1 salinan peraturan menteri negara lingkungan hidup republik

advertisement
SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2011
TENTANG
PEDOMAN MATERI MUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH
DI BIDANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
DENGAN TAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a.
b.
c.
d.
Mengingat
: 1.
2.
3.
bahwa dalam rangka melaksanakan kewenangan di bidang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup,
pemerintahan daerah dapat menyusun Peraturan Daerah;
bahwa untuk menyusun Peraturan Daerah di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, berdasarkan
ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup
dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
bahwa untuk melaksanakan kewenangan pembinaan terhadap
Peraturan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
63 ayat (1) huruf n Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
perlu ditetapkan pedoman terkait dengan materi muatan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam
Peraturan Daerah;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Pedoman
Penyusunan
Peraturan
Daerah
di
Bidang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4438) sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
1
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3815);
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang
Pengendalian
Pencemaran
dan/atau
Perusakan
Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816);
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3853);
Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang
Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
267, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4068);
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang
Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan
Hidup Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4161);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun
2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Lingkungan Hidup;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG
PEDOMAN MATERI MUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH
DI BIDANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP.
2
Pasal 1
Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memberikan panduan
kepada pemerintahan daerah dalam perumusan materi muatan
rancangan peraturan daerah di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 2
Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah di Bidang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
Pasal 3
Pedoman Materi Muatan Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 memuat:
a. dasar hukum Peraturan Daerah;
b. dasar pertimbangan perlunya Peraturan Daerah; dan
c. materi muatan Peraturan Daerah.
Pasal 4
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2011
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2011
BALTHASAR KAMBUAYA
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 932
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Humas,
ttd
Inar Ichsana Ishak
3
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2011
TENTANG
PEDOMAN MATERI MUATAN
RANCANGAN PERATURAN DAERAH DI
BIDANG PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
PEDOMAN MATERI MUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH
DI BIDANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
I. DASAR HUKUM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH.
1. Pasal 136 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa, Peraturan Daerah
dibentuk
dalam
rangka
penyelenggaraan
otonomi
daerah
provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan, merupakan penjabaran
lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah, dan dilarang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
2. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyatakan bahwa, setiap
penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan
daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan
prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (UU PPUU) bahwa,
materi muatan
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan daerah Kabupaten/Kota berisi
materi muatan dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas
pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah
dan/atau
penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan lebih tinggi.
4. Dasar hukum sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 3
berlaku pula terhadap pembentukan Peraturan Daerah di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
II. DASAR PERTIMBANGAN PERLUNYA PERATURAN DAERAH
Dalam pembentukan Peraturan Daerah di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, selain memperhatikan dasar hukum Peraturan Daerah, juga
dilakukan atas dasar pertimbangan:
1. Kewenangan.
Kewenangan pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3)
UUPPLH dan
Lampiran H Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota. Untuk melaksanakan kewenangan tersebut,
pemerintahan daerah dapat menetapkan kebijakan dalam suatu Peraturan
Daerah. Namun demikian, tidak setiap kewenangan harus diatur dalam
Peraturan Daerah.
4
2. Kebutuhan.
Kebutuhan pemerintahan daerah mengenai perlunya Peraturan Daerah
untuk memberikan landasan dalam penyelesaian masalah lingkungan hidup
spesifik daerah,
kebutuhan mendesak atau prioritas dalam pelestarian
fungsi lingkungan hidup pada saat ini dan yang akan datang.
3. Kemampuan.
Kemampuan pemerintahan daerah untuk melaksanakan Peraturan Daerah,
antara lain kelembagaan dan sumber daya manusia.
4. Dukungan Sistem.
Dukungan sistem untuk melaksanakan Peraturan Daerah,
antara lain
sistem keuangan, mekanisme kerja (SOP) aparatur pemerintah daerah dan
partisipasi masyarakat.
III. MATERI MUATAN
Dalam perumusan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah di Bidang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup harus memperhatikan
perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Penormaan prinsip perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dalam Rancangan Peraturan Daerah harus
memperhatikan kepentingan nasional dan ekosistem suatu daerah. Sedangkan
perumusan normanya harus mencerminkan asas-asas yang melandasinya.
Struktur materi muatan dalam pedoman ini tidak selalu merupakan urutan
yang menggambarkan penamaan Bab, Bagian atau Paragraf, dan tidak
menunjukkan hirarki penormaan materi muatan dalam Rancangan Peraturan
Daerah, melainkan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam perumusan
norma.
Secara keseluruhan materi muatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sangat luas. Namun demikian materi muatan tersebut tidak harus
dimuat secara keseluruhan, tergantung dari jenis Peraturan Daerah dan
kebutuhan pengaturan di daerah. Hendaknya materi muatan yang dipilih tidak
melampaui judul dari rancangan Peraturan Daerah.
Secara keseluruhan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah di Bidang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai berikut:
1. PERENCANAAN.
Dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup agar dapat menunjang
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup,
pemerintahan daerah berwenang untuk menetapkan Rencana Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) provinsi atau RPPLH
kabupaten/kota. RPPLH merupakan perencanaan tertulis yang memuat
rencana mengenai pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam,
pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan fungsi lingkungan hidup,
pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber
daya alam, dan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. RPPLH
provinsi disusun berdasarkan RPPLH nasional, inventarisasi tingkat
pulau/kepulauan,
dan
inventarisasi
tingkat
ekoregion.
RPPLH
kabupaten/kota disusun berdasarkan RPPLH provinsi, inventarisasi tingkat
pulau/kepulauan, dan inventarisasi tingkat ekoregion. RPPLH provinsi
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. RPPLH kabupaten/kota
ditetapkan dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota. RPPLH menjadi
dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka
5
panjang (RPJP) dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM).
RPPLH provinsi atau RPPLH kabupaten/kota disusun sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.
PEMANFAATAN.
Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup di provinsi
dilakukan berdasarkan RPPLH provinsi. Pemanfaatan sumber daya alam
dan lingkungan hidup di kabupaten/kota dilakukan berdasarkan RPPLH
kabupaten/kota. Jika RPPLH provinsi atau RPPLH kabupaten/kota belum
tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup di
provinsi atau kabupaten/kota didasarkan pada daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan keberlanjutan proses
dan fungsi lingkungan hidup, keberlanjutan produktivitas lingkungan
hidup, dan keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
Gubernur menetapkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
provinsi
dan
ekoregion
lintas
kabupaten/kota.
Bupati/walikota
menetapkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
kabupaten/kota dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota. Penetapan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang dilakukan oleh
gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan pedoman tata cara
penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
3.
PENGENDALIAN.
Untuk melestarikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
dilakukan pengendalian pencemaran dan/atau pengendalian kerusakan
lingkungan hidup. Dalam pelaksanaan pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup dapat terlibat berbagai pihak, baik
pemerintah daerah, dunia usaha dan/atau masyarakat sesuai dengan
tugas, wewenang dan perannya masing-masing. Pengendalian pencemaran
dan/atau pengendalian kerusakan lingkungan hidup meliputi:
a. Pencegahan.
Pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
dilakukan sebelum terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup. Untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup dilakukan melalui instrumen:
1) Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang selanjutnya disingkat
KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistimatis, menyeluruh, dan
partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program. Pelaksanaan KLHS merupakan kewajiban bagi
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi dasar dan telah terintegrasi dalam kebijakan, rencana dan
program
(KRP)
pemerintah
provinsi
dan
pemerintah
kabupaten/kota. KLHS dilaksanakan pada tahap penyusunan dan
evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) beserta rencana
rincinya, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD),
dan KRP lainnya yang berpotensi menimbulkan dampak
dan/atau risiko terhadap lingkungan hidup. Oleh karena itu,
KLHS
tidak
merupakan
dokumen
yang
berdiri
sendiri,
melainkan terkait dengan KRP. Untuk melaksanakan KLHS dalam
penyusunan dan evaluasi KRP, pemerintah provinsi dan pemerintah
6
kabupaten/kota cukup mengacu pada peraturan perundangundangan yang mengatur KLHS. Dengan demikian, untuk
menyelenggarakan KLHS, pemerintah provinsi atau pemerintah
kabupaten/kota tidak perlu mengatur kembali tata cara
penyelenggaraan KLHS melalui delegasi kewenangan mengatur dalam
peraturan daerah atau peraturan kepala daerah.
2) Tata Ruang
Penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dilakukan dengan
memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup,
serta dilakukan KLHS sebelum RTRW ditetapkan. Namun jika RTRW
telah ditetapkan tetapi belum dilakukan KLHS, KLHS dapat
dilaksanakan pada tahap evaluasi RTRW. Selain itu, bagi usaha
dan/atau kegiatan yang wajib analisis mengenai dampak lingkungan
hidup (Amdal) atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) yang lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan tidak sesuai dengan RTRW, AMDAL atau UKL-UPL
bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan ditolak.
3) Baku Mutu Lingkungan Hidup.
Untuk menentukan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur
melalui baku mutu lingkungan hidup. Baku mutu lingkungan hidup
adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu
sebagai unsur lingkungan hidup. Baku mutu lingkungan hidup
terdiri dari baku mutu media penerima beban limbah (air, air laut,
dan udara), dan baku mutu buangan (air limbah, emisi dan
gangguan):
a). Baku Mutu Air
Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah
permukaan tanah, kecuali air laut dan air fosil. Baku mutu air
adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya di dalam air. Baku mutu air di
daerah hanya dapat ditetapkan dengan peraturan daerah
provinsi, dengan ketentuan lebih ketat dari baku mutu air
nasional. Baku mutu air berlaku untuk akuifer, mata air, sungai,
rawa, danau, situ, waduk, dan muara. Selain itu, pemerintah
provinsi juga dapat menetapkan parameter tambahan di luar
parameter baku mutu air nasional. Baku mutu air dan parameter
tambahan tersebut dicantumkan dalam lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan daerah
provinsi.
b). Baku Mutu Udara Ambien
Untuk menentukan terjadinya pencemaran udara ambien diukur
melalui baku mutu udara ambien. Udara ambien adalah udara
bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfor yang berada di
dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan
dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan
unsur lingkungan hidup lainnya. Baku mutu udara ambien
adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen
yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. Baku mutu
udara ambien hanya dapat ditetapkan oleh pemerintah provinsi,
7
dengan ketentuan lebih ketat atau sama dengan baku mutu
udara nasional. Baku mutu udara ambien daerah tersebut
dicantumkan dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari peraturan daerah provinsi.
c). Baku Mutu Air Laut
Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Untuk
menentukan terjadinya pencemaran air laut ditetapkan baku
mutu air laut. Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau
kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau
harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air laut. Baku mutu air laut di daerah
hanya dapat ditetapkan dalam Peraturan Daerah provinsi, dengan
ketentuan lebih ketat dari baku mutu air laut nasional. Baku
mutu air laut daerah tersebut dicantumkan dalam lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan daerah
provinsi.
d). Baku Mutu Air Limbah.
Limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan
yang berwujud cair. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas
atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan
dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan
atau kegiatan. Baku mutu air limbah di daerah hanya dapat
ditetapkan dengan Peraturan Daerah provinsi, dengan ketentuan
lebih ketat dengan baku mutu air limbah nasional. Baku mutu air
limbah provinsi harus dicantumkan dalam lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah
provinsi. Materi muatan rancangan Peraturan Daerah provinsi
yang mengatur baku mutu air limbah mengatur norma kewajiban
bagi setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk
melakukan pengolahan air limbah dan air limbah yang dibuang
ke sumber air, ke laut dan/atau dimanfaatkan untuk aplikasi
pada tanah telah mentaati baku mutu air limbah yang telah
ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Selain itu, Peraturan Daerah provinsi perlu mengatur
norma larangan bagi setiap penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang melakukan pengenceran air limbah, membuang air
limbah ke laut tanpa izin Menteri Negara Lingkungan Hidup,
membuang air limbah ke sumber air dan/atau memanfaatkan air
limbah untuk aplikasi pada tanah sebelum mendapatkan izin dari
bupati/walikota.
e). Baku Mutu Emisi.
Emisi merupakan zat, energi dan/atau komponen lain yang
dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau
dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai
dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.
Sumber emisi dari setiap usaha dan/atau kegiatan yang
mengeluarkan emisi dari sumber bergerak, sumber bergerak
spesifik, sumber tidak bergerak, maupun sumber tidak bergerak
spesifik. Baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, dan
baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor lama dan
sumber bergerak lainnya yang sudah beroperasi seperti dump
truk, alat berat, kapal bermotor hanya dapat ditetapkan dengan
8
peraturan gubernur, dengan ketentuan lebih ketat dengan baku
mutu emisi nasional. Baku mutu emisi provinsi tersebut
dicantumkan dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari peraturan gubernur. Selain itu, dalam rancangan
peraturan gubernur perlu mengatur norma kewajiban bagi setiap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mentaati
baku mutu emisi sumber bergerak atau baku mutu emisi gas
buang kendaraan bermotor lama.
e). Baku Mutu Gangguan
Baku mutu gangguan adalah batas kadar maksimum sumber
gangguan yang diperbolehkan masuk ke udara dan/atau zat
padat. Baku mutu gangguan terdiri atas baku mutu kebisingan,
baku mutu getaran dan baku mutu kebauan. Baku mutu
kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku mutu
kebisingan kendaraan bermotor lama dan sumber bergerak
lainnya yang sudah beroperasi seperti dump truk, alat berat,
kapal bermotor hanya dapat ditetapkan dengan peraturan
gubernur, dengan ketentuan lebih ketat dengan baku mutu
gangguan nasional. Selain itu, dalam rancangan peraturan
gubernur perlu diatur norma kewajiban bagi setiap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mentaati baku mutu
kebisingan, baku mutu getaran dan baku mutu kebauan.
4) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup,
ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat
fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat
ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan
fungsinya. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup akibat
kebakaran hutan dan/atau lahan skala provinsi atau skala
kabupaten/kota ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota.
Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa pada skala
provinsi atau kabupaten/kota juga ditetapkan oleh gubernur atau
bupati/walikota. Dalam peraturan gubernur atau bupati/walikota
tersebut supaya dirumuskan norma kewajiban bagi setiap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mentaati kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
5) AMDAL, UKL-UPL dan Surat Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup (disebut SPPL).
Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan
bagi
proses
pengambilan
keputusan
tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dalam materi muatan
Amdal supaya mewajibkan setiap rencana usaha dan/atau kegiatan
yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup untuk memiliki
Amdal. Kriteria mengenai dampak penting, kriteria usaha dan/atau
kegiatan yang berdampak penting, dan jenis usaha dan/atau
kegiatan wajib Amdal yang menjadi kewenangan gubernur atau
bupati/walikota tidak perlu dirumuskan kembali dalam suatu
rancangan Peraturan Daerah, melainkan cukup mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kecuali jika gubernur
atau bupati/ walikota akan menetapkan skala/besaran jenis rencana
usaha dan/atau kegiatan lebih kecil dari skala/besaran yang telah
ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup atas dasar
9
pertimbangan ilmiah mengenai daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup, serta tipologi ekosistem setempat diperkirakan
berdampak penting terhadap lingkungan hidup, gubernur atau
bupati/walikota dapat menetapkan jenis rencana usaha dan/atau
kegiatan tersebut sebagai jenis rencana usaha dan/atau kegiatan
yang wajib dilengkapi dengan Amdal.
Dalam materi muatan Amdal juga perlu mewajibkan setiap penyusun
dokumen Amdal untuk memiliki sertifikasi kompetensi dan
mewajibkan komisi penilai Amdal untuk memiliki lisensi. Sertifikasi
kompetensi dan lisensi tersebut cukup mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak
berdampak penting terhadap lingkungan hidup untuk memiliki UKLUPL. UKL-UPL adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha
dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Sedangkan setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak
diwajibkan untuk memiliki Amdal atau UKL-UPL diwajibkan untuk
membuat SKPPL, yang selanjutnya disebut SPPL. Jika kepala daerah
belum menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL
dan SPPL. Dalam rancangan peraturan daerah juga perlu mewajibkan
bupati/walikota untuk menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan
wajib UKL-UPL atau SPPL.
6) Perizinan Lingkungan
Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKLUPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
Materi muatan perizinan lingkungan supaya mengatur norma
kewajiban bagi setiap usaha dan/atau kegiatan yang keputusan
kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPLnya menjadi
kewenangan provinsi atau kabupaten/kota untuk memiliki izin
lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota. Selain itu, materi
muatan izin lingkungan juga mengatur norma bagi setiap usaha
dan/atau kegiatan untuk memiliki izin perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup (PPLH). Izin PPLH diberikan pada tahap usaha
dan/atau kegiatan yang telah beroperasi. Adapun jenis izin PPLH
yang dapat diterbitkan oleh pemerintah daerah merupakan
kewenangan pemerintah daerah yang diberikan secara atribusi
sebagaimana diatur dalam Lampiran H Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota.
Izin PPLH yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota
meliputi izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air, izin
pemanfaatan air limbah untuk aplikasi pada tanah, izin
pengumpulan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3)
pada skala kabupaten/kota kecuali minyak pelumas/oli bekas, izin
lokasi pengolahan limbah B3, dan izin penyimpanan sementara
limbah B3 di industri atau usaha suatu kegiatan.
10
Izin PPLH yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi meliputi
rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional, dan izin
pengumpulan limbah B3 skala provinsi (sumber limbah lintas
kabupaten/kota) kecuali minyak pelumas/oli bekas.
Dalam merumuskan norma perizinan PPLH supaya mencakup:
a) pejabat yang berwenang menerbitkan izin di provinsi oleh
gubernur sedangkan di kabupaten/kota oleh bupati/ walikota;
b) jenis izin yang diberikan merupakan kewenangan pemerintah
provinsi atau pemerintah kabupaten/kota dalam penerbitan izin
sebagaimana tercantum dalam lampiran H Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
c) persyaratan izin sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang diatur oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup;
d) prosedur/mekanisme permohonan izin;
e) masa berlakunya izin 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang;
f) berakhirnya izin; dan
g) peran serta masyarakat dalam pemberian izin.
7) Instrumen ekonomi lingkungan hidup.
Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan
ekonomi untuk mendorong pemerintah daerah, atau setiap orang ke
arah pelestarian fungsi lingkungan hidup. Instrumen ekonomi
lingkungan hidup, antara lain:
a) Neraca Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (NSDA dan
LH).
Pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk menyusun dan
menggunakan NSDA dan LH dalam perencanaan pembangunan
dan kegiatan ekonomi. Demikian pula pada setiap pengambilan
keputusan penetapan target pertumbuhan ekonomi, pemanfaatan
dan konservasi SDA dan LH harus didasarkan atas kajian NSDA
dan LH. NSDA dan LH provinsi merupakan kompilasi NSDA dan
LH yang disusun oleh setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah
(SKPD) provinsi dan kabupaten/kota
Dalam instrumen ekonomi lingkungan hidup, gubernur
menetapkan penyusunan NSDA dan LH dan mengkoordinasikan
pelaksanaannya
serta
menggunakannya
sebagai
dasar
perencanaan, pertumbuhan ekonomi dan kebijakan pemanfaatan
SDA dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
NSDA dan LH kabupaten/kota merupakan kompilasi NSDA dan
LH yang disusun oleh SKPD kabupaten/kota. Bupati/walikota
menetapkan penyusunan NSDA dan LH dan mengoordinasikan
pelaksanaannya
serta menggunakannya sebagai dasar
perencanaan, pertumbuhan ekonomi dan kebijakan pemanfaatan
SDA dan LH yang berkelanjutan.
b) Produk Domestik Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto
(PDB/PDRB).
PDB/PDRB Hijau disusun oleh pemerintah daerah. PDB/PDRB
Hijau digunakan oleh pemerintah daerah untuk memberikan arah
perencanaan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang
11
lebih berkelanjutan, memberikan gambaran yang lebih tepat
terhadap hasil pembangunan, mengukur kinerja pembangunan
berdasarkan pertimbangan lingkungan hidup, dan pengambilan
keputusan pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam dan
lingkungan hidup.
c) Mekanisme
kompensasi/imbal
jasa
lingkungan
hidup
antardaerah.
SKPD provinsi dan kabupaten/kota yang tugasnya terkait dengan
pemanfaatan dan pengelolaan SDA dan LH menyediakan data
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Kegiatan ekonomi
yang diperkirakan mempengaruhi jasa lingkungan hidup di
daerah lain untuk
melakukan perencanaan pemanfaatannya
dengan baik. Untuk dapat melaksanakan kompensasi/imbal jasa
lingkungan hidup harus tunduk pada daya tampung/daya
dukung guna tidak melebihi daya eksploitatif jasa lingkungan
hidup. Penerima manfaat imbal jasa lingkungan hidup harus
menyediakan anggaran untuk memberi kompensasi/imbal jasa
lingkungan hidup. Pemerintah daerah menganggarkan dana
untuk pembayaran jasa lingkungan hidup. Anggaran untuk
pembayaran kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup dapat
diambil dari kompensasi/ imbal jasa lingkungan hidup melalui
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Nilai
kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup harus digunakan
sebesar-besarnya untuk kegiatan konservasi, peningkatan
kapasitas masyarakat, pengembangan perekonomian berbasis
keberlanjutan, dan pengembangan infrastruktur pendukungnya.
Kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup didasari kerja sama
antarpemerintah daerah dan/atau masyarakat sebagai pihak
penyedia dan pemanfaat jasa lingkungan hidup. Pemerintah
daerah mempunyai kewajiban untuk menanggung biaya
internalisasi dari kegiatan pembangunan, sedangkan pemanfaat
SDA dan pelaku pencemaran mempunyai kewajiban untuk
menanggung biaya internalisasi kerusakan lingkungan hidup
yang terkait dengan kegiatannya.
d) Dana penjaminan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dapat
menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi
lingkungan hidup dengan menggunakan dana jaminan pemulihan
lingkungan hidup untuk upaya pemulihan lingkungan hidup
pasca operasi dan/atau penanganan tanggap darurat apabila
badan usaha tidak melakukan kewajibannya. Pejabat yang
menerbitkan izin lingkungan mengawasi pelaksanaan dana
jaminan pemulihan lingkungan hidup.
e) Dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan
pemulihan lingkungan hidup .
Pemerintah daerah menyiapkan dana
penanggulangan
pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan
12
hidup melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan
pemulihan merupakan dana yang disiapkan oleh pemerintah
daerah untuk penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup
akibat peristiwa yang tidak jelas sumber dan pelaku pencemaran
dan/atau perusakan serta kegiatan tanggap darurat. Kegiatan
tanggap
darurat
tersebut
merupakan
kegiatan
untuk
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan
sebelum pelaku pencemaran dan perusakan diketahui.
f)
Pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup.
Pemerintah daerah mendorong pengadaan barang dan jasa yang
ramah lingkungan hidup.
g) Pengembangan
sistem
penghargaan
kinerja
di
bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pemerintah daerah mengembangkan sistem penghargaan kinerja
di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Sistem tersebut bertujuan untuk memberikan penghargaan
kepada perseorangan, masyarakat/kelompok, lembaga dan
instansi pemerintah yang berjasa dalam melakukan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Pemerintah daerah dalam
mengembangkan sistem penghargaan kinerja tersebut dilakukan
dengan menyusun program-program penghargaan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, menyusun
kriteria-kriteria penilaian dan kelayakan pemberian penghargaan,
menyosialisasikan
program-program
penghargaan,
dan
melakukan harmonisasi dengan penghargaan kinerja di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di instansi
pemerintah.
h) Pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup.
Peran pemerintah daerah dalam memfasilitasi pengembangan
sistem pembayaran jasa lingkungan hidup, dengan menginisiasi
pembayaran jasa lingkungan hidup apabila terdapat potensi
dan/atau kerusakan lingkungan hidup, memberikan subsidi
lingkungan hidup kepada setiap orang yang usaha dan/atau
kegiatannya berdampak terhadap perbaikan fungsi lingkungan
hidup dan mengalokasikan anggaran subsidi bagi usaha
dan/atau kegiatan tersebut.
8) Analisis Risiko Lingkungan Hidup.
Analisis risiko lingkungan hidup adalah prosedur yang antara lain
digunakan untuk mengkaji pelapasan dan peredaran produk
rekayasa genetik dan pembersihan (clean up) limbah bahan
berbahaya dan beracun. Setiap usaha dan/kegiatan yang berpotensi
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman
terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan dan
keselamatan manusia untuk melakukan analisis resiko lingkungan
hidup. Analisis risiko lingkungan hidup terdiri dari pengkajian risiko,
pengelolaan risiko, dan komunikasi risiko. Pengkajian risiko meliputi
seluruh proses mulai dari identifikasi bahaya, penaksiran besarnya
13
konsekuensi atau akibat, dan penaksiran kemungkinan munculnya
dampak yang diinginkan, baik terhadap keamanan dan kesehatan
manusia maupun lingkungan hidup. Pengelolaan risiko meliputi
evaluasi risiko atau seleksi risiko yang memerlukan pengelolaan,
identifikasi pilihan pengelolaan risiko, pemilihan tindakan untuk
pengelolaan, dan pengimplementasian tindakan yang dipilih.
Pelaksanaan analisis risiko lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
9) Audit Lingkungan Hidup.
Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk
menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh
pemerintah. Gubernur atau bupati/walikota hanya dapat mendorong
bagi setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk
melakukan audit lingkungan hidup yang bersifat sukarela. Selain itu,
gubernur atau bupati/walikota dapat mengusulkan kepada Menteri
Negara Lingkungan Hidup untuk dikeluarkannya perintah
pelaksanaan audit lingkungan hidup yang diwajibkan dan audit
lingkungan berkala. Mekanisme pelaksanaan audit lingkungan hidup
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Penanggulangan.
Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang sedang berlangsung dilakukan setelah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Penanggulangan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup merupakan tanggung jawab
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Jika penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan penanggulangan,
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memerintahkan
kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, melaksanakan atau
dengan menunjuk pihak ketiga untuk melakukan penanggulangan
dengan beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atau
menggunakan dana pejaminan penanggulangan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup. Penanggulangan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup merupakan tindakan untuk menghentikan
sumber dampak, mengurangi dan memperkecil sebaran dampak, dan
melakukan tindakan pengurangan risiko yang timbul terhadap
lingkungan hidup, termasuk upaya untuk mengurangi kerugian lain
yang ditimbulkan akibat dampak yang terjadi dari usaha dan/atau
kegiatan.
Pelaksanaan
penanggulangan
pencemaran
dan/atau
kerusakan lingkungan hidup tidak membebaskan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan, memberikan
ganti kerugian dan/atau tuntutan pidana.
c. Pemulihan.
Pemulihan kondisi lingkungan hidup yang tercemar dan/atau rusak
dilakukan akibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
Pemulihan lingkungan hidup merupakan upaya dan tindakan untuk
memperbaiki kualitas lingkungan hidup yang tercemar dan/atau rusak
agar kembali pada keadaan semula sesuai daya dukung, daya tampung
dan produktivitas lingkungan, atau alih fungsi pemanfaatan dan relokasi
kegiatan sumber pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
14
Pemulihan lingkungan hidup merupakan tanggung jawab penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan. Jika penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan tidak melaksanakan pemulihan lingkungan hidup, pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memerintahkan kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan,
melaksanakan atau
menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan pemulihan lingkungan
hidup dengan beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
atau melalui dana penjaminan pemulihan lingkungan. Pelaksanaan
pemulihan kondisi lingkungan hidup yang tercemar tidak membebaskan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk memberikan ganti
kerugian dan/atau tuntutan pidana.
4.
PEMELIHARAAN.
Pemeliharaan lingkungan hidup adalah upaya yang dilakukan untuk
menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
penurunan atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh
perbuatan manusia. Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui
upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam, dan
pelestarian fungsi atmosfir.
Konservasi sumber daya alam, antara lain konservasi sumber daya air,
ekosistem hutan, ekosistem pesisir dan laut, energi, ekosistem lahan
gambut, dan ekosistem kars. Koservasi sumber daya alam meliputi kegiatan
perlindungan sumber daya alam, pengawetan sumber daya alam untuk
menjaga keutuhan dan keaslian sumber daya alam beserta ekosistemnya,
dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.
Pencadangan sumber daya alam merupakan sumber daya alam yang tidak
dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu. Pencadangan sumber daya
alam meliputi sumber daya alam yang dapat dikelola dalam jangka panjang
dan waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan. Untuk melaksanakan
pencadangan sumber daya alam, pemerintah provinsi atau pemerintah
kabupaten/kota
dan
perseorangan
dapat
membangun
taman
keanekaragaman hayati di luar kawasan hutan, ruang terbuka hijau (RTH)
paling sedikit 30% dari luasan pulau/kepulauan, dan/atau menanam dan
memelihara pohon di luar kawasan hutan khususnya tanaman langka.
Pelestarian fungsi atmofer dilakukan melalui mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim, perlindungan lapisan ozon, dan perlindungan terhadap
hujan asam. Mitigasi perubahan iklim dilakukan melalui upaya penurunan
emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada bidang-bidang prioritas secara terukur,
terlaporkan dan terverifikasi dengan melaksanakan inventarisasi GRK.
Sedangkan adaptasi perubahan iklim dilakukan sejalan dengan kegiatan
penurunan emisi GRK pada bidang-bidang prioritas tersebut. Perlindungan
lapisan ozon diimplementasikan dengan melaksanakan inventarisasi Bahan
Pencemar Ozon (BPO), dan menyusun serta menetapkan kebijakan
perlindungan lapisan ozon skala provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah
daerah juga perlu menyusun dan menetapkan kebijakan perlindungan
terhadap hujan asam skala provinsi dan kabupaten/kota, dan melakukan
upaya pemantauan kualitas udara; pemantauan dampak Hujan Asam; dan
penaatan terhadap Baku Mutu Udara Ambien, dan Baku Mutu Emisi.
5.
PENGELOLAAN LIMBAH BERBAHAYA DAN BERACUN (PL-B3).
Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah
B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
Pengelolaan limbah B3 merupakan kegiatan yang meliputi pengurangan,
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan,
15
dan/atau penimbunan. Dalam materi muatan rancangan Peraturan Daerah
perlu mewajibkan penghasil limbah B3 untuk melakukan pengelolaan
limbah B3, baik dilakukan oleh penghasil sendiri atau diserahkan kepada
pihak lain yang telah memiliki izin. Ruang lingkup materi muatan yang
diatur dalam rancangan Peraturan Daerah provinsi meliputi izin
pengumpulan limbah B3 skala provinsi (sumber limbah lintas
kabupaten/kota) kecuali minyak pelumas/oli bekas, rekomendasi izin
pengumpulan limbah B3 skala nasional, pengawasan pelaksanaan
pengelolaan limbah B3 skala provinsi, pengawasan pelaksanaan pemulihan
akibat pencemaran limbah B3 pada skala provinsi, pengawasan
pelaksanaan sistem tanggap darurat skala provinsi, dan pengawasan
penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 skala provinsi.
Sedangkan ruang lingkup materi muatan yang diatur dalam rancangan
Peraturan Daerah kabupaten/kota meliputi Izin lokasi pengolahan limbah
B3, izin pengumpulan limbah B3 pada skala kabupaten/kota kecuali
minyak pelumas/oli bekas, izin penyimpanan sementara limbah B3 di
industri atau usaha suatu kegiatan, pengawasan pelaksanaan pengelolaan
limbah B3 skala kabupaten/kota, pengawasan pelaksanaan pemulihan
akibat pencemaran limbah B3 pada skala kabupaten/kota, pengawasan
pelaksanaan sistem tanggap darurat skala kabupaten/kota, dan
pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3
kabupaten/kota.
6.
DUMPING.
Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan,
dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah,konsentrasi,
waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media
lingkungan hidup tertentu. Dalam Peraturan Daerah yang mengatur materi
muatan dumping supaya mengatur norma larangan bagi setiap orang yang
meliputi orang-perorangan, kelompok orang dan badan usaha, baik yang
berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum
yang melakukan
dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup dengan izin
dari gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup dilakukan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
atau
didelegasikan pengaturannya ke dalam peraturan kepala daerah.
7.
HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN.
Dalam rancangan Peraturan Daerah perlu dirumuskan apa yang menjadi
hak dan kewajiban para pemangku kepentingan yang berkaitan dengan
materi muatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sepanjang
mengenai hak dan kewajiban pemerintah daerah dirumuskan sebagai tugas
dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam kaitannya dengan materi
muatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Rumusan norma
tentang tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah tersebut mempunyai
konsekuensi, misalnya: menyediakan pendanaan bagi terselenggaranya
pokok materi aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
pembinaan dan
pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber
daya manusia di daerah. Pengaturan mengenai kewajiban masyarakat
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, selain untuk
masyarakat pada umumnya, misalnya: melaporkan kepada aparat
terdekat mengenai terjadinya kasus pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup, juga
ditujukan bagi pemegang izin lingkungan,
misalnya: kewajiban untuk mematuhi persyaratan dan kewajiban
dalam izin lingkungan, kewajiban untuk melakukan pemantauan dan
menyampaikan hasil pemantauannya kepada instansi lingkungan hidup.
Pengaturan
mengenai
larangan
karena
ada
konsekuensi
dengan
ketentuan
pidana
dalam rancangan Peraturan Daerah,
16
sehingga dalam merumuskan norma larangan supaya lebih dititik beratkan
pada larangan yang bobot pelanggarannya lebih ringan dari ketentuan
dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya:tidak membuat
saluran pembuangan air limbah yang kedap air, tidak memasang alat
pengukur debit air limbah (flow meter), tidak melakukan pengolahan air
limbah, dan tidak melaporkan hasil pemantauan air limbah.
8.
SISTEM INFORMASI LINGKUNGAN HIDUP.
Dalam rancangan Peraturan Daerah supaya mewajibkan pemerintah
provinsi atau pemerintah kabupaten/kota untuk mengembangkan sistem
informasi lingkungan hidup yang memuat paling sedikit status lingkungan
hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup
lainnya. Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan
terkoordinasi serta wajib dipublikasikan kepada masyarakat.
9.
PERAN SERTA MASYARAKAT.
Peran serta masyarakat merupakan hak demokrasi yang melekat pada
setiap orang, sehingga substansi dan prosedurnya paling sedikit harus
mencerminkan jaminan hak atas informasi, hak untuk berperanserta
dalam pengambilan keputusan, dan hak atas akses keadilan dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
10. PERLINDUNGAN DAN PENGAKUAN MASYARAKAT ADAT.
Dalam rancangan peraturan daerah sedapat mungkin diupayakan untuk
mengatur tata cara pengakuan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan
hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Pengakuan masyarakat ini diatur sepanjang
masyarakat adat atau kearifan lokal masih ada dan diakui keberadaannya.
Materi muatan perlindungan dan pengakuan masyarakat adat diatur
sepanjang materi muatan yang tertuang di dalam rancangan Peraturan
Daerah ada relevansinya dengan masyarakat adat, misalnya rancangan
Peraturan Daerah yang terkait dengan kegiatan pertambangan dan
kehutanan.
11. TUGAS DAN WEWENANG.
Dalam merumuskan norma wewenang ini terutama menunjuk pada
penetapan kebijakan pemerintah daerah dan program pelaksanaannya
dalam kaitan dengan pokok materi aspek perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang diatur dalam rancangan Peraturan Daerah.
Disamping itu, keterpaduan antarsektor di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup merupakan tuntutan arah kebijakan yang
juga harus dinormakan dalam suatu rancangan Peraturan Daerah.
Keterpaduan antarsektor seperti pertambangan, kehutanan, perindustrian,
pariwisata, perumahan dan lain sebagainya dilakukan secara sinergis
dalam rangka penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup di daerah. Dalam merumuskan tugas, wewenang dan kewajiban
pemerintah daerah di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup supaya mengacu pada ketentuan Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3)
Udang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Lampiran H Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
17
12. KELEMBAGAAN LINGKUNGAN HIDUP.
Dalam merumuskan norma kelembagaan pada intinya menunjuk lembaga
yang ditugasi untuk melaksanakan kewenangan provinsi atau
kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Lampiran H Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota. Lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut tidak cukup hanya
suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan
kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio
menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga tersebut diharapkan
juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya
alam untuk kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas
pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang memadai.
13. KERJA SAMA DAERAH.
Dalam hal tertentu rancangan Peraturan Daerah yang mengatur materi
muatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat
dirumuskan norma kerja sama daerah mengenai pokok materi aspek
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kerja sama daerah dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan
terutama
dengan daerah yang saling berpengaruh secara timbal balik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila suatu daerah menjadi
satu kesatuan ekosistem dengan daerah lain, daerah yang ditetapkan
menjadi daerah konservasi perlu mendapatkan insentif dari daerah lain
yang memperoleh manfaat dari penetapan sebagai daerah konservasi. Kerja
sama daerah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat
dilakukan secara vertikal maupun horizontal, yaitu antara gubernur
dengan gubernur lain, atau antara gubernur dengan bupati/walikota, atau
antara bupati/walikota dengan bupati/walikota lain, dan/atau antara
gubernur, bupati/walikota dengan pihak ketiga. Yang dimaksud dengan
pihak ketiga meliputi Lembaga Pemerintah Kementerian/Lembaga
Pemerintah Non Kementerian atau perusahaan swasta yang berbadan
hukum, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD), Koperasi, Yayasan, dan lembaga di dalam negeri lainnya yang
berbadan hukum. Pihak-pihak yang akan melakukan kerja sama tersebut
dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam
penormaan materi muatan kerja sama daerah tetap berpedoman pada
peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, dan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.
14. PEMANTAUAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP.
Dalam merumuskan norma pemantauan kualitas lingkungan hidup dengan
mewajibkan kepada pemerintah daerah untuk mengetahui kecenderungan
kualitas lingkungan hidup, misalnya: sungai, danau, laut dan udara.
Adapun frekuensi pemantauan kualitas lingkungan hidup yang dilakukan
oleh pemerintah daerah telah ditentukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Selain itu, pemantauan lingkungan hidup dapat
18
dilakukan oleh pihak penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan serta
masyarakat.
15. PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP.
Rumusan norma pengawasan dalam rancangan Peraturan Daerah meliputi:
a. siapa yang berwenang melakukan pengawasan;
Pejabat yang berwenang melakukan pengawasan di provinsi adalah
gubernur, sedangkan di kabupaten/kota adalah bupati/walikota. Untuk
melaksanakan pengawasan, gubernur atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya menetapkan pejabat pengawas lingkungan
hidup daerah sebagai jabatan fungsional lingkungan hidup.
b. tujuan pengawasan;
Secara umum, pengawasan bertujuan untuk mengetahui tingkat
ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam izin lingkungan dan
peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
c. wewenang pejabat pengawas;
Kewenangan pengawas lingkungan diatur dalam Pasal 74 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang meliputi: melakukan
pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan
atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu,
memotret, membuat rekaman audio visual, mengambil sampel,
memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi,
dan/atau menghentikan pelanggaran tertentu.
d. kewajiban pejabat pengawas: membawa surat tugas dan tanda
pengenal, memperhatikan situasi dan kondisi di tempat pengawasan,
dan melaporkan hasil pengawasan.
e. Mekanisme pengawasan lingkungan.
Dalam merumuskan norma mekanisme pengawasan lingkungan
didelegasikan pengaturannya dalam peraturan gubernur atau
bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
16. SANKSI ADMINISTRATIF.
Dalam merumuskan norma sanksi administratif harus memperhatikan dan
mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. pelanggaran administratif yang berupa pelanggaran terhadap
persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam izin lingkungan dan
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
b. pejabat yang berwenang mengenakan sanksi administratif;
c. jenis sanksi administratif yang dikenakan terhadap pelanggaran
administratif meliputi: teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda atas
keterlambatan pelaksanaan paksaan pemerintah, pembekuan izin, dan
pencabutan izin.
d. tindakan pejabat yang berwenang menerbitkan izin dalam menerapkan
sanksi administratif;
e. prosedur dan pentahapan penerapan sanksi administratif sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
17. PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP.
Sengketa lingkungan hidup merupakan perselisihan antara dua pihak atau
lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak
pada lingkungan hidup. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat
dilakukan diluar pengadilan maupun melalui pengadilan tergantung
kesepakatan para pihak yang bersengketa. Pemerintah daerah bertindak
19
sebagai pihak yang mewakili lingkungan hidup atas pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang bukan milik privat. Pemerintah daerah
juga dapat bertindak sebagai pihak ketiga (fasilitator, dan mediator) dalam
penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Pemerintah Daerah memfasilitasi
masyarakat dalam pembentukan lembaga penyelesaian sengketa
lingkungan hidup di luar pengadilan.
18. PENDANAAN.
Dalam merumuskan norma tentang pendanaan bagi penyelenggaraan
pokok materi aspek pengelolaan lingkungan hidup dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kegiatan
pemantauan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah,
atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk pelaksanaan
pencegahan, penanggulangan dan pemulihan lingkungan.
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BALTHASAR KAMBUAYA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Humas,
ttd
Inar Ichsana Ishak
20
Download