PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENDUKUNG PEMBANGUNAN EKONOMI YANG BERBASIS ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (KNOWLEDGE BASED ECONOMI) Oleh Mardiharto Tjokrowasito, SH., LLM 1 Beberapa waktu yang lalu penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti diskusi terbatas di Bappenas membahas mengenai “Knowledge Based Economy” dengan pembicara utamanya DR. Bambang Setiadi dari Kantor Menteri Riset & Teknologi. Analisa yang dikemukakan oleh pembicara sangat menarik karena dengan mendasari situasi dan kondisi yang dihadapi oleh Indonesia pada saat ini, termasuk pengaruh globalisasi yang terjadi di dunia, maka untuk ke depan tidak ada pilihan lain bagi Bangsa ini, apabila ingin berhasil harus menggunakan pendekatan IPTEK dalam melakukan pembangunan ekonominya. Terlepas dari kebijakan masa lalu dimana Bangsa Indonesia memutuskan untuk membangun industri pesawat terbang, akan tetapi dalam perkembangannya justru mengalami kebangkrutan. Penulis sepakat bahwa pembangunan pada saat ini dan untuk masa akan datang haruslah didasarkan pada dukungan sumber daya manusia yang menguasai IPTEK dengan baik agar dalam kancah pergaulan internasional Indonesia tidak tertinggal dari bangsa lain. Sebagaimana yang dikemukakan oleh pembicara dalam diskusi tersebut untuk melakukan pembangunan ekonomi berbasis IPTEK ini perlu adanya penyatuan visi dari segenap unsur bangsa, khususnya para pemegang kekuasaan agar dalam menjalankan roda pemerintahan meletakkan IPTEK sebagai komponen penting yang harus diperhitungkan. Segala aspek pembangunan haruslah diarahkan untuk mendorong kepada penguasaan IPTEK sehingga dapat melahirkan inovasiinovasi baru yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi secara nasional. Dalam tulisan ini penulis akan membatasi pada pembahasan mengenai peran dari hukum untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam rangka pembangunan ekonomi yang berbasis IPTEK. Pada dasarnya ada dua lingkup bidang hukum yang langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi yang berbasis IPTEK yaitu: 1 Staf Direktorat Hukum dan HAM, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang pertama adalah hukum di bidang HKI (Hak Kekayaan Intelektual) atau intellectual property rights dan hukum di bidang persaingan usaha. Intellectual property rights pada dasarnya merupakan hak yang diberikan oleh negara kepada penemu atau pencipta baik itu di bidang IPTEK, dagang, maupun karya sastra untuk melarang pihak lain tanpa seijinnya meniru atau mencontoh hasil karya atau ciptaannya tersebut. Di Indonesia terdapat lima bidang HKI yaitu hak paten yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001; hak cipta diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002; hak merek diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001; Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diatur dalam UU No. 32 Tahun 2000; Desain Industri diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000; dan Rahasia Dagang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2000. Sementara itu dibandingkan dengan HKI, hukum persaingan masih relatif baru karena Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat baru ditetapkan pada tahun 1999 dan berlaku secara efektif pada tahun 2000. adapun tujuan utama dari undang-undang ini adalah mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha serta mewujudkan efisiensi perekonomian nasional. PERLINDUNGAN HKI Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa hak kekayaan intelektual pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan insentif kepada pencipta atau penemu untuk mengeksploitasi hasil ciptaan atau penemuannya tersebut secara ekonomis. Dengan adanya perlindungan hak dari hukum tersebut diharapkan masyarakat akan lebih kreatif untuk mencipta maupun menemukan inovasi-inovasi baru lagi. Namun demikian meskipun banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari adanya perlindungan hak kekayaan intelektual di sisi yang lain apabila perlindungan yang diberikan tersebut terlalu besar maka akan dapat menimbulkan hambatan bagi pertumbuhan IPTEK itu sendiri karena pemegang hak dapat menciptakan hambatan (building block) terhadap siapapun yang akan mengakses temuan atau ciptaan tersebut. Pada dasarnya hak kekayaan intelektual dibagi menjadi dua macam yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri. Hak cipta terkait di dalamnya hak atas karya ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Pada perkembangannya termasuk dalam hak cipta adalah program komputer. Sementara itu yang masuk dalam kelompok hak kekayaan industri adalah hak paten, hak merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang dan varitas tanaman. Masuknya program komputer ke dalam kelompok hak cipta menurut penulis dapat menjadi penghambat bagi tumbuhnya IPTEK karena pada dasarnya hak cipta jangka waktu berlakunya sampai dengan lima puluh tahun setelah penciptanya meninggal dunia. Hal ini akan sangat berbeda apabila seandainya program komputer merupakan obyek dari hak paten yang jangka waktu perlindungannya hanya dua puluh tahun dan tidak dapat diperpanjang. Masuknya program komputer kedalam kelompok ciptaan yang dilindungi dengan hak cipta atau copy rights merupakan keberhasilan dari negara-negara industri maju dalam melakukan loby pada saat pembahasan perjanjian TRIPs yang merupakan pedoman dalam menyusun hukum Intellectual Property Rights di negara-negara anggota WTO. Prof. Dr. Iskandar Alisyahbana (guru besar dari ITB) dalam satu kesempatan mengemukakan bahwa pada saat ini mulai timbul aliran copyleft movement yang dipelopori oleh cyber-activist. Copyleft movement pada dasarnya merupakan aliran yang mendorong suatu upaya pembuatan program-program komputer (software) dan modifikasinya serta pembuatan versi terbarunya menjadi software yang dapat diakses secara bebas. Dasar berpikir dari para cyber-activist ini adalah bahwa pemikiran atau penemuan selalu masih dapat dipakai oleh sipenemunya semula, dan tidak pernah akan kekurangan atau kehabisan. Dengan tersebarluasnya secara bebas temuan tersebut di masyarakat maka tidak hanya terjadi banyak peniruan akan tetapi juga terjadi rangsangan-rangsangan krativitas di masyarakat luas sehingga lahirlah lebih banyak anti-thesa & synthesa-synthesa atau penciptaan pemikiran dan penemuan baru, sehingga pada akhirnya akan lahir “a new world of crativity” dan “civilization of the mind” sebagaimana yang dikemukakan oleh John Perry Barlow. 2 Demikian pula apa yang terjadi pada paten untuk produk obat-obatan dimana dikenal adanya lisensi wajib (compulsory licensing) Secara umum pengertian lisensi wajib adalah hak dari pemerintah untuk memberikan lisensi kepada pihak ke tiga (baik itu swasta, badan pemerintah, atau pihak lain) untuk menggunakan paten yang bersangkutan tanpa perlu adanya persetujuan dari pemegang hak paten. Lisensi wajib ini diberikan kepada pihak yang memenuhi persyaratan tertentu dengan melalui penetapan oleh otoritas tertentu misalnya pemerintah atau pengadilan, dimana salah satu persyaratannya tetap harus ada pembayaran sejumlah uang sebagai kompensasi bagi pemegang hak. Dengan adanya ketentuan ini maka pemerintah dapat memaksa pemegang hak paten atas obat-obatan untuk menyerahkan teknologinya kepada pihak tertentu untuk kepentingan masyarakat luas sehingga akibatnya obat-obatan tersebut dapat dijual dengan harga yang lebih murah. UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten telah mengakomodasi ketentuan ini dengan menggunakan istilah “pelaksanaan paten oleh pemerintah”. 3 Namun demikian meskipun ketentuan tersebut telah tertuang dalam undang-undang ini akan tetapi peraturan pemerintahnya masih belum terbentuk sebagai akibatnya maka implementasinya sampai dengan saat ini tidak dapat dilaksanakan. Dalam prespektif pembangunan yang berbasis IPTEK tidak dapat disangkal lagi bahwa perlindungan HKI merupakan prasyarat yang harus ada. Namun demikian pertanyaan kritis yang dapat diajukan menanggapi hal tersebut adalah sejauh mana peran dari HKI dalam memberikan kontribusi terhadap perekonomian 2 Prof.Dr. Iskandar Alisyahbana, “Copy-left Movement” dari MIT yang mampu mengecilkan Kesenjangan Kaya-Miskin di Dunia???, disampaikan dalam Dialog Nasional Bidang Hukum dan Non Hukum, 7-9 September 2004. 3 Diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001 dalam pasal 99 sampai dengan pasal 103 suatu negara. Mengenai hal tersebut terdapat dua pandangan, dimana kelompok pertama menyatakan bahwa HKI perlu karena mendorong adanya inovasi baru atau penemuan baru, dan mencegah adanya duplikasi research and development sehingga menciptakan efisiensi nasional. Akan tetapi kelompok yang lain berpendapat bahwa HKI akan menciptkan monopoli sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap ekonomi biaya tinggi, serta membatasi masyarakat luas untuk akses secara bebas terhadap suatu produk yang dilindungi oleh HKI. Terlepas dari pandangan dua kelompok tersebut, data mengenai permohonan dan pemberian paten dapat memberikan gambaran sejauh mana kemungkinan kontribusi HKI terhadap perekonomian Indonesia. Table di bawah ini memberikan gambaran mengenai pendaftaran paten di Indonesia untuk jangka waktu 10 tahun, sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2002, dengan membedakan asal dari penemu inovasi tersebut. Sebagaimana ketentuan dalam UU Paten di Indonesia bahwa seseorang yang telah memperoleh hak paten di Indonesia harus dalam jangka waktu tertentu melaksanakan haknya tersebut. Akibatnya adalah apabila pemegang paten baik itu perorangan ataupun badan hukum berasal dari dalam negeri maka segala aktivitasnya akan berada di Indonesia sehingga pada akhirnya secara ekonomi akan memberikan kontribusi postif terhadap perekonomian Indonesia. Akan tetapi apabila pemegang paten berasal dari luar negeri maka kemungkinan yang terjadi adalah ia mendaftarkan patennya ke Indonesia dengan maksud agar tidak ditiru atau kalaupun paten tersebut dilaksanakan oleh suatu perusahaan di Indonesia maka sebagian keuntungannya dalam bentuk royalty akan tetap mengalir ke pemegang paten tersebut dan tidak terlalu signifikan memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia. TABEL Pendaftaran Paten di Indonesia 4 TAHUN PERMOHONAN PATEN DALAM NEGERI 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 4 38 29 61 40 79 93 152 156 210 246 LUAR NEGERI 2031 2305 2813 3957 3939 1753 2784 983 813 3597 PEMBERIAN PATEN (GRANTED) DALAM LUAR NEGERI NEGERI 1 1 5 54 14 376 19 883 15 961 10 1207 7 1267 5 1048 9 1325 21 2409 Dr.Ir. Andi Noorsaman Sommeng, “Pemanfaatan Sistem Informasi HKI untuk Kemajuan UKM’, disampaikan pada seminar hari HKI ke 3, Hotel Sahid Jaya, Jakarta 29 April 2003 Jumlah Prosentase 1104 24975 4% 106 9531 1% Tabel di atas menunjukan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun baik untuk permohonan paten maupun untuk pemberian paten lebih didominasi oleh penemu yang berasal dari luar negeri. Permohonan paten yang pemohonnya berasal dari Indonesia dalam kurun waktu tersebut adalah 1104 permohonan atau hanya 4% dari total permohonan paten di Indonesia. Demikian juga untuk pemberian paten kepada penemu yang berasal dari Indonesia hanya 106 paten atau hanya 1% dari total keseluruhan. Dari data tersebut di atas menunjukan bahwa baik untuk permohonan paten maupun pemberian paten lebih di dominasi oleh penemu dari luar negeri sehingga tentunya kontribusi dari perlindungan HKI khususnya di Indonesia terhadap perekonomian nasional tidak terlalu signifikan. Disamping itu disisi yang lain data tersebut juga menunjukan bahwa kreatifitas atau upaya-upaya melakukan inovasi belum menjadi bagian dari budaya Bangsa Indonesia. Kondisi ini semestinya harus dapat ditangkap oleh pembuat undang-undang sehingga dalam menyusun ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengenai HKI harus dapat mengakomodasi kondisi yang ada dalam masyarakat tersebut. Meskipun dalam menyusun peraturan perundang-undangan mengenai HKI mengacu pada ketentuan TRIPs namun masing-masing negara dapat melakukan modifikasi ketentuan hukum nasionalnya sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam TRIPs tersebut. PERSAINGAN USAHA Ditetapkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Undangundang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan salah satu tonggak penting bagi Indonesia dalam rangka untuk menuju ke perekonomian yang berorientasi pada mekanisme pasar. Sebagaimana hukum persaingan di negara-negara lain maka undang-undang ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk menciptakan koridor bagi pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya secara fair. Pada dasarnya kegiatan perekonomian yang diharapkan berjalan dengan adanya undang-undang ini adalah perekonomian yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan tetap memperhatikan keseimbangan kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Adapun tujuan utamanya adalah menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga menjamin kepastian berusaha bagi pelaku usaha besar, menengah dan pelaku usaha kecil. Disamping itu juga undang-undang ini dimaksudkan untuk menciptakan efiesiensi dalam proses kegiatan usaha. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa dengan adanya pembangunan yang berbasis pada IPTEK akan menciptakan competitiveness Bangsa Indonesia dalam pergaulannya dengan negara-negara lain. Namun demikian dalam kaitannya dengan dengan kemampuan bersaing bangsa tersebut jangan sampai terjadi kita hanya akan menjadi penonton atau obyek saja dalam pergaulan internasional, mengingat globalisasi menuntut kita untuk lebih terbuka terhadap pengaruh negara lain termasuk dalam bidang perdagangan. Adanya kenyataan bahwa persaingan antar pelaku usaha baik yang berada di dalam negeri maupun antar pelaku usaha yang berasal dari luar negeri menyebabkan perlunya aturan main yang jelas. Apa yang dapat dilakukan oleh hukum persaingan dalam mengatur perilaku para pelaku usaha tersebut adalah dengan menerapkan “rambu-rambu” dalam menjalankan bisnis mereka. Adanya ketentuan yang mengatur mengenai “level playing field” antar pelaku usaha merupakan salah satu cara untuk menghindari adanya penggunaan market power atau posisi dominan dari pelaku usaha besar untuk mematikan bisnis pelaku usaha kecil. Pelaku usaha besar yang biasanya diwakili oleh perusahaan multi nasional mempunyai sumber daya yang sangat besar termasuk di dalamnya kemampuan untuk menguasai teknologi tertentu, sehingga dengan adanya perlindungan HKI yang sangat protective dapat memaksa pelaku usaha kecil yang tidak memiliki teknologi tersebut untuk keluar dari market mereka. Sebagai akibatnya akan terjadi monopoli dalam market tersebut karena satu-satunya pelaku usaha yang tetap bertahan adalah yang memiliki teknologi tersebut. Disamping itu jangan sampai perlindungan yang diberikan oleh HKI dapat menciptakan “building block” atau hambatan bagi pihak lain yang akan mengakses teknologi tersebut. Adanya perlindungan HKI yang sangat protective dengan pemberian hak kepada penemu untuk melarang pihak lain mengakses teknologi tersebut justru akan menghambat perkembangan teknologi itu sendiri, karena dengan adanya kemudahan bagi pihak lain untuk mengakses teknologi tersebut ada kemungkinan pihak akan mengembangkan temuan baru atas dasar teknologi tersebut. Kondisi tersebut memaksa pembuat kebijakan persaingan untuk dapat menetapkan regulasi yang dapat menciptakan iklim bisnis yang kondusif kepada seluruh pelaku usaha baik itu pelaku usaha besar maupun pelaku usaha kecil. Adanya hukum persaingan bukan untuk melindungi kepentingan pelaku usaha kecil akan tetapi justru untuk menciptkan efisiensi perekonomian nasional, karena adanya persaingan antar pelaku usaha akan memaksa para pelaku usaha tersebut untuk lebih efisien dan pada akhirnya akan akan dirasakan oleh konsumen dengan adanya harga yang lebih murah. REKOMENDASI Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa perangkat hukum yang lengsung terkait dengan pembangunan ekonomi yang berbasis IPTEK adalah hukum HKI dan hukum persaingan usaha. Keberadaan kedua hukum tersebut sangat penting karena di satu sisi hukum HKI memberikan hak monopoli atas suatu temuan atau teknologi tertentu sedangkan hukum persaingan justru untuk mencegah jangan sampai terjadi monopoli karena akan menciptakan ketidakefisienan. Dalam mengembangkan system hukum nasional yang tetap mengabdi pada kepentingan Bangsa Indonesia maka dalam kaitannya dengan pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia maka pembuat undang-undang harus dapat bersikap lebih hati-hati terutama dalam rangka mengadopsi ketentuan-ketentuan hukum internasional. Salah satu prinsip penting dalam TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) adalah minimum requirements yang diatur dalam Article 1 para 1 “Members shall give effect to the provisions of this Agreement. Members may, but shall not be obliged to, implement in their law more extensive protection than is required by this Agreement, provided … 5 ” Adanya ketentuan tersebut di atas memberikan keleluasaan kepada negara-negara anggota khususnya negara berkembang seperti Indonesia untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya sesuai dengan kepentingannya sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dari TRIPs yang merupakan acuan bagi negara-negara anggota WTO dalam membuat hukum HKI. Dalam menyusun peraturan perundang-undangan nasionalnya dapat menggunakan contoh model law yang telah disusun oleh organisasi-organisasi Internasional yang mempunyai misi melakukan advokasi terhadap negara-negara berkembang dalam hubungannya dengan perdagangan internasional. Adanya model law ini akan sangat membantu bagi legislative drafter dalam menyusun suatu draft undang-undang, namun demikian harus hati-hati dalam memilih model law tersebut karena tidak sedikit model law yang dibuat oleh organisasi-organisasi Internasional yang mewakili kepentingan negara industri maju seperti OECD. Upaya untuk mendorong adanya kerjasama antar negara-negara berkembang juga akan sangat membantu bagi Indonesia dalam melakukan negosiasi dalam organisasi perdagangan internasional seperti WTO. Kerjasama tersebut sangat penting karena dalam perdebatan yang berkembang di forum negosiasi WTO sering kali posisi negara berkembang yang diwakili oleh kelompok selatan berada dalam posisi yang lebih lemah jika dibandingkan dengan kelompok utara yang terdiri dari negara-negara industri maju. Disamping itu adanya kerjasama regional antar negara-negara pada kawasan tertentu seperti ASEAN dalam bidang IPTEK akan sangat membantu pelaku usaha pada kawasan tersebut dalam menghadapi globalisasi perdagangan. Adanya kerjasama timbal balik bidang IPTEK ini akan menciptakan juga efisiensi karena akan menghindari adanya pengulangan research and development untuk suatu teknologi yang sama. 5 “The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations”, the Legal Text, the WTO, Switzerland