Untitled - Infodiknas

advertisement
1
2
KATA PENGANTAR
Ucapan puji dan syukur saya haturkan kepada Allah, Tuhan Yang Maha
Pengasih dan Penyayang. Penelitian dengan judul: “Status Hukum Anak Luar
Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” ini
terinspirasi oleh permohonan seorang ibu bernama Machicha Mochtar kepada
Mahkamah Konstitusi RI agar anaknya yang menurut pengakuannya lahir dari
perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) bisa ditetapkan oleh pengadilan
(dalam hal ini pengadilan agama) mempunyai hubungan keperdataan dengan
ayah biologisnya.
Atas permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
(MKRI) mengeluarkan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010. Berdasarkan putusan
tersebut, permohonan pengesahan anak di luar perkawinan untuk dapat ditetapkan
mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, dapat diajukan oleh
seseorang terhadap anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang tidak sah maupun
mereka yang tidak ada ikatan perkawinan, termasuk terhadap anak yang dilahirkan
dari suatu perkawinan yang keabsahannya masih disengketakan. Putusan MKRI itu
dijatuhkan semata mata karena alasan demi memberikan perlindungan dan kepastian
hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan. Putusan MKRI itu tentu saja
menimbulkan sikap pro-kontra baik di kalangan masyarakat maupun para hakim,
khususnya hakim pengadilan agama.
Penelitian ini dilakukan berkat kerjasama dan bantuan dari Wakil Ketua
Pengadilan Agama Jakarta Utara, Drs. M. Yasya’, SH. Untuk itu, saya ucapkan
terima kasih kepada beliau atas kerjasama dan bantuannya. Ucapan terima kasih juga
saya sampaikan kepada Rektor Universitas Islam Malang dan Dekan Fakultas Hukum
Universitas Islam atas dukungan dan izin yang diberikannya.
Semoga penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat dan pengemban ilmu
hukum perdata, khususnya hukum keluarga dan hukum perkawinan.
Malang, 15 Agustus 2013
3
ABSTRAK
Status Hukum Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010
Abdul Rokhim
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis secara mendalam
mengenai: 1. Status hukum anak di luar perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum positif Indonesia; 2.
Proses pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 di Pengadilan Agama. 3. Akibat hukum yang timbul
dengan adanya pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum Islam.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yang menurut Ronny
Hanitijo Soemitro termasuk tipe penelitian inventarisasi hukum positif. Hasil dari
inventarisasi hukum positif ini kemudian dibandingkan atau dicari kaitannya dengan
norma hukum lain yang berlaku di masyarakat, khususnya hukum Islam.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Status atau kedudukan hukum anak yang lahir di luar perkawinan sebagai akibat
perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah anak yang tidak sah, karena lahir dari
perkawinan yang tidak sah. Oleh karena itu tidak ada jaminan perlindungan hukum
yang diberikan oleh negara kepada para pihak yang melangsungkan perkawinan
itu, termasuk mengenai hubungan antara bapak yang melahirkan dengan anakanak yang dilahirkannya. Anak yang lahir dari nikah sirri menurut hukum perdata
disebut “anak luar kawin” (onwettig kind) dan hanya mempunyai hubungan
keperdataan dengan ibu dan keluarga yang melahirkannya. Ia tidak mempunyai
hubungan hukum keperdataan dengan bapak biologisnya, termasuk dalam
hubungan waris, meskipun dengan putusan pengadilan terbukti mempunyai
hubungan darah dengan ayah biologisnya tersebut.
2. Permohonan pengesahan anak di pengadilan sebenarnya merupakan sikap
ambigu dan tidak konsisten dari seseorang yang semula ketika menikah
dengan sadar tidak memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
Hal ini juga sekaligus sebagai bukti nyata bahwa perkawinan yang tidak
dilaksanakan sesuai ketentuan negara akan mengakibatkan kemadharatan serta
tidak adanya jaminan hukum. Pengesahan anak atau penetapan asal usul anak
merupakan kewenangan Pengadilan Agama di bidang perkawinan berdasarkan
Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Penetapan asal usul seorang anak dimaksudkan sebagai perkara yang
berkaitan dengan penyelesaian hukum tentang kedudukan anak yang lahir dalam
atau akibat perkawinan yang sah. Sebelum ada putusan MKRI Nomor 46/PUUVIII/2010, kedudukan hukum sebagai pihak (legal standing) untuk mengajukan
4
pengesahan anak di luar perkawinan hanya diberlakukan kepada pasangan suami
isteri yang melakukan pernikahan di bawah tangan saja, karena tanpa memenuhi
ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka menurut
hukum positif perkawinannya tersebut tidak sah dan karenanya anak yang
dilahirkan dipandang sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Sedangkan,
terhadap kedudukan anak hasil zina tidak ditemukan dalam aturan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam, karena perzinahan tidak
dipandang sebagai perbuatan hukum perkawinan. Namun, dengan adanya putusan
MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut permohonan atau gugatan pengesahan
anak di luar perkawinan untuk dapat ditetapkan mempunyai hubungan keperdataan
dengan ayah biologisnya, dapat diajukan oleh seseorang terhadap anak yang
dilahirkan akibat perkawinan yang tidak sah maupun mereka yang tidak ada ikatan
perkawinan, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan
perkawinannya masih disengketakan, semata mata karena alasan demi
memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status anak
yang dilahirkan.
3. Putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 menambah khazah perkembangan
hukum Islam di Indonesia, karena sebelumnya dalam hukum positif maupun
Kompilasi Hukum Islam, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan keperdataan (nasab) dengan ibunya dan keluarga ibunya, sehingga
akibat hukumnya anak di luar perkawinan tidak dapat dinasabkan dengan ayah
biologisnya dan sekaligus tidak dapat mewarisinya, karena dalam konsepsi hukum
Islam Indonesia seorang anak yang dilahirkan belum tentu mempunyai hubungan
kebapakan dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya, sedangkan hubungan
keibuan antara anak dengan wanita yang melahirkan merupakan hubungan
alamiah yang tidak mungkin dipungkiri kebenarannya. Dalam hukum Islam
dikenal istilah anak zina, yakni anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah
atau dilahirkan dalam perkawinan yang sah tetapi disangkal oleh bapaknya
sebagai anaknya melalui li’an. Anak zina dalam Islam hanya memiliki hubungan
dengan ibu dan keluarga ibunya. Dengan adanya putusan MKRI ini maka
putusan Pengadilan Agama yang biasanya merujuk kepada ketentuan hukum
Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam
(KHI), akan tetapi setelah berlakunya putusan MKRI tersebut, maka pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 KHI tidak dapat lagi
dijadikan landasan hukum karena telah dinyatakan inkonstitusional sehingga tidak
lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sekalipun demikian, putusan hakim
Pengadilan Agama sebagai hukum in concrito di dalam mengadili perkara sengketa
kewarisan akibat dari putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 harus tetap
mengedepankan ketentuan hukum kewarisan Islam (faraidh) sebagai hukum
materiil sesuai dengan asas personalitas keislaman yang diatur perundangundangan, disamping tidak terlepas dari ketentuan hukum positif yang berlaku.
Kata Kunci: Status Hukum; Anak Luar Kawin; Putusan Mahkamah Konstitusi
5
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................. iv
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 8
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 8
B. Rumusan Masalah …………………………………………………. 11
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………….. 11
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………. 12
E. Metode Penelitian …………………………………………………... 13
F. Sistematika Penulisan ……………………………………………….16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… 17
A. Definisi Anak ……………………………………………………… 17
B. Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak................................ 18
C. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi ............................ 21
1. Kedudukan Mahkamah Konstitusi ………………………………. 23
2. Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi ………………….. 25
D. Kewenangan Peradilan Agama Tentang Pengesahan Asal Usul
Anak dan Kewarisan .......................................................................... 27
1. Tentang Pengesahan Asal Usul Anak ........................................... 27
2. Tentang Kewarisan …………………………………………….. 30
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………….……….. 32
A. Kedudukan Anak di Luar Perkawinan Berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010………… 32
6
B. Proses Pengesahan Anak di Luar perkawinan di Pengadilan
Agama ................................................................................................ 69
1.
Pengesahan Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ……………. 69
2.
Prosedur dan Acara Pemeriksaan Perkara Gugatan
Pengesahan Anak di Luar Perkawinan ...................................... 70
3.
Hukum Acara yang Berlaku pada Pengadilan Agama atau
Mahkamah Syari’ah …………………………………………… 73
4.
Asas Personalitas Keislaman ………………………………….. 73
C. Akibat Hukum Adanya Pengesahan Anak di Luar Perkawinan
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 ………………………………………………… 75
1. Hubungan Nasab Anak di Luar Perkawinan dengan
Orang Tua Biologis ...................................................................... 75
2. Hubungan Kewarisan Antara Anak di Luar Perkawinan
dengan Ayah Biologis .................................................................. 80
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….. 88
A. Kesimpulan ………………………………………………………… 88
B. Saran …………………………………………………………………92
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. 94
7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu masalah krusial dalam hukum keluarga adalah masalah status hak
keperdataan anak luar kawin yang menurut undang-undang hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun, dengan adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 46/PUU-VIII/2010, yang
dibacakan tanggal 17 Februari 2012 mengabulkan tuntutan Machica Mochtar
mengenai status keperdataan anak luar kawin memungkinkan anak di luar
perkawinan mendapatkan hak waris dan hak keperdataan lainnya dari laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya, sebagaimana ketentuan Pasal 43 ayat
(1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019), yang menyatakan, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya" tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, "Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentu akan berakibat pada perombakan
hukum keluarga di Indonesia secara signifikan. Hukum positif selama ini
menempatkan status hukum anak luar kawin berbeda dengan anak sah. Anak luar
8
kawin diperlakukan secara berbeda karena hanya memiliki hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya, yang berarti tidak memiliki hubungan perdata dengan
ayah maupun keluarga ayahnya.
Perubahan status hak keperdataan anak luar kawin menimbulkan beberapa
akibat hukum bagi masyarakat Indonesia, yakni:
Pertama, kewajiban alimentasi bagi laki-laki yang dapat dibuktikan memiliki
hubungan darah sebagai ayah dari anak luar kawin. Seorang ayah biologis sudah tidak
bisa mengelak lagi atas kewajiban hukum untuk memelihara dan mendidik anak
dengan alasan ketiadaan ikatan perkawinan yang sah dengan ibunya. Ayah harus
memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan anak tersebut meskipun ia tidak terikat
perkawinan dengan ibunya, atau bahkan sang ayah terikat perkawinan dengan orang
lain.
Kedua, hak anak luar kawin atas harta warisan. Pengakuan anak luar kawin
memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya maka tentu akan berakibat pada
hak seorang anak mendapat harta warisan. Kedudukan anak luar kawin menjadi
setara dengan anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang sah.
Menurut Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqh Sunnah, anak zina adalah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan yang sah dan tidak mempunyai hubungan kewarisan
dengan ayah karena tidak adanya nasab yang sah, hanya mempunyai hubungan
kewarisan dengan ibunya saja.1 Kemudian, dalam pasal 186 Kompilasi Hukum Islam
disebutkan, "anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling
mewaris dengan ibunya dan keluarga ibunya”.2
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai status hak keperdataan anak luar
kawin merupakan suatu pemikiran yang bertentangan dengan hukum yang difahami
ummat Islam Indonesia karena selama ini dipahami dalam konsep fiqh dan praktik
hukum dalam Peradilan Agama, anak luar kawin tidak memiliki hak saling mewaris
dengan ayahnya karena ketiadaan nasab yang sah. Dengan putusan Mahkamah
Konstitusi ini menjadikan anak luar kawin sebagai pihak yang memiliki kedudukan
1
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 3, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hlm. 220.
Tanya Jawab Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam, Proyek Penyuluhan
Hukum PTA Jawa Barat, 2001.
2
9
hukum (persona in judicio) dalam perkara kewarisan di pengadilan dan berhak
memperoleh harta warisan ayah biologisnya dengan keharusan mampu membuktikan
adanya hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum.
Sedangkan konsep kewarisan dalam hukum Islam tidak mengenal anak di luar
perkawinan atau anak hasil zina sebagai ahli waris dari ayah biologisnya karena tidak
adanya nasab yang sah yang diawali dari tidak adanya perkawinan yang sah dari
kedua orang tuanya menurut syariat Islam.
Menurut pendapat madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, anak yang
lahir dari hubungan perzinaan hanya dapat mewarisi ibu dan kerabat ibunya. Hal ini
karena anak zina hanya memiliki nasab kepada pihak ibunya. Sedangkan ke pihak
bapaknya tidak diakui sah oleh agama.3
Kedudukan seorang anak sebagai ahli waris berdasarkan hukum Islam adalah
ditentukan sebagai sebab atau syarat-syarat mempusakai yang bersumber pada
Alqur’an dan sunnah serta hasil ijtihad yang berlaku di Indonesia yang
diformulasikan dalam berbagai produk pemikiran hukum Islam, baik dalam bentuk
fikih, fatwa, putusan pengadilan, maupun peraturan perundang-undangan, termasuk
di dalamnya Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Penelitian tentang Status Hukum Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 ini bertujuan
untuk memahami implikasi dan akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
terkait dengan hasil judicial review pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1Tahun
1974 tentang Perkawinan yang harus dibaca “anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.4
3
4
Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Houve, Jakarta, 1999, hlm. 315.
Putusan Mahkamah Konstitusi R.I. Nomor 46/PUU-VII/2010 tanggal 17 Pebruari 2012.
10
B. Rumusan Masalah
Dalam rangka memperoleh hasil penulisan yang baik dan memenuhi syarat
penulisan karya ilmiah serta untuk mempermudah pengumpulan data dan
pembahasannya, maka dalam penelitian ini diperlukan adanya perumusan masalah.
Perumusan masalah dalam suatu karangan ilmiah merupakan hal yang penting agar
masalah yang dibahas tidak menyimpang dari tujuan permasalahan yang akan dibuat
penulisan, demikian pula data sampel yang dicari dapat diperoleh dalam penelitian
sesuai dengan tujuan penelitian.5
Sesuai dengan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka pokokpokok masalah yang diteliti dan dikaji dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana status hukum anak di luar perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum positif Indonesia?
2. Bagaimana proses pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 di Pengadilan Agama?
3. Apa akibat hukum yang timbul dengan adanya pengesahan anak di luar perkawinan
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif
hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan penelitian sudah tentu mempunyai suatu tujuan yang jelas dan
pasti. Adapun tujuan ini diperlukan adalah untuk mengetahui dan mengkaji
(menganalisis) secara lebih mendalam mengenai persoalan-persoalan hukum terkait
dengan:
1. Status hukum anak di luar perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum positif Indonesia?
2. Proses pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 di Pengadilan Agama.
5
Soerjono Soekanto, Tata Cara Penyusunan Karya Tulis ilmiah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 13.
11
3. Akibat hukum yang timbul dengan adanya pengesahan anak di luar perkawinan
pasca Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam
prespektif hukum Islam.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
penulis dan para pembaca pada umumnya dalam rangka meningkatkan ilmu
pengetahuan hukum, khususnya di bidang hukum perkawinan. Manfaat praktis dari
penelitian ini diharapkan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
mengenai pentingnya pencatatan perkawinan bagi masyarakat secara keseluruhan dan
pemahaman tentang kedudukan hukum anak di luar perkawinan. Khusus bagi penulis,
penelitian ini juga dimaksudkan untuk melaksanakan salah satu tugas Tridharma
Perguruan Tinggi yang merupakan kewajiban dosen untuk menyusun sebuah karya
ilmiah.
Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat
praktis bagi semua pihak, khususnya tokoh-tokoh agama (kyai; ulama’) dalam
masyarakat dan pejabat publik yang mengurusi masalah perkawinan, antara lain
Kepala Desa/Lurah, Pegawai Pencatat Nikah (PPN), pejabat Kantor Urusan Agama,
Kantor Catatan Sipil dan para hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri,
termasuk aparat penegak hukum lainnya, seperti polisi, jaksa, dan pengacara, agar
terbentuk persepsi dan pemahaman yang sama atau setidak-tidaknya mempersempit
perbedaan sudut pandang terhadap berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 Tanggal 17 Pebruari 2012 atas judicial review pasal 43 ayat (1)
dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya
mengenai hak keperdataan anak di luar perkawinan. Dengan adanya persepsi dan
pemahaman yang sama mengenai pentingnya pencatatan perkawinan di kalangan
pejabat publik dan tokoh-tokoh agama yang ada dalam masyakarat diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat mengenai pentingnya pencatatan
perkawinan dalam rangka memperoleh jaminan perlindungan dan kepastian hukum
12
yang diberikan oleh negara (baca: pemerintah) melalui Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk mencari jawaban dan menganalisis
pokok-pokok masalah sebagaimana telah dipaparkan dalam rumusan masalah
tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1. Jenis dan Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yang menurut Ronny
Hanitijo Soemitro dapat dibedakan ke dalam lima tipe penelitian, yaitu:6
a. Penelitian inventarisasi hukum positif;
b. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
c. Penelitian untuk menemukan hukum in concreto;
d. Penelitian terhadap sistematik hukum;
e. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.
Berdasarkan tipe-tipe penelitian hukum normatif tersebut di atas, penelitian ini
termasuk tipe penelitian inventarisasi hukum positif. Hasil dari inventarisasi hukum
positif ini kemudian dibandingkan dan dicari kaitannya dengan norma hukum lain
yang berlaku di masyarakat, khususnya hukum Islam dan kebiasaan masyarakat
setempat. Kegiatan inventarisasi hukum positif dalam penelitian ini bukan sekedar
mengumpulkan bahan-bahan hukum positif, melainkan dilakukan melalui proses
identifikasi yang kritis-analitis dan selanjutnya melalui proses klasifikasi yang logissistematis.
Setelah dilakukan kegiatan inventarisasi hukum positif, dilanjutkan dengan
kegiatan membandingkan atau mencari kaitannya dengan norma hukum tidak tertulis
yang berlaku masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai
6
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990,
hlm. 12
13
penelitian perbandingan hukum (legal comparative study) antara norma hukum
tertulis dan norma hukum yang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan.7
2. Bahan Hukum
Di dalam penelitian hukum normatif, data yang digunakan hanyalah data
sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, yang
dalam penelitian ini mencakup:8
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang dalam penelitian ini terdiri dari:
(1)
Undang-Undang Dasar 1945 (yang telah diamandemen);
(2)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
(3)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
(4)
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
(5)
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
(6)
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
(7)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
(8)
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam (KHI);
(9)
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 17
Pebruari 2012;
(10) Sumber-sumber hukum yang hanya mengikat orang-orang yang
beragama Islam, yaitu: Al Qur’an dan Al Hadits;
(11) Peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan pokok masalah
penelitian.
b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, yang dalam penelitian ini meliputi: buku-buku dan
kitab-kitab hukum yang ditulis oleh para ahli hukum dan ahli fiqh, dokumen-
hlm. 14
7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitihan Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995,
8
Ibid., hlm. 12-13
14
dokumen hukum, hasil-hasil penelitian sebelumnya, termasuk jurnal atau
majalah hukum perkawinan;
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang dalam
penelitian ini meliputi kamus dan ensiklopedi hukum.
2. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian inventarisasi hukum positif ini
dilakukan melalui tiga kegiatan pokok, yaitu: pertama, penetapan kriteria identifikasi
untuk menyeleksi norma-norma yang dimasukkan sebagai norma hukum positif dan
norma-norma yang dianggap sebagai norma sosial bukan hukum positif; kedua,
melakukan pengumpulan norma-norma yang sudah diidentifikasikan sebagai norma
hukum positif; dan ketiga, dilakukan pengorganisasian norma-norma yang sudah
didentifikasi dan dikumpulkan itu ke dalam suatu sistem yang komprehensif atau
menyeluruh.9
Kriteria identifikasi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pada dua
konsepsi, pertama konsepsi legisme-positivistik yang berpandangan bahwa hukum
identik dengan norma-norma hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan
yang dibuat oleh penguasa (pejabat yang berwenang). Sedang yang kedua adalah
konsepsi yang justru menekankan arti pentingnya norma-norma hukum tidak tertulis
dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal ini norma hukum agama
(meskipun tertulis dalam kitab-kitab suci dan kitab-kitab yang ditulis para ahli hukum
agama) dan hukum adat masyarakat setempat.
3. Teknik Analisis Bahan Hukum
Kegiatan inventarisasi hukum positif dalam penelitian ini bukan sekedar
mengumpulkan bahan-bahan hukum positif, melainkan dilakukan melalui proses
identifikasi yang kritis-analitis dan selanjutnya melalui proses klasifikasi yang logissistematis. Setelah melalui proses identifikasi dan klafisikasi terhadap bahan-bahan
9
Ronny Hanitijo Soemitro, op. cit., hlm. 13.
15
hukum primer, sekunder dan tersier, selanjutnya dilakukan pengkajian terhadap isi
dari bahan-bahan hukum tersebut melalui metode analisis isi (content analysis)
dengan melakukan interpretasi secara historis, otentik, sistematis, tekstual dan
kontekstual (sosiologis). Hasil dari analisis isi ini kemudian dideskripsikan secara
sistematis dalam laporan hasil penelitian.
F. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN, berisi: Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, berisi uraian tentang: Definisi Anak,
Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak, Tinjauan Umum Mengenai
Mahkamah Konstitusi, Kewenangan Peradilan Agama Tentang Pengesahan Asal
Usul.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, berisi pembahasan
masalah tentang: (1) Kedudukan Anak di Luar Perkawinan Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010; (2) Proses Pengesahan Anak di
Luar perkawinan di Pengadilan Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010; dan (3) Akibat Hukum Adanya Pengesahan Anak di Luar
Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010,
khususnya menyangkut Hubungan Nasab Anak di Luar Perkawinan dengan Orang
Tua Biologis dan Hubungan Kewarisan Antara Anak di Luar Perkawinan dengan
Ayah Biologis.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN, merupakan bab penutup yang berisi
kesimpulan dan saran (rekomendasi) kepada pihak terkait, khususnya MKRI dan
Pengadilan Agama.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Anak
Definisi mengenai anak banyak ditemui dalam beberapa peraturan perundangundangan yang mengatur masalah anak, di antaranya adalah:
a.
Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, memberikan definisi: “Anak adalah potensi serta
penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi
sebelumnya”.10
b.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan
Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah, memberikan definisi: “Anak
adalah sebagai tunas bangsa merupakan generasi penerus dalam
pembangunan bangsa dan Negara”.11
c.
Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, memberikan definisi:
“Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa,
yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi,
selaras dan seimbang.12
d. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, memberikan definisi: “Anak adalah amanah dan karunia
10
Konsideran huruf (a) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak.
11
Konsideran huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi
Anak yang Mempunyai Masalah.
12
Konsideran huruf (a) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak.
17
Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat
sebagai manusia seutuhnya”.13
B. Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak
Masa depan bangsa terletak pada keadaan dan kesejahteraan anak masa kini,
begitulah ungkapan yang sering kita dengar bila sedang membicarakan persoalan
anak. Sayangnya, ungkapan itu tidak berbanding lurus dengan realitas yang ada.
Dalam realitas masih banyak anak yang tidak beruntung dalam pemenuhan hakhaknya. Hak-hak tersebut secara mendasar meliputi antara lain hak atas kelangsungan
hidup, tumbuh berkembang, perlindungan hukum dan partisipasi, termasuk hak atas
pendidikan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Muladi14
disebutkan bahwa “hak” adalah: (1) yang benar; (2) milik, kepunyaan; (3)
kewenangan; (4) kekuasaan untuk berbuat sesuatu; (5) kekuasaan yang benar atas
suatu atau untuk menuntut sesuatu; (6) derajat atau martabat; (7) (hukum); wewenang
menurut hukum. Pengertian yang beragam dan luas tersebut pada dasarnya
mengandung prinsip bahwa hak adalah sesuatu yang oleh sebab itu seseorang
(pemegang) memiliki kebebasan untuk menuntut sesuatu yang dianggap tidak
dipenuhi atau diingkari. Seseorang yang memegang hak atas sesuatu, maka orang
tersebut dapat memperlakukan sesuatu tersebut sebagaimana dikehendaki atau
sebagaimana keabsahan dimilikinya.
Sedang, “hak asasi” adalah kebutuhan yang bersifat mendasar dari umat
manusia. Hak asasi merupakan hak natural (alami/kodrati) yang merupakan
pemberian langsung dari Tuhan. Oleh karena itu, bila seorang manusia ingin
memperoleh kehidupannya secara bermartabat, maka harus memposisikan hak asasi
dengan melihatnya dari sudut alamiah atau kodratnya secara hakiki.
Adanya penekanan hak pada hukum alam memberi indikasi dan bukti bahwa
hukum alam memihak kepada kemanusiaan, dalam bentuk hak asasi sejak
13
Konsideran huruf (b) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
14
Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakikat,Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan
Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 227-228.
18
kelahirannya, hak hidup merupakan hak asasi manusia (HAM) pertama. Oleh karena
itulah, penyebutan istilah “hak asasi manusia” semula adalah “hak-hak alamiah”
(natural rights), kemudian diganti istilah yang lebih populer disebut “human rights”.
Dalam perkembangannya lebih jauh, bahkan hingga dewasa ini, hak asasi manusia
yang dikenal sebagai fundamental rights meliputi moral rights dan legal rights.15
Pada dasarnya ada dua hak dasar pada manusia, yaitu: pertama, hak-hak
manusia (human rights) yang melekat pada manusia dan secara asasi ada sejak
manusia dilahirkan. Ia berkaitan dengan eksistensi hidup manusia, bersifat tetap dan
utama, tidak dapat dicabut, termasuk oleh negara atau pemerintah. Wujud hak ini di
antaranya adalah berupa: kebebasan batin, kebebasan beragama, kebebasan hidup
pribadi atau nama baik, melakukan pernikahan, kebebasan untuk berkumpul dan
mengeluarkan pendapat, termasuk emansipasi wanita. Hak-hak yang sifatnya asasi ini
biasanya diatur dalam konsitusi suatu negara. Kedua, hak-hak manusia yang diatur
dalam undang-undang (legal rights), yaitu hak yang diberikan secara khusus kepada
pribadi manusia berdasarkan ketentuan undang-undang. Oleh karena diberikan
berdasarkan ketentuan undang-undang, maka pengaturannya harus jelas tertuang
dalam peraturan perundang-undangan. Sifatnya, sewaktu-waktu dapat dicabut atau
diubah apabila memang dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Hak-hak khusus
yang diberikan oleh undang-undang di antaranya hak seseorang menjadi Pegawai
Negeri Sipil, hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan umum, hak atas
pensiun, jaminan hari tua, hak untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang
layak, dan lain-lain.16
Hak-hak manusia disebut hak asasi, karena dianggap sebagai fundamen yang di
atasnya seluruh organisasi hidup bersama harus dibangun dan merupakan asas-asas
undang-undang. Makna hak asasi itu menjadi jelas apabila pengakuan akan hak-hak
tersebut dipandang sebagai bagian humanisasi hidup yang mulai ada dan digalang
sejak manusia menjadi sadar tentang tempat, kedudukan dan tugasnya di dunia ini. Di
15
Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia dan Proses Dinamika Penyusunan
Hukum Hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 8-9.
16
Abdul Rokhim, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar kawin Dalam Perspektif Hak Asasi
Manuasia, Unisma, Malang, 2011, hlm. 46
19
Indonesia, ketentuan mengenai hak asasi tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
dan beberapa pasal dalam UUD 1945, khususnya pasal 27 sampai dengan pasal 34.
Di samping itu, pengaturan mengenai masalah HAM di Indonesia juga terdapat pada
peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan khusus mengenai perlindungan hukum terhadap
hak-hak anak diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Persoalannya adalah, siapa yang bertanggungjawab terhadap perlindungan hakhak asasi manusia (HAM) ini? Secara teori ada dua pendapat mengenai siapa yang
bertanggungjawab atas masalah perlindungan hak asasi manusia. Pertama, adalah
menjadi kewajiban pemerintah atau suatu negara hukum untuk mengatur pelaksanaan
hak-hak asasi manusia, yang berarti pemerintah wajib mengatur mengenai
pelaksanaan dan pembatasan-pembatasannya demi kepentingan umum (masyarakat),
bangsa dan negara. Pandangan kedua, menyatakan bahwa pertanggungjawaban tidak
harus berada pada negara, namun juga pada segenap individu warga negara. Jadi
secara bersama-sama negara (pemerintah) dan semua warga negara mempunyai
kewajiban (tanggungjawab) dalam upaya perlindungan hak asasi manusia. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor:
(1) bahwa kepentingan HAM tidak hanya menyangkut kepentingan negara semata,
tetapi juga menyangkut kepentingan warga negara;
(2) HAM yang seutuhnya itu bersumber pada pertimbangan normatif agar manusia
diperlakukan sebagaimana martabat manusia yang sesungguhnya;
(3) Operasionalisasi kegiatan HAM memiliki tanggungjawab bersama antara
manusia
dalam
struktur
negara
yang
saling
berinteraksi
dan
harus
diwujudkannya.17
17
Muladi, op. cit., hlm. 230.
20
C. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi
Berbicara tentang Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) tidak terlepas
dari kajian terhadap kasus Judicial review yang sangat terkenal dalam hukum
Amerika, yaitu : William Marbury Vs Madison pada tahun 1803 yang mengorbitkan
nama John Marshall yang berkedudukan sebagai Ketua Mahkamah Agung Amerika
Serikat, yang untuk pertama kalinya Mahkamah Agung menyatakan bahwa UndangUndang Federal sebagai Unconstitutional.18
Dengan adanya putusan atas kasus William Murby Vs Madison tersebut maka
berkembanglah praktek hukum yang diikuti dan menjadi preseden di banyak negara
bahwa hak menguji merupakan suatu tatanan yang berkaitan erat dengan konsep
hukum dasar dan hukum tertinggi dalam suatu negara. Dari sudut pandang ini, dasar
tujuan dari hak menguji adalah melindungi konstitusi dari pelanggaran atau
penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh badan legislatif atau tindakan-tindakan
eksekutif.
Tidak semua negara menyebut lembaga baru itu dengan istilah Mahkamah
Konstitusi. Perancis misalnya menyebut dengan Dewan Konstitusi (Counseil
Constitutionnel), Belgia menyebutnya Arbitrase Konstitusional (Constitusional
Arbitrage), karena lembaga ini dianggap bukan pengadilan dalam arti yang lazim.
Oleh karena itu, para anggotanya juga tidak disebut hakim. Persamaan dari ke-78
negara itu adalah pada Mahkamah Konstitusi yang dilembagakan tersendiri di luar
Mahkamah Agung, dan Indonesia merupakan negara yang ke-78 dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003.19
Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu,
antara lain:
Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang
demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan
18
19
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 85.
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RI., Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 4.
21
bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan
ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan
lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang.
Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Ketiga UUD 1945 telah mengubah relasi
kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers)
berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap
ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara.
Sementara itu, perubahan paradigma supremasi Majelis Permusyawaran Rakyat
(MPR) ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara
yang berwenang menyelesaikan sengketa antar lembaga negara. Oleh karena itu,
diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh
MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari
mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu,
disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang
dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa
jabatannya.20
Belajar dari jatuh bangunnya pimpinan pemerintahan (Presiden) di Indonesia
yang tidak berdasarkan mekanisme ketatanegaraan yang universal dan melalui proses
konstitusional yang baik, maka setelah melalui pembahasan mendalam, dengan
mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta
mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara,
rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan
MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai
lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal
24C UUD 1945.
20
Janedjri M.Gaffar, Peran Mahkamah Konstitusi
22
3. Kedudukan Mahkamah Konstitusi
Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman di
Indonesia telah ada sejak disahkannya rumusan mengenai lembaga Mahkamah
Konstitusi pada sidang tahunan MPR tahun 2001 yang merupakan perubahan ketiga
dari UUD 1945. Pada umumnya negara-negara mengakui supremasi undang undang
dasar di atas segala peraturan perungang undangan lainnya, hal ini terbukti dari cara
mengubahnya yang memerlukan prosedur yang lebih berat dari pada pembuatan
sebuah
undang
undang.
Sebagaimana
K.C.Where
mengemukakan,
dengan
menempatkan konstitusi pada kedudukan yang tinggi (Supreme) ada semacam
jaminan bahwa konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar
konstitusi tidak akan dirusak dan diubah begitu saja secara sembarangan.
Perubahannya harus dilakukan secara hikmat, penuh kesungguhan dan pertimbangan
yang mendalam. Agar maksud ini dilaksanakan dengan baik maka perubahannya
pada umummya mensyaratkan adanya suatu proses dan prosedur yang khusus atau
istimewa.21
Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) berbunyi: “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”. Digantikannya sistem division of power (pembagian
kekuasaan) dengan separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan
perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD
1945. Berdasarkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara
disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai
lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.
Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat
itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah
21
K.C.Wheare, “Modern Constitution”, dalam Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo
Perkasa, 2003, hlm. 64
23
lembaga negara, yakni Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah
Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai
lembaga tinggi negara.
Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga
negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara.
Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat
bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat
tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan
kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada
lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara
berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat.
Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan
berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Mahkama
Konstitusi menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan
kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi
adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat
tidak beralasan mengatakan posisi dan kedudukan Mahkamah Konstitusi lebih tinggi
dibanding lembaga-lembaga negara lainnya. Prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas
antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan
mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama lain.
Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada Mahkamah Konstitusi
untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan
konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab,
UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di
Indonesia. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan, kewenangan
serta
kewajiban
konstitusional
menjaga
atau
menjamin
terselenggaranya
konstitusionalitas hukum.
24
4. Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi
Perubahan
Ketiga
Undang
Undang
Dasar
1945
yang
mengadopsi
pembentukan Mahkamah Konstitusi (MKRI) sebagai lembaga yang berdiri sendiri di
samping Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) memberikan kedudukan dan
fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik
oleh penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Fungsi dan peran utama
Mahkamah
Konstitusi
adalah
menjaga
konstitusi
guna
tegaknya
prinsip
konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang
mengakomodir pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya.
Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat
lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia, sebab UUD 1945
menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan
supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya
menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara
demokrasi. Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak
akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak
konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.
Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan
konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian
daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum
itu akan dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Sehingga semua produk hukum harus
mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial
review ini, Mahkamah Konstitusi menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi
terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil maupun
formil yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji kesahihan
dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif legislatif
maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang lebih tinggi derajat dan
hierarkinya. Jika pengujian itu dilakukan terhadap isi undang undang atau peraturan
25
perundang-undangan lainnya, dinamakan sebagai hak menguji materiil (materiele
toetsingsrecht), jika pengujian itu dilakukan terhadap prosedur pembentukannya,
disebut hak menguji formal (formele toetsingsrecht).22 Lebih lanjut, Jimly
Asshiddiqie menguraikan sebagai berikut:
“Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan
sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan
konstitusional ditengah kehidupan masyarakat. Mahkamah konstitusi
bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan
dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan
bertanggung jawab. Ditengah kelemahan sisten konstitusi yang ada,
Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi
selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan
bermasyarakat”.23
Fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu: (1) memutus sengketa antar
lembaga negara, (2) memutus pembubaran partai politik, dan (3) memutus sengketa
hasil pemilu. Fungsi lanjutan semacam itu memungkinkan tersedianya mekanisme
untuk memutuskan berbagai persengketaan (antar lembaga negara) yang tidak dapat
diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan
tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu erat dengan
hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang
dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian atas hasil pemilihan umum
dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah dilembagakan
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi
mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers)
dan satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation). Ketentuan itu
dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf (a) sampai dengan huruf (d) UndangUndang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah:
(1) Menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
22
Sri Soemantri M., Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 60
Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan
Terpercaya, Sekretariat Jenderal MKRI, 2004, hlm. iv.
23
26
(2) Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945;
(3) Memutus pembubaran partai politik;
(4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat
(2) UUD 1945 yang lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24
Tahun 2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberi keputusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
D. Kewenangan Peradilan Agama Tentang Pengesahan Asal Usul Anak dan
Kewarisan
1.
Tentang Pengesahan Asal Usul Anak
Kekuasaan mengadili bagi Pengadilan Agama ditentukan oleh Pasal 49
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang telah diubah dengan Undangundang Nomor 3 Tahun 2006, dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, berbunyi:
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara perkara ditingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam;
c. Wakaf dan shadaqah.
Kemudian ketentuan tersebut diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
tahun 2006, merupakan perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2009 tentang
27
Peradilan Agama yang telah memberikan perluasan bagi kompetensi Peradilan
Agama yaitu menyangkut yurisdiksi di bidang ekonomi syari’ah. Perubahan
ketentuan di atas terdapat dalam angka 37 Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun
2006 yang berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara perkara ditingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf;
zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari’ah.
Dalam penjelasan Pasal 49 tersebut, terdapat dua (2) butir kekuasaan
Pengadilan Agama di antara 22 butir kekuasaan mengadili bagi pengadilan agama,
yang terdapat pada penjelasan Pasal 49 huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dan diubah
lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, yakni:
1) angka 14 mengenai “putusan sah tidaknya seorang anak”, dan 2) angka 20
mengenai “penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan
anak berdasarkan hukum Islam.”
Sehubungan dengan kewenangan tersebut di atas, untuk menyikapi putusan
MKRI
Nomor
46/PUU-VIII/2010,
Pengadilan
Agama
dapat
menerima
permohonan tentang pengesahan anak, penetapan asal usul anak dan penetapan
pengangkatan anak sepanjang memenuhi syarat-syarat yang berpedoman kepada:
a.
Pasal 28-B ayat 1 UUD tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui Perkawinanan yang
sah”.
b.
Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang
berbunyi “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.”
c.
Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepecayaannya itu”; dan ayat (2), yaitu: “Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”.
d.
Pasal 99 huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam, yangt berbunyi : “ Anak yang
28
sah adalah:
(1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
(2) Hasil pembuahan susmi isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut.
Penetapan/putusan Pengadilan Agama tentang pengesahan anak dan asal usul
anak itu akan menjadi dasar bagi Kantor Catalan Sipil untuk menerbitkan Akta
Kelahiran. Dapat dimaklumi bahwa sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 bahwa dalam hal kekuasaan untuk menetapkan pengesahan anak oleh
Pengadilan Agama dianggap belum berlaku efektif sebab berdasar Pasal 43 ayat 2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa ketentuan dalam undang-undang baru
berlaku efektif hanya setelah diatur oleh Peraturan Pemerintah. Namun setelah
lahirnya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, segala ketentuan dalam undangundang tersebut sejak diundangkan tanggal 29 Desember 1989 telah berlaku
efektif tanpa menunggu pengaturan oleh Peraturan Pemerintah, kecuali yang tegastegas dalam pasal yang bersangkutan disebutkan demikian. Ini berarti kekuasaan
Pengadilan Agama terhadap penetapan pengesahan anak, asal-usul anak dan
pengangkatan telah sepenuhnya berlaku secara efektif.
Adapun Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 yang b e r b u n y i h a r u s d i b a c a : “ Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya ", maka Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
sehingga secara otomatis ketentuan tentang tidak berlakunya Pasal 43 ayat (1)
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut juga berlaku terhadap ketentuan Pasal
100 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi : “ Anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya."
29
Oleh Karena ketentuan yang ada dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 Kompilasi hukum Islam tersebut oleh
Mahkamah Konstitusi sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat sehingga bagi Majelis Hakim Pengadilan Agama tidak dapat lagi
menjadikan kedua pasal tersebut sebagai pijakan hukum (legal reasoning) dalam
memutus suatu perkara.
2. Tentang Kewarisan
Kewenangan Pengadilan Agama didalam memeriksa dan mengadili sengketa
maupun perkara permohonan tentang kewarisan diatur didalam pasal 49 huruf (b)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut memberikan kewenangan
kepada Pengadilan Agama untuk memeriksa dan mengadili perkara bagi orang orang
yang beragama Islam baik perkara yang diajukan dalam bentuk gugatan karena
adanya sengketa (Contentiosa) yang produk hukumnya berupa putusan (vonis)
maupun yang diajukan dalam bentuk permohonan (Voluntair) yang produk
hukumnya berupa penetapan (beschiking).
Penjelasan pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,
berbunyi sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut,
serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan masing masing ahli waris.”
Sedangkan yang dimaksud dengan kalimat “antara orang orang yang
beragama Islam” dalam penjelasan pasal 49 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006
disebutkan: Yang dimaksud dengan “antara orang orang yang beragama Islam”
adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri
dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan
Peradilan Agama.
Dari penjelasan pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
30
tersebut dapat difahami dengan jelas tentang kewenangan Pengadilan Agama untuk
memeriksa dan mengadili perkara permohonan penetapan ahli waris yang diajukan
tanpa adanya sengketa
(voluntair). Adapun didalam menyelesaikan perkara
kewarisan baik yang diajukan dalam bentuk gugatan karena adanya sengketa
(Contentiosa) maupun
yang diajukan dalam bentuk permohonan (Voluntair )
Pengadilan Agama menerapkan asas personalitas keislaman dimana hukum terapan
Pengadilan Agama di bidang waris adalah hukum kewarisan KHI (Kompilasi
Hukum Islam) dan yurisprudensi yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadits Nabi dan
Ijtihad.24
24
Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI, 2009, hlm.
190.
31
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Anak di Luar Perkawinan Berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Untuk membahas kedudukan anak di luar perkawinan berdasarkan Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
46/PUU-VIII/2010
terlebih
dahulu
penulis
memaparkan pengertian anak yang dilahirkan di luar perkawinan dengan sudut
pandang sebagai berikut:
1. Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
Tentang kedudukan seorang anak yang dilahirkan di dunia ini tidak terlepas
dari berlangsungnya hubungan kelamin (coitus) antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang berakibat adanya pembuahan antara ovum dan sperma baik dengan
adanya proses perkawinan atau tanpa adanya proses perkawinan.
Akibat dari adanya hubungan kelamin (coitus) antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan sebagaimana diuraikan di atas, berdasarkan kajian perundangundangan yang ada akan timbul 3 (tiga) macam status kelahiran, yaitu:
1) Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah;
2) Anak yang lahir di luar perkawinan; dan
3) Anak yang lahir tanpa perkawinan (anak hasil zina).
a. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa
Perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sekalipun Indonesia bukan sebagai negara agama, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa nilai-nilai agama oleh pembuat undang-undang telah dijadikan
32
sebagai sumber pembentukan hukum (source of legislation) di Indonesia. Hal
tersebut dikarenakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (1) disebutkan
bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, berdasarkan uraian di atas
sehingga aturan perkawinan nasional Indonesia tidak hanya sebatas hubungan
keperdataan antara pasangan suami isteri, tetapi hubungan perkawinan tersebut juga
dimaknai sebagai hubungan yang bersifat suci (transcendental) yang tetap
berpedoman kepada atauran agama masing-masing.
Bahkan, bagi umat Islam keterkaitan antara urusan duniawi dan ukhrawi
didalam perkawinan secara tegas disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
BAB II Pasal 2 yang berbunyi “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Dalam pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, semakin nyata bahwa perkawinan dalam aturan
nasional tidak terlepas dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat
Indonesia karena dikatakan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Pelaksanaan perkawinan di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 mengatur syarat-syarat materil dan formil pernikahan yang
mesti dipenuhi oleh masing-masing calon mempelai. Jika syarat tersebut tidak
dipenuhi maka secara hukum formal perkawinan tidak dapat dilaksanakan.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 selain menentukan syarat materiil
perkawinan juga mengatur syarat formil sebagai syarat yang ditentukan oleh negara
dengan tujuan untuk mewujudkan tertib perkawinan di Indonesia. Dalam pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dijelaskan bahwa “tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.3
Selama ini masih terjadi ambiguitas dalam memaknai syarat materiil dan
formil perkawinan di Indonesia, dalam arti apakah syarat formil hanya sebatas
berkaitan dengan administrasi perkawinan ataukah mempengaruhi syarat materiil.
Semestinya untuk mewujudkan kepastian hukum dalam perkawinan di Indonesia dan
agar tujuan negara dalam mewujudkan tertib administrasi perkawinan terwujud,
33
pencatatan perkawinan semestinya dikukuhkan bukan hanya pada tataran
administratif tetapi juga diintegrasikan menjadi syarat materil perkawinan. Jadi
perkawinan dianggap sah bukan hanya semata memenuhi rukun serta syarat
perkawinan yang ditentukan oleh agama dan kepercayaannya masingmasing, tetapi
perkawinan dikatakan sah jika dicatatkan pada instansi yang berwenang untuk itu.
Kondisi tersebut dapat dimaknai dari ketentuan Perubahan Kedua UndangUndang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Apabila sutau perkawinan dilakukan menurut aturan yang berlaku menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka akan dinyatakan sebagai perkawinan yang
sah dan akan melahirkan anak yang sah. Sehingga dapat dinyatakan anak sah adalah
anak yang lahir dari perkawinan yang sah, perkawinan yang mengikuti prosedur Pasal
2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Kedudukan anak yang sah dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan antara lain:
a. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, pada Pasal 28-B ayat (1),
yaitu: Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah;
b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42, yaitu:
Anak yang sah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah.
c. Pasal 2 ayat (1), yaitu: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
d. Pasal 2 ayat (2), yaitu: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Salah satu akibat dari perkawinan yang sah, anak yang dilahirkan dari
pernikahan tersebut adalah anak sah, memiliki hubungan keperdataan secara
sempurna dengan kedua orang tuanya, sebagaiman ketentuan pasal 4 2
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 99 Instruksi Presiden Nomor 1
tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
34
Hubungan keperdataan yang dimaksud meliputi hak nasab (garis
keturunan) anak dihubungkan kepada ayah (dalam Islam), hak pemenuhan nafkah dari
orang tua terhadap anak, hak pemeliharaan dan pendidikan (hadhanah), hak saling
mewarisi, hak perwalian nikah bagi ayah atas anak perempuan, dan hak-hak
keperdataan lainnya.
Dengan terpenuhinya kedudukan hukum sebagai anak yang sah bagi anak
yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah ini, sehingga bukan lagi
merupakan titik pembahasan dalam penulisan ini, maka penulis memandang tidak
perlu diperluas pembahasannya kecuali dua macam anak yang akan diuraikan di bawah
ini.
b. Anak yang Lahir di Luar Perkawinan
Perkawinan yang dicatatkan menurut ketentuan pasal 2 ayat (2) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membawa akibat hukum dalam
bentuk jaminan perlindungan hukum dari pemerintah (negara) secara berkepastian
mengenai hubungan hukum berupa hak dan kewajiban antara suami dan isteri,
termasuk hubungan hukum yang timbul sebagai akibat dari perkawinan tersebut
antara orang tua dengan anak-anak yang dilahirkannya. Jaminan perlindungan
hukum juga diberikan oleh undang-undang dari kemungkinan gangguan dari pihak
ketiga yang mempermasalahkan perkawinan yang sudah dicatatkan tersebut.
Sebaliknya, jika perkawinan itu hanya dilakukan menurut syarat rukun hukum
agama saja, akan tetapi tidak dicatatkan (nikah di bawah tangan) maka dapat
menimbulkan akibat-akibat hukum berikut ini:
1.
Perkawinan antara pasangan suami dan isteri yang tidak dicatat tidak
mendapatkan perlindungan hukum. Jika terjadi sengketa antara suami isteri,
misalnya salah satu pihak mengingkari perkawinan tersebut, sulit dilakukan
pembuktian secara otentik adanya perkawinan yang sah di antara mereka.
2. Adanya perkawinan yang sulit dibuktikan, akan menimbulkan ketidakjelasan
hubungan nasab anak yang dilahirkan dengan ayahnya, karena yang
35
bersangkutan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Akibatnya,
timbul kesulitan dalam menentukan mahram maupun wali nikah.
2.
Karena tidak ada alat bukti perkawinan berupa akta nikah, jika terjadi sengketa
pihak isteri sulit untuk menuntut perceraian, nafkah, mut’ah maupun pembagian
harta bersama (gono gini).
3.
Tidak adanya alat bukti perkawinan seseorang jika terjadi sengketa akan
menyulitkan para ahli waris yang lahir dari perkawinan itu untuk mengajukan
gugatan atas harta waris atau peninggalan orang tersebut di hadapan sidang
pengadilan.
4.
Tidak adanya alat bukti berupa akta nikah akan menyulitkan anak yang lahir dari
perkawinan tersebut dalam mengurus akta kelahiran pada Kantor Catatan Sipil.25
Dalam konteks pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan
untuk menunjuk sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin
di bawah tangan, kawin syar'i, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin
kiyai. 5 Perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara material telah
memenuhi ketentuan syari’at sesuai dengan maksud pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat (2) pasal
tersebut jo pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.26
Secara umum yang dimaksud perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan
yang tidak dilakukan di depan dan atau dicatat secara resmi oleh Pegawai Pencatat
Nikah (PPN), sehingga keberadaannya secara administrasi tidak terdaftar dan sekaligus
tidak dapat diawasi oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN). Namun dari beberapa
ketentuan pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
maupun Kompilasi Hukum Islam pernikahan yang tidak secara dicatatkan
dan dilakukan di depan Petugas Pencatat Nikah (PPN) ini dinyatakan sah
secara agama, tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak mempunyai
25
Abdul Rokhim, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar Kawin dalam Prespektif Hak Asasi
Manusia”, Unisma, Malang, 2011, hlm. 59
26
Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Pustaka Dinamika, Yogyakarta, 2002, hlm.
110.
36
bukti autentik berupa Kutipan Akta Nikah sebagai bukti perkawinan yang sah menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.27
Perkawinan tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan hukum yang tidak
dikehendaki oleh undang-undang; karena terdapat kecenderungan kuat
dari segi sejarah hukum perkawinan, bahwa perkawinan tidak tercatat termasuk
perkawinan ilegal. Meskipun demikian, dalam Pasal 5 ayat (1) KHI terdapat informasi
implisit bahwa pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah perkawinan; tetapi
sebagai alat untuk menciptakan ketertiban perkawinan. Oleh karena itu, dalam Pasal 7
ayat (3) KHI diatur mengenai Itsbat nikah bagi perkawinan tidak tercatat. Dengan
kata lain, perkawinan tidak tercatat adalah sah; tetapi kurang sempurna.
Ketidaksempurnaan itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) KHI. Dalam
penjelasan umum Pasal 7 KHI bahwa pasal ini diberlakukan setelah berlakunya
undang-undang peradilan agama.28
Terjadinya
perkawinan
tidak
tercatat
(nikah dibawah tangan)
biasanya dilakukan di kalangan terbatas, di muka Pak Kiai atau tokoh agama,
tanpa kehadiran petugas KUA, dan tentu saja tidak memiliki surat nikah yang resmi.
Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
ditegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Perkawinan tidak tercatat secara agama adalah sah
manakala memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Meskipun demikian, karena
pernikahan tersebut tidak tercatat maka dalam hukum positif dianggap tidak sah
karena tidak diakui negara (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974).29
Secara hukum, menurut Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang tidak
dicatatkan (nikah dibawah tangan) hanya mempunyai hubungan hukum keperdataan
27
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 6 ayat (2) berbunyi “perkawinan yang dilakukan diluar
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum “.
28
Chatib Rasyid, Materi Seminar “Status Anak diluar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya”, IAIN
Walisongo Semarang, 10 April 2012.
29
Moh. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dari Segi
Perkawinan Islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hlm. 224.
37
dengan ibu dan keluarga ibu yang melahirkannya. Anak yang lahir sebagai akibat
dari perkawinan yang tidak dicatatkan, dalam konsep hukum perdata Barat
dikategorikan sebagai “anak luar kawin” (onwettig kind). Dalam konsep hukum
Islam tidak dikenal istilah “anak luar kawin”, karena dalam pandangan hukum Islam
tidak ada keharusan (ketentuan yang mewajibkan) untuk melakukan pencatatan
perkawinan. Menurut hukum Islam, perkawinan (akad nikah) harus dilakukan
menurut syarat-syarat dan rukun perkawinan sesuai dengan syariat (hukum Islam).
Dengan demikian, hukum Islam tidak membedakan kedudukan hukum anak yang
dilahirkan dari nikah sirri dan anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan
yang dicatatkan menurut ketentuan undang-undang.
Pandangan hukum Islam tersebut sejalan dengan konsep hak asasi anak yang
sama sekali tidak membedakan antara “anak sah”, yaitu anak yang lahir dari
perkawinan yang sah menurut undang-undang dan “anak tidak sah”, yaitu anak yang
lahir dari perkawinan yang tidak sah menurut undang-undang. Persoalannya adalah
bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh ketentuan undang-undang
terhadap “anak yang tidak sah” menurut undang-undang, yang lazim disebut “anak
luar kawin”?
Dalam uraian di atas telah disebutkan bahwa dalam perspektif Hak Asasi
Manusia (HAM) tidak ada diskriminasi terkait dengan status (kedudukan) hukum
anak dengan melihat keabsahan dari perkawinan orang tua yang melahirkannya.
Dengan perkataan lain, semua anak di depan hukum sama, tidak ada perbedaan
sedikitpun mengenai kedudukan hukum anak ditinjau dari sudut pandang HAM.
Meskipun demikian, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak yang lahir
dari sebuah perkawinan yang sah dengan yang tidak sah menurut undang-undang
memiliki implikasi yang berbeda, khususnya mengenai tanggungjawab orang tua
terhadap anaknya. Sebab, secara hukum, menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) anak yang lahir dari perkawinan yang
tidak dicatatkan hanya memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ibu dan
38
keluarga ibunya saja,30 ia tidak memiliki hubungan hukum keperdataan dengan
bapak biologis maupun keluarga dari bapak biologisnya itu. Dengan demikian, anak
luar kawin secara hukum tidak memiliki orang tua (bapak dan ibu) sebagai satu
kesatuan yang bertanggungjawab kepadanya. Oleh karena itu, perlindungan hukum
yang diberikan kepada anak luar kawin juga tidak sama dengan anak yang lahir dari
perkawinan yang sah menurut undang-undang, walaupun dalam perspektif HAM hal
itu tidak dibedakan.31
Orang yang melakukan pernikahan dibawah tangan atau nikah sirri tidak
tercatat di Pejabat Pencatat Nikah (PPN) dengan tanpa memenuhi ketentuan hukum
perkawinan yang berlaku sebenarnya mereka dengan sadar telah menghindar dari
tanggung jawab untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak mereka dan
sengaja keluar dari sistem hukum perkawinan yang berlaku bagi dirinya (pasangan
suami isteri) dan anak anaknya yang akan dilahirkan kemudian sebagai orang Islam
Indonesia.
Dari beberapa uraian yang berkaitan dengan kedudukan anak yang lahir di luar
perkawinan (nikah di bawah tangan) menurut pendapat penulis sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia bahwa status anak yang lahir dari nikah
di bawah tangan (nikah yang hanya memenuhi pasal 2 ayat (1) saja dari Undang
undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ) menurut hukum positif anaknya tidak
sah, karena nikahnya tidak sah, sebab tidak memenuhi pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
Undang undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
c. Anak yang Lahir Tanpa Perkawinan (Anak Hasil Zina)
Pembicaraan perkawinan dan segala permasalahannya tentu tidak lepas
dengan status anak yang dilahirkan, baik yang dilahirkan sebagai akibat hubungan
suami isteri yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang terikat tali
perkawinan yang sesuai dengan ketentuan agama maupun hubungan suami
isteri di antara laki-laki dan perempuan yang tidak melaui ikatan perkawinan.
30
31
Pasal 43 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam.
Abdul Rokhim, op. cit, hlm. 82
39
Untuk kasus yang pertama tidaklah menjadi pembahasan di sini, yang menjadi
bahasan di sini adalah kasus yang kedua.
Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara khusus dan pasti tentang
pengelompokan jenis anak, sebagaimana pengelompokan yang terdapat dalam
hukum perdata umum. Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang
kriteria anak sah (yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana
yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi bahwa
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
Sedangkan dalam Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang
status anak li’an (sebagai akibat pengingkaran suami terhadap janin dan/atau anak
yang dilahirkan isterinya). Dengan demikian, jelas bahwa Kompilasi Hukum Islam
tidak ada mengelompokkan pembagian anak secara sistematis yang disusun dalam
satu Bab tertentu, sebagaimana pengklasifikasian yang tercantum dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal 42 Bab IX Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 yang menjelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Yang termasuk dalam kategori pasal
ini adalah:
1. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah.
2. Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawainan dengan tenggang
waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi.
3. Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang
dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh suami.
Karena itu untuk mendekatkan pengertian “anak di luar nikah” akan diuraikan
pendekatan berdasarkan terminologi yang tertera dalam kitab fikih 32 yang
dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang status anak yang tertera dalam
pasal-pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
Ulama fikih membuat terminologi “anak zina” sebagai anak yang dilahirkan sebagai
akibat dari hubungan suami isteri yang tidak sah. Hubungan suami isteri yang
32
Lihat Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwaal al-Syakhshiyah, Dar Alfikr al-‘Araby, Beirut,1957, hlm. 404;
lihat juga Wahbah Al-Zuhaily, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Dar Alfikr Al Ma’ashir, Beirut, Juz VII, hlm. 675.
40
tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara
dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan
syarat nikah yang telah ditentukan.
Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut, dapat terjadi atas
dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang
yang telah menikah ataupun belum menikah. Meskipun istilah “anak zina”
merupakan istilah yang popular dan melekat dalam kehidupan masyarakat,
namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan
sebagai istilah khusus di dalamnya. Hal tersebut mungkin bertujuan agar “anak”
sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan korban sasaran hukuman sosial, celaan
masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu
kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus untuk
menunjukkan identitas Islam yang tidak mengenal adanya dosa warisan. Untuk
lebih mendekatkan makna yang demikian, pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 hanya menyatakan “seorang suami dapat menyengkal sahnya anak
yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah
berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak zina”
sebagaimana definisi yang dikemukaan oleh ulama fikih di atas, adalah istilah “anak
yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada
pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya” Semakna dengan ketentuan tersebut, pasal 186 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.
Secara penafsiran a contrario di dalam buku Pedoman Teknis administrasi
dan Teknis Peradilan Agama (Buku II) memberikan pengertian “anak sah adalah
anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah (Pasal 42 Undang-undang
Nomor 1 1974 jo. Pasal 99 KHI). Sebaliknya, anak yang tidak sah adalah anak nyang
41
lahir diluar perkawinan yang sah atau lahir diluar perkawinan yang sah atau lahir
dalam perkawinan yang sah akan tetapi disangkal oleh suami dengan sebab li’an”. 33
Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang
dimaksudkan dengan anak zina dalam pembahasan ini adalah anak atau janin yang
pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan
di luar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina. Pendekatan istilah “anak
zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”, berbeda dengan
pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata umum, sebab dalam
perdata umum, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua
orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, di mana salah seorang atau
kedua-duanya terikat satu perkawinan dengan orang lain. Karena itu anak luar nikah
yang dimaksud dalam hukum perdata adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di
luar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak zina. Perbedaan
anak zina dengan anak luar kawin menurut hukum perdata adalah:
1. Apabila orang tua salah satu atau keduannya masih terikat dengan
perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan
melahirkan anak, maka anak tersebut disebut anak zina.
2. Apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama bujang (jejaka,
perawan, duda dan janda), mereka mengadakan hubungan seksual dan
melahirkan anak maka anak itu disebut anak luar kawin.
Dengan demikian sejalan dengan pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 yang rumusannya sama dengan pasal 100 KHI, adalah: “anak yang lahir
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”. Yang termasuk anak yang lahir di luar perkawinan adalah:
1.
Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang
sah dengan pria yang menghamilinya.
2.
Anak Yang dilahirkan oleh wanita akibat korban perkosaan oleh satu orang pria
atau lebih.
33
Buku Pedoman Teknis administrsi Dan Teknis Peradilan Agama ( Buku II edisi revisi ), Mahkamah
Agung Republik Indonesia, 2009, hlm. 182-183.
42
3.
Anak yang dilahirkan oleh wanita yang dili’an (diingkari) oleh suaminya.
Adapun anak li’an sekalipun Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 maupun
Kompilasi hukum Islam (KHI) tidak terlihat secara tegas menentukan status anak
li’an, namun kalangan fuqoha menjelaskan sebagai berikut: “Anak zina adalah anak
yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah, dan anak li’an adalah anak
yang secara hukum tidak dinasabkan kepada bapaknya, setelah suami isteri saling
meli’an dengan sifat tuduhan yang jelas”.34
Mencermati materi dalam Undang undang Nomor 1 tahun 1974 maupun
Kompilasi Hukum Islam (KHI) terlihat adanya persamaan dalam merumuskan
definisi “anak zina” dengan sebutan “anak yang lahir diluar perkawinan” dengan
memberikan kedudukan atau status mereka yang hanya memiliki hubungan
keperdataan dengan ibunya, kedudukan hukum tersebut telah sejalan dan tidak
berbeda dengan ketentuan yang ada dalam hukum Islam (fiqh). Sehingga menurut
pendapat penulis kedudukan anak zina yang lahir tanpa adanya perkawinan yang sah
tersebut kedudukannya tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil.
Setelah diuraikan tentang kedudukan dan pengertian anak diluar perkawinan
menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, maka
selanjutnya penulis akan menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 dalam Prespektif Hukum Islam.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor
46/PUU-VIII/2010 yang dibacakan pada tanggal 17 Pebruari 2012 yang lalu
terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin, menarik perhatian banyak
kalangan masyarakat. Kondisi tersebut dapat dilihat dari banyaknya tanggapan
baik yang pro maupun kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi
hukum, para civitas akademika, Majelis Ulama Indonesia (MUI), pengurus
organisi keagamaan dan bahkan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan
kekuatan mengikat putusan mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan
pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak berperkara/Pemohon ( in casu
34
Fathurrahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Firdaus, Jakarta, 1999, hlm. 104.
43
(1) Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan (2)
Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono) saja, tetapi juga putusan tersebut
juga mengikat bagi semua orang, lembaga negara, badan hukum dalam wilayah
Republik Indonesia, karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes
yang ditujukan pada semua orang.35
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor
46/PUU-VIII/2010 mengenai pengakuan anak di luar perkawinan tersebut
“mengejutkan” karena amar (dictum) putusannya tidak seperti yang difahami dan
diajarkan oleh kebanyakan para ulama’ serta pemerhati hukum Islam di Indonesia,
sehingga hal tersebut mendapat tantangan yang cukup kuat sampai saat ini sehingga
menyisakan permasalahan baru yang timbul dari putusan mahkamah konstitusi
tersebut.
Putusan MKRI Nomor: 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012,
menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara RI. No. 3019) yang m e n y a t a k a n , “ Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan lakilaki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai
ayahnya.
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, "Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya",
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
35
Maruar Siahaan, op. cit, hlm. 214.
44
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca,
"Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya ".
Atas dasar kondisi obyektif tersebut di atas, penulis menganalisis putusan MKRI
beserta pertimbangan hukum (legal reasoning) yang mendasari lahirnya putusan
kedudukan anak lahir di luar nikah sebagaimana telah disebut sebelumnya. Jika
menggunakan analisis hukum, putusan MKRI dalam kasus yang diajukan oleh
Pemohon (1) Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim, dan (2)
Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono, ada beberapa hal yang patut
menjadi catatan, antara lain:
Pertama, persoalan status anak yang lahir di luar perkawinan dari kasus
Machica itu bermuara pada masalah pernikahan yang tidak tercatat.
Tentang pelaksanaan Pencatatan Perkawinan oleh Petugas Pencatat Nikah
(PPN) di Indonesia sampai saat ini belum berlaku secara efektif dilakukan oleh
masyarakat Islam yang hendak melangsungkan pernikahan. Kewajiban bagi orang
Islam Indonesia untuk mencatatkan pernikahannya tersebut diatur dalam Bab II
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal
2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku
“dan ditegaskan oleh pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi
“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan
harus dicatat ”.
Di Indonesia ada perkawinan yang tercatat dan yang tidak tercatat.
Pencatatan perkawinan di Indonesia senantiasa menjadi topik menarik karena
ragam pendapat senantiasa muncul, baik sebelum terbentuk Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun sesudahnya. Berdasarkan
45
kitab-kitab
yang
dijadikan
pedoman
oleh
Departemen Agama dalam
menyelesaikan perkara dalam lingkungan Peradilan Agama, tidak terdapat ulama
yang menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah pencatatan, baik
sebagai syarat sah maupun sebagai syarat pelengkap. Akan tetapi, dalam undangundang perkawinan yang diberlakukan, pasal yang mengatur pencatatan
perkawinan itu ada, sebagai bagian dari pengawasan perkawinan yang diamanatkan
oleh undang-undang.36
Oleh karena di dalam fiqh munakahat tidak terdapat syarat perkawinan
yang berupa pencatatan, maka sampai sekarang di masyarakat Islam Indonesia
termasuk para ulama’ masih terdapat arus yang kuat yang mendikotomikan
antara perkawinan yang sah menurut agama (fiqh) dan sah menurut negara.
Tentang pendapat MKRI dalam pertimbangan hukumnya angka [3.12]
halaman 33 yang mempertimbangkan permasalahan hukum mengenai pencatatan
perkawinan dengan memberikan makna bahwa diwajibkannya bagi masing
masing calon mempelai untuk mencatatkan perkawinan oleh negara melalui
peraturan perundang undangan merupakan kewajiban administratif, dengan
beberapa ulasan pemikiran (legal reasoning) tentang pentingnya kewajiban
administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, penulis sangat sependapat
karena sejalan dengan konsepsi hukum Islam yang berkaitan dengan kaidah
istinbatul hukmi yang berupa Mashlah al Mursalah.
Untuk lebih jelasnya pertimbangan MKRI tersebut selengkapnya akan
penulis salin sebagai berikut:
“Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan
perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua
perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencacatan dimaksud
diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus
dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang
36
Chatib Rasyid, Makalah disampaikan pada Seminar Status Anak di Luar Nikah dan Hak
Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo Semarang.
46
diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal
28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya pencatatan dimaksud
dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah
tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan
ditetapkan dengan Undang-undang dan dilakukan dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD
1945].
Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara
dimaksudkan agar perkawinan sebagai perbuatan hukum penting dalam
kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya
akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti
yang sempurna dengan suatu kata otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan
oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang
bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan
dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat
perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan
proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih
banyak, seperti pembuktian mengenai asul-usul anak dalam Pasal 55 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak
dapat dibuktian dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan
dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti
tidak lebih efektif dan efisien bila dibadingkan dengan adanya akta otentik
sebagai buktinya.37
Dari pertimbangan MKRI tersebut di atas dapat disimpulkan hal hal
sebagai berikut:
1.
Mengenai ketentuan pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1974 tidak
bertentangan dengan konstitusi, UUD 1945, karena mengenai pencacatan
perkawinan tersebut diwajibkan oleh negara dalam rangka fungsi negara
memberikan jaminan perlindungan (to protect), kepastian hukum dan
37
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 pebruarin 2012, hlm. 33-34.
47
pemenuhan hak asasi manusia yang dilakukan dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain.
2. Pencatatan perkawinan tidaklah membatasi hak asasi seseorang, karena
pembatasan melalui pencatatan perkawinan semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis
(vide pasal 28J ayat (2) UUD 1945).
3.
Selain itu pencacatan perkawinan juga ditujukan untuk tertib administrasi
perkawinan berupa akta autentik (Kutipan Akta Nikah) dan juga guna menjamin
kepastian hak-hak yang ditimbulkan dari perkawinan seperti hak waris, asal-usul
anak dengan pembuktian di pengadilan yang lebih efektif.
Di dalam hukum Islam Dalam nash al Qur’an maupun hadits tidak ada
ketentuan yang secara jelas mengatur tentang pencatatan nikah (perkawinan). Hukum
Islam memandang bahwa masalah perkawinan adalah suatu aqad (perjanjian), seperti
halnya pada perjanjian-perjanjian yang lain, misalnya perjanjian jual beli (tijarah),
perjanjian bagi hasil (syirkah). Dalam hukum Islam umumnya tidak ada keharusan
formal untuk mencatat perjanjian yang dibuat oleh para pihak, kecuali dalam
perjanjian utang piutang.
Begitu pula dalam membentuk perjanjian perkawinan (aqad nikah), tidak ada
kewajiban bagi umat Islam yang melangsungkan perkawinan untuk mencatatkannya.
Dengan perkataan lain, umat Islam memiliki kebebasan membuat perjanjian
perkawinan baik secara tertulis (dicatatkan) maupun secara lisan atau tidak
dicatatkan (nikah sirri), karena memang tidak ada nash (ketentuan) yang mewajibkan
untuk itu sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Oleh karena itu, bisa difahami
kalau dalam praktek pelangsungan aqad nikah, banyak masyarakat di kalangan umat
Islam, baik pada zaman dulu yang hidup dalam pergaulan masyarakat yang masih
sederhana, bahkan di antara mereka masih banyak yang buta huruf, maupun umat
Islam yang hidup pada zaman sekarang (modern) dengan berbagai faktor penyebab,
48
alasan dan motivasi, melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri).
Umumnya, mereka berdalih bahwa menurut hukum Islam (syariat), nikah sirri itu
sah hukumnya.
Dalam kitab-kitab fiqh klasik (yang lazim disebut “kitab kuning”), para ulama
fiqh (fuqaha) hampir dapat dikatakan tidak pernah menyinggung atau membahas
tentang masalah pencatatan perkawinan (nikah). Pembahasan yang dilakukan
umumnya berkisar pada masalah ta’rif (pengertian) nikah, hukum nikah, syarat dan
rukun nikah, hak dan kewajiban suami isteri dalam perkawinan, putusnya
perkawinan, dan sebagainya. Hal ini dapat dimaklumi karena ruang lingkup
pergaulan hidup kaum muslimin pada saat itu relatif masih terbatas, belum kompleks,
karena itu belum dirasakan perlunya percatatan perkawinan seperti dalam kehidupan
masyarakat modern sekarang ini. Di samping itu, adanya sikap kepatuhan dan
ketaatan hukum di kalangan umat Islam menyebabkan pada masa lalu jarang terjadi
adanya sengketa tentang perkawinan yang berkepanjangan. Untuk melakukan
pembuktian terhadap adanya suatu perkawinan di hadapan pengadilan, keterangan
para saksi dan sumpah penggugat dianggap telah memadahi karena sikap adil dan
jujurnya para pihak maupun para saksi dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan zaman, luas dan kompleksnya
pergaulan di antara umat Islam, di mana perkawinan tidak hanya terjadi di antara
pasangan calon suami isteri dari kalangan kelompok masyarakat yang sempit
melainkan telah menjangkau pada perkawinan antar ras, antar suku, antar bangsa,
dan bahkan antar agama, maka pencatatan perkawinan, menurut Asjmuni A.
Rahman, menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan.38
Untuk menyikapi hal itu,
diperlukan suatu kearifan dalam mengkaji aspek hukum (Islam) tentang pencatatan
perkawinan, karena pencatatan perkawinan terkait dengan tujuan pemerintah dalam
rangka memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang berkepastian
hukum.
38
Abu Amar, “Problematika Pencatatan perkawinan di kalangan Umat Islam Sesudah Berlakunya UU
No.1 Tahun 1974”, Tesis Program Magister Hukum Pascasarjana Unisma, Malang, 2004, hlm. 62.
49
Lebih jelas lagi Wahbah Al-Zuhaily dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islami Wa
Adillatuhu
39
secara tegas membagi syarat nikah yang harus dipenuhi, menjadi
syarat syar’iy dan syarat tautsiqy. Syarat syar’iy maksudnya suatu syarat dimana
keabsahan suatu peristiwa hukum tergantung kepadanya, yang dalam hal ini adalah
rukun-rukun pernikahan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Sedangkan
syarat tautsiqy adalah suatu yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti
kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai upaya antisipasi adanya ketidak jelasan
di kemudian hari. Syarat tautsiqi tidak berhubungan dengan syarat sahnya suatu
perbuatan, tetapi sebagai bukti adanya perbuatan itu. Misalnya hadirnya dua orang
saksi dalam setiap bentuk transaksi adalah merupakan syarat tautsiqy, kecuali
kehadiran dua orang saksi itu dalam perikatan pernikahan adalah merupakan syarat
syar’iy, karena merupakan unsur pembentuk prosesi pernikahan itu dan yang
menentukan pula sah atau tidak sahnya suatu peristiwa pernikahan, disamping
sebagai syarat tautsiqy. Contoh syarat tautsiqy dalam al-Qur’an adalah syarat
pencatatan jual beli dengan tidak secara tunai, sebagaimana ditegaskan dalam Surat
al-Baqarah ayat 282, “Yaa ayyuhalladzina aamanuu idza tadayantum bidaidin illa
ajalin musamma faktubuh” dan pada ayat setelahnya dinyatakan “wa in kuntum ‘ala
safarin wa lam tajidu katiban farihanum maqbuudlah” Apabila penggalan dua
ayat ini, dipahami secara tekstual belaka tanpa mengaitkannya dengan ajaran pada
ayat berikutnya, maka kesimpulan yang segera diperoleh adalah adanya kemestian
pencatatan utang piutang dan kewajiban memberikan barang tanggungan sebagai
jaminan utang. seolah-olah utang-piutang tidak dianggap sah apabila tidak
dicatatkan dan atau tidak ada barang jaminan.
Di samping itu, menurut Muhammad Daud Ali,40 dengan mengutip pendapat
dari Abu Ishaq as-Syatibi dalam Kitab Al Muwaafaqaat, pencatatan perkawinan juga
sesuai dengan lima tujuan syariat (hukum Islam) atau al Maqashidu al Khamsah,
yaitu:
(1) memelihara kemaslahatan agama;
39
40
Wahbah Al-Zuhaily, Opcit, Juz.VIII, hlm. 36
Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hlm.192
50
(2) memelihara jiwa;
(3) memelihara akal;
(4) memelihara keturunan, dan
(5) memelihara harta.
Dalam kajian Ushul Fiqh, tujuan umum syari’ dalam pembentukan hukum
ialah merealisasikan kemaslahatan manusia dan kehidupan, mengambil manfaat bagi
mereka dan menghindari terjadinya bahaya bagi mereka. Kemaslahatan manusia
dalam kehidupan sehari-hari secara garis besar terdiri dari beberapa hal yang bersifat
dharuriyyah (keputuhan primer), haajiyyah (kebutuhan sekunder), dan tahsiiniyyah
(kebutuhan pelengkap/tersier). Apabila kebutuhan umat manusia yang bersifat
dharuriyyah, haajiyyah dan tahsiiniyyah telah terpenuhi, maka berarti telah nyata
kemaslahatan mereka.41
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Musthafa Ahmad al Zarqa
memberikan penjelasan sebagai berikut:
a.
Al Dharuuriyyat (kebutuhan primer), yaitu perkara (aturan atau perbuatan) yang
dapat menjaga kelima tujuan pokok hukum Islam (al Maqashidu al Khamsah)
tersebut di atas. Menurut hukum Islam, kelima tujuan pokok tersebut harus ada
supaya kehidupan menjadi layak. Apabila perkara tersebut tidak ada, maka
kehidupan manusia terganggu.
b.
Al
Haajiyyat
(kebutuhan
sekunder),
yaitu
perbuatan-perbuatan
yang
ketiadaannya tidak mengganggu kelima tujuan pokok tersebut di atas, akan
tetapi kebutuhan hidup memerlukan atau menuntutnya dengan tujuan untuk
mencari kelapangan (kemudahan) dan meniadakan kesulitan (kesempitan).
c.
Al Tahsiiniyyat (kebutuhan tersier), yaitu sesuatu yang tidak mendesak bagi
kehidupan jika ditinggalkan, tetapi memeliharanya termasuk akhlak mulia atau
merupakan kebiasaan baik.42
41
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Ilmu Usshulul Fiqh, Terjemahan Noer iskandar Al
Barsany dan Moch.Tolchah Mansur, Raja Grafindo,Jakarta, 1996, hlm. 331
42
Musthofa Ahmad al-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 3739.
51
Atas dasar itulah, Ibrahim Hoesen, mantan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia menyatakan bahwa pencatatan perkawinan sebagai suatu kewajiban dapat
diterima secara terbuka oleh masyarakat Islam, khususnya di Indonesia. Oleh karena,
dalam Al Qur’an, Hadits maupun kitab-kitab Fiqh tidak ada ketentuan dan tidak
membahas masalah pencatatan perkawinan, maka hal itu merupakan persoalan
Ijtihadi. Meskipun demikian, jelas hal itu membawa kemaslahatan bagi umat Islam,
karena ia sangat diperlukan.43
Meskipun
dalam
kitab-kitab
klasik,
pembahasan
tentang
munakahat
(pernikahan) telah banyak dikaji oleh para fuqaha’ secara luas dan mendalam, namun
tak satupun di dalamnya ada yang membahas hukum mengenai pencatatan nikah.
Karena masalah pencatatan perkawinan memang merupakan masalah hukum yang
tergolong baru (kontemporer) dalam kehidupan umat Islam. Dalam kajian hukum
Islam, para Mujtahid atau Imam Madzhab dengan menggunakan metode istinbath
(pengambilan hukum) telah menetapkan berbagai hukum tentang perkawinan yang
diikuti dengan taat oleh para pengikutnya di kalangan umat Islam, namun demikian
tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab klasik itu yang membahas masalah
pencatatan perkawinan. Mungkin saat itu, belum ada kebutuhan hukum mengenai
pentingnya pencatatan perkawinan di kalangan umat Islam sehingga tidak terlintas
dalam pemikiran para Imam Madzhab untuk membahas masalah tersebut.
Namun dalam kehidupan modern seperti sekarang, dimana ruang lingkup
pergaulan umat Islam semakin luas dan kompleks, menembus batas-batas regional,
yang dihadapkan pada berbagai macam kepentingan dan permasalahan dalam
kehidupan dan pergaulan masyarakat, maka keberadaan sebuah catatan atau akta
yang mencatat peristiwa-peristiwa penting tertentu yang berkaitan dengan identitas
dan status hukum seseorang sebagai warga negara mulai dari catatan tentang
kelahiran, perkawinan dan kematian, menjadi sesuatu yang sangat penting (urgen)
dilakukan dalam pergaulan hidup mereka di masyarakat. Pentingnya catatan tentang
43
Ibrahim Hoesen, Azas-azas Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam, Yayasan Al-Hikmah,
Jakarta, 1993, hlm. 58
52
peristiwa perkawinan dalam bentuk akta nikah menjadi kebutuhan yang tak
terelakkan (inevitable) dalam kehidupan masyarakat modern.
Akta nikah, di samping merupakan bukti hukum yang bersifat otentik dalam
menangani masalah-masalah perkawinan di Pengadilan (Agama) juga merupakan
salah satu persyaratan formal administratif yang diperlukan bagi suami isteri maupun
anak-anak mereka dalam mengurus dan menyelesaikan masalah-masalah tertentu,
khususnya yang terkait dengan status hukum anak dan hukum waris. Keberadaan
akta nikah menjadi semakin penting dalam proses peradilan, khususnya dalam
masalah pembuktian, karena peran saksi dan sumpah sebagai alat-alat bukti terkait
dengan status hukum perkawinan seseorang, saat ini tidak terlalu dapat diharapkan.
Hal ini disebabkan dalam masyarakat modern, semakin menurunnya tingkat
kejujuran para saksi dalam memberikan kesaksiannya dan kejujuran dari para pihak
yang bersengketa dalam mengucapkan sumpahnya di Pengadilan. Oleh karena itu,
tidaklah terlalu salah, dengan menggunakan metode maslahah mursalah ditetapkan
hukum-hukum baru bagi kepentingan umum, termasuk masalah pencatatan
perkawinan.
Al Ghazali, dalam kitabnya “Al Musthafa” yang dikutip oleh Musthafa Ahmad
Zarqa, membuat atau menentukan tiga syarat untuk maslahat agar dapat dijadikan
sebagai hujjah mu’tabarah (yang diakui), yaitu:
a.
Maslahat tersebut harus dharuuriyyat (menyangkut kebutuhan primer);
b.
Maslahat tersebut harus qath’i (pasti), maksudnya pasti dapat menyampaikan
kepada tujuan syara’ yang dharuuriyyat (kebutuhan primer);
c.
Maslahat tersebut harus bersifat kulliyat (umum), maksudnya dapat menolak
kemadharatan kaum muslimin secara umum bukan kepada perseorangan.
Maslahat yang memenuhi ketiga syarat tersebut di atas dapat dijadikan hujjah (dasar
hukum) yang cukup untuk menetapkan hukum, meskipun tidak didukung oleh dalil
syara’ tertentu.44
Adanya maslahat sesuai dengan maqaashid as syari’ (tujuan-tujuan syari’)
menurut Madzhab Maliky berarti sama dengan merealisasikan maqaashid as syari’
44
Musthofa Ahmad Zarqo, op. cit, hlm. 73-74.
53
itu sendiri. Sebaliknya, mengesampingkan maslahat berarti mengesampingkan
maqaashid as syari’. Padahal mengesampingkan maqaashid as syari’ adalah batal.
Oleh karena itu, adalah wajib menggunakan dalil maslahat atas dasar bahwa ia
adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber hukum ini tidak
keluar dari ushul (sumber-sumber pokok), namun terjadi kesesuaian (sinkronisasi)
antara maslahat dan maqqashid as syari’.45
Berdasarkan hal tersebut di atas, hakikat maslahah mursalah itu adalah
pengambilan hukum yang sama sekali tidak ada dalil dalam nash (Al Qur’an dan
Hadits), baik yang menolak maupun yang mengakuinya, tetapi terdapat kemaslahatan
yang dihajatkan (dibutuhkan) oleh manusia yang keberadaannya sejalan dengan
tujuan syara’. Masalah pencatatan perkawinan secara hukum juga dapat dikaji
berdasarkan dalil dan hakikat maslahah mursalah.
Jika dihubungkan dengan tiga syarat maslahat menurut Al Ghazali
sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa tujuan
perkawinan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan pokok (dharuriyyat) yakni
melanjutkan keturunan, ketenangan dan kebahagiaan hidup, menjaga kehormatan
dan ibadah adalah sejalan dengan maqaashid al khamsah atau maqaashid as syari’,
karena dengan perkawinan maka tujuan memelihara keturunan (hifdh al nashl min
janib al-wujud) yang merupakan salah satu kebutuhan dharuriyyat (pokok) dapat
tercapai. Dengan melihat salah satu tujuan dan urgensi pencatatan perkawinan, maka
tidak akan sempurna sebuah perkawinan kalau tidak dicatatkan (nikah sirri). Sifat
dharuriyyatnya dapat dilihat dari fungsi akta nikah sebagai alat bukti yang kuat dan
resmi dari pemerintah (otentik) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan
hukum yang pasti bagi para pihak yang telah melangsungkan perkawinan termasuk
bagi anak-anak atau keturunan mereka. Dengan demikian, dengan mengacu pada
kaidah Ushul Fiqh yang artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna sebuah kewajiban,
45
Muhammad Abu Zahro, Ushul Fiqh, Terjemahan Saefullah Ma’shum,dkk., Pustaka Firdaus, Jakarta,
2002, hlm. 430-432.
54
kecuali dengan adanya sesuatu itu, maka (sesuatu itu) hukumnya menjadi wajib
pula”.46
Hal ini berarti bahwa hukum pencatatan perkawinan pada masa sekarang ini
berdasarkan maslahah mursalah menjadi wajib (keharusan) yang tidak dapat
dielakkan. Atau dengan kata lain, berdasarkan penafsiran a contrario, hukum “nikah
sirri” pada masa sekarang ini berdasarkan pendapat tersebut di atas adalah “tidak
sempurna”. Karena, dengan adanya pencatatan perkawinan akan menunjang dan
menyempurnakan tujuan syara’ yang bersifat dhoruriyyat. Pasangan suami isteri
yang perkawinannya tidak dicatat (nikah sirri) tidak memiliki kepastian hukum, dan
status perkawinannya juga tidak mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah
atau negara. Padahal hal itu merupakan sesuatu yang amat diperlukan bagi mereka
dan keturunannya sebagai warga negara serta untuk menghindari kemungkinan
adanya pengingkaran atas pernikahannya maupun akibat hukum dari perkawinannya
itu ( hak harta bersama, kewarisan ) .
Sebagai contoh konkrit pentingnya pencatatan pernikahan untuk menghindari
permasalahan (mafsadat) dalam pernikahan maupun sesudah pernikahan serta untuk
menjamin kepastian hukum (maslahah) adalah adanya perkara uji materiil ( judicial
review) yang sedang dibahas ini, dimana dalam posita angka 14 alinea terakhir
Pemohon mendalilkan “ . . . dikarenakan tidak adanya pengakuan dari bapaknya atas
kehadirannya di dunia. Tentu saja hal tersebut akan menyebabkan kecemasan,
ketakutan dan ketidak- nyamanan anak dalam pergaulannya di masyarakat”.
Di samping itu, hukum perkawinan yang merupakan bagian dari hukum
muamalah merupakan perjanjian atau aqad yang sangat kuat (miitsaaqon gholidan)
untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya yang pelaksanaannya merupakan
ibadah. Sebagai suatu perjanjian yang kuat, semestinya masalah pencatatan
pencatatan perkawinan merupakan suatu kebutuhan yang mutlak (amat diperlukan).
Berdasarkan qiyas, dalam perjanjian utang piutang yang juga merupakan cabang dari
hukum muamalah, Allah subhaanahu wa ta’ala, telah memberikan tuntutan untuk
mencatat (menuliskan) perbuatan hukum tersebut, sebagaimana tercantum dalam Al
46
Asjmuni A.Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hlm. 114
55
Qur’an Surat al Baqarah ayat 282 yang menyatakan: Yaa ayyuhalladzina aamanuu
idza tadayantum bidaidin illa ajalin musamma faktubuh” dan pada ayat setelahnya
dinyatakan “wa in kuntum ‘ala safarin wa lam tajidu katiban farihanumm
maqbuudlah”. Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar”.47
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, untuk bermuamalah dalam bentuk
utang piutang saja, Allah memerintahkan adanya dua orang saksi yang adil dan
dituliskan (dicatatkan) oleh seorang penulis dengan cara yang benar, apalagi untuk
membuat perjanjian perkawinan yang merupakan miitsaaqon gholiidon, sudah
barang tentu pencatatan itu lebih diperlukan sebagai bukti tertulis, meskipun Al
Qur’an tidak secara tegas mengatur hal itu.
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa pencatatan pernikahan
adalah merupakan upaya yang dilakukan oleh negara dalam rangka fungsi negara
memberikan jaminan perlindungan (to protect), kepastian hukum dan pemenuhan
hak asasi manusia yang dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Prinsip ini
sejalan dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: “Tashorroful imam ‘ala
arro’iyyah manuuthun bil almashlahah”, yang artinya “Tindakan seorang
pemimpin terhadap penyelenggaraan kehidupan rakyatnya harus didasarkan asas
kemaslahatan”.48
Dengan demikian pencatatan perkawinan sebagaimana yang termuat dalam
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dapat dibuktikan bahwa
memang ditujukan untuk menciptakan kemaslahatan, dalam hal ini adalah kepastian
hukum atas terjadinya perkawinan yang berupa Buku Kutipan Akta Nikah ( akta
autentik ) sehingga setiap orang yang telah terikat dalam perkawinan tersebut harus
melaksanakan segala konsekuensi dari hukum perkawinan.
47
48
Al-qur’an dan Terjemahnya, op. cit, hlm. 59
Abdul wahhab Khallaf, op. cit, hlm. 27
56
Kalau kita bangsa Indonesia sependapat bahwa pencatatan pernikahan oleh
Pejabat Pencatat Nikah (PPN) yang kemudian diwujudkan dengan adanya Buku
Kutipan Akta Nikah sebagai akta autentik adanya hubungan suami isteri tersebut
dapat memberikan kepastian hukum serta memudahkan didalam mengurus
pembuktian yang berkaitan dengan dokumen akta sipil sebagai warga negara seperti:
Kartu Keluarga, Akta Kelahiran Anak, Ijazah, Paspor dan akan terhindar dari
kesulitan pembuktian di instansi pemerintah , instansi swasta serta di pengadilan,
maka wajib hukumnya bagi bangsa Indonesia (khususnya umat Islam) untuk
mentaati dan melaksanakannya karena sudah diundangkan dalam peraturan
perundang undangan.
Kewajiban bagi umat Islam untuk melaksanakan pencatatan nikah tersebut
dilakukan dengan istinbatul hukmi berdasar kaidah hukum yang dikutib oleh Wahbah
Azzuhaily dalam kitabnya Al-Fiqhul Alislamy wa Adillatuhu: “Innna liwaliyyal amri
an ya’muro bilmubaakhi limaa yaroohu minal mashlakhatil ‘aammati, wa mataa
amaro bihi wajabat thoo’atuhu”. Artinya: “sesuatu yang mubah (fakultatif) apabila
ditetapkan sebagai kewajiban (imperatif) oleh pemerintah karena untuk menegakkan
kemaslahatan umum, maka hukumnya wajib bagi rakyat untuk mengikutinya”.49
Atas dasar pemikiran di atas, penulis berpendapat bahwa: “sudah seharusnya
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut wajib diartikan dan dimaknai sebagai
syarat komulatif sehingga bagi umat Islam Indonesia pencatatan perkawinan
ditetapkan sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan. Sehingga akibat hukumnya
nikah dibawah atau nikah sirri adalah tidak sah (batal), karena tidak memenuhi salah
syarat sahnya perkawinan, yakni pencatatan perkawinan.
Kedua, menyangkut pertimbangan hukum angka (3.13) halaman 35 yang
berbunyi “... hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak
semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan
pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut
sebagai bapak”.
49
Wahbah Azzuhaily, op. cit., Juz 10, hlm. 7573.
57
Pembahasan ini penulis titik beratkan pada kalimat “tidak semata mata karena
adanya ikatan perkawinan” dalam pertimbangan hukum angka (3.13) alinea terakhir
Putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai makna hukum (legal meaning)
frasa “yang dilahirkan diluar perkawinan“ dalam sub bab berikut ini.
Untuk selengkapnya pertimbangan hukum Majelis Hakim MKRI pada angka
(3.13) alinea terakhir tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang lakilaki sebagai bapak tidak semata mata karena adanya ikatan
perkawinan, akan tetapii dapat juga pada pembuktian adanya
hubungan darah antara anak dengan laki-lakii tersebut sebagai
bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi
perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan
perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan
adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan, padahal anak
tersebut tidak berdosa kelahirannya diluar kehendaknya. Anak yang
dilahirkan tanpa memiliki status ayah seringkali mendapatkan
perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah tengah masyarakat.
Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil
terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak hak yang ada
padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan
perkawinannya masih dipersengketakan”.
Dari kalimat di atas nampaknya Majelis MKRI memberikan makna
alternatif tentang hubungan (nasab) anak dengan laki-laki sebagai bapak boleh
dengan tanpa sebab adanya hubungan hukum ikatan perkawinan yang sah menurut
agama (perzinaan). Kesimpulan tersebut dapat dimaknai dari adanya kalimat
“tidak semata mata karena adanya ikatan perkawinan”, karena kalimat “sematamata” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti: hanya, melulu, belaka, sama sekali.50
Sehingga dari makna kalimat “tidak semata-mata” tersebut mempunyai arti “tidak
melulu karena adanya ikatan perkawinan belaka” atau dalam makna yang lain bahwa
anak yang lahir di luar perkawinan diperluas artinya termasuk di dalamnya adalah
anak hasil hubungan perzinaan.
Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang
sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan nasab
50
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hlm. 903.
58
(mahram) antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap
anak yang lahir berasal dari sperma seorang lakilaki dan sejatinya harus
menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain.
Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan
ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut
dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki
hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian membicarakan asal usul anak
sebenarnya membicarakan anak yang sah.
Tampaknya fiqh menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan
dengan anak yang sah. Kendatipun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas
berkenaan dengan anak yang sah, namun dilihat dari definisi ayat-ayat al-Qur'an dan
Hadis, dapat diberikan batasan, anak yang sah adalah anak yang lahir oleh sebab dan di
dalam perkawinan yang sah. Selain itu, disebut sebagai anak zina yang hanya
memiliki hubungan nasab dengan ibunya.
Secara implisit al-Qur'an, 23/ 5-6 menyatakan:
Artinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela (Q.S.Al-Mu’minun:5-6). 51
Selanjutnya di dalam surat al-Isra', 17/ 32 juga dijelaskan:
51
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, CV.Karindo, 2004, hlm.
475.
59
Artinya: Jangan kamu dekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji
dan seburuk-buruk jalan (QS. al-Isra': 32).52
Larangan-larangan al-Qur'an di atas, tidak saja dimaksudkan agar setiap orang
menjaga kehormatan dirinya, tetapi juga yang lebih penting menghindarkan dampak
terburuk dari pelanggaran larangan itu. Lahirnya anak zina, sebenarnya adalah akibat
dari pelanggaran larangan-larangan Allah tersebut.
Selanjutnya, kendatipun fiqh tidak memberikan definisi yang tegas tentang
anak yang sah, namun para ulama mendefinisikan anak zina sebagai kontra anak
yang sah. Anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak
sah. Dan anak li'an adalah anak yang secara hukum tidak dinasabkan kepada
bapaknya, setelah suami istri saling meli'an dengan sifat tuduhan yang jelas.53
Definisi di atas membicarakan dua jenis status anak. Anak zina yang lahir
dari hubungan yang tidak sah (zina) dan anak li'an. Apabila terjadi perkawinan
antara suami dan istri secara sah, kemudian istri mengandung dan melahirkan
anaknya, maka suami dapat mengingkari kesahan anak itu apabila:
a. Isteri melahirkan anak sebelum masa kehamilan.
b. Melahirkan anak setelah lewat batas maksimal masa kehamilan dari masa
perceraian.54
Berkenaan dengan batas minimal masa kehamilan, jumhur ulama telah
menetapkannya selama enam bulan. Dasarnya adalah firman Allah Surat al-Ahqaf
ayat (15):
52
Ibid, hlm. 388.
Fathurrahman Djamil, op. cit., hlm. 129.
54
Ibid.
53
60
Artinya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang
ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa
dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a: "Ya Tuhanku,
tunjukilah aku untuk mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau
berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal
yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat
kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri". (QS. al-Ahqaf: 15).55
Selanjutnya di dalam surah Luqman: 14, Allah SWT. berfirman:
Artinya: Dan kami perintahkan kepada manusia terhadap dua orang ibu bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah
lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu (QS.
Luqman: 14).56
55
56
Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit, hlm. 726.
Ibid., hlm. 581.
61
Dalam surat al-Ahqaf ayat (15) dijelaskan secara kumulatif, jumlah
mengandung dan menyapih yaitu 30 (tiga puluh) bulan. Sedangkan dalam surat
Luqman dijelaskan batas maksimal menyapih adalah 2 tahun (24 bulan). Jadi masa
hamil yang paling sedikit adalah 30 puluh bulan dikurangi 24 bulan sama dengan
6 (enam) bulan.
Informasi ini diberikan oleh Ibn Abbas dan disepakati para ulama yang
menafsirkan bahwa ayat pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu
mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa
menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna membutuhkan waktu dua
tahun atau dua puluh empat bulan. Berarti bayi membutuhkan waktu 30 - 24 = 6 bulan
di dalam kandungan.57 Dengan demikian Hukum Islam menegaskan bahwa seorang
anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus
lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang
masa Iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus.
Demikianlah beberapa pandangan terntang pentingnya dalam Islam untuk
mengetahui silsilah atau nasab seseorang, jika tidak diketahui nasab seseorang, dia
akan mengalami kesulitan melakukan perkawinan dengan orang lain. Demikian juga
untuk kepentingan lainnya, seperti dalam soal penentuan hak dan kewajiban kepada
seseorang anak bagi orang tuanya serta hak seseorang dari seorang anak dalam soal
waris mewaris.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menentukan nasab
adalah sangat penting. Dalam Islam seorang anak dinasabkan kepada laki-laki yang
yang menghamili ibunya. Bukan kepada ibunya. Sebab, sudah jelas seseorang anak
itu dilahirkan oleh ibunya. Karena itulah sudah jelas pula, bahwa seorang anak itu
adalah anak ibu yang melahirkannya. Tapi belum tentu jelas siapa bapaknya. Untuk
menjelaskan siapa nasab seseorang anak dari sisi bapaknya, maka dalam ajaran Islam,
dalam nama anak itu disertai nama bapaknya. Dengan begitu menjadi jelas dan
gampang diketahui, siapa nasab (bapak) seorang anak tersebut tanpa harus
mengadakan penyelidikan atau penelitian.
57
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1988, hlm. 224.
62
Dalam akhir pembahasan ini penulis sangat tidak sependapat dengan
pertimbangan hukum MKRI angka (3.13) yang untuk menentukan siapa seorang
bapak yang harus bertanggungjawab memberikan perlindungan kepada seorang
anak yang lahir di luar perkawinan dirumuskan dengan kalimat “hubungan anak
dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan
perkawinan, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan
perkawinannya masih disengketakan”. Karena rumusan ini MKRI memperluas
hubungan keperdataan anak luar kawin (termasuk anak hasil zina) yang semula hanya
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya,
berubah dengan mengikutsertakan hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya
dan keluarga ayahnya. Dengan kata lain, MKRI memberikan legalitas hubungan
darah (alamiah) antara anak dan ayah biologisnya menjadi hubungan hukum
(keperdataan), yang sudah barang tentu dengan berbagai implikasinya (hak dan
kewajiban, hubungan nasab, mahram, kewarisan, perwalian dan sebagainya, yang
sesungguhnya apabila rumusan ini diaplikasikan dalam ranah hukum (in
concrito) secara otomatis akan menimbulkan madharat serta kerugian yang nyata
bagi keluarga yang melakukan perkawinan sah memenuhi pasal 2 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang semestinya menurut hukum
mendapatkan perlindungan justru terabaikan untuk mendapatkan perlindungan
hukum dari negara dengan keberadaan putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010
tersebut.
Dengan kata lain putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam
memberikan hak konstitusional kepada anak yang lahir di luar perkawinan
(termasuk di dalamnya anak yang lahir akibat perbuatan zina) tersebut dilakukan
dengan melanggar hak konstitusional anak yang lahir dari perkawinan yang sah,
yang sama sekali dalam putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidak pernah
dipertimbangkan untuk diberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil
sebagaimana anak yang lahir di luar perkawinan meskipun keabsahan perkawinan
orang tuanya masih dipersengketakan?
63
Ketiga, tentang bagaimana penerapan adanya hubungan keperdataan dengan
laki-laki sebagai ayahnya, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".
Amar (dictum) dari putusan MKRI yang banyak mendapat perhatian dari
masyarakat karena dipandang kontroversi adalah sebagai berikut:
“Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan,"Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya", tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya,
sehingga ayat tersebut harus dibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan lakilaki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Sebagaimana yang telah diuaraikan sebelumnya, bahwa putusan MKRI
mengikat bagi semua orang, lembaga negara, badan hukum dalam wilayah
Republik Indonesia, karena putusan MKRI bersifat erga omnes yang ditujukan
pada semua orang.58 Sehingga, sekalipun perkara aquo diajukan oleh Pemohon (1)
Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim, dan (2) Muhammad
Iqbal Ramadhan bin Moerdiono, namun akibat hukum yang ditimbulkan dari
putusan ini mengikat dan harus ditaati oleh segenap bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam ini.
Akibat yang lain dari putusan MKRI tersebut adalah keberadaan Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 100
Kompilasi hukum Islam (KHI) yang menyatakan “Anak yang dilahirkan diluar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya",
58
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, putusan
Maruar Siahaan, loc. cit.
64
MKRI di atas berseberangan dengan pemahaman hukum syar’i yang selama ini
diyakini oleh ummat Islam Indonesia dari beberapa kitab hadits maupun kitab-kitab
fiqh tentang kedudukan anak di luar nikah/anak zina yang dinyatakan hanya memiliki
hubungan perdata (nasab) dengan ibunya. Sebagaimana hadits Nabi SAW dari Abi
Hurairah yang berbunyi:
‫ﺪﻟﻮﻟا شﺎﺮﻔﻠﻟ ﺮھﺎﻌﻠﻟو ﺮﺠﺤﻟا‬
Artinya: Nasab anak tersebut adalah kepada ayah (pemilik tempat tidur, penulis)
sedangkan bagi pezina adalah hukuman rajam (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Berdasarkan pengertian dalil-dalil di atas maka seorang anak dapat
dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari
perkawinan yang sah. Sebaliknya, anak yang lahir diluar perkawinan yang sah,
tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau
anak diluar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan
ibunya.
Dengan
demikian,
membicarakan
asal
usul
anak
sebenarnya
membicarakan anak yang sah.59
Dalam perkara aquo Mahkamah Konstitusi terkesan menempatkan anak yang
lahir di luar nikah (termasuk anak yang lahir akibat perzinaan) sebagai korban yang
harus dilindungi secara sosial maupun secara hukum sehingga nantinya tidak turut
menanggung kerugian yang diakibatkan oleh tindakan (perkawinan/persetubuhan)
kedua orang tuanya.
Namun perlu diingat bahwa kesalahan dari perbuatan orang tua boleh
jadi bakal menimbulkan kerugian kepada anaknya dikemudian hari, namun bukan
dalam arti adanya dosa kepada Allah swt. Misalnya, jika orang tua tidak
memperhatikan pendidikan anak-anaknya meskipun orang tuanya mampu secara
ekonomi, maka anak yang akan menanggung akibatnya dengan hidup dalam
kebodohan. Demikian pula anak luar kawin, dia tidak mendapat legalitas hukum
syar’i mapun hukum negara terhadap ayah biologisnya adalah konsekwensi yang
59
H. Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta,
2002, hlm. 276.
65
logis. Bukan serta merta anak luar kawin yang hanya memiliki hubungan perdata
dengan ibunya akan kehilangan hak-hak privatnya karena hukum syar’i maupun
konstitusi negara telah memiliki instrumen lain untuk memenuhi hak hak setiap
anak yang lahir di muka bumi ini.
Begitu juga dalam praktek ketatanegaraan, adalah suatu hal yang logis apabila
negara sebagai wujud memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada
rakyatnya mengakui perkawinan sah jika perkawinan dijalankan sesuai dengan
rukun dan syarat pernikahan di dalam agama dan kepercayaan masing-masing
serta dicatatkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan
sebaliknya negara akan memberikan sanksi sebagai resiko dari perkawinan yang tidak
dicatatkan atau yang tidak dilaksanakan menurut Undang undang Nomor 1 Tahun
1974. Oleh karena itu wajar apabila perlindungan hukum yang diberikan kepada anak
luar kawin (terutama anak dari hubungan zina) juga tidak sama dengan anak yang
lahir dari perkawinan yang sah menurut undang-undang.
Bahkan menurut penulis, akan tercederai rasa keadilan masyarakat jika
hak keperdataan sempurna diberikan oleh negara kepada anak di luar perkawinan,
disebabkan sejak awal perkawinan orang tuanya yang dilakukan di luar ketentuan
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 sesungguhnya dengan sadar mereka keluar
dari sistem hukum perkawinan yang berlaku bagi dirinya (dan anak-anaknya)
sebagai orang Islam Indonesia, sehingga beralasan bagi mereka untuk diberi
sanksi oleh negara dengan tidak dipenuhinya hak konstitusinya (legal standing)
menuntut di pengadilan yang berkaitan hal-hal sebagai akibat perkawinan (seperti
asal usul anak, kewarisan) sebelum mengajukan
penetapan
keabsahan
pernikahannya (Itsbat nikah) dan permohonan tersebut dikabulkan oleh
Pengadilan Agama, karena secara hukum tidak mempunyai bukti autentik
menurut hukum negara.
Dalam agama Islam, salah satu tujuan disyariatkannya pernikahan adalah
untuk menjaga kesucian hubungan darah (nasab). Karena dari hubungan nasablah
akan timbul hak dan kewajiban bagi seorang ayah dan anaknya. Pernikahan juga
merupakan perjanjian atau aqad yang sangat kuat (miitsaaqon gholidan) untuk
66
melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya yang pelaksanaannya merupakan ibadah
sehingga pernikahan adalah merupakan sesuatu yang transedental (hukum Allah
SWT).60
Dalam hukum Islam, hubungan keibuan antara anak dengan wanita yang
melahirkan tak mungkin dipungkiri karena ibu adalah wanita yang melahirkannya,
anak adalah anak yang dilahirkan. Dalam Islam yang menjadi masalah utama adalah
apakah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita mempunyai bapak atau mempunyai
hubungan kebapakan dengan seorang lelaki? Hubungan kebapakan seorang anak
dengan seorang lelaki sebagai bapaknya tergantung pada adanya perkawinan atau
tidak adanya perkawinan antara ibu sianak dengan laki-laki tersebut. Bila laki-laki itu
ada hubungan perkawinan dengan ibunya, maka ada hubungan kebapakan dengan
laki-laki tersebut, dan dia adalah bapaknya. Namun kalau lelaki tersebut tidak ada
hubungan perkawinan dengan ibu yang melahirkannya, maka tidak ada hubungan
kebapakan, dan anak tersebut disebut anak luar perkawinan (anak zina). Dalam hal
kebapakan tidak ditentukan oleh kehendak atau kerelaan manusia, namun ditentukan
oleh perkawinan yang dengan nama Allah disucikan (aqad nikah, penulis).61 Oleh
karena itu perbuatan zina oleh Allah SWT diiperintahkan untuk dihindari karena
termasuk perbuatan keji. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat AlIsra : 32
Artinya: Jangan kamu dekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji
dan seburuk-buruk jalan (QS. al-Isra': 32).62
Berlandaskan pemikiran di atas, tidak salah manakala penulis berpendapat
bahwa putusan MKRI ini dimaknai melegalkan perzinaan, karena hubungan
keperdataan (hubungan hukum) antara anak dan laki-laki yang menyebabkan
60
Lihat pengertian yang sama dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Ichtijanto, Status Hukum dan Hak Hak Anak Menurut Hukum Islam, Mimbar Hukum, Alhikmah, No.46
Thn.XI , Jakarta, 2000.
62
Qur’an dan Terjemahnya, op. cit, hlm. 338
61
67
kelahirannya dapat ditetapkan melalu uji biologis bersandar ilmu pengetahuan
dan teknologi (tes DNA), tanpa dilihat ada akad nikah secara syar’i atau tidak. Jika
ternyata faktanya tidak terjadi akad nikah (sirri/dibawah tangan) dan hak-hak
keperdataan kedua belah pihak diakui oleh hukum, yang kemudian putusan
pengadilan itu oleh anak atau ibu anak tersebut dijadikan alas hak dan bukti untuk
mengajukan akta kelahiran anak dengan nasab ayah biologisnya. Apakah hal ini
tidak bisa dikatakan sebagai langkah men-delegitimasi lembaga perkawinan.
Sebenarnya putusan MKRI itu akan lebih adil dan tepat jika tetap berpijak
pada Permohonan Pemohon (1) Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H.
Mochtar Ibrahim, dan (2) Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono yang
mendalilkan bahwa ia telah menikah secara sirri dan pernikahannya telah
memenuhi syarat dan rukun nikah menurut hukum Islam. Menurut dalil
Permohonan kelahiran anak Machicha Mochtar dengan Moerdiono bukan dari hasil
perzinaan, namun dari hasil perkawinan di bawah tangan. Jika MKRI konsisten
dengan pertimbangan hukum terhadap pasal 2 ayat (1), maka seharusnya anak
yang mendapat hubungan perdata dengan ayahnya adalah yang dapat
membuktikan di depan sidang pengadilan bahwa mereka pernah mengadakan akad
nikah. Sehingga rumusan pertimbangan hukum dan amar putusannya berbunyi,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan
keabsahan
perkawinannya
menurut
keyakinan
agama
dan
kepercayaannya didepan pengadilan, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya”.
Bila rumusan amar putusan MKRI seperti tersebut di atas, maka
sekaligus memberikan payung hukum terhadap permohonan isbat nikah yang selama
ini berjalan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dan tetap menjunjung
tinggi lembaga perkawinan. Dengan demikian kedudukan anak diluar perkawinan
yang semula merupakan “anak tidak sah”, kemudian setelah dibuktikan keabsahan
pernikahannya di depan pengadilan, berubah kedudukannya sebagai “anak sah”
68
karena telah memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974.
B. Proses Pengesahan Anak di Luar perkawinan di Pengadilan Agama
1. Pengesahan Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010
Baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam
dan Hukum Islam itu sendiri (fiqh) menyatakan bahwa anak yang lahir di luar kawin
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.
Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum atau nasab terhadap ayahnya,
baik yang berkenaan dengan biaya kehidupan dan pendidikannya maupun warisan.
Pengesahan anak atau penetapan asal usul anak adalah merupakan kewenangan
Pengadilan Agama di bidang perkawinan berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi: “Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang: (a) Perkawinan; (b) Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam; dan (c) Wakaf dan shadaqah.
Adapun jenis perkara penetapan asal usul seorang anak dapat diketahui
dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun
1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 49 ayat (2) angka 20, begitu juga terdapat
dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, merupakan perubahan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang telah
memberikan penambahan bagi kompetensi Peradilan Agama di bidang perkawinan,
yaitu dalam angka (20) tentang penetapan asal usul seorang anak dan penetapan
pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
Penetapan asal usul seorang anak, dimaksudkan sebagai perkara yang
berkaitan dengan penyelesaian hukum tentang kedudukan anak yang lahir dalam atau
akibat perkawinan yang sah (Pasal 42 UU.Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 99
Kompilasi Hukum Islam) atau sebaliknya anak yang tidak sah adalah anak yang lahir
69
di luar perkawinan yang sah atau lahir dalam perkawinan yang sah, akan tetapi
disangkal oleh suami dengan sebab li’an.63
Sebelum adanya putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010, kedudukan hukum
(legal standing) sebagai pihak untuk mengajukan pengesahan anak di luar
perkawinan hanya diberlakukan kepada pasangan suami isteri yang melakukan
pernikahan yang memenuhi pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
saja, tanpa memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang Undang.Nomor 1 Tahun
1974, maka menurut hukum positif nikahnya tersebut tidak sah dan karenanya anak
yang dilahirkan dipandang sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan.
Sedangkan terhadap kedudukan anak hasil zina, tidak ditemukan dalam aturan
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, karena perzinahan tidak dipandang sebagai
perbuatan hukum perkawinan.64 Namun dengan adanya putusan MKRI Nomor
46/PUU-VIII/2010 tersebut permohonan atau gugatan pengesahan anak di luar
perkawinan untuk dapat ditetapkan mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah
biologisnya dapat diajukan oleh seseorang terhadap anak yang dilahirkan akibat
perkawinan yang tidak sah maupun mereka yang tidak ada ikatan perkawinan,
termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih
disengketakan, semata-mata karena alasan demi memberikan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan.
2.
Prosedur dan Acara Pemeriksaan Perkara Gugatan Pengesahan Anak di
Luar Perkawinan
Berdasarkan putusan MKRI Nomor 46/PUU-VII/2010 bahwa Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus dibaca, “Anak
yang lahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
63
Pedoman Teknis administrasi dan Teknis Peradilan Agama, op. cit, hlm. 182-183.
Perkawinan yang tidak dicatatkan sesuai ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang Undang.Nomor 1 tahun
1974 , oleh pasal 7 KHI diberikan solusi hukum untuk diitsbatkan di pengadilan Agama.
64
70
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya ”. Dengan adanya kalimat ”. . . yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum . . . ”
menunjukkan adanya prinsip pembuktian yang harus ditegakkan berdasarkan
pasal 163 HIR. 65 Sehingga, untuk mengajukan hak berdasarkan putusan
MKRI aquo harus ditempuh melalui gugatan Contentiosa.
Untuk mengajukan gugatan pengesahan anak diperlukan tata cara atau
prosedur sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip hukum acara perdata. Adapun
prinsip-prinsip gugatan perdata antara lain sebagai berikut:
1. Harus Ada Dasar Hukum
Menurut Pasal 118 HIR dan 142 R.Bg, siapa saja yang merasa hak pribadinya
dilanggar oleh orang lain sehingga mendatangkan kerugian, dan ia tidak mampu
menyelesaikannya sendiri persoalan tersebut, maka ia dapat meminta kepada
pengadilan untuk menyelesaikan masalah itu sesuai dengan hukum yang berlaku.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka para pihak yang bermaksud mengajukan
gugatan kepada pengadilan haruslah diketahui terlebih dahulu dasar hukumnya.
2. Adanya Kepentingan Hukum
Suatu tuntutan hak yang akan diajukan kepada pengadilan yang dituangkan
dalam sebuah gugatan, pihak penggugat haruslah mempunyai kepentingan hukum
yang cukup, yakni kepentingan hukum secara langsung dan melekat dari Penggugat.
Sehingga orang yang tidak mempunyai kepentingan hukum tidak dibenarkan untuk
menjadi para pihak dalam mengajukan gugatan.
3. Merupakan Suatu Sengketa
Tuntutan hak sebagaimana tersebut di atas adalah merupakan tuntutan perdata
(burgelijk vordering), yaitu tuntutan hak yang mengandung sengketa sebagaimana
65
Pasal 163 HIR berbunyi: Barang siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu
perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.
71
yang dimaksud oleh pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal mana sesuai dengan asas
”geen belang geen actie ”.66
Apabila dalam hal ini ada dari salah satu pasangan orang tua (laki-laki) dari
anak yang dilahirkan menyangkal sebagai ayahnya, atau pasangan laki-laki mengaku
bahwa ia sebagai ayah dari anak yang dilahirkan dari ibu si anak (sedangkan si ibu
menyangkalnya), maka untuk menyelesaikannya harus melalui proses gugatan di
pengadilan (litigasi).
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, yang dimaksud dengan gugatan perdata
adalah gugatan contentiosa yang mengandung sengketa di antara pihak yang
berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada
pengadilan dengan posisi para pihak: (1) yang mengajukan penyelesain sengketa
disebut dan bertindak sebagai penggugat (plaintiff = planctus, the party who institues
a legal action or claim); (2) sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam
penyelesaian, disebut dan berkedudukan sebagai tergugat (defendant, the party
againts whom a civil action is brought).
Dengan demikian, ciri yang melekat pada gugatan perdata adalah sebagai
berikut:
(1) permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa
(disputes, differences);
(2) sengketa terjadi di antara para pihak, paling kurang di antara dua pihak;
(3) berarti gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi, pihak yang
satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lain,
berkedudukan sebagai tergugat.67
Adapun untuk
menegakkan hukum
perdata materiil
perlu proses
penyelesaian perkara melalui pengadilan sesuai dengan norma-norma yang telah
ditentukan secara formal. Adapun hukum acara pemeriksaan perkara gugatan
pengesahan anak di luar perkawinan di Pengadilan Agama adalah hukum acara yang
66
. H. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana,
Jakarta, 2006, hlm. 17-19.
67
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 47-48.
72
berlaku dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam
undang-undang ini (Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama).
3. Hukum Acara yang Berlaku pada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah
a. Hukum acara Peradilan Agama:
1) HIR;
2) R.Bg;
3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009;
4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa;
5) Yurisprudensi Mahkamah Agung RI;
6) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dan Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Republik Indonesia;
7) Kompilasi Hukum Islam (KHI);
8) Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan Peradilan
Agama.
b. Hukum acara Mahkamah Syari’ah:
1) Hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama;
2) Hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum;
3) Qanun Aceh tentang hukum acara;
4. Asas Personalitas Keislaman
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 menganut
asas personalitas keislaman, sehingga segala sengketa antara orang-orang yang
beragama Islam mengenai hal-hal yang diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun
73
2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 menjadi kewenangan Pengadilan
Agama. Asas ini tidak berlaku dalam kasus-kasus sebagai berikut:
a. Sengketa bidang perkawinan yang perkawinannya tercatat di Kantor Urusan
agama, dimana salah satu pihak (suami atau isteri) keluar dari Islam;
b. Sengketa bidang kewarisan yang pewarisnya beragama Islam, walaupun sebagian
ahli waris non Islam;
c. Sengketa bidang Ekonomi Syariah dimana nasabahnya non Muslim;
d. Sengketa bidang wakaf walaupun para pihak atau salah satu pihak bergama non
Muslim;
e. Sengketa bidang hibah dan wasiat yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
Dalam semua sengketa tersebut di atas meskipun sebagian subjek hukumnya
bukan beragama Islam, tetap diselesaikan oleh Peradilan Agama.68
Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa hukum acara yang berlaku
dalam sengketa asal usul anak diluar kawin adalah hukum acara yang berlaku di
Peradilan Umum melalui proses sanggah menyanggah (op tegenspraak) yang
dilanjutkan dengan proses beban pembuktian sesuai dengan ketentuan Pasal 163
HIR/283 R.Bg. Sehingga apabila dalam sebuah kasus sengketa asal usul anak yang
mengajukan adalah pihak ibu dari si anak dalam bentuk gugatan, maka sesuai dengan
ketentuan hukum pembuktian pihak ibu (selaku Penggugat) harus bisa membuktikan
dipersidangan melalui bukti berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum (Tes DNA) yang dapat membuktikan
bahwa pihak laki-laki (selaku Tergugat) secara ilmu pengetahuan adalah sebagai ayah
dari anak terperkara. Sebaliknya, apabila si laki-laki yang mengajukan gugatan
dengan menempatkan kedudukan dirinya sebagai pihak Penggugat, dengan
mendalilkan bahwa dirinya sebagai ayah biologis dari anak terperkar, dan menarik si
ibu dari anak terperkara sebagai Tergugat (karena menyanggah status Penggugat
sebagai ayah), maka beban bukti akan dibebankan kepada Penggugat untuk
membuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum bahwa dirinya benar benar sebagai ayah biologis dari anak tersebut.
68
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, op. cit., hlm. 60-61
74
C. Akibat Hukum Adanya Pengesahan Anak di Luar Perkawinan Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
1. Hubungan Nasab Anak di Luar Perkawinan dengan Orang Tua Biologis
Mengenai kedudukan nasab anak di luar perkawinan (termasuk anak zina) yang
menurut pasal 43 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 100
Kompilasi Hukum Islam yang dinyatakan hanya mempunyai hubungan keperdataan /
hubungan nasab dengan ibunya atau keluarga ibunya, telah dinyatakan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat oleh MKRI. Majelis Hakim MKRI melihat bahwa setiap
kehamilan pasti diawali dengan pertemuan ovum dengan spermatozoa baik
melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan
perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Sehingga
hubungan anak yang dilahirkan dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya bukan
hanya semata-mata karena adanya perkawinan tetapi juga berdasarkan hubungan
darah anak dengan seorang laki-laki yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan
dan atau teknologi atau bukti lain yang sah menurut hukum.
Merupakan suatu ketidakadilan jika seorang laki-laki yang telah
melakukan suatu hubungan dengan seorang perempuan terlepas dari tanggung
jawab. Apalagi selama ini anak yang di lahirkan di luar perkawinan mendapat
stigma yang tidak baik di tengah masyarakat. Seorang anak yang seperti itu
mendapat perlindungan hukum dari negara walaupun status perkawinan orang
tuanya masih dipersengketakan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa bunyi pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”.
75
Penetapan asal usul anak dalam prespektif hukum Islam memiliki arti
yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan
mahram (nasab) antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakekatnya setiap
anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi
ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain.
Kata “nasab” berasal dari bahasa Arab, yang antara lain berarti keturunan.
Dalam pengertian inilah Allah berfirman: “Wa huwalladzii khalaqa minal maa-i
basyaraa fajaálahu nasaban wa shihra wa kaana rabbuka qadiira”. Artinya, “Dialah
(Allah) yang menciptakan manusia dari air (sperma), lalu dia menjadikan (pula)
manusia (mempunyai) keturunan dan mushaharah dan Tuhanmu adalah Maha
Kuasa”) (QS. Al-Furqan: 54).69
Secara istilah nasab adalah keturunan atau ikatan keluarga sebagai hubungan
darah, baik karena hubungan darah ke atas (bapak, kakek, ibu, nenek dan seterusnya),
ke bawah (anak, cucu, dan seterusnya) maupun menyamping (saudara, paman dan
lain-lain).70
Dalam banyak sistem perkembang biakan makhluk Tuhan, hampir selalu
dimulai dengan pertemuan dua unsur, yakni sperma (bibit dari jenis laki-laki) dan
ovum (bibit dari jenis perempuan). Dalam perkembangbiakan manusia, menurut
aturan Tuhan dimulai dengan adanya akad perkawinan. Dalam akad perkawinan ini
terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi, yang dikenal dengan rukun perkawinan.
Yaitu harus ada calon isteri, calon suami, wali, dua orang saksi dan ijab kabul. Di
dalam setiap unsur (rukun) itu terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Seperti
syarat calon suami atau isteri antara lain haruslah tidak ada hubungan keluarga dalam
derajat tertentu. Dalam kaitan inilah, nasab seseorang harus ditentukan. 71
Dalam konsepsi hukum Islam sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya,
bahwa penentuan nasab atau adanya hubungan keperdataan antara anak dan ayahnya
menjadi perhatian utama dalam pembahasan dan kajian kitab-kitab fiqh, karena
seorang anak yang dilahirkan belum tentu mempunyai hubungan kebapakan dengan
69
Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 509.
Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, Jilid 4, hlm. 2337
71
Lihat Pasal 14 Kompilasi hukum Islam (KHI).
70
76
seorang laki-laki sebagai ayahnya, sedangkan hubungan keibuan antara anak dengan
wanita yang melahirkan merupakan hubungan alamiah yang tidak mungkin
dipungkiri, kebenarannya seperti halnya matahari yang terbit dari timur dan terbenam
di barat, setiap anak yang lahir dari rahim seorang perempuan maka perempuan
tersebut adalah ibunya.
Masalah hukum kekeluargaan yang berkaitan dengan anak adalah masalah
perkawinan antara ibu yang melahirkannya dan suaminya (yang menjadi bapak
anak) yang terikat dalam tali perkawinan yang sah. Hukum islam menegaskan
bahwa seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami
ibunya, anak itu harus lahir sekurang kurangnya enam bulan sesudah pernikahan
atau di dalam tenggang ‘Iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan
terputus.72
Penentuan batas minimal 6 bulan masa kehamilan setelah terjadi hubungan
suami istri yang nyata menurut Mayoritas ulama dan setelah adanya akad
perkawinan menurut ulama al-Hanafiyah73, yang dijadikan sandaran ahli hukum
Islam secara mayoritas adalah didasarkan pada hadis Rasulullah SAW:
“‫ﺪﻟﻮﻟا شﺎﺮﻔﻠﻟ ﺮھﺎﻌﻠﻟو ﺮﺠﺤﻟا‬
Maksud hadits ini menurut Wahbah al-Zuhaily adalah bahwa seorang anak
nasabnya dapat dihubungkan terhadap ayahnya hanya dalam perkawinan yang sah,
yang dimaksud al-firasy dalam hadis tersebut adalah seorang perempuan menurut
pandangan kebanyakan ulama, adapun perzinaan tidak dapat dijadikan sebab
adanya hubungan nasab antara ayah pezina dengan anak zinanya, sebab seorang
pezina berhak menerima hukuman rajam atau dilempar dengan batu. Seorang
perempuan tidak dapat dinyatakan dengan firasy kecuali perempuan itu
memungkinkan dapat melakukan hubungan suami isteri.
Adapun batas maksimum seorang ibu mengandung janin, terjadi perbedaan
pendapat menurut Imam Malik selama lima tahun, menurut Imam Syafi’i selama
72
73
H. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, op. cit., hlm. 279
Wahbah Azzuhaily, op. cit., hlm. 676.
77
empat tahun, menurut Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah dua tahun, sesuai yang
dinyatakan ‘Aisyah ra bahwa seorang perempuan hamil tidak melebihi dua tahun.
Muhammad bin al-hakm menjelaskan bahwa seorang perempuan hamil paling lama
satu tahun hijriah dan menurut Dhahiriyah selama sembilan bulan tidak lebih dari
itu.
Abu Zahrah,74 dalam hal ini menegaskan bahwa penentuan waktu lamanya
hamil seorang ibu, tidak didasarkan pada nash, melainkan berdasarkan kebiasaan
suatu daerah, menurut penelitian yang dilakukan sekarang diperkirkirakan masa
maksimun kehamilan adalah sembilan bulan, ditambah satu bulah untuk kehatihatian menjadi sepuluh bulan, begitu pula menurut Ibnu Rusyd dalam masalah ini
dikembalikan kepada kebiasaan suatu daerah dan ilmu kedokteran. Menurut
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1929 tentang Hukum Perkawinan yang berlaku di
Mesir, batas maksimum masa kehamilan adalah satu tahun Masehi atau 365 hari,
penentuan ini diperlukan untuk mengantisipasi gugatan nafkah iddah dan gugatan
yang berkaitan dengan nasab (hubungan darah) untuk menetapkan hak kewarisan
dan menetapkan wasiat bagi anak yang dikandung itu.
Dari konsepsi hukum Islam diatas bila dibandingkan dengan putusan MKRI
Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang hubungan nasab/keperdataan seorang anak dengan
ayahnya, terdapat perbedaan yang sangat tajam, karena dalam putusan MKRI
hubungan keperdataan (nasab) seorang anak dengan ayah biologisnya tidak dikaitkan
dengan adanya akad nikah yang sah tetapi ditetapkan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum (yang dibuktikan di
persidangan), sedangkan dalam hukum Islam keperdataan seorang anak dengan
ayahnya secara imperatif dilandaskan adanya akad nikah yang sah.
Secara keseluruhan dari hasil analisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut, penulis dapat menyimpulkan
bahwa untuk dapat seorang anak ditetapkan mempunyai hubungan keperdataan
(nasab) dengan ayah biologisnya, harus diajukan melalui proses litigasi dengan
memposisikan ayah biologisnya sebagai pihak Tergugat (Contentiosa). Yang menurut
74
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwaal al-Syakhshiyah, Dar Alfikr al-‘Araby, Beirut, 1957, hlm. 452.
78
ketentuan hukum acara perdata apabila suatu perkara diajukan dalam bentuk gugatan
maka hal ini disebabkan adanya hak hukum Penggugat yang dilanggar oleh Tergugat.
Analisis penulis diatas didasarkan atas kalimat dalam dictum putusan putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 poin 3 terdapat
kalimat “ … yang dapat dibuktikan ….” yang menurut hukum acara hukum perdata
pembuktian adalah merupakan ciri dari perkara yang mengandung sengketa/gugatan
sebagaimana diatur pasal 163 HIR.
Sehingga dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkara gugatan asal
usul anak di pengadilan berawal dari adanya pengingkaran terhadap anak dari seorang
laki-laki sebagai akibat peristiwa sebagai berikut :
1.
kelahiran seorang anak dari hubungan biologis (coitus) antara seorang
perempuan dan seorang laki-laki yang dilakukan tanpa adanya pernikahan
(hubungan zina);
2.
kelahiran seorang anak dari hubungan pernikahan (monogami) yang tidak
memenuhi ketentuan Undang Undang Nomor 1 tahun 1974; dan
3.
kelahiran seorang anak dari hubungan pernikahan (poligami) yang tidak
memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Persoalan perkawinan poligami di bawah tangan kualitas permasalahannya
lebih rumit dari pada perkawinan monogami di bawah tangan, sebab perkawinan
monogami di bawah tangan bagi masyarakat Islam statusnya dapat memiliki
kepastian dan kekuatan hukum setelah mendapatkan isbat dari pengadilan sesuai
ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Kompilasi Hukum Islam. Kebolehan isbat
nikah pada ketentuan ini dibatasi ayat (3) huruf (e) yang menyatakan “perkawinan
yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”. Halangan dimaksud adalah larangan kawin
sesuai Pasal 8 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan perkawinan yang tidak dapat
dilakukan sesuai Pasal 9 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu berkaitan dengan
poligami tanpa izin pengadilan. Mengenai pencatatan poligami seperti ini juga di
larang oleh undangundang sebagaima Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 yang menyatakan “pegawai pencatat nikah dilarang untuk
79
melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.” Oleh karena
itu, perkawinan poligami di bawah tangan menurut undang-undang adalah
perkawinan yang melanggar prosudur undang-undang dan keberadaannya tidak
dapat dilakukan toleransi.
Setelah penulis memaparkan dalil-dalil hukum serta pendapat para ulama ahli
fiqh, maka penulis berpendapat sebagai berikut:
1.
Anak yang dilahirkan dari hubungan biologis (coitus) antara seorang perempuan
dan seorang laki-laki yang dilakukan tanpa adanya pernikahan (anak zina) tidak
bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya, meskipun dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya tersebut.
2.
Anak yang dilahirkan dari pernikahan (monogami) yang tidak memenuhi
ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang Undang
Nomor 1 tahun 1974 dapat
dinasabkan dengan ayahnya selama tidak diingkari oleh ayahnya atau dapat
dibuktikan di pengadilan mempunyai hubungan darah, setelah diitsbatkan nikahnya
oleh Pengadilan Agama.
3.
Anak yang dilahirkan dari pernikahan (poligami) yang tidak memenuhi
ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dapat dinasabkan
dengan ayahnya selama mendapat izin poligami dari pengadilan dan dapat
dibuktikan di pengadilan mempunyai hubungan darah, setelah diitsbatkan nikahnya
oleh Pengadilan Agama.
2. Hubungan Kewarisan Antara Anak di Luar Perkawinan dengan Ayah
Biologis
Membahas masalah kewarisan tidak terlepas dari pembahasan mengenai
nasab anak terahadap seorang laki-laki sebagai ayah biologisnya, karena
menyangkut siapa yang akan menjadi ahli waris. Harta orang yang telah meninggal
dengan sendirinya beralih kepada orang yang masih hidup yang memiliki hubungan
dengan orang yang telah meninggal dunia tersebut. Dalam literatur hukum Islam
80
atau Fikih, dinyatakan ada empat hubungan yang menyebabkan seseorang menerima
harta warisan dari seseorang yang telah mati, yaitu: hubungan kerabat, hubungan
perkawinan, hubungan wala’ dan hubungan sesama muslim.75
Dalam hukum Islam ketentuan tentang siapa ahli waris yang berhak
mendapatkan pembagian waris serta bagian masing masing tersebut benar-benar
secara mutlaq diikuti dari ketentuan Allah Swt.yang wajib diikuti. Karena diakhir
ayat yang menerangkan tentang orang-orang yang berhak mendapatkan pembagian
waris serta bagian masing masing tersebut Allah Swt. menutup firmanNya tersebut
dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ (4) ayat 13 – 14 yang berbunyi sebagai berikut:
‫َّللاِ َو َمنْ يُ ِط ِع ه‬
‫تِ ْل َك ُحدُو ُد ه‬
‫ت ت َْج ِري ِمنْ ت َْحتِ َها ْاْلَ ْن َها ُر َخالِ ِدينَ فِي َها َو َذلِكَ ا ْلفَ ْو ُز ا ْل َع ِظي ُم‬
ُ ‫َّللاَ َو َر‬
ٍ ‫سولَهُ يُ ْد ِخ ْلهُ َجنها‬
‫ص ه‬
ٌ‫اب ُم ِهين‬
ٌ ‫ارا َخالِدًا فِي َها َولَهُ َع َذ‬
ُ ‫َّللاَ َو َر‬
ً َ‫سولَهُ َويَتَ َع هد ُحدُو َدهُ يُ ْد ِخ ْلهُ ن‬
ِ ‫) َو َمنْ يَ ْع‬31(
Artinya : 13- Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang mentaati Allah
dan Rasul-Nya maka Allah akan memasukkannya ke dalam
jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Dia di
dalamnya dalam keadaan kekal dan itulah kemenangan yang
besar.
14- Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar hukum-hukum-Nya, maka Allah akan memasukkannya
ke dalam neraka. Dia di dalamnya dalam keadaan kekal dan
baginya adzab yang hina.76
Dari 4 (empat) hubungan yang menyebabkan seseorang menerima harta
warisan dari seseorang yang telah mati tersebut, maka hubungan yang sesuai dengan
judul yang penulis bahas adalah hubungan kekerabatan.
Di antara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada yang masih
hidup adalah adanya hubungan silaturahmi (kekerabatan) antara keduanya. Adanya
hubungan kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada
saat adanya kelahiran. Misalnya kedua orang tua, anak-anak, saudara, paman, dan
75
76
Amir Syarifuddin, op. cit, hlm. 174.
Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 103
81
lain-lain. Orang-orang yang mengambil pusaka dengan jalan kekerabatan ini ada tiga
macam:77
(1) Ashhabulfurudl (warits-warits yang menerima bagian tertentu dari harta
peninggalan);
(2) Al’Ashabatu Nasabiyah (warits-warits yang tidak mempunyai bagian bagian
tertentu, tetapi mengambil sisa tirkah sesudah diberikan bagian-bagian Ashhabul
Furudl);
(3) Dzawul Arham (warits-warits yang tidak masuk ke dalam golongan Ashhabul
Furudl dan ‘Ashabah).
Ketentuan orang orang yang berhak mendapatkan kewarisan dengan jalan
kekerabatan ini berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Nisa’ (4) ayat 11: yang berbunyi:
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu, yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi merka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua
orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
77
Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-hukum Warisan dalam Syari’at Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1967, hlm. 43.
82
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya(saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.(Pembagian-pembagian
tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana”.78
Kajian dalam penulisan ini dititik beratkan pada ”kedudukan anak di luar
perkawinan“ dalam diktum putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 poin 3 yang
berbunyi:
“Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, "Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya", tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus
dibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya ”.
Hal yang menjadi persoalan dari putusan diatas adalah tentang kedudukan
keperdataan anak diluar kawin terhadap ayah atau keluarga ayahnya bagi seorang
laki-laki dan perempuan yang telah melakukan hubungan di luar nikah (termasuk
anak zina) bila dihubungkan dengan kewarisan dalam perspektif hukum Islam.
Dalam hukum Islam dikenal istilah anak zina, yakni anak yang dilahirkan di
luar perkawinan yang sah atau dilahirkan dalam perkawinan yang sah tetapi disangkal
oleh bapaknya sebagai anaknya melalui li’an. Anak zina dalam Islam hanya
memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya sebagai hubungan yang tidak
bisa disangkal bersifat alamiah. Di dalam Islam yang dihubungkan nasabnya
78
Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 101
83
kepada ayah hanyalah anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang
sah, sebagaimana ketentuan nash syar’i di dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab (33)
Ayat 5, yang artinya:
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan
tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi
(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.79
Pada tahap pertama seseorang anak menemukan hubungan kerabat dengan
ibu yang melahirkannya. Seseorang anak yang dilahirkan oleh seorang ibu
mempunyai hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkannya. Hal ini bersifat
alamiah dan tidak ada seorangpun yang membantah hal ini karena sang anak
keluar dari rahim ibunya. Pada tahap selanjutnya seseorang mencari pula
hubungan dengan laki-laki yang menyebabkan ibunya itu hamil dan melahirkan.
Bila dapat dipastikan secara hukum bahwa laki-laki yang menikahi ibunya itu
yang menyebabkan ibunya hamil dan melahirkan, maka hubungan kerabat
berlaku pula dengan laki-laki itu. Laki-laki itu selanjutnya disebut ayahnya. Bila
hubungan keibuan berlaku secara alamiah maka hubungan keayahan berlaku
secara hukum.80
Dengan adanya putusan di atas maka putusan Pengadilan Agama 81 yang
biasanya di dalam memutus sengketa kewarisan yang berkaitan dengan
penentuan siapa-siapa ahli waris yang sah dari Pewaris, hukum materiil yang
digunakan merujuk kepada ketentuan hukum Islam82 dan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), akan tetapi
79
Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 591
Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 175-176.
81
Karena Pengadilan Agama berdasarkan kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili sengketa
kewarisan bagi orang orang beragama Islam (pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989).
82
Dalam penjelasan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam bagian Umum angka (2)
alinea ketiga disebutkan ”Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara perkara orang orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan,wasiat,
hibah,wakaf, dan shadaqah berdasarkan hukum Islam.
80
84
setelah berlakunya putusan MKRI tersebut, maka pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 KHI tidak dapat lagi dijadikan landasan hukum
karena telah dinyatakan Inkonstitusional sehingga sudah tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Sekalipun demikian, menurut penulis putusan hakim Pengadilan
Agama (sebagai hukum in concrito) di dalam mengadili perkara sengketa kewarisan
akibat dari putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 harus tetap mengedepankan
ketentuan hukum kewarisan Islam (faraidh) sebagai hukum materiil sesuai dengan
asas personalitas keislaman yang diatur perundang-undangan di samping tidak
terlepas dari ketentuan hukum positif yang berlaku.
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang kedudukan anak diluar nikah tersebut
merupakan hukum baru di indonesia (kontemporer) yang penerapan dalam hukum
konkrito masih memerlukan beberapa penafsiran (verstehn) terhadap pasal pasal
tertentu, oleh karena itu hakim Pengadilan Agama di dalam memutus perkara kasus
kasus baru yang belum ada hukumnya tidak hanya berfikir tekstualis tetapi juga harus
berfikir progresif, sehingga mampu menggali nilai-nilai kebenaran baik dari sumber
hukum tertulis maupun tidak tertulis (di antaranya Fiqh) dengan tetap mendasarkan
pada sumber primer hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sehingga dengan
demikian, hakim disini bertindak sebagai pembuat undang-undang dalam arti konkrit
yang sedang dihadapi, atau dengan kata lain konkretisasi hukum adalah melalui
putusan hakim.
Amar putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang kedudukan
keperdataan anak di luar kawin terhadap ayah atau keluarga ayahnya menurut
hukum in abstracto masih memerlukan penafsiran, khususnya tentang makna
kalimat “memiliki hubungan keperdataan” yang dalam ilmu hukum mempunyai arti
luas sehingga terdapat wilayah ijtihad bagi hakim untuk menafsirkannya.
Sebagai bahan perbandingan, didalam sistim kewarisan hukum perdata
menurut pendapat P.Scholten yang dikutip dalam bukunya J. Satrio, yang disebut
anak luar kawin “. . . yaitu anak luar kawin, diluar anak sumbang dan anak zinah,
85
yang mempunyai hubungan hukum dengan pewaris dan untuk selanjutnya kita
sebut anak luar kawin saja”.83
Dari uraian ini dapat diketahui bahwa aturan hukum dalam putusan MKRI
ini lebih luas dari KUHPerdata (Burgelijk Wetboek). Dalam BW anak luar kawin
dibedakan dengan anak zina. Anak zina yang dimaksud BW adalah: anak yang
dilahirkan dari hubungan antara dua orang, laki-laki dan perempuan, yang
bukan suami isteri, dimana salah satu atau kedua-duanya terikat dalam suatu
perkawinan dengan orang lain. 84 Sedang, hubungan antara pria wanita yang tidak
terikat perkawinan dengan pihak lain bukanlah zina. Anak zina tidak boleh
diakui ayah biologisnya. Perhatikan Pasal 283 BW yang menyatakan: "Sekalian
anak yang dbenihkan dalam zina ataupun dalam sumbang sekali kali tak boleh
diakui, kecuali terhadap yang terakhir ini apa yang ditentukan dalam pasal 273”.
Begitu juga di dalam pembagian warisan, anak zina maupun anak sumbang
tidak berhak untuk mendapatkan warisan, sebagaimana ketentuan pasal 867 BW
yang menyatakan bahwa peraturan mengenai “hukum waris anak luar kawin, tidak
berlaku bagi anak yang dibenihkan dalam zinah atau dalam sumbang”.
Sedangkan dalam putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 anak diluar
kawin diperluas pengertiannya terhadap anak yang dilahirkan dari hubungan dengan
seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawina,
dan termasuk anak yang dilahirkan dari orang tua yang keabsahan perkawinannya
masih disengketakan.85
Begitu juga tentang ketentuan hak kewarisan anak di luar kawin, bahwa
pengakuan yang diberikan sepanjang perkawinan tidak boleh merugikan isteri dan
anak-anak dari perkawinan, pada waktu mana pengakuan diberikan. Ketentuan ini
diatur di dalam pasal 285 BW dinyatakan “pengakuan yang dilakukan sepanjang
perkawinan, oleh suami atau isteri atas kebahagiaan anak luar, yang sebelum
kawin olehnya diperbuahkan dengan seorang lain dari pada isteri atau suaminya,
83
J. Satrio, Hukum Waris, Citira Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 137.
Ibid., hlm. 158.
85
Putusan Mahkamah konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 angka [ 3.13 ].
84
86
akan membawa kerugian baik bagi isteri atau suami itu, maupun bagi anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan mereka.
Maksud dari ketentuan pasal 285 BW tersebut adalah, dalam hal anak luar
kawin diakui sepanjang perkawinan ayah atau ibu yang melahirkannya, maka
pengakuan tersebut tidak boleh merugikan suami isteri, dengan siapa ia terikat
dalam perkawinan serta anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.86
Dari beberapa uraian di atas penulis berpendapat ketentuan makna kalimat
“memiliki hubungan keperdataan” dalam putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010
menurut hukum Islam tidak bisa diartikan adanya hubungan kewarisan antara anak
luar kawin dengan ayah biologis. Hal tersebut dilandasi pemikiran sebagai berikut:
1. Sebab utama dalam hukum Islam seorang anak mendapatkan hak waris dari
ayahnya dikarenakan adanya hubungan nasab yang diakibatkan perkawinan yang
sah kedua orang tuanya, sedangkan dalam hal ini anak yang lahir diluar
perkawinan tidak terdapat bukti adanya pernikahan yang sah (baik berupa akta
nikah maupun putusan itsbat nikah dari pengadilan).
2. Jika anak luar perkawinan diberi legalitas memiliki hubungan nasab dengan
ayah biologisnya, sehingga sebagai akibat dari ketentuan tersebut dalam akta
kelahirannya dicantumkan bahwa ayahnya adalah laki-laki yang telah
ditetapkan oleh pengadilan sebagai ayah biologisnya, tentunya atas dasar legal
standing tersebut dia akan menuntut hak keperdataannya dari ayahnya, hal ini
mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum.
3. Apabila dilihat aspek perlindungan anak, tidakkah para isteri dan anak-anak sah
dari perkawinan yang sah lebih penting untuk dilindungi hak-hak hukumya.
Karena akan menghindarkan isteri dan anak yang sah dari kerugian moril dan
materiil, karena mereka telah beritikad baik kawin secara sah menurut
hukum negara. Hal ini sejalan dengan kaidah hukum Islam:
‫ﺪﺮﺀ ﺍﻠﻤﻓﺎﺴﺪ ﻤﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ ﺍﻠﻤﺼﺎﻟﺢ‬
aynitra: ”Menolak kerusakan itu didahulukan dari meraih kemaslahatan”.
86
J. Satrio, op. cit., hlm. 154.
87
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan studi pustaka
sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya, secara garis besar hasil
penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Status atau kedudukan seorang anak dalam hukum, apakah itu anak sah atau anak
yang tidak sah (lahir di luar perkawinan) diawali dari proses dan perbuatan
hukum kedua orang tuanya dalam melaksanakan perkawinan. Terhadap
kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan sebagai akibat perkawinan yang
tidak dicatatkan (nikah sirri; nikah di bawah tangan) menurut Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 adalah anak yang tidak sah, karena lahir dari perkawinan
yang tidak sah. Oleh karena itu tidak ada jaminan perlindungan hukum yang
diberikan oleh negara kepada para pihak yang melangsungkan perkawinan itu,
termasuk dalam hubungan antara bapak yang melahirkan dengan anak-anak yang
dilahirkannya. Anak yang lahir dari nikah sirri (di bawah tangan) menurut
hukum perdata disebut “anak luar kawin” (onwettig kind) dan hanya mempunyai
hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga yang melahirkannya. Ia tidak
mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan bapak biologisnya, termasuk
dalam hubungan waris, meskipun dengan putusan pengadilan terbukti
mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya tersebut. Begitu juga
menurut pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, anak yang lahir
dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan hanya mempunyai hubungan
hukum keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu yang melahirkannya.
2.
Permohonan pengesahan anak di pengadilan sebenarnya merupakan sikap
ambigu dan tidak adanya konsistensi dari seseorang yang semula ketika
menikah dengan sadar tidak memenuhi ketentuan hukum perkawinan yang
berlaku yaitu Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Hal ini juga sekaligus
88
sebagai bukti nyata bahwa perkawinan yang tidak dilaksanakan sesuai
ketentuan negara akan mengakibatkan kemadharatan serta tidak adanya
jaminan hukum. Pengesahan anak atau penetapan asal usul anak merupakan
kewenangan Pengadilan Agama di bidang perkawinan berdasarkan Pasal 49 ayat
(1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara perkara ditingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah. Penetapan asal usul
seorang anak dimaksudkan sebagai perkara yang berkaitan dengan penyelesaian
hukum tentang kedudukan anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang
sah (Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 99 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) atau sebaliknya anak yang tidak sah adalah anak yang lahir
di luar perkawinan yang sah atau lahir dalam perkawinan yang sah akan tetapi
disangkal oleh suami dengan sebab li’an. Sebelum adanya putusan MKRI
Nomor 46/PUU-VIII/2010, kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak
untuk mengajukan pengesahan anak di luar perkawinan hanya diberlakukan
kepada pasangan suami isteri yang melakukan pernikahan di bawah tangan saja,
karena tanpa memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, maka menurut hukum positif perkawinannya tersebut tidak sah dan
karenanya anak yang dilahirkan dipandang sebagai anak yang dilahirkan di luar
perkawinan. Sedangkan, terhadap kedudukan anak hasil zina tidak ditemukan
dalam aturan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum
Islam, karena perzinahan tidak dipandang sebagai perbuatan hukum perkawinan.
Namun, dengan adanya putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut
permohonan atau gugatan pengesahan anak di luar perkawinan untuk dapat
ditetapkan mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, dapat
diajukan oleh seseorang terhadap anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang
tidak sah maupun mereka yang tidak ada ikatan perkawinan, termasuk terhadap
anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan,
89
semata mata karena alasan demi memberikan perlindungan dan kepastian hukum
yang adil terhadap status anak yang dilahirkan. Perkara gugatan pengesahan anak
di luar perkawinan ini harus diajukan dalam bentuk contentiosa, karena dari
putusan MKRI Nomor 46/PUU-VII/2010 tersebut secara implisit terdapat ciri
dan prinsip perkara yang mengandung sengketa, yaitu dengan adanya kalimat “. .
. yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau
alat
menunjukkan
bukti
adanya
lain
menurut
prinsip
hukum
pembuktian
…”.
yang
Kalimat
harus
tersebut
ditegakkan
berdasarkan pasal 163 HIR/283 R.Bg. Kewajiban membuktikan akan
dibebankan kepada Penggugat (isteri) untuk membuktikan bahwa antara anak
dan Tergugat keduanya ada keterkaitan hubungan darah. Di sinilah pihak
Penggugat akan menemui kesulitan untuk membuktikan di persidangan apabila
pihak Tergugat (laki-laki) menolak untuk melakukan tes DNA, atau sengaja tidak
hadir di persidangan (verstek).
3.
Putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 menambah khazah perkembangan
hukum Islam di Indonesia, karena sebelumnya dalam hukum positif maupun
Kompilasi Hukum Islam, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan keperdataan (nasab) dengan ibunya dan keluarga ibunya, sehingga
akibat hukumnya anak di luar perkawinan tidak dapat dinasabkan dengan ayah
biologisnya dan sekaligus tidak dapat mewarisinya, karena dalam konsepsi
hukum Islam Indonesia seorang anak yang dilahirkan belum tentu mempunyai
hubungan kebapakan dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya, sedangkan
hubungan keibuan antara anak dengan wanita yang melahirkan merupakan
hubungan alamiah yang tidak mungkin dipungkiri kebenarannya. Dalam hukum
Islam dikenal istilah anak zina, yakni anak yang dilahirkan di luar perkawinan
yang sah atau dilahirkan dalam perkawinan yang sah tetapi disangkal oleh
bapaknya sebagai anaknya melalui li’an. Anak zina dalam Islam hanya
memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya. Dengan adanya putusan
MKRI di atas maka putusan Pengadilan Agama yang biasanya di dalam
90
memutus sengketa kewarisan yang berkaitan dengan penentuan siapa-siapa
ahli waris yang sah dari pewaris, hukum materiil yang digunakan merujuk
kepada ketentuan hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), akan tetapi setelah berlakunya putusan
MKRI tersebut, maka pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dan Pasal 100 KHI tidak dapat lagi dijadikan landasan hukum karena telah
dinyatakan inkonstitusional sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Sekalipun demikian, putusan hakim Pengadilan Agama sebagai hukum
in concrito di dalam mengadili perkara sengketa kewarisan akibat dari putusan
MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 harus tetap mengedepankan ketentuan hukum
kewarisan Islam (faraidh) sebagai hukum materiil sesuai dengan asas
personalitas keislaman yang diatur perundang-undangan, disamping tidak
terlepas dari ketentuan hukum positif yang berlaku. Putusan MKRI tentang
kedudukan anak di luar perkawinan tersebut merupakan hukum baru di Indonesia
(kontemporer) yang penerapannya dalam hukum konkrit masih memerlukan
beberapa penafsiran (verstehn) terhadap pasal-pasal tertentu. Oleh karena itu,
hakim Pengadilan Agama di dalam memutus perkara kasus-kasus baru yang
belum ada hukumnya tidak hanya berfikir tekstual, tetapi juga harus berfikir
progresif, sehingga mampu menggali nilai-nilai kebenaran baik dari sumber
hukum tertulis maupun tidak tertulis (di antaranya Fiqh) dengan tetap
mendasarkan pada sumber primer hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Sehingga dengan demikian, hakim disini bertindak sebagai pembuat undangundang (judge made law) dalam arti konkrit terhadap perkara yang sedang
dihadapi, atau melakukan konkretisasi hukum melalui putusan hakim. Dalam
putusan MKRI tersebut anak di luar kawin diperluas pengertiannya terhadap
anak yang dilahirkan dari hubungan dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak
semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, dan termasuk anak yang
dilahirkan dari orang tua yang keabsahan perkawinannya masih disengketakan.
Makna kalimat “memiliki hubungan keperdataan” dalam putusan MKRI
Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam perspektif hukum Islam tidak bisa diartikan
91
adanya hubungan kewarisan antara anak di luar perkawinan dengan ayah
biologis. Hal tersebut dilandasi pemikiran bahwa sebab utama dalam hukum
Islam seorang anak mendapatkan hak waris dari ayahnya dikarenakan adanya
hubungan nasab yang diakibatkan perkawinan yang sah kedua orang tuanya,
sedangkan dalam hal ini anak yang lahir di luar perkawinan tidak terdapat bukti
adanya pernikahan yang sah (baik berupa akta nikah maupun putusan itsbat nikah
dari pengadilan). Jika anak luar perkawinan diberi legalitas memiliki
hubungan nasab dengan ayah biologisnya, sehingga sebagai akibat dari
ketentuan tersebut dalam akta kelahirannya dicantumkan bahwa ayahnya adalah
laki-laki yang telah ditetapkan oleh pengadilan sebagai ayah biologisnya,
tentunya atas dasar legal standing tersebut dia dapat menuntut hak
keperdataannya dari ayahnya. Hal ini mengakibatkan tidak adanya kepastian
hukum.
B. Saran
Pengesahan asal usul anak yang diajukan ke pengadilan berdasarkan putusan
MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 agar dapat memenuhi syarat formil, hendaknya
diajukan sebagai perkara gugatan (contentiosa) dengan menarik pihak lain (salah satu
pasangannya) sebagai pihak lawan (Tergugat), karena aquo suatu perkara yang
mengandung sengketa dan pembuktian. Perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama
sesuai dengan asas legalitas keislaman seharusnya dibuat kumulatif dengan
permohonan “Itsbat Nikah” karena sebagai kewajiban syar’i untuk mengesahkan
adanya hubungan pertalian darah (nasab) seorang anak kepada bapaknya harus
didahului adanya pernikahan yang sah bagi pasangan laki-laki dan perempuan yang
melahirkan anak tersebut.
Apabila terbukti adanya hubungan darah antara seorang laki-laki sebagai
ayah dengan seorang anak yang dilahirkan, yang secara hukum mempunyai hubungan
keperdataan antara keduanya, maka Pengadilan Agama cukup memaknai “adanya
hubungan keperdataan” tersebut berupa kewajiban yang tidak ada hubungannya
dengan kewajiban syar’i seorang ayah terhadap anaknya seperti: perwalian,
92
hadhanah, dan lain-lain, tetapi hanya sebatas hubungan kemanusiaan berupa
alimentasi. Agar putusan MKRI tersebut bisa sejalan dengan hukum Islam yang
merupakan hukum materiil yang berlaku pada pengadilan Agama, seharusnya
amar putusannya berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan keabsahan perkawinannya menurut
keyakinan agama dan kepercayaannya di depan pengadilan, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya”.
93
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, CV.
Karindo, 2004
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Kencana, Jakarta, 2006
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Ma’arif, Bandung, t.t.
Abdul Rokhim, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar kawin dalam Perspektif
Hak Asasi Manusia, Unisma, Malang, 2011
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushulul Fiqh, Terjemahan
Noer Iskandar Al Barsany dan Moch.Tolchah Mansur, Raja Grafindo, Jakarta,
1996
Abu Amar, “Problematika Pencatatan Perkawinan di Kalangan Umat Islam Sesudah
Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974”, Tesis, Program Magister Hukum
Pascasarjana Unisma, Malang, 2004
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1988
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Kencana, Jakarta, 2002
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, 2004.
Andi Syamsu Alam dan Moh. Fauzan, Anak Angkat dalam Prespektif Hukum Islam,
t.t.
Asjmuni A .Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1976
Chatib Rasyid, Materi Seminar “Status Anak di Luar Nikah dan Hak Keperdataan
Lainnya”, IAIN Walisongo Semarang, 10 April 2012.
Departemen Agama RI, Terjemah Al-Qur’an, Penerbit Al-Jumanatul Ali J-ART,
Bandung, t.t.
94
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya: Juz 1-Juz
30, Mahkota, Surabaya, t.t.
Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Abditama, Surabaya, 2001.
Ensiklopedi Indonesia, Jilid 4, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994
Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Houve, Jakarta, 1999.
Fathurrahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya,
Problematika Hukum Islam Kontemporer, Firdaus, Jakarta, 1999
Fatich, Moch., “Sistem Peradilan Islam”, Program Magister ilmu Hukum, Unisma,
Malang, 2012.
Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-hukum dalam Syari’at Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, 1967
Ibrahim Hoesen, Azas-azas Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam,
Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 1993
Ichtijanto, “Status Hukum dan Hak-hak Anak Menurut Hukum Islam”, Mimbar
Hukum, Al Hikmah, No. 46 Thn. XI, Jakarta, 2000.
Idris Ramulyo, Moh., Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang No. 1 Tahun 1974
dari Segi Perkawinan Islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2002
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Buku Pedoman Teknis Administrasi dan
Teknis Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi, Jakarta, 2009
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru: Membangun Mahkamah
Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan
Terpercaya, Sekretariat Jenderal MKRI, Jakarta, 2004
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RI., Sinar Grafika, Jakarta,
2005.
Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia dan Proses Dinamika
Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005.
Muhamad Ali as-Shabuni, Hukum Waris dalam Syari’at Islam, CV Diponegoro,
Bandung, 1995.
95
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwaal al-Syakhshiyah, Dar Alfikr al-‘Araby,
Beirut,1957
Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 1991
--------, Hukum Islam dan Peradilan Agama, PT.Raja grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Pustaka Dinamika,
Yogyakarta, 2002
Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif
Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005.
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press,
Yogyakarta, 2005
Poerwadarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1976
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990
Satrio, J., Hukum Waris, Citira Aditya Bakti, Bandung, 1990
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 3, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
Soerjono Soekanto, Tata Cara Penyusunan Karya Tulis ilmiah, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1983.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitihan Hukum Normatif, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1995
Sri Soemantri M., Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung, 1982
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Rinaka Cipta, Jakarta, 1994
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika,
Jakarta, 1995
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim, terjamahan Musthofa Aini,
Darul Haq, Jakarta, 2007.
Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris, Pustaka Matiq, Solo, 1994.
96
Tanya Jawab Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam,
Proyek Penyuluhan Hukum PTA Jawa Barat, 2001.
Wahbah Zuhaily, Alfiqul Alislamy wa Adillatuhu, Daarul Fiqry al Ma’shir, Beirut, t.t.
97
98
Download