1 2 KATA PENGANTAR Ucapan puji dan syukur saya haturkan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Penelitian dengan judul: “Status Hukum Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” ini terinspirasi oleh permohonan seorang ibu bernama Machicha Mochtar kepada Mahkamah Konstitusi RI agar anaknya yang menurut pengakuannya lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) bisa ditetapkan oleh pengadilan (dalam hal ini pengadilan agama) mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya. Atas permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) mengeluarkan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010. Berdasarkan putusan tersebut, permohonan pengesahan anak di luar perkawinan untuk dapat ditetapkan mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, dapat diajukan oleh seseorang terhadap anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang tidak sah maupun mereka yang tidak ada ikatan perkawinan, termasuk terhadap anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang keabsahannya masih disengketakan. Putusan MKRI itu dijatuhkan semata mata karena alasan demi memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan. Putusan MKRI itu tentu saja menimbulkan sikap pro-kontra baik di kalangan masyarakat maupun para hakim, khususnya hakim pengadilan agama. Penelitian ini dilakukan berkat kerjasama dan bantuan dari Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Utara, Drs. M. Yasya’, SH. Untuk itu, saya ucapkan terima kasih kepada beliau atas kerjasama dan bantuannya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Rektor Universitas Islam Malang dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam atas dukungan dan izin yang diberikannya. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat dan pengemban ilmu hukum perdata, khususnya hukum keluarga dan hukum perkawinan. Malang, 15 Agustus 2013 3 ABSTRAK Status Hukum Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Abdul Rokhim Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis secara mendalam mengenai: 1. Status hukum anak di luar perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum positif Indonesia; 2. Proses pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 di Pengadilan Agama. 3. Akibat hukum yang timbul dengan adanya pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum Islam. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yang menurut Ronny Hanitijo Soemitro termasuk tipe penelitian inventarisasi hukum positif. Hasil dari inventarisasi hukum positif ini kemudian dibandingkan atau dicari kaitannya dengan norma hukum lain yang berlaku di masyarakat, khususnya hukum Islam. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Status atau kedudukan hukum anak yang lahir di luar perkawinan sebagai akibat perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah anak yang tidak sah, karena lahir dari perkawinan yang tidak sah. Oleh karena itu tidak ada jaminan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada para pihak yang melangsungkan perkawinan itu, termasuk mengenai hubungan antara bapak yang melahirkan dengan anakanak yang dilahirkannya. Anak yang lahir dari nikah sirri menurut hukum perdata disebut “anak luar kawin” (onwettig kind) dan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga yang melahirkannya. Ia tidak mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan bapak biologisnya, termasuk dalam hubungan waris, meskipun dengan putusan pengadilan terbukti mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya tersebut. 2. Permohonan pengesahan anak di pengadilan sebenarnya merupakan sikap ambigu dan tidak konsisten dari seseorang yang semula ketika menikah dengan sadar tidak memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Hal ini juga sekaligus sebagai bukti nyata bahwa perkawinan yang tidak dilaksanakan sesuai ketentuan negara akan mengakibatkan kemadharatan serta tidak adanya jaminan hukum. Pengesahan anak atau penetapan asal usul anak merupakan kewenangan Pengadilan Agama di bidang perkawinan berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Penetapan asal usul seorang anak dimaksudkan sebagai perkara yang berkaitan dengan penyelesaian hukum tentang kedudukan anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah. Sebelum ada putusan MKRI Nomor 46/PUUVIII/2010, kedudukan hukum sebagai pihak (legal standing) untuk mengajukan 4 pengesahan anak di luar perkawinan hanya diberlakukan kepada pasangan suami isteri yang melakukan pernikahan di bawah tangan saja, karena tanpa memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka menurut hukum positif perkawinannya tersebut tidak sah dan karenanya anak yang dilahirkan dipandang sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Sedangkan, terhadap kedudukan anak hasil zina tidak ditemukan dalam aturan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam, karena perzinahan tidak dipandang sebagai perbuatan hukum perkawinan. Namun, dengan adanya putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut permohonan atau gugatan pengesahan anak di luar perkawinan untuk dapat ditetapkan mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, dapat diajukan oleh seseorang terhadap anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang tidak sah maupun mereka yang tidak ada ikatan perkawinan, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan, semata mata karena alasan demi memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan. 3. Putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 menambah khazah perkembangan hukum Islam di Indonesia, karena sebelumnya dalam hukum positif maupun Kompilasi Hukum Islam, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan (nasab) dengan ibunya dan keluarga ibunya, sehingga akibat hukumnya anak di luar perkawinan tidak dapat dinasabkan dengan ayah biologisnya dan sekaligus tidak dapat mewarisinya, karena dalam konsepsi hukum Islam Indonesia seorang anak yang dilahirkan belum tentu mempunyai hubungan kebapakan dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya, sedangkan hubungan keibuan antara anak dengan wanita yang melahirkan merupakan hubungan alamiah yang tidak mungkin dipungkiri kebenarannya. Dalam hukum Islam dikenal istilah anak zina, yakni anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau dilahirkan dalam perkawinan yang sah tetapi disangkal oleh bapaknya sebagai anaknya melalui li’an. Anak zina dalam Islam hanya memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya. Dengan adanya putusan MKRI ini maka putusan Pengadilan Agama yang biasanya merujuk kepada ketentuan hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), akan tetapi setelah berlakunya putusan MKRI tersebut, maka pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 KHI tidak dapat lagi dijadikan landasan hukum karena telah dinyatakan inkonstitusional sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sekalipun demikian, putusan hakim Pengadilan Agama sebagai hukum in concrito di dalam mengadili perkara sengketa kewarisan akibat dari putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 harus tetap mengedepankan ketentuan hukum kewarisan Islam (faraidh) sebagai hukum materiil sesuai dengan asas personalitas keislaman yang diatur perundangundangan, disamping tidak terlepas dari ketentuan hukum positif yang berlaku. Kata Kunci: Status Hukum; Anak Luar Kawin; Putusan Mahkamah Konstitusi 5 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... ii KATA PENGANTAR ............................................................................................... iii ABSTRAK ................................................................................................................. iv DAFTAR ISI .............................................................................................................. vi BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 8 A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 8 B. Rumusan Masalah …………………………………………………. 11 C. Tujuan Penelitian ………………………………………………….. 11 D. Manfaat Penelitian …………………………………………………. 12 E. Metode Penelitian …………………………………………………... 13 F. Sistematika Penulisan ……………………………………………….16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… 17 A. Definisi Anak ……………………………………………………… 17 B. Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak................................ 18 C. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi ............................ 21 1. Kedudukan Mahkamah Konstitusi ………………………………. 23 2. Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi ………………….. 25 D. Kewenangan Peradilan Agama Tentang Pengesahan Asal Usul Anak dan Kewarisan .......................................................................... 27 1. Tentang Pengesahan Asal Usul Anak ........................................... 27 2. Tentang Kewarisan …………………………………………….. 30 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………….……….. 32 A. Kedudukan Anak di Luar Perkawinan Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010………… 32 6 B. Proses Pengesahan Anak di Luar perkawinan di Pengadilan Agama ................................................................................................ 69 1. Pengesahan Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ……………. 69 2. Prosedur dan Acara Pemeriksaan Perkara Gugatan Pengesahan Anak di Luar Perkawinan ...................................... 70 3. Hukum Acara yang Berlaku pada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah …………………………………………… 73 4. Asas Personalitas Keislaman ………………………………….. 73 C. Akibat Hukum Adanya Pengesahan Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ………………………………………………… 75 1. Hubungan Nasab Anak di Luar Perkawinan dengan Orang Tua Biologis ...................................................................... 75 2. Hubungan Kewarisan Antara Anak di Luar Perkawinan dengan Ayah Biologis .................................................................. 80 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….. 88 A. Kesimpulan ………………………………………………………… 88 B. Saran …………………………………………………………………92 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. 94 7 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu masalah krusial dalam hukum keluarga adalah masalah status hak keperdataan anak luar kawin yang menurut undang-undang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 46/PUU-VIII/2010, yang dibacakan tanggal 17 Februari 2012 mengabulkan tuntutan Machica Mochtar mengenai status keperdataan anak luar kawin memungkinkan anak di luar perkawinan mendapatkan hak waris dan hak keperdataan lainnya dari laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya, sebagaimana ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019), yang menyatakan, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya" tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentu akan berakibat pada perombakan hukum keluarga di Indonesia secara signifikan. Hukum positif selama ini menempatkan status hukum anak luar kawin berbeda dengan anak sah. Anak luar 8 kawin diperlakukan secara berbeda karena hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, yang berarti tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah maupun keluarga ayahnya. Perubahan status hak keperdataan anak luar kawin menimbulkan beberapa akibat hukum bagi masyarakat Indonesia, yakni: Pertama, kewajiban alimentasi bagi laki-laki yang dapat dibuktikan memiliki hubungan darah sebagai ayah dari anak luar kawin. Seorang ayah biologis sudah tidak bisa mengelak lagi atas kewajiban hukum untuk memelihara dan mendidik anak dengan alasan ketiadaan ikatan perkawinan yang sah dengan ibunya. Ayah harus memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan anak tersebut meskipun ia tidak terikat perkawinan dengan ibunya, atau bahkan sang ayah terikat perkawinan dengan orang lain. Kedua, hak anak luar kawin atas harta warisan. Pengakuan anak luar kawin memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya maka tentu akan berakibat pada hak seorang anak mendapat harta warisan. Kedudukan anak luar kawin menjadi setara dengan anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang sah. Menurut Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqh Sunnah, anak zina adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah dan tidak mempunyai hubungan kewarisan dengan ayah karena tidak adanya nasab yang sah, hanya mempunyai hubungan kewarisan dengan ibunya saja.1 Kemudian, dalam pasal 186 Kompilasi Hukum Islam disebutkan, "anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga ibunya”.2 Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai status hak keperdataan anak luar kawin merupakan suatu pemikiran yang bertentangan dengan hukum yang difahami ummat Islam Indonesia karena selama ini dipahami dalam konsep fiqh dan praktik hukum dalam Peradilan Agama, anak luar kawin tidak memiliki hak saling mewaris dengan ayahnya karena ketiadaan nasab yang sah. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadikan anak luar kawin sebagai pihak yang memiliki kedudukan 1 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 3, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hlm. 220. Tanya Jawab Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam, Proyek Penyuluhan Hukum PTA Jawa Barat, 2001. 2 9 hukum (persona in judicio) dalam perkara kewarisan di pengadilan dan berhak memperoleh harta warisan ayah biologisnya dengan keharusan mampu membuktikan adanya hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. Sedangkan konsep kewarisan dalam hukum Islam tidak mengenal anak di luar perkawinan atau anak hasil zina sebagai ahli waris dari ayah biologisnya karena tidak adanya nasab yang sah yang diawali dari tidak adanya perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya menurut syariat Islam. Menurut pendapat madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, anak yang lahir dari hubungan perzinaan hanya dapat mewarisi ibu dan kerabat ibunya. Hal ini karena anak zina hanya memiliki nasab kepada pihak ibunya. Sedangkan ke pihak bapaknya tidak diakui sah oleh agama.3 Kedudukan seorang anak sebagai ahli waris berdasarkan hukum Islam adalah ditentukan sebagai sebab atau syarat-syarat mempusakai yang bersumber pada Alqur’an dan sunnah serta hasil ijtihad yang berlaku di Indonesia yang diformulasikan dalam berbagai produk pemikiran hukum Islam, baik dalam bentuk fikih, fatwa, putusan pengadilan, maupun peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya Kompilasi Hukum Islam (KHI). Penelitian tentang Status Hukum Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 ini bertujuan untuk memahami implikasi dan akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terkait dengan hasil judicial review pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan yang harus dibaca “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.4 3 4 Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Houve, Jakarta, 1999, hlm. 315. Putusan Mahkamah Konstitusi R.I. Nomor 46/PUU-VII/2010 tanggal 17 Pebruari 2012. 10 B. Rumusan Masalah Dalam rangka memperoleh hasil penulisan yang baik dan memenuhi syarat penulisan karya ilmiah serta untuk mempermudah pengumpulan data dan pembahasannya, maka dalam penelitian ini diperlukan adanya perumusan masalah. Perumusan masalah dalam suatu karangan ilmiah merupakan hal yang penting agar masalah yang dibahas tidak menyimpang dari tujuan permasalahan yang akan dibuat penulisan, demikian pula data sampel yang dicari dapat diperoleh dalam penelitian sesuai dengan tujuan penelitian.5 Sesuai dengan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka pokokpokok masalah yang diteliti dan dikaji dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana status hukum anak di luar perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum positif Indonesia? 2. Bagaimana proses pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 di Pengadilan Agama? 3. Apa akibat hukum yang timbul dengan adanya pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum Islam? C. Tujuan Penelitian Suatu kegiatan penelitian sudah tentu mempunyai suatu tujuan yang jelas dan pasti. Adapun tujuan ini diperlukan adalah untuk mengetahui dan mengkaji (menganalisis) secara lebih mendalam mengenai persoalan-persoalan hukum terkait dengan: 1. Status hukum anak di luar perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum positif Indonesia? 2. Proses pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 di Pengadilan Agama. 5 Soerjono Soekanto, Tata Cara Penyusunan Karya Tulis ilmiah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 13. 11 3. Akibat hukum yang timbul dengan adanya pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum Islam. D. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis dan para pembaca pada umumnya dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan hukum, khususnya di bidang hukum perkawinan. Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan bagi masyarakat secara keseluruhan dan pemahaman tentang kedudukan hukum anak di luar perkawinan. Khusus bagi penulis, penelitian ini juga dimaksudkan untuk melaksanakan salah satu tugas Tridharma Perguruan Tinggi yang merupakan kewajiban dosen untuk menyusun sebuah karya ilmiah. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi semua pihak, khususnya tokoh-tokoh agama (kyai; ulama’) dalam masyarakat dan pejabat publik yang mengurusi masalah perkawinan, antara lain Kepala Desa/Lurah, Pegawai Pencatat Nikah (PPN), pejabat Kantor Urusan Agama, Kantor Catatan Sipil dan para hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, termasuk aparat penegak hukum lainnya, seperti polisi, jaksa, dan pengacara, agar terbentuk persepsi dan pemahaman yang sama atau setidak-tidaknya mempersempit perbedaan sudut pandang terhadap berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 17 Pebruari 2012 atas judicial review pasal 43 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya mengenai hak keperdataan anak di luar perkawinan. Dengan adanya persepsi dan pemahaman yang sama mengenai pentingnya pencatatan perkawinan di kalangan pejabat publik dan tokoh-tokoh agama yang ada dalam masyakarat diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan dalam rangka memperoleh jaminan perlindungan dan kepastian hukum 12 yang diberikan oleh negara (baca: pemerintah) melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. E. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan untuk mencari jawaban dan menganalisis pokok-pokok masalah sebagaimana telah dipaparkan dalam rumusan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1. Jenis dan Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yang menurut Ronny Hanitijo Soemitro dapat dibedakan ke dalam lima tipe penelitian, yaitu:6 a. Penelitian inventarisasi hukum positif; b. Penelitian terhadap asas-asas hukum; c. Penelitian untuk menemukan hukum in concreto; d. Penelitian terhadap sistematik hukum; e. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal. Berdasarkan tipe-tipe penelitian hukum normatif tersebut di atas, penelitian ini termasuk tipe penelitian inventarisasi hukum positif. Hasil dari inventarisasi hukum positif ini kemudian dibandingkan dan dicari kaitannya dengan norma hukum lain yang berlaku di masyarakat, khususnya hukum Islam dan kebiasaan masyarakat setempat. Kegiatan inventarisasi hukum positif dalam penelitian ini bukan sekedar mengumpulkan bahan-bahan hukum positif, melainkan dilakukan melalui proses identifikasi yang kritis-analitis dan selanjutnya melalui proses klasifikasi yang logissistematis. Setelah dilakukan kegiatan inventarisasi hukum positif, dilanjutkan dengan kegiatan membandingkan atau mencari kaitannya dengan norma hukum tidak tertulis yang berlaku masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai 6 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 12 13 penelitian perbandingan hukum (legal comparative study) antara norma hukum tertulis dan norma hukum yang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan.7 2. Bahan Hukum Di dalam penelitian hukum normatif, data yang digunakan hanyalah data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, yang dalam penelitian ini mencakup:8 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang dalam penelitian ini terdiri dari: (1) Undang-Undang Dasar 1945 (yang telah diamandemen); (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (4) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama; (5) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; (6) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; (7) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (8) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI); (9) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 17 Pebruari 2012; (10) Sumber-sumber hukum yang hanya mengikat orang-orang yang beragama Islam, yaitu: Al Qur’an dan Al Hadits; (11) Peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan pokok masalah penelitian. b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang dalam penelitian ini meliputi: buku-buku dan kitab-kitab hukum yang ditulis oleh para ahli hukum dan ahli fiqh, dokumen- hlm. 14 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitihan Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, 8 Ibid., hlm. 12-13 14 dokumen hukum, hasil-hasil penelitian sebelumnya, termasuk jurnal atau majalah hukum perkawinan; c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang dalam penelitian ini meliputi kamus dan ensiklopedi hukum. 2. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian inventarisasi hukum positif ini dilakukan melalui tiga kegiatan pokok, yaitu: pertama, penetapan kriteria identifikasi untuk menyeleksi norma-norma yang dimasukkan sebagai norma hukum positif dan norma-norma yang dianggap sebagai norma sosial bukan hukum positif; kedua, melakukan pengumpulan norma-norma yang sudah diidentifikasikan sebagai norma hukum positif; dan ketiga, dilakukan pengorganisasian norma-norma yang sudah didentifikasi dan dikumpulkan itu ke dalam suatu sistem yang komprehensif atau menyeluruh.9 Kriteria identifikasi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pada dua konsepsi, pertama konsepsi legisme-positivistik yang berpandangan bahwa hukum identik dengan norma-norma hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa (pejabat yang berwenang). Sedang yang kedua adalah konsepsi yang justru menekankan arti pentingnya norma-norma hukum tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal ini norma hukum agama (meskipun tertulis dalam kitab-kitab suci dan kitab-kitab yang ditulis para ahli hukum agama) dan hukum adat masyarakat setempat. 3. Teknik Analisis Bahan Hukum Kegiatan inventarisasi hukum positif dalam penelitian ini bukan sekedar mengumpulkan bahan-bahan hukum positif, melainkan dilakukan melalui proses identifikasi yang kritis-analitis dan selanjutnya melalui proses klasifikasi yang logissistematis. Setelah melalui proses identifikasi dan klafisikasi terhadap bahan-bahan 9 Ronny Hanitijo Soemitro, op. cit., hlm. 13. 15 hukum primer, sekunder dan tersier, selanjutnya dilakukan pengkajian terhadap isi dari bahan-bahan hukum tersebut melalui metode analisis isi (content analysis) dengan melakukan interpretasi secara historis, otentik, sistematis, tekstual dan kontekstual (sosiologis). Hasil dari analisis isi ini kemudian dideskripsikan secara sistematis dalam laporan hasil penelitian. F. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN, berisi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA, berisi uraian tentang: Definisi Anak, Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak, Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi, Kewenangan Peradilan Agama Tentang Pengesahan Asal Usul. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, berisi pembahasan masalah tentang: (1) Kedudukan Anak di Luar Perkawinan Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010; (2) Proses Pengesahan Anak di Luar perkawinan di Pengadilan Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010; dan (3) Akibat Hukum Adanya Pengesahan Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, khususnya menyangkut Hubungan Nasab Anak di Luar Perkawinan dengan Orang Tua Biologis dan Hubungan Kewarisan Antara Anak di Luar Perkawinan dengan Ayah Biologis. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran (rekomendasi) kepada pihak terkait, khususnya MKRI dan Pengadilan Agama. 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Anak Definisi mengenai anak banyak ditemui dalam beberapa peraturan perundangundangan yang mengatur masalah anak, di antaranya adalah: a. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, memberikan definisi: “Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya”.10 b. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah, memberikan definisi: “Anak adalah sebagai tunas bangsa merupakan generasi penerus dalam pembangunan bangsa dan Negara”.11 c. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, memberikan definisi: “Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.12 d. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, memberikan definisi: “Anak adalah amanah dan karunia 10 Konsideran huruf (a) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 11 Konsideran huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah. 12 Konsideran huruf (a) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 17 Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya”.13 B. Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak Masa depan bangsa terletak pada keadaan dan kesejahteraan anak masa kini, begitulah ungkapan yang sering kita dengar bila sedang membicarakan persoalan anak. Sayangnya, ungkapan itu tidak berbanding lurus dengan realitas yang ada. Dalam realitas masih banyak anak yang tidak beruntung dalam pemenuhan hakhaknya. Hak-hak tersebut secara mendasar meliputi antara lain hak atas kelangsungan hidup, tumbuh berkembang, perlindungan hukum dan partisipasi, termasuk hak atas pendidikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Muladi14 disebutkan bahwa “hak” adalah: (1) yang benar; (2) milik, kepunyaan; (3) kewenangan; (4) kekuasaan untuk berbuat sesuatu; (5) kekuasaan yang benar atas suatu atau untuk menuntut sesuatu; (6) derajat atau martabat; (7) (hukum); wewenang menurut hukum. Pengertian yang beragam dan luas tersebut pada dasarnya mengandung prinsip bahwa hak adalah sesuatu yang oleh sebab itu seseorang (pemegang) memiliki kebebasan untuk menuntut sesuatu yang dianggap tidak dipenuhi atau diingkari. Seseorang yang memegang hak atas sesuatu, maka orang tersebut dapat memperlakukan sesuatu tersebut sebagaimana dikehendaki atau sebagaimana keabsahan dimilikinya. Sedang, “hak asasi” adalah kebutuhan yang bersifat mendasar dari umat manusia. Hak asasi merupakan hak natural (alami/kodrati) yang merupakan pemberian langsung dari Tuhan. Oleh karena itu, bila seorang manusia ingin memperoleh kehidupannya secara bermartabat, maka harus memposisikan hak asasi dengan melihatnya dari sudut alamiah atau kodratnya secara hakiki. Adanya penekanan hak pada hukum alam memberi indikasi dan bukti bahwa hukum alam memihak kepada kemanusiaan, dalam bentuk hak asasi sejak 13 Konsideran huruf (b) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 14 Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakikat,Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 227-228. 18 kelahirannya, hak hidup merupakan hak asasi manusia (HAM) pertama. Oleh karena itulah, penyebutan istilah “hak asasi manusia” semula adalah “hak-hak alamiah” (natural rights), kemudian diganti istilah yang lebih populer disebut “human rights”. Dalam perkembangannya lebih jauh, bahkan hingga dewasa ini, hak asasi manusia yang dikenal sebagai fundamental rights meliputi moral rights dan legal rights.15 Pada dasarnya ada dua hak dasar pada manusia, yaitu: pertama, hak-hak manusia (human rights) yang melekat pada manusia dan secara asasi ada sejak manusia dilahirkan. Ia berkaitan dengan eksistensi hidup manusia, bersifat tetap dan utama, tidak dapat dicabut, termasuk oleh negara atau pemerintah. Wujud hak ini di antaranya adalah berupa: kebebasan batin, kebebasan beragama, kebebasan hidup pribadi atau nama baik, melakukan pernikahan, kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat, termasuk emansipasi wanita. Hak-hak yang sifatnya asasi ini biasanya diatur dalam konsitusi suatu negara. Kedua, hak-hak manusia yang diatur dalam undang-undang (legal rights), yaitu hak yang diberikan secara khusus kepada pribadi manusia berdasarkan ketentuan undang-undang. Oleh karena diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang, maka pengaturannya harus jelas tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Sifatnya, sewaktu-waktu dapat dicabut atau diubah apabila memang dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Hak-hak khusus yang diberikan oleh undang-undang di antaranya hak seseorang menjadi Pegawai Negeri Sipil, hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan umum, hak atas pensiun, jaminan hari tua, hak untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak, dan lain-lain.16 Hak-hak manusia disebut hak asasi, karena dianggap sebagai fundamen yang di atasnya seluruh organisasi hidup bersama harus dibangun dan merupakan asas-asas undang-undang. Makna hak asasi itu menjadi jelas apabila pengakuan akan hak-hak tersebut dipandang sebagai bagian humanisasi hidup yang mulai ada dan digalang sejak manusia menjadi sadar tentang tempat, kedudukan dan tugasnya di dunia ini. Di 15 Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 8-9. 16 Abdul Rokhim, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar kawin Dalam Perspektif Hak Asasi Manuasia, Unisma, Malang, 2011, hlm. 46 19 Indonesia, ketentuan mengenai hak asasi tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan beberapa pasal dalam UUD 1945, khususnya pasal 27 sampai dengan pasal 34. Di samping itu, pengaturan mengenai masalah HAM di Indonesia juga terdapat pada peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan khusus mengenai perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Persoalannya adalah, siapa yang bertanggungjawab terhadap perlindungan hakhak asasi manusia (HAM) ini? Secara teori ada dua pendapat mengenai siapa yang bertanggungjawab atas masalah perlindungan hak asasi manusia. Pertama, adalah menjadi kewajiban pemerintah atau suatu negara hukum untuk mengatur pelaksanaan hak-hak asasi manusia, yang berarti pemerintah wajib mengatur mengenai pelaksanaan dan pembatasan-pembatasannya demi kepentingan umum (masyarakat), bangsa dan negara. Pandangan kedua, menyatakan bahwa pertanggungjawaban tidak harus berada pada negara, namun juga pada segenap individu warga negara. Jadi secara bersama-sama negara (pemerintah) dan semua warga negara mempunyai kewajiban (tanggungjawab) dalam upaya perlindungan hak asasi manusia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: (1) bahwa kepentingan HAM tidak hanya menyangkut kepentingan negara semata, tetapi juga menyangkut kepentingan warga negara; (2) HAM yang seutuhnya itu bersumber pada pertimbangan normatif agar manusia diperlakukan sebagaimana martabat manusia yang sesungguhnya; (3) Operasionalisasi kegiatan HAM memiliki tanggungjawab bersama antara manusia dalam struktur negara yang saling berinteraksi dan harus diwujudkannya.17 17 Muladi, op. cit., hlm. 230. 20 C. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi Berbicara tentang Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) tidak terlepas dari kajian terhadap kasus Judicial review yang sangat terkenal dalam hukum Amerika, yaitu : William Marbury Vs Madison pada tahun 1803 yang mengorbitkan nama John Marshall yang berkedudukan sebagai Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, yang untuk pertama kalinya Mahkamah Agung menyatakan bahwa UndangUndang Federal sebagai Unconstitutional.18 Dengan adanya putusan atas kasus William Murby Vs Madison tersebut maka berkembanglah praktek hukum yang diikuti dan menjadi preseden di banyak negara bahwa hak menguji merupakan suatu tatanan yang berkaitan erat dengan konsep hukum dasar dan hukum tertinggi dalam suatu negara. Dari sudut pandang ini, dasar tujuan dari hak menguji adalah melindungi konstitusi dari pelanggaran atau penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh badan legislatif atau tindakan-tindakan eksekutif. Tidak semua negara menyebut lembaga baru itu dengan istilah Mahkamah Konstitusi. Perancis misalnya menyebut dengan Dewan Konstitusi (Counseil Constitutionnel), Belgia menyebutnya Arbitrase Konstitusional (Constitusional Arbitrage), karena lembaga ini dianggap bukan pengadilan dalam arti yang lazim. Oleh karena itu, para anggotanya juga tidak disebut hakim. Persamaan dari ke-78 negara itu adalah pada Mahkamah Konstitusi yang dilembagakan tersendiri di luar Mahkamah Agung, dan Indonesia merupakan negara yang ke-78 dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003.19 Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu, antara lain: Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan 18 19 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 85. Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RI., Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 4. 21 bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Ketiga UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR) ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antar lembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya.20 Belajar dari jatuh bangunnya pimpinan pemerintahan (Presiden) di Indonesia yang tidak berdasarkan mekanisme ketatanegaraan yang universal dan melalui proses konstitusional yang baik, maka setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. 20 Janedjri M.Gaffar, Peran Mahkamah Konstitusi 22 3. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia telah ada sejak disahkannya rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi pada sidang tahunan MPR tahun 2001 yang merupakan perubahan ketiga dari UUD 1945. Pada umumnya negara-negara mengakui supremasi undang undang dasar di atas segala peraturan perungang undangan lainnya, hal ini terbukti dari cara mengubahnya yang memerlukan prosedur yang lebih berat dari pada pembuatan sebuah undang undang. Sebagaimana K.C.Where mengemukakan, dengan menempatkan konstitusi pada kedudukan yang tinggi (Supreme) ada semacam jaminan bahwa konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi tidak akan dirusak dan diubah begitu saja secara sembarangan. Perubahannya harus dilakukan secara hikmat, penuh kesungguhan dan pertimbangan yang mendalam. Agar maksud ini dilaksanakan dengan baik maka perubahannya pada umummya mensyaratkan adanya suatu proses dan prosedur yang khusus atau istimewa.21 Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945. Berdasarkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah 21 K.C.Wheare, “Modern Constitution”, dalam Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Perkasa, 2003, hlm. 64 23 lembaga negara, yakni Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara. Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat. Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Mahkama Konstitusi menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan mengatakan posisi dan kedudukan Mahkamah Konstitusi lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga negara lainnya. Prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama lain. Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum. 24 4. Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Perubahan Ketiga Undang Undang Dasar 1945 yang mengadopsi pembentukan Mahkamah Konstitusi (MKRI) sebagai lembaga yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) memberikan kedudukan dan fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik oleh penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Fungsi dan peran utama Mahkamah Konstitusi adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia, sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi. Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, Mahkamah Konstitusi menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi. Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil maupun formil yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang lebih tinggi derajat dan hierarkinya. Jika pengujian itu dilakukan terhadap isi undang undang atau peraturan 25 perundang-undangan lainnya, dinamakan sebagai hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht), jika pengujian itu dilakukan terhadap prosedur pembentukannya, disebut hak menguji formal (formele toetsingsrecht).22 Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie menguraikan sebagai berikut: “Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional ditengah kehidupan masyarakat. Mahkamah konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Ditengah kelemahan sisten konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat”.23 Fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu: (1) memutus sengketa antar lembaga negara, (2) memutus pembubaran partai politik, dan (3) memutus sengketa hasil pemilu. Fungsi lanjutan semacam itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan (antar lembaga negara) yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf (a) sampai dengan huruf (d) UndangUndang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah: (1) Menguji undang-undang terhadap UUD 1945; 22 Sri Soemantri M., Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 60 Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal MKRI, 2004, hlm. iv. 23 26 (2) Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; (3) Memutus pembubaran partai politik; (4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. D. Kewenangan Peradilan Agama Tentang Pengesahan Asal Usul Anak dan Kewarisan 1. Tentang Pengesahan Asal Usul Anak Kekuasaan mengadili bagi Pengadilan Agama ditentukan oleh Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang telah diubah dengan Undangundang Nomor 3 Tahun 2006, dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi: (1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf dan shadaqah. Kemudian ketentuan tersebut diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, merupakan perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2009 tentang 27 Peradilan Agama yang telah memberikan perluasan bagi kompetensi Peradilan Agama yaitu menyangkut yurisdiksi di bidang ekonomi syari’ah. Perubahan ketentuan di atas terdapat dalam angka 37 Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 yang berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perkara ditingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari’ah. Dalam penjelasan Pasal 49 tersebut, terdapat dua (2) butir kekuasaan Pengadilan Agama di antara 22 butir kekuasaan mengadili bagi pengadilan agama, yang terdapat pada penjelasan Pasal 49 huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, yakni: 1) angka 14 mengenai “putusan sah tidaknya seorang anak”, dan 2) angka 20 mengenai “penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.” Sehubungan dengan kewenangan tersebut di atas, untuk menyikapi putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010, Pengadilan Agama dapat menerima permohonan tentang pengesahan anak, penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak sepanjang memenuhi syarat-syarat yang berpedoman kepada: a. Pasal 28-B ayat 1 UUD tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui Perkawinanan yang sah”. b. Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” c. Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepecayaannya itu”; dan ayat (2), yaitu: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”. d. Pasal 99 huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam, yangt berbunyi : “ Anak yang 28 sah adalah: (1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. (2) Hasil pembuahan susmi isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Penetapan/putusan Pengadilan Agama tentang pengesahan anak dan asal usul anak itu akan menjadi dasar bagi Kantor Catalan Sipil untuk menerbitkan Akta Kelahiran. Dapat dimaklumi bahwa sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 bahwa dalam hal kekuasaan untuk menetapkan pengesahan anak oleh Pengadilan Agama dianggap belum berlaku efektif sebab berdasar Pasal 43 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa ketentuan dalam undang-undang baru berlaku efektif hanya setelah diatur oleh Peraturan Pemerintah. Namun setelah lahirnya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, segala ketentuan dalam undangundang tersebut sejak diundangkan tanggal 29 Desember 1989 telah berlaku efektif tanpa menunggu pengaturan oleh Peraturan Pemerintah, kecuali yang tegastegas dalam pasal yang bersangkutan disebutkan demikian. Ini berarti kekuasaan Pengadilan Agama terhadap penetapan pengesahan anak, asal-usul anak dan pengangkatan telah sepenuhnya berlaku secara efektif. Adapun Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 yang b e r b u n y i h a r u s d i b a c a : “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ", maka Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga secara otomatis ketentuan tentang tidak berlakunya Pasal 43 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut juga berlaku terhadap ketentuan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi : “ Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya." 29 Oleh Karena ketentuan yang ada dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 Kompilasi hukum Islam tersebut oleh Mahkamah Konstitusi sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga bagi Majelis Hakim Pengadilan Agama tidak dapat lagi menjadikan kedua pasal tersebut sebagai pijakan hukum (legal reasoning) dalam memutus suatu perkara. 2. Tentang Kewarisan Kewenangan Pengadilan Agama didalam memeriksa dan mengadili sengketa maupun perkara permohonan tentang kewarisan diatur didalam pasal 49 huruf (b) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk memeriksa dan mengadili perkara bagi orang orang yang beragama Islam baik perkara yang diajukan dalam bentuk gugatan karena adanya sengketa (Contentiosa) yang produk hukumnya berupa putusan (vonis) maupun yang diajukan dalam bentuk permohonan (Voluntair) yang produk hukumnya berupa penetapan (beschiking). Penjelasan pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, berbunyi sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan masing masing ahli waris.” Sedangkan yang dimaksud dengan kalimat “antara orang orang yang beragama Islam” dalam penjelasan pasal 49 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 disebutkan: Yang dimaksud dengan “antara orang orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. Dari penjelasan pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 30 tersebut dapat difahami dengan jelas tentang kewenangan Pengadilan Agama untuk memeriksa dan mengadili perkara permohonan penetapan ahli waris yang diajukan tanpa adanya sengketa (voluntair). Adapun didalam menyelesaikan perkara kewarisan baik yang diajukan dalam bentuk gugatan karena adanya sengketa (Contentiosa) maupun yang diajukan dalam bentuk permohonan (Voluntair ) Pengadilan Agama menerapkan asas personalitas keislaman dimana hukum terapan Pengadilan Agama di bidang waris adalah hukum kewarisan KHI (Kompilasi Hukum Islam) dan yurisprudensi yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadits Nabi dan Ijtihad.24 24 Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI, 2009, hlm. 190. 31 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kedudukan Anak di Luar Perkawinan Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Untuk membahas kedudukan anak di luar perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terlebih dahulu penulis memaparkan pengertian anak yang dilahirkan di luar perkawinan dengan sudut pandang sebagai berikut: 1. Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Tentang kedudukan seorang anak yang dilahirkan di dunia ini tidak terlepas dari berlangsungnya hubungan kelamin (coitus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berakibat adanya pembuahan antara ovum dan sperma baik dengan adanya proses perkawinan atau tanpa adanya proses perkawinan. Akibat dari adanya hubungan kelamin (coitus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagaimana diuraikan di atas, berdasarkan kajian perundangundangan yang ada akan timbul 3 (tiga) macam status kelahiran, yaitu: 1) Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah; 2) Anak yang lahir di luar perkawinan; dan 3) Anak yang lahir tanpa perkawinan (anak hasil zina). a. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa Perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sekalipun Indonesia bukan sebagai negara agama, namun tidak dapat dipungkiri bahwa nilai-nilai agama oleh pembuat undang-undang telah dijadikan 32 sebagai sumber pembentukan hukum (source of legislation) di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (1) disebutkan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, berdasarkan uraian di atas sehingga aturan perkawinan nasional Indonesia tidak hanya sebatas hubungan keperdataan antara pasangan suami isteri, tetapi hubungan perkawinan tersebut juga dimaknai sebagai hubungan yang bersifat suci (transcendental) yang tetap berpedoman kepada atauran agama masing-masing. Bahkan, bagi umat Islam keterkaitan antara urusan duniawi dan ukhrawi didalam perkawinan secara tegas disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB II Pasal 2 yang berbunyi “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Dalam pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, semakin nyata bahwa perkawinan dalam aturan nasional tidak terlepas dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia karena dikatakan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pelaksanaan perkawinan di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur syarat-syarat materil dan formil pernikahan yang mesti dipenuhi oleh masing-masing calon mempelai. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka secara hukum formal perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 selain menentukan syarat materiil perkawinan juga mengatur syarat formil sebagai syarat yang ditentukan oleh negara dengan tujuan untuk mewujudkan tertib perkawinan di Indonesia. Dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dijelaskan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.3 Selama ini masih terjadi ambiguitas dalam memaknai syarat materiil dan formil perkawinan di Indonesia, dalam arti apakah syarat formil hanya sebatas berkaitan dengan administrasi perkawinan ataukah mempengaruhi syarat materiil. Semestinya untuk mewujudkan kepastian hukum dalam perkawinan di Indonesia dan agar tujuan negara dalam mewujudkan tertib administrasi perkawinan terwujud, 33 pencatatan perkawinan semestinya dikukuhkan bukan hanya pada tataran administratif tetapi juga diintegrasikan menjadi syarat materil perkawinan. Jadi perkawinan dianggap sah bukan hanya semata memenuhi rukun serta syarat perkawinan yang ditentukan oleh agama dan kepercayaannya masingmasing, tetapi perkawinan dikatakan sah jika dicatatkan pada instansi yang berwenang untuk itu. Kondisi tersebut dapat dimaknai dari ketentuan Perubahan Kedua UndangUndang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Apabila sutau perkawinan dilakukan menurut aturan yang berlaku menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka akan dinyatakan sebagai perkawinan yang sah dan akan melahirkan anak yang sah. Sehingga dapat dinyatakan anak sah adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah, perkawinan yang mengikuti prosedur Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Kedudukan anak yang sah dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan antara lain: a. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, pada Pasal 28-B ayat (1), yaitu: Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42, yaitu: Anak yang sah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. c. Pasal 2 ayat (1), yaitu: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; d. Pasal 2 ayat (2), yaitu: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu akibat dari perkawinan yang sah, anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut adalah anak sah, memiliki hubungan keperdataan secara sempurna dengan kedua orang tuanya, sebagaiman ketentuan pasal 4 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 99 Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 34 Hubungan keperdataan yang dimaksud meliputi hak nasab (garis keturunan) anak dihubungkan kepada ayah (dalam Islam), hak pemenuhan nafkah dari orang tua terhadap anak, hak pemeliharaan dan pendidikan (hadhanah), hak saling mewarisi, hak perwalian nikah bagi ayah atas anak perempuan, dan hak-hak keperdataan lainnya. Dengan terpenuhinya kedudukan hukum sebagai anak yang sah bagi anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah ini, sehingga bukan lagi merupakan titik pembahasan dalam penulisan ini, maka penulis memandang tidak perlu diperluas pembahasannya kecuali dua macam anak yang akan diuraikan di bawah ini. b. Anak yang Lahir di Luar Perkawinan Perkawinan yang dicatatkan menurut ketentuan pasal 2 ayat (2) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membawa akibat hukum dalam bentuk jaminan perlindungan hukum dari pemerintah (negara) secara berkepastian mengenai hubungan hukum berupa hak dan kewajiban antara suami dan isteri, termasuk hubungan hukum yang timbul sebagai akibat dari perkawinan tersebut antara orang tua dengan anak-anak yang dilahirkannya. Jaminan perlindungan hukum juga diberikan oleh undang-undang dari kemungkinan gangguan dari pihak ketiga yang mempermasalahkan perkawinan yang sudah dicatatkan tersebut. Sebaliknya, jika perkawinan itu hanya dilakukan menurut syarat rukun hukum agama saja, akan tetapi tidak dicatatkan (nikah di bawah tangan) maka dapat menimbulkan akibat-akibat hukum berikut ini: 1. Perkawinan antara pasangan suami dan isteri yang tidak dicatat tidak mendapatkan perlindungan hukum. Jika terjadi sengketa antara suami isteri, misalnya salah satu pihak mengingkari perkawinan tersebut, sulit dilakukan pembuktian secara otentik adanya perkawinan yang sah di antara mereka. 2. Adanya perkawinan yang sulit dibuktikan, akan menimbulkan ketidakjelasan hubungan nasab anak yang dilahirkan dengan ayahnya, karena yang 35 bersangkutan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Akibatnya, timbul kesulitan dalam menentukan mahram maupun wali nikah. 2. Karena tidak ada alat bukti perkawinan berupa akta nikah, jika terjadi sengketa pihak isteri sulit untuk menuntut perceraian, nafkah, mut’ah maupun pembagian harta bersama (gono gini). 3. Tidak adanya alat bukti perkawinan seseorang jika terjadi sengketa akan menyulitkan para ahli waris yang lahir dari perkawinan itu untuk mengajukan gugatan atas harta waris atau peninggalan orang tersebut di hadapan sidang pengadilan. 4. Tidak adanya alat bukti berupa akta nikah akan menyulitkan anak yang lahir dari perkawinan tersebut dalam mengurus akta kelahiran pada Kantor Catatan Sipil.25 Dalam konteks pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin di bawah tangan, kawin syar'i, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai. 5 Perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara material telah memenuhi ketentuan syari’at sesuai dengan maksud pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat (2) pasal tersebut jo pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.26 Secara umum yang dimaksud perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang tidak dilakukan di depan dan atau dicatat secara resmi oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), sehingga keberadaannya secara administrasi tidak terdaftar dan sekaligus tidak dapat diawasi oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN). Namun dari beberapa ketentuan pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam pernikahan yang tidak secara dicatatkan dan dilakukan di depan Petugas Pencatat Nikah (PPN) ini dinyatakan sah secara agama, tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak mempunyai 25 Abdul Rokhim, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar Kawin dalam Prespektif Hak Asasi Manusia”, Unisma, Malang, 2011, hlm. 59 26 Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Pustaka Dinamika, Yogyakarta, 2002, hlm. 110. 36 bukti autentik berupa Kutipan Akta Nikah sebagai bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.27 Perkawinan tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan hukum yang tidak dikehendaki oleh undang-undang; karena terdapat kecenderungan kuat dari segi sejarah hukum perkawinan, bahwa perkawinan tidak tercatat termasuk perkawinan ilegal. Meskipun demikian, dalam Pasal 5 ayat (1) KHI terdapat informasi implisit bahwa pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah perkawinan; tetapi sebagai alat untuk menciptakan ketertiban perkawinan. Oleh karena itu, dalam Pasal 7 ayat (3) KHI diatur mengenai Itsbat nikah bagi perkawinan tidak tercatat. Dengan kata lain, perkawinan tidak tercatat adalah sah; tetapi kurang sempurna. Ketidaksempurnaan itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) KHI. Dalam penjelasan umum Pasal 7 KHI bahwa pasal ini diberlakukan setelah berlakunya undang-undang peradilan agama.28 Terjadinya perkawinan tidak tercatat (nikah dibawah tangan) biasanya dilakukan di kalangan terbatas, di muka Pak Kiai atau tokoh agama, tanpa kehadiran petugas KUA, dan tentu saja tidak memiliki surat nikah yang resmi. Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Perkawinan tidak tercatat secara agama adalah sah manakala memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Meskipun demikian, karena pernikahan tersebut tidak tercatat maka dalam hukum positif dianggap tidak sah karena tidak diakui negara (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).29 Secara hukum, menurut Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah dibawah tangan) hanya mempunyai hubungan hukum keperdataan 27 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 6 ayat (2) berbunyi “perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum “. 28 Chatib Rasyid, Materi Seminar “Status Anak diluar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya”, IAIN Walisongo Semarang, 10 April 2012. 29 Moh. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dari Segi Perkawinan Islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hlm. 224. 37 dengan ibu dan keluarga ibu yang melahirkannya. Anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang tidak dicatatkan, dalam konsep hukum perdata Barat dikategorikan sebagai “anak luar kawin” (onwettig kind). Dalam konsep hukum Islam tidak dikenal istilah “anak luar kawin”, karena dalam pandangan hukum Islam tidak ada keharusan (ketentuan yang mewajibkan) untuk melakukan pencatatan perkawinan. Menurut hukum Islam, perkawinan (akad nikah) harus dilakukan menurut syarat-syarat dan rukun perkawinan sesuai dengan syariat (hukum Islam). Dengan demikian, hukum Islam tidak membedakan kedudukan hukum anak yang dilahirkan dari nikah sirri dan anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang dicatatkan menurut ketentuan undang-undang. Pandangan hukum Islam tersebut sejalan dengan konsep hak asasi anak yang sama sekali tidak membedakan antara “anak sah”, yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut undang-undang dan “anak tidak sah”, yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah menurut undang-undang. Persoalannya adalah bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh ketentuan undang-undang terhadap “anak yang tidak sah” menurut undang-undang, yang lazim disebut “anak luar kawin”? Dalam uraian di atas telah disebutkan bahwa dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) tidak ada diskriminasi terkait dengan status (kedudukan) hukum anak dengan melihat keabsahan dari perkawinan orang tua yang melahirkannya. Dengan perkataan lain, semua anak di depan hukum sama, tidak ada perbedaan sedikitpun mengenai kedudukan hukum anak ditinjau dari sudut pandang HAM. Meskipun demikian, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang sah dengan yang tidak sah menurut undang-undang memiliki implikasi yang berbeda, khususnya mengenai tanggungjawab orang tua terhadap anaknya. Sebab, secara hukum, menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan hanya memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ibu dan 38 keluarga ibunya saja,30 ia tidak memiliki hubungan hukum keperdataan dengan bapak biologis maupun keluarga dari bapak biologisnya itu. Dengan demikian, anak luar kawin secara hukum tidak memiliki orang tua (bapak dan ibu) sebagai satu kesatuan yang bertanggungjawab kepadanya. Oleh karena itu, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak luar kawin juga tidak sama dengan anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut undang-undang, walaupun dalam perspektif HAM hal itu tidak dibedakan.31 Orang yang melakukan pernikahan dibawah tangan atau nikah sirri tidak tercatat di Pejabat Pencatat Nikah (PPN) dengan tanpa memenuhi ketentuan hukum perkawinan yang berlaku sebenarnya mereka dengan sadar telah menghindar dari tanggung jawab untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak mereka dan sengaja keluar dari sistem hukum perkawinan yang berlaku bagi dirinya (pasangan suami isteri) dan anak anaknya yang akan dilahirkan kemudian sebagai orang Islam Indonesia. Dari beberapa uraian yang berkaitan dengan kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan (nikah di bawah tangan) menurut pendapat penulis sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia bahwa status anak yang lahir dari nikah di bawah tangan (nikah yang hanya memenuhi pasal 2 ayat (1) saja dari Undang undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ) menurut hukum positif anaknya tidak sah, karena nikahnya tidak sah, sebab tidak memenuhi pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. c. Anak yang Lahir Tanpa Perkawinan (Anak Hasil Zina) Pembicaraan perkawinan dan segala permasalahannya tentu tidak lepas dengan status anak yang dilahirkan, baik yang dilahirkan sebagai akibat hubungan suami isteri yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang terikat tali perkawinan yang sesuai dengan ketentuan agama maupun hubungan suami isteri di antara laki-laki dan perempuan yang tidak melaui ikatan perkawinan. 30 31 Pasal 43 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam. Abdul Rokhim, op. cit, hlm. 82 39 Untuk kasus yang pertama tidaklah menjadi pembahasan di sini, yang menjadi bahasan di sini adalah kasus yang kedua. Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara khusus dan pasti tentang pengelompokan jenis anak, sebagaimana pengelompokan yang terdapat dalam hukum perdata umum. Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang kriteria anak sah (yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Sedangkan dalam Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang status anak li’an (sebagai akibat pengingkaran suami terhadap janin dan/atau anak yang dilahirkan isterinya). Dengan demikian, jelas bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak ada mengelompokkan pembagian anak secara sistematis yang disusun dalam satu Bab tertentu, sebagaimana pengklasifikasian yang tercantum dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal 42 Bab IX Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menjelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Yang termasuk dalam kategori pasal ini adalah: 1. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah. 2. Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawainan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi. 3. Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh suami. Karena itu untuk mendekatkan pengertian “anak di luar nikah” akan diuraikan pendekatan berdasarkan terminologi yang tertera dalam kitab fikih 32 yang dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang status anak yang tertera dalam pasal-pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Ulama fikih membuat terminologi “anak zina” sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami isteri yang tidak sah. Hubungan suami isteri yang 32 Lihat Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwaal al-Syakhshiyah, Dar Alfikr al-‘Araby, Beirut,1957, hlm. 404; lihat juga Wahbah Al-Zuhaily, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Dar Alfikr Al Ma’ashir, Beirut, Juz VII, hlm. 675. 40 tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan. Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun belum menikah. Meskipun istilah “anak zina” merupakan istilah yang popular dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus di dalamnya. Hal tersebut mungkin bertujuan agar “anak” sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan korban sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus untuk menunjukkan identitas Islam yang tidak mengenal adanya dosa warisan. Untuk lebih mendekatkan makna yang demikian, pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya menyatakan “seorang suami dapat menyengkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak zina” sebagaimana definisi yang dikemukaan oleh ulama fikih di atas, adalah istilah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya” Semakna dengan ketentuan tersebut, pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”. Secara penafsiran a contrario di dalam buku Pedoman Teknis administrasi dan Teknis Peradilan Agama (Buku II) memberikan pengertian “anak sah adalah anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah (Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 1974 jo. Pasal 99 KHI). Sebaliknya, anak yang tidak sah adalah anak nyang 41 lahir diluar perkawinan yang sah atau lahir diluar perkawinan yang sah atau lahir dalam perkawinan yang sah akan tetapi disangkal oleh suami dengan sebab li’an”. 33 Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan anak zina dalam pembahasan ini adalah anak atau janin yang pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan di luar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina. Pendekatan istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”, berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata umum, sebab dalam perdata umum, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, di mana salah seorang atau kedua-duanya terikat satu perkawinan dengan orang lain. Karena itu anak luar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak zina. Perbedaan anak zina dengan anak luar kawin menurut hukum perdata adalah: 1. Apabila orang tua salah satu atau keduannya masih terikat dengan perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut disebut anak zina. 2. Apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama bujang (jejaka, perawan, duda dan janda), mereka mengadakan hubungan seksual dan melahirkan anak maka anak itu disebut anak luar kawin. Dengan demikian sejalan dengan pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang rumusannya sama dengan pasal 100 KHI, adalah: “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Yang termasuk anak yang lahir di luar perkawinan adalah: 1. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya. 2. Anak Yang dilahirkan oleh wanita akibat korban perkosaan oleh satu orang pria atau lebih. 33 Buku Pedoman Teknis administrsi Dan Teknis Peradilan Agama ( Buku II edisi revisi ), Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2009, hlm. 182-183. 42 3. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang dili’an (diingkari) oleh suaminya. Adapun anak li’an sekalipun Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 maupun Kompilasi hukum Islam (KHI) tidak terlihat secara tegas menentukan status anak li’an, namun kalangan fuqoha menjelaskan sebagai berikut: “Anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah, dan anak li’an adalah anak yang secara hukum tidak dinasabkan kepada bapaknya, setelah suami isteri saling meli’an dengan sifat tuduhan yang jelas”.34 Mencermati materi dalam Undang undang Nomor 1 tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) terlihat adanya persamaan dalam merumuskan definisi “anak zina” dengan sebutan “anak yang lahir diluar perkawinan” dengan memberikan kedudukan atau status mereka yang hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, kedudukan hukum tersebut telah sejalan dan tidak berbeda dengan ketentuan yang ada dalam hukum Islam (fiqh). Sehingga menurut pendapat penulis kedudukan anak zina yang lahir tanpa adanya perkawinan yang sah tersebut kedudukannya tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil. Setelah diuraikan tentang kedudukan dan pengertian anak diluar perkawinan menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, maka selanjutnya penulis akan menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam Prespektif Hukum Islam. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang dibacakan pada tanggal 17 Pebruari 2012 yang lalu terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin, menarik perhatian banyak kalangan masyarakat. Kondisi tersebut dapat dilihat dari banyaknya tanggapan baik yang pro maupun kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, para civitas akademika, Majelis Ulama Indonesia (MUI), pengurus organisi keagamaan dan bahkan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan kekuatan mengikat putusan mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak berperkara/Pemohon ( in casu 34 Fathurrahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Firdaus, Jakarta, 1999, hlm. 104. 43 (1) Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan (2) Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono) saja, tetapi juga putusan tersebut juga mengikat bagi semua orang, lembaga negara, badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia, karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes yang ditujukan pada semua orang.35 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai pengakuan anak di luar perkawinan tersebut “mengejutkan” karena amar (dictum) putusannya tidak seperti yang difahami dan diajarkan oleh kebanyakan para ulama’ serta pemerhati hukum Islam di Indonesia, sehingga hal tersebut mendapat tantangan yang cukup kuat sampai saat ini sehingga menyisakan permasalahan baru yang timbul dari putusan mahkamah konstitusi tersebut. Putusan MKRI Nomor: 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara RI. No. 3019) yang m e n y a t a k a n , “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan lakilaki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya", tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata 35 Maruar Siahaan, op. cit, hlm. 214. 44 mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ". Atas dasar kondisi obyektif tersebut di atas, penulis menganalisis putusan MKRI beserta pertimbangan hukum (legal reasoning) yang mendasari lahirnya putusan kedudukan anak lahir di luar nikah sebagaimana telah disebut sebelumnya. Jika menggunakan analisis hukum, putusan MKRI dalam kasus yang diajukan oleh Pemohon (1) Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim, dan (2) Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono, ada beberapa hal yang patut menjadi catatan, antara lain: Pertama, persoalan status anak yang lahir di luar perkawinan dari kasus Machica itu bermuara pada masalah pernikahan yang tidak tercatat. Tentang pelaksanaan Pencatatan Perkawinan oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) di Indonesia sampai saat ini belum berlaku secara efektif dilakukan oleh masyarakat Islam yang hendak melangsungkan pernikahan. Kewajiban bagi orang Islam Indonesia untuk mencatatkan pernikahannya tersebut diatur dalam Bab II Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku “dan ditegaskan oleh pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat ”. Di Indonesia ada perkawinan yang tercatat dan yang tidak tercatat. Pencatatan perkawinan di Indonesia senantiasa menjadi topik menarik karena ragam pendapat senantiasa muncul, baik sebelum terbentuk Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun sesudahnya. Berdasarkan 45 kitab-kitab yang dijadikan pedoman oleh Departemen Agama dalam menyelesaikan perkara dalam lingkungan Peradilan Agama, tidak terdapat ulama yang menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah pencatatan, baik sebagai syarat sah maupun sebagai syarat pelengkap. Akan tetapi, dalam undangundang perkawinan yang diberlakukan, pasal yang mengatur pencatatan perkawinan itu ada, sebagai bagian dari pengawasan perkawinan yang diamanatkan oleh undang-undang.36 Oleh karena di dalam fiqh munakahat tidak terdapat syarat perkawinan yang berupa pencatatan, maka sampai sekarang di masyarakat Islam Indonesia termasuk para ulama’ masih terdapat arus yang kuat yang mendikotomikan antara perkawinan yang sah menurut agama (fiqh) dan sah menurut negara. Tentang pendapat MKRI dalam pertimbangan hukumnya angka [3.12] halaman 33 yang mempertimbangkan permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan dengan memberikan makna bahwa diwajibkannya bagi masing masing calon mempelai untuk mencatatkan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang undangan merupakan kewajiban administratif, dengan beberapa ulasan pemikiran (legal reasoning) tentang pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, penulis sangat sependapat karena sejalan dengan konsepsi hukum Islam yang berkaitan dengan kaidah istinbatul hukmi yang berupa Mashlah al Mursalah. Untuk lebih jelasnya pertimbangan MKRI tersebut selengkapnya akan penulis salin sebagai berikut: “Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencacatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang 36 Chatib Rasyid, Makalah disampaikan pada Seminar Status Anak di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo Semarang. 46 diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-undang dan dilakukan dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945]. Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu kata otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asul-usul anak dalam Pasal 55 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktian dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibadingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya.37 Dari pertimbangan MKRI tersebut di atas dapat disimpulkan hal hal sebagai berikut: 1. Mengenai ketentuan pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 1974 tidak bertentangan dengan konstitusi, UUD 1945, karena mengenai pencacatan perkawinan tersebut diwajibkan oleh negara dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan (to protect), kepastian hukum dan 37 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 pebruarin 2012, hlm. 33-34. 47 pemenuhan hak asasi manusia yang dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. 2. Pencatatan perkawinan tidaklah membatasi hak asasi seseorang, karena pembatasan melalui pencatatan perkawinan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis (vide pasal 28J ayat (2) UUD 1945). 3. Selain itu pencacatan perkawinan juga ditujukan untuk tertib administrasi perkawinan berupa akta autentik (Kutipan Akta Nikah) dan juga guna menjamin kepastian hak-hak yang ditimbulkan dari perkawinan seperti hak waris, asal-usul anak dengan pembuktian di pengadilan yang lebih efektif. Di dalam hukum Islam Dalam nash al Qur’an maupun hadits tidak ada ketentuan yang secara jelas mengatur tentang pencatatan nikah (perkawinan). Hukum Islam memandang bahwa masalah perkawinan adalah suatu aqad (perjanjian), seperti halnya pada perjanjian-perjanjian yang lain, misalnya perjanjian jual beli (tijarah), perjanjian bagi hasil (syirkah). Dalam hukum Islam umumnya tidak ada keharusan formal untuk mencatat perjanjian yang dibuat oleh para pihak, kecuali dalam perjanjian utang piutang. Begitu pula dalam membentuk perjanjian perkawinan (aqad nikah), tidak ada kewajiban bagi umat Islam yang melangsungkan perkawinan untuk mencatatkannya. Dengan perkataan lain, umat Islam memiliki kebebasan membuat perjanjian perkawinan baik secara tertulis (dicatatkan) maupun secara lisan atau tidak dicatatkan (nikah sirri), karena memang tidak ada nash (ketentuan) yang mewajibkan untuk itu sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Oleh karena itu, bisa difahami kalau dalam praktek pelangsungan aqad nikah, banyak masyarakat di kalangan umat Islam, baik pada zaman dulu yang hidup dalam pergaulan masyarakat yang masih sederhana, bahkan di antara mereka masih banyak yang buta huruf, maupun umat Islam yang hidup pada zaman sekarang (modern) dengan berbagai faktor penyebab, 48 alasan dan motivasi, melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri). Umumnya, mereka berdalih bahwa menurut hukum Islam (syariat), nikah sirri itu sah hukumnya. Dalam kitab-kitab fiqh klasik (yang lazim disebut “kitab kuning”), para ulama fiqh (fuqaha) hampir dapat dikatakan tidak pernah menyinggung atau membahas tentang masalah pencatatan perkawinan (nikah). Pembahasan yang dilakukan umumnya berkisar pada masalah ta’rif (pengertian) nikah, hukum nikah, syarat dan rukun nikah, hak dan kewajiban suami isteri dalam perkawinan, putusnya perkawinan, dan sebagainya. Hal ini dapat dimaklumi karena ruang lingkup pergaulan hidup kaum muslimin pada saat itu relatif masih terbatas, belum kompleks, karena itu belum dirasakan perlunya percatatan perkawinan seperti dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Di samping itu, adanya sikap kepatuhan dan ketaatan hukum di kalangan umat Islam menyebabkan pada masa lalu jarang terjadi adanya sengketa tentang perkawinan yang berkepanjangan. Untuk melakukan pembuktian terhadap adanya suatu perkawinan di hadapan pengadilan, keterangan para saksi dan sumpah penggugat dianggap telah memadahi karena sikap adil dan jujurnya para pihak maupun para saksi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan zaman, luas dan kompleksnya pergaulan di antara umat Islam, di mana perkawinan tidak hanya terjadi di antara pasangan calon suami isteri dari kalangan kelompok masyarakat yang sempit melainkan telah menjangkau pada perkawinan antar ras, antar suku, antar bangsa, dan bahkan antar agama, maka pencatatan perkawinan, menurut Asjmuni A. Rahman, menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan.38 Untuk menyikapi hal itu, diperlukan suatu kearifan dalam mengkaji aspek hukum (Islam) tentang pencatatan perkawinan, karena pencatatan perkawinan terkait dengan tujuan pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang berkepastian hukum. 38 Abu Amar, “Problematika Pencatatan perkawinan di kalangan Umat Islam Sesudah Berlakunya UU No.1 Tahun 1974”, Tesis Program Magister Hukum Pascasarjana Unisma, Malang, 2004, hlm. 62. 49 Lebih jelas lagi Wahbah Al-Zuhaily dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu 39 secara tegas membagi syarat nikah yang harus dipenuhi, menjadi syarat syar’iy dan syarat tautsiqy. Syarat syar’iy maksudnya suatu syarat dimana keabsahan suatu peristiwa hukum tergantung kepadanya, yang dalam hal ini adalah rukun-rukun pernikahan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Sedangkan syarat tautsiqy adalah suatu yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai upaya antisipasi adanya ketidak jelasan di kemudian hari. Syarat tautsiqi tidak berhubungan dengan syarat sahnya suatu perbuatan, tetapi sebagai bukti adanya perbuatan itu. Misalnya hadirnya dua orang saksi dalam setiap bentuk transaksi adalah merupakan syarat tautsiqy, kecuali kehadiran dua orang saksi itu dalam perikatan pernikahan adalah merupakan syarat syar’iy, karena merupakan unsur pembentuk prosesi pernikahan itu dan yang menentukan pula sah atau tidak sahnya suatu peristiwa pernikahan, disamping sebagai syarat tautsiqy. Contoh syarat tautsiqy dalam al-Qur’an adalah syarat pencatatan jual beli dengan tidak secara tunai, sebagaimana ditegaskan dalam Surat al-Baqarah ayat 282, “Yaa ayyuhalladzina aamanuu idza tadayantum bidaidin illa ajalin musamma faktubuh” dan pada ayat setelahnya dinyatakan “wa in kuntum ‘ala safarin wa lam tajidu katiban farihanum maqbuudlah” Apabila penggalan dua ayat ini, dipahami secara tekstual belaka tanpa mengaitkannya dengan ajaran pada ayat berikutnya, maka kesimpulan yang segera diperoleh adalah adanya kemestian pencatatan utang piutang dan kewajiban memberikan barang tanggungan sebagai jaminan utang. seolah-olah utang-piutang tidak dianggap sah apabila tidak dicatatkan dan atau tidak ada barang jaminan. Di samping itu, menurut Muhammad Daud Ali,40 dengan mengutip pendapat dari Abu Ishaq as-Syatibi dalam Kitab Al Muwaafaqaat, pencatatan perkawinan juga sesuai dengan lima tujuan syariat (hukum Islam) atau al Maqashidu al Khamsah, yaitu: (1) memelihara kemaslahatan agama; 39 40 Wahbah Al-Zuhaily, Opcit, Juz.VIII, hlm. 36 Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hlm.192 50 (2) memelihara jiwa; (3) memelihara akal; (4) memelihara keturunan, dan (5) memelihara harta. Dalam kajian Ushul Fiqh, tujuan umum syari’ dalam pembentukan hukum ialah merealisasikan kemaslahatan manusia dan kehidupan, mengambil manfaat bagi mereka dan menghindari terjadinya bahaya bagi mereka. Kemaslahatan manusia dalam kehidupan sehari-hari secara garis besar terdiri dari beberapa hal yang bersifat dharuriyyah (keputuhan primer), haajiyyah (kebutuhan sekunder), dan tahsiiniyyah (kebutuhan pelengkap/tersier). Apabila kebutuhan umat manusia yang bersifat dharuriyyah, haajiyyah dan tahsiiniyyah telah terpenuhi, maka berarti telah nyata kemaslahatan mereka.41 Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Musthafa Ahmad al Zarqa memberikan penjelasan sebagai berikut: a. Al Dharuuriyyat (kebutuhan primer), yaitu perkara (aturan atau perbuatan) yang dapat menjaga kelima tujuan pokok hukum Islam (al Maqashidu al Khamsah) tersebut di atas. Menurut hukum Islam, kelima tujuan pokok tersebut harus ada supaya kehidupan menjadi layak. Apabila perkara tersebut tidak ada, maka kehidupan manusia terganggu. b. Al Haajiyyat (kebutuhan sekunder), yaitu perbuatan-perbuatan yang ketiadaannya tidak mengganggu kelima tujuan pokok tersebut di atas, akan tetapi kebutuhan hidup memerlukan atau menuntutnya dengan tujuan untuk mencari kelapangan (kemudahan) dan meniadakan kesulitan (kesempitan). c. Al Tahsiiniyyat (kebutuhan tersier), yaitu sesuatu yang tidak mendesak bagi kehidupan jika ditinggalkan, tetapi memeliharanya termasuk akhlak mulia atau merupakan kebiasaan baik.42 41 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Ilmu Usshulul Fiqh, Terjemahan Noer iskandar Al Barsany dan Moch.Tolchah Mansur, Raja Grafindo,Jakarta, 1996, hlm. 331 42 Musthofa Ahmad al-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 3739. 51 Atas dasar itulah, Ibrahim Hoesen, mantan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa pencatatan perkawinan sebagai suatu kewajiban dapat diterima secara terbuka oleh masyarakat Islam, khususnya di Indonesia. Oleh karena, dalam Al Qur’an, Hadits maupun kitab-kitab Fiqh tidak ada ketentuan dan tidak membahas masalah pencatatan perkawinan, maka hal itu merupakan persoalan Ijtihadi. Meskipun demikian, jelas hal itu membawa kemaslahatan bagi umat Islam, karena ia sangat diperlukan.43 Meskipun dalam kitab-kitab klasik, pembahasan tentang munakahat (pernikahan) telah banyak dikaji oleh para fuqaha’ secara luas dan mendalam, namun tak satupun di dalamnya ada yang membahas hukum mengenai pencatatan nikah. Karena masalah pencatatan perkawinan memang merupakan masalah hukum yang tergolong baru (kontemporer) dalam kehidupan umat Islam. Dalam kajian hukum Islam, para Mujtahid atau Imam Madzhab dengan menggunakan metode istinbath (pengambilan hukum) telah menetapkan berbagai hukum tentang perkawinan yang diikuti dengan taat oleh para pengikutnya di kalangan umat Islam, namun demikian tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab klasik itu yang membahas masalah pencatatan perkawinan. Mungkin saat itu, belum ada kebutuhan hukum mengenai pentingnya pencatatan perkawinan di kalangan umat Islam sehingga tidak terlintas dalam pemikiran para Imam Madzhab untuk membahas masalah tersebut. Namun dalam kehidupan modern seperti sekarang, dimana ruang lingkup pergaulan umat Islam semakin luas dan kompleks, menembus batas-batas regional, yang dihadapkan pada berbagai macam kepentingan dan permasalahan dalam kehidupan dan pergaulan masyarakat, maka keberadaan sebuah catatan atau akta yang mencatat peristiwa-peristiwa penting tertentu yang berkaitan dengan identitas dan status hukum seseorang sebagai warga negara mulai dari catatan tentang kelahiran, perkawinan dan kematian, menjadi sesuatu yang sangat penting (urgen) dilakukan dalam pergaulan hidup mereka di masyarakat. Pentingnya catatan tentang 43 Ibrahim Hoesen, Azas-azas Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 1993, hlm. 58 52 peristiwa perkawinan dalam bentuk akta nikah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan (inevitable) dalam kehidupan masyarakat modern. Akta nikah, di samping merupakan bukti hukum yang bersifat otentik dalam menangani masalah-masalah perkawinan di Pengadilan (Agama) juga merupakan salah satu persyaratan formal administratif yang diperlukan bagi suami isteri maupun anak-anak mereka dalam mengurus dan menyelesaikan masalah-masalah tertentu, khususnya yang terkait dengan status hukum anak dan hukum waris. Keberadaan akta nikah menjadi semakin penting dalam proses peradilan, khususnya dalam masalah pembuktian, karena peran saksi dan sumpah sebagai alat-alat bukti terkait dengan status hukum perkawinan seseorang, saat ini tidak terlalu dapat diharapkan. Hal ini disebabkan dalam masyarakat modern, semakin menurunnya tingkat kejujuran para saksi dalam memberikan kesaksiannya dan kejujuran dari para pihak yang bersengketa dalam mengucapkan sumpahnya di Pengadilan. Oleh karena itu, tidaklah terlalu salah, dengan menggunakan metode maslahah mursalah ditetapkan hukum-hukum baru bagi kepentingan umum, termasuk masalah pencatatan perkawinan. Al Ghazali, dalam kitabnya “Al Musthafa” yang dikutip oleh Musthafa Ahmad Zarqa, membuat atau menentukan tiga syarat untuk maslahat agar dapat dijadikan sebagai hujjah mu’tabarah (yang diakui), yaitu: a. Maslahat tersebut harus dharuuriyyat (menyangkut kebutuhan primer); b. Maslahat tersebut harus qath’i (pasti), maksudnya pasti dapat menyampaikan kepada tujuan syara’ yang dharuuriyyat (kebutuhan primer); c. Maslahat tersebut harus bersifat kulliyat (umum), maksudnya dapat menolak kemadharatan kaum muslimin secara umum bukan kepada perseorangan. Maslahat yang memenuhi ketiga syarat tersebut di atas dapat dijadikan hujjah (dasar hukum) yang cukup untuk menetapkan hukum, meskipun tidak didukung oleh dalil syara’ tertentu.44 Adanya maslahat sesuai dengan maqaashid as syari’ (tujuan-tujuan syari’) menurut Madzhab Maliky berarti sama dengan merealisasikan maqaashid as syari’ 44 Musthofa Ahmad Zarqo, op. cit, hlm. 73-74. 53 itu sendiri. Sebaliknya, mengesampingkan maslahat berarti mengesampingkan maqaashid as syari’. Padahal mengesampingkan maqaashid as syari’ adalah batal. Oleh karena itu, adalah wajib menggunakan dalil maslahat atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber hukum ini tidak keluar dari ushul (sumber-sumber pokok), namun terjadi kesesuaian (sinkronisasi) antara maslahat dan maqqashid as syari’.45 Berdasarkan hal tersebut di atas, hakikat maslahah mursalah itu adalah pengambilan hukum yang sama sekali tidak ada dalil dalam nash (Al Qur’an dan Hadits), baik yang menolak maupun yang mengakuinya, tetapi terdapat kemaslahatan yang dihajatkan (dibutuhkan) oleh manusia yang keberadaannya sejalan dengan tujuan syara’. Masalah pencatatan perkawinan secara hukum juga dapat dikaji berdasarkan dalil dan hakikat maslahah mursalah. Jika dihubungkan dengan tiga syarat maslahat menurut Al Ghazali sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa tujuan perkawinan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan pokok (dharuriyyat) yakni melanjutkan keturunan, ketenangan dan kebahagiaan hidup, menjaga kehormatan dan ibadah adalah sejalan dengan maqaashid al khamsah atau maqaashid as syari’, karena dengan perkawinan maka tujuan memelihara keturunan (hifdh al nashl min janib al-wujud) yang merupakan salah satu kebutuhan dharuriyyat (pokok) dapat tercapai. Dengan melihat salah satu tujuan dan urgensi pencatatan perkawinan, maka tidak akan sempurna sebuah perkawinan kalau tidak dicatatkan (nikah sirri). Sifat dharuriyyatnya dapat dilihat dari fungsi akta nikah sebagai alat bukti yang kuat dan resmi dari pemerintah (otentik) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum yang pasti bagi para pihak yang telah melangsungkan perkawinan termasuk bagi anak-anak atau keturunan mereka. Dengan demikian, dengan mengacu pada kaidah Ushul Fiqh yang artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna sebuah kewajiban, 45 Muhammad Abu Zahro, Ushul Fiqh, Terjemahan Saefullah Ma’shum,dkk., Pustaka Firdaus, Jakarta, 2002, hlm. 430-432. 54 kecuali dengan adanya sesuatu itu, maka (sesuatu itu) hukumnya menjadi wajib pula”.46 Hal ini berarti bahwa hukum pencatatan perkawinan pada masa sekarang ini berdasarkan maslahah mursalah menjadi wajib (keharusan) yang tidak dapat dielakkan. Atau dengan kata lain, berdasarkan penafsiran a contrario, hukum “nikah sirri” pada masa sekarang ini berdasarkan pendapat tersebut di atas adalah “tidak sempurna”. Karena, dengan adanya pencatatan perkawinan akan menunjang dan menyempurnakan tujuan syara’ yang bersifat dhoruriyyat. Pasangan suami isteri yang perkawinannya tidak dicatat (nikah sirri) tidak memiliki kepastian hukum, dan status perkawinannya juga tidak mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah atau negara. Padahal hal itu merupakan sesuatu yang amat diperlukan bagi mereka dan keturunannya sebagai warga negara serta untuk menghindari kemungkinan adanya pengingkaran atas pernikahannya maupun akibat hukum dari perkawinannya itu ( hak harta bersama, kewarisan ) . Sebagai contoh konkrit pentingnya pencatatan pernikahan untuk menghindari permasalahan (mafsadat) dalam pernikahan maupun sesudah pernikahan serta untuk menjamin kepastian hukum (maslahah) adalah adanya perkara uji materiil ( judicial review) yang sedang dibahas ini, dimana dalam posita angka 14 alinea terakhir Pemohon mendalilkan “ . . . dikarenakan tidak adanya pengakuan dari bapaknya atas kehadirannya di dunia. Tentu saja hal tersebut akan menyebabkan kecemasan, ketakutan dan ketidak- nyamanan anak dalam pergaulannya di masyarakat”. Di samping itu, hukum perkawinan yang merupakan bagian dari hukum muamalah merupakan perjanjian atau aqad yang sangat kuat (miitsaaqon gholidan) untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya yang pelaksanaannya merupakan ibadah. Sebagai suatu perjanjian yang kuat, semestinya masalah pencatatan pencatatan perkawinan merupakan suatu kebutuhan yang mutlak (amat diperlukan). Berdasarkan qiyas, dalam perjanjian utang piutang yang juga merupakan cabang dari hukum muamalah, Allah subhaanahu wa ta’ala, telah memberikan tuntutan untuk mencatat (menuliskan) perbuatan hukum tersebut, sebagaimana tercantum dalam Al 46 Asjmuni A.Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hlm. 114 55 Qur’an Surat al Baqarah ayat 282 yang menyatakan: Yaa ayyuhalladzina aamanuu idza tadayantum bidaidin illa ajalin musamma faktubuh” dan pada ayat setelahnya dinyatakan “wa in kuntum ‘ala safarin wa lam tajidu katiban farihanumm maqbuudlah”. Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”.47 Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, untuk bermuamalah dalam bentuk utang piutang saja, Allah memerintahkan adanya dua orang saksi yang adil dan dituliskan (dicatatkan) oleh seorang penulis dengan cara yang benar, apalagi untuk membuat perjanjian perkawinan yang merupakan miitsaaqon gholiidon, sudah barang tentu pencatatan itu lebih diperlukan sebagai bukti tertulis, meskipun Al Qur’an tidak secara tegas mengatur hal itu. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa pencatatan pernikahan adalah merupakan upaya yang dilakukan oleh negara dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan (to protect), kepastian hukum dan pemenuhan hak asasi manusia yang dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Prinsip ini sejalan dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: “Tashorroful imam ‘ala arro’iyyah manuuthun bil almashlahah”, yang artinya “Tindakan seorang pemimpin terhadap penyelenggaraan kehidupan rakyatnya harus didasarkan asas kemaslahatan”.48 Dengan demikian pencatatan perkawinan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dapat dibuktikan bahwa memang ditujukan untuk menciptakan kemaslahatan, dalam hal ini adalah kepastian hukum atas terjadinya perkawinan yang berupa Buku Kutipan Akta Nikah ( akta autentik ) sehingga setiap orang yang telah terikat dalam perkawinan tersebut harus melaksanakan segala konsekuensi dari hukum perkawinan. 47 48 Al-qur’an dan Terjemahnya, op. cit, hlm. 59 Abdul wahhab Khallaf, op. cit, hlm. 27 56 Kalau kita bangsa Indonesia sependapat bahwa pencatatan pernikahan oleh Pejabat Pencatat Nikah (PPN) yang kemudian diwujudkan dengan adanya Buku Kutipan Akta Nikah sebagai akta autentik adanya hubungan suami isteri tersebut dapat memberikan kepastian hukum serta memudahkan didalam mengurus pembuktian yang berkaitan dengan dokumen akta sipil sebagai warga negara seperti: Kartu Keluarga, Akta Kelahiran Anak, Ijazah, Paspor dan akan terhindar dari kesulitan pembuktian di instansi pemerintah , instansi swasta serta di pengadilan, maka wajib hukumnya bagi bangsa Indonesia (khususnya umat Islam) untuk mentaati dan melaksanakannya karena sudah diundangkan dalam peraturan perundang undangan. Kewajiban bagi umat Islam untuk melaksanakan pencatatan nikah tersebut dilakukan dengan istinbatul hukmi berdasar kaidah hukum yang dikutib oleh Wahbah Azzuhaily dalam kitabnya Al-Fiqhul Alislamy wa Adillatuhu: “Innna liwaliyyal amri an ya’muro bilmubaakhi limaa yaroohu minal mashlakhatil ‘aammati, wa mataa amaro bihi wajabat thoo’atuhu”. Artinya: “sesuatu yang mubah (fakultatif) apabila ditetapkan sebagai kewajiban (imperatif) oleh pemerintah karena untuk menegakkan kemaslahatan umum, maka hukumnya wajib bagi rakyat untuk mengikutinya”.49 Atas dasar pemikiran di atas, penulis berpendapat bahwa: “sudah seharusnya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut wajib diartikan dan dimaknai sebagai syarat komulatif sehingga bagi umat Islam Indonesia pencatatan perkawinan ditetapkan sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan. Sehingga akibat hukumnya nikah dibawah atau nikah sirri adalah tidak sah (batal), karena tidak memenuhi salah syarat sahnya perkawinan, yakni pencatatan perkawinan. Kedua, menyangkut pertimbangan hukum angka (3.13) halaman 35 yang berbunyi “... hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak”. 49 Wahbah Azzuhaily, op. cit., Juz 10, hlm. 7573. 57 Pembahasan ini penulis titik beratkan pada kalimat “tidak semata mata karena adanya ikatan perkawinan” dalam pertimbangan hukum angka (3.13) alinea terakhir Putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan diluar perkawinan“ dalam sub bab berikut ini. Untuk selengkapnya pertimbangan hukum Majelis Hakim MKRI pada angka (3.13) alinea terakhir tersebut berbunyi sebagai berikut: “Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang lakilaki sebagai bapak tidak semata mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapii dapat juga pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-lakii tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa kelahirannya diluar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan”. Dari kalimat di atas nampaknya Majelis MKRI memberikan makna alternatif tentang hubungan (nasab) anak dengan laki-laki sebagai bapak boleh dengan tanpa sebab adanya hubungan hukum ikatan perkawinan yang sah menurut agama (perzinaan). Kesimpulan tersebut dapat dimaknai dari adanya kalimat “tidak semata mata karena adanya ikatan perkawinan”, karena kalimat “sematamata” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti: hanya, melulu, belaka, sama sekali.50 Sehingga dari makna kalimat “tidak semata-mata” tersebut mempunyai arti “tidak melulu karena adanya ikatan perkawinan belaka” atau dalam makna yang lain bahwa anak yang lahir di luar perkawinan diperluas artinya termasuk di dalamnya adalah anak hasil hubungan perzinaan. Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan nasab 50 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hlm. 903. 58 (mahram) antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang lakilaki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain. Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian membicarakan asal usul anak sebenarnya membicarakan anak yang sah. Tampaknya fiqh menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan anak yang sah. Kendatipun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas berkenaan dengan anak yang sah, namun dilihat dari definisi ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis, dapat diberikan batasan, anak yang sah adalah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah. Selain itu, disebut sebagai anak zina yang hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Secara implisit al-Qur'an, 23/ 5-6 menyatakan: Artinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela (Q.S.Al-Mu’minun:5-6). 51 Selanjutnya di dalam surat al-Isra', 17/ 32 juga dijelaskan: 51 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, CV.Karindo, 2004, hlm. 475. 59 Artinya: Jangan kamu dekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan (QS. al-Isra': 32).52 Larangan-larangan al-Qur'an di atas, tidak saja dimaksudkan agar setiap orang menjaga kehormatan dirinya, tetapi juga yang lebih penting menghindarkan dampak terburuk dari pelanggaran larangan itu. Lahirnya anak zina, sebenarnya adalah akibat dari pelanggaran larangan-larangan Allah tersebut. Selanjutnya, kendatipun fiqh tidak memberikan definisi yang tegas tentang anak yang sah, namun para ulama mendefinisikan anak zina sebagai kontra anak yang sah. Anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah. Dan anak li'an adalah anak yang secara hukum tidak dinasabkan kepada bapaknya, setelah suami istri saling meli'an dengan sifat tuduhan yang jelas.53 Definisi di atas membicarakan dua jenis status anak. Anak zina yang lahir dari hubungan yang tidak sah (zina) dan anak li'an. Apabila terjadi perkawinan antara suami dan istri secara sah, kemudian istri mengandung dan melahirkan anaknya, maka suami dapat mengingkari kesahan anak itu apabila: a. Isteri melahirkan anak sebelum masa kehamilan. b. Melahirkan anak setelah lewat batas maksimal masa kehamilan dari masa perceraian.54 Berkenaan dengan batas minimal masa kehamilan, jumhur ulama telah menetapkannya selama enam bulan. Dasarnya adalah firman Allah Surat al-Ahqaf ayat (15): 52 Ibid, hlm. 388. Fathurrahman Djamil, op. cit., hlm. 129. 54 Ibid. 53 60 Artinya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (QS. al-Ahqaf: 15).55 Selanjutnya di dalam surah Luqman: 14, Allah SWT. berfirman: Artinya: Dan kami perintahkan kepada manusia terhadap dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu (QS. Luqman: 14).56 55 56 Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit, hlm. 726. Ibid., hlm. 581. 61 Dalam surat al-Ahqaf ayat (15) dijelaskan secara kumulatif, jumlah mengandung dan menyapih yaitu 30 (tiga puluh) bulan. Sedangkan dalam surat Luqman dijelaskan batas maksimal menyapih adalah 2 tahun (24 bulan). Jadi masa hamil yang paling sedikit adalah 30 puluh bulan dikurangi 24 bulan sama dengan 6 (enam) bulan. Informasi ini diberikan oleh Ibn Abbas dan disepakati para ulama yang menafsirkan bahwa ayat pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna membutuhkan waktu dua tahun atau dua puluh empat bulan. Berarti bayi membutuhkan waktu 30 - 24 = 6 bulan di dalam kandungan.57 Dengan demikian Hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang masa Iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus. Demikianlah beberapa pandangan terntang pentingnya dalam Islam untuk mengetahui silsilah atau nasab seseorang, jika tidak diketahui nasab seseorang, dia akan mengalami kesulitan melakukan perkawinan dengan orang lain. Demikian juga untuk kepentingan lainnya, seperti dalam soal penentuan hak dan kewajiban kepada seseorang anak bagi orang tuanya serta hak seseorang dari seorang anak dalam soal waris mewaris. Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menentukan nasab adalah sangat penting. Dalam Islam seorang anak dinasabkan kepada laki-laki yang yang menghamili ibunya. Bukan kepada ibunya. Sebab, sudah jelas seseorang anak itu dilahirkan oleh ibunya. Karena itulah sudah jelas pula, bahwa seorang anak itu adalah anak ibu yang melahirkannya. Tapi belum tentu jelas siapa bapaknya. Untuk menjelaskan siapa nasab seseorang anak dari sisi bapaknya, maka dalam ajaran Islam, dalam nama anak itu disertai nama bapaknya. Dengan begitu menjadi jelas dan gampang diketahui, siapa nasab (bapak) seorang anak tersebut tanpa harus mengadakan penyelidikan atau penelitian. 57 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1988, hlm. 224. 62 Dalam akhir pembahasan ini penulis sangat tidak sependapat dengan pertimbangan hukum MKRI angka (3.13) yang untuk menentukan siapa seorang bapak yang harus bertanggungjawab memberikan perlindungan kepada seorang anak yang lahir di luar perkawinan dirumuskan dengan kalimat “hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan”. Karena rumusan ini MKRI memperluas hubungan keperdataan anak luar kawin (termasuk anak hasil zina) yang semula hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, berubah dengan mengikutsertakan hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya. Dengan kata lain, MKRI memberikan legalitas hubungan darah (alamiah) antara anak dan ayah biologisnya menjadi hubungan hukum (keperdataan), yang sudah barang tentu dengan berbagai implikasinya (hak dan kewajiban, hubungan nasab, mahram, kewarisan, perwalian dan sebagainya, yang sesungguhnya apabila rumusan ini diaplikasikan dalam ranah hukum (in concrito) secara otomatis akan menimbulkan madharat serta kerugian yang nyata bagi keluarga yang melakukan perkawinan sah memenuhi pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang semestinya menurut hukum mendapatkan perlindungan justru terabaikan untuk mendapatkan perlindungan hukum dari negara dengan keberadaan putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut. Dengan kata lain putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam memberikan hak konstitusional kepada anak yang lahir di luar perkawinan (termasuk di dalamnya anak yang lahir akibat perbuatan zina) tersebut dilakukan dengan melanggar hak konstitusional anak yang lahir dari perkawinan yang sah, yang sama sekali dalam putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidak pernah dipertimbangkan untuk diberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana anak yang lahir di luar perkawinan meskipun keabsahan perkawinan orang tuanya masih dipersengketakan? 63 Ketiga, tentang bagaimana penerapan adanya hubungan keperdataan dengan laki-laki sebagai ayahnya, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya". Amar (dictum) dari putusan MKRI yang banyak mendapat perhatian dari masyarakat karena dipandang kontroversi adalah sebagai berikut: “Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan,"Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya", tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan lakilaki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Sebagaimana yang telah diuaraikan sebelumnya, bahwa putusan MKRI mengikat bagi semua orang, lembaga negara, badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia, karena putusan MKRI bersifat erga omnes yang ditujukan pada semua orang.58 Sehingga, sekalipun perkara aquo diajukan oleh Pemohon (1) Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim, dan (2) Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono, namun akibat hukum yang ditimbulkan dari putusan ini mengikat dan harus ditaati oleh segenap bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam ini. Akibat yang lain dari putusan MKRI tersebut adalah keberadaan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 100 Kompilasi hukum Islam (KHI) yang menyatakan “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya", 58 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, putusan Maruar Siahaan, loc. cit. 64 MKRI di atas berseberangan dengan pemahaman hukum syar’i yang selama ini diyakini oleh ummat Islam Indonesia dari beberapa kitab hadits maupun kitab-kitab fiqh tentang kedudukan anak di luar nikah/anak zina yang dinyatakan hanya memiliki hubungan perdata (nasab) dengan ibunya. Sebagaimana hadits Nabi SAW dari Abi Hurairah yang berbunyi: ﺪﻟﻮﻟا شﺎﺮﻔﻠﻟ ﺮھﺎﻌﻠﻟو ﺮﺠﺤﻟا Artinya: Nasab anak tersebut adalah kepada ayah (pemilik tempat tidur, penulis) sedangkan bagi pezina adalah hukuman rajam (H.R. Bukhari dan Muslim) Berdasarkan pengertian dalil-dalil di atas maka seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya, anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak diluar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian, membicarakan asal usul anak sebenarnya membicarakan anak yang sah.59 Dalam perkara aquo Mahkamah Konstitusi terkesan menempatkan anak yang lahir di luar nikah (termasuk anak yang lahir akibat perzinaan) sebagai korban yang harus dilindungi secara sosial maupun secara hukum sehingga nantinya tidak turut menanggung kerugian yang diakibatkan oleh tindakan (perkawinan/persetubuhan) kedua orang tuanya. Namun perlu diingat bahwa kesalahan dari perbuatan orang tua boleh jadi bakal menimbulkan kerugian kepada anaknya dikemudian hari, namun bukan dalam arti adanya dosa kepada Allah swt. Misalnya, jika orang tua tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya meskipun orang tuanya mampu secara ekonomi, maka anak yang akan menanggung akibatnya dengan hidup dalam kebodohan. Demikian pula anak luar kawin, dia tidak mendapat legalitas hukum syar’i mapun hukum negara terhadap ayah biologisnya adalah konsekwensi yang 59 H. Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2002, hlm. 276. 65 logis. Bukan serta merta anak luar kawin yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya akan kehilangan hak-hak privatnya karena hukum syar’i maupun konstitusi negara telah memiliki instrumen lain untuk memenuhi hak hak setiap anak yang lahir di muka bumi ini. Begitu juga dalam praktek ketatanegaraan, adalah suatu hal yang logis apabila negara sebagai wujud memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada rakyatnya mengakui perkawinan sah jika perkawinan dijalankan sesuai dengan rukun dan syarat pernikahan di dalam agama dan kepercayaan masing-masing serta dicatatkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan sebaliknya negara akan memberikan sanksi sebagai resiko dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau yang tidak dilaksanakan menurut Undang undang Nomor 1 Tahun 1974. Oleh karena itu wajar apabila perlindungan hukum yang diberikan kepada anak luar kawin (terutama anak dari hubungan zina) juga tidak sama dengan anak yang lahir dari perkawinan yang sah menurut undang-undang. Bahkan menurut penulis, akan tercederai rasa keadilan masyarakat jika hak keperdataan sempurna diberikan oleh negara kepada anak di luar perkawinan, disebabkan sejak awal perkawinan orang tuanya yang dilakukan di luar ketentuan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 sesungguhnya dengan sadar mereka keluar dari sistem hukum perkawinan yang berlaku bagi dirinya (dan anak-anaknya) sebagai orang Islam Indonesia, sehingga beralasan bagi mereka untuk diberi sanksi oleh negara dengan tidak dipenuhinya hak konstitusinya (legal standing) menuntut di pengadilan yang berkaitan hal-hal sebagai akibat perkawinan (seperti asal usul anak, kewarisan) sebelum mengajukan penetapan keabsahan pernikahannya (Itsbat nikah) dan permohonan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Agama, karena secara hukum tidak mempunyai bukti autentik menurut hukum negara. Dalam agama Islam, salah satu tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk menjaga kesucian hubungan darah (nasab). Karena dari hubungan nasablah akan timbul hak dan kewajiban bagi seorang ayah dan anaknya. Pernikahan juga merupakan perjanjian atau aqad yang sangat kuat (miitsaaqon gholidan) untuk 66 melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya yang pelaksanaannya merupakan ibadah sehingga pernikahan adalah merupakan sesuatu yang transedental (hukum Allah SWT).60 Dalam hukum Islam, hubungan keibuan antara anak dengan wanita yang melahirkan tak mungkin dipungkiri karena ibu adalah wanita yang melahirkannya, anak adalah anak yang dilahirkan. Dalam Islam yang menjadi masalah utama adalah apakah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita mempunyai bapak atau mempunyai hubungan kebapakan dengan seorang lelaki? Hubungan kebapakan seorang anak dengan seorang lelaki sebagai bapaknya tergantung pada adanya perkawinan atau tidak adanya perkawinan antara ibu sianak dengan laki-laki tersebut. Bila laki-laki itu ada hubungan perkawinan dengan ibunya, maka ada hubungan kebapakan dengan laki-laki tersebut, dan dia adalah bapaknya. Namun kalau lelaki tersebut tidak ada hubungan perkawinan dengan ibu yang melahirkannya, maka tidak ada hubungan kebapakan, dan anak tersebut disebut anak luar perkawinan (anak zina). Dalam hal kebapakan tidak ditentukan oleh kehendak atau kerelaan manusia, namun ditentukan oleh perkawinan yang dengan nama Allah disucikan (aqad nikah, penulis).61 Oleh karena itu perbuatan zina oleh Allah SWT diiperintahkan untuk dihindari karena termasuk perbuatan keji. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat AlIsra : 32 Artinya: Jangan kamu dekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan (QS. al-Isra': 32).62 Berlandaskan pemikiran di atas, tidak salah manakala penulis berpendapat bahwa putusan MKRI ini dimaknai melegalkan perzinaan, karena hubungan keperdataan (hubungan hukum) antara anak dan laki-laki yang menyebabkan 60 Lihat pengertian yang sama dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ichtijanto, Status Hukum dan Hak Hak Anak Menurut Hukum Islam, Mimbar Hukum, Alhikmah, No.46 Thn.XI , Jakarta, 2000. 62 Qur’an dan Terjemahnya, op. cit, hlm. 338 61 67 kelahirannya dapat ditetapkan melalu uji biologis bersandar ilmu pengetahuan dan teknologi (tes DNA), tanpa dilihat ada akad nikah secara syar’i atau tidak. Jika ternyata faktanya tidak terjadi akad nikah (sirri/dibawah tangan) dan hak-hak keperdataan kedua belah pihak diakui oleh hukum, yang kemudian putusan pengadilan itu oleh anak atau ibu anak tersebut dijadikan alas hak dan bukti untuk mengajukan akta kelahiran anak dengan nasab ayah biologisnya. Apakah hal ini tidak bisa dikatakan sebagai langkah men-delegitimasi lembaga perkawinan. Sebenarnya putusan MKRI itu akan lebih adil dan tepat jika tetap berpijak pada Permohonan Pemohon (1) Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim, dan (2) Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono yang mendalilkan bahwa ia telah menikah secara sirri dan pernikahannya telah memenuhi syarat dan rukun nikah menurut hukum Islam. Menurut dalil Permohonan kelahiran anak Machicha Mochtar dengan Moerdiono bukan dari hasil perzinaan, namun dari hasil perkawinan di bawah tangan. Jika MKRI konsisten dengan pertimbangan hukum terhadap pasal 2 ayat (1), maka seharusnya anak yang mendapat hubungan perdata dengan ayahnya adalah yang dapat membuktikan di depan sidang pengadilan bahwa mereka pernah mengadakan akad nikah. Sehingga rumusan pertimbangan hukum dan amar putusannya berbunyi, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan keabsahan perkawinannya menurut keyakinan agama dan kepercayaannya didepan pengadilan, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Bila rumusan amar putusan MKRI seperti tersebut di atas, maka sekaligus memberikan payung hukum terhadap permohonan isbat nikah yang selama ini berjalan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dan tetap menjunjung tinggi lembaga perkawinan. Dengan demikian kedudukan anak diluar perkawinan yang semula merupakan “anak tidak sah”, kemudian setelah dibuktikan keabsahan pernikahannya di depan pengadilan, berubah kedudukannya sebagai “anak sah” 68 karena telah memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. B. Proses Pengesahan Anak di Luar perkawinan di Pengadilan Agama 1. Pengesahan Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Islam itu sendiri (fiqh) menyatakan bahwa anak yang lahir di luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum atau nasab terhadap ayahnya, baik yang berkenaan dengan biaya kehidupan dan pendidikannya maupun warisan. Pengesahan anak atau penetapan asal usul anak adalah merupakan kewenangan Pengadilan Agama di bidang perkawinan berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) Perkawinan; (b) Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; dan (c) Wakaf dan shadaqah. Adapun jenis perkara penetapan asal usul seorang anak dapat diketahui dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 49 ayat (2) angka 20, begitu juga terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, merupakan perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan penambahan bagi kompetensi Peradilan Agama di bidang perkawinan, yaitu dalam angka (20) tentang penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Penetapan asal usul seorang anak, dimaksudkan sebagai perkara yang berkaitan dengan penyelesaian hukum tentang kedudukan anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah (Pasal 42 UU.Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam) atau sebaliknya anak yang tidak sah adalah anak yang lahir 69 di luar perkawinan yang sah atau lahir dalam perkawinan yang sah, akan tetapi disangkal oleh suami dengan sebab li’an.63 Sebelum adanya putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010, kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak untuk mengajukan pengesahan anak di luar perkawinan hanya diberlakukan kepada pasangan suami isteri yang melakukan pernikahan yang memenuhi pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 saja, tanpa memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang Undang.Nomor 1 Tahun 1974, maka menurut hukum positif nikahnya tersebut tidak sah dan karenanya anak yang dilahirkan dipandang sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Sedangkan terhadap kedudukan anak hasil zina, tidak ditemukan dalam aturan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, karena perzinahan tidak dipandang sebagai perbuatan hukum perkawinan.64 Namun dengan adanya putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut permohonan atau gugatan pengesahan anak di luar perkawinan untuk dapat ditetapkan mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya dapat diajukan oleh seseorang terhadap anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang tidak sah maupun mereka yang tidak ada ikatan perkawinan, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan, semata-mata karena alasan demi memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan. 2. Prosedur dan Acara Pemeriksaan Perkara Gugatan Pengesahan Anak di Luar Perkawinan Berdasarkan putusan MKRI Nomor 46/PUU-VII/2010 bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus dibaca, “Anak yang lahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan 63 Pedoman Teknis administrasi dan Teknis Peradilan Agama, op. cit, hlm. 182-183. Perkawinan yang tidak dicatatkan sesuai ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang Undang.Nomor 1 tahun 1974 , oleh pasal 7 KHI diberikan solusi hukum untuk diitsbatkan di pengadilan Agama. 64 70 berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ”. Dengan adanya kalimat ”. . . yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum . . . ” menunjukkan adanya prinsip pembuktian yang harus ditegakkan berdasarkan pasal 163 HIR. 65 Sehingga, untuk mengajukan hak berdasarkan putusan MKRI aquo harus ditempuh melalui gugatan Contentiosa. Untuk mengajukan gugatan pengesahan anak diperlukan tata cara atau prosedur sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip hukum acara perdata. Adapun prinsip-prinsip gugatan perdata antara lain sebagai berikut: 1. Harus Ada Dasar Hukum Menurut Pasal 118 HIR dan 142 R.Bg, siapa saja yang merasa hak pribadinya dilanggar oleh orang lain sehingga mendatangkan kerugian, dan ia tidak mampu menyelesaikannya sendiri persoalan tersebut, maka ia dapat meminta kepada pengadilan untuk menyelesaikan masalah itu sesuai dengan hukum yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut, maka para pihak yang bermaksud mengajukan gugatan kepada pengadilan haruslah diketahui terlebih dahulu dasar hukumnya. 2. Adanya Kepentingan Hukum Suatu tuntutan hak yang akan diajukan kepada pengadilan yang dituangkan dalam sebuah gugatan, pihak penggugat haruslah mempunyai kepentingan hukum yang cukup, yakni kepentingan hukum secara langsung dan melekat dari Penggugat. Sehingga orang yang tidak mempunyai kepentingan hukum tidak dibenarkan untuk menjadi para pihak dalam mengajukan gugatan. 3. Merupakan Suatu Sengketa Tuntutan hak sebagaimana tersebut di atas adalah merupakan tuntutan perdata (burgelijk vordering), yaitu tuntutan hak yang mengandung sengketa sebagaimana 65 Pasal 163 HIR berbunyi: Barang siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. 71 yang dimaksud oleh pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal mana sesuai dengan asas ”geen belang geen actie ”.66 Apabila dalam hal ini ada dari salah satu pasangan orang tua (laki-laki) dari anak yang dilahirkan menyangkal sebagai ayahnya, atau pasangan laki-laki mengaku bahwa ia sebagai ayah dari anak yang dilahirkan dari ibu si anak (sedangkan si ibu menyangkalnya), maka untuk menyelesaikannya harus melalui proses gugatan di pengadilan (litigasi). Bertitik tolak dari penjelasan di atas, yang dimaksud dengan gugatan perdata adalah gugatan contentiosa yang mengandung sengketa di antara pihak yang berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada pengadilan dengan posisi para pihak: (1) yang mengajukan penyelesain sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat (plaintiff = planctus, the party who institues a legal action or claim); (2) sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian, disebut dan berkedudukan sebagai tergugat (defendant, the party againts whom a civil action is brought). Dengan demikian, ciri yang melekat pada gugatan perdata adalah sebagai berikut: (1) permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa (disputes, differences); (2) sengketa terjadi di antara para pihak, paling kurang di antara dua pihak; (3) berarti gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lain, berkedudukan sebagai tergugat.67 Adapun untuk menegakkan hukum perdata materiil perlu proses penyelesaian perkara melalui pengadilan sesuai dengan norma-norma yang telah ditentukan secara formal. Adapun hukum acara pemeriksaan perkara gugatan pengesahan anak di luar perkawinan di Pengadilan Agama adalah hukum acara yang 66 . H. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 17-19. 67 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 47-48. 72 berlaku dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini (Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). 3. Hukum Acara yang Berlaku pada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah a. Hukum acara Peradilan Agama: 1) HIR; 2) R.Bg; 3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009; 4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; 5) Yurisprudensi Mahkamah Agung RI; 6) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Republik Indonesia; 7) Kompilasi Hukum Islam (KHI); 8) Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan Peradilan Agama. b. Hukum acara Mahkamah Syari’ah: 1) Hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama; 2) Hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum; 3) Qanun Aceh tentang hukum acara; 4. Asas Personalitas Keislaman Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 menganut asas personalitas keislaman, sehingga segala sengketa antara orang-orang yang beragama Islam mengenai hal-hal yang diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 73 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Asas ini tidak berlaku dalam kasus-kasus sebagai berikut: a. Sengketa bidang perkawinan yang perkawinannya tercatat di Kantor Urusan agama, dimana salah satu pihak (suami atau isteri) keluar dari Islam; b. Sengketa bidang kewarisan yang pewarisnya beragama Islam, walaupun sebagian ahli waris non Islam; c. Sengketa bidang Ekonomi Syariah dimana nasabahnya non Muslim; d. Sengketa bidang wakaf walaupun para pihak atau salah satu pihak bergama non Muslim; e. Sengketa bidang hibah dan wasiat yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; Dalam semua sengketa tersebut di atas meskipun sebagian subjek hukumnya bukan beragama Islam, tetap diselesaikan oleh Peradilan Agama.68 Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa hukum acara yang berlaku dalam sengketa asal usul anak diluar kawin adalah hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum melalui proses sanggah menyanggah (op tegenspraak) yang dilanjutkan dengan proses beban pembuktian sesuai dengan ketentuan Pasal 163 HIR/283 R.Bg. Sehingga apabila dalam sebuah kasus sengketa asal usul anak yang mengajukan adalah pihak ibu dari si anak dalam bentuk gugatan, maka sesuai dengan ketentuan hukum pembuktian pihak ibu (selaku Penggugat) harus bisa membuktikan dipersidangan melalui bukti berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum (Tes DNA) yang dapat membuktikan bahwa pihak laki-laki (selaku Tergugat) secara ilmu pengetahuan adalah sebagai ayah dari anak terperkara. Sebaliknya, apabila si laki-laki yang mengajukan gugatan dengan menempatkan kedudukan dirinya sebagai pihak Penggugat, dengan mendalilkan bahwa dirinya sebagai ayah biologis dari anak terperkar, dan menarik si ibu dari anak terperkara sebagai Tergugat (karena menyanggah status Penggugat sebagai ayah), maka beban bukti akan dibebankan kepada Penggugat untuk membuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum bahwa dirinya benar benar sebagai ayah biologis dari anak tersebut. 68 Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, op. cit., hlm. 60-61 74 C. Akibat Hukum Adanya Pengesahan Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 1. Hubungan Nasab Anak di Luar Perkawinan dengan Orang Tua Biologis Mengenai kedudukan nasab anak di luar perkawinan (termasuk anak zina) yang menurut pasal 43 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang dinyatakan hanya mempunyai hubungan keperdataan / hubungan nasab dengan ibunya atau keluarga ibunya, telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MKRI. Majelis Hakim MKRI melihat bahwa setiap kehamilan pasti diawali dengan pertemuan ovum dengan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Sehingga hubungan anak yang dilahirkan dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya bukan hanya semata-mata karena adanya perkawinan tetapi juga berdasarkan hubungan darah anak dengan seorang laki-laki yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan atau teknologi atau bukti lain yang sah menurut hukum. Merupakan suatu ketidakadilan jika seorang laki-laki yang telah melakukan suatu hubungan dengan seorang perempuan terlepas dari tanggung jawab. Apalagi selama ini anak yang di lahirkan di luar perkawinan mendapat stigma yang tidak baik di tengah masyarakat. Seorang anak yang seperti itu mendapat perlindungan hukum dari negara walaupun status perkawinan orang tuanya masih dipersengketakan. Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa bunyi pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. 75 Penetapan asal usul anak dalam prespektif hukum Islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram (nasab) antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakekatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain. Kata “nasab” berasal dari bahasa Arab, yang antara lain berarti keturunan. Dalam pengertian inilah Allah berfirman: “Wa huwalladzii khalaqa minal maa-i basyaraa fajaálahu nasaban wa shihra wa kaana rabbuka qadiira”. Artinya, “Dialah (Allah) yang menciptakan manusia dari air (sperma), lalu dia menjadikan (pula) manusia (mempunyai) keturunan dan mushaharah dan Tuhanmu adalah Maha Kuasa”) (QS. Al-Furqan: 54).69 Secara istilah nasab adalah keturunan atau ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik karena hubungan darah ke atas (bapak, kakek, ibu, nenek dan seterusnya), ke bawah (anak, cucu, dan seterusnya) maupun menyamping (saudara, paman dan lain-lain).70 Dalam banyak sistem perkembang biakan makhluk Tuhan, hampir selalu dimulai dengan pertemuan dua unsur, yakni sperma (bibit dari jenis laki-laki) dan ovum (bibit dari jenis perempuan). Dalam perkembangbiakan manusia, menurut aturan Tuhan dimulai dengan adanya akad perkawinan. Dalam akad perkawinan ini terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi, yang dikenal dengan rukun perkawinan. Yaitu harus ada calon isteri, calon suami, wali, dua orang saksi dan ijab kabul. Di dalam setiap unsur (rukun) itu terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Seperti syarat calon suami atau isteri antara lain haruslah tidak ada hubungan keluarga dalam derajat tertentu. Dalam kaitan inilah, nasab seseorang harus ditentukan. 71 Dalam konsepsi hukum Islam sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa penentuan nasab atau adanya hubungan keperdataan antara anak dan ayahnya menjadi perhatian utama dalam pembahasan dan kajian kitab-kitab fiqh, karena seorang anak yang dilahirkan belum tentu mempunyai hubungan kebapakan dengan 69 Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 509. Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, Jilid 4, hlm. 2337 71 Lihat Pasal 14 Kompilasi hukum Islam (KHI). 70 76 seorang laki-laki sebagai ayahnya, sedangkan hubungan keibuan antara anak dengan wanita yang melahirkan merupakan hubungan alamiah yang tidak mungkin dipungkiri, kebenarannya seperti halnya matahari yang terbit dari timur dan terbenam di barat, setiap anak yang lahir dari rahim seorang perempuan maka perempuan tersebut adalah ibunya. Masalah hukum kekeluargaan yang berkaitan dengan anak adalah masalah perkawinan antara ibu yang melahirkannya dan suaminya (yang menjadi bapak anak) yang terikat dalam tali perkawinan yang sah. Hukum islam menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang ‘Iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus.72 Penentuan batas minimal 6 bulan masa kehamilan setelah terjadi hubungan suami istri yang nyata menurut Mayoritas ulama dan setelah adanya akad perkawinan menurut ulama al-Hanafiyah73, yang dijadikan sandaran ahli hukum Islam secara mayoritas adalah didasarkan pada hadis Rasulullah SAW: “ﺪﻟﻮﻟا شﺎﺮﻔﻠﻟ ﺮھﺎﻌﻠﻟو ﺮﺠﺤﻟا Maksud hadits ini menurut Wahbah al-Zuhaily adalah bahwa seorang anak nasabnya dapat dihubungkan terhadap ayahnya hanya dalam perkawinan yang sah, yang dimaksud al-firasy dalam hadis tersebut adalah seorang perempuan menurut pandangan kebanyakan ulama, adapun perzinaan tidak dapat dijadikan sebab adanya hubungan nasab antara ayah pezina dengan anak zinanya, sebab seorang pezina berhak menerima hukuman rajam atau dilempar dengan batu. Seorang perempuan tidak dapat dinyatakan dengan firasy kecuali perempuan itu memungkinkan dapat melakukan hubungan suami isteri. Adapun batas maksimum seorang ibu mengandung janin, terjadi perbedaan pendapat menurut Imam Malik selama lima tahun, menurut Imam Syafi’i selama 72 73 H. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, op. cit., hlm. 279 Wahbah Azzuhaily, op. cit., hlm. 676. 77 empat tahun, menurut Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah dua tahun, sesuai yang dinyatakan ‘Aisyah ra bahwa seorang perempuan hamil tidak melebihi dua tahun. Muhammad bin al-hakm menjelaskan bahwa seorang perempuan hamil paling lama satu tahun hijriah dan menurut Dhahiriyah selama sembilan bulan tidak lebih dari itu. Abu Zahrah,74 dalam hal ini menegaskan bahwa penentuan waktu lamanya hamil seorang ibu, tidak didasarkan pada nash, melainkan berdasarkan kebiasaan suatu daerah, menurut penelitian yang dilakukan sekarang diperkirkirakan masa maksimun kehamilan adalah sembilan bulan, ditambah satu bulah untuk kehatihatian menjadi sepuluh bulan, begitu pula menurut Ibnu Rusyd dalam masalah ini dikembalikan kepada kebiasaan suatu daerah dan ilmu kedokteran. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1929 tentang Hukum Perkawinan yang berlaku di Mesir, batas maksimum masa kehamilan adalah satu tahun Masehi atau 365 hari, penentuan ini diperlukan untuk mengantisipasi gugatan nafkah iddah dan gugatan yang berkaitan dengan nasab (hubungan darah) untuk menetapkan hak kewarisan dan menetapkan wasiat bagi anak yang dikandung itu. Dari konsepsi hukum Islam diatas bila dibandingkan dengan putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang hubungan nasab/keperdataan seorang anak dengan ayahnya, terdapat perbedaan yang sangat tajam, karena dalam putusan MKRI hubungan keperdataan (nasab) seorang anak dengan ayah biologisnya tidak dikaitkan dengan adanya akad nikah yang sah tetapi ditetapkan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum (yang dibuktikan di persidangan), sedangkan dalam hukum Islam keperdataan seorang anak dengan ayahnya secara imperatif dilandaskan adanya akad nikah yang sah. Secara keseluruhan dari hasil analisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa untuk dapat seorang anak ditetapkan mempunyai hubungan keperdataan (nasab) dengan ayah biologisnya, harus diajukan melalui proses litigasi dengan memposisikan ayah biologisnya sebagai pihak Tergugat (Contentiosa). Yang menurut 74 Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwaal al-Syakhshiyah, Dar Alfikr al-‘Araby, Beirut, 1957, hlm. 452. 78 ketentuan hukum acara perdata apabila suatu perkara diajukan dalam bentuk gugatan maka hal ini disebabkan adanya hak hukum Penggugat yang dilanggar oleh Tergugat. Analisis penulis diatas didasarkan atas kalimat dalam dictum putusan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 poin 3 terdapat kalimat “ … yang dapat dibuktikan ….” yang menurut hukum acara hukum perdata pembuktian adalah merupakan ciri dari perkara yang mengandung sengketa/gugatan sebagaimana diatur pasal 163 HIR. Sehingga dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkara gugatan asal usul anak di pengadilan berawal dari adanya pengingkaran terhadap anak dari seorang laki-laki sebagai akibat peristiwa sebagai berikut : 1. kelahiran seorang anak dari hubungan biologis (coitus) antara seorang perempuan dan seorang laki-laki yang dilakukan tanpa adanya pernikahan (hubungan zina); 2. kelahiran seorang anak dari hubungan pernikahan (monogami) yang tidak memenuhi ketentuan Undang Undang Nomor 1 tahun 1974; dan 3. kelahiran seorang anak dari hubungan pernikahan (poligami) yang tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Persoalan perkawinan poligami di bawah tangan kualitas permasalahannya lebih rumit dari pada perkawinan monogami di bawah tangan, sebab perkawinan monogami di bawah tangan bagi masyarakat Islam statusnya dapat memiliki kepastian dan kekuatan hukum setelah mendapatkan isbat dari pengadilan sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Kompilasi Hukum Islam. Kebolehan isbat nikah pada ketentuan ini dibatasi ayat (3) huruf (e) yang menyatakan “perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”. Halangan dimaksud adalah larangan kawin sesuai Pasal 8 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan perkawinan yang tidak dapat dilakukan sesuai Pasal 9 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu berkaitan dengan poligami tanpa izin pengadilan. Mengenai pencatatan poligami seperti ini juga di larang oleh undangundang sebagaima Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan “pegawai pencatat nikah dilarang untuk 79 melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.” Oleh karena itu, perkawinan poligami di bawah tangan menurut undang-undang adalah perkawinan yang melanggar prosudur undang-undang dan keberadaannya tidak dapat dilakukan toleransi. Setelah penulis memaparkan dalil-dalil hukum serta pendapat para ulama ahli fiqh, maka penulis berpendapat sebagai berikut: 1. Anak yang dilahirkan dari hubungan biologis (coitus) antara seorang perempuan dan seorang laki-laki yang dilakukan tanpa adanya pernikahan (anak zina) tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya, meskipun dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya tersebut. 2. Anak yang dilahirkan dari pernikahan (monogami) yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 dapat dinasabkan dengan ayahnya selama tidak diingkari oleh ayahnya atau dapat dibuktikan di pengadilan mempunyai hubungan darah, setelah diitsbatkan nikahnya oleh Pengadilan Agama. 3. Anak yang dilahirkan dari pernikahan (poligami) yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dapat dinasabkan dengan ayahnya selama mendapat izin poligami dari pengadilan dan dapat dibuktikan di pengadilan mempunyai hubungan darah, setelah diitsbatkan nikahnya oleh Pengadilan Agama. 2. Hubungan Kewarisan Antara Anak di Luar Perkawinan dengan Ayah Biologis Membahas masalah kewarisan tidak terlepas dari pembahasan mengenai nasab anak terahadap seorang laki-laki sebagai ayah biologisnya, karena menyangkut siapa yang akan menjadi ahli waris. Harta orang yang telah meninggal dengan sendirinya beralih kepada orang yang masih hidup yang memiliki hubungan dengan orang yang telah meninggal dunia tersebut. Dalam literatur hukum Islam 80 atau Fikih, dinyatakan ada empat hubungan yang menyebabkan seseorang menerima harta warisan dari seseorang yang telah mati, yaitu: hubungan kerabat, hubungan perkawinan, hubungan wala’ dan hubungan sesama muslim.75 Dalam hukum Islam ketentuan tentang siapa ahli waris yang berhak mendapatkan pembagian waris serta bagian masing masing tersebut benar-benar secara mutlaq diikuti dari ketentuan Allah Swt.yang wajib diikuti. Karena diakhir ayat yang menerangkan tentang orang-orang yang berhak mendapatkan pembagian waris serta bagian masing masing tersebut Allah Swt. menutup firmanNya tersebut dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ (4) ayat 13 – 14 yang berbunyi sebagai berikut: َّللاِ َو َمنْ يُ ِط ِع ه تِ ْل َك ُحدُو ُد ه ت ت َْج ِري ِمنْ ت َْحتِ َها ْاْلَ ْن َها ُر َخالِ ِدينَ فِي َها َو َذلِكَ ا ْلفَ ْو ُز ا ْل َع ِظي ُم ُ َّللاَ َو َر ٍ سولَهُ يُ ْد ِخ ْلهُ َجنها ص ه ٌاب ُم ِهين ٌ ارا َخالِدًا فِي َها َولَهُ َع َذ ُ َّللاَ َو َر ً َسولَهُ َويَتَ َع هد ُحدُو َدهُ يُ ْد ِخ ْلهُ ن ِ ) َو َمنْ يَ ْع31( Artinya : 13- Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya maka Allah akan memasukkannya ke dalam jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Dia di dalamnya dalam keadaan kekal dan itulah kemenangan yang besar. 14- Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar hukum-hukum-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka. Dia di dalamnya dalam keadaan kekal dan baginya adzab yang hina.76 Dari 4 (empat) hubungan yang menyebabkan seseorang menerima harta warisan dari seseorang yang telah mati tersebut, maka hubungan yang sesuai dengan judul yang penulis bahas adalah hubungan kekerabatan. Di antara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturahmi (kekerabatan) antara keduanya. Adanya hubungan kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran. Misalnya kedua orang tua, anak-anak, saudara, paman, dan 75 76 Amir Syarifuddin, op. cit, hlm. 174. Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 103 81 lain-lain. Orang-orang yang mengambil pusaka dengan jalan kekerabatan ini ada tiga macam:77 (1) Ashhabulfurudl (warits-warits yang menerima bagian tertentu dari harta peninggalan); (2) Al’Ashabatu Nasabiyah (warits-warits yang tidak mempunyai bagian bagian tertentu, tetapi mengambil sisa tirkah sesudah diberikan bagian-bagian Ashhabul Furudl); (3) Dzawul Arham (warits-warits yang tidak masuk ke dalam golongan Ashhabul Furudl dan ‘Ashabah). Ketentuan orang orang yang berhak mendapatkan kewarisan dengan jalan kekerabatan ini berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Nisa’ (4) ayat 11: yang berbunyi: Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi merka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang 77 Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-hukum Warisan dalam Syari’at Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hlm. 43. 82 meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.(Pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.78 Kajian dalam penulisan ini dititik beratkan pada ”kedudukan anak di luar perkawinan“ dalam diktum putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 poin 3 yang berbunyi: “Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya", tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ”. Hal yang menjadi persoalan dari putusan diatas adalah tentang kedudukan keperdataan anak diluar kawin terhadap ayah atau keluarga ayahnya bagi seorang laki-laki dan perempuan yang telah melakukan hubungan di luar nikah (termasuk anak zina) bila dihubungkan dengan kewarisan dalam perspektif hukum Islam. Dalam hukum Islam dikenal istilah anak zina, yakni anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau dilahirkan dalam perkawinan yang sah tetapi disangkal oleh bapaknya sebagai anaknya melalui li’an. Anak zina dalam Islam hanya memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya sebagai hubungan yang tidak bisa disangkal bersifat alamiah. Di dalam Islam yang dihubungkan nasabnya 78 Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 101 83 kepada ayah hanyalah anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang sah, sebagaimana ketentuan nash syar’i di dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab (33) Ayat 5, yang artinya: Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.79 Pada tahap pertama seseorang anak menemukan hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkannya. Seseorang anak yang dilahirkan oleh seorang ibu mempunyai hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkannya. Hal ini bersifat alamiah dan tidak ada seorangpun yang membantah hal ini karena sang anak keluar dari rahim ibunya. Pada tahap selanjutnya seseorang mencari pula hubungan dengan laki-laki yang menyebabkan ibunya itu hamil dan melahirkan. Bila dapat dipastikan secara hukum bahwa laki-laki yang menikahi ibunya itu yang menyebabkan ibunya hamil dan melahirkan, maka hubungan kerabat berlaku pula dengan laki-laki itu. Laki-laki itu selanjutnya disebut ayahnya. Bila hubungan keibuan berlaku secara alamiah maka hubungan keayahan berlaku secara hukum.80 Dengan adanya putusan di atas maka putusan Pengadilan Agama 81 yang biasanya di dalam memutus sengketa kewarisan yang berkaitan dengan penentuan siapa-siapa ahli waris yang sah dari Pewaris, hukum materiil yang digunakan merujuk kepada ketentuan hukum Islam82 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), akan tetapi 79 Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 591 Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 175-176. 81 Karena Pengadilan Agama berdasarkan kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili sengketa kewarisan bagi orang orang beragama Islam (pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989). 82 Dalam penjelasan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam bagian Umum angka (2) alinea ketiga disebutkan ”Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perkara orang orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan,wasiat, hibah,wakaf, dan shadaqah berdasarkan hukum Islam. 80 84 setelah berlakunya putusan MKRI tersebut, maka pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 KHI tidak dapat lagi dijadikan landasan hukum karena telah dinyatakan Inkonstitusional sehingga sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sekalipun demikian, menurut penulis putusan hakim Pengadilan Agama (sebagai hukum in concrito) di dalam mengadili perkara sengketa kewarisan akibat dari putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 harus tetap mengedepankan ketentuan hukum kewarisan Islam (faraidh) sebagai hukum materiil sesuai dengan asas personalitas keislaman yang diatur perundang-undangan di samping tidak terlepas dari ketentuan hukum positif yang berlaku. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang kedudukan anak diluar nikah tersebut merupakan hukum baru di indonesia (kontemporer) yang penerapan dalam hukum konkrito masih memerlukan beberapa penafsiran (verstehn) terhadap pasal pasal tertentu, oleh karena itu hakim Pengadilan Agama di dalam memutus perkara kasus kasus baru yang belum ada hukumnya tidak hanya berfikir tekstualis tetapi juga harus berfikir progresif, sehingga mampu menggali nilai-nilai kebenaran baik dari sumber hukum tertulis maupun tidak tertulis (di antaranya Fiqh) dengan tetap mendasarkan pada sumber primer hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sehingga dengan demikian, hakim disini bertindak sebagai pembuat undang-undang dalam arti konkrit yang sedang dihadapi, atau dengan kata lain konkretisasi hukum adalah melalui putusan hakim. Amar putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang kedudukan keperdataan anak di luar kawin terhadap ayah atau keluarga ayahnya menurut hukum in abstracto masih memerlukan penafsiran, khususnya tentang makna kalimat “memiliki hubungan keperdataan” yang dalam ilmu hukum mempunyai arti luas sehingga terdapat wilayah ijtihad bagi hakim untuk menafsirkannya. Sebagai bahan perbandingan, didalam sistim kewarisan hukum perdata menurut pendapat P.Scholten yang dikutip dalam bukunya J. Satrio, yang disebut anak luar kawin “. . . yaitu anak luar kawin, diluar anak sumbang dan anak zinah, 85 yang mempunyai hubungan hukum dengan pewaris dan untuk selanjutnya kita sebut anak luar kawin saja”.83 Dari uraian ini dapat diketahui bahwa aturan hukum dalam putusan MKRI ini lebih luas dari KUHPerdata (Burgelijk Wetboek). Dalam BW anak luar kawin dibedakan dengan anak zina. Anak zina yang dimaksud BW adalah: anak yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang, laki-laki dan perempuan, yang bukan suami isteri, dimana salah satu atau kedua-duanya terikat dalam suatu perkawinan dengan orang lain. 84 Sedang, hubungan antara pria wanita yang tidak terikat perkawinan dengan pihak lain bukanlah zina. Anak zina tidak boleh diakui ayah biologisnya. Perhatikan Pasal 283 BW yang menyatakan: "Sekalian anak yang dbenihkan dalam zina ataupun dalam sumbang sekali kali tak boleh diakui, kecuali terhadap yang terakhir ini apa yang ditentukan dalam pasal 273”. Begitu juga di dalam pembagian warisan, anak zina maupun anak sumbang tidak berhak untuk mendapatkan warisan, sebagaimana ketentuan pasal 867 BW yang menyatakan bahwa peraturan mengenai “hukum waris anak luar kawin, tidak berlaku bagi anak yang dibenihkan dalam zinah atau dalam sumbang”. Sedangkan dalam putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 anak diluar kawin diperluas pengertiannya terhadap anak yang dilahirkan dari hubungan dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawina, dan termasuk anak yang dilahirkan dari orang tua yang keabsahan perkawinannya masih disengketakan.85 Begitu juga tentang ketentuan hak kewarisan anak di luar kawin, bahwa pengakuan yang diberikan sepanjang perkawinan tidak boleh merugikan isteri dan anak-anak dari perkawinan, pada waktu mana pengakuan diberikan. Ketentuan ini diatur di dalam pasal 285 BW dinyatakan “pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan, oleh suami atau isteri atas kebahagiaan anak luar, yang sebelum kawin olehnya diperbuahkan dengan seorang lain dari pada isteri atau suaminya, 83 J. Satrio, Hukum Waris, Citira Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 137. Ibid., hlm. 158. 85 Putusan Mahkamah konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 angka [ 3.13 ]. 84 86 akan membawa kerugian baik bagi isteri atau suami itu, maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka. Maksud dari ketentuan pasal 285 BW tersebut adalah, dalam hal anak luar kawin diakui sepanjang perkawinan ayah atau ibu yang melahirkannya, maka pengakuan tersebut tidak boleh merugikan suami isteri, dengan siapa ia terikat dalam perkawinan serta anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.86 Dari beberapa uraian di atas penulis berpendapat ketentuan makna kalimat “memiliki hubungan keperdataan” dalam putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 menurut hukum Islam tidak bisa diartikan adanya hubungan kewarisan antara anak luar kawin dengan ayah biologis. Hal tersebut dilandasi pemikiran sebagai berikut: 1. Sebab utama dalam hukum Islam seorang anak mendapatkan hak waris dari ayahnya dikarenakan adanya hubungan nasab yang diakibatkan perkawinan yang sah kedua orang tuanya, sedangkan dalam hal ini anak yang lahir diluar perkawinan tidak terdapat bukti adanya pernikahan yang sah (baik berupa akta nikah maupun putusan itsbat nikah dari pengadilan). 2. Jika anak luar perkawinan diberi legalitas memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, sehingga sebagai akibat dari ketentuan tersebut dalam akta kelahirannya dicantumkan bahwa ayahnya adalah laki-laki yang telah ditetapkan oleh pengadilan sebagai ayah biologisnya, tentunya atas dasar legal standing tersebut dia akan menuntut hak keperdataannya dari ayahnya, hal ini mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. 3. Apabila dilihat aspek perlindungan anak, tidakkah para isteri dan anak-anak sah dari perkawinan yang sah lebih penting untuk dilindungi hak-hak hukumya. Karena akan menghindarkan isteri dan anak yang sah dari kerugian moril dan materiil, karena mereka telah beritikad baik kawin secara sah menurut hukum negara. Hal ini sejalan dengan kaidah hukum Islam: ﺪﺮﺀ ﺍﻠﻤﻓﺎﺴﺪ ﻤﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ ﺍﻠﻤﺼﺎﻟﺢ aynitra: ”Menolak kerusakan itu didahulukan dari meraih kemaslahatan”. 86 J. Satrio, op. cit., hlm. 154. 87 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan studi pustaka sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya, secara garis besar hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Status atau kedudukan seorang anak dalam hukum, apakah itu anak sah atau anak yang tidak sah (lahir di luar perkawinan) diawali dari proses dan perbuatan hukum kedua orang tuanya dalam melaksanakan perkawinan. Terhadap kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan sebagai akibat perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri; nikah di bawah tangan) menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah anak yang tidak sah, karena lahir dari perkawinan yang tidak sah. Oleh karena itu tidak ada jaminan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada para pihak yang melangsungkan perkawinan itu, termasuk dalam hubungan antara bapak yang melahirkan dengan anak-anak yang dilahirkannya. Anak yang lahir dari nikah sirri (di bawah tangan) menurut hukum perdata disebut “anak luar kawin” (onwettig kind) dan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga yang melahirkannya. Ia tidak mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan bapak biologisnya, termasuk dalam hubungan waris, meskipun dengan putusan pengadilan terbukti mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya tersebut. Begitu juga menurut pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan hanya mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu yang melahirkannya. 2. Permohonan pengesahan anak di pengadilan sebenarnya merupakan sikap ambigu dan tidak adanya konsistensi dari seseorang yang semula ketika menikah dengan sadar tidak memenuhi ketentuan hukum perkawinan yang berlaku yaitu Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Hal ini juga sekaligus 88 sebagai bukti nyata bahwa perkawinan yang tidak dilaksanakan sesuai ketentuan negara akan mengakibatkan kemadharatan serta tidak adanya jaminan hukum. Pengesahan anak atau penetapan asal usul anak merupakan kewenangan Pengadilan Agama di bidang perkawinan berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah. Penetapan asal usul seorang anak dimaksudkan sebagai perkara yang berkaitan dengan penyelesaian hukum tentang kedudukan anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah (Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) atau sebaliknya anak yang tidak sah adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah atau lahir dalam perkawinan yang sah akan tetapi disangkal oleh suami dengan sebab li’an. Sebelum adanya putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010, kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak untuk mengajukan pengesahan anak di luar perkawinan hanya diberlakukan kepada pasangan suami isteri yang melakukan pernikahan di bawah tangan saja, karena tanpa memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka menurut hukum positif perkawinannya tersebut tidak sah dan karenanya anak yang dilahirkan dipandang sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Sedangkan, terhadap kedudukan anak hasil zina tidak ditemukan dalam aturan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam, karena perzinahan tidak dipandang sebagai perbuatan hukum perkawinan. Namun, dengan adanya putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut permohonan atau gugatan pengesahan anak di luar perkawinan untuk dapat ditetapkan mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, dapat diajukan oleh seseorang terhadap anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang tidak sah maupun mereka yang tidak ada ikatan perkawinan, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan, 89 semata mata karena alasan demi memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan. Perkara gugatan pengesahan anak di luar perkawinan ini harus diajukan dalam bentuk contentiosa, karena dari putusan MKRI Nomor 46/PUU-VII/2010 tersebut secara implisit terdapat ciri dan prinsip perkara yang mengandung sengketa, yaitu dengan adanya kalimat “. . . yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat menunjukkan bukti adanya lain menurut prinsip hukum pembuktian …”. yang Kalimat harus tersebut ditegakkan berdasarkan pasal 163 HIR/283 R.Bg. Kewajiban membuktikan akan dibebankan kepada Penggugat (isteri) untuk membuktikan bahwa antara anak dan Tergugat keduanya ada keterkaitan hubungan darah. Di sinilah pihak Penggugat akan menemui kesulitan untuk membuktikan di persidangan apabila pihak Tergugat (laki-laki) menolak untuk melakukan tes DNA, atau sengaja tidak hadir di persidangan (verstek). 3. Putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 menambah khazah perkembangan hukum Islam di Indonesia, karena sebelumnya dalam hukum positif maupun Kompilasi Hukum Islam, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan (nasab) dengan ibunya dan keluarga ibunya, sehingga akibat hukumnya anak di luar perkawinan tidak dapat dinasabkan dengan ayah biologisnya dan sekaligus tidak dapat mewarisinya, karena dalam konsepsi hukum Islam Indonesia seorang anak yang dilahirkan belum tentu mempunyai hubungan kebapakan dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya, sedangkan hubungan keibuan antara anak dengan wanita yang melahirkan merupakan hubungan alamiah yang tidak mungkin dipungkiri kebenarannya. Dalam hukum Islam dikenal istilah anak zina, yakni anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau dilahirkan dalam perkawinan yang sah tetapi disangkal oleh bapaknya sebagai anaknya melalui li’an. Anak zina dalam Islam hanya memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya. Dengan adanya putusan MKRI di atas maka putusan Pengadilan Agama yang biasanya di dalam 90 memutus sengketa kewarisan yang berkaitan dengan penentuan siapa-siapa ahli waris yang sah dari pewaris, hukum materiil yang digunakan merujuk kepada ketentuan hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), akan tetapi setelah berlakunya putusan MKRI tersebut, maka pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 KHI tidak dapat lagi dijadikan landasan hukum karena telah dinyatakan inkonstitusional sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sekalipun demikian, putusan hakim Pengadilan Agama sebagai hukum in concrito di dalam mengadili perkara sengketa kewarisan akibat dari putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 harus tetap mengedepankan ketentuan hukum kewarisan Islam (faraidh) sebagai hukum materiil sesuai dengan asas personalitas keislaman yang diatur perundang-undangan, disamping tidak terlepas dari ketentuan hukum positif yang berlaku. Putusan MKRI tentang kedudukan anak di luar perkawinan tersebut merupakan hukum baru di Indonesia (kontemporer) yang penerapannya dalam hukum konkrit masih memerlukan beberapa penafsiran (verstehn) terhadap pasal-pasal tertentu. Oleh karena itu, hakim Pengadilan Agama di dalam memutus perkara kasus-kasus baru yang belum ada hukumnya tidak hanya berfikir tekstual, tetapi juga harus berfikir progresif, sehingga mampu menggali nilai-nilai kebenaran baik dari sumber hukum tertulis maupun tidak tertulis (di antaranya Fiqh) dengan tetap mendasarkan pada sumber primer hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sehingga dengan demikian, hakim disini bertindak sebagai pembuat undangundang (judge made law) dalam arti konkrit terhadap perkara yang sedang dihadapi, atau melakukan konkretisasi hukum melalui putusan hakim. Dalam putusan MKRI tersebut anak di luar kawin diperluas pengertiannya terhadap anak yang dilahirkan dari hubungan dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, dan termasuk anak yang dilahirkan dari orang tua yang keabsahan perkawinannya masih disengketakan. Makna kalimat “memiliki hubungan keperdataan” dalam putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam perspektif hukum Islam tidak bisa diartikan 91 adanya hubungan kewarisan antara anak di luar perkawinan dengan ayah biologis. Hal tersebut dilandasi pemikiran bahwa sebab utama dalam hukum Islam seorang anak mendapatkan hak waris dari ayahnya dikarenakan adanya hubungan nasab yang diakibatkan perkawinan yang sah kedua orang tuanya, sedangkan dalam hal ini anak yang lahir di luar perkawinan tidak terdapat bukti adanya pernikahan yang sah (baik berupa akta nikah maupun putusan itsbat nikah dari pengadilan). Jika anak luar perkawinan diberi legalitas memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, sehingga sebagai akibat dari ketentuan tersebut dalam akta kelahirannya dicantumkan bahwa ayahnya adalah laki-laki yang telah ditetapkan oleh pengadilan sebagai ayah biologisnya, tentunya atas dasar legal standing tersebut dia dapat menuntut hak keperdataannya dari ayahnya. Hal ini mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. B. Saran Pengesahan asal usul anak yang diajukan ke pengadilan berdasarkan putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 agar dapat memenuhi syarat formil, hendaknya diajukan sebagai perkara gugatan (contentiosa) dengan menarik pihak lain (salah satu pasangannya) sebagai pihak lawan (Tergugat), karena aquo suatu perkara yang mengandung sengketa dan pembuktian. Perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama sesuai dengan asas legalitas keislaman seharusnya dibuat kumulatif dengan permohonan “Itsbat Nikah” karena sebagai kewajiban syar’i untuk mengesahkan adanya hubungan pertalian darah (nasab) seorang anak kepada bapaknya harus didahului adanya pernikahan yang sah bagi pasangan laki-laki dan perempuan yang melahirkan anak tersebut. Apabila terbukti adanya hubungan darah antara seorang laki-laki sebagai ayah dengan seorang anak yang dilahirkan, yang secara hukum mempunyai hubungan keperdataan antara keduanya, maka Pengadilan Agama cukup memaknai “adanya hubungan keperdataan” tersebut berupa kewajiban yang tidak ada hubungannya dengan kewajiban syar’i seorang ayah terhadap anaknya seperti: perwalian, 92 hadhanah, dan lain-lain, tetapi hanya sebatas hubungan kemanusiaan berupa alimentasi. Agar putusan MKRI tersebut bisa sejalan dengan hukum Islam yang merupakan hukum materiil yang berlaku pada pengadilan Agama, seharusnya amar putusannya berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan keabsahan perkawinannya menurut keyakinan agama dan kepercayaannya di depan pengadilan, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. 93 DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, CV. Karindo, 2004 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2006 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Ma’arif, Bandung, t.t. Abdul Rokhim, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar kawin dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Unisma, Malang, 2011 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushulul Fiqh, Terjemahan Noer Iskandar Al Barsany dan Moch.Tolchah Mansur, Raja Grafindo, Jakarta, 1996 Abu Amar, “Problematika Pencatatan Perkawinan di Kalangan Umat Islam Sesudah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974”, Tesis, Program Magister Hukum Pascasarjana Unisma, Malang, 2004 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1988 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2002 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, 2004. Andi Syamsu Alam dan Moh. Fauzan, Anak Angkat dalam Prespektif Hukum Islam, t.t. Asjmuni A .Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1976 Chatib Rasyid, Materi Seminar “Status Anak di Luar Nikah dan Hak Keperdataan Lainnya”, IAIN Walisongo Semarang, 10 April 2012. Departemen Agama RI, Terjemah Al-Qur’an, Penerbit Al-Jumanatul Ali J-ART, Bandung, t.t. 94 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya: Juz 1-Juz 30, Mahkota, Surabaya, t.t. Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Abditama, Surabaya, 2001. Ensiklopedi Indonesia, Jilid 4, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994 Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Houve, Jakarta, 1999. Fathurrahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Firdaus, Jakarta, 1999 Fatich, Moch., “Sistem Peradilan Islam”, Program Magister ilmu Hukum, Unisma, Malang, 2012. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum-hukum dalam Syari’at Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1967 Ibrahim Hoesen, Azas-azas Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 1993 Ichtijanto, “Status Hukum dan Hak-hak Anak Menurut Hukum Islam”, Mimbar Hukum, Al Hikmah, No. 46 Thn. XI, Jakarta, 2000. Idris Ramulyo, Moh., Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dari Segi Perkawinan Islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2002 Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi, Jakarta, 2009 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru: Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal MKRI, Jakarta, 2004 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RI., Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005. Muhamad Ali as-Shabuni, Hukum Waris dalam Syari’at Islam, CV Diponegoro, Bandung, 1995. 95 Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwaal al-Syakhshiyah, Dar Alfikr al-‘Araby, Beirut,1957 Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 1991 --------, Hukum Islam dan Peradilan Agama, PT.Raja grafindo Persada, Jakarta, 2002. Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Pustaka Dinamika, Yogyakarta, 2002 Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005. Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005 Poerwadarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990 Satrio, J., Hukum Waris, Citira Aditya Bakti, Bandung, 1990 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 3, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006. Soerjono Soekanto, Tata Cara Penyusunan Karya Tulis ilmiah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitihan Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995 Sri Soemantri M., Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung, 1982 Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Rinaka Cipta, Jakarta, 1994 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995 Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim, terjamahan Musthofa Aini, Darul Haq, Jakarta, 2007. Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris, Pustaka Matiq, Solo, 1994. 96 Tanya Jawab Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam, Proyek Penyuluhan Hukum PTA Jawa Barat, 2001. Wahbah Zuhaily, Alfiqul Alislamy wa Adillatuhu, Daarul Fiqry al Ma’shir, Beirut, t.t. 97 98