SIARAN PERS Pusat Hubungan Masyarakat Gd. I Lt. 2, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta 10110 Telp: 021-3860371/Fax: 021-3508711 www.kemendag.go.id Indonesia Masih Pertimbangkan Keikutsertaannya dalam Trans-Pacific Partnership Jakarta, 18 Juni 2012 – Kementerian Perdagangan bekerja sama dengan Support for Economic Analysis Development in Indonesia (SEADI) telah menyelenggarakan diskusi mengenai Trans Pacific Partnership (TPP) di Hotel Aryaduta Jakarta, pada 14 Juni 2012. Diskusi tersebut diadakan guna memperoleh masukan yang lebih jelas tentang manfaat keikutsertaan Indonesia dalam kerja sama TPP. Trans-Pacific Partnership berakar pada kerja sama ekonomi Asia Pasifik. Negara-negara yang terlibat dalam negosiasi tersebut diharapkan dapat menjadi suatu model kerja sama perdagangan masa depan yang memperkuat keterkaitan ekonomi, meningkatkan daya saing, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan standar hidup, serta mengurangi tingkat kemiskinan. TPP berusaha menyajikan sebuah model perjanjian perdagangan bebas generasi masa depan di tingkat regional Asia Pasifik yang komprehensif; melakukan liberalisasi di bidang perdagangan dan investasi; serta menjawab masalah-masalah perdagangan yang menjadi tantangan abad ke-21. Diskusi ini dihadiri berbagai ahli kerja sama ekonomi internasional, perwakilan dari instansi pemerintah, dan pengusaha. Diskusi dipimpin oleh Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BPPKP), Bachrul Chairi, dengan pembicara Senior Fellow for Peterson Institute for International Economics, Jeffrey J. Schott. Sementara, pembahas dalam acara ini adalah Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo; Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahjana Wirakusumah; Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Anwar Nasution; serta Wakil Ketua KADIN Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik, Natsir Mansyur. Pada kesempatan tersebut, Kepala BPPKP menyampaikan bahwa keikutsertaan Indonesia dalam TPP mungkin saja membawa dampak yang positif bagi Indonesia, namun Indonesia masih harus meneliti secara menyeluruh terhadap sektor-sektor yang terkait. Indonesia juga perlu untuk memperhatikan pandangan negara-negara ASEAN lainnya terkait dengan TPP. “Jika negara-negara ASEAN ikut serta dalam TPP dan Indonesia tidak, maka kemungkinan besar pangsa pasar ekspor sulit dipertahankan. Untuk itu, Indonesia harus mempunyai strategi yang baik dalam hal keikutsertaan dalam TPP,” jelas Bachrul Chairi. Dalam paparannya, pembicara Jeffrey J. Scott menyatakan bahwa TPP dibentuk untuk memperkuat integrasi ekonomi di antara negara-negara Asia Pasifik. Kesepakatan TPP memiliki keunikan yaitu: anggotanya meningkat seiring dengan berlangsungnya negosiasi, serta kesepakatan ini bersifat terbuka dan merupakan “living document” untuk menuju ke arah Free Trade Area of the Asia-Pacific (FTAAP). Negara-negara yang telah melakukan negosiasi dalam TPP adalah Australia, Amerika Serikat, Brunei Darussalam, Chili, Malaysia, Peru, Selandia Baru, Singapura, dan Viet Nam. Mengutip Petri et al, Jeffrey J. Scott menjelaskan bahwa TPP yang beranggotakan 16 negara diestimasikan akan memperoleh keuntungan dan diharapkan akan menjadi pijakan untuk terbentuknya FTAAP pada tahun 2025 dengan asumsi bahwa Kanada-Meksiko-Jepang, Korea dan Indonesia-Filipina-Thailand bersedia untuk bergabung dengan TPP-9. Scott juga menyampaikan beberapa hal positif mengenai keikutsertaan negara anggota dalam kerja sama TPP. Menurutnya, total PDB dari semua anggota TPP sebesar USD 17 triliun, dengan 85 persen diantaranya disumbangkan oleh Amerika Serikat. Total perdagangan barang dan jasa di antara anggota TPP sebesar USD 7 triliun, dan 60 persen di antaranya merupakan sumbangan dari Amerika Serikat. TPP diharapkan menjadikan suatu perjanjian yang World Trade Organization (WTO) plus dan Free Trade Agreement (FTA) plus serta bernuansa pembangunan sumber daya manusia. Schott meyakini bahwa Indonesia akan diuntungkan dengan TPP. Menurutnya, keuntungan yang akan dinikmati oleh Indonesia apabila bergabung dengan TPP adalah pertumbuhan ekonomi yang akan meningkat sebesar 1,7 persen, dengan komposisi pertumbuhan sebesar dua per tiga (1,1 persen) dihasilkan dari keuntungan efek perdagangan, dan sepertiga (0,6 persen) dihasilkan dari keuntungan efek Foreign Direct Investment (FDI). Keuntungan ini jelas berasal dari terbuka akses pasar ke Amerika Serikat dan negara-negara yang melakukan negosiasi TPP. Cakupan TPP adalah sektor pertanian, tekstil dan pakaian jadi, Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), jasa dan investasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), lingkungan hidup, dan ketenagakerjaan. Dalam TPP, Amerika Serikat memiliki kepentingan untuk membangun aturan main yang baru dalam bidang perdagangan dan investasi barang dan jasa. Selain itu, Amerika Serikat berkepentingan untuk meningkatkan nilai dan volume ekspor dan impornya, serta memperluas hubungan dengan negara-negara Asia Pasifik. Menanggapi pernyataan tersebut, para pembahas mempunyai pendapat masing-masing. Agus Tjahjana mengutarakan bahwa belum waktunya Indonesia bergabung dalam kerja sama TPP. Indonesia sudah menjalin banyak kerja sama regional dan telah menjalin FTA dengan 6 negara dari 9 negara yang melakukan negosiasi TPP. Agus mengkhawatirkan akan terjadi kesulitan bagi bea cukai dalam melaksanakan tugas kepabeanannya karena banyaknya peraturan FTA yang harus dipelajari. Anwar Nasution menyatakan bahwa Indonesia perlu meningkatkan keunggulan kompetitif untuk produk ekspor Indonesia. Indonesia perlu mempersiapkan kebijakan-kebijakan terkait yang ditujukan untuk memberikan insentif produsen dan konsumen dan meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktivitas Usaha Kecil Menengah (UKM) sangat diperlukan selain juga memperluas akses pasar ekspor bagi UKM. Natsir Mansyur menjelaskan bahwa masih banyak “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan oleh Indonesia, antara lain: memperbaiki infrastruktur, menyelesaikan masalah logistik nasional, dan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Indonesia masih mengekspor produk mentah dan belum dapat mengekspor produk yang bernilai tambah tinggi. 2 Sementara, Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional, Iman Pambagyo, menekankan pentingnya memperhitungkan dan mengukur ongkos penyesuaian (adjustment cost) yang harus dilakukan Indonesia dalam memenuhi komitmen dalam negosiasi TPP. “TPP bukan hanya berkisar tentang penurunan tarif, Intellectual Property Rights (IPR), dan perjanjian perdagangan saja tetapi juga menyangkut koherensi regulasi,” ujarnya. Masukan juga diberikan oleh beberapa peserta yang terdiri dari pelaku usaha, akademisi dan institusi pemerintah. Peserta mengkhawatirkan adanya kehilangan pangsa pasar ekspor apabila Indonesia tidak bergabung dengan TPP. Untuk itu, peserta menyarankan pentingnya melakukan kajian yang mendalam tentang seberapa besar kemungkinan dampak positif dan negatif apabila Indonesia turut serta dalam TPP ataupun tidak. Indonesia harus memperhitungkan apa yang seharusnya disiapkan jika Indonesia memutuskan untuk bergabung. --selesai-Informasi lebih lanjut hubungi: Frank Kandou Kepala Pusat Humas Kementerian Perdagangan Telp/Fax: 021-3860371/021-3508711 Email: [email protected] Nuryati Lagoda Kepala Pusat Kebijakan Kerja Sama Perdagangan Internasional Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan Telp/Fax: 021- 23528684/021-23528694 Email: [email protected] 3