Rethinking Corporate Crime

advertisement
Rethinking Corporate Crime
James Gobert | Maurice Punch
1. Pengantar dan Latar Belakang
Korporasi sebagai alat yang sangat luar biasa untuk memperoleh
keuntungan pribadi tanpa perlu adannya pertanggung jawaban. Pada berbagai
sektor perekonomian, dapat ditemukan satu contoh pelanggaran korporasi yang
telah menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan. Walaupun terdapat berbagai
bukti yang menunjukkan adanya kejahatan korporasi, namun hukuman atas
tindakan tersebut selalu terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi pada
berbagai perusahaan di masa lalu dapat hidup kembali. Oleh karena itu, perlu
diketahui bagaimana untuk mencegahnya
Banyak perusahaan sering, dengan sengaja bahkan berulang-ulang,
mencemoohkan hukum; mereka melakukan tidakan yang melanggar hukum
namun dengan mudah keluar dari tuntutan hukum. Padahal masyarakat sangat
terganggu akibat tindakan korporasi tersebut. Pandangan masyarakat pada bentuk
kejahatan korporasi sangat berbeda dengan pandangan mereka pada kejahatan
jalanan. Hampir pada setiap kejadian, efek dari kejahatan korporasi selalu lebih
merugikan, memakan biaya lebih besar, berdampak lebih meluas, dan lebih
melemahkan daripada bentuk kejahatan jalanan.
Pada buku ini, James Gobert dan Maurice Punch, pengacara dan ahli
sosiologi–kriminologi, menggabungkan background, pengalaman, dan perpektif
mereka, untuk memperjelas mengenai masalah kejahatan korporasi. Ruang
lingkup buku ini sangat memberikan penekanan tertentu pada kejahatan dengan
menyertakan kekerasan korporasi.
Gobert dan Punch tidak hanya menguji isu yang ditingkatkan oleh kasuskasus kekerasan korporasi, tetapi juga oleh berbagai bentuk perilaku buruk
korporasi. Mereka menggabungkan hukum, pengetahuan sosial, kriminologi, dan
studi
manajemen
dalam
menganalisis
masalah
tersebut
dan
mencoba
mengilustrasikannya dengan kehidupan nyata dari berbagai kasus yang telah
didokumentasikan. Tujuan mereka adalah untuk membuat topik mengenai
kejahatan korporasi dapat dimengerti oleh berbagai pihak yang berkepentingan.
Gobert dan Punch memberi judul “rethinking corporate crime” karena
mereka ingin memperbarui pandangan mengenai topik kejahatan korporasi dan
menawarkan beberapa solusi yang inovatif untuk masalah tersebut. Tindakan
kejahatan korporasi berawal dari keinginan perusahaan untuk terus meningkatkan
keuntungan dengan berbagai cara, bahkan dengan tindakan illegal. Gobert dan
Punch
menghubungkan
lingkungan
kriminalitas,
kegagalan
sistem
dan
pengawasan yang tidak efektif dengan dorongan melakukan tindakan illegal.
Mereka beranggapan bahwa adanya peraturan diri sendiri dan tanggung jawab
sosial perusahaan lebih efektif untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi
dibandingkan dengan diterapkannya sistem hukuman dan sanksi.
2. Ide Utama
Keinginan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang
diperolehnya mengakibatkan terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi,
sebagai suatu badan hukum, memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan
aktivitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan
ketentuan hukum yang berlaku, bahkan selalu merugikan berbagai pihak.
Walaupun demikian, banyak korporasi yang lolos dari kejaran hukum
sehingga tindakan kejahatan korporasi semakin meluas dan tidak dapat
dikendalikan. Dengan mudahnya korporasi menghilangkan bukti-bukti atas segala
kejahatannya terhadap masyarakat. Sementara itu, tuntutan hukum terhadap
perilaku buruk korporasi tersebut selalu terabaikan karena tidak ada ketegasan
dalam menghadapi masalah ini.
Pemerintah dan aparat hukum harus mengambil tindakan yang tegas
mengenai kejahatan korporasi karena baik disengaja maupun tidak, kejahatan
korporasi selalu memberikan dampak yang luas bagi masyarakat dan lingkungan,
bahkan dapat mengacaukan perekonomian negara. Jika hukuman dan sanksi yang
dijatuhkan kepada korporasi tidak memiliki keberartian, perilaku buruk korporasi
dengan melakukan aktivitas yang illegal tidak akan berubah.
Korporasi diharapkan tidak lagi melarikan diri dari tanggung jawabnya,
dalam hal ini tanggung jawab pidana. Terutama, korporasi akan dibebani oleh
lebih banyak tanggung jawab moral dan sosial untuk memperhatikan keadaan dan
keamanan lingkungan kerjanya, termasuk penduduk, budaya, dan lingkungan
hidup.
Menurut Gobert dan Punch, hal paling utama untuk mencegah terjadinya
kejahatan korporasi adalah dengan adanya pengendalian diri dan tanggung jawab
sosial dan moral terhadap lingkungan dan masyarakat di mana tanggung jawab
tersebut berasal dari korporasi itu sendiri maupun individu-individu di dalamnya.
3. Argumen Penulis
Kejahatan korporasi yang lazimnya berbentuk dalam kejahatan kerah
putih (white-collar crime), biasanya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan
hukum yang bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang
melanggar hukum pidana. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju
dapat dikemukakan bahwa identifikasi kejahatan-kejahatan korporasi dapat
mencakup tindak pidana seperti pelanggaran undang-undang anti monopoli,
penipuan melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan
harga, produksi barang yang membahayakan kesehatan, korupsi, penyuapan,
pelanggaran administrasi, perburuhan, dan pencemaran lingkungan hidup.
Kejahatan korporasi tidak hanya dilakukan oleh satu korporasi saja, tetapi dapat
dilakukan oelh dua atau lebih korporasi secara bersama-sama.
Apabila perbuatan yang dilakukan korporasi, dikaitkan dengan peraturan
perundang-undangan di bidang hukum pidana yang merumuskan korporasi
sebagai subjek tindak pidana, maka korporasi tersebut jelas dapat dipidana.
Bercermin dari bentuk-bentuk tindak pidana di bidang ekonomi yang dilakukan
oleh korporasi dalam menjalankan aktivitas bisnis, jika dikaitkan dengan proses
pembangunan, maka kita dihadapkan kepada suatu konsekuensi meningkatnya
tindak pidana korporasi yang mengancam dan membahayakan berbagai segi
kehidupan di masyarakat.
Korporasi, sebagai subjek tindak pidana, dapat dimintai pertanggung
jawaban atas tindakan pidana, jika tindakan pidana tersebut dilakukan oleh atau
untuk korporasi maka hukuman dan sanksi dapat dijatuhkan kepada korporasi dan
atau individu di dalamnya. Namun demikian perlu diadakan indentifikasi pada
individu korporasi misalnya pada direktur, manajer dan karyawan agar tidak
terjadi kesalahan dalam penjatuhan hukuman secara individual.
Tidak bekerjanya hukum dengan efektif untuk menjerat kejahatan
korporasi, selain karena keberadaan suatu korporasi dianggap penting dalam
menunjang pertumbuhan atau stabilitas perekonomian nasional, sering kali juga
disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat kejahatan yang dilakukan
oleh korporasi. Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih dianggap
merupakan kesalahan yang hanya bersifat administratif daripada suatu kejahatan
yang serius. Sebagian besar masyarakat belum dapat memandang kejahatan
korporasi sebagai kejahatan yang nyata walaupun akibat dari kejahatan korporasi
lebih merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat dibandingkan dengan
kejahatan jalanan.
Akibat dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih
membahayakan dibandingkan dengan kejaharan yang diperbuat seseorang. Dasar
kesalahan perusahaan yang dapat diindikasikan sebagai kejahatan korporasi,
terlihat dalam kelalaian, keserampangan, kelicikan, dan kesengajaan atas segala
tindakan korporasi. Setiap suatu korporasi dimintai pertangungjawabannya oleh
aparat penegak hukum, selalu ada berbagai tekanan baik dari korporasi maupun
pemerintah yang akhirnya menghilangkan tuntutan hukum korporasi.
Aparat penegak hukum seringkali gagal dalam mengambil tindakan tegas
terhadap berbagai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini sangat
mengkhawatirkan, karena dampak kejahatan yang ditimbulkan oleh korporasi
sangat besar. Korbannya bisa berjumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang.
Contohnya, terbaliknya kapal the Herald of Free Enterprise yang memakan
korban ratusan orang. Selain itu korporasi, dengan kekuatan finansial serta para
ahli yang dimiliki, dapat menghilangkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan.
Bahkan, dengan dana yang dimiliki, korporasi dapat pula mempengaruhi opini
serta wacana di masyarakat, sehingga seolah-olah mereka tidak melakukan suatu
kejahatan.
Salah satu penyebab utama gagalnya penuntutan dalam suatu perkara yang
terdakwanya korporasi adalah karena korporasi tersebut tidak memiliki direktur
yang bertanggung jawab atas keselamatan dan tidak memiliki kebijakan yang
jelas yang mengatur mengenai keselamatan. Kurangnya koordinasi struktural
dalam sebuah organisasi dianggap sebagai penyebab terjadinya kejahatan
korporasi.
Misalnya pada kasus terbaliknya kapal the Herald of Free Enterprise.
Penyebab nyata terbaliknya kapal yang menyebabkan kematian sekitar 200 nyawa
ini adalah lemahnya koordinasi di antara para pekerja sebagai akibat tidak adanya
kebijakan-kebijakan
tentang
keselamatan.
Laporan
mengenai
investigasi
terbaliknya kapal tersebut menyatakan bahwa tidak ada keraguan kesalahan
sebenarnya terletak pada korporasi itu sendiri karena tidak memiliki kebijakankebijakan mengenai keselamatan dan gagal untuk memberikan petunjuk
keselamatan yang jelas. Kasus ini terutama disebabkan oleh kecerobohan.
Hukuman atas segala kejahatan korporasi adalah sebuah persoalan politis.
Yang terjadi dalam peristiwa politis adalah tawar-menawar yang mencari
keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara. Dalam hitungan hak dan
kewajiban, korporasi dibolehkan menikmati hak-hak yang sangat luas dan
menciutkan kewajiban-kewajiban mereka. Kerugian akibat kejahatan korporasi
sering sulit dihitung karena akibat yang ditimbulkannya berlipat-lipat, sementara
hukuman atau denda pengadilan acap kali tidak mencerminkan tingkat kejahatan
mereka
Perusahaan memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan melalui
direktur dan para eksekutif dan perusahaan seharusnya bertanggung jawab atas
akibat dari kebijakan mereka. Namun perusahaan – tidak seperti manusia – tidak
dibebani oleh berbagai emosi dan perasaan sehingga dengan mudahnya dapat
menutupi perilaku buruknya.
Terdapat dua model kejahatan korporasi; pertama, kejahatan yang
dilakukan oleh orang yang bekerja atau yang berhubungan dengan suatu
perusahaan yang dipersalahkan; dan kedua, perusahaan sendiri yang melakukan
tindakan kejahatan melalui karyawan-karyawannya. Kejahatan yang terjadi dalam
konteks bisnis dilatar belakangi oleh berbagai sebab. Human error yang
dipadukan dengan kebijakan yang sesat dan kekeliruan dalam pengambilan
keputusan merangsang terjadinya tindakan pelanggaran hukum.
Pada pendekatan di Amerika mengenai vicarious liability menyatakan
bahwa bila seorang pegawai korporasi atau agen yang berhubungan dengan
korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk
menguntungkan korporasi dengan melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab
pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak peduli apakah perusahaan
secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak atau apakah perusahaan telah
melarang aktivitas tersebut atau tidak.
Sedangkan di Inggris, various liability terbatas pada tanggung jawab
perusahaan terhadap kejahatan korporasi yang dilakukan oleh seorang yang
memiliki kekuasaan yang tinggi (identification). Teori ini menyatakan bahwa
korporasi tidak dapat melakukan sesuatu kecuali melalui seorang yang dapat
mewakilinya. Bila seorang yang cukup berkuasa dalam struktur korporasi, atau
dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan, maka perbuatan dan niat
orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat dimintai
pertanggungjawaban secara langsung. Namun, suatu korporasi tidak dapat
disalahkan atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level
yang rendah dalam hirarki korporasi tersebut.
Komisi Hukum Inggris telah mengusulkan bahwa terdapat satu kejahatan
baru, yaitu pembunuhan oleh korporasi “corporate killing”. Kejahatan ini
merupakan suatu species terpisah dari manslaugter yang hanya dapat dilakukan
oleh korporasi. Dalam hal ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasan
tentang kesalahan korporasi, seperti pembuktian dari niat atau kesembronoan,
dapat diatasi dengan membuat definisi khusus yang hanya dapat diterapkan
kepada korporasi.
Pada era globalisasi ini, perkembangan perusahaan multinasional sangat
pesat, bahkan perusahaan tersebut mampu menempatkan diri pada posisi yang
sangat strategis untuk memperoleh perlindungan hukum sehingga peradilan dalam
negeri sulit untuk mengajukan tuntutan terhadap tindakan mereka yang
merugikan.
Agar kelemahan perangkat hukum tidak terulang lagi, perlu dibuat aturan
pertanggung jawaban korporasi yang komprehensif dan mencakup semua
kejahatan. Namun, pada pengadilan atas tindakan kriminalirtas korporasi,
keputusan mengenai hukuman dan sanksi, selalu menjadi hal terakhir untuk
diputuskan. Setiap tuntuan yang terjadi atas kejahatan korporasi selalu dipersulit
sehingga sering tidak dapat direalisasikan. Dengan demikian dapat terlihat bahwa
hukum pun masih tidak dapat diandalkan untuk menindak lanjuti masalah
kejahatan korporasi.
Suatu tindakan kejahatan, terjadi karena korporasi tersebut mendapatkan
keuntungan dari tindakan kejahatan yang dilakukannya. Oleh karena itu, agar
dapat menghapuskan tindakan kejahatan korporasi, dapat dilakukan dengan
mengambil keuntungan yang diperolehnya atas tindakan kriminalitas tersebut.
Misalnya dengan membebankan korporasi suatu denda yang lebih besar
dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Jika tindakan kriminalitas tidak
lagi mengutungkan korporasi, maka ia tidak akan terlibat kembali dalam suatu
tindakan kriminal. Namun dalam prakteknya, denda hukum yang dijatuhkan
kepada korporasi sekedar dihitung sebagai biaya produksi tanpa sepeserpun
mengurangi keuntungan korporasi. Walaupun mengurangi keuntungan, praktek
illegal korporasi masih dapat terus berlanjut. Dengan kata lain, denda yang
dikenakan kepada korporasi hanya mengubah tindakan kejahatan korporasi dari
kesalahan terhadap masyarakat menjadi biaya dalam kegiatan bisnis
Publisitas atas keburukan korporasi juga dapat dilakukan sebagai sanksi
atas kejahatan korporasi. Namun sayangnya, hal tersebut membawa dampak yang
tidak diinginkan. Jika terjadi pemboikotan dari seluruh konsumen terhadap semua
produk korporasi, maka secara pidana, pengadilan berhasil mengadili korporasi
tersebut. Tetapi jika korporasi mengalami kerugiam yang besar, maka korporasi
akan mengurangi jumlah karyawannya sehingga akan banyak pekerja yang
kehilangan pekerjaannya.
Beraneka ragam sanksi yang dikenakan kepada korporasi seperti melalui
denda, kompensasi dan ganti rugi, kerja sosial, pengenaan perbaikan, publisitas
keburukan, dan orientasi pengendalian, tidak dapat menghentikan tindakan
kejahatan yang dilakukan korporasi. Korporasi dapat lolos dari sanksi-sanksi
tersebut dengan mengorbankan pegawai mereka.
Sebagaimana vicarious liability dan identification, kejahatan yang
dilakukan korporasi juga merupakan tanggung jawab individu-individu di
dalammnya. Demikian juga, korporasi bertanggung jawab atas kejahatan yang
dilakukan oleh individu-individunya. Jika suatu korporasi dikenai suatu hukuman
atas kejahatan, kepada siapa hukuman tersebut akan dikenakan? Jawaban yang
masuk akal adalah direktur perusahaan. Menurut ‘identification’, tanggung jawab
perusahaab sering didasarkan atas kejahatan yang dilakukan direktur atau para
eksekutifnya. Sayangnya, hal itu akan terlihat sangat tidak adil bagi direktur yang
selalu menjalankan bisnisnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu
diperlukan adanya keseimbangan tanggung jawab terhadap kejahatan korporasi
dari direktur, eksekutif, manajer, dan karyawan.
Setiap individu harus bertanggung jawab baik secara moral maupun
hukum atas keputusan dan tindakan mereka. Jika seseorang melakukan tindakan
kejahatna melalui perusahaan, maka tuntutan hukum seharusnya dikenakan
terhadap orang tersebut, bukan terhadap perusahaan, terutama jika tindakan
kejahatan
tersebut
tidak
memberikan
keuntungan
terhadap
perusahaan.
Perusahaan bertindak melalui individu tetapi individu juga bertindak melalui
perusahaan. Oleh karena itu, tanggung jawab atas suatu tindakan kejahatan yang
dilakuakan individu seharusnya tidak dilimpahkan kepada perusahaan. Begitu
juga sebaliknya.
Untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi, perlu diadakan aturan
yang tegas baik berupa collective self-regulation maupun individualized selfregulation. Namun penerapan collective self-regulation tidak efektif karena
pemerintah dan pengadilan harus terus memonitoring setiap aktivitas korporasi,
sementara korporasi berusaha untuk mengambil celah agar aktivitas kejahatannya
tidak terpantau oleh mereka. Dengan demikian, cara yang paling baik untuk
melawan kejahatan korporasi adalah dengan mencegahnya sebelum terjadi yang
dapat dilakukan dengan adanya individualized self regulation di mana setiap
perusahaan bertangung jawab atas kebijakan mereka sendiri.
Tidak sulit untuk menemukan perusahaan yang mengatakan kepada
masyarakat bahwa mereka memiliki tanggung jawab sosial. Namun banyak
perusahaan yang menggunakan hal itu sebagai suatu cara pemasaran untuk
meningkatkan image, bahkan penjualan mereka. Selain itu, terdapat berbagai
macam perlakuan perusahaan atas nama ‘tanggung jawab sosial’ yang pada
prakteknya sangat bertolak belakang.
Download