Topik Utama PENGEMBANGAN PENGUSAHAAN GAS SINTESIS BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKU PUPUK Sujarwo Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara "tek-MIRA" [email protected] SARI Kebutuhan gas alam atau gas bumi terus meningkat, baik sebagai sumber energi dalam industri maupun rumah tangga dan sebagai bahan baku dalam industri kimia seperti industri pupuk. Pasokan gas alam yang tersendat telah berdampak pada penghentian sementara produksi pupuk di dalam negeri. Gasifikasi batubara dicoba sebagai alternatif pemecahan masalah kekurangan pasokan gas alam tersebut. Analisis terhadap ketersediaan gas alam dan batubara, serta analisis finansial menyimpulkan bahwa prospek pengembangan pengusahaan gas sintesis batubara pada saat ini tidak bagus. Hal ini terutama disebabkan oleh harga batubara yang relatif tinggi dan ketersediaan gas alam di dalam negeri yang menyebabkan harganya relatif lebih rendah dari pada gas sintesis. Investasi pengembangan gas sintesis berbasis batubara akan layak secara finansial pada saat ini (2011/2012), apabila harga batubara di bawah $ 50,-/ton dan harga gas alam di atas $ 7.50/mmbtu. Kata kunci : gas alam, batubara, gasifikasi, gas sintesis 1. LATAR BELAKANG Harga bahan baku pupuk terus meningkat. Sementara itu, permintaan terhadap pupuk pun terus melonjak. Hal itu dipastikan akan membuat harga pupuk naik. Subsidi pupuk untuk petani yang semula dianggarkan Rp 6,7 triliun, kini menjadi Rp 17 triliun. Melonjaknya harga minyak dunia membuat banyak negara mengembangkan bahan bakar nabati untuk mengganti bahan bakar fosil. Hal ini membuat kegiatan di bidang pertanian turut meningkat dan kebutuhan pupuk pun naik. Di samping itu Indonesia memiliki sumber daya batubara sekitar 161 milyar ton dengan jumlah cadangan terbukti sebesar 28,02 milyar ton (Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Jakarta, 2011). Batubara merupakan salah satu bahan baku gas sintesis yang dapat dimanfaatkan untuk menyubstitusi gas alam sebagai bahan baku pupuk. Gas alam 54 yang mulai sulit didapat, telah mendorong pemerintah untuk melirik gas sintesis sebagai penggantinya. Selanjutnya, teknologi gasifikasi telah berkembang di dunia, tetapi belum diterapkan di Indonesia. Sementara itu, pada tahun 2010 Puslitbang tekMIRA telah berhasil melakukan gasifikasi batubara pada skala laboratorium. Hal ini memberikan harapan pengusahaan gas sintesis dapat dikembangkan di Indonesia. Namun demikian, agar pengusahaan tersebut dapat dikembangkan, maka diperlukan suatu dukungan kajian yang komprehensif untuk mengetahui prospek investasi pengembangannya. Beberapa peraturan perundang-undangan dapat dijadikan dasar hukum dalam pengembangan gasifikasi batubara ini, di antaranya adalah: M&E, Vol. 11, No. 1, Maret 2013 Topik Utama Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Di samping itu juga telah diterbitkan beberapa Peraturan Pemerintah (PP) untuk mendukung pelaksanaan UU tersebut, antara lain: PP Nomor 23 tahun 2010, tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 34 Tahun 2009, tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara Untuk Kepentingan Dalam Negeri, PP Nomor 45 Tahun 2008 tentang Kemudahan Penanaman Modal di Daerah. Peraturan Presiden (Perpres) juga telah diterbitkan berupa Perpres Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Oleh karena itu, pengembangan gasifikasi memberikan harapan yang besar sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah pasokan gas alam pada industri pupuk. Namun demikian, cadangan batubara dan gas alam yang besar di dalam negeri belum bisa mendukung pengembangan gasifikasi dalam skala komersial, karena terkendala fluktuasi harga gas alam dan batubara yang cenderung terus meningkat. Tujuan dari kajian ini adalah melakukan kajian prospek investasi pengembangan gas sintesis batubara. 2. METODOLOGI Dalam kajian ini diterapkan metodologi penelitian survei, yaitu pemercontohan secara langsung ke industri pupuk dan industri batubara yang ada di Provinsi-provinsi: Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dan Jawa Timur. Kemudian ditunjang dengan melakukan koordinasi dan pendataan ke instansi terkait, seperti Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Minerba, Direktorat Jenderal Migas, Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI), BKPM, Dinas Pertambangan dan Energi. Di samping itu, digunakan metode penelitian nonsurvei, yaitu dilakukan di studio meliputi penelusuran referensi, pengolahan dan analisis serta penyusunan laporan. Untuk analisis investasi dilakukan melalui analisis cash flow, biaya dan harga. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Ketersediaan Gas Alam Sebagai Bahan Baku Pupuk Masalah utama dalam produksi pupuk di dalam negeri selama ini adalah ketidaklancaran pasokan gas alam sebagai bahan baku pupuk. Pasokan gas tersebut sering kurang atau terlambat sampai di lokasi-lokasi pabrik pupuk, meskipun pabrik pupuk tersebut berlokasi di wilayah atau daerah penghasil gas alam. Harga gas alam dunia yang cenderung terus meningkat mendorong pemerintah dan para operator untuk terus mengekspor melalui kontrak jangka panjang. Di samping itu juga tidak mudah untuk memperoleh persetujuan kontrak pembelian dari para operator, seperti Pertamina, Medco, dan Exon. Namun demikian, beberapa kebijakan baru telah dibuat oleh pemerintah untuk menangani masalah pasokan gas di dalam negeri. Terkait dengan pemanfaatan gas bumi untuk domestik, pemerintah telah mengeluarkan Permen ESDM No. 3 Tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Kebutuhan Dalam Negeri. Salah satu tujuannya adalah untuk menjamin ketersediaan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri secara optimal dengan mempertimbangkan ketersediaan infrastruktur dan keekonomian pengembangan lapangan gas bumi. Selain kuota gas untuk masing-masing pabrik pupuk yang menurun, masalah lain juga disebabkan oleh belum lengkapnya infrastruktur distribusi gas tersebut. Infrastruktur dimaksud adalah jaringan pipa gas maupun terminal gas Pengembangan Gas Sintesis Batubara Sebagai Bahan Baku Pupuk ; Sujarwo 55 Topik Utama yang tersedia di lokasi pabrik pupuk. Selain itu, melambungnya harga gas dan minyak bumi di pasar global menjadi kesulitan lain yang dihadapi kalangan industri dalam melakukan produksi. — Data Neraca Gas Indonesia jangka menengah (2010-2014), menunjukkan bahwa contracted demand dapat dipenuhi rata-rata sebesar 115% pertahun dari existing supply dan project supply. Sedangkan dari sisi contracted demand dan committed demand hanya dapat dipenuhi rata-rata sebesar 81,7% pertahun dari existing supply dan project supply. Hal tersebut disebabkan oleh menurunnya kemampuan produksi secara alamiah dan adanya kenaikan committed demand. Data terakhir untuk harga gas bumi yang didistribusikan melalui pipa terlihat pada Tabel 1. Untuk mengatasi defisit gas tersebut, pemerintah telah menerbitkan Neraca Gas Indonesia 2010-2025 yang membagi neraca gas bumi Indonesia untuk 12 wilayah, yaitu: NAD, Sumatera Utara, Sumatera Bagian Selatan dan Tengah, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Papua dan Maluku. Berdasarkan pemutakhiran data supply-demand untuk 12 wilayah dapat diketahui bahwa: — Data Neraca Gas Indonesia jangka panjang — Data Neraca Gas Indonesia jangka pendek (2010), menunjukkan bahwa contracted demand hanya dapat dipenuhi sebesar 88,9% dari existing supply dan project supply. Hal tersebut disebabkan adanya penurunan produksi dari lapangan gas bumi serta terjadinya keterlambatan produksi dari lapangan gas bumi baru. Sedangkan dari contracted demand dan committed demand hanya dapat dipenuhi sebesar 75,7% dari existing supply dan project supply. (2010-2025), menunjukkan bahwa contracted demand dapat dipenuhi, bahkan mengalami over supply rata-rata sebesar 148% pertahun dari existing supply dan project supply. Hal tersebut disebabkan adanya penambahan pasokan yang diperkirakan dari mulai berproduksinya lapangan gas bumi yang berstatus project supply dan menurunnya contracted demand pada masa-masa akhir kontraknya. Sedangkan dari sisi contracted demand dan committed demand hanya dapat dipenuhi rata-rata sebesar 73% pertahun dari existing supply dan project supply. Hal tersebut disebabkan oleh menurunnya kemampuan produksi secara alamiah dan adanya kenaikan committed demand. Tabel 1. Harga jual rata-rata gas bumi melalui pipa per-provinsi NO PROVINSI 1 Sumatera Utara 2 3 Sumatera Selatan Riau 4 HARGA RATA-RATA INDUSTRI ($/MMBTU) 7,90 5,63 – 9,92 8,08 7,37 7,37 Kepulauan Riau 7,37 7,37 5 Jambi 5,25 5,25 6 Banten 3,65 – 13,50 6,58 7 Jawa Barat 3,40 - 10 6,18 8 DKI Jakarta 6,75 – 8,77 7,35 9 Jawa Timur 6,55 – 8,77 7,16 TOTAL 56 HARGA INDUSTRI ($/MMBTU) 6,61 – 9,99 7,03 M&E, Vol. 11, No. 1, Maret 2013 Topik Utama Penerbitan neraca gas ini penting mengingat besarnya potensi gas di Indonesia, yang menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi mencapai 334,5 triliun kaki kubik (status 2008). Sementara itu, cadangan gas bumi Indonesia saat ini 170 triliun kaki kubik. Dengan produksi gas bumi per tahun sekitar 2,87 triliun kaki kubik menjamin Indonesia memiliki reserve to production (R/P) selama 59 tahun. Untuk mengembangkan gas bumi, pemerintah juga telah menerbitkan Keputusan Menteri ESDM No. 0225.K/11/MEM/2010 tentang Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional tahun 2010-2025. Diharapkan dengan tersedianya landasan kebijakan tersebut dapat memberikan kepastian hukum atas rencana pengembangan infrastruktur sarana transportasi gas bumi domestik. 3.2. Ketersediaan Batubara Sebagai Bahan Baku Gas Sintesis Total cadangan batubara terbukti (proved reserve) di dunia menurut data dari World Energy Council (WEC) tahun 2005 mencapai 909 miliar ton, di antaranya 246 miliar ton adalah cadangan batubara di Amerika Serikat yang memiliki cadangan batubara terbesar di dunia. Dengan kondisi ini, maka bila tidak ditemukan cadangan baru, maka ratio R/P batubara dunia adalah 35. Cadangan batubara Indonesia tidak begitu besar. Menurut data yang dikumpulkan oleh World Energy Council (WEC) tahun 2005, Indonesia hanya mempunyai cadangan batubara terbukti atau cadangan yang dapat diproduksi secara ekonomis 4,97 miliar ton, atau hanya 0,5% dari cadangan terbukti di dunia. Angka ini berbeda dibanding dengan angka dari Kementerian ESDM yang menghitung cadangan terbukti sebesar 6,9 miliar ton. Karena perkembangan kegiatan eksplorasi, maka pada tahun 2009 cadangan terbukti meningkat menjadi 18,8 miliar ton. Peningkatan cadangan ekonomis juga terjadi karena semakin tingginya harga batubara, sehingga cadangan yang sebelumnya tidak ekonomis menjadi cadangan yang ekonomis. Pada masa mendatang, produksi batubara Indonesia diperkirakan akan terus meningkat; tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk memenuhi permintaan luar negeri (ekspor). Hal ini mengingat sumber daya batubara Indonesia yang masih melimpah, di lain pihak harga bahan bakar minyak (BBM) yang tetap tinggi, menuntut industri yang selama ini berbahan bakar minyak untuk beralih menggunakan batubara. Jika dilihat dari potensi batubara yang ada di Indonesia, kegiatan eksploitasi batubara memang cukup menjanjikan dan dapat dijadikan sebagai sumber energi alternatif pengganti minyak bumi. Jumlah cadangan sebesar 104,94 miliar ton diharapkan mampu diproduksi selama 76,84 tahun. Angka ini jauh di atas angka ratio R/P dunia yang hanya sebesar 35. Dari sisi konsumsi, hingga saat ini segmen pasar batubara di dalam negeri meliputi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), industri semen, industri menengah hingga industri kecil dan rumah tangga. Dalam kurun waktu 20052010, konsumsi batubara di dalam negeri berkembang 12,40%. Di sini terlihat bahwa konsumsi terbesar dimanfaatkan untuk PLTU, sebesar 59,78%, dan sisanya dimanfaatkan untuk kebutuhan industri lain. Hal ini tidak terlepas dari Kebijakan Energi Nasional yang sangat berperan dalam mendorong peningkatan konsumsi batubara dalam negeri. Dari tren ekspor batubara yang peningkatannya sangat signifikan sekitar 16,00% per tahun, maka pada tahun 2025 diproyeksikan akan mencapai 438 juta ton. Kondisi tersebut tidak diharapkan, karena tidak sejalan dengan rencana pengembangan batubara Indonesia. Untuk tahun 2025, jumlah rencana produksi sebesar 318 juta ton untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar 214 juta ton dan untuk memenuhi permintaan luar negeri sebesar 104 juta ton. Dengan demikian diperlukan aksi nyata untuk pengawasan dan pengendalian ekspor batubara agar kepentingan dalam negeri terlindungi. Batasan penerbitan izin penambangan yang baru dan peningkatan produksi, seharusnya Pengembangan Gas Sintesis Batubara Sebagai Bahan Baku Pupuk ; Sujarwo 57 Topik Utama mendapatkan pengawasan yang lebih ketat. Namun hal ini tidak mudah dilakukan pada era otonomi saat ini selama UU Nomor 32 tentang Pemerintah Daerah tidak membatasi hal ini. 3.3. Teknologi Pembuatan Gas Sintesis Hingga saat ini, produksi gas sintesis melalui gasifikasi batubara terus berlangsung karena cadangan batubara dunia yang begitu melimpah. Berdasarkan data BP World Energy Review tahun 2004, dengan tingkat produksi sebesar 4,9 miliar ton per tahun (akhir 2003), cadangan batubara terbukti dapat bertahan hingga 192 tahun, sedangkan minyak dan gas, dengan tingkat produksi saat itu, masing-masing hanya mampu bertahan selama 41 tahun dan 67 tahun saja. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan cadangan batubara yang dinilai mampu bertahan hingga 192 tahun, maka kalangan industri lebih memilih batubara daripada BBM dan gas untuk masa depannya. Hal ini juga didukung oleh harga gas alam maupun BBM yang terus meningkat. Kondisi yang demikian mendorong teknologi gasifikasi terus berkembang, bahkan beberapa di antaranya telah sampai pada tahap komersial. Meskipun teknologi gasifikasi belum berkembang di Indonesia, teknologi tersebut telah berkembang di luar, misalnya: Shell, Sasol Lurgi, GE, Ecust, E-Gas (U.S. Department of Energy, USA Gov., 2011). Dengan demikian, apabila Indonesia akan mengembangkan gasifikasi bagi kepentingan industri domestik, maka harus mengadopsi satu atau beberapa teknologi yang sudah mapan tersebut yang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Pembayaran royalti kepada pemilik teknologi juga perlu mendapat perhatian, karena bila untuk keperluan industri, maka royaltinya akan mahal. Menurut Suprapto (2011), pada saat ini terdapat 45 pabrik gasifikasi yang komersial di dunia dan sebagian besar memanfaatkan gas tersebut untuk bahan kimia, listrik dan bahan bakar. Cina merupakan negara yang mengaplikasikan teknologi gasifikasi paling besar (26 pabrik) dengan berbagai sistem reaktor: fixed bed, entrained bed, dan fluidized bed. 58 Teknologi gasifikasi terus berkembang, salah satu di antaranya adalah TIGAR yang merupakan pengembangan dari fluidized bed. Namun demikian untuk pengembangannya di Indonesia, selain masalah royalti, juga terdapat beberapa kendala seperti diuraikan oleh Suprapto (2011) sebagai berikut: – Teknologi tinggi dan padat modal. – Pabrik gasifikasi harus terintegrasi dengan pengguna (industri kimia). – Tidak ada jaminan pasar untuk produk (syngas dan SNG). – Gas alam masih merupakan bahan baku utama industri kimia terutama pabrik pupuk urea. – Belum ketatnya standar lingkungan (terutama emisi CO2). – IGCC tidak bisa bersaing (harga listriknya) dengan PLTU batubara. – Jika dirubah menjadi SNG perlu infrastruktur gas (terminal dan pipa transportasi). 3.4. Kelayakan Finansial dan Ekonomi Pengembangan Syngas Untuk menilai kelayakan finansial pengembangan syngas sebagai bahan baku pupuk dilakukan tinjauan dan bahasan hasil studi terdahulu yang dilakukan oleh instansi-instansi yang telah melakukan studi tersebut. Namun demikian dari enam kajian yang ada, hanya terdapat dua kajian yang dapat dibahas karena pertimbangan kelengkapan data pada kajian-kajian tersebut. Oleh karena itu, pembahasan dilakukan untuk kajian pada kerja sama antara PT. Pupuk Sriwijaya (Pusri) dengan PT. Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) dan PT. Pusri Holding dengan ARDEMIR, Sojitz Corporation, IHI. • PT. Pusri dengan PTBA Pengujian kelayakan finansial biasa dilakukan melalui analisis cash flow. Demikian pula dalam kajian yang dilakukan oleh PTBA dan PT. Pusri. Parameter yang digunakan dalam analisis finansial adalah investasi tersebut layak apabila: NPV (net present value)> 0 IRR (internal rate of return)>0 – – M&E, Vol. 11, No. 1, Maret 2013 Topik Utama Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua parameter adalah >0, sehingga investasi tersebut dinilai layak dengan kondisi investasi seperti pada tahun 2008 dengan harga batubara yang sesuai dengan kondisi pada waktu itu. NPV = 0, sehingga pada saat terjadi kenaikan harga batubara lebih besar dari 15%, maka terjadi penurunan nilai IRR, sehingga nilai NPV menjadi < 0 (lihat Gambar 1). Oleh karena itu, bila NPV < 0, maka investasi menjadi tidak layak secara finansial. Namun demikian, penilaian kelayakan pada waktu itu tidak dapat berlaku untuk tahuntahun berikutnya, karena kondisinya yang sangat sensitif terhadap perubahan harga batubara. Hal ini dapat dicermati pada hasil analisis sensitivitas yang tertera pada Gambar 1. Kenaikan harga batubara sebesar 10% dapat berdampak pada penurunan IRR dari 13,22% menjadi sekitar 7%. Bila harga batubara terus meningkat, misalnya sampai 20%, maka IRR akan menuju negatif. Data perkembangan harga batubara di Indonesia menunjukkan bahwa harga tersebut cenderung terus naik sepanjang tahun. Untuk batubara kalori rendah (<5.000 k kal/ kg) terjadi peningkatan harga sebesar 23,09%-25,08%. Peningkatan harga yang tinggi tersebut membuat IRR <0, demikian pula NPV <0. Jelas peningkatan ini secara finansial sangat tidak menguntungkan bagi investasi gas sintesis. Meskipun investasi tersebut dinilai layak secara finansial, namun kelayakan finansial ini hanya berlaku pada saat IRR >13,22%. Pada waktu nilai IRR sebesar 13,22%, maka 14% • PT. Pusri Holding dengan ARDEMIR,Sojitz Corporation, IHI PT. Pusri Holding melakukan analisis cash flow untuk menilai kelayakan finansial dengan parameter IRR dan NPV. Dalam kajian ini, harga batubara merupakan variabel yang dominan, sehingga kelayakan investasi juga sangat dipengaruhi oleh variabel tersebut. Di samping itu juga dipengaruhi oleh tingkat harga gas alam. 13,22% IRR 12% -5% 6% 0% 5% 10% 15% 0% Perubahan harga batubara Gambar 1. Pengaruh perubahan harga batubara >15% terhadap IRR Pengembangan Gas Sintesis Batubara Sebagai Bahan Baku Pupuk ; Sujarwo 59 Topik Utama a) Biaya Kelayakan finansial juga dinilai dari perbandingan biaya antara bahan baku gas alam terhadap gas sintesis batubara. Dengan bahan baku gas alam, besar intermediate cost adalah sekitar $ 160,- sehingga investasi syngas dinilai kompetitif apabila besar intermediate cost lebih kecil dari $ 160.-. Batubara dari jenis Eco Coal dan C Coal memenuhi kondisi ini (Gambar 2). Namun demikian, nilai kompetitif tersebut terjadi pada harga batubara $ 15/t dan harga gas alam $ 4/MMBtu. Pada harga batubara $ 40.terlihat tidak kompetitif. Bila terjadi perubahan harga gas alam, misalnya kenaikan harga yang tinggi pada gas alam, maka penggunaan gas sintesis batubara akan menjadi lebih kompetitif terhadap gas alam. Pada saat harga gas alam naik menjadi $ 6/MMBtu agar tetap kompetitif, maka harga batubara harus kurang dari $ 38/ t. 250 - Eco Coal - Coal C - Coal E - Natural Gas 200 150 100 50 0 1 2 3 4 5 Sumber: PT. Pupuk Sriwidjaja (Holding), 2007 Gambar 2. Evaluasi intermediate gas cost (Harga batubara $ 15/t dan gas alam $ 4/MMBtu) Selanjutnya, harga batubara kalori rendah pada tahun 2009 berkisar antar $ 38,03/t sampai $ 50,75/t dan pada tahun 2010 meningkat menjadi $ 47,04/t sampai $ 63,45/ t. Dengan harga setinggi ini, maka syngas batubara tidak kompetitif lagi. 60 Demikian pula bila terjadi penurunan harga gas alam, maka harus terjadi penurunan harga batubara agar syngas menjadi kompetitif. Simulasi terhadap analisis sensitivitas menunjukkan bahwa bila harga gas alam $ 3,43/MMBtu, maka intermediate cost akan mencapai sekitar $ 140/ton NH 3. Harga batubara pada kondisi tersebut adalah sekitar $ 13/t (Gambar 3 dan Gambar 4). Jadi nilai kompetitif syngas dari sisi biaya tidak hanya bergantung pada harga gas alam tetapi juga pada harga batubara. b) IRR dan NPV Dalam kajian PT. Pusri Holding harga kedua parameter IRR dan NPV adalah positif, sehingga investasi syngas batubara dinilai kompetitif terhadap gas alam. Proyeksi yang digunakan dalam kajian tersebut untuk harga batubara pada tahun pertama (2010) adalah $ 15/t dan pada tahun ke 20 (2030) adalah $ 18. Untuk harga gas alam diproyeksikan sebagai berikut: pada tahun pertama $ 4/ MMBtu dan pada tahun ke 20 adalah $ 6/ MMBtu. Dengan kondisi ini, maka NPV selama 9 tahun pertama adalah negatif, dan NPV berubah menjadi positif setelah tahun ke 10. Nilai NPV pada tahun ke 20 adalah $260 dengan IRR sebesar 10,4%. Intermediate cost sangat sensitif terhadap perubahan harga batubara, sehingga selisih harga batubara yang sangat tinggi antara harga proyeksi dengan harga pasar pada saat ini berdampak pada peningkatan intermediate cost. Pada harga batubara (2010) mencapai $ 50/ton, maka intermediate cost meningkat berturut-turut dari $ 160/ton NH3 ke $ 200/ton NH3 dan $ 280/ton NH3 sesuai dengan peningkatan harga gas alam ( Gambar 5 dan Gambar 6). Hal ini akan berdampak negatif terhadap cash flow. Pada saat harga gas alam pada 2011 juga meningkat menjadi $ 7.03/mmbtu sehingga melebihi harga proyeksi, maka kenaikan harga gas alam ini tidak banyak berpengaruh terhadap NPV dan IRR dalam M&E, Vol. 11, No. 1, Maret 2013 Topik Utama Analisis Sensitivitas Intermediate Gas Cost ($/ton NH3) 400 350 300 Coal E 250 ECO 200 4$ 150 5$ 100 6$ 50 3.43 $ 0 0 20 40 60 80 100 Coal Price ($/ton) Gambar 3. Pengaruh harga gas alam dan batubara terhadap intermediate cost Intermediate Gas Cost ($/ton NH3) Analisis Sensitivitas 400 350 300 250 200 ECO 150 3.43 $ 100 xx 50 0 0 20 40 60 80 100 Coal Price ($/ton) Gambar 4. Simulasi nilai intermediate cost pada harga gas alam $ 3.43/MMBtu Pengembangan Gas Sintesis Batubara Sebagai Bahan Baku Pupuk ; Sujarwo 61 Topik Utama Intermediate Gas Cost ($/ton NH3) Analisis Sensitivitas 400 350 300 250 Coal E 200 ECO 150 4$ 100 5$ 50 6$ 0 0 20 40 60 80 100 Coal Price ($/ton) Gambar 5. Simulasi nilai intermediate cost pada harga batubara $ 50/ton Intermediate Gas Cost ($/ton NH3) Analisis Sensitivitas 400 350 300 250 Coal E 200 ECO 150 4$ 100 5$ 50 6$ 0 0 20 40 60 80 100 Coal Price ($/ton) Gambar 6. Ssimulasi nilai intermediate cost pada harga gas alam $ 7.03/mmbtu 62 M&E, Vol. 11, No. 1, Maret 2013 Topik Utama arti nilai NPV dan IRR tetap negatif, karena intermediate cost yang tetap tinggi. Dengan demikian, secara finansial investasi syngas tersebut tetap tidak layak. tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Kebutuhan Dalam Negeri. f. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.a. Kesimpulan a. Kelangkaan energi di dunia membuat harga pasar migas dan batubara membubung tinggi. Harga energi yang tinggi akan berdampak langsung pada kemampuan pemerintah dalam penyediaan energi yang memadai untuk masyarakat dan industri. b. Selama ini, gas alam diperlakukan sebagai komoditas dalam peningkatan devisa. Dampak positifnya adalah dapat mendorong pendapatan nasional dan daerah, sedangkan kerugian yang timbul adalah tersendatnya produksi pupuk nasional. c. Masalah utama dalam produksi pupuk di dalam negeri selama ini adalah ketidaklancaran pasokan gas alam sebagai bahan baku pupuk. Selain kuota gas untuk masing-masing pabrik pupuk yang menurun, masalah lain juga disebabkan oleh belum lengkapnya infrastruktur distribusi gas tersebut. Infrastruktur dimaksud adalah jaringan pipa gas maupun terminal gas yang tersedia di lokasi pabrik pupuk. Di samping itu juga tidak mudah untuk memperoleh persetujuan kontrak pembelian dari para operator seperti Pertamina, Medco, dan Exon. d. Untuk mengembangkan gas bumi, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri ESDM No. 0225.K/11/MEM/2010 tentang Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional tahun 2010-2025. Diharapkan dengan tersedianya landasan kebijakan tersebut dapat memberikan kepastian hukum atas rencana pengembangan infrastruktur sarana transportasi gas bumi domestik. e. Terkait dengan pemanfaatan gas bumi untuk domestik, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No.03 Tahun 2010 Gasifikasi batubara dapat digunakan untuk menghasilkan gas bakar dan gas sintesis. Teknologi ini belum berkembang di Indonesia, namun telah berkembang dan diaplikasikan secara luas di beberapa negara seperti: Cina, Afrika Selatan, USA, Belanda, Jerman, Republik Ceko, Ex-Yugoslavia, Italia dan Jepang. Beberapa perusahaan yang mengembangkan teknologi tersebut adalah: Shell, Sasol Lurgi, GE, Ecust, E-Gas. g. Sampai saat ini (2013) investasi pengembangan gas sintesis berbasis batubara untuk produksi pupuk di Indonesia belum memiliki prospek yang baik, karena harga batubara yang terus meningkat, sehingga pengunaan gas alam dinilai masih lebih ekonomis daripada gas sintesis batubara. h. Di samping pengaruh harga batubara yang terus meningkat, kelayakan investasi gas sintesis batubara juga dipengaruhi oleh harga gas alam di dalam negeri yang relatif masih rendah. i. Investasi pengembangan gas sintesis berbasis batubara akan layak secara finansial pada saat ini, apabila harga batubara di bawah $ 50,-/ton dan harga gas alam di atas $ 7.50/mmbtu. 4.b. Saran a. Pemerintah secepat mungkin membangun infrastruktur jaringan distribusi gas alam ke lokasi industri pupuk maupun industri lainnya untuk memperlancar pasokan gas alam, sehingga industri pupuk dan industri lain di dalam negeri dapat berproduksi sesuai target dan kapasitas produksinya. b. Pelaksanaan Permen ESDM No. 3 Tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Kebutuhan Dalam Negeri perlu dikawal dan diawasi dengan ketat, agar tidak menjadi macan kertas yang tidak mampu mencapai sasaran dan tujuannya. 63 Topik Utama DAFTAR PUSTAKA Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, 2011, Mineral and Coal 2011, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, ESDM, Jakarta. Keputusan Menteri ESDM No. 0225.K/11/MEM/ 2010 tentang Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional tahun 2010-2025. Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 34 Tahun 2009, tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara Untuk Kepentingan Dalam Negeri. Permen ESDM No. 3 Tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Kebutuhan Dalam Negeri. Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010, tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang Kemudahan Penanaman Modal di Daerah. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 64 PT. Pupuk Sriwijaya., 2010, Pra Studi Kelayakan Gasifikasi Batubara Sebagai Bahan Baku dan Bahan Bakar Pabrik Urea dan Amoniak PT. PUSRI Palembang, Executive Summary, PT. Pupuk Sriwijaya. PT. Pupuk Sriwidjaja (Holding), Sojitz Corporation, Ishikawajima-Harima Heavy Industries Co., Ltd, 2007,Study on Integration of TIGAR Gasifier into Ammonia Plant, The Agency of Research and Development for Energy and Mineral Resources, PT. Pupuk Sriwidjaja (Holding), Sojitz Corporation, Ishikawajima-Harima Heavy Industries Co., Ltd. Suprapto, Slamet, 2011, Perkembangan dan Kemajuan Pemanfaatan Gasifikasi Batubara di Indonesia, Balitbang Energi dan Sumber Daya Mineral, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA), Presentasi, Bogor, 18 Juli 2011. Suprapto, Slamet,M.Sc., Perkembangan Teknologi Gasifikasi Batubara, Disampaikan pada Kolokium Pertambangan 2011, Balitbang Energi dan Sumber Daya Mineral, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA), Bandung 30 Nopember 2011. U.S. Department of Energy, 2011, Gasification in Detail, Gasifipedia, NETL, The Energy Lab., U.S. Department of Energy, USA Gov. M&E, Vol. 11, No. 1, Maret 2013