BAB 2 LANDASAN KONSEPTUAL 2.1 Penelitian Sebelumnya (State of The Art) Dalam, penelitian ini terdapat 6 jurnal sebelumnya yang digunakan sebagai referensi penelitian. Jurnal sebelumnya yang digunakan tersebut terdiri dari 3 jurnal nasional dan 3 jurnal internasional. Keenam jurnal yang ada dalam penelitian ini merupakan penelitian yang menjadi acuan dalam menganalisis unsur-unsur yang terdapat pada professional attire awak kabin Garuda Indonesia. Penelitian ini menggunakan teori semiotika Roland Barthes dalam menguraikan makna-makna denotative, konotative dan mitos yang terdapat pada setiap unsurnya. Jurnal yang dikemukakan oleh Rina Patriana menggunakan teori semiotika. Sedangkan jurnal Dominikus Tulasi juga menggunakan teori semiotika Roland Barthes dalam menguraikan makna denotative dan konotative subjek penelitiannya. Jurnal Mia Angeline dan jurnal internasional yang digunakan berhubungan dengan professional attire dalam dunia professional. Berikut adalah penjelasan dari jurnal sebelumnya yang digunakan: Tabel 2.1 State of The Art NO Tahun Judul Nama Hasil Perbandingan : 1. Jurnal Semiotika Batik Rina Patriana Mengetahui bagaimana konsep- Jurnal ini juga melakukan analisis Humaniora Larangan di Chairiyani konsep semiotika diterapkan dalam pada pakaian.Penelitian ini 2 Oktober Yogyakarta. bidang seni dan kehidupan budaya menggunakan analisis semiotika. masyarakat Yogyakarta. Namun penelitian ini hanya berfokus 2014 9 10 Mengetahui bagaimana makna dari menganalisis semiotik motif batik, setiap jenis motif yang termasuk ke tidak termasuk warna dan bentuk dalam jenis motif Batik Larangan pakaiannya. Yogyakarta. Adapun batik yang sekaligus merupakan batik larangan sesuai dengan peraturan Sultan Hamengku Buwono VIII adalah: (1) Parang Rusak Barong, (2) Parang Rusak Gendreh, (3) Parang Rusak Klitik, (4) Semen Gede Swat Gruda, (5) Semen Gede Swat Lat, (6) Udan Riris, (7) Rujak Sente, (8) Parang-parangan. Pada dasarnya Batik Larangan adalah batik-batik tertentu yang dilarang pemakaiannya untuk masyarakat umum dan hanya khusus diperuntukkan bagi kalangan terbatas dalam masyarakat keraton saja. 11 2. Jurnal Semiotika Atribut Dominikus Mengetahui makna pemakaian busana Jurnal ini melakukan analisis Humaniora Sebagai Pesan Tulasi batik yang merupakan bagian dari semiotika terhadap busana atau 2 Oktober Komunikasi : atribut yang dikenakan oleh ibu-ibu pakaian. Menggali makna denotative 2014 Studi Kasus anggota DPR RI. Mengetahui bahwa dan makna konotatif pada subjek Atribut Ibu ternyata dalam memilih busana yang penelitian. Dalam penelitian ini Anggota DPR RI. dikenakan, para ibu-ibu tersebut dikatakan bahwa gaya personal diperngaruhi oleh latar belakang membentuk citra professional mereka masing-masing. Dalam seseorang. penelitian ini latar belakang tersebut dibagi menjadi 3, yaitu : kelompok ibu-ibu berlatar belakang dari desa yang kesehariannya bergumul dengan hidup dan kehidupan yang sederhana. Kedua, adalah kelompok yang berlatar belakang keluarga terdidik (educated people). Ketiga, kelompok yang berlatar belakang pedagang, seniman, artis, dan pebisnis. Dirunut dalam konteks paham semiotika struktural, dan direlasikan dengan pakaian batik 12 yang dikenakan ibu-ibu anggota dewan dari ketiga kelompok yang disebutkan sesungguhnya adalah manifestasi dan aktualisasi budaya lokal, yang dapat bermakna denotatif dan konotatif sekaligus. Dalam konteks ini berbusana batik sebagai totalitas dalam tatanan berbusana, menampakkan kecintaan ibu-ibu anggota dewan perwakilan rakyat pada budaya lokal yang memiliki makna dan keluhuran nilai. 3. Mengetahui pentingnya gaya personal Dalam jurnal ini dijelaskan bahwa Matter Personal dalam dunia professional (pekerjaan) komunikasi interpersonal lebih cocok Oktober Style VS dan dampak gaya personal dalam citra menentukan citra profesional dan 2013 Professional professional. Persepsi bahwa gaya bukan gaya personal. Image personal penting dalam pekerjaan Jurnal Image Does Humaniora Mia Angeline karena terkait dengan relasi dan retensi konsumen, serta mendapatkan persetujuan rekan kerja dan sosial 13 secara umum. Namun kepentingan ini terbagi berdasarkan industri pekerjaan. Industri kreatif lebih mementingkan authencity, yaitu gaya personal yang menggambarkan karakter diri sehingga memberikan kesan kreatif. Sedangkan untuk industri lainnya lebih mementingkan kredibilitas dalam gaya personal, yaitu menahan karakter diri dan menyesuaikan dengan lingkungan agar mendapat persetujuan sosial dan mendapatkan benefit profesional. Perbedaan ini disebabkan karena persepsi mengenai profesionalitas berbeda antarindustri. Kedua, gaya personal disepakati sangat berdampak pada citra profesionalitas. Hal yang terkait dengan jawaban ini 14 adalah citra perusahaan, dimana citra perusahaan selain digambarkan oleh produk juga digambarkan oleh para karyawan dalam perusahaan tersebut. Karyawan yang baik selain dapat menggambarkan citra profesional juga dapat menggambarkan citra perusahaan melalui gaya personalnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa citra perusahaan harus lebih diprioritaskan daripada gaya personal. 4. Journal Children's Paediatric perspective on the Iti Garg, Dentistry dentist's attire April 2013 Anup Panda, The study found that majority of Dalam jurnal penelitian ini meneliti children preferred dental professionals professional attire. Gaya personal Anamaya P. to wear traditional formal attire with a tidak membentuk citra professional Bhobe. white coat and name badge. They seoseorang. preferred the use of plain masks and white gloves but disliked protective eyewear or headcaps. Most children liked dentists with closed shoes and no jewellery but preferred the use of a 15 wrist watch. 5. Journal Hospitality Manageme nt November 2011 What is professional attire today? A conjoint Tanya Personal presentation attributes have Dalam penelitian ini, gaya personal Ruetzel, Jim long been understood to affect seseorang dapat berhasil membentuk Taylor,Dennis perceptions of competence and gaya professional seseorang saat analysis of personal presentation attributes. Reynolds, capabilities. To that end, this study melakukan pekerjaan. William investigates seven attributes associated Baker, Claire with favorable interview presentation, Killen. including overall physical attractiveness, neatness and grooming, clothing color, conservative versus trendy attire, professional versus casual attire, and body modification (including tattoos and piercings). Participants (n = 108), including students, faculty, and hospitality industry professionals, sorted an orthogonal array of 16 full-color, laminated cards that contained photos so that respondents could see levels of clothing color, clothing 16 conservativeness, and degree of professional attire. The remaining attributes and their corresponding levels were shown on respective analog indicators. The conjoint analysis results indicate that grooming and professional attire are the most important attributes in shaping favorable perceptions. Furthermore, faculty perceived conservative clothing to be better while students and industry professionals indicated that trendy clothing creates a more favorable presentation on the part of a job candidate. 6. Journal of Nursing Practice Augustus 2013 Patient perception Caroline Porr PhD RN of contemporary Assistant nurse attire: A Professor, pilot study. Doree Patients have expressed difficulty Gaya personal tidak membentuk citra accurately distinguishing registered professional dalam pekerjaan. Gaya nurses (RNs) from other hospital personal dianggap tidak professional personnel because standardized dalam dunia pekerjaan sehingga uniforms are no longer worn by RNs. membuat konsumen menjadi sulit 17 n Dawe MSc RN Associate Professor, Nicol e Lewis MN RN Lecturer, Rober t J Meadus PhD RN Associate Professor, Nicol e Snow PhD(c) RN Nurse Educator and Paula Didham MAdEd RN Nurse Educator. According to American studies, such untuk membedakan mana pihak yang complaints are widespread; moreover, professional mana yang bukan. patients’ perceptions of nurse caring and competence and of other traits associated with nurses’ professional image have been negatively affected by casual, non-conventional attire. As there are no published Canadian studies, we conducted a pilot study to examine patient perception of the nurse uniform. Adult patients viewed photographs of the same RN dressed in eight different uniforms and rated each uniform according to 10 traits associated with nurses’ professional image. The white pantsuit scored higher for professionalism than uniforms with small print, bold print, or solid colour, and most patients preferred that the RN dress in white. 18 Our preliminary findings suggest that RN attire warrants further investigation, and we are planning a large-scale, fully powered study to inform patient-driven change to existing uniform policies. 19 2.2 Landasan Konseptual 2.2.1 Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi (organizational communication) merupakan komunikasi yang terjadi di dalam dan di antara lingkungan yang besar dan luas. Komunikasi organisasi mempunyai jenis yang sangat bervariasi karena komunikasi organisasi juga meliputi komunikasi interpersonal (percakapan antara atasan dan bawahan), kesempatan untuk berbicara di depan public (presentasi di hadapan para eksekutif perusahaan), kelompok kecil (kelompok yang membuat laporan), dan komunikasi menggunakan media. Oleh karena itu, organisasi terdiri atas kelompok yang diarahkan oleh tujuan akhir yang sama (West & H.Turner, 2008). Dalam sebuah organisasi, pakaian merupakan aspek penting yang harus diperhatikan. Pakaian dapat menjadi identitas bagi sebuah organisasi. Pakaian yang dikenakan oleh anggota organisasi bukan lagi sekedar penutup tubuh namun pakaian tersebut mempresentasikan identitas organisasi itu sendiri. Sehingga ketika orang lain melihat pakaian yang dikenakan oleh anggota organisasi, orang lain tersebut akan langsung dapat mengingat identitas dari organisasi tersebut. 2.2.2 Komunikasi Nonverºl Komunikasi nonverbal adalah penyampaian pesan tanpa kata-kata dan menggunakan pesan-pesan nonverbal. Pesan-pesan yang diekspresikan dengan sengaja atau tidak sengaja melalui gerakan-gerakan, tindakantindakan, perilaku atau suara-suara atau vocal yang berbeda dari penggunaan kata-kata dalam bahasa verbal. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis (Dasrun Hidayat, 2012). Menurut Pace dan Faules (dalam Mulyana, 2007) terdapat dua bentuk umum tindakan yang dilakukan orang yang terlibat dalam komunikasi, yaitu penciptaan pesan dan penafsiran pesan. Pesan disini tidak harus berupa katakata, namun bisa juga merupakan pertunjukkan (display), termasuk pakaian, 20 perhiasan, dan hiasan wajah, atau yang lazimnya disebut pesan nonverbal (Mulyana, 2007:65). Pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (dalam Mulyana, 2007), komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu yang mempunyai nilai potensial bagi pengirim atau penerima. Definisi tersebut mencakup perilaku yang disengaja ataupun tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan. Kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain (Mulyana, 2007). Adapun salah satu jenis pesan nonverbal adalah pakaian. Sebagian orang berpandangan bahwa pilihan seseorang atas pakaian mencerminkan kepribadiannya. Pada kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa pakaian digunakan untuk meproyeksikan citra tertentu yang diinginkan pemakaiannya (Mulyana, 2007). Dalam peribahasa Latin “Uestis uirium reddit” yang berarti pakaian menjadikan orang. William Throulby dalam bukunya You Are What You Wear : The Key to Business Success (dalam Mulyana,2007) menekankan pentingnya pakaian demi keberhasilan bisnis. Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi nonverbal pada dasarnya merupakan komunikasi tanpa kata-kata. Pesan dalam komunikasi nonverbal dapat berupa pakaian. Orang professional berpakaian bukan hanya sekedar untuk menutupi tubuh atau asal pantas, namun juga berusaha menciptakan kesan yang positif pada orang lain. Maka sebetulnya tanpa disadari bahwa ketika individu mengenakan pakaian individu tersebut sedang melakukan komunikasi dan memberikan makna bagi orang lain melalui pakaiannya. 2.2.3 Semiotika Kata “semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” (Sudjiman dan Van Zoest 1996 dalam Sobur, 2009) atau seme yang berarti “penafsir tanda” (Cobley dan Jansz 1999 dalam Sobur, 2009). 21 Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika (Kurniawan, 2001). “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api. Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri.Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra, misalnya, kerap diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan (Sobur, 2009). Tanda adalah segala sesuatu- warna, isyarat, kedipan mata, objek, rumus matematika dan lain-lain- yang mempresentasikan sesuatu yang lain selain dirinya. Kata red, seperti yang telah dilihat dikategorikan sebagai tanda karena ia bukan mempresentasikan bunyi r-e-d yang membangunnya, melainkan sejenis warna dan hal lainnya (Danesi, 2012). Littlejohn 1996 dalam Sobur, (2009) mengatakan bahwa tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi. Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal bisa dikomunikasikan di dunia ini. Sebuah teks, apakah itu surat cinta, makalah, iklan, cerpen, puisi, pidato presiden, poster politik, komik, kartun, dan semua hal yang mungkin menjadi “tanda” bisa dilihat dalam aktivitas penanda: yakni, suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi (Sobur, 2009). Dalam bukunya yang berjudul Theories of Human Communication Stephen W. Littlejohn mengatakan bahwa suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan makna- nya dan bagaimana tanda disusun.Secara 22 umum, studi tentang tanda merujuk kepada semiotika. Semiotika meruopakan sebuah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2009). Dengan tanda-tanda kita mencoba mencari keteraturan di tengahtengah dunia yang centang-penerang ini, setidaknya agar kita sedikit punya pegangan. “Apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan tersebut dan ‘membawanya pada sebuah kesadaran’,” ujar Pines dalam Berger, (2000). Dengan semiotika, kita lantas berurusan dengan tanda. Semiotika, seperti kata Lechte dalam Sobur, (2009), adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs ‘tanda-tanda’ dan berdasarkan pada sign system (code) ‘sistem tanda’ (Segers, 2000:4 dalam Sobur, 2009). Hjelmslev dalam Sobur, (2009) mendefinisikan tanda sebagai “suatu ke- terhubungan antara wahana ekspresi (expression plan) dan wahana isi (content plan)”. Cobley dan Jansz (1999:4 dalam sobur, 2009) menyebutnya sebagai “discipline is simply the analysis of signs or the study of the functioning of sign systems” (ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi). Charles Sanders Peirce dalam Sobur, (2009) mendefinisikan semiosis sebagai “a relationship among a sign, an object and a meaning (suatu hubungan antara tanda, objek dan makna). Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya – dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2011). Kehidupan intelektual dan sosial manusia didasarkan pada pengasilan, penggunaan dan pertukaran tanda. Saat kita membuat isyarat, berbicara, menulis, membaca, menonton acara TV, mendengarkan music, melihat lukisan kita tengah melakukan penggunaan dan penafsiran tanda. Dengan tanda-tanda, kita mencoba mencari keteraturan di tengah-tengah dunia yang centang-perenang ini, setidaknya agar kita sedikit punya pegangan. “Apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan tersebut dan ‘membawanya pada 23 sebuah kesadaran’’ ujar Pines (Berger, 2010). Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi (lihat antara lain Eco, 1979:8-9; Hoed, 2001:140).Yang pertama menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam 23imula dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan) (Jakobson, 1963, dalam Hoed 2001:140).Yang kedua memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu (Sobur, 2009). Pada jenis yang kedua, tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Sebaliknya, yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya (Sobur, 2009). Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa semiotika selalu berhubungan dengan tanda dan makna. Segala sesuatu yang berupa tanda mempunyai makna. Makna dalam setiap tanda dapat ditelaah melalui ilmu semiotika. Satu hal yang perlu digarisbawahai dari berbagai definisi di atas adalah para ahli melihat bahwa semiotika adalah ilmu atau proses yang berhubungan dengan tanda. Ini berarti mempelajari semiotika sama dengan kita mempelajari tentang berbagai tanda. Cara kita berpakaian, apa yang kita makan dan cara kita bersosialisasi sebetulnya juga mengkomunikasikan hal-hal mengenai diri kita dan dengan begitu dapat kita pelajari sebagai tanda. 2.2.4 Semiotika Roland Barthes Menurut Barthes (dalam Sobur,2009) Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengahtengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa 24 informasi, dalam hal mana objek- objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179; Kurniawan, 2001:53 dalam Sobur, 2009). Semiotika dan semiologi pada dasarnya memiliki arti yang sama. Namun pemakaian salah satu istilah ini biasanya didasarkan pada pemikiran pemakainya: mereka yang bergabung dengan Peirce menggunakan kata semiotika, dan mereka yang bergabung dengan Saussure menggunakaan kata semiologi (Sobur, 2009). Tujuan riset semiologis adalah merekonstitusi bagaimana sistemsistem signifikasi yang bukan language berfungsi, dengan mengikuti proyek aktivitas strukturalis, yaitu membangun suatu objek-objek yang diamati (Barthes, 2007). Dengan demikian, Barthes melihat signifikasi sebagai sebuah proses total dengan suatu susunan yang sudah terstruktur. Signifikasi itu tidak terbatas pada bahasa, tetapi terdapat juga pada hal-hal yang bukan bahasa. Barthes menganggap kehidupan sosial sendiri merupakan suatu bentuk signifikasi. Dengan kata lain, kehidupan sosial apapun bentuknya, merupakan suatu sistem tanda tersendiri pula (Barthes, 2007). Seragam merupakan sebuah tanda yang dikenakan oleh seluruh awak kabin Garuda Indonesia. Seragam awak kabin tersebut merupakan sebuah tanda yang telah didesain sedemikian rupa agar memiliki makna dan dapat dimaknai oleh siapapun yang melihatnya. Penelitian ini melakukan analisis semiotika pada professional attire awak kabin Garuda Indonesia. Analisis semiotika yang digunakan adalah analisis semitoika Roland Barthes. 2.2.5 Konotasi, Denotasi, Mitos Makna denotasi pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (yang disebut sebagai makna referensial). Makna denotasi suatu kata ialah makna yang biasanya kita temukan di dalam kamus, kata mawar berarti ‘sejenis bunga’. Denotasi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan makna sebenarnya yang mengacu pada Kamus Bahasa Indonesia (KBBI). Makna konotasi adalah makna denotasi ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata mawar itu. Kata konotasi berasal dari bahasa Latin connotare, “menjadi 25 tanda” dan mengarah kepada makna-makna yang terpisah/berbeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi) (Sobur, 2009). Arthur Asa Berger (dalam Sobur,2009) mencoba membandingkan antara konotasi dan denotasi sebagai berikut: Tabel 2.3 Perbandingan antara Konotasi dan Denotasi KONOTASI DENOTASI Pemakaian figure Literature Petanda Penanda Kesimpulan Jelas Memberi kesan tentang makna Menjabarkan Dunia mitos Dunia keberadaan/eksistensi Sumber : Sobur,2009:264 Mengabaikan dimensi dari bentuk dan subtansi, Barthes (dalam Wibowo, 2011) mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri dari (E) sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya (R) dengan content (atau Signified) ( C ) : ERC. Kemudian beliau melanjutkan bahwa sebuah sistem tanda primer (primary sign system) dapat menjadi sebuah elemen dari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memiliki makna yang berbeda ketimbang semula. Barthes (dalam Wibowo, 2011) menulis : “Such sign system can become an element of a more comprehensive sign system. If the extension is one of content, the primary sign (E1 R1 C1) becomes the expression of a secondary sign system”. Apabila diterjemahkan dapat berarti “Sistem tanda dapat menjadi elemen sistem tanda yang lebih komperhensif. Apabila perluasan adalah salah satu dari konten, tanda primer (E1 R1 C1) menjadi ungkapan dari sistem tanda kedua”. E2 = ( E1 R1 C1 ) R2 C2 Dengan begitu, primary sign adalah denotative sedangkan secondary sign adalah satu dari conotative semiotics. Konsep connotative inilah yang menjadi kunci penting dari model semiotika Roland Barthes. 26 Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan Signified (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas external. Itu yang disebut Bathers sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign) (Wibowo, 2011). Gambar 2.2. Metode Semiotika Roland Barthes Sumber : Wibowo, 2011:17 Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan intraksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya (Wibowo, 2011). Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan (Fiske, 1990 dalam Wibowo, 2011). Dalam ideologi, yang kerangka Barthes, disebutnya konotasi sebagai ‘mitos, identik dengan operasi dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang 27 berlaku dalam suatu periode tertentu (Sobur, 2009). Mitos menurut wibowo (2011) adalah suatu wahana dimana suatu idelogi berwujud. Mitos dapat berangkai menjadi Mitologi yang memainkan peran penting dalam kesatuankesatuan budaya. Sedangkan Van Zoet (1991 dalam Wibowo, 2011) menegaskan, siapapun bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat di dalamnya. Dalam pandangan Umar Yunus (1981 dalam Wibowo,2011) dijelaskan bahwa mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak hidup dalam masyarakat. Ia mungkin hidup dalam ‘gosip’ kemudian ia mungkin dibuktikan dengan tindakan nyata. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita mempunya prasangka tertentu terhadap suatu hal yang dinyatakan dalam mitos. Dalam penelitian ini, setiap unsur desain yang ada pada professional attire awak kabin Garuda Indonesia (bentuk, ukuran, warna, motif dan tekstur) dianalisis dan dijabarkan makna denotasi, konotasi dan mitosnya. Makna denotasi mengacu pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sedangkan makna konotasi mengacu pada makna denotasi yang telah bercampur dengan mitos. Mitos adalah produk sosial yang dominan. Dalam penelitian ini hal yang paling dominan adalah culuture/kebudayaan Indonesia. 2.2.6 Semiotika Pakaian Seperti objek atau artefak umum lainnya, kita menafsirkan pakaian sebagai tanda yang mewakili hal-hal seperti kepribadian, status sosial dan karakter keseluruhan si pemakai. Metode dasar Semiotika yaitu menanyakan apa, bagaimana dan mengapa sesuatu memiliki makna yang kini dimilikinya, berlaku pula pada pakaian (Danesi, 2012). Pakaian dapat membentuk diri seseorang. Pakaian lebih dari sekedar penutup badan demi perlindungan. Pakaian merupakan sistem tanda yang saling terkait dengan sistem-sistem tanda lainnya dalam masyarakat dan melaluinya kita dapat mengirimkan pesan tentang sikap kita, status sosial kita, kepercayaan politik kita dan seterusnya (Danesi, 2012). 28 Pakaian memenuhi sejumlah fungsi bagi kita manusia termasuk dekorasi, perlindungan fisik dan psikologis, daya tarik, pernyataan diri, identifikasi kelompok dan menampilkan status atau peran. Karena pakaian dikenakan di tubuh, dan karena tubuh merupakan tanda dari diri, Pakaian dapat didefinisikan sebagai tanda yang memperluas makna dasar tubuh dalam konteks budaya. Karena itu pakaian dan tubuh yang ditutupi olehnya disusupi oleh signifikasi moral, sosial dan estetis (Danesi, 2012). Pada level biologis, pakaian mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu meningkatkan kemampuan kita dalam bertahan hidup. Pakaian, dalam level denotative ini adalah perluasan buatan manusia dari sumber perlindungan tubuh; pakaian adalah tambahan bagi rambut dan ketebalan kulit di tubuh kita yang berfungsi melindungi (Danesi, 2012). Salah satu contoh jenis penanda pakaian yang ada dalam kode pakaian perempuan : Tabel 2.4 Contoh Jenis Penanda Pakaian yang Ada dalam Kode Pakaian Perempuan Kode Pakaian Seleksi dan Pilihan Blus Warna lembut, lebih disukai putih Jaket Abu-abu, biru atau warna konservatif lainnya. Rok atau celana Warna harus sesuai dengan jaket Sepatu Lebih disukai hak tinggi atau separo tinggi dan berwarna gelap Sumber : (Danesi, 2012:206) Pakaian dalam level denotative, adalah perluasan buatan manusia dari sumber perlindungan tubuh; pakaian adalah tambahan bagi rambut dan ketebalan kulit di tubuh kita yang berfungsi melindungi. Seperti yang dikemukakan oleh Werner Enninger (1992:215 dalam Danasi, 2012); inilah mengapa gaya pakaian bervariasi menurut geografi dan topografi. Namun seperti halnya semua sistem buatan manusia, pakaian akan selalu memperoleh selingkupan konotasi dalam latar sosial. Konotasi ini dibangun berdasarkan berbagai kode pakaian (dress code- dari bahasa Prancis lama dresser, “mengatur,mendirikan”) yang membantu orang bagaimana seharusnya berpakaian dalam berbagai situasi sosial (Danesi, 2012). mereka 29 Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pakaian merupakan objek yang memiliki makna. Dalam prakteknya, pakaian bukan hanya sebagai pentup badan, namun pakaian dapat menjadi penanda seseorang dalam sebuah organisasi. Kita umumnya berasumsi bahwa orang sadar akan apa yang mereka kenakan. Karena itu penggunaan pakaian menjadi sumber informasi yang penting mengenai mereka. Inilah mengapa seragam wajib dikenakan dalam kelompok-kelompok tertentu seperti awak kabin PT. Garuda Indonesia Tbk. Seragam tersebut merupakan tanda atau simbol yang memiliki makna di dalamnya. Seragam yang dipakai para awak kabin dirancang dengan standarisasi agar makna yang ada di dalamnya dapat diketahui oleh orang yang melihatnya. 2.2.7 Aspek-Aspek Visual Tanda-Tanda Menurut Berger (2010) tidak semua tanda terlihat. Suara dapat menjadi suatu tanda, begitu juga dengan bau, rasa, dan bentuk. Tetapi, beberapa tanda mempunyai dimensi visual, dan karenanya amat penting untuk mengetahui atau memahami variasi- variasi aspek visual dari tandatanda yang mungkin bisa dijadikan pertimbangan di berbagai analisis. Berikut aspek – aspek visual tanda tersebut menurut Berger (2010) : a. Penggunaan Warna Perbedaan warna cenderung menimbulkan perbedaan emosi (setidaknya di dunia Barat). Warna merah memberi kesan nafsu, bahaya, panas dan terkait emosi. Warna biru menunjukkan suasana dingin, tenang dan halus. Warna violet berhubungan dengan kekayaan dan kerajaan. Namun demikian, tidak ada hubungan alamiah antara warna dan perasaan yang digambarkan oleh warna itu (Inilah yang ingin diperdebatkan, lantaran ada beberapa ketidaksepakatan). Di Barat misalnya, warna hitam kita gunakan bila kita berduka cita, tetapi di luar kebudayaan Barat warna hitam berarti sebagai tanda keletihan. Dalam beberapa hal, dalam menyampaikan pesan yang lebih rinci misalnya, masalah kejernihan warna mungkin lebih penting ketimbang warna itu sendiri. b. Ukuran Ketika berbicara mengenai ukuran, perhatian seorang individu tidak hanya pada dimensi-dimensi yang diberikan tetapi juga pada unsur- 30 unsur keterkaitan antara tanda dan sistem tanda. Tanda- tanda memiliki variasi bentuk, mulai dari ukuran terkecil hingga yang terbesar (super grafik). Pada bentuk super grafik perbedaan skala menjadi hal yang sangat penting.Dalam bentuk ini kata-kata dapat dibentuk hingga memiliki nilai seni (di samping sebagai alat komunikasi). Perubahan skala ukuran lebih menekankan nilai keindahan daripada fungsinya sebagai sarana komunikasi (Berger, 2010). c. Bentuk Bentuk memainkan peran penting untuk memunculkan arti di dalam pakaian. Sebagai contoh, garis besar berbentuk jantung yang dipakai pada Hari Valentine harus diasosiasikan sebagai “cinta”. Sekarang, warna merah pada jantung yang berarti “cinta” banyak dijumpai dalam banyak iklan, stiker, dan sebagainya. Dalam hal ini arti bentuk jantung pada Hari Valentine adalah simbol dan bukan ikon. Suatu gambar jantung semata tidak akan tampak seperti Hari Valentine. Dalam hal lain, arti pokok dari ikonitas adalah bentuk (Berger, 2010). 2.2.8 Desain Pakaian 2.2.8.1 Pengertian Desain Pakaian Dalam membuat sebuah pakaian, desain menjadi kata penting yang harus dilakukan seseorang dalam membuat pakaian. Desain merupakan rancangan dasar dari sebuah busana yang akan kita buat. Desain dapat pula diartikan sebagai ide dasar sebuah busana. Rancangan, ide dasar dan coretan inilah yang nantinya akan diwujudkan menjadi sebuah benda pakai yang bernama busana. (Kurnia & Aminah, 2012). Semua pembuat perancang busana dari amatir hingga professional, pasti membuat desain untuk busana yang akan mereka buat. Ini merupakan pengetahuan dasar yang harus dimiliki oleh seluruh perancang busana amatir ataupun professional. Dalam membuat pakaian desain menjadi aspek yang sangat penting karena memberikan kepada kita arah dalam proses membuat pakaian hingga selesai. Desain bisa diibaratkan juga sebagai petunjuk jalan ketika 31 membuat busana. Desain adalahsebuah penentu sebuah busana (Kurnia & Aminah, 2012). 2.2.8.2 Manfaat Desain Pakaian Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, desain pakaian merupakan aspek yang penting dibuat sebelum seorang perancang busana (desainer) membuat sebuah buasana. Adapaun manfaat dari desain pakaian adalah : (Kurnia & Aminah, 2012:2) 1. Terencana ketika membuat busana. 2. Hasil busana yang diinginkan lebih bagus dan menarik; 3. Busana tidak tampak seperti asal jadi; 4. Busana akan terlihat indah dan terasa nyaman; 5. Lebih mudah ketika proses membuat busana; 6. Sebagai bahan referensi seandainya kita lupa akan detail, model dan aksen; dan 7. Desain mudah, berharga murah, berbahan sederhana, dibandingkan jika harus membuat ulang sebuah busana jika ada kesalahan. 2.2.8.3 Unsur-unsur Desain Dasar dari sebuah desain yaitu unsur desain. Elemen unsur desain inilah yang akan menjadi tolak ukur dalam membuat desain. Unsur desain merupakan penentu apakah desain yang dibuat mudah dibaca dan dimengerti orang atau tidak. Unsur desain menitikberatkan pada wilayah visual (pengelihatan). Unsur-unsur desain yang harus diperhatikan adalah : (Kurnia & Aminah, 2012) 1. Bentuk Unsur yang pertama adalah bentuk. Bentuk adalah hubungan dari beberapa garis yang memiliki bidang dimensi. Bentuk terbagi menjadi bentuk naturalis, bentuk geometris, bentuk dekoratif dan bentuk abstrak. Bentuk naturalis adalah bentuk yang mengambil tiruan dari alam seperti tumbuhan, hewan, batuan, serta permukaan tanah. Bentuk geometris adalah 32 bentuk-bentuk yang bisa diukur dengan alat ukur dan terartur, seperti persegi panjang, persegi empat, segitiga dan lingkaran. 2. Motif Bentuk dekoratif adalah bentuk-bentuk dasar yang sudah dimodifikasi dengan bentuk lain, sehingga menghasilkan bentuk hiasan lain pada bidang tertentu.terkadang kita malah tidak mengenali bentuk abstrak tersebut. Dalam hubungannya dengan pakaian, bentuk digunakan dalam bentuk busana, aksesori, serta corak dan motif busana. 3. Ukuran Unsur yang ketiga adalah ukuran. Ukuran adalah besar kecilnya lain yang beragam,seperti corak hias pada kain, sulaman dan benda yang diketahui satuannya dengan cara membandingkan objek dengan alat ukur. Dalam desain, ukuran diharuskan memiliki keseimbangan yang sempurna agar hasil busana terlihat indah dan seimbang. 4. Warna Unsur yang keempat adalah warna. Inilah unsur desain yang paling menonjol karena sifatnya yang menarik mata. Warna adalah spectrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna (bewarna putih). Pada pembahasan ini, penulis akan menjelaskan warna menjadi dua bagian yaitu kelompok warna dan sifat warna. a. Kelompok Warna Pengelompokan warna di dunia didasarkan pada teori-teori dari beberapa ahli seperti teori Oswolk, teori Mussel, teori Prang, dan teori Buwster. Namun, dalam penggunaan oleh orang banyak dalam hubungannya dengan pakaian, teori Prang lebih sering digunakan karena kesederhanaannya mengelompokkan warna dan kemudahan dalam proses pencampuran. Prang mengelompokkan warna menjadi warna primer, sekunder, intermediet, tersier, dan kuarter. 33 Gambar 2.3 Lingkaran Warna Sumber : (Kurnia & Aminah, 2012:8) 1) Warna Primer Merupakan warna dasar karena bukan pencampuran dari warna lain. Warna primer terdiri dari warna merah, biru, dan kuning. Gambar 2.4 Warna Primer Sumber : (Kurnia & Aminah, 2012:9) 2) Warna Sekunder Merupakan pencampuran dari dua warna primer. Warna sekunder terdiri dari warna ungu (M+B), warna hijau (K+B) dan warna oranye (M+K). 34 Gambar 2.5 Warna Sekunder Sumber : (Kurnia & Aminah, 2012) 3) Warna Intermediet Merupakan pencampuran antara warna primer dengan warna sekunder yang berdekatan dalam lingkaran warna dan pencampuran dua warna primer dengan perbandingan 1:2. Warna intermediate terdiri dari warna kuning hijau (K+H atau 2K+1H), biru hijau (B+H atau 2B+1H), biru ungu (B+U atau 2B+1U), merah ungu (M+U atau 2M+1U), merah oranye (M+O atau 2M+1K),dan kuning oranye (K+O atau 2K+1M). Gambar 2.6 Warna Tersier Sumber : (Kurnia & Aminah, 2012) 35 4) Warna Tersier Merupakan pencampuran dua warna sekunder yang terdiri dari tersier merah (O+U), tersier biru (U+H), dan tersier kuning (H+O). 5) Warna Kuarter Merupakan pencampuran dua warna tersier yang terdiri dari kuarter hijau (B+K), kuarter ungu (M+B) dan kuarter oranye (M+K). b. Sifat Warna 1) Sifat Panas dan Dingin Sifat panas adalah sifat dari warna-warna yang ada pada bagian kiri dalam lingkaran warna (merah hingga kuning). Warna-warna tersebut memberikan kesan riang, gembira, semangat, marah, dan agresif. Sedangkan sifat dingin adalah sifat dari warna-warna yang ada pada bagian kanan dalam lingkaran warna (hijau hingga ungu). Warna-warna tersebut memberikan kesan sejuk, tenang, nyaman, melankolik, dan lembut. 2) Sifat Gelap dan Terang Sifat gelap dan terang didapatkan dengan cara menambahkan warna putih atau hitam. Jika menginginkan warna yang lebih gelap, tambahkan warna hitam (shade). Sebaliknya, jika menginginkan warna lebih terang, tambahkan warna putih (tint). 3) Sifat Terang dan Kusam Sifat terang dan kusam suatu warna sangat dipengaruhi oleh intensitas atau kekuatan warna tersebut. semakin tinggi intensitas, semakin terang sifat warna dan demikian sebaliknya. 36 5. Tekstur Unsur yang kelima adalah adalah tekstur. Tekstur adalah keadaan permukaan sebuah benda yang dapat diketahui dengan cara diraba dan dilihat. Sebuah benda bertesktur terang, gelap, menerawang, mengkilat, kaku dan lemas diketahui dengan cara dilihat. Sedangkan jika benda bertekstur kasar, lembut, licin, keras dan tebal dapat diketahui dengan cara diraba (Kurnia & Aminah, 2012). Setiap benda pasti memiliki tekstur. Entah itu benda berupa kayu, plastic, gelas, besi apalagi bahan pakaian pasti memiliki tekstur. Dalam hubungannya dengan desain, tekstur bahan sangat mempengaruhi bentuk tubuh, karakter, serta kepribadian seseorang. Misalnya, bahan yang bertekstur kasar sebaiknya tidak digunakan oleh seseorang yang bertubuh gemuk. Kemudian bahan yang bertekstur terang atau bercahaya sebaiknya digunakan oleh seseorang yang bertubuh kurus agar terlihat lebih gemuk (Kurnia & Aminah, 2012). 37 2.3 Kerangka Konseptual Professional attire Awak Kabin PT. Garuda Indonesia Tbk Unsur desain Proffesional Attire Awak Kabin PT. Garuda Indonesia Tbk : - Bentuk Motif Ukuran - Warna - Tekstur Denotasi Konotasi Mitos Makna Hasil Penelitian Gambar 2.7 Skema Kerangka Konseptual Sumber : Olah data penelitian Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, professional attire awak kabin PT Garuda Indonesia, Tbk merupakan objek penelitian ini. Professional attire awak kabin Garuda Indonesia didesain sedemikian rupa sebagai bentuk representasi maskapai pada masyarakat. Desain professional attire awak kabin Garuda Indonesia mempunyai unsur-unsur pembentuknya yang kemudian dianalisis berdasarkan : bentuk, motif, ukuran, warna dan teksturnya. Unsur-unsur desain tersebut memiliki makna yang kemudian dianalisis menggunakan analisis semiotika. Analisis semiotika 38 dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: denotasi, konotasi dan mitos. Setiap unsur desain professional attire awak kabin Garuda Indonesia dianalisis berdasarkan ketiga hal tersebut. Setelah dianalisis menggunakan analisis semiotika, peneliti akan mendapatkan makna hasil analisisnya.