BAB II DASAR TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka Poros yang disambung dengan pengelasan membutuhkan pengamatan yang detail dalam perancangannya, khususnya tegangan sisa, struktur mikro dan frekuensi natural yang muncul pada poros tersebut karena ketiga hal tersebut saling berkaitan. Penelitian mengenai tegangan sisa pada poros akibat penyambungan dengan pengelasan dan pengurangan tegangan tersebut menggunakan heat treatment stress relief annealing belum banyak dilakukan hingga saat ini. Dalam penelitian ini poros akan disambung dengan proses pengelasan SMAW (Shield Metal Arc Welding). Dalam pengelasan SMAW terbentuk gas pelindung saat elektroda yang terbungkus mencair, sehingga dalam proses ini tidak diperlukan tekanan gas inert untuk menghilangkan pengaruh oksigen atau udara yang dapat menyebabkan korosi atau gelembung di dalam hasil pengelasan. Tegangan sisa adalah area bertegangan yang ada pada material meskipun tidak ada gaya luar yang bekerja. Tegangan sisa pada poros perlu diteliti lebih lanjut karena pengelasan pada poros terdiri dari beberapa lapisan las yang mempengaruhi tegangan sisa yang terbentuk. Tegangan sisa tekan di bawah permukaan dapat menambah kekuatan lelah dan menghalangi retak akibat tegangan maupun karat (Cheng dan Finnie, 2007). Widyanto (2014) menyatakan bahwa tegangan sisa adalah tegangan yang bekerja pada bahan setelah semua gaya luar yang bekerja pada bahan dihilangkan. Futichah dan Muslih (2007) menyatakan tegangan sisa yaitu gaya elastis yang dapat mengubah jarak antar atom dalam bahan tanpa adanya beban dari luar. Funderburk (1998), menyatakan bahwa bila material dipanaskan secara seragam hingga temperatur cukup tinggi, tetapi di bawah garis temperatur transformasi, kemudian didinginkan secara seragam dan perlahan dapat menyebabkan terjadinya pelepasan tegangan sisa. Lebih lanjut Jerry dan Priadi (2013) menyatakan bahwa proses perlakuan panas stress relief annealing 7 8 menghilangkan energi regangan internal dengan penyusunan ulang dislokasi. Rekristalisasi merupakan proses akhir dari perlakuan panas ini, menyebabkan terjadinya pertumbuhan ukuran butir ferit. Hasil dari penelitian Jerry dan Priadi (2013) menyimpulkan bahwa regangan berbanding terbalik dengan distribusi ukuran butir, tetapi regangan berbanding lurus dengan tegangan. Dalam penelitian ini akan digunakan metode pengukuran tegangan sisa menggunakan hamburan neutron. Metode hamburan neutron masih sangat jarang dimanfaatkan oleh para engineer dalam pengukuran tegangan sisa. Menurut Hutching, dkk. (2005), neutron dapat menembus lebih dalam dibanding sinar-X, sehingga dapat digunakan untuk mengukur regangan sisa elastis pada struktur komponen sampai kedalaman centimeter. Sedangkan Fitzpatrick dan Lodini (2003), menyatakan bahwa berkas neutron dengan panjang gelombang (λ) 0,18 nm dapat menembus besi hingga kedalaman 1 cm dan 10 cm pada aluminium. Pengujian struktur mikro dan frekuensi natural baja AISI 1020 setelah dilakukan proses perlakuan panas stress relief annealing untuk mengetahui adakah perubahan sifat mekanis dari baja tersebut setelah mendapatkan perlakuan panas. Mizhar dan Suherman (2011) menyatakan bahwa perubahan struktur mikro pada baja berpengaruh pada sifat mekanis yang merupakan pertimbangan penting dalam perhitungan teknik pada perancangan komponen-komponen mesin. 2.2. Dasar Teori Tegangan sisa pada poros terbagi menjadi 3 arah utama yaitu: a. Tegangan sisa arah aksial adalah tegangan sisa yang arahnya sejajar dengan sumbu poros. Gambar 2.1. di bawah ini menunjukkan arah tegangan aksial pada pipa, pada sumbu Y-Y. Gambar 2.1. Tegangan arah Aksial. 8 9 b. Tegangan sisa arah hoop/tangensial adalah tegangan yang arahnya tangensial terhadap cross-section poros. Gambar 2.2 di bawah ini menunjukkan arah tegangan hoop pada pipa, pada sumbu X-X. Gambar 2.2. Tegangan arah Hoop/Tangensial. c. Tegangan sisa arah radial adalah tegangan yang arahnya menyebar ke semua penjuru poros. Gambar 2.3 di bawah ini menunjukkan arah tegangan radial pada pipa. Gambar 2.3. Tegangan arah Radial. Proses terbentuknya tegangan sisa akibat pengelasan diawali oleh terjadinya tegangan tarik dan tekan pada sambungan poros pada pengelasan seperti dapat dilihat pada Gambar 2.4. dan Gambar 2.5. di bawah ini. Pada Gambar 2.4. terlihat bahwa area di bawah soldified weld (material lasan yang mulai membeku) akan mengembang akan tetapi material logam induk menahan pergerakan tersebut. Sehingga area di bawah solidified weld akan mengalami 9 10 tegangan tekan yang disebabkan tekanan dari material logam induk yang menahan terjadinya pengembangan material (www.serkanakinci.tripod.com). Gambar 2.4. Proses terjadinya tegangan tekan pada material induk oleh material lasan cair (www.serkanakinci.tripod.com). Tegangan sisa akibat pengelasan akan muncul pada saat material lasan yang membeku mulai dingin. Saat material lasan tersebut dingin, area di bawahnya akan menyusut dan terjadi tegangan tarik, logam induk akan menahan pergerakan tersebut sehingga pada area lasan dan logam induk di bawah area tegangan tarik akan terjadi tegangan tekan. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.5. di bawah ini. Gambar 2.5. Proses terjadinya tegangan sisa(www.serkanakinci.tripod.com). Totten dan Howes (1997) menyatakan bahwa tegangan sisa nilainya lebih besar dibandingkan yield strength dari material sehingga menyebabkan terjadinya deformasi plastis. Proses pengelasan dengan suhu puncak pengelasan di atas temperatur luluh dari baja AISI 1020 menyebabkan pergerakan molekul pada baja dan terbentuk tegangan sisa yang nilainya lebih besar dibanding yield strength baja AISI 1020 yang nilainya 294,74 MPa atau 42748 psi. Tegangan sisa dalam poros dapat menguntungkan atau merugikan, hal ini bergantung pada fungsi bahan, besar dan arah tegangan sisa yang dihasilkan. 10 11 Futichah dan Muslih (2007) menerangkan bahwa tegangan sisa secara visual tidak nampak tapi dapat menjadi beban tetap yang akan menambah besar beban kerja dari luar. Tegangan sisa tarik menurunkan ketahanan fatik karena pada permukaan benda terjadi konsentrasi tegangan tekan atau tarik yang tinggi. Bila permukaan material menerima tegangan tarik sedangkan tegangan sisa yang ada pada material merupakan tegangan sisa tarik maka akan menghasilkan resultan tegangan tarik yang makin besar. Tegangan tarik akan memperbesar terjadinya initial crack atau laju pertambahan retak sehingga ketahanan lelah menurun. Bila terdapat tegangan sisa tekan pada material dan beban dari luar berupa tegangan tarik maka tegangan sisa akan memberikan resultan negatif mengurangi efek beban ke material, hal ini akan menguntungkan. Sebaliknya bila tegangan sisa merupakan tegangan tarik pada benda kemudian mendapatkan beban tarik dari luar maka resultannya positif, bila besarnya tegangan melewati tegangan luluh akan menjadi awal terjadinya patahan (Wibowo dan Sukoco, 2013). 2.2.1. Proses Pemesinan (Bubut) Proses permesinan bubut dilakukan untuk membentuk sudut kampuh las sebesar 60o karena sudut kampuh tersebut menghasilkan tegangan sisa tertinggi pada arus pengelasan 90 A (Widyanto, 2014). Parameter permesinan bubut yang menyebabkan terjadinya tegangan sisa permukaan pada poros dapat diabaikan karena proses pengelasan akan merubah besarnya tegangan sisa tersebut. 2.2.2. Proses Penyambungan Poros dengan Pengelasan Penyambungan poros dengan proses pengelasan dilakukan dengan pengelasan SMAW (shield metal arc welding) dengan arus pengelasan 90 ampere, 3 phase, voltase 40 volt, elektrode yang digunakan yaitu E6013 (klasifikasi AWS A5.1-64T), lamanya waktu pengelasan untuk 1 sambungan poros yaitu 15 menit atau 900 detik. Posisi pengelasan yaitu semua posisi. SMAW merupakan teknik pengelasan dengan menggunakan arus listrik yang membentuk busur arus dan elektroda berselaput. Proses pengelasan pada poros terjadi karena adanya hambatan arus listrik yang mengalir diantara 11 12 elektroda dan bahan las yang menimbulkan panas mencapai 3000oC, sehingga membuat elektroda dan bahan yang akan dilas mencair. Temperatur pada bagian yang dilas dan daerah HAZ (Heat Affected Zone) tentu akan lebih tinggi dibanding bagian yang lainnya, hal ini dapat memicu terbentuknya tegangan sisa pada poros. Dalam pengelasan dapat dicari data mengenai suhu puncak pada saat elektroda dan material induk meleleh dan menyatu. Besarnya suhu puncak (Tp) pada proses pengelasan dapat diukur dengan mencari besarnya heat input (H) menggunakan rumus berikut: H = (E x I x η)/v ...................................................................................(2.1) keterangan: H = panas pengelasan (joule) I = arus (ampere) E = tegangan listrik (volt) v = travel speed (mm/s) η = efisiensi (SMAW 0,8) H = Q = (40 volt x 90 A x 0,8)/2 mm/s = 1440 joule sehingga suhu saat logam dan elektroda mencair sekitar 1320oC didapat dengan menggunakan rumus: ...........................................................(2.2) Keterangan : Tp = Temperatur puncak (K) g = tebal benda kerja (m) To = Temperatur awal benda kerja (K) ρC = volume thermal capacity (J/m3K) Tm = Temperatur lebur (K) e = 2,718 angka alam logaritma Y = jarak dari fusion line (m) Q = heat input (joule/m) 12 13 Perhitungan suhu puncak pengelasan: Tp = (1/((√2.π.2,718.0,01m.0,05m.304 J/m3 oK)/1440 J) + (1/(2900oC–30oC)))+ 30oC Tp = (1/((0,628/1440)m/K + (1/2870 oC)))+30 oC Tp = (1/(4,36.10-4 + 3,48.10-4 ))+30 oC Tp = 1280 oC + 30 oC = 1320 oC Hasil pengelasan akan mempunyai kualitas yang baik bila sambungan dan logam induk tidak menunjukkan perbedaan yang jelas. Perubahan metalurgi dari hasil pengelasan yang paling utama adalah perubahan struktur mikro pada Heat Affected Zone (HAZ) maupun daerah las karena perubahan struktur mikro akan mempengaruhi sifat mekanik seperti kekuatan tarik dan kekerasan pada sambungan las (Aisyah, 2010). Heat Affected Zone (HAZ) adalah atau daerah terpengaruh panas adalah daerah dengan jarak tertentu dari sambungan las yang terpengaruh pemanasan akibat adanya panas dari pengelasan dan mengalami pendinginan yang lebih lambat dibandingkan daerah lain yang jauh dari pusat las. Umumnya struktur mikro logam las merupakan kombinasi dari beberapa struktur mikro sebagai berikut (Gambar 2.6.): Ferrite batas butir / Grain Boundary Ferrite (GF), terbentuk pertama kali pada transformasi asutenite-ferrite dan biasanya terbentuk di sepanjang batas austenite pada suhu 1000°C-650°C. Ferrite Windmanstatten (WF), terbentuk pada suhu 750°C-650°C di sepanjang batas butir austenite. Ferrite acicular (AF), berbentuk intergranular dengan ukuran yang kecil dan mempunyai orientasi arah yang acak. Biasanya ferrite acicular ini terbentuk sekitar suhu 650°C. Bainite merupakan ferrite yang tumbuh dari batas butir austenite dan terbentuk pada suhu 400°C-500°C. Martensite terbentuk pada proses pendinginan yang sangat cepat. 13 14 Berikut ini Diagram Fase Fe-C Baja dan Besi Tuang : Gambar 2.6. Diagram Fase Fe-C Baja dan Besi Tuang (Aisyah, 2010). Gambar 2.7. Grafik Time-Temperature Transformation (TTT) baja karbon (Aisyah, 2010). 14 15 Gambar 2.7. Grafik Time-Temperature Transformation, dan Gambar 2.8. Grafik Continous Cooling Transformation (CCT) menunjukkan perubahan struktur saat proses perlakuan panas dan pendinginan. Gambar 2.8. Grafik Continous Cooling Transformation (CCT) pada baja karbon (Aisyah, 2010). Gambar 2.9. Skema diagram variasi zona HAZ berdasarkan campuran Co (0,15 wt % C) yang mengindikasikan diagram kesetimbangan Fe-Fe3C (Aisyah, 2010). 15 16 Gambar 2.9. merupakan skema diagram variasi zona HAZ berdasarkan campuran Co (0,15 wt % C) yang mengindikasikan diagram kesetimbangan FeFe3C, dimana terlihat bentuk-bentuk butiran yang terjadi pada daerah HAZ sesuai suhu pengelasan yang terjadi. 2.2.3. Perlakuan Panas Stress Relief Annealing Stress-relief annealing menurut Funderburk (1998), adalah salah satu perlakuan panas pada logam, yaitu memanaskan logam sampai temperaturnya dibawah titik ubah dan kemudian mendinginkannya secara perlahan dengan tujuan mengurangi/menghilangkan tegangan dalam. Perlakuan panas pada temperatur 600oC - 675oC, dengan lama pemanasan 1 jam tiap ketebalan 25 mm, kemudian didinginkan di udara terbuka yang tenang. Biasanya dilakukan pada material setelah mengalami proses pengelasan, permesinan, dan sebagainya. Proses perlakuan panas ini dapat mengurangi tegangan sisa secara menyeluruh (Funderburk, 1988). Gambar 2.10. Grafik jenis proses heat treatment berdasarkan besarnya persentase karbon pada baja dan temperatur (www.efunda.com). 16 17 Gambar 2.10. menunjukkan jenis heat treatment yang terjadi pada material baja yang megandung persentase karbon tertentu dengan besarnya suhu perlakuan panas. Proses stress relief annealing ada pada area Annealing tetapi berbeda dengan proses full annealing dalam besarnya suhu pemanasan. Dapat dilihat bahwa temperatur stress relief annealing tidak melewati garis A1 yang merupakan garis dimana terjadi perubahan struktur butiran bila baja dipanaskan sampai suhu pada garis A1 atau lebih. Menurut Funderburk (1998), untuk baja temperatur terbaik pemanasan stress-relief annealing tegangan berkisar antara suhu 600oC sampai 675oC dengan lama pemanasan 1 jam untuk ketebalan 25 mm. Menurut Saputra (2012), bila suatu material dipanaskan hingga mendekati temperatur luluhnya, kemudian suhunya diturunkan secara perlahan maka akan menghilangkan residual stress yang ada pada material tersebut. Berkurangnya residual stress dan ukuran butir pada struktur material menaikkan sifat ulet. Perbedaan antara perlakuan panas anneal dan stress relief annealing adalah pada temperatur pemanasannya. Stress relief annealing perlakuan panas dibawah temperatur annealing, panas menyebabkan dislokasi ( pergeseran atom-atom dalam Kristal dan menyebabkan pertambahan batas butir. Selama stress relief annealing, jumlah dislokasi tidak berkurang dan propertis mekanis tidak berubah akan tetapi tegangan sisa berkurang selama terjadinya pengaturan dislokasi tersebut. 2.2.4. Pengujian Frekuensi Natural Besarnya frekuensi natural pada poros dapat menyebabkan getaran yang besar serta kerusakan pada poros dan komponen mesin lainnya. Eksperimen pengukuran frekuensi natural pada poros dilakukan menggunakan impact hammer untuk memberikan gaya input pada poros dan akselerometer digunakan untuk mengukur respon poros dalam bentuk percepatan. Yongyi dan Lichuan (1996), menyatakan bahwa bila terjadi tegangan sisa akibat proses pengelasan maka semua frekuensi natural juga meningkat, material yang kepadatannya tinggi 17 18 frekuensi naturalnya semakin rendah akibat pengaruh tegangan sisa, sebaliknya material yang densitasnya rendah maka frekuensi naturalnya tinggi. Menurut Vaisak, dkk. (2014), proses pengelasan menyebabkan terjadinya peningkatan pada frekuensi natural benda, perlakuan panas stress relief annealing pada suhu 650°C selama 2 jam menurunkan frekuensi natural pada sampel sampai mendekati frekuensi sebelum mengalami pengelasan. Hal tersebut membuktikan bahwa perlakuan panas stress relief annealing berhasil menurunkan tegangan sisa yang dihasilkan akibat pengelasan. 2.2.5. Pengujian Metalografi Metalografi adalah pengamatan bentuk dan struktur material dengan tujuan untuk mengontrol kualitas material. Metalografi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari karakteristik mikrostruktur suatu logam, paduan logam, dan material lainnya serta hubungannya dengan sifat-sifat material tersebut dengan bantuan alat seperti mikroskop optik, mikroskop elektron, SEM atau TEM, difraksi sinar-X, dan difraksi neutron. Pengamantan metalografi pada umumnya dibagi menjadi 2 bagian yaitu : 1. Pengamatan makroskopi : pengamatan dengan pembesaran berkisar 5 kali. 2. Perbesaran mikroskopi : Pembesaran yang dilakukan bergantung pada sifat struktur yang akan diamati, dapat dilakukan dengan mikroskop optik dengan pembesaran 200 kali – 400 kali. 2.2.6. Hamburan Neutron Hamburan neutron merupakan teknik yang digunakan untuk mencari karakterisasi tegangan sisa dengan cara menembakkan berkas neutron ke benda kerja polikristalin. Neutron tersebut akan berinteraksi dengan inti atom dan kembali dihamburkan pada sudut tertentu kemudian ditangkap oleh detektor. Data yang didapat berupa grafik intensitas dari neutron yang berbentuk puncak, jarak regangan didapatkan dari jarak antar puncak.jarak regangan tersebut kemudian diubah menjadi tegangan (Hutchings, dkk. 2005). 18 19 Tegangan sisa juga dapat dihitung dari pengukuran kisi-kisi tegangan. Secara umum, karena tegangan merupakan tensor, pengukuran membutuhkan enam orientasi arah untuk benar-benar menentukan kondisi tegangan pada suatu titik. Namun, dalam penelitian ini pengukuran hanya akan dilakukan pada dua arah tegangan yaitu tegangan arah aksial dan hoop, karena tegangan sisa pada arah radial dianggap tidak banyak berpengaruh pada tegangan yang terjadi pada poros. Pengukuran difraksi neutron menggunakan jarak kisi-kisi sebagai pengukuran regangan, yang didapatkan dari Hukum Bragg persamaannya dapat dilihat ada Persamaan (3.7). Regangan diukur pada arah hamburan vektor yang terbagi menjadi dua yaitu sudut datang dan sudut hamburan. Untuk melengkapi persamaan Hukum Bragg di atas, perubahan yang terjadi pada jarak kisi-kisi Δd = d - d0, dimana d0 adalah jarak kisi-kisi yang tidak mengalami regangan, akan berakibat pada perubahan λ dan θ (Webster, 2000). Untuk menghasilkan resolusi yang baik kita membutuhkan volume pengukuran atau luasan yang sesuai pada tiap-tiap sumbu pengukuran. Dalam arah aksial dapat digunakan bentuk luasan menyerupai kubus. Untuk regangan pada arah radial dan hoop lebih baik menggunakan bentuk volume balok, guna mengambil keuntungan dari kelemahan variasi regangan pada arah aksial (Webster, 2000). Sebelum melakukan pengukuran harus memperhatikan posisi dan meluruskan sampel pengujian dengan difraktometer. Resolusi spasial pengukuran neutron bergantung pada dimensi celah / slit yang membatasi berkas neutron dan juga mengatur sudut datang dan sudut hamburan berkas neutron. Slit mengurangi berkas neutron menjadi luasan yang memiliki penampang. Resolusi spasial optimal pada 2θ = 90o. 19 20 Pengukuran d0 dilakukan di pusat referensi plug dalam arah aksial, radial, dan hoop seperti terlihat pada Gambar 2.11. Gambar 2.11. Ring dan plug dengan geometri aktual dari berkas neutron (Hutchings, dkk. 2005). Pengukuran tegangan sisa ini menggunakan radiasi panjang gelombang monokromatik tunggal yang didapat dengan menembakkan berkas neutron yang terdiri dari berbagai macam panjang gelombang menuju kristal monokromator sehingga didapatkan satu panjang gelombang saja. Berkas neutron dengan satu panjang gelombang dari monokromator inilah yang akan digunakan dan panjang gelombangnya (λ) ditentukan dari Persamaan (3.7). Monokromator yang biasa digunakan berbeda-beda tergantung pada material yang akan diukur tegangan sisanya. Akibat adanya beberapa batasan dalam memilih sudut difraksi monokromator, sudut 2θ akan berbeda-beda pada tiap-tiap laboratorium berkisar antara 2θ ≈ 42° and 2θ ≈ 97°, dan bidang refleksi partikular (hkl) akan disesuaikan dengan bidang (111), (002), (022), dan (311). Dalam prosedur pengukuran aktual untuk eksperimen panjang gelombang konstan, berkas neutron dari panjang gelombang tertentu (λ) diarahkan pada spesimen dimana ia menghasilkan berkas difraksi. Sebuah detektor neutron sudut sensitif (angular) digunakan untuk mengamati berkas pada sudut 2θ. 20 21 Berikut gambar puncak Bragg dari intensitas neutron yang disesuaikan dengan distribusi Gaussian: Gambar 2.12. Contoh puncak Bragg dari intensitas neutron yang disesuaikan dengan distribusi Gaussian (Hutchings, dkk. 2005). Pola hamburan yang diamati dapat disesuaikan dengan profil Gaussian yang simetris seperti terlihat pada Gambar 2.12., kemudian dicari besarnya distribusi regangan mikro menggunakan Persamaan (3.8). Regangan mikro yang diperoleh selanjutnya diubah menjadi tegangan dengan memakai persamaan Hukum Hooke, seperti diekspresikan pada Persamaan (3.9). 2.2.7. Material 2.2.7.1. Struktur Kristal Kristal didefinisikan sebagai bahan yang terdiri dari unit terstruktur yang identik, tersusun dari satu atau lebih atom yang teratur dan berulang secara periodik dalam tiga dimensi seperti diilustrasikan pada Gambar 2.13. Keteraturan ini berlanjut sampai ratusan molekul. Bangunan terkecil dari kristal disebut dengan basis dan susunan yang periodik disebut sebagai lattice/kisi. Banyak tipe dari struktur kristal, beberapa bahkan sangat kompleks. Tetapi struktur kristal pada kebanyakan logam terkristalisasi dalam tiga struktur sederhana yaitu facecentered cubic (FCC), body-centered cubic (BCC), dan close-packed hexagonal (Hill, 1973). 21 22 Berikut gambar Basis yang tersusun secara periodik disebut dengan lattice/kisi: Gambar 2.13. Basis yang tersusun secara periodik disebut dengan lattice/kisi (Hill, 1973). Dalam mendiskripsikan sebuah kristal akan lebih mudah bila kita fokus pada lattice. Lattice adalah susunan tiga dimensi dari titik (titik lattice) yang identik dengan sekelilingnya. Sebuah unit sel adalah bagian terkecil dari lattice. Seluruh bagian lattice dapat disusun dengan mengulang sebuah unit sel tanpa ada ruang kosong diantaranya. Sebuah unit sel dideskripsikan dengan tiga independen unit vektor yaitu a, b, dan c. Gambar 2.14. Unit sel (Hill, 1973). Unit sel pada struktur kristal seperti nampak dalam Gambar 2.14. adalah kumpulan terkecil dari atom yang memiliki bentuk simetri dari kristal, yang mana berulang ke segala arah sehingga membentuk kisi kristal. a) Face Centered Cubic (FCC) Struktur FCC (face-centered cubic) merupakan struktur atom yang unit atom-atomnya tersusun menyerupai kubus, ada elektron yang menempati sudutsudut kubus dan elektron lain menempati pusat sisi-sisi kubus. Unsur yang 22 23 memiliki struktur FCC yaitu aluminium, tembaga, perak, dan nikel. Struktur kristal FCC tampak dalam Gambar 2.15. di bawah ini. Gambar 2.15. Struktur kristal face centered cubic (FCC) (Hill, 1973). b. Body Centered Cubic (BCC) Body centered cubic seperti tampak pada Gambar 2.16. (a), merupakan unit sel dengan atom yang tersusun menjadi kubus dengan atom-atom pada tiap sudutnya dan satu atom ada di pusat kubus. Total BCC terdiri dari dua atom ditiap sel, satu atom terbagi menjadi delapan dan terletak di delapan sudut, dan satu atom utuh terletak di pusat kubus. Material yang memiliki struktur kristal BCC seperti kromium, besi, dan tungsten. Gambar 2.16. (a) Struktur kristal body centered cubic, (b) Delapan unit sel kisi body centered cubic (Hill, 1973). Unit sel struktur kristal tidak semuanya berbentuk kubus. Gambar 2.17. menunjukan struktur kristal berbentuk Hexagonal Close Packed (HCP). Sisi bagian atas dan bawah terdiri dari enam atom membentuk segi enam yang mengelilingi atom tunggal ditengah. Lalu ada tambahan tiga atom diantara bagian atas dan bawah, jadi total ada 17 atom tunggal. Material dengan struktur kristal HCP meliputi, kadmium, magnesium, titanium, dan seng. 23 24 Berikut gambar struktur kristal HCP: (a) (b) Gambar 2.17. (a) HCP dalam unit sel, (b) susunan HCP dalam banyak atom (Hill, 1973). 2.2.7.2. Arah dan Bidang Kristalografi Studi tentang kristal membutuhkan simbol untuk mendeskripsikan orientasi pada ruang bagi arah kristalografi yang penting dan bidang menjadi jelas. Dalam mendeskripsikan perubahan properti dan kristalin material seperti respon material terhadap deformasi perlu dideskripsikan melalui : 1.Arah dalam lattice kristal. 2.Bidang/irisan atomik dalam sebuah kristal. Arah dalam lattice kristal relatif terhadap aksisnya yang didefinisikan oleh unit vektor dari unit sel. Indeks dari arah suatu kristal ditulis dalam tanda kurung [ ]. Sedangkan arah kristal adalah vektor yang dinyatakan dalam unit vektor a, b, dan c. Secara umum indeks dari arah diberikan dalam bentuk [uvw] dimana u, v, dan w adalah bilangan bulat yang terkecil. Untuk vektor berarah negatif dituliskan dengan menambah garis di atas u, v, dan w (Hill, 1973). 24 25 Gambar 2.18. menunjukkan beberapa contoh arah kristal dalam sistem kubik. Gambar 2.18. Beberapa contoh arah kristal dalam sistem kubik (Hill, 1973). Irisan dari sebuah kristal merupakan objek dua dimensi, maka garis normal dari bidang irisan tersebut dipakai untuk mendeskripsikan bidang tadi. Indeks Miller biasa digunakan dalam menentukan bidang irisan dalam kristal. Satu set bidang yang paralel dengan jarak yang sama memiliki indeks Miller yang sama. Indeks untuk bidang irisan dituliskan dalam tanda kurung ( ). Untuk menjelaskan bidang kristalografi dipakai tiga bilangan h, k, dan l (h k l), kecuali untuk sistem kristal heksagonal. Jika bidang sejajar dengan suatu aksis maka indeks untuk aksis ini nilainya 0. Jika arah suatu bidang bernilai negatif, maka bilangan indeks diberi tanda garis diatasnya. 25 26 Gambar 2.19. menunjukkan contoh Indeks Miller dari beberapa bidang pada kristal kubik. Gambar 2.19. Indeks Miller dari beberapa bidang pada kristal kubik (Hill, 1973). Prosedur yang dipakai dalam menentukan nomor indeks Miller dari suatu bidang irisan adalah: a) Mengambil titik asal (titik 0) dari bidang. b) Menentukan nilai intersep dari tiap aksis (1/h)a, (1/k)b, (1/l)c dari titik asal, misalnya intersep (1/2)a, (1/3)b, (1/1)c, indeks bidang tersebut adalah (2 3 1). c) Bila intersep ∞ (tak berhingga) atau bidang paralel dengan aksis maka indeksnya bernilai nol. 26 27 2.3. Hipotesis Material poros baja AISI 1020 yang diproses pengelasan akan mengalami tegangan sisa. Pelepasan tegangan sisa pada material yang muncul selama proses pengelasan dapat dilakukan dengan perlakuan panas stress relief anealing. Pelepasan tegangan sisa pada proses stress relief dipengaruhi oleh suhu (T), waktu pemanasan (t) dan proses pendinginan. Proses pelepasan tegangan sisa dengan metode stress-relief annealing diteliti lebih lanjut efektifitasnya dengan memanfaatkan hamburan neutron agar lebih efektif dan akurat karena proses pengukuran dilakukan dalam level atomik. Tegangan sisa berpengaruh pada nilai frekuensi pribadi poros, semakin besar tegangan sisa dalam suatu poros maka semakin besar pula nilai frekuensi naturalnya. Pengujian metalografi bertujuan untuk mengetahui sifat dan struktur dari poros baja AISI 1020 sebelum dan setelah mendapat perlakuan panas. Proses pendinginan dilakukan dengan mendinginkan perlahan poros bersuhu 600oC – 675oC pada udara yang tenang dengan waktu pendinginan 103 – 104 detik akan menghasilkan butiran perlit yang halus. 27