BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterampilan berkomunikasi lisan penting dimiliki setiap manusia untuk berinteraksi atau berhubungan dengan manusia yang lain. Ningtiassari (2014) menjelaskan bahwa komunikasi lisan adalah komunikasi melalui pengucapan kata-kata secara lisan langsung tatap muka atau menggunakan alat komunikasi dengan lawan bicara. Pemaparan tersebut dapat dimaknai bahwa komunikasi lisan itu merupakan bentuk komunikasi yang dilakukan dengan pengucapan kata-kata lisan secara langsung bertatap muka serta dapat juga melalui alat komunikasi yang berhubungan secara langsung antara pembicara satu dengan yang lainnya. Menurut Aksioma (2012) keterampilan berkomunikasi lisan yaitu anak dapat menyampaikan maksud (ide, pikiran dan gagasan) kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat dipahami orang lain. Penjelasan tersebut berarti keterampilan berkomunikasi lisan itu merupakan keterampilan yang dimiliki anak untuk dapat menyampaikan ide, pemikiran dan gagasannya menggunakan bahasa lisan dengan tujuan agar dapat dipahami orang lain. Pada dasarnya kegiatan komunikasi dilakukan seseorang untuk menyampaikan maksudnya kepada orang lain dan orang lain mengerti atau memahami maknanya. Sama halnya dengan proses pembelajaran di sekolah, komunikasi merupakan proses interaksi antara guru dengan peserta didik maupun peserta didik dengan peserta didik dengan tujuan menyamakan maksud atau tujuan. Kedua pendapat diatas mengisyaratkan bahwa komunikasi lisan dalam proses pembelajaran di kelas merupakan penyampaian pemikiran atau gagasan dari guru kepada peserta didik dan dari peserta didik kepada guru yang disampaikan secara lisan atau berbicara langsung tatap muka dalam proses pembelajaran di kelas dengan tujuan menyamakan makna atau persepsi terhadap penjelasan yang disampaikan oleh guru. Setiap peserta didik perlu memiliki keterampilan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran di kelas untuk mengekspresikan pemikiran atau 1 2 gagasan mereka secara lisan langsung kepada peserta didik lain atau gurunya. Effendy (1990: 101) menjelaskan bahwa dalam pendidikan yang berlangsung di kelas jika pelajar itu pasif hanya mendengarkan tanpa mengekspresikan suatu pertanyaan, maka komunikasi tatap muka itu berlangsung satu arah dan proses komunikasi tersebut tidak efektif. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dalam proses pendidikan di sekolah yang berlangsung di kelas proses komunikasi antara guru dengan peserta didik dinilai tidak efektif apabila peserta didik hanya mendengarkan pernyataan guru tanpa mengekspresikan pendapatnya dalam bentuk pertanyaan atau diskusi. Proses pembelajaran dinilai efektif minimal apabila antara guru dengan peserta didik aktif berinteraksi terutama secara lisan langsung saat pelajaran berlangsung di kelas. Crebert, dkk (2011: 5) menerangkan Effective oral communication skills help students to: improve their own academic performance; increase their employment options; enhance their subsequent professional competence; and improve their own personal effectiveness. Pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa keterampilan berkomunikasi lisan yang efektif dalam membantu peserta didik untuk meningkatkan kinerja akademis mereka sendiri, meningkatkan pilihan pekerjaan, meningkatkan kompetensi profesional, dan meningkatkan efektivitas pribadi. Berdasarkan pendapat tersebut jelas bahwa berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran di kelas merupakan suatu keharusan bagi setiap peserta didik yaitu sebagai keefektifan proses belajar mengajar dan keefektifan pribadi peserta didik itu sendiri. Kenyataan di lapangan tidak semua peserta didik mempunyai keterampilan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran di kelas. Hasil penelitian Allwood (dalam Nordlund, 2004) menunjukkan bahwa komunikasi lisan selama proses pembelajaran di sekolah sering menjadi masalah karena ukuran kelas. Ada peserta didik sering mengingatkan untuk diam sementara peserta didik-peserta didik aktif berbicara karena hal tersebut sebagai kesempatan untuk mereka bisa berbicara. Ketika peserta didik mulai aktif 3 berbicara dalam diskusi kelas yang mengakibatkan suara riuh ruang kelas, salah satu diantara peserta didik yang merasa terganggu akan meningatkan teman-temannya untuk diam. Perilaku salah satu peserta didik yang mengingatkan teman-temannya ketika mereka aktif berdiskusi merupakan suatu punishment atau hukuman. Jika akibat dari sebuah perilaku adalah hukuman, maka perilaku cenderung melemah. Sehingga peserta didik yang aktif berbicara dalam diskusi kelas akan mengurangi bahkan menghilangkan perilaku bicara dalam diskusi pembelajaran di kelas. Selanjutnya hasil penelitian oleh Phillips (1975: 15) menunjukkan bahwa antara 8 sampai 10 persen anak-anak di sekolah menunjukkan beberapa jenis gangguan komunikasi lisan. Kemudian penelitian Vangelisti & Daly (dalam Weide, 1995) menunjukkan bahwa sekitar 15-20 persen dari populasi manusia antara umur 21-25 tahun tidak memadai dalam berkomunikasi secara lisan. Penelitian oleh Roselan (dalam Jamian, dkk, 2013) menggambarkan tentang keadaan di kelas sebenarnya interaksi lisan antara guru dengan peserta didik tidak berlangsung dengan baik. Adapun penelitian yang terdahulu juga tentang komunikasi lisan di Indonesia antara lain Juna dkk (2014) menggambarkan bahwa ada masalah komunikasi lisan pada peserta didik kelas VI SDN 05 Suruh Tembawang yaitu dari 10 peserta didik, hanya 4 peserta didik yang lancar dan pandai dalam berkomunikasi. Kemudian Choiriyah, dkk (2013) menjelaskan tentang komunikasi lisan yang perlu ditingkatkan pada peserta didik TKIT Nur Hidayah karena hasil penemuan ada 51,7 % peserta didik yang belum tuntas dalam komunikasi lisan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah keterampilan komunikasi lisan dalam proses pembelajaran terjadi di tingkat TK, SD dan Perguruan Tinggi, sehingga besar kemungkinan masalah tersebut juga ada di tingkat SMA. Hal tersebut diperkuat dengan hasil studi pendahuluan di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar melalui pengamatan kepada peserta didik secara langsung dalam proses pembelajaran di kelas serta diperkuat dengan hasil wawancara dengan empat guru mata pelajaran dan 13 peserta didik kelas X, diperoleh hasil yaitu data rata-rata seluruh peserta didik 4 kelas X yang tidak berani bertanya sebanyak 87, 265 persen, tidak berani menjawab 58, 485 persen dan 58, 487 persen yang tidak berani menanggapi penjelasan guru ketika proses pembelajaran di kelas berlangsung. Keadaan masalah yang demikian diperkuat dengan peserta didik yang termasuk berani bertanya rata-rata pertanyaan peserta didik tidak relevan dengan konteks pembelajaran materi yang diajarkan di kelas. Hasil studi pendahuluan tentang keterampilan komunikasi lisan peserta didik kelas X dalam proses pembelajaran di kelas di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar diperoleh hasil bahwa keterampilan berkomunikasi lisan peserta didik kelas X masih rendah. Peserta didik di sekolah tersebut memperoleh pengalaman yang kurang baik ketika berkomunikasi lisan di kelas. Saat mengutarakan pendapat dikelas peserta didik sering diabaikan oleh guru dan diberi jawaban yang kurang sesuai dengan harapan peserta didik. Pengalaman lain, ketika siswa mengajukan pertanyaan kepada guru ditertawakan oleh teman-temannya, guru kurang memberikan kesempatan kepada peserta didiknya untuk aktif berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran. Pengalaman-pengalaman tersebut merupakan sebuah punishment yang menyebabkan peserta didik merasa cemas/takut untuk berkomunikasi lisan pada saat proses pembelajaran dikelas. Upaya yang dilakukan sekolah dalam penanganan masalah kemampuan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran sejauh ini hanya layanan informasi tentang pentingnya keterampilan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran dikelas, sehingga belum ada penanganan khusus pada masing-masing peserta didik yang mengalami masalah khusus utamanya masalah keterampilan berkomunikasi lisan. Maka diperlukan teknik khusus yang berfokus untuk melatih peserta didik untuk mampu berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran dengan baik. Salah satu teknik yang bisa digunakan adalah dengan teknik self instruction. Teknik self instruction merupakan sebuah teknik yang dilakukan untuk mengarahkan perilaku individu melalui pemberian petunjuk verbal pada dirinya sendiri, petunjuk verbal tersebut bisa berupa perintah kepada dirinya sendiri. 5 Menurut Bryan & Budd (1982: 259) bahwa self instruction merupakan prosedur yang dirancang untuk meningkatkan kendali diri secara tersendiri/ mandiri melalui pernyataan-pernyataan verbal yang mendorong, membimbing dan memelihara tindakan-tindakan non-verbal. Pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa teknik self instruction dapat mengendalikan perilaku seseorang melalui penyataan verbal dalam dirinya sendiri. Teknik self instruction berarti dapat dilakukan secara mandiri oleh individu dalam mengatasi masalah yang sedang dialaminya. Selanjutnya Goodwin & Coates (1976: 157) menjelaskan bahwa self instruction adalah prosedur yang mudah digunakan dan untuk mengajar berbagai keterampilan pada berbagai peserta didik. Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa teknik self instruction mudah digunakan dan diterapkan dalam mengajar berbagai keterampilan peserta didik. Jadi self instruction yaitu serangkaian prosedur berupa pemberian petunjuk atau pernyataan verbal ke dalam diri seseorang untuk mendorong dan mengarahkan perilakunya agar lebih efektif. Penerapan self instruction dalam menangani masalah keterampilan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran didasarkan pada psikoedukasi, hal ini dilakukan dengan tujuan bahwa orientasi psikoedukasi yaitu lebih ke arah pencegahan masalah serupa di masa depan melalui proses pemberian pendidikan secara mental pada masing-masing peserta didik. Berdasarkan pada kelebihan teknik self instruction yaitu dapat dilakukan secara mandiri oleh individu atau peserta didik dan prosedur yang mudah digunakan dan diterapkan pada berbagai keterampilan peserta didik. Maka penelitian ini hendak mengkaji keefektifan teknik self instruction untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran di kelas pada peserta didik kelas X SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar. 6 B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1. Keterampilan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran di kelas masih rendah. 2. Data rata-rata seluruh peserta didik kelas X yang tidak berani bertanya sebanyak 87, 265 persen, tidak berani menjawab 58, 485 persen dan 58, 487 persen yang tidak berani menanggapi penjelasan guru ketika proses pembelajaran di kelas berlangsung. 3. Upaya yang dilakukan pihak sekolah yaitu sebatas bimbingan klasikal seperti layanan informasi saja yang masih merujuk pada himbauan secara umum, belum diterapkan teknik self instruction yang menekankan pada latihan dan penguasaan kepada masing-masing individu. C. Pembatasan Masalah Agar diperoleh pengertian yang tepat maka perlu adanya pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah berdasarkan penelitian ini yaitu: 1. Penelitian ini menggunkan teknik self instruction, yaitu serangkaian prosedur berupa pemberian petunjuk atau pernyataan verbal ke dalam diri seseorang untuk mendorong dan mengarahkan perilakunya agar lebih efektif 2. Keterampilan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran di kelas adalah penyampaian pemikiran atau gagasan dari guru kepada peserta didik dan dari peserta didik kepada guru yang disampaikan secara lisan atau berbicara langsung tatap muka dalam proses pembelajaran di kelas dengan tujuan menyamakan makna atau persepsi terhadap penjelasan yang disampaikan oleh guru. 3. Peserta didik yang diberikan perlakuan teknik self instruction yaitu peserta didik kelas X SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar yang merupakan subjek penelitian. 7 D. Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini adalah 1. Bagaimana deskripsi keterampilan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran di kelas pada subjek penelitian? 2. Apakah teknik self instruction efektif untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran di kelas pada subjek penelitian? E. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah 1. Mendeskripsikan keterampilan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran di kelas pada subjek penelitian. 2. Menguji keefektifan teknik self instruction untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran di kelas pada subjek penelitian. F. Manfaat 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan bagi guru bimbingan dan konseling tentang terapi atau konseling khususnya pemanfaatan teknik self instruction untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran di kelas. 2. Manfaat Praktis a. Bagi subjek penelitian dan peserta didik yang memiliki masalah sejenis. b. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peserta didik adalah untuk 1) Membantu meningkatkan keterampilan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran di kelas. 2) Menyadarkan peserta didik tentang pentingnya berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran di kelas. 8 c. Bagi Guru Mata Pelajaran Hasil penelitian ini manfaatnya bagi guru mata pelajaran adalah sebagai sarana acuan dalam memilih model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik dan membuat pembelajaran menjadi lebih efektif. d. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling Hasil penelitian ini manfaatnya bagi guru bimbingan dan konseling adalah sebagai alternatif bantuan untuk membantu memecahkan masalah peserta didik yang berkaitan dengan keterampilan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran di kelas. e. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini bagi peneliti selanjutnya adalah sebagai dasar acuan dalam menerapkan teknik self instruction yang disesuaikan pada kebutuhan penelitian.