tinjauan pustaka

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Jambu Biji
Sejarah
Dalam perdagangan internasional jambu biji (Psidium guajava L.) disebut
apple guava (Foragri 2011). Tanaman jambu biji merupakan tanaman asli dari
Amerika tropis, menurut de Candolle diperkirakan berasal dari wilayah antara
Meksiko (Amerika Tengah) dan Peru (Amerika Selatan) (Popenoe 1974; Soetopo
1992). Tanaman ini disebarkan ke Filipina oleh pelaut Spanyol, dan oleh bangsa
Portugis jambu biji diintroduksi dari Barat ke India (Soetopo 1992; Ashari 2006).
Sekarang tanaman ini sudah menyebar luas ke seluruh dunia, terutama di daerah
tropis. Diperkirakan terdapat sekitar 150 spesies Psidium yang menyebar ke
daerah tropis dan berhawa sejuk (Ashari 2006).
Botani dan Morfologi Jambu Biji
Tanaman jambu biji merupakan salah satu spesies dari famili Myrtaceae.
Jambu biji yang berbentuk bulat dan berbentuk buah pir dahulu dianggap sebagai
spesies terpisah; P. pomiferum L. dan P. pyriferum L., tetapi sekarang hal tersebut
dianggap sebagai variasi saja (Morton 1987). Secara taksonomi jambu biji dapat
diklasifikasikan sebagai berikut (Soedarya 2010):
Kingdom : Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Myrtales
Famili
: Myrtaceae
Genus
: Psidium
Spesies
: Psidium guajava L.
Jambu biji merupakan tanaman semak atau perdu, tingginya dapat mencapai
9 m (Nakasone & Paull 1999). Batang muda berbentuk segiempat (Popenoe
1974), berwarna hijau atau merah muda, dengan rambut berwarna keabu-abuan
5
(Rismunandar 1989). Batang tua bulat dan keras, kulit batang licin berwarna
coklat kemerahan dengan lapisan yang tipis dan mudah terkelupas jika sudah
mengering. Bila kulitnya dikelupas akan terlihat bagian dalam batangnya
berwarna hijau dan berair.
Tanaman jambu biji memiliki kanopi yang pendek, percabangannya bebas
dari bawah ke atas, sering tumbuh tunas liar di dekat pangkal batang. Tunas
tersebut dapat digunakan sebagai bahan tanam atau bibit. Pertumbuhan tunas
tanaman jambu biji bersifat indeterminan, dan batang/cabang jambu biji dapat
tumbuh terus memanjang yang kadang-kadang dapat menekan pertumbuhan tunas
lateral (Ashari 2006).
Daun jambu biji mengeluarkan aroma jika diremas, berwarna hijau,
mempunyai daun tunggal dan bertangkai pendek. Kedudukan daunnya dapat
bersilangan, letak daunnya berhadapan dan bertulang daun menyirip. Bentuk
daunnya bulat atau bulat telur dengan pinggiran rata melingkar dan ujung
meruncing. Menurut Rismunandar (1989) ada korelasi antara bentuk daun dengan
bentuk buahnya jambu biji yang berdaun kecil-kecil buahnya pun kecil (jambu
kerikil). Jika bentuk daunnya bulat, buahnya pun bulat. Pohon yang daunnya
memanjang dan agak lancip ujungnya, buahnya berbentuk buah pir.
Bunga jambu biji berwarna putih, berbau agak wangi, tumbuh di ketiak
daun atau pada pucuk ranting, tunggal atau dalam kelompok kecil (Morton 1987).
Bunga merupakan bunga sempurna yaitu benang sari (sekitar 250 helai) dan putik
terdapat pada satu bunga. Mahkota bunga jumlahnya 4-5 (Morton 1987), menurut
Sujiprihati (1985) mahkota bunga jambu biji Bangkok berjumlah 4-10 helai,
dengan bentuk daun mahkota bulat telur. Bunga akan mekar penuh pada pagi hari.
Waktu yang diperlukan dari kuncup hingga mekar penuh antara 14-29 hari
(Sujiprihati 1985). Penyerbukan bunga tanaman jambu biji bersifat menyerbuk
sendiri maupun menyerbuk silang (Nakasone & Paull 1999), berlangsung dengan
sendirinya atau dibantu oleh faktor luar yaitu angin, serangga, dan manusia
(Rismunandar 1989).
Buah jambu biji memiliki variasi yang besar baik dalam ukuran buah,
bentuk buah, maupun warnanya (Panhwar 2005). Buah berdompolan, bentuknya
globose, bulat telur, lonjong atau berbentuk buah pir, dengan ukuran beragam
6
diameter sekitar 2,5-10 cm (Nakasone & Paull 1999) bergantung pada sifat
bawaan, umur pohon, kesuburan tanah, dan ketersediaan air (Rismunandar 1989).
Kulit buahnya halus atau tidak rata, berwarna hijau tua ketika masih muda
dan berubah menjadi hijau sampai hijau kekuning-kuningan setelah masak.
Daging buahnya berwarna putih, kuning, pink atau merah dengan sel-sel batu
sehingga bertekstur kasar, berasa asam sampai manis, dan beraroma “musky”
ketika masak (Soetopo 1992). Daging dalamnya bertekstur lunak, dan berwarna
lebih gelap dan berasa lebih manis dibanding daging luarnya, secara normal
dipenuhi biji-biji yang keras berwarna kuning (Morton 1987), sekitar 1-2%
(Panhwar 2005). Ada korelasi antara ukuran buah dengan jumlah biji yang
dikandungnya, kisaran biji pada jambu biji Bangkok yaitu 150-750 biji
(Sujiprihati 1989). Biji jambu biji dapat bertahan lama (± 12 bulan) dalam
penyimpanan pada kondisi suhu rendah (8 °C) dalam kelembaban rendah
(Soetopo 1992; Ashari 2006). Buah jambu biji matang 90 sampai 150 hari setelah
pembungaan (Morton 1987), menurut Nakasone & Paull (1999) buah jambu biji
matang 120-220 hari setelah pembungaan bergantung pada temperatur selama
perkembangan buah. Periode pematangan buah buah setelah antesis juga
bervariasi pada setiap varietas. Jambu biji Bangkok memerlukan waktu 5-6 bulan
sejak antesis sampai buah dapat dipanen (Sujiprihati 1985).
Cara Perkembangbiakan Jambu Biji
Tanaman jambu biji dapat diperbanyak secara generatif melalui biji, atau
vegetatif antara lain cangkokan, okulasi, stek akar (Rismunandar 1989), stek
batang, dan perempelan mata tunas. Di India perbanyakan dengan kultur jaringan
telah dilakukan dan 70% berhasil di pertanaman (Soetopo 1992). Cara
perbanyakan
dengan
biji
akan
menyebabkan
bermacam-macam
variasi
(segregasi). Sedangkan perbanyakan dengan cara vegetatif dapat digunakan untuk
mempertahankan sifat induknya (Sujiprihati 1985), dan dapat menghasilkan buah
relatif lebih cepat dibandingkan penanaman melalui biji.
7
Varietas Jambu Biji
Koleksi plasma nutfah jambu biji banyak terdapat di Indonesia. Varietas
jambu biji yang tersebar di beberapa negara terdapat lebih dari 97 varietas
(Soedarya 2010). Beberapa jenis atau varietas jambu biji yang banyak dikenal
masyarakat antara lain jambu biji kecil, jambu biji bangkok, jambu biji variegata,
jambu biji australia, jambu biji brasil, jambu biji susu, jambu biji bangkok epal
(Soedarya 2010; Agromedia 2009), jambu biji sukun, jambu biji pasar minggu,
jambu biji merah getas, jambu biji sari, dan jambu biji palembang (Agromedia
2009).
Jambu Biji Bangkok. Jambu biji Bangkok adalah tanaman jambu biji yang
diintroduksi dari Vietnam disebut Giant Guava. Keunggulan dari jambu biji dari
Vietnam tersebut terletak pada ukuran buahnya yang lebih besar daripada jambu
biji lokal, disamping itu berumur genjah dan rendah/kerdil kanopinya (Ashari
2006). Bentuk buahnya bulat atau bulat panjang seperti buah alpukat dan beralur
dangkal menyerupai bentuk buah belimbing. Permukaan buah tidak rata, warna
kulit buah hijau ketika muda dan akan menjadi hijau kekuningan setelah buah
masak. Daging buahnya keras dan renyah, berwarna putih dengan ketebalan
antara 2,5-3,5 cm. Bijinya relatif sedikit dibandingkan biji pada jambu biji biasa
(Sujiprihati 1985). Bobot buah sekitar 500-1200 g/buah.
Jambu Biji Merah.
Jambu biji merah buahnya berbentuk bulat dan
terdapat moncong di pangkalnya. Permukaan kulit buah tidak merata, berwarna
hijau tua ketika muda dan setelah matang berubah menjadi hijau kekuningan
sampai kuning. Daging buah cukup tebal, dengan banyak biji pada bagian pulpnya dan berasa manis (Soedarya 2010).
Jambu Biji Merah Getas. Jambu biji merah getas merupakan hasil temuan
Lembaga Penelitian Getas, Salatiga, Jawa Tengah pada tahun 1980-an. Jambu biji
ini merupakan hasil persilangan antara jambu biji bangkok yang berbuah besar
dengan jambu biji pasar minggu yang berdaging merah. Jambu biji merah getas
memiliki daging buah berwarna merah cerah, tebal, berasa manis, beraroma
harum dan segar. Kulit buahnya berwarna hijau tua jika masih muda dan menjadi
8
hijau kekuningan setelah masak. Ukuran buahnya sekitar 400 g/buah. Daunnya
berwarna hijau tua, dengan panjang sekitar 6-24 cm (Parimin 2007).
Syarat Tumbuh
Tanaman jambu biji dapat tumbuh di berbagai tempat dan kapan saja
(Rismunandar 1989), tumbuh baik pada dataran menengah (Utami 2008).
Tanaman jambu biji dapat tumbuh pada hampir semua jenis tanah; lempung,
berat, kapur, rawa, agak berpasir, tanah berkerikil di dekat aliran sungai maupun
pada tanah kapur (Utami 2008). Tanaman jambu biji juga sangat toleran terhadap
kondisi cekaman lingkungan, misalnya kekeringan, lahan berbatu, pH rendah, dan
sebagainya. Di daerah tropis jambu tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian
1500 m dpl. Tanaman jambu biji dapat tumbuh pada temperatur 15 sampai 45 °C,
tanaman jambu biji yang masih kecil dapat mati pada suhu -2,78 sampai -2,22 °C.
Hasil terbaik diperoleh pada suhu 23-28 °C dengan curah hujan 1.000-2.000
mm/tahun. Rasa buah jambu biji pada musim hujan kurang manis dibandingkan
dengan buah hasil panen pada musim kemarau. Tampaknya hal ini disebabkan
pengaruh intensitas sinar matahari, karena tanaman jambu biji menyukai sinar
matahari penuh tanpa naungan. Tanaman jambu biji termasuk tipe C3 (Nakasone
& Paull 1999), lama penyinaran optimum yang dibutuhkan adalah 15 jam per hari
(Nakasone & Paull 1999; Utami 2008). Tanaman jambu cukup toleran terhadap
kisaran pH 4,2-8,2 serta terhadap salinitas. Pada tanah yang kurang subur pun,
misalnya berbatu-batu, masih mampu tumbuh, sekalipun hasilnya akan berkurang
(Ashari 2006).
Kandungan dan Manfaat Jambu Biji
Setiap 100 gram daging buah jambu biji mengandung air sebanyak 83,3 g,
protein 1 g, lemak 0,4 g, pati 6,8 g, serat 3,8 g, abu 0,7 g, dan vitamin C 337 mg.
Kandungan energi untuk setiap 100 g sebesar 150-210 kJ. Kandungan vitamin C
bervariasi antara 10-2.000 mg/100 g buah, bergantung pada kultivar, tingkat
kematangan buah serta kondisi lingkungan setempat (Ashari 2006; Soetopo 1992).
Proporsi kandungan vitamin C di dalam kulit luar, daging luar dan daging dalam
berbanding: 12 : 5 : 1. Kandungan vitamin C pada jambu biji berdaging buah
9
putih relatif lebih tinggi daripada yang berdaging merah. Berdasarkan analisis
yang dilakukan Sujiprihati (1985) terhadap kandungan vitamin C jambu biji
Bangkok mengandung 100-200 mg/100 g bagian contoh. Jambu biji mengandung
antioksidan primer yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jeruk, nanas,
pisang, buah naga, belimbing, sarikaya, dan jambu air (Yan et al. 2006).
Buah jambu biji selain dikonsumsi segar sebagai pencuci mulut atau salad,
dapat juga dijadikan produk olahan seperti asinan, permen, jeli, selai, marmalad
(Brasil goiabada), jus, sari buah (Soedarya 2010), nektar, setup, bubur buah
(Rismunandar 1989), eskrim, buah kalengan, sirup, pie, kue, puding, saus, sup
buah, dan produk lain (Morton 1987). Tepung jambu biji banyak mengandung
vitamin C dan pektin (Soetopo 1992).
Selain itu kandungan beberapa senyawa dalam tanaman jambu biji terutama
dalam daunnya seperti tanin, fenol, triterpen, minyak atsiri (eugenol), zat samak,
damar, asam malat, asam lemak, dan asam apfel (Dalimartha 2005), jambu biji
memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai obat herbal. Beberapa penggunaan
daun jambu biji yaitu sebagai antidiare, menurunkan glukosa darah, obat demam
berdarah, obat batuk, obat luka, sariawan, dan sebagainya (Agromedia 2008).
Ekstrak etanol daun jambu biji putih dan merah mampu menghambat
pertumbuhan bakteri penyebab diare (Escherichia coli,
Shigella dysenteriae,
Shigella flexneri, dan Salmonella typhi) pada konsentrasi tertentu (Adnyana et al.
2004). Selain obat diare, daun jambu biji yang mengandung senyawa tanin dan
flavonoid juga memiliki potensi sebagai obat demam berdarah (Balitbu 2008).
Kayu tanaman jambu biji yang keras dan liat dapat dijadikan bahan yang
baik untuk dijadikan gagang palu, pahat, kapak dan sebagainya (Rismunandar
1989). Di Malaysia, daun jambu biji digunakan sebagai bahan pewarna sutera
(Ashari 2006).
Hama Tanaman Jambu Biji
Hama yang telah dilaporkan terdapat pada tanaman jambu biji di berbagai
negara antara lain lalat buah, kutukebul, kutu putih, kutu perisai, kutudaun,
kututempurung, Helopeltis sp., kumbang penggerek, larva berbagai spesies dari
ordo Lepidoptera, belalang, rayap, dan tungau.
10
Hama yang merupakan hama utama pada pertanaman jambu biji di berbagai
negara adalah lalat buah (Gould & Raga 2002). Hama lain merupakan hama
sekunder, pada populasi rendah tidak menimbulkan kerugian ekonomi yang nyata.
Namun jika populasi melimpah pada suatu lokasi pertanaman atau keberadaannya
berasosiasi dengan organisme pengganggu tanaman lain, hama tersebut menjadi
penting.
Kerusakan yang diakibatkan hama dapat berupa kerusakan langsung dan
tidak langsung. Pada kerusakan tidak langsung hama dapat berperan sebagai
vektor atau penyebab infeksi penyakit akibat pelukaan pada tanaman akibat
aktifitas makan dan hidupnya.
Lalat Buah (Diptera: Tephritidae)
Lalat buah merupakan hama utama pada jambu biji di berbagai negara
penghasil jambu biji. Hama ini tidak hanya menyerang jambu biji, tetapi juga
merupakan hama dari berbagai komoditas pertanian lain. Spesies lalat buah yang
tercatat saat ini mencapai 4000 spesies yang memiliki preferensi serangan pada
bagian tanaman yang berbeda (Meritt et al. 2003). Beberapa spesies menyerang
buah antara lain dari genus Ceratitis dan Ragholetis, seed-head predators
(Euaresta, Trupanea, Tephritis), gallmakers (Eurosta), atau pengorok daun seperti
lalat buah dari genus Euleia (Meritt et al. 2003).
Lalat buah yang menyerang jambu biji termasuk ke dalam lalat buah yang
menyerang buah. Larva dari lalat buah ini merusak buah dari tanaman inang, dan
menyebabkan buah menjadi busuk dengan lebih cepat. Tanaman inang lalat buah
terdiri dari famili Compositae atau pada buah yang berdaging (Meritt et al. 2003).
Lalat buah betina meletakkan telur pada jaringan buah dengan menusukkan
ovipositornya ke dalam daging buah. Bekas tusukan tersebut berupa noda/titik
kecil berwarna hitam yang tidak terlalu jelas. Noda-noda kecil bekas tusukan
ovipositor ini merupakan gejala awal serangan lalat buah. Di sekitar bekas
tusukan akan muncul nekrosis. Telur akan menetas dalam beberapa hari, larva
membuat lubang dan makan dari bagian dalam buah selama 7-10 hari bergantung
pada suhu. Pada masa perkembangannya, khususnya jika populasinya tinggi larva
akan masuk sampai ke bagian dalam (pulp) buah jambu biji (Gould & Raga
11
2002). Buah yang terserang larva lalat buah akan cepat membusuk dan gugur
sebelum matang. Buah yang gugur ini akan menjadi sumber infestasi lalat buah
generasi berikutnya karena larva akan berkembang menjadi pupa di tanah dan
kemudian berkembang menjadi imago (Ginting 2009).
Ginting (2009) melaporkan terdapat 14 jenis lalat buah yang ditemukan di
Jakarta, Depok, dan Bogor. Lalat buah yang dilaporkan dalam penelitian Ginting
(2009) antara lain Bactrocera carambolae dan B . papayae yang diketahui sebagai
inang dari jambu biji. Kedua spesies ini merupakan spesies paling melimpah di
lokasi penelitian dibandingkan 12 spesies lalat buah lainnya yang ditemukan, hal
ini disebabkan tanaman inang kedua spesies ini sangat beragam dan hampir selalu
tersedia.
Pengelolaan terhadap serangan lalat buah yaitu dengan menggunakan
pestisida berbahan aktif karbamat, pyretroid sintetik, dan organofosfat secara
berjadwal untuk mencegah meningkatnya populasi lalat buah (Gould & Raga
2002), membungkus buah jambu biji dengan plastik saat buah masih kecil (Utami
2008), menggunakan kombinasi atraktan metil eugenol dari ekstrak tanaman
selasih ungu dengan perangkap (Tamim 2009), membuang buah-buah yang
terserang dan menguburnya agar tidak menjadi sumber infestasi (Ginting 2009).
Ulat Kantung (Lepidoptera: Psychidae)
Ulat kantung (bagworm) adalah sebutan untuk larva dari famili Psychidae,
Lepidoptera. Pravitasari (2009) menemukan 7 spesies ulat kantung yang terdapat
pada jambu biji pada 3 kecamatan (Leuwisadeng, Dramaga, dan Sukaraja) di
Kabupaten Bogor. Ulat kantung yang teridentifikasi yaitu spesies 4 (Pteroma
pendula) dan spesies 6 (Pagodiella hekmeyeri). Kelima spesies yang lainnya
belum dapat diidentifikasi sampai dengan spesies.
Ulat-ulat kantung ini membuat kantung dari partikel daun, pasir, ranting
dengan bentuk dan ukuran yang berbeda. Setiap spesies akan membuat kantung
yang khas baik ukuran, bentuk, maupun komposisinya sehingga kantung yang
berbeda-beda ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu spesies ulat
kantung. Ukuran kemampuan betina menghasilkan telur yang banyak dengan
12
didukung kondisi lingkungan untuk perkembangannya akan menyebabkan
meledaknya populasi larva ulat kantung pada pertanaman jambu biji.
Gejala yang ditimbulkan oleh serangan ulat kantung pada umumnya yaitu
kerusakan pada daun-daun jambu biji akibat aktivitas makan larva. Pada beberapa
spesies larva memakan daun jambu biji dengan rakus termasuk tulang daunnya,
sehingga menyisakan rantingnya saja. Pada serangan berat dengan populasi ulat
kantung yang tinggi akan menyebabkan daun tanaman jambu biji menjadi gundul
dan terlihat merana (Pravitasari 2009).
Kutu Putih (Hemiptera: Pseudococcidae)
Beberapa spesies kutu putih yang ditemukan pada tanaman jambu biji di
Bogor antara lain Cataneococcus (=Exallomochlus) hispidus, Ferrisia virgata,
Nipaecoccus nipae, Planococcus lilacinus, dan Planococcus minor (Sartiami et
al.1999). Selain famili Pseudococcidae, kutukapuk (Hemiptera: Margarodidae)
juga menyerang tanaman jambu biji (Gould & Raga 2002).
Kutu putih dapat ditemukan pada ranting, kayu cabang, daun, dan buah
(Gould & Raga 2002). Bagian tanaman yang paling banyak diserang kutu putih
adalah permukaan bawah daun, dan paling sedikit pada kayu cabang dan
pucuknya (Sartiami et al. 1999). Secara normal, kutu putih tidak menimbulkan
kerusakan inang yang parah. Tetapi pada populasi yang tinggi, bentuk buah akan
menjadi tidak serasi dan cacat. Embun madu yang dihasilkan kutu putih juga
dapat menyebabkan tumbuhnya embun jelaga yang menurunkan nilai jual buah
jambu biji. Kutu putih juga berasosiasi dengan semut. Semut memerlukan embun
madu sebagai makanannya sehingga semut melindungi kutu putih dari serangan
parasit dan predator. Pengendalian hama kutu putih antara lain dengan
penyemprotan minyak atau sabun (Gould & Raga 2002).
Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae)
Kutukebul memiliki siklus hidup yang hampir sama dengan kutu putih
(Gould & Raga 2002). Pada populasi yang tinggi hama ini merugikan karena
selain aktivitas makannya yang menghisap daun juga dapat menyebabkan
13
tumbuhnya embun madu pada permukaan daun yang menyebabkan permukaan
fotosintesis akan berkurang.
Kutukebul yang ditemukan oleh Bintoro (2008) di wilayah Bogor dan
tanaman jambu biji sebagai inangnya adalah Aleurodicus dispersus Russel,
Aleuroclava psidii, dan Trialeurodides sp. Cockerell.
Hama Lainnya
Hama lain yang merupakan hama tanaman jambu biji antara lain kutudaun
(Hemiptera: Aphididae), kutu perisai (Hemiptera: Diaspididae), kututempurung
(Hemiptera: Coccidae), trips (Thysanoptera), beberapa kumbang Scarabaeidae dan
Curculionidae (Coleoptera), tungau (Arachnida: Acarina), ulat penggerek batang
Indarbela sp. (Lepidoptera: Metarbelidae), ulat yang menyerang daun seperti
Attacus
atlas
(Lepidoptera:
Saturniidae), Trabala
pallida
(Lepidoptera:
Lasiocampidae), ulat pucuk, ulat jengkal (Lepidoptera: Geometridae), dan ulat api
(Lepidoptera: Limacodidae) (Gould & Raga 2002).
Penyakit Tanaman Jambu Biji
Menurut berbagai laporan di India, sejumlah patogen dapat menyerang
tanaman jambu biji; cendawan, bakteri, alga, nematoda, dan efifit. Patogen
tersebut terdapat pada berbagai bagian tanaman jambu biji, menyebabkan
berbagai penyakit antara lain busuk buah pada pertanaman dan penyimpanan
(busuk kering, busuk basah, busuk lunak, busuk asam, busuk coklat, busuk masak,
kudis, busuk pangkal, busuk bercincin, busuk pink, busuk buah berlilin), kanker,
layu, mati ujung, gugur daun, batang/ranting kering, bercak daun, hawar daun,
antaknosa, karat merah, embun jelaga, karat, hawar biji, dan rebah kecambah
(Misra 2004).
Antraknosa
Antraknosa merupakan penyakit umum pada tanaman jambu biji, yang
tersebar luas di semua daerah penanamannya (Semangun 1994). Penyebaran
penyakit ini sudah luas ke berbagai negara penghasil jambu biji. Beberapa negara
yang telah melaporkan adanya serangan antraknosa pada tanaman jambu biji
14
antara lain India (Misra 2004), Nigeria (Amusa et al. 2006), Australia (Lim &
Manicom 2003), Malaysia, Thailand, dan Filipina (Semangun 1994). Pada survei
yang dilakukan Amusa et al. (2005) di tiga lokasi penelitian di Ibadan, Nigeria,
sekitar 80% tanaman jambu biji terinfeksi oleh antraknosa dan lebih dari 40%
buah yang diproduksi pada tanaman terinfeksi tersebut menunjukkan infeksi yang
parah.
Patogen penyebab antraknosa dapat menyerang semua bagian tanaman,
terutama pada buah namun tidak menyerang akar (Semangun 1994). Bagian
tanaman seperti pucuk, daun muda dan ranting akan mudah terjangkit penyakit ini
ketika masih lunak (Semangun 1994; Misra 2004). Gejala yang dapat ditimbulkan
oleh penyakit ini yaitu mati ujung (die back), busuk buah, kanker buah, dan
bercak daun (Misra 2004).
Gejala pada tunas menyebabkan perubahan warna dari hijau menjadi coklat
tua. Bercak coklat tersebut kemudian menjadi bercak nekrotik berwarna hitam
yang dapat berkembang ke bagian pangkal sehingga menyebabkan mati ujung
(Semangun 1994; Misra 2004). Daun-daun muda mengeriting dengan daerahdaerah mati pada tepi atau ujungnya, akhirnya daun-daun gugur sehingga hanya
ranting kering yang tertinggal (Semangun 1994).
Buah jambu biji yang mentah dapat terinfeksi dan cendawan penyebabnya
bisa dorman selama 3 bulan, baru aktif dan menyebabkan pembusukan pada
waktu buah mulai matang.
Buah jambu biji muda yang terserang menunjukkan gejala bercak-bercak
nekrotik yang kemudian akan menyatu, buah akan matang secara terpaksa dan
kemudian mengering secara cepat dan terjadi mumifikasi (Amusa et al. 2005).
Seringkali buah yang mengeras ini menjadi retak (Misra 2004). Jika buah ini
dibuka, kanker terlihat meluas ke bagian dalam buah. Biji yang berasal dari buah
yang terinfeksi mengandung patogen (Amusa et al. 2005).
Penyebab
penyakit
antraknosa
yaitu
cendawan
Colletotrichum
gloeosporioides (teleomorph: Glomerella cingulata) (Semangun 1994; Lim &
Manicom 2003; Amusa et al. 2005), di India cendawan penyebabnya adalah
Colletotrichum psidii Curzi (Misra 2004). Pada bagian tanaman yang sakit dalam
cuaca lembab dan teduh cendawan membentuk spora (konidium) dalam jumlah
15
yang besar, yang terikat dalam massa lendir berwarna merah jambu (Semangun
1994).
Di India, pengelolaan terhadap penyakit antraknosa antara lain dengan
menggunakan varietas tahan (Misra 2004). Selain itu, pengendalian dapat
dilakukan dengan aplikasi pestisida berbahan aktif benomil dan karbendazim pada
pertanaman maupun pada buah yang telah dipanen dengan dicampur air panas
(Lim & Manicom 2003).
Kanker Berkudis
Kanker buah berkudis umumnya terjadi pada buah yang hijau dan dapat
juga menyebabkan bercak pada daun. Penyebab penyakit ini adalah Pestalotiopsis
psidii (Pat.) Mordue (Semangun 1994). Cendawan ini merupakan parasit luka,
kanker berhubungan dengan tusukan yang disebabkan oleh aktivitas makan
serangga antara lain Helopeltis theobromae (Lim & Manicom 2003).
Pada infeksi awal, mula-mula pada buah yang masih hijau terdapat bercak
gelap, kecil, yang membesar mencapai garis tengah 1-2 mm, berwarna coklat tua,
yang terdiri dari jaringan mati. Jika buah membesar kanker akan pecah,
membentuk kepundan dengan tepi tebal dan pusat mengendap (Semangun 1994).
Pengelolaan penyakit ini bisa dilakukan dengan mengendalikan Helopeltis,
membuang buah dan daun yang sakit kemudian dipendam atau dibakar untuk
mengurangi sumber infeksi (Lim et al. 1986 dalam Semangun 1994). Penggunaan
ekstrak daun Occimum sanctum dapat menghambat perkecambahan spora
cendawan (Misra 2004).
Bercak Daun
Bercak pada daun jambu biji umumnya tidak merugikan secara langsung,
namun beberapa cendawan penyebabnya dapat menyerang buah juga maka daun
yang sakit dapat memegang peranan penting sebagai sumber infeksi (Semangun
1994). Bercak daun dapat disebabkan antara lain oleh Cercospora spp.,
Pestalotiopsis sp., dan Colletotrichum sp. (Semangun 1994).
Gejala yang ditimbulkan oleh cendawan Cercospora psidii Rangel mulamula terdapat bercak-bercak bulat atau kurang teratur bentuknya, berwarna merah
16
kecoklatan. Bercak akan mengering bagian tengahnya berubah menjadi berwarna
putih. Bercak-bercak dapat bersatu membentuk bercak tidak teratur berwarna
putih yang dikelilingi oleh tepi kecoklatan (Semangun 1994).
Cendawan Pestalotipsis menyebabkan bercak coklat kelabu yang mulanya
menginfeksi dari bagian tepi atau pinggir daun, berangsur-angsur menyebar ke
bagian bawah (Misra 2004). Cendawan Colletotrichum menyebabkan daun-daun
muda mengeriting dengan daerah-daerah mati (nekrotik) pada tepi atau ujungnya,
akhirnya daun-daun gugur sehingga hanya ranting kering yang tertinggal
(Semangun 1994).
Karat Merah
Karat merah disebabkan oleh alga hijau yang dapat menyebabkan bercak
pada daun dan kadang-kadang pada buah. Penyebab penyakit ini adalah
Cephaleuros spp. yang dapat menyerang berbagai bagian tanaman yaitu daun,
buah, ranting, dan batang (Misra 2004).
Cephaleuros menginfeksi daun jambu biji muda. Bercak pada daun dapat
berupa titik kecil sampai bercak yang besar; menyatu atau terpencar. Daun
diinfeksi pada bagian pada tepi, pinggir atau seringkali pada area dekat tulang
daun (Misra 2004). Bercak berbentuk bulat, berwarna coklat kemerahan.
Ganggang hijau ini mempunyai benang-benang yang masuk ke bagian dalam
jaringan tanaman yang dilekatinya sehingga pada permukaan daun bercak akan
tampak seperti beledu (Semangun 1994).
Pengendalian karat merah bisa dengan penyemprotan tembaga oksiklorida
(0,3%) 3-4 kali dengan interval 15 hari (Misra 2004).
Penyakit Layu
Penyakit layu memiliki kecepatan perkembangan gejala yang bervariasi.
Pada sindrom yang cepat, layu pertama muncul pada daun yang berada di ujung
percabangan pada kanopi paling tinggi. Dalam 2-4 minggu, semua daun menjadi
layu dan kering, batang terlihat seperti hangus. Perkembangan buah terhambat dan
buah mengeras (mumifikasi) pada batangnya. Layu akan berkembang cepat dari
17
batang yang mati ke batang yang sehat, akhirnya tanaman mati (Lim & Manicom
2003).
Penyebab penyakit layu yang telah dilaporkan dari berbagai tempat berbedabeda. Di Taiwan, cendawan penyebabnya diidentifikasi sebagai Myxosporium
psidii. Di India juga penyebab penyakit layu yang teridentifikasi bermacammacam, antara lain Fusarium oxysporum f. sp. psidii (Misra 2004).
Pengelolaan terhadap penyakit ini pada beberapa laporan dalam Misra
(2004) antara lain pengaturan sanitasi yang baik di pertanaman, tanaman yang
terkena penyakit layu dibuang, kemudian dibakar dan dibuat parit di sekeliling
pohon jambu biji. Pemberian pupuk hijau pada tanaman jambu biji akan
mengurangi perkembangan penyakit.
Busuk Buah
Busuk buah dapat terjadi di pertanaman maupun pada buah jambu biji
dalam simpanan. Beberapa patogen yang menyebabkan busuk buah di pertanaman
antara lain Phomopsis psidii menyebabkan busuk pangkal buah, Phytophthora,
Fusarium, dan Curvularia. Cendawan Botryodiplodia theobromae Pat. dan
Colletotrichum dapat menginfeksi jambu biji di pertanaman dan juga pada jambu
biji di penyimpanan (Semangun 1994). Cendawan B. theobromae mula-mula
menyebabkan terjadinya bercak coklat yang cepat meluas kurang berbatas jelas,
busuk lunak, dan terbentuk lapisan cendawan berwarna hitam. Terdapat pada
ujung atau pangkal buah. Pembusukan juga mencapai bagian daging buahnya
hingga buah busuk dan berair (Martoredjo 2009). Gejala yang disebabkan
cendawan Colletotrichum yaitu pada buah terbentuk bercak coklat berbatas jelas
dan mengendap (Semangun 1994).
Download