Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan 136 ISOLASI C. PERFRINGENS TIPE A DARI DAGING SAPI YANG DIJUAL DI BEBERAPA KIOS DAGING DI KOTA BOGOR DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIMIKROBA DWI WINDIANA1, ROCHMAN NAIM2, dan DENNY WIDAYA LUKMAN2 1 Balai Besar Diklat Agribisnis Peternakan dan Kesehatan Hewan Cinagara-Bogor P.O Box 05/Cgb Bogor 16740 2 Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Jl Agatis Kampus IPB Darmaga ABSTRAK Clostridium perfringens merupakan salah satu agen penyebab penyakit asal pangan. Untuk pengujian C. perfringens, sebanyak 33 sampel daging karkas dan daging giling diambil dari dua kios penjualan daging di pasar tradisional dan tiga kios di pasar swalayan. Heat shock pada suhu 75oC selama 15 menit dilakukan pada setiap sampel untuk mengaktivasi spora. Koloni hitam yang terbentuk pada EY-TSC agar diidentifikasi sebagai presumtif positif C. perfringens dan selanjutnya dikonfirmasi menggunakan media motility nitrate dan lactose gelatin. Hasil pengujian menunjukkan semua sampel presumptif positif C. perfringens dan 84,4% diantaranya merupakan C. perfringens tipe A. Spora C. perfringens tidak ditemukan pada sampel. Jumlah sel vegetatif pada daging karkas adalah 2,6 + 1,0 log10 cfu/g dan 3,3 + 1,0 log10 cfu/g pada daging giling. Jumlah C. perfringens pada sampel daging sapi yang diteliti berada di atas ambang Standar Nasional Indonesia (batas maksimum Clostridium spp. pada daging adalah 0 cfu/g). Kejadian C. perfringens pada daging karkas dan daging giling di pasar tradisional lebih tinggi dibandingkan di pasar swalayan. Uji kepekaan terhadap enam jenis antimikroba menunjukkan bahwa isolat C. perfringens tipe A resisten terhadap penisilin dan eritromisin (100%), enrofloksasin (81,5%), tetrasiklin (70,4%), trimetoprim/sulfametoksazol (63%) dan kloramfenikol (52%). Kata kunci: Clostridium perfringens, daging, antimikroba, resisten PENDAHULUAN Clostridium perfringens menyebabkan dua penyakit asal pangan yang berbeda, yaitu C. perfringens klasik tipe A yang menyebabkan diare dan C. perfringens tipe C yang menyebabkan enteritis nekrotik (BRYNESTAD dan GRANUM, 2002). C. perfringens adalah bakteri patogen gram positif, pembentuk spora, non-motil dan mampu tumbuh pada keadaan lingkungan dengan sedikit oksigen (aerotoleran). Beberapa karakteristik C. perfringens yang berkontribusi terhadap kemampuan untuk menimbulkan penyakit, yaitu spora yang mampu bertahan pada suhu pemasakan, waktu generasi yang singkat dalam kondisi pangan hangat, dan kemampuan menghasilkan enterotoksin dalam gastrointestinal manusia (FORSYTHE dan HAYES, 1998). C. perfringens tersebar luas di lingkungan, merupakan bakteri yang umum dijumpai pada isi gastrointestinal hewan maupun manusia, 136 karena itu kontaminasi pada bahan pangan mentah asal hewan sangat sering. Dalam suatu penelitian, C. perfringens ditemukan 50% pada sampel daging sapi giling, 29% pada karkas sapi, 66% pada karkas babi dan 85% pada karkas domba (ZAIKA, 2003). Daging sapi dan ayam adalah pembawa penyakit asal pangan dari C. perfringens tipe A (TAORMINA et al., 2003). Penyakit terjadi akibat enterotoksin diproduksi di gastrointestinal, yaitu setelah teringesti dosis infektif minimal 107 sel vegetatif per gram pangan. Inkubasi penyakit sekitar 8 – 12 jam (6 – 24 jam), dan simptom dimulai dengan terjadinya nyeri abdominal yang akut, diare kadang mual. Meskipun penyakit bersifat self limiting (dapat sembuh sendiri), kematian dapat terjadi, yaitu akibat dehidrasi, yang dijumpai terutama pada individu lemah (BRYNESTAD dan GRANUM, 2002). Diare secara klinis sulit ditentukan penyebabnya, namun sekitar 10 – 20% kasus Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan diare memerlukan terapi antimikroba. Pemilihan antimikroba untuk pengobatan diare tidaklah semata-mata bertujuan untuk menghentikan diare, tetapi juga memerlukan pertimbangan matang yang meliputi efektivitas, efek samping pada penderita serta kemungkinan terjadinya resistensi bakteri. Keputusan untuk memberikan terapi antimikroba pada kasus-kasus diare sangat bergantung pada patomekanisme dan faktor etiologinya (TRIATMODJO, 1994). TUJUAN Mengetahui kejadian C. perfringens tipe A pada daging sapi yang dijual di beberapa kios daging sapi di Kota Bogor dan resistensinya terhadap antimikroba. SASARAN Memberikan masukan pada penanganan daging yang dijual guna meminimalkan kontaminasi daging terhadap sel vegetatif maupun spora C. perfringens tipe A di tempat penjualan daging di kota Bogor. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan penelitian yang digunakan adalah daging sapi yang dijual pada kios daging di dua pasar tradisional dan tiga pasar swalayan di kota Bogor. Sampel daging yang diambil terdiri dari daging bagian depan karkas, daging bagian belakang karkas dan daging giling. Sebagai referensi digunakan isolat murni bakteri C. perfringens tipe A dari BCC 2165 sebagai kontrol positif. METODE Metode penelitian menggunakan sumber data kuantitatif dan kualitatif. Sumber data kualitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner melalui pengamatan keadaan kios daging dan penanganan daging yang dijual. Sedangkan sumber data kuantitatif diperoleh dari isolasi dan enumerasi C. perfringens dengan menggunakan metode kombinasi Brewer Anaerobic Jar (BAJ) (RILEY et al., 1999) dan American Public Health Association (APHA) (LABBE dan HARMON, 1992), uji konfirmasi menggunakan metode APHA dan uji kepekaan C. perfringens tipe A yang diperoleh dari isolat daging terhadap antimikroba menggunakan Metode Difusi dari Kirby-Beuer (CARTER dan COLE, 1990). Isolasi dan enumerasi C. perfringens berdasarkan Metode BAJ Sebanyak 11 gram sampel daging ditambahkan larutan thioglycollate hingga mencapai perbandingan 1 : 10 dan dihomogenkan. Masing-masing larutan sampel diberi perlakuan heat shock (75oC, 15 menit) dan tanpa heat schock. Dilakukan pengenceran serial 10-2 sampai 10-5, kemudian diinokulasikan sebanyak 0.1 ml inokulum pada cawan petri. Dituangkan EY-TSC agar yang telah ditambahakan suplemen D-cycloserine sebanyak 5 ml. Diinkubasikan secara anerobik pada suhu 37oC. Koloni hitam yang tumbuh dihitung sebagai presumtif Clostridium spp, setelah diinkubasi selama 48 jam (RILEY et al. 1999). Jumlah koloni hitam yang dihitung pada cawan petri adalah yang berjumlah antara 20-200 koloni (LABBE dan HARMON, 1992). Uji konfirmasi: Uji motilitas nitrat reduksi Koloni hitam terseleksi ditumbuhkan pada motility nitrate medium. Pada medium ini C. perfringens bersifat non-motil, dan adanya reduksi nitrat ditandai oleh perubahan medium menjadi oranye pekat (4+) (LABBE dan HARMON, 1992). Uji konfirmasi: Uji laktosa gelatin Koloni hitam terseleksi ditumbuhkan pada lactose gelatin medium. Hasil uji reaksi C. perfringens tipe A adalah terjadinya fermentasi laktosa, yaitu terjadi perubahan medium menjadi kuning, terbentuk gelembung gas, medium keruh serta konsistensinya cair (LABBE dan HARMON, 1992). Uji kepekaan C. perfringens tipe A terhadap antimikroba: Metode Difusi–Kirby Beuer Dilakukan uji kepekaan C. perfringens tipe A yang diisolasi dari sampel daging hasil uji konfirmasi terhadap enam jenis antimikroba, 137 Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan yaitu penisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, enrofloksasin dan trimetoprim. Penilaian terhadap kepekaan C. perfringens tipe A diukur dari zona terang yang terbentuk di sekeliling disk (CARTER dan COLE 1990). HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi tempat penjualan daging dan penanganan daging Banyak faktor berkontribusi terhadap kontaminasi C. perfringens pada daging, antara lain kulit, rambut, tanah, isi traktus gastrointestinal, air, polusi udara, dan peralatan yang digunakan pada saat pemotongan hewan. Selanjutnya kontaminasi dapat disebarkan antara lain melalui pisau, sepatu, lap, tangan dan baju (GRACEY, 1986). CRAVEN (2001) berhasil mengisolasi C. perfringens dari sepatu pekerja di suatu peternakan ayam dengan tingkat kontaminasi sebesar 29%. Cuci tangan harus dilakukan setelah menangani pangan mentah, khususnya daging sapi dan ayam, memegang peralatan dan permukaan yang tidak bersih, menggunakan pakaian dan lap kotor untuk memenuhi higiene personal yang bermanfaat dalam mencegah penyebaran bakteri (EFNRA, 1992). Keadaan 138 tersebut dikuatkan oleh penelitian GUYON et al. (2001) yang berhasil mengisolasi E. coli O157:H7 dari celemek dan tangan pekerja yang tidak dicuci selama menangani daging. Ketersediaan alat pendingin di kios daging bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan C. perfringens. C. perfringens merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh optimum pada suhu 43 – 47oC, dimana pada suhu 4oC sekitar 75% sel vegetatif mengalami kerusakan (CRAVEN, 2001). Suhu penyimpanan 0,6oC; 4,4oC, dan 10oC mampu menurunkan tingkat C. perfringens dari 5,68 log10 cfu/gram (0 hari penyimpanan) menjadi 3,26; 3,23 dan 3,37 log10 cfu/gram berurutan selama 7 hari penyimpanan (KALINOWSKI et al. 2003). Presumtif positif C. perfringens Dari tiga lokasi pasar yang diambil sampel, rataan jumlah presumtif positif C. perfringens di daging dijumpai rendah pada pasar swalayan dibandingkan pasar tradisional, sedangkan ditinjau dari jenis daging maka rataan jumlah presumtif positif C. perfringens yang mengkontaminasi daging giling lebih tinggi dibandingkan pada daging karkas (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah presumtif sel vegetatif C. perfringens pada sampel daging sapi yang diperoleh dari pasar tradisional dan pasar swalayan (n = 33) Jenis sampel K-D K-B Rataan karkas D-G Rataan daging giling Jumlah presumtif C. perfringens (log10 cfu/g) (rata-rata ± sb) Rataan pasar Rataan pasar tradisional T-D T-L S-W tradisional dan swalayan 3,18 ± 0,66a 2,37 ± 1,04a 2,77 ± 0,92 1,89 ± 1,69a 2,35 ± 1,15 a a 2,65 ± 0,24 3,04 ± 1,06 2,85 ± 0,74 2,02 ± 0,55a 2,62 ± 0,77 2,91 ± 0,54 a 2,71 ± 1,04 a 2,81 ± 0,81a 1,95 ± 1,13a 2,58 ± 0,96d 3,96 ± 0,63a 3,60 ± 0,96a 3,78 ± 0,77 2,10 ± 0,35b 3,32 ± 1,03 3,96 ±0,63a 3,60 ± 0,96a 3,78 ± 0,77a 2,10 ± 0,35b 3,32 ± 1,03c Keterangan: sb: simpangan baku Huruf superscript yang sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan (α=0,05) T-L : pasar tradisional luar T-D : pasar tradisional dalam S-W : pasar swalayan K-D : bagian depan dari karkas K-B : bagian belakang dari karkas D-G : daging giling Jumlah sampel daging sapi yang presumtif positif C. perfringens dari 33 sampel daging yang diperoleh dari pasar tradisional dan pasar swalayan tinggi, yaitu 32 sampel (97,0%). 138 Berdasarkan SNI No : 01-6366-2000 tentang batas maksimum kontaminasi Clostridium spp. pada daging sapi segar/beku adalah 0 cfu/gram (SNI, 2000), maka hasil penelitian pada daging Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan sapi yang dijual di beberapa kios daging di pasar tradisional dan pasar swalayan di kota Bogor, hanya satu sampel daging yang memenuhi persyaratan, yaitu sampel dari kios daging di pasar swalayan. Rata-rata jumlah presumtif positif C. perfringens yang diisolasi Hasil analisis ragam dan uji wilayah berganda Duncan menunjukkan jumlah presumtif positif C. perfringens yang diisolasi dari bagian depan dan belakang dari karkas di pasar swalayan dan pasar tradisional serta antara pasar tradisional luar dan tradisional sama (P>0,05). Hal ini disebabkan karena penyimpanan daging bagian depan dan belakang dari karkas di pasar tradisional dicampur bahkan dijumpai juga disatukan dengan isi abdomen seperti usus dan rumen. Sedangkan di pasar swalayan meskipun penyimpanan daging depan dan belakang dari karkas dipisah namun penggunaan sarung tangan dan alat penjapit tidak dicuci setiap akan dan sesudah pengambilan daging. Berdasarkan referensi, jumlah koloni bakteri pada karkas bagian depan dijumpai lebih tinggi daripada di bagian belakang karkas. Hal ini dapat dijelaskan bahwa penyimpanan karkas di Rumah Potong Hewan (RPH) menggunakan sistem gantung, sehingga karkas bagian depan lebih sering kontak dengan tangan pekerja daripada karkas bagian belakang. Tangan pekerja yang menangani daging di RPH dapat membawa 2 juta bakteri (CRACEY 1986), dan jumlah koloni bakteri pada bagian kaki depan dari karkas sapi dijumpai sebesar 3,8 log10 cfu/cm2 dan bagian bahu 3,1 log10 cfu/cm2 (UNTERMANN et al., 1997) Hasil analisis ragam dan uji wilayah berganda Duncan menunjukkan jumlah presumtif positif C. perfringens yang diisolasi dari daging karkas dan daging giling di pasar swalayan dan gabungan pasar tradisional dan pasar swalayan berbeda (P<0,05). Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa daging giling menyediakan lingkungan yang menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri, permukaan yang luas dan selama proses penggilingan menyebabkan bakteri terdistribusi secara merata ke seluruh produk. Tingginya jumlah bakteri pada daging giling ditentukan oleh kualitas mikrobiologi daging hasil trimming dan potongan daging yang dimanfaatkan sebagai daging giling, sanitasi selama penggilingan, waktu dan suhu penyimpanan daging giling (EMSWILER, 1976). Bentuk bakteri C. Perfringens yang mengkontaminasi daging Bentuk C. perfringens yang mengkontaminasi sampel daging yang dijual di pasar tradisional dan pasar swalayan adalah sel vegetatif. Keadaan ini menunjukkan nutrisi pada sampel daging yang diperoleh dari pasar tradisional dan pasar swalayan pada saat pengujian masih cukup untuk pertumbuhan C. perfringens, yang berarti fase stationer bakteri belum tercapai. Proses sporulasi secara normal terjadi setelah populasi sel vegetatif memasuki fase pertumbuhan stasioner (FARDIAZ, 1992) dan pada saat spora atau enterotoksin terbentuk (EMSWILER et al. 1976). Pada saat spora atau enterotoksin terbentuk, kemungkinan 95% daging telah mengalami kerusakan (CRAVEN et al. 1981). C. perfringens memiliki rata-rata suhu pertumbuhan 12-50oC dengan waktu generasi 8 menit pada suhu 43-47oC, keadaan ini mendukung C. perfringens tetap tumbuh pada daging selama dijual di pasar tradisional dan pasar swalayan (ICMSF, 1996). Putatif C. perfringens tipe A Konfirmasi terhadap 32 sampel daging yang presumtif positif C. perfringens menunjukkan sebanyak 27 sampel terkontaminasi C. perfringens tipe A (81,82%), sedangkan dari 504 isolat yang diuji, sebanyak 172 isolat adalah C. perfringens tipe A dan memperlihatkan kecepatan pertumbuhan yang bervariatif, yaitu dari 24 jam hingga 72 jam (Tabel 2). Isolasi dari beberapa sampel pangan asal hewan yang diteliti oleh FRUIN (1978), menunjukkan sebanyak 149 isolat dari 152 isolat daging giling sapi (98%), 76 isolat dari 82 isolat daging giling babi (93%), 56 isolat dari 59 isolat daging ayam kalkun (95%) dan 25 isolat dari 29 isolat daging udang (86%) dijumpai positif C. perfringens tipe A. 139 Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan Kecepatan pertumbuhan variatif dari C. perfringens tipe A disebabkan oleh kecepatan kemampuan bakteri di dalam mensintesis substrat (glukosa dan asam amino) untuk pertumbuhannya, disamping terdapat perbedaan masing-masing strain dalam 140 memfermentasi selobiose, gliserol, inulin, raffinosa dan salisin serta perbedaan kemampuan memproduksi protease yang menghidrolisis gelatin dan kasein (OLIVER, 1990). Tabel 2. Hasil konfirmasi isolat C. perfringens yang diperoleh dari daging sapi pada motility nitrate dan lactose gelatin media (n = 504) Kode sampel daging Jumlah isolat KD-TL KD-TD KD-SW KB-TL KB-TD KB-SW DG-TL DG-TD DG-SW 49 79 45 58 68 12 97 86 10 Jumlah 504 Jumlah isolat positif C. perfringens tipe A Clostridium spp. 16 33 23 56 19 26 13 45 29 39 10 2 35 62 24 62 3 7 172 332 Keterangan: T-L: pasar tradisional luar T-D: pasar tradisional dalam S-W: pasar swalayan K-D: bagian depan dari karkas K-B: bagian belakang dari karkas D-G: daging giling Uji kepekaan C. perfringens tipe A terhadap antimikroba Untuk mengetahui resistensi C. perfringens tipe A terhadap antimikroba, dilakukan uji kepekaan terhadap enam jenis antimikroba yang sering digunakan sebagai pilihan dalam mengatasi kasus diare. Hasil uji menunjukkan C. perfringens tipe A resisten terhadap semua antimikroba dengan persentase resisten tertinggi adalah penisilin dan eritromisin (100%), diikuti enrofloksasin (81,48%), tetrasiklin (70,37%), trimetoprim/ sulfametoksazol (62,96%) dan kloramfenikol (51,85%). Diantara keenam jenis antimikroba yang diuji, kloramfenikol menunjukkan resistensi yang terendah, yang berarti kloramfenikol efektif untuk mengatasi kasus diare yang disebabkan oleh C. perfringens tipe A (Gambar 1). 140 Antimikroba yang telah terbukti bermanfaat bagi penyembuhan infeksi sejak awal ditemukan oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, sekarang mulai menimbulkan masalah. Hal tersebut terjadi karena penggunaannya yang terus menerus meningkat dan tidak terkendali dengan baik. Masalah yang perlu mendapat perhatian serius adalah timbulnya resistensi bakteri terhadap antimikroba. Perkembangan resistensi bakteri terhadap antimikroba sangat dipengaruhi oleh intensitas pemaparan. Tidak terkendalinya faktor-faktor dalam penggunaan antimikroba, cenderung akan meningkatkan resistensi bakteri yang semula sensitif (WIJAYA et al. 1987). Kepekaan C. perfringens terhadap antimikroba dari sampel feses babi yang diteliti TEUBER (1999) menunjukkan telah terjadi multiresisten terhadap antibiotika, yaitu tetrasiklin, eritromisin, linkomisin dan Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan Persentase Antimikroba Gambar 1. Grafik persentase resistensi C. perfringens tipe A terhadap enam jenis antimikroba klindamisin. Sedangkan penelitian TRAUB et al. (1986) pada 23 jenis antimikroba, menunjukkan resistensi C. perfringens tipe A terhadap klindamisin, josamisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Penggunaan antimikroba merupakan faktor penyebab penting dalam resistensi bakteri, karena berkorelasi terhadap tingkat perkembangan resistensi dan kuantitas penggunaan antimikroba. Perkembangan resistensi bakteri patogen pada manusia berkaitan dengan penggunaan antimikroba pada manusia sebagai terapi di rumah sakit maupun di masyarakat, sedangkan pada bakteri yang bersifat zoonotik, perkembangan resistensi bakteri berkaitan dengan penggunaan antimikroba pada hewan dan manusia. Kenyataan dijumpai bahwa tekanan yang bersifat selektif lebih tinggi terjadi di hewan daripada manusia, yang menegaskan bahwa perkembangan resistensi bakteri merupakan hasil dari penggunaan antimikroba pada hewan. Penggunaan antimikroba pada hewan selain untuk pencegahan dan kontrol penyakit juga sebagai imbuhan pakan (WEGENER et al., 2000). TEUBER dan PERRETEN (2000), mengemukakan bahwa resistensi antimikroba dari bakteri komensal dan patogen yang potensial merupakan ancaman, karena melalui pangan sifat resistensi dapat dipindahkan dari mikroflora hewan ke mikroflora manusia. KESIMPULAN C. perfringens berhasil diisolasi dari daging yang dijual di pasar tradisional dan pasar swalayan di kota Bogor. Tingkat kejadian C. perfringens tipe A pada daging relatif tinggi berdasarkan jumlah sampel yang positif dari seluruh sampel yang diperoleh dan bentuk yang mengkontaminasi semua daging sapi yang diteliti adalah bentuk sel vegetatif. Daging sapi yang dijual di beberapa kios 141 Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan daging di kota Bogor belum memenuhi persyaratan batas cemaran C. perfringens pada daging segar/beku menurut SNI No : 01-63662000. Tingkat resistensi C. perfringens tipe A terhadap enam jenis antimikroba yang sering digunakan dalam mengatasi kasus diare lebih dari 50%. Kloramfenikol masih cukup efektif sebagai alternatif penanganan kasus diare yang disebabkan oleh C. perfringens tipe A. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih kepada Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Departemen Pertanian dan Yayasan Indonesia Centre for Biotechnology and Biodiversity Bogor atas dana yang diberikan dan bahan praktek yang digunakan dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA BRYNESTAD S, and PE. GRANUM. 2002. Clostridium perfringens and foodborne infections. Int J Food Microbiol. 74:195-202. CARTER GR, and JR. COLE. 1990. Diagnostic Procedures in Veterinary Bacteriology and Mycology. Ed ke-5. San Diego: Academic Press. CRAVEN SE, LC. BLANKENSHIP and JL. MCDONEL. 1981. Relationship of sporulation, enterotoxin formation, and spoilage during growth of Clostridium perfringens type A in cooked chicken. App Environ Microbiol 5:1184-1191. CRAVEN, SE. 2001. Occurrence of Clostridium perfringens in the broiler chicken processing plant as determined by recovery in iron milk. J Food Prot 64:1956-1960. EFNRA. 1992. The Educational Foundation of the National Restaurant Association. Applied Foodservice Sanitation. Ed ke-4. Illimois: The Educational Foundation of the National Restaurant Association. FARDIAZ, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor: PAU Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. FORSYTHE, SJ, and PR. HAYES. 1998. Food Hygiene, Microbiology and HACCP. Gaithersburg Maryland: Aspen Publishers. 142 142 FRUIN JT. 1978. Types of Clostridium perfringens isolated from selected foods. J Food Prot 41:768-769. GRACEY JF. 1986. Meat Hygiene. Ed ke-8. England: Baillere Tindall. ICMSF. 1996. The International Commission on Microbiological Specifications for Foods of the International Union of Biological Societies. 1996. London:Chapman and Hall. KALINOWSKI RM, RB, TOMPKIN, PW, BODNARUK and PRUETT P JR. 2003. Impact of cooking, cooling or survival of Clostridium perfringens in cooked meat and poultry products. J Food Prot 66:1227-1232. LABBE, RG, and HARMON SM. 1992. Clostridium perfringens. Di dalam : VANDERZANT C, and SPLITTSTOESSER DF, editor. Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods. Ed ke-3. Washington: American Public Health Association. OLIVER, DO. 1990. Foodborne Diseases. New York: Academic Press. STANDAR NASIONAL INDONESIA. 2000. SNI No:016366-2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Jakarta:Dewan Standarisasi Nasional. TAORMINA, PJ., BARTHOLOMEW GW and DORSA WJ. 2003. Incidence of Clostridium perfringens in commercially produced cured raw meat product mixtures and behavior in cooked products during chilling and refrigerated storage. J Food Prot 66:72-81. TEUBER, M. and PERRETEN V. 2000. Role of milk and meat products as vehicles for antibioticresistant bacteria. Acta Vet Scand Suppl 93:7587. TRIATMODJO P. 1994. Pola resistensi bakteri enteropatogen terhadap lima jenis antibiotik. Cermin Dunia Kedokteran 72: 36-40. TRAUB WH, KARTHEIN J, and SPHOR M. 1986. Susceptibilty of Clostridium perfringens type A to 23 antimicrobial drugs [abstract]. J Chemother 5:439-45. UNTERMANN, F, STEPHAN R, DURA U, HOFER M, and HEIMANN. 1997. Reliability and practicability nof bacteriological monitoring of beef carcass contamination and their rating within a hygiene quality control programme of abattoirs. Int J Food Microbiol 34:67-77. Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan WITTE, W, TSCHAPE H, KLARE I, and WERNER G. 2000. Antibiotics in Animal Feed. Acta Vet Scand Suppl 93:37-45. WIJAYA E, SUKASEDIATI N, GITAWATI R, and KADARWATI U. 1987. Pola penggunaan antibiotik di beberapa Puskesmas dan beberapa faktor yang berkaitan. Cermin Dunia Kedokteran 46:3-6. WEGENER, HC, AARESTRUP FM, GERNER-SMIDT P, and BAGER F. 1999. Transfer of antibiotic resistant bacteria from man. Acta Vet Scand Suppl 92:51-57. ZAIKA, LAURA L. 2003. Influence of NaCl content and cooling rate on outgrowth of Clostridium perfringens spores in cooked ham and beef. J Food Prot 9:1599-1603. 143