BAB II KAJIAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Kendaraan Bermotor
Kendaraan
bermotor
adalah
kendaraan
yang
digerakkan
oleh
peralatan teknik untuk pergerakkannya, dan digunakan untuk transportasi darat.
peralatan teknik yang dimaksud dapat berupa motor atau peralatan lainnya yang
berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga
gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan dan terpasang pada tempat sesuai
dengan fungsinya. Kendaraan bermotor memiliki roda, dan biasanya berjalan di
atas jalanan. Jenis kendaran bermotor diantaranya yaitu sepeda motor dan mobil
(Abidin, 2012).
Sepeda
motor adalah kendaraan beroda
dua
yang digerakkan
oleh
sebuah mesin. Letak kedua roda sebaris lurus dan pada kecepatan tinggi sepeda
motor tetap stabil disebabkan oleh gaya giroskopik. Sedangkan pada kecepatan
rendah, kestabilan atau keseimbangan sepeda motor bergantung kepada
pengaturan setang oleh pengendara. Penggunaan sepeda motor di Indonesia sangat
populer karena harganya yang relatif murah, terjangkau untuk sebagian besar
kalangan dan penggunaan bahan bakarnya serta serta biaya operasionalnya cukup
hemat (Lidiawati, 2012).
7
8
Mobil adalah kendaraan yang digerakan oleh tenaga mesin, beroda empat
dan menggunakan bahan bakar minyak (bensin atau solar) untuk menghidupkan
mesin. Tenaga mesin dihasilkan dari hasil pembakaran diteruskan ke roda mobil
untuk menggerakan mobil. Jika dipisahkan dalam beberapa komponen maka
mobil terdiri dari Mesin (sumber tenaga), Penggerak, Rem, dan kelengkapan
lainnya (Anata, 2013).
Sektor transportasi mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap
sumber energi. Seperti diketahui penggunaan energi inilah yang terutama
menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Hampir semua produk energi
konvensional dan rancangan motor bakar yang digunakan dalam sektor
transportasi masih menyebabkan dikeluarkannya emisi pencemar ke udara.
Penggunaan BBM (Bahan Bakar Minyak) bensin dalam motor bakar akan selalu
mengeluarkan senyawa-senyawa seperti CO (karbon monoksida), THC (total
hidro karbon), TSP (debu), NOx (oksida-oksida nitrogen) dan SOx (oksida-oksida
sulfur). Premium yang dibubuhi TEL, akan mengeluarkan timbal. Solar dalam
motor diesel akan mengeluarkan beberapa senyawa tambahan di samping senyawa
tersebut di atas, yang terutama adalah fraksi-fraksi organik seperti aldehida, PAH
(Poli Alifatik Hidrokarbon), yang mempunyai dampak kesehatan yang lebih besar
(karsinogenik), dibandingkan dengan senyawa-senyawa lainnya (Rachmania,
2010).
9
2.2
Polusi Udara
Udara adalah zat yang paling penting setelah air dalam kehidupan di
permukaan bumi ini. Udara merupakan campuran mekanis dari bermacam-macam
gas. Komposisi normal udara terdiri dari gas Nitrogen 78,1 %, Oksigen 20,93%,
Karbondioksida 0,03%. Selebihnya berupa gas Argon, Neon, Kripton, Xenon dan
Helium serta mengandung uap air, debu, bakteri, spora dan sisa tumbuhtumbuhan. Masalah pengotoran udara sudah lama menjadi masalah kesehatan
pada masyarakat, terutama di Negara-negara industri, tempat banyak terdapat
pabrik dan kendaraan bermotor. Sebenarnya udara sendiri cenderung mengalami
pencemaran oleh kehidupan dan kegiatan manusia serta proses alam lainnya,
namun dalam batas-batas tertentu, alam mampu membersihkan udara dengan cara
membentuk suatu keseimbangan ekosistem yang disebut Removal Mechanism.
Proses yang terjadi dapat berupa pergerakan udara, hujan, sinar matahari, dan
fotosintesis pada tumbuh-tumbuhan. Pada suatu keadaan terjadinya pencemaran
yang melebihi kapasitas kemampuan alam untuk membersihkan dirinya sendiri
maka akan membahayakan kesehatan manusia dan memberikan dampak yang luas
terhadap fauna, flora dan terhadap ekosistem yang ada (Chandra, 2009).
Polusi Udara atau pencemaran udara adalah masuknya komponen lain ke
dalam udara baik oleh kegiatan manusia secara langsung atau tidak langsung
maupun proses alam sehingga kualitas udara turun sampai ke tingkat tertentu yang
dapat menyebabkan lingkungan menjadi kurang baik. Sedangkan setiap substansi
10
yang bukan merupakan bagian daripada komposisi udara normal disebut sebagai
polutan (Chandra, 2009).
Polusi udara bisa dibedakan menjadi polusi udara terbuka (outdoor air
pollution), yaitu polusi yang terjadi di jalan raya yang dilalui kendaraan bermotor,
di sekitar daerah industri, dalam kendaraan bus umum yang terbuka, dan lain-lain;
dan polusi udara tertutup (indoor air pollution), yaitu polusi dalam rumah,
gedung, kendaraan tertutup, dan lain-lain. Sumber pencemaran udara terbuka
adalah gas yang dikeluarkan knalpot kendaraan bermotor, industry, dan
pencemaran dari pemakaian energi di rumah tangga. Sedangkan sumber polusi
udara tertutup selain sumber pencemaran udara luar yang masuk dan terperangkap
yang terbanyak adalah dari asap rokok, cat dinding ruangan, asap dari energi yang
digunakan dalam rumah tangga, hewan peliharaan, dan lain-lain (Sitepoe, 2008).
Pencemaran udara akibat aktivitas manusia secara kuantitatif sering lebih
besar, seperti aktivitas transportasi, industri, sampah, dan lain-lain. Kendaraan
bermotor merupakan sumber pencemaran udara yaitu dengan dihasilkannya gas
CO, NOx, hidrokarbon, SO2, dan tetraethyl lead yang merupakan bahan logam
timah yang ditambahkan ke dalam bensin berkualitas rendah untuk meningkatkan
nilai oktan guna mencegah terjadinya letupan pada mesin. Parameter-parameter
penting akibat aktivitas ini adalah CO, partikulat, NOx, HC, Pb, SOx. Jenis
kendaraan yang menggunakan bahan bakar bensin akan mengeluarkan CO, NOx,
NO dan NO2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kendaraan berbahan
bakar solar. Sedangkan kendaraan yang menggunakan bahan bakar solar akan
menghasilkan SO2, partikulat (TSP) dan nilai opasitas yang lebih besar
11
dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh jenis kendaraan berbahan bakar
bensin. Beberapa faktor penting yang menyebabkan dominannya sektor
transportasi terhadap pencemaran udara adalah: perkembangan jumlah kendaraan
yang cepat, tidak seimbangnya prasarana transportasi dengan jumlah kendaraan
yang ada, pola lalu lintas perkotaan yang berorientasi memusat akibat terpusatnya
kegiatan-kegiatan perekonomian dan perkantoran di pusat kota, kesamaan waktu
aliran lalu lintas, jenis umur dan karakteristik kendaraan bermotor, faktor
perawatan kendaraan, jenis bahan bakar yang digunakan, jenis permukaan jalan,
siklus dan pola mengemudi (Ratnani, 2008).
2.3
Jenin Polutan yang Dihasilkan Kendaraan Bermotor
Berikut ini adalah uraian mengenai polutan udara yang dihasilkan oleh
kendaraan bermotor dan pengaruhnya pada kesehatan.
a. Karbon Monoksida (CO)
Karbon dan Oksigen dapat bergabung membentuk senjawa karbon
monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dan
karbon dioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna. Karbon
monoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa dan pada
suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna. Tidak seperti
senyawa CO mempunyai potensi bersifat racun yang berbahaya karena
mampu membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah yaitu
12
haemoglobin. Karbon monoksida di lingkungan dapat terbentuk secara
alamiah, tetapi sumber utamanya adalah dari kegiatan manusia, Korban
monoksida yang berasal dari alam termasuk dari lautan, oksidasi metal di
atmosfir, pegunungan, kebakaran hutan dan badai listrik alam. Sumber CO
buatan antara lain kendaraan bermotor, terutama yang menggunakan bahan
bakar bensin. Berdasarkan estimasi, Jumlah CO dari sumber buatan
diperkirakan mendekati 60 juta Ton per tahun. Separuh dari jumlah ini
berasal dari kendaraan bermotor yang menggunakan bakan bakar bensin
dan sepertiganya berasal dari sumber tidak bergerak seperti pembakaran
batubara dan minyak dari industri dan pembakaran sampah domestik.
Didalam laporan WHO dinyatakan paling tidak 90% dari CO diudara
perkotaan berasal dari emisi kendaraan bermotor. Dalam beberapa
penelitian ditemukan kadar CO yang cukup tinggi didalam kendaraan
sedan maupun bus. Kadar CO diperkotaan cukup bervariasi tergantung
dari kepadatan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar
bensin dan umumnya ditemukan kadar maksimum CO yang bersamaan
dengan jam-jam sibuk (Wuryani, 2009). Karbon monoksida digolongkan
oleh toksikologi sebagai zat kimia yang menyebabkan sesak nafas
(asphyxiant)
karena
tindakan
racunnya
dari
pembentukan
carboxyhemoglobin, mencegah oksigenasi darah untuk transportasi
sistemik (Klaassen, 2001).
13
b. Partikulat (particulate matter)
Merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan partikel
yang tersuspensi di udara, dapat berupa padatan ataupun cairan, dan
merupakan salah satu bentuk polusi yang paling nyata karena dapat tampil
dalam bentuk kabut yang menyelimuti kota atau wilayah. Polusi oleh
partikel merupakan campuran dari padatan yang berukuran mikroskopik
dan droplet cairan yang tersuspensi di udara, yang tersusun dari sejumlah
komponen, termasuk zat asam seperti nitrat dan sulfat, bahan kimiawi
organik, logam, partikel debu, dan zat yang bersifat alergen (misalnya
serbuk sari/pollen ataupun spora kapang). Partikulat memiliki rentang
ukuran yang cukup lebar. Ukuran tersebut dikenal sebagai diameter
aerodinamik (aerodynamic diameter), yang mengacu pada unit kepadatan
dari bentuk partikel dengan sifat aerodinamik yang sama, misalnya
kecepatan jatuh. Partikulat yang penting bagi kesehatan masyarakat adalah
PM10 dan PM2,5. PM10 adalah partikulat padat atau cair yang melayang
di udara dengan nilai median ukuran diameter aerodinamik kurang dari 10
mikron. PM10 memiliki beberapa nama lain, yaitu inhalable particles,
respirable particulate, respirable dust dan inhalable dust. PM10 juga
dapat bersifat toksik karena dapat mengandung campuran partikulat jelaga,
kondensat asam, garam sulfat, partikel nitrat, ataupun logam-logam berat.
Sumber utama PM10 di perkotaan adalah asap kendaraan bermotor.
Partikulat ini dapat terhisap ke dalam sistem pernafasan dan menyebabkan
gangguan pernafasan dan kerusakan paruparu. Sedangkan PM2,5
14
merupakan partikulat dengan ukuran diameter kurang dari 2,5 mikron.
PM2,5 dihasilkan dari proses perpembakaran, termasuk asap buangan dari
kendaraan bermotor, juga dihasilkan dari reaksi kimia antar berbagai gas
seperti sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan VOCs (volatile organic
compounds). Partikulat jenis ini dapat berada di atmosfir dalam waktu
yang tidak terbatas, serta memiliki kemampuan menyebarkan cahaya
sehingga dapat mengakibatkan penurunan jarak pandang. Pada saat ini
PM2,5 diyakini sebagai contributor utama terhadap berbagai dampak
kesehatan manusia, oleh karena partikulat tersebut mampu memasuki dan
memblokir saluran terkecil yang terdapat di dalam paruparu. Studi-studi
kesehatan menunjukkan terdapatnya hubungan yang signifikan antara
pajanan PM2,5 dengan kematian dini akibat penyakit jantung ataupun
penyakit paru. PM2,5 dapat memperburuk penyakit jantung dan penyakit
paru, dan telah dihubungkan dengan beberapa dampak seperti: gejalagejala kardiovaskular, cardiac arrhytmias, serangan jantung, gejala-gejala
gangguan pernapasan, serangan asma, dan bronkitis. 3 Hasil data
pemantauan udara ambien di 10 kota besar di Indonesia menunjukan
bahwa PM10 merupakan parameter yang paling sering muncul sebagai
parameter kritis (Gilliland, 2009).
c. Hidrokarbon (HC)
HC adalah bahan pencemar udara yang dapat berbentuk gas, cairan
maupun padatan. Semakin tinggi jumlah atom karbon, unsur ini akan
cenderung berbentuk padatan. HC yang berupa gas akan tercampur dengan
15
gas-gas hasil buangan lainnya. Sedangkan bila berupa cair maka HC akan
membentuk semacam kabut minyak, bila berbentuk padatan akan
membentuk asap yang pekat dan akhirnya menggumpal menjadi debu.
Sumber HC dapat berasal dari sarana transportasi. Kondisi mesin yang
kurang baik akan menghasilkan HC. Pada umumnya pada pagi hari kadar
HC di udara tinggi, namun pada siang hari menurun. Sore hari kadar HC
akan meningkat dan kemudian menurun lagi pada malam hari.
Hidrokarbon di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan akan
membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hidrocarbon
(PAH) yang banyak dijumpai di daerah industri dan padat lalulintas. Bila
PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan merangsang
terbentuknya sel-sel kanker (Wuryani, 2009).
d. Nitrogen dioksida
Merupakan gas berwarna kecoklatan dan bersifat sangat reaktif.
Sumber utama NO2 di perkotaan adalah asap kendaraan bermotor. NO2 di
udara dapat terurai dengan bantuan sinar matahari sehingga dapat
terbentukozon. Oksida nitrogen (NOx) adalah kontributor utama smog dan
deposisi asam Nitrogen oksida bereaksi dengan senyawa organik yang
volatile membentuk ozon dan oksidan lainnya seperti peroksiasetilnitrat
(PAN) di dalam smog fotokimia, dan dengan air hujan menghasilkan asam
nitrat dan menyebabkan hujan asam. Smog fotokimia berbahaya bagi
kesehatan manusia karena menyebabkan kesulitan bernafas pada penderita
asma, batuk-batuk pada anak-anak dan orang tua, dan berbagai gangguan
16
sistem pernafasan, serta menurunkan visibilitas. Oksida nitrogen
diproduksi terutama dari proses pembakaran bahan bakar fosil, seperti
bensin, batu bara dan gas alam (Gilliland, 2009). Nitrogen oksida adalah
iritan paru-paru dalam yang dapat menghasilkan edema paru jika dihirup
pada konsentrasi tinggi (Klaassen, 2001).
e. Ozon
Merupakan gas yang terdiri dari tiga atom oksigen. Ozon yang
terdapat pada lapisan troposfer ini termasuk ke dalam pencemar sekunder
yang terbentuk dari reaksi fotokimia antara oksida nitrogen (NOx) dan
hidrokarbon (HC). Ozon bersifat oksidator kuat, oleh karena itu,
pencemaran oleh ozon troposferik dapat menyebabkan dampak yang
merugikan bagi kesehatan manusia. Laporan Badan Kesehatan Dunia
menyatakan konsentrasi ozon yang tinggi (>120 μg/m3) selama 8 jam atau
lebih dapat menyebabkan serangan jantung dan kematian, atau kunjungan
ke rumah sakit karena gangguan pada sistem pernafasan. Pajanan pada
konsentrasi 160 μg/m3 selama 6,6 jam dapat menyebabkan gangguan
fungsi paru-paru akut pada orang dewasa yang sehat dan pada populasi
yang sensitif (Gilliland, 2009). Ozon menginduksi berbagai efek. Efek ini
meliputi morfologi, fungsional, imunologi, dan perubahan biokimia.
Karena tingkat kelarutan air yang rendah, ozon dapat menembus jauh ke
dalam paru-paru (Klaassen, 2001).
17
f. Sulfur dioksida
SO2 dilepaskan ke udara ketika terjadi pembakaran bahan bakar
fosil dan pelelehan biji logam. Peningkatan konsentrasi sulfur di atmosfer
dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia, terutama
menyebabkan penyakit bronkitis, radang paru-paru (pneumonia), dan
gagal jantung. Partikel-partikel ini biasanya sulit dibersihkan bila sudah
mencapai alveoli sehingga menyebabkan iritasi dan mengganggu
pertukaran gas (Wuryani, 2009). Sulfur dioksida adalah gas iritan yang
larut dalam air. Diserap terutama di saluran napas atas dan dapat
merangsang bronkokonstriksi dan sekresi lendir. konsentrasi paparan SO2
yang relatif tinggi menunjukkan adanya cedera saluran napas yang
kemudian terjadi proliferasi sel goblet penghasil mukus. Respon paru
dasar terhadap SO2 adalah bronkokonstriksi ringan sebagai peningkatan
resistensi aliran udara akibat penyempitan saluran napas (klaassen, 2001).
2.4
Respon Polutan pada Sistem Pernapasan
2.4.1
Struktur dan Fungsi Paru
1.
Saluran Nasal/Hidung
Gambar 2.1 menunjukkan gambaran skematik daerah yang berbeda pada
saluran pernapasan. Saat udara memasuki saluran pernapasan melalui hidung dan
18
atau daerah mulut, udara dihangatkan dan dilembabkan. Saluran nasal berfungsi
sebagai filter untuk partikel, yang dapat dikumpulkan secara difusi atau impaksi
pada mukosa hidung. Gas yang sangat larut dalam air diserap secara efisien di
saluran nasal, yang mencapai dari lubang hidung ke faring. Nasal Turbinates
membentuk perlindungan penghalang pertama melawan polutan yang terinhalasi.
Saluran hidung dilapisi oleh epitel khusus: epitel skuamosa berlapis di ruang
depan, kuboid tak bersilia/epitel kolumnar di bagian anterior, epitel semu bersilia,
dan epitel olfactory. Sebagian besar bagian dari saluran nasal internal ditutupi
oleh epitel pernapasan yang mengandung sel goblet, sel bersilia, sel kolumnar tak
bersilia, sel kuboid, sel sikat, dan sel basal. Epitel olfactory terletak di bagian
superior mengandung sel-sel sensorik. Ujung saraf di saluran nasal berhubungan
terutama dengan saraf kelima kranial (trigeminal). Epitel nasal berkompeten untuk
memetabolisme senyawa asing (klaassen, 2001).
Gambar 2.1 Anatomi Saluran Pernapasan
19
2.
Conducting Airways
Saluran udara proksimal, trakea dan bronkus, memiliki epitel semu yang
mengandung sel-sel bersilia dan dua jenis sel tak bersilia: sel mukosa dan sel
serosa. Sel-sel mukosa (dan struktur kelenjar) menghasilkan mukus saluran
pernapasan, berat molekul tinggi glikoprotein dengan kadar gula 80 persen atau
lebih yang melapisi epitel dengan lapisan pelindung lengket viskoelastik yang
menjebak polutan dan sel debris. Sel-sel serosa menghasilkan cairan di mana
mukus dapat dilarutkan. Tindakan dari silia saluran pernapasan di bawah kendali
sistem saraf pusat (SSP), terus mendorong lapisan mucus menuju faring, di mana
akan dikeluarkan dari sistem pernafasan dengan menelan atau dahak. Lapisan
mukus ini juga diduga memiliki antioksidan, penetral asam, dan bebas fungsi
radical–scavenging yang melindungi sel-sel epitel. Conducting airways memiliki
karakteristik struktur bercabang dua, dengan saluran udara secara berturut-turut
mengandung sekitar dua kali jumlah bronkus dengan diameter intenal yang
semakin menurun. Dengan demikian, conducting airways memiliki total luas
permukaan yang terus meningkat dari trakea ke distal saluran udara. Struktur dua
percabangan ini memiliki pembagi aliran pada titik-titik cabang yang berfungsi
sebagai tempat impaksi untuk partikel, dengan diameter yang semakin menyempit
juga mendukung pengumpulan gas dan partikel di dinding saluran napas. Zona
transisi pada akhirnya tercapai di saluran udara cartilago (bronkus) memberi arah
ke saluran udara noncartilago (bronkiolus), kemudia memberi arah ke daerah gasexchange, bronkiolus pernapasan, dan alveoli. Sel produksi mukus dan kelenjar
memberi arah ke sel-sel Clara pada epitel bronkiolus (klaassen, 2001).
20
3.
Area Pertukaran Gas (Gas-Exchange Region)
Paru-paru terbagi menjadi 5 lobus: superior dan inferior lobus kiri dan
superior, middle, dan inferior lobus kanan. Paru-paru dapat dibagi lagi di bagian
pinggir cabang bronkial ke segmen bronkopulmonalis anatomi yang berbeda,
kemudian ke lobulus, dan akhirnya menjadi acini. Sebuah acinus termasuk
terminal bronkial dan semua pernapasan bronkiolus, saluran alveolar, dan kantung
alveolar. Sebuah acinus dapat terdiri dari 2-8 unit ventilasi. Sebuah unit ventilasi
didefinisikan sebagai daerah anatomi yang mencakup semua saluran alveolar dan
distal alveoli setiap bronchiolar-alveolar saluran junction. Pertukaran gas terjadi di
alveoli, yang mewakili sekitar 80 sampai 90 persen dari total volume parenkim
paru; paru-paru manusia dewasa mengandung sekitar 300 juta alveoli. Rasio
permukaan kapiler total ke semua permukaan alveolar sedikit kurang dari 1.
Dalam septum alveolar, kapiler diatur dalam satu lapisan. Kapiler, plasma darah,
dan elemen darah yang terbentuk dipisahkan dari ruang udara oleh lapisan
jaringan tipis yang dibentuk oleh epitel, interstisial, dan komponen endotel.
Kumpulan sel interstitial mesenchymal terdiri dari fibroblas yang menghasilkan
kolagen dan elastin, serta komponen matriks sel lainnya dan berbagai efektor
molekul. Pericytes, monosit, dan limfosit juga berada di interstitium dan begitu
juga makrofag sebelum memasuki alveoli. Sel endotel memiliki sitoplasma tipis
mencakup sekitar seperempat dari daerah yang dicakup oleh tipe sel I. Sel-sel
clara terletak di bronkiolus terminal dan memiliki kandungan tinggi enzim
metabolisme xenobiotic (klaassen, 2001).
21
2.4.2
Prinsip Umum pada Patogenesis Kerusakan Paru Akibat Zat Kimia
1.
Penghirupan Racun, Gas, dan Dosimetri
Pengendapan gas pada saluran pernapasan menentukan pola toksisitas gas
tersebut. Kelarutan air (water solubility) adalah faktor penting dalam menentukan
seberapa dalam gas menembus paru-paru. Gas yang sangat larut seperti SO2 tidak
menembus lebih jauh dari hidung. Gas yang relatif tidak larut seperti ozon dan
NO2 menembus jauh ke dalam paru-paru, saluran udara terkecil dan alveoli
(wilayah centriacinar), di mana mereka akan memperoleh respon beracun.
Masuknya gas dan pengendapan di paru-paru yang hanya berdasarkan kelarutan
air dari gas memprediksi situs lesi paru yang cukup akurat. Gas yang sangat larut
seperti CO dan H2S efisien melewati saluran pernapasan dan diambil oleh suplai
darah paru yang akan didistribusikan ke seluruh tubuh (klaassen, 2001).
2.
Endapan dan Pembersihan Partikel
Pengendapan partikel padat pada saluran pernapasan, dan susunan
kimiawinya berperan penting. Ukuran partikel biasanya faktor kritis yang
menentukan wilayah saluran pernapasan di mana partikel atau aerosol akan
disimpan. Endapan partikel pada permukaan paru-paru dan saluran udara dibawa
oleh kombinasi anatomi paru-paru dan pola aliran udara pada sistem pernapasan
(klaassen, 2001).
22
3.
Ukuran Partikel
Semakin besar jumlah dan massa partikel yang mampu menembus paru-
paru, semakin besar kemungkinan efek toksik. Ukuran distribusi dalam kaitannya
dengan faktor-faktor lain, seperti bentuk partikel dan luas permukaan. Luas
permukaan sangat penting khususnya ketika bahan beracun diserap pada
permukaan partikel dan dibawa ke paru-paru. Diameter aerodinamis adalah
pengukuran yang tepat untuk partikel yang disimpan oleh impaksi dan
sedimentasi. Untuk partikel yang sangat kecil, yang disimpan terutama oleh
difusi, faktor kritis adalah ukuran partikel, bukan kepadatan. Harus diingat bahwa
ukuran partikel dapat berubah sebelum deposisi dalam saluran pernapasan. Bahan
yang higroskopis, seperti natrium klorida, asam sulfat, dan gliserol, mengambil
air, dan tumbuh pada suasana jenuh yang hangat di saluran pernapasan bagian
bawah (klaassen, 2001).
4.
Mekanisme Pengendapan (Deposisi)
Deposisi partikel terjadi terutama oleh intersepsi, impaksi, sedimentasi,
dan difusi (gerak Brown). Intersepsi terjadi hanya ketika lintasan partikel
membawanya cukup dekat ke permukaan hingga tepi dari kontak partikel
permukaan saluran napas. Intersepsi penting bagi deposisi serat. Sedangkan
diameter serat menentukan kemungkinan pengendapan oleh impaksi dan
sedimentasi. Serat dengan diameter 1 mm dan panjang 200 mm akan disimpan di
cabang bronkial terutama oleh intersepsi bukan impaksi. Partikel yang lebih besar
dari 10 mm diameter aerodinamis disimpan dalam hidung atau faring dan tidak
23
dapat menembus ke jaringan distal laring. Data terbaru menunjukkan bahwa
partikel sangat halus (0,01 mm dan lebih kecil) relatif terjebak di saluran napas
atas dengan difusi. Daerah alveolar memiliki efisiensi deposisi signifikan untuk
partikel yang lebih kecil dari 5 mm dan lebih besar dari 0,003 mm. Sedimentasi
membawa deposisi dalam bronkus yang lebih kecil, bronkiolus, dan ruang
alveolar, di mana saluran udara kecil dan kecepatan aliran udara rendah.
Sedimentasi bukan rute yang signifikan dari deposisi partikel ketika diameter
aerodinamis di bawah 0,5mm. Difusi merupakan faktor penting dalam deposisi
partikel submicrometer. Salah satu faktor penting dalam deposisi partikel adalah
pola pernapasan. Selama pernapasan tenang, sebagian besar partikel terhirup dapat
dihembuskan. Faktor-faktor yang dapat mengubah diameter saluran udara dapat
mempengaruhi deposisi partikel (klaassen, 2001).
5.
Pembersihan Partikel
Pembersihan partikel yang mengendap merupakan aspek penting dari
pertahanan paru-paru. Pembersihan cepat mengurangi waktu yang tersedia untuk
menyebabkan kerusakan pada jaringan paru atau penyerapan lokal. Mekanisme
spesifik yang tersedia untuk menghilangkan partikel dari saluran pernapasan
bervariasi tergantung lokasi pengendapan. Pembersihan partikel dari saluran
pernapasan tergantung pada mekanisme pembersihan tertentu yang dibutuhkan,
partikel akan dikeluarkan ke perut dan pencernaan (GI), limfatik dan kelenjar
getah bening, atau pembuluh darah paru. Satu-satunya mekanisme di mana sistem
24
pernapasan yang benar-benar dapat mengeluarkan partikel yang menegendap
yaitu dengan batuk dan meniup udara keluar dari saluran hidung (klaassen, 2001).
6.
Pembersihan Nasal
Partikel yang mengendap di hidung akan dikeluarkan dengan berbagai
mekanisme, tergantung pada tempat pengendapan dan kelarutan dalam lendir.
Anterior bagian hidung dilapisi dengan epitel skuamosa yang relatif kering,
sehingga partikel yang mengendap dikeluarkan dengan tindakan ekstrinsik seperti
menyeka dan meniup. Daerah lain dari hidung sebagian besar ditutupi oleh epitel
mukosiliar yang mendorong lendir menuju glotis, di mana nantinya akan ditelan.
partikel tidak larut umumnya dibersihkan dalam kurun waktu satu jam dari
deposisi. Partikel yang larut dalam lendir dapat diserap dan masuk ke epitel dan
atau darah sebelum dapat dikeluarkan secara mekanis (klaassen, 2001).
7.
Pembersihan Tracheobronchial
Lapisan lendir yang menutupi cabang trakeobronkial digerakkan ke atas
dengan pemukulan silia. Eskalator mukosiliar ini mengangkut partikel yang
mengendap dan partikel-sarat makrofag ke atas ke orofaring, di mana nantinya
akan ditelan dan melewati saluran pencernaan. Pembersihan mukosiliar relatif
cepat pada orang sehat dan selesai dalam waktu 24 hingga 48 jam untuk partikel
yang tersimpan di saluran lebih rendah. Infeksi dan luka-luka lainnya bisa sangat
mengganggu pembersihan (klaassen, 2001).
25
8.
Pembersihan Paru
Ada beberapa cara utama dimana partikulat dikeluarkan dari saluran
pernapasan bagian bawah ketika mengendap:
1. Partikel dapat langsung terjebak pada lapisan cairan dari konduksi
saluran udara dengan impaksi dan dibersihkan ke atas, di cabang
trakeobronkial melalui escalator mukosiliar.
2. Partikel dapat difagositosis oleh makrofag dan dibersihkan melalui
eskalator mukosiliar.
3. Partikel dapat difagositosis oleh makrofag alveolar dan dihapus melalui
drainase limfatik.
4. Bahan dapat disebarkan dari permukaan partikel dan dihapus melalui
aliran darah atau limfatik.
5. Partikel kecil dapat langsung menembus membran epitel.
1 menit setelah partikel terhirup, dapat ditemukan dalam makrofag alveolar.
Banyak makrofag alveolar pada akhirnya diangkut ke eskalator mukosiliar. Ada
kemungkinan bahwa makrofag dibawa ke bronkiolus dengan cairan alveolar yang
memberikan kontribusi untuk lapisan cairan pada saluran udara. Partikel lain
dapat diasingkan dalam paru-paru untuk waktu yang sangat lama, sering dalam
makrofag yang terletak di interstitium (klaassen, 2001).
26
2.4.3
Respon Akut pada Cedera Paru
1.
Reaktivitas Saluran Udara
Saluran udara besar yang dikelilingi oleh otot polos bronkus, membantu
menjaga saluran napas dan diameter selama ekspansi dan kontraksi paru-paru.
Tonus otot polos bronkial diatur oleh sistem saraf otonom. Kontraksi refleks
terjadi ketika reseptor di trakea dan bronkus besar dirangsang oleh iritasi seperti
asap rokok dan polusi udara. Bronkokonstriksi menyebabkan penurunan diameter
saluran napas dan peningkatan sesuai resistensi terhadap aliran udara.
Karakteristik gejala yang berhubungan meliputi mengi, batuk, sensasi dada sesak,
dan dyspnea (klaassen, 2001).
2.
Edema Paru
Edema paru akut, fase eksudatif cedera paru yang umumnya menghasilkan
penebalan penghalang alveolar-kapiler. Cairan edema, ketika muncul, mengubah
hubungan ventilasi-perfusi dan membatasi perpindahan difusi O2 dan CO2 bahkan
dalam alveoli dinyatakan secara struktural normal. Edema sering ditandakan
sebagai cedera paru akut. Konsekuensi biologis edema paru tidak hanya
menyebabkan gejala akut struktur paru-paru dan fungsi, tetapi juga dapat
mencakup kelainan yang tetap setelah resolusi proses edema. Setelah paparan
beberapa agen beracun di mana permukaan alveolar-kapiler gundul (seperti
aloksan), pemulihan tidak mungkin, sedangkan dalam situasi cedera yang lebih
sederhana (seperti pengeluaran histamin), pemulihan penuh mudah dicapai.
27
Antara kedua ekstrem ada bentuk cedera paru yang parah disertai dengan
kerusakan inflamasi dan atau proses restoratif-reparatif berlebihan. Dalam bentuk
yang parah, interstitial dan intraalveolar eksudat inflamasi menyelesaikan via
fibrogenesis, hasil yang mungkin bermanfaat atau merusak paru-paru. Akumulasi
dan pergantian sel-sel inflamasi dan respon imun yang terkait dalam paru-paru
edematous mungkin berperan dalam memunculkan aktivitas mitogenik dan
tanggapan fibrogenic (klaassen, 2001).
3.
Mekanisme Cedera Saluran Pernapasan
interaksi racun pada saluran pernapasan memiliki implikasi penting untuk
evaluasi risiko pada manusia yang ditimbulkan oleh inhalan. Gas dan uap tertentu
merangsang ujung saraf di hidung, terutama dari saraf trigeminus. Sehingga
menahan napas atau mengubah pola pernapasan, untuk menghindari atau
mengurangi paparan lebih lanjut. Jika paparan terus tidak dapat dihindari, banyak
iritasi asam atau basa menghasilkan nekrosis sel dan peningkatan permeabilitas
dinding alveolar. Agen inhalasi lainnya yang lebih berbahaya; inhalasi HCl, NO2,
NH3, atau fosgen mungkin pada awalnya menghasilkan sangat sedikit kerusakan
terlihat pada saluran pernapasan. Epitel penghalang di zona alveolar, setelah
periode laten selama beberapa jam, mulai bocor, membanjiri alveoli dan
menghasilkan edema paru tertunda yang sering berakibat fatal. Metabolisme
senyawa asing dapat terlibat dalam patogenesis cedera paru. Aktivasi dan
detoksifikasi memainkan peran kunci dalam menentukan apakah bahan kimia
tertentu pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan. Paru-paru berisi sebagian
28
besar enzim yang terlibat dalam metabolisme xenobiotik seperti yang ditemukan
dalam jaringan lainnya, seperti hati. Sedangkan tingkat keseluruhan enzim ini
cenderung lebih rendah di paru-paru daripada di hati, sering sangat terkonsentrasi
di kumpulan sel tertentu pada saluran pernapasan. Selain itu, konten spesifik
khususnya isozim sitokrom P450 mungkin jauh lebih tinggi di paru-paru. Dengan
demikian, substrat untuk P450 paru mungkin jauh lebih cepat daripada terjadi di
hati. Isozim P450 memainkan peran dalam patogenesis kanker paru-paru
(klaassen, 2001).
4.
Proliferasi Sel
Efek racun di paru-paru bisa reversibel ataupun ireversibel. Paru-paru
orang dewasa normal adalah organ yang dalam keadaan normal sangat sedikit sel
tampak mati dan harus diganti. Ketika rusak oleh racun, parenkim paru mampu
memperbaiki dirinya sendiri dengan cara yang efisien. Jenis kerusakan sel I
diikuti oleh proliferasi tipe II sel epitel yang akhirnya berubah menjadi Sel tipe I
yang baru di saluran napas, sel Clara berkembang biak dan membagi setelah
cedera. Migrasi sel darah seperti leukosit kapiler paru ke dalam lumen alveolar
juga dapat memicu respons mitosis. Sel-sel lain di zona alveolar, seperti sel-sel
endotel kapiler, sel-sel interstitial, dan makrofag alveolar, juga berkembang biak.
Hasilnya adalah organ kembali normal meskipun pada proliferasi berlebihan
fibroblas dapat mengakibatkan penyakit paru-paru (klaassen, 2001).
29
2.3.4
Respon Kronik pada Cedera Paru
1.
Fibrosis
Ditetapkan klinis, fibrosis paru mengacu pada jenis fibrosis interstitial
yang terlihat pada tahap akhir fibrosis paru idiopatik. Dengan ciri khas fibrosis
paru meningkatnya pewarnaan fokus serat kolagen di interstitium alveolar. Paruparu yang rusak akibat racun, gangguan pernapasan lebih menyerupai fibrosis
interstitial kronis. Kelebihan kolagen paru biasanya tidak hanya dalam interstitium
alveolar, tetapi juga di seluruh wilayah centriacinar, termasuk saluran alveolar dan
bronkiolus. Dua jenis kolagen mendominasi paru-paru, yang mewakili sekitar 90
persen atau lebih dari total kolagen paru. Tipe I dan kolagen tipe III adalah
interstitial utama komponen dan ditemukan di paru-paru normal dalam rasio
perkiraan 2: 1. Kolagen tipe I adalah bahan yang secara histologis sebagai
"kolagen," sedangkan kolagen tipe III secara histologis sebagai reticulin. Kolagen
tipe III jauh lebih compliant daripada tipe I, meningkatnya proporsi tipe I relatif
terhadap tipe III kolagen dapat menyebabkan paru-paru kaku, seperti yang diamati
dalam fibrosis paru. Perubahan kolagen silang dalam paru-paru fibrotik juga dapat
berkontribusi pada peningkatan kekakuan. Klon fibroblas responsif dan atau
proliferasi mensintesis kolagen tipe I. Perubahan dalam matriks ekstraseluler yang
dihasilkan dari mediator inflamasi disekresi oleh berbagai sel efektor juga dapat
menyebabkan fibroblast untuk beralih fenotip kolagen yang disintesis (klaassen,
2001).
30
2.
Emfisema
Dalam banyak hal emfisema dapat dilihat sebagai kebalikan dari fibrosis,
paru-paru menjadi lebih besar dan terlalu compliant bukan menjadi lebih kecil dan
kaku. Definisi patologis saat ini dari emfisema adalah suatu kondisi paru-paru
yang ditandai dengan pembesaran abnormal rongga udara distal ke bronchiole
terminal, disertai kerusakan dinding. Emfisema yang diinduksi oleh racun
menyebabkan peradangan berat atau berulang, terutama alveolitis dengan
pelepasan enzim proteolitik oleh leukosit yang berpartisipasi. Ada sebuah
hubungan klinis antara kurangnya genetik inhibitor penting dari elastase dan
pengembangan emfisema. Neutrophil (dan makrofag alveolar) elastases dapat
memecah elastin paru dan dengan demikian menyebabkan emfisema. Racun
menyebabkan masuknya sel inflamasi dan meningkatkan beban neutrofil elastase
dapat mempercepat proses ini (klaassen, 2001).
3.
Asma
Asma menjadi semakin umum terutama di daerah perkotaan yang padat.
Penyakit ini ditandai secara klinis oleh serangan sesak napas, yang mungkin
ringan atau berat. Hal ini disebabkan oleh penyempitan saluran udara besar
(bronkus) baik setelah menghirup agen provokasi atau penyebab yang tidak
diketahui. Ada hubungan antara pajanan dan lingkungan terhadap antigen atau zat
kimia yang dapat bertindak sebagai haptens dan patogenesis asma. Ada komponen
histopatologi yang umum antara asma dan fibrosis paru, tetapi dalam kasus ini
penyakit ini lebih berpusat di saluran udara besar dibandingkan centriacinar dari
31
parenkim paru. Ada mekanisme yang umum, khususnya yang berkaitan dengan
peran sel inflamasi, sitokin dan faktor pertumbuhan yang dihasilkan. Ciri klinis
asma yaitu meningkatnya reaktivitas saluran napas dimana otot polos di sekitar
saluran udara besar menanggapi paparan iritasi (klaassen, 2001).
4.
Kanker Paru
Polusi udara seperti ozon, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan asap
yang berasal dari pembangkit listrik, kilang minyak, dan bahan bakar bertenaga
diesel truk dan mobil berkontribusi terhadap perkembangan kanker paru-paru.
Kanker paru-paru memiliki periode laten 20 sampai 40 tahun. Banyak kanker
paru-paru pada manusia berasal dari sel-sel yang melapisi saluran udara (sering
disebut karsinoma bronkogenik), tetapi selama dua dekade terakhir peningkatan
yang signifikan pada adenokarsinoma perifer telah terjadi dibandingkan dengan
kanker di paru-paru, kanker pada saluran pernapasan bagian atas jarang terjadi.
Mekanisme potensial karsinogenesis paru-paru telah dipelajari secara ekstensif
melalui analisis bahan tumor dan dalam studi sel bronkial manusia. Kerusakan
DNA dianggap sebagai kunci. Sebuah karsinogen aktif atau produk metabolik,
seperti ion alkyldiazonium berasal dari N-nitrosamin, dapat berinteraksi dengan
DNA. O6-alkyldeoxyguanosine dalam DNA berkorelasi dengan carcinogenicity.
Kerusakan DNA yang disebabkan oleh oksigen aktif berpotensi penting. Radiasi
pengion mengarah pada pembentukan superoksida, yang diubah melalui aksi
superoksida dismutase hidrogen peroksida (klaassen, 2001).
32
2.5
Dampak Polusi Udara Terhadap Pengendara Kendaraan Bermotor
Sepeda Motor menjadi modal transportasi murah yang makin banyak
digunakan di kota-kota besar. Tingkat polusi udara di beberapa kota besar kini
semakin tinggi dan para pengendara sepeda motor berpeluang besar terpapar
langsung bahan polutan, dikarenakan pengendara melakukan perjalanan di dekat
knalpot emisi gas buang dengan atau tanpa penghalang fisik antara knalpot
dengan sistem pernapasan (Dirks, 2012). Semakin lama di jalanan semakin
banyak zat beracun hasil pembuangan kendaraan bermotor yang dihirup dan bisa
menimbulkan masalah kesehatan. Jika zat CO yang dihirup dalam jumlah besar
atau berlangsung secara terus menerus dapat menimbulkan bahaya kesehatan.
Karena hemoglobin yang terdapat di dalam tubuh lebih cenderung menyukai
mengikat CO dan bukan oksigen, akibatnya orang bisa saja kekurangan oksigen.
Efek jangka panjang yang bisa ditimbulkan adalah mudah terkena infeksi seperti
sesak napas, terinfeksi kuman TBC atau mikroorganisme lain yang dapat
menyerang paru-paru dan juga penyakit PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik).
Sedangkan efek jangka pendek yang sering terasa adalah batuk-batuk, cepat
capek, lelah dan mudah mengantuk. Bahaya polusi yang mengancam pengendara
sepeda motor menurut Prof Faisal juga tergantung dari daerah mana yang
dilaluinya serta bagaimana orang tersebut menggunakan pelindung untuk dirinya
seperti helm dan masker. Jika hal ini berlangsung secara terus menerus misalnya
setiap hari maka tentu saja dapat menimbulkan efek jangka panjang. Untuk
mencegah efek jangka panjang ini, sebaiknya pengendara motor menggunakan
33
pelindung untuk dirinya seperti helm tertutup, menggunakan masker dan jaket
serta menjaga daya tahan tubuhnya agar tidak mudah terkena infeksi melalui rajin
berolahraga dan mengonsumsi makanan yang sehat. Jika masalah pelindungnya
tidak lengkap dikhawatirkan udara yang sudah terpolusi dan mengandung
berbagai partikel karbon berukuran kecil dapat mengiritasi dan masuk melalui
saluran napas yang dapat mengurangi fungsi dari paru-paru seseorang. Karenanya
jika seseorang tidak melindungi dirinya, maka bisa saja efek jangka panjang
tersebut muncul lebih cepat (Bararah, 2010). Menggunakan masker dipercaya
banyak orang bisa mengurangi paparan polusi. Menurut Agus Dwi Susanto, Ketua
Divisi Paru Kerja dan Lingkungan Departemen Pulmunologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FKUI, Rumah Sakit Persahabatan, meski penggunaan
masker tidak bisa memproteksi sepenuhnya paparan polusi, tetapi penggunaan
maker bisa memperkecil risiko terjadinya terkena infeksi saluran pernapasan akut.
Pada salah satu penelitian yang dimuat di British Medical Journal tahun 2009
dikatakan bahwa dari enam orang yang mempergunakan masker, maka dapat
mencegah satu kejadian terjadinya ISPA. Jenis masker sendiri sangat beragam,
namun yang paling banyak dijual di pasaran adalah masker tipe surgical mask
(masker bedah). tipe surgical mask proteksinya masih di bawah 20%, masker jenis
N95 proteksinya 95%, sedangkan masker kain kurang dari 10%. Agus
mengatakan, baik tidaknya suatu masker pada prinsipnya tergantung dari seberapa
besar masker itu bisa memfiltrasi partikel. Partikel yang masuk ke dalam mulai
saluran napas atas sampai paru itu memiliki diameter di bawah 10 mikron.
Penggunakan masker kain dan masker bedah sebenarnya kurang efektif untuk
34
memfiltrasi partikel dan pajanan polutan. Sedangkan masker N95 jauh lebih baik
karena masker ini mampu memfiltrasi partikel yang berukuran hingga 0,5 mikron.
Tetapi masker yang terstandar sekalipun masih punya kekurangan karena tidak
bisa memproteksi gas yang masuk. Oleh karenanya pajanan seperti CO (Karbon
Monoksida) dan NO (Nitrogen Monoksida) masih tetap bisa tembus sekalipun
memakai masker N95. Beberapa hasil penelitian mengindikasikan, semakin lama
seseorang terpajan (terpapar) bahan polutan, semakin besar mempunyai risiko
gangguan saluran napas (Mikail, 2012).
Tidak banyak yang tahu bahwa para pengendara mobil ataupun orang yang
berada di dalamnya tidak dapat terhindar dari bahaya polusi udara. dikarenakan
udara kotor dan gas berbahaya dari luar tersedot melalui filter udara mobil, tidak
sepenuhnya tersaring dan dihirup oleh penumpang. Ketika berada di dalam mobil,
sesungguhnya sistem pernapasan sedang berhadapan dengan knalpot kendaraan
yang berada di depannya, pengambilan udara pada kompartemen mesin mobil
berada di dekat permukaan jalan, sehingga mengambil asap yang dipancarkan
oleh kendaraan di depannya dan kemudian udara kotor terjebak di dalam mobil.
Hal ini lah yang menyebabkan pengendara mobil tidak terhindar dari dampak
bahaya polusi udara (Hull, 2014). Mobil juga tidak memiliki sistem pertukaran
udara yang baik dan tidak dapat melakukan pembersihan dengan sendirinya.
Faktor lain berupa tingkat konsentrasi Volatile Organic Compounds (VOC) yang
berlebihan dalam pengharum, pembersih dan produk perawatan mobil kita yang
bisa menjadi penyebab kanker, iritasi mata, dan gangguan pada sistem
pernapasan. Kontaminasi senyawa kimia lain di dalam mobil. Contohnya pada
35
mobil baru biasanya terdapat senyawa seperti, benzene, aseton, formaldehida yang
beracun. Selain itu, asap rokok juga sudah terbukti akan menurunkan kualitas
udara di dalam mobil kita. Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan rutin
melakukan servis mobil, melakukan pemeriksaan pada filter AC, oli kompresor,
blower motor, dan evaporator mobil secara berkala setiap kali mencapai 10.000
km. Membuka jendela kendaraan ketika berada di pegunungan, hal ini bisa
meningkatkan kualitas udara di dalam mobil. Penggunaan pembersih yang tepat.
pembersih dengan HEPA filter lebih efektif dalam penyaringan udara kotor. Rutin
berolahraga dan menjaga kesehatan juga dapat mencegah dampak dari polusi
udara (Agrizal, 2013).
2.6
Pemeriksaan Faal Paru
Pemeriksaan faal paru bertujuan untuk mengukur kemampuan paru dalam
tiga tahap respirasi meliputi pemeriksaan ventilasi, difusi, dan perfusi. Hasil
pemeriksaan itu digunakan untuk menilai status kesehatan atau fungsi paru
individu yang diperiksa. Untuk keperluan praktis dan uji skrining, biasanya
penilian faal paru seseorang cukup dengan melakukan uji fungsi ventilasi paru.
Pemeriksaan ventilasi adalah mengukur udara yang keluar masuk paru, apabila
fungsi ventilasi nilainya baik, dapat mewakili keseluruhan fungsi paru dan fungsifungsi paru lainnya juga baik. Penilaian fungsi ventilasi berkaitan erat dengan
36
penilaian mekanika pernapasan. Ada dua volume yang bisa diukur, yaitu (Yunus,
2006) :
1. Volume statis yaitu :
a. Volume Tidal (VT) yaitu jumlah udara yang dihisap (inspirasi) tiap kali
pada pernapasan tenang.
b. Volume Cadangan Ekspirasi (VCE) yaitu jumlah udara yang dapat
dikeluarkan secara maksimal setelah ekspirasi biasa.
c. Volume Cadangan Inspirasi (VCI) yaitu jumlah udara yang dapat dihisap
secara maksimal setelah inspirasi biasa.
d. Kapasitas Vital (KV) yaitu jumlah udara yang bias dikeluarkan maksimal
setelah inspirasi maksimal, yaitu gabungan VCI+VT+VCE.
e. Kapasitas Vital Paksa (KVP atau FVC) yaitu sama dengan KV tapi
dilakukan secara cepat dan paksa.
2. Volume dinamis, yaitu :
a. Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1 atau FEV1) yaitu jumlah
udara yang dapat dikeluarkan sebanyak - banyaknya dalam 1 detik pertama
pada waktu ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal.
b. Arus Puncak Ekspirasi (APE) yaitu jumlah aliran udara maksimal yang
dapat dicapai saat eksipirasi paksa dalam waktu tertentu.
37
2.7
Pengukuran nilai faal paru dengan spirometer
Spirometer paling sering digunakan untuk menilai fungsi paru. Spirometer
merupakan suatu metode sederhana yang dapat mengukur sebagian terbesar
volume dan kapasitas paru-paru. Pemeriksaan dengan spirometer ini penting
untuk pengkajian fungsi ventilasi paru secara lebih mendalam. Kelainan ventilasi
dapat digambarkan oleh nilai FEV1 dan FVC. Nilai abnormal dapat
menggambarkan kelainan dasar fungsi paru. Melalui spirometer, bisa diketahui
gangguan obstruksi, sumbatan dan restriksi atau pengembangan paru. Klasifikasi
kelainan fungsi paru dapat dilihat sebagai berikut: (Castile, 2006).
a. Normal: FVC≥ 80% nilai prediksi, FEV1/FVC≥75% nilai prediksi
b. Gangguan Obstruksi: FEV1< 80% nilai prediksi, FEV1/FVC< 70% nilai
prediksi
c. Gangguan Restriksi: Kapasitas Vital (KV)< 80% nilai prediksi, FVC<80%
nilai prediksi.
d. Gangguan Campuran: FVC< 80% nilai prediksi, FEV1/FVC< 75% nilai
prediksi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai faal paru: (Aditama, 2006).
1. Faktor host
a) Umur
Faal paru sejak masa kanak-kanak bertambah atau meningkat
volumenya dan mencapai maksimal sekitar umur 20 tahun pada wanita dan
38
25 tahun pada pria. Setelah itu nilai faal paru terus menurun sesuai
bertambahnya umur karena dengan meningkatnya umur seseorang maka
kerentanan terhadap penyakit akan bertambah.
b) Jenis kelamin
Pengelompokan berdasarkan jenis kelamin amat penting karena
secara biologis berbeda antara pria dan wanita. pria memiliki nilai faal paru
yang lebih besar dari pada wanita.
c) Ras
Pada orang kulit hitam, hasil faal parunya harus dikoreksi dengan
0,85, dimana sebagai referensinnya adalah orang kulit putih. Salah satu
alasannya adalah bahwa ukuran thoraks kulit hitam lebih kecil dari pada
orang kulit putih. Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa belum ada
data-data antropologis yang dapat menerangkan adanya perbedaan anatomis
rongga dada dan tentunya juga akan mempengaruhi faal parunya.
d) Tinggi badan
Makin bertambah tinggi seseorang, maka nilai faal paru akan
bertambah besar.
e) Kebiasaan merokok
kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor resiko penyebab
penyakit saluran napas.
f) Infeksi saluran napas
Riwayat infeksi saluran napas berat menyebabkan penurunan faal
paru dan keluhan respirasi.
39
g) Status gizi
Salah satu akibat kekurangan gizi dapat menurunkan system
imunitas dan antibodi sehingga orang mudah terserang infeksi seperti pilek,
batuk, diare, dan juga berkurangnya kemampuan tubuh untuk melakukan
detoksifikasi terhadap benda asing.
2. Faktor lingkungan
a) Pemakaian alat pelindung diri
Alat pelindung diri tidak secara sempurna melindungi tubuh tenaga
kerja dari potensi bahaya, tetapi dapat mengurangi tingkat keparahan yang
mungkin terjadi. Alat pelindung diri diantaranya yaitu:
1) Masker, untuk melindungi debu atau partikel lebih kasar yang masuk ke
dalam saluran pernapasan yang terbuat dari bahan dengan ukuran poripori tertentu.
2) Respirator pemurni udara, membersihkan udara dengan cara menyaring
atau menyerap kontaminan dengan toksisitas rendah sebelum memasuki
sistem pernapasan.
b) Polusi udara
Polusi udara dapat menimbulkan berbagai penyakit dan gangguan
fungsi tubuh, termasuk gangguan faal paru. Polusi udara juga dapat
meningkatkan kejadian asma bronkial dalam masyarakat. Zat yang paling
banyak pengaruhnya terhadap saluran pernapasan dan paru adalah sulfur
dioksida, nitrogen dioksida, ozon, dan partikulat. Partikulat adalah zat
dengan diameter kurang dari 10 mikron, partikulat dengan diameter kurang
40
dari 1 mikron yaitu aerosol dan fume (asap), sedangkan partikulat dengan
diameter lebih dari 1 mikron yaitu debu dan mists (butir cairan). Perjalanan
debu yang masuk ke saluran pernapasan dipengaruhi oleh ukuran partikel
tersebut. Ukuran partikulat debu yang membahayakan kesehatan umumnya
berkisar antara 0,1 mikron sampai dengan 10 mikron. Partikel yang
berukuran 5 mikron atau lebih akan mengendap di hidung, nasofaring,
trakea dan percabangan bronkus. Partikel yang berukuran kurang dari 2
mikron akan berhenti di bronkiolus respiratorius dan alveolus. Partikel yang
berukuran kurang dari 0,5 mikron biasanya tidak sampai mengendap di
saluran pernapasan akan tetapi akan dikeluarkan lagi. Partikulat bersama
polutan lain seperti ozon dan sulfurdioksida akan menimbulkan penurunan
faal paru, sedangkan partikulat saja tidak menimbulkan gangguan faal paru
pada orang normal. Gangguan faal paru yang terjadi adalah penurunan
FEV1 dan rasio FEV1/FVC, yaitu gangguan saluran napas. Sulfur dioksida,
nitrogen dioksida dan partikulat yang masuk ke dalam saluran napas akan
bereaksi dengan air yang terdapat di saluran napas atas dan bawah
membentuk H2SO4 dan HNO3. Asam sulfat dan asam nitrat yang terjadi
merupakan iritan yang sangat kuat. Efek kerusakan terhadap saluran napas
dapat bersifat akut dan kronik. Besar dan luasnya kerusakan tergantung pada
jenis zat, konsentrasi zat, lama paparan dan ada atau tidaknya kelainan
saluran napas atau paru sebelumnya (klaassen, 2001).
Download