1 | Page IDENTITAS KAWASAN CAKRANEGARA

advertisement
IDENTITAS KAWASAN CAKRANEGARA LOMBOK DAN RUMUSAN BENTUK
YANG SESUAI DENGAN IDENTITAS PADA ELEMEN FISIK KAWASAN
Disertai contoh aplikasi penerapannya1
Baiq Dende Diah Ayu Ditya2
Ir. Heru Purwadio, M.S.P3
Prof. Ir. Endang Titi Sunarti, M.Arch, Ph.D4
Abstrak
Sebuah kesadaran akan pentingnya kota yang berwawasan identitas untuk
menghindari kota-kota yang berwajah sama, melatar-belakangi keinginan untuk mengkaji
dan mengidentifikasi identitas pada kawasan Cakranegara, dalam upaya mengembalikan dan
memperkuat identitas kawasan.
Dalam kajian ini, diawali dengan penulusuran identitas pada kawasan Cakranegara,
dimana identitas kawasan diidentifikasi melalui analisa tipo-morfologi pada elemen-elemen
fisik kawasan pembentuk identitas. Tahap kedua dilakukan penyandingan antara bentuk
hasil temuan identitas (berdasarkan referensi arsitektur Bali pada setiap indikator) dengan
bentuk eksisting untuk menghasilkan contoh-contoh aplikasi penerapannya pada kondisi
eksisting.
Hasil dari kajian ini adalah berupa identitas kawasan Cakranegara dan rumusan
bentuk yang sesuai dengan identitas pada elemen-elemen fisik kawasan, disertai contoh
aplikasi penerapannya pada kondisi eksisting kawasan
Kata kunci: identitas kawasan, elemen-elemen fisik kota, Arsitektur Hindu-Bali
PENDAHULUAN
Awal mula pembentukan kota Cakranegara adalah sebagai kota kerajaan Hindu di
pulau Lombok, yang pada masa itu merupakan koloni Kerajaan Hindu Karang Asem di pulau
Bali. Kota Cakranegara dibangun berdasarkan kaidah kosmologi Hindu-Bali dan pada kondisi
eksisting beberapa cirinya masih dapat dilihat dari kebertahanan artefak kota dan bangunan
Cagar Budaya ada di dalamnya
Pada kondisi saat ini, secara keseluruhan kawasan Cakranegara tidak lagi
menampakan ciri khasnya sebagai kawasan yang dibangun berdasarkan kaidah Arsitektur
Bali, karena adanya pembangunan baru yang tidak memperhatikan kesinambungan
bangunan baru dengan bangunan lama, yaitu bangunan cagar budaya peninggalan kerajaan
Karang Asem Lombok. Dimana pembangunan baru di kawasan Cakranegara ini lebih
mempertimbangkan nilai ekonomi, dimana kawasan ini menjadi area perdagangan sehingga
pembangunan lebih memihak ke sektor komersial.
Dari penjelasan sebelumnya, maka permasalahan yang diangkat adalah ketidak
sesuaian kondisi saat ini, yaitu tata ruang kawasan dengan ketentuan Arsitektur Hindu-Bali,
yang mengakibatkan masyarakat di dalamnya tidak lagi dapat merasakan sense of place
pada kawasan. Dari permasalahan tersebut muncul tujuan dari kajian ini yaitu merumuskan
identitas pada kawasan Cakranegara, sebagai pendekatan dalam upaya membentuk
identitas kawasan yang kontekstual.
1
Disarikan dari Tesis Program Magister Teknik Arsitektur ITS
Mahasiswa Program Magister Teknik Arsitektur ITS, Bidang Keahlian Perancangan Kota. Email;
[email protected]
3
Dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITS
4
Dosen Program Studi Teknik Arsitektur ITS
2
1|P age
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam upaya mencapai tujuan yaitu berupa rumusan
identitas pada kawasan Cakranegara, adalah melalui teknik analisa tipo-morfologi
(typological-morphological analysis) (Loeckx, dalam Darjosanjoto,2006), tahapan yang akan
dilakukan dalam proses analisa ini adalah:
1. Menemukan adanya kestabilan dan perubahan yang lambat dari bentuk/ tipe
arsitektur yang diamati
2. Membuat deskripsi mengenai tipologi yang dimiliki oleh artefak kota
3. Identifikasi hubungan antara bagian bagian kota tersebut (keterhubungan antara
pusat kota dengan sekitarnya)
4. Studi mengenai pembentukan dan dinamika dari tipe dan struktur objek yang diteliti
(dari bentuk awal sampai ke bentuk eksisting ada perkembangan/ perubahan yang
dinamis atau statis)
Dari keseluruhan tahapan tersebut dapat diidentifikasi dan ditetapkan identitas dari kawasan
Cakranegara.
Tahap kedua merumuskan temuan identitas pada setiap indikator dengan
menyandingkan antara bentuk awal, bentuk yang sesuai referensi Bali dan bentuk eksisiting.
Selanjutnya untuk mendapatkan contoh penerapan indentitas pada eksisting kawasan
adalah dengan menyandingkan temuan identitas pada masing masing elemen-elemen fisik
pada setiap indikator (land use, ruang luar dan bangunan) dengan kondisi eksisting.
IDETITAS KAWASAN
Berbicara mengenai identitas kawasan berarti bicara mengenai sesuatu yang
menjadi ciri khas/jati diri kawasan, yang telah mengalami proses yang panjang sehingga
identitas tersebut dapat ditangkap oleh masyarakat. Identitas merupakan hasil dari interaksi
antara lingkungan dengan manusia yang ada di dalamnya.
Terdapat pemahaman berbeda tentang identitas. Dari sudut pandang Trancik (1986)
dalam teori Place-nya, yang mana mengungkapkan identitas sebagai sebuah place. Place
adalah dimana sebuah ruang yang mampu mewakili lingkungan, budaya masyarakat dan
kejadian/ aktifitas yang terjadi di dalamnya. Identitas tergantung pada pemahaman manusia
yang bergerak di dalamnya, dalam kaitannya dengan keterhubungan diantara objek-objek di
dalam kota, serta makna, aktifitas dan fungsi yang ada di dalamnya yang dapat mengubah
space menjadi place. Apa yang berupaya ditampilkan dalam place adalah kontekstual yaitu
lebih mengarah pada ciri dan makna yang dimiliki oleh lingkungan itu sendiri.
Pemahaman lain menurut Rossi (1982) identitas dapat muncul melalui artefak kota.
Persamaannya dengan pemahaman Trancik adalah, bahwa identitas dipengaruhi oleh
kejadian dan peristiwa (urban ritual), Pemahaman Rossi tentang artefak kota lebih
mengarah ke kebertahanan artefak kota yang memiliki nilai historis atau yang menjadi
wadah berlangsungnya urban ritual.
Pemahaman lain yaitu Shirvani (1985) membedakan antara identitas dan sense,
dimana sense adalah makna yang ditangkap oleh manusia yang ada di dalam lingkungan
tersebut, terkait dengan makna kultural dan budaya masyarakat, sedangkan identitas dapat
diwujudkan melalui bentuk arsitektur, elemen estetik dan nilai yang membuat sebuah kota
dapat dipahami secara visual.
Dari beberapa teori dapat disimpulkan bahwa identitas kawasan adalah dimana
sebuah ruang mampu mewakili lingkungan, budaya masyarakat dan kegiatan di dalamnya
yang sifatnya tidak terukur, yang ketiganya kemudian membentuk seting lingkungan. Seting
lingkungan tersebut kemudian ditangkap oleh pengamat untuk selanjutnya diolah dalam
pikiran dan diberi pemaknaan, dan pemaknaan yang ditangkap oleh rata rata masyarakat
tersebutlah yang kemudian disebut identitas kawasan. Oleh karena itu agar identitas yang
2|P age
sifatnya tidak terukur tersebut dapat ditangkap oleh pengamat secara visual adalah dengan
mengaplikasikan nilai budaya, ciri lingkungan ke dalam elemen-elemen fisik kota.
Identitas/
Sense of place
(Tidak terukur)
?
Pengamat
Dilakukan dengan memvisualisasikan identitas tersebut
melalui elemen-elemen fisik kota (terukur)
Gambar.1. Sense of place dan elemen fisik yang ditangkap oleh pengamat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa identitas merupakan aspek yang sifatnya tidak
terukur dan tergantung dari persepsi pengamat terhadap setting lingkungannya. Dalam
upaya membentuk identitas pada sebuah kawasan, dapat dilakukan dengan pendekatan
terhadap elemen-elemen fisik kota, karena melalui elemen fisik inilah sebuah pemahaman
akan ditangkap oleh pengamat secara visual untuk kemudian diolah dalam pikiran dan diberi
pemaknaan, aspek-aspek fisik tersebut (land use, ruang luar dan bangunan) dalam konteks
kawasan Cakranegara merupakan hasil aplikasi dari nilai budaya yang mempengaruhi
masyarakatnya, yang dalam hal ini adalah pengaruh pandangan kosmologi dari budaya
Hindu-Bali di Cakranegara.
Untuk menetapkan elemen-elemen yang akan digunakan dalam upaya pembentukan
identitas sebuah kawasan adalah dengan melihat elemen apa saja yang menonjol dan dapat
dijadikan potensi untuk membentuk identitas kawasan, tentunya yang sesuai dengan tema
(estetika ataupun budaya), yang dalam konteks penelitian ini adalah elemen-elemen fisik
yang memiliki kesesesuaian dengan konsep Arsitektur Bali, elemen-elemen tersebut antara
lain dapat dilihat pada tabel.1. Beberapa diantaranya tidak dimasukan ke dalam elemen fisik
yang nantinya digunakan sebagai indikator, dikarenakan tidak memiliki kesamaan dengan
ketentuan yang ada pada arsitektur Bali.
Tabel. 1. Elemen fisik pembentuk identitas yang sesuai dengan konsep Bali
Danisworo
Shirvani
Fungsi
Penggunaan lahan/ land use
Bentuk
masa
bangunan
Sirkulasi dan parkir
Ruang luar
Vegetasi
Bentuk & masa bangunan
Sirkulasi dan parkir
Ruang luar
Rambu dan papan reklame
preservasi
Lynch
Bagaimana
manusia
berorientasi di dalamnya,
melalui elemen : Path, edge,
node, distrik dan landmark
Elemen yang memiliki kesesuaian dengan konsep Bali
Sumber: pemahaman
ARSITEKTUR HINDU-BALI SEBAGAI REFERENSI
Penyesuaian nilai kosmologi pada kawasan Cakranegara dilakukan karena nilai
kosmologi menjadi dasar tatanan bangunan dan lingkungan pada kawasan yang dipengaruhi
oleh arsitektur Hindu Bali, dimana nilai kosmologi ini muncul dari budaya dan kepercayaan
dalam masyarakat Hindu-Bali (sikap pandangan hidup yang tidak terlepas dari sendi-sendi
agama, adat istiadat dan sitem religi yang melandasi aspek-aspek kehidupan) (Dwijendra,
3|P age
2008). Dimana apabila dilihat secara garis besar, dasar kosmologi Hindu-Bali adalah
menyeimbangkan alam semesta (Buana Agung/makrokosmos) dengan segala isinya ( Buana
Alit/mikrokosmos).
Kajian arsitektur tradisional Bali sebagai referensi dilakukan untuk mengenali pola
tata ruang yang dipengaruhi oleh pola Arsitektur Tradisional Bali dengan dasar Asta Kosala
Kosali. Hal ini didasari bahwa pola pada kota-kota di Bali ataupun kerajan Bali di pulau lain
merupakan refleksi dari budaya dan kultur Bali itu sendiri. Beberapa konsep arsitektur Bali
tersebut antara lain;
1. Konsep Mandala:
Konsep Mandala, Sanga Mandala, Tri Hita Karana dan Tri Angga sangat dipengaruhi
oleh konsep duality ( mikrokosmos dan makrokosmos), yaitu hubungan manusia (Buana alit )
dan dengan alam semesta (Buana agung).
Ketiga konsep tersebut menghasilkan bentuk orientasi diantaranya:
 Orientasi Kangin-Kauh
• Kangin matahari terbit, dengan nilai Utama
• Kauh, matahari terbenam, dengan nilai Nista
 Orientasi dengan konsep sumbu alam (konsep Tri Angga)
• Kaja, ke arah gunung dengan nilai Utama
• Kelod, ke arah laut dengan nilai Nista
Keterangan:
B
T
Utama
Madya
Nista
Konsep Tri Angga
Konsep Mandala
Konsep Sanga Mandala
Gambar.2. Penzoningan sesuai kosmologi, sumber: pemahaman dari Gelebet, 1985
Konsep Mandala kemudian membagi kawasan menjadi tiga nilai utama yaitu UtamaMadya-Nista, dapat pula membagi kawasan menjadi Sembilan nilai yang merupakan hasil
dari kombinasi orientasi matahari dan orientasi gunung-laut.
Konsep penzoningan Mandala dalam konteks kawasan:
1. Perempatan Agung sebagai persilangan poros utama kawasan, yang kemudian
dipotong lagi oleh Perempatan Alit yang membentuk blok-blok pemukiman (Banjar).
2. Titik pusat Perempatan Agung sebagai pusat orientasi lingkungan: memiliki makna
Nol/ atau netral. Sedangkan ruang luar (Natah) pada bangunan (pemukiman)
merupakan orientasi bangunan di sekelilingnya.
3. Di masing masing sisi Perempatan Agung terdapat area/lahan kosong
4. Arah timur laut (Kaja-Kangin): sebagai tempat utama untuk Puri dan Pura.
5. Arah tenggara (Kelod-Kangin): untuk lapangan
6. Arah barat daya (Kelod Kauh): untuk pasar
7. Arah barat laut (Kaja-Kauh): Bale Banjar, ruang bersama/ Wantilan
8. Pembagian peletakan Puri mengikuti pola Utama-Madya-Nista
9. Peletakan zoning berdasarkan hirarki strata masyarakat
10. Pembagian zona Utama-Madya-Nista dengan penempatan Pura pada setiap zona.
Penempatannya didasari juga oleh konsep Utama-Madya-Nista:
 Pura Kayangan Jagad: ditujukan Dewa Brahma the creator of birth
 Pura Puseh: ditujukan untuk Dewa Wisnu the protector of life
 Pura Dalem: ditujukan untuk Dewa Siwa the destroyer
4|P age
2. Konsep Tri Angga:
Konsep Tri Angga ini merupakan perwujudan dari keseimbangan antara manusia
dengan alam. Tri Angga lebih menekankan pada nilai fisik, yaitu: Utama Angga (kepala),
Madya Angga (badan), dan Nista Angga (kaki) (Dwijendra, 2008). Bila dalam konteks
vertikal maka nilai utama ada pada bagian teratas, bila secara horizontal maka utama
tedapat pada arah terbitnya matahari dan arah gunung. Konsep Tri Angga ini mempengaruhi
dalam perwujudan fisik bangunan. Penerapan Tri Angga pada bangunan memiliki berbagai
variasi, namun pada dasarnya memiliki kesamaan sebagai berikut:
 Keseimbangan kosmologi (Tri Hita Karana)
 Hirarki tata nilai (Tri Angga)
 Konsep ruang terbuka (Natah)
 Proporsi dan skala: bangunan dibagi atas tiga komponen yaitu: kepala, badan, kaki.
 Kronologi dan posesi pembangunan
 Clarity of structur: kejelasan struktur
 Truth of material: Warna dan tekstur pada arsitektur Bali umumnya menampakkan
warna asli dari material yang digunakan.
Pada arsitektur tradisional Bali memungkinkan menggunakan beberapa konsep
sekaligus, namun ini tergantung pada penyesuaian dengan tempat, waktu dan keadaan
dimana konsep tersebut diterapkan (Desa-Kala-Patra), dan terdapat fleksibilitas dalam
penerapannya selama tidak berlawanan dengan landasan filosofisnya (Desa-Mawa-Cara).
ANALISA DAN PEMBAHASAN; IDENTIFIKASI IDENTITAS KAWASAN
Tahapan pertama dalam penelitian yaitu identifikasi identitas pada kawasan
Cakranegara. Adapun alat yang digunakan dalam pengkajian identitas kawasan adalah
melalui teknik analisa tipo-morfologi yang mana tahapan dan pembahasannya adalah
sebagai berikut:
1. Identifikasi Perubahan Bentuk Arsitektur
Identifikasi perubahan bentuk fisik ini marupakan tahapan pertama dari analisa tipomorfologi, yaitu menemukan adanya kestabilan dan perubahan yang lambat dari bentuk/
tipe arsitektur yang diamati yang didapat melalui penelusuran sejarah (diachronic reading ),
yang menghasilkan tahap-tahap perubahan dari bentuk awal ke bentuk eksisting.
1.1. Periode I (Era Kerajaan Singasari/KarangAsem Abad XVII-XVIII)
Infiltrasi Kerajaan Karang Asem dimulai ± 1690, di bawah Tritunggal I membentuk
embrio basis di sekitar daerah dekat pantai, yang berlangsung selama ± 50 tahun. Di bawah
Tritunggal II pada tahun 1740 Karang Asem melakukan penyerbuan besar-besaran di bawah
pimpinan I Gusti Ketut Karang Asem. Kerajaan Pejanggik dan Selaparang berhasil
dikalahkan. Kemudian untuk memperkuat persatuan, Raja Karang Asem mendirikan Pura
Meru di Singasari (Cakranegara).
1.2. Periode II (Era Kerajaan Mataram-Singasari Abad XVII-XVIII)
Kerajaan Singasari dikalahkan kerajaan Mataram yang kemudian menjadi penguasa
tunggal di Lombok, raja Mataram kemudian memproklamirkan kerajaannya dengan nama
kerajaan Selaparang Karang Asem. Pada era ini, dilakukan renovasi atas berbagai
peninggalan Karang Asem sebelumnya dan dilakukan pembangunan kota Cakranegara,
nama kerajaan diganti menjadi Cakranegara yang berarti negara yang sudah bulat bersatu.
Kota Cakranegara diarahkan untuk menjadi pusat pemerintahan. Karena itulah di
tempat ini dibangun istana raja, yaitu istana atau Puri Ukir Kawi pada tahun 1744,
bertempat di sebelah timur laut Perempatan Agung bersebelahan dengan taman Mayura, di
sebelah barat laut merupakan lapangan, di barat daya disebut Yasa Kambang, di sebelah
tenggara berupa pasar dan di sebelah timur Pura Meru (Suardana, 2005). Pendirian Puri Ukir
Kawi tersebut bersamaan dengan pembangunan Taman Mayura, sedangkan Pura Meru
5|P age
sudah dibangun lebih dahulu pada periode I, letaknya berseberangan jalan dengan
kompleks Taman Mayura karena antara keduanya merupakan satu kesatuan di dalam
konsepsi tata letak pusat pemerintahan kerajaan Cakranegara pada waktu itu (DepDikBud
2001). Selain itu pada masa ini juga dibangun Pura Dalem yang terletak di Cakranegara
Barat, yang merupakan pusat tempat pembakaran mayat (Ngaben). Peletakan Pura dan Puri
serta Karang adalah aplikasi dari konsep Mandala .
Tata ruang kota terdiri dari blok-blok kota yang peruntukannya jelas dan
dihubungkan oleh jalur-jalur jalan yang teratur rapi. Formasi dari unit komunitas, Karang
(unit lingkungan), juga direncanakan dengan konsep yang jelas dalam penyusunan kota.
Seluruh blok kota akan terpusat dan sekaligus berfungsi melindungi kompleks istana (Puri).
Di luar kompleks puri, setiap blok dihuni strata sosial tertentu, sebagaimana berlaku dalam
masyarakat Bali.
1.3. Periode III pemerintahan Belanda (Setelah Abad XVIII)
Belanda menaklukan Lombok dalam suatu perang yang disebut ”Bedah Cakra.”
Setelah itu pusat pemerintahan dipindahkan ke Mataram. Pengaruh Belanda di Cakranegara
tidak begitu terlihat. Karena pola kawasan sebelumnya memang sudah terbentuk. Pengaruh
kekuasaan Belanda pada fisik kawasan hanya berupa bangunan, yaitu pada letak Puri Ukir
Kawi yang berubah menjadi bangunan kolonial. Skema periode perkembangan kawasan
dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar .3. Skema perkembangan kawasan. Sumber: Hasil analisa
1.4. Kondisi eksisting Kawasan Cakranegara.
Beberapa ciri yang menandai Cakranegara adalah sebuah kota kerajaan Hindu yang
memiliki nilai kosmologi dan masih dapat terlihat sampai saat ini :
1. Pola Jaringan jalan: adanya titik pusat kota yang berbentuk persimpangan jalan utama
yang disebut pempatan Agung. Kawasan Cakranegara, oleh pemerintah setempat telah
dijadikan sebagai pusat perdagangan skala kota, sehingga tampak deretan pertokoan
6|P age
sebagai wajah kawasan di sepanjang jalan utama. Selain itu, pada pempatan Agung ini
juga terdapat pasar yang peletakannya tidak berubah dari tatanan sebelumnya.
Pola pembagian jalan masih ada sampai sekarang (jaringan jalan tidak mengalami
perubahan), berikut pola pembagian jalan:
- Marga Agung : merupakan jalan utama kawasan dengan lebar ± 20 m.
- Marga Dasa : perpotongan jalan permukiman dengan jalan raya
- Marga: Lorong-lorong dalam permukiman yang terhubung satu dengan yang
lainnya, sehingga tidak ada jalan buntu.
2. Pura-Pura yang ada pada kawasan Cakranegara sebagai warisan dari jaman kerajaan
yang masih dapat terlihat dengan jelas hingga saat ini antara lain :
 Pura Meru: Pura ini merupakan salah satu tempat pemujaan bagi seluruh umat
Hindu, bukan hanya umat Hindu di Lombok (Suardana,2005).
 Pura Mayura: Pada mulanya taman ini berfungsi sebagai taman raja dan dikompleks
ini juga terdapat tempat peristirahatan raja. Namun keberadaan Taman Mayura saat
ini lebih difungsikan sebagai tempat ibadah dan sebagai taman rekreasi masyarakat.
 Pura Dalem: Pura Dalem adalah Pura yang digunakan sebagai tempat pemujaan
Dewa Siwa. Dalam perwujudannya Dewa Siwa adalah sebagai Durga Pamralina
(dewa pelebur), sehingga di Pura Dalem ini digunakan sebagai pusat tempat
pembakaran mayat yang lebih dikenal dengan upacara Ngaben. Pura Dalem ini
terletak di Cakranegara Barat.
Melalui serial peta yang didapat dari penelusuran sejarah (diachronic reading), dapat
disimpulkan bahwa pengaruh yang paling besar pada fisik kawasan adalah pengaruh
arsitektur Hindu-Bali. Gambar peta kawasan Cakranegara dari tahap perkembangan 1-4
dapat dilihat pada gambar 4.
2. Deskripsi Tipologi Artefak Kota
Tahapan kedua dari analisa tipo-morfologi adalah membuat deskripsi mengenai
tipologi artefak kota. Artefak kota tersebut dalam hal ini adalah elemen-elemen yang
digunakan dalam upaya pembentukan identitas kawasan, Elemen-elemen tersebut antara
lain adalah elemen identitas yang memiliki kesamaan dengan arsitektur Hindu-Bali yaitu;
land use, ruang luar, bangunan. Elemen-elemen tersebut didapat dengan melihat elemen
apa saja yang menonjol dan dapat dijadikan potensi untuk membentuk identitas kawasan
yang dalam konteks penelitian ini adalah dengan melihat kesesuaiannya dengan arsitektur
Hindu-Bali. Hal ini dikarenakan dari hasil analisa yang dilakukan pada tahap pertama telah
disimpulkan bahwa arsitektur Bali memiliki pengaruh yang paling besar dalam pembentukan
kota Cakranegara selain itu dilihat pula dari kebertahanan artefak kotanya. Dari identifikasi
tipologi artefak kotanya didapat:
2.1. Land use: pengaruh kosmologi membagi kawasan menjadi 3 yaitu; Utama-MadyaNista. Dapat dilihat dengan kebertahanan bangunan suci, yang menandai setiap zona
antara lain; zona Utama dengan pura Khayangan Jagad, Madya dengan pura Puseh di
beberapa unit lingkungan (Banjar), dan Nista dengan pura Dalem, walaupun perubahan
land use banyak terjadi di zona Madya.
2.2. Ruang luar sebagai orientasi dari bangunan dan aktifitas. Perempatan Agung sebagai
titik pusat (netral) membatasi antara utama dan Madya dari segi fisik sudah berubah.
Kesan enclosure pada Perempatan Agung juga tidak lagi ada.
2.3. Bangunan: fasad dan bentuk bangunan mengikuti konsep Tri Angga (kepala-badankaki) masih dapat ditemui di bangunan bangunan Suci. Untuk fasad bangunan secara
sekuensional yang membentuk skyline kawasan Cakranegara menonjolkan keutamaan
fungsi dan nilai bangunan pada zona utama. Penerapan konsep Truth of material
ditemuni pada bangunan, kecuali bangunan di zona Madya.
7|P age
Gambar penelusuran bentuk awal sampai bentuk eksisting berdasarkan hasil analisa;
Peta kecamatan Cakranegara
Peta kecamatan Cakranegara
Peta kecamatan Cakranegara
U
U
Perkembangan pada periode e II Era
Kerajaan Mataram-Singasari Abad
XVIII-XIX.
U
U
Perkembangan pada periode III (Setelah
Abad XVIII) dibawah kekuasaan Belanda.
KETERANGAN
Kondisi eksisting.
Taman Mayura
Yaba Kambang
Puri Ukir Kawi
Pasar
Pemukiman
Pertokoan
Kantor Bank Belanda
Pura Meru
Mataram Mall
Lapangan
Pura Dalem
Gambar .4. Gambar tahapan perubahan dari bentuk awal ke bentuk eksisting. Sumber Analisa
8|P age
3. Identifikasi Hubungan Antara Artefak Kota
Tahap ketiga dari analisa tipo-mofologi adalah Identifikasi hubungan antara
artefak di dalam kota dalam hal ini adalah mengidentifikasi keterhubungan antara pusat
kota dengan kawasan sekitanya. Hubungan antara pusat Perempatan Agung dengan
kawasan di sekitanya bersifat memusat, karena peran Perempatan Agung sebagai ruang
pemersatu yang menggabungkan ruang sekunder/ kawasan di sekitarnya, terdiri dari
empat sumbu yang bertemu di pusat Perempatan Agung .
Utara
Perempatan
Agung
kaja
Kaja
Kauh
Kaja
kangin
kangin
Kauh
Kelod
kangin
Kelod
kauh
Kelod
Gambar.5. Keterhubungan antara pusat dan sekitanya yang bersifat memusat. Sumber:
Hasil analisa
Selain itu Perempatan Agung dikatakan pusat karena diperkuat oleh fakta bahwa
adanya hiraki pada susunan pola jaringan jalannya yang membentuk grid, dimana pada
gambar 6, dapat dilihat adanya perbedaan ukuran ruang di zona Banjar Agung (kuning).
U
Luas tapak yang lebih
besar
pada
pusat
Perempatan Agung
Hirarki pada kawasan Cakranegara
Gambar.6. Hirarki pada kawasan Cakranegara Sumber: analisa
4. Pembentukan dan Dinamika Dari Objek
Tahap terakhir dari analisa tipo-mofologi adalah studi mengenai pembentukan
dan dinamika dari tipe dan struktur objek yang diteliti, dalam hal ini adalah melihat
perubahan (perkembangan yang dinamis) maupun kebertahanan (perkembangan yang
statis) pada bentuk awal maupun eksisting. Hasil dari identifikasi dinamika dari tipe objek
yang diteliti, untuk bangunan, ruang luar dan land use sebagian mengalami perubahan.
Dari segi bangunan, khusus untuk tipologi bangunan suci cenderung statis.
Dari analisa tipo-morfologi yang dilakukan, baik melalui penelusuran sejarah,
tipologi elemen kota, keterhubungan dan dinamika perubahan didapat bahwa pengaruh
yang paling besar pada fisik kawasan adalah pengaruh arsitektur Bali. Sehingga dalam
upaya membentuk identitas kawasan yang kontekstual adalah bagaimana agar identitas
kota Cakranegara sebagai kota yang dipengaruhi oleh budaya Hindu-Bali ini dapat
ditangkap oleh pengamat secara visual. Salah satunya dapat dilakukan dengan
mengaplikasikan arsitektur Hindu-Bali pada elemen elemen fisik kotanya, yaitu pada
elemen land use, ruang luar dan bangunan, karena sesuai dengan pemahaman identitas
bahwa aspek-aspek fisik tersebut merupakan hasil aplikasi dari nilai budaya yang
mempengaruhi masyarakat yang ada di dalamnya.
9|P age
ANALISA DAN PEMBAHASAN; RUMUSAN IDENTITAS PADA SETIAP INDIKATOR
Hasil temuan identitas pada setiap indikator, dirumuskan berdasarkan tahapan kedua dalam analisa tipo-morfologi yaitu deskripsi mengenai
tipologi yang dimiliki artefak kota (land use, ruang luar dan bangunan), yang didapat dengan menyandingkan ketentuan identitas dengan bentuk
eksisting. Penjabaran dari analisa identitas dijabarkan dalam bentuk tabel, dapat dilihat pada tabel 2:
2. Analisa Identitas Pada Elemen Land Use
Tabel .2. Tabel analisa identitas pada Land use
SubIndikator
Pemanfaat
an
lahan
berdasarka
n
pembagian
UtamaMadyaNista
Bentuk Awal
Eksisting
Temuan Identitas
Kawasan
secara
makro
(Perempatan
Agung)
menggunakan Konsep Mandala dalam Aturan jenis
pemanfaatan ruangnya, menggunakan dasar orientasi
arah terbitnya matahari yaitu: pembagian zona UtamaMadya-Nista secara linier, dengan penempatan Pura
sebagai penanda pada setiap zona. Nilai utama ditandai
oleh adanya Perempatan Agung dan zona Banjar Agung
zona Madya ditandai dengan pemukiman, Perempatan
Alit sebagai pembagi setiap Karang. Zona Nista ditandai
dengan area Pura Dalem.
Utama: penempatan bangunan yang memiliki nilai
utama dengan skala pelayanan kota dapat dikatakan
tidak mengalami perubahan, pusat Perempatan
Agung ini masih terdapat pasar yang pelayanannya
skala pelayanan kota, kemudian Perempatan Agung
masih berperan sebagai orientasi aktifitas urban
ritual, tempat terjadinya prosesi penting dalam
upacara tawur kesanga.
Madya : pemanfaatan pemukiman pada zona ini
sebagian besar sudah mengalami perubahan
khusunya pada bagian di sepanjang jalan utama dan
jalan lingkungan yang sudah berubah menjadi
pertokoan dan disimpulkan bahwa telah mengalami
perubahan.
Perubahan pemanfaatan dikarenakan
pengaruh nilai lahan yang semakin tinggi sehingga
pemilik cenderung memanfaatkannya untuk fungsi
yang lebih komersial, dari rumah kemudian
penambahan
infill building berupa
warung,
selanjutnya perlahan lahan berubah seluruhnya
menjadi bangunan rumah toko. Perubahan fungsi
lahan menjadi fungsi komersial dipengaruhi oleh
adanya dua spot pelayanan skala regional yaitu pasar
Cakranegara di sebelah timur dan Mataram Mall di
sebelah barat dekat dengan Pura Dalem, yang
menyebabkan kecenderungan berubahnya hunian
menjadi Ruko di sekitar kedua spot tersebut
Nista:
Pemanfaatan
area
perkuburan
dan
pembakaran mayat di bagian paling barat (yang
memiliki nilai Nista), kondisinya tidak mengalami
perubahan.
Pengaruh kosmologi yang membagi kawasan menjadi 3
yaitu; Utama-Madya-Nista, dilihat dengan kebertahanan
pura-pura utama yang menandai setiap zona; Utama
dengan pura Khayangan Jagad, Madya dengan pura
Puseh dan pemukiman penduduk, dan Nista dengan pura
Dalem.
Utama: penempatan bangunan yang memiliki nilai
utama dengan skala pelayanan kota.
Madya : pemanfaatan pemukiman, dengan Perempatan
Alit yang membagi setiap Karang atau lingkungan
pemukiman
Nista: Pemanfaatan area perkuburan dan pembakaran
mayat
Pada unit pemukiman konsep Sanga Mandala (orientasi
matahari dan orientasi gunung-laut) mempengaruhi tata
peletakan bangunan dengan nilai dan fungsinya di dalam
tapak.
Sumber: analisa
10 | P a g e
3. Analisa Identitas Pada Elemen Ruang Luar
Tabel. 3. Tabel analisa identitas pada elemen ruang luar
SubIndikator
Orientasi
Bentuk Awal
Eksisting
Temuan Identitas
Orientasi ruang pada terbuka publik: Titik pusat
Perempatan Agung dan Marga Agung sebagai orientasi
bangunan dan aktifitas di dalam kota. Karena adanya
bangunan utama dengan skala pelayanan kota pada
Perempatan Agung (Banjar Agung), selain itu nilai
Perempatan Agung sebagai pusat yang menjaga
keseimbangan alam semesta.
Orientasi ruang pada terbuka
publik: bangunan tidak lagi berorientasi
pada Perempatan Agung, akan tetapi
orientasi aktifitas terkait urban ritual
masih
tetap
berorientasi
pada
Perempatan Agung.
Orientasi utama aktifitas dan bangunan di ruang terbuka
publik adalah pada titik pusat Perempatan Agung dan orientasi
bangunan (Penyengker dan Kori) di sepanjang Marga Dasa dan
Marga adalah ruang luar berupa jalan dan tag-tagannya.
Orientasi pada
Perempatan
Agung
Bentuk
ruang
luar
Betuk dasar ruang luar adalah square atau persegi ini
dikarenakan susunan antara solid-void-nya menggunakan
susunan grid, yaitu adanya perpotongan garis garis, dalam hal
ini jalan yang yang membentuk bidang-bidang/ unit modular/
unit lingkungan, yang membagi tiap modul dengan nilainya
masing masing.
Bentuk ruang terbuka pada Perempatan
Agung mengalami perubahan, karena
tidak lagi terdapat ruang kosong di
setiap sudut yang tadinya membentuk
enclosure
Bentuk
ruang
luar:
variasi
dari
bentuk
square
denganpenambahan dan pengurangan.
Bentuk ruang luar pada Perempatan Agung dalam hal ini adalah
berupa jalan, memiliki kesan enclosure, yang dapat dimunculkan
melalui bangunan maupun bidang bidang yang mampu
mengenclose ruang luar (titik pusat Perempatan Agung ).
Masa Bangunan /
bidang Membentuk
enclosure
Ruang
luar
Sumber: analisa
11 | P a g e
4. Analisa Identitas Pada Elemen Bangunan
Tabel.4. Tabel analisa identitas pada elemen bangunan
Sub
Indikator
Fasad
Bentuk Awal
Eksisting
Temuan Identitas
Fasad bangunan sesuai dengan Konsep Tri Angga yaitu
memiliki tiga komponen yaitu: tampilan kepala (utama
angga), badan (Madya angga) dan kaki (Nista angga),
dengan tampilan bangunan yang simetris.
Pada bangunan suci: pada bangunan suci seperti
taman Mayura dan Pura Meru serta Pura Dalem
masih mengikuti aturan kepala badan kaki pada
fasad bangunan.
Pada bangunan pemukiman yang ada di
pemukiman Sindu beberapa blok pemukiman
masih memiliki penerapan kepala badan kaki
pada fasad bangunannya.
Sedangkan pada blok-blok bangunan di
sepanjang jalan utama (jl. Pejanggik) sebagian
fasad bangunannya sudah berubah menjadi
bangunan Ruko. Kesimetrisan masih dapat
ditemui sedangkan prinsip kepala badan kaki
sudah tidak digunakan dan tidak lagi
menggunakan tembok Penyengker dan Kori
sebagai pintu masuk
Penggunaan komponen-komponen kepala badan kaki
pada fasad bangunan dan kesimetrisan bangunan, serta
penggunaan tembok Penyengker dan Kori pada pintu
masuk.
Pada bangunan suci: pada bangunan suci seperti
taman masih mengikuti aturan warna dan
tekstur bangunan.
Sedangkan pada blok blok bangunan di
sepanjang jalan utama (jl. Pejanggik) sebagian
wujud bangunannya sudah berubah menjadi
bangunan Ruko tidak menerapkan konsep warna
dan tekstur truth of material
Prinsip dasar pengolahan warna dan tekstur pada
bangunan adalah truth of material; menonjolkan keaslian
warna dan tekstur dari bahan yang digunakan
Garis
keseimbangan
Kepala
Badan
Kaki
Penggunaan Kori dan tembok Penyengkerpada bagian
bangunan yang menghadap jalan
Fasad sekuensional membentuk skyline kawasan yang
menampakan keutamaan fungsi dan nilai kosmologi
bangunan dari zona utama.
Tekstur
dan
warna
Warna dan tektur pada Arsitektur Bali umumnya
menampakkan warna asli / Truth of material pada konsep Tri
Angga (menggunakan warna dan tekstur dari material yang
digunakan); dipengaruhi oleh prinsip Desa Kala Patra dan
Desa Mawa Cara, yang menyesuaikan dengan bahan yang
tersedia di lingkungan tempat bangunan tersebut berdiri.
Penyengker
Kori
Fasad sekuensional membentuk skyline kawasan yang
menampakan keutamaan fungsi dan nilai kosmologi
bangunan dari zona Utama dan Madya dibandingkan
dengan zona Nista.
Sumber: analisa
Dari tabel tersebut beberapa contoh penerapan pada kondisi eksisting dalam upaya pembentukan identitas adalah sebagai berikut;
Contoh ilustrasi massing (solid-void) di perempatan agung
Pada kondisi eksisting ruang luar di setiap sudut Perempatan Agung yang berbentuk bujur sangkar dan dikelilingi oleh bangunan yang membentuk
enclosure sudah menjadi lahan terbangun. Alternatif penyelesaiannya adalah bagaimana agar kesan enclosure tetap dapat dimunculkan tanpa
membongkar bangunan eksisting di keempat sudut Perempatan Agung. Salah satu alternatifnya dapat dilihat pada gambar.7:
12 | P a g e
Bentuk awal sebelum terjadi perubahan
Ruang yang
terbentuk dari
bentuk
konfigurasi solid
Masa Bangunan
(solid) Membentuk
void
Ruang luar (void)
Arahan penyesuaian ruang luar; dengan menghadirkan kembali kesan enclosure
Kesan
enclosure
dapat
dihadirkan
dengan pengolahan
pedestrian way di
keempat
sudut
enclosure
Perempatan Agung
Gambar. 7. Ilustrasi massing (solid-void) di Perempatan Agung
Contoh ilustrasi bentuk bangunan pertokoan di sepanjang jalan utama
PENYESUAIAN BENTUK BANGUNAN RUKO PASAR CAKRA DI JL SELAPARANG SEBELAH SELATAN
3
Bentuk eksisting
5
3
Bentuk arahan pelestarian
9
4
5
9
6
4
2
1. Fasad bangunan; arahannya diupayakan agar bangunan
2. Kori dan penyengker sebagai fasad yang menghadap ke
masih dapat dikenali pembagian kepala badan kakinya,
jalan ; untuk Ruko yang tidak memiliki lahan kosong; diabstraksikan pada bentukan pot tanaman
yang bentuknya diabstraksikan dari bentuk paduraksa pada tembok penyengker.
3. Bentuk atap; penyesuaian bentuk atap limas an dilakukan dengan menggunakan tambahan atap pada bagian pintu masuk pasar yang bentuknya
diabstraksikan dari bentuk atap limasan, dengan gerantang pada bagian bawah atapnya, gerantang diatasi dengan penggunaan lisplang ornementasi
gegondekan pada bubungan atap, ini dilakukan untuk memberi kontras pada pintu masuk pasar. Atap tambahan tidak mengganggu struktur bangunan.
4. Untuk bangunan berlantai 2, lantai dasar bersifat transparan, (menggunakan kaca atau terbuka) dan lantai 2 bersifat masif (abstraksi dari bangunan Bale
Dauh yang menggunakan kombinasi masif dan transparan, ruangnya menyerupai bangunan sekenem hanya bagian atas bersifat masif)
5. Bagian badan bangunan untuk penegasan bagian kolom dilakukan dengan penambahan kolom buatan (tidak mengganggu struktur asli bangunan) yang
terekspose khusunya pada bagian fasad bangunan. Bentuk kolom dengan penambahan umpak pada bagian atas dan bawah kolom
6. Bentuk kaki bangunan dengan batas mínimum ketinggian lantai bangunan 20 cm diatas tanah.
7. Warna dan tekstur; material atap diganti dari alumunium gelombang menjadi atap sirap yang tekstur dan warnanya menyerupai atap ijuk. Untuk bagian
lain yang diperthankan konsep Truth of material, menggunakan finising yang tidak menghilangkan tekstur dan warna asli dari material yang digunakan.
Gambar. 8. Contoh ilustrasi bentuk bangunan pertokoan di sepanjang jalan utama
13 | P a g e
Contoh alternatif penyesuaian pemanfatan lahan pada objek studi:
Alternatif penyesuaian pemanfatan lahan pada objek studi didasari konsep Mandala: konsep kosmologi Kangin Kauh (timur-barat), arah terbitnya
matahari sebagai utama (sumber kehidupan) dan terbenamnya matahari sebagai Nista( tempat berakhirnya kehidupan)
Zona Madya : pemanfaatan pemukiman, untuk bagian periperi yang menghadap jalan utama, pemanfatan untuk
fungsi perdagangan berupa ruko, dengan pengolahan fasad
bangunan ruko diarahkan bentuknya masih dapat dikenali
sebagai fasad bangunan pemukiman
Zona
Nista:
untuk
pemanfataan
area cemetery
dan
pembakaran
mayat
Nista
Madya
Zona Utama; pada zona utama
dibagi dua jenis pemanfaatan,1;
untuk pemanfaatan yang sifatnya
keagamaan, Pura Meru dan Pura
Mayura. 2;untuk fasilitas utama
dengan skala pelayanan kota,
seperti pasar Cakra, ruang terbuka
Utama
2
1
Zona Utama 1: sifat kegiatan
sacral keagamaan
Zona Utama 2: sifat kegiatan
fasilitas kota
Zona Madya; fungsi utama
pemukiman
Zona Madya; fungsi
komersial
Penanda zona nista: pura
Dalem dan area pembakaran
mayat yang diletakan di zona
nista
Penanda zona Madya: pura Puseh
di setiap lingkungan yang diletakan
di zona dengan nilai utama pada
lingkungan karang
Penanda zona utama: pura
Khayangan Jagad di lingkungan
banjar agung untuk skala
pelayanan kota.
Zona Nista; fungsi untuk
area perkuburan dan
pembakaran mayat
Batas wilayah studi
Gambar.9. Panduan dan ilustrasi pemanfaatan lahan didasari pada konsep Mandala
14 | P a g e
Dalam contoh penerapan yang ditampilkan pada gambar 7-9 tidak secara keseluruhan
hanya beberapa dari indikator elemen fisik yang digunakan. Dari contoh dan alternative tersebut
dalam aplikasinya dapat berbeda beda, tergantung dari kondisi eksisting di lapangan, namun tetap
didasari oleh temuan identitas yang telah dirumuskan. Penyesuaian tersebut diperbolehkan karena
terdapat aturan dalam arsitektur Bali yang memperbolehkan penyesuaian dengan tempat, waktu
dan keadaan dimana konsep tersebut diterapkan (Desa-Kala-Patra), serta adanya fleksibilitas
dalam penerapannya selama tidak berlawanan dengan landasan filosofisnya ( Desa-Mawa-Cara).
PENUTUP
Upaya membentuk identitas kawasan dilakukan sebagai upaya untuk menghindari kotakota yang berwajah sama yang tidak mencirikan apa yang ada di dalamnya, atau tidak kontekstual
dengan lingkungan, aktifitas, budaya masyarakat yang diwadahi. Persoalan yang menjadi kendala
dalam pembentukan kawasan yang berwawasan identitas adalah karena adanya pembangunan
baru yang tidak memperhatikan kesinambungan bangunan baru dengan bangunan lama. Dimana
pengembangan baru ini seringkali lebih mementingkan nilai komersial.
Hasil dari penelitian ini adalah berupa temuan identitas kawasan Cakranegara
sebagaimana telah dirumuskan adalah kota Cakranegara sebagai kota yang dipengaruhi oleh
budaya Hindu-Bali. Sedangkan hasil berupa ketentuan pada setiap elemen fisik, yang digunakan
sebagai dasar dalam upaya pembentukan identitas Cakranegara tersebut antara lain; dari segi
land use yang didasari oleh konsep Mandala, Ruang Luar yang didasari oleh konsep Natah dan
Perempatan Agung dan bangunan yang didasari oleh konsep Tri Angga.
Adapun saran dalam upaya tidak lanjut dari penelitian ini antara lain; (1)bagi pemerintah,
adalah membuat dan menetapkan regulasi terkait pemanfaatan ruang yang dapat diaplikasikan
pada pengendalian pengembangan dan membentuk Tim Penasihat Arsitektur Kota (TPAK). (2)
Bagi pihak swasta/ perancang, diharapkan dapat mengikuti arahan pengendalian tata ruang
tersebut, dimana pengembangan bangunan baru harus merujuk pada bangunan asal bernilai
arsitektur lokal, berupa mengkonsultasikan pra-rencana pada TPAK. (3) Bagi kalangan akademisi,
pengajian dan penelitian lebih lanjut, yang dapat mendukung upaya pembentukan identitas
kawasan, yaitu berupa penelitian pada aspek lain seperti; dampak di bidang ekonomi dan aspek
regulasi untuk mendukung upaya pembentukan identitas kawasan.
DAFTAR RUJUKAN
Darjosanjoto, Endang Titi Sunarti: Penelitian Arsitektur di Bidang Perumahan dan Pemukiman, ITS
Press, Surabaya, 2006.
Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. Arsitektur Rumah Tradisional Bali, Berdasarkan Asta KosalaKosali. Udayana University Press. Denpasar, Bali. 2008.
Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. Arsitektur Bangunan Suci Hindu, Berdasarkan Asta Kosala-Kosali.
Udayana University Press, Denpasar, Bali. 2008.
Glebet, I Nyoman. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Denpasar. 1986.
Ketut agung, Anak Agung. Kupu-kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok. PT Upada Sastra.
Denpasar. 1991.
Trancik, Roger. Finding Lost Space. Theories of Urban Design, Van Nostrand Reinhold Company.
New York. 1986.
Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Nusa Tenggara Barat. Departemen Pendidikan Nasional.
Mataram. Departemen Pendidikan Nasional. 2001.
Rossi, Aldo. Architecture of the City. MIT Press. London.1982.
Shirvani, Hamid. The Urban Design Process. Van Nostrand Reinhold Company. New York. 1985.
Suardana, I Nyoman Gede. Arsitektur Bertutur. Yayasan Pusataka Bali. Denpasar. 2005.
15 | P a g e
Download