BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Tuberkulosis Tuberkulosis (TB) adalah

advertisement
BAB II Tinjauan Pustaka
II.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyakit klasik dan hingga saat ini TB masih
termasuk pembunuh terbesar diantara penyakit infeksi. Walaupun sudah banyak
vaksin dan antibiotik yang digunakan untuk melemahkan bakteri TB, namun tanpa
pengobatan yang tepat, lebih dari 60% penderita TB akan meninggal. Di negaranegara yang belum berkembang, statistiknya antara lain: 10 per 100.000 di Amerika
Utara; 100-300 per 100.000 di Asia dan Rusia Barat; lebih dari 300 per 100.000 di
Afrika Selatan dan Afrika Tengah. Terdapat 1 kematian tiap 15 detik akibat TB (lebih
dari dua juta per tahun) dan 8 juta orang terinfeksi tiap tahunnya. Semua kasus ini
terjadi di dunia ketiga yang merefleksikan kemiskinan dan kurangnya sarana
kesehatan
yang
layak
(http://www.who.int/tb).
Indonesia,
sebagai
negara
berkembang, menempati urutan ketiga terbanyak penderita TB setelah India dan
China. Terdapat sekitar 583.000 kasus TB per tahun dan 175.000 di antaranya
meninggal dunia, dan diperkirakan setiap tahun muncul 582.000 penderita baru TB
dengan rata-rata kejadian 122 orang per 100.000 populasi dan angka mortalitas 46
orang per 100.000 populasi tiap tahun (http://www.who.int/tb/en/). Krisis global ini
diperparah dengan munculnya multi-drug-resistant(MDR-TB) di negara-negara
tersebut, disebabkan oleh antibiotik yang biasanya bermutu rendah dan digunakan
dengan dosis yang tidak tepat.
Penyakit TB biasanya menular melalui udara yang tercemar bakteri M. tuberculosis
yang dilepaskan pada saat penderita TB batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi
umumnya berasal dari penderita TB dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan
terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada
orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh
darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah TB dapat menginfeksi hampir
seluruh organ tubuh seperti paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang,
kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling
sering terkena yaitu paru-paru.
Saat M. tuberculosis berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan
tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian
reaksi imunologis bakteri TB ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan
dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding
itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TB akan
menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat
sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant
sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh
yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel
bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam
paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak).
Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami
pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.
Multidrug-resistant Mycobacterium tuberculosis (MDR-TB) adalah isolat yang
resisten terhadap isoniazid (INH) dan rifampin (RIF). MDR-TB menjadi masalah
dalam pengobatan dan kontrol TB, ditambah lagi dengan meningkatnya penderita
HIV/AIDS. MDR-TB dibagi menjadi dua golongan, yaitu resistensi primer, bila
populasi M. tuberculosis telah resisten antibiotik pada penderita yang belum pernah
diobati, sedangkan resistensi sekunder terjadi selama kemoterapi pada penderita TB
yang sebelumnya diobati oleh Obat Anti TB (OAT) tersebut (Brooks et al., 2004).
II.2. Mycobacterium tuberculosis
Genom M. tuberculosis H37Rv terdiri dari 4,4 x 106 pasang basa, dan memiliki 4000
gen. Bakteri ini memiliki keunikan, yaitu lebih dari 200 gen mengkode enzim untuk
metabolisme asam lemak, yaitu 6% dari total gen. Seratus gen diantaranya
diprediksikan berfungsi dalam β-oksidasi asam lemak, sementara E. coli hanya
memiliki 50 enzim yang terlibat dalam metabolisme asam lemak. Sejumlah besar gen
yang digunakan dalam metabolisme asam lemak diduga berhubungan dengan
kemampuannya sebagai patogen untuk tumbuh dalam jaringan atau host yang
terinfeksi, dimana asam lemak merupakan sumber karbon utama.
Gambar II.1 Genom M. tuberculosis. Peta sirkular kromosom M. tuberculosis
H37Rv. Lingkaran terluar menunjukkan skala dalam mega-basa, 0
menunjukkan origin of replication. Cincin pertama dari luar
menunjukkan posisi gen RNA yang stabil (tRNA biru, yang lainnya
pink) dan daerah pengulangan langsung (pink kubus); cincin kedua
menunjukkan untai deret pengkode (searahjarum jam, hijau gelap;
berlawanan jarum jam, hijau terang); cincin ketiga menggambarkan
pengulangan DNA (deret sisipan, oranye) (Cole et al., 1998).
M. tuberculosis adalah bakteri obligat aerob yang pertumbuhannya dibantu oleh
tekanan CO2 5%-10% tetapi dihambat oleh pH dibawah 6,5. Bakteri ini tidak
membentuk spora dan tidak memiliki alat gerak. Waktu pembelahannya berkisar 1520 jam. Ia hanya tumbuh pada suhu 35-37˚C namun dapat tahan berbulan-bulan pada
suhu fluktuatif dan sputum kering. Lebih dari 60% dinding sel M. tuberculosis terdiri
dari lipid yang dibagi ke dalam tiga komponen utama, yaitu asam mikolat, tali
serpentin (serpentine cord), dan wax-D.
Sel menjadi impermiabel dan resisten
terhadap agen kimia disebabkan oleh permukaan sel yang hidrofobik karena 50%
berat kering sel terdiri dari asam mikolat, komplek lipid-arabinogalaktan, dan
lipoarabinomannan. Asam mikolat adalah komponen utama dinding sel mikobakteria,
merupakan asam lemak rantai panjang α-alkil β-hidroksi yang mengandung lebih dari
90 atom karbon (C60-C90). Asam mikolat dianggap sebagai penentu utama virulensi
M. tuberculosis, karena dapat mencegah penyerangan terhadap mikobakteri oleh
protein kationik, lisozim, dan oksigen radikal dalam granul fagosit. Mereka juga
melindungi mikobakteri ekstraseluler dalam serum. Faktor Cord bertanggung jawab
untuk serpentine cord seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Faktor Cord
beracun bagi sel-sel mamalia dan diproduksi sangat berlimpah dalam galur virulen M.
tuberculosis.
M. tuberculosis tidak menghasilkan eksotoksin, endotoksin, atau enzim nekrotisasi
jaringan lainnya. Namun faktor tali serpentin (trehalosa 6,6-dimikolat) terlibat dalam
virulensi dan hipersensitivitas infeksi TB. M. tuberculosis virulen tumbuh
membentuk
ikatan
dalam
media
cair
dan
menghambat
migrasi
sel-sel
polimorfonuklear (PMN). Basil tuberkel resisten terhadap pengeringan dan bertahan
pada periode waktu yang cukup panjang dalam dahak yang kering (Brooks et al.,
2004).
Tabel II.1 Klasifikasi gen M. tuberculosis secara umum
Fungsi
Jumlah gen
% dari total gen
Metabolisme lipid
Jalur informasi
Dinding sel dan proses
dalam sel
RNAs stabil
Elemen IS dan
bakteriofage
Protein PE dan PPE
Perantara metabolisme
dan respirasi
Protein pengatur
Virulence, detoksifikasi
dan adaptasi
Fungsi hipotetis lestari
Protein yang fungsinya
belum diketahui
225
207
517
5.7
5.2
13.0
% dari kapasitas
mengkode total
9.3
6.1
15.5
50
137
1.3
3.4
0.2
2.5
167
877
4.2
22.0
7.1
24.6
188
91
4.7
2.3
4.0
2.4
911
607
22.9
15.3
18.4
9.9
Mycobacterium tuberculosis tidak memiliki faktor virulensi klasik seperti bakteri
lainnya seperti toksin (racun), capsule dan fimbriae. Namun, struktur dan sifat
fisiologi-nya ternyata berkontribusi terhadap sifat virulensi dan patologinya.
M. tuberculosis memiliki mekanisme khusus untuk masuk ke sel. Basil tuberkel dapat
langsung berikatan dengan reseptor mannose pada makrofag melalui dinding sel yang
berhubungan dengan mannosylated glycolipid, atau secara tidak langsung dengan
komplemen reseptor tertentu. M. tuberculosis dapat tumbuh secara intraseluler. Hal
ini sangat efektif dalam menghindari sistem imun. Bahkan antibodi dan
komplemennya menjadi tidak efektif.
II.3 Resistensi M. tuberculosis terhadap antibiotik
Dalam penyebaran sifat resisten, adaptasi M. tuberculosis terhadap antibiotik
disebabkan oleh mutasi kromosomal secara spontan yang terjadi karena adanya
seleksi organisme yang resisten selama kemoterapi sub optimal (Werngren &
Hoffner, 2003). Resistensi berbagai OAT adalah konsekuensi dari mutasi yang
terakumulasi (Rie et al., 2001).
Sejak tahun 1950-an, genotipe Beijing M. tuberculosis telah menjadi genotipe
predominan dengan prevalensi 50%-80%. Genotipe ini disebut sebagai keluarga
Beijing karena intensitas tertinggi banyak ditemukan di Beijing, China. Galur W yang
merupakan anggota keluarga Beijing memiliki sifat resisten isoniazid, etambutol,
rifampin, dan streptomycin (Soto et al., 2004).
Resisten terhadap rifampin disebabkan mutasi, setidaknya delapan asam amino di sub
unit β RNA polimerase (Talenti et al., 1993). Isoniazid berperan menghambat jalan
oksigen dalam biosintesis asam mikolat dinding sel. Setidaknya terdapat empat gen
yang terlibat dalam resistensi isoniazid: gen katG, yang mengkode katalase; gen inhA,
target isoniazid; gen oxyR dan tetangganya gen ahpC. Resisten streptomisin
berhubungan dengan mutasi dalam gen rrs yang mengkode 16S rRNA dan gen rspL
yang mengkode protein ribosom S12. Sedangkan resistensi terhadap etambutol
berhubungan dengan bergantinya protein EmbB, protein yang terlibat dalam sintesis
dinding sel komponen arabinogalaktan.
Diagnosis terhadap TB memakan waktu karena pertumbuhan mikroorganismenya
lambat. Penentuan fenotip resisten secara tradisional memakan waktu hingga 10
minggu setelah penyerahan sampel ke laboratorium. Namun dalam 10 tahun terakhir,
waktu pengujiannya dapat dipersingkat dan banyak metode pengujian yang telah
dikembangkan khusus untuk M. tuberculosis.
II.3.1 Resistensi Terhadap Rifampin (RIF)
Rifampin adalah derivat semisintetik dari antibiotik rifamisin yang dihasilkan oleh
Streptomyces mediterranei. RIF membunuh mikobakteri secara perlahan dan
mensterilkan dahak penderita dari bakteri penyebab TB (Gillespie, 2002). Pemakaian
RIF harus berkombinasi dengan OAT lainnya. Resistensi terhadap RIF disebabkan
oleh pemberian RIF yang terus menerus sebagai obat tunggal (Brooks et al., 2004).
Resistensi RIF merupakan penanda adanya MDR-TB. RIF mengganggu transkripsi
dan elongasi RNA dengan cara mengikat subunit β-RNA polimerase. Lebih dari 90%
resistensi RIF dapat dideteksi dengan mencari gen rpoB, gen yang mengkode subunit
β pada RNA polimerase (Parish et al., 2003). Tipe mutasi yang terjadi adalah
perubahan satu basa, delesi, dan insersi (Yue et al., 2003).
Dalam penelitian Yue et al.(2003), sebanyak 7 dari 72 isolat (kira-kira 10%) tidak
mengalami mutasi pada gen rpoB walaupun isolat ini secara fenotip resisten RIF.
Namun, beberapa galur M. tuberculosis memiliki sifat resisten alamiah terhadap RIF
sebagai hasil permeabilitas yang efisien dan exclusion barrier (Talenti, 2004).
II.3.2 Resistensi Terhadap Isoniazid (INH)
Sejak ditemukan lima dekade yang lalu, isoniazid (INH) umum digunakan untuk
mengobati dan mencegah TB. INH merupakan prodrug yang akan diubah menjadi
bentuk aktifnya oleh enzim katalase peroksidase, KatG, M. tuberculosis yang dikode
oleh gen katG. Sintesis asam mikolat adalah jalur utama yang dihambat oleh KatGINH. Asam mikolat adalah asam lemak rantai panjang α-alkil β-hidroksi yang
mengandung hingga 90 karbon dan merupakan komponen utama dinding sel
mikobakteri. Dua enzim yang terlibat dalam biosintesis asam mikolat diperkirakan
sebagai target INH yang telah diaktifkan oleh KatG yaitu InhA dan KasA.
Isoniazid adalah molekul yang berukuran kecil, larut dalam air, dan tidak terionisasi
pada pH 6 dan 9 (Kruger-Thiemer, 1956). Tiga sifat ini membuat INH dapat
memasuki sel dengan cara difusi pasif. Enzim KatG dapat mengubah INH menjadi
bentuk radikalnya (Winder, 1960), radikal ini dapat bereaksi dengan target di dalam
sel atau oksigen untuk menghasilkan molekul derivat yang aktif dalam sel (Shoeb et
al., 1985).
Struktur kristal INH menghambat InhA menunjukkan bahwa isonicotinic acyl-NADH
terikat pada sisi aktif InhA (Rozwarski et al., 1998). Namun akhirnya diketahui
bahwa hambatan itu disebabkan oleh KatG ataupun Mn2+ yang memediasi aktivasi
INH secara in vitro. Inhibitor yang mengikat InhA memiliki afinitas yang lebih tinggi
daripada NADH, menyebabkan inaktivasi InhA in vitro. Walaupun over-ekspresi gen
inhA dan mutasi protein InhA berhubungan dengan resistensi terhadap INH,
umumnya isolat M. tuberculosis yang resisten INH memiliki mutasi pada gen katG.
II.4 Enzim Katalase Peroksidase M. tuberculosis (KatG)
Enzim katalase peroksidase M. tuberculosis (KatG) adalah enzim bifungsional
dengan ligan heme, menunjukkan aktivitas katalitik yang kuat dibanding katalase
yang monofungsional dan aktivitas katalitik yang lebar. Diperkirakan, enzim ini
berperan untuk melindungi bakteri dari molekul-molekul beracun termasuk
hidroperoksida dan radikal-radikal hidroksil yang biasanya ada dalam lingkungan
aerob. KatG merupakan homodimer dengan subunit sekitar 80 kDalton (Bertrand et
al., 2004).
Gambar II.2. Aktivasi INH. Enzim KatG merubah INH menjadi bentuk radikal.
Radikal ini dapat bereaksi dengan target (Rozwarski et al., 1998).
Enzim KatG terdiri dari tiga domain: 54 residu N ujung, domain pengikatan heme
(residu 55 hingga 423), dan domain C ujung (residu 424 hingga 740). Residu-residu
yang lestari dalam E.coli, Salmonella typhi, Streptomyces reticuli, Bacillus
stearothermophilus,
Mycobacterium
bovis,
Mycobacterium
intracellulare,
Mycobacterium smegmatis dan M. tuberculosis adalah A110, S315, L634, dan D735
(Wei et al., 2003).
Observasi struktur kristal homodimer KatG menunjukkan bahwa enzim ini dimer
dalam larutan. Berdasarkan struktur kristal KatG diperkirakan interaksi inter-domain
yang paling penting adalah antara domain N-ujung dan C-ujung dua monomer yang
membentuk homodimer fungsional. Residu-residu N-ujung terlihat saling terkait satu
sama lain sehingga menstabilkan pembentukan dimer. Stabilisasi ini sepertinya
dimediasi oleh adanya tumpukan interaksi antara Tyr-8 dan Tyr-97 dan antara Trp-38
dan Trp-204 dari monomer yang berhadapan. Perpanjangan N-ujung pada KatG tidak
terdapat di famili peroksidase klas I lainnya. Kontak interdomain antara monomermonomer KatG terlihat penting dalam mediasi pembentukan homodimer, juga dapat
di perkirakan bahwa motif “kait (hook)” ini berperan penting dalam pembentukan
dimer (Bertrand et al., 2004).
Struktur enzim KatG M. tuberculosis pada gambar II.3.A adalah struktur global
enzim homodimer. Subunit 1 berwarna pink (domain ujung-N pink terang, dan
domain ujung-C pink gelap), sub unit 2 berwarna biru (domain ujung-N biru terang
dan domain ujung-C biru gelap). Heme berwarna abu-abu. Gambar II.3.B, skema
representasi homodimer. Residu N-ujung tiap subunit monomer dari kait (hook)
saling terikat melalui interaksi hidrofobik termasuk residu Tyr-28 dan Tyr-197 dan
residu Trp-38 dan Trp-204 seperti yang ditunjukkan pada C. elips yang hitam
menunjukkan arah simetri axis folding-2
Gambar II.3. Struktur Enzim KatG M. tuberculosis. Struktur A, struktur global
homodimer. Subunit 1 berwarna pink (domain ujung-N pink terang, dan
domain ujung-C pink gelap), sub unit 2 berwarna biru (domain ujung-N
biru terang dan domain ujung-C biru gelap). Heme berwarna abu-abu. B,
skema representasi homodimer. Residu N-ujung tiap subunit monomer
dari kait (hook) saling terikat melalui interaksi hidrofobik termasuk
residu Tyr-28 dan Tyr-197 dan residu Trp-38 dan Trp-204 seperti yang
ditunjukkan pada C. elips yang hitam menunjukkan arah simetri axis
folding-2 (Bertrand et al., 2004).
Rantai polipeptida tunggal mengandung dua domain, masing-masing 40 kDalton
diperkirakan akibat duplikasi gen. Analisa urutan nukleotida menunjukkan domain
ujung-N mengandung satu motif pengikatan heme, yang tidak ada pada domain
ujung-C. Struktur kristal KatG menunjukkan enzim ini terdiri dari satu homodimer
fungsional. Peta densitas elektron tiap monomer, residu 24-740 rantai polipeptida,
703 molekul air berhubungan dengan homodimer.
Gambar II.4. Monomer enzim KatG M. tuberculosis. Domain N ujung berwarna
pink terang, dan domain C ujung pink gelap. Heme: abu-abu. Residu
N ujung 24-30 berwarna hijau. Residu 278-312 berwarna merah
(Bertrand et al., 2004).
Tiap monomer terdiri dari dua domain, yang sebagian besar α-helix dan menunjukkan
struktur inti yang umumnya ada pada anggota famili peroksidase tanaman dan bakteri
Domain ujung-N berwarna pink terang, dan domain ujung-C pink gelap, heme
ditunjukkan dengan warna abu-abu, residu ujung-N 24-30 berwarna hijau, residu 278312 berwarna merah (Gambar II.4). Ujung-N KatG mengandung sisi aktif enzim,
yang termasuk gugus heme β prostetik. Folding domain ujung-C KatG sama dengan
ujung-N, yang diakibatkan adanya duplikasi gen. Tidak ada heme pada ujung-C yang
mengindikasikan sisi pengikatan heme hanya pada ujung-N (Bertrand et al., 2004).
Gambar II.5. Lingkungan heme enzim KatG M. tuberculosis. Lingkungan heme
enzim KatG M. tuberculosis (A) di bagian ujung, residu Arg-104, Trp107 dan His-108 ditunjukkan seperti 4 molekul air (merah). Trp-107
membentuk suatu formasi dengan Tyr-229 dan Met-255, di sisi yang
dekat dengan inti terdapat His-270, Trp-321, dan Asp-381. Ikatan
hidrogen ditunjukkan dengan garis putus-putus. Atom karbon
dilukiskan dengan warna pink, atom oksigen warna merah, atom
nitrogen biru, atom sulfur orange, heme abu-abu, atom oksigen merah
keunguan dan atom nitrogen keabuan (B). Dua sisi pengikatan INH
ditunjukkan dengan warna hijau. Mode pengikatan INH ke enzim
katalase peroksidase M. tuberculosis diperkirakan merupakan interaksi
antara amida nitrogen pada INH dengan Fe-heme enzim katalase
peroksidase. Analisis karakter kimia menunjukkan sisi pengikatan
INH pada residu Arg104, Trp107, dan His108 (Bertrand et al., 2004).
Lingkungan heme enzim KatG M. tuberculosis pada Gambar II.5.A di bagian ujung,
residu Arg-104, Trp-107 dan His-108 ditunjukkan seperti 4 molekul air (merah). Trp107 membentuk suatu formasi dengan Tyr-229 dan Met-255, di sisi yang dekat
dengan inti terdapat His-270, Trp-321, dan Asp-381. Ikatan hidrogen ditunjukkan
dengan garis putus-putus. Atom karbon dilukiskan dengan warna pink, atom oksigen
warna merah, atom nitrogen biru, atom sulfur orange, heme abu-abu, atom oksigen
merah keunguan dan atom nitrogen keabuan (Gambar II.5.B). Dua sisi pengikatan
INH ditunjukkan dengan warna hijau. Mode pengikatan INH ke enzim katalase
peroksidase M. tuberculosis diperkirakan merupakan interaksi antara amida nitrogen
pada INH dengan Fe-heme enzim katalase peroksidase. Analisis karakter kimia
menunjukkan sisi pengikatan INH pada residu Arg104, Trp107, dan His108 (Bertrand et
al., 2004).
II.5 Aktivasi INH oleh Enzim KatG
Aktivasi INH bukanlah peroksidasi langsung yang sederhana, tetapi mengikuti
ketentuan yaitu: enzim mengkatalis oksidasi INH saat tidak ada peroksida, oksidasi
INH membutuhkan agen pereduksi contohnya hidrazin, produk dekomposisinya
terlihat dalam larutan INH (Magliozzo et al., 1996), dan INH diaktifasi hanya pada
kondisi aerob ((Magliozzo et al., 1996). Bentuk enzim yang tereduksi mengandung
ferro-heme bereaksi dengan O2 untuk menghasilkan bentuk aktif enzim-oksiferro,
namun reaksi secara in vivo belum diketahui.
Gambar II.6. Kompleks INH-Enzim Katalase Peroksidase M. tuberculosis. Heme
warna abu-abu, rantai utama protein dan gugus samping warna pink,
Asp137 berada dekat INH. Karbon atom INH warna hijau (Pierattelli
et al., 2004).
Pierattelli et al., pada tahun 2004 telah memperkirakan mekanisme pengaktifan INH
pada enzim katalase peroksidase. Gambar II.6 dan II.7 menunjukkan interaksi antara
residu-residu pada sisi aktif yang dapat menstabilkan jalur aktifasi INH hingga
menghasilkan radikal asil. Compound I yang didapat setelah bereaksi dengan
peroksida direduksi oleh INH dengan mentransfer satu elektron ke heme, bersamaan
dengan lepasnya proton dari hidrazid dan diterima oleh His-108. Reaksi selanjutnya
adalah ikatan C-N pada hidrazida terpecah menghasilkan diazene. Reaksi intermediet
diazene dapat distabilkan dalam sisi aktif enzim dengan interaksi Trp-107, Asp-137.
Pengubahan diazene menjadi hidrazin dan ammonia melibatkan deprotonasi His-108
dan Asp-137.
Gambar II.7. Interaksi-Interaksi yang Mungkin Dalam Pengaktifan INH.
Residu-residu mtCP yang terlibat dalam produksi radikal isonikotinat.
Heme porphyrin ditunjukkan dalam bentuk jajaran genjang. (Pierattelli
et al, 2004).
II.6 Mutasi Gen katG
Banyaknya mutasi katG berhubungan dengan turunnya aktivitas katalase peroksidase
(Heym et al., 1995; Rouse et al., 1996; Wengenack et al., 1998). Aktivitas katalase
dan peroksidase umumnya diukur untuk mengetahui konsekuensi fungsional akibat
mutasi katG. Namun, masih banyak aspek peranan mutasi katG dalam resistensi
terhadap INH yang belum jelas. Residu-residu yang telah ditemukan termutasi dalam
beberapa isolat klinis ditunjukkan dalam warna hijau pada Gambar II.8. Residu Arg-
104, Trp-107, Asp-137, Tyr-229, Met-255, His-270, Trp-321 dan Asp-381 diwarnai
pink, untuk menunjukkan sisi aktif KatG. INH diwarnai hijau dan heme abu-abu.
Gambar II.8 Posisi Beberapa Mutasi Klinis yang Dekat Dengan Pengikatan
INH. Residu-residu yang telah ditemukan termutasi dalam beberapa
isolat klinis ditunjukkan dalam warna hijau (gambar 8). Residu Arg104, Trp-107, Asp-137, Tyr-229, Met-255, His-270, Trp-321 dan Asp381 diwarnai pink, untuk menunjukkan sisi aktif KatG. INH diwarnai
hijau dan heme abu-abu (Bertrand et al., 2004).
Mutasi katG yang paling sering adalah substitusi serin menjadi treonin pada asam
amino 315 (S315T). Mutasi S315T diprediksikan mengganti sisi pengikatan INH dan
mempengaruhi transfer elektron ke heme. Ser-315 terletak di luar area pengikatan
INH pada sisi bawah tempat masuknya substrat. Mutasinya menjadi threonin dapat
mengurangi afinitas enzim terhadap obat dengan cara meningkatkan kerapatan sterik
pada posisi ini dan mengurangi jalan masuk substrat ke sisi pengikatan (Bertrand et
al., 2004). Mutan S315T menunjukkan afinitas yang lemah terhadap INH tapi dapat
mengoksidasi INH dengan laju yang sama dengan enzim non-mutan (Wengenack et
al., 1999). Mutasi lain pada posisi 315, kecuali bila termutasi menjadi glisin,
mengakibatkan
peningkatan
kerapatan
sterik,
perubahan
konformasi
yang
menyebabkan berkurangnya afinitas dan mengubah orientasi INH terhadap sisi aktif
enzim.
Beberapa residu dalam sisi aktif diperkirakan terlibat dalam aktifasi enzim yang
mengkatalis INH (Pierattelli et al., 2004), tapi hanya residu His-108 yang terbukti
mutasinya menyebabkan resistensi INH (Gambar II.8). Residu ini diperkirakan
terlibat dalam pengikatan dan aktifasi INH melalui interaksi dengan hidrazin obat
(Pierattelli et al., 2004). His-108 termutasi menjadi asam glutamat dan glutamin
(Rouse et al,, 1995 & Rouse et al., 1995). Mutan A110V berhubungan dengan
meningkatnya level resisten INH (Musser et al., 1996) karena dapat mengubah
konformasi lokal His-108 akibatnya adalah berubahnya kemampuan mengikat atau
mengaktifasi INH (Bertrand et al., 2004).
Berdasarkan struktur KatG M. tuberculosis, Asp-137 berperan penting dalam
pengikatan INH, tetapi tidak ada penelitian yang melaporkan adanya mutasi pada
residu ini. Mutasi yang dekat pada residu tersebut adalah N138S, A139P, S140N atau
D142A (Zhang et al., 1992; Heym et al., 1995; Rouse et al., 1995; Cockerill et al.,
1995; Musser et al., 1996). Mutan-mutan tersebut memberikan pengaruh pada
perubahan konformasi lokal yang dapat mengganti orientasi gugus samping Asp-137,
membuatnya tidak efektif dalam pengikatan INH dan/atau mempercepat waktu kerja
INH (Bertrand et al., 2004). Asp-137 diperkirakan berperan sebagai donor proton
(Jakopitsch et al., 2003), sehingga mutasi pada posisi ini dapat mengubah fungsi
enzim sebagai katalase (Bertrand et al., 2004).
II.7. PCR Multiplek
PCR Multiplek adalah tehnik PCR yang menggunakan tiga primer, yaitu primer
forward, primer reverse dan primer dalam. Metode PCR multiplek adalah metode
yang cepat dan murah untuk mendeteksi adanya mutasi pada posisi tertentu. Primer
dalam berpasangan dengan kodon yang diperkirakan termutasi. Konsekuensinya, bila
tidak ada mutasi maka hasil amplifikasi setelah diamati dengan elektroforesis gel
agarosa akan menghasilkan dua fragmen. Fragmen yang berasal dari amplifikasi oleh
primer luar (forward dan reverse) dan fragmen hasil amplifikasi primer dalam.
Apabila terjadi mutasi, maka hasil yang diperoleh adalah kesalahan berpasangan pada
ujung 3’ primer dalam tanpa ada produk PCR spesifik (Mokrousov et al, 2002).
Gambar II.9 PCR Multiplek. Primer dalam katG1F berpasangan dengan kodon
yang diperkirakan termutasi. Bila terjadi mutasi maka tidak akan
produk PCR spesifik. Bila tidak ada mutasi akan menghasilkan dua
fragmen (Mokrousov et al, 2002).
II.8 Penentuan Urutan Nukleotida
Penentuan urutan nukleotida menggunakan metode dideoksi Sanger. Reaksinya mirip
dengan reaksi PCR untuk mereplikasi DNA. Campuran reaksinya termasuk templat
DNA, nukleotida-nukleotida bebas, dan enzim (biasanya yang digunakan adalah
variasi Taq polymerase). Primer yang digunakan yaitu satu potongan kecil DNA untai
tunggal panjangnya sekitar 20-30 nukleotida yang dapat berhibridisasi menjadi satu
strand DNA templat. Reaksi diinisiasi dengan pemanasan hingga dua strand DNA
terpisah, lalu primer menempel pada lokasi yang diinginkan dan DNA polimerase
mulai mengelongasi primer, dan bila berhasil maka hasil akhirnya adalah strand
DNA baru. Bila dimulai dengan miliaran template DNA yang sama, maka akan
didapatkan miliran kopi salah satu strand DNA (www.google.co.id/sequencing).
Dalam reaksi ini harus ada dideoksinukleotida. Seperti DNA biasa, kecuali ia tidak
memiliki gugus 3’-hydroxyl. Apabila ditambahkan ke ujung DNA strand, maka
proses elongasi akan berhenti. Nukleotida yang banyak adalah nukleotida biasa, dan
hanya satu fraksi dideoksinukleotida.
Gambar II.10
Nukleotida dan Dideoksinukleotida. Bila yang ditambahkan
nukleotida maka elongasi akan terus berlanjut tapi bila yang
menempel adalah dideoksinukleotida maka proses elongasi akan
berhenti (www.google.co.id/sequencing).
Contohnya apabila yang ditambahkan dalam reaksi adalah dideoksi-T. Saat T
dibutuhkan untuk membuat strand yang baru enzim akan mendapatkan T yang
normal dan tidak akan ada masalah. Kebanyakan, saat penambahan satu T, enzime
akan jalan terus dan menambahkan nukleotida lainnya. Namun, 5% dari umumnya,
enzim akan berikatan dengan dideoxy-T dan strand itu tidak akan dapat dielongasi
dan lepas dari enzim.
Cepat atau lambat, semua reaksi akan diakhiri oleh satu dideoksi-T, tapi tiap kali
enzim membuat strand baru, posisi terminasinya acak. Dalam jutaan awalan, akan
ada strand yang dihentikan tiap bertemu T. Semua strand akan memulai pada posisi
yang tepat. Semuanya diakhiri oleh satu T. terdapat jutaan posisi T yang mungkin.
Untuk menemukan posisi T dalam strand yang baru disintesis, maka harus
mengetahui panjangnya produk yang telah diakhiri. Gel elektroforesis dapat
digunakan untuk memisahkan fragmen berdasarkan panjang dan ukurannya.
Dideoksinukleotida telah dimodifikasi secara kimia untuk berfluorosen dibawah
cahaya UV, sebagai contoh, dideoxy-C berpendar biru. Urutan DNA dengan mudah
diketahui bila tahu kode warnanya, cara membaca warnanya dari bawah ke atas.
Gambar II. 11 Ilustrasi Penambahan Dideoksi-T. Penambahan dideoksi T oleh
DNA
Polymerase
menghentikan
proses
elongasi
(www.google.co.id/sequencing).
Gambar II. 12 Contoh Pembacaan Urutan DNA. Pembacaan urutan DNA dari
bawah ke atas (www.google.co.id/sequencing).
Download