Kadar Secretory Imunoglobulin-E

advertisement
Kadar Secretory Imunoglobulin-E (s-IgE) dan Gambaran Histopatologi Otot Polos
Bronkiolus Pada Hewan Model Tikus (Rattus norvegicus) Asma
Yang Terpapar Lipopolisakarida
Levels of Secretory Immunoglobulin E (s-IgE) and Histopathology of Bronchial
Smooth Muscle in Asthmatic Rat (Rattus norvegicus) Model Exposed by
Lipopolisaccharide
Risang Renanda, Aulanni’am, Dyah K. Wuragil
Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan,
Universitas Brawijaya
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik pada saluran pernafasan. Pada asma terjadi
peningkatan kadar s-IgE, sebagai respon awal terjadinya inflamasi. Inflamasi tersebut akan
mengakibatkan terjadinya hipertropi otot polos bronkiolus. Infeksi rongga mulut mampu menginduksi
inflamasi pada saluran pernafasan. Salah satu sumber infeksi mulut adalah endoktoksin
lipopolisakarida (LPS). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keparahan asma hewan
model tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi lipopolisakarida (LPS) berdasar gambaran hipertropi
otot polos bronkiolus dan kadar s-IgE. Penelitian ini menggunakan tiga kelompok tikus, yang masingmasing terdiri dari 6 ekor tikus, yaitu kelompok kontrol, kelompok asma, dan kelompok asma yang
terpapar LPS. Sensitisasi alergi dilakukan dengan injeksi intraperitonial OVA sebanyak 10 µg/ml
dalam 1,5 mg AlOH3, dilanjutkan dengan nebulasi 1 mg/ml OVA selama 20 menit. Paparan LPS
dilakukan dengan cara menginjeksikan 1 µg/ml LPS bakteri Phorpyromonas ginggivalis pada sulkus
gingiva tikus. Penentuan kadar s-IgE dilakukan dengan menggunakan teknik ELISA sedangkan
gambaran hipertropi otot polos pada bronkiolus diamati secara kualitatif menggunakan mikroskop
BX51. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan hipertropi otot polos secara kualitatif. Kadar
s-IgE meningkat signifikan (p<0,05) pada kelompok asma yang terpapar LPS (9,73±0,24 IU/mL) dan
kelompok asma (5,56±0,25 IU/mL), dibandingkan dengan kelompok normal (2,15±0,14 IU/mL).
Kata Kunci : Asma, LPS, s-IgE, Hipertropi otot polos
ABSTRACT
Asthma is a chronic inflammatory disease in respiratory tract. In asthma increased levels of s-IgE,
in response to the onset of inflammatory. Inflamation causing bronchial smooth muscle hypertrophy.
Oral infection was able to induce inflammation in the respiratory tract. One of infection source in the
oral cavity is lipopolysaccharide (LPS) endoktoksin. This research was conducted to determine
asthma severity in the rat model (Rattus norvegicus) which exposed by Lypopolysaccharide (LPS)
based on bronchial smooth muscle hypertrophy and s-IgE levels. Three groups of rat (Rattus
norvegicus), each groups contain six rats, were used in this research which were control group,
asthma group, and exposed LPS asthma group. Allergy sensitization was conducted by intraperitonial
injection of 10 μg/ml ovalbumin (OVA), emulsified in 1,5 mg AlOH 3, followed by 20min 1mg/ml
OVA by nebulizer. LPS exposure was conducted by injection of 1µg/ml Phorpyromonas ginggivalis
LPS in rat’s gingival sulcus. Determination of s-IgE levels was done by using ELISA and
histopatological observations of the bronchial smooth muscle using BX51 microscope. The result
showed, bronchial smooth muscle hypertrophy was increased qualitatively. The s-IgE levels was
increased significantly (p<0,05) in LPS asthma group (9,73±0,24 IU/mL) and asthma group
(5,56±0,25 IU/mL), compared with normal group (2,15±0,14 IU/mL).
Keywords: Asthma, LPS, s-IgE, smooth muscle hypertrophy
1
imun tubuh sebagai alergen (Schwartz,
2002). Lipopolisakarida pada infeksi
rongga mulut yang berperan
sebagai
alergen dapat memodulasi terjadinya
inflamasi pada saluran pernafasan.
Dari paparan tersebut, maka perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui dan
mempelajari apakah LPS berpengaruh
terhadap tingkat keparahan asma pada
hewan coba Rattus norvegicus, tingkat
keparahan asma dinilai berdasarkan kadar
s-IgE dalam fungsinya sebagai respon
awal dan respon
lanjut
saluran
pernafasan terhadap alergen dan hipertropi
otot polos pada bronkiolus sebagai
indikator keparahan jaringan paru akibat
proses inflamasi pada kasus asma.
Pendahuluan
Asma merupakan penyakit inflamasi
kronik saluran pernafasan yang dapat
mengakibatkan terjadinya penyempitan
saluran pernafasan. Prevalensi asma
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain umur penderita, jenis kelamin, alergi,
keturunan, dan lingkungan (Iskandar,
2006). Asma ditandai dengan adanya
inflamasi saluran pernafasan yang dipicu
dengan meningkatnya produksi sitokin
pro-inflamasi. Sekresi sitokin proinflamasi memicu diferensiasi dan
pengerahan eosinofil, sel mast, basofil
serta produksi secretory-imunoglobulin E
(s-IgE) oleh sel B (Akbari, et al., 2006).
Studi pada populasi penderita asma
menunjukkan adanya hubungan antara
asma dengan kadar s-IgE dalam serum
total (Sunyer et al., 1996). Secretoryimunoglobulin E memiliki peran yang
penting
dalam
inflamasi
saluran
pernafasan sebagai respon awal.
Pada penderita asma, gejala yang selalu
tampak adalah terjadinya peningkatan
frekuensi
pernafasan.
Peningkatan
frekuensi pernafasan ini diakibatkan
karena terjadinya penyempitan jalan nafas
akibat terjadinya remodelling jalan nafas
sehingga udara yang masuk kedalam tubuh
menjadi terbatas. Salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya remodelling jalan
nafas karena adanya penyempitan lumen
dari bronkiolus, terjadinya penyempitan
tersebut diakibatkan adanya penebalan otot
polos (hipertropi otot polos) sekitar
bronkiolus.
Hasil studi epidemiologi menyebutkan
bahwa lipopolisakarida (LPS) dari bakteri
Gram negatif dapat menginduksi inflamasi
pada saluran pernafasan,
peningkatan
jumlah LPS pada lingkungan memiliki
korelasi positif dengan peningkatan
kejadian asma (Strohmier et al., 2001).
Menurut Utomo (2006), bahwa 80%
bakteri yang terdapat di rongga mulut
adalah bakteri Phorpyromonas ginggivalis,
bakteri tersebut adalah bakteri Gram
negatif. Lipopolisakarida yang masuk
kedalam tubuh akan direspon oleh sistem
Materi dan Metode Penelitian
Perlakuan Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan dalam
penelitian ini berupa tikus (Rattus
norvegicus) jantan strain wistar yang
terbagi dalam tiga kelompok perlakuan
yaitu kelompok kontrol, kelompok asma
dan
kelompok
asma
terpapar
lipopolisakarida. Hewan coba diperoleh
dari
Unit
Pengembangan
Hewan
Percobaan (UPHP) UGM Yogyakarta
dengan umur 8-12 minggu dan berat badan
antara 150-250 gram serta telah
mendapatkan sertifikat laik etik dari
Komisi Etik Penelitian Universitas
Brawijaya No. 77-KEP-UB.
Pembuatan Hewan Model Asma
Tahap pertama pembuatan hewan
model asma dilakukan dengan injeksi
ovalbumin
(Sigma-Aldrich,
Nomer
Katalog: A5503) pada hari ke-1 dan ke-14
secara intraperitoneal sebanyak 10 μg/ml
dalam AlOH3 dalam PBS (phosphate
buffer saline). Tahap kedua dilakukan
inhalasi ovalbumin dalam NaCl steril
dengan dosis 1 mg/ml selama 20 menit
yang dilakukan pada hari ke-21 dengan
menggunakan
Omron
CompAir
Compressor Nebulizer.
2
Pengukuran Kadar s-IgE dengan Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Pemeriksaan dengan ELISA, pertama
dilakukan dengan
coating microplate
dengan 50 µL ovalbumin selama 24 jam
pada 400C,
kemudian dicuci dengan
washing buffer tiga kali. 100 µL sampel
serum dan standar IgE (IgE-Sigma USA)
dimasukkan dalam
well, kemudian
dicuci dengan washing buffer tiga kali.
Anti IgE biotin conjugate (Sigma-USA)
ditambahkan pada masing- masing well
sebanyak 50 µL dan dilakukan inkubasi
selama 60 menit, kemudian dicuci dengan
washing buffer tiga kali. Strep avidinHorseradish
Peroxidase
(SA-HRP)
ditambahkan pada masing-masing well
sebanyak 50 µL dan dilakukan inkubasi
selama 40 menit, dicuci dengan washing
buffer tiga kali, kemudian ditambahkan
tetramethylbenzidine (TMB) sebanyak 50
µL/well dan diinkubasi selama 20 menit.
Stop
reaction
dilakukan
dengan
menambahkan NaOH 3M sebanyak 50
µL/well selama 10 menit, dan kemudian
micro plate dibaca dengan menggunakan
ELISA Reader pada panjang gelombang
450 nm.
Pengamatan Gambaran Otot Polos
Bronkiolus
Pengambilan organ paru tikus
dilakukan pada hari ke-21 setelah inhalasi
OVA untuk pembuatan preparat
hematoksilin eosin. Gambaran
histopatologi otot polos bronkiolus diamati
secara kualitatif menggunakan mikroskop
Olympus BX51 dengan perbesaran 200x
dan 400x.
Hasil dan Pembahasan
Terjadinya asma pada suatu individu
sangat erat kaitannya dengan kadar
secretory-immunoglobulin E (s-IgE) dalam
total serum. Tingkat keparahan asma
berbanding lurus dengan peningkatan
kadar s-IgE dalam total serum, hal ini
menunjukkan
terjadi
peningkatan
inflamasi pada saluran pernafasan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, terlihat
terjadi peningkatan kadar s-IgE seperti
yang terlihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 1. Perbandingan rata-rata kadar s-IgE (IU/mL) pada kelompok tikus percobaan
3
Pada
kasus
asma
terjadi
hiperresponsifitas pada saluran pernafasan.
Hiperresponsifitas tersebut
ditandai
dengan peningkatan kadar s-IgE sebagai
respon imun awal dalam total serum.
Kelompok tikus kontrol yang tidak
diberikan perlakuan memiliki kadar s-IgE
sebesar 2,15±0,14 IU/mL sedangkan pada
kelompok tikus asma yang diberikan
paparan berupa ovalbumin tanpa LPS
memiliki kadar s-IgE sebesar 5,56±0,25
IU/mL. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Chu et al (2012), bahwa kadar s-IgE pada
tikus dikatakan menderita asma apabila
kadarnya diatas 3,95 IU/mL. Hal tersebut
membuktikan bahwa paparan OVA secara
intraperitonial dan inhalasi mampu
menimbulkan
asma
pada
Rattus
norvegicus. Hal tersebut serupa dengan
penelitian yang dilakukan oleh Liu et al,
(2005), bahwa tikus putih (Rattus
norvegicus) untuk model asma dihasilkan
dengan cara melakukan induksi asma
dengan pemberian ovalbumin (OVA).
Pada tikus asma yang dipapar LPS
memiliki kadar s-IgE sebesar 9,73±0,24
IU/mL, dari hasil tersebut membuktikan
bahwa adanya paparan LPS pada rongga
mulut dapat memperparah kondisi asma.
Derajat inflamasi pada asma akan
meningkat seiring dengan adanya paparan
LPS. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
telah dilakukan Jung et al (2006), bahwa
LPS memiliki potensi untuk memodulasi
terjadinya
inflamasi
pada
saluran
pernafasan.
Perbedaan yang signifikan (p<0,05)
terjadi antara kelompok tikus kontrol,
kelompok asma dan kelompok asma yang
dipapar LPS. Hal ini menunjukkan bahwa
paparan LPS pada sulkus gigi berpengaruh
terhadap kadar s-IgE dalam total serum
tikus yang menderita asma. Penelitian
Malik et al. (2008) menunjukkan terjadi
peningkatan
ekspresi
(upregulation)
sitokin IL-4 dan IL-13 pada hewan coba
asma yang disensitisasi dengan ovalbumin.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa
hewan coba asma yang disensitisasi
dengan ovalbumin memberikan respon
melalui jalur T helper 2 (TH2) pada fase
awal induksi asma. Kedua sitokin tersebut
mengaktifkan
sel
B,
sehingga
memproduksi s-IgE yang selanjutnya
menyebabkan
terjadinya
inflamasi.
Adanya peningkatan kadar s-IgE secara
signifikan membuktikan bahwa pemberian
LPS dengan dosis 1µg/mL yang
diinjeksikan kedalam tubuh tikus direspon
oleh sistem imun tubuh melalui jalur Th2.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Keun Kim et al (2007)
bahwa pemberian LPS dosis rendah (0,1
μg dan1 μg) akan menginduksi asma tipe 2
yang ditandai dengan hiperesponsivitas
saluran pernapasan, inflamasi eosinofil,
dan peningkatan regulasi IgE.
Adanya respon imun melalui jalur Th2
membuktikan bahwa LPS yang masuk
kedalam tubuh akan berikatan dengan
reseptor LPS berupa TLR4, hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Darveau et al (2004), yang menyebutkan
aktivasi Th2 sebagai respon terhadap LPS
diawali dengan terjadinya ikatan antara
LPS dengan TLR4. Eisenbarth (2002),
menyebutkan bahwa reseptor TLR4 yang
telah berikatan dengan LPS akan mengikat
protein MD2, kompleks TLR4+MD2
dapat menginduksi terjadinya peningkatan
aktivasi sel dendrit dan Th2, yang
selanjutnya sel dendrit akan merangsang
sel Th2 untuk
memproduksi sekresi
sitokin berupa IL-13 dan IL-4, kedua
sitokin
tersebut
berfungsi
untuk
memodulasi sistem humoral. Salah satu
respon sistem imun humoral adalah
produksi imunoglobulin E (IgE), sekresi
sitokin berupa IL-13 dan IL-4 akan
mengaktivasi sel B untuk memproduksi
IgE. Adanya peningkatan aktivasi sel
dendrit pada kondisi asma oleh karena
adanya paparan LPS akan menyebabkan
terjadiya peningkatan kadar s-IgE sehingga
akan memperparah kondisi asma.
Peningkatan inflamasi akibat paparan
LPS yang berujung pada semakin
parahnya kondisi asma juga terlihat dari
peningkatan
hipertropi
otot
polos
4
bronkiolus seperti yang terlihat pada
gambar di bawah ini :
A
B
Keterangan.
Struktur Histologi bronkiolus tikus
(200x); kontrol negatif asma (A); asma
tanpa paparan LPS (B), dan asma
dengan paparan LPS (C); otot polos
bronkiolus (tanda panah hitam), insert
struktur lapisan otot polos bronkiolus
(400x); bar 50μm.
C
Gambar 2. Gambar otot polos bronkiolus pada histopatologi paru tikus
Berdasarkan
penampang
preparat
bronkiolus
dengan
pewarnaan
Hematoksilen-Eosin (Gambar 2), diketahui
bronkiolus kelompok tikus kontrol
(Gambar 2.A) terdiri atas gambaran
normal lapisan epitel semu silindris
bersilia, selapis otot polos, dan sedikit sel
mononuklear yang berada pada struktur
parenkima peribronkial. Remodeling jalan
nafas tampak pada tekstur histologi
bronkiolus pada kelompok tikus asma hasil
induksi OVA (Gambar 2.B), perubahan
struktur otot polos dengan terjadinya
hipertropi tampak pada kelompok tikus
asma sehingga pada potongan melintang
mengalami pelebaran permukaan potongan
melintang. Ini membuktikan bahwa
paparan OVA secara injeksi dan inhalasi
dapat menimbulkan kondisi inflamasi
pada saluran pernafasan tikus dan berujung
pada terjadinya asma.
Lipopolisakarida merupakan salah satu
alergen yang berasal dari bakteri Gram
negatif diketahui dapat menginduksi
terjadinya
inflamasi
pada
saluran
pernafasan sehingga memperparah kondisi
asma (Utomo, 2006). Hal tersebut tampak
pada lapisan otot polos bronkiolus yang
mengalami hipertropi hingga mencapai
28,89µm pada tikus asma yang diberikan
paparan LPS secara intrasulkuler (Gambar
2.C). Terjadinya keparahan hipertropi otot
polos tersebut membuktikan bahwa LPS
dapat memperparah kondisi inflamasi jalan
nafas melalui peningkatan aktivitas sel
dendrit dan juga sel Th2.
Sel T helper 2 (Th2) merupakan sel
yang
bertanggung
jawab
terhadap
inflamasi saluran pernafasan.Sel Th2 akan
menginduksi sel B untuk melakukan
produksi imunoglobulin E (IgE) yang
nantinya akan berperan sebagai pengikat
antigen yang masuk kedalam tubuh. Rifa’i
5
(2011) menyebutkan adanya IgE didalam
sirkulasi darah akan memberikan sinyal
kepada sel mast untuk teraktivasi. IgE
kemudian akan berikatan dengan sel mast
pada reseptor Fc€RI yang terletak pada sel
mast. Kompleks sel mast IgE akan memicu
terjadinya produksi sitokin pro inflmatori.
Dalam
penelitian
yang
dilakukan
Belmonte (2005) disebutkan bahwa sitokin
pro inflamatori akan merangsang sekresi
asetilkolin
dari
saraf
parasimpatis
meregulasi nada saluran pernafasan,
hipertropi otot polos saluran pernafasan,
dan vasodilatasi, melalui interaksi dengan
muscarinic
asetilcholin
receptors
(mAChRs) yang terdapat di otot polos
saluran pernafasan. Asetilkolin dan enzim
yang
disintesis
yaitu
choline
acetyltransferase (ChAT) terdapat pada
limfosit, makrofag, sel-sel mast, eosinofil,
dan neutrofil (Gosen, et al., 2006).
Muscarinic
asetilcholin
receptors
(mAChRs) merupakan reseptor yang
berfungsi meregulasi sekresi asetilkolin.
Reseptor muskarinik yang terlibat dalam
saluran pernafasan adalah M2 dan M3.
Reseptor
muskarinik
menginduksi
kontraksi otot polos saluran pernafasan
melalui sejumlah mekanisme signal
intraseluler.
Asetilkolin
(ACh)
disekresikan oleh saraf parasimpatik,
berikatan dengan M3 mAChRs pada otot
polos saluran pernafasan, sehingga
menyebabkan hipertropi.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa
hipertropi otot polos sebagian besar
disebabkan oleh peningkatan aktivitas
saraf parasimpatis yang dimediasi oleh
reseptor muskarinik. Hal ini sesuai dengan
pendapat yang diutarakan oleh Belmonte
(2005), bahwa
mAChRs (muscarinic
acetylcholine receptors)
merupakan
reseptor protein berpasangan, dengan
asetilkolin sebagai ligan. Asetilkolin
mengikat reseptor muskarinik dan
menginisiasi jalur informasi dalam sel.
Ikatan antara reseptor muskarinik M2
dengan asetilkolin mereduksi pengeluaran
asetilkolin. Peningkatan sekresi asetilkolin
dari saraf terminal kolinergik dan ekpresi
reseptor muskarinik abnormal serta
gangguan pada reseptor muskarinik M2
merupakan
salah
satu
penyebab
meningkatnya penebalan otot polos
bronkiolus
pada
pasien
asma
(Belmonte,2005).
Adanya paparan LPS yang masuk ke
dalam tubuh akan direspon oleh Toll-Like
Receptor-4 (TLR-4) dan
protein
ekstraseluler, yaitu LPS Binding Protein
(LBP). TLR4 yang telah berikatan dengan
molekul LPS akan membentuk kompleks
dengan MD2. Kompleks TLR4+MD2
tersebut akan meningkatkan regulasi pada
sel dendrit dan juga sel Th2 (Eisenbarth,
2002). Adanya peningkatan aktivasi pada
sel dendrit dan Th2 akan membuat sel B
memproduksi IgE dalam jumlah yang
cukup besar. Peningkatan jumlah IgE yang
cukup signifikan akan merangsang saraf
parasimpatis menjadi lebih aktif. Menurut
Bara (2010), adanya peningkatan aktivasi
saraf
parasimpatis
terebut
akan
menyebabkan sel-sel otot polos bronkiolus
menjadi lebih aktif untuk melakukan
penambahan massa. Penambahan massa
yang lebih masif tersebut membuat jalan
nafas menjadi lebih sempit, sehingga udara
yang masuk menjadi sangat terbatas dan
kondisi asma akan menjadi semakin parah.
Kesimpulan
Terjadi peningkatan hipertropi otot
polos
bronkiolus
pada
gambaran
histopatologi paru dan peningkatan kadar
s-IgE pada hewan model tikus (Rattus
norvegicus) asma yang terpapar LPS. Hal
tersebut membuktikan bahwa paparan LPS
dapat memperparah keadaan asma dengan
memodulasi inflamasi.
Ucapan Terimakasih
Terimakasih kepada Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah
mendanai
penelitian
ini
sehingga
penelitian ini dapat selesai sesuai dengan
yang direncanakan. Terimakasih kepada
Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES dan Ibu
Dyah Kinasih Wuragil, S,Si., M.P., M.Sc,
Mas Hilman Fuadil Amin, Galuh P
6
Prameswari serta staf Laboratorium
Biokimia dan Laboratorium Fisiologi
Hewan Fakultas MIPA, Universitas
Brawijaya atas dukungan, bantuan, dan
kerjasama yang luar biasa untuk
penyelesaian penelitian ini.
Gosen, R., J. Zaagsma, H. Meurs and A.J.
Halayko. 2006. Muscarinic Reseptor
Signaling in the Pathophisiology of
Asthma and COPD. Respiratory
Research, Vol. 7 No. 73.
Iskandar, Y. 2006. Tanaman Obat yang
Berkhasiat
Sebagai
Antiasma
Bronkhial. Universitas Padjajaran:
Jatinangor
Daftar Pustaka
Akbari,O.,L.John, M.D.Faul, E.G. Hoyte,
G.J.Berry,
J.Wahlström,M.
Kronenberg, R.H. DeKruyff, and D.T.
Umetsu. 2006. CD4+ Invariant TCell–Receptor+ Natural Killer T Cells
in Bronchial Asthma. The New
England Journal of Medicine.
Jung, Y.W., T. R. Schoeb., C.T. Waever.,
and D.D. Chaplin. 2006. Antigen and
Lipopolysaccharide Play Synergistic
Roles in the Effector Phase of Airway
Inflammation in Mice. American
Journal of Pathology 168 (5)
Bara I, A.Ozier, and P.Berger. 2010.
Pathophysiology of bronchial smooth
muscle remodelling in asthma. Eur
Respir J 2010; 36: 1174–1184
Keun Kim, Y., S. Young Oh., S. Gyu
Jeon., H. Woo Park., S. Yeon Lee., E.
Young Chun., B. Bang., H. Seung
Lee., M. Hee Oh., Y. Sun Kim., J.
Hoon Kim., Y. Song Gho., S. Heon
Cho., K. Up Min., Y. Young Kim.,
and Z. Zhu. 2007. Airway Exposure
Levels
of
Lipopolysaccharide
Determine Type 1 versus Type 2
Experimental Asthma. The Journal of
Immunology 178: 5375-5382
Belmonte, K.E. 2005. Cholinergic
Pathways in the Lungs and
Anticholinergic Therapy for Chronic
Obstructive Pulmonary Disease.
Chu, X, Y. Deng, and Q. Cai. 2012.
Different Effects of Farrerol on an
OVA-Induced Allergic Asthma and
LPS-induced Acute Lung Injury. PloS
One April 2012. Volume 7 : Issue 4
Liu S, K,Chihara and K,Maeyama . 2005.
The contribution of mast cells to the
late-phase of allergic asthma in rats.
Inflamm Res 2005; 54:221–8.
Darveau, R.P., T.T. Pham, K. Lemley,
R.A. Reife, B.W. Bainbridge, S.R.
Coats, W.N. Howald, S.S.Way, and
A.M.Hajjar. 2004. Porphyromonas
gingivalis
Lipopolysaccharide
Contains Multiple Lipid A Species
That Functionally Interact with Both
Toll-Like Receptors 2 and 4. Infect.
Immun. 72(9) : 5041–5051.
Malik, R., P. Priyadarsiny, R. Shirumalla,
R. Soni, A. Ray, and K. Saini. 2008.
Gene
Expression
Profile
of
Ovalbumin-Induced
Lung
Inflammation in a Murine Model of
Asthma. J Investig Allergol Clin
Immunol 18(2): 106-112.
Eisenbarth, S.C., D.A. Piggott., J.W.
Huleatt., I. Visintin., C.A. Herrick.,
and
K.
Bottomly.
2002.
Lipopolysaccharide-enhanced, Tolllike Receptor 4–dependent T Helper
Cell Type 2 Responses to Inhaled
Antigen. J Exp Med 196 (12): 16451651
Rifa’i, M. 2011. Alergi and Hipersensitif.
Diktat konsep alergi and hipersensitif.
Fakultas Matematika and Ilmu
Pengetahuan
Alam,
Universitas
Brawijaya.
7
Schwartz, D. A. 2002. The Genetics of
Innate Immunity. Chest Journal 121 :
62S–68S
Sunyer, J., J.M. Antó, J. Castellsagué, J.B.
Soriano, and J. Roca. 1996. Total
Serum IgE is Associated with Asthma
Independently of Specific IgE Levels.
Eur Respir J 9 : 1880–1884.
Strohmeier, G.R., J.H. Walsh, E.S. Kling,
H.W. Farber, W.W. Cruikshank, D.M.
Center,
M.J.
Fenton.
2001.
Lipopolysaccharide Binding Protein
Potentiates Airway Reactivity in a
Murine Model of Allergic Asthma. J.
Immunol. 166 : 2063-2070
Utomo, H. 2006. Management of Oral
Focal Infection in Patients with
Asthmatic Symptoms. Dent. J. (Maj.
Ked. Gigi) 39(3) :120–125.
8
Download