BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Skripsi ini membahas mengenai seluk beluk gerakan ekstrimis sayap
kanan radikal di Ukraina yang tercermin dari meningkatnya intensitas partisipasi
politik mereka dalam dua pemilu parlemen terakhir yang diselenggarakan di
negara tersebut selama periode 2004-2012. Fokus bahasan utama skripsi terletak
pada analisa yang bertujuan mengungkap faktor- faktor dibalik pesatnya
peningkatan dukungan massa terhadap Partai Svoboda yang mengusung platform
ideologis sayap kanan radikal. Progresivitas dukungan masyarakat dalam dua
pemilu parlemen terakhir bagi Svoboda terlihat begitu kontras. Dalam jangka
waktu satu periode pemilu, Svoboda mampu meningkatkan elektabilitas partai
sebesar sekitar empatbelas kali lipat sekaligus mengamankan 37 kursi di Parlemen
Ukraina.
Sentimen ultranasionalisme sebagai subkultur dari gerakan ekstrimis sayap
kanan radikal kini mendapatkan kembali momentum kebangkitannya setelah
sekian lama tenggelam bersama runtuhnya era fasisme Perang Dunia II.
Menjelang tahun 1980-an, khususnya ketika masyarakat global mulai menyambut
era globalisasi, mulai muncul banyak anggapan bahwa abad nasionalisme telah
berakhir (Hogan, 2009). Terdapat anggapan bahwa integrasi ekonomi dunia,
revolusi teknologi informasi, dan semakin leluasanya perpindahan manusia
melewati batas kedaulatan negara, akan membuat sentimen nasionalisme
memudar dengan sendirinya. Namun anggapan tersebut tidak bisa lebih keliru lagi.
Pasca Perang Dunia II, masyarakat internasional memang mulai membangun
sebuah tatanan dunia baru yang didasarkan pada prinsip komunitas global.
Terlebih, stabilitas politik dan ekonomi di berbagai kawasan mulai membaik dan
saling menyokong satu sama lain.
Sehingga konflik-konflik
bernuansa
“nasionalis” menjadi konflik laten yang berkisar dibawah permukaan. Runtuhnya
rezim Uni Soviet dan Yugoslavia pada dekade 90-an membuka jalan bagi berbagai
sentimen nasionalisme untuk kembali mengemuka, khususnya di benua Eropa.
1
Hal ini diperkuat dengan pernyataan mantan presiden Uni Soviet, Mikhail
Gorbachev pada bulan Mei 1992 yang berseru bahwa:
“Iblis-iblis nasionalisme telah bangkit kembali, dan mereka
dengan segera menguji stabilitas sistem internasional. Bahkan Amerika
Serikat sendiri tidak kebal terhadap bahaya nasionalisme.” (dalam Kegley
dan Wittkoff, 2001: 428)
Pandangan ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Benedict
Anderson dalam bukunya “Imagined Communities”:
“Kenyataan yang ada cukup jelas: „era berakhirnya nasionalismeā€Ÿ
yang sudah begitu lama diramalkan, tak jua nampak di cakrawala. Justru
nasionalitas adalah nilai paling absah secara universal dalam kehidupan
politik zaman kita.” (2001: 4)
Ungkapan Anderson memberikan sebuah pemahaman bahwa sentimen
nasionalisme, dalam bentuk apapun akan tetap menjadi pokok permasalahan yang
terus melingkupi agenda politik internasional selama beberapa waktu kedepan.
Sementara itu, kebangkitan sentimen nasionalisme yang diprakarsai oleh gerakan
ekstremis sayap kanan di masa kini dianggap sebagai warisan ideologi fasisme era
Perang Dunia II 1 (Betz, 2003: 73). Walaupun tidak sepenuhnya benar, gerakan
semacam ini memang memiliki relevansi dengan ideologi fasis tersebut.
Sekretaris Jendral PBB menyatakan:
“Neo-fasisme dan neo-nazisme sedang mengalami perkembangan
di banyak negara, khususnya di Eropa. Hal ini tercermin dari kemenangan
partai-partai ekstrem kanan yang mendukung xenofobia, serangan
terhadap etnis, kebangsaan, agama minoritas, kemurnian ras, dan etnis
dalam pemilu di negara tempat berlangsungnya aktivitas mereka.”
(United Nations General Assembly, 1998: 5)
Pernyataan diatas dibenarkan oleh laporan yang diterbitkan sebuah
lembaga think tank bernama Demos. Laporan tersebut menggarisbawahi
peningkatan tren populisme yang mencoba mengeksploitasi isu- isu antiestablishment pada satu dekade terakhir ini. Hal itu tercermin dari menjamurnya
1
Sisi kelam nasionalisme d igambarkan dengan jelas oleh rezim Nazi Jerman dalam PD II.
Dalam sebuah gerakan kebangkitan nasional pasca kehancuran yang dibawa oleh PD I, muncul
seorang tokoh revolusioner bernama Adolf Hit ler yang berhasil membangkit kan Jerman dari
keterpurukan. Namun prestasi tersebut harus dipecut oleh sentimen nasionalisme ekstrem
(Kegley dan Witt koff, 2001: 430) yang berisikan doktrin superioritas bangsa Jerman h ingga
berujung pada tindakan invasi dan genosida terhadap bangsa-bangsa lainnya.
2
partai-partai politik sayap kanan-jauh di seluruh benua Eropa (Bartlett, Birdwell
dan Littler, 2011: 15).
Pemilu parlemen terakhir di Ukraina pada 28 Oktober 2012 lalu
menyisakan kejutan bagi para pengamat perpolitikan ketika Svoboda mampu
menembus angka perolehan suara sekitar 10,44% sekaligus mematahkan
anggapan sebelumnya yang menyatakan bahwa partai ini tidak akan mampu
menembus angka 5% electoral threshold (Interfax-Ukraine, 2012a). Walaupun
angka kemenangan Svoboda tidak begitu besar namun tetap cukup untuk
mengantarkan partai yang dipimpin oleh Oleg Tyagnybok tersebut menjadi
kendaraan politik terbesar kelima di Ukraina. Hal yang tidak banyak diperkirakan
orang mengingat pada pemilu parlemen tahun 2007 yang lalu Svoboda hanya
berhasil meraih kurang dari 1% suara saja. Svoboda adalah sebuah partai politik
radikal berhaluan sosial- nasionalis dengan cita-cita
menciptakan sebuah
komunitas domestik yang eksklusif dan berseberangan dengan identitas
multikulturalisme yang telah ada. Catatan sejarah menunjukkan bahwa paham
yang berakar dari sentimen ultranasionalisme selalu membawa sisi kelam berupa
xenofobia, rasisme, diskriminasi dan bahkan genosida. Hal ini tidak terlepas dari
ide eksklusivisme yang menjadi tujuan utama kalangan radikal sayap kanan jauh.
B.
Perumusan Masalah
Melalui uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan
masalah sebagai berikut :
“Mengapa
Partai
Ekstremis
Sayap
Kanan
Svoboda
mengalami
peningkatan elektabilitas dan popularitas dalam pemilu parlemen Ukraina tahun
2012?”
C.
Kerangka Konseptual
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjawab pertanyaan
penelitian pada rumusan masalah diatas. Batasan materi serta alat analisa yang
dipakai harus terlebih dahulu dirumuskan agar skripsi tetap berada dalam fokus
bahasan yang dikehendaki. Pemahaman mengenai partai politik, sentimen
3
ultranasionalisme, hingga teori yang melandasi faktor demand dan supply dibalik
peningkatan elektabilitas partai menjadi kerangka konseptual utama.
Partai Politik.
Rangkaian penjelasan Haryanto (1984: 9) berikut ini merupakan uraian
yang komprehensif tentang hakekat partai politik. Menurutnya, partai politik
merupakan organisasi yang terdiri dari sekelompok orang dengan cita-cita, tujuan,
dan orientasi yang sama; dimana organisasi tersebut berusaha meraih dukungan
demi memperoleh kekuasaan dan kemudian mengendalikan jalannya roda
pemerintahan; yang kesemua itu merupakan pangkal tolak organisasi dalam
merealisasikan program-programnya. Penjelasan tersebut senada dengan pendapat
Ichlasul Amal dalam buku “Teori-Teori Mutakhir Partai Politik” (1996), bahwa
sesungguhnya secara ideal partai politik dimaksudkan untuk mengaktifkan dan
memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi
bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi
kepemimpinan politik secara absah (legitimate) dan damai.
Amal melanjutkan bahwa sejatinya terdapat 5 jenis partai politik yang
dapat diklasifikasikan berdasarkan pada tingkat komitmennya terhadap ideologi
dan kepentingan, yakni: partai proto, partai kader, partai massa, partai diktatorial,
dan partai catch-all. Partai proto lahir secara spontan dari kebutuhan akan
penghubung antara rakyat dan pemerintah (Budiardjo, 2006: 159) dan lebih
merupakan faksi- faksi politik dengan dasar dikotomi ideologis yang tegas. Partai
kader muncul sebagai adaptasi dari sistem hak pilih yang mulai dinikmati
masyarakat namun tingkat organisasi dan ideologi partai jenis ini masih tergolong
rendah karena proses kaderisasi hanya melibatkan masyarakat kelas menengah
keatas. Partai massa memiliki pengertian yang hampir berlawanan dengan partai
kader dimana proses rekrutmen partai tidak lagi terbatas pada kalangan
masyarakat menengah keatas. Partai massa memprioritaskan dukungan kuantitatif
dari besarnya jumlah simpatisan partai dibanding partai kader yang lebih
berorientasi pada kualitas individual basis massanya. Partai diktatorial adalah subtipe dari partai massa dengan perbedaan paling mendasar terletak pada tingkat
4
kontrol ideologis yang sangat ketat. Klasifikasi terakhir dari jenis-jenis kepartaian
menurut Ichlasul Amal adalah partai catch-all. Partai jenis ini merupakan tipe
partai paling pragmatis yang lebih mengedepankan pengaruh dari kelompok
kepentingan
(interest
group) dan
kelompok
penekan
(pressure
group)
dibandingkan harus tunduk sepenuhnya terhadap ideologi.
Budiardjo menyebutkan mengenai klasifikasi lainnya yang didasarkan dari
segi sifat dan orientasi, yaitu: partai lindungan (patronage party) dan partai
ideologi atau partai azas (programmatic party). Partai lindungan umumnya
memiliki organisasi nasional yang longgar, disiplin yang lemah, dan biasanya
tidak memiliki sumber dana yang teratur. Maksud utama partai ini adala h
memenangkan pemilihan umum untuk para anggota-anggota yang dicalonkan,
sehingga hanya giat menjelang masa-masa pemilihan. Sementara partai ideologi
atau partai azas (Sosialisme, Fasisme, Komunisme, Nasional- Demokrat) biasanya
memiliki pandangan yang digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan
berpedoman dalam disiplin partai yang kuat dan mengikat. Partai jenis ini
menjadikan ideologi sebagai haluan yang mutlak dalam menggariskan agenda dan
program partai.
Spektrum Politik Tradisional Kiri-Kanan.
Aspek ideologi telah sejak lama dijadikan acuan untuk mengklasifikasikan
partai kedalam spektrum politik tertentu. Spektrum politik yang lumrah digunakan
sebagai media klasifikasi tersebut berpedoman pada afiliasi politik tradisional
kiri-kanan. Menurut Jeff Greenberg dan Eva Jonas (2003) partai yang berafiliasi
ke arah spektrum politik kiri melandaskan preferensinya pada sistem ekonomi
sosialis atau komunis, tanggung jawab komunal, teori- teori sosial, dan prinsipprinsip kesetaraan. Sementara partai dengan afiliasi ke arah spektrum politik
kanan memiliki preferensi ekonomi pasar bebas, tanggung jawab individual, teoriteori genetik atau berasaskan-kemauan, dan prinsip-prinsip keadilan. Diantara dua
kutub spektrum politik tersebut terdapat wilayah yang dikenal dengan sebutan
“centris” atau “tengah” yang lebih sering disebut dengan kalangan moderat.
5
Tabel 1.1.
Spektrum Politik Tradisional Kanan-Kiri
Ekstrem- Radikal
Kiri
Mendukung skema perubahan sosial yang cepat dan fundamental
(terkadang melalui kekerasan)
Kiri
Liberal
Mendukung skema perubahan melalui cara hukum (perubahan
berlangsung damai melalui kebijakan pemerintah)
Tengah Moderat
Mendukung skema perubahan secara bertahap
Kanan
Konservatif
Tidak mendukung skema perubahan (puas dengan status quo) dengan
mempertahankan tatanan sosial yang ada
Ekstrem- Reaksioner
Kanan Mendukung skema perubahan restoratif (retrogressive) yang
berorientasi pada kejayaan masa lalu (terkadang melalui kekerasan)
Sumber: Gilchrist, Kevin, (2012), 'Social 10-1', Mr. Gilchrist's Social Studies Blog (online), 24
Oktober, <http://kgilchrist.blogspot.com.es/2012/10/october-24.ht ml>, diakses 21 September 2014.
Tabel 1.1. menunjukkan bahwa terdapat kelompok ekstrem di setiap kubu
yang menurut Doswell (2011) sangat menonjolkan kultur kekerasan (violence)
sebagai sekat pemisahnya. Baik kalangan ekstrem-kiri (far- left) maupun ekstremkanan (far-right) menuntut skema perubahan terhadap tatanan sosial yang ada
melalui revolusi dengan kekerasan. Partai-partai yang bernaung dibawah
spektrum ideologis “kiri” memperjuangkan nilai- nilai kesejahteraan bagi seluruh
lapisan masyarakat dimana pemerintah harus memainkan peran lebih besar dalam
menyediakan pelayanan sosial serta menjamin bahwa aspek penegakkan hukum
dan ketertiban berlaku adil bagi setiap individu. Partai-partai yang berada di
wilayah “tengah” berusaha mempertahankan tradisi namun tetap terbuka terhadap
perubahan ketika rakyat menghendakinya. Dilain pihak, peran pemerintah dalam
aspek pelayanan sosial dibatasi oleh asas manfaat semata dan aspek penegakkan
hukum tetap menjadi prioritas demi terjaganya ketertiban umum. Sementara itu,
partai-partai yang bernaung dibawah nuansa spektrum ideologis “kanan” sangat
berhati- hati terhadap perubahan karena dapat mengganggu tradisi, aspek
pelayanan sosial didominasi pemenuhannya oleh aktor-aktor non-pemerintah, dan
6
aspek penegakkan hukum harus berjalan beriringan dengan aspek tradisi.
Dengan mengacu pada uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
partai-partai yang berhaluan ideologi sosialisme dan ko munisme berada tepat di
wilayah spektrum ideologis kiri, sementara partai liberal berada di wilayah
ambigu antara kiri dan tengah. Partai konservatif mengisi wilayah tengah
(moderat) dan partai-partai nasionalis menempati spektrum ideologis kanan
dengan ditutup oleh partai fasis di kanan-jauh.
Struktur Ideologi Partai Sayap Kanan-Jauh.
Skripsi ini memiliki tema besar yang berkisar disekitar kata kunci
“sentimen ultranasionalisme”. Sentimen ultranasionalisme menempati wilayah
spektrum ideologis kanan karena pada dasarnya proponen gerakan ini
membangun kerangka perjuangannya diatas ide-ide nasionalisme. Sebagai sebuah
ideologi, sentimen ultranasionalisme merupakan modifikasi versi ekstrem dari
nasionalisme (Bolaffi dkk, 2003: 196). Modifikasi tersebut terkait erat dengan
perubahan makna nasionalisme yang terus terjadi semenjak pertama kali
digunakan dalam Revolusi Perancis 1789.
Menurut Bolaffi (2003: 200-201), pada awal kemunculannya (1789-1871),
nasionalisme merupakan perwujudan tujuan bersama dalam membangun sebuah
negara-bangsa yang terbebas dari dominasi asing dengan dilatarbelakangi
kesatuan politik dan akar budaya yang serupa, seperti halnya yang terjadi di
Yunani, Itali, Jerman, dan Polandia. Pada periode selanjutnya (1871-1945), ide ini
berubah menjadi sentimen perpanjangan kekuasaan negara-bangsa melalui
kolonialisme (Perancis, Inggris, dan Itali) dan imperialisme (Amerika Serikat,
Jerman, dan Jepang).
Nasionalisme murni pada dasarnya adalah sebuah sentimen cinta tanah air
yang dibuat untuk mempersatukan dan mempertahankan kohesivitas bangsa
didalam sebuah organisasi sosial layaknya negara. Dengan demikian akan tercipta
sebuah harmoni internal dan stabilitas politik yang pada akhirnya berkontribusi
terhadap solidaritas sipil dan perdamaian dalam negeri (Kegley dan Wittkoff,
2001: 429). Dalam bentuk tersebut nasionalisme tidak menimbulkan kontroversi.
7
Gagasan nasionalisme diatas bertahan setidaknya hingga era Perang Dunia.
Periode Perang Dunia menjadi sebuah masa transformasi bagi ide nasionalisme
kearah ekstremisme dan gerakan radikal (Bolaffi dkk, 2003: 200) 2 .
Lebih jauh lagi, penulis memanfaatkan pemahaman Peter H. Merkl (2003:
4-6) mengenai “Subcultures, Social Movements and Political Parties of the
Extreme Right” untuk menguraikan landasan bagi kasus ultranasionalisme yang
secara khusus mengalami kebangkitan di tanah air Ukraina. Merkl menuangkan
penjelasannya kedalam tiga variabel. Variable pertama adalah subkultur ekstremis
sayap kanan yang bertujuan untuk melacak asal- mula sentimen ultranasionalisme
yang mewarnai pola tindakan suatu sistem masyarakat tertentu. Sentimen tersebut
dapat bermula dari reaksi terhadap kejadian sejarah, kehancuran akibat perang,
perjuangan melawan “penjajah”, luka masa lalu, atau sebagai akibat dari
perubahan sosial yang menyakitkan. Faktor- faktor diatas menunjukkan bahwa
gerakan ekstremis sayap kanan akan muncul seiring terjadinya krisis yang dialami
secara kolektif oleh suatu kalangan masyarakat sehingga tercipta asas perjuangan
bersama dalam menghadapi suatu problematika.
Merkl menjelaskan
bahwa ketika krisis
membentuk
pola pikir
ultranasionalis dalam benak individu pada sebuah sub-kultur, maka akan terlahir
variabel kedua, yaitu gerakan sosial ekstremis sayap kanan sebagai manifestasi
dari pola pikir tersebut. Gerakan ini muncul sebagai sebuah mekanisme
pertahanan diri terhadap ancaman yang dinilai antagonistis dari suatu entitas atau
rezim tertentu. Pada dasarnya gerakan sosial ekstremis sayap kanan lebih bersifat
insidental dan melibatkan simpatisan yang tidak seluruhnya fanatik. Dilain pihak,
Merkl menambahkan bahwa gerakan semacam ini dapat bertransformasi menjadi
2
Transformasi d ibalik sentimen nasionalis me membuat ideologi in i memiliki konotasi yang
bermacam-macam
seperti:
patriotis me,
chauvinis me,
etno-nasionalis me,
h ingga
ultranasionalisme dan lain sebagainya. Antara satu istilah dan yang lainnya terkadang
mengalami pemaknaan yang saling tumpang tindih, sehingga pada akhirnya banyak terdapat
pendapat ahli yang berbeda-beda. Keg ley dan Wittkoff dalam “World Po lit ics: Trend and
Transformation” (2001: 427) menyatakan bahwa nasionalisme adalah pengabdian sentimental
yang dilaku kan oleh seseorang demi kesejahteraan negaranya tanpa mempedulikan
kepentingan bersama seluruh bangsa dan negara dalam ko munitas global. Van Evera dan Jack
S. Levy (dalam Kegley dan Wittkoff, 2001: 427) mencatat bahwa nasionalis me adalah ideologi
yang seringkali merupakan sumber dari konflik bersenjata. Levy bahkan menyatakan bahwa
kecenderungan masyarakat untuk memberikan loyalitas tertingginya demi negara -bangsa
merupakan katalis perang.
8
sebuah organisasi massa yang pada tingkatan tertingginya mampu meraih
legitimasi sebagai sebuah kendaraan politik.
Variabel terakhir Merkl adalah partai politik ekstremis sayap kanan yang
secara khusus bertujuan untuk menempatkan delegasi-delegasi proponen gerakan
radikal sayap kanan didalam pemerintahan. Merkl menekankan bahwa partai
ekstremis sayap kanan biasanya menghadapi kesulitan melakukan terobosa n
dalam pemilu kecuali ketika ada jeda popularitas yang signifikan diantara partaipartai yang bersaing, khususnya ketika partai yang beraliran moderat mulai
kehilangan dukungan. Fluktuasi dalam arena pertarungan antar partai politik dapat
memberikan jalan terhadap kalangan sayap kanan untuk memanfaatkan isu- isu
populis.
Demand dan Supply Elektabilitas Partai Radikal Sayap Kanan-Jauh.
Pendapat Haryanto (1984) dan Amal (1996) tentang partai politik
memberikan kesimpulan bahwa terdapat dinamika kesalinghubungan antara
masyarakat sebagai simpatisan dan kader dengan kalangan elit partai yang
merupakan aktor intelektual dalam mekanisme kepartaian. Kesalinghubungan
tersebut terurai jelas melalui skema demand dan supply yang menjadi landasan
tarik menarik agregrasi aspirasi masyarakat terhadap partai politik. Pengertian
mengenai kedua aspek tersebut dijelaskan secara rinci oleh Pippa Norris (2005)
dalam bukunya yang berjudul “Radical Right: Voters and Parties in the Electoral
Market”. Norris menguraikan skema tersebut secara khusus untuk menjelaskan
dinamika elektabilitas partai radikal sayap kanan.
Aspek
demand
berupaya
untuk
menguraikan
analisa
dibalik
perkembangan preferensi politik massa elektorat dalam menghadapi perubahan
dalam struktur sosial yang dapat mendorong popularitas dan ide- ide radikal sayap
kanan. Norris menyebutkan bahwa dorongan tersebut dapat berasal dari aspek
sosial-ekonomi masyarakat pasca- industri, bangkitnya rasa kecewa masyarakat
terhadap situasi perpolitikan, atau pergeseran opini publik terkait dengan
eksistensi kalangan migran dan minoritas etnis. Ketiga aspek tersebut tidak
bersifat eksklusif dan dapat menjadi katalis antara satu dengan yang lain. Secara
9
spesifik, situasi diatas dapat terwujud melalui kondisi sosial-politik sebagai
berikut (Norris, 2005: 11): 1. Masuknya gelombang imigran, pengungsi, dan
pencari suaka membuat masyarakat semakin waspada dengan isu ini; 2. Kalangan
elektorat telah secara massal merasa tidak puas dengan kinerja partai utama
(mainstream parties) dan tidak lagi percaya dengan sistem politik yang
menyokongnya; 3. Telah terjadi perpecahan dalam struktur kelas dan religius
tradisional masyarakat sehingga berpengaruh terhadap afiliasi politik dan
kesetiaan masyarakat terhadap partai politik tertentu; 4. Terdapat reaksi kultural
terhadap kemunculan nilai-nilai postmaterialism; dan / atau 5. Terganggunya
aspek
kesejahteraan
masyarakat
terkait
dengan
meningkatnya
angka
pengangguran dan job insecurity sehingga menciptakan resiko sosial baru.
Sementara itu, sisi supply menjelaskan bahwa partai politik memainkan
peran yang kritis sebagai agen yang aktif dalam menghubungkan perkembangan
fenomena sosial dan sikap politik masyarakat dengan perilaku pemilih. Peran
tersebut sangat bergantung pada kelihaian partai sayap kanan dalam menyusun
strategi kampanye mereka secara eksoterik dan esoteris. Strategi tersebut, menurut
Norris (2005: 191), termasuk diantaranya adalah: 1. Eksploitasi ruang ideologis di
wilayah kanan-jauh dalam spektrum politik tradisional yang tercipta sebaga i
akibat dari penempatan lokasi ideologis partai-partai utama (mainstream parties);
2. Ketepatan penempatan lokasi ideologis partai sayap kanan dalam ruang tersebut;
dan juga, 3. Tingkat efektifitas partai sayap kanan dalam membangun dan
memelihara landasan organisasinya. Norris menambahkan fakta bahwa platform
ideologis partai sayap kanan radikal dewasa ini dibangun diatas strategi tersebut.
Hal ini tercermin dari eksistensi partai radikal sayap kanan yang secara garis keras
menempatkan diri diujung spektrum ideologis kanan sementara terdapat pula
partai radikal sayap kanan yang lebih memprioritaskan agenda populis mereka
dengan menggeser posisi ideologisnya mendekat ke tengah.
Variabel- variabel di atas mampu memberikan gambaran mengenai derajat
manifestasi faktor demand dan supply dalam menciptakan prasyarat terhadap
tumbuh kembang elektabilitas partai radikal sayap kanan. Sebagai sebuah tindak
lanjut maka diperlukan suatu rumusan teori yang berfungsi untuk menggambarkan
10
situasi sosial-politik yang berkontribusi terhadap tumbuh kembang tersebut. Teori
LET Hypothesis karya Roger Eatwell (2003, hal. 63-66) dalam tulisannya yang
berjudul “Ten Theories of the Extreme Right” memberikan penjelasan yang
komprehensif terhadap fenomena bangkitnya popularitas kalanga n ekstremis
sayap kanan. LET Hypothesis merupakan sebuah teori alternatif yang dirumuskan
Eatwell sebagai sebuah kritik atas ketiadaan teori yang menyeluruh dalam
menganalisa fenomena gerakan ekstremis sayap kanan kontemporer. Eatwell
berpendapat bahwa teori- teori yang ada, baik teori dengan perspektif demand
maupun teori dengan perspektif supply, selalu memiliki lubang yang gagal dalam
menjelaskan kompleksitas peristiwa dalam studi kasus mengenai dinamika
ekstremis sayap kanan. Namun demikian, teori Eatwell tidak berarti menyangkal
keberadaan kedua perspektif tersebut, melainkan memberikan suatu rangkaian
gagasan yang dapat secara komprehensif menjelaskan kesalinghubungan diantara
keduanya.
LET Hypothesis terbagi kedalam tiga kelompok analisa yang digambarkan
dalam formula berikut:
growing extremist Legitimacy+rising personal Efficacy+declining system Trust
Eatwell (2003) berpendapat bahwa legitimacy merujuk pada kepercayaan
bahwa sebuah partai harus terlebih dahulu diterima secara sosial dengan
menciptakan kesan bahwa partai tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari tradisi nasional. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan policy packaging
yang menarik. Lebih jauh lagi, pimpinan dan kalangan intelektual partai harus
mampu menciptakan wacana yang dapat mengarahkan preferensi publik sesuai
platform ideologis partai.
Efficacy diartikan oleh Eatwell (2003) sebagai sebuah pemahaman publik
bahwa setiap suara yang disalurkan tiap individu dalam pemilu dapat membawa
perubahan. Eatwell menggarisbawahi dua pertanyaan yang muncul ketika
membahas efficacy. Pertama adalah perihal apa yang mempengaruhi tingkatan
efficacy masyarakat? Kedua, bagaimana sebuah partai mampu menyajikan kesan
bahwa pihaknya dapat memberikan perubahan atau efek dalam pemerintahan?
11
Menanggapi kedua pertanyaan tersebut, analisa dalam kelompok ini terbagi ke
dalam tiga variabel, yaitu group membership, charismatic leadership dan
agreement with mainstream parties. Dalam menjelaskan ketiga variabel tersebut
penulis merasa bahwa hipotesa Eatwell yang lain mengenai faktor esoteric dan
exoteric yang terdapat dalam tulisan Anton Shekhovtsov (2011, hal. 215-216)
dapat mempertajam analisa dalam menjelaskan agenda partai. Faktor esoteric
merujuk pada diskusi ideologis kalangan intelektual partai di belakang layar,
sementara faktor exoteric merujuk pada kampanye dan pencitraan partai di atas
panggung.
Kelompok terakhir dalam formulasi LET Hypothesis Eatwell adalah Trust
(Eatwell, 2003). Isu- isu politik, sosial, serta ekonomi berpengaruh terhadap
tingkat kepercayaan publik kepada rezim yang berkuasa. Kegagalan pemerintah
dalam menangani permasalahan krusial seperti pengangguran dan kesejahteraan
masyarakat dapat menurunkan kredibilitas pemerintah di mata publik dan
memberikan jalan bagi partai-partai populis untuk meraih simpati massa.
Konsep-konsep diatas akan digunakan sebagai media untuk menjawab
pertanyaan penelitian,
sehingga
akan terangkai suatu
penjelasan
yang
komprehensif dalam memahami fenomena dibalik peningkatan elektabilitas Partai
Svoboda dalam pemilu parlemen Ukraina tahun 2012.
D.
Hipotesa
Berdasarkan kerangka konseptual yang dibangun, maka digagas suatu
asumsi dasar bahwa peningkatan elektabilitas dan popularitas Partai Sayap Kanan
Svoboda dalam pemilu parlemen Ukraina tahun 2012 didorong oleh dua faktor.
Faktor pertama adalah derasnya arus protest vote. Faktor ini menyediakan
aspek demand dalam merespon situasi krisis yang semakin intensif menjelang
pemilu parlemen Ukraina tahun 2012. Arus protest vote dilatarbelakangi oleh
skema popular “ressentiment” sebagai dampak dari rasa frustasi masyarakat
terhadap pemerintah yang dinilai gagal dalam memperjuangkan kepentingan
rakyat. Akumulasi popular “ressentiment” menciptakan suatu paradigma bahwa
tiap suara yang disalurkan adalah suara protes anti-pemerintah.
12
Faktor kedua adalah gerakan anti-establishment Svoboda. Faktor ini
berkontribusi menyediakan aspek supply dalam mempengaruhi popularitas
gerakan sayap kanan radikal di Ukraina. Gerakan ini muncul dengan
diperkenalkannya agenda partai melalui program-program yang memanfaatkan
isu-isu populis serta janji mengembalikan balance of power kepada masyarakat
sebagai usaha meraih simpati calon konstituennya.
E.
Sistematika Penulisan
Skripsi ini terbagi kedalam lima bab sebagai berikut:
Bab I berisi latar belakang, rumusan masalah, kerangka konseptual,
hipotesa, serta sistematika penulisan.
Bab II menjabarkan sistem politik dan pemerintahan Ukraina serta sejarah
pembentukan Partai Svoboda.
Bab III berisi analisa faktor demand yang mempengaruhi preferensi
masyarakat terhadap popularitas gerakan ekstremis sayap kanan.
Bab IV berisi analisa faktor supply yang ditawarkan oleh Partai Svoboda
dalam mengakomodasi dukungan massa terhadap gerakan ekstremis sayap kanan.
Bab V berisi kesimpulan terhadap fenomena peningkatan elektabilitas dan
popularitas Partai Svoboda.
13
Download