s_sej_053657_BAB II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bagian ini merupakan hasil tinjauan pustaka dan telaah berbagai
referensi yang berhubungan dengan perjalanan historis tentang hubungan antara
Islam dengan politik negara. Kajian kepustakaan berguna sebagai landasan dalam
mengambil posisi terhadap objek kajian. Untuk mempermudah pemahaman
terhadap pembahasan bab ini, peneliti membagi menjadi dua bagian. Pertama,
kajian tentang hubungan antara Islam dengan politik negara dalam konteks global.
Kedua, kajian tentang hubungan antara Islam dengan politik negara dalam konteks
keindonesiaan.
A. Kajian Tentang Hubungan Antara Islam Dengan Politik Negara dalam
Konteks Global
Sepanjang sejarah peradaban manusia, termasuk dalam sejarah
perkembangan Islam, agama dan negara merupakan dua institusi yang sama-sama
kuat berpengaruh tehadap kehidupan umat manusia. Demi agama seseorang rela
mengorbankan jiwa dan raganya. Demikian pula tidak jarang demi negara,
seseorang tidak keberatan membela jiwa dan raganya. Konsep ‘syahid’ dalam
ajaran Islam dan konsep ‘pahlawan’ yang berkaitan dengan negara adalah cermin
betapa dua institusi tersebut sama-sama mempunyai pengaruh yang demikian
besar terhadap kehidupan umat manusia.
14
Berkaitan dengan perbedaan dua institusi di atas; agama dan
negara, Kuntowijoyo menyatakan:
Agama dan negara adalah dua satuan sejarah yang berbeda
hakikatnya. Agama adalah kabar gembira dan peringatan (basyiran
wa nadzira), sedangkan negara adalah kekuatan pemaksa
(coercion). Agama punya khatib, juru dakwah dan ulama,
sedangkan negara punya birokrasi, pengadilan dan tentara. Agama
dapat mempengaruhi jalannya sejarah melalui kesadaran bersama
(collective conscience), negara mempunyai pengaruh sejarah
dengan keputusan, kekuasaan dan perang. Agama adalah kekuatan
dari dalam dan negara adalah kekuatan dari luar (Kuntowijoyo,
1997: 191-192).
Sementara itu, Hasan al Bana, pendiri dan tokoh pergerakan
Ikhwanul Muslimin (Mesir) memandang bahwa persoalan kenegaraan merupakan
bagian integral dari Islam. Ia mengungkapkan:
Islam adalah sistem yang menyeluruh, yang menyentuh seluruh
aspek kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintahan dan
umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban
dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan
alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan da’wah, pasukan dan
pemikiran, sebagaimana ia juga aqidah yang lurus dan ibadah yang
benar, tidak kurang dan tidak lebih (Ridha. 2004: 49-50).
Terkait dengan persoalan hubungan agama dan negara, Abdul Azis
Thaba menggolongkannya ke dalam beberapa jenis (Thaba: 240-304). Pertama,
hubungan yang cenderung didasarkan atas rivalitas dan antagonistik di antara
keduanya, di mana masing-masing berupaya untuk saling menghancurkan. Turki,
pada masa tumbangnya imperium Utsmani, 1924, menggambarkan jenis
hubungan demikian. Demikian pula apa yang terjadi pada dekade 1980-an, di
mana negara cenderung menafikan peran agama (Islam) atau setidaknya
menjadikan agama (Islam) sebagai terpinggirkan, sehingga representasi hubungan
15
antara agama dan negara cenderung bersifat antagonistik dan didasarkan atas
rivalitas.
Kedua, hubungan yang saling mendukung antara agama dan
negara. Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai hubungan simbiotik (Wahid,
1996: 34). Sebagai contoh, model hubungan semacam ini terjadi pada Kerajaan
Saudi Arabia ketika pertama kali didirikan. Kolaborasi antara Raja Saud yang
mendirikan negara Arab Saudi dengan Abdul Wahhab yang merintis ajaran
wahhabiyah dapat dikelompokan ke dalam jenis hubungan simbiotis ini. Raja
Saud, pendiri Kerajaan Saudi Arabia, di satu pihak, bekerja sama dengan Abdul
Wahhab, yang membawa paham baru yang kemudian dikenal sebagai sekte
wahhabi.
Dalam konteks semacam di atas, Kuntowijoyo melukiskan
bagaimana agama berfungsi sebagai legitimasi kepada negara, sebagai berikut:
Agama menunjang politik dengan memberikan legitimasi kepada
negara, partai dan perorangan. Legitimasi kepada negara sudah
lama dilakukan oleh Islam. Dalam babad diceritakan bahwa
walisanga adalah penasihat raja-raja, ketika raja dan kerajaan tidak
dapat dapat dipisahkan. Raja-raja Mataram adalah khalifah (wakil
Tuhan, kinarya wakil Hyang Agung) dan panatagama (penata
agama). Kiranya hal yang sama terjadi sekarang. Legitimasi itu ada
pada ideologi Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
sekalipun tidak jelas benar, tapi umat Islam dapat mengartikanya
sebagai tauhid. Juga pelarangan terhadap komunisme dan Islam
saling bermusuhan. Departemen agama, tindakan terhadap ajaran
Islam yang menyimpang, penyelenggaraan haji yang diurus
Negara, MTQ, MUI, Bank Muamalat dan seterusnya tekad negara
untuk menjadi panatagama. “Upah” yang diharapkan adalah bahwa
negara akan mendapat legitimasi (Kuntowijoyo, 1997: 195-196).
Dalam konteks perkembangan politik Indonesia kontemporer, pada
dekade 1990-an, hubungan antara agama dengan negara memperlihatkan
16
kecenderungan simbiotik ini. Dengan menggunakan perspektif Kuntowijoyo,
agama memberikan legitimasi kepada (penguasa) negara dan sebaliknya negara
memberikan perlindungan kepada agama (Islam). Setidaknya agama tertentu dan
dari sekte tertentu pula. Bagaimana sebagian umat memberikan dukungan kepada
penguasa saat itu dan sebaliknya kelompok tersebut mendapatkan perlindungan
dari penguasa yang ada dapat dipahami dari perspektif hubungan yang saling
mendukung ini.
Pola dan bentuk hubungan negara dan agama, telah diberikan
teladannya oleh Nabi Muhammad SAW sendiri setelah hijrah dari Makkah ke
Madinah. Dari nama yang dipilih oleh Nabi Muhammad SAW bagi kita kota
hijrahnya itu menunjukan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi sucinya
dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian
menghasilkan suatu entitas sosial-politik, yaitu sebuah negara. Negara Madinah
pimpinan Nabi itu adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam
Islam.
1. Negara Madinah
Hijrah, dalam sejarah dakwah Rasulullah SAW adalah sebuah
metamorphosis dari “gerakan” menjadi “negara”. Tiga belas tahun sebelumnya,
Rasulullah Saw. melakukan penetrasi sosial yang sangat sistematis; di mana Islam
menjadi jalan hidup individu, di mana Islam ‘memanusia’, dan manusia kemudian
‘memasyarakat”. Sekarang, melalui hijrah, masyarakat itu bergerak linear menuju
17
negara. Melalui hijrah gerakan itu “menegara” dan Madinah adalah wilayahnya
(Matta, 2006: 2).
Jika individu membutuhkan aqidah, maka negara membutuhkan
perangkat sistem. Begitulah setelah komunitas Muslim menegara, dan mereka
memilih Madinah sebagai wilayahnya, Allah SWT menurunkan perangkat sistem
yang mereka butuhkan; maka turunlah ayat-ayat hukum dan berbagai kode etik
sosial, ekonomi, politik dan keamanan lainnya. Lengkaplah sudah susunan
kandungan sebuah negara: manusia, tanah, dan sistem.
Apa yang kemudian dilakukan Rasulullah SAW sebenarnya relatif
mirip dengan semua yang dilakukan para pemimpin politik yang baru mendirikan
negara. Ridha (2003: 59-60) memaparkan: pertama, membangun infrastruktur
negara dengan masjid sebagai simbol perangkat utamanya. Kedua, menciptakan
kohesifitas sosial melalui proses persaudaraan antara dua komunitas darah yang
berbeda tapi menyatu sebagai komunitas agama, antara sebagian komunitas
“Quraisy” dan “Yatsrib” menjadi komunitas “Muhajirin” dan “Anshar”. Ketiga,
membuat nota kesepakatan untuk hidup bersama dengan komunitas lain yang
berbeda, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang
sama, melalui piagam Madinah. Keempat, merancang sistem pertahanan negara
melalui konsep Jihad fi Sabilillah.
Lima tahun pertama setelah hijrah dipenuhi oleh kerja keras
Rasulullah SAW beserta para sahabat beliau untuk mempertahankan eksistensi
dan kelangsungan hidup negara Madinah. Dalam kurun waktu itu, Rasulullah
SAW ttelah melakukan lebih dari 40 kali peperangan dalam berbagai skala.
18
Perang
Khandaq
merupakan
peperangan
terbesar
dalam
sejarah
awal
perkembangan Islam. Setelah itu, tidak ada lagi perang yang terjadi di sekitar
Madinah, karena semua peperangan sudah bersifat ekspansif. Negara Madinah
membuktikan kekuatan dan kemandiriannya, eksistensinya dan kelangsungannya.
Di sini kaum Muslimin telah membuktikan kekuatannya, setelah sebelumnya
kaum Muslimin membuktikan kebenarannya.
Pada dasarnya, Nabi Muhammad tidak pernah memproklamirkan
negara Yatsrib atau negara Madinah, sebab bukan kedaulatan wilayah yang
menjadi tujuan utama gerakan Nabi. Negara yang hendak dibangun Islam adalah
negara yang memberi ruang pada kedaulatan aqidah (ideologi) dan fikrah
(paradigma). Ketika beliau hijrah meninggalkan Makkah bukan bermaksud untuk
menegakkan kekuasaan Madinah. Banyak ahli sejarah yang menamakan negara
yang pertama kali didirikan oleh Rasulullah SAW sebagai Negara Madinah hanya
karena pusat pemerintahannya di Madinah. Negara Madinah akhirnya disamakan
dengan city state (Negara kota) seperti Athena dan Sparta di masa purba (Thohari,
www.Hidayatullah.com, 18 Februari 2009).
Pada dasarnya, menyangkut perihal hubungan antara negara dan
agama atau keberadaan kedua institusi tersebut, maka ‘Negara Madinah’
merupakan prototype bagi terciptanya hubungan ideal dan harmonis antara negara
di satu pihak dan agama di pihak lain. Negara Madinah adalah model bagi
hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Hanya saja, perkembangan
zaman dengan segala macam aspeknya yang semakin kompleks menjadikan cara
pandang terhadap ‘Negara Madinah’ menjadi berbeda satu sama lain. Dengan kata
19
lain, perbedaan tafsir terhadap pesan-pesan agama, dalam hal ini menyangkut
kehidupan bukan keagamaan, menjadi faktor cara pandang yang berbeda pula
dalam melihat ‘Negara Madinah.’
Menurut analisis Prof. Dhiauddin Rais (www.isnet.org, 18 Februari
2009), sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw. dan kaum mukminin yang
hidup bersama beliau di Madinah, jika dilihat dari segi praktis dan diukur dengan
variabel-variabel politik di era modern tidak disangsikan lagi dapat dikatakan
bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence.
Di sisi lain, Ashgar Ali Engineer, seseorang pemikir muslim
kenamaan kelahiran India yang sedikit banyak menjadi rujukan para penganut
mazhab substantifistik Indonesia, menggambarkan kondisi masyarakat Madinah
sebagai berikut:
The Medeinese Arabs had not yet entered into the “civilized
society” and belonged to the “savage stage” wherein the fruits of
their industry were not appropriated by their superiors. So as a
repressive state apparatus was not need to ensure collection of rent
taxes. What, in fact, neccessated a supra-tribal authority like the
one established by the Prophet was the inter-tribal war which
resulted in meaningless blood-shed without any let or hindrance.
And hence the Prophet, at the most, could claim the position of
arbitrer and not of an unchallenged ruler., to begin with. It was
only much later that he acquired a unique position.
(Penduduk Arab Madinah belum masuk pada tahap “masyarakat
beradab” dan masih berada dalam “tahap barbar” di mana hasilhasil produksi mereka tidak dirampok oleh para superior mereka.
Oleh karena itu, aparat negara yang represif tidaklah diperlukan
untuk melakukan pemungutan pajak. Sebenarnya, sesuatu yang
memerlukan otoritas yang menguasai suku-suku sebagaimana
diciptakan Nabi Muhammad adalah perang antar suku yang
berakibat pada timbulnya pertumpahan darah yang tidak bermakna
dengan tanpa adanya penghalang atau penghambat. Dalam pada
itu, Nabi Muhammad, paling banter, hanya dapat mengklaim
sebagai penengah, bukan seorang penguasa/pemimpin yang tidak
tertandingi, untuk pertama kalinya demikian. Bahwasannya Nabi
20
menduduki posisi unik merupakan perkembangan lain di kemudian
hari) (Sofyan dan Madjid: 2003: 22).
Konsekuensinya, dikaitkan dengan eksistensi “Negara Madinah”
sebagai sebuah “Negara” yang baru berdiri maka Ashgar menyatakan sebagai
berikut:
Hence to begin with there was no theocratic state in Medina. All
the Prophet did was to recognize the existing reality and accord
complete autonomy to the Medinesetribes. He also allowed the
non-muslim in Medina to follow their religion and coexist with his
followers provided they honoured the terms of the agreement and
did not endanger the security of Medina by conspiring with the
opponent of the Prophet from Mecca. Various laws wihich became
the integral part of Islamic Yurispundence which revealed much
later through different verses of a period of time. At that time,
these laws, which revealed later, could not have become the basis
of the state.
(Dalam pada itu, untuk pertama kalinya, di Madinah tidak
ditemukan satu bentuk negara teokratis. Semua yang dilakukan
Nabi adalah mengenali realitas yang berkembang dan memberikan
otonomi sepenuhnya kepada suku-suku yang ada di Madinah.
Beliau juga membiarkan non-muslim di Madinah untuk tetap
menganut agamanya dan hidup berdampingan sepanjang mereka
menghormati
ketentuan-ketentuan
perjanjian
dan
tidak
mengganggu keamanan Madinah dengan melakukan konspirasi
dengan musuh Nabi dari Makkah. Beragam aturan yang menjadi
bagian integral hukum Islam diungkapkan jauh kemudian melalui
beragam ayat. Pada saat itu, hukum-hukum demikian, yang
diturunkan kemudian, tidak dapat menjadi basis negara) (Sofyan
dan Madjid: 2003: 22).
Namun demikian, perkembangan-perkembangan sosial masyarakat mutakhir pada
saat itu menuntut adanya satu perangkat ketentuan dan aturan yang mengatur
kehidupan masyarakat Madinah. Dengan adanya aturan-aturan baru itulah maka
lahirlah sebuah Negara Islam untuk pertama kalinya.
21
2. Negara Nasional dalam Peradaban Islam
Dalam pandangan Ibnu Khaldun, antara negara dengan kekuasaan
memiliki hubungan dengan umat antara satu sama lainnya, karena keduanya tidak
dapat dipisahkan bagi kelangsungan hidup umat manusia. Seperti yang telah ia
sampaikan sebagai berikut:
Adalah satu kenjataan, bahwa daulah (negara) dan mulk
(kekuasaan wibawa) itu mempunjai hubungan jang sama terhadap
umran (peradaban atau masjarakat) sebagai hubungan bentuk
dengan benda. Bentuk adalah rupa jang mendjaga adanya benda
dengan perantaraan potongan tertentu dari bangunan jang
diwakilinya. Di dalam ilmu filsafat telah ditetapkan, bahwa jang
satu tak dapat ditjerai-pisahkan dari jang lainnya. Kita sungguh tak
dapat membajangkan suatu daulah tanpa umran, sedang satu umran
tanpa daulah dan mulk adalah tidak mungkin, karena umat manusia
menurut wataknja haruslah saling bantu-membantu, dan ini
meminta adanja satu kewibawaan (Ar. Al-wazi). Maka
kepemimpinan politik, jang didasarkan atas kekuasaan Sjari’at
ataupun diradja, adalah satu keharusan sebagai pemegang wibawa
itu. Inilah jang dimaksudkan dengan daulah. Oleh karena keduanja
itu tidak dapat ditjerai-pisahkan, maka kehantjuran salah satunja itu
akan mempengaruhi jang lainnya, sebagaimana djuga tak adanja
jang satu akan mengakibatkan tak adanja jang lainnja itu (Raliby.
1965: 162).
Dalam pandangan Ibnu Khaldun, antara negara dengan rakyat (umat) layaknya
tangan kiri dan tangan kanan. Kehancuran pada salah satunya berarti merupakan
sebuah kepincangan. Disinilah Ibnu Khaldun secara implisit menerangkan urgensi
sebuah negara pemerintahan bagi kelangsungan hidup umat manusia. Pernyataan
Ibnu Khladun juga menerangkan bahwa kehancuran negara berarti kehancuran
rakyat, dan tak adanya negara berarti tidak adanya rakyat. Dengan kata lain, tanpa
negara, atau kehancuran negara, niscaya masyarakat akan terjatuh dalam sebuah
kehancuran yang bernama anarki. Secara khusus, keberadaan negara pun sudah
22
tentu dibutuhkan di tengah-tengah dunia Islam, namun cara pandang mengenai
negaranya itu sendiri masih berbeda-beda di tengah umat Islam sendiri.
Sebagaimana tidak dikenalnya secara baku tentang adanya konsep
negara Islam, masyarakat Islam tidak mengenal konsep adanya negara bangsa atau
nasional. Pada awalnya, setidaknya sampai dengan zaman pra-modern,
masyarakat muslim hanya mengenal dua konsep territorial politik religious dar al
Islam (wilayah damai), yaitu wilayah kaum muslimin dan dar al harb (wilayah
perang) yaitu wilayah non-muslim. (Azra, 1996: 12). Oleh karena itu, konsep
negara nasional (nation-state) seringkali menciptakan ketegangan historis dan
konseptual, misalnya berbenturan dengan kekhalifahan.
Pada awalnya konsep negara bangsa atau negara nasional dalam
Islam dikenal sejak era Imperium Utsmani, bersamaan dengan lahirnya
nasionalisme Turki. Menurut Sofyan dan Madjid (200: 28) dalam praktiknya, apa
yang disebut sebagai nasionalisme Arab tidak pernah terwujud secara kongkrit
dan stabil. Perbedaan-perbedaan mendalam di antara bangsa Arab dalam hal
geografis, adat-istiadat dan tradisi lokal, dan orientasi sosio-ekonomis mengatasi
kesamaan bahasa dan bahkan Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas bangsa
Arab. Nasionalisme Arab sesungguhnya adalah ideologi semu. Di samping
nasionalisme Arab, pada saat relatif bersamaan di dunia Arab lahir pula
nasionalisme lokal dan lebih terfokus pada kawasan tertentu, tidak mencakup
seluruh dunia Arab. Gerakan Nasionalisme lokal ini disebut dengan gerakan
wataniyyah atau gerakan patriotisme/gerakan cinta tanah air. Berbeda dari
gerakan qawmiyyah, gerakan patriotisme atau gerakan qawmiyyah, gerakan
23
patriotisme atau gerakan cinta tanah air yang lebih memfokuskan pada masingmasing kawasan di dunia Arab bukan seluruh dunia Arab. Semua gerakan
nasionalisme Arab ini lahir sebagai sebuah bentuk ketidakpuasaan terhadap
pemerintahan Turki Utsmani dan dan perlawanan terhadap imperialisme Eropa
(Lenczowski, 2003: 32).
Dalam khazanah budaya Arab, patriotisme atau cinta tanah air
mempunyai akar yang dalam; tetapi karena pengaruh Barat, kini mendapatkan
nuansa baru, khususnya pengaruh Revolusi Perancis. Di Mesir, Rifa’at al Tahtawi
mengintrodusir gagasan menyangkut tanah air sebagai obyek pengorbanan, dan
menegaskan bahwa persaudaraan atas dasar kesamaan tanah air (watan) sama
dengan persaudaraan atas karena kesamaan agama. Muhammad Abduh, seorang
reformis Islam, menyatakan bahwa watan merupakan basis bagi kehidupan
politik; dan mengembangkan gagasan tentang hak dan kewajiban yang membatasi
individu untuk tanah airnya. Di Suriah, alternatif lain terhadap sektarianisme
adalah wataniyyah yang lebih bernuansa lokal dibandingkan dengan nasionalisme
Arab. Wataniyya adalah produk nasionalisme tetapi selangkah lebih maju. Dia
tidak menjadikan bangsa Arab secara keseluruhan sebagai basis kesetiaan, tetapi
lokalitas atau propinsi tertentu Jadi, jika Mesir, Aljazair, dan Tunisia berada di
bawah kolonialisme Eropa, maka wataniyya, di Negara-negara tersebut, berbentuk
nasionalisme Mesir, nasionalisme Aljazair dan nasionalisme Tunisia. Sementara
qaumiyya dimaksudkan untuk melawan terutama imperium Utsmani, wataniyya
lahir sebagai gerakan melawan imperialisme Eropa (Sofyan dan Madjid, 2003:
29-30). Ringkasnya, dalam sejarah peradaban Islam konsep nasionalisme yang
24
secara otomatis melahirkan konsep ‘negara bangsa’ atau ‘negara nasional’
merupakan fenomena modern yang lahir pada akhir kejayaan imperium Turki
Utsmani.
Namun demikian, pada saat konsep negara nasional tidak
sepenuhnya mendapatkan tempat di kalangan umat Islam dan bahkan
memunculkan ketegangan historis dan kultural, konsep Negara Islam pun belum
dicapai kata sepakat di kalangan umat. Sebagaimana yang ditulis Azra (1996: 22)
umat Islam tidak mempunyai model Negara Islam yang jelas dan kongkrit dalam
sejarah. Tidak adanya konsensus menyangkut konsep Negara Islam ini disebabkan
beberapa faktor antara lain; pertama, Negara ideal Madinah (dibawah pimpinan
Nabi dan keempat khalifah) tidak menawarkan rincian yang bisa mengilhami
penerapannya di alam modern dan masa kontemporer. Kedua, praktek-praktek
kekhalifahan yang belakangan, yakni periode Umayyah dan Abbasiyah, hanya
menyediakan kerangka sistem lembaga politik, pajak dan sebagainya. Ketiga,
kegagalan secara penuh mendirikan Negara Islam mengarah pada perumusan citacita ideal (hukum Islam dan teori politik) yang menggambarkan masyarakat
utopia yang bersifat teoritis dan teridealisasi. Keempat, hubungan antara agama
dan negara-seperti kebanyakan kepercayaan, praktek dan bahkan wahyu itu
sendiri-selama berabad-abad menjadi subyek interpretasi.
Dengan pertimbangan di atas, maka menarik mendiskusikan
konsep Negara nasional di tengah makin meningkatnya tuntutan untuk revitalisasi
Islam, kendati konsep Negara Islam itu sendiri, seperti baru saja dikemukakan,
belum terjelaskan secara kongkrit. konsep ‘negara bangsa’ atau ‘negara nasional’
25
dalam sejarah peradaban Islam muncul pada era imperium Turki Utsmani.
Menurut Azra (1996: 30) konsep tersebut berasal dari rasa nasionalisme yang
masing-masing dikembangkan bangsa Turki dan bangsa Arab. Di era imperium
Utsmani, terdapat pemikir terkemuka tentang nasionalisme baik Turkisme
maupun Arabisme yang saling bertentangan satu sama lain. Yang pertama adalah
Ziya Gokalp dan yang kedua adalah Al-Kawakibi. Dan keduanya sama-sama
berangkat dari realitas kejumudan (stagnasi) dan kemunduran umat Islam serta
upaya untuk mengatasi persoalan yang melilit umat Islam. Al-Kawakibi berpijak
pada perspektif teologis dan memperlihatkan nuansa lebih politis, sedangkan
Gokalp menganalisisnya dari perspektif sosiologis dan lebih bercorak kultural.
Al-Kawakibi berpendapat bahwa kaum muslimin seharusnya
kembali kepada ajaran agama mereka yang sejati untuk mengembangkan nalar
mereka dalam berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan Ziya Gokalp
menganjurkan pemisahan antara agama dan negara, diadopsinya peradaban Barat
dan perbaikan sistem pendidikan nasional Turki harus sejalan dengan sistem
pendidikan modern. Dua pandangan di atas mempengaruhi pemikiran umat Islam
di kemudian hari dan tampaknya saling bersaing untuk membuktikan sebagai
pemikiran yang benar dan aplikatif, termasuk di kalangan umat Islam Indonesia.
Kendati mereka berdua berbeda pandangan dalam mengatasi krisis
umat Islam, mereka sama-sama menganjurkan nasionalisme tentu dengan unsurunsur yang tidak sama. Dengan nasionalisme Arabnya, al-Kawakibi memasukan
unsur-unsur Islam kedalam pemikirannya, sedangkan Ziya Gokalp lebih memilih
jalan lebih liberal bahkan sekuler. Dengan kata lain, nasionalisme dan Negara
26
nasional mulai diakui dan diterima dalam komunitas umat Islam secara eksplisit
sejak era imperium Turki Utsmani.
B. Kajian Tentang Hubungan antara Islam dengan Politik Negara dalam
Konteks Keindonesiaan
1. Perdebatan Negara Pada Masa Awal kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lahir pada 17 Agustus
1945, akhirnya, menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Dengan demikian,
bisa dipahami bahwa para founding fathers Republik Indonesia memilih satu
bentuk atau format negara nasional sebagai bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Namun demikian dipilihnya Pancasila oleh para founding fathers
sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan melalui satu proses
panjang dan tidak mulus. Perdebatan mengenai dasar negara terjadi dalam sebuah
badan bernama BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Republik Indonesia) yang diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat (Maarif,
1984: 71). Masalah pokok yang diperdebatkan dalam BPUPKI berkisar pada
persoalan bentuk negara, batas negara, dasar filsafat negara dan hal-hal lain yang
bertalian dengan pembuatan konstitusi bagi sebuah negara. Perdebatan dalam
badan yang dibentuk Jepang itu berjalan lancar, kecuali menyangkut persoalan
dasar negara.
Perdebatan seputar dasar Negara dibuka, untuk pertama kali, oleh
Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Diantara anggota yang ternyata siap menjawab
tawaran Radjiman adalah Ir. Soekarno. Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno
27
menyampaikan sebuah pidato yang cukup panjang dan tanpa teks yang kemudian
dikenal sebagai lahirnya Pancasila.
Sehubungan dengan persoalan lahirnya Pancasila ini, Douglas E.
Ramage menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Soekarno merupakan upaya
untuk menemukan jalan tengah antara dua kelompok berbeda yang menghendaki
dasar negara yang berbeda pula. Kemudian memperhatikan suasana tegang
terutama antara kelompok Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar negara
dan kelompok nasionalis yang menolak gagasan tersebut, Ir. Soekarno
menyampaikan pidatonya pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai
lahirnya Pancasila. Douglas E. Ramage menulis:
In order to bridge the strongly held position between nationalist
advocates of a secular state and those championing an Islamic
state. Soekarno addressed the committee on June 1 1945 in a now
famous speech known as Lahirnya Pancasila (the Birth of
Pancasila) Soekarno sought provide an ideological foundation upon
which a state coterminous with the boundaries or former
Netherlands East Indies could be survive as a unified national state.
(Dalam rangka menjembatani pandangan yang teguh dipegang oleh
kaum nasionalis yang mendukung negara sekuler dan mereka yang
mendukung Negara Islam, pada 1 Juni 1945 Soekarno memberikan
pidatonya yang dikenal dengan lahirnya Pancasila di depan
anggota Badan Penyelidik. Soekarno berupaya memberikan
landasan dimana negara menjadi terputus/ tidak ada kaitan dengan
bekas Negara Hindia Belanda dapat survive sebagai Negara
nasional bersatu) (Ramage: 1995: 11).
Apa yang dilakukan Soekarno saat itu yang dengan pidatonya
yang menawarkan satu gagasan tentang dasar negara, dalam pandangan Douglas
E. Ramage, merupakan satu upaya kompromi politik yang dia tawarkan kepada
berbagai kelompok yang berbeda tentang dasar Negara untuk Indonesia merdeka.
Ramage menulis:
28
The speech was clearly designed to establish a political
compromise. Soekarno proposes that five principles-nationalism or
Indonesian unity, humanitarianism, Indonesian democracy through
consultation and consensus, sosial justice and belief in God – could
form a common platform on which all competing ideologies could
meet and yet not threaten the essential unity of Republic. National
unity could be threatened, Soekarno implied, if one exclusive
ideologi, Islam in particular, were to be enshrined as the basis of
the state for all citizens.
(Pidato tersebut ditujukan untuk menciptakan kompromi politik.
Soekarno mengemukakan lima dasar/Pancasila-nasionalisme atau
persatuan Indonesia, kemanusiaan, demokrasi Indonesia melalui
musyawarah mufakat , keadilan sosial dan keTuhanan-dapat
membentuk common platform di mana semua ideologi yang
berkompetisi dapat bertemu dan tidak mengancam persatuan
Indonesia, jelas Soekarno, jika satu ideologi eksklusif, khususnya
Islam, dijadikan dasar negara untuk semua penduduk) (Ramage:
1995: 12).
Kemudian dalam upaya membahas pidato Ir. Soekarno yang
sedikit banyak mulai membicarakan persoalan dasar negara, maka dibentuklah
sebuah komite kecil yang dikenal dengan Panitia Sembilan. Soekarno ditunjuk
sebagai ketua dan Hatta sebagai wakilnya. Panitia ini dibentuk untuk merumuskan
kembali isi pidato Soekarno. Panitia ini terdiri dari sembilan orang yang
merepresentasikan golongan-golongan yang ada saat itu. Islam, Nasionalis dan
Kristen.
Kendati demikian, ketegangan antara dua kelompok berbeda
yakni di satu pihak kelompok Islam yang terus berupaya memperjuangkan Islam
sebagai dasar negara bagi Indonesia merdeka dari kelompok nasionalis yang
berjuang untuk menolak keinginan kelompok Islam terus berlangsung. Hanya
saja, setelah Panitia Sembilan ini bekerja keras, akhirnya ditemukan satu solusi
politik. Pada tanggal 22 Juni 1945 diusulkan satu bentuk piagam yang
29
mengakomodir keinginan pemimpin Islam saat itu. Satu piagam yang kemudian
dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Dalam piagam tersebut disebutkan bahwa Pancasila sebagai dasar
Negara diterima, tetapi sila Ketuhanan yang dalam pidato Soekarno diletakkan
pada bagian paling akhir, oleh Panitia Sembilan ditempatkan pada bagian pertama
dengan diikuti oleh anak kalimat sebagai berikut ”Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (Anshari, 1986: 29-68).
Anak kalimat strategis ini ditempatkan tidak saja dalam UUD 1945, tetapi juga
dalam pasal 29 ayat 1, Piagam Jakarta ini diterima secara aklamasi oleh semua
anggota BPUPKI pada 16 Juli 1845.
Saat itu terjadi perkembangan sejarah yang besar yang melahirkan
perubahan besar pula terhadap perjalanan sejarah konstitusi Indonesia. Pada
tanggal 18 Agustus 1945, Hatta memanggil tokoh-tokoh Islam untuk merespon
perkembangan-perkembangan yang terjadi saat itu. Akhirnya, disetujui bahwa
tujuh kata setelah sila Ketuhanan dihilangkan, tetapi atribut strategis “Yang Maha
Esa” dikukuhkan sebagai penggantinya.
Terkait dengan digantikannya tujuh kata setelah Ketuhanan dalam
Piagam Jakarta dengan kata Yang Maha Esa, Mohammad Hatta menyatakan:
Pada waktu itu kami menginsafi bahwa semangat Piagam Jakarta
tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan “Ketuhanan dengan
mewajibkan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan
menggantikannya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa……tiap-tiap
peraturan dalam kerangka syari’ah Islam, yang hanya mengenai
orang Islam dapat dimajukan sebagai rencana Undang-Undang ke
DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam
Indonesia. Dengan cara begitu, lambat laun terdapat bagi umat
Islam di Indonesia suatu sistem syari’ah yang teratur dalam
30
undang-undang, berdasarkan Qur’an dan Hadits yang sesuai pula
dengan keperluan masyarakat Islam sekarang (Maarif, 1984: 45).
Sehubungan dengan disepakatinya Pancasila sebagai dasar Negara KH. Wahid
Hasyim mengakui adanya keadilan kaum nasionalis untuk menjaga kesatuan
negara Indonesia dan sepakat bahwa demi kesatuan Republik, Islam tidak harus
mendapatkan perlakuan istimewa. Bagi Wahid Hasyim pertanyaan terpenting bagi
umat Islam bukan “bagaimana tempat dan posisi umat Islam dalam Negara?”
melainkan “dengan instrumen apa kita bisa menjamin posisi semua agama dalam
Indonesia merdeka?” (Ramage: 1995: 14).
2. Perdebatan Dasar Negara Pada Masa Demokrasi Liberal
Sepuluh tahun kemudian, ketegangan antara kelompok-kelompok
pendukung Islam versus pendukung Pancasila mengemuka kembali. Setelah
pemilu pertama tahun 1955, di bawah payung hukum UUDS 1950, perdebatan
Islam dan Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia mengemuka
kembali. Perdebatan ini terjadi dengan keras dalam majelis konstituante. Pemilu
yang dilaksanakan pertama kali dalam sejarah republik yang baru merdeka ini
dimaksudkan untuk membentuk parlemen dan Majelis Konstituante. Semula
diharapkan bahwa Majelis Konstituante hasil pemilu akan mampu membuat
sebuah UUD yang permanen untuk menggantikan UUD yang pernah dimiliki.
Partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII, dan PTII) dalam Pemilu
1955 hanya berhasil meraih suara kurang dari 43,5 % suara dengan perolehan
kursi 114 dari 257 kursi. Undang-undang pemilu yang berdasarkan UUDS 1950
menuntut bahwa suatu UUD barulah menjadi sah bila draftnya disetujui oleh
31
paling kurang 2/3 anggota yang hadir dalam rapat. Dengan ketentuan ini
sebenarnya suatu Negara Islam atau negara berdasarkan atas Islam secara eksplisit
menjadi tidak mungkin. Begitu juga untuk menetapkan Pancasila sebagai dasar
Negara permanen pada waktu itu tidak mungkin sebab partai-partai pendukungnya
antara lain PNI, PKI, PSI, PIR, Partai Katolik, Parkindo dan lain-lain hanyalah
mengantongi suara lebih sedikit dari 50%. Adapun materi yang menjadi
perdebatan Majelis Konstituante tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada
BPUPKI. Ada tiga draft yang diusulkan oleh berbagai kekuatan berbeda saat itu,
yaitu Pancasila, Islam dan sosial ekonomi. Sosial-ekonomi hanya didukung oleh
dua partai kecil yang mempunyai pengikut rakyat kecil yakni Murba dan Partai
Buruh (Maarif, 1985: 124). Jadi sejak semula sebenarnya sudah dapat
diperhitungkan bahwa tanpa suatu kompromi, Majelis Konstituante akan berakhir
dengan kegagalan. Tapi rupanya sebagaimana diharapkan oleh UU Pemilu, suatu
perdebatan harus berlangsung lebih dulu baru suatu kompromi mungkin tercapai.
Sayangnya sebelum kompromi itu menjadi kenyataan, ada intervensi dan
kekuatan ekstra parlementer, yaitu militer bersama Soekarno yang kemudian
membubarkan Majelis.
Oleh karena itu yang akhirnya saling berhadapan adalah Pancasila
dan Islam. Berbeda dari BPUPKI, di Majelis Konstituante ini, wakil-wakil umat
Islam lebih siap, dan sekarang kombinasi kekuatan dunia pesantren dan dunia
intelek berpendidikan mumum dikerahkan untuk memperjuangkan dasar Islam
bagi Indonesia merdeka. Tokoh Islam yang menonjol antara lain: Mohammad
Natsir, KH. Saefuddin Zuhri, Z.A. Ahmad, Osman Raliby, KH. Syukri Ghazali,
32
Muhammad Hasbi as Shiddiqi, KH. Masykur, Kasman Singodimedjo, Hamka,
Muhamad Taher Abu Bakar, Syamsiah Abbas. Sedangkan dari kelompok
pendukung terkemuka dasar Pancasila antara lain: Ruslan Abdul Gani, St. Takdir
Alisyahbana, Soedjatmiko, Prof. Soeripto, Arnold Mononutu, Njoto, Karkono
Protokusumo dan Suwirjo (Maarif, 1984: 75). Masing-masing golongan bekerja
keras untuk mempertahankan pendiriannya, namun tidak mampu meyakinkan
pihak lawan.
Perdebatan tentang dasar ideologi negara dalam Majelis
Konstituante berlangsung sampai sidangnya yang terakhir pada 2 Juni 1959, tanpa
tercapainya satu keputusan. Dengan kenyataan ini pembuatan satu UUD yang
permanen menjadi terhambat, sekalipun sudah 90% dari cara kerja majelis yang
terselesaikan (Nasution, 1992: 78). Kemudian situasi setengah macet ini diatasi
oleh Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959
dengan membubarkan Majelis Konstituante serta menetapkan berlakunya kembali
UUD 1945. Ini artinya Pancasila dinobatkan melalui Dekrit Presiden menjadi
dasar negara yang permanen, tetapi tetap mempertimbangkan Piagam Jakarta
tertanggal 22 Juni 1945 sebagai menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu
rangkaian kesatuan dengan UUD tersebut.
Menurut Anshari (1986: 99), kebijakan Soekarno mengeluarkan
Dekrit Presiden lebih banyak disebabkan karena koalisi ABRI dengan Soekarno
yang merasa kepentingan politiknya terancam jika demokrasi parlementer tetap
diterapkan. Hal menarik dalam perkembangan yang terjadi pada sidang-sidang di
Majelis Konstituante pandangan elit politi dalam memandang Pancasila bukan
33
sebagaimana dikemukakan untuk pertama kalinya oleh Ir. Soekarno pada 1 Juni
1945 dalam sidang BPUPKI. Menurut kajian Douglas E. Ramage:
However by the late 1950s Pancasila no longer represented a
compromise or a meeting place for all ideologies originally
envisioned by Soekarno. This was because Pancasila had been
increasingly utilized as an ideological tool for delegitimizing
Islamic demands for state recognition af Islam.
(Namun demikian, pada akhir 1950-an Pancasila tidak lagi menjadi
tempat kompromi atau meeting place, bagi semua ideologi yang
ada sebagaimana untuk pertama kalinya digagas Soekarno. Ini
karena Pancasila semakin digunakan sebagai instrumen ideologis
untuk mendeligitimasi tuntutan umat Islam untuk memperjuangkan
Negara Islam) (Ramage: 1995: 19).
Bahkan Soekarno, orang yang menggagas Pancasila, tidak bisa
menghindar dari menggunakan Pancasila untuk deligitimasi kelompok Islam.
Douglas E. Ramage menceritakan:
Soekarno himself explicitly used Pancasila in this fashion in a
speech thatgenerated much Islamic anxiety and anti Pancasila
sentiment. In 1953 Soekarno candidly voiced his fear of the
negative implications for national unity if muslim Indonesian
pressedtheir demand for an Islamic state, or for constitutional or for
legal provision which would constitute formal recognition of Islam
by the state.
(Dengan eksplisit, Soekarno sendiri menggunakan Pancasila dalam
kerangka ini dalam sebuah pidato yang melahirkan keprihatinan
dari umat Islam sentimen anti Pancasila. Pada 1953, dengan terus
terang Soekarno mengemukakan kekhawatirannya atas dampak
negatif yang bakal muncul atas persatuan nasional jika umat Islam
memaksakan tuntutannya untuk berdirinya satu Negara Islam, atau
untuk aturan hukum atau konstitusi yang dapat melahirkan
pengakuan formal terhadap Negara Islam) (Ramage: 1995: 17).
Namun demikian, kaum pendukung Pancasila pun, terbelah
menjadi dua kelompok berbeda dalam memahami Pancasila. Sofyan dan Madjid
(2003: 48-49) menulis: kelompok pertama memandang Pancasila sebagai satu
forum, titik temu semua partai dan kelompok yang berbeda. Pandangan seperti ini
34
dipegang oleh PNI (Partai politik terbesar saat itu), PKI (pemenang keempat pada
pemilu 1955), Partai Katholik dan Partai Kristen. Sutan Takdir Alisjahbana (PNI)
mengungkapkan: “….bahwa Pancasila hanyalah kumpulan paham-paham yang
berbeda-beda untuk menentramkan semua golongan pada rapat-rapat” (Zuhri,
1980: 201). Dengan kata lain, kelompok-kelompok ini memandang Pancasila
dalam terminology original sebagai satu kompromi politik. Kelompok kedua,
melihat Pancasila sebagai satu-satunya ideologi politik yang memberikan jaminan
atas persatuan nasional dan cocok dengan kepribadian Indonesia, dan oleh
karenanya, menjadi satu-satunya dasar negara yang tepat untuk Indonesia.
Pandangan semacam ini dianut oleh sekelompok kecil anggota Majelis
Konstituante, termasuk Prof. Soepomo, proponen original paham integralistik.
Pandangan demikian ini memandang Pancasila bukan sekedar kompromi politik,
melainkan sebagai ekspresi ideologi dan politik budaya politik asli. Pandangan
terhadap Pancasila sebagai ideologi nasional yang all-encompassing mendapat
dukungan kalangan luar Majelis Konstituante terutama Presiden Soekarno dan
militer.
Dari dua kelompok pendukung Pancasila semasa Demokrasi
Konstitusional, kelompok kedualah yang survive sampai pergantian sistem politik;
dari sistem politik liberal ke dalam sistem politik yang dikenal sebagai didasarkan
atas Demokrasi Terpimpin. Dengan kata lain, pandangan bahwa Pancasila
merupakan satu ideologi yang all-encompassing berlanjut hingga era Demokrasi
Terpimpin.
35
3. Perdebatan Dasar Negara Pada Masa Demokrasi Terpimpin
Dalam era Demokrasi Terpimpin, perdebatan seputar dasar negara
tidak
mengemuka
sebagaimana
pada
masa-masa
sebelumnya.
Melalui
bekerjasama dengan militer (Angkatan Darat), Presiden Soekarno, Dekrit Presiden
tahun 1959 berhasil menghentikan debat seputar dasar negara yang terjadi antara
terutama kelompok Islam dan kelompok Pancasila. Selain itu, Menurut Thaba
(1996: 178) Soekarno berhasil melakukan pendekatan kepada umat Islam seperti
NU, Perti dan PSII. Partai-partai tersebut tetap diizinkan berdiri karena
mendukung Demokrasi Terpimpin. Mereka tampil sebagai wakil kelompok agama
dalam Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), yang merupakan jargon
politik Soekarno dalam rangka menciptakan persatuan bangsa. NU pun ikut
menyokong pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup melalui
Sidang MPRS tanggal 18 Mei 1963.
K.H. Wahab Hasbullah, Rais Aam NU, memberikan keputusan
agar NU masuk ke DPRGR (parlemen bentukan Soekarno sebagai pengganti
parlemen hasil pemilu 1955) tanpa menunggu keputusan musyawarah wilayah
yang berwenang mengambil keputusan tersebut. Ia berargumentasi sebagai
berikut:
Kita putuskan sekarang saja, kita masuk dulu dalam DPRGR
setelah itu kita minta penegasan Musyawarah Antara Wilayah
memutuskan kita masuk, kita sudah berada di dalam. Tetapi jika
Musyawarah memutuskan menolak DPRGR, apa sulitnya kita
keluar dari DPRGR. Akan tetapi kalau sekarang kita menolak
duduk dalam DPRGR… lalu Musyawarah Antara Wilayah
memutuskan kita harus masuk dalam DPRGR, kita sudah
terlambat, pintu masuk sudah tertutup (Maarif, 1988: 91).
36
Masyumi menilai sikap NU yang ikut serta dalam demokrasi terpimpin
merupakan penyimpangan terhadap ajaran Islam. Sedangkan Liga Muslimin (NU,
PSII, dan Perti) menganggapnya sebagai sikap realistis dan pragmatis.
Sementara itu, Masyumi yang selalu melancarkan kritik tajam
terhadap pemerintah dianggap sebagai penghalang revolusi Soekarno. Masyumi
seringkali mengalami perlakuan yang tidak wajar dari pemerintah. Sebagaimana
dicatat oleh Thaba (1996: 178) pada tanggal 20 Maret 1960 untuk pertama kalinya
Masyumi dikucilkan di DPRGR. Empat bulan kemudian, partai ini diperintahkan
bubar dengan alasan bahwa beberapa pemimpin utamanya seperti Natsir,
Syafrudin Prawiranegara ikut terlibat pemberontakan PRRI (Noer, 1987: 349357).
Menurut George McTurnan Kahin keterlibatan antara Masyumi
dengan PRRI masih bisa diperdebatkan (Kahin, 1978: 328-329). Berdasarkan
dokumen politik, tidak ada indikasi keterlibatan Masyumi dalam PRRI. Tokoh
yang terlibat secara pribadi seperti Natsir, Syafrudin Prawiranegara, dan
Burhanudin Harahap lebih banyak berperan sebagai pemberi landasan bagi
perjuangan menekan pemerintah pusat. Bahkan atas peran tokoh-tokoh tersebut,
PRRI tidak berubah menjadi gerakan separatis (Suswanta, 1993: 155). Oleh
karena itu, dibubarkannya Masyumi sebagai simbol perjuangan Negara Islam dan
akomodasi Soekarno terhadap NU, PSII dan Perti telah menutup pintu untuk
mendiskusikan kembali persoalan dasar negara. Pemusatan kekuasaan di satu
tangan melalui demokrasi terpimpin menimbulkan konsekuensi bahwa perdebatan
dasar negara oleh pemerintah sudah final, yaitu Pancasila.
37
Dengan tidak adanya satu sistem yang memberikan tempat bagi
partai politik, kekuasaan politik pada era Demokrasi Terpimpin, berkisar di antara
tiga kekuatan yakni Presiden Soekarno, Angkatan Darat dan PKI, di mana
Soekarno berupaya menjadi faktor penyeimbang di antara dua kekuatan PKI dan
AD yang saling bersaing itu (Thaba: 1996: 187). Akan tetapi kepentingan politik
dan ideologis yang saling bersaing antara ketiga kekuatan di atas menciptakan
satu sistem politik yang sangat rapuh dan tidak stabil yang pada akhirnya, sistem
demikian ini berakhir dengan sistem baru pada tahun 1966. Satu sistem politik
yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru.
4. Perdebatan Dasar Negara Pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, penguasa terus melestarikan apa yang
dilakukan Soekarno pada era Demokrasi Terpimpin dengan menjadikan Pancasila
bukan hanya sebagai satu instrumen kompromi politik sebagaimana dikemukakan
pertama kali oleh Soekarno, melainkan sebagai sebuah ideologi yang allencompassing. Douglas E. Ramage menyimpulkan:
The New Order focused upon Pancasila and enshrined it as the
ideological pilar of the regime. It now emerged as the fully-flegged
ideological justification of the ruling group, no longer simply a
common platform where all ideologies could meet.
(Orde Baru fokus pada Pancasila dan mentahbiskannya sebagai
pilar rezim yang ada. Kali ini Pancasila tampil sebagai sebuah
justifikasi ideologi yang benar-benar keramat bagi kelas penguasa,
bukan lagi semata-mata sebuah common platform di mana semua
ideologi yang ada dapat hidup berdampingan) (Ramage 1995: 24).
Sebagai satu rezim baru, penguasa Orde Baru berupaya untuk mendapatkan
legitimasi. Obsesi tersebut diupayakan oleh penguasa Orde Baru dengan berupaya
38
melakukan penataan-penataan dalam kehidupan ekonomi, politik dan bahan
keamanan. Namun demikian, penguasa belum merasa yakin dengan kebijakan
yang relatif memperlihatkan hasilnya sejak tahun-tahun pertama kekuasaannya.
Dengan kata lain, penguasa Orde Baru tidak merasa aman dengan hanya
mendapatkan legitimasi yang bersifat “material.” Penguasa Orde Baru berupaya
pula untuk mendapatkan legitimasi yang bersifat ideologis dan jawabannya adalah
Pancasila.
Digunakannya Pancasila sebagai sebuah ideologi yang allencompassing oleh rezim Orde Baru, bukan sekedar satu instrumen untuk
kompromi politik sebagaimana konsep awal yang dikemukakan Soekarno dalam
sidang BPUPKI, mencapai puncaknya ketika rezim Orde Baru berhasil
menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi sosial
kemasyarakatan dan sosial politik yang ada; yakni dijadikannya Pancasila sebagai
asas tunggal.
Bagi Syamsudin (1993: 108), kebijakan asas tunggal merupakan
bagian dari upaya rezim Orde Baru melakukan de-ideologisasi. Kebijakan deideologisasi ini meliputi antara lain: penggabungan partai-partai politik,
diciptakannya kebijakan massa mengembang, ditetapkan P4 oleh MPR, dan
puncaknya adalah dijadikannya Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi.
Sedangkan Leo Suryadinata menganggap bahwa kebijakan asas tunggal memang
ditujukan terutama terhadap umat Islam dalam menghadapi Pemilu 1987. Leo
Suryadinata mengemukakan:
39
Strategi asas tunggal tidak lebih dari upaya de-islamisasi politik
Indonesia. Ini dilakukan pemerintah dalam rangka menghadapi
Pemilu 1987, setelah pemerintah melihat masih melekatnya
pengaruh Islam dalam partai Islam (PPP) pada pemilu-pemilu
sebelumnya (Suryadinata, 1992: 75).
Dikaji lebih jauh, berpijak pada apa yang dinyatakan Suryadinata, maka dapat
dipahami bahwa asas tunggal merupakan upaya subordinasi penguasa yang
didominasi oleh kelompok nasionalis terhadap kelompok-kelompok Islam.
Dengan kata lain, kebijakan asas tunggal merupakan puncak ketegangan antara
kelompok nasionalis dan kelompok Islam yang berakhir dengan “kemenangan”
pada kelompok nasionalis. Dalam realitas politik demikian itu, maka hampir tidak
ada ruang bagi kelompok-kelompok Islam yang mendukung Piagam Jakarta untuk
menyuarakan kembali dukungannya terhadap Piagam Jakarta, sebagaimana
dilakukan pada masa Demokrasi Konstitusional. Atau bahkan untuk sekedar
menggunakan label Islam dalam organisasi-organisasi umat Islam. Memang pada
tahun 1968, kalangan Islam pernah mencoba mengusulkan untuk kembali pada
Piagam Jakarta, namun usul tersebut ditolak Penguasa. Namun demikian, umat
Islam tidak putus asa menghadapi realitas politik yang tidak menguntungkan
mereka.
Fase ini juga ditandai dengan munculnya generasi pemikir Islam
tahun 1970-an yang lebih bercorak substansialistik. Asas tunggal diterima oleh
hampir semua mereka, kendati dengan alasan yang tidak persis sama kenyataan
politik kemudian hari memperlihatkan bahwa umat Islam tidak terlalu kesulitan
menghadapi realitas politik di atas. Bahkan mereka mampu berdapatasi dalam
realitas yang relatif baru itu.
40
Isu-isu yang dikemukakan mereka pun tidak terpaku pada
persoalan Piagam Jakarta. Pasca pemberlakuan asas tunggal, mereka mulai
mengalihkan perhatiannya pada bagaimana mengamalkan ajaran Islam dengan
segala macam interpretasinya dalam sebuah sistem politik yang didasarkan atas
Pancasila, bukan Piagam Jakarta atau pendirian negara Islam. Azyumardi Azra
tokoh pemikir dari generasi ini bahkan mengungkapkan:
Gagasan dan upaya untuk membentuk Negara Islam di Indonesia,
baik secara damai melalui parlemen seperti yang dilakukan
Masyumi, maupun secara radikal yang dilakukan Kartosuwiryo,
pada hakikatnya bertitik tolak dari romantisme yang sayangnya
sangat samar-samar dan sering berdasarkan pada normativisme
keagamaan belaka. Sebab itulah, gagasan dan upaya kalangan
kaum Muslimin tertentu, baik di Indonesia maupun di bagianbagian dunia muslim lainnya, akan menemui kegagalan. (Azra,
2000: 173)
Maka menjelang berakhirnya sistem politik Orde Baru, lahirlah
organisasi seperti ICMI (terlepas dari berbagai kritik yang juga dilontarkan sesam
umat Islam), yang dalam konteks tulisan ini dapat dipahami sebagai kekuatan
penyeimbang atau tepatnya “pesaing” kekuatan nasionalis. Kemudian perubahan
tatanan politik yang terjadi di era reformasi memberikan ruang kepada sebagian
aktifis umat Islam untuk menyuarakan kembali Piagam Jakarta, sebagaimana
diperlihatkan oleh para pendukung Mazhab formalis dalam memahami hubungan
Islam dan negara. Partai-partai politik yang mendukung Piagam Jakarta antara lain
PBB, PK, dan PPP dan sejumlah partai Islam lainnya. Selain dari partai politik,
desakan untuk kembali pada Piagam Jakarta muncul dari berbagai organisasi umat
Islam yang secara terus terang mendukung syariat Islam sebagai frame of
reference kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
41
Download