BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Agency Theory Agency theory pada awalnya berkaitan dengan masalah kepemilikan melalui pembelian saham (Jensen dan Meckling, 1976:2). Agency theory muncul setelah fenomena terpisahnya kepemilikan perusahaan dengan pengelolaan perusahaan yang terdapat di perusahaan- perusahaan besar yang modern sehingga teori perusahaan yang klasik tidak bisa lagi dijadikan basis analisis perusahaan seperti itu. Agency theory dalam manajemen keuangan membahas adanya agency relationship (hubungan keagenan). Jensen dan Meckling, (1976:5) menyatakan hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan pemegang saham (principal) yang muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut. Hubungan keagenan ini dapat dijelaskan dengan agency theory yang memberikan wawasan analisis untuk mengkaji dampak dari hubungan agent dengan principal atau hubungan principal dengan principal. Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, suatu perusahaan diwakili oleh manajer (agent) yang ditunjuk oleh para pemegang saham (principal). Menurut teori agensi, agent harus bertindak secara rasional untuk kepentingan principal. Agent harus menggunakan keahlian, kebijaksanaan, itikad baik, serta tingkah laku yang wajar dan adil dalam memimpin perusahaan. Dalam prakteknya timbul masalah (agency problem) karena ada kesenjangan kepentingan antara pemegang saham sebagai principal dengan manajer sebagai agent. Principal memiliki kepentingan agar dana yang diinvestasikan memberikan return yang setinggi-tingginya, sedangkan agent memiliki kepentingan terhadap perolehan incentive atas pengelolaan dana pemilik. Konflik kepentingan (conflict of interest) ini menimbulkan biaya (cost) yang muncul dari ketidaksempurnaan penyusunan kontrak antara agent dan principals karena adanya asimetri informasi (Surya dan Yustivandana, 2006:2-3). 17 18 Principal akan memberikan kewenangan pada agent untuk mengurus jalannya perusahaan seperti mengelola dana dan mengambil keputusan perusahaan lainnya untuk dan atas nama pemilik. Dengan kewenangan yang dimiliki ini maka akan memungkinkan agent untuk bertindak bukan untuk kepentingan pemilik karena adanya perbedaan kepentingan (conflict of interest). Dengan informasi yang dimiliki, agent dapat mengambil tindakan untuk kepentingan dirinya sendiri, dan mengorbankan kepentingan atau bahkan merugikan principal. Hal ini mungkin terjadi karena manajer mempunyai informasi mengenai perusahaan secara lebih baik yang tidak dimiliki oleh pemilik perusahaan (asymmetric information) dan menimbulkan agency conflict. Konflik kepentingan ini terjadi karena kemungkinan agent tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan principal, sehingga memicu agency cost (Jensen dan Meckling, 1976:5). Konflik kepentingan tersebut secara ilmiah akan terjadi dalam sturktur kepemilikan perusahaan (ownership structure) yang terdiri dari dua tipe, yaitu struktur kepemilikan yang tersebar (dispersed ownership) kepada para pemegang saham publik dan sturktur kepemilikan yang terkonsentrasi (concentrated ownership) dengan pengendalian pada segelintir pemegang saham saja. Ketika struktur kepemilikan perusahaan tersebar kepada investor luar (outside investors) seperti yang terjadi di pasar modal, maka konflik kepentingan yang muncul adalah benturan kepentingan antara para outside investor dengan pihak direksi yang juga memiliki saham parusahaan bersangkutan (Jensen dan Meckling, 1976:12). Sebagai contoh di Amerika Serikat, pihak manajemen Enron dituduh melakukan insider trading atas stock option yang dimilikinya. Hal ini berbeda dengan kondisi pada negara-negara berkembang seperti di Asia. Konflik yang terjadi justru antara principal dengan principal, yaitu pemegang saham pengendali dengan pemegang saham publik yang hanya memiliki kedudukan minoritas. Perusahaanperusahaan di Asia, termasuk Indonesia secara historis dan sosiologis merupakan perusahaan-perusahaan yang dimiliki atau dikontrol oleh keluarga. Meskipun perusahaan-perusahaan tersebut telah tumbuh dan menjadi perusahaan publik, namun kendali (control) yang berada pada keluarga masih begitu signifikan (Surya dan Yustivandana, 2006:3). 19 Dari dua perbedaan struktur kepemilikan perusahaan tersebut, penerapan corporate governance mejadi sangat penting bagi perusahaan yang salah satu tujuannya adalah untuk menekan potensi konflik kepentingan. Perusahaan dengan struktur kepemilikan yang tersebar kepada outside investors perlu menerapkan corporate governance untuk meningkatkan kewenangan yang dimiliki para pemegang saham publik dalam rangka penyeimbang pihak manajemen. Sedangkan perusahaan dengan struktur kepemilikan yang terkonsentrasi perlu menerapkan corporate governance untuk meminimalkan potensi agency conflict yang timbul antara pemegang saham pengendali dengan pemegang saham publik (Surya dan Yustivandana, 2006:6). Corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada agency theory, diharapkan dapat berfungsi sebagai alat yang dapat memberikan keyakinan kepada investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang mereka investasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi investor dan yakin bahwa manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyekproyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana yang telah ditanamkan oleh investor dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengendalikan para manajer (Shleifer dan Vishny, 1997:737). 2.2 Good Corporate Governance 2.2.1 Definisi Good Corporate Governance Selaras dengan konsep-konsep yang melatarbelakangi perkembangan corporate governance, terdapat beragam definisi mengenai corporate governance. Pada dasarnya, tidak ada definisi yang baku atau satu definisi yang tunggal atas corporate governance. Berikut ini adalah beberapa definisi yang diberikan oleh berbagai pihak, antara lain: Forum for Corporate Governance in Indonesia dalam FCGI, (2001:1) mendefinisikan corporate governance adalah sebagai berikut: “Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditor, pemerintah, karyawan serta pemangku kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak 20 dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Corporate governance bertujuan untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholder)”. Cadbury Committee (1992) mendefinisikan corporate governance adalah suatu sistem yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawaban kepada para shareholder khususnya dan stakeholders pada umumnya. Hal ini berkaitan dengan pengaturan kewenangan direktur, manajer, pemegang saham dan pihak lain yang berhubungan perkembangan perusahaan. Achmad Syakhroza (2002) dalam Tim Studi Pengkajian Penerapan OECD (2004:7) mendefinisikan corporate governacne sebagai berikut: “Corporate governance adalah suatu sistem yang dipakai “Board” untuk mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi (directing, controlling, and supervising) pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif – E3P – dengan prinsip transparan, accountable, responsible, independent, dan fairness – TARIF – dalam rangka mencapai tujuan organisasi”. Definisi corporate governance sesuai dengan Surat Keputusan Menteri BUMN No Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan praktik GCG pada BUMN dalam Tim Studi Pengkajian Penerapan OECD (2004:8) adalah: “Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan perundangan dan nilai-nilai etika”. Definisi tersebut menekankan pada keberhasilan usaha dengan memperhatikan akuntabilitas yang berlandaskan pada peraturan perundangan dan nilai-nilai etika serta memperhatikan stkaeholder yang tujuan jangka panjangnya adalah untuk mewujudkan dan meningkatkan nilai pemegang saham. 21 Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam Studi Penerapan OECD (2004:8-9) mendefinisikan corporate governance sebagai berikut: “Corporate governance is the system by which business corperations are directed and controlled. The Corporate Governance structure specifies the distribution of the right and responsibilities among different participants in the corporation, such as the board, managers, shareholders, and other stakeholders, and spells out the rules and procedures for making decisions on corporate affairs. By doing this, it also provide this structure through which the company objectives are set, and the means of attaining those objectives and monitoring performance” Artinya corporate governance adalah suatu sistem dimana perusahaan bisnis terarahkan dan terkontrol. Corporate governance mensyaratkan adanya struktur perangkat dengan distribusi yang baik dan tanggungjawab yang berbeda atas kepentingan di dalam perusahaan seperti dewan, pihak manajemen perusahaan, pemegang saham dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan yang menghasilkan peraturan dan prosedur pengambilan keputusan atau kebijakan perusahaan untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja. Dalam hal ini OECD melihat corporate governance sebagai suatu sistem dimana sebuah perusahaan atau entitas bisnis diarahkan dan diawasi. Sejalan dengan itu, maka struktur dari corporate goverrnance menjelaskan distribusi hak-hak dan tanggungjawab dari masing-masing pihak yang terlibat dalam sebuah bisnis, yaitu antara lain dewan komisaris dan direksi, manajer, pemegang saham, serta pihakpihak lain yang terkait sebagai stakeholders. Selanjutnya, struktur dari corporate governance juga menjelaskan bagaimana aturan dan prosedur dalam pengambilan dan pemutusan kebijakan sehingga dengan melakukan itu semua maka tujuan perusahaan dan pemantauan kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan dan dilakukan dengan baik. Turnbull Report di Inggris (1999) dalam Effendi (2009:1) mendefinisikan corporate governance adalah sebagai berikut: “Corporate governance is a company’s system of internal control, which has as its principal aim the management of risk that are significant to the fulfilment of its 22 business objectives, with a view to safeguarding the company’s assets and enchancing over time the value of the shareholders investments”. Berdasarkan pengertian diatas, corporate governance didefinisikan sebagai suatu sistem pengendalian internal perusahaan yang memiliki tujuan utama mengelola risiko yang signifikan guna memenuhi tujuan bisnisnya melalui pengamanan aset perusahaan dalam meningkatkan nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang. Sedangkan Bank dunia (World Bank) dalam Effendi (2009:1) mendefinisikan Good Corporate Governance (GCG) sebagai kumpuan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan definisi diatas, pengertian dari good corporate governance adalah suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan sehingga tercipta tata kelola yang baik, adil dan transparan guna menciptakan nilai tambah (value added) bagi semua pemangku kepentingan yang terkait dalam perusahaan (stakeholders). Pihak-pihak terkait yang dimaksud adalah pihak internal selaku pihak yang bertugas mengelola perusahaan dan pihak eksternal yang meliputi pemegang saham, kreditur dan lain-lain. Agar terciptanya tata kelola yang baik, harus terdapat hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak untuk mencapai tujuan perusahaan serta pengawasan atas kinerja yang dipertanggungjawabkan dan dilakukan secara efisien. 2.2.2 Sejarah Perkembangan Pedoman Good Corporate Governance 2.2.2.1 Sejarah Pedoman Good Corporate Governance Di Indonesia Pada tahun 1999, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKG) yang dibentuk KEP/31/M.EKUIN/08/1999 berdasarkan telah keputusan mengeluarkan Menko Pedoman Ekuin Good Nomor: Corporate Governance (GCG) yang pertama. Pedoman tersebut telah beberapa kali disempurnakan, terakhir pada tahun 2001. Berdasarkan pemikiran bahwa suatu 23 sektor ekonomi tertentu cenderung memiliki karakteristik yang sama, maka pada awal tahun 2004 dikeluarkan Pedoman GCG Perbankan Indonesia dan pada awal tahun 2006 dikeluarkan Pedoman GCG Perasuransian Indonesia (KNKG, 2006:1). Sejak Pedoman GCG dikeluarkan pada tahun 1999 dan selama proses pembahasan pedoman GCG sektor perbankan dan sektor perasuransian, telah terjadi perubahan-perubahan yang mendasar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Walaupun peringkat penerapan GCG di dalam negeri masih sangat rendah, namun semangat menerapkan GCG di kalangan dunia usaha dirasakan ada peningkatan. Perkembangan lain yang penting dalam kaitan dengan perlunya penyempurnaan Pedoman GCG adalah adanya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997-1999 yang di Indonesia berkembang menjadi krisis multidimensi yang berkepanjangan. Krisis tersebut antara lain terjadi karena banyak perusahaan yang belum menerapkan GCG secara konsisten, khususnya belum diterapkannya etika bisnis. Oleh karena itu, etika bisnis dan pedoman perilaku menjadi hal penting yang dituangkan dalam bab tersendiri (KNKG, 2006:1). Sehubungan dengan pelaksanaan GCG, pemerintah juga makin menyadari perlunya penerapan good governance disektor publik, mengingat pelaksanaan GCG oleh dunia usaha tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya good public governance dan partisipasi masyarakat. Dengan latar belakang perkembangan tersebut, maka pada bukan November 2004, pemerintah dengan keputusan Menko Bidang Perekonomian Nomor: KEP/49/M.EKON/11/2004 telah meyetujui pembentukan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang terdiri dari Sub-Komite Publik dan Sub-Komite Korporasi. Dengan telah dibentuknya KNKG, maka keputusan Menko Ekuin Nomor: KEP.31/M.EKUIN/06/2000 yang juga mencabut keputusan No. KEP.10/M.EKUIN/08/1999 tentang pembentukan KNKCG dinyatakan tidak berlaku lagi (KNKG, 2006:1). Pedoman GCG dikeluarkan bagi semua perusahaan di Indonesia termasuk perusahaan yang beroperasi atas dasar prinsip syariah. Pedoman GCG ini, yang memuat prinsip dasar dan pedoman pokok pelaksanaan GCG, merupakan standar minimal yang akan ditindaklanjuti dan dirinci dalam Pedoman Sektoral yang dikeluarkan oleh KNKG. Berdasarkan pedoman tersebut, masing-masing perusahaan perlu membuat manual yang lebih operasinal (KNKG, 2006:2). 24 2.2.2.2 Sejarah Pedoman Good Corporate Governance Di Luar Negeri Di luar negeri terjadi pula perkembangan dalam penerapan GCG. Pada April 1998, (OECD) telah mengeluarkan seperangkat prinsip corporate governance yang dikembangkan seuniversal mungkin. Hal ini mengingat bahwa prinsip ini disusun untuk digunakan sebagai referensi di berbagai negara yang mempunyai karakteristik sistem hukum, budaya, dan lingkungan yang berbeda. Dengan demikian, prinsip yang universal tersebut akan dapat dijadikan pedoman oleh semua negara atau perusahaan namun diselaraskan dengan sistem hukum, aturan, atau nilai yang berlaku di negara masing-masing bilamana diperlukan. Prinsip-prinsip corporate governance yang dikembangkan oleh OECD pada tahun 1998 mencakup 5 (lima) prinsip pokok (FCGI, 2002:99). Namun, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah merevisi Principle of Corporate Governance pada tahun 2004. Tambahan penting dalam pedoman baru OECD adalah adanya penegasan tentang perlunya penciptaan kondisi oleh pemerintah dan masyarakat untuk dapat dilaksanakannya GCG secara efektif. Peristiwa Enron di Amerika Serikat telah menambah keyakinan tentang betapa pentingnya penerapan GCG. Di Amerika Serikat, peristiwa tersebut ditanggapi dengan perubahan fundamental peraturan perundang-undangan dibidang audit dan pasar modal. Di negara-negara lain, hal tersebut ditanggapi secara berbeda, antara lain dalam bentuk penyempurnaan pedoman GCG di negara bersangkutan. Secara umum prinsip-prinsip corporate governance yang dikeluarkan oleh OECD pada tahun 2004 mencakup 6 (enam) prinsip pokok dengan tambahan 1 prinsip, yaitu menjamin dasar corporate governance yang efektif (Ensuring the Basis for an Effective Corporate Governance Framework). 2.2.2.3 Kasus Enron Terkait dengan Good Corporate Governance Enron Corporation didirikan pada 1930 sebagai Northern Natural Gas Company, sebuah konsorsium dari Northern American Power and Light Company, Lone Star Gas Company, dan United Lights and Railways Corporation. Enron Corporation adalah sebuah perusahaan energi Amerika yang berbasis di Houston, Texas, Amerika Serikat. Sebelum bangkrutnya pada akhir 2001, Enron mempekerjakan sekitar 21.000 orang pegawai dan merupakan salah satu perusahaan terkemuka di dunia dalam bidang listrik, gas alam, bubur kertas dan kertas, dan 25 komunikasi. Enron mengaku penghasilannya pada tahun 2000 berjumlah $101 milyar. Fortune menamakan Enron "Perusahaan Amerika yang Paling Inovatif" selama enam tahun berturut-turut. Enron menjadi sorotan masyarakat luas pada akhir 2001, ketika terungkapkan bahwa kondisi keuangan yang dilaporkannya didukung terutama oleh penipuan akuntansi yang sistematis, terlembaga, dan direncanakan secara kreatif. Operasinya di Eropa melaporkan kebangkrutannya pada 30 November 2001, Enron, perusahaan ketujuh terbesar di Amerika, perusahaan energi perdagangan terbesar di dunia menyatakan dirinya bangkrut. Saat itu, kasus itu merupakan kebangkrutan terbesar dalam sejarah AS dan menyebabkan 4.000 pegawai kehilangan pekerjaan mereka. Selama tujuh tahun terakhir, Enron melebih-lebihkan laba bersih dan menutup-tutupi utang mereka. Auditor independen, Andersen (yang dahulu dikenal sebagai Arthur Andersen), dituding ikut berperan dalam "menyusun" pembukuan kreatif Enron. Lebih buruk lagi, kantor hukum yang menjadi penasihat Enron, Vinson & Eikins, juga dituduh ikut ambil bagian dalam korupsi skala dunia ini dengan membantu membuka partnership-partnership kontroversial yang dianggap sebagai biang keladi dari kehancuran Enron. Terakhir, bank investasi besar di Wallstreet seperti Salomon Smith Barney unit, Credit Suisse FirstBoston, Merrill Lynch, Goldman Sachs, J.P. Morgan Chase and Lehman Bros, ikut meraup 214 juta dolar AS dalam komisi sebagai penjual saham dan obligasi dari Enron. Kejatuhan Enron bermula dari dibukanya partnership-partnership yang bertujuan untuk menambah keuntungan pada Enron. Partnership-partnership yang diberi nama "special purspose partnership" memang memiliki karateristik yang istimewa. Enron mendirikan kongsi dengan seorang partner dagang. Partner dagang mereka biasanya hanya satu untuk setiap partnership dan kongsi dagang ini menyumbang modal yang sangat sedikit, sekitar 3% dari jumlah modal keseluruhan. Ternyata secara hukum perusahaan di Amerika, apabila induk perusahaan berpartisipasi dalam partnership dimana partner dagang menyumbang sedikitnya 3% dari modal keseluruhan, maka neraca partnership ini tidak perlu dikonsolidasi dengan neraca dari induk perusahaan. Tetapi, partnership ini harus dijabarkan secara terbuka dalam laporan akhir tahunan dari induk perusahaan agar pemegang saham dari induk perusahaan maklum dengan keberadaan 26 operasi tersebut. Enron. Enron membiayai dengan "meminjamkan" saham Enron (induk perusahaan) kepada Enron (anak perusahaan) sebagai modal dasar partnership- partnership tersebut. Enron tidak pernah mengungkapkan operasi dari partnership-partnership tersebut dalam laporan keuangan yang ditujukan kepada pemegang saham dan Security Exchange Commission (SEC), badan tertinggi pengawasan perusahaan publik di Amerika. Lebih jauh lagi, Enron bahkan memindahkan utang-utang sebesar 690 juta dolar AS yang ditimbulkan induk perusahaan ke partnership-partnership tersebut. Akibatnya, laporan keuangan dari induk perusahaan terlihat sangat atraktif, menyebabkan harga saham Enron melonjak menjadi 90 dolar AS pada bulan Februari 2001. Perhitungan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tersebut, Enron telah melebih-lebihkan laba mereka sebanyak 650 juta dolar AS. Bulan September 2001, pemerintah AS mulai mencium adanya ketidakberesan dalam laporan pembukuan Enron. Satu bulan kemudian, Enron mengumumkan kerugian sebesar 600 juta dolar AS dan nilai aset Enron menyusut 1,2 triliun dolar AS. Pada laporan keuangan yang sama diakui, bahwa selama tujuh tahun terakhir, Enron selalu melebih-lebihkan laba bersih mereka. Akibat laporan mengejutkan ini, nilai saham Enron mulai anjlok dan saat Enron mengumumkan bahwa perusahaan harus gulung tingkar, 2 Desember 2001, harga saham Enron hanya 26 sen. Pada kasus Enron, Andersen menerima 27 juta dolar AS dari jasa konsultasi dan 25 juta dolar AS dari jasa audit. Akibatnya, timbul kesangsian akan kejujuran dan kejernihan dari laporan audit mereka terhadap pembukuan Enron. Yang lebih mengejutkan dunia akuntan adalah peristiwa penghancuran dokumen yang dilakukan oleh David Duncan, ketua partner dari Andersen untuk Enron. Panik karena menerima undangan untuk diminta kesaksiannya di Dewan Perwakilan Rakyat Amerika (Congress), Duncan memerintahkan anak buahnya untuk menghancurkan ratusan kertas kerja (workpapers) dan e-mail yang berhubungan dengan Enron. Kertas kerja adalah dokumen penting dalam dunia profesi akuntan yang berhubungan dengan laporan keuangan dari klien. Secara umum, setiap kertas kerja, komunikasi dan laporan keuangan harus didokumentasikan dengan baik selama 6 tahun. Baru setelah 6 tahun, dokumen 27 tersebut bisa dihancurkan. Peristiwa penghancuran dokumen ini memberi keyakinan pada publik dan Congress bahwa Andersen sebenarnya mengetahui bisnis buruk dari Enron, tetapi tidak mau mengungkapkannya dalam laporan audit mereka, karena mereka takut kehilangan Enron sebagai klien. Korban pertama dari kehancuran Enron adalah ribuan pegawainya. Tidak hanya mereka kehilangan pekerjaan, tetapi juga tabungan pensiunan mereka. Dalam hukum perpajakan Amerika, setiap pekerja bisa menabung sebanyak-bayaknya 12,000 dolar AS setahun dan tidak akan dikenai pajak. Baru ketika pekerja menginjak usia 60, ia berhak mengambil dana tersebut dan membayar pajak seperti layaknya penghasilan biasa. Selama berada dalam tabungan pensiunan, uang tersebut akan ditanamkan dalam bentuk saham dan obligasi dengan harapan si penabung akan meraup bunga sebanyak-banyaknya bila ia siap pensiun. Karena biasanya perusahan sendiri yang mengadministrasi tabungan pegawai-pegawai mereka, perusahaan akan menanamkan uang tersebut dalam bentuk saham dan perusahaan-perusahaan tersebut. Regulasi tabungan masa tua ini dikenal dengan nama 401(k), sesuai dengan pasal yang mengatur masalah hukum perpajakan untuk pensiunan. Enron juga menerapkan sistem ini dan menanamkan seluruh tabungan pensiunan dari pegawaipegawainya dalam bentuk saham perusahaan. Kesalahan Enron bukanlah terbatas pada penyelewengan pembukuannya. Suka atau tidak, perusahaan sebesar Enron tidak akan jatuh apabila keadaan sekelilingnya berlaku wajar dalam norma-norma etika dan hukum. Enron tidak akan berani mendirikan kongsi dagang-kongsi dagang yang sangat kompleks apabila hukum sekuritas Amerika (Security Law) tidak membiarkan pembukuan terpisah antara induk perusahaan dan kongsi dagang tersebut. Kalaupun itu terjadi, kongsi dagang tidak akan bisa bertahan lama bila auditor luar Andersen bekerja sesuai dengan peraturan etika dan hukum yang diterapkan oleh badan tertinggi ikatan akuntan publik (American Institute of Certified Public Accountants). Keberanian akuntan-akuntan Andersen untuk mengijinkan sistem pembukuan terpisah dari Enron tidak berarti banyak bila Congress menyetujui pemisahan divisi "akunting/auditing" dan "konsultasi" yang diterapkan oleh Lima Besar. Proposal pemisahan ini sudah diajukan oleh bekas ketua komisi sekuritas dan perdagangan Amerika (Securities and Exchange Commission) Arthur Levitt pada tahun 1999. 28 Proposal itu ditolak mentah-mentah oleh anggota Congress yang menerima bantuan finansial selama kampanye mereka dari Wall Street dan Lima Besar. Bantuan finansial itu ternyata masih dalam limit yang legal. Dengan demikian, Congress bisa bekerja lebih adil bila ada peraturan lebih ketat dalam penerimaan bantuan kampanye dari perusahaan dan industri. Dalam proses pengusutan sebab-sebab kebangkrutan itu Enron dicurigai telah melakukan praktek window dressing. Manajemen Enron telah menggelembungkan (mark up) pendapatannya US$ 600 juta, dan menyembunyikan utangnya sejumlah US$ 1,2 miliar. Hal ini tentunya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian dengan trik-trik manipulasi yang tinggi dan tentu saja orang-orang ini merupakan orang bayaran dari mulai analis keuangan, para penasihat hukum, dan auditornya. 2.2.3 Sarbanes Oxley Act 2.2.3.1 Sejarah Sarbanes Oxley Undang-Undang Sarbanes-Oxley (Sarbanes-Oxley Act) yang sering disingkat sebagai SOx adalah undang-undang federal Amerika Serikat. Undang-undang tersebut mengatur tentang akuntabilitas (accountability), praktik akuntansi (accounting practice), dan pengungkapan informasi (information disclosure) pada perusahaan publik, termasuk tata cara pengelolaan data. Keberadaan Sox diprakarsai oleh Senator Paul Sarbanes dari Maryland dan wakil rakyat Michael Oxley dari Ohio. Undang-undang ini disahkan oleh Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, pada tanggal 30 Juli 2002. Undang-undang ini mensyaratkan adanya pengungkapan (disclosure) tentang kecukupan informasi keuangan, keterangan tentang pencapaian hasil-hasil manajemen, kode etik bagi eksekutif di bidang keuangan, independensi komite audit yang efektif, serta pembatasan kompensasi bagi para eksekutif perusahaan, termasuk pembaruan tata kelola perusahaan (corporate governance) (Effendi, 2009:55). Kemunculan SOx antara lain dilatarbelakangi oleh adanya skandal akuntansi (accounting scandal) di Enron yang melibatkan kantor akuntan publik lima besar (the big five), Arthur Andersen, serta berbagai kasus kebangkrutan perusahaan besar seperti WorldCom, Tyco, Adelphia dan lainnya yang menimbulkan kepanikan luar biasa di kalangan dunia usaha (Effendi, 2009:55). 29 2.2.3.2 Tujuan Sarbanes Oxley SOx berdampak positif terhadap implementasi GCG di perusahaan publik, bukan hanya di Amerika Serikat saja melainkan juga di berbagai belahan dunia lainnya. SOx mewajibkan perusahaan publik untuk mereformasi tanggung jawab manajemen perusahaan berkaitan dengan keterbukaan informasi keuangan serta mencegah terjadinya kecurangan dalam pelaporan keuangan (fradulent financial reporting) yang biasanya bermula dari kecurangan akuntansi (accounting fraud). Selain itu, SOX juga menjamin adanya kepastian terhadap integritas pelaporan keuangan (integrity of financial reporting). Securities Exchange Commission (SEC) di Amerika Serikat juga telah mengadopsi SOx sebagai syarat untuk memperketat persyaratan pengungkapan laporan keuangan serta menjamin akuntabilitas laporan keuangan perusahaan. Dalam hal ini, SOx mewajibkan perusahaan yang terdaftar di NYSE untuk mematuhi berbagai ketentuan yang berlaku guna menjamin transparansi dalam penyusunan laporan keuangan. (Effendi, 2009:56). Tujuan utama SOx adalah untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap implementasi prinsip GCG di perusahaan yang telah go public. Amerika Serikat menerapkan regulasi ini secara ketat, antara lain mencakup pelaporan keuangan yang akurat dan tidak bias, peninjauan atas pengendalian internal, serta kewajiban untuk menerapkan kode etik (code of ethics) dan kode tata kelola perusahaan (code of corporate governance). SOx juga menuntut standar yang tinggi bagi operasi bisnis dan pelaksanaan audit atas pengendalian internal (Effendi, 2009:56). 2.2.3.3 Isi Sarbanes Oxley Sarbanes Oxley terdiri dari 3 Sections (bagian). Section I merupakan bagian yang terdiri dari 11 titles (judul), yaitu: 1. Title I : Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB) 2. Title II : Auditor Independence 3. Title III : Corporate Responsibility 4. Title IV : Enhanched Financial Disclosures 5. Title V : Analyst Conflict of Interest 30 6. Title VI : Commission Resources and Authority 7. Title VII : Studies and Report 8. Title VIII : Criminal and Fraud Accountability 9. Title IX : White-Collar Crime Penalty Enhancements 10. Title X : Corporate Tax Return 11. Title XI : Corporate Fraud and Accountability Adapun Section II merupakan Definitions terdiri dari dua sub bagian yaitu bagian a) In General (ada 16 pengertian) dan bagian b) Confirming Amandement. Adapun Section III yaitu Commission Rules and Enforcement yang terdiri dari tiga sub bagian, yaitu: 1. Regulatory Action 2. Enforcement 3. Effect on Commission Authority Secara umum Sarbanes Oxley terdiri dari tiga bagian penting yang harus diperhatikan oleh manajemen perusahaan publik, yaitu: Sections 404, 906, dan 302. Peraturan ini sudah mulai dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan publik di AS sejak dikeluarkannya peraturan tersebut, Juli 2002, namun yang menjadi penekanan adalah section 302 dan section 404. Section 404 berisi peraturan yang mewajibkan manajemen untuk menilai internal kontrol yang sudah dilaksanakan atas laporan keuangannya serta pengesahan dari auditor eksternal. Section 906 berisi peraturan yang mewajibkan manajemen perusahaan secara periodik untuk melaporkan segala sesuatu menyangkut informasi keuangan yang juga tunduk kepada peraturan bursa saham, serta menyatakan dengan benar kondisi laporan keuangan dan hasil operasi. perusahaan. Sarbanes Oxley act section 302 berisi peraturan yang hampir sama dengan section 906, tetapi section 302 berisi tambahan atas pengungkapan yang berhubungan dengan pengungkapan internal kontrol dan prosedurnya, serta internal kontrol dan penipuan/kecurangan. 31 Adapun ringkasan isi pokok dari Sarbanes-Oxley Act adalah sebagai berikut (Suradi, 2011:6): 1. Membentuk public company board untuk melakukan pengawasan terhadap public company, 2. Mensyaratkan salah seorang anggota komite audit adalah orang yang ahli dalam bidang keuangan 3. Perusahaan harus melakukan full disclosure kepada para pemegang saham berkaitan dengan transaksi keuangan yang bersifat kompleks, 4. Chief Executive Officer (CEO) dan Chief Financial Officer (CFO) harus melakukan sertifikasi validitas pembuatan laporan keuangan perusahaan. 5. Kantor Akuntan Publik dilarang menerima tawaran jasa lainnya, seperti konsultasi, ketika sedang melaksanakan audit pada perusahaan yang sama, 6. Peusahaan harus mempunyai kode etik yang terdaftar pada SEC. 7. Mutual Fund Professional harus menyampaikan suaranya kepada wakil pemegang saham. 8. Memberikan perlindungan kepada individu yang melaporkan adanya tindakan menyimpang kepada pihak berwenang. 9. Penasihat hukum perusahaan harus mengkap adanya penyimpangan kepada pejabat senior dan kepada dewan komisaris. 2.2.3.3.1 Section 302 Sarbanes Oxley Section 302 Sarbanes Oxley ini merupakan dokumen penjelasan manajemen atas internal kontrol yang ada pada perusahaan. Pihak manajemen yang bertanggungjawab dalam pengungkapan ini adalah direktur utama dan direktur keuangan perusahaan. Dibawa ini adalah contoh pernyataan manajemen: “Kami sudah merancang internal kontrol atas laporan keungan perusahaan kami,dan kami sudah memantau pelaksanaan internal kontrol tersebut, dengan tujuan untuk menyediakan jaminan kepada pihak luar atas keandalan laporan keuangan 32 perusahaan kami, dan memberikan jaminan lebih lanjut bahwa laporan keuangan perusahaan kami sudah sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum di Amerika Serikat”. 2.2.3.3.2 Section 404 Sarbanes Oxley Section 404 Sarbanes Oxley ini berisi kewajiban bagi manajemen perusahaan untuk menilai internal control yang sudah dilaksanakan atas laporan keuangannya; a. Perusahaan harus mengevaluasi internal kontrol atas laporan keuangannya setiap tahun. Manajemen harus menyimpulkan efektifitas dari internal kontrol setiap akhir tahun. Pihak yang bertanggungjawab untuk mengevaluasi internal kontrol perusahaan adalah departemen internal control/audit b. Akuntan publik yang disewa perusahaan harus menegaskan dan melaporkan hasil evaluasi atas internal kontrol atas laporan keuangan perusahaan. Section 404 secara khusus memberikan perhatian kepada internal kontrol perusahaan atas laporan keuangannya. Dalam mengevaluasi internal kontrol yang dilaksanakan perusahaan, manajemen melalui departemen internal kontrol/audit perlu menggunakan kerangka yang disusun oleh COSO (Committee of Sponsoring Organization of the Tradeway Commission). 2.2.3.3.3 Section 906 Sarbanes Oxley Sarbanes Oxley Act section 906 berisi : a. CEO dan CFO melakukan sertifikasi bahwa, laporan periodik “fully complies” peraturan yang dikeluarkan oleh US SEC, informasi yang terkandung pada laporan periodik tersebut disajikan secara wajar, dalam keseluruhan hal yang material, terhadap kondisi keuangan dan hasil operasi perusahaan. b. Hukuman atas penyimpangan dalam section 906 bagi individu yang secara sadar melakukanpenyimpangan dikenakan denda sampai dengan $1 juta dan hukuman penjara sampai dengan 10 tahun. Dan, bagi individu yang dengan sengaja dan secara sadar melakukan penyimpangan, akan dikenakan denda sampai dengan $5 juta dan hukuman penjara sampai dengan 20 tahun. 33 2.2.4 Prinsip Good Corporate Governance 2.2.4.1 Prinsip Good Corporate Governance Menurut KNKG Secara umum terdapat lima prinsip dasar dari good corporate governance, yaitu (KNKG, 2006:5-7): 1. Transparancy (Keterbukaan informasi) Prinsip Dasar Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. Pedoman Pokok Pelaksanaan a. Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya. b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, kepemilikan saham oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya dalam perusahaan dan perusahaan lainnya, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan. c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi. d. Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan. 34 2. Accountability (Akuntabilitas) Prinsip Dasar Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Pedoman Pokok Pelaksanaan a. Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masingmasing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate values), dan strategi perusahaan. b. Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG. c. Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan. d. Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan yang konsisten dengan sasaran usaha perusahaan, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system). e. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap organ perusahaan dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati. 3. Responsibility (Pertanggungan-jawaban) Prinsip Dasar Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat 35 terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Pedoman Pokok Pelaksanaan a. Organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws). b. Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai. 4. Independency (Kemandirian) Prinsip Dasar Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Pedoman Pokok Pelaksanaan a. Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif. b. Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain. 5. Fairness (Kesetaraan dan kewajaran) Prinsip Dasar Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. 36 Pedoman Pokok Pelaksanaan a. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing. b. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan. c. Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik. 2.2.4.2 Prinsip Good Corporate Governance Menurut OECD Secara umum prinsip-prinsip corporate governance yang dikeluarkan oleh OECD pada tahun 2004 mencakup 6 (enam) prinsip pokok sebagai berikut: 1) Menjamin Kerangka Dasar Corporate Governance yang Efektif (Ensuring the basis for an Effective Corporate Governance Framework) Secara umum prinsip ini menyatakan bahwa corporate governance harus dapat mendorong terciptanya pasar yang transparan dan efisien, sejalan dengan perundangan dan peraturan yang berlaku, dan dapat dengan jelas memisahkan fungsi dan tanggungjawab otoritas-otoritas yang memiliki pengaturan, pengawasan, dan penegakan hukum. 2) Perlindungan Terhadap Hak-Hak Para Pemegang Saham (The Rights of Shareholders) Prinsip ini mengatur mengenai hak-hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan saham. Hak-hak pemegang saham dapat meliputi adanya jaminan kepemilikan saham yang sah, hak memperoleh informasi yang relevan, dapat memberikan hak suara dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), memilih dan mengganti dewan, dapat mengalihkan saham, dan memperoleh hak atas keuntungan perusahaan. 37 3) Perlakuan yang Sama Terhadap Pemegang Saham (The Equitable Treatment of Shareholders) Pasar modal harus dapat melindungi investor dari perlakuan yang merugikan dari manajer, dewan komisaris, dewan direksi, atau pemegang saham utama perusahaan. Semua pemegang saham baik mayoritas, minoritas, ataupun pemegang saham asing akan diperlakukan secara sama dan memperoleh kesempatan yang sama dalam kompensasi atas pelanggaran yang dilakukan. 4) Peran Stakeholders dalam Tata Kelola Perusahaan (The Role of Stakeholders in Corporate Governance) Peran Stakeholders dalam corporate governance mencakup hak-hak stakeholders yang didasarkan pada ketentuan hukum melalui perjanjian mutual yang mendorong kerja sama antara perusahaan dengan stakeholders agar tercipta kesejahteraan, lapangan kerja, dan kesinambungan pertumbuhan kondisi keuangan perusahaan. 5) Pengungkapan dan Transparansi (Disclosure and Transparency) Informasi yang ada dalam perusahaan harus terbuka, tepat waktu, jelas, dan dapat dibandingkan dari segi keuangan, pengelolaan perusahaan, serta kepemilikan perusahaan. 6) Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi (The Responsibility of the Board) Penerapan corporate governance menjamin adanya pemantauan efektif yang dilakukan oleh dewan dan akuntabilitas dewan komisaris atas kinerja manajemen dalam pengelolaan perusahaan maupun terhadap pemegang saham. 2.2.5 Tujuan Good Corporate Governance Tujuan good corporate governance menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006:2) terdiri dari enam macam tujuan utama. 38 Keenam tujuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan. 2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ perusahaan, yaitu dewan komisaris, direksi dan rapat umum pemegang saham. 3. Mendorong pemegang saham, anggota dewan komisaris dan anggota direksi dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. 4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama disekitar perusahaan. 5. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan memperhatikan pemangku kepentingan lainnya. 6. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun internasional sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan. 2.2.6 Mekanisme Good Corporate Governance Untuk dapat mecapai Good Corporate Governance (GCG), maka diperlukan suatu cara atau mekanisme. Mekanisme corporate governance adalah cara yang dilakukan atau diterapkan perusahaan untuk mencapai tata kelola perusahaan yang baik. Menurut Banhart dan Rosentein (1998) dalam Haryani (2011:4) mekanisme corporate governance dibagi menjadi dua kelompok. Pertama yaitu internal mechanisms (mekanisme internal), seperti komposisi dewan direksi/komisaris, kepemilikan manajerial, dan kompensasi eksekutif. Yang kedua adalah external mechanisms (mekanisme eksternal), seperti pengendalian oleh pasar dan level debt financing. Kedua mekanisme corporate governance ini diharapkan dapat memastikan tindakan pihak manajemen untuk bertindak bagi kepentingan 39 shareholders terutama pemegang saham minoritas (Che Haat et al, 2008 dalam Haryani 2011:4). Dalam penelitian ini elemen-elemen pengukuran mekanisme GCG adalah sebagai berikut: 2.2.6 Proporsi Komisaris Independen Adanya unsur independen dalam struktur organisasi perusahaan yang biasanya beranggotakan dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan berfungsi untuk menyeimbangkan dalam proses pengambilan keputusan khususnya dalam rangka perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan pihak-pihak lain yang terkait. Istilah dan keberadaan komisaris independen beru muncul setelah terbitnya Surat Edaran Bapepam Nomor: SE03/PM/2000 dan Peraturan Pencatatan Efek Nomor: 339/BEJ/07-2001 tanggal 21 Juli 2001. Menurut ketentuan tersebut perusahaan publik yang tercatat di Bursa wajib memiliki beberapa anggota dewan komisaris yang memenuhi kualifikasi sebagai komisaris independen yaitu jumlah komisaris independen adalah sekurang-kurangnya 30% dari seluruh jumlah anggota komisaris (misal, jumlah komisaris adalah 10 orang, maka komposisi komisaris independen adalah 3 orang atau 30% dari seluruh jumlah komisaris tersebut), perlunya dibentuk komite audit serta keharusan perusahaan memiliki sekretaris perusahaan (corporate secretary) (Juniarti dan Sentosa, 2009:90). Istilah independen pada komisaris independen bukan menunjukkan bahwa komisaris lainnya tidak independen. Istilah komisaris independen menunjukkan keberadaan mereka sebagai wakil dari pemegang saham independen (minoritas) dan juga sebagai wakil dari kepentingan investor (Surya dan Yustiavandana, 2008:4). Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (KNKG, 2006:13). Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan dengan good governance. Dalam mengelola perusahaan menurut kaedah-kaedah umum GCG, peran komisaris independen sangat diperlukan (Juniarti dan Sentosa, 2009:90). 40 Adanya unsur komisaris indepanden dalam struktur organisasi perusahaan yang biasanya beranggotakan dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan berfungsi untuk menyeimbangkan dalam pengambilan keputusan khususnya dalam rangka perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan pihak-pihak lain yang terkait. Vafeas (2000) dalam Juniarti dan Sentosa (2009:90) mengatakan peranan dewan komisaris juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas laba dengan membatasi tingkat manajemen laba melalui fungsi monitoring atas pelaporan keuangan. Penelitian Beasley (1996) dalam Juniarti dan Sentosa (2009:90) menguji hubungan antara proporsi dewan komisaris dengan kecurangan pelaporan keuangan. Dengan membandingkan perusahaan yang melakukan kecurangan dengan perusahaan yang tidak melakukan kecuarangan, dia menemukan bahwa perusahaan yang melakukan kecurangan memiliki persentase dewan komisaris eksternal yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak melakukan kecurangan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Boediono (2005:4) yang menyatakan bahwa “Komposisi dewan komisaris dalam memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari penyusunan laporan keuangan yang berkualitas atau kemungkinan terhindar dari kecurangan laporan keuangan melalui peranan dewan komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap operasional perusahaan”. 2.2.6.2 Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial merupakan perwujudan dari prinsip transparansi dari GCG (juniarti dan Sentosa, 2009:89). Dalam rangka mengelola perusahaan, manajemen harus transparan agar tidak terjadi konflik berkepanjangan dengan para pemegang saham sebagai pemilik. Mehran (1992) dalam Juniarti dan Sentosa (2009:89) mengartikan kepemilikan manajerial sebagai proporsi saham biasa yang dimiliki oleh manajemen. Manajer yang memiliki saham perusahaan tentunya akan menyelaraskan kepentingannya dengan kepentingan sebagai pemegang saham. Sementara manajer yang tidak memiliki saham perusahaan, ada kemungkinan hanya mementingkan kepentingannya sendiri. 41 Kepemilikan manajerial adalah jumlah kepemilikan saham oleh pihak manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang dikelola (Gideon, 2005 dalam Juniarti dan Sentosa, 2009:89). Indikator yang digunakan untuk mengukur kepemilikan manajerial adalah persentase jumlah saham yang dimiliki oleh pihak manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang beredar. Dengan keinginan untuk meningkatkan kinerja perusahaan tersebut membuat manajemen akan berusaha untuk mewujudkannya sehingga membuat risiko perusahaan semakin kecil dimata kreditor dan akhirnya kreditor meminta return yang kecil (Juniarti dan Sentosa, 2009:89). 2.2.6.3 Kepemilikan Institusional Selain kepemilikan manajerial, kepemilikan institusi merupakan perwujudan dari prinsip GCG. Dengan kepemilikan institusi di luar perusahaan dalam jumlah yang signifikan akan menyebabkan pihak luar perusahaan melakukan pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan yang dilakukan oleh manajemen. Bagi manajemen, pengawasan oleh pihak luar mendorong mereka untuk menunjukkan kinerja yang lebih baik, dan melakukan pengelolaan secara transparan (Juniarti dan Sentosa, 2009:89) Kepemilikan institusional merupakan persentase kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh investor institusional seperti pemerintah, perusahaan investasi, bank, perusahaan asuransi maupun kepemilikan lembaga dan perusahaan lain. Investor institusional diyakini memiliki kemampuan untuk memonitor tindakan manajemen lebih baik dibandingkan dengan investor individual, dimana investor institusional tidak akan mudah diperdaya dengan tindakan manipulasi yang dilakukan oleh manajemen (Rachmawati dan Triatmoko 2007 dalam Juniarti dan Sentosa, 2009:89). Fidyati (2004) menjelaskan bahwa investor institusional menghabiskan lebih banyak waktu untuk melakukan analisis investasi dan mereka memiliki akses atas informasi yang terlalu mahal perolehannya bagi investor lain. Cornett et al. (2006) dalam Juniarti dan Sentosa (2009:89) menemukan adanya bukti yang menyatakan bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dan pihak investor insitusional dapat membatasi perilaku manajemen. Hal ini disebabkan karena dengan adanya tindakan pengawasan tersebut 42 dapat mendorong manajemen untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan, sehingga akan mengurangi perilaku opportunistic atau perilaku mementingkan diri sendiri. Shleifer dan Vishny (1997) dalam Juniarti dan Sentosa (2009:89) menyatakan bahwa investor institusional memiliki peranan yang penting dalam menciptakan sistem corporate governance yang baik dalam suatu perusahaan, dimana mereka dapat secara independen mengawasi tindakan manajemen dan memiliki voting power untuk mengadakan perubahan pada saat manajemen sudah dianggap tidak efektif lagi dalam mengelola perusahaan (Ashbaugh et al. 2004 dalam Juniarti dan sentosa, 2009:89). 2.2.6.4 Kualitas Audit Proksi lain yang dalam pengukuran GCG adalah kualitas audit. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa auditor menawarkan berbagai tingkat kualitas audit untuk merespon adanya variasi permintaan klien terhadap kualitas audit. Penelitian-penelitian sebelumnya membedakan kualitas auditor berdasarkan perbedaan big five dan non big five dan ada juga yang menggunakan spesialisasi industri auditor untuk memberi nilai bagi kualitas audit ini seperti penelitian. Perusahaan-perusahaan yang telah menerapkan good governance tentu saja akan berupaya untuk menggunakan auditor yang berkualitas. Teori reputasi memprediksikan adanya hubungan positif antara kualitas audit dengan ukuran KAP (Lennox 2000 dalam Juniarti dan Sentosa, 2009:90) dimana jika ukuran KAP besar maka akan menghasilkan audit yang lebih berkualitas karena reputasinya lebih bagus di mata masyarakat. DeAngelo (1981) dalam Juniarti dan Sentosa (2009:90) menyatakan bahwa kualitas audit yang dilakukan oleh akuntan publik dapat dilihat dari ukuran KAP yang melakukan audit. KAP besar (big four) dipersepsikan akan melakukan audit dengan lebih berkualitas dibandingkan dengan KAP kecil (non big four). Hal tersebut karena KAP besar memiliki lebih banyak sumber daya dan lebih banyak klien sehingga mereka tidak tergantung pada satu atau beberapa klien saja, sel in itu karena reputasinya yang telah dianggap baik oleh masyarakat menyebabkan mereka akan melakukan audit dengan lebih berhati-hati. 43 2.2.6.5 Family Ownership (Kepemilikan Keluarga) Perusahaan keluarga pada umumnya merupakan perusahaan yang dimiliki secara mayoritas oleh keluarga tertentu atau kepemilikan sahamnya terkonsentrasi pada keluarga tertentu. Menurut Laporta (1999) dalam Ayub (2008:12), kepemilikan keluarga diidentifikasikan sebagai kepemilikan dari individu (di atas 5%) dan kepemilikan dari perusahaan tertutup, bukan kepemilikan dari BUMN dan BUMD, perusahaan terbuka ataupun lembaga keuangan. Berdasarkan definisi ini, perusahaan jenis family ownership tidak hanya terbatas pada perusahaan yang menempatkan anggota keluarganya pada posisi CEO, komisaris atau posisi manajemen lainnya. Perusahaan yang mempekerjakan CEO, komisaris atau manajer dari luar anggota keluarga pemilik perusahaan tetap dikategorikan sebagai perusahaan jenis family ownership. Menurut penelitian yang dilakukan sebelumnya, perusahaan keluarga cenderung untuk membiayai kegiatan usahanya dari utang daripada menerbitkan saham baru. Hal ini disebabkan karena keluarga pemilik perusahaan tidak ingin melepaskan kendali terhadap perusahaan. Selain itu juga ditemukan bahwa besar kecilnya proporsi family ownership juga memiliki pengaruh terhadap cost of debt perusahaan (Anderson dan Reeb, 2003 dalam Ayub, 2008:26). Untuk mengukur pengaruh variabel kepemilikan keluarga terhadap biaya utang, dalam penelitian ini menggunakan presentase atau proporsi kepemilikan keluarga pada suatu perusahaan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Yupana Wiwattanakantang (1999) dalam Ayub, (2008:11), sebagian besar perusahaan di negara berkembang dikontrol oleh individu, keluarga dan rekan-rekannya. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia yang juga merupakan negara berkembang. Pada awalnya, perusahaan keluarga merupakan perusahaan tertutup dan mendanai kegiatan usahanya dari modal sendiri serta didukung oleh pinjaman dari pihak luar (Ayub, 2008:11). Namun, seiring dengan perkembangan ekonomi dan pasar modal, banyak dari perusahaan yang dikategorikan family ownership ini kemudian menjadi perusahaan terbuka. Dengan menjadi perusahaan terbuka, maka risiko dan profit dari perusahaan menjadi terbagi dengan pihak luar. Selain itu, perusahaan juga dapat memperoleh lebih banyak dana dalam melakukan ekspansi usahanya dengan menjadi perusahaan terbuka. 44 2.2.6.6 Cost of Debt (Biaya Utang) Struktur modal (capital structure) perusahaan pada umumnya terdiri dari ekuitas dan utang. Untuk memperoleh modal tersebut, terdapat biaya-biaya yang berkaitan dengan perolehan dan kompensasi bagi penyedia modal, baik jangka pendek maupun jangka panjang, yang harus dipertimbangkan oleh manajemen dalam setiap keputusan pembiayaan. Semua jenis pembiayaan akan menimbulkan biaya ekonomi bagi perusahaan. Biaya modal ini erat hubungannya dengan tingkat keuntungan yang diisyaratkan (required rate of retun). Dari sisi investor, tinggi rendahnya required rate of return merupakan tingkat keuntungan yang mencerminkan tingkat risiko dari aktiva yang dimiliki. Sementara itu, bagi perusahaan, besarnya required rate of return merupakan biaya modal yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan modal tersebut. Utang merupakan salah satu cara memperoleh dana dari pihak eksternal yaitu kreditor. Utang biasanya digunakan sebagai salah satu alternatif pendanaan bagi perusahaan karena memberikan beberapa keuntungan. Beberapa keuntungan perusahaan menggunakan utang sebagai sumber pendanaan adalah (Ross et al., 2008:409): a. Dengan menggunakan debt, perusahaan memperoleh tax shield yang akan menurunkan cost of capital dan meningkatkan nilai perusahaan. b. Manajemen terdorong untuk meningkatkan kinerjanya agar dapat membayar bunga beserta pokoknya, sehingga secara tidak langsung dengan adanya kontrak dengan kreditor, manajemen akan meningkatkan kinerja perusahaan. c. Adanya komitmen dari manajemen untuk beroperasional secara efisien dalam penggunaan dana tersebut. d. Membuat manajemen selalu memonitor perusahaan. Cost of debt (biaya utang) adalah tingkat pengembalian yang diharapkan karena adanya resiko perusahaan dalam memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang (Ayub, 2009:19) 45 Menurut Fabozzi (2007) dalam Juniarti dan Sentosa (2009:91) Cost of debt dapat didefinisikan sebagai tingkat yang harus diterima dari investasi untuk mencapai tingkat pengembalian (yield rate) yang dibutuhkan oleh kreditur atau dengan kata lain adalah tingkat pengembalian yang dibutuhkan oleh kreditur saat melakukan pendanaan dalam suatu perusahaan. Biaya utang meliputi tingkat bunga yang harus dibayar oleh perusahaan ketika melakukan pinjaman. Sedangkan menurut Singgih (2008:2), cost of debt adalah tingkat bunga sebelum pajak yang dibayar perusahaan kepada pemberi pinjamannya. Biaya utang dihitung dari besarnya beban bunga yang dibayarkan oleh perusahaan tersebut dalam periode satu tahun dibagi dengan jumlah pinjaman yang menghasilkan bunga tersebut. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa cost of debt (biaya utang) adalah tingkat pengembalian yang diharapkan oleh kreditor atas pinjaman yang diberikan karena adanya risiko kredit (credit risk), yaitu resiko perusahaan dalam memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang yang diukur berdasarkan tingkat bunga atau imbal hasil yang dibayarkan kepada kreditor. Dalam penelitian sebelumnya, biaya utang ini diproksi menggunakan yield spread (Spread), atau selisih antara weighted-average yield to maturity on the firm’s outstanding traded debt and yield to maturity on a Treasury security with corresponding duration (Anderson et al., 2003:270). Alternatif lain untuk mengukur biaya utang adalah dengan menghitung besarnya beban bunga yang dibayarkan oleh perusahaan dalam periode satu tahun dibagi dengan jumlah pinjaman yang menghasilkan bunga tersebut (interest bearing debt). Hal ini mengingat bahwa perusahaan biasanya memiliki utang tidak hanya kepada satu kreditor saja, melainkan kepada beberapa pihak, dimana besarnya rate atau tingkat bunga yang ditetapkan oleh masing-masing pihak tersebut berbeda-beda (Ayub, 2008:19). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya cost of debt yang dibebankan oleh pihak kreditur kepada perusahaan, diantaranya, yaitu tingkat suku bunga Bank Indonesia, risiko yang ditanggung oleh pihak kreditor atas pinjaman yang diberikannya, reputasi dan hubungan baik dari pihak kreditor dan pihak pinjaman dan penilaian pihak kreditor atas kinerja dari perusahaan (Ayub, 2008:19). 46 2.3 Penelitian Terdahulu Adapun hasil-hasil sebelumnya dari penelitian terdahulu mengenai topik yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 2.1 di bagian lampiran. 2.3.1 Ronald C. Anderson, Sattar A. Mansi dan David M. Reeb (2002), Founding Family Ownership and Agency Cost of Debt Ronald C. Anderson, Sattar A. Mansi dan David M. Reeb (2002) melakukan penelitian dengan judul “Founding Family Ownership and Agency Cost of Debt”. Penelitian tersebut bertujuan untuk melihat pengaruh struktur kepemilikan keluarga pendiri terhadap biaya keagenan utang. Hasil penelitian Anderson dengan dengan menggunakan sampel 252 perusahaan dari database Lehman Brothers Bond dan S&P 500 periode 1993-1998, menemukan perusahaan keluarga cenderung untuk membiayai kegiatan usahanya dari utang daripada menerbitkan saham baru. Hal ini disebabkan karena keluarga pemilik perusahaan tidak ingin melepaskan kendali terhadap perusahaan. Selain itu juga ditemukan bahwa besar kecilnya proporsi family ownership juga memiliki pengaruh signifikan terhadap biaya utang perusahaan. Metode penelitian yang digunakan oleh Anderson et, al. adalah statistik deskriptif, analisis univariat, dan uji multivariat. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel dependen: biaya utang; variabel independen: kepemilikan keluarga. 2.3.2 Gordon S. Roberts dan Lianzeng (Edward) Yuan (2006), Does Institutional Ownership Affect the Cost of Bank Borrowing? Gordon S. Roberts dan Lianzeng (Edward) Yuan (2006) melakukan penelitian dengan judul “Does Institutional Ownership Affect the Cost of Bank Borrowing?.” Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak dari kepemilikan saham institusional, suatu komponen yang sangat penting dari tata kelola perusahaan, pada biaya pinjaman perusahaan. Hasil penelitian Robert dan Yuan dengan sampel perusahaan yang listed di NYSE, NASDAQ, dan AMEX yang termasuk dalam the SDC Syndicated Loan Database periode 1995-2004, menemukan bahwa kepemilikan institusional mengurangi biaya utang perusahaan. Hal ini dikarenakan adanya monitoring yang efektif oleh pihak institusional dapat mendorong manajemen untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Meningkatnya kinerja perusahaan membuat resiko perusahaan menjadi lebih kecil sehingga return yang diinginkan oleh kreditor pun menjadi lebih rendah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah 47 analisis regresi, analisis univariat, analisis bivariat, analisis multivariat dan analisis Ordinary Least Square. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel dependen: cost of loans; variabel independen: kepemilikan institusional. 2.3.3 Yu Mei Chen dan Jiu Young Jian (2007), The Impact of Information Disclosure and Transparency Rankings Systems (IDTRs) and Corporate Governance Structure on Interest Cost of Debt Yu Mei Chen dan Jiu Young Jian (2007) melakukan penelitian dengan judul “The Impact of Information Disclosure and Transparency Rankings Systems (IDTRs) and Corporate Governance Structure on Interest Cost of Debt.” Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki (1) apakah transparansi dalam keterbukaan informasi akan menciptakan dampak pada biaya bunga utang (interest cost of debt), dan (2) apakah struktur tata kelola perusahaan akan mempengaruhi transparansi dalam pengungkapan informasi. Hasil penelitian Chen dan Jian dengan sampel Taiwan Economic Journal Data Bank (TEJ) periode 2003-2004, berdasarkan metode Least Square yang peneliti gunakan untuk menganalisa dampak dari transparansi dalam pengungkapan informasi terhadap biaya bunga, menemukan bahwa perusahaan yang mengungkapkan informasi yang lebih transparan akan mendapat manfaat dari biaya bunga yang jauh lebih rendah daripada yang mengungkapkan informasi kurang transparan. Peneliti kemudian menggunakan Probit Model untuk mengukur dampak dari struktur corporate governance pada transparansi dalam pengungkapan informasi, dan memperoleh suatu konfirmasi bahwa peningkatan kepemilikan saham oleh insider (manajemen, direktur, dan supervisor) dan institusional investor akan secara signifikan mengurangi biaya utang. Chen dan Jian juga menekankan bahwa perusahaan dengan mekanisme corporate governance yang baik akan memperoleh biaya utang yang lebih rendah. Struktur corporate governance yang sehat merupakan salah satu indikator penting yang sangat dipertimbangkan oleh kreditor ketika menentukan risk premium perusahaan. Metode penelitian yang digunakan oleh Chen dan Jian adalah analisis statistik univariat, analisis statistik multivariat, analisis sensitivitas, analisis dengan Logit Model. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel dependen: cost of debt; variabel independen: Information Disclosure and Transparency Ranking System (IDTRs). 48 2.3.4 Maydeliana Ayub (2008), Pengaruh Family Ownership terhadap Cost of Debt Maydeliana Ayub (2008) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Family Ownership terhadap Cost of Debt.” Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh family ownership dan CEO ataupun chairman yang merupakan pendiri dari perusahaan terhadap besarnya cost of debt yang ditanggung oleh perusahaan. Hasil penelitian Ayub dengan sampel perusahaan family ownership yang terdaftar di BEI pada tahun 2007 mengindikasikan bahwa kreditur tidak memperhatikan proporsi family ownership dalam membebankan cost of debt kepada perusahaan. Besar kecilnya proporsi kepemilikan keluarga tidak menggambarkan risiko perusahaan sehingga tidak mempengaruhi keputusan kreditur dalam menentukan besarnya biaya utang. Metode pengujian statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif dan uji asumsi klasik yang meliputi pengujian normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Selain itu, dilakukan pula uji signifikansi model (F-test), uji koefisien determinasi (adjusted R2), dan uji signifikansi parsial (ttest). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel dependen: biaya utang; variabel independen: proporsi dari family ownership dan CEO atau chairman yang merupakan pendiri dari perusahaan; variabel kontrol: ukuran perusahaan, leverage, kinerja, dan resiko. 2.3.5 Juniarti dan Agnes Andriyani Sentosa (2009), Pengaruh Good Corporate Governance, Voluntary Disclosure terhadap Biaya Utang (Costs of Debt) Juniarti dan Agnes Andriyani Sentosa (2009) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Good Corporate Governance, Voluntary Disclosure terhadap Biaya Utang (Costs of Debt).” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah good corporate governance dan voluntary disclosure berpengaruh signifikan terhadap cost of debt. Good Corporate Governance diproksikan dengan proporsi komisaris independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional,dan kualitas audit. Hasil penelitian Juniarti dan Sentosa dengan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun periode 2003-2007 menemukan bahwa 1) Good corporate governance yang diukur dengan proksi: a) Proporsi komisaris independen tidak berpengaruh signifikan terhadap cost of debt, b) Kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap cost of debt, c) Kepemilikan institusional berpengaruh negatif dan signifikan terhadap cost of debt, d) Kualitas audit 49 berpengaruh negatif dan signifikan terhadap cost of debt, 2) Debt equity ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap cost of debt, 3) Ukuran perusahaan (size) tidak berpengaruh signifikan terhadap cost of debt 4) Proporsi komisaris independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kualitas audit, debt equity ratio, dan ukuran perusahaan (size) secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap cost of debt. Metode pengujian statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif dan uji asumsi klasik yang meliputi pengujian normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Selain itu, dilakukan pula uji signifikansi model (F-test), uji koefisien determinasi (adjusted R2), dan uji signifikansi parsial (ttest). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel dependen: biaya utang; variabel independen: kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, proporsi komisaris independen, kualitas audit, dan voluntary disclosure; variabel kontrol: debt equity ratio, dan ukuran perusahaan (firm size). 2.3.6 Narjess Boubakri dan Hatem Ghouma (2010), Creditor Rights Protection, Ultimate Ownership and the Debt Financing Cost and Ratings: International Evidence Narjess Boubakri dan Hatem Ghouma (2010) melakukan penelitian dengan judul “Creditor Rights Protection, Ultimate Ownership and the Debt Financing Cost and Ratings: International Evidance.” Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki dampak gabungan dari struktur ultimate ownership dan kualitas perlindungan kreditur terhadap biaya dan peringkat obligasi perusahaan dalam satu set besar dari negara-negara berkembang. Hasil penelitian Boubakri dan Ghouma dengan sampel penelitian dari The Fixed Investment Securities Database periode 1994-2002 memberikan bukti bahwa kendali keluarga memiliki pengaruh signifikan positif terhadap biaya utang dan berdampak negatif dan signifikan terhadap peringkat obligasi. Peneliti juga menemukan bahwa perlindungan yang lebih baik terhadap pemegang obligasi (bondholders) pada umumnya mengurangi biaya obligasi dan mengingkatkan peringkat obligasi perusahaan. Lebih penting lagi, peneliti menemukan bahwa, baik pemegang obligasi maupun lembaga pemeringkat, penegakkan hukum utang lebih penting daripada keberadaan hukum pada kitab undang-undang. Memang, hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks hak kreditur tidak memiliki dampak yang signifikan pada biaya dan peringkat obligasi, namun sebagian besar langkah-langkah penegakkan utang (keberadaan pendaftaran kredit 50 publik, perkiraan biaya proses kepailitan, efisiensi proses kebangkrutan, dan jumlah hari pelaksanaan kontrak) secara statistik dan ekonomi berpengaruh signifikan. Metode penelitian yang digunakan oleh Boubakri dan Ghouma adalah analisis Ordinary Least Square regression, Ordered Probit Regression, dan statistik deskriptif. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel dependen: biaya dan peringkat utang; variabel independen: struktur ultimate ownership, dan perlindungan hak kreditur. 2.3.7 Akinobu Shuto dan Norio Kitagawa (2010), The Effect of Managerial Ownership on the Cost of Debt: Evidence from Japan Akinobu Shuto dan Norio Kitagawa (2010) melakukan penelitian dengan judul “The Effect of Managerial Ownership on the Cost of Debt: Evidence from Japan.” Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh kepemilikan manajerial terhadap biaya utang. khususnya, penelitian ini menyelidiki hubungan antara kepemilikan manajerial dan biaya utang yang diukur dengan tingkat bunga tersebar pada obligasi perusahaan bagi perusahaan-perusahaan Jepang. Hasil penelitian Shuto dan Kitagawa dengan sampel penelitian dari Bond Database Information System Ltd di Jepang secara keseluruhan, hasil penelitian Shuto dan Kitagawa menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial merupakan faktor penentu penting dari yield obligasi yang diperdagangkan di pasar obligasi Jepang. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa calon investor obligasi berfokus pada agency cost of debt saat ini pada saat penerbitan obligasi untuk menentukan suku bunga kontrak obligasi. Calon investor obligasi menggunakan informasi kepemilikan manajerial untuk mengantisipasi biaya agensi utang masa depan, dan mengestimasikannya semakin besar ketika biaya agensi utang saat penerbitan utang sudah lebih besar. Metode penelitian yang digunakan oleh Shuto dan Kitagawa adalah statistik deskriptif, pearson correlations, spearman rank-order correlation, t-statistics, dan analisis regresi. ). Variabelvariabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel dependen: cost of debt; variabel independen: kepemilikan manajerial. 51 2.3.8 Yulisa Rebecca dan Sylvia Veronica Siregar (2011), Pengaruh Corporate Governance Index, Kepemilikan Keluarga, dan Kepemilikan Institusional terhadap Biaya Ekuitas dan Biaya Utang Yulisa Rebecca dan Sylvia Veronica Siregar (2011) dengan penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Corporate Governance Index, Kepemilikan Keluarga, dan Kepemilikan Institusional terhadap Biaya Ekuitas dan Biaya Utang: Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Periode 2007-2010.” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari corporate governance terhadap biaya ekuitas dan biaya utang perusahaan. Hasil penelitian Rebecca dan Siregar dengan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2007-2010 dalam penelitiannya menyatakan bahwa kepemilikan institusional terbukti berpengaruh signifikan negatif terhadap biaya utang. Dalam hal ini, pihak institusional yang umumnya juga berperan sebagai fidusiari, dianggap memiliki persepsi yang sama dengan pihak kreditor dan memiliki insentif yang lebih besar untuk melakukan monitoring terhadap tindakan manajemen sehingga dapat mengurangi risiko perusahaan dan risiko yang akan ditanggung oleh kreditor. Hasil penelitian Rebecca dan Siregar juga menunjukkan bahwa kepemilikan keluarga tidak berpengaruh signifikan terhadap biaya utang. Hal ini mungkin disebabkan karena agency problem antara manajer dan pemegang saham dapat berkurang pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga. Agency problem antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas yang umumnya terjadi dalam perusahaan dengan kepemilikan keluarga memberikan risiko yang lebih besar kepada investor dibandingkan kreditur sehingga cenderung mempengaruhi keputusan pemegang saham atau calon investor dan tidak terlalu mempengaruhi keputusan kreditor. Metode pengujian statistik yang digunakan adalah uji asumsi klasik yang meliputi pengujian normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Selain itu, dilakukan pula uji signifikansi model (F-test), uji koefisien determinasi (adjusted R2), dan uji signifikansi parsial (t-test). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel dependen: biaya utang dan biaya ekuitas; variabel independen: corporate governance index, kepemilikan keluarga dan institusional; variabel kontrol: leverage, market to book ratio, interest coverage ratio, kinerja dan ukuran perusahaan. 52 2.3.9 Nancy Yunita (2012), Pengaruh Corporate Governance terhadap Voluntary Disclosure dan Biaya Hutang Nancy Yunita (2012) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Corporate Governance terhadap Voluntary Disclosure dan Biaya Hutang.” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh langsung corporate governance terhadap biaya utang dan pengaruh tidak langsung corporate governance terhadap biaya utang dengan voluntary disclosure sebagai variabel pemoderasi. Hasil penelitian Yunita dengan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2008-2010 menemukan bahwa proporsi kepemilikan institusional berpengaruh positif signifikan terhadap cost of debt. Proporsi komisaris independen tidak berpengaruh signifikan terhadap cost of debt. Terakhir, kualitas audit berpengaruh signifikan negatif terhadap cost of debt. Metode pengujian statistik yang digunakan adalah uji asumsi klasik yang meliputi pengujian normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Selain itu, dilakukan pula uji signifikansi model (F-test), uji koefisien determinasi (adjusted R2), dan uji signifikansi parsial (t-test). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel dependen: biaya utang; variabel independen: kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, proporsi komisaris independen, kualitas audit, dan voluntary disclosure. 2.3.10 Abdurahman Syarif Agustiawan (2012), Analisis Pengaruh Corporate Governance terhadap Cost of Debt Abdurahman Syarif Agustiawan (2012) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Corporate Governance terhadap Cost of Debt: Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia Periode 2006-2010.” Penelitian ini bertujuan untuk menguji bagaimana pengaruh corporate governance terhadap cost of debt pada perusahaan manufaktur di BEI periode 2006-2010. Corporate Governance pada penelitian ini difokuskan pada beberapa karakteristik yaitu Proporsi Komisaris Independen, Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional dan Kualitas Audit. Hasil penelitian Agustiawan dengan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2006-2010 menemukan bahwa proporsi komisaris independen, kepemilikan institusional memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap cost of debt. Kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan positif terhadap cost of debt. Kualitas audit tidak memiliki pengaruh 53 signifikan terhadap cost of debt. Metode pengujian statistik yang digunakan adalah uji asumsi klasik yang meliputi pengujian normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Selain itu, dilakukan pula uji signifikansi model (F-test), uji koefisien determinasi (adjusted R2), dan uji signifikansi parsial (ttest). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel dependen: biaya utang; variabel independen: kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, proporsi komisaris independen, dan kualitas audit; variabel kontrol: debt equity ratio, dan ukuran perusahaan. 2.4 Pengembangan Hipotesis 2.4.1 Kerangka Hipotesis Kerangka hipotesis dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut: Variabel Independen Proporsi Komisaris Independen (X1) Kepemilikan Manajerial (X2) RX1Y Kepemilikan Institusional (X3) RX2Y RX4Y RX3Y Kualitas Audit (X4) RX1X2X3X4X5C1C2Y Kepemilikan Keluarga (X5) RX5Y RC1Y Variabel Kontrol RC2Y Debt to Equity Ratio (C1) Ukuran Perusahaan (C2) Gambar 2.1 Kerangka Hipotesis Variabel Dependen Cost of Debt (Y) 54 2.4.2 Perumusan Hipotesis 2.4.2.1 Proporsi Komisaris Independen dengan Biaya Utang Menurut Chtourou et al. (2001:90) dewan komisaris yang independen secara umum mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajemen, sehingga mempengaruhi kemungkinan kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang dilakukan manajemen. Dengan adanya dewan komisaris independen dalam struktur organisasi, perusahaan dapat menyediakan laporan keuangan yang lebih memiliki integritas sehingga kreditor pun dapat melihat kinerja perusahaan tersebut dan yang akhirnya mempengaruhi biaya utang atau tingkat return yang ditetapkan oleh kreditor. Penelitian Anderson et al., (2003:27) menunjukkan bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh negatif terhadap biaya utang (cost of debt). Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H10 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara proporsi komisaris independen terhadap biaya utang. H1a : Terdapat pengaruh signifikan negatif antara proporsi komisaris independen terhadap biaya utang. 2.4.2.2 Kepemilikan Manajerial dengan Biaya Utang Dengan adanya kepemilikan manajerial dalam suatu perusahaan maka manajer akan lebih berhati-hati dalam pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan utang. Untuk itu manajer menekan jumlah utang untuk memperkecil risiko yang mungkin akan terjadi yang juga akan berdampak pada keputusan kreditor dalam menentukan tingkat return yang ditetapkan. Semakin kecil risiko yang dimiliki perusahaan maka kreditor memiliki tingkat keyakinan yang semakin tinggi yang mana hal tersebut mempengaruhi tingkat return yang akan ditetapkan. Dengan keinginan untuk meningkatkan kinerja perusahaan tersebut membuat manajemen akan berusaha untuk mewujudkannya sehingga membuat risiko perusahaan semakin kecil di mata kreditor dan akhirnya kreditor hanya meminta return yang kecil (Juniarti dan Sentosa, 2009:89). 55 Hasil penelitian Anderson et al. (2003:17), dengan sampel perusahaan kepemilikan keluarga dari database Lehman Brother Index periode 1993-1998, menunjukkan bahwa debtholder meminta risk premium yang lebih rendah pada perusahaan yang memiliki kepemilikan manajerial yang besar. Artinya, semakin besar kepemilikan manajemen maka biaya utangnya akan semakin rendah. Semakin besar kepemilikan manajer, maka semakin kecil biaya utang perusahaan karena manajer akan merasakan dampak dari risiko perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: H20 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara kepemilikan manajerial terhadap biaya utang. H2a : Terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara kepemilikan manajerial terhadap biaya utang. 2.4.2.3 Kepemilikan Institusional dengan Biaya Utang Hasil penelitian Juniarti dan Sentosa (2009:97) menunjukkan kepemilikan institusional memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap biaya utang (cost of debt). Hal ini menunjukkan bahwa adanya kepemilikan institusional memberikan pengaruh yang berarti sebagai tindakan monitoring yang dilakukan kepada pihak manajemen. Semakin besar tingkat kepemilikan saham oleh institusi maka semakin efektif pula mekanisme kontrol terhadap kinerja manajemen. Sehingga kreditor memandang risiko perusahaan rendah dan tentu saja hal ini berdampak pada cost of debt yang ditanggung perusahaan sebagai return yang diminta oleh kreditor. Penelitian yang dilakukan Roberts dan Yuan (2006:28) menemukan bukti yang kuat bahwa kepemilikan institusional dapat mengurangi biaya pinjaman secara signifikan. Penelitian ini mengindikasikan bahwa kepemilikan institusional dapat mengurangi biaya pinjaman bank karena dengan kepemilikan institusi yang besar membuat pihak diluar perusahaan melakukan pengawasan/monitoring yang lebih ketat terhadap pihak manajemen sehingga manajemen didorong untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Meningkatnya kinerja perusahaan membuat risiko perusahaan juga kecil sehingga kreditur meminta return yang lebih rendah. Dengan demikian, 56 kepemilikan institusional dapat mengurangi biaya utang yang diterima oleh perusahaan. Elyasiani, et al. (2006:33-34) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peran penting terhadap biaya utang. Hal ini dikarenakan investor institusional berada pada posisi yang lebih baik untuk mempelajari kondisi perusahaan dan mendapat manfaat yang lebih besar. Perhatian yang diberikan oleh investor institusional dapat menciptakan reputasi perusahaan yang lebih baik di pasar modal sehingga memungkinkan untuk memperoleh biaya utang yang lebih rendah. Rebecca dan Siregar (2011:24) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kepemilikan institusional terbukti berpengaruh signifikan negatif terhadap biaya utang. Dalam hal ini, pihak institusional yang umumnya juga berperan sebagai fidusiari, dianggap memiliki persepsi yang sama dengan pihak kreditor dan memiliki insentif yang lebih besar untuk melakukan monitoring terhadap tindakan manajemen sehingga dapat mengurangi risiko perusahaan dan risiko yang akan ditanggung oleh kreditor. Selain itu penelitian Agustiawan (2012:69) menyatakan bahwa kepemilikan institusional dapat mengurangi cost of debt. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kepemilikan institusional memberikan pengaruh yang berarti sebagai tindakan monitoring yang dilakukan kepada pihak manajemen. Semakin besar tingkat kepemilikan saham oleh investor institusi, maka semakin efektif pula mekanisme kontrol terhadap kinerja perusahaan. Sehingga kreditur memandang resiko perusahaan rendah dan tentu saja hal ini berdampak pada berkurangnya cost of debt yang ditanggung perusahaan sebagai return yang diminta oleh kreditur. Berbeda dengan penelitian Roberts dan Yuan (2006); Elyasiani, et al. (2006); Juniati dan Sentosa (2009); serta Rebecca dan Siregar (2011), hasil penelitian Yunita (2012:94) menunjukkan kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap biaya utang. Semakin tinggi kepemilikan institusional maka semakin tinggi pula kebijakan utang perusahaan. Hal tersebut disebabkan pemegang saham institusional sebagai pemegang saham terbesar menginginkan membiayai perusahaan dengan biaya utang karena tidak mengurangi hak mereka gagal (Yunita, 2012:94). Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: 57 H30 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara kepemilikan institusional terhadap biaya utang. H3a : Terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara kepemilikan institusional terhadap biaya utang. 2.4.2.4 Kualitas Audit dengan Biaya Utang Corporate governance yang efektif memerlukan kualitas auditor yang andal. Sanders dan Allen (1993:92) menyatakan bahwa laporan keuangan yang diaudit oleh KAP big four secara statistik berpengaruh positif terhadap peringkat utang suatu perusahaan dimana akan membuat biaya utang menjadi lebih rendah. Hal tersebut karena KAP yang sudah memiliki nama di mata publik (KAP big four) akan lebih dipercayai kualitasnya dibandingkan dengan KAP yang kecil (KAP non big four). KAP besar (KAP big four) dianggap melakukan audit dengan lebih baik dari pada KAP kecil (KAP non big four) karena sumber daya yang dimiliki juga berkualitas. KAP big four diantaranya Pricewater House Coopers, Deloitte Touche Tohmatsu, Ernst & Young dan KPMG (Wikipedia, 2013). Laporan keuangan perusahaan yang diaudit oleh KAP big four dapat lebih dipercaya oleh kreditor sehingga kreditor memiliki keyakinan terhadap perusahaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat biaya utang. Penelitian Juniarti dan Sentosa, (2009:98) serta Yunita (2012:95) membuktikan bahwa kualitas audit berpengaruh signifikan terhadap biaya utang (cost of debt). Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: H40 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara kualitas audit terhadap biaya utang. H4a : Terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara kualitas audit terhadap biaya utang. 2.4.2.5 Family Ownership dengan Biaya Utang Perusahaan keluarga pada umumnya merupakan perusahaan yang dimiliki secara mayoritas oleh keluarga tertentu atau kepemilikan sahamnya terkonsentrasi pada keluarga tertentu (Ayub, 2008:25). Dalam perusahaan yang go public terdapat pemisahan fungsi antara kepemilikan dan manajerial. Hal ini menimbulkan adanya 58 konflik dan biaya diantara shareholders, manajer dan kreditor. Perusahaan yang memiliki pemegang saham yang terkonsentrasi akan memiliki agency cost yang lebih tinggi. Biaya ini bermacam-macam bentuknya, diantaranya dalam bentuk berkurangnya return bagi pemegang saham minoritas, penghindaran resiko yang terlalu berlebihan dan biaya utang yang tinggi (Demsetz dan Lehn, 1985 dalam Ayub, 2009:14). Perusahaan dengan unsur kepemilikan keluarga merupakan perusahaan yang memiliki pemegang saham yang terkonsentrasi. Namun demikian, perusahaan dengan unsur family ownership yang masih dikelola oleh keluarga pendiri perusahaan tersebut dimana pendiri perusahaan bertindak sebagai CEO atau chairman dapat mengurangi konflik yang terjadi antara shareholders, manajer dan kreditor (Ayub, 2009:15). Jensen dan Meckling (1976:4) menyatakan bahwa agency problem antara pemegang saham (principal) dengan manajer (agent), yang disebut juga dengan Agency Problem tipe I, dapat diatasi pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga. Namun demikian, terjadi agency problem lain pada perusahaan ini, yaitu permasalahan antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas yang dikenal dengan Agency Problem tipe II. Keluarga sebagai pemegang saham mayoritas dapat menggunakan tingkat pengendalian yang dimiliki untuk memperoleh keuntungan pribadi pada beban yang ditanggung oleh pemegang saham minoritas. Menurut penelitian yang dilakukan sebelumnya, perusahaan keluarga cenderung untuk membiayai kegiatan usahanya dari utang daripada menerbitkan saham baru. Hal ini disebabkan karena keluarga pemilik perusahaan tidak ingin melepaskan kendali terhadap perusahaan. Selain itu juga ditemukan bahwa besar kecilnya proporsi family ownership juga memiliki pengaruh terhadap biaya utang perusahaan (Anderson et al., 2002:271). Boubakri dan Ghouma (2010:19) menyatakan bahwa ketika kepemilikan keluarga adalah pemegang saham mayoritas perusahaan, mereka cenderung menggunakan kontrol yang dimiliki untuk merugikan pihak kreditur (debtholders). Perusahaan dengan kepemilikan keluarga juga cenderung untuk menggunakan utang dalam membiayai perusahaan daripada menerbitkan saham baru karena mereka ingin melindungi kontrol yang dimiliki terhadap perusahaan. Hal ini akan mengakibatkan 59 tingkat utang perusahaan menjadi lebih tinggi dan resiko yang ditanggung oleh perusahaan pun menjadi lebih tinggi sehingga pihak kreditor mengantisipasi risiko dengan cost of debt yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, perusahaan dengan kepemilikan keluarga sebagai pemegang saham mayoritas dapat memanfaatkan kontrol yang dimilikinya untuk meningkatkan keuntungan pribadi yang sebenarnya merugikan kreditur. Sebagai contoh, pemegang saham mayoritas memiliki insentif untuk melakukan transfer kekayaan melalui aktivitas pendanaan, seperti pembayaran dividen yang melebihi batas tertentu yang telah ditetapkan oleh pihak kreditur (excessive dividend payment). Dengan demikian kepemilikan keluarga diduga berpengaruh positif terhadap biaya utang perusahaan karena adanya insentif-insentif tersebut akan meningkatkan risiko yang ditanggung oleh kreditur sehingga biaya utang perusahaan pun menjadi lebih tinggi. Boubakri dan Ghouma (2010:19) memberikan bukti bahwa kepemilikan keluarga memiliki pengaruh signifikan positif terhadap biaya utang yang diukur dengan bond yield-spreads. Pada umumnya, perusahaan dengan kepemilikan saham yang terkonsentrasi dapat ditemukan pada perusahaan milik keluarga, yaitu perusahaan yang dimiliki secara mayoritas oleh keluarga tertentu. Berbeda dengan penelitian Boubakri dan Ghouma (2010), hasil penelitian Rebecca dan Siregar (2011:24) dan Ayub (2008:52) menunjukkan bahwa kepemilikan keluarga tidak berpengaruh signifikan terhadap biaya utang. Hal ini mungkin disebabkan karena agency problem antara manajer dan pemegang saham dapat berkurang pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga. Agency problem antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas yang umumnya terjadi dalam perusahaan dengan kepemilikan keluarga memberikan risiko yang lebih besar kepada investor dibandingkan kreditur sehingga cenderung mempengaruhi keputusan pemegang saham atau calon investor dan tidak terlalu mempengaruhi keputusan kreditor. Disamping itu, penelitian Ayub (2009:52) mengindikasikan bahwa kreditur tidak memperhatikan proporsi family ownership dalam membebankan cost of debt kepada perusahaan. Besar kecilnya proporsi kepemilikan keluarga tidak menggambarkan risiko perusahaan sehingga tidak mempengaruhi keputusan kreditur 60 dalam menentukan besarnya biaya utang. Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: H50 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan positif antara kepemilikan keluarga terhadap biaya utang. H5a : Terdapat pengaruh yang signifikan positif antara kepemilikan keluarga terhadap biaya utang.