BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Skripsi ini membahas mengenai seluk beluk gerakan ekstrimis sayap kanan radikal di Ukraina yang tercermin dari meningkatnya intensitas partisipasi politik mereka dalam dua pemilu parlemen terakhir yang diselenggarakan di negara tersebut selama periode 2004-2012. Fokus bahasan utama skripsi terletak pada analisa yang bertujuan mengungkap faktor- faktor dibalik pesatnya peningkatan dukungan massa terhadap Partai Svoboda yang mengusung platform ideologis sayap kanan radikal. Progresivitas dukungan masyarakat dalam dua pemilu parlemen terakhir bagi Svoboda terlihat begitu kontras. Dalam jangka waktu satu periode pemilu, Svoboda mampu meningkatkan elektabilitas partai sebesar sekitar empatbelas kali lipat sekaligus mengamankan 37 kursi di Parlemen Ukraina. Sentimen ultranasionalisme sebagai subkultur dari gerakan ekstrimis sayap kanan radikal kini mendapatkan kembali momentum kebangkitannya setelah sekian lama tenggelam bersama runtuhnya era fasisme Perang Dunia II. Menjelang tahun 1980-an, khususnya ketika masyarakat global mulai menyambut era globalisasi, mulai muncul banyak anggapan bahwa abad nasionalisme telah berakhir (Hogan, 2009). Terdapat anggapan bahwa integrasi ekonomi dunia, revolusi teknologi informasi, dan semakin leluasanya perpindahan manusia melewati batas kedaulatan negara, akan membuat sentimen nasionalisme memudar dengan sendirinya. Namun anggapan tersebut tidak bisa lebih keliru lagi. Pasca Perang Dunia II, masyarakat internasional memang mulai membangun sebuah tatanan dunia baru yang didasarkan pada prinsip komunitas global. Terlebih, stabilitas politik dan ekonomi di berbagai kawasan mulai membaik dan saling menyokong satu sama lain. Sehingga konflik-konflik bernuansa “nasionalis” menjadi konflik laten yang berkisar dibawah permukaan. Runtuhnya rezim Uni Soviet dan Yugoslavia pada dekade 90-an membuka jalan bagi berbagai sentimen nasionalisme untuk kembali mengemuka, khususnya di benua Eropa. 1 Hal ini diperkuat dengan pernyataan mantan presiden Uni Soviet, Mikhail Gorbachev pada bulan Mei 1992 yang berseru bahwa: “Iblis-iblis nasionalisme telah bangkit kembali, dan mereka dengan segera menguji stabilitas sistem internasional. Bahkan Amerika Serikat sendiri tidak kebal terhadap bahaya nasionalisme.” (dalam Kegley dan Wittkoff, 2001: 428) Pandangan ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Benedict Anderson dalam bukunya “Imagined Communities”: “Kenyataan yang ada cukup jelas: „era berakhirnya nasionalismeā yang sudah begitu lama diramalkan, tak jua nampak di cakrawala. Justru nasionalitas adalah nilai paling absah secara universal dalam kehidupan politik zaman kita.” (2001: 4) Ungkapan Anderson memberikan sebuah pemahaman bahwa sentimen nasionalisme, dalam bentuk apapun akan tetap menjadi pokok permasalahan yang terus melingkupi agenda politik internasional selama beberapa waktu kedepan. Sementara itu, kebangkitan sentimen nasionalisme yang diprakarsai oleh gerakan ekstremis sayap kanan di masa kini dianggap sebagai warisan ideologi fasisme era Perang Dunia II 1 (Betz, 2003: 73). Walaupun tidak sepenuhnya benar, gerakan semacam ini memang memiliki relevansi dengan ideologi fasis tersebut. Sekretaris Jendral PBB menyatakan: “Neo-fasisme dan neo-nazisme sedang mengalami perkembangan di banyak negara, khususnya di Eropa. Hal ini tercermin dari kemenangan partai-partai ekstrem kanan yang mendukung xenofobia, serangan terhadap etnis, kebangsaan, agama minoritas, kemurnian ras, dan etnis dalam pemilu di negara tempat berlangsungnya aktivitas mereka.” (United Nations General Assembly, 1998: 5) Pernyataan diatas dibenarkan oleh laporan yang diterbitkan sebuah lembaga think tank bernama Demos. Laporan tersebut menggarisbawahi peningkatan tren populisme yang mencoba mengeksploitasi isu- isu antiestablishment pada satu dekade terakhir ini. Hal itu tercermin dari menjamurnya 1 Sisi kelam nasionalisme d igambarkan dengan jelas oleh rezim Nazi Jerman dalam PD II. Dalam sebuah gerakan kebangkitan nasional pasca kehancuran yang dibawa oleh PD I, muncul seorang tokoh revolusioner bernama Adolf Hit ler yang berhasil membangkit kan Jerman dari keterpurukan. Namun prestasi tersebut harus dipecut oleh sentimen nasionalisme ekstrem (Kegley dan Witt koff, 2001: 430) yang berisikan doktrin superioritas bangsa Jerman h ingga berujung pada tindakan invasi dan genosida terhadap bangsa-bangsa lainnya. 2 partai-partai politik sayap kanan-jauh di seluruh benua Eropa (Bartlett, Birdwell dan Littler, 2011: 15). Pemilu parlemen terakhir di Ukraina pada 28 Oktober 2012 lalu menyisakan kejutan bagi para pengamat perpolitikan ketika Svoboda mampu menembus angka perolehan suara sekitar 10,44% sekaligus mematahkan anggapan sebelumnya yang menyatakan bahwa partai ini tidak akan mampu menembus angka 5% electoral threshold (Interfax-Ukraine, 2012a). Walaupun angka kemenangan Svoboda tidak begitu besar namun tetap cukup untuk mengantarkan partai yang dipimpin oleh Oleg Tyagnybok tersebut menjadi kendaraan politik terbesar kelima di Ukraina. Hal yang tidak banyak diperkirakan orang mengingat pada pemilu parlemen tahun 2007 yang lalu Svoboda hanya berhasil meraih kurang dari 1% suara saja. Svoboda adalah sebuah partai politik radikal berhaluan sosial- nasionalis dengan cita-cita menciptakan sebuah komunitas domestik yang eksklusif dan berseberangan dengan identitas multikulturalisme yang telah ada. Catatan sejarah menunjukkan bahwa paham yang berakar dari sentimen ultranasionalisme selalu membawa sisi kelam berupa xenofobia, rasisme, diskriminasi dan bahkan genosida. Hal ini tidak terlepas dari ide eksklusivisme yang menjadi tujuan utama kalangan radikal sayap kanan jauh. B. Perumusan Masalah Melalui uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut : “Mengapa Partai Ekstremis Sayap Kanan Svoboda mengalami peningkatan elektabilitas dan popularitas dalam pemilu parlemen Ukraina tahun 2012?” C. Kerangka Konseptual Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjawab pertanyaan penelitian pada rumusan masalah diatas. Batasan materi serta alat analisa yang dipakai harus terlebih dahulu dirumuskan agar skripsi tetap berada dalam fokus bahasan yang dikehendaki. Pemahaman mengenai partai politik, sentimen 3 ultranasionalisme, hingga teori yang melandasi faktor demand dan supply dibalik peningkatan elektabilitas partai menjadi kerangka konseptual utama. Partai Politik. Rangkaian penjelasan Haryanto (1984: 9) berikut ini merupakan uraian yang komprehensif tentang hakekat partai politik. Menurutnya, partai politik merupakan organisasi yang terdiri dari sekelompok orang dengan cita-cita, tujuan, dan orientasi yang sama; dimana organisasi tersebut berusaha meraih dukungan demi memperoleh kekuasaan dan kemudian mengendalikan jalannya roda pemerintahan; yang kesemua itu merupakan pangkal tolak organisasi dalam merealisasikan program-programnya. Penjelasan tersebut senada dengan pendapat Ichlasul Amal dalam buku “Teori-Teori Mutakhir Partai Politik” (1996), bahwa sesungguhnya secara ideal partai politik dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah (legitimate) dan damai. Amal melanjutkan bahwa sejatinya terdapat 5 jenis partai politik yang dapat diklasifikasikan berdasarkan pada tingkat komitmennya terhadap ideologi dan kepentingan, yakni: partai proto, partai kader, partai massa, partai diktatorial, dan partai catch-all. Partai proto lahir secara spontan dari kebutuhan akan penghubung antara rakyat dan pemerintah (Budiardjo, 2006: 159) dan lebih merupakan faksi- faksi politik dengan dasar dikotomi ideologis yang tegas. Partai kader muncul sebagai adaptasi dari sistem hak pilih yang mulai dinikmati masyarakat namun tingkat organisasi dan ideologi partai jenis ini masih tergolong rendah karena proses kaderisasi hanya melibatkan masyarakat kelas menengah keatas. Partai massa memiliki pengertian yang hampir berlawanan dengan partai kader dimana proses rekrutmen partai tidak lagi terbatas pada kalangan masyarakat menengah keatas. Partai massa memprioritaskan dukungan kuantitatif dari besarnya jumlah simpatisan partai dibanding partai kader yang lebih berorientasi pada kualitas individual basis massanya. Partai diktatorial adalah subtipe dari partai massa dengan perbedaan paling mendasar terletak pada tingkat 4 kontrol ideologis yang sangat ketat. Klasifikasi terakhir dari jenis-jenis kepartaian menurut Ichlasul Amal adalah partai catch-all. Partai jenis ini merupakan tipe partai paling pragmatis yang lebih mengedepankan pengaruh dari kelompok kepentingan (interest group) dan kelompok penekan (pressure group) dibandingkan harus tunduk sepenuhnya terhadap ideologi. Budiardjo menyebutkan mengenai klasifikasi lainnya yang didasarkan dari segi sifat dan orientasi, yaitu: partai lindungan (patronage party) dan partai ideologi atau partai azas (programmatic party). Partai lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang longgar, disiplin yang lemah, dan biasanya tidak memiliki sumber dana yang teratur. Maksud utama partai ini adala h memenangkan pemilihan umum untuk para anggota-anggota yang dicalonkan, sehingga hanya giat menjelang masa-masa pemilihan. Sementara partai ideologi atau partai azas (Sosialisme, Fasisme, Komunisme, Nasional- Demokrat) biasanya memiliki pandangan yang digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan berpedoman dalam disiplin partai yang kuat dan mengikat. Partai jenis ini menjadikan ideologi sebagai haluan yang mutlak dalam menggariskan agenda dan program partai. Spektrum Politik Tradisional Kiri-Kanan. Aspek ideologi telah sejak lama dijadikan acuan untuk mengklasifikasikan partai kedalam spektrum politik tertentu. Spektrum politik yang lumrah digunakan sebagai media klasifikasi tersebut berpedoman pada afiliasi politik tradisional kiri-kanan. Menurut Jeff Greenberg dan Eva Jonas (2003) partai yang berafiliasi ke arah spektrum politik kiri melandaskan preferensinya pada sistem ekonomi sosialis atau komunis, tanggung jawab komunal, teori- teori sosial, dan prinsipprinsip kesetaraan. Sementara partai dengan afiliasi ke arah spektrum politik kanan memiliki preferensi ekonomi pasar bebas, tanggung jawab individual, teoriteori genetik atau berasaskan-kemauan, dan prinsip-prinsip keadilan. Diantara dua kutub spektrum politik tersebut terdapat wilayah yang dikenal dengan sebutan “centris” atau “tengah” yang lebih sering disebut dengan kalangan moderat. 5 Tabel 1.1. Spektrum Politik Tradisional Kanan-Kiri Ekstrem- Radikal Kiri Mendukung skema perubahan sosial yang cepat dan fundamental (terkadang melalui kekerasan) Kiri Liberal Mendukung skema perubahan melalui cara hukum (perubahan berlangsung damai melalui kebijakan pemerintah) Tengah Moderat Mendukung skema perubahan secara bertahap Kanan Konservatif Tidak mendukung skema perubahan (puas dengan status quo) dengan mempertahankan tatanan sosial yang ada Ekstrem- Reaksioner Kanan Mendukung skema perubahan restoratif (retrogressive) yang berorientasi pada kejayaan masa lalu (terkadang melalui kekerasan) Sumber: Gilchrist, Kevin, (2012), 'Social 10-1', Mr. Gilchrist's Social Studies Blog (online), 24 Oktober, <http://kgilchrist.blogspot.com.es/2012/10/october-24.ht ml>, diakses 21 September 2014. Tabel 1.1. menunjukkan bahwa terdapat kelompok ekstrem di setiap kubu yang menurut Doswell (2011) sangat menonjolkan kultur kekerasan (violence) sebagai sekat pemisahnya. Baik kalangan ekstrem-kiri (far- left) maupun ekstremkanan (far-right) menuntut skema perubahan terhadap tatanan sosial yang ada melalui revolusi dengan kekerasan. Partai-partai yang bernaung dibawah spektrum ideologis “kiri” memperjuangkan nilai- nilai kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat dimana pemerintah harus memainkan peran lebih besar dalam menyediakan pelayanan sosial serta menjamin bahwa aspek penegakkan hukum dan ketertiban berlaku adil bagi setiap individu. Partai-partai yang berada di wilayah “tengah” berusaha mempertahankan tradisi namun tetap terbuka terhadap perubahan ketika rakyat menghendakinya. Dilain pihak, peran pemerintah dalam aspek pelayanan sosial dibatasi oleh asas manfaat semata dan aspek penegakkan hukum tetap menjadi prioritas demi terjaganya ketertiban umum. Sementara itu, partai-partai yang bernaung dibawah nuansa spektrum ideologis “kanan” sangat berhati- hati terhadap perubahan karena dapat mengganggu tradisi, aspek pelayanan sosial didominasi pemenuhannya oleh aktor-aktor non-pemerintah, dan 6 aspek penegakkan hukum harus berjalan beriringan dengan aspek tradisi. Dengan mengacu pada uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa partai-partai yang berhaluan ideologi sosialisme dan ko munisme berada tepat di wilayah spektrum ideologis kiri, sementara partai liberal berada di wilayah ambigu antara kiri dan tengah. Partai konservatif mengisi wilayah tengah (moderat) dan partai-partai nasionalis menempati spektrum ideologis kanan dengan ditutup oleh partai fasis di kanan-jauh. Struktur Ideologi Partai Sayap Kanan-Jauh. Skripsi ini memiliki tema besar yang berkisar disekitar kata kunci “sentimen ultranasionalisme”. Sentimen ultranasionalisme menempati wilayah spektrum ideologis kanan karena pada dasarnya proponen gerakan ini membangun kerangka perjuangannya diatas ide-ide nasionalisme. Sebagai sebuah ideologi, sentimen ultranasionalisme merupakan modifikasi versi ekstrem dari nasionalisme (Bolaffi dkk, 2003: 196). Modifikasi tersebut terkait erat dengan perubahan makna nasionalisme yang terus terjadi semenjak pertama kali digunakan dalam Revolusi Perancis 1789. Menurut Bolaffi (2003: 200-201), pada awal kemunculannya (1789-1871), nasionalisme merupakan perwujudan tujuan bersama dalam membangun sebuah negara-bangsa yang terbebas dari dominasi asing dengan dilatarbelakangi kesatuan politik dan akar budaya yang serupa, seperti halnya yang terjadi di Yunani, Itali, Jerman, dan Polandia. Pada periode selanjutnya (1871-1945), ide ini berubah menjadi sentimen perpanjangan kekuasaan negara-bangsa melalui kolonialisme (Perancis, Inggris, dan Itali) dan imperialisme (Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang). Nasionalisme murni pada dasarnya adalah sebuah sentimen cinta tanah air yang dibuat untuk mempersatukan dan mempertahankan kohesivitas bangsa didalam sebuah organisasi sosial layaknya negara. Dengan demikian akan tercipta sebuah harmoni internal dan stabilitas politik yang pada akhirnya berkontribusi terhadap solidaritas sipil dan perdamaian dalam negeri (Kegley dan Wittkoff, 2001: 429). Dalam bentuk tersebut nasionalisme tidak menimbulkan kontroversi. 7 Gagasan nasionalisme diatas bertahan setidaknya hingga era Perang Dunia. Periode Perang Dunia menjadi sebuah masa transformasi bagi ide nasionalisme kearah ekstremisme dan gerakan radikal (Bolaffi dkk, 2003: 200) 2 . Lebih jauh lagi, penulis memanfaatkan pemahaman Peter H. Merkl (2003: 4-6) mengenai “Subcultures, Social Movements and Political Parties of the Extreme Right” untuk menguraikan landasan bagi kasus ultranasionalisme yang secara khusus mengalami kebangkitan di tanah air Ukraina. Merkl menuangkan penjelasannya kedalam tiga variabel. Variable pertama adalah subkultur ekstremis sayap kanan yang bertujuan untuk melacak asal- mula sentimen ultranasionalisme yang mewarnai pola tindakan suatu sistem masyarakat tertentu. Sentimen tersebut dapat bermula dari reaksi terhadap kejadian sejarah, kehancuran akibat perang, perjuangan melawan “penjajah”, luka masa lalu, atau sebagai akibat dari perubahan sosial yang menyakitkan. Faktor- faktor diatas menunjukkan bahwa gerakan ekstremis sayap kanan akan muncul seiring terjadinya krisis yang dialami secara kolektif oleh suatu kalangan masyarakat sehingga tercipta asas perjuangan bersama dalam menghadapi suatu problematika. Merkl menjelaskan bahwa ketika krisis membentuk pola pikir ultranasionalis dalam benak individu pada sebuah sub-kultur, maka akan terlahir variabel kedua, yaitu gerakan sosial ekstremis sayap kanan sebagai manifestasi dari pola pikir tersebut. Gerakan ini muncul sebagai sebuah mekanisme pertahanan diri terhadap ancaman yang dinilai antagonistis dari suatu entitas atau rezim tertentu. Pada dasarnya gerakan sosial ekstremis sayap kanan lebih bersifat insidental dan melibatkan simpatisan yang tidak seluruhnya fanatik. Dilain pihak, Merkl menambahkan bahwa gerakan semacam ini dapat bertransformasi menjadi 2 Transformasi d ibalik sentimen nasionalis me membuat ideologi in i memiliki konotasi yang bermacam-macam seperti: patriotis me, chauvinis me, etno-nasionalis me, h ingga ultranasionalisme dan lain sebagainya. Antara satu istilah dan yang lainnya terkadang mengalami pemaknaan yang saling tumpang tindih, sehingga pada akhirnya banyak terdapat pendapat ahli yang berbeda-beda. Keg ley dan Wittkoff dalam “World Po lit ics: Trend and Transformation” (2001: 427) menyatakan bahwa nasionalisme adalah pengabdian sentimental yang dilaku kan oleh seseorang demi kesejahteraan negaranya tanpa mempedulikan kepentingan bersama seluruh bangsa dan negara dalam ko munitas global. Van Evera dan Jack S. Levy (dalam Kegley dan Wittkoff, 2001: 427) mencatat bahwa nasionalis me adalah ideologi yang seringkali merupakan sumber dari konflik bersenjata. Levy bahkan menyatakan bahwa kecenderungan masyarakat untuk memberikan loyalitas tertingginya demi negara -bangsa merupakan katalis perang. 8 sebuah organisasi massa yang pada tingkatan tertingginya mampu meraih legitimasi sebagai sebuah kendaraan politik. Variabel terakhir Merkl adalah partai politik ekstremis sayap kanan yang secara khusus bertujuan untuk menempatkan delegasi-delegasi proponen gerakan radikal sayap kanan didalam pemerintahan. Merkl menekankan bahwa partai ekstremis sayap kanan biasanya menghadapi kesulitan melakukan terobosa n dalam pemilu kecuali ketika ada jeda popularitas yang signifikan diantara partaipartai yang bersaing, khususnya ketika partai yang beraliran moderat mulai kehilangan dukungan. Fluktuasi dalam arena pertarungan antar partai politik dapat memberikan jalan terhadap kalangan sayap kanan untuk memanfaatkan isu- isu populis. Demand dan Supply Elektabilitas Partai Radikal Sayap Kanan-Jauh. Pendapat Haryanto (1984) dan Amal (1996) tentang partai politik memberikan kesimpulan bahwa terdapat dinamika kesalinghubungan antara masyarakat sebagai simpatisan dan kader dengan kalangan elit partai yang merupakan aktor intelektual dalam mekanisme kepartaian. Kesalinghubungan tersebut terurai jelas melalui skema demand dan supply yang menjadi landasan tarik menarik agregrasi aspirasi masyarakat terhadap partai politik. Pengertian mengenai kedua aspek tersebut dijelaskan secara rinci oleh Pippa Norris (2005) dalam bukunya yang berjudul “Radical Right: Voters and Parties in the Electoral Market”. Norris menguraikan skema tersebut secara khusus untuk menjelaskan dinamika elektabilitas partai radikal sayap kanan. Aspek demand berupaya untuk menguraikan analisa dibalik perkembangan preferensi politik massa elektorat dalam menghadapi perubahan dalam struktur sosial yang dapat mendorong popularitas dan ide- ide radikal sayap kanan. Norris menyebutkan bahwa dorongan tersebut dapat berasal dari aspek sosial-ekonomi masyarakat pasca- industri, bangkitnya rasa kecewa masyarakat terhadap situasi perpolitikan, atau pergeseran opini publik terkait dengan eksistensi kalangan migran dan minoritas etnis. Ketiga aspek tersebut tidak bersifat eksklusif dan dapat menjadi katalis antara satu dengan yang lain. Secara 9 spesifik, situasi diatas dapat terwujud melalui kondisi sosial-politik sebagai berikut (Norris, 2005: 11): 1. Masuknya gelombang imigran, pengungsi, dan pencari suaka membuat masyarakat semakin waspada dengan isu ini; 2. Kalangan elektorat telah secara massal merasa tidak puas dengan kinerja partai utama (mainstream parties) dan tidak lagi percaya dengan sistem politik yang menyokongnya; 3. Telah terjadi perpecahan dalam struktur kelas dan religius tradisional masyarakat sehingga berpengaruh terhadap afiliasi politik dan kesetiaan masyarakat terhadap partai politik tertentu; 4. Terdapat reaksi kultural terhadap kemunculan nilai-nilai postmaterialism; dan / atau 5. Terganggunya aspek kesejahteraan masyarakat terkait dengan meningkatnya angka pengangguran dan job insecurity sehingga menciptakan resiko sosial baru. Sementara itu, sisi supply menjelaskan bahwa partai politik memainkan peran yang kritis sebagai agen yang aktif dalam menghubungkan perkembangan fenomena sosial dan sikap politik masyarakat dengan perilaku pemilih. Peran tersebut sangat bergantung pada kelihaian partai sayap kanan dalam menyusun strategi kampanye mereka secara eksoterik dan esoteris. Strategi tersebut, menurut Norris (2005: 191), termasuk diantaranya adalah: 1. Eksploitasi ruang ideologis di wilayah kanan-jauh dalam spektrum politik tradisional yang tercipta sebaga i akibat dari penempatan lokasi ideologis partai-partai utama (mainstream parties); 2. Ketepatan penempatan lokasi ideologis partai sayap kanan dalam ruang tersebut; dan juga, 3. Tingkat efektifitas partai sayap kanan dalam membangun dan memelihara landasan organisasinya. Norris menambahkan fakta bahwa platform ideologis partai sayap kanan radikal dewasa ini dibangun diatas strategi tersebut. Hal ini tercermin dari eksistensi partai radikal sayap kanan yang secara garis keras menempatkan diri diujung spektrum ideologis kanan sementara terdapat pula partai radikal sayap kanan yang lebih memprioritaskan agenda populis mereka dengan menggeser posisi ideologisnya mendekat ke tengah. Variabel- variabel di atas mampu memberikan gambaran mengenai derajat manifestasi faktor demand dan supply dalam menciptakan prasyarat terhadap tumbuh kembang elektabilitas partai radikal sayap kanan. Sebagai sebuah tindak lanjut maka diperlukan suatu rumusan teori yang berfungsi untuk menggambarkan 10 situasi sosial-politik yang berkontribusi terhadap tumbuh kembang tersebut. Teori LET Hypothesis karya Roger Eatwell (2003, hal. 63-66) dalam tulisannya yang berjudul “Ten Theories of the Extreme Right” memberikan penjelasan yang komprehensif terhadap fenomena bangkitnya popularitas kalanga n ekstremis sayap kanan. LET Hypothesis merupakan sebuah teori alternatif yang dirumuskan Eatwell sebagai sebuah kritik atas ketiadaan teori yang menyeluruh dalam menganalisa fenomena gerakan ekstremis sayap kanan kontemporer. Eatwell berpendapat bahwa teori- teori yang ada, baik teori dengan perspektif demand maupun teori dengan perspektif supply, selalu memiliki lubang yang gagal dalam menjelaskan kompleksitas peristiwa dalam studi kasus mengenai dinamika ekstremis sayap kanan. Namun demikian, teori Eatwell tidak berarti menyangkal keberadaan kedua perspektif tersebut, melainkan memberikan suatu rangkaian gagasan yang dapat secara komprehensif menjelaskan kesalinghubungan diantara keduanya. LET Hypothesis terbagi kedalam tiga kelompok analisa yang digambarkan dalam formula berikut: growing extremist Legitimacy+rising personal Efficacy+declining system Trust Eatwell (2003) berpendapat bahwa legitimacy merujuk pada kepercayaan bahwa sebuah partai harus terlebih dahulu diterima secara sosial dengan menciptakan kesan bahwa partai tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tradisi nasional. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan policy packaging yang menarik. Lebih jauh lagi, pimpinan dan kalangan intelektual partai harus mampu menciptakan wacana yang dapat mengarahkan preferensi publik sesuai platform ideologis partai. Efficacy diartikan oleh Eatwell (2003) sebagai sebuah pemahaman publik bahwa setiap suara yang disalurkan tiap individu dalam pemilu dapat membawa perubahan. Eatwell menggarisbawahi dua pertanyaan yang muncul ketika membahas efficacy. Pertama adalah perihal apa yang mempengaruhi tingkatan efficacy masyarakat? Kedua, bagaimana sebuah partai mampu menyajikan kesan bahwa pihaknya dapat memberikan perubahan atau efek dalam pemerintahan? 11 Menanggapi kedua pertanyaan tersebut, analisa dalam kelompok ini terbagi ke dalam tiga variabel, yaitu group membership, charismatic leadership dan agreement with mainstream parties. Dalam menjelaskan ketiga variabel tersebut penulis merasa bahwa hipotesa Eatwell yang lain mengenai faktor esoteric dan exoteric yang terdapat dalam tulisan Anton Shekhovtsov (2011, hal. 215-216) dapat mempertajam analisa dalam menjelaskan agenda partai. Faktor esoteric merujuk pada diskusi ideologis kalangan intelektual partai di belakang layar, sementara faktor exoteric merujuk pada kampanye dan pencitraan partai di atas panggung. Kelompok terakhir dalam formulasi LET Hypothesis Eatwell adalah Trust (Eatwell, 2003). Isu- isu politik, sosial, serta ekonomi berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan publik kepada rezim yang berkuasa. Kegagalan pemerintah dalam menangani permasalahan krusial seperti pengangguran dan kesejahteraan masyarakat dapat menurunkan kredibilitas pemerintah di mata publik dan memberikan jalan bagi partai-partai populis untuk meraih simpati massa. Konsep-konsep diatas akan digunakan sebagai media untuk menjawab pertanyaan penelitian, sehingga akan terangkai suatu penjelasan yang komprehensif dalam memahami fenomena dibalik peningkatan elektabilitas Partai Svoboda dalam pemilu parlemen Ukraina tahun 2012. D. Hipotesa Berdasarkan kerangka konseptual yang dibangun, maka digagas suatu asumsi dasar bahwa peningkatan elektabilitas dan popularitas Partai Sayap Kanan Svoboda dalam pemilu parlemen Ukraina tahun 2012 didorong oleh dua faktor. Faktor pertama adalah derasnya arus protest vote. Faktor ini menyediakan aspek demand dalam merespon situasi krisis yang semakin intensif menjelang pemilu parlemen Ukraina tahun 2012. Arus protest vote dilatarbelakangi oleh skema popular “ressentiment” sebagai dampak dari rasa frustasi masyarakat terhadap pemerintah yang dinilai gagal dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Akumulasi popular “ressentiment” menciptakan suatu paradigma bahwa tiap suara yang disalurkan adalah suara protes anti-pemerintah. 12 Faktor kedua adalah gerakan anti-establishment Svoboda. Faktor ini berkontribusi menyediakan aspek supply dalam mempengaruhi popularitas gerakan sayap kanan radikal di Ukraina. Gerakan ini muncul dengan diperkenalkannya agenda partai melalui program-program yang memanfaatkan isu-isu populis serta janji mengembalikan balance of power kepada masyarakat sebagai usaha meraih simpati calon konstituennya. E. Sistematika Penulisan Skripsi ini terbagi kedalam lima bab sebagai berikut: Bab I berisi latar belakang, rumusan masalah, kerangka konseptual, hipotesa, serta sistematika penulisan. Bab II menjabarkan sistem politik dan pemerintahan Ukraina serta sejarah pembentukan Partai Svoboda. Bab III berisi analisa faktor demand yang mempengaruhi preferensi masyarakat terhadap popularitas gerakan ekstremis sayap kanan. Bab IV berisi analisa faktor supply yang ditawarkan oleh Partai Svoboda dalam mengakomodasi dukungan massa terhadap gerakan ekstremis sayap kanan. Bab V berisi kesimpulan terhadap fenomena peningkatan elektabilitas dan popularitas Partai Svoboda. 13