I. PENDAHULUAN Cyprinidae merupakan familia yang memiliki anggota yang banyak dan hampir terdapat di semua tempat kecuali di daerah Australia, Madagaskar, Amerika Selatan dan Selandia Baru (Kottelat et al., 1993). Familia ini memiliki lebih dari 2000 spesies yang tergolong ke dalam lebih dari 200 genus. Cyprinidae di kawasan Asia memiliki anggota lebih dari 1300 spesies(Penman et al., 2005)di Indonesia terdapat sebanyak 240 spesies yang tergolong dalam 60 genus (Anonymous, 2014). Salah satu spesies dariFamilia Cyprinidae adalah ikan hampala (Hampala macrolepidotaC.V). Ikan H. macrolepidotaC.Vmemiliki bercak hitam diantara sirip punggung dengan sirip perut(Kottelat et al., 1993). Jubaedah (2004) menyatakan bahwa ciri–ciri ikan H. macrolepidota antara lain tubuh memanjang dan pipih, bersisik, berwarna keperakan dan mempunyai sepasang sungut di sisi mulut. Ikan H. macrolepidotaC.Vmemiliki beberapa nama daerah. Nama daerah ikan hampalaantara lain palung (Jawa Tengah), hampal, ampalong (Jawa Barat), palitan (Jawa Timur), kabarau (Sumatera Selatan), adungan (Kalimantan Selatan) dan langkung (Kalimantan Barat). Di daerah Kalimantan Timur ikan ini disebut sebagai ikan adong (Schuster &Djajadiredja dalam Rahardjo, 1977). Ikan hampala bersifat predator. Pakan utama ikan hampala di Waduk Jatiluhur adalah ikan. Crustacea dan serangga merupakan pakan pelengkap (Rahardjo, 1977). Menurut Jubaedah (2004), hasil identifikasi organisme yang terdapat pada lambung ikan hampala adalah ikan, Crustacea, Insecta, larva Insecta, Cladocera, Copepoda, Ostracoda, Annelida, Rotifera, serasah dan telur ikan. Saat ini,khususnya di Sungai Serayu dan Waduk P.B. Soedirman Kabupaten Banjarnegara ikan hampala sangat sulit diperoleh. Hal ini diduga populasi ikan ini telah mengalami penurunan akibat overeksploitasi (Suryaningsih et al., 2013). Hal tersebut dapat menyebabkan kepunahan apabila tidak dilakukan pengelolaan ikan secara tepat. Pengelolaan yang tepat mengenai ikan hampala membutuhkan berbagai informasi. Saat ini informasi terkait ikan hampala masih sangat minim, salah satunya adalah informasi mengenai dimorfisme seksual ikan hampala. Pengetahuan dimorfisme seksual dibutuhkan untuk membedakan jenis kelamin ikan berdasarkan morfologi yang dimiliki. Sifat seksual sekunder pada ikan adalah ciri - ciri morfologi tertentu pada ikan yang dapat digunakan untuk membedakan antara ikan jantan dan betina. Pengamatan ciri tersebut tidak perlu dilakukan melalui pembedahan pada organ reproduksinya, sehingga tidak perlu menunggu sampai ikan matang gonad (Effendi, 1997). Beberapa spesies ikanmemperlihatkan adanya dimorfisme seksual. Salah satu dari spesies ikan yang memiliki dimorfisme seksual adalah ikan beseng - beseng. Ikan beseng–beseng jantan memiliki sirip punggung dan sirip anal yang lebih panjang bila dibandingkan dengan ikan beseng - beseng betina (Nasution et al., 2006). Menurut Rahardjo (1977) ikan hampala tidak mempunyai tanda seksual sekunder, sehingga penentuan jenis kelamin pada ikan hampala hanya dapat ditentukan melalui pembedahan gonad. Karakter morphometric adalah karakter morfologi yang menggambarkan bentuk tubuh (Daud et al., 2005). Menurut Strauss & Bookstein (1982), kekurangan morphometric antara lain karakter yang digunakan cenderung longitudinal, cangkupan bentuk yang tidak merata yaitu hanya pada daerah tubuh tertentu yang digunakan dan tidak pada bagian lain, beberapa tanda morfologi, seperti ujung moncong sering digunakan berkali - kali. Metode truss morphometric merupakan metode berupa pengukuran jarak titik titik tanda yang dibuat pada bagian luar tubuh tertentu dan dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin ikan berdasarkan morfologi dengan hasil yang cukup meyakinkan. Hasil tersebut dapat diperoleh karena pada prinsipnya, ikan jantan dan ikan betina memiliki pola pertumbuhan yang berbeda, sehingga akan mempengaruhi perkembangan tubuh ikan dan mengakibatkan perbedaan bentuk tubuhnya. Perbedaan bentuk tubuh ikan ini yang dapat memberikan perbedaan jenis kelamin dalam spesies ikan. Metode truss morphometric telah terbukti lebih akurat dalam mendeskripsikan morfologi ikan daripada morphometric (Strauss & Bookstein, 1982). Berdasarkan uraian tersebut diatas perumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut : (1) Apakah metode truss morphometric dapat membedakan jenis kelamin ikan hampala. (2) Jarak titik truss morphometric manakah yang dapat dijadikan sebagai ciri pembeda jenis kelamin ikan hampala. Adapun tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Membedakan jenis kelamin ikan hampala dengan menggunakan metode truss morphometric 2. Mengetahui jarak truss morphometric yang dapat dijadikan sebagai ciri pembeda jenis kelamin ikan hampala. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai dasar biologi perikanan seperti dimorfisme seksual ikan hampala yang dapat digunakan untuk pengelolaan ikan hampala secara tepat dalam menjaga kelestarian sumber daya. 4