SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN SOSIOLOGI BAB III NILAI DAN NORMA SOSIAL ALI IMRON, S.Sos., M.A. Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2017 BAB III NILAI DAN NORMA SOSIAL A. Kompetensi Inti Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu B. Kompetensi Dasar Memahami kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu C. Uraian Materi Pembelajaran : 1. Nilai dan Norma Sosial a. Nilai sosial Baiklah saya mulai terlebih dahulu dengan definisi nilai. Nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, yang berharga, yang mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu. Anda mungkin bertanya mengapa sosiologi mempelajari nilai? Sosiologi tidak akan berbicara tentang nilai itu sendiri atau sosiologi tidak akan membicarakan mengapa sesuatu itu bernilai dan mengapa yang lain tidak? Apa yang dibicarakan dalam sosiologi hanyalah melihat sejauhmana suatu nilai tertentu mempengaruhi perilaku seseorang dan hubungannya dengan orang lain. Salah satu contoh menarik pengaruh nilai terhadap perilaku manusia adalah studi Max Weber tentang pengaruh etika Protestan terhadap perilaku ekonomi kapitalis. Etika Protestan menanamkan nilai-nilai agama yang tentunya sangat berguna bagi keselamatan manusia. Ajaran agama kemudian menjadi sangat bernilai untuk diri seseorang, sehingga ajaran agama ini mempengaruhi perilaku. Salah satu ajaran yang penting dalam agama Protestan sekte Kalvinisme adalah predestinasi. Predestinasi berarti tujuan yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Yang dimaksudkan dengan tujuan di sini adalah kehidupan sesudah mati (Johson, 1994: 55-58). Anda pasti mengetahui bahwa menurut ajaran agama Kristen, sesudah mati manusia akan hanya masuk salah satu kemungkinan: surga/nirwana atau neraka. Nah, apa yang harus diperbuat oleh manusia. 1 Gambar 3.1 Biografi Max Weber Sumber: http://slideplayer.com/slide/9023999/ Setiap orang sebenarnya sudah tahu tentang konsep surga, selalu menggambarkan sebagai suatu tempat yang baik. Hidup di dunia pada dasarnya hanya mempersiapkan diri untuk bisa masuk surga. Tetapi masuk surga atau neraka sebenarnya sudah ada dalam tangan Tuhan (takdir), dan manusia tidak tahu. Dengan keadaan ini gereja memberikan harapan kepada manusia bahwa karena Allah itu Maha Baik. Penganut agama Kristen percaya bahwa manusia dipredestinasikan Allah untuk masuk surga. Karena manusia menempatkan diri sebagai orang yang nantinya akan masuk surga maka orang itu harus menjauhkan diri dari dosa dan semua perbuatan jahat. Salah satu usaha menghindari dosa adalah kerja keras. Konsekuensi dari kerja keras antara lain adalah kekayaan. Kekayaan sebenarnya cenderung membawa manusia ke dosa, namun menurut ajaran Kalvinisme kekayaan tidak membawa manusia ke perbuatan dosa. Untuk itu manusia harus melakukan asketisme atau mati raga. Artinya, manusia harus sebanyak mungkin mengurangi kenikmatan duniawi. Konsekuensi dari asketisme ini adalah menumpuknya kekayaan. Dalam ajaran kapitalisme, kekayaan adalah modal yang sangat berharga untuk melakukan investasi. Dari contoh di atas Anda saya kira semakin paham bagaimana sosiologi menjelaskan nilai. Sosiologi tertatik terhadap nilai dalam 2 hubungannya dengan perilaku manusia. Nah, untuk memperkaya pengetahuan Anda tentang pengaruh nilai terhadap perilaku menusia ini Anda dapat mengeksplorasi sendiri dalam dunia kenyataan sehari-hari di masyarakat. b. Norma sosial Setelah Anda mempunyai pemahaman tentang nilai sosial, saya akan mengajak Anda untuk memahami norma-norma sosial. Di dalam kenyataan sehari-hari, kehidupan sosial manusia tidaklah hanya berwujud suatu jumlah perilaku atau hubungan-hubungan sosial, melainkan juga berwujud suatu sistem determinan yang disebut dengan sistem norma. Dengan demikian, kehidupan sosial manusia mempunyai kenyataan ganda. Norma sosial didefinisikan sebagai patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma sosial memungkinkan seseorang untuk menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya akan dinilai oleh orang lain (Lawang, 1984: 34). Saya menggunakan contoh di lingkungan kerja Anda. Di sekolah, ada norma sosial yang mengatur hubungan antara pendidik dengan peserta didik. Pendidik dan peserta didik berada dalam satu kelompok belajar mengajar (kelas). Peserta didik harus menghormati pendidiknya dan peserta didik selalu mentaati apa yang diperintahkan oleh pendidiknya. Tentang norma sosial ini tentu semua dari Anda sudah tahu, namun jarang sekali kita menyadarinya. Kita baru menyadarinya bila salah satu pihak melakukan pelanggaran yang kemudian tidak mengenakkan salah satu pihak. Anda mungkin masih belum paham tentang norma-norma sosial ini. Baiklah saya akan mengajak Anda untuk mengingat kembali apa yang dikatakan oleh Emile Durkheim sebagai fakta sosial. Norma-norma sosial tidak lain adalah fakta sosial yaitu cara berpikir, berperasaan dan bertindak yang berada di luar individu, namun memiliki kekuatan memaksa agar individu mentaatinya. Norma sosial memaksa orang untuk bertindak sesuai dengan apa yang tercantum dalam norma sosial itu. Apabila terjadi pelanggaran terhadap norma sosial itu, maka kepada si pelanggar terhadap norma sosial akan dikenakan sanksi, yaitu hukuman yang diterima seseorang karena pelanggaran itu. Emile Durkheim mengklasifikasi sanksi dalam dua bentuk, yaitu sanksi represif dan sanksi restitutif. Sanksi represif adalah sanksi yang memberikan penderitaan kepada para pelanggar norma-norma sosial. Sanksi ini mendefinisikan setiap perilaku sebagai sesuatu 3 yang jahat, yang mengancam atau melanggar kesadaran kolektif. Hukuman terhadap pelanggar kesadaran kolektif memperlihatkan pelanggaran moral dari kelompok melawan ancaman atau penyimpangan seperti itu, karena mereka merusakkan dasar keteraturan sosial. Hukuman tidaklah harus mencerminkan pertimbangan rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secara objektif yang menimpa masyarakat itu, juga tidak merupakan pertimbangan yang diberikan untuk menyesuaikan hukuman itu dengan kejahatannya. Sebaliknya, hukuman itu mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif dari anggota masyarakat. Tujuan dari sanksi represif ini adalah untuk memberikan efek jera bagi para pelaku pelanggaran kesadaran kolektif. Sanksi represif ini lebih banyak diterapkan pada masyarakat yang bertipe solidaritas mekanis. Contoh: amuk massa terhadap pelaku pencurian kendaraan bermotor. Gambar 3.2 Amuk Massa terhadap Pencuri Sebagai Bukti dari Implementasi Sanksi Reprefif Sumber: http://bogordaily.net/ Sementara itu, pada masyarakat yang bertipe solidaritas organis lebih banyak menerapkan sanksi restitutif. Sanksi restitutif ini berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara pelbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sanksi bukan bersifat balas 4 dendam, melainkan sekedar memulihkan keadaan yang telah dilanggar. Sanksi lebih bersifat rasional, disesuaikan dengan parahnya pelanggaran dan bertujuan untuk memulihkan atau melindungi hak-hak dari pihak yang dirugikan atau menjamin bertahannya saling ketergantungan yang kompleks. Sanksi restitutif ini diterapkan pada masyarakat yang bertipe solidaritas organis. Contoh: sanksi denda. Sekarang saya akan mengajak Anda untuk mengklasifikasikan norma-norma sosial. Harus disadari bahwa meskipun kita bisa membuat klasifikasi, namun tidak selamanya mudah untuk membedakan satu sama lain. Salah satu cara untuk membedakan jenis-jenis norma-norma sosial adalah berat atau ringanya sanksi. Ada norma sosial yang tidak mengancamkan sanksi fisik, dan ada norma sosial yang mengancamkan sanksi fisik. Norma-norma sosial dapat dibedakan menjadi apa yang disebut folkways, mores, dan hukum. Baiklah, saya akan mengajak Anda untuk memahami satu persatu jenis-jenis norma sosial tersebut berikut ini: 1) Folkways Apabila kita melihat arti katanya, folkways itu berarti tatacara (ways) yang lazim dikerjakan atau diikuti oleh rakyat kebanyakan (folk). Dalam referensi sosiologi, folkways dimaksudkan untuk menyebutkan seluruh norma-norma sosial yang terlahir dari adanya pola-pola perilaku yang selalu diikuti oleh orang-orang kebanyakan karena dipandang sebagai sesuatu hal yang lazim. Meskipun folkways semula memang merupakan suatu kebiasaan dan kelaziman belaka, namun karena dikerjakan secara berulang-ulang, maka berangsur-angsur terasa kekuatannya sebagai hal yang bersifat standar dan wajib dijalani. Anda mungkin tanpa menyadari bahwa apa yang Anda lakukan adalah menjadi bagian dari folkways. Misalnya, memakai baju rapi ketika pergi ke kantor, berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar ketika mengajar di kelas, mencuci tangan sebelum makan, berdoa telebih dahulu sebelum makan, atau mengucapkan salam bila bertemu dengan teman, adalah contoh dari folkways. Dengan mengikuti folkways, anggota masyarakat dapat menyelesaikan urusan-urusan dengan cepat dan ringan. Orang tidak perlu lagi memikirkan cara apa yang harus dipakai untuk menyelesaikan suatu urusan, karena folkways sudah menyediakan cara atau petunjuk untuk menyelesaikan urusan tersebut. 5 Seperti norma-norma sosial yang lain, folkways juga menjalankan fungsi sebagai sarana pengontrol dan penentu keadaan tertib sosial. Folkways juga mengancamkan sanksi-sanksi kepada siapa saja yang tidak menjalaninya. Sanksi-sanksi folkways relatif ringan dan sifatnya tidak formal, melainkan bersifat informal, seperti berupa sindiran atau pergunjingan. Sanksi folkways juga dijatuhkan berdasarkan kelaziman pula. 2) Mores Dibandingkan folkways, mores dianggap lebih esensial bagi terjaminnya kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, mores selalu dipertahanakan oleh ancamanancaman sanksi yang lebih keras. Pelanggaran terhadap mores selalu disesali dengan sangat dan orang selalu berusaha dengan keras agar tidak melanggar mores. Persamaan antara mores dengan folkways terletak pada ketidakjelasan asal-usulnya dan terjadi tidak terencana. Selain itu, mores dan folkways dipertahankan oleh sanksi-sanksi yang bersifat informal dan komunal, berupa sanksi spontan dari kelompok masyarakat. Meskipun terdapat kesamaan, namun mores lebih dipandang sebagai bagian dari hakikat kebenaran. Mores adalah segala norma yang secara moral dipandang benar. Pelanggaran terhadap mores selalu dikutuk sebagai sesuatu hal secara moral tudak dapat dibenarkan. Mores tidak memerlukan dasar pembenaran, karena mores sendiri adalah sesuatu yang sungguh-sungguh telah bernilai benar. Mores tidak bisa diganggu gugat untuk diteliti benar tidaknya. Mores sering dirumuskan dalam bentuk sebuah larangan keras. Mores yang dirumuskan dalam bentuk negatif berupa larangan disebut dengan tabu. Sebagai contoh, misalnya seorang perempuan gadis yang keluar rumah pada malam hari bahkan dini hari. Masyarakat pada umumnya masih menganggao hal ini sebagai tabu. 3) Hukum Tidak semua masyarakat dapat menegakan ketertiban sosial, seperti yang terjadi pada masyarakat primitif. Pada umunya, disamping adanya folkways dan mores, diperlukan pula adanya kaidah lain yang lazim disebut dengan hukum yang bertujuan untuk menegakan ketertiban sosial masyarakat. Pada kaidah sosial berupa hukum ditemukan adanya organisasi politik yang secara formal dan melalui prosedur berfungsi 6 memaksakan ditaatinya kaidah-kaidah sosial. Inilah oraganisasi politik yang dikenal sebagai lembaga peradilan. Dengan semakin bertambah besar dan kompleksnya masyarakat, pelanggaran terhadap kaidah-kaidah sosial juga semakin besar dan kompleks, maka lembaga peradilan dipandang kurang memadai. Masyarakat seperti itu memerlukan oragisasi politik yang menjalankan fungsi kepolisian. Di samping itu, juga dibutuhkan oragisasi politik yang menjalankan fungsi secara khusus membuat kaidah-kaidah baru. Dibandingkan dengan mores dan folkways, hukum tertulis lebih terpikir dan lebih terlafalkan secara tegas. Hukum tertulis betul-betul merupakan hasil dari sebuat perencanaan dan pikiran yang sadar. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap norma-norma sosial berarti juga pelanggaran terhadap nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat itu. Dengan demikian jelas bahwa antara nilai dan norma saling berkaitan. Apabila nilai merupakan sesuatu yang mempengaruhi perilaku manusia, maka norma bertujuan untuk mempertahankan dan melindungi nilai yang dimiliki oleh suatu masyarakat (Horton dan Hunt, 1992: 53-56). 2. Fungsi Nilai dan Norma Sosial a. Petunjuk arah dalam bersikap dan bertindak Nilai dan norma telah melekat pada diri individu atau masyarakat sebagai petunjuk perilaku yang diyakini kebenarannya. b. Pemandu dan pengontrol sikap maupun tindakan Melalui nilai dan norma, individu dapat mengetahui yang benar dan salah sehingga sikap dan tindakan manusi dapat dikontrol, apakah telah sesuai atau bahkan menyimpang dari nilai. c. Pendorong sikap dan tindakan individu Nilai dan norma sosial mampu menuntun individu untuk bersikap baik karena nilai sosial yang baik memunculkan harapan dalam diri seseorang. d. Benteng perlindungan bagi masyarakat Nilai dan norma merupakan pelindung terhadap perilaku-perilaku yang menyimpang, terutama bagi pihak-pihak yang lemah. Tanpa adanya nilai dan 7 norma dalam masyarakat, terkadang kepentingan-kepentingan pihak yang lemah akan dirampas secara paksa oleh pihak-pihak yang kuat. e. Alat pemersatu anggota masyarakat Nilai dan norma menjadikan eratnya hubungan diantara anggota-anggota masyarakat. Hal ini berarti bahwa semakin kuat pemahaman terhadap nilai sosial, maka akan semakin kuat pula ikatan dalam suatu kelompok. 3. Keteraturan dan tertib sosial Keteraturan sosial adalah suatu keadaan dimana hubungan-hubungan sosial berlangsung dengan selaras, serasi dan harmonis sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Artinya, setiap individu maupun kelompok dapat memenuhi kebutuhan masingmasing tanpa adanya pihak yang dirugikan. Terciptanya keteraturan sosial membutuhkan tiga syarat, yaitu kesadaran warga masyarakat akan pentingnya menciptakan keteraturan, adanya norma sosial yang sesuai dengan kebutuhan serta peradaban manusia dan adanya aparat penegak hukum yang konsisten dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya (Leight, 1989: 25). Bentuk konkrit dari keteraturan sosial adalah keselarasan yang diwujudkan dalam kerjasama antaranggota masyarakat. Apabila keteraturan sosial dapat tercipta, maka masyarakat akan mampu menciptakan tertib sosial. D. Referensi : Horton, P. B. dan Hunt, C. L. (1992). Sosiologi. Jilid 1. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. Johson, D. P. (1994). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terjemahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Lawang, R.M.Z. (1984). Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas Terbuka. Leight, D. (1989). Sociology. Fifth Edition. New York: Alfred A Kenopf. http://slideplayer.com/slide/9023999/ http://bogordaily.net/ 8