakim seharusnya tidak melakukan
perbuatan yang tercela dan mencederai
kewibawaannya.(NurA)
diteliti oleh para akademisi yang
kompeten di bidangnya,” papar
Eman.
Sementara itu Oyo Sunaryo
Mukhlas, Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Sunan Gunung
Djati, mengatakan tujuan utama
penandatanganan nota kesepahaman
ini untuk mendorong partisipasi
dari kalangan akademisi di bidang
pengawasan penegakan hukum
di Indonesia, melalui pendidikan,
penelitian, dan pengabdian masyarakat
dalam bingkai Tridharma Perguruan
Tinggi.
Dalam kesempatan itu juga
diadakan seminar nasional yang
berjudul ”Revitalisasi Peran dan Fungsi
Komisi Yudisial dalam Pengawasan
Penegakan Hukum di Indonesia”.
(Adnan).
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 11
11
8/8/2012 1:03:53 PM
AKTUAL
Kuliah Umum di Universitas Jambi
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ JAYA
Budaya Hukum Faktor Penting Penegakan Hukum
Ketua Bidang SDM dan Litbang Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus dan Sekjen Muzayyin Mahbub
menjadi pembicara dalam kuliah umum di Universitas Jambi.
M
enegakkan hukum yang
berkeadilan tidak dapat
dilaksanak an melalui
pendekatan struktur melalui aparat
hukum semata, namun juga melalui
pendekatan substansi dan budaya. Ketua Bidang Sumber
Daya Manusia, Penelitian dan
Pengembangan Komisi Yudisial Jaja
Ahmad Jayus mengatakan banyak persoalan dalam proses penegakan
hukum dipengaruhi berbagai
faktor, sehingga bangsa ini belum
bisa keluar dari berbagai persoalan
hukum.
Faktor tersebut adalah aspek substansi hukum, aspek struktur
hukum dan aspek budaya hukum.
“Sebaik-baiknya struktur hukum
dan substansi hukum kalau aspek
budaya hukum belum maksimal maka penegakan hukum akan terus menjadi
persoalan,” ungkap pria asal Kuningan
ini dalam Kuliah Umum Etika dan
Tanggung Jawab Profesi “Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim” yang
diselenggarakan oleh Fakultas Hukum
Universitas Jambi, Sabtu (2/6).
Sementara itu, Sekretaris Jendral
Komisi Yudisial Muzayyin Mahbub
pada acara yang sama mengupas
persoalan tentang kelembagaan Komisi
Yudisial terkait kewenangannya dalam
mengusulkan pengangkatan hakim
agung ke DPR dan kewenangan lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
serta perilaku hakim. “Dua kewenangan
ini sangat strategis, dalam mewujudkan
peradilan yang bersih dan menciptakan
hakim-hakim yang baik,” ungkap pria
kelahiran Brebes ini.
Dalam hal rekomendasi sanksi,
saat ini telah diatur bahwa rekomendasi
yang disampaikan Komisi Yudisial kepada
Makamah Agung terkait pelanggaran
Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim bersifat mengikat. Acara yang
berlangsung di Auditorium Rektorat
Universitas Jambi ini merupakan
kerjasama Komisi Yudisial dengan
Fakultas Hukum Universitas Jambi, dalam
kerangka materi ajar tentang Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim. (Jaya)
Panggilan “Yang Mulia” Hanya Milik Hakim
J
abatan publik yang mendapatkan
kehormatan adalah hakim. Oleh
sebab itu tidak berlebihan apabila
hakim dipanggil dengan sebutan “Yang
Mulia”. Sebutan ini bahkan tidak dimiliki
oleh profesi yang lain.
Menurut Ketua Bidang Hubungan
Antar Lembaga Komisi Yudisial, Ibrahim,
sebutan “Yang Mulia” memang pantas
disematkan kepada korps hakim,
mengingat keberadaan hakim sangat
penting dalam penegakan hukum.
12
Hakim menentukan nasib seseorang
sehingga disebut sebagai wakil
Tuhan di dunia. Oleh sebab itu, hakim
memiliki independensi yang tidak boleh
dimasuki oleh lembaga lain termasuk
Komisi Yudisial. “Meski demikian,
ada batasan-batasan dalam menjaga
independensi tersebut,” paparnya.
Hal di atas dikemukakan oleh
Ibrahim ketika menjadi narasumber
dalam kegiatan sosialisasi Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim bertempat di
Hotel Kapuas Palace, Pontianak, awal Juni
lalu. Terkait dengan penyelenggaraan
kegiatan, Ibrahim menambahkan
kegiatan sosialisasi ini dibutuhkan
untuk mencapai tujuan bersama
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
yaitu membangun peradilan yang
bersih. “Keputusan hakim tidak akan
memuaskan semua pihak. Tapi ada
pendekatan dua belah pihak dimana
putusan berdasarkan pada fakta di
lapangan,” ujar dia. (Nura)
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 12
8/8/2012 1:04:05 PM
LAPORAN UTAMA
Komisi Yudisial di Ruang Akademis
Dinal Fedrian
B
erhasil mempertahankan
disertasi merupakan
kebanggaan bagi seorang
p r o m ove n d u s . A p a l a g i
perjalanan mendapatkan gelar doktor
dalam ilmu hukum itu dilakukan di
tengah-tengah tugas mengabdi untuk
negara dan kepentingan rakyat. Itulah
yang dilakukan R. Achmad Dimyati
Natakusumah.
Anggota DPR itu berhasil
mempertahankan disertasi di depan
sidang Guru Besar Universitas
Padjadjaran Bandung pada 8 Juni lalu.
Judul disertasinya Kedudukan Komisi
Yudisial dalam Mewujudkan Reformasi
Peradilan.
†† ILUSTRASI YUDI
Kehadiran Komisi Yudisial
telah menjadi pusat
perdebatan dan perhatian
berbagai kalangan.
Seorang hakim tinggi dan
seorang anggota Komisi
Hukum DPR menulis
disertasi tentang Komisi
Yudisial. Karya-karya lain
hadir pula dengan sudut
pandang dan fokus kajian
berbeda. Bagaimana para
penulis karya tersebut
memandang Komisi
Yudisial?
Sebagai anggota DPR, Dimyati
melihat kelemahan kedudukan dan
wewenang Komisi Yudisial dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004.
Undang-undang tersebut akhirnya
direvisi menjadi Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2011 yang disahkan pada 9
November 2011. Dalam disertasinya,
Dimyati berpendapat bahwa Komisi
Yudisial merupakan landing of the last
resort dalam upaya membangun sistem
peradilan yang bersih dan bebas dari
mafia hukum.
Dimyati bukan satu-satunya orang
yang membawa tema tentang Komisi
Yudisial ke bangku akademis. Atang
Irawan, dosen Universitas Pasundan
berhasil mempertahankan disertasi
tentang Komisi Yudisial pada 9 Juli 2012
lalu.
Dari kalangan hakim, tercatat
nama H. Bunyamin Alamsyah. Melakukan
kajian selama dua tahun diselingi
tugas-tugas penting sebagai hakim,
Bunyamin berhasil menyelesaikan dan
mempertahankan disertasi doktor ilmu
hukum ‘Kedudukan dan Wewenang Komisi
Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia’ di Universitas Islam Indonesia
(UII) Yogyakarta, April 2010.
Menurut hakim Pengadilan
Tinggi Agama Bandar Lampung ini,
sebagai lembaga baru dalam sistem
ketatanegaraan, kehadiran Komisi
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 13
13
8/8/2012 1:04:09 PM
†† DOC.PRI
LAPORAN UTAMA
Hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandar Lampung Bunyamin Alamsyah hendak memasuki ruang ujian sidang promosi doktor di FH UII, Yogyakarta.
Yudisial patut dikaji lebih mendalam.
Ada tiga alasan utama yang membuat
Bunyamin Alamsyah menaruh perhatian
pada Komisi Yudisial.
Pertama, secara normatif,
Komisi Yudisial hadir dalam kerangka
pelaksanaan negara hukum. Dengan
kata lain, kehadiran Komisi Yudisial
mempunyai landasan konstitusional
yang sangat kuat, seperti diatur dalam
Pasal 20, 24, 24 A, 24 B, 24 C, dan Pasal 25
UUD 1945. Kedua, secara filosofis, para
hakim yang mempunyai kedudukan
terhormat perlu dijaga martabatnya.
Komisi Yudisial diberikan wewenang
konstitusional mengawasi perilaku hakim
baik preventif maupun represif. “Nampak
urgen bagi saya dari kacamata teoritis
maupun praktis untuk mengkajinya,” kata
Bunyamin.
Alasan ketiga, secara sosiologis,
Komisi Yudisial lahir sebagai satu jawaban
atas reformasi lembaga kekuasaan
kehakiman yang mempunyai peran
14
penting dalam mengawal dan berusaha
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang
merdeka.
Namun, diakui Bunyamin, proses
penulisan disertasi tidaklah gampang.
Selain karena banyak waktunya habis
menjalankan tugas kedinasan sebagai
hakim, juga karena literatur yang masih
minim. Hakim peradilan agama kelahiran
5 Mei 1955 itu telah mengunjungi
perpustakaan Universitas Padjadjaran
di Bandung, Universitas Indonesia, dan
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.
Ternyata, masih sulit menemukan
disertasi tentang Komisi Yudisial (lihat
wawancara Bunyamin Alamsyah).
Semua strata
Penelusuran yang dilakukan
tim redaksi buletin menemukan fakta
bahwa sudah ada karya ilmiah pada
semua jenjang pendidikan, strata-1
--hingga program doktor ilmu hukum
yang membahas tentang Komisi Yudisial.
Tema yang diangkat pun beragam, baik
dari sisi kelembagaan maupun dalam
rangka menjalankan fungsi-fungsinya.
Belum dihitung karya ilmiah
berupa artikel atau tulisan di media
massa, buletin, dan jurnal, atau makalah
yang dipresentasikan dalam diskusi
ilmiah. Kita bisa menemukan ribuan
artikel dengan sudut pandang dan fokus
tulisan yang berbeda. Salah satu fokus
perhatian para penulis adalah hubungan
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
pasca putusan Mahkamah Konstitusi
atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial. Simon Butt,
akademisi Australia, sampai menulis
sebuah artikel, “Banishing Judicial
Accountability? The Constitutional
Court’s Decision in the Dispute Between
the Supreme Court and the Judicial
Commission”. Tulisan ini menjadi bagian
dari buku Democracy and the Promise of
Good Governance (Institute of Southeast
Asia Studies, 2007).
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 14
8/8/2012 1:04:11 PM
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ JAYA
Sidang promosi doktor R. A Dimyati Natakusumah dii FH Unpad. Disertasi Dimyati membahas tentang Komisi Yudisial.
Di dalam negeri, perhatian
kalangan akademis terhadap Komisi
Yudisial jauh lebih besar. Kunjungan
rombongan dosen dan mahasiswa dari
berbagai perguruan tinggi ke Komisi
Yudisial memperlihatkan antusiasme.
Apalagi selama ini Komisi Yudisial
menjalin hubungan jejaring dengan
kalangan kampus.
Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya Palembang,
Mustafa Abdullah, berpendapat Komisi
Yudisial adalah lembaga yang menarik
untuk diteliti dan dikaji secara akademis.
Sebagai institusi negara yang relatif baru,
banyak hal yang bisa dibahas. Fungsi
pengawasan merupakan salah satu
aspek penting yang, menurut Mustafa
Abdullah, menarik untuk dilirik para
peneliti dan civitas akademika.
Berdasarkan penelusuran yang
dilakukan tim redaksi, dua aspek penting
yang paling banyak mendapat perhatian
kalangan akademisi dan praktisi adalah
fungsi pengawasan hakim dan aspek
kelembagaan Komisi Yudisial dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pengawasan hakim
Fungsi pengawasan Komisi
Yudisial menjadi isu penting bagi
kalangan akademisi dan praktisi hukum,
terutama setelah ada permohonan
judicial review Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Prim Fahrur Razi, mahasiswa magister
ilmu hukum Universitas Diponegoro
(Undip) Semarang yang berprofesi
sebagai hakim, termasuk yang tertarik
meneliti masalah ini.
Tesis Prim, Sengketa Kewenangan
Pengawasan antara Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial, berhasil dia
pertahankan pada 2007 silam di bawah
bimbingan Dekan Fakultas Hukum Undip
saat itu, Arief Hidayat. Menurut Prim,
sulit dipungkiri bahwa Komisi Yudisial
merupakan salah satu bagian dari
paket reformasi peradilan mengingat
berbagai sorotan buruk terhadap kinerja
lembaga peradilan di Indonesia, baik
pada tingkat judex facti maupun judex
juris. Dalam tesisnya, Prim Fahrur Razi
menguraikan bagaimana perbedaan
pandangan para pakar hukum tentang
fungsi pengawasan Komisi Yudisial.
Menurut Prim, sengketa kewenangan
pengawasan hakim lebih disebabkan
kesalahpahaman atau perbedaan
persepsi terhadap rumusan pasal 24 B
UUD 1945. Revisi Undang-Undang Komisi
Yudisial menjadi salah satu solusinya.
Sesuai rumusan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004, yang kemudian
direvisi dengan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011, Komisi Yudisial
menjalankan fungsi pengawasan
terhadap hakim. Komisi Yudisial
menjalankan fungsi pengawasan secara
eksternal, sedangkan secara internal
dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Bagaimana fungsi pengawasan kedua
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 15
15
8/8/2012 1:04:19 PM
LAPORAN UTAMA
UPN Veteran Jakarta. Maret lalu,
Supriyansyah mempertahankan skripsi
berjudul Penerapan Fungsi Pengawasan
Komisi Yudisial Indonesia dalam
Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman yang
Mandiri. Dua tahun sebelumnya, Fitriyeni
Fitri menulis Efektivitas Komisi Yudisial
dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan
Hakim di Universitas Andalas Padang.
Kelembagaan
Aspek kedua yang paling banyak
menarik perhatian peneliti adalah
kelembagaan Komisi Yudisial. Bunyamin
Alamsyah, Dimyati, Ahsin Thohari,
Maurice Rogers dan Titik Triwulan
Tutik adalah beberapa peneliti yang
mengangkat isu ini.
Ketika amandemen konstitusi
memperkenalkan dua lembaga baru,
Mahkamah Konstitusi dan Komisi
Yudisial, timbul pertanyaan di benak
para akademisi dan praktisi bagaimana
“wajah” kedua lembaga itu kelak dan
bagaimana hubungan fungsionalnya
dengan lembaga negara lainnya. Rasa
penasaran itulah, ditambah dorongan
dari Jimly Asshiddiqie, yang membuat
A. Ahsin Thohari mengangkat eksistensi
Komisi Yudisial saat menyelesaikan
magister hukumnya di Universitas
Indonesia.
Ahsin tergolong civitas akademika
Indonesia pertama yang menulis dan
menerbitkan buku tentang Komisi
Yudisial. Di cetak lima ribu eksemplar,
buku karya Ahsin pertama kali terbit
pada Oktober 2004. Keputusan Presiden
tentang pengangkatan tujuh orang
komisioner Komisi Yudisial baru terbit
pada 2 Juli 2005, dan sebulan kemudian
para komisioner mengucapkan sumpah
di hadapan Presiden sebagai tanda resmi
bertugas. Karena itu pula karya Ahsin
menjadi referensi penting tentang Komisi
Yudisial.
Dari Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara (USU) Medan,
tercatat satu tesis yang mengkaji Komisi
Yudisial dari sisi kelembagaan. Maurice
Rogers, kelahiran 23 September 1984,
menulis tesis Tinjauan Kritis Kedudukan
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
lembaga, juga telah menarik perhatian
Tatang Ekatmoko dari Universitas
Mataram, dan Andriyani di Universitas
Airlangga. Tesis Andriyani mengangkat
tema Hubungan Fungsi Pengawasan
Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial
Terhadap Perilaku Hakim (2007).
Dalam menjalankan fungsi
pengawasan, Komisi Yudisial atau
Mahkamah Agung tak akan bisa berjalan
sendiri. Sebab, yang berhadapan
langsung dengan para hakim sehari-hari
adalah masyarakat pencari keadilan.
Seorang karyawan Komisi Yudisial, Aris
Purnomo, melihat pentingnya peran
masyarakat sipil dalam pengawasan
hakim. Dalam tesisnya dalam bidang
sosiologi di Universitas Indonesia,
Aris menulis tentang Penguatan Peran
Komisi Yudisial dalam Pengawasan Hakim
Melalui Civil Society (2011). Karena itulah,
Aris menyatakan civil society tak bisa
diabaikan dalam pelaksanaan fungsi
pengawasan.
Tema pengawasan hakim juga
menjadi pilihan Supriyansyah, mahasiswa
Kunjungan mahasiswa fakultas hukum ke Komisi Yudisial pertanda cukup tingginya minat kalangan kampus terhadap Komisi Yudisial .
16
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 16
8/8/2012 1:04:25 PM
dan Kewenangan Komisi Yudisial
Pasca Amandemen UUD 1945. Dalam
tesisnya, Rogers mengakui pentingnya
pengawasan eksternal yang dilakukan
Komisi Yudisial agar para hakim
sungguh-sungguh melaksanakan tugas
dan kewajibannya. Kehadiran Komisi
Yudisial bisa mengimbangi peran
parlemen dalam pengangkatan dan
penilaian kinerja hakim.
Penulis lain yang mengupas
tentang kelembagaan Komisi Yudisial
adalah Titik Triwulan Tutik. Ia menulis
sebuah buku berjudul Eksistensi,
Kedudukan, dan Wewenang Komisi
Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
Setelah Perubahan UUD 1945. Buku ini
diterbitkan pada 2007.
Dari pandangan para penulis di
atas dapat ditarik kesimpulan tentang
pentingnya kehadiran Komisi Yudisial
dalam sistem ketatanegaraan pada
umumnya, dan reformasi dunia peradilan
pada khususnya. Komisi Yudisial
diharapkan mampu mengembalikan
keagungan lembaga peradilan.
Fokus kajian lain
Ketua Komisi Yudisial, H. Eman
Suparman mengatakan kajian-kajian
tentang Komisi Yudisial selama ini
masih lebih banyak berkutat pada
kedudukan dan kewenangan khususnya
pengawasan. “Saya melihat kajian-kajian
orang tentang Komisi Yudisial masih
seputar kedudukan lembaga ini dalam
struktur ketatanegaraan,” ujarnya.
Padahal, menurut Prof. Eman
Suparman, masih banyak hal lain
yang layak dijadikan fokus penelitian.
Kewenangan menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim, misalnya, belum disentuh
sama sekali oleh para peneliti.
Memperkenalkan dan
bekerjasama terus menerus dengan
kalangan perguruan tinggi menjadi
salah satu upaya untuk menambah
jumlah kajian dan karya tentang Komisi
Yudisial. Eman percaya dengan cara itu
semakin banyak akademisi yang tertarik
melakukan penelitian. Tentu saja, akan
lebih bermanfaat jika fokus dan sudut
pandang kajiannya berbeda-beda.
Penelusuran yang lebih intens
mungkin akan menemukan lebih
banyak karya anak bangsa mengenai
Komisi Yudisial. Apapun fokus perhatian
para penulis, semuanya akan menjadi
masukan bagi Komisi Yudisial ke depan
dalam menjalankan tugas, fungsi,
dan wewenangnya. Dirgahayu Komisi
Yudisial.
Ugensi Komisi Yudisial di Mata Mereka
R. Achmad Dimyati
Natakusumah
(Anggota DPR/S-3
Unpad Bandung)
Keberadaan dan kehadiran Komisi Yudisial dalam sistem
negara hukum dan ketatanegaraan Indonesia memberikan
harapan akan perbaikan sistem peradilan. Keberadaan
Komisi Yudisial ke depan diharapkan terus sebagai
pendorong dalam reformasi peradilan.
Komisi Yudisial sebagai satu-satunya lembaga dalam
bentuk komisi independen yang diatur secara tegas dalam
konstitusi akan terus menjadi pelopor reformasi peradilan,
khususnya dalam mencari dan memperbaiki kualitas dan
integritas para hakim.
H. Bunyamin
Alamsyah
(Hakim Tinggi
Agama/S-3 UII)
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara baru yang
bersifat mandiri, hal mana secara konstitusional legitimate.
Ini menunjukkan bahwa lembaga negara ini sederajat
dan sejajar dengan lembaga negara lainnya. Hal ini
untuk memperkuat dan melengkapi negara hukum yang
demokratis.
Kedudukan Komisi Yudisial berada di ranah kekuasaan
kehakiman, akan tetapi ia bukan pelaksana kekuasaan
kehakiman, melainkan pelaksana code of ethics atau kode
etik hakim dengan melakukan pengawasan perilaku Hakim
Agung dan hakim-hakim di bawah Mahkamah Agung.
Prim Fahrur Razi
(Hakim/S-2 Undip
Semarang)
Perlunya penyusunan Undang-Undang Komisi Yudisial
yang menyebutkan secara rinci tugas pengawasan yang
dilakukan Komisi Yudisial, sehingga putusannya lebih jelas
dan daya berlakunya semakin kuat.
Maurice Rogers
(S-2 USU Medan)
Pengawasan eksternal terhadap hakim oleh Komisi
Yudisial memegang peranan yang sangat penting dan
bertujuan agar para hakim dalam menjalankan wewenang
dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
kebenaran, dan rasa keadilan serta menjunjung tinggi
kode etik profesi hakim.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 17
17
8/8/2012 1:04:26 PM
LAPORAN UTAMA
Dari Kritik Hingga Masukan
Patmoko
S
aat menjadi promotor bagi R.
Achmad Dimyati Natakusumah,
Eman Suparman masih ingat
perbedaan pandangannya
dengan promovendus. Pandangan
Dimyati bahwa Komisi Yudisial adalah
auxiliary organ kurang disetujuinya karena
sesuai peraturan perundang-undangan
para ketua lembaga negara, termasuk
Komisi Yudisial, mempunyai kedudukan
sejajar. Konstitusi juga jelas menyebut
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara
yang independen.
Meskipun promotornya notabene
Ketua Komisi Yudisial, Dimyati tak
sungkan mengkritik Komisi Yudisial
dalam disertasinya yang dipertahankan
Juni lalu di Universitas Padjadjaran
Bandung. “Disertasi Dimyati sendiri juga
mengkritik keberadaan Komisi Yudisial
karena dianggap belum optimal,” kata
Eman.
Hal ini menunjukkan bahwa
karya-karya akademis tentang Komisi
Yudisial tak selamanya sejalan dengan
pemikiran yang berkembang di
Komisi Yudisial sendiri. Ahsin Thohari
memang menilai Komisi Yudiisial
masih menjanjikan dalam struktur
ketatanegaraan sebagai pemegang
ekuilibrium kekuasaan kehakiman.
Namun sejumlah karya
melayangkan kritik, termasuk tentang
problem kewenangan Komisi Yudisial.
Kritik yang dilontarkan terutama
sebelum periode 2011 memang sudah
18
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ ADNAN
Karya tulis tentang Komisi
Yudisial juga berisi kritik.
Dijadikan sebagai cambuk
untuk memperbaiki diri.
Beragam buku dan ringkasan disertasi tentang Komisi Yudisial yang tersimpan di Perpustakaan
Komisi Yudisial.
diakomodir dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011. Misalnya, tentang
perbedaan tafsiran fungsi pengawasan
hakim yang dikemukakan dalam tesis
Prim Fahrur Razi di Undip Semarang.
Dalam tesisnya Prim mengingatkan
agar tata cara pengawasan hakim
dilakukan sebaik-baiknya agar tidak
mengakibatkan perbenturan antara
Komisi Yudisial dengan Mahkamah
Agung.
Beberapa penelitian dan
karya yang sudah dibukukan menilai
Komisi Yudisial kurang bisa bekerja
optimal karena kewenangannya
terbatas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 2004.
Kini, setelah ada revisi, kewenangannya
sudah bertambah. Amandemen
Undang-Undang tentang Komisi Yudisial
memang diusulkan hampir semua
peneliti yang melakukan kajian sebelum
tahun 2011.
Bunyamin Alamsyah, hakim
tinggi agama yang mempertahankan
disertasi di UII Yogyakarta, mengakui
hingga kini masih ada perbedaan
pandangan tentang kedudukan Komisi
Yudisial seperti yang diperdebatkan
promotor dan promovendus di atas.
Bunyamin menyarankan agar ke depan
dilakukan perubahan mendasar. “Ke
depan kiranya perlu diatur secara jelas
agar Komisi Yudisial diposisikan sebagai
lembaga negara dan merupakan bagian
kekuasaan kehakiman, meskipun sebagai
pelaksana code of ethics,” ujarnya.
Pola hubungan kemitraan antara
Komisi Yudisial dengan Mahkamah
Agung menjadi masukan penting yang
disampaikan sejumlah penulis karya
yang berhasil ditelusuri. Bunyamin
Alamsyah merekomendasikan antara
lain agar diatur lebih jelas dan tegas
kedudukan dan wewenang Komisi
Yudisial khususnya pengawasan. Juga
memperjelas hubungannya dengan
sistem kekuasaan kehakiman dan sistem
penegakan hukum secara menyeluruh.
Kritik membangun terhadap
Komisi Yudisial, tentu saja, tak hanya
disampaikan lewat karya ilmiah di
dunia kampus. Masyarakat sipil sudah
sering menyampaikan langsung atau
tidak langsung kritik dan saran-saran
penting. Bahk an dalam setiap
pertemuan dengan kalangan civil
society, kritik itu bagaikan cambuk yang
melecut semua unsur di Komisi Yudisial
untuk bekerja lebih baik.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 18
8/8/2012 1:04:28 PM
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman
Komisi Yudisial Semakin Banyak Diminati
S
ebagai Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Padjadjaran
Bandung, Ketua Komisi Yudisial
Eman Suparman, mengetahui
beberapa kajian ilmiah tentang Komisi
ini. Ia bahkan menjadi promotor untuk
disertasi seorang anggota Komisi
Hukum DPR. Redaksi mewawancarai
Prof. Eman di ruangannya berkaitan
dengan karya ilmiah tersebut. Berikut
petikannya:
Bagaimana Bapak melihat
minat kalangan kampus yang
melakukan penelitian terhadap Komisi
Yudisial?
Saya melihat Komisi Yudisial
sebagai lembaga negara yang baru
sudah semakin banyak diminati
untuk diketahui keberadaannya,
kewenangannya, bagaimana posisinya
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ ADNAN
Dinal Fedrian
dalam struktur ketatanegaraan. Karena,
orang akhirnya penasaran. Komisi
Yudisial ini tergolong teori trias politika
yang mana. Saya melihat kajian-kajian
orang tentang Komisi Yudisial ini
seputar kedudukan lembaga ini dalam
struktur ketatanegaraan. Belum kepada
konteks-konteks yang lain. Kendatipun
Komisi Yudisial memiliki kewenangan
mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku
hakim, namun penelitian tentang hal
ini malah banyak belum dikaji orang.
Hal-hal apa saja dari Komisi
Yudisial yang sudah diteliti?
Utamanya kalau saya lihat
dari disertasi atau tesis yang ditulis
sebenarnya Komisi Yudisial ini
kewenangannya seberapa jauh.
Lembaga ini disebut lembaga negara
menurut Undang-Undang Protokol
bahkan disebutkan setara dengan
lembaga negara yang lainnya. Tetapi
apakah kewenangannya sudah
sedemikian besar pula dimiliki.
Jadi saya anggap curiosity dari para
peneliti Komisi Yudisial ini ingin tahu
apakah ada keseimbangan antara
kewenangan yang dimiliki Komisi
Yudisial dengan kedudukannya sebagai
sebuah lembaga negara dalam struktur
ketatanegaraan.
Bagian mana yang belum
diteliti?
Masih banyak. Bahkan menurut
saya yang belum sama sekali dijamah
oleh para peneliti adalah kewenangan
lainnya yang menyangkut menjaga dan
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 19
19
8/8/2012 1:04:41 PM
LAPORAN UTAMA
masalah penguatan. Saya mengatakan
penguatan yang mana lagi yang akan
diberikan dan diutak-atik. Karena UU
Perubahan tentang UU No 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial baru saja
disahkan.
Mestinya berbicara penguatan
ini sebelum revisi disahkan. Yang harus
diberikan kepada Komisi Yudisial
sekarang adalah kewenangan untuk
menjatuhkan sanksi bukan hanya
penguatan. Kedua, promovendus saya
beranggapan bahwa Komisi Yudisial
ini adalah auxiliary organ, saya tidak
setuju sebab UU Keprotokolan jelas
mengatakan bahwa para ketua lembaga
negara ini memiliki kedudukan sejajar.
Komisi Yudisial di dalam UUD
disebut sebagai lembaga negara
yang independen. Dan sempat pada
salah satu saat diskusi kami bahkan
Komisi Yudisial hampir disamakan
kedudukannya seperti Bank Indonesia.
Sebagai sebuah lembaga negara saya
katakan tidak, Komisi Yudisial ini sejajar
dengan tujuh lembaga negara lainnya.
Tetapi pada waktunya memang dia bisa
memahami.
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ ADNAN
menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim itu.
Apa yang dimaksud dengan menjaga
itu. Menegakkan seperti apa. Karena
buktinya kata menegakkan itu kita
juga tidak bisa menjatuhkan sanksi.
Sementara kewenangan menjatuhkan
sanksi itu dimiliki oleh Mahkamah
Agung bukan oleh Komisi Yudisial.
Sedangkan Komisi Yudisial hanya dapat
sebatas memberikan rekomendasi. Kata
‘menjaga dan menegakkan kehormatan
dan keluhuran martabat’ ini hanya
sebatas memberi rekomendasi sanksi,
ini yang seharusnya diteliti. Sehingga
akan diteliti asal-usul pemberian
kewenangan ini sampai seberapa jauh
perdebatan politik di MPR-nya atau di
parlemennya waktu itu. Jadi mereka
harus meneliti tentang memorie van
toelichting.
Saat menjadi promotor untuk
disertasi tentang Komisi Yudisial.
Apakah Bapak pernah berbeda
pendapat dengan promovendus?
Perbedaan pendapat saya
dengan promovendus (Dimyati
Natakusumah) ketika membicarakan
Apakah hasil penelitian selama
ini juga mengkritik Komisi Yudisial?
Bahkan diser tasi Dimyati
sendiri juga mengkritik keberadaan
Komisi Yudisial karena dianggap
belum optimal. Padahal saya katakan
optimal atau tidaknya kewenangan
yang dimiliki Komisi Yudisial kan
tergantung pemberian. Kewenangan
ini kan merupakan landasan berpijaknya
Komisi Yudisial.
Bagaimana bisa optimal untuk
menjatuhkan sanksi padahal Komisi
Yudisial tidak punya kewenangan
untuk menjatuhkan sanksi. Kritik itu
juga tidak harus ditujukan ke Komisi
Yudisial saja tetapi juga ke lembaga
negara yang melahirkan Komisi Yudisial.
Walaupun memang faktanya Komisi
Yudisial memiliki kelemahan seperti
yang dikatakan peneliti.
Apa saran dari Bapak agar
kajian ilmiah tentang Komisi Yudisial
terus berkembang?
Tidak ada cara lain kecuali Komisi
Yudisial diperkenalkan dalam berbagai
forum di perguruan tinggi. Karena hanya
perguruan tinggi yang bisa melakukan
kajian ilmiah atas lembaga ini. Tanpa
itu tidak mungkin. Dan perbanyak
tulisan-tulisan mengenai Komisi Yudisial
di berbagai media. Dengan cara itu maka
bahan bacaan yang akan diserap oleh
para mahasiswa dari berbagai tingkatan
akan lebih banyak lagi.
Dan si pengkaji Komisi Yudisial
pun tidak boleh mengambil sudut
pandang yang sama dalam kajiannya,
harus berbagai aspek dikaji. Saya dalam
beberapa kesempatan mengusulkan
agar Komisi Yudisial mengadakan even
misalnya Debat Mahasiswa tentang
Pemahaman atas Komisi Yudisial
perihal wewenangnya, tugasnya, dan
strukturnya dalam ketatanegaraan. Even
itu akan menambah khazanah mereka
dalam memahami Komisi Yudisial.
Mahasiswa fakultas hukum sedang melakukan penelitian di perpustakaan Komisi Yudisial.
20
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 20
8/8/2012 1:04:53 PM
Walau Sulit, Tetap
Menarik Dikaji
Dinal Fedrian
eskipun pekerjaan
sehari-hari adalah hakim
pengadilan tinggi agama,
H. Bunyamin Alamsyah
punya ketertarikan sendiri meneliti
Komisi Yudisial sebagai tema disertasinya.
Berikut penjelasannya:
hakim agung dan mempunyai wewenang
lain dalam menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim. Secara filosofis para hakim
yang mempunyai kedudukan terhormat
perlu dijaga martabatnya, Komisi Yudisial
secara ekseternal diberikan wewenang
konstitusional untuk mengawasinya, baik
pengawasan represif maupun preventif,
oleh karenanya ini nampak urgent bagi
saya baik dari kacamata teoritis maupun
praktis untuk mengkajinya.
Secara sosiologis, Komisi Yudisial
lahir sebagai satu jawaban reformasi
lembaga kekuasaan kehakiman yang
mempunyai peranan penting dalam
mengawal dan berusaha mewujudkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka
melalui pencalonan Hakim Agung
serta pengawasan yang transparan
dan partisipatif guna menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat
serta menjaga perilaku Hakim.
Apa yang mendorong Bapak
menulis disertasi tentang Komisi
Yudisial?
Ada beberapa alasan yang
mendorong saya mengkaji kedudukan
Komisi Yudisial dalam sistem
ketatanegaraan RI. Secara normatif,
Komisi Yudisial dijamin oleh landasan
konstitusi negara RI seperti Pasal 20, Pasal
24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan
Pasal 25 UUD 1945 pasca amandemen.
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyatakan
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan
Apakah sebelumnya Bapak
sering berinteraksi dengan kegiatan
Komisi Yudisial?
Saya belum banyak berinteraksi
dengan Komisi Yudisial meskipun
memang beberapa kali mengikuti
kegiatan ilmiah yang diadakan oleh
Komisi Yudisial seperti di Bogor, namun
tatkala saya mengikuti perkuliahan Prof.
Mahfud MD, beliau banyak memaparkan
tentang arah kebijakan politik hukum
di negara Republik Indonesia, bahwa
kebijakan hukum itu mempunyai
maksud mengubah iklim stagnan ke
Bunyamin Alamsyah
Hakim Tinggi Agama Bandar Lampung
M
arah kondusif dan progresif, sehingga
dalam mengawal lembaga kekuasaan
kehakiman termasuk para hakim
perlu ada pengawasan eksternal dan
bukan hanya pengawasan internal dari
Mahkamah Agung sendiri, sehingga
lahirlah Komisi Yudisial, itu pulalah yang
mendorong untuk mengamati Komisi
Yudisial RI.
Berapa lama waktu yang Bapak
butuhkan menulis disertasi itu?
Waktu yang dibutuhkan untuk
menulis disertasi kurang lebih 2 tahun,
sebab disamping literatur Komisi Yudisial
masih langka, juga kemampuan Penulis
yang masih sangat terbatas, termasuk
harus membagi waktu antara kerja
dan menyelesaikan disertasi (waktu itu
Penulis bekerja sebagai Waka PA klas
1A Majalengka, pindah menjadi Waka
PA klas 1A Bandung, Ketua PA klas 1B
Bekasi, manjadi Hakim Tinggi Pengadilan
Tinggi Agama Jambi dan sekarang
Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama
Bandarlampung).
Disamping itu saya juga
mengadakan penelitian di Mahkamah
Agung Saudi Arabia tentang lembaga
pengawasan para hakim sembari saya
ditugaskan oleh MA-RI cq Dirjen Badan
Peradilan Agama mengikuti studi
banding dan belajar hukum di Jamiatul
Imam ibn Su’ud Riyadh selama 40 hari
sekitar tahun 2008, oleh karenanya
masa penulisan tersebut relatif lama.
Komisi Yudisial disana bernama Al-Hiah
Al-Roqobah.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 21
21
8/8/2012 1:04:54 PM
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
LAPORAN UTAMA
Pertemuan ketua lembaga-lembaga negara di Mahkamah Konstitusi yang dihadiri Ketua Komisi Yudisial. Kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur
ketatanegaraan banyak diteliti.
Apakah ada kesulitan yang
dialami saat melakukan penelitian?
Meneliti keduduk an dan
wewenang Komisi Yudisial dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia relatif agak
sulit karena disamping lembaga baru
literaturnya pun masih minim, meskipun
demikian tulisan-tulisan di jurnal sudah
banyak namun masih kurang.
Apakah literatur ilmiah tentang
Komisi Yudisial sudah banyak?
Pada saat itu agak sulit
menemukan disertasi tentang Komisi
Yudisial. Beberapa kali saya berkunjung
ke Perpustakaan Universitas Padjadjaran
Bandung, Universitas Indonesia di
Jakarta, juga Universitas Gadjah Mada
di Yogyakarta masih belum saya temui.
Apa saja temuan dari penelitian
Bapak?
Diantara temuan yang saya
dapatkan. Pertama, saat itu kedudukan
22
Komisi Yudisial masih diperdebatkan,
satu pihak ada yang berpendapat bahwa
Komisi Yudisial adalah lembaga negara
penunjang dan di pihak lainnya Komisi
Yudisial adalah lembaga negara mandiri
yang dijamin UU. Saya mengikuti
pendapat ini. Kedua, Indonesia adalah
negara hukum, yang dalam tugasnya
terdapat pembagian kekuasaan.
Dalam pembagian kekuasaan
tersebut perlu ada lembaga kontrol
dalam menjaga dan mengawal
pemerintahan yang bersih. Seperti
halnya dalam lembaga kekuasaan
kehak iman terdapat lembaga
pengawasan internal dan eksternal
oleh Komisi Yudisial. Ketiga, Komisi
Yudisial sebagai lembaga pengawas
eksternal dan Mahkamah Agung sebagai
objek pengawasan tentu diperlukan
sinergitas.
Maka keluarlah keputusan
bersama tentang tentang kode
etik dan pedoman perilaku Hakim.
Keempat, UU No. 22 tahun 2004
tentang Komisi Yudisial masih terdapat
kekurangsempurnaan. Kini sudah
disempurnakan dengan UU No. 18
Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.
Apa usulan Bapak untuk
memperkuat Komisi Yudisial ke
depan?
Untuk memperkuat kedudukan
dan wewenang Komisi Yudisial
perlu adanya konsistensi pimpinan
dan seluruh jajaran Komisi Yudisial.
Kemudian terus mensosialisasikan
lembaga negara tersebut baik itu melalui
lembaga pemerintahan, lembaga
perguruan tinggi baik negeri maupun
swasta, lembaga jejaring sosial termasuk
dengan lembaga kekuasaan kehakiman.
Di samping itu perlu juga mendorong
ke arah perbaikan kesejahteraan bagi
aparat peradilan dan mendorong
adanya penegakkan tabsyir (reward)
dan tandzir (punishment).
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 22
8/8/2012 1:05:04 PM
Wajah Komisi Yudisial
dalam Referensi
Dinal Fedrian
Buku yang secara khusus
membahas Komisi Yudisial
terus bermunculan,
meskipun jumlahnya
belum banyak. Buku-buku
yang sudah terbit menjadi
gudang ilmu. Komisi
Yudisial menjadikannya
sebagai referensi dan bahan
introspeksi.
S
ebelum Komisi Yudisial resmi
berdiri dan anggotanya dilantik,
para penulis sudah menaruh
minat besar untuk melakukan
kajian. Pada awalnya, kebutuhan untuk
mengetahui Komisi Yudisial diperoleh
dari buku terjemahan sebagai bagian
dari studi komparatif. Ke dalam kategori
ini bisa dimasukkan buku Wim Voerman.
Sarjana hukum Belanda ini menulis buku
Raden voor de Rechtspraak in landen van de
Europese Unie. Dua orang praktisi hukum
asal Indonesia menerjemahkan buku
ini dan pertama kali terbit tahun 2002,
setahun setelah amandemen konstitusi
mengintrodusir Komisi Yudisial.
Buku-buku berikut ini melukis
‘wajah’ Komisi Yudisial dari berbagai
sudut pandang.
Wim Voermans. Komisi Yudisial
di Beberapa Negara Uni Eropa.
Terjemahan dari buku Raden voor de
rechtspraak in landen van de Europese
Unie. Penerjemah Adi Nugroho dan M.
Zaki Hussein. Jakarta: Lembaga Kajian
dan Advokasi untuk Independensi
Peradilan, cet-1, Agustus 2002.
Amandemen ketiga UUD 1945
(2001) memperkenalkan lembaga baru
bernama Komisi Yudisial.
Inilah buku pertama yang
dirilis sebagai bahan komparasi agar
masyarakat lebih mengenal Komisi
Yudisial. Penerbitan buku ini, tulis
Rifqi Sjarif Assegaf dalam pengantar,
“bertujuan untuk mengisi kekosongan
referensi mengenai hal-hal seputar Komisi
Yudisial di Indonesia”. Direktur Eksekutif
LeIP ini berharap, materi referensi ini
mampu menghadirkan diskusi yang lebih
bermutu untuk memperkuat konsep
Komisi Yudisial di Indonesia.
Ada tiga model Komisi Yudisial
yang dikenal di Eropa. Pertama, model
Eropa Utara seperti Swedia, Denmark
dan Irlandia. Model ini memberikan
wewenang luas kepada Komisi
Yudisial, termasuk kewenangan
dalam bidang penganggaran, logistik,
kontrol, pengawasan, pengangkatan,
tindakan indisipliner, perekrutan, dan
aspek lain berkaitan dengan lembaga
peradilan. Kedua, model Eropa Selatan
yang dikenal di Italia, Perancis, dan
Swedia, dimana Komisi Yudisial hanya
berwenang memberikan nasihat dalam
pengangkatan hakim dan pegawai
pengadilan serta wewenang mengambil
tindakan indisipliner terhadap hakim.
Ketiga, model tak terbagi (undevided
model) dikenal di Jerman dan Belanda,
dimana tidak ada lembaga perantara
seperti Komisi Yudisial dalam hal
pengelolaan pengadilan. Pengelolaannya
diserahkan kepada pemerintah yang
berwenang. *****
A Ahsin Thohari. Komisi Yudisial
& Reformasi Peradilan. Jakarta: Elsam,
2004.
Tebalnya 350 halaman, di luar
daftar isi dan pengantar, buku Komisi
Yudisial & Reformasi Peradilan ini bisa
disebut karya pionir yang ditulis
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 23
23
8/8/2012 1:05:05 PM
LAPORAN UTAMA
akademisi Indonesia tentang Komisi
Yudisial. Ditulis dalam proses awal
pembentukan Komisi Yudisial, karya
A. Ahsin Thohari ini menghadirkan apa
yang disebut Jimly Asshiddiqie, Guru
Besar Hukum Tata Negara Universitas
Indonesia, sebagai “topik aktual
dalam diskursus hukum tata negara
Indonesia”.
Betapa tidak, lewat buku ini
kita dapat menelusuri konteks historis,
sosiologis, dan yuridis kehadiran
Komisi Yudisial. Termasuk menelusuri
gagasan-gagasan yang muncul
sebelum Komisi Yudisial hadir, seperti
Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim
(MPPH) dan Dewan Kehormatan Hakim
(DKH). Terungkap bahwa nama Komisi
Yudisial pertama kali bukanlah pada
amandemen UUD 1945, melainkan
pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2000 tentang Program Pembangunan
Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004.
Undang-Undang ini sudah menyebut
pentingnya membentuk Komisi Yudisial
untuk melakukan fungsi pengawasan
hakim, yang bersifat independen dan
anggotanya dipilih dari orang-orang
yang punya integritas tinggi.
Setelah melakukan kajian
mendalam atas praktik di luar negeri dan
pemikiran ketatanegaraan di Indonesia,
Ahsin mengatakan dalam buku ini bahwa
pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia
harus mengakomodir faktor penyebab
dan peran yang dapat dilakukan oleh
Komisi Yudisial di berbagai negara.
Dalam buku ini Ahsin menyajikan
lima faktor penyebab atau alasan
pentingnya mendirikan Komisi
Yudisial, serta lima peran yang dapat
dilakukan Komisi Yudisial dalam suatu
negara. Suatu kenyataan yang tak bisa
dipungkiri adalah pembentukan Komisi
Yudisial di Indonesia tak bisa dilepaskan
dari model perbandingan di luar negeri.
Cuma, sebagai lembaga baru yang
hadir di tengah-tengah keterpurukan
lembaga peradilan, Komisi Yudisial
24
mengemban amanah yang sangat
penting. *****
O.C Kaligis. Mahkamah Agung vs
Komisi Yudisial di Mahkamah Konstitusi:
Reformasi Pengawasan Hakim. Jakarta:
O.C. Kaligis & Associates, 2006.
Hubungan Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung telah mengalami
dinamika, dan pernah mencapai titik
nadir ketika 31 hakim agung mengajukan
judicial review Undang-Undang No. 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial ke
Mahkamah Konstitusi. Para hakim agung
memberikan kuasa hukum antara lain
kepada O.C Kaligis.
Pada 23 Agustus 2006 Mahkamah
Konstitusi menjatuhkan putusan No.
005/PUU-IV/2006 yang pada intinya
dapat dimaknai menghapuskan
wewenang Komisi Yudisial mengawasi
hakim agung dan hakim konstitusi. Bagi
penulis, putusan Mahkamah Konstitusi
yang menghapuskan peran Komisi
Yudisial untuk melakukan pengawasan
hakim perlu direnungkan. Satu hari
setelah putusan itu, OC Kaligis sudah
membuatkan kata pengantar buku ini.
Bagaimanapun proses cepat penerbitan
buku ini menunjukkan semangat
penyusun untuk mendokumentasikan
proses hukum yang begitu penting.
Buku
ini
berupaya
mendokumentasikan ‘sebagian’ bahan
persidangan di Mahkamah Konstitusi,
ditambah beberapa kliping. Dikatakan
‘sebagian’ karena belum semua bahan
didokumentasikan. Termasuk pula
dialog selama sidang mendengarkan
keterangan pemerintah dan pihak terkait
pada 11 April 2006.
Lepas dari posisi penulis sebagai
pengacara dari pemohon judicial
review, dokumentasi bahan-bahan
persidangan ke dalam buku tetap
penting bagi generasi ke depan. Bahan
yang tersedia dalam buku ini minimal
bisa menyajikan informasi tentang latar
belakang mengapa para hakim agung
mempersoalkan beberapa pasal dari UU
Komisi Yudisial. *****
Fajlurrahman Jurdi. Komisi
Yudisial: Dari Delegitimasi Hingga
Revitalisasi Moral Hakim. Yogyakarta:
Kreasi Wacana, cet-1, November
2007.
Komisi Yudisial: Dari Delegitimasi
Hingga Revitalisasi Moral Hakim (2007)
yang ditulis Fajlurrahman Jurdi bisa
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 24
8/8/2012 1:05:07 PM
disebut sebagai buku dukungan
terhadap Komisi Yudisial setelah Komisi
ini ‘dikalahkan’ lewat judicial review
Undang-Undang No. 22 Tahun 2004. Jurdi
adalah Direktur Eksekutif Pusat Kajian
Politik, Demokrasi, dan Perubahan Sosial
(Pukap Indonesia) periode 2004-2010.
Buku ini ditulis ketika Jurdi masih
kuliah di Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin.
Buku ini adalah “hasil refleksi
kemarahan yang berpintal-pintal dari
episode sengketa yang kemudian
menghancurkan Komisi Yudisial”, yang
membuat Komisi ini “harus mencari
legitimasi sosiologis, intelektual, dan
konstitusional”. Putusan Mahkamah
Konstitusi dianggap penulis telah
mendelegitimasi kewenangan Komisi
Yudisial untuk mengawasi perilaku
sebagian hakim agung.
Buku ini mulai dari pembahasan
konsepsi negara hukum, lalu loncat
ke masalah otonomi moral hakim dan
kehadiran Komisi Yudisial. Lalu beralih lagi
ke tema konstitusi, Mahkamah Konstitusi,
dan wewenang judicial review. Dari
sinilah penulis membuka pintu masuk
pemikiran bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai Undang-Undang
No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial sebagai upaya delegitimasi.
Penulis malah memandang putusan itu
bukan saja sebagai bentuk perlawanan
Mahkamah Agung, tetapi juga resistensi
dari Mahkamah Konstitusi.
Dua bab terakhir buku Jurdi
memuat saran dan masukan atas revisi
Undang-Undang No. 22 Tahun 2004, dan
perdebatan tentang istilah yang lebih pas
dipakai: Komisi Yudisial atau Mahkamah
Yudisial. Lembaga bernama “Mahkamah”
merasa lebih superior sehingga tidak
mau diawasi oleh lembaga bernama
“Komisi”.
Penulis memang mengakui
karyanya bukan buku utuh. Cuma, dalam
pencarian intelektual, Fajlurrahman Jurdi
merasa masih langka buku mengenai
Komisi Yudisial, dan masih sangat sedikit
orang yang mau menyumbangkan
pemikiran terhadap Komisi ini.
“Dalam buku ini, dia adalah anak
bangsa yang begitu khawatir akan
runtuhnya moral hukum di negeri ini,”
tulis Andhory Ilyas, Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
dalam pengantar buku ini. *****
Sirajuddin dan Zulkarnain.
Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik
Menuju Peradilan yang Bersih dan
Berwibawa. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2006.
Latar belakang orang yang tertarik
menulis buku tentang Komisi Yudisial
berbeda-beda. Kedua penulis buku ini
berlatar belakang dosen Fakultas Hukum
Universitas Widyagama, Malang.
Oleh karena itu, buku Komisi
Yudisial & Eksaminasi Publik tak bisa
dilepaskan dari aktivitas penelitian
mereka sebagai akademisi. Materinya
adalah pengembangan dari dua hasil
penelitian, yang telah mengalami
pengujian di beberapa tempat, lalu
kemudian dituangkan ke dalam buku.
Penulis berangkat dari pemikian
umum (communis opinion doctorum)
bahwa peradilan di Indonesia masih jauh
dari ‘keadilan’ sebagai tujuan hukum.
Irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa’ seolah tak
lebih dari hiasan belaka dari putusan
hakim. Kebobrokan peradilan sering
dipertontonkan secara telanjang.
Nah, Komisi Yudisial dibentuk untuk
memperbaiki kebobrokan itu.
Menurut penulis, pembentukan
Komisi Yudisial merupakan konsekuensi
logis yang muncul dari penyatuan atap
lembaga peradilan di bawah Mahkamah
Agung. Penyatuatapan berpotensi
menimbulkan monopolisi kekuasaan
kehakiman dengan segala eksesnya.
Materi buku ini sebenarnya
memuat dua hal yang berbeda. Pertama,
membahas Komisi Yudisial dalam format
kekuasaan kehakiman yang mandiri.
Kedua, membahas eksaminasi publik.
Eksaminasi publik adalah upaya yang
dilakukan orang-orang di luar pengadilan
yang bertujuan untuk mewujudkan
eksaminasi atau kajian terhadap putusan
hakim. Benang merah dari kedua topik
itu ada pada tujuan eksaminasi, yakni
menuju peradilan yang bersih dan
berwibawa.
Lantas, apa hubungan Komisi
Yudisial dengan eksaminasi publik?
Secara sederhana, penulis menyatakan
Komisi Yudisial dapat memanfaatkan
hasil eksaminasi publik yang dilakukan
oleh berbagai kalangan untuk melakukan
pengawasan eksternal terhadap hakim.
Bagi kedua penulis, eksaminasi publik
lebih memberikan dampak moral kepada
para pengambil keputusan ketimbang
dampak hukum. Eksaminasi tidak akan
mempengaruhi putusan pengadilan,
tetapi secara tidak langsung berpengaruh
pada para pengambil keputusan di mata
publik.
Penulis percaya semakin
berkualitas hasil eksaminasi semakin
efektif pengaruh moral eksaminasi itu
terhadap kinerja aparat penegak hukum
baik polisi dan jaksa maupun hakim.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 25
25
8/8/2012 1:05:08 PM
LAPORAN UTAMA
Tantangan Komisi Yudisial:
Resistensi Anasir Terhadap
Reformasi Peradilan
Patmoko
A. AHSIN THOHARI
Penulis buku Komisi Yudisial dan
Reformasi Peradilan
A
hsin, begitu dosen Fakultas
Hukum Universitas Trisakti
ini biasa disapa, adalah orang
Indonesia pertama yang
menulis buku khusus tentang Komisi
Yudisial. Buku yang berasal dari tesis itu
sudah terbit sebelum anggota Komisi
Yudisial pertama dilantik dan bekerja.
Berikut penuturannya:
Buku Anda menjadi referensi
penting bagi banyak orang. Berapa
dulu terbit?
Pada saat saya kuliah, antara tahun
2001-2004, momennya pada saat itu
memang masih euforia reformasi. Salah
satunya ditandai dengan perubahan
UUD 1945. Aspek perubahan penting
di antaranya adalah di ranah kekuasaan
kehakiman dimana di dalamnya
diamanatkan pembentukan dua lembaga
baru, yaitu Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial. Oleh karena itu, saya
26
melihat perlunya studi yang mendalam
terhadap kekuasaan kehakiman
pascaperubahan UUD 1945. Sehingga,
saya berkesimpulan tesis S-2 saya akan
lebih bermakna jika dapat menjadi bagian
dari usaha-usaha menuju Indonesia yang
lebih demokratis dengan menempatkan
rule of law sebagai panduannya. Lalu
pilihannya adalah melakukan studi
terhadap kekuasaan kehakiman, dan
lebih sempit lagi adalah Komisi Yudisial.
Bahwa kemudian buku saya menjadi
referensi penting bagi banyak orang,
itu di luar dugaan saya. Saya hanya
berterima kasih kepada orang-orang
tersebut yang telah menghargai karya
saya. Dulu diterbitkan Elsam lima ribu
eksemplar.
Buku itu disusun berdasarkan
tesis Anda di UI?
Ya. Judul aslinya waktu masih
berbentuk tesis S-2 di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia adalah Komisi
Yudisial: Susunan dan Kedudukannya di
Berbagai Negara serta Pelembagaannya
dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia.
Mengapa Anda tertarik menulis
tentang Komisi Yudisial?
Saya memang mempunyai
ketertarikan tersendiri dengan
persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman dalam
struktur ketatanegaraan. Karena, lembaga
ini khususnya di negara-negara yang
belum mempunyai kultur demokrasi
yang mapan, selalu menjadi target
intervensi kekuasaan lain di luarnya,
baik kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif, maupun masyarakat sendiri.
Akibatnya, kekuasaan kehakiman tidak
dapat mengimplementasikan gagasan
independent and impartial judiciary secara
maksimal.
Pada awalnya saya ingin
menulis struktur kekuasaan kehakiman
pascaperubahan UUD 1945 dengan titik
berat pembahasan pada pola hubungan
ketatanegaraan antara Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya, Mahkamah Konstitusi,
dan Komisi Yudisial. Akan tetapi,
pembimbing saya, Prof. Jimly Asshiddiqie
menyarankan agar saya mempersempit
tema dengan titik berat pembahasan
khusus pada Komisi Yudisial saja. Pada
mulanya, saya merasa cukup berat
karena berhadapan dengan kelangkaan
literatur yang berkenaan dengan Komisi
Yudisial. Akan tetapi, pada akhirnya saya
diingatkan oleh pembimbing bahwa
lembaga baru semacam Komisi Yudisial
yang belum jelas susunan, kedudukan,
dan pelembagaannya dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia ini patut
mendapatkan perhatian akademis
yang serius. Dengan injeksi moral dari
Prof. Jimly ini lalu saya mulai menikmati
setiap tantangan-tantangan dalam tahap
penulisan tesis.
Buku itu disusun sebelum Komisi
Yudisial resmi berdiri, ada rencana
merevisi atau menambah bagian?
Banyak orang yang bertanya
seperti itu kepada saya. Keinginan itu ada.
Tapi, sampai sekarang belum terlaksana.
Meskipun demikian, muatan-muatan
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 26
8/8/2012 1:05:12 PM
baru berkenaan dengan dinamika Komisi
Yudisial saya tulis dalam kesempatan
lain di beberapa jurnal ilmiah, koran,
dan penelitian bersama Komisi Hukum
Nasional.
Bagaimana pandangan Anda
tentang Komisi Yudisial saat ini?
Menurut saya, Komisi
Yudisial masih menjanjikan dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia
sebagai pemegang ekuilibrium
kekuasaan kehakiman. Pertama,
dengan kewenangan mengusulkan
pengangkatan hakim agung, Komisi
Yudisial berperan sebagai institusi
yang memastikan perekrutan hakim
agung murni melalui pertimbanganpertimbangan merit system.
Bahwa kemudian DPR
memprosesnya secara politik, itu
setelah disaring oleh Komisi Yudisial
melalui mekanisme merit system
tersebut. Kedua, dengan kewenangan
menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, dan perilaku
hakim serta kewenangan lain, Komisi
Yudisial berperan sebagai pengawas
eksternal yang kredibel, objektif, dan
jauh dari pengawasan yang bersifat
kolutif. Hemat saya, naif jika kita percaya
bahwa pengawasan internal di MA sudah
mencukupi dan tanpa masalah. Semua
pengawasan internal selalu mempunyai
problem struktural dan independensi.
Secara umum Komisi Yudisial mampu
berperan sesuai dengan amanat UUD
1945. Akan tetapi, tantangannya memang
selalu tidak mudah, khususnya resistensi
dari anasir-anasir yang kurang bersahabat
dengan gagasan reformasi peradilan.
Apakah Anda melihat cukup
banyak referensi buku mengenai Komisi
Yudisial saat ini?
Ketertarikan masyarakat akademis
maupun masyarakat biasa terhadap
Komisi Yudisial sudah meningkat.
Akan tetapi, pertumbuhan buku-buku
mengenai Komisi Yudisial saya kira masih
perlu ditingkatkan agar lebih produktif
lagi di masa-masa yang akan datang.
Apa yang seharusnya dilakukan
untuk menumbuhkan semangat ilmiah
menulis tentang Komisi Yudisial?
Jika kita bandingkan dengan
Mahk amah Konstitusi sebagai
sesama ogan konstitusional yang
lahir pascaperubahan UUD 1945
bersama-sama dengan Komisi Yudisial,
memang minat orang untuk menulis
Komisi Yudisial masih kalah banyak.
Akan tetapi, itu tidak menunjukkan
bahwa Komisi Yudisial k alah
penting kehadirannya dalam sistem
ketatanegaraan. Saya kira, prospek Komisi
Yudisial masih ada dan terbentang luas di
depan. Judicial Commission of New South
Wales, di Australia, misalnya, butuh waktu
dua puluh tahun untuk menjadi lembaga
yang kehadirannya semula kontroversial
menjadi lembaga yang kredibel, sehingga
salah satu tajuk yang selalu diagungkan
untuk menggambarkan pasang surut
keberadaannya adalah from controversy
to credibility.
Dengan terus melaksanakan
kewenangannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan terus
membuat gebrakan-gebrakan positif
dalam mengusulkan pengangkatan
hakim agung, menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, dan
perilaku hakim serta kewenangan lain,
saya kira Komisi Yudisial akan menjadi
lembaga yang “seksi” dan pada akhirnya
akan mengundang minat orang untuk
meneliti dan menulis Komisi Yudisial. Jadi,
buat Komisi Yudisial, just do it!.
Lima Hal tentang Komisi Yudisial Versi Ahsin Thohari
No.
Alasan Membentuk
Peran yang Bisa Dijalankan
1.
Lemahnya monitoring intensif terhadap
kekuasaan kehakiman, karena monitoring
dilakukan secara internal saja.
Melakukan monitoring intensif dengan melibatkan
masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya.
2.
Tidak ada lembaga penghubung antara
kekuasaan eksekutif dan yudikatif.
Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan
dengan pemerintah (dalam hal ini Kementerian Hukum
dan HAM).
3.
Kekuasaan kehakiman dianggap tidak
efisien dan efektif menjalankan tugas karena
masih disibukkan urusan teknis non-hukum.
Meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam berbagai
aspek karena MA tidak lagi disibukkan hal-hal teknis
seperti rekrutmen dan monitoring hakim.
4.
Rendahnya kualitas dan inkonsistensi putusan lembaga peradilan, diperparah tidak
berjalannya pengawasan.
Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga
peradilan.
5.
Rekrutmen hakim terlalu bias politik.
Meminimalisasi terjadinya politisasi rekrutmen hakim.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 27
27
8/8/2012 1:05:13 PM
SUDUT HUKUM
Puasa bagi Para Hakim
Urgensi puasa
A
dalah hakim berinisial PS yang
harus mengakhiri kariernya
dengan cacat di hadapan
Majelis Kehormatan Hakim
lantaran berkaraoke dengan pihak
berperkara dalam kasus perdata yang
ditanganinya. Tak lama berselang sanksi
cukup berat juga dijatuhkan kepada
hakim berinisial ABS yang terbukti
mempermainkan timbangan keadilan
dengan cara meminta uang dari pihak
berperkara sebesar Rp. 50 juta.
Deret perilaku tak terpuji itu
menyelingkuhi sifat otentik seorang hakim
yang dituntut menjaga budi pekerti luhur
dan profesi hakim sebagai kemuliaan
(officium nobile). Apalagi jika merujuk
pada jumlah hukuman disiplin MA dari
Januari-Juni 2012 yang bertengger di
angka 81, kita patut tercengang sebab
16 diantaranya yang dikenai sanksi disiplin
adalah hakim.
Tidak bisa disalahkan jika
masyarakat kemudian memandang
skeptis lembaga peradilan. Karena
kenyataanya masih ada perilaku
korup yang mempengaruhi hakim
28
†† DOC. PRI
Harga diri hukum kembali
terjerembap karena ulah
hakim. Sepak terjang
lembaga peradilan yang
seyogianya memberikan
keadilan sebagai kebutuhan
pokok rohaniah manusia
mengalami reduksi nilai
akibat praktik transaksi jual
beli hukum yang kotor serta
menjijikkan.
Achmad Fauzi
Hakim Pengadilan Agama Kotabaru,
Kalimantan Selatan
dalam menakar timbangan keadilan.
Yang menjadi soal ketika generalisasi
skeptisisme publik justru mematikan
harapan untuk membangun peradilan
bersih dan bermartabat, sehingga cita-cita
Indonesia sebagai negara hukum sukar
diwujudkan. Saya yakin masih banyak
hakim-hakim di Indonesia yang memiliki
idealisme tinggi dan menjadikan agama
sebagai supreme morality. Mereka bekerja
di bawah sumpah, sadar jika di sebelah
kanan-kirinya ada malaikat pencatat
amal, hatinya terjaga, mempersamakan
semua orang di muka hukum dan
menolak keras segala bentuk penyuapan.
Hanya tidak etis jika diekspose media,
karena kesannya mendamba pujian.
Tapi dalam konteks ini, kepada pundak
merekalah palu keagungan hukum
dimandatkan. Sehingga skeptisisme itu
menjelma menjadi harapan baru yang
menggambarkan bahwa peradilan kita
masih memiliki masa depan.
Momen puasa Ramadhan 1433 H
merupakan masa pencucian jiwa bagi para
hakim agar bersih dari kuasa nafsu serakah,
magnet keduniawian dan bentuk perilaku
tak terpuji lainnya (ahlaq al mazmumah).
Hakim adalah personifikasi keadilan,
keluhuran martabat, dan sebaik-baik
penjaga amanat. Bahkan dianggap
wakil Tuhan di bumi. Menjadi ironis
jika perilaku hakim justru berlawanan
dengan sifat otentik yang melekat pada
profesi tersebut. Karena itu pelatihan
rohani (puasa) dengan menahan lapar
dan nafsu dari sejak pagi hingga petang
merefleksikan persenyawaan kodrati
antara watak hakim sebagai manusia biasa
dengan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Adil
dan Bijaksana.
Puasa mendidik hakim menyadari
harkat kemanusiaannya sehingga dalam
mengemban jabatan tidak pongah dan
sewenang-wenang. Hakim harus memiliki
sifat rendah hati yang berpangkal pada
kesadaran keterbatasan kemampuan
diri dan pengakuan terhadap zat Yang
Maha Sempurna. Pengakuan diri sebagai
makhluk lemah bukan dalam tafsir
memberikan legitimasi ruang untuk
dikendalikan oleh otoritas lain dalam
menangani perkara.
Sekadar menahan lapar saat puasa
adalah selemah-lemahnya iman. Masih
ada lagi tingkatan puasa yang lebih tinggi
dan berorientasi pada pengendalian diri.
Teringat ketika Rasulullah menyudahi
perang Badar, para sahabat mengira
pertarungan telah usai. Rasulullah pun
mengenalkan bentuk perang akbar yang
pemenangnya kelak mencerminkan
kesejatian manusia. Perang itu adalah
perlawaan atas kebiri nafsu kebinatangan
yang menjadi antitesis atas sifat-sifat
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 28
8/8/2012 1:05:15 PM
manusia. Itulah jenis puasa khawas al
khawas yang relevan bagi pembentukan
karakter hakim. Puasa para hakim tidak
sekadar menahan lapar dan dahaga.
Lebih dari itu, hakim harus mampu
mengendalikan hawa nafsu yang bersifat
rohaniah.
Di dalam ibadah puasa terdapat
nilai keluhuran yang bisa diejawantahkan
dalam praktik penegakan hukum.
Pertama, nilai keadilan. Keadilan
adalah muara dari semua hukum. Plato
(427-347 SM) menganatomi keadilan
layaknya keseimbangan jiwa manusia
yang terdiri atas pikiran (logistikon),
nafsu (ephitumatikon) dan perasaan
(thumoeindes). Ketiganya merupakan
unsur yang terus diasah dan tak dapat
dipisahkan.
Islam menyerukan keadilan agar
menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, menetapkan
putusan hukum antara manusia dengan
adil tanpa pandang bulu, melarang
memperturutkan hawa nafsu untuk
memperkosa keadilan dan memutar
lidah untuk sebuah persekongkolan (An
Nisa’: 58 dan 135). Ayat tersebut menyentil
para hakim agar berhati-hati dan bersikap
adil dalam mempertimbangkan putusan.
Hakim dalam menjalankan tugas
yudisialnya tidak boleh memberikan
kesan bahwa salah satu pihak berada
dalam posisi istimewa, menunjukkan
suka atau tidak suka melalui perkataan
maupun perbuatan, karena semua
orang memiliki kedudukan yang sama
di muka hukum (equality before the law).
Perlakuan yang sama terhadap semua
orang itu tercermin dalam ritual puasa
di mana orang berbondong-bondong
menuju masjid guna melaksanakan
tarawih berjamaah. Di dalam masjid tidak
ada lagi perbedaan kasta ekonomi dan
kelas sosial, pangkat dan jabatan, suku
maupun golongan, semua setara tanpa
diskriminasi.
Kedua, nilai kejujuran. Saat ini
kejujuran merupakan barang langka di
negeri ini. Orang kerap menggadaikan
harga diri dan kejujurannya untuk
mengeruk materi. Hakim juga demikian,
menukar mutiara kejujuran dengan
gemerlap duniawi yang sifatnya sesaat.
Akibatnya praktik suap dan jual beli
perkara selalu menghiasi wajah hukum
kita. Padahal kejujuran mendorong
terbentuknya pribadi yang kuat dan
membangkitkan kesadaran mengenai
hakikat yang haq dan bathil. Puasa
mendidik kita untuk berbuat jujur
dan menyelaraskan antara kata dan
perbuatan. Internalisasi nilai kejujuran
bagi pembentukan integritas hakim
bermakna penting karena hakim yang
jujur akan memutus perkara berdasarkan
nurani, bukan pesanan.
Hakim ulat
Tapi, tahukah anda jika belakangan
ini orang jujur justru tersisih karena diusir
dari kampung? Ironi itu mungkin juga
berlaku di berbagai lembaga birokrasi,
tak terkecuali ranah penegak hukum.
Kejujuran seorang penegak hukum
di lingkungan sistem yang bobrok
kadangkala menjadi cibiran karena
dianggap menghambat keberlangsungan
tradisi praktik kotor. Tak pelak, kesalehan
individual harus kalah perang dengan
kebatilan yang terorganisasi. Padahal
kejujuran menjadi miniatur dalam
mengukur integritas dan tingkat
kepercayaan seseorang.
Hakim yang suka menerima suap
dan memperdagangkan putusan adalah
hakim perusak dan bermental ulat. Di
mana-mana ulat dideskripsikan binatang
menjijikkan dan menggerogoti daun yang
ditumpangi. Tapi ulat punya nilai filosofis
bisa melakukan metamorfosis mencari
hakikat diri dalam proteksi kepompong.
Ulat berpuasa dengan menanggalkan jiwa
perusaknya tanpa tergoda oleh urusan
perut. Setelah berhasil mengalienasi diri
dari jerat duniawi, ulat dalam kepompong
bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.
Binatang yang semula menjijikkan
itu, kini berubah lembut, indah dan
menyenangkan.
Filosofi ulat menjadi cambuk
bagi hakim bermental perusak untuk
melakukan metamorfosis melalui
puasa sehingga mentransformasi
sifat pembangun. Tentu sangat berat
karena pada mulanya penuh cibiran
dan pengasingan. Tapi jika konsisten, di
ujung lorong akan terbit cahaya terang
menyinari gelapnya belantara penegakan
hukum kita.
Menolak suap
Puasa membangun kekuatan
mental hakim untuk katakan tidak pada
suap. Disadari godaan suap merupakan
persoalan serius yang datang silih
berganti. Suap di pengadilan berjalan
dengan caranya sendiri-sendiri. Ia
kadangkala datang ketika hakim
benar-benar membutuhkan sokongan
finansial. Kalaupun hakim itu tangguh
mempertahakan idealisme, tidak jarang
keluarganya menjadi sasaran suap.
Dalam kitab suci manapun penyuap
dan penerima suap ganjarannya neraka.
Karena itu proses pendeseminasian Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)
yang dilakukan secara simultan oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
ke daerah-daerah sejatinya bermuara
pada pembentukan karakter hakim yang
tangguh dan kuat godaan.
Namun butir-butir KEPPH ini tidak
berjalan maksimal manakala kerjasama
kewenangan Mahkamah Agung dengan
Komisi Yudisial dalam hal pengawasan
tidak berjalan seirama. Sepanjang tidak
menyentuh ranah putusan, Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial perlu
merapatkan barisan dalam mengawasi
dan menjaga keluhuran, martabat dan
perilaku hakim.
Artikel ini dimuat di harian Jawa Pos
tanggal 21 Juli 2012 dan telah mengalami
penambahan serta penyuntingan
seperlunya.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 29
29
8/8/2012 1:05:15 PM
SUDUT HUKUM
Peran Kebangsaan
Seorang Hakim
S
alah satu pilar diantara empat
pilar kehidupan berbangsa dan
bernegara kita adalah Negara
Kesatuan Republik Indonesia,
di samping Pancasila, UUD 1945 dan
Bhinneka Tunggal Ika. Saat ini pilar
Negara Kesatuan Repubik Indonesia
dihadapkan pada permasalahan semakin
mengemukanya tuntutan kedaerahan
hingga separatisme, yang berkelindan
dengan pragmatisme.
Dalam konteks Indonesia, potensi
disintegrasi dengan membonceng
semangat kedaerahan telah ada sejak
masa awal berdirinya Republik ini,
saat Belanda memaksakan bentuk
negara federal dengan membentuk
negara-negara bagian dalam Republik
Indonesia Serikat. Nyatanya hal itu
menjadi suatu upaya sia-sia Belanda,
karena bangsa Indonesia memilih kembali
ke khittah sebagaimana dikehendaki
dalam Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi
dan UUD 1945 yaitu Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kini, dalam era yang sangat
terbuka pasca-reformasi upaya dan hasrat
kedaerahan ini jumbuh serta berkelindan
dengan hasrat politik-ekonomi lokal,
yang ternyata motif utamanya bukanlah
memerdekakan diri, namun hanya
merupakan artikulasi segelintir pemangku
kepentingan demi mendapatkan privilege
secara mudah atas berbagai‘sumber daya’
di daerah. Tarikan-tarikan kedaerahan
yang proporsional demi kemajuan daerah
mesti dimaklumi dan didukung, namun
kalau sudah tidak lagi proporsional,
profesional dan mengabaikan keadilan,
maka tarikan kedaerahan tersebut layak
dipertanyakan.
30
†† remunerasipns.com
Pendahuluan
Sudarsono
Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
Tanjungpinang
Secara historis, ide negara kesatuan
bukanlah ide baru bagi bangsa ini,
karena semenjak zaman nenek moyang
telah dikenal konsepsi Nusantara yang
diaplikasikan oleh kerajaan-kerajaan
besar masa silam, kemudian konsep Aslia
dari Tan Malaka pada 1920an, hingga
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Puncak
dari proses panjang tersebut adalah
perdebatan mendalam BPUPKI dan PPKI
yang melahirkan bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam Pancasila dan
UUD 1945. Oleh Sri Soemantri hal ini
dinyatakan sebagai “tingkat tertinggi
perkembangan ketatanegaraan bangsa.”1
Pada titik ini, bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah salah satu
warisan agung dari para founding fathers
yang mesti dijaga dan dikembangkan.
1
A. Mukti Arto. Konsepsi Ideal Mahkamah
Agung. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001. Hal:
13.
Untuk menjaga dan
mengembangkan warisan agung
tersebut, maka dibutuhkan adanya
ketahanan nasional yang kuat. Ketahanan
nasional berarti kondisi dinamis yang
merupakan integrasi dan kondisi tiap-tiap
aspek dari kehidupan bangsa dan negara.
Pada hakikatnya, ketahanan nasional
adalah kemampuan dan ketangguhan
suatu bangsa untuk dapat menjamin
kelangsungan hidupnya menuju kejayaan
bangsa dan negara”.2
Salah satu unsur dalam ketahanan
nasional adalah tegaknya hukum,
karena hanya dalam hukum yang tegak
dimungkinkan adanya stabilitas nasional
dan pembangunan nasional.3 Hal ini
karena hukum sangat berkaitan dengan
keadilan, dan keadilan merupakan salah
satu kebutuhan rohani utama seorang
manusia, yang jika tidak terpenuhi akan
dapat menimbulkan keresahan sosial,
konflik sosial, hingga disintegrasi sosial
(bandingkan: Pembukaan Pedoman
Perilaku Hakim).
Segi positif hakim Indonesia
dalam memajukan pilar
NKRI
Ada beberapa hal yang membuat
hakim berada pada posisi penting
dalam menegakkan NKRI. Pertama,
hakim berada pada posisi sentral guna
menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 demi
terselenggaranya negara hukum
Republik Indonesia.4 Bagaimanapun,
putusan hakim adalah ‘hukum’ yang
menyelesaikan pertikaian-sengketa para
pihak dan memulihkan keguncangan
sosial akibat suatu tindak pidana dalam
masyarakat. Tanpa adanya putusan hakim,
maka yang berlaku adalah perilaku main
2
Kohar Hari Sumarno, Hukum dan Ketahanan
Nasional. Jakarta, Sinar Harapan, 1986. Hal: 200.
3
Ibid. Hal: 209.
4
Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 19 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 30
8/8/2012 1:05:17 PM
hakim sendiri, yang tentu berujung pada
disintegrasi sosial.
Kedua, semua hakim berada
dalam naungan Mahkamah Agung, yang
notabene adalah instansi pusat, sehingga
pola-pikir seorang hakim pastilah
berdimensi nasional, tidak primordialkedaerahan. Ketiga, secara personal,
hakim adalah sosok pilihan, yang memiliki
keunggulan dari sisi fisik, pendidikan
maupun etika, hal mana terbukti dari
telah lolosnya mereka dalam tahapan
pemeriksaan administratif, ujian maupun
pendidikan dan latihan calon hakim.
Dengan sumber daya manusia yang telah
teruji, diharapkan hakim dapat merespon
dan mengatasi segala permasalahan yang
terjadi dalam penugasannya, termasuk
permasalahan-permasalahan yang
bersifat kedaerahan.
Keempat, di daerah tugasnya,
dalam forum resmi maupun tidak
resmi hakim dapat memberikan
pandangan-pandangan hukum atas
berbagai permasalahan di daerah sesuai
dengan tugas dan kewenangannya.
Hakim dalam tugas pokok dan fungsinya
di berbagai daerah kerap mengadili
permasalahan-permasalahan daerah.
Sehingga seorang hakim pastilah
banyak pengalaman dan dapat
mengkomparasikan permasalahan dan
solusi antara suatu daerah dengan daerah
lainnya.
Kelima, budaya masyarakat yang
masih menghormati hukum. Dengan
masih dihormatinya hukum beserta
aparaturnya, hakim memiliki posisi yang
terpandang di masyarakat. Sehingga
akan sangat dinantikan perannya oleh
masyarakat di daerah.
Keenam, hakim adalah sosok yang
telah dan akan berpindah-pindah tugas.
Hal itu menuntut adanya daya-adaptif
terhadap lingkungan yang baru, dan di sisi
lain juga menuntut adanya pemahaman
yang komprehensif atas berbagai gejala
sosial yang terjadi di masyarakat, baik
sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat
(1) UU Nomor 48 Tahun 20095 maupun
sebagai tuntutan survivalnya.
Beberapa kendala hakim
Indonesia memajukan pilar
NKRI
Namun patut disayangkan,
potensi hakim yang sedemikian besar
tersebut belum tereksplorasi secara
optimal karena beberapa hal, antara
lain: Pertama, persoalan klasik dimana
anggaran kekuasaan yudikatif paling
lemah dibandingkan kekuasaan eksekutif
dan legislatif (yang juga memiliki fungsi
anggaran). Tentu sedikitnya anggaran
bagi hakim bukanlah kendala hakim untuk
melaksanakan tugas pokoknya. Karena
pada dasarnya spirit seorang hakim adalah
pengabdian. Namun mengingat seorang
hakim secara atributif-konstitusional
adalah pemegang kekuasaan kehakiman,
maka sudah sewajarnya ia memperoleh
hak-hak jabatan negara yang layak. Hal
tersebut tentunya akan menambah
wibawa hakim, yang pada akhirnya akan
mewujudkan amanat konstitusi untuk
menegakkan hukum dan keadilan.
Kedua, sistem ketatanegaran kita
yang kurang mengakomodir kekuasaan
yudikatif. Eksekutif memiliki fungsi
legislasi atas UU, Peraturan Pemerintah
dan seterusnya yang notabene pada
dasarnya adalah domain legislatif.
Sebaliknya, legislatif memiliki fungsi
anggaran dan fungsi ‘pengusulan/
persetujuan’ terhadap jabatan-jabatan
eksekutif tertentu. Tidak diikutkannya
kekuasaan yudikatif pada dasarnya adalah
baik, yaitu demi menjaga obyektivitas,
independensi dan keluhuran martabat
kekuasaan yudikatif. Namun, implikasinya
secara faktual cukup disayangkan, karena
sumber daya kekuasaan yudikatif yang
sedemikian besar di setiap daerah kurang
diberdayakan dalam membangun daerah
sesuai dengan koridor hukum yang ada,
5
Untuk “menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di
masyarakat.”
yang notabene membangun Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Ketiga, realita politik
kemasyarakatan yang kurang kondusif
bagi lembaga peradilan, dimana banyak
bermunculan opini dan pemberitaan tidak
faktual-berimbang yang mendiskreditkan
lembaga peradilan. Padahal, mestinya
disadari bahwa ‘delegitimasi’ lembaga
peradilan semacam ini juga akan
mengakibatkan makin terpuruknya
wibawa hukum, yang ujung-ujungnya
adalah ketidaktertiban dan disintegrasi
sosial.
Keempat, materi diklat untuk calon
hakim maupun hakim kebanyakan berupa
teknis peradilan. Sedangkan materi yang
berkaitan dengan tugas dan tanggung
jawab hakim sebagai warga Negara
Kesatuan Republik Indonesia masih
belum tereksplorasi secara mendalam.
Materi pendidikan kebangsaan dan
kewarganegaraan hanya dilakukan di
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas)
dan beberapa instansi terkait. Hal ini dapat
dimaklumi karena hingga kini wacana
politik dan kenegaraan kita masih secara
parsial memandang hakim hanya sebagai
‘pemutus perkara’, belum sebagai kader
penyemai semangat Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Penutup
Dari pemaparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa hakim sangat
berperan dalam menunjang tegaknya
pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari beberapa kendala di atas, dapat
disarankan agar materi pendidikan
kebangsaan juga disampaikan dalam
diklat hakim, lebih mengintensifkan
peran kemasyarakatan hakim dengan
tanpa mengurangi independensinya,
dan memenuhi kedudukan protokoler
hakim berikut hak-haknya yang lain
sebagaimana yang telah diamanatkan
oleh Undang-Undang, agar hakim
memiliki kedudukan dan martabat yang
selayaknya.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 31
31
8/8/2012 1:05:17 PM
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ ANDHIKA
LEBIH DEKAT
M. Hatta Ali
Ketua Mahkamah Agung
KY dan MA Harus
Bersinergi Wujudkan
Keagungan Peradilan
Dinal Fedrian, Nur Agus Susanto
H
atta Ali kini tengah berada
di puncak karirnya sebagai
hakim. Pria kelahiran
Pare-Pare 7 April 1950 ini
sejak 1 Maret 2012 resmi menjabat
sebagai Ketua Mahkamah Agung usai
mengucapkan sumpah di hadapan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
di Istana Negara. Ia terpilih sebagai Ketua
Mahkamah Agung menggantikan Harifin
A Tumpa. Bagi Komisi Yudisial sosoknya
mewarnai perjalanan hubungan Komisi
Yudisial dengan Mahkamah Agung. Ia
32
merupakan hakim agung generasi
pertama sejak kehadiran Komisi
Yudisial yang mempunyai wewenang
mengusulkan pengangkatan hakim
agung ke DPR. Lulusan Doktor Ilmu
Hukum dari Unpad ini berhasil lulus
seleksi calon hakim agung Komisi Yudisial
tahun 2006.
Sebelum menjabat sebagai
Ketua Mahkamah Agung, Hatta Ali
merupakan Ketua Muda Pengawasan
Mahkamah Agung. Tanggung jawabnya
sangat identik dengan wewenang yang
dimiliki Komisi Yudisial untuk menjaga
dan menegakkan kehormatan,keluhuran
martabat serta perilaku hakim. Sebagai
Ketua Muda Pengawasan ia bertanggung
jawab mengurangi pelanggaranpelanggaran perilaku para hakim. Sebab
Ketua Muda Pengawasan merupakan
pengawas internal para hakim.
Saat menjabat sebagai Ketua
Muda Pengawasan ia juga dipercaya
menjadi Ketua Umum Ikatan Hakim
Indonesia (Ikahi). Sebagai ketua organisasi
para hakim, saat itu, ia diharapkan dapat
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 32
8/8/2012 1:05:20 PM
Komisi Yudisial memasuki
kiprahnya yang ke-7 tahun pada
Agustus ini. Apa refleksi dan harapan
Bapak kepada Komisi Yudisial?
Akhir-akhir ini makin terjalin
kerjasama yang baik antara Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung. Tentu
dalam perjalanan selama ini ada riak-riak
dalam hubungan Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial, tetapi itu adalah hal biasa.
Kalau tidak ada riaknya mungkin tidak
ada seninya. Tetapi segala riak itu bisa
dikomunikasikan sehingga bisa berbalik
menjadi baik. Itulah prinsip saya dalam
menjalin hubungan dengan Komisi
Yudisial.
Satu hal juga Komisi Yudisial
sekarang tidak terlalu gampang
menyatakan kesalahan suatu kasus.
Kalau dahulu begitu ada hakim yang
memvonis janggal langsung dinyatakan
bersalah padahal belum dilakukan
pemeriksaan.
Sebab bagaimanapun
hakim-hakim kalau sudah divonis atau
dibocorkan namanya sebelum dilakukan
pemeriksaan dan belum tentu bersalah,
mereka pasti menyatakan keberatan ke
Mahkamah Agung.
Jadi asas praduga tidak bersalah
perlu dijaga Komisi Yudisial. Sebab
kalau belum apa-apa sudah diekspose
hal tersebut malah meruntuhkan
kehormatan, dan keluhuran martabat
hakim.
Efek buruknya nanti orang yang
tidak bersalah malahan berbuat salah.
Saya tidak berbuat salah tetapi sudah
diekspose bersalah, sekalian saja saya
buat salah.
Jadi bagaimana hubungan
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
sebagai pengawas internal dan
pengawas eksternal hakim?
Perlu terus berkoordinasi agar
tidak terjadi perbenturan. Apabila
ada kasus yang sudah ditangani oleh
Mahkamah Agung maka Komisi Yudisial
tidak perlu lagi menanganinya. Begitu
juga sebaliknya supaya lebih efisien.
Kemudian apabila terjadi perbedaan
pendapat di dalam pengawasan, dalam
Undang-Undang Komisi Yudisial itu
sudah diatur mengenai pemeriksaan
bersama.
Apakah sinergitas Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial menjadi
prioritas Bapak sebagai Ketua
Mahkamah Agung?
Saya kira hubungan Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung harus
tetap harmonis, tetap berkoordinasi.
Hal ini sudah kita lakukan, ada tim
penghubung dan tim asistensi yang
membantu hubungan kerjasama antara
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Tim penghubung dan tim asistensi ini
dibentuk di Mahkamah Agung dan juga
di Komisi Yudisial untuk membantu
hubungan kerjasama yang sifatnya lebih
detil di antara kedua lembaga.
Jadi, untuk mencari jalan tengah
yang ada antara Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial coba dilakukan
komunikasi. Karena tanpa komunikasi
kita tidak tahu bagaimana memecahkan
masalah yang ada. Dengan komunikasi
yang dilakukan baik formal maupun
informal saya kira sangat efektif. Oleh
karena tujuan adanya Komisi Yudisial itu
baik untuk melakukan pengawasan agar
tercipta personil-personil yang baik di
Mahkamah Agung, maka kita menyambut
baik kehadiran Komisi Yudisial. Terutama
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ TATANG S
meningkatkan kesejahteraan para
hakim. Menurutnya terdapat korelasi
positif antara peningkatan kesejahteraan
hakim dengan penurunan pelanggaran
perilaku hakim.
Ia ber pendapat dengan
terpenuhinya kesejahteraan, para
hakim akan berpikir sepuluh kali untuk
melakukan pelanggaran. Terutama
berkaitan dengan penyuapan.
Komisi Yudisial bagi Hatta
Ali dipandang positif sebagai mitra
Mahkamah Agung. Ia menyadari bahwa
Mahkamah Agung membutuhkan mitra
kerja yang dapat membantu terutama
untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim.
Dalam bahasa Hatta Ali dikatakan
Mahkamah Agung mempunyai
keterbatasan personil maupun anggaran
untuk melaksanakan proses tersebut.
Hatta Ali (tengah) saat dilantik menjadi hakim agung.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 33
33
8/8/2012 1:05:22 PM
LEBIH DEKAT
personil hakim karena pencari keadilan
mengharapkan hakim-hakim yang
baik, profesional, berintegritas, dan
jujur. Oleh karena itu tujuan Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung sama
untuk menindaklanjuti laporan-laporan
masyarakat. Tanpa adanya laporan
masyarakat kita tidak mengetahui
permasalahan-permasalahan yang ada
di pelosok.
Dengan pengalaman yang
Bapak miliki bagaimana sebetulnya
seluk beluk pegawasan hakim dan
bagaimana pula implementasinya
yang akan Bapak terapkan selagi
Bapak menjabat Ketua Mahkamah
Agung?
Yang pasti pengawasan
hakim itu tidak mudah atau terang
bagi saya. Sehingga bila ada
pengaduan-pengaduan masyarakat
yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah
Agung saya sudah bisa mendisposisi
dengan memberikan petunjuk kepada
Ketua Muda Pengawasan dalam
penanganan kasus tersebut. Sebab
bagaimana pun feeling saya lebih tajam/
lebih cepat menangkap.
Bagaimana Bapak memandang
laporan-laporan masyarakat yang
masuk ke Komisi Yudisial?
Saya katakan hubungan antara
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
akan tetap baik sebab tujuannya sama
†† demokrat.or.id
Bapak sebelum menjadi Ketua
Mahkamah Agung adalah Ketua
Muda Pengawasan Mahkamah
Agung, kira-kira bagaimana konsep
pengawasan hakim yang akan Bapak
jalankan sekarang sebagai Ketua
Mahkamah Agung?
Masalah pengawasan hakim bisa
dibilang bagi saya sudah mendarah
daging. Karena sejak menjadi CPNS
di Departemen Kehakiman saya
sudah ditempatkan di Inspektorat
Jenderal. Tentunya setelah menjadi
Ketua Mahkamah Agung masalah
pengawasan tetap menjadi prioritas.
Sebab sebaik-baiknya suatu institusi
pasti ada juga yang nakal di dalamnya.
Untuk orang-orang seperti ini kita
lakukan tindakan represif. Untuk yang
lainnya kita lakukan tindakan preventif
supaya jangan sampai tertulari oleh
oknum-oknum yang nakal. Selain itu
kita juga melakukan pembinaan untuk
meningkatkan kualitas.
Presiden SBY dan Ibu Ani serta Wapres Boediono menyalami Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali.
34
yaitu melakukan pengawasan. Sepanjang,
kita bisa menjaga rambu-rambu yang ada
pada masing-masing lembaga.
Misalnya masalah teknis yudisial,
itu sepenuhnya adalah kewenangan
Mahkamah Agung untuk melakukan
pengawasan. Sementara ranah Komisi
Yudisial untuk melakukan pengawasan
sepanjang berkaitan dengan Kode Etik
atau Pedoman Perilaku Hakim.
Kalau ini berjalan sesuai aturan
undang-undang yang mengatur
kompetensi masing-masing maka tidak
akan terjadi persinggungan.
Apa sebetulnya definisi teknis
yudisial?
Misalnya ada putusan hakim lalu
dikoreksi oleh Komisi Yudisial kemudian
dikatakan bahwa putusan itu tidak
benar. Sebab bila berkaitan dengan
urusan teknis, ada satu pihak yang tidak
puas ada ketentuan undang-undang
yang mengatur bahwa yang merasa
dirugikan bisa mengajukan banding atau
kasasi. Yang kita jaga itu jangan sampai
independensi hakim terganggu dengan
adanya pengawasan yang bersifat teknis
yang merupakan wewenang penuh
hakim. Kita saja Mahkamah Agung
dalam hal yang bersifat teknis harus
berhati-hati.
Kita yang mempunyai
kewenangan melakukan pengawasan
teknis sendiri harus bisa memilah-milah
bagian mana yang memang kesalahan
mendasar tidak boleh dilakukan oleh
setiap hakim, bagian mana yang murni
bersifat teknis. Sebab kalau hakim
membuka ruang intervensi untuk hal-hal
di luar peradilan maka akan merugikan
pencari keadilan sebab hakim pasti tidak
objektif lagi. Masyarakat menginginkan
jaminan hakim bebas intervensi.
Bagaimana pandangan Bapak
mengenai korelasi antara pengawasan
hakim dengan tingkat kesejahteraan
hakim?
Kesejahteraan hakim selama ini
memang belum sepenuhnya memadai.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 34
8/8/2012 1:05:23 PM
Dalam arti kata mungkin para hakim
yang ingin menyekolahkan anaknya
masih mengalami permasalahan
biaya. Dan masalah lain-lain seperti
kesehatan. Tetapi dalam kacamata
seorang pengawas hal itu tidak boleh
dijadikan alasan. Kesejahteraan apapun
yang didapatkan sekarang ini tidak boleh
menjadi alasan untuk tidak melakukan
ketentuan-ketentuan yang sudah
digariskan.
Dalam kaca mata saya sebagai
seorang hakim yang paling penting
adalah kejujuran. Kalau dari segi
kualitasnya kurang sebagai seorang
hakim masih dapat kita benahi dalam
proses perjalanan karirnya.
Tetapi kalau dari asalnya
mempunyai sifat tidak jujur, curang,
tidak berintegritas, ini berbahaya sebagai
hakim. Menuntut kesejahteraan itu
boleh saja. Tetapi jangan sampai karena
alasan kurang sejahtera lalu melakukan
pelanggaran. Ini berarti nilai kejujurannya
tidak ada.
Sejauh mana korelasi tingkat
kesejahteraan hakim dengan
perilakunya?
Dengan terpenuhinya
kesejahteraan, para hakim akan
berpikir sepuluh kali untuk melakukan
pelanggaran. Terutama berkaitan dengan
penyuapan. Mereka akan berpikir untuk
apa lagi disuap karena semua sudah
dipenuhi.
Yang saya khawatirkan kalau ada
hakim anaknya sakit atau mau masuk
sekolah kemudian ada penawaran masuk
untuk memberikan sejumlah uang,
khawatirnya dia lupa segala-galanya
sehingga menerima uang itu. Apabila
kesejahteraan sudah terpenuhi tetapi
masih ada hakim yang tetap nakal saya
kira kita perlu menindak secara tegas.
Dengan kesejahteraan yang naik harus
ada kompensasinya yaitu menunjukkan
hal-hal yang baik, tidak melakukan
pelanggaran.
Bagaimana harapan Bapak
terhadap para hakim sendiri?
Visi Mahkamah Agung adalah
mewujudkan peradilan yang agung. Arti
visi ini sangat luas yaitu pengadilan sudah
mendapat kepercayaan masyarakat atau
hakimnya sudah profesional, hakimnya
kesejahteraannya sudah bagus, sudah
penuh wibawa. Selain itu misi Mahkamah
Agung ada empat.
Pertama, menjaga kemandirian
badan peradilan. Artinya siapa pun tidak
boleh ikut campur dalam kekuasaan
kehakiman termasuk Mahkamah Agung
sendiri apalagi yang non Mahkamah
Agung.
Kedua, memberikan pelayanan
hukum yang berkeadilan bagi pencari
keadilan. Ini sudah banyak SEMA yang
kita keluarkan. Misalnya penyelesaian
perkara tidak boleh lebih dari enam
bulan.
Ketiga, meningkatkan kualitas
kepemimpinan badan peradilan. Ini
sangat menentukan. Apabila pimpinan
pengadilan tingkat pertama dan banding
kualitas kepemimpinannya kurang maka
anak buahnya juga akan kurang semua.
Proses pengawasan melekat itu kan di
kepemimpinan.
Keempat, meningk atk an
kredibilitas dan transparansi badan
peradilan.
Ini juga sudah banyak SEMA yang
keluar seperti SEMA No. 144 tahun 2007
yang telah diperbarui. Contoh lainnya,
putusan dalam waktu 2x24 jam sudah
harus dimuat di website. Kemudian setiap
pengadilan harus ada desk informasi
dan pengaduan. Itulah kita menuju ke
sana mudah-mudahan keempat misi ini
dapat terpenuhi dalam waktu sesingkatsingkatnya.
Nama
:
M. Hatta Ali
Tempat/Tanggal Lahir
:
Pare-Pare, 7 April 1950
Jabatan
:
Ketua Mahkamah Agung RI
Pendidikan Terakhir
:
Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran
Riwayat Karir
:
CPNS Depkeh 01-03-1978
PNS depkeh 01-06-1979
Pemeriksa Itjen Depkeh. 01-10-1980
Cakim PN Jakarta Utara 10-03-1982
Hakim PN Sabang 05-04-1984
Plh KPN Sabang 08-07-1989
Hakim PN Lubuk pakam 01-04-1990
WKPN Gorontalo 07-04-1995
KPN Bitung 18-11-1996
Hakim PN Jakarta Utara 23-12-1998
KPN Manado 16-06-2000
KPN Tangerang 05-07-2001
Hakim Tinggi PT Denpasar 21-05-2003
Sekretaris KMA 29-12-2004
Dirjen Badilum 02-08-2005
Hakim Agung 23-07-2007
Ketua Muda Pengawasan MA 08-04-2009
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 35
35
8/8/2012 1:05:24 PM
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ NURA
SELINTAS
Gedung Mahkamah Syar’iyah Aceh
S
uparman Marzuki berargumen
gedung pengadilan harus
memiliki karakter yang jelas
dibandingkan gedung yang lain.
Seyogianya gedung pengadilan harus
lebih megah dibandingkan gedung
lain. Selain itu, gedung pengadilan
juga menunjukkan keagungan dan
kehormatan lembaga peradilan itu
sendiri. “Seseorang yang masuk ke
gedung pengadilan memiliki rasa
ketundukan pada lembaga hukum,”
tambah dia dalam kesempatan yang
berbeda.
Apa yang disampaikan Suparman
Marzuki tentang gedung Mahkamah
Syar’iyah benar adanya. Fakta di propinsi
paling barat Indonesia menunjukkan
bahwa keberadaan gedung Mahkamah
Syar’iyah itu terlihat berbeda. Bahkan,
gedung itu bisa jadi salah satu gedung
termegah di propinsi yang pernah dilanda
bencana hebat, Tsunami tahun 2004.
Keberadaan Mahkamah Syar’iyah
yang mengepankan hukum Islam
sesuai dengan karakter masyarakat
NAD. Menjadi bagian dari perjalanan
36
Mahkamah Syar’iyah Aceh
Bangunan Keadilan
Masyarakat Aceh
Nur Agus Susanto
“Seharusnya gedung pengadilan itu seperti Mahkamah
Syar’iyah Aceh (Mahsyar). Kemegahan dan keagungan
gedung menampakkan kewibawaan peradilan,” kata
Anggota Komisi Yudisial Dr. Suparman Marzuki, S.H., M,Si.,
saat menjadi pembicara dalam kegiatan sosialisasi Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD), beberapa waktu lalu.
sejarah panjang penduduk NAD yang
menjunjung tinggi ajaran agama
Islam, teguh dalam aqidah dan taat
menjalankan syariat Islam, sebagaimana
disimpulkan dalam untaian kata “Adat
Bak Poteu Meureuhom, Hukum Bak Syiah
Kuala” yang bermakna adat istiadat
kerajaan/masyarakat diatur oleh sultan,
tapi dalam bidang hukum wewenangnya
di pundak ulama.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 36
8/8/2012 1:05:37 PM
Keberadaan bangunan Mahsyar
berada di jalan T. Nyak Arief yang
menempati sala satu area bernama
Komplek Keistimewaan Aceh,
bersebelahan dengan Kantor Gubernur
Aceh dan gedung pemerintahan lain.
Dibandingkan bangunan lain, gedung
tempat para wakil Tuhan berkantor
terlihat megah nan eksotis.
Memasuki bangunan Mahsyar,
atau pengadilan agama tingkat banding,
kita terlebih dahulu dihadapkan
hamparan lahan parkir yang luas.
Bangunan gedung lebih tinggi
dibandingkan tanah “mengharuskan”
para tamu dan pengunjung lebih dulu
menapaki undakan tangga sepanjang
10 meter untuk mencapai pintu
masuk.
Begitu menjejakkan kaki di
pintu masuk yang merupakan lantai
II, pandangan pengunjung tertumbuk
pada meja penerima tamu dan tiga soko
atau tiang berbalut marmer berwarna
coklat dan guratan warna kuning emas.
Di samping kanan pintu masuk terdapat
komputer yang berisi layanan informasi
pengadilan seperti jadwal sidang dan
infomasi lain. Sementara di samping
kiri terdapat prasasti penandatanganan
pembangunan gedung dan papan
informasi kehadiran para pimpinan dan
hakim tinggi di Mahsyar Aceh.
Ruangan pimpinan dan panitera/
sekretaris Mahsyar berada di sebelah kiri
meja penerima tamu. Lantai ruangan
tersebut terhampar dilapisi karpet
warna coklat. Jika ada tamu maka dia
harus menanggalkan alas kaki tanpa
terkecuali. Cara itu dilakukan agar
menjaga kesucian ruangan.
Lantai III gedung Mahsyar Aceh
diperuntukkan bagi staf dan pegawai di
bawah kendali panitera/sekretaris. Ada
ruangan khusus teknologi informasi,
ruang kepegawaian, ruang tata usaha,
dan kearsipan, serta ruangan-ruangan
lain yang berada di sebelah kiri. Ada
satu satu hal yang berbeda di gedung
ini yaitu ruang pertemuan.
Ruangan ini menjadi kebanggaan
Mahsyar Aceh. Luas ruangan ini kurang
lebih 300 meter persegi bergaya
minimalis yang memadukan warna
dinding coklat dengan kayu warna
hitam, serta dipercantik dengan
langit-langit warna coklat dan lampu
hias berwarna kuning emas. “Kami
mempersilakan masyarakat Aceh
menggunakan ruangan ini untuk
pertemuan semacam seminar dan
Dengan bantuan tanah tersebut,
maka pembangunan gedung Mahkamah
Syar’iyah Aceh tidak membutuhkan dana
besar. Alokasi anggaran pembangunan
gedung yang dibutuhkan sebesar Rp
16 miliar.
Panitera/Sekretaris Mahsyar
Aceh Syamsikar menjelaskan sesuai
instruksi pimpinan bahwa pembangunan
gedung harus sesuai dengan bestek
yang sudah direncanakan. Tidak boleh
kurang ataupun lebih. Alhasil, dengan
alokasi dana yang ada tetap dapat
†† acehtraffic.com
Lepas alas kaki
Pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh sebagai wujud penerapan syariat Islam.
diskusi saat kantor libur,” ujar Wakil Ketua
Mahkamah Syar’ iyah M. Jamil Ibrahim.
Cara itu dilakukan untuk membangun
kedekatan dengan masyarakat.
Mengandalkan kejujuran
Jamil menambahkan
pembangunan gedung berlantai III
ini mengunakan APBN tahun 2007
dan 2008. Luas bangunan Mahkamah
Syar’iyah Aceh mencapai 4.100M².
Sementara itu, tanah tempat bangunan
ini berdiri merupakan bantuan Pemda
NAD dengan luas ± 6.000 M2.
memperoleh kualitas bangunan sesuai
yang diharapkan, seperti sekarang ini.
Mengulas tentang proses
infrastruktur pembangunan gedung
ini tidak bisa dilepaskan dengan proses
pembangunan suprasruktur Mahkamah
Syar’iyah di Aceh. Dasar pembangunan
gedung Mahkamah Syar’iyah di Aceh
dimulai tahun 2003 melalui Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun
2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan
Mahkamah Syar’iyah Propinsi di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Keppres
tersebut merujuk pada Undang-undang
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 37
37
8/8/2012 1:05:38 PM
SELINTAS
bangsa yang sejahtera, aman tenteram,
tertib dan untuk menegakkan keadilan,
kebenaran, ketertiban dan kepastian
hukum dalam rangka memberikan
pengayoman kepada masyarakat
Qonun itu mengemukakan
bahwa Mahkamah Syar’iyah bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara-perkara
pada tingkat pertama, dalam bidang
ahwal al syakhshiyah, mu’amalah, dan
jinayah.
†† www.ms-aceh.go.id
Manajemen perkara
Idris Mahmudy
Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh
Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Keppres tertanggal 3 Maret 2003 itu
menyebutkan Pengadilan Tinggi Agama
Banda Aceh berubah nama menjadi
Mahkamah Syar’iyah Propinsi yang akan
dijadikan sebagai pengadilan tingkat
banding. Sedangkan pengadilan agama di
kabupaten dan kotamadya
berubah menjadi Mahkamah
Sy a r ’i y a h K a b u p a te n a t a u
Kotamadya sebagai pengadilan tingkat
pertama. Jumlah Mahsyar yang berada
di kabupaten/kota berjumlah 20.
Selain Keppres, UU tersebut juga
mengamanatkan adanya peraturan
daerah yang disebut Qanun Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam sebagai
pelaksanaan undang-undang di wilayah
NAD dalam rangka penyelenggaraan
otonomi khusus. Berdasarkan Qanun
Propinsi NAD Nomor 10 Tahun 2002
tentang Peradilan Syariat Islam dikatakan
tujuan pembentukan Mahsyar antara lain
untuk bersama-sama dengan peradilan
yang lain mewujudkan tata kehidupan
38
Mengutip laporan resmi tahunan
2011, Mahsyar Aceh tercatat menerima
141 perkara perdata ditambah dengan
sisa tahun 2010 sebanyak 3 perkara,
sehingga berjumlah 144 perkara.
Dalam kurun waktu tahun 2011 telah
diselesaikan 129 perkara, sedangkan
sisa akhir tahun sebanyak 15 perkara.
Sementara perkara pidana/jinayat
tercatat hanya 9 perkara.
Komposisi perkara perdata terdiri
cerai talak mencapai 24 perkara, cerai
gugat sebanyak 63, kewarisan dengan 29
perkara, harta bersama dengan jumlah
20 perkara. Sementara untuk perkara
banding untuk pidana/jinayat tercatat
perkara khalwat / mesum mencapai
1 perkara, M a i s i r /judi sebanyak 7
perkara, dan khamar/minuman keras
tercatat 1 perkara.
Mahsyar Aceh memiliki15
hakim termasuk ketua dan wakil
ketua. Mahkamah ini membawahi 20
Mahsyar yang berkedudukan di ibu
kota kabupaten/kota. Jumlah pegawai
keseluruhan Mahsyar sampai akhir
Desember 2011 tercatat 489 orang,
dengan rincian tenaga teknis Yudisial
yang terdiri hakim dan panitera sebanyak
340 orang dan tenaga non teknis yudisial
149 orang.
Dalam kurun waktu satu tahun
Mahkamah Syar’iyah Aceh dan 20
Mahkamah Syar’iyah di kabupaten/kota
memperoleh alokasi anggaran Rp 54,4
miliar. Jumlah tersebut terbagi di tiga
komponen, belanja pegawai, belanja
modal, dan dan belanja barang.
Lima generasi
Mengutip tulisan Miswar
Sulaiman, dikatakan Peradilan Islam di
Aceh telah berfungsi sejak era Kerajaan
Aceh Darussalam pada tahun 1600-an.
Pada masa Iskandar Muda itu berlaku
pula slogan, “adat bak po teumeureuhom,
hukom bak syiah kuala, qanun bak putroe
phang, reusam bak lakseumana”.
Ada satu fakta pelaksanaan
hukum Islam ketika Meurah Pupok
bin Sultan Iskandar Muda terbukti
berselingkuh dengan isteri seorang
perwira kerajaan Aceh. Ia dihukum rajam
sesuai hukum Islam. Muncul pertanyaan
kenapa Sultan sampai hati melaksanakan
hukuman itu? Sultan berkata, “matee
aneuk meupat jeurat, matee adat pat ta
mita”. Mahfumnya, mati seorang anak
tau di mana kuburannya, tapi kalau adat
dan hukum tidak ditegakkan, tak tahu
bagaimana kesudahannya.
Peradilan Islam di Aceh telah
mengalami sejarah panjang. Enam era
sudah dilalui yakni masa Kerajaan Aceh,
masa kolonial Belanda, masa penjajahan
Jepang, masa revolusi fisik, era kembali
ke Negara Kesatuan RI, dan era otonomi
khusus. Masing-masing era memiliki
karakteristik tertentu.
Peradilan agama di Aceh
memasuki babak baru dengan lahirnya
UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang
otonomi khusus bagi Propinsi Daerah
Istimewa Aceh. Sebab salah satu lembaga
yang harus ada untuk mendukung
penegakan peradilan syariat Islam di
Aceh, yakni dibentuknya Mahsyah-.
Mahkamah Syar’iyah juga harus
menganut tiga tingkat peradilan, yakni
Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota
sebagai pengadilan tingkat pertama,
Mahkamah Syar’iyah propinsi sebagai
pengadilan tingkat banding dan tingkat
kasasi di Mahkamah Agung.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 38
8/8/2012 1:05:42 PM
LAPORAN KHUSUS
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
Dinal Fedrian
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman didampingi Anggota Komisi Yudisial Taufiqurrohman Syahuri dan Jaja Ahmad jayus serta Juru Bicara Asep
Rahmat Fajar saat melakukan audiensi dengan para hakim yang menuntut perbaikan status dan kesejahteraan di kantor Komisi Yudisial.
Kesejahteraan Hakim
Jadi Prioritas Komisi Yudisial
M. Purwadi
Tuntutan hakim di Indonesia yang meminta
perbaikan status dan kesejahteraan
sejatinya menjadi perhatian Komisi Yudisial,
dan persoalan tersebut telah disampaikan
pimpinan beserta anggota Komisi Yudisial
periode 2010 - 2015 ke Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada awal 2011.
K
etua Komisi Yudisial Eman
Suparman mengatakan
setiap kali bertemu dengan
pemangku kebijakan atau
pertemuan dengan pimpinan lembaga
negara lain, pihaknya tak pernah
ragu menyampaikan isu mengenai
kesejahteraan hakim. Pasalnya, hakim
merupakan salah satu ujung tombak
penegakan hukum di tanah air.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 39
39
8/8/2012 1:05:56 PM
LAPORAN KHUSUS
Selama ini, para hakim hidup
dengan apa adanya, mengingat gaji
yang minim dan tunjangan yang tidak
mencukupi. Karena keterpaksaan itulah,
kata Eman, mereka terpaksa melirik kanan
dan kiri guna memenuhi kebutuhan hidup
yang terus meningkat. Demontrasinya
para hakim ke sejumlah tempat, seperti
Komisi Yudisial, Mahkamah Agung,
dan DPR merupakan kesadaran pribadi
untuk memperjuangkan kesejahteraan
hidupnya.
Mereka sadar atas apa yang
dilakukan. Mereka hanya ingin
menunjukkan bahwa hakim sebenarnya
tidak ingin menyalahi Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim, tapi kondisi
dan keterbatasan yang memaksa itu.
Eman meyakini, para hakim bisa diajak
menjadi baik asalkan hak-haknya
dan tunjangan jabatan atas mereka
terpenuhi.
Catatan penting bagi mereka,
jika hak dan tunjangan itu tetap tidak
terpenuhi, maka iktikad mereka untuk
baik akan sulit terwujud. Pasalnya, gaji
dan tunjangan yang diberikan negara
tidak mencukupi untuk kebutuhan
hidup pribadi dan keluarganya.
“Sempat terlintas dalam
pikiran, kenapa para hakim masih
saja melirik ke kanan dan ke ke kiri.
Apakah memang mereka itu serakah
atau memang gajinya kecil sehingga
terpaksa cari-cari tambahan. Namun,
itu semua kembali kepada pribadi
masing-masing hakim,”tutur Guru Besar
FH Unpad ini. Contohnya, para hakim
yang juga dosennya saat mengenyam
pendidikan di Unpad, tetap sanggup
menjaga kejujuran dan integritasnya
meskipun dengan gaji dan tunjangan
pas-pasan.
Eman berkeyakinan, para hakim
bersedia memenuhi ajakan Komisi
Yudisial untuk menjaga Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim asalkan
lembaga pengawas hakim tersebut juga
bertanggung jawab memperjuangkan
hak-haknya. Tentunya bagi Eman selaku
ketua Komisi Yudisial yang bercita-cita
menegakkan wibawa citra hakim, tidak
ada pilihan lain kecuali mendukung
tuntutan mereka.
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
Perjuangan para hakim dalam
menyampaikan aspirasi, menyangkut
kesejahteraan hidupnya ke Komisi
Yudisial, Mahkamah Agung, dan
lembaga lainnya menunjukkan
fenomena langka.
Dari fenomena ini, Eman
menangkap sinyal positif, bahwa para
hakim sudah bersedia diajak baik.
Bersedia bersama sama mengembalikan
citra dunia peradilan yang sudah mulai
kelam karena ulah para oknum hakim
yang tidak mematuhi aturan Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim.
Hanya saja, saat mereka sadar
akan tanggung jawab dan kewajibannya
sebagai sang pengadil, justru terbentur
penghasilan yang minim dan jauh dari
kecukupan. Makanya, hemat Eman,
jika menginginkan para hakim bisa
menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya dengan baik, negara harus
memberikan hak-haknya sebagai
pejabat negara, termasuk sejumlah
tunjangan-tunjangan yang seharusnya
mereka terima selama menjabat sebagai
hakim.
Anggota Komisi Yudisial periode 2010-2015 dan Sekjen serta Juru Bicara Komisi Yudisial melakukan pertemuan dengan Presiden, tahun 2011. Salah
satu masalah yang dibahas adalah kesejahteraan hakim.
40
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 40
8/8/2012 1:06:03 PM
Mutasi, promosi, dan
kesejahteraan hakim
Pekerjaan sebagai hakim yang
berpindah-pindah daerah tugas, juga
memiliki keterkaitan erat dengan
kesejahteraannya. Oleh sebab itu,
Eman minta agar pola mutasi dan
promosi hakim mempertimbangkan
kesejahteraan hakim. Ia mengatakan
berdasarkan pengalamannya selama ini
berdialog dengan para hakim di daerah
masih ditemui hakim tidak diberikan
fasilitas primer seperti rumah dinas.
Mereka tinggal di tempat kos yang
disewa per bulan dengan luas ruangan
rata-rata berukuran 3x3 meter. Contoh
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
Bukti keseriusan Komisi
Yudisial memperjuangkan status dan
kesejahteraan hakim bisa terlihat dari
upayanya, diantaranya mengantar
puluhan hakim yang beraudiensi ke DPR
dan KemenPAN dan RB. Komisi Yudisial
selaku lembaga pengawas hakim turut
memfasilitasi dan berbicara dengan dua
lembaga tersebut guna mengaspirasikan
keinginan para hakim.
Bahk an, Komisi Yudisial
mengundang sejumlah lembaga
terkait seperti Menkeu, MenPAN dan
RB, Mensesneg, dan pihak MA, untuk
membicarakan tuntutan para hakim
yang menginginkan kejelasan status dan
peningkatan kesejahteraan hidupnya.
“Untungnya mereka respon dan itu satu
bukti bahwa mimpi saya Insya Allah bisa
terbukti seandainya semua pihak mau
komitmen kepada apa yang dituntut
mereka,” harap Eman.
Eman menilai, selama ini status
hakim tidak tegas. Hakim diakui sebagai
pejabat negara dan pegawai negeri sipil
(PNS). Sebagai pejabat negara korps
”jubah hitam” tersebut tidak memperoleh
fasilitas seperti yang diterima seorang
pejabat negara. Demikian pula
dengan status sebagai PNS, hakim tak
memperoleh kenaikan gaji berkala yang
selalu diterima PNS lain tiap tahun.
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman menjadi pembicara pada Rapat Koordinasi Pembaruan
Pola Mutasi dan Promosi Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc di Lingkungan Peradilan Umum
Mahkamah Agung di Bogor.
seperti ini ia dapatkan ketika berkunjung
ke Gorontalo.
“Saya berharap mutasi disertai
dengan fasilitas yang memadai dan tidak
membuat hakim menjadi menderita,” ujar
Eman ketika menjadi narasumber dalam
kegiatan Rapat Koordinasi Pembaruan
Pola Mutasi dan Promosi Hakim Karier
dan Hakim Ad Hoc di Lingkungan
Peradilan Umum Mahkamah Agung di
Bogor, (13/6).
Kegiatan ini diselenggarakan
oleh Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Umum Mahkamah Agung.
Pentingnya mempertimbangkan faktor
kesejahteraan dalam proses mutasi dan
promosi adalah untuk menghindari
terjadinya penurunan kualitas hidup para
hakim. Kurangnya fasilitas perumahan
dan perlengkapannya serta berpisah
dengan istri atau suami dan anak-anak
dari para hakim, menurut Ketua Komisi
Yudisial, akan sangat berpengaruh
kepada kualitas hidup mereka.
“Jadi Komisi Yudisial punya sudut
pandang mensejahterakan para hakim
lewat mutasi dan promosi. Karena, kalau
tidak kita tidak akan punya peradilan
yang agung sesuai blue print Mahkamah
Agung,” ujar Eman di hadapan Dirjen
Badilum Cicut Sutiarso dan para peserta
rapat lainnya.
Selain faktor kesejahteraan, Eman
juga meminta dalam proses mutasi dan
promosi hakim memperhatikan faktor
peningkatan kapasitas, dan peningkatan
ketenteraman, serta ketenangan para
hakim. Ia menceritakan pengalamannya
ketika berkunjung ke Pengadilan Negeri
Poso (PN Poso) dimana ada keluhan
dari hakim karena diintimidasi bahkan
diancam akan dibunuh oleh para pihak
yang ditangani perkaranya.
Selain itu, dalam kunjungannya
tahun lalu itu Ketua Komisi Yudisial
menemukan fakta hanya ada 4 hakim di
PN Poso termasuk Ketua PN tanpa ada
wakilnya. “Mereka kebanjiran perkara
karena wilayah hukum PN Poso meliputi
3 kabupaten,” tuturnya.
“Sebaiknya perlu ada kerjasama
antara Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung soal database hakim beserta
rekam jejak mutasi-promosinya,”
ucapnya.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 41
41
8/8/2012 1:06:16 PM
LAPORAN KHUSUS
Tim Kecil Status dan Kesejahteraan Hakim
Agar Yang Mulia Betul-Betul Mulia
M. Purwadi
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman menjadi pembicara dalam seminar nasional tentang kesejahteraan hakim.
F
ungsi dan tugas Hakim
adalah pelaksana kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.
Sehingga, profesi sebagai pemberi
keadilan itu sangat mulia. Dapat pula
dikatakan bahwa hakim itu bertanggung
jawab langsung kepada-Nya. Di samping,
hakim juga mempunyai tanggung
jawab sosial kepada masyarakat (social
accountability).
Namun, walaupun begitu hakim
tetap manusia biasa yang bisa khilaf, keliru
dan salah. Banyak faktor yang menjadikan
seorang hakim menyimpang dari tugas
dan tanggungjawabnya. Salah satunya
42
menyangkut kesejahteraan hidup pribadi
dan keluarga yang kurang terjamin oleh
pemerintah.
Akibat fatal bisa saja terjadi,
kedaulatan Indonesia sebagai negara
hukum bisa terancam jika kesejahteraan
hakim sebagai salah satu sendi
penjaganya tidak terjamin. Jadi, harus
ada perhatian khusus dari lembaga
terkait seperti Mahkamah Agung (MA),
Komisi Yudisial (KY), Kementerian
Keuangan (Kemenkeu), Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB),
dan Sekretariat Negara (Setneg) untuk
memperjuangkan kesejahteraan wakil
Tuhan tersebut.
Sulit mengharapkan terjadinya
penguatan hukum dan keadilan di
negeri ini jika para hakim sebagai garda
terdepan keadilan bekerja dengan
dukungan kesejahteraan yang tak
memadai.
Tuntutan para hakim yang
mengaspirasikan status dan
kesejahteraannya, menunjukkan bahwa
ada sesuatu yang salah dengan sistem
remunerasi sebagai bagian dari reformasi
birokrasi. Para hakim sejatinya bukan
birokrat sebagaimana dipahami secara
umum. Mereka adalah pejabat negara
dari salah satu cabang kekuasaan.
Kedudukan hakim yang istimewa
ini sesuai dengan pesan konstitusi
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 42
8/8/2012 1:06:18 PM
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Sehingga, jika ditelisik dari persoalan
ini, tuntutan kenaikan gaji hakim bisa
dipahami dari dua hal.
Pertama, sebagai penopang
utama cabang kekuasaan yudikatif,
dimana hakim tidak ikut serta dalam
pembuatan undang-undang (UU)
sebagaimana pemerintah dan DPR.
Terutama dalam UU APBN, di dalamnya
pemerintah dan DPR dapat menentukan
gaji, bonus, dan kegiatan proyek sebagai
sumber pendapatan.
Hakim sebagai cabang kekuasaan
yudikatif hanya bisa mengusulkan nasib
mereka, tetapi tidak bisa ikut dalam
politik pengambilan keputusan untuk
menentukan pendapatan mereka.
Apalagi, sebagai hakim, mereka harus
menjaga integritas dan etika untuk
tidak ikut dalam proses lobi politik yang
sifatnya untuk kepentingan pribadi.
Kedua, berbeda dengan
pemerintah, hakim hanya hidup dari
gaji dan tunjangan karena mereka tidak
boleh terlibat dalam pengerjaan proyek.
Sehingga wajar jika para hakim yang
memiliki beban berat dalam menjunjung
Komplek perumahan kehakiman di Jakarta.
integritas dan keadilan mengungkapkan
beban kesejahteraan yang mereka pikul
dalam tugas terhormatnya.
Dalam upaya merespon aspirasi
perwakilan hakim Indonesia yang
menuntut status dan kesejahteraan
hakim, lima lembaga terkait seperti, MA,
KY, Kemenkeu, KemenPAN dan RB, dan
Setneg, melakukan pertemuan guna
membahas persoalan tersebut.
Mereka sepakat membentuk
tim kecil untuk membahas status dan
kesejahteraan hakim yang dipimpin MA
sebagai leading sector.
Ketua Muda Pembinaan
Mahkamah Agung Widayatno Sastro
Hardjono, yang mewakili Mahkamah
Agung dalam tim kecil, mengatakan,
tim kecil bertujuan menindaklanjuti
tuntutan yang dilakukan oleh para hakim
terkait status pejabat negara, tunjangan
dan fasilitas yang didapatkan.
Namun, tim kecil yang
dipimpinnya itu, tidak hanya membahas
masalah gaji dan tunjangan, tetapi juga
mengembalikan statusnya sesuai dengan
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Masa bekerja bagi tim kecil ini berakhir
Juli 2012. Hal itu, menurut Kepala Biro
Hukum dan Humas Mahkamah Agung
Ridwan Mansyur, sesuai dengan Surat
Keputusan Ketua MA (SK KMA) tentang
Pembentukan Tim Kecil.
Minimnya waktu pembahasan,
membuat tim kecil yang terdiri
dari gabungan beberapa lembaga,
mengintensifkan pertemuan. Tujuannya,
target yang dibebankan berupa usulan
draft PP dan Perpres tentang penjabaran
status dan kesejahteraan hakim
sebagai pejabat negara terealisasi dan
secepatnya bisa diserahkan ke Setneg
pada akhir Juli.
Tim kecil, menurut Ridwan,
membahas dua draft PP menyangkut
kedudukan dan hak hakim sebagai
pejabat negara yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman, dan hak keuangan
dan fasilitas hakim ad hoc sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman. Kedua peraturan
ini secara khusus mengatur kedudukan,
hak, tunjangan, dan fasillitas hakim dan
hakim ad hoc.
Mengingat, karakteristik hakim
sebagai pejabat negara sangat berbeda
dengan pejabat negara pada umumnya.
Pejabat negara sesudah lima tahun
berakhir masa jabatannya. Namun, kalau
hakim sejak dilantik hingga pensiun
berstatus pejabat negara dengan
pangkat/golongan yang berbeda.
Deputi SDM Aparatur MenPAN
dan RB Ramli Effendi Naibaho, yang
mewakili MenPAN dan RB dalam tim ini
menyebutkan, sejak 2008 pemerintah
sudah berusaha memperhatikan
pemenuhan hak dan tunjangan hakim
sebagai pejabat negara. Hanya saja,
saat itu kondisinya tak memungkinkan
untuk memberikan pemenuhan itu.
Makanya, solusi sementara memberikan
tunjangan remunerasi berdasarkan
grade kinerjanya masing-masing, meski
istilah itu dinilai tidak tepat.
“Hak hakim sebagai pejabat
negara perlu penyelarasan dengan
pejabat negara lainnya, tetapi memang
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 43
43
8/8/2012 1:06:30 PM
44
†† infobanknews.com
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ JAYA
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ iNDAH
LAPORAN KHUSUS
Jaja Ahmad Jayus
Ketua Bidang SDM, Penelitian dan
Pengembangan Komisi Yudisial
Widayatno Sastro Hardjono
Ketua Muda Pembinaan
Mahkamah Agung
Agus Martowardojo
Menteri Keuangan
ini tidak terlepas dari kemampuan
keuangan negara. Makanya, tak heran
ketika gaji pokok PNS naik, gaji pokok
hakim tidak ikut naik karena status hakim
sebagai pejabat negara,” jelasnya.
Dukungan positif juga terlontar
dari MenPAN dan RB Azwar Abubakar.
Dengan ikut sertanya instansi yang ia
pimpin dalam tim kecil ini ia berharap
hak-hak konstitusional para hakim
seluruh Indonesia dapat terpenuhi.
Terutama agar sesuai dengan amanat
Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyebutkan hakim sebagai pejabat
negara.
“Hari ini kita dengar semuanya
tentang status hakim sebagai pejabat
negara jadi bukan hak-hak keuangan
tetapi juga hak-hak protokoler,
tunjangan perjalanan, rumah, itu juga
diperhatikan tentu sesuai dengan
kemampuan keuangan negara,” ujar
Azwar.
Menentukan besaran gaji dan
tunjangan hakim baik karier maupun
ad hoc tidak mudah karena banyak
aspek yang mesti dipertimbangkan.
Seperti kriteria penugasan kelas
pengadilan (Kelas II, IB, IA) dan golongan/
kepangkatan sesuai masa kerja. Besaran
tunjangan hakim PN Tual tak mungkin
sama dengan hakim PN Pontianak (kelas
IA).
Inilah yang terus menerus
dibahas dalam rapat-rapat tim kecil.
Ketua Bidang SDM dan Litbang Komisi
Yudisial Jaja Ahmad Jayus menuturkan,
saat proses pembahasan gaji dan
tunjangan hakim, Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung mempunyai draft
usulan masing-masing. “Komisi Yudisial
sudah menyampaikan draft soal besaran
gaji dan tunjangan hakim yang ideal
kepada tim kecil supaya menjadi acuan
dalam pembahasan. Namun, Mahkamah
Agung juga memiliki draft serupa.
Usulan-usulan tersebut digodok dalam
rapat, karena unsur-unsurnya apa saja
tidak sama antara Mahkamah Agung
dengan Komisi Yudisial,” kata dia.
Kini, tim kecil telah memenuhi
tuntutan beban kerjanya. Dalam rapat
laporan tim kecil kepada pimpinan
masing-masing lembaga yang
tergabung dalam tim tersebut, (24/7),
telah mencapai kesepakatan draft
Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Presiden mengenai penjabaran status
dan kesejahteraan hakim.
Jika draft peraturan-peraturan
itu berlaku dan hakim sudah menerima
hak-haknya sebagai pejabat negara,
otomatis PP tentang remunerasi bagi
hakim tidak berlaku lagi. Namun,
remunerasi bagi pejabat struktural/
fungsional lain di Mahkamah Agung
masih berlaku.
Penantian para hakim nampaknya
akan segera berakhir. Apabila Presiden
menyetujui draft peraturan tersebut
maka “Yang Mulia” hanya tinggal
menunggu waktu menerima kenyataan
peningkatan kesejahteraan mereka.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo
mengatakan, status pejabat negara
dan hak-haknya yang melekat
pada hakim harus disosialisasikan.
Sehingga nantinya tidak menimbulkan
kecemburuan PNS kementerian atau
lembaga lain.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 44
8/8/2012 1:06:39 PM
Kesejahteraan Hakim
Mendekati Kenyataan
M. Purwadi, Dinal fedrian
Angin segar akan
segera menghampiri
kehidupan para
hakim. Tuntutan
mereka atas kejelasan
status dan perbaikan
kesejahteraan
yang mulai intensif
digelorakan sejak awal
April lalu mendekati
kenyataan untuk
dipenuhi.
T
im kecil tentang status dan
kesejahteraan hakim yang
terdiri dari beberapa institusi
menyepakati draft Peraturan
Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden
(Perpres) mengenai penjabaran status
dan kesejahteraan hakim sebagai pejabat
negara.
Kesepakatan tersebut diambil
dalam rapat laporan tim kecil tentang
status dan kesejahteraan hakim kepada
pimpinan masing-masing lembaga yang
tergabung dalam tim tersebut yaitu
Ketua Komisi Yudisial, Ketua Mahkamah
Agung, Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri
Keuangan, dan Menteri Sekretaris Negara
(diwakili oleh Sekretaris Kementerian
Sekretariat Negara), Selasa (24/7), di
gedung Mahkamah Agung.
Ketua Bidang Sumber Daya
Manusia Penelitian dan Pengembangan
Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus
yang merupakan anggota tim kecil
menjelaskan, rapat menyepakati besaran
gaji hakim tingkat pertama berkisar
antara Rp10 juta – Rp11 juta. Penghasilan
tersebut terdiri dari gaji pokok hakim yang
disamakan dengan gaji pokok PNS dan
tunjangan jabatan sebagai hakim.
Selain jumlah tersebut hakim
akan mendapatkan fasilitas sebagai
pejabat negara sesuai peraturan
perundang-undangan dan akan
mendapat tunjangan kemahalan untuk
beberapa wilayah tertentu.
Kepala Biro Hukum dan Humas
Mahkamah Agung Ridwan Mansyur,
saat jumpa pers usai rapat tersebut juga
mengkonfirmasi hal yang sama. “Yang
diusulkan oleh tim kecil kesejahteraan
hakim, gaji dan tunjangan hakim tingkat
pertama minimal berkisar Rp10,6 juta
hingga Rp11 juta. Komponen itu masih
ditambah dengan hak tunjangan
perumahan dan kendaraan. Klasifikasi
penghasilan tersebut akan didasarkan
pada jenjang karier, kepangkatan, tempat
penugasan, dan kelas pengadilan. Tetapi,
ini akan dihitung ulang oleh Menkeu
berdasarkan perbedaan-perbedaan
tersebut,” kata dia.
Ridwan menambahkan, awalnya
tim kecil status dan kesejahteraan hakim
mengusulkan skala gaji dan tunjangan
hakim antara Rp8,5 juta hingga Rp26 juta.
Sementara pihak Menkeu menyusun
skala gaji dan tunjangan hakim berkisar
Rp6,9 juta hingga Rp29 juta. “Usulannya
tidak berbeda jauh, sehingga disepakati
minimal Rp10,6 juta ke atas untuk gaji dan
tunjangan hakim sebagai pejabat negara,”
tegas Ridwan.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 45
45
8/8/2012 1:06:41 PM
LAPORAN KHUSUS
Pejabat Negara yang Melaksanakan
Kekuasaan Kehakiman. Kedua, Draft
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc
Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman.
Ketiga, Draft Peraturan Presiden tentang
Hak Keuangan Hakim Ad Hoc pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Keempat, Draft Peraturan Presiden
tentang Hak Keuangan Hakim Ad Hoc
pada Pengadilan Perikanan. Kelima, Hak
Keuangan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan
Hubungan Industrial.
Hal ini tentu kemajuan yang
sangat berarti bagi perjuangan para
hakim. Sebagaimana diketahui, pada awal
April lalu beberapa hakim dari daerah,
berbondong-bondong datang ke ibukota
menyuarakan tuntutannya, perbaikan
kesejahteraan.
Waktu bertemu dengan pimpinan
dan anggota Komisi Yudisial, (9/4),
dengan tegas mereka menyatakan
bahwa hak-hak konstitusional hakim
seperti hak tunjangan jabatan dan gaji,
rumah dinas, kendaraan dinas, protokoler,
keamanan dan sebagainya hingga kini
belum diperoleh. “Hak-hak itu hanya
dinikmati level pimpinan, itu pun hanya
sebagian,”kata Martha Satria Putra, hakim
PTUN Palangkaraya saat berdialog dengan
pimpinan dan anggota Komisi Yudisial di
kantor Komisi Yudisial.
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
Di dalam Pasal 3 draft PP tentang
Kedudukan dan Hak Hakim sebagai Pejabat
Negara yang Melaksanakan Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan, hakim berhak
atas gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah
negara, sarana transportasi, jaminan
kesehatan, jaminan keamanan, biaya
perjalanan dinas, kedudukan protokol,
pensiun, dan jaminan lainnya.
Kemudian dalam Pasal 4
menyebutkan besaran gaji dan tunjangan
jabatan disesuaikan dengan jenjang
karier (golongan), masa jabatan (masa
kerja), wilayah penempatan tugas, dan
kelas pengadilan. Pasal 5-nya mengatur
bahwa setiap hakim akan memperoleh
rumah negara dan sarana transportasi.
Tetapi, jika rumah negara dan sarana
transportasi belum tersedia, hakim dapat
memperoleh tunjangan perumahan dan
transportasi.
“Untuk fasilitas kendaraan dan
rumah dinas akan disesuaikan dengan
aturan keprotokoleran yang sedang
disusun. Misalnya, hak protokoler ketua
pengadilan disejajarkan dengan sekretaris
daerah,” kata Ridwan.
Secara detil terdapat lima draft
peraturan yang disepakati dalam
rapat laporan tim gabungan untuk
kesejahteraan hakim. Pertama, Draft
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Kedudukan dan Hak Hakim Sebagai
Saat itu para hakim yang datang
berasal dari berbagai daerah, hampir
mewakili semua wilayah di Indonesia.
Pernyataan – pernyataan yang mereka
lontarkan pun cukup tegas, isyarat
keprihatinan yang sudah sekian lama
mereka jalani. Semua cerita tentang
kesulitan yang harus mereka hadapi saat
bertugas tumpah dan mengalir dengan
lancar untuk dikeluh-kesahkan.
Keluh-kesah “Yang Mulia” ini juga
disampaikan kepada Mahkamah Agung,
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi, serta Komisi
Hukum DPR. Dalam kunjungan ke
MenPAN dan RB serta DPR, Komisi Yudisial
turut mendampingi.
Kini segalanya nampak mulai
bersinar. Masa kegelapan yang
mewarnai kehidupan para hakim
akan segera sirna, apabila draft PP dan
Perpres tentang penjabaran status dan
kesejahteraan hakim sebagai pejabat
negara ditandatangani Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Menteri PAN dan
RB Azwar Abubakar berjanji akan segera
mengajukan draft PP ini ke Presiden untuk
disahkan. “Paling lambat bisa realisasi
tahun depan (2013). Saya janjinya waktu
itu selesai Rancangan PP tahun ini, tetapi
bayarnya paling lambat tahun depan,”
kata Azwar mengingatkan.
Komisi Yudisial pun berharap
draft PP dan Perpres tersebut dapat
segera disahkan oleh Presiden. Apalagi
bila melihat sikap pemerintah dalam tim
kecil yang diwakili oleh Kementerian
Keuangan, Kementerian Sekretaris
Negara, dan Kementerian PAN dan RB
yang kooperatif dalam pembahasan draft
PP dan Perpres tersebut.
“Semoga sikap yang ditunjukkan
para menteri dalam rapat laporan tim
kecil menjadi cerminan sikap Presiden.
Sehingga paling lambat awal 2013 konsep
kesejahteraan hakim ini bisa dilaksanakan,”
tutup Jaja Ahmad Jayus.
Salah seorang hakim sedang menjukkan foto rumah hakim yang dinilai tidak layak.
46
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 46
8/8/2012 1:06:52 PM
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ YULIAN
KATA YUSTISIA
Pelaksanaan sidang Majelis Kehormatan Hakim, 10 Juli 2012, di gedung MA.
Tabunya Hakim Bertemu
Pihak Berperkara
Festy Rahma Hidayati
K
araoke saat ini merupakan
sarana hiburan yang cukup
diminati. Aktivitas tersebut
kini menjadi salah satu
sarana untuk berkumpul bersama
keluarga ataupun teman dekat. Seiring
bermunculannya tempat karaoke
keluarga, perlahan-lahan kesan negatif
dari aktivitas karaoke mulai luntur.
Namun, bagaimana jadinya apabila
ada hakim dan kuasa hukum dari salah
satu pihak yang ditangani kasusnya
melakukan karaoke bersama? Acara
nyanyi bareng itu juga dibayari oleh
sang kuasa hukum. Tentu hal itu menjadi
masalah buat sang hakim. Alhasil, akibat
Dua orang hakim mendapatkan sanksi dari Majelis
Kehormatan Hakim akibat bertemu dengan
kuasa hukum salah satu pihak yang perkaranya
ditangani mereka. Hal tersebut melanggar Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
karaoke bareng, hakim PN Dps berinisial
PS harus duduk sebagai terlapor di sidang
majelis kehormatan hakim awal Juli ini.
Alkisah di bulan Desember 2011
Komisi Yudisial menerima laporan dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim yang tercatat dalam
register Nomor: 0730/L/KY/XII/2011.
Yang menjadi terlapor tentu hakim PS.
Dalam laporan diungkapkan, PS sebagai
ketua majelis hakim perkara Nomor:
432/Pdt.G/2010/PN Dps melakukan
komunikasi dan pertemuan dengan
kuasa hukum penggugat. Pertemuan
itu dilakukan sebelum maupun sesudah
perkara dimaksud diputus. Salah satu
bentuk pertemuannya, ya dengan nyanyi
bareng tadi dan difasilitasi oleh sang
kuasa hukum penggugat. Berdasarkan
hasil pemeriksaan Komisi Yudisial
ternyata terungkap juga bahwa hakim PS
dengan kuasa hukum penggugat sudah
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 47
47
8/8/2012 1:07:06 PM
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ YULIAN
KATA YUSTISIA
Para pengunjung sedang menyaksikan sidang Majelis Kehormatan Hakim di gedung MA.
cukup lama berteman dan terbilang
akrab. Disebutkan juga bahwa hakim PS
sering meminjam uang kepada si kuasa
hukum itu.
Setelah memeriksa dengan
seksama dan melakukan rapat pleno,
akhirnya Komisi Yudisial berkesimpulan
bahwa hakim PS telah melanggar Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim huruf
C butir 1.2.2, butir 2.1.1, butir 2.2.1, butir
3.2.2, butir 5.1.3, butir 5.1.4, dan butir 7.1.
Secara umum hal-hal yang diatur dalam
butir-butir yang disebutkan tadi adalah:
hakim tidak boleh berkomunikasi dengan
pihak-pihak yang berperkara di luar
persidangan, hakim harus berperilaku
jujur dan menghindari perbuatan tercela,
hakim tidak boleh menerima fasilitas
dari advokat, hakim harus menghindari
hubungan baik langsung maupun tidak
langsung dengan pihak-pihak yang
perkaranya tengah diperiksa hakim
bersangkutan. Rapat pleno Komisi
Yudisial pun mengusulkan kepada
Mahkamah Agung agar hakim PS dijatuhi
hukuman pemberhentian tetap tidak
dengan hormat.
Dalam pembelaannya di hadapan
majelis kehormatan hakim, hakim PS
mengatakan semua keterangan yang
diberikannya waktu diperiksa Komisi
48
Yudisial dilakukan dengan pengaruh/
diarahkan Ketua PN Dps. Ia juga
menyatakan Ketua PN Dps melakukan
intervensi dalam perkara Nomor 432/
Pdt.G/2010/PN. Dps itu. Sehingga hakim
terlapor merasa dikorbankan di sidang
majelis kehormatan hakim, sementara ia
mengeluhkan Ketua PN Dps yang tidak
kena imbas perbuatannya.
Setelah mendengarkan dan
menimbang pembelaan diri yang
diajukan hakim PS, sidang majelis
kehormatan hakim akhirnya mengambil
keputusan. Majelis menyatakan
menolak pembelaan hakim terlapor
dan menyatakan ia telah terbukti
melakukan pelanggaran Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim. Majelis
akhirnya menjatuhkan hukuman berupa
pemberhentian dengan hormat tidak
atas permintaan sendiri untuk hakim
terlapor.
Dalam pertimbangan majelis,
hal-hal yang memberatkan bagi terlapor
yaitu ia menyampaikan pembelaan dan
keterangan yang berbelit-belit serta
berbohong. Hal lain, terlapor juga pernah
dijatuhi sanksi disiplin sebelumnya. Pada
saat menjadi Ketua PN Pati terlapor
dipindahkan menjadi Wakil Ketua PN
Palangkaraya karena suka bermain radio
komunikasi dan sering berhubungan
dengan wanita.
Kemudian, saat menjabat Wakil
Ketua PN Palangkaraya terlapor dipindah
menjadi hakim biasa di PN Mataram
karena pernah dilaporkan warga
setempat dengan tuduhan penggelapan
mobil. Satu-satunya hal yang
meringankan menurut pertimbangan
majelis, terlapor akan memasuki usia
pensiun pada 2013 dan telah bertugas
serta memberikan pengabdian cukup
lama. Keputusan majelis kehormatan
hakim atas kasus ini diambil tanggal 10
Juli 2012. Komposisi majelis kehormatan
hakim kasus ini terdiri dari empat anggota
Komisi Yudisial yaitu Jaja Ahmad Jayus
(Ketua Majelis), Suparman Marzuki,
Ibrahim, dan Taufiqurrohman Syahuri,
serta tiga orang hakim agung yaitu Imam
Soebechi, Zaharuddin Utama, dan Sri
Murwahyuni.
Percobaan tawar menawar
putusan
Pada hari yang sama, majelis
kehormatan hakim juga menggelar
sidang dengan terlapor ABS asal PN
Slmn. Awalnya hakim ABS dilaporkan ke
Komisi Yudisial oleh Linus M.E Roymond
Renwarin yang tercatat dalam register
Nomor: 0513/L/KY/VIII/2011. Terlapor
diduga bertemu dengan kuasa hukum
tergugat untuk membahas perkara yang
sedang disidangkan. Ia juga berusaha
melakukan tawar menawar putusan
dengan meminta sejumlah uang kepada
pihak yang berperkara (pelapor ke Komisi
Yudisial) agar dapat dimenangkan dalam
perkara tersebut. Adapun perkara yang
dimaksud yaitu perkara Nomor: 113/
Pdt.G/2010/PN.Slmn. Komisi Yudisial
lantas melakukan pemeriksaan.
Kemudian kesimpulan dari pemeriksaan
diputuskan dalam rapat pleno. Hasilnya,
Komisi Yudisial mengusulkan kepada
Mahkamah Agung agar terlapor dijatuhi
sanksi pemberhentian tetap dengan hak
pensiun.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 48
8/8/2012 1:07:16 PM
Komisi Yudisial menilai terlapor
telah melanggar Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim huruf C butir 1.2.(2), butir
2.1.(1), butir 2.2.(1), butir 3.1.(1), butir
5.1.2, butir 5.1.7, butir 6.1, butir 7.1 dan
butir 9.1. Butir-butir di atas mengatur
ketentuan-ketentuan yang harus
dilakukan hakim antara lain: hakim tidak
boleh berkomunikasi dengan pihak yang
berperkara di luar persidangan, hakim
harus berperilaku jujur dan menghindari
perbuatan tercela, hakim dilarang
menyalahgunakan jabatan untuk
kepentingan pribadi, keluarga atau
pihak lain, hakim harus melaksanakan
pekerjaan sebagai sebuah pengabdian
yang tulus karena amanat sebagai hakim
akan dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam pembelaannya terlapor
menyampaikan pertemuan dengan
kuasa hukum tergugat dilakukan akibat
ia terus menerus diminta bertemu
di luar sidang. Sehingga atas dasar
kemanusiaan terlapor memenuhi
ajakan kuasa hukum tergugat untuk
bertemu dan tertarik melakukan
perbuatan sebagaimana disebutkan
tadi. Pembelaan lainnya, perkara yang
ditangani itu akhirnya diputus sesuai
dengan hasil musyawarah majelis hakim
tanpa ada pengaruh apapun. Terlapor
juga merasa menyesal dan khilaf atas
perbuatan yang ia lakukan.
Setelah mendengarkan
pembelaan diri terlapor majelis akhirnya
memutuskan ABS dimutasikan ke
Pengadilan Tinggi Semarang sebagai
hakim non palu selama dua tahun
dengan akibat hukum dikurangi
tunjangan remunerasi sebesar 100 %
setiap bulan selama dua tahun.
Apa yang diputuskan oleh
majelis kehormatan hakim ini memang
lebih ringan dibandingkan usulan
sanksi yang diajukan Komisi Yudisial
ke Mahkamah Agung. Hal yang
meringankan bagi terlapor yaitu ia
mengakui perbuatannya serta berjanji
tidak mengulangi kesalahannya.
Terlapor yang lahir pada 21 Mei 1972
juga dinilai masih muda sehingga
cukup beralasan bagi terlapor untuk
diberikan kesempatan memperbaiki diri
dan dibina. Dalam persidangan hakim
ABS juga memberikan keterangan yang
tidak berbelit-belit.
S ementara hal-hal yang
memberatkan yaitu perbuatan hakim
terlapor telah merusak citra pengadilan
dan kepercayaan masyarakat akan
dunia peradilan. Selain itu dalam
pembelaannya di hadapan sidang
majelis kehormatan hakim juga tidak
terungkap hal-hal baru yang sudah
didapatkan dari pemeriksaan Komisi
Yudisial. Komposisi majelis kehormatan
hakim untuk kasus ini terdiri dari empat
anggota Komisi Yudisial yaitu Suparman
Marzuki (Ketua Majelis), Taufiqurrohman
Syahuri, Ibrahim, dan Jaja Ahmad Jayus.
Sementara tiga hakim agung yang
menjadi anggota majelis ini yaitu Imam
Soebechi, Zaharuddin Utama, dan Sri
Murwahyuni.
Tabel Pelaksanaan Sidang Majelis Kehormatan Hakim 2011-10 Juli 2012
No.
No. Penetapan
Sidang MKH
Hakim
Terlapor
Tanggal
Putusan
Putusan
1.
01/MKH/IV/2011
ED
24 Mei 2011
Dimutasikan ke PN Jambi
sebagai hakim yustisial
selama 2 tahun.
2.
02/MKH/XI/2011
DS
22
November
2011
Diberhentikan dengan
hormat tidak atas
permintaan sendiri dari
jabatan hakim.
3.
03/MKH/XI/2011
DD
22
November
2011
Diberhentikan tidak
dengan hormat dari
jabatan hakim.
4.
04/MKH/XI/2011
JP
6 Desember
2011
Disiplin ringan berupa
“teguram tertulis dengan
akibat hukumannya
dikurangi tunjangan kinerja
sebesar 75% selama (tiga)
bulan”
5.
05/MKH/XII/2011
HP
4 Januari
2012
Dimutasikan sebagai hakin
non palu 1 tahun
6.
01/MKH/II/2012
ABD
6 Maret
2012
Diberhentikan dengan
hormat tidak atas
permintaan sendiri dari
hakim dan PNS
7.
02/MKH/VII/2012
PS
10 Juli 2012
Diberhentikan dengan
hormat tidak atas
permintaan sendiri dari
jabatan hakim
8.
03/MKH/VII/2012
ABS
10 Juli 2012
Dimutasikan sebagai hakin
non palu ke PT Semarang
dan dikurangi remunerasi
sebesar 100% selama 2
tahun
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 49
49
8/8/2012 1:07:16 PM
KOMPARASI
Rekrutmen dan Pembinaan Hakim
ala Korsel dan Turki
Komisi Yudisial bertolak
ke Korea Selatan dan Turki
guna melakukan studi
banding terkait sistem
seleksi pengangkatan hakim
(termasuk seleksi calon
hakim agung), pendidikan
dan peningkatan kapasitas
hakim, serta pengawasan
hakim. Kunjungan kerja
tersebut berlangsung pada
26 Mei – 4 Juni 2012.
Hasil kunjungan kerja di
Korea Selatan
D
alam kunjungan di Korea
Selatan, tim yang dipimpin
langsung oleh Ketua Komisi
Yudisial Eman Suparman
dan Ketua Bidang Rekrutmen Hakim
Taufiqurrohman Syahuri berkunjung
ke Kementerian Administrasi Peradilan
Nasional (Minister of National Court
Administration) dan Pusat Penelitian dan
Pelatihan Peradilan (Judicial Research and
Training Institute).
Seleksi pengangkatan hakim
dan calon hakim agung di
Korea Selatan
Kehadiran rombongan Komisi
Yudisial ke Kementerian Administrasi
Peradilan Nasional (Minister of National
Court Administration) Korea Selatan
diterima oleh hakim agung Cha Han Sung
50
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ RAY
Hermansyah
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman, Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurrohman Syahuri,
Tenaga Ahli Hermansyah, dan Kepala Biro Seleksi dan Penghargaan Hakim Heru Purnomo berfoto
bersama dengan pejabat Kementerian Administrasi Peradilan Nasional Korean Selatan.
yang juga Menteri Administrasi Peradilan
Nasional Korea Selatan. Dalam kunjungan
ini diperoleh materi seputar sistem dan
kebijakan seleksi pengangkatan hakim
dan calon hakim agung.
Di Korea Selatan, untuk menjadi
hakim harus memenuhi kualifikasi
lulus ujian nasional peradilan (National
Judicial Examination) dan menyelesaikan
program pelatihan selama dua tahun di
JRTI. Sistem ini berlaku sampai dengan
2017. Sementara mulai tahun 2018 2019, hakim diseleksi dari lulusan sekolah
hukum dan mempunyai pengalaman di
bidang hukum selama lima tahun.
Selanjutnya, tahun 2020 - 2021,
hakim akan diseleksi dari lulusan sekolah
hukum dan mempunyai pengalaman
di bidang hukum selama tujuh tahun.
Sedangkan tahun 2022, hakim akan
diseleksi dari lulusan sekolah hukum
dan mempunyai pengalaman di bidang
hukum selama sepuluh tahun. Khusus
untuk menjadi hakim agung, seseorang
harus memenuhi persyaratan, antara lain
berusia minimal 45 tahun dan memiliki
pengalaman di bidang hukum minimal
20 tahun.
Pendidikan dan pelatihan
serta peningkatan kapasitas
hakim di Korea Selatan
Lebih lanjut, rombongan
mencoba menggali lebih dalam
materi seputar sistem dan kebijakan
pendidikan hakim, serta sistem dan
kebijakan peningkatan kapasitas
hakim di Judicial Research and Training
Institute (JRTI). Kedatangan Komisi
Yudisial ke JRTI diterima oleh hakim
Kim, Yi-Su (Presiden JRTI) dan Lee,
Jae Won (Wakil Presiden JRTI) dan
jajarannya. Program pelatihan hakim di
Korea Selatan berlangsung selama
dua tahun, bersifat teoritis dan praktis.
Peserta pelatihan ini diharuskan telah
lulus ujian nasional peradilan (National
Judicial Examination) dan ditunjuk oleh
Ketua Mahkamah Agung.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 50
8/8/2012 1:07:23 PM
Secara garis besar kurikulum
pelatihan yang dilakukan oleh JRTI
pada semester pertama, meliputi studi
teoritis. Sementara semester kedua, selain
studi teoritis ditambah dengan program
externship. Peserta pelatihan di semester
ketiga mengikuti program externship.
Dan di semester keempat, peserta akan
memperoleh pengetahuan secara
komprehensif melalui studi terpadu.
Selain itu, JRTI juga menekankan
pada pendidikan etika hukum. Materi
ini diberikan untuk memastikan bahwa
peserta pelatihan memenuhi tanggung
jawab etika dan sosial dalam melakukan
praktek hukum di kemudian hari.
Sistem pengawasan hakim
di Korea Selatan
Untuk sistem pengawasan hakim
di Korea Selatan dilakukan oleh Inspektur
Jenderal Etika Yudisial (Inspector General
for Judicial Ethics) yang merupakan
salah satu unit kerja di Kementerian
Administrasi Peradilan Nasional.
Inspektur Jenderal Etika Yudisial
ini dibagi menjadi: Director of Judicial
Ethics and Inspection 1, Director of Judicial
Ethics and Inspection 2, dan Director of
Judicial Ethics and Inspection Planning.
Inspektur Jenderal Etika Yudisial ini
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan
dan tindakan dengan mengamati pada
keseluruhan etika yudisial.
Hasil kunjungan kerja di
Turki
hakim dan jaksa yang diselenggarakan
oleh Kementerian Kehakiman Turki.
Selama dua tahun sebagai calon hakim
mereka mengikuti pendidikan dan
latihan di Akademi Kehakiman Turki.
Setalah itu bagi calon hakim yang dinilai
layak berdasarkan hasil seleksi, barulah
ia diangkat sebagai hakim oleh The
High Council of Judges and Prosecutors
(HCJP).
Di Turk i, Komisi Yudisial
mendatangi Akademi Kehakiman Turki
(Justice Academy of Turkey) dan The
High Council of Judges and Prosecutors
(HCJP). Dalam kunjungan ke Akademi
Kehakiman Turki, rombongan diterima
oleh Huseyin Yildirim selaku Presiden
Akademi Kehakiman Turki, beserta
jajarannya. Diskusi tentang sistem
dan kebijakan pendidikan hakim, serta
sistem dan kebijakan peningkatan
kapasitas hakim banyak digali di sini.
Sedangkan kunjungan ke The
High Council of Judges and Prosecutors
(HCJP) diterima oleh unsur Pimpinan
dan Anggota HCJP yang terdiri
dari: Bulent Cicekli, Huseyin Serter,
Rasim Aytin, serta Wakil Sekretaris
Jenderal HCJP Engin Durnagol. Pada
kesempatan ini, rombongan Komisi
Yudisial berdiskusi seputar sistem
dan kebijakan seleksi pengangkatan
hakim (termasuk sistem seleksi calon
hakim agung), sistem dan kebijakan
pengawasan hakim, serta mekanisme
penjatuhan sanksi terhadap hakim.
Pendidikan dan pelatihan
serta peningkatan kapasitas
hakim di Turki
Sistem pendidikan dan latihan
serta peningkatan kapasitas bagi hakim
dan jaksa di Turki dilaksanakan oleh
Akademi Kehakiman Turki.
Secara garis besar program
pelatihan di Akademi Kehakiman
Turki dibagi dalam dua bentuk, yaitu
Initial Training dan In-Service Training.
Untuk Initial Training bagi calon hakim
dan calon jaksa diberikan selama dua
tahun, termasuk empat bulan untuk
persiapan dan empat bulan pelatihan
tingkat akhir.
Sementara untuk In-Service
Training, Akademi Kehakiman Turki
menyelenggarakan kegiatan seperti
kursus-kursus, seminar, simposium,
konferensi dan kegiatan sejenis yang
berkaitan dengan praktik bagi hakim,
jaksa, pengacara dan notaris. Kagiatan
ini ditujukan untuk membantu mereka
dalam meningkatkan profesionalitas,
keterampilan, pengalaman dan
kompetensinya.
Seleksi pengangkatan
hakim di Turki
Di Turki, calon hakim diseleksi
dari lulusan sekolah hukum. Calon
hakim juga diharuskan lulus ujian calon
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ RAY
Sistem pengawasan hakim
di Turki
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman, Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurrohman Syahuri,
Tenaga Ahli Hermansyah, dan Kepala Biro Seleksi dan Penghargaan Hakim Heru Purnomo saat
berkunjung ke The High Council of Judges and Prosecutors (HCJP) Turki.
HCJP juga melakukan
pengawasan bagi hakim dan jaksa,
khususnya oleh Third Chamber HCJP.
Secara teknis pengawasan hakim
ini dilakukan oleh Dewan Inspeksi
(Inspection Board) yang disupervisi oleh
Third Chamber HCJP.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 51
51
8/8/2012 1:07:28 PM
DOTKOM
Laman Harapan dari Pengadilan
Adnan Faisal Pandji
W
ajah pengadilan bisa
dilihat dari berbagai
sudut pandang. Salah
satunya lewat informasi
yang disajikan pengadilan kepada para
pencari keadilan. Kemajuan teknologi
memudahkan pengelola pengadilan
menyampaikan beragam informasi
kepada masyarakat. Hipotesisnya,
semakin banyak informasi yang
dibaca dan dipahami warga semakin
tinggi kualitas penegakan hukum dan
kesadaran hukum.
Karena itu, transparansi dunia
peradilan menjadi keniscayaan.
Transparansi bahkan bisa dijadikan
sebagai bagian dari reward and
punishment. Itulah yang selama enam
tahun terakhir terus dikembangkan
Mahkamah Agung. Perangkat hukumnya
pun disiapkan mulai dari SK KMA No. 144
Tahun 2007 hingga SK KMA 1-144 Tahun
2011.
Laman (website) pengadilan
terus dibangun dan dikembangkan.
Dari 699 pengadilan yang sudah
memiliki laman pada tahun 2010,
meningkat menjadi 751 pada tahun
berikutnya. Ini berarti ada peningkatan
lebih dari 50 pengadilan yang sudah
mempunyai laman. Ironisnya, masih
ada 12 pengadilan yang belum memiliki
52
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ DINAL
Sebuah hasil riset
penilaian terhadap
pengelolaan website
pengadilan tahun 2011
diluncurkan. Siapa
terbaik dan terburuk?
Situs Pengadilan Agama Mempawah Kalimantan Barat.
laman. Penyebabnya mulai dari jaringan
internet hingga status pengadilan
bersangkutan sebagai pengadilan yang
baru dibentuk.
Baru-baru ini Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
meluncurkan buku hasil penilaian
website pengadilan tahun 2011. Menurut
Muhammad Faiz Azis, koordinator
peneliti PSHK yang melakukan penelitian
itu, penilaian laman tak bisa dilepaskan
dari semangat keterbukaan informasi
baik yang diperkenalkan lewat SK
Ketua MA No. 144/KMA/SK/VII/2007
–biasa disebut SK KMA No. 144 Tahun
2007—dan Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi. Penilaian website di
lingkungan peradilan ternyata mendapat
sambutan positif.
Didukung lembaga donor dari
Australia, The Australia-Indonesia
Partnership for Justice (AIPJ), penelitian
dilakukan selama empat bulan
(November 2011 hingga Februari 2012).
Tim memantau satu per satu pengadilan
melalui lamannya. Tim peneliti
memantau apakah setiap laman memuat
tiga jenis informasi yang diamanatkan
peraturan perundang-undangan.
Pertama, informasi yang wajib
diumumkan secara berkala oleh
pengadilan. Kedua, informasi yang wajib
diumumkan hanya oleh Mahkamah
Agung. Ketiga, informasi yang wajib
tersedia setiap saat dan dapat diakses
publik. Skor penilaian terbilang
sederhana.
Ada puluhan jenis informasi yang
dipakai sebagai dasar penilaian. Jika
informasinya lengkap diberi skor 2, jika
tidak lengkap diberi nilai 1, dan jika tidak
ada informasi yang tersedia diberi skor
0. Kriteria penilaian telah dirumuskan
dalam SK Ketua MA No. 1-144 Tahun 2011
dan regulasi lain yang relevan.
Jumlah pengadilan yang dipantau
825 unit, plus beberapa unit kerja di
bawah Mahkamah Agung. Jumlah
itu terdiri dari 67 pengadilan tingkat
banding dan 758 pengadilan tingkat
pertama. Apabila digabung dengan
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 52
8/8/2012 1:07:29 PM
†† BULETIN KOMISI YUDISIAL/ ADNAN
tujuh unit kerja di bawah Mahkamah
Agung, jumlah total lembaga yang
dipantau adalah 832 unit. Jumlahnya
meningkat disbanding penelitian tahun
sebelumnya yang berjumlah 807 unit.
Menurut Azis, ini bukan penilaian
pertama terhadap layanan informasi
melalui situs web pengadilan. Pada 2010
penilaian yang sama dilakukan oleh The
National Legal Reform Program (NLRP)
bekerjasama dengan PT Tata Nusa.
Kini, penilaian dilakukan PSHK. Kriteria
penilaian merupakan salah satu unsur
pembeda. Dulu, hanya ada 16 jenis
informasi yang dinilai, sedangkan kini
ada 46 (pengadilan tingkat banding)
hingga 47 kriteria (pengadilan tingkat
pertama).
Penilaian tahun 2011
memperlihatkan sejumlah hal baru.
Misalnya, peningkatan jumlah laman
pengadilan dan pergeseran pengadilan
terbaik. Tim menyoroti aksesibilitas
laman bagi penyandang cacat.
Jik a dipilah berdasark an
tingkatan dan jenis peradilan, maka
Pengadilan Tinggi Banjarmasin menjadi
yang terbaik di level pengadilan tinggi
umum, sedangkan Pengadilan Negeri
Sleman menjadi nomor wahid di
Situs Pengadilan Tinggi Agama Palembang.
jenjang pengadilan Jumlah Pengadilan yang Websitenya Dinilai Tahun 2011
negeri. Untuk
No.
Jenis Pengadilan
Jumlah Prosentase (%)
peradilan agama,
1.
Pengadilan Tinggi
30
3,64
PTA Palembang
2.
Pengadilan Tinggi Agama
29
3,52
menduduki posisi
3.
Pengadilan
Tinggi
TUN
4
0,48
pertama menggusur
4.
Pengadilan Militer Utama
1
0,12
PTA Yogyakarta.
5.
Pengadilan Militer Tinggi
3
0,36
Sedangkan level
pengadilan agama
6.
Pengadilan Negeri
352
42,67
dimenangkan oleh
7.
Pengadilan Agama
359
43,52
Pengadilan Agama
8.
Pengadilan TUN
28
3,39
(PA) Mempawah.
9.
Pengadilan Militer
19
2,30
Melejitnya
Total
825
100 %
PA Mempawah ke
Sumber: PSHK, 2012
posisi atas dinilai
mengejutkan
karena berdasarkan penilaian tahun dinilai pada tingkat pertama tetapi tidak
2010, PA Mempawah tidak masuk lima dinilai pada tingkat banding.
besar. Di lingkungan peradilan tata
Berdasarkan penilaian,
usaha negara, PT TUN Medan tetap pengadilan terbaik untuk tingkat
menempati posisi nomor wahid di level pertama adalah Pengadilan Agama
banding, sedangkan tingkat pertama Mempawah dengan skor 73. Sedangkan
dimenangkan PTUN Yogyakarta. tingkat banding, the best of the best
Pengadilan Militer Utama Jakarta dan adalah Pengadilan Tinggi Agama
Pengadilan Militer Madiun menjadi Palembang dengan skor 54. Meskipun
yang terbaik di lingkungan peradilan demikian, kedua pengadilan tetap belum
militer.
mencapai skor maksimal 94.
Apapun hasilnya, penilaian
The best of the best
website ini akan memberikan dampak
Tim peneliti PSHK juga positif bagi masyarakat. Menurut M. Faiz
menentukan
Azis, tujuan pokok penelitian adalah agar
pengadilan terbaik masyarakat memperoleh kemudahan
dari yang terbaik. akses dan keterbukaan informasi
Cuma, ada perbedaan di lembaga peradilan, disamping
kriteria penilaian mendorong kepatuhan pengadilan
dibanding penelitian terhadap regulasi keterbukaan
p e r t a m a . P a d a informasi.
tahun 2010, tak ada
Bagi pengadilan, hasil kajian ini
pembedaan tingkat bisa menjadi pendorong untuk lebih
pengadilan. Kini, pada berkompetisi secara sehat memberikan
penelitian kedua, pelayanan terbaik bagi masyarakat. Bagi
tim membedakan Mahkamah Agung, penilaian ini penting
tingkatan pengadilan, untuk melakukan pengawasan.
sehingga melahirkan
Itu pula sebabnya, kata Azis, hasil
dua pengadilan penelitian website pengadilan sudah
yang masuk kategori disampaikan secara resmi ke Mahkamah
the best of the best. Agung. “Kami melakukan audiensi dan
Pertimbangannya
sosialisasi kepada MA setelah kegiatan
ada informasi yang kami selesai,” pungkasnya.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 53
53
8/8/2012 1:07:32 PM
RESENSI
Reformasi Peradilan yang
Berorientasi Sosial
Abdul Halim
Hakim Pengadilan Agama
Bawean, Gresik, Jawa Timur
Buku ini ditulis oleh dua
orang Australia, Cate
Sumner, seorang peneliti
senior tentang isu-isu akses
pada keadilan, hak asasi
manusia dan reformasi
peradilan di Asia dan Tim
Lindsey, seorang profesor
hukum Asia dan Direktur
Pusat Hukum Asia di
Universitas Melbourne,
Australia.
A
da dua hal menarik tentang
peradilan agama dalam
buku ini yang tidak diketahui
banyak orang. Pertama, peran
yang dimainkannya pada masa reformasi
sebagai lembaga yang konsisten
menopang pemahaman Islam moderat, di
tengah kencangnya isu penerapan syariah
Islam di Indonesia pasca lengsernya
Soeharto. Kedua, keberhasilan reformasi
sistem peradilan yang berorientasi sosial,
dengan memperluas dan mempermudah
akses keadilan bagi masyarakat marjinal,
seperti wanita, masyarakat miskin dan
masyarakat yang tinggal jauh di tempat
terpencil, dan keterkaitannya dengan
pembangunan serta program-program
pengentasan kemiskinan. Sehingga para
penulis buku ini seringkali menyatakan
bahwa“reformasi yang terjadi di peradilan
54
Judul Buku :
Penulis :
Tebal Halaman :
Penerbit :
Tahun terbit :
Courting Reform: Indonesia’s Islamic Courts and Justice For The Poor
Cate Sumner & Tim Lindsey
72
Lowy Institute for International Policy
2010
agama memberikan contoh yang baik
untuk reformasi sistem peradilan di
Indonesia pada umumnya dan bahkan
sistem-sistem peradilan Islam di dunia
muslim”.
Peradilan agama pasca
Soeharto
Para penulis memulai buku ini
dengan mengemukakan konsepsi yang
selama ini mereka anggap salah. Persepsi
dunia barat tentang Islam di Indonesia
seringkali didominasi oleh citra minoritas
garis keras yang menuntut sebuah negara
syariah. Dalam kenyataannya, arus utama
institusi-institusi Islam telah memainkan
bagian penting pada masa setelah
kejatuhan Soeharto, dalam demokratisasi
dan pembaruan institusi. Diantaranya
adalah pengadilan agama.
Setelah kejatuhan Soeharto
pada tahun 1998, di bawah supervisi
Mahkamah Agung, hakim-hakim
peradilan agama telah menjaga semangat
dasar negara Pancasila dan penafsiranpenafsiran syariah yang berdasarkan
perundang-undangan resmi negara.
Pendukung Islamisasi yang
konservatif di Indonesia seringkali dikritik
karena sikap keras mereka terhadap
para wanita, seperti dukungan mereka
terhadap larangan berpakaian yang
tidak menutup aurat bagi perempuan,
atau larangan bagi mereka untuk
bepergian secara bebas di tempat umum.
Peradilan agama justru telah melakukan
upaya-upaya hukum untuk meningkatkan
posisi hukum dan kapasitas perempuan
untuk mendapatkan hak-haknya
dalam keluarga. Khususnya hak dalam
berperkara dalam kasus perceraian
dengan cepat dan murah, (hal.8-12).
Meskipun dalam catatan
sejarahnya peradilan ini seringkali
diabaikan, namun keberadaannya dan
keterikatannya dengan masyarakat
pada umumnya lebih dekat secara
individual dibandingkan peradilan lain.
Survey yang dilakukan tentang persepsi
publik sepanjang tahun 2007-2009
terhadap pengguna pengadilan agama,
menunjukkan performa yang konsisten
dan dianggap baik di tengah reputasi
dunia peradilan Indonesia yang sedang
terpuruk.
Pada tahun 2007 dan 2009, para
penulis terlibat dalam survey terhadap
para pengguna peradilan agama, sebagai
bagian dari sebuah proyek penelitian
yang berjudul Access and Equity Study
of the General and Religious Courts.
Penelitian ini didanai oleh Ausaid dan
Indonesia Australia Legal Development
Facility (IALDF). Dari seribu responden
yang disurvey ditemukan bahwa
sebanyak 83,3% responden merasa hakim
mendengarkan mereka. 88,2% responden
merasa mereka dilayani dengan sangat
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 54
8/8/2012 1:07:32 PM
baik oleh para petugas pengadilan.
73% responden merasa para petugas
bersedia dan berkenan menjawab
pertanyaan dan menjelaskan
prosedur-prosedur berperkara. 74%
responden merasa perkara mereka
telah disidangkan secara cepat dan
efisien. 62% responden merasa bahwa
proses persidangan sangat ramah.
Dan terakhir 71,1% menyatakan akan
kembali ke pengadilan agama jika
mereka mengalami sengketa yang
sama di masa yang akan datang, (hal.
13-14).
Banyak hal yang bisa
diperdebatkan dalam survey ini,
namun paling tidak, indikasi-indikasi
ini menunjukkan suatu pernyataan
sikap kepuasan terhadap peradilan
agama sangat baik.
Dari perspektif ini, menurut
para penulis buku ini, peradilan agama
dapat dilihat sebagai institusi peradilan
yang paling berhasil. Dalam beberapa hal,
ini sangat ironis. Sebagaimana peradilan
ini secara historis telah lama diabaikan
oleh pemerintah karena dianggap tidak
lebih penting dari peradilan yang lain.
Dan ketika wajah peradilan di Indonesia
dianggap penuh mafia, peradilan agama
pada umumnya dianggap tidak korup
dan memberikan pelayanan yang baik
bagi para pencari keadilan.
Pe m b a h a s a n awa l b u k u
ini bertujuan untuk memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang
perubahan peranan peradilan agama
yang sama sekali tidak mempengaruhi
tumbuhnya islamisasi dalam sistem
peradilan di Indonesia.
Peradilan agama dan
masyarakat marjinal
Bagian selanjutnya dari buku
ini mencermati peranan krusial yang
dilakukan peradilan agama dalam
program-program pembangunan
pemerintah dan pengentasan
kemiskinan. Bagian ini menguji
bagaimana konsistensi dan korelasi
reformasi di peradilan agama berkaitan
erat dengan reformasi hukum dan
peradilan di Indonesia secara lebih luas,
dan telah menolong para perempuan
dan kelompok masyarakat marjinal
mendapatkan akses yang lebih luas dan
leluasa terhadap pelayanan-pelayanan
publik, khususnya program-program
pengentasan kemiskinan.
Ada tiga perubahan utama yang
dilakukan peradilan agama dalam kurun
waktu empat tahun terakhir. Pertama,
pelayanan yang diberikan. Kedua,
peningkatan transparansi pengadilan
melalui publikasi berita dan informasi
yang terperinci tentang hasil kinerja
dan berbagai aspek pengadilan. Ketiga,
penggunaan tolak ukur baru untuk
meningkatkan akses seluas-luasnya
terhadap pencari keadilan yang biasa
termarjinalkan seperti wanita, orang
miskin dan masyarakat yang bertempat
tinggal di daerah terpencil, (Hal. 17)
Akses terhadap peradilan agama
bagi rakyat miskin telah meningkat
melalui program berperkara gratis
(prodeo). Hampir semua kasus-kasus
prodeo ini melibatkan wanita
sebagai Penggugat. Hal ini sangat
penting karena kasus-kasus hukum
keluarga telah membantu wanita
sebagai kepala keluarga (kurang lebih
14% dari 65 juta kepala keluarga di
Indonesia) untuk melegalkan status
mereka. Implikasinya, ini akan
memfasilitasi akses program-program
kesejahteraan sosial pemerintah,
termasuk bantuan langsung tunai,
jaminan kesehatan, beras bersubsidi
dan pendaftaran anak-anak
untuk bersekolah. Meningkatnya
kemudahan akses pada pengadilan
agama akan membantu memecahkan
siklus kemiskinan yang berurat
akar bagi wanita-wanita kepala
keluarga.
Dalam hal transparansi
dan keterbukaan informasi , pada
tahun 2005 Direktorat Jenderal
Peradilan Agama Mahkamah Agung
tidak mempunyai website. Apalagi 372
pengadilan agama dan pengadilan tinggi
agama di seluruh Indonesia. Namun
saat ini lebih dari 300 website di seluruh
pengadilan agama dan pengadilan
tinggi agama memuat informasi tentang
kinerja pengadilan, statistik penanganan
perkara, putusan dan keadaan para
pegawai pengadilan yang dapat diakses
secara online dengan sangat mudah.
Hal ini mengangkat profil
peradilan agama sebagai sebuah institusi
penting untuk memperluas partisipasi
negara dalam program-program
pro-rakyat miskin karena kewenangannya
dalam menangani perkara-perkara
perdata tertentu.
Peradilan agama di bawah
supervisi Mahkamah Agung sekarang
berdiri sebagai model, bagi pembaruan
peradilan di Indonesia. Bahkan
memberikan pelajaran berharga bagi
peradilan-peradilan Islam di dunia
muslim, yang rata-rata masih konservatif
secara sosial dan agama dibandingkan di
Indonesia. Selamat membaca!
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 55
55
8/8/2012 1:07:33 PM
KONSULTASI HUKUM
Sengketa Pra Yudisial
dan Beracara dalam
Perkara Perdata
A.J. Day, S.H
Tenaga Ahli Komisi Yudisial
Pertanyaan:
S
aya dipidana oleh pengadilan
negeri dengan pidana penjara
selama enam bulan karena
telah menjual tanah milik saya
sendiri warisan dari kakek saya yang
telah meninggal dunia. Karena saya
adalah ahli waris, saya mempunyai
hak menjual tanah tersebut. Yang
mengadukan adalah paman kandung
saya. Saya mengajukan keberatan di
sidang pengadilan, dan menyatakan
bahwa yang saya jual adalah hak saya
sebagai ahli waris. Keberatan saya
diterima oleh hakim dan saya tidak
dijatuhi pidana.
Ternyata paman menggugat
saya di pengadilan yang sama sebagai
tergugat dengan gugatan saya telah
menjual tanah secara tidak sah dan
perbuatan saya adalah melawan
hukum. Merasa diri saya benar, saya
tidak memberi jawaban atas gugatan
tersebut karena pasti saya akan
dimenangkan seperti halnya dalam
perkara pidana. Sesuai dengan adat
kebiasaan yang berlaku, saya tidak
boleh membantah atas keteranganketerangan yang diberikan oleh paman
saya di depan sidang. Ternyata saya
dikalahkan oleh hakim.
Saya oleh jaksa penuntut umum,
diajukan kembali ke pengadilan
karena telah melakukan tindak pidana
melanggar pasal 385 KUHP dan saya
dipidana pula oleh hakim yang dulu
telah menerima keberatan saya bahwa
56
saya adalah pemilik tanah tersebut.
Pertanyaan saya, apa boleh saya dijatuhi
pidana padahal hakim yang sama
telah menerima keberatan saya, dan
mengapa hakim mengabulkan gugatan
paman saya ketika saya digugat padahal
jelas saya adalah ahli waris dan oleh
karenanya saya adalah pemilik tanah
tersebut.
Mengapa hakim tidak
memperhatikan adat kebiasaan kami
yang tidak boleh berbantah dengan
paman sendiri yang kedudukannya
adalah pengganti orang tua saya.
Mengapa saya kemudian dijatuhi
pidana pula padahal saya sudah
kehilangan tanah saya ini berarti saya
dua kali dihukum oleh pengadilan.
Jimi, Jakarta
Jawaban:
Pe r s o a l a n ya n g s a u d a ra
tanyakan menyangkut apa yang disebut
perselisihan pra yudisial dalam acara
pidana ketika saudara diajukan sebagai
terdakwa oleh jaksa penuntut umum.
Persoalan kedua adalah menyangkut
beracara dalam perkara perdata.
Dalam acara pidana yang jelas
saudara telah didakwa melanggar pasal
385 KUHP atau yang dikenal dengan
stellionat yaitu menjual tanah milik
orang lain atau orang lain turut berhak
atas tanah tersebut. Karena dalam
perkara pidana, hakim berkewajiban
mencari kebenaran materiil, yaitu apa
sesungguhnya yang telah terjadi. Maka
dalam upaya mencari kebenaran materiil
inilah, hakim pidana telah menunda
menjatuhkan pidana terhadap saudara
dimana saudara adalah terdakwa. Ini
tidak berarti perkara pidananya sudah
diputus.
Hal inilah yang disebut sengketa
pra yudisial, artinya perlu diselesaikan
terlebih dahulu siapakah pemilik
tanah tersebut. Dalam pemeriksaan
perkara pidana yang berperan adalah
jaksa penuntut umum (JPU), atau JPU
adalah dominus litis. Sehingga JPU lah
yang mendakwa saudara karena telah
melanggar pasal 385 KUHP. Karena
saudara beralasan, bahwa saudara
adalah pemilik tanah yang saudara jual,
maka saudara tidak mungkin dijatuhi
pidana karena menjual tanah sendiri.
Perkara pidana tersebut di
tunda, untuk menunggu putusan hakim
perdata tentang siapakah sebenarnya
pemilik tanah yang dipersengketakan.
Jika saudara oleh hakim perdata di
nyatakan benar adalah pemilik tanah,
maka perkara pidana yang tertunda
akan di lanjutkan dan saudara akan
divonis bebas dari dakwaan.
Sebaliknya, pada perkara
perdata yang menjadi dominus litis
adalah para pihak. Paman saudara
sebagai penggugat dan saudara sebagai
tergugat I dan pembeli sebagai tergugat
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 56
8/8/2012 1:07:35 PM
II adalah dominus litis. Penggugat
dan tergugatlah yang harus berperan
memberikan pembuktian, bukan hakim.
Kalau pada acara pidana yang dicari
adalah kebenaran materiil, pada acara
perdata yang dicari adalah kebenaran
formil, dimana apabila yang dikatakan
oleh pihak yang satu tidak dibantah oleh
pihak lawan maka hal tersebut di terima
sebagai kebenaran, Jika alasan saudara
karena menghormati adat kebiasaan
setempat, tidak membantah apa yang
dikemukakan penggugat yaitu paman
saudara, pasti akan dikalahkan.
Hakim hanya mendengar
apa yang menjadi argumentasi
pihak-pihak dalam bentuk jawaban
gugat dari saudara sebagai tergugat
dan selanjutnya, argumentasi
penggugat yang disebut dengan replik
dan duplik oleh tergugat. Kemudian
masing-masing pihak memberi
kesimpulan beserta bukti-bukti secara
berimbang.
Asas ini disebut asas audi et
alteram atau memberi kesempatan
yang sama bagi kedua belah pihak.
Karena yang dicari pada persidangan
perkara perdata adalah kebenaran
formil. Jika saudara sebagai tergugat
tidak membantah gugatan dan tidak
mengajukan bukti sebagai pemilik tanah
tersebut dan menyerahkan sepenuhnya
kepada hakim maka saudara pasti akan
kalah, walaupun tanah tersebut adalah
milik saudara, pembuktian di sidang lah
yang menentukan.
Pu t u s a n s i d a n g p e r k a ra
pidana pada tahap pertama tersebut
bukanlah putusan akhir, melainkan
hanya penundaan sambil menunggu
putusan perdata yang menentukan
siapa pemilik tanah tersebut. Apabila
dalam perkara perdata dinyatakan
tanah tersebut bukanlah milik saudara
maka proses pidana akan dilanjutkan.
Dan, ternyata dakwaan JPU
dinyatakan terbukti oleh hakim
dan saudara dijatuhi pidana sesuai
ketentuan pasal 385 KUHP. Terhadap
putusan pengadilan negeri tersebut
saudara diberi waktu tujuh hari untuk
menerima atau menolak putusan
tersebut. Apabila saudara menolak
putusan tersebut maka dalam tenggang
waktu tujuh hari tersebut saudara harus
menyatakan penolakan ke pengadilan
melalui panitera yang akan mencatat
permohonan banding. Saudara akan
diberi kesempatan untuk membaca
putusan, serta membuat memori
banding.
Isi memori banding adalah
segala sesuatu yang saudara anggap
sebagai kekeliruan majelis hakim.
Setelah adanya putusan pengadilan
tinggi, saudara masih diberi hak oleh
undang-undang untuk meminta kasasi,
yaitu pemeriksaan oleh Mahkamah
Agung sebagai pengadilan tertinggi
di Indonesia.
Sebenarnya ketika saudara
dikalahkan dalam perkara perdata
saudara juga mempunyai hak yang sama
seperti pada perkara pidana. Karena
saudara sampai dijatuhkan pidana
penjara enam bulan, berarti saudara
tidak menggunakan hak saudara dalam
perkara perdata. Demikian lah sekedar
penjelasan kami semoga saudara puas
adanya. Terima kasih.
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 57
57
8/8/2012 1:07:41 PM
RELUNG
Cangkir yang Cantik
S
epasang kakek dan nenek pergi
belanja di sebuah toko
suvenir untuk mencari
hadiah buat cucu
mereka. Kemudian mata
mereka tertuju kepada
sebuah cangkir yang cantik.
“Lihat cangkir itu,” kata
si nenek kepada suaminya.
“Kau benar, inilah cangkir
tercantik yang pernah aku
lihat,” ujar si kakek.
Saat mereka mendekati
cangkir itu, tiba-tiba
cangkir yang dimaksud
berbicara “Terima kasih
untuk perhatiannya, perlu
diketahui bahwa aku dulunya
tidak cantik. Sebelum menjadi
cangkir yang dikagumi, aku
hanyalah seonggok tanah liat yang
tidak berguna. Namun suatu hari ada
seorang pengrajin dengan tangan kotor
melempar aku ke sebuah roda berputar.
Kemudian ia mulai memutar-mutar
aku hingga aku merasa pusing. Stop ! Stop
! Aku berteriak, Tetapi orang itu berkata
“belum !” lalu ia mulai menyodok dan
meninjuku berulang-ulang. Stop! Stop
! teriakku lagi.Tapi orang ini masih saja
meninjuku, tanpa menghiraukan teriakanku.
Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku
ke dalam perapian. Panas ! Panas !Teriakku
dengan keras. Stop ! Cukup ! Teriakku lagi.
Tapi orang ini berkata “belum !”
Akhirnya ia mengangkat aku dari
perapian itu dan membiarkan aku sampai
dingin.Aku pikir, selesailah penderitaanku.
Oh ternyata belum. Setelah dingin aku
58
diberikan kepada seorang wanita muda
dan dan ia mulai mewarnai aku.Asapnya
begitu memualkan. Stop ! Stop ! Aku
berteriak.
Wanita itu berkata “belum !” Lalu
ia memberikan aku kepada seorang pria
dan ia memasukkan aku lagi ke perapian
yang lebih panas dari sebelumnya!Tolong !
Hentikan penyiksaan ini ! Sambil menangis
aku berteriak sekuat-kuatnya.Tapi orang ini
tidak peduli dengan teriakanku.Ia terus
membakarku. Setelah puas “menyiksaku” kini
aku dibiarkan dingin.
Setelah benar-benar dingin,
seorang wanita cantik mengangkatku dan
menempatkan aku dekat kaca. Aku melihat
diriku. Aku terkejut sekali. Aku hampir
tidak percaya, karena di hadapanku
berdiri sebuah cangkir yang begitu
cantik. Semua kesakitan dan
penderitaanku yang lalu
menjadi sirna tatkala
kulihat diriku.
Sahabat,
dalam kehidupan ini
adakalanya kita seperti
disuruh berlari, ada
kalanya kita seperti
digencet permasalahan
kehidupan.Tapi sadarlah
bahwa lakon-lakon itu
merupakan cara Tuhan
untuk membuat kita
kuat. Hingga cita-cita kita
tercapai. Memang pada saat
itu tidaklah menyenangkan,
sakit, penuh penderitaan, dan
banyak air mata. Tetapi inilah
satu-satunya cara untuk mengubah kita
supaya menjadi cantik dan memancarkan
kemuliaan.
“Sahabat, anggaplah sebagai suatu
kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam
berbagai pencobaan, sebab Anda tahu
bahwa ujian terhadap kita menghasilkan
ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu
memperoleh buah yang matang supaya
Anda menjadi sempurna dan utuh dan tak
kekurangan suatu apapun.”
Apabila Anda sedang menghadapi
ujian hidup, jangan kecil hati, karena akhir
dari apa yang sedang anda hadapi adalah
kenyataan bahwa anda lebih baik, dan makin
cantik dalam kehidupan ini.(disarikan dari
berbagai sumber)
EDISI
JULI - AGUSTUS 2012
VOL. VII - NO. 1
Buletin Juli-Agsts.indd 58
8/8/2012 1:07:44 PM
Download