Draft 12 Desember 2004 BAB 15 PENINGKATAN INVESTASI DAN EKSPOR NON-MIGAS A. PERMASALAHAN Peningkatan lingkungan usaha yang sehat juga akan tercipta melalui perbaikan iklim investasi dan penyelenggaraan fasilitasi eskpor-impor yang efisien dan efektif. Lambatnya pemulihan ekonomi sejak krisis 1997 menunjukan lemahnya daya tarik investasi. Keadaan ini diperparah dengan masih belum efisiennya berbagai fasilitasi perdagangan berkaitan dengan aktivitas ekspor-impor yang pada akhirnya mempengaruhi daya saing produk ekspor nasional. Dalam tahun 1999–2003, investasi berupa pembentukan modal tetap bruto hanya tumbuh rata-rata 1,3 persen per tahun; jauh di bawah tahun 1991–1996 yang tumbuh ratarata sekitar 10,6 persen per tahun. Dengan lambatnya pemulihan investasi, peranan investasu berupa pembentukan modal tetap bruto terhadap PDB menurun dari 29,6 persen pada tahun 1997 menjadi 19,7 persen pada tahun 2003. Dibandingkan dengan keadaan sebelum krisis, secara riil tingkat investasi pada tahun 2003 baru mencapai sekitar 69 persen dari volume investasi 1997 (harga konstan 1993). Sampai dengan triwulan III/2004, pembentukan modal tetap bruto mulai tumbuh yaitu sebesar 11,3 persen. Meskipun demikian, peningkatannya masih sangat awal dan perlu didorong dengan mengatasi masalah-masalah pokok yang menghambat investasi. Pengembangan investasi ke depan menghadapi tantangan eksternal yang tidak ringan. Salah satunya adalah kecenderungan berkurangnya arus masuk investasi global melalui FDI sejak sebelum tahun 2000. Sementara itu, daya tarik investasi pada beberapa negara Asia Timur pesaing Indonesia seperti antara lain RRC, Vietnam, Thailand, dan Malaysia justru meningkat. Pengembangan Oleh karena itu, lambannya respon terhadap penciptaan lingkungan usaha yang kondusif serta terhadap kebutuhan simplifikasi berbagai perangkat peraturan dan formulasi sistem insentif di bidang investasi dikhawatirkan berimplikasi jangka menengah-panjang untuk perkembangan ekonomi ke depan. Secara ringkas, permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan investasi adalah sebagai berikut. Prosedur perijinan investasi yang panjang dan lama. Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, perijinan untuk memulai suatu usaha di Indonesia membutuhkan waktu yang lebih lama dengan 12 prosedur yang harus dilalui dengan waktu yang dibutuhkan selama 151 hari (sekitar 5 bulan) dan biaya yang diperlukan sebesar 131 persen dari per capita income (sekitar US$ 1.163). Sementara itu untuk memulai usaha di Malaysia hanya melalui 9 prosedur dengan waktu yang dibutuhkan hanya 30 hari dan biaya yang diperlukan hanya sekitar 25 persen dari per capita income (sekitar US$ 945). Adapun untuk memulai usaha di Filipina dan Thailand hanya membutuhkan waktu masing-masing selama 50 hari dan 33 hari dengan biaya masing-masing sebesar 20 persen (sekitar US$ 216) dan 7 persen (sekitar US$ 160) dari per capita income. Prosedur yang panjang dan berbelit tidak hanya mengakibatkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan perusahaan maupun untuk kepentingan nasional seperti dalam bentuk penciptaan lapangan kerja. Bagian IV.15 – 1 Draft 12 Desember 2004 Rendahnya kepastian hukum. Ini tercermin antara lain dari berlarutnya perumusan RUU Penanaman Modal dan lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan kinerja pengadilan niaga. Rendahnya kepastian hukum juga tercermin dari banyaknya tumpang tindih kebijakan antar pusat dan daerah dan antar sektor. Belum mantapnya pelaksanaan program desentralisasi mengakibatkan kesimpangsiuran kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan investasi. Disamping itu juga terdapat keragaman yang besar dari kebijakan investasi antar daerah. Kesemuanya ini mengakibatkan ketidakjelasan kebijakan investasi nasional yang pada gilirannya akan menurunkan minat investasi. Suatu studi yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) bekerjasama dengan The Asia Foundation tahun 2002 pada 134 kabupaten/kota di Indonesia menyatakan bahwa penerapan peraturan daerah (perda) pungutan lebih didorong oleh keinginan untuk menaikkan PAD secara berlebihan yang dikuatirkan dapat merugikan pembangunan daerah yang bersangkutan. Sebagian menyatakan bahwa penerapan perda tentang pungutan (retribusi, pajak daerah, dan pungutan lainnya) kurang menunjang kegiatan usaha (38,1 persen distortif, 47,8 persen bisa diterima, dan 14,2 persen menunjang). Berdasarkan penelitian LPEM UI Tahun 2003, pengeluaran perusahaan untuk biaya “tambahan atau pungutan liar” telah mencapai 11 persen dari biaya produksi. Lemahnya insentif investasi. Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia relatif tertinggal dalam menyusun insentif investasi, termasuk insentif perpajakan, dalam menarik penanaman modal di Indonesia. Meskipun dengan tingkat pajak progresif yang diperkirakan relatif sama dengan negara-negara lain, sistem perpajakan di Indonesia kurang memberi kelonggaran-kelonggaran perpajakan dalam upaya mendorong investasi. Kualitas SDM rendah dan terbatasnya infrastruktur. Kurang bergairahnya iklim investasi juga disebabkan oleh keterbatasan dari daya saing produksi (supply side) dan kapasitas dari sistem dan jaringan infrastruktur karena sebagian besar dalam keadaan rusak akibat krisis. Pengembangan manufaktur yang belum berbasis pada kemampuan penguasaan teknologi dan masih relatif rendahnya kemampuan SDM tenaga kerjanya memiliki implikasi yang tidak ringan. Sementara itu, keterbatasan kapasitas infrastruktur berpengaruh pada peningkatan biaya distribusi yang pada gilirannya justru memperburuk daya saing produk-produknya. Di samping jaringan transportasi darat, satu contoh lain yang juga merupakan masalah kunci adalah bottleneck di pelabuhan-pelabuhan ekspor karena ketidakefisiensian pengelolaan pelabuhan dan urusan-urusan kepabeanan. Pembahasan bagian ini akan dielaborasi lebih lanjut di dalam Bab tersendiri. Perkembangan globalisasi serta pesatnya kemajuan teknologi dan komunikasi membawa pengaruh besar di dalam liberalisasi investasi. Fenomena ini, menurut World Investment Report 2002 (WIR 2002) dimotori dan sangat didominasi oleh transnational corporations (TNCs) melalui fragmentasi (internasionalisasi) produksi komponen dengan memperhitungkan keunggulan komparasi tingkat global. WIR 2002 menyebutkan bahwa pesatnya perkembangan dominasi TNCs dapat dicermati dari perkembangannya dalam foreign direct investment (FDI). Bila pada tahun 1990 jumlah modal yang ditanamkan sebesar USD 1,7 triliun (melibatkan 24 juta tenaga kerja di seluruh dunia), pada tahun 2001 jumlah modal yang ditanam meningkat empat kali lipat menjadi USD 6,6 triliun dan melibatkan pekerja 45 juta orang di seluruh dunia. Dengan kekuatannya dalam jaringan nilai tambah (value-added chain) dari mulai R & D sampai pada pemasaran, aktivitas TNCs banyak Bagian IV.15 – 2 Draft 12 Desember 2004 mendominasi pola perdagangan global, terutama jaringan ekspor-impor (baik produk antara maupun final) dari dan ke negara-negara berkembang. Fenomena ini mengindikasikan perlunya rumusan strategi dan kebijakan investasi, terutama di negaranegara berkembang, yang menyesuaikan dan mengamati konstelasi global. Dalam kaitannya dengan peningkatan ekspor, perlunya merumuskan strategi dan kebijakan yang mempertimbangkan kehadiran TNCs sebagai FDI memiliki manfaat ganda. Pertama, TNCs memiliki jaringan logistik internasional yang kuat sehingga dapat mendorong peningkatan akses pasar ekspornya, dan kedua, TNCs merupakan sumber yang potensial bagi tranfer teknologi produksi yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan basis produksi dan daya saing industri manufaktur dalam negeri. Meskipun demikian, strategi dan kebijakan ekspor tersebut perlu pula mempertahankan keseimbangannya dengan kepentingan pembangunan nasional yang strategis. Dalam kaitan ini, strategi dan kebijakan pengembangan ekspor perlu diintegrasikan dengan pengembangan sistem jaringan perdagangan dalam negeri agar tercipta ketahanan ekonomi yang lebih kokoh. Sejak krisis 1997, kinerja ekspor nasional masih belum maksimal. Sampai dengan 2003, kondisinya masih relatif stagnan di saat gairah perdagangan dunia justru membaik. Pertumbuhan ekspor hanya sekitar 3 persen, jauh lebih kecil dibandingkan saat sebelum krisis yang sekitar 16 persen. Beberapa komoditi yang dulunya menjadi andalan seperti minyak kelapa sawit, furniture, dan sepatu, justru mengalami penurunan tingkat pertumbuhan paling besar. Meskipun terdapat perubahan komposisi karena mulai bermunculan ekspor dengan kandungan teknologi lebih tinggi, kontribusinya terhadap keseluruhan ekspor masih sangat kecil. Secara total pangsa ekspor Indonesia memang masih sedikit meningkat di pasar dunia (dari 0,81 persen menjadi 0,84 persen), namun pangsa ekspor 30 komoditi utama (di luar minyak dan gas bumi) justru menurun karena ketatnya persaingan dengan negara-negara Asia lain yang struktur ekspornya mirip seperti China, Korea, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Secara rinci, terdapat 5 (lima) permasalahan pokok yang menyebabkan penurunan kinerja ekspor nasional, yaitu berkenaan dengan: Belum optimalnya pelaksanaan pemberian insentif dan fasilitasi terutama kepada eksportir kecil dan menengah. Terbatasnya kemampuan SDM dan kecilnya akses mereka kepada informasi pasar dan sumber pembiayaan pada UKM ekspor masih tetap merupakan problema pokok UKM yang sangat memberatkan di dalam menghasilkan produk yang memenuhi kuantitas pemesanan dan kualitas yang konsisten dengan standard teknisnya. Masih besarnya ketergantungan pasar ekspor pada tiga negara utama, yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Dominasinya mencapai sekitar 42 persen dari total ekspor nasional dan kondisinya praktis tidak berubah selama lebih dari 10 tahun. Hal ini tentu kurang menguntungkan bagi upaya menjaga kesinambungan ekspor nasional ke depan. Dengan penghapusan penuh kuota tekstil dan produk tekstil (TPT) ke Amerika Serikat dan Eropa, menurut sekretariat WTO, pangsa pakaian jadi Indonesia di Amerika Serikat diperkirakan menurun dari 4 persen (USD 2.556,7 juta pada tahun 2003) menjadi 2 persen. Hal itu berarti nilai ekspor total akan memiliki potensi berkurang sekitar USD 1.280 juta (atau Rp. 10,8 triliun) pertahun. Bagian IV.15 – 3 Draft 12 Desember 2004 Keragaman eskpor yang masih tipis. Dari data BPS 2003, kontribusi 20 produk ekspor terbesar di dalam total ekspor non-migas (SITC 3 digit) sekitar 60,8 persen. Dari jumlah tersebut, kontribusi dari ekspor produk manufaktur hanya sekitar 24 persen. Dari informasi yang sama dapat juga disimpulkan bahwa ketergantungan ekspor yang masih besar pada komoditi bernilai tambah rendah (ekspor non-manufaktur) yang umumnya memiliki elastisitas penggunaan rendah dan harganya cenderung sangat berfluktuatif. Meningkatnya hambatan non tarif. Dalam kerangka pelaksanaan Cargo Inspection Security, sejak serangan teroris WTC 2001, Amerika menerapkan war risk surcharge atas impornya dari Indonesia mulai Desember 2002 lalu. Muatan cargo 20 kaki dikenakan biaya 500 USD, sedangkan untuk cargo 40 kaki mencapai 1.000 USD. Sementara itu, untuk alasan yang serupa, kenaikan tarif per peti kemas ukuran 20-40 kaki tujuan negara-negara eropa mencapai maksimal 600 dollar AS. Disamping itu, terdapat kecenderungan meningkatnya kerugian akibat meningkatnya biaya dari tahun ke tahun akibat pengenaan peraturan Automatic Detention (HACCP) bagi beberapa produk ekspor seperti kakao (akibat terkontaminasi serangga & infeksi jamur) dan CPO. Setidaknya kerugian diperkirakan mencapai 250 juta USD per tahun. Masih tingginya biaya transaksi ekspor-impor sebagai akibat dari rendahnya efisien pelayanan kepabeanan dan kepelabuhanan. Hal ini sangat mempengaruhi daya saing produk ekspor nasional. Walaupun secara relatif tarif pelabuhan di Indonesia rendah, ekspotir umumnya tidak dapat melakukan pengiriman langsung ke negara pembeli karena harus melalui regional hub-nya di Singapura atau Malaysia. Dalam konteksnya yang lebih luas, penurunan perolehan devisa ekspor (jasa) juga terjadi pada sektor pariwisata. Sampai dengan 2002 pariwisata merupakan penyumbang devisa kedua terbesar setelah ekspor migas. Hal ini menyebabkan sektor ini mampu berperan penting dalam penyerapan kesempatan kerja serta menopang pertumbuhan ekonomi yang kala itu sedikit tersendat. Dari keadaan perkembangannya sampai tahun 2003, jumlah wisman hanya mencapai 4,46 juta orang dengan perolehan devisa sekitar USD 4,04 miliar. Hal itu berarti terjadi penurunan sekitar 10,21 persen dari tahun 2002. Meskipun demikian, sektor komposit ini masih merupakan penyumbang devisa keempat terbesar setelah ekspor migas, ekspor kelompok komoditi mesin elektrik dan elektronik, dan ekspor dari tekstil dan produk tekstil TPT). Penurunan kinerja daya saing pariwisata disebabkan oleh beberapa permasalahan yang berkenaan dengan: 1. Kurang kondusifnya kondisi keamanan dan ketertiban dalam negeri akhirakhir ini terutama dengan maraknya berbagai terorisme pemboman yang memberikan citra buruk bangsa Indonesia. 2. Maraknya hambatan dari bermunculannya berbagai regulasi baik di pusat maupun daerah sebagai dampak masa transisi pelaksanaan otonomi daerah. Keadaan ini memberatkan pelaku industri pariwisata yang tercermin dari menurunnya minat dunia usaha di dalam pengembangan obyek wisata potensial dan infrastruktur yang berkenaan dengan kepariwisataan. 3. Masih lemahnya pengelolaan sebagian besar daerah tujuan wisata dan asetaset warisan budaya sehingga kurang atraktif dan kurang mampu bersaing dengan obeyk-obyek wisata terutama dengan negara-negara ASEAN. Bagian IV.15 – 4 Draft 12 Desember 2004 4. Belum efektifnya kelembagaan pengelolaan pemasaran dan promosi pariwisata terutama ke masyarakat internasional. Dengan dasar permasalahan-permasalahan di atas, penciptaan iklim investasi dan peningkatan daya saing ekspor non-migas merupakan tantangan yang mendesak bagi pemerintah ke depan. Dengan stabilitas ekonomi dan politik yang telah berhasil diperkuat oleh pemerintah sebelumnya, upaya tersebut akan membawa ke arah terciptanya perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan, dan pada akhirnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena sebagian besar peraturan perundangan yang esensial untuk mewujudkan tujuan di atas telah diformalkan, prioritas seyogyanya diletakkan pada perkuatan upaya penegakan hukum demi terciptanya kepastian usaha serta pengembangan kapasitas kelembagaan pelayanan publik terkait dalam rangka menjawab tuntutan kebutuhan dunia usaha. Untuk itu, komitmen yang kuat dari pemerintah di segala tingkatan akan menjadi faktor penentu utama B. SASARAN 1. Terwujudnya iklim investasi yang sehat dengan reformasi kelembagaan ekonomi di berbagai tingkatan pemerintahan yang mampu mengurangi praktik ekonomi tinggi. Reformasi dimaksud mencakup upaya untuk menuntaskan sinkronisasi sekaligus deregulasi peraturan antarsektor dan antara pusat dengan daerah serta peningkatan kapasitas kelembagaan untuk implementasi penyederhanaan prosedur perijinan untuk start up bisnis, penyempurnaan sistem perpajakan dan kepabeanan, penegakan hukum untuk meningkatkan keamanan dan ketertiban berusaha. 2. Peningkatan efisiensi pelayanan ekspor-impor kepelabuhanan, kepabeanan, dan administrasi (verifikasi dan restitusi) perpajakan ke tingkatan efisiensi Thailand atau Malaysia dewasa ini. Dalam 3 (tiga) tahun pertama diharapkan setengahnya telah dicapai. 3. Pemangkasan prosedur perijinan start up dan operasi bisnis ke tingkatan efisiensi di Thailand atau Malaysia dewasa ini. Dalam 3 (tiga) tahun pertama, diharapkan setengahnya telah tercapai. 4. Meningkatnya investasi secara bertahap sehingga peranannya terhadap Produk Nasional Bruto meningkat dari 20,5 persen pada tahun 2004 menjadi 27,4 persen pada tahun 2009 dengan penyebaran yang makin banyak pada kawasan-kawasan di luar Jawa, terutama Kawasan Timur Indonesia. 5. Meningkatnya pertumbuhan ekspor secara bertahap dari sekitar 5,2 persen pada tahun 2005 menjadi sekitar 9,8 persen pada tahun 2009 dengan komposisi produk yang lebih beragam dan kandungan teknologi yang semakin tinggi. 6. Meningkatnya kontribusi pariwisata dalam perolehan devisa sampai tahun 2009 menjadi sekitar USD 10 miliar. Bagian IV.15 – 5 Draft 12 Desember 2004 C. ARAH KEBIJAKAN Dalam rangka mewujudkan sasaran di atas, arah kebijakan bagi penciptaan iklim investasi yang sehat dan peningkatan daya saing ekpor nasional adalah sebagai berikut: 1. Mengurangi biaya transaksi dan praktik ekonomi biaya tinggi baik untuk tahapan memulai (start up) maupun tahapan operasi suatu bisnis. Inti dari kegiatan ini adalah penuntasan deregulasi (pemangkasan birokrasi) peraturan dan prosedur perijinan dan pengembangan kapasitas lembaga publik pelaksananya. Upaya ini akan bermanfaat dalam menekan sekecil-kecilnya barier to entries terutama UKM. Langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain meliputi: a. Menata aturan main yang jelas pemangkasan birokrasi dalam prosedur perijinan dan pengelolaan usaha dengan prinsip transparansi dan tata kepemerintahan yang baik. b. Menata aturan main yang jelas pemangkasan birokrasi dalam pengelolaan aktivitas ekspor/impor (kepabeanan dan kepelabuhanan) dengan prinsip transparansi dan tata kepemerintahan yang baik. c. Menata aturan main yang jelas peningkatan efisiensi waktu dan biaya administrasi perpajakan, terutama untuk verifikasi nilai pajak dan pengembalian (restitusi) PPN. Keinginan politik (political will) dan komitmen yang kuat akan sangat mempengaruhi keberhasilan upaya ini. Revitalisasi pelaksanaan dan penegakan semua peraturan serta perundangan sebagaimana digariskan di dalam Inpres Nomor 5 tahun 2003 (White Paper) dapat menjadi titik awal untuk penyelenggaraan kegiatan ini. 2. Menjamin kepastian usaha dan meningkatkan penegakan hukum, terutama berkenaan dengan kepentingan untuk menghormati kontrak usaha, menjaga hak kepemilikan (property rights), terutama berkenaan dengan kepemilikan lahan, dan pengaturan yang adil pada mekanisme penyelesaian konflik atau perbedaan pendapat (dispute settlements) terutama berkenaan dengan perselisihan niaga, perkuatan implementasi persaingan usaha, perkuatan implementasi standardisasi produk-produk yang dipasarkan, serta penyelesaian konflik antara produsen dan konsumen untuk tujuan perlindungan konsumen. 3. Memperbaiki kebijakan investasi dengan merumuskan cetak biru pengembangan kebijakan investasi ke depan termasuk di dalamnya melakukan revisi terhadap RUU Penanaman Modal sesuai dengan praktek internasional terbaik dan mengutamakan perlakukan yang non-diskriminatif antara investor asing dan domestik serta antara investor besar dan investor skala kecil-menengah, merumuskan sistem insentif dalam kebijakan investasi dalam rangka bersaing (dengan negara lain) menarik investor asing, serta merumuskan reformasi kelembagaan penanaman modal sebagai lembaga fasilitasi dan promosi investasi yang berdaya saing. Mengingat permasalahannya yang crosssectoral, kuatnya koordinasi di tingkat kabinet yang terkait akan sangat menentukan. 4. Memperbaiki harmonisasi peraturan perundangan antara pusat dan daerah terutama di dalam pengembangan (formalisasi) dan operasionalisasi usaha di daerah-daerah dengan mengedepankan prinsip kepastian hukum, deregulasi (simplifikasi) dan efisiensi dalam biaya dan waktu pengurusan. Bagian IV.15 – 6 Draft 12 Desember 2004 5. Dalam rangka mendukung perkuatan daya saing produk ekspor, arah kebijakan sektor perdagangan luar negeri adalah meningkatkan akses dan perluasan pasar ekspor serta perkuatan kinerja eksportir dan calon eksportir. Aspeknya meliputi: a. Revitalisasi kinerja kelembagaan promosi ekspor dan perkuatan kapasitas kelembagaan pelatihan eksportir kecil; b. Meningkatkan jenis dan kualitas pelayanan ekspor melalui konsep support at company level kepada para eksportir dan calon eksportir UKM potensial; c. Meningkatkan perbaikan kinerja diplomasi perdagangan internasional, baik untuk negara maju maupun negara sedang berkembang; d. Meningkatkan fasilitasi perdagangan melalui penyederhanaan prosedur ekspor – impor melalui implementasi konsep single document, mengurangi sistem tata niaga untuk komoditi-komoditi non-strategis dan yang tidak memerlukan pengawasan, dan perkuatan kapasitas lembaga uji mutu produk ekspor-impor; e. Optimalisasi sarana penunjang perdagangan internasional seperti kelembagaan trade financing untuk ekspor, f. Optimalisasi implementasi berbagai bentuk kerjasama perdagangan seperti skema imbal dagang dan perdagangan bebas antar negara (free trade agreement), dan g. Perkuatan kelembagaan pengamanan perdagangan internasional (safeguard dan antidumping) serta kelembagaan harmonisasi tarif. 6. Dalam sektor perdagangan dalam negeri, kebijakan diarahkan untuk mewujudkan perdagangan domestik yang kuat dan menciptakan iklim bagi terwujudnya kelancaran koleksi dan distribusi barang dan kegiatan jasa perdagangan. Upaya ini perlu diintegrasikan dengan arah kebijakan peningkatan kinerja perdagangan luar negeri guna mewujudkan ketahanan ekonomi yang kokoh. Langkah-langkahnya mencakup: a. Penyederhanaan prosedur, perijinan yang menghambat kelancaran arus barang dan pengembangan kegiatan jasa perdagangan dan pasar domestik; b. Perkuatan kelembagaan perdagangan yaitu kelembagaan perlindungan konsumen, kemetrologian, bursa berjangka komoditi, dan kelembagaan persaingan usaha; dan c. Pengembangan prasarana dan sarana penunjang perdagangan antara lain melalui pengembangan sistem jaringan logistik komoditi tingkat regional dan jaringan informasi produksi dan pasar serta jaringan logistik komoditi, perluasan pasar lelang lokal dan regional di daerah dan perkuatan sistem pengawasan barang beredar; 7. Arah kebijakan pengembangan pariwisata dalam 5 (lima) tahun ke depan adalah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara dengan fokus pada upaya: a. Meningkatkan efektivitas kelembagaan promosi pariwisata, baik di dalam maupun di luar negeri; b. Pengembangan jenis dan kualitas produk-produk wisata, terutama pengembangan wisata bahari yang potensinya sangat besar; c. Harmonisasi dan simplifikasi berbagai perangkat peraturan yang terkait di dalam mendukung pengembangan pariwisata, termasuk di dalamnya wisata bahari, dan d. Optimalisasi dan sinkronisasi dalam pengelolaan jasa pelayanan pariwisata, terutama yang melibatkan lebih dari satu moda transportasi. Bagian IV.15 – 7 Draft 12 Desember 2004 D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN REFORMASI PERPAJAKAN DAN KEPABEANAN Seperti diuraikan dalam program-program di Bab 22 tentang Pemantapan Stabilitas Ekonomi Makro, terutama di dalam Program Peningkatan Penerimaan dan pengamanan Keuangan Negara yang di dalamnya terdapat kegiatan antara lain: 1. Melakukan amandemen Undang-Undang Perpajakan. 2. Meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak melalui: (a) pengembangan fitur-fitur Large Taxpayer Office (LTO) pada kantor pajak menengah dan kecil; (b) pengembangan sistem pembayaran pajak dan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahun secara elektronik; (c) melakukan kerjama dengan perbankan dalam rangka memberikan kemudahan pembayaran pajak. 3. Melakukan reformasi adnimistrasi sengketa pajak (tax court reform) melalui upaya: (a) mendorong partisipasi masyarakat wajib pajak dalam menggunakan haknya untuk mencari/mendapatkan keadilan atas kasus sengketa pajak; (b) melakukan pembangunan sistem informasi sengketa pajak yang meliputi pengembangan data warehouse putusan pengadilan, pembangunan situs pengadilan pajak; dan (c) penyempurnaan Sistem Informasi Sengketa Pajak (SISPA). 4. Melanjutkan reformasi kepabeanan melalui: (a) pemberian fasilitasi perdagangan; (b) peningkatan pemberantarasan tindak pidana penyelundupan dan under-valuation; (c) peningkatan integritas pegawai melalui penyempurnaan kode etik (code of conduct), pembentukan komite kode etik (code of conduct committee – CCC), pembentukan unit investigasi khusus, penyediaan saluran pengaduan dan pembentukan ombudman kepabeanan, serta pemberian insentif. PERBAIKAN IKLIM INVESTASI 1. PROGRAM PENINGKATAN IKLIM INVESTASI DAN REALISASI INVESTASI Program ini bertujuan menciptakan iklim investasi yang berdaya saing global. Sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya kegiatan investasi yang mampu meningkatkan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang disebutkan, kegiatan-kegiatan pokoknya adalah: 1. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang investasi; 2. Penyederhanaan prosedur pelayanan penanaman modal; 3. Pemberian insentif penanaman modal yang lebih menarik; 4. Konsolidasi perencanaan penanaman modal di pusat dan daerah; 5. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan investasi, baik asing maupun domestik; 6. Pengembangan sistem informasi penanaman modal di pusat dan daerah; 7. Perkuatan kelembagaan penanaman modal di pusat dan daerah; serta 8. Melakukan kajian kebijakan penanaman modal baik dalam dan luar negeri. Bagian IV.15 – 8 Draft 12 Desember 2004 2. PROGRAM PENINGKATAN PROMOSI DAN KERJASAMA INVESTASI Program ini bertujuan membangun citra Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang menarik. Sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia. Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran di atas, kegiatan-kegiatan pokoknya adalah: 1. Penyiapan potensi sumberdaya, sarana dan prasarana daerah yang terkait dengan investasi; 2. Fasilitasi terwujudnya kerjasama strategis antara usaha besar dengan UKMK; 3. Promosi investasi yang terkoordinasi baik di dalam dan di luar negeri; dan 4. Mendorong dan fasilitasi peningkatan koordinasi dan kerjasama di bidang investasi dengan instansi pemerintah dan dunia usaha baik di dalam maupun di luar negeri. PENGEMBANGAN KAPASITAS DAN EFISIENSI PELAYANAN INFRASTRUKTUR Pengembangan kapasitas dan perkuatan sistem pelayanan pelabuhan, baik untuk ekspor-impor, perdagangan dalam negeri, maupun kemudahan perijinan untuk tujuan pengembangan wisata bahari yang sangat potensial. Langkah-langkah tersebut di atas merupakan kebutuhan bagi peningkatan iklim investasi dan daya saing ekspor yang perlu diperhatikan dalam merumuskan strategi dan langkah-langkah pada Bab 33 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur. PENINGKATAN DAYA SAING EKSPOR 1. PROGRAM PENGEMBANGAN EKSPOR Tujuan dari program ini adalah mendukung upaya peningkatan daya saing global produk Indonesia serta meningkatkan peranan ekspor dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Sasaran program ini adalah meningkatnya perluasan pasar, diversifikasi mata dagangan ekspor non-migas dan mendorong peningkatan nilai ekspor. Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah: 1. Pengembangan strategi pemantapan ekspor terutama ke negara-negara non tradisional sehingga mampu meningkatkan kinerja ekspor nasional; 2. Peningkatan kualitas pelayanan kelembagaan Pusat Promosi ekspor (ITPC) sesuai kebutuhan eksportir secara berkelanjutan dan perluasan pembukaan kantor baru di negara/kawasan mitra dagang sesuai potensi pasar ekspornya, serta perkuatan kapasitas kelembagaan promosi daerah; 3. Peningkatan kualitas pelayanan kepada para eksportir dan calon eksportir agar meningkatnya kapasitas SDM para eksportir dan calon eksportir melalui pendekatan support at company level; 4. Fasilitasi peningkatan mutu produk komoditi pertanian, perikanan dan industri yang berpontesi ekspor; 5. Melanjutkan regulasi dan debirokratisasi melalui penyederhanaan prosedur ekspor dan impor dengan ke arah penyelenggaraan konsep single document; 6. Perkuatan kapasitas laboratorium penguji produk ekspor-impor; Bagian IV.15 – 9 Draft 12 Desember 2004 7. Peningkatan jaringan informasi ekspor dan impor agar mampu merespon kebutuhan dunia usaha terutama eksportir kecil dan menengah; dan 8. Pengembangan dan implementasi fasilitasi ekspor dan impor seperti kelembagaan trade financing untuk ekspor. 2. PROGRAM PENINGKATAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL Tujuan dari program ini adalah meningkatkan kerjasama industri dan perdagangan internasional yang saling menguntungkan, adil dan terbuka. Sasaran program ini adalah meningkatnya kerjasama perdagangan multilateral regional, dan bilateral, serta optimalisasi pemanfaatan skema-skema perdagangan sehingga meningkatkan posisi rebut tawar dan akses pasar ekspor. Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah: 1. Peningkatan kualitas partisipasi aktif dalam berbagai fora internasional sebagai upaya mengamankan kepentingan ekonomi nasional dan sekaligus meningkatkan hubungan dagang dengan negara mitra dagang potensial; 2. Fasilitasi penyelesaian sengketa perdagangan (termasuk advokasi dan bantuan teknis) seperti: dumping, subsidi dan safeguard; 3. Peningkatan efektivitas koordinasi penanganan berbagai isu-isu perdagangan internasional baik multilateral, regional dan bilateral maupun pendekatan komoditi; 4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kesepakatan kerjasama multilateral, regional, dan bilateral; 5. Sosialisasi hasil-hasil kesepakatan perundingan internasional dan kerjasama ASEAN, APEC, ASEM dan intra dan antar regional; dan 6. Perkuatan SDM Atperindag termasuk penyediaan tenaga magang. 3. PROGRAM PERSAINGAN USAHA Tujuan program ini adalah untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan usaha yang kompetitif dan memberdayakan lembaga-lembaga persaingan usaha. Sasaran program adalah meningkatnya daya saing nasional berbasis efisiensi, berlangsungnya mekanisme pasar yang berkeadilan, dan berkurangnya berbagai hambatan usaha. Kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah: 1. Revisi terhadap berapa materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berpotensi terjadinya disharmonisasi terhadap kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan persaingan usaha; 2. Peningkatan penerapan peraturan kebijakan persaingan usaha; 3. Pengembangan instrumen aplikasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; 4. Pengembangan jaringan kerja antar lembaga; 5. Peningkatan kualitas penanganan perkara dan rekomendasi kebijakan; dan 6. Perkuatan kelembagaan persaingan usaha antara lain yang mencakup pengembangan sumber daya manusia, sarana dan prasarana pendukung. Bagian IV.15 – 10 Draft 12 Desember 2004 4. PROGRAM PENGAMANAN PERDAGANGAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN Tujuan program ini adalah untuk memberdayakan lembaga perlindungan konsumen, peningkatan kapasitas kelembagaan yang menangani sengketa dagang internasional dan perlindungan industri dalam negeri, serta pengawasan barang beredar. Sasaran program adalah meningkatnya daya saing nasional berbasis efisiensi, dan meningkatnya perlindungan terhadap konsumen. Kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah: 1. Pemberdayaan lembaga perlindungan konsumen; 2. Peningkatan SDM lembaga perlindungan konsumen; 3. Perkuatan kapasitas kelembagaan yang menangani sengketa dagang internasional dan perlindungan industri dalam negeri termasuk dukungan operasional kegiatan; 4. Perkuatan kapasitas kelembagaan pengawasan barang beredar termasuk dukungan operasionalisasi kegiatan; 5. Peningkatan pelayanan informasi dan advokasi terhadap kebijakan perlindungan konsumen; 6. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan perdagangan dalam negeri yang terkait dengan ekspor-impor; 7. Bimbingan teknis pedoman pengawasan UTTP; dan 8. Sosialisasi dan bimbingan teknis pengelolaan standar dan laboratorium metrologi legal. 5. PROGRAM PENGEMBANGAN DISTRIBUSI NASIONAL Tujuan program ini adalah meningkatkan kelancaran distribusi barang dan jasa yang lebih efisien dan efektif serta mengembangkan sistem usaha dan lembaga perdagangan yang efektif dan efisien, yang berpihak pada usaha kecil, menengah, dan koperasi. Sasaran program adalah terciptanya sistem koleksi dan jaringan distribusi nasional, optimalisasi sarana distribusi, meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengakses dan memperluas pasar, guna mendorong peningkatan aktivitas perdagangan dalam negeri yang semakin efisien, efektif, serta pemberdayaan produksi dalam negeri. Disamping itu sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya peningkatan kompetensi usaha dan lembaga jasa perdagangan. Kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah: 1. Perumusan, alternatif solusi, dan implementasi penyelesaian permasalahan termasuk harmonisasi dari berbagai perangkat peraturan perundang-undangan tentang distribusi dan sarana penunjang perdagangan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; 2. Sosialisasi penggunaan produksi dalam negeri; 3. Dukungan pengembangan sistim koleksi dan jaringan distribusi di daerah; 4. Peningkatan pengawasan dan pembinaan usaha, kelembagaan dan kemitraan di bidang perdagangan; 5. Pengembangan efektivitas ketersediaan jaringan informasi distribusi baik di tingkat nasional maupun di daerah; 6. Perkuatan kapasitas kelembagaan perdagangan bursa komoditi (PBK) termasuk menyiapkan penyempurnaan berbagai perangkat peraturan kebijakan dan operasional PBK, dan Bagian IV.15 – 11 Draft 12 Desember 2004 7. Pemantapan dan pengembangan pasar lelang lokal dan regional serta sarana alternatif pembiayaan melalui sistem resi gudang (SRG). PENINGKATAN DAYA SAING PARIWISATA 1. PROGRAM PENGEMBANGAN PEMASARAN DAN PROMOSI PARIWISATA Program Pemasaran dan Promosi Pariwisata ditujukan untuk menciptakan promosi pariwisata yang efektif dengan pendekatan profesional, kemitraan antara swasta, pemerintah, dan masyarakat dan memperkuat jaringan kelembagaan. Sasaran program ini adalah semakin membaiknya citra Indonesia sebagai Negara tujuan wisata yang aman dan semakin meningkatnya kunjungan wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan untun mencapai sasaran tersebut di atas adalah: 1. Optimalisasi kegiatan pameran baik yang bertaraf nasional maupun internasional baik di dalam maupun di luar negeri baik pada negara-negara mitra pariwisata potensial maupun negara-negara yang memilki kedekatan secara kultural dan budaya dengan Indonesi, seperti Timur Tengah dan Asia Timur; 2. Memfasilitasi pengembangan paket-paket wisata dan jaringan antar jenis paket wisata; 3. Memfasilitasi kerjasama antar negara, antar pusat dengan daerah, dan antar pelaku industri pariwisata dalam bentuk aliansi strategis, seperti kerjasama antar travel agent dan antar tour operator, antara pelaku pariwisata dengan perusahaan transportasi udara, laut dan darat; 4. Memfasilitasi pembentukan jaringan kerjasama promosi pariwisata antara Pemerintah (Pusat maupun Daerah)-Swasta- Masyarakat- dalam wadah Indonesian Tourism Promotion Board (ITPB); 5. Meningkatkan sadar wisata domestik; 6. Memotifasi dan memberikan insentif bagi perjalanan domestik; 7. Mengembangkan sistim informasi yang efisien dan efektif. 8. Mendorong pengembangan pariwisata yang berdaya saing melalui: (a) terbangunnya komitmen nasional agar sektor-sektor di bidang keamanan, hukum, perbankan, perhubungan, dan sektor terkait lainnya dapat memfasilitasi berkembanganya kepariwisataan, terutama pada wilayah-wilayah yang memilki wisata unggulan; (b) Harmonisasi dan simplifikasi perangkat peraturan baik di tingkat pusat, daerah dan antara pusat dan daerah.; (c) memformulasi, menerapkan, dan mengawasi standar industri pariwisata yang dibutuhkan. 2. PROGRAM PENGEMBANGAN DESTINASI PARIWISATA Program Pengembangan Destinasi Pariwisata ditujukan untuk meningkatkan pengelolaan daerah tujuan wisata dan aset-aset warisan budaya menjadi obyek daya tarik wisata yang atraktif dengan pendekatan profesional, kemitraan swasta, pemerintah, dan masyarakat dan memperkuat jaringan kelembagaan serta mendorong invstasi. Sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya daya tarik dan efisiensi paket-paket wisata yang mampu bersaing dengan paket-paket wisata terutama di ASEAN, sehingga pariwisata Indonesia menjadi tujuan utama wisata dunia dan menjadi tuan rumah bagi pariwisata domestik. Bagian IV.15 – 12 Draft 12 Desember 2004 Untuk mencapai sasaran tersebut, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam lima tahun ke depan adalah: 1. Mendorong tumbuh dan berkembangnya investasi dalam industri pariwisata melalui konsep simplifikasi perizinan dan insentif perpajakan bagi investor. 2. Menciptakan paket-paket wisata yang murah di setiap propinsi (“one province one primary tourism destination”) bersama-sama dengan pemerintah daerah, swasta dan masyarakat; 3. Meningkatkan kualitas pelayanan dan kesiapan daerah tujuan wisata dan aset-aset warisan budaya sebagai obyek daya tarik wisata yang kompetitif. 4. Meningkatkan pengelolaan kawasan daerah tujuan wisata andalan propinsi melalui: (a) bekerjasama dengan Pemerintah propinsi/kabupaten/kota memberikan bantuan teknis bagi swasta dalam pengelolaan kawasan daerah tujuan wisata andalan provinsi; (b) menciptakan paket wisata yang kompetitif; 5. Mengembangkan kemitraan dengan lembaga pendanaan (bank maupun non-bank) untuk menciptakan investasi baru dalam rangka pengembangan kualitas daerah tujuan wisata melalui kemudahan-kemudahan dan insentif bagi pelaku swasta yang ingin mengembangkan daerah tujuan wisata. 6. Memberikan perhatian khusus kepada pengembangan kawasan wisata bahari, terutama di propinsi-propinsi yang mempunyai potensi obyek wisata alam bahari yang sangat besar. 3. PROGRAM PENGEMBANGAN KERJASAMA KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA Tujuan program ini adalah untuk mengembangkan dan memperkuat jaringan kerjasama antara Pemerintah (pusat-kabupaten/kota)-swasta-dan masyarakat dan pelaku industri pariwisata di dalam maupun di luar negeri dalam bidang penelitian, sumber daya manusia, dan kelembagaan dan sekaligus mengembangkan pariwisata yang berbasis budaya. Sasarannya adalah terciptanya jaringan yang efektif dan efisien dalam mendukung pengembangan pariwisata dan sumber daya manusia yang profesional. Dalam pencapaian tujuan dan sasaran programnya, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pembangunan dan perkuatan jaringan database dan informasi kepariwisataan, baik di dalam negeri (antara pusat-propinsi, dan kabupaten/kota) dan luar negeri termasuk pengembangan SDM-nya; 2. Pengembangan aliansi strategis di bidang Litbang dan pengembangan SDM dalam bentuk joint research, dual-training terutama dengan lembaga sejenis di luar negeri; 3. Fasilitasi pembentukan forum komunikasi antar pelaku industri pariwisata dan pelaku sosio-ekonomi lainnya. PENGEMBANGAN DAN PENYEMPURNAAN DATA DAN INFORMASI STATISTIK 1. PROGRAM PENYEMPURNAAN DAN PENGEMBANGAN STATISTIK Program ini bertujuan untuk: (i) menjamin kesinambungan penyediaan data statistik dasar yang lengkap, akurat, dan tepat waktu melalui berbagai sensus, survei, studi, dan kompilasi produk administrasi untuk mendukung semua bidang pembangunan, baik nasional maupun daerah; (ii) meningkatkan kualitas dan profesionalisme sumber daya manusia di bidang teknis dan manajemen statistik serta Bagian IV.15 – 13 Draft 12 Desember 2004 komputasi data dan administrasi; dan (iii) mengembangkan sistem informasi statistik, sistem informasi geografis, diseminasi informasi statistik, dan sistem informasi manajemen guna mendukung kelancaran penyelenggaraan kegiatan statistik dasar dan memenuhi kebutuhan informasi dan data statistik bagi pemerintah maupun masyarakat, dalam negeri maupun luar negeri. Sasaran dari program ini antara lain adalah: (i) tersedianya data statistik dasar yang lengkap, akurat dan tepat waktu di seluruh bidang pembangunan; (ii) terwujudnya sumber daya manusia yang profesional di bidang teknis dan manajemen statistik serta komputasi data dan keadministrasian; dan (iii) meningkatnya kemampuan sistem informasi, pengolahan, sumber daya manusia di bidang iptek dan diseminasi. Dalam rangka mewujudkan tujuan dan sasaran tersebut, kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi: 1. Penyediaan dan penyempurnaan data satistik sosial dengan perhatian utama pada data sosial kependudukan, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, pemukiman dan perumahan, pendidikan, sosial budaya, dan agama; 2. Penyediaan dan penyempurnaan data statistik ekonomi dengan perhatian utama pada pertanian, industri, perdagangan, transportasi dan komunikasi, keuangan dan jasa-jasa; 3. Penyedian dan penyempurnaan data statistik lintas bidang dengan perhatian utama pada penyediaan data statistik yang belum tercakup dalam kategori statistik sosial maupun ekonomi, seperti data statistik tentang politik, pertahanan keamanan, hukum dan penyelenggaraan negara, kemiskinan, dan gender; 4. Peningkatan kualitas dan profesionalisme sumber daya manusia di bidang teknis statistik dan manajemen statistik serta komputasi data statistik melalui pelatihan dan pendidikan di bidang teknis dan manajemen statistik serta komputasi data dan administrasi; serta 5. Pengembangan sistem informasi dengan perhatian utama pada pengembangan jaringan informasi statistik serta penguasaan teknologi khususnya teknologi informasi sehubungan dengan semakin beragamnya kebutuhan data statistik dan pesatnya kemajuan teknologi sebagai prasyarat dalam menyajikan informasi statistik yang akurat, terpercaya dan tepat waktu. Bagian IV.15 – 14