BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Agency Theory Agency theory pada

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Agency Theory
Agency theory pada awalnya berkaitan dengan masalah kepemilikan melalui
pembelian saham (Jensen dan Meckling, 1976:2). Agency theory muncul setelah
fenomena terpisahnya kepemilikan perusahaan dengan pengelolaan perusahaan yang
terdapat di perusahaan- perusahaan besar yang modern sehingga teori perusahaan
yang klasik tidak bisa lagi dijadikan basis analisis perusahaan seperti itu.
Agency theory dalam manajemen keuangan membahas adanya agency
relationship (hubungan keagenan). Jensen dan Meckling, (1976:5) menyatakan
hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan pemegang
saham (principal) yang muncul ketika satu orang atau lebih (principal)
mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian
mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut.
Hubungan keagenan ini dapat dijelaskan dengan agency theory yang memberikan
wawasan analisis untuk mengkaji dampak dari hubungan agent dengan principal
atau hubungan principal dengan principal.
Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, suatu perusahaan diwakili oleh
manajer (agent) yang ditunjuk oleh para pemegang saham (principal). Menurut teori
agensi, agent harus bertindak secara rasional untuk kepentingan principal. Agent
harus menggunakan keahlian, kebijaksanaan, itikad baik, serta tingkah laku yang
wajar dan adil dalam memimpin perusahaan. Dalam prakteknya timbul masalah
(agency problem) karena ada kesenjangan kepentingan antara pemegang saham
sebagai principal dengan manajer sebagai agent. Principal memiliki kepentingan
agar dana yang diinvestasikan memberikan return yang setinggi-tingginya,
sedangkan agent memiliki kepentingan terhadap perolehan incentive atas
pengelolaan dana pemilik. Konflik kepentingan (conflict of interest) ini
menimbulkan biaya (cost) yang muncul dari ketidaksempurnaan penyusunan kontrak
antara agent dan principals karena adanya asimetri informasi (Surya dan
Yustivandana, 2006:2-3).
17
18
Principal akan
memberikan kewenangan pada agent untuk mengurus
jalannya perusahaan seperti mengelola dana dan mengambil keputusan perusahaan
lainnya untuk dan atas nama pemilik. Dengan kewenangan yang dimiliki ini maka
akan memungkinkan agent untuk bertindak bukan untuk kepentingan pemilik karena
adanya perbedaan kepentingan (conflict of interest). Dengan informasi yang dimiliki,
agent dapat mengambil tindakan untuk kepentingan dirinya sendiri, dan
mengorbankan kepentingan atau bahkan merugikan principal. Hal ini mungkin
terjadi karena manajer mempunyai informasi mengenai perusahaan secara lebih baik
yang tidak dimiliki oleh pemilik perusahaan (asymmetric information) dan
menimbulkan agency conflict. Konflik kepentingan ini terjadi karena kemungkinan
agent tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan principal, sehingga memicu
agency cost (Jensen dan Meckling, 1976:5).
Konflik kepentingan tersebut secara ilmiah akan terjadi dalam sturktur
kepemilikan perusahaan (ownership structure) yang terdiri dari dua tipe, yaitu
struktur kepemilikan yang tersebar (dispersed ownership) kepada para pemegang
saham publik dan sturktur kepemilikan yang terkonsentrasi (concentrated ownership)
dengan pengendalian pada segelintir pemegang saham saja. Ketika struktur
kepemilikan perusahaan tersebar kepada investor luar (outside investors) seperti yang
terjadi di pasar modal, maka konflik kepentingan yang muncul adalah benturan
kepentingan antara para outside investor dengan pihak direksi yang juga memiliki
saham parusahaan bersangkutan (Jensen dan Meckling, 1976:12).
Sebagai contoh di Amerika Serikat, pihak manajemen Enron dituduh
melakukan insider trading atas stock option yang dimilikinya. Hal ini berbeda
dengan kondisi pada negara-negara berkembang seperti di Asia. Konflik yang terjadi
justru antara principal dengan principal, yaitu pemegang saham pengendali dengan
pemegang saham publik yang hanya memiliki kedudukan minoritas. Perusahaanperusahaan di Asia, termasuk Indonesia secara historis dan sosiologis merupakan
perusahaan-perusahaan yang dimiliki atau dikontrol oleh keluarga. Meskipun
perusahaan-perusahaan tersebut telah tumbuh dan menjadi perusahaan publik, namun
kendali (control) yang berada pada keluarga masih begitu signifikan (Surya dan
Yustivandana, 2006:3).
19
Dari dua perbedaan struktur kepemilikan perusahaan tersebut, penerapan
corporate governance mejadi sangat penting bagi perusahaan yang salah satu
tujuannya adalah untuk menekan potensi konflik kepentingan. Perusahaan dengan
struktur kepemilikan yang tersebar kepada outside investors perlu menerapkan
corporate governance untuk meningkatkan kewenangan yang dimiliki para
pemegang saham publik dalam rangka penyeimbang pihak manajemen. Sedangkan
perusahaan dengan struktur kepemilikan yang terkonsentrasi perlu menerapkan
corporate governance untuk meminimalkan potensi agency conflict yang timbul
antara pemegang saham pengendali dengan pemegang saham publik (Surya dan
Yustivandana, 2006:6).
Corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada agency
theory, diharapkan dapat berfungsi sebagai alat yang dapat memberikan keyakinan
kepada investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang mereka
investasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana investor yakin
bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi investor dan yakin bahwa
manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyekproyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana yang telah ditanamkan
oleh investor dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengendalikan para
manajer (Shleifer dan Vishny, 1997:737).
2.2
Good Corporate Governance
2.2.1
Definisi Good Corporate Governance
Selaras dengan konsep-konsep yang melatarbelakangi perkembangan
corporate governance, terdapat beragam definisi mengenai corporate governance.
Pada dasarnya, tidak ada definisi yang baku atau satu definisi yang tunggal atas
corporate governance. Berikut ini adalah beberapa definisi yang diberikan oleh
berbagai pihak, antara lain:
Forum for Corporate Governance in Indonesia dalam FCGI, (2001:1)
mendefinisikan corporate governance adalah sebagai berikut:
“Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,
pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditor, pemerintah, karyawan serta
pemangku kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak
20
dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan. Corporate governance bertujuan untuk menciptakan
nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholder)”.
Cadbury Committee (1992) mendefinisikan corporate governance adalah
suatu sistem yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar
mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam
memberikan pertanggungjawaban kepada para shareholder khususnya dan
stakeholders pada umumnya. Hal ini berkaitan dengan pengaturan kewenangan
direktur, manajer, pemegang saham dan pihak lain yang berhubungan perkembangan
perusahaan.
Achmad Syakhroza (2002) dalam Tim Studi Pengkajian Penerapan OECD
(2004:7) mendefinisikan corporate governacne sebagai berikut:
“Corporate governance adalah suatu sistem yang dipakai “Board” untuk
mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi (directing, controlling, and
supervising) pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis,
dan produktif – E3P – dengan prinsip transparan, accountable, responsible,
independent, dan fairness – TARIF – dalam rangka mencapai tujuan organisasi”.
Definisi corporate governance sesuai dengan Surat Keputusan Menteri
BUMN No Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan praktik
GCG pada BUMN dalam Tim Studi Pengkajian Penerapan OECD (2004:8) adalah:
“Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan
nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan perundangan dan nilai-nilai etika”.
Definisi
tersebut
menekankan
pada
keberhasilan
usaha
dengan
memperhatikan akuntabilitas yang berlandaskan pada peraturan perundangan dan
nilai-nilai etika serta memperhatikan stkaeholder yang tujuan jangka panjangnya
adalah untuk mewujudkan dan meningkatkan nilai pemegang saham.
21
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam
Studi Penerapan OECD (2004:8-9) mendefinisikan corporate governance sebagai
berikut:
“Corporate governance is the system by which business corperations are
directed and controlled. The Corporate Governance structure specifies the
distribution of the right and responsibilities among different participants in the
corporation, such as the board, managers, shareholders, and other stakeholders, and
spells out the rules and procedures for making decisions on corporate affairs. By
doing this, it also provide this structure through which the company objectives are
set, and the means of attaining those objectives and monitoring performance”
Artinya corporate governance adalah suatu sistem dimana perusahaan bisnis
terarahkan dan terkontrol. Corporate governance mensyaratkan adanya struktur
perangkat dengan distribusi yang baik dan tanggungjawab yang berbeda atas
kepentingan di dalam perusahaan seperti dewan, pihak manajemen perusahaan,
pemegang saham dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan
yang menghasilkan peraturan dan prosedur pengambilan keputusan atau kebijakan
perusahaan untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja.
Dalam hal ini OECD melihat corporate governance sebagai suatu sistem
dimana sebuah perusahaan atau entitas bisnis diarahkan dan diawasi. Sejalan dengan
itu, maka struktur dari corporate goverrnance menjelaskan distribusi hak-hak dan
tanggungjawab dari masing-masing pihak yang terlibat dalam sebuah bisnis, yaitu
antara lain dewan komisaris dan direksi, manajer, pemegang saham, serta pihakpihak lain yang terkait sebagai stakeholders. Selanjutnya, struktur dari corporate
governance juga menjelaskan bagaimana aturan dan prosedur dalam pengambilan
dan pemutusan kebijakan sehingga dengan melakukan itu semua maka tujuan
perusahaan dan pemantauan kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan dan dilakukan
dengan baik.
Turnbull Report di Inggris (1999) dalam Effendi (2009:1) mendefinisikan
corporate governance adalah sebagai berikut:
“Corporate governance is a company’s system of internal control, which has
as its principal aim the management of risk that are significant to the fulfilment of its
22
business objectives, with a view to safeguarding the company’s assets and
enchancing over time the value of the shareholders investments”.
Berdasarkan pengertian diatas, corporate governance didefinisikan sebagai
suatu sistem pengendalian internal perusahaan yang memiliki tujuan utama
mengelola risiko yang signifikan guna memenuhi tujuan bisnisnya melalui
pengamanan aset perusahaan dalam meningkatkan nilai investasi pemegang saham
dalam jangka panjang.
Sedangkan Bank dunia (World Bank) dalam Effendi (2009:1) mendefinisikan
Good Corporate Governance (GCG) sebagai kumpuan hukum, peraturan, dan
kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber
perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi jangka
panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat
secara keseluruhan.
Berdasarkan definisi diatas, pengertian dari good corporate governance
adalah suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan sehingga
tercipta tata kelola yang baik, adil dan transparan guna menciptakan nilai tambah
(value added) bagi semua pemangku kepentingan yang terkait dalam perusahaan
(stakeholders). Pihak-pihak terkait yang dimaksud adalah pihak internal selaku pihak
yang bertugas mengelola perusahaan dan pihak eksternal yang meliputi pemegang
saham, kreditur dan lain-lain.
Agar terciptanya tata kelola yang baik, harus terdapat hukum, peraturan, dan
kaidah-kaidah yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak untuk
mencapai
tujuan
perusahaan
serta
pengawasan
atas
kinerja
yang
dipertanggungjawabkan dan dilakukan secara efisien.
2.2.2
Sejarah Perkembangan Pedoman Good Corporate Governance
2.2.2.1 Sejarah Pedoman Good Corporate Governance Di Indonesia
Pada tahun 1999, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance
(KNKG)
yang
dibentuk
KEP/31/M.EKUIN/08/1999
berdasarkan
telah
keputusan
mengeluarkan
Menko
Pedoman
Ekuin
Good
Nomor:
Corporate
Governance (GCG) yang pertama. Pedoman tersebut telah beberapa kali
disempurnakan, terakhir pada tahun 2001. Berdasarkan pemikiran bahwa suatu
23
sektor ekonomi tertentu cenderung memiliki karakteristik yang sama, maka pada
awal tahun 2004 dikeluarkan Pedoman GCG Perbankan Indonesia dan pada awal
tahun 2006 dikeluarkan Pedoman GCG Perasuransian Indonesia (KNKG, 2006:1).
Sejak Pedoman GCG dikeluarkan pada tahun 1999 dan selama proses
pembahasan pedoman GCG sektor perbankan dan sektor perasuransian, telah terjadi
perubahan-perubahan yang mendasar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Walaupun peringkat penerapan GCG di dalam negeri masih sangat rendah, namun
semangat menerapkan GCG di kalangan dunia usaha dirasakan ada peningkatan.
Perkembangan lain yang penting dalam kaitan dengan perlunya penyempurnaan
Pedoman GCG adalah adanya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997-1999
yang di Indonesia berkembang menjadi krisis multidimensi yang berkepanjangan.
Krisis tersebut antara lain terjadi karena banyak perusahaan yang belum menerapkan
GCG secara konsisten, khususnya belum diterapkannya etika bisnis. Oleh karena itu,
etika bisnis dan pedoman perilaku menjadi hal penting yang dituangkan dalam bab
tersendiri (KNKG, 2006:1).
Sehubungan dengan pelaksanaan GCG, pemerintah juga makin menyadari
perlunya penerapan good governance disektor publik, mengingat pelaksanaan GCG
oleh dunia usaha tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya good public
governance dan partisipasi masyarakat. Dengan latar belakang perkembangan
tersebut, maka pada bukan November 2004, pemerintah dengan keputusan Menko
Bidang
Perekonomian
Nomor:
KEP/49/M.EKON/11/2004
telah
meyetujui
pembentukan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang terdiri dari
Sub-Komite Publik dan Sub-Komite Korporasi. Dengan telah dibentuknya KNKG,
maka keputusan Menko Ekuin Nomor: KEP.31/M.EKUIN/06/2000 yang juga
mencabut keputusan No. KEP.10/M.EKUIN/08/1999 tentang pembentukan KNKCG
dinyatakan tidak berlaku lagi (KNKG, 2006:1).
Pedoman GCG dikeluarkan bagi semua perusahaan di Indonesia termasuk
perusahaan yang beroperasi atas dasar prinsip syariah. Pedoman GCG ini, yang
memuat prinsip dasar dan pedoman pokok pelaksanaan GCG, merupakan standar
minimal yang akan ditindaklanjuti dan dirinci dalam Pedoman Sektoral yang
dikeluarkan oleh KNKG. Berdasarkan pedoman tersebut, masing-masing perusahaan
perlu membuat manual yang lebih operasinal (KNKG, 2006:2).
24
2.2.2.2 Sejarah Pedoman Good Corporate Governance Di Luar Negeri
Di luar negeri terjadi pula perkembangan dalam penerapan GCG. Pada April
1998, (OECD) telah mengeluarkan seperangkat prinsip corporate governance yang
dikembangkan seuniversal mungkin. Hal ini mengingat bahwa prinsip ini disusun
untuk digunakan sebagai referensi di berbagai negara yang mempunyai karakteristik
sistem hukum, budaya, dan lingkungan yang berbeda. Dengan demikian, prinsip
yang universal tersebut akan dapat dijadikan pedoman oleh semua negara atau
perusahaan namun diselaraskan dengan sistem hukum, aturan, atau nilai yang
berlaku di negara masing-masing bilamana diperlukan. Prinsip-prinsip corporate
governance yang dikembangkan oleh OECD pada tahun 1998 mencakup 5 (lima)
prinsip pokok (FCGI, 2002:99).
Namun, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)
telah merevisi Principle of Corporate Governance pada tahun 2004. Tambahan
penting dalam pedoman baru OECD adalah adanya penegasan tentang perlunya
penciptaan kondisi oleh pemerintah dan masyarakat untuk dapat dilaksanakannya
GCG secara efektif. Peristiwa Enron di Amerika Serikat telah menambah keyakinan
tentang betapa pentingnya penerapan GCG. Di Amerika Serikat, peristiwa tersebut
ditanggapi dengan perubahan fundamental peraturan perundang-undangan dibidang
audit dan pasar modal. Di negara-negara lain, hal tersebut ditanggapi secara berbeda,
antara lain dalam bentuk penyempurnaan pedoman GCG di negara bersangkutan.
Secara umum prinsip-prinsip corporate governance yang dikeluarkan oleh OECD
pada tahun 2004 mencakup 6 (enam) prinsip pokok dengan tambahan 1 prinsip, yaitu
menjamin dasar corporate governance yang efektif (Ensuring the Basis for an
Effective Corporate Governance Framework).
2.2.2.3 Kasus Enron Terkait dengan Good Corporate Governance
Enron Corporation didirikan pada 1930 sebagai Northern Natural Gas
Company, sebuah konsorsium dari Northern American Power and Light Company,
Lone Star Gas Company, dan United Lights and Railways Corporation.
Enron Corporation adalah sebuah perusahaan energi Amerika yang berbasis
di Houston, Texas, Amerika Serikat. Sebelum bangkrutnya pada akhir 2001, Enron
mempekerjakan sekitar 21.000 orang pegawai dan merupakan salah satu perusahaan
terkemuka di dunia dalam bidang listrik, gas alam, bubur kertas dan kertas, dan
25
komunikasi. Enron mengaku penghasilannya pada tahun 2000 berjumlah $101
milyar. Fortune menamakan Enron "Perusahaan Amerika yang Paling Inovatif"
selama enam tahun berturut-turut.
Enron menjadi sorotan masyarakat luas pada akhir 2001, ketika terungkapkan
bahwa kondisi keuangan yang dilaporkannya didukung terutama oleh penipuan
akuntansi yang sistematis, terlembaga, dan direncanakan secara kreatif. Operasinya
di Eropa melaporkan kebangkrutannya pada 30 November 2001, Enron, perusahaan
ketujuh terbesar di Amerika, perusahaan energi perdagangan terbesar di dunia
menyatakan dirinya bangkrut. Saat itu, kasus itu merupakan kebangkrutan terbesar
dalam sejarah AS dan menyebabkan 4.000 pegawai kehilangan pekerjaan mereka.
Selama tujuh tahun terakhir, Enron melebih-lebihkan laba bersih dan
menutup-tutupi utang mereka. Auditor independen, Andersen (yang dahulu dikenal
sebagai Arthur Andersen), dituding ikut berperan dalam "menyusun" pembukuan
kreatif Enron. Lebih buruk lagi, kantor hukum yang menjadi penasihat Enron,
Vinson & Eikins, juga dituduh ikut ambil bagian dalam korupsi skala dunia ini
dengan membantu membuka partnership-partnership kontroversial yang dianggap
sebagai biang keladi dari kehancuran Enron. Terakhir, bank investasi besar di
Wallstreet seperti Salomon Smith Barney unit, Credit Suisse FirstBoston, Merrill
Lynch, Goldman Sachs, J.P. Morgan Chase and Lehman Bros, ikut meraup 214 juta
dolar AS dalam komisi sebagai penjual saham dan obligasi dari Enron. Kejatuhan
Enron bermula dari dibukanya partnership-partnership yang bertujuan untuk
menambah keuntungan pada Enron.
Partnership-partnership yang diberi nama "special purspose partnership"
memang memiliki karateristik yang istimewa. Enron mendirikan kongsi dengan
seorang partner dagang. Partner dagang mereka biasanya hanya satu untuk setiap
partnership dan kongsi dagang ini menyumbang modal yang sangat sedikit, sekitar
3% dari jumlah modal keseluruhan. Ternyata secara hukum perusahaan di Amerika,
apabila induk perusahaan berpartisipasi dalam partnership dimana partner dagang
menyumbang sedikitnya 3% dari modal keseluruhan, maka neraca partnership ini
tidak perlu dikonsolidasi dengan neraca dari induk perusahaan. Tetapi, partnership
ini harus dijabarkan secara terbuka dalam laporan akhir tahunan dari induk
perusahaan agar pemegang saham dari induk perusahaan maklum dengan keberadaan
26
operasi tersebut. Enron. Enron membiayai dengan "meminjamkan" saham Enron
(induk
perusahaan) kepada Enron (anak perusahaan) sebagai modal dasar
partnership- partnership tersebut.
Enron tidak pernah mengungkapkan operasi dari partnership-partnership
tersebut dalam laporan keuangan yang ditujukan kepada pemegang saham dan
Security Exchange Commission (SEC), badan tertinggi pengawasan perusahaan
publik di Amerika. Lebih jauh lagi, Enron bahkan memindahkan utang-utang sebesar
690 juta dolar AS yang ditimbulkan induk perusahaan ke partnership-partnership
tersebut. Akibatnya, laporan keuangan dari induk perusahaan terlihat sangat atraktif,
menyebabkan harga saham Enron melonjak menjadi 90 dolar AS pada bulan
Februari 2001. Perhitungan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tersebut, Enron
telah melebih-lebihkan laba mereka sebanyak 650 juta dolar AS.
Bulan
September
2001,
pemerintah
AS
mulai
mencium
adanya
ketidakberesan dalam laporan pembukuan Enron. Satu bulan kemudian, Enron
mengumumkan kerugian sebesar 600 juta dolar AS dan nilai aset Enron menyusut
1,2 triliun dolar AS. Pada laporan keuangan yang sama diakui, bahwa selama tujuh
tahun terakhir, Enron selalu melebih-lebihkan laba bersih mereka. Akibat laporan
mengejutkan ini, nilai saham Enron mulai anjlok dan saat Enron mengumumkan
bahwa perusahaan harus gulung tingkar, 2 Desember 2001, harga saham Enron
hanya 26 sen.
Pada kasus Enron, Andersen menerima 27 juta dolar AS dari jasa konsultasi
dan 25 juta dolar AS dari jasa audit. Akibatnya, timbul kesangsian akan kejujuran
dan kejernihan dari laporan audit mereka terhadap pembukuan Enron.
Yang lebih mengejutkan dunia akuntan adalah peristiwa penghancuran
dokumen yang dilakukan oleh David Duncan, ketua partner dari Andersen untuk
Enron. Panik karena menerima undangan untuk diminta kesaksiannya di Dewan
Perwakilan Rakyat Amerika (Congress), Duncan memerintahkan anak buahnya
untuk menghancurkan ratusan kertas kerja (workpapers) dan e-mail yang
berhubungan dengan Enron. Kertas kerja adalah dokumen penting dalam dunia
profesi akuntan yang berhubungan dengan laporan keuangan dari klien. Secara
umum,
setiap
kertas
kerja,
komunikasi
dan
laporan
keuangan
harus
didokumentasikan dengan baik selama 6 tahun. Baru setelah 6 tahun, dokumen
27
tersebut bisa dihancurkan. Peristiwa penghancuran dokumen ini memberi keyakinan
pada publik dan Congress bahwa Andersen sebenarnya mengetahui bisnis buruk dari
Enron, tetapi tidak mau mengungkapkannya dalam laporan audit mereka, karena
mereka takut kehilangan Enron sebagai klien.
Korban pertama dari kehancuran Enron adalah ribuan pegawainya. Tidak
hanya mereka kehilangan pekerjaan, tetapi juga tabungan pensiunan mereka. Dalam
hukum perpajakan Amerika, setiap pekerja bisa menabung sebanyak-bayaknya
12,000 dolar AS setahun dan tidak akan dikenai pajak. Baru ketika pekerja
menginjak usia 60, ia berhak mengambil dana tersebut dan membayar pajak seperti
layaknya penghasilan biasa. Selama berada dalam tabungan pensiunan, uang tersebut
akan ditanamkan dalam bentuk saham dan obligasi dengan harapan si penabung akan
meraup bunga sebanyak-banyaknya bila ia siap pensiun. Karena biasanya perusahan
sendiri yang mengadministrasi tabungan pegawai-pegawai mereka, perusahaan akan
menanamkan uang tersebut dalam bentuk saham dan perusahaan-perusahaan
tersebut. Regulasi tabungan masa tua ini dikenal dengan nama 401(k), sesuai dengan
pasal yang mengatur masalah hukum perpajakan untuk pensiunan. Enron juga
menerapkan sistem ini dan menanamkan seluruh tabungan pensiunan dari pegawaipegawainya dalam bentuk saham perusahaan.
Kesalahan Enron bukanlah terbatas pada penyelewengan pembukuannya.
Suka atau tidak, perusahaan sebesar Enron tidak akan jatuh apabila keadaan
sekelilingnya berlaku wajar dalam norma-norma etika dan hukum. Enron tidak akan
berani mendirikan kongsi dagang-kongsi dagang yang sangat kompleks apabila
hukum sekuritas Amerika (Security Law) tidak membiarkan pembukuan terpisah
antara induk perusahaan dan kongsi dagang tersebut. Kalaupun itu terjadi, kongsi
dagang tidak akan bisa bertahan lama bila auditor luar Andersen bekerja sesuai
dengan peraturan etika dan hukum yang diterapkan oleh badan tertinggi ikatan
akuntan publik (American Institute of Certified Public Accountants).
Keberanian akuntan-akuntan Andersen untuk mengijinkan sistem pembukuan
terpisah dari Enron tidak berarti banyak bila Congress menyetujui pemisahan divisi
"akunting/auditing" dan "konsultasi" yang diterapkan oleh Lima Besar. Proposal
pemisahan ini sudah diajukan oleh bekas ketua komisi sekuritas dan perdagangan
Amerika (Securities and Exchange Commission) Arthur Levitt pada tahun 1999.
28
Proposal itu ditolak mentah-mentah oleh anggota Congress yang menerima bantuan
finansial selama kampanye mereka dari Wall Street dan Lima Besar. Bantuan
finansial itu ternyata masih dalam limit yang legal. Dengan demikian, Congress bisa
bekerja lebih adil bila ada peraturan lebih ketat dalam penerimaan bantuan kampanye
dari perusahaan dan industri.
Dalam proses pengusutan sebab-sebab kebangkrutan itu Enron dicurigai telah
melakukan praktek window dressing. Manajemen Enron telah menggelembungkan
(mark up) pendapatannya US$ 600 juta, dan menyembunyikan utangnya sejumlah
US$ 1,2 miliar. Hal ini tentunya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki keahlian dengan trik-trik manipulasi yang tinggi dan tentu saja orang-orang
ini merupakan orang bayaran dari mulai analis keuangan, para penasihat hukum, dan
auditornya.
2.2.3
Sarbanes Oxley Act
2.2.3.1 Sejarah Sarbanes Oxley
Undang-Undang Sarbanes-Oxley (Sarbanes-Oxley Act) yang sering disingkat
sebagai SOx adalah undang-undang federal Amerika Serikat. Undang-undang
tersebut mengatur tentang akuntabilitas (accountability), praktik
akuntansi
(accounting practice), dan pengungkapan informasi (information disclosure) pada
perusahaan publik, termasuk tata cara pengelolaan data. Keberadaan Sox diprakarsai
oleh Senator Paul Sarbanes dari Maryland dan wakil rakyat Michael Oxley dari
Ohio. Undang-undang ini disahkan oleh Presiden Amerika Serikat, George W. Bush,
pada tanggal 30 Juli 2002. Undang-undang ini mensyaratkan adanya pengungkapan
(disclosure) tentang kecukupan informasi keuangan, keterangan tentang pencapaian
hasil-hasil manajemen, kode etik bagi eksekutif di bidang keuangan, independensi
komite audit yang efektif, serta pembatasan kompensasi bagi para eksekutif
perusahaan, termasuk pembaruan tata kelola perusahaan (corporate governance)
(Effendi, 2009:55).
Kemunculan SOx antara lain dilatarbelakangi oleh adanya skandal akuntansi
(accounting scandal) di Enron yang melibatkan kantor akuntan publik lima besar
(the big five), Arthur Andersen, serta berbagai kasus kebangkrutan perusahaan besar
seperti WorldCom, Tyco, Adelphia dan lainnya yang menimbulkan kepanikan luar
biasa di kalangan dunia usaha (Effendi, 2009:55).
29
2.2.3.2 Tujuan Sarbanes Oxley
SOx berdampak positif terhadap implementasi GCG di perusahaan publik,
bukan hanya di Amerika Serikat saja melainkan juga di berbagai belahan dunia
lainnya. SOx mewajibkan perusahaan publik untuk mereformasi tanggung jawab
manajemen perusahaan berkaitan dengan keterbukaan informasi keuangan serta
mencegah terjadinya kecurangan dalam pelaporan keuangan (fradulent financial
reporting) yang biasanya bermula dari kecurangan akuntansi (accounting fraud).
Selain itu, SOX juga menjamin adanya kepastian terhadap integritas pelaporan
keuangan (integrity of financial reporting). Securities Exchange Commission (SEC)
di Amerika Serikat juga telah mengadopsi SOx sebagai syarat untuk memperketat
persyaratan pengungkapan laporan keuangan serta menjamin akuntabilitas laporan
keuangan perusahaan. Dalam hal ini, SOx mewajibkan perusahaan yang terdaftar di
NYSE untuk mematuhi berbagai ketentuan yang berlaku guna menjamin transparansi
dalam penyusunan laporan keuangan. (Effendi, 2009:56).
Tujuan utama SOx adalah untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap
implementasi prinsip GCG di perusahaan yang telah go public. Amerika Serikat
menerapkan regulasi ini secara ketat, antara lain mencakup pelaporan keuangan yang
akurat dan tidak bias, peninjauan atas pengendalian internal, serta kewajiban untuk
menerapkan kode etik (code of ethics) dan kode tata kelola perusahaan (code of
corporate governance). SOx juga menuntut standar yang tinggi bagi operasi bisnis
dan pelaksanaan audit atas pengendalian internal (Effendi, 2009:56).
2.2.3.3 Isi Sarbanes Oxley
Sarbanes Oxley terdiri dari 3 Sections (bagian). Section I merupakan bagian
yang terdiri dari 11 titles (judul), yaitu:
1. Title I : Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB)
2. Title II : Auditor Independence
3. Title III : Corporate Responsibility
4. Title IV : Enhanched Financial Disclosures
5. Title V : Analyst Conflict of Interest
30
6. Title VI : Commission Resources and Authority
7. Title VII : Studies and Report
8. Title VIII : Criminal and Fraud Accountability
9. Title IX : White-Collar Crime Penalty Enhancements
10. Title X : Corporate Tax Return
11. Title XI : Corporate Fraud and Accountability
Adapun Section II merupakan Definitions terdiri dari dua sub bagian yaitu
bagian a) In General (ada 16 pengertian) dan bagian b) Confirming Amandement.
Adapun Section III yaitu Commission Rules and Enforcement yang terdiri
dari tiga sub bagian, yaitu:
1. Regulatory Action
2. Enforcement
3. Effect on Commission Authority
Secara umum Sarbanes Oxley terdiri dari tiga bagian penting yang harus
diperhatikan oleh manajemen perusahaan publik, yaitu: Sections 404, 906, dan 302.
Peraturan ini sudah mulai dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan publik di AS
sejak dikeluarkannya peraturan tersebut, Juli 2002, namun yang menjadi penekanan
adalah section 302 dan section 404.
Section 404 berisi peraturan yang mewajibkan manajemen untuk menilai
internal kontrol yang sudah dilaksanakan atas laporan keuangannya serta
pengesahan dari auditor eksternal. Section 906 berisi peraturan yang mewajibkan
manajemen perusahaan secara periodik untuk melaporkan segala sesuatu
menyangkut informasi keuangan yang juga tunduk kepada peraturan bursa saham,
serta menyatakan dengan benar kondisi laporan keuangan dan hasil operasi.
perusahaan. Sarbanes Oxley act section 302 berisi peraturan yang hampir sama
dengan section 906, tetapi section 302 berisi tambahan atas pengungkapan yang
berhubungan dengan pengungkapan internal kontrol dan prosedurnya, serta internal
kontrol dan penipuan/kecurangan.
31
Adapun ringkasan isi pokok dari Sarbanes-Oxley Act adalah sebagai berikut
(Suradi, 2011:6):
1. Membentuk public company board untuk melakukan pengawasan terhadap
public company,
2. Mensyaratkan salah seorang anggota komite audit adalah orang yang ahli
dalam bidang keuangan
3. Perusahaan harus melakukan full disclosure kepada para pemegang saham
berkaitan dengan transaksi keuangan yang bersifat kompleks,
4. Chief Executive Officer (CEO) dan Chief Financial Officer (CFO) harus
melakukan sertifikasi validitas pembuatan laporan keuangan perusahaan.
5. Kantor Akuntan Publik dilarang menerima tawaran jasa lainnya, seperti
konsultasi, ketika sedang melaksanakan audit pada perusahaan yang sama,
6. Peusahaan harus mempunyai kode etik yang terdaftar pada SEC.
7. Mutual Fund Professional harus menyampaikan suaranya kepada wakil
pemegang saham.
8. Memberikan perlindungan kepada individu yang melaporkan adanya tindakan
menyimpang kepada pihak berwenang.
9. Penasihat hukum perusahaan harus mengkap adanya penyimpangan kepada
pejabat senior dan kepada dewan komisaris.
2.2.3.3.1 Section 302 Sarbanes Oxley
Section 302 Sarbanes Oxley ini merupakan dokumen penjelasan manajemen
atas internal kontrol yang ada pada perusahaan. Pihak
manajemen yang
bertanggungjawab dalam pengungkapan ini adalah direktur utama dan direktur
keuangan perusahaan.
Dibawa ini adalah contoh pernyataan manajemen:
“Kami sudah merancang internal kontrol atas laporan keungan perusahaan kami,dan
kami sudah memantau pelaksanaan internal kontrol tersebut, dengan tujuan untuk
menyediakan jaminan kepada pihak luar atas keandalan laporan keuangan
32
perusahaan kami, dan memberikan jaminan lebih lanjut bahwa laporan keuangan
perusahaan kami sudah sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum di Amerika
Serikat”.
2.2.3.3.2 Section 404 Sarbanes Oxley
Section 404 Sarbanes Oxley ini berisi kewajiban bagi manajemen perusahaan
untuk menilai internal control yang sudah dilaksanakan atas laporan keuangannya;
a. Perusahaan harus mengevaluasi internal kontrol atas laporan keuangannya
setiap tahun. Manajemen harus menyimpulkan efektifitas dari internal kontrol
setiap akhir tahun. Pihak yang bertanggungjawab untuk mengevaluasi
internal kontrol perusahaan adalah departemen internal control/audit
b. Akuntan publik yang disewa perusahaan harus menegaskan dan melaporkan
hasil evaluasi atas internal kontrol atas laporan keuangan perusahaan.
Section 404 secara khusus memberikan perhatian kepada internal kontrol
perusahaan atas laporan keuangannya. Dalam mengevaluasi internal kontrol yang
dilaksanakan perusahaan, manajemen melalui departemen internal kontrol/audit
perlu menggunakan kerangka yang disusun oleh COSO (Committee of Sponsoring
Organization of the Tradeway Commission).
2.2.3.3.3 Section 906 Sarbanes Oxley
Sarbanes Oxley Act section 906 berisi :
a. CEO dan CFO melakukan sertifikasi bahwa, laporan periodik “fully
complies” peraturan yang dikeluarkan oleh US SEC, informasi yang
terkandung pada laporan periodik tersebut disajikan secara wajar, dalam
keseluruhan hal yang material, terhadap kondisi keuangan dan hasil operasi
perusahaan.
b. Hukuman atas penyimpangan dalam section 906 bagi individu yang secara
sadar melakukanpenyimpangan dikenakan denda sampai dengan $1 juta dan
hukuman penjara sampai dengan 10 tahun. Dan, bagi individu yang dengan
sengaja dan secara sadar melakukan penyimpangan, akan dikenakan denda
sampai dengan $5 juta dan hukuman penjara sampai dengan 20 tahun.
33
2.2.4
Prinsip Good Corporate Governance
2.2.4.1 Prinsip Good Corporate Governance Menurut KNKG
Secara umum terdapat lima prinsip dasar dari good corporate governance,
yaitu (KNKG, 2006:5-7):
1.
Transparancy (Keterbukaan informasi)
Prinsip Dasar
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses
dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif
untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan
oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas,
akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku
kepentingan sesuai dengan haknya.
b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi,
misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan
kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham oleh
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya
dalam perusahaan dan perusahaan lainnya, sistem manajemen risiko, sistem
pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GCG serta
tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi
kondisi perusahaan.
c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi
kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.
d. Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan
kepada pemangku kepentingan.
34
2.
Accountability (Akuntabilitas)
Prinsip Dasar
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan
sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan
prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masingmasing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras
dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate values), dan strategi
perusahaan.
b. Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua
karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan
perannya dalam pelaksanaan GCG.
c. Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang
efektif dalam pengelolaan perusahaan.
d. Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan
yang konsisten dengan sasaran usaha perusahaan, serta memiliki sistem
penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).
e. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap organ perusahaan
dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku
(code of conduct) yang telah disepakati.
3.
Responsibility (Pertanggungan-jawaban)
Prinsip Dasar
Perusahaan
harus
mematuhi
peraturan
perundang-undangan
serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat
35
terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan
sebagai good corporate citizen.
Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan
memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran
dasar dan peraturan perusahaan (by-laws).
b. Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain
peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar
perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
4.
Independency (Kemandirian)
Prinsip Dasar
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi
dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi
oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari
benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau
tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif.
b. Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya
sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak
saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan
yang lain.
5.
Fairness (Kesetaraan dan kewajaran)
Prinsip Dasar
Dalam
melaksanakan
kegiatannya,
perusahaan
harus
senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya
berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
36
Pedoman Pokok Pelaksanaan
a. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan
untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan
perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip
transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing.
b. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada
pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan
kepada perusahaan.
c. Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan
karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik.
2.2.4.2 Prinsip Good Corporate Governance Menurut OECD
Secara umum prinsip-prinsip corporate governance yang dikeluarkan oleh
OECD pada tahun 2004 mencakup 6 (enam) prinsip pokok sebagai berikut:
1)
Menjamin Kerangka Dasar Corporate Governance yang Efektif (Ensuring
the basis for an Effective Corporate Governance Framework)
Secara umum prinsip ini menyatakan bahwa corporate governance harus
dapat mendorong terciptanya pasar yang transparan dan efisien, sejalan dengan
perundangan dan peraturan yang berlaku, dan dapat dengan jelas memisahkan fungsi
dan tanggungjawab otoritas-otoritas yang memiliki pengaturan, pengawasan, dan
penegakan hukum.
2)
Perlindungan Terhadap Hak-Hak Para Pemegang Saham (The Rights of
Shareholders)
Prinsip ini mengatur mengenai hak-hak pemegang saham dan fungsi
kepemilikan saham. Hak-hak pemegang saham dapat meliputi adanya jaminan
kepemilikan saham yang sah, hak memperoleh informasi yang relevan, dapat
memberikan hak suara dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), memilih dan
mengganti dewan, dapat mengalihkan saham, dan memperoleh hak atas keuntungan
perusahaan.
37
3)
Perlakuan yang Sama Terhadap Pemegang Saham (The Equitable Treatment
of Shareholders)
Pasar modal harus dapat melindungi investor dari perlakuan yang merugikan
dari manajer, dewan komisaris, dewan direksi, atau pemegang saham utama
perusahaan. Semua pemegang saham baik mayoritas, minoritas, ataupun pemegang
saham asing akan diperlakukan secara sama dan memperoleh kesempatan yang sama
dalam kompensasi atas pelanggaran yang dilakukan.
4)
Peran Stakeholders dalam Tata Kelola Perusahaan (The Role of Stakeholders
in Corporate Governance)
Peran Stakeholders dalam corporate governance mencakup hak-hak
stakeholders yang didasarkan pada ketentuan hukum melalui perjanjian mutual yang
mendorong kerja sama antara perusahaan dengan stakeholders agar tercipta
kesejahteraan, lapangan kerja, dan kesinambungan pertumbuhan kondisi keuangan
perusahaan.
5)
Pengungkapan dan Transparansi (Disclosure and Transparency)
Informasi yang ada dalam perusahaan harus terbuka, tepat waktu, jelas, dan
dapat dibandingkan dari segi keuangan, pengelolaan perusahaan, serta kepemilikan
perusahaan.
6)
Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi (The Responsibility of the
Board)
Penerapan corporate governance menjamin adanya pemantauan efektif yang
dilakukan oleh dewan dan akuntabilitas dewan komisaris atas kinerja manajemen
dalam pengelolaan perusahaan maupun terhadap pemegang saham.
2.2.5
Tujuan Good Corporate Governance
Tujuan good corporate governance menurut Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG, 2006:2) terdiri dari enam macam tujuan utama.
38
Keenam tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan
yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi serta kewajaran dan kesetaraan.
2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ
perusahaan, yaitu dewan komisaris, direksi dan rapat umum pemegang
saham.
3. Mendorong pemegang saham, anggota dewan komisaris dan anggota direksi
dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai
moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan
terhadap
masyarakat
dan
kelestarian
lingkungan
terutama
disekitar
perusahaan.
5. Mengoptimalkan
nilai
perusahaan
bagi
pemegang
saham
dengan
memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.
6. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun internasional
sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus
investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan.
2.2.6
Mekanisme Good Corporate Governance
Untuk dapat mecapai Good Corporate Governance (GCG), maka diperlukan
suatu cara atau mekanisme. Mekanisme corporate governance adalah cara yang
dilakukan atau diterapkan perusahaan untuk mencapai tata kelola perusahaan yang
baik. Menurut Banhart dan Rosentein (1998) dalam Haryani (2011:4) mekanisme
corporate governance dibagi menjadi dua kelompok. Pertama yaitu internal
mechanisms (mekanisme internal), seperti komposisi dewan direksi/komisaris,
kepemilikan manajerial, dan kompensasi eksekutif. Yang kedua adalah external
mechanisms (mekanisme eksternal), seperti pengendalian oleh pasar dan level debt
financing. Kedua mekanisme corporate governance ini diharapkan dapat
memastikan tindakan pihak manajemen untuk bertindak bagi kepentingan
39
shareholders terutama pemegang saham minoritas (Che Haat et al, 2008 dalam
Haryani 2011:4).
Dalam penelitian ini elemen-elemen pengukuran mekanisme GCG adalah
sebagai berikut:
2.2.6
Proporsi Komisaris Independen
Adanya unsur independen dalam struktur organisasi perusahaan yang
biasanya beranggotakan dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan
berfungsi untuk menyeimbangkan dalam proses pengambilan keputusan khususnya
dalam rangka perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan pihak-pihak
lain yang terkait. Istilah dan keberadaan komisaris independen beru muncul setelah
terbitnya Surat Edaran Bapepam Nomor: SE03/PM/2000 dan Peraturan Pencatatan
Efek Nomor: 339/BEJ/07-2001 tanggal 21 Juli 2001. Menurut ketentuan tersebut
perusahaan publik yang tercatat di Bursa wajib memiliki beberapa anggota dewan
komisaris yang memenuhi kualifikasi sebagai komisaris independen yaitu jumlah
komisaris independen adalah sekurang-kurangnya 30% dari seluruh jumlah anggota
komisaris (misal, jumlah komisaris adalah 10 orang, maka komposisi komisaris
independen adalah 3 orang atau 30% dari seluruh jumlah komisaris tersebut),
perlunya dibentuk komite audit serta keharusan perusahaan memiliki sekretaris
perusahaan (corporate secretary) (Juniarti dan Sentosa, 2009:90).
Istilah independen pada komisaris independen bukan menunjukkan bahwa
komisaris lainnya tidak independen. Istilah komisaris independen menunjukkan
keberadaan mereka sebagai wakil dari pemegang saham independen (minoritas) dan
juga sebagai wakil dari kepentingan investor (Surya dan Yustiavandana, 2008:4).
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak berasal
dari pihak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan
pemegang saham pengendali, bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya
yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau
bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (KNKG, 2006:13). Komisaris
independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar
tercipta perusahaan dengan good governance. Dalam mengelola perusahaan menurut
kaedah-kaedah umum GCG, peran komisaris independen sangat diperlukan (Juniarti
dan Sentosa, 2009:90).
40
Adanya unsur komisaris indepanden dalam struktur organisasi perusahaan
yang biasanya beranggotakan dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan
berfungsi untuk menyeimbangkan dalam pengambilan keputusan khususnya dalam
rangka perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan pihak-pihak lain yang
terkait. Vafeas (2000) dalam Juniarti dan Sentosa (2009:90) mengatakan peranan
dewan komisaris juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas laba dengan
membatasi tingkat manajemen laba melalui fungsi monitoring atas pelaporan
keuangan.
Penelitian Beasley (1996) dalam Juniarti dan Sentosa (2009:90) menguji
hubungan antara proporsi dewan komisaris dengan kecurangan pelaporan keuangan.
Dengan
membandingkan
perusahaan
yang
melakukan
kecurangan
dengan
perusahaan yang tidak melakukan kecuarangan, dia menemukan bahwa perusahaan
yang melakukan kecurangan memiliki persentase dewan komisaris eksternal yang
secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak
melakukan kecurangan.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Boediono (2005:4) yang menyatakan
bahwa “Komposisi dewan komisaris dalam memberikan kontribusi yang efektif
terhadap hasil dari penyusunan laporan keuangan yang berkualitas atau kemungkinan
terhindar dari kecurangan laporan keuangan melalui peranan dewan komisaris dalam
melakukan pengawasan terhadap operasional perusahaan”.
2.2.6.2 Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial merupakan perwujudan dari prinsip transparansi dari
GCG (juniarti dan Sentosa, 2009:89). Dalam rangka mengelola perusahaan,
manajemen harus transparan agar tidak terjadi konflik berkepanjangan dengan para
pemegang saham sebagai pemilik. Mehran (1992) dalam Juniarti dan Sentosa
(2009:89) mengartikan kepemilikan manajerial sebagai proporsi saham biasa yang
dimiliki oleh manajemen. Manajer yang memiliki saham perusahaan tentunya akan
menyelaraskan kepentingannya dengan kepentingan sebagai pemegang saham.
Sementara manajer yang tidak memiliki saham perusahaan, ada kemungkinan hanya
mementingkan kepentingannya sendiri.
41
Kepemilikan manajerial adalah jumlah kepemilikan saham oleh pihak
manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang dikelola (Gideon, 2005
dalam Juniarti dan Sentosa, 2009:89). Indikator yang digunakan untuk mengukur
kepemilikan manajerial adalah persentase jumlah saham yang dimiliki oleh pihak
manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang beredar. Dengan keinginan
untuk meningkatkan kinerja perusahaan tersebut membuat manajemen akan berusaha
untuk mewujudkannya sehingga membuat risiko perusahaan semakin kecil dimata
kreditor dan akhirnya kreditor meminta return yang kecil (Juniarti dan Sentosa,
2009:89).
2.2.6.3 Kepemilikan Institusional
Selain kepemilikan manajerial, kepemilikan institusi merupakan perwujudan
dari prinsip GCG. Dengan kepemilikan institusi di luar perusahaan dalam jumlah
yang signifikan akan menyebabkan pihak luar perusahaan melakukan pengawasan
yang ketat terhadap pengelolaan yang dilakukan oleh manajemen. Bagi manajemen,
pengawasan oleh pihak luar mendorong mereka untuk menunjukkan kinerja yang
lebih baik, dan melakukan pengelolaan secara transparan (Juniarti dan Sentosa,
2009:89)
Kepemilikan
institusional
merupakan
persentase
kepemilikan
saham
perusahaan yang dimiliki oleh investor institusional seperti pemerintah, perusahaan
investasi, bank, perusahaan asuransi maupun kepemilikan lembaga dan perusahaan
lain. Investor institusional diyakini memiliki kemampuan untuk memonitor tindakan
manajemen lebih baik dibandingkan dengan investor individual, dimana investor
institusional tidak akan mudah diperdaya dengan tindakan manipulasi yang
dilakukan oleh manajemen (Rachmawati dan Triatmoko 2007 dalam Juniarti dan
Sentosa, 2009:89). Fidyati (2004) menjelaskan bahwa investor institusional
menghabiskan lebih banyak waktu untuk melakukan analisis investasi dan mereka
memiliki akses atas informasi yang terlalu mahal perolehannya bagi investor lain.
Cornett et al. (2006) dalam Juniarti dan Sentosa (2009:89) menemukan
adanya bukti yang menyatakan bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh
sebuah perusahaan dan pihak investor insitusional dapat membatasi perilaku
manajemen. Hal ini disebabkan karena dengan adanya tindakan pengawasan tersebut
42
dapat mendorong manajemen untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap
kinerja perusahaan, sehingga akan mengurangi perilaku opportunistic atau perilaku
mementingkan diri sendiri. Shleifer dan Vishny (1997) dalam Juniarti dan Sentosa
(2009:89) menyatakan bahwa investor institusional memiliki peranan yang penting
dalam menciptakan sistem corporate governance yang baik dalam suatu perusahaan,
dimana mereka dapat secara independen mengawasi tindakan manajemen dan
memiliki voting power untuk mengadakan perubahan pada saat manajemen sudah
dianggap tidak efektif lagi dalam mengelola perusahaan (Ashbaugh et al. 2004 dalam
Juniarti dan sentosa, 2009:89).
2.2.6.4 Kualitas Audit
Proksi lain yang dalam pengukuran GCG adalah kualitas audit. Beberapa
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa auditor menawarkan berbagai tingkat
kualitas audit untuk merespon adanya variasi permintaan klien terhadap kualitas
audit. Penelitian-penelitian sebelumnya membedakan kualitas auditor berdasarkan
perbedaan big five dan non big five dan ada juga yang menggunakan spesialisasi
industri auditor untuk memberi nilai bagi kualitas audit ini seperti penelitian.
Perusahaan-perusahaan yang telah menerapkan good governance tentu saja
akan berupaya untuk menggunakan auditor yang berkualitas. Teori reputasi
memprediksikan adanya hubungan positif antara kualitas audit dengan ukuran KAP
(Lennox 2000 dalam Juniarti dan Sentosa, 2009:90) dimana jika ukuran KAP besar
maka akan menghasilkan audit yang lebih berkualitas karena reputasinya lebih bagus
di mata masyarakat.
DeAngelo (1981) dalam Juniarti dan Sentosa (2009:90) menyatakan bahwa
kualitas audit yang dilakukan oleh akuntan publik dapat dilihat dari ukuran KAP
yang melakukan audit. KAP besar (big four) dipersepsikan akan melakukan audit
dengan lebih berkualitas dibandingkan dengan KAP kecil (non big four). Hal
tersebut karena KAP besar memiliki lebih banyak sumber daya dan lebih banyak
klien sehingga mereka tidak tergantung pada satu atau beberapa klien saja, sel in itu
karena reputasinya yang telah dianggap baik oleh masyarakat menyebabkan mereka
akan melakukan audit dengan lebih berhati-hati.
43
2.2.6.5 Family Ownership (Kepemilikan Keluarga)
Perusahaan keluarga pada umumnya merupakan perusahaan yang dimiliki
secara mayoritas oleh keluarga tertentu atau kepemilikan sahamnya terkonsentrasi
pada keluarga tertentu. Menurut Laporta (1999) dalam Ayub (2008:12), kepemilikan
keluarga diidentifikasikan sebagai kepemilikan dari individu (di atas 5%) dan
kepemilikan dari perusahaan tertutup, bukan kepemilikan dari BUMN dan BUMD,
perusahaan terbuka ataupun lembaga keuangan. Berdasarkan definisi ini, perusahaan
jenis family ownership tidak hanya terbatas pada perusahaan yang menempatkan
anggota keluarganya pada posisi CEO, komisaris atau posisi manajemen lainnya.
Perusahaan yang mempekerjakan CEO, komisaris atau manajer dari luar anggota
keluarga pemilik perusahaan tetap dikategorikan sebagai perusahaan jenis family
ownership. Menurut penelitian yang dilakukan sebelumnya, perusahaan keluarga
cenderung untuk membiayai kegiatan usahanya dari utang daripada menerbitkan
saham baru. Hal ini disebabkan karena keluarga pemilik perusahaan tidak ingin
melepaskan kendali terhadap perusahaan. Selain itu juga ditemukan bahwa besar
kecilnya proporsi family ownership juga memiliki pengaruh terhadap cost of debt
perusahaan (Anderson dan Reeb, 2003 dalam Ayub, 2008:26). Untuk mengukur
pengaruh variabel kepemilikan keluarga terhadap biaya utang, dalam penelitian ini
menggunakan presentase atau proporsi kepemilikan keluarga pada suatu perusahaan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Yupana
Wiwattanakantang (1999) dalam Ayub, (2008:11), sebagian besar perusahaan di
negara berkembang dikontrol oleh individu, keluarga dan rekan-rekannya. Fenomena
ini juga terjadi di Indonesia yang juga merupakan negara berkembang. Pada awalnya,
perusahaan keluarga merupakan perusahaan tertutup dan mendanai kegiatan
usahanya dari modal sendiri serta didukung oleh pinjaman dari pihak luar (Ayub,
2008:11). Namun, seiring dengan perkembangan ekonomi dan pasar modal, banyak
dari perusahaan yang dikategorikan family ownership ini kemudian menjadi
perusahaan terbuka. Dengan menjadi perusahaan terbuka, maka risiko dan profit dari
perusahaan menjadi terbagi dengan pihak luar. Selain itu, perusahaan juga dapat
memperoleh lebih banyak dana dalam melakukan ekspansi usahanya dengan menjadi
perusahaan terbuka.
44
2.2.6.6 Cost of Debt (Biaya Utang)
Struktur modal (capital structure) perusahaan pada umumnya terdiri dari
ekuitas dan utang. Untuk memperoleh modal tersebut, terdapat biaya-biaya yang
berkaitan dengan perolehan dan kompensasi bagi penyedia modal, baik jangka
pendek maupun jangka panjang, yang harus dipertimbangkan oleh manajemen dalam
setiap keputusan pembiayaan. Semua jenis pembiayaan akan menimbulkan biaya
ekonomi bagi perusahaan. Biaya modal ini erat hubungannya dengan tingkat
keuntungan yang diisyaratkan (required rate of retun). Dari sisi investor, tinggi
rendahnya required rate of return merupakan tingkat keuntungan
yang
mencerminkan tingkat risiko dari aktiva yang dimiliki. Sementara itu, bagi
perusahaan, besarnya required rate of return merupakan biaya modal yang harus
dikeluarkan untuk mendapatkan modal tersebut.
Utang merupakan salah satu cara memperoleh dana dari pihak eksternal yaitu
kreditor. Utang biasanya digunakan sebagai salah satu alternatif pendanaan bagi
perusahaan karena memberikan beberapa keuntungan. Beberapa keuntungan
perusahaan menggunakan utang sebagai sumber pendanaan adalah (Ross et al.,
2008:409):
a. Dengan menggunakan debt, perusahaan memperoleh tax shield yang akan
menurunkan cost of capital dan meningkatkan nilai perusahaan.
b. Manajemen terdorong untuk meningkatkan kinerjanya agar dapat membayar
bunga beserta pokoknya, sehingga secara tidak langsung dengan adanya
kontrak dengan kreditor, manajemen akan meningkatkan kinerja perusahaan.
c. Adanya komitmen dari manajemen untuk beroperasional secara efisien dalam
penggunaan dana tersebut.
d. Membuat manajemen selalu memonitor perusahaan.
Cost of debt (biaya utang) adalah tingkat pengembalian yang diharapkan
karena adanya resiko perusahaan dalam memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan
pokok utang (Ayub, 2009:19)
45
Menurut Fabozzi (2007) dalam Juniarti dan Sentosa (2009:91) Cost of debt
dapat didefinisikan sebagai tingkat yang harus diterima dari investasi untuk
mencapai tingkat pengembalian (yield rate) yang dibutuhkan oleh kreditur atau
dengan kata lain adalah tingkat pengembalian yang dibutuhkan oleh kreditur saat
melakukan pendanaan dalam suatu perusahaan. Biaya utang meliputi tingkat bunga
yang harus dibayar oleh perusahaan ketika melakukan pinjaman.
Sedangkan menurut Singgih (2008:2), cost of debt adalah tingkat bunga
sebelum pajak yang dibayar perusahaan kepada pemberi pinjamannya. Biaya utang
dihitung dari besarnya beban bunga yang dibayarkan oleh perusahaan tersebut dalam
periode satu tahun dibagi dengan jumlah pinjaman yang menghasilkan bunga
tersebut.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa cost
of debt (biaya utang) adalah tingkat pengembalian yang diharapkan oleh kreditor atas
pinjaman yang diberikan karena adanya risiko kredit (credit risk), yaitu resiko
perusahaan dalam memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang yang
diukur berdasarkan tingkat bunga atau imbal hasil yang dibayarkan kepada kreditor.
Dalam penelitian sebelumnya, biaya utang ini diproksi menggunakan yield
spread (Spread), atau selisih antara weighted-average yield to maturity on the firm’s
outstanding traded debt and yield to maturity on a Treasury security with
corresponding duration (Anderson et al., 2003:270). Alternatif lain untuk mengukur
biaya utang adalah dengan menghitung besarnya beban bunga yang dibayarkan oleh
perusahaan dalam periode satu tahun dibagi dengan jumlah pinjaman yang
menghasilkan bunga tersebut (interest bearing debt). Hal ini mengingat bahwa
perusahaan biasanya memiliki utang tidak hanya kepada satu kreditor saja,
melainkan kepada beberapa pihak, dimana besarnya rate atau tingkat bunga yang
ditetapkan oleh masing-masing pihak tersebut berbeda-beda (Ayub, 2008:19).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya cost of debt yang
dibebankan oleh pihak kreditur kepada perusahaan, diantaranya, yaitu tingkat suku
bunga Bank Indonesia, risiko yang ditanggung oleh pihak kreditor atas pinjaman
yang diberikannya, reputasi dan hubungan baik dari pihak kreditor dan pihak
pinjaman dan penilaian pihak kreditor atas kinerja dari perusahaan (Ayub, 2008:19).
46
2.3
Penelitian Terdahulu
Adapun hasil-hasil sebelumnya dari penelitian terdahulu mengenai topik yang
berkaitan dengan penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 2.1 di bagian lampiran.
2.3.1
Ronald C. Anderson, Sattar A. Mansi dan David M. Reeb (2002),
Founding Family Ownership and Agency Cost of Debt
Ronald C. Anderson, Sattar A. Mansi dan David M. Reeb (2002) melakukan
penelitian dengan judul “Founding Family Ownership and Agency Cost of Debt”.
Penelitian tersebut bertujuan untuk melihat pengaruh struktur kepemilikan
keluarga pendiri terhadap biaya keagenan utang. Hasil penelitian Anderson
dengan dengan menggunakan sampel 252 perusahaan dari database Lehman
Brothers Bond dan S&P 500 periode 1993-1998, menemukan perusahaan
keluarga cenderung untuk membiayai kegiatan usahanya dari utang daripada
menerbitkan saham baru. Hal ini disebabkan karena keluarga pemilik perusahaan
tidak ingin melepaskan kendali terhadap perusahaan. Selain itu juga ditemukan
bahwa besar kecilnya proporsi family ownership juga memiliki pengaruh
signifikan terhadap biaya utang perusahaan. Metode penelitian yang digunakan
oleh Anderson et, al. adalah statistik deskriptif, analisis univariat, dan uji
multivariat. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
variabel dependen: biaya utang; variabel independen: kepemilikan keluarga.
2.3.2
Gordon S. Roberts dan Lianzeng (Edward) Yuan (2006), Does
Institutional Ownership Affect the Cost of Bank Borrowing?
Gordon S. Roberts dan Lianzeng (Edward) Yuan (2006) melakukan
penelitian dengan judul “Does Institutional Ownership Affect the Cost of Bank
Borrowing?.” Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak dari kepemilikan
saham institusional, suatu komponen yang sangat penting dari tata kelola perusahaan,
pada biaya pinjaman perusahaan. Hasil penelitian Robert dan Yuan dengan sampel
perusahaan yang listed di NYSE, NASDAQ, dan AMEX yang termasuk dalam the
SDC Syndicated Loan Database periode 1995-2004, menemukan bahwa kepemilikan
institusional mengurangi biaya utang perusahaan. Hal ini dikarenakan adanya
monitoring yang efektif oleh pihak institusional dapat mendorong manajemen untuk
meningkatkan kinerja perusahaan. Meningkatnya kinerja perusahaan membuat resiko
perusahaan menjadi lebih kecil sehingga return yang diinginkan oleh kreditor pun
menjadi lebih rendah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
47
analisis regresi, analisis univariat, analisis bivariat, analisis multivariat dan analisis
Ordinary Least Square. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi variabel dependen: cost of loans; variabel independen: kepemilikan
institusional.
2.3.3
Yu Mei Chen dan Jiu Young Jian (2007), The Impact of Information
Disclosure and Transparency Rankings Systems (IDTRs) and Corporate
Governance Structure on Interest Cost of Debt
Yu Mei Chen dan Jiu Young Jian (2007) melakukan penelitian dengan judul
“The Impact of Information Disclosure and Transparency Rankings Systems (IDTRs)
and Corporate Governance Structure on Interest Cost of Debt.” Penelitian ini
bertujuan untuk menyelidiki (1) apakah transparansi dalam keterbukaan informasi
akan menciptakan dampak pada biaya bunga utang (interest cost of debt), dan (2)
apakah struktur tata kelola perusahaan akan mempengaruhi transparansi dalam
pengungkapan informasi. Hasil penelitian Chen dan Jian dengan sampel Taiwan
Economic Journal Data Bank (TEJ) periode 2003-2004, berdasarkan metode Least
Square yang peneliti gunakan untuk menganalisa dampak dari transparansi dalam
pengungkapan informasi terhadap biaya bunga, menemukan bahwa perusahaan yang
mengungkapkan informasi yang lebih transparan akan mendapat manfaat dari biaya
bunga yang jauh lebih rendah daripada yang mengungkapkan informasi kurang
transparan. Peneliti kemudian menggunakan Probit Model untuk mengukur dampak
dari struktur corporate governance pada transparansi dalam pengungkapan
informasi, dan memperoleh suatu konfirmasi bahwa peningkatan kepemilikan saham
oleh insider (manajemen, direktur, dan supervisor) dan institusional investor akan
secara signifikan mengurangi biaya utang. Chen dan Jian juga menekankan bahwa
perusahaan dengan mekanisme corporate governance yang baik akan memperoleh
biaya utang yang lebih rendah. Struktur corporate governance yang sehat merupakan
salah satu indikator penting yang sangat dipertimbangkan oleh kreditor ketika
menentukan risk premium perusahaan. Metode penelitian yang digunakan oleh Chen
dan Jian adalah analisis statistik univariat, analisis statistik multivariat, analisis
sensitivitas, analisis dengan Logit Model. Variabel-variabel yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi variabel dependen: cost of debt; variabel independen:
Information Disclosure and Transparency Ranking System (IDTRs).
48
2.3.4
Maydeliana Ayub (2008), Pengaruh Family Ownership terhadap Cost of
Debt
Maydeliana Ayub (2008) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh
Family Ownership terhadap Cost of Debt.” Penelitian ini bertujuan untuk melihat
pengaruh family ownership dan CEO ataupun chairman yang merupakan pendiri dari
perusahaan terhadap besarnya cost of debt yang ditanggung oleh perusahaan. Hasil
penelitian Ayub dengan sampel perusahaan family ownership yang terdaftar di BEI
pada tahun 2007 mengindikasikan bahwa kreditur tidak memperhatikan proporsi
family ownership dalam membebankan cost of debt kepada perusahaan. Besar
kecilnya proporsi kepemilikan keluarga tidak menggambarkan risiko perusahaan
sehingga tidak mempengaruhi keputusan kreditur dalam menentukan besarnya biaya
utang. Metode pengujian statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif dan uji
asumsi
klasik
yang
meliputi
pengujian
normalitas,
multikolinearitas,
heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Selain itu, dilakukan pula uji signifikansi
model (F-test), uji koefisien determinasi (adjusted R2), dan uji signifikansi parsial (ttest). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel
dependen: biaya utang; variabel independen: proporsi dari family ownership dan
CEO atau chairman yang merupakan pendiri dari perusahaan; variabel kontrol:
ukuran perusahaan, leverage, kinerja, dan resiko.
2.3.5
Juniarti dan Agnes Andriyani Sentosa (2009), Pengaruh Good Corporate
Governance, Voluntary Disclosure terhadap Biaya Utang (Costs of Debt)
Juniarti dan Agnes Andriyani Sentosa (2009) melakukan penelitian dengan
judul “Pengaruh Good Corporate Governance, Voluntary Disclosure terhadap Biaya
Utang (Costs of Debt).” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah good
corporate governance dan voluntary disclosure berpengaruh signifikan terhadap cost
of debt. Good Corporate Governance diproksikan dengan proporsi komisaris
independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional,dan kualitas audit.
Hasil penelitian Juniarti dan Sentosa dengan sampel perusahaan manufaktur yang
terdaftar di BEI tahun periode 2003-2007 menemukan bahwa 1) Good corporate
governance yang diukur dengan proksi: a) Proporsi komisaris independen tidak
berpengaruh signifikan terhadap cost of debt, b) Kepemilikan manajerial tidak
berpengaruh signifikan terhadap cost of debt, c) Kepemilikan institusional
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap cost of debt, d) Kualitas audit
49
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap cost of debt, 2) Debt equity ratio tidak
berpengaruh signifikan terhadap cost of debt, 3) Ukuran perusahaan (size) tidak
berpengaruh signifikan terhadap cost of debt 4) Proporsi komisaris independen,
kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kualitas audit, debt equity ratio,
dan ukuran perusahaan (size) secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap
cost of debt. Metode pengujian statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif
dan uji asumsi klasik yang meliputi pengujian normalitas, multikolinearitas,
heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Selain itu, dilakukan pula uji signifikansi
model (F-test), uji koefisien determinasi (adjusted R2), dan uji signifikansi parsial (ttest). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel
dependen: biaya utang; variabel independen: kepemilikan manajerial, kepemilikan
institusional, proporsi komisaris independen, kualitas audit, dan voluntary disclosure;
variabel kontrol: debt equity ratio, dan ukuran perusahaan (firm size).
2.3.6
Narjess Boubakri dan Hatem Ghouma (2010), Creditor Rights Protection,
Ultimate Ownership and the Debt Financing Cost and Ratings:
International Evidence
Narjess Boubakri dan Hatem Ghouma (2010) melakukan penelitian dengan
judul “Creditor Rights Protection, Ultimate Ownership and the Debt Financing Cost
and Ratings: International Evidance.” Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki
dampak gabungan dari struktur ultimate ownership dan
kualitas perlindungan
kreditur terhadap biaya dan peringkat obligasi perusahaan dalam satu set besar dari
negara-negara berkembang. Hasil penelitian Boubakri dan Ghouma dengan sampel
penelitian dari The Fixed Investment Securities Database periode 1994-2002
memberikan bukti bahwa kendali keluarga memiliki pengaruh signifikan positif
terhadap biaya utang dan berdampak negatif dan signifikan terhadap peringkat
obligasi. Peneliti juga menemukan bahwa perlindungan yang lebih baik terhadap
pemegang obligasi (bondholders) pada umumnya mengurangi biaya obligasi dan
mengingkatkan peringkat obligasi perusahaan. Lebih penting lagi, peneliti
menemukan bahwa, baik pemegang obligasi maupun lembaga pemeringkat,
penegakkan hukum utang lebih penting daripada keberadaan hukum pada kitab
undang-undang. Memang, hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks hak kreditur
tidak memiliki dampak yang signifikan pada biaya dan peringkat obligasi, namun
sebagian besar langkah-langkah penegakkan utang (keberadaan pendaftaran kredit
50
publik, perkiraan biaya proses kepailitan, efisiensi proses kebangkrutan, dan jumlah
hari pelaksanaan kontrak) secara statistik dan ekonomi berpengaruh signifikan.
Metode penelitian yang digunakan oleh Boubakri dan Ghouma adalah analisis
Ordinary Least Square regression, Ordered Probit Regression, dan statistik
deskriptif. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel
dependen: biaya dan peringkat utang; variabel independen: struktur ultimate
ownership, dan perlindungan hak kreditur.
2.3.7
Akinobu Shuto dan Norio Kitagawa (2010), The Effect of Managerial
Ownership on the Cost of Debt: Evidence from Japan
Akinobu Shuto dan Norio Kitagawa (2010) melakukan penelitian dengan
judul “The Effect of Managerial Ownership on the Cost of Debt: Evidence from
Japan.” Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh kepemilikan manajerial
terhadap biaya utang. khususnya, penelitian ini menyelidiki hubungan antara
kepemilikan manajerial dan biaya utang yang diukur dengan tingkat bunga tersebar
pada obligasi perusahaan bagi perusahaan-perusahaan Jepang. Hasil penelitian Shuto
dan Kitagawa dengan sampel penelitian dari Bond Database Information System Ltd
di Jepang secara keseluruhan, hasil penelitian Shuto dan Kitagawa menunjukkan
bahwa kepemilikan manajerial merupakan faktor penentu penting dari yield obligasi
yang diperdagangkan di pasar obligasi Jepang. Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa calon investor obligasi berfokus pada agency cost of debt saat ini pada saat
penerbitan obligasi untuk menentukan suku bunga kontrak obligasi. Calon investor
obligasi menggunakan informasi kepemilikan manajerial untuk mengantisipasi biaya
agensi utang masa depan, dan mengestimasikannya semakin besar ketika biaya
agensi utang saat penerbitan utang sudah lebih besar. Metode penelitian yang
digunakan oleh Shuto dan Kitagawa adalah statistik deskriptif, pearson correlations,
spearman rank-order correlation, t-statistics, dan analisis regresi. ). Variabelvariabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel dependen: cost of
debt; variabel independen: kepemilikan manajerial.
51
2.3.8
Yulisa Rebecca dan Sylvia Veronica Siregar (2011), Pengaruh Corporate
Governance
Index,
Kepemilikan
Keluarga,
dan
Kepemilikan
Institusional terhadap Biaya Ekuitas dan Biaya Utang
Yulisa Rebecca dan Sylvia Veronica Siregar (2011) dengan penelitiannya
yang berjudul “Pengaruh Corporate Governance Index, Kepemilikan Keluarga, dan
Kepemilikan Institusional terhadap Biaya Ekuitas dan Biaya Utang: Studi Empiris
pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Periode 2007-2010.” Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari corporate governance terhadap biaya
ekuitas dan biaya utang perusahaan. Hasil penelitian Rebecca dan Siregar dengan
sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2007-2010 dalam
penelitiannya menyatakan bahwa kepemilikan institusional terbukti berpengaruh
signifikan negatif terhadap biaya utang. Dalam hal ini, pihak institusional yang
umumnya juga berperan sebagai fidusiari, dianggap memiliki persepsi yang sama
dengan pihak kreditor dan memiliki insentif yang lebih besar untuk melakukan
monitoring terhadap tindakan manajemen sehingga dapat mengurangi risiko
perusahaan dan risiko yang akan ditanggung oleh kreditor. Hasil penelitian Rebecca
dan Siregar juga menunjukkan bahwa kepemilikan keluarga tidak berpengaruh
signifikan terhadap biaya utang. Hal ini mungkin disebabkan karena agency problem
antara manajer dan pemegang saham dapat berkurang pada perusahaan dengan
kepemilikan keluarga. Agency problem antara pemegang saham mayoritas dan
pemegang saham
minoritas yang umumnya terjadi dalam perusahaan dengan
kepemilikan keluarga memberikan risiko yang lebih besar kepada investor
dibandingkan kreditur sehingga cenderung mempengaruhi keputusan pemegang
saham atau calon investor dan tidak terlalu mempengaruhi keputusan kreditor.
Metode pengujian statistik yang digunakan adalah uji asumsi klasik yang meliputi
pengujian normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Selain
itu, dilakukan pula uji signifikansi model (F-test), uji koefisien determinasi (adjusted
R2), dan uji signifikansi parsial (t-test). Variabel-variabel yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi variabel dependen: biaya utang dan biaya ekuitas; variabel
independen: corporate governance index, kepemilikan keluarga dan institusional;
variabel kontrol: leverage, market to book ratio, interest coverage ratio, kinerja dan
ukuran perusahaan.
52
2.3.9
Nancy Yunita (2012), Pengaruh Corporate Governance terhadap
Voluntary Disclosure dan Biaya Hutang
Nancy Yunita (2012) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh
Corporate Governance terhadap Voluntary Disclosure dan Biaya Hutang.” Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh langsung corporate governance
terhadap biaya utang dan pengaruh tidak langsung corporate governance terhadap
biaya utang dengan voluntary disclosure sebagai variabel pemoderasi. Hasil
penelitian Yunita dengan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI
periode
2008-2010
menemukan
bahwa
proporsi
kepemilikan
institusional
berpengaruh positif signifikan terhadap cost of debt. Proporsi komisaris independen
tidak berpengaruh signifikan terhadap cost of debt. Terakhir, kualitas audit
berpengaruh signifikan negatif terhadap cost of debt. Metode pengujian statistik yang
digunakan adalah uji asumsi klasik yang meliputi pengujian normalitas,
multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Selain itu, dilakukan pula uji
signifikansi model (F-test), uji koefisien determinasi (adjusted R2), dan uji
signifikansi parsial (t-test). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi variabel dependen: biaya utang; variabel independen: kepemilikan
manajerial, kepemilikan institusional, proporsi komisaris independen, kualitas audit,
dan voluntary disclosure.
2.3.10 Abdurahman Syarif Agustiawan (2012), Analisis Pengaruh Corporate
Governance terhadap Cost of Debt
Abdurahman Syarif Agustiawan (2012) melakukan penelitian dengan judul
“Analisis Pengaruh Corporate Governance terhadap Cost of Debt: Studi Empiris
pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia Periode 2006-2010.”
Penelitian ini bertujuan untuk menguji bagaimana pengaruh corporate governance
terhadap cost of debt pada perusahaan manufaktur di BEI periode 2006-2010.
Corporate Governance pada penelitian ini difokuskan pada beberapa karakteristik
yaitu Proporsi Komisaris Independen, Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan
Institusional dan Kualitas Audit. Hasil penelitian Agustiawan dengan sampel
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2006-2010 menemukan bahwa
proporsi komisaris independen, kepemilikan institusional memiliki pengaruh
signifikan negatif terhadap cost of debt. Kepemilikan manajerial berpengaruh
signifikan positif terhadap cost of debt. Kualitas audit tidak memiliki pengaruh
53
signifikan terhadap cost of debt. Metode pengujian statistik yang digunakan adalah
uji
asumsi
klasik
yang
meliputi
pengujian
normalitas,
multikolinearitas,
heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Selain itu, dilakukan pula uji signifikansi
model (F-test), uji koefisien determinasi (adjusted R2), dan uji signifikansi parsial (ttest). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel
dependen: biaya utang; variabel independen: kepemilikan manajerial, kepemilikan
institusional, proporsi komisaris independen, dan kualitas audit; variabel kontrol:
debt equity ratio, dan ukuran perusahaan.
2.4
Pengembangan Hipotesis
2.4.1
Kerangka Hipotesis
Kerangka hipotesis dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Variabel Independen
Proporsi Komisaris
Independen (X1)
Kepemilikan Manajerial
(X2)
RX1Y
Kepemilikan Institusional
(X3)
RX2Y
RX4Y
RX3Y
Kualitas Audit (X4)
RX1X2X3X4X5C1C2Y
Kepemilikan Keluarga
(X5)
RX5Y
RC1Y
Variabel Kontrol
RC2Y
Debt to Equity Ratio (C1)
Ukuran Perusahaan (C2)
Gambar 2.1 Kerangka Hipotesis
Variabel Dependen
Cost of Debt (Y)
54
2.4.2
Perumusan Hipotesis
2.4.2.1 Proporsi Komisaris Independen dengan Biaya Utang
Menurut Chtourou et al. (2001:90) dewan komisaris yang independen secara
umum mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajemen, sehingga
mempengaruhi kemungkinan kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang
dilakukan manajemen.
Dengan adanya dewan komisaris independen dalam struktur organisasi,
perusahaan dapat menyediakan laporan keuangan yang lebih memiliki integritas
sehingga kreditor pun dapat melihat kinerja perusahaan tersebut dan yang akhirnya
mempengaruhi biaya utang atau tingkat return yang ditetapkan oleh kreditor.
Penelitian Anderson et al., (2003:27) menunjukkan bahwa proporsi komisaris
independen berpengaruh negatif terhadap biaya utang (cost of debt). Berdasarkan
uraian di atas, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H10 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara proporsi komisaris
independen terhadap biaya utang.
H1a : Terdapat pengaruh signifikan negatif antara proporsi komisaris independen
terhadap biaya utang.
2.4.2.2 Kepemilikan Manajerial dengan Biaya Utang
Dengan adanya kepemilikan manajerial dalam suatu perusahaan maka
manajer akan lebih berhati-hati dalam pengambilan keputusan terkait dengan
kebijakan utang. Untuk itu manajer menekan jumlah utang untuk memperkecil risiko
yang mungkin akan terjadi yang juga akan berdampak pada keputusan kreditor dalam
menentukan tingkat return yang ditetapkan. Semakin kecil risiko yang dimiliki
perusahaan maka kreditor memiliki tingkat keyakinan yang semakin tinggi yang
mana hal tersebut mempengaruhi tingkat return yang akan ditetapkan. Dengan
keinginan untuk meningkatkan kinerja perusahaan tersebut membuat manajemen
akan berusaha untuk mewujudkannya sehingga membuat risiko perusahaan semakin
kecil di mata kreditor dan akhirnya kreditor hanya meminta return yang kecil
(Juniarti dan Sentosa, 2009:89).
55
Hasil penelitian Anderson et al. (2003:17), dengan sampel perusahaan
kepemilikan keluarga dari database Lehman Brother Index periode 1993-1998,
menunjukkan bahwa debtholder meminta risk premium yang lebih rendah pada
perusahaan yang memiliki kepemilikan manajerial yang besar. Artinya, semakin
besar kepemilikan manajemen maka biaya utangnya akan semakin rendah.
Semakin besar kepemilikan manajer, maka semakin kecil biaya utang
perusahaan karena manajer akan merasakan dampak dari risiko perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut:
H20 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara kepemilikan manajerial
terhadap biaya utang.
H2a : Terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara kepemilikan manajerial
terhadap biaya utang.
2.4.2.3 Kepemilikan Institusional dengan Biaya Utang
Hasil penelitian Juniarti dan Sentosa (2009:97) menunjukkan kepemilikan
institusional memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap biaya utang (cost of
debt). Hal ini menunjukkan bahwa adanya kepemilikan institusional memberikan
pengaruh yang berarti sebagai tindakan monitoring yang dilakukan kepada pihak
manajemen. Semakin besar tingkat kepemilikan saham oleh institusi maka semakin
efektif pula mekanisme kontrol terhadap kinerja manajemen. Sehingga kreditor
memandang risiko perusahaan rendah dan tentu saja hal ini berdampak pada cost of
debt yang ditanggung perusahaan sebagai return yang diminta oleh kreditor.
Penelitian yang dilakukan Roberts dan Yuan (2006:28) menemukan bukti
yang kuat bahwa kepemilikan institusional dapat mengurangi biaya pinjaman secara
signifikan. Penelitian ini mengindikasikan bahwa kepemilikan institusional dapat
mengurangi biaya pinjaman bank karena dengan kepemilikan institusi yang besar
membuat pihak diluar perusahaan melakukan pengawasan/monitoring yang lebih
ketat terhadap pihak manajemen sehingga manajemen didorong untuk meningkatkan
kinerja perusahaan. Meningkatnya kinerja perusahaan membuat risiko perusahaan
juga kecil sehingga kreditur meminta return yang lebih rendah. Dengan demikian,
56
kepemilikan institusional dapat mengurangi biaya utang yang diterima oleh
perusahaan.
Elyasiani, et al. (2006:33-34) menyatakan bahwa kepemilikan institusional
memiliki peran penting terhadap biaya utang. Hal ini dikarenakan investor
institusional berada pada posisi yang lebih baik untuk mempelajari kondisi
perusahaan dan mendapat manfaat yang lebih besar. Perhatian yang diberikan oleh
investor institusional dapat menciptakan reputasi perusahaan yang lebih baik di pasar
modal sehingga memungkinkan untuk memperoleh biaya utang yang lebih rendah.
Rebecca dan Siregar (2011:24) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
kepemilikan institusional terbukti berpengaruh signifikan negatif terhadap biaya
utang. Dalam hal ini, pihak institusional yang umumnya juga berperan sebagai
fidusiari, dianggap memiliki persepsi yang sama dengan pihak kreditor dan memiliki
insentif yang lebih besar untuk melakukan monitoring terhadap tindakan manajemen
sehingga dapat mengurangi risiko perusahaan dan risiko yang akan ditanggung oleh
kreditor.
Selain itu penelitian Agustiawan (2012:69) menyatakan bahwa kepemilikan
institusional dapat mengurangi cost of debt. Hal ini menunjukkan bahwa adanya
kepemilikan institusional memberikan pengaruh yang berarti sebagai tindakan
monitoring yang dilakukan kepada pihak manajemen. Semakin besar tingkat
kepemilikan saham oleh investor institusi, maka semakin efektif pula mekanisme
kontrol terhadap kinerja perusahaan. Sehingga kreditur memandang resiko
perusahaan rendah dan tentu saja hal ini berdampak pada berkurangnya cost of debt
yang ditanggung perusahaan sebagai return yang diminta oleh kreditur.
Berbeda dengan penelitian Roberts dan Yuan (2006); Elyasiani, et al. (2006);
Juniati dan Sentosa (2009); serta Rebecca dan Siregar (2011), hasil penelitian Yunita
(2012:94) menunjukkan kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap biaya
utang. Semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin tinggi pula kebijakan
utang perusahaan. Hal tersebut disebabkan pemegang saham institusional sebagai
pemegang saham terbesar menginginkan membiayai perusahaan dengan biaya utang
karena tidak mengurangi hak mereka gagal (Yunita, 2012:94). Berdasarkan uraian di
atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut:
57
H30 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara kepemilikan
institusional terhadap biaya utang.
H3a : Terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara kepemilikan institusional
terhadap biaya utang.
2.4.2.4 Kualitas Audit dengan Biaya Utang
Corporate governance yang efektif memerlukan kualitas auditor yang andal.
Sanders dan Allen (1993:92) menyatakan bahwa laporan keuangan yang diaudit oleh
KAP big four secara statistik berpengaruh positif terhadap peringkat utang suatu
perusahaan dimana akan membuat biaya utang menjadi lebih rendah. Hal tersebut
karena KAP yang sudah memiliki nama di mata publik (KAP big four) akan lebih
dipercayai kualitasnya dibandingkan dengan KAP yang kecil (KAP non big four).
KAP besar (KAP big four) dianggap melakukan audit dengan lebih baik dari pada
KAP kecil (KAP non big four) karena sumber daya yang dimiliki juga berkualitas.
KAP big four diantaranya Pricewater House Coopers, Deloitte Touche Tohmatsu,
Ernst & Young dan KPMG (Wikipedia, 2013).
Laporan keuangan perusahaan yang diaudit oleh KAP big four dapat lebih
dipercaya oleh kreditor sehingga kreditor memiliki keyakinan terhadap perusahaan
yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat biaya utang. Penelitian Juniarti dan
Sentosa, (2009:98) serta Yunita (2012:95) membuktikan bahwa kualitas audit
berpengaruh signifikan terhadap biaya utang (cost of debt). Berdasarkan uraian di
atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut:
H40 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara kualitas audit terhadap
biaya utang.
H4a : Terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara kualitas audit terhadap biaya
utang.
2.4.2.5 Family Ownership dengan Biaya Utang
Perusahaan keluarga pada umumnya merupakan perusahaan yang dimiliki
secara mayoritas oleh keluarga tertentu atau kepemilikan sahamnya terkonsentrasi
pada keluarga tertentu (Ayub, 2008:25). Dalam perusahaan yang go public terdapat
pemisahan fungsi antara kepemilikan dan manajerial. Hal ini menimbulkan adanya
58
konflik dan biaya diantara shareholders, manajer dan kreditor. Perusahaan yang
memiliki pemegang saham yang terkonsentrasi akan memiliki agency cost yang lebih
tinggi. Biaya ini bermacam-macam bentuknya, diantaranya dalam bentuk
berkurangnya return bagi pemegang saham minoritas, penghindaran resiko yang
terlalu berlebihan dan biaya utang yang tinggi (Demsetz dan Lehn, 1985 dalam
Ayub, 2009:14).
Perusahaan dengan unsur kepemilikan keluarga merupakan perusahaan yang
memiliki pemegang saham yang terkonsentrasi. Namun demikian, perusahaan
dengan unsur family ownership yang masih dikelola oleh keluarga pendiri
perusahaan tersebut dimana pendiri perusahaan bertindak sebagai CEO atau
chairman dapat mengurangi konflik yang terjadi antara shareholders, manajer dan
kreditor (Ayub, 2009:15).
Jensen dan Meckling (1976:4) menyatakan bahwa agency problem antara
pemegang saham (principal) dengan manajer (agent), yang disebut juga dengan
Agency Problem tipe I, dapat diatasi pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga.
Namun demikian, terjadi agency problem lain pada perusahaan ini, yaitu
permasalahan antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas
yang dikenal dengan Agency Problem tipe II. Keluarga sebagai pemegang saham
mayoritas dapat menggunakan tingkat pengendalian yang dimiliki untuk memperoleh
keuntungan pribadi pada beban yang ditanggung oleh pemegang saham minoritas.
Menurut penelitian yang dilakukan sebelumnya, perusahaan keluarga
cenderung untuk membiayai kegiatan usahanya dari utang daripada menerbitkan
saham baru. Hal ini disebabkan karena keluarga pemilik perusahaan tidak ingin
melepaskan kendali terhadap perusahaan. Selain itu juga ditemukan bahwa besar
kecilnya proporsi family ownership juga memiliki pengaruh terhadap biaya utang
perusahaan (Anderson et al., 2002:271).
Boubakri dan Ghouma (2010:19) menyatakan bahwa ketika kepemilikan
keluarga adalah pemegang saham mayoritas perusahaan, mereka cenderung
menggunakan kontrol yang dimiliki untuk merugikan pihak kreditur (debtholders).
Perusahaan dengan kepemilikan keluarga juga cenderung untuk menggunakan utang
dalam membiayai perusahaan daripada menerbitkan saham baru karena mereka ingin
melindungi kontrol yang dimiliki terhadap perusahaan. Hal ini akan mengakibatkan
59
tingkat utang perusahaan menjadi lebih tinggi dan resiko yang ditanggung oleh
perusahaan pun menjadi lebih tinggi sehingga pihak kreditor mengantisipasi risiko
dengan cost of debt yang lebih tinggi.
Oleh sebab itu, perusahaan dengan kepemilikan keluarga sebagai pemegang
saham mayoritas dapat memanfaatkan kontrol yang dimilikinya untuk meningkatkan
keuntungan pribadi yang sebenarnya merugikan kreditur. Sebagai contoh, pemegang
saham mayoritas memiliki insentif untuk melakukan transfer kekayaan melalui
aktivitas pendanaan, seperti pembayaran dividen yang melebihi batas tertentu yang
telah ditetapkan oleh pihak kreditur (excessive dividend payment). Dengan demikian
kepemilikan keluarga diduga berpengaruh positif terhadap biaya utang perusahaan
karena adanya insentif-insentif tersebut akan meningkatkan risiko yang ditanggung
oleh kreditur sehingga biaya utang perusahaan pun menjadi lebih tinggi.
Boubakri dan Ghouma (2010:19) memberikan bukti bahwa kepemilikan
keluarga memiliki pengaruh signifikan positif terhadap biaya utang yang diukur
dengan bond yield-spreads. Pada umumnya, perusahaan dengan kepemilikan saham
yang terkonsentrasi dapat ditemukan pada perusahaan milik keluarga, yaitu
perusahaan yang dimiliki secara mayoritas oleh keluarga tertentu.
Berbeda dengan penelitian Boubakri dan Ghouma (2010), hasil penelitian
Rebecca dan Siregar (2011:24) dan Ayub (2008:52) menunjukkan bahwa
kepemilikan keluarga tidak berpengaruh signifikan terhadap biaya utang. Hal ini
mungkin disebabkan karena agency problem antara manajer dan pemegang saham
dapat berkurang pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga. Agency problem
antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas yang umumnya
terjadi dalam perusahaan dengan kepemilikan keluarga memberikan risiko yang lebih
besar kepada investor dibandingkan kreditur sehingga cenderung mempengaruhi
keputusan pemegang saham atau calon investor dan tidak terlalu mempengaruhi
keputusan kreditor.
Disamping itu, penelitian Ayub (2009:52) mengindikasikan bahwa kreditur
tidak memperhatikan proporsi family ownership dalam membebankan cost of debt
kepada
perusahaan.
Besar
kecilnya
proporsi
kepemilikan
keluarga
tidak
menggambarkan risiko perusahaan sehingga tidak mempengaruhi keputusan kreditur
60
dalam menentukan besarnya biaya utang. Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan
hipotesis sebagai berikut:
H50 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan positif antara kepemilikan keluarga
terhadap biaya utang.
H5a : Terdapat pengaruh yang signifikan positif antara kepemilikan keluarga
terhadap biaya utang.
Download