BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori Bab ini akan membahas dasar teori tentang variabel-variabel yang membentuk niat pembelian ulang konsumen sehingga hasil penelitian yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. 2.2. Pengertian Isu Penelitian Niat pembelian ulang dipdanang penting untuk diteliti. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan prediksian mengenai perilaku pembelian ulang konsumen di Imeprial Kitchen cabang The Park Solo Baru. Melalui cara tersebut diharapkan penelitian ini dapat memberikan pemahaman dalam mengungkap variabelvariabel yang membentuknya. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi praktisi untuk merumuskan strategi pemasaran guna meningkatkan perilaku loyalitas konsumen. 2.3. Posisi Penelitian Sub bab ini bertujuan untuk menjelaskan posisi studi ini dibdaningkan dengan studi-studi terdahulu terkait dengan variablevariabel yang menjadi objek amatan dan alat statistic yang digunakan dalam penelitian. Kajian studi terdahulu yang menjadi dasar pembentukan model penelitian disajikan pada tabel II.1 Tabel II.1 mengindikasi perbedaan variable yang membentuk model. Dalam konteks 1 ini variabel dependen 2 dikonsepkan dalam Behavioral Intention, yaitu Namkung dan Jang (2007); Ryu dan Jang (2007) Selain itu, variabel independen juga dikonsepkan dalam variabel yang sama, yaitu: Physical Environtment pada penelitian Ryu dan Han (2007); Han dan Jang (2009); Han dan Ryu (2011). Pada studi ini variabel independen yang digunakan adalah Physical Environtment dengan 6 dimensi yang digunakannya meliputi : keindahan fasilitas, suasana, pencahayaan, tata ruang, perlengkapan makan dan pelayanan staf. Hal ini dikarenakan mampu mewakili karakteristik obyek dan setting di Indonesia. Selanjutnya kajian literatur juga mengindikasi keragaman terhadap variabel pemediasi dalam model, yaitu: (1) Pleasure dan Arousal pada penelitian Ryu dan Han (2007) (2) Price Perception dan Customer Satisfaction pada penelitian Han dan Jang (2009) (3) Discomfirmation dan Customer Satisfaction pada penelitian Han dan Ryu (2011) (4) Food Quality dan Satisfaction pada penelitian Namkung dan Jang (2007). Sedangkan pada studi ini variabel mediasi yang digunakan adalah Kepuasan Konsumen. Hal ini dikarenakan mampu mewakili karakteristik obyek dan setting di Indonesia. Seluruh penelitian dalam studi terdahulu menggunakan SEM (Structural Equation Model) untuk pengujian analisis, begitu juga dengan studi ini menggunakan SEM sebagai alat analisisnya. 3 Tabel II.1 Kajian Studi Terdahulu Peneliti (Tahun) Variabel Independen Variabel Mediasi Variebel Moderasi Variabel Dependen Alat Analisi Physical Environment Dimensions : Ryu dan Han, 2007 Namkung dan Jang, 2007 a. Facility b. Aesthetics, c. Lighting, d. Ambience, e. Layout, f. Table Setting, g. Employee a. Decordan Artifacts, b. Spatial Ple asure b. Aro Bahavioral Intention SEM Behavioral Intention SEM Customer Loyalty SEM Customer Loyalty SEM usal Food Quality Physical Environment Dimensions : Han dan Jang, 2009 a. Satisfaction a. Price Perception b. Customer Satisfaction Layout, c. Ambient Conditions Physical Environment Dimensions : Han dan Ryu, 2011 Penelitian ini 2015 a. Facility b. Aesthetics, c. Lighting, d. Ambience, e. Layout, f. Table Setting, g. Service Staff Dimensi Lingkungan Fisik : a. Keindahan fasilitas, b. Suasana, c. Pencahayaan , d. Tataruang, e. Perlengkapan makan, a. Discomfirmati on a. First b. Customer Satisfaction b. Repeat Kepuasan Konsumen Time Customer Customers Niat Pembelian Ulang SEM 4 f. Pelayanan staf Sumber : Hasil olahan penulis, 2016 2.4. Pembahasan Teori dan Hipotesis Dalam sub bab ini akan dijelaskan tentang definisi teoritis serta hubungan dimensi terhadap variabel. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman atau persepsi yang sama dari variabel yang akan diamati serta menjadikan penelitian ini mempunyai ldanasan teoritis yang kuat. 2.4.1. Lingkungan Fisik (Physical Environtment) Konsep lingkungan fisik atau yang lebih dikenal sebagai “Atmospherics” atau “Servicescape” pertama kali diperkenalkan lebih dari tiga dekade yang lalu oleh Kotler (1973). Kotler (1973) konsumen kemungkinan akan memberikan respon yang lebih pada produk atau layanan yang nyata ketika membuat keputusan pembelian. Respon yang diberikan termasuk pada tempat dan lebih spesifiknya pada atmospher dari tempat dimana konsumen melakukan keputusan pembelian. Atmospher merupakan desain dari lingkungan yang mempengaruhi pembelian individu. Sejak (Kotler, 1973) memperkenalkan lingkungan toko dapat memberikan 5 stimuli pada pembelian individu dan psikologi lingkungan diperoleh dari pemahaman lingkungan fisik sebagai elemen untuk mengetahui respon individu terhadap restoran (Baker, 1987; Bitner, 1990; Turley dan Milliman, 2000). Lingkungan fisik berperan penting dalam menciptakan image dan mempengaruhi perilaku konsumen khususnya yang bersangkutan dengan industri restoran (Hui, Robson dalam Ryu dan Han, 2011). Tingkat kepentingan lingkungan fisik dapat berubah-ubah tergantung pada karakteristik konsumsi konsumen pada suatu restoran. Yang pertama, pengaruh lingkungan fisik pada respon afektif konsumen restoran kelas atas mungkin akan lebih terlihat jika layanan yang diberikan memuaskan karena layanan merupakan hal primer untuk konsumen yang bertujuan hedonic daripada tujuan utilitarian. Pada konsumsi hedonik mengutamakan kepuasan sebagai tujuan utama pada pengalaman layanan (Babin dalam Ryu dan Han, 2011). Karena pada konsumen restoran kelas atas akan lebih sensitif pada kualitas keindahan yang ditampilkan restoran (Wakefield dan Blodgett, 1994). Yang kedua, pentingnya lingkungan fisik mungkin memiliki dampak yang tidak terlalu besar pada restoran cepat saji (Wakefiled dan Blodgett dalam Han dan Ryu, 2009). Namun konsumen kelas atas biasanya meluangkan waktunya lebih lama untuk menikmati suasana restoran makadari itu pentingnya lingkungan fisik harus diperhatikan. Konsep konkret 6 dari kerangka model untuk lingkungan fisik didasarkan pada tujuan lingkungan psikologi dan pemasaran restoran kelas atas (Bitner; Turley dan Miliman dalam Ryu dan Han, 2011). Ryu dan Jang (2008) dimensi-dimensi yang digunakan disebut dengan “DINESCAPE.’ DINESCAPE “SERVICESCAPE” yang lingkungan Namun, fisik. sebutan mendiskripsikan DINESCAPE lain dari karakteristik dari berbeda dengan SERVICESCAPE dimana DINESCAPE lebih difokuskan pada lingkungan restoran dan terbatas hanya pada area makan bagian dalam. Secara konseptual, DINESCAPE didefinisikan sebagai sesuatu yang membentuk lingkungan fisik dan individu melingkupi area makan restoran. DINESCAPE tidak menyertakan lingkungan luar seperti parkir dan desain eksternal bangunan dan yang bukan area lingkungan makan seperti tempat istirahat dan ruang tunggu dan mencoba memberikan seluruh informasi yang berguna yang dikhususkan pada tempat makan. Ryu dan Jang (2008) mengkategorikan DINESCAPE dalam enam dimensi, menurut (Cobe dalam Ryu dan Han, 2011) estetika fasilitas atau keindahan fasilitas di restoran dapat menjadi hal yang dapat menarik dan menahan individu untuk loyal pada restoran. Menurut (Baker dalam Ryu dan Han, 2011) suasana merupakan elemen tidak berwujud dari latarbelakang karakteristik berupa musik, bau dan temperatur yang memberikan efek tidak terlihat dan 7 secara tidak sadar mempengaruhi loyalitas individu. Tingkat pencahayaan memiliki efek terhadap konsumen dalam menilai kualitas dari ruangan restoran dan dapat merubah aspek fisik, emosi dan psikologi konsumen menurut (Kurtich dan Eakin dalam Ryu dan Han, 2011). Lokasi penempatan meja restoran memiliki dampak yang besar pada pengalaman konsumen pada saat makan di restoran menurut (Lin dalam Ryu dan Han, 2011). Tata cara penataan dekorasi meja dengan peletakan perlengkapan makan ternyata juga memberikan efek positif kepada konsumen menurut (Ryu dan Han, 2011). Ryu dan Jang, 2008a pelayanan staf atau layanan karyawan juga meurpakan bagian dari pengaturan layanan restoran yang mempengaruhi loyalitas individu a. Keindahan Fasilitas Keindahan fasilitas adalah keindahan fasilitas didalam restoran yang meliputi dekorasi ruangan, desain interior , warna dari cat tembok yang digunakan, penggunaan lantai dasar restoran dan furnitur-furnitur unik yang mempengaruhi individu pada saat makan. Sejalan dengan pengertian tersebut menurut (Wakefield dan Blodgett, 1994) mendefinisikan keindahan fasilitas adalah desain arsitektur, desain interior dan dekorasi yang memberi kontribusi terhadap ketertarikan individu pada lingkungan makan. Dengan nilai estetika yang tinggi maka ketertarikan individu juga akan tinggi terhadap lingkungan makan. 8 Studi sebelumnya mengindikasikan bahwa keadaan yang memunculkan desain arsitektur dapat memberikan kepada ketertarikan individu yang dipengaruhi skema warna yang terdapat pada lingkungan makan menurut (Bellizzi dan Hite; Crowley; Gorn, Chattopadhyay, Yi, dan Dahl; Mikellides dalam Ryu dan Jang, 2007). Perbedaan warna memiliki pengaruh yang berbeda pada mod, emosi dan perasaan individu. Keindahan fasilitas dapat menarik dan menahan konsumen berada didalam restoran (Cobe dalam Ryu dan Han, 2011). Bukan hanya dapat mempengaruhi konsumen di restoran saja melainkan dapat meningkatkan pendapatan restoran. Banyak restoran yang membuat pengakuan dan menggunakan keindahan fasilitas untuk membuat tema restoran yang khusus (Barbas dalam Ryu dan Han, 2011). Selain itu, keindahan fasilitas berperan penting dalam strategi pemasaran untuk mempengaruhi respon konsumen seperti sikap, emosi, persepsi harga, persepsi nilai, kepuasan, dan perilaku (Berry dan Wall, 2007; Han dan Ryu, 2009; Kim dan Moon, 2009; Liu dan Jang, 2009; Pullman dan Gross, 2004; Pullman dan Robson, 2007; Ryu dan Jang, 2007). Misalnya, disamping area makan konsumen sering meluangkan waktu untuk mengamati interior dari area makan. Dari evaluasi tersebut biasnaya mempengaruhi sikap terhadap restoran. Selain interior area makan, konsumen mungkin terpengaruh juga oleh skema warna dari area 9 makan, seperti hiasan tembok dan bunga yang menyertainya. Aspek lain yang termasuk dalam desain interior termasuk furnitur, lukisan, tumbuhan/bunga dan dekorasi tembok yang mungkin akan mempengaruhi kualitas penerimaan dari lingkungan makan, penimbulan emosi pada konsumen akan mempengaruhi perilaku konsumen. Kajian literatur sebelumnya menyatakan bahwa dimensi keindahan fasilitas mempunyai kesukaan. Kesukaan individu hubungan positif terhadap berpengaruh positif terhadap kepuasan konsumen menurut (Ryu dan Jang, 2007). Keindahan fasilitas menjadi penyebab dari kepuasan konsumen dan niat perilaku di konteks restoran kelas atas menurut (Ryu dan Jang, 2008b). b. Suasana Suasana adalah bagian dari lingkungan fisik yang nyata dirasakan individu tetapi tidak berwujud seperti alunan suara musik didalam restoran, suhu temperatur restoran dan bau-bauan yang memberikan efek wewangian kepada individu agar merasa tenang dan nyaman ketika mereka makan. Pengertian tersebut didukung dari studi (Baker dalam Ryu dan Han 2011) mengungkapkan suasana bisa dikatakan juga sebagai karakteristik background yang tidak terlihat yang mempengaruhi perasaan nonvisual dan mungkin 10 mempunyai efek tidak sadar bagi para konsumen. Kondisi background biasanya seperti musik, bau-bauan, dan suhu. Studi sebelumnya menemukan bahwa suasana musik dapat meningkatkan persepsi dari suatu tempat bisnis menurut (Mattila dan Wirtz; North dan Hargreaves dalam Ryu dan Han, 2011), juga dapat mendatangkan emosi (Ryu dan Jang, 2007); dapat mempengaruhi kepuasan konsumen dan relaksasi konsumen (Magnini dan Parker; Oakes dalam Ryu dan Han, 2011), juga dapat meningkatkan waktu untuk berbelanja dan menunggu (Yalch dan Spangenberg kecepatan dalam makan Ryu dan (Milliman Han, dalam 2011), Ryu dan mempengaruhi Han, 2011), mempengaruhi niat pembelian (Baker; North dan Hargreaves dalam Ryu dan Han, 2011), memperbaiki persepsi konsumen (Magnini dan Parker dalam Ryu dan Han, 2011), mempengaruhi interaksi penjual dan pembeli (Magnini dan Parker dalam Ryu dan Han, 2011), mempertinggi produktifitas konsumen (Magnini dan Parker; Mattila dan Wirtz; North dan Hargreaves dalam Ryu dan Han, 2011). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa musik dapat meningkatkan penjualan (Areni dan Kim; Mattila dan Wirtz; Milliman; North dan Hargreaves; Yalch dan Spangenberg dalam Ryu dan Han, 2011); dapat mempengaruhi niat pembayaran (Baker; North dan Hargreaves dalam Ryu dan Han, 2011); dapat 11 mempengaruhi persepsi konsumen (Hui; Mattila dan Wirtz; North dan Hargreaves; Yalch dan Spangenberg dalam Ryu dan Han, 2011). Empiris studi sebelumnya (Zemke dan Shoemaker dalam Ryu dan Han, 2011) menginvestigasi bagaimana suasana memberikan hubungan antara individu dengan ruang pertemuan. Studi tersebut menyatakan suasana pada ruang pertemuan secara signifikan meningkatkan jumlah interaksi sosial antar subjek. Suasana berefek siginifikan pada tingkat kesukaan konsumen menurut (Ryu dan Jang, 2007). Kim dan Moon dalam Ryu dan Han (2009) juga menemukan bahwa kondisi suasana memiliki tingkat asosiasi tertinggi dalam penerimaan kualitas layanan dan memiliki tingkat korelasi dengan perasaan senang. c. Pencahayaan Pencahayaan adalah wujud fisik dari cahaya lampu yang diatur dengan level-level kecerahan cahaya yang disesuaikan dengan kenyamanan individu pada saat makan dan memberikan efek tenang kepada individu melalui level pencahayaan yang tepat untuk restoran. Pengertian tersebut mengindikasikan adanya hubungan antara tingkat pencahayaan dan respon emosional individu dan pendekatan perilaku individu. Menurut (Baron dalam Ryu dan Han, 2011) menyatakan adanya efek positif yang lebih tingkat pencahayaan tingkat rendah dibdaningkan tingkat 12 pencahayaan tingkat tinggi. Pada tingkat pencahayaan yang tepat akan meningkatkan tingkat kenyamanan individu. Jenis lampu yang digunakan juga dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap kualitas ruang dan dapat memberikan penghargaan pada fisik, emosi dan psikologi aspek dan mempengaruhi niat perilaku individu. Pengujian yang dilakukan oleh (Knez dan Kers dalam Ryu dan Han, 2011) mengenai hubungan pencahayaan didalam ruangan, jenis kelamin dan umur terhadap suasana hati dan kinerja kognitif individu. pencahayaan Dalam didalam pengujiannya ruangan ditemukan merupakan bahwa sumber yang mempengaruhin hubungan emosi antara jenis kelamin dan umur. Pencahayaan memberikan efek visualisasi yang dominan pencahayaan adalah komponen dari suasana menurut (Heide, Laerdal dan Gronhaug, 2007), pencahayaan dapat berhubungan signifikan pada persepsi dan kesan konsumen menurut (Countryman dan Jang; Baker dan Cameron dalam Ryu dan Jang, 2007). Baker penelitiannya dan yang Cameron (1996) mengindikasi menyatakan bahwa inti preferensi dari tingkat pencahayaan menghubungkan antara kenyataan sosial dengan tingkat perhatian visual aktivitas khusu. Sementara itu tingkat pencahayaan yang tinggi lebih disukai untuk aktivitas yang 13 menuntut pencahayaan yang cukup atau bisa jadi tidka berpengaruh tergantung situasi sosial yang ada menurut (Biner, Butler, Fischer dan Westergren, 1989). Ditemukan juga tingkat pencahayaan yang rendah memiliki efek yang positif oleh (Baron dalam Ryu dan Han, 2011) pencahayaan rendah juga memberikan kenyamanan (Hopkinson, Petherbridge dan Longmore, 1966). Flynn, 1997 mengindikasikan bahwa individu lebih menyukai pencahayaan yang hangat dan cahaya yang rendah daripada pencahayaan yang dingin dan cahaya yang cerah atau cahaya lampu putih. Menurut (Butler dan Biner, 1987; Biner, Butler dan Westergren, 1989) menunjukkan bahwa fungsi interior dan hubungan sosial dari pengunjung melibatkan pengaturan preferensi pencahayaan. Interaksi dua arah antara jenis lampu dan jenis kelamin antara suasan hati positif dan negatif dan kinerja kognitif menunjukkan bahwa kinerja jenis lampu distimuli paling tidak suasana hati yang buruk dan membuat suasana hati positif baik di setiap jenis kelamin juga mempertinggi kinerja kognitif pada jangka waktu yang lama dan menyelesaikan permasalahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita dan pria mungkin memiliki perbedaan dalam menilai dingin atau hangatnya cahaya lampu putih secara emosional. Dengan kata lain, kualitas warna pada jenis lampu pada pencahayaan didalam ruangan mungkin 14 menyampaikan arti yang berbeda-beda oleh (Rapoport dalam Han dan Ryu, 2009) dan pemuatan afektif pada jenis kelamin yang berbeda oleh (Buck, 1984). d. Tata Ruang Tata ruang merupakan pengaturan objek dengan lingkungan. Tata ruang adalah ketepatan pengaturan meja, kursi, furnitur dan benda-benda yang terdapat didalam restoran untuk dapat memberikan efek nyaman kepada individu dan tidak membatasi ruang gerak individu terutama pada saat makan. Tata ruang membuat individu merasa tertarik dan dapat memberikan efek pada kualitas persepsi individu, tingkat kesenangan individu dan secara tidak sadar membuat mereka datang kembali. Tata ruang yang didesain secara spesifik dapat menambah beberapa tingkat kepuasan pada pengalaman mereka terhadap restoran dengan menstimuli eksplorasi fasilitas dengan lingkungan fisik restoran (Wakefield dan Blodgett, 1994). Tata ruang secara fungsional memiliki arti dimana cara dari tempat duduk, jalan diantara tempat duduk, deretan tempat duduk, tempat berjalan, garis layanan makanan, tempat istirahat, tempat masuk dan keluar didesain dan diatur sebaik mungkin pada pengaturan layanan. Tata ruang secara fungsional merupakan faktor penting di berbagai layanan seperti opera, teater, konser, 15 restoran dan sebagainya karena tata ruang berhubungan dengan kenyamanan konsumen (Wakefield dan Blodgett, 1994). Lokasi meja pada restoran memiliki dampak yang cukup besar pada pengalaman makan konsumen. Penempatan meja memiliki kemampuan menjaga privasi konsumen, melukiskan secara fungsional keinginan, dan sebagai batas antar konsumen yang satu dengan yang lainnya (Lin dalam Ryu dan Han, 2011). Ryu dan Jang (2008b) menyatakan bahwa tata ruang merupakan faktor signifikan yang berhubungan dengan kesukaan konsumen di restoran kelas atas. e. Perlengkapan Makan Perlengkapan makan adalah elemen penting yang terdapat pada setiap meja di restoran yang berfungsi untuk memudahkan dan membantu individu pada saat makan agar memberikan efek nyaman , perlengkapan makan tersebut meliputi sendok, garpu, jenis piring yang digunakan, dan lain sebagainya. Perlengkapan makan diterima sebagai salah satu pertimbangan kualitas dari layanan restoran. Artinya , dimensi perlengkapan makan dapat menjadi elemen yang penting di restoran kelas atas. Restoran kelas atas harus didesain untuk menyampaikan gambaran prestige untuk menarik konsumen kelas atas. Perlengkapan makan yang dimaksud meliputi piring kualitas tinggi, gelas dan linen yang dapat 16 digunakan untuk mempengaruhi kualitas persepsi konsumen untuk tertarik dan senang (Ryu dan Jang, 2008). f. Pelayanan Staf Pelayanan staf adalah wujud fisik yang dapat dirasakan individu melalui pelayanan staf, kasir dan jumlah karyawan restoran yang diwujudkan dengan pemberian rasa empati, keramahan dan ketanggap staf dalam memenuhi kebutuhan konsumen yang bertujuan untuk membuat konsumen merasa nyaman pada saat makan. Pelayanan staf diartikan juga sebagai pelayanan karyawan pada pengaturan layanan terhadap konsumen ( Ryu dan Jang, 2008a). Penilaian pelayanan staf dilihat dari seberapa banyak jumlah karyawan dan jenis kelamin karyawan. Penting untuk diketahui bahwa interaksi pelayanan staf berbeda dengan tampilan secara fisik dari layanan staf. Secara spesifik, layanan staf masuk menjadi salah satu dimensi dikarenakan layanan staf merupakan sesuatu yang tidak terlihat secara nyata yang dapat dipegang tetapi dapat dirasakan. Seragam kerja profesional dapat memberikan efek yang menyampaikan image dan nilai dari restoran tersebut. Baker dalam Ryu dan Han (2011) menyatakan bahwa isu banyaknya karyawan memberikan pengaruh positif terhadap emosi konsumen. (Tombs dan McColl Kennedy dalam Ryu dan Han, 2011) mengklaim bahwa pelayanan staf relatif memberikan efek kepada 17 afeksi individu dan kognitif respon yang mengakibatkan mereka berniat untuk datang kembali ke restoran. Kajian literatur sebelumnya menyatakan bahwa pelayanan staf memberikan pengaruh yang signifikan untuk mempengaruhi respon konsumen seperti kepuasan dan relaksasi konsumen. Ini artinya semakin tinggi pelayanan staf maka semakin tinggi kepuasan konsumen (Ryu dan Jang, 2007). Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut : H1 : Lingkungan fisik berpengaruh positif terhadap kepuasan konsumen 2.4.2. Kepuasan Konsumen (Customer Satisfaction) Costumer satisfaction atau Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membdaningkan antara persepsi atau kesan terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya. Jadi, kepuasan merupakan fungsi dari persepsi atau kesan atas kinerja dan harapan. Jika kinerja berada dibawah harapan maka pelanggan tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan maka pelanggan akan puas. Jika kinerja melebihi harapan maka pelanggan akan amat puas atau senang. Kunci untuk menghasikan kesetian pelanggan adalah memberikan nilai pelanggan yang tinggi (Kotler, 2003). Ketertarikan pada kualitas layanan harus diikuti dengan menguasai dan menyampaikan secara baik tingkat-tingkat kualitas 18 layanan agar dapat meningkatkan strategi yang ada melalui usaha penyedia layanan agar lebih efektif pada penempatan pasar menurut (Brown dan Swartz; Parasuraman, Zeithaml dan Berry; Rudie dan Wansley; Thompson DeSouza dan Gale dalam Ryu dan Jang, 2008). Namun masalah yang terjadi biasanya melekat pada saat implementasi di beberapa strategi yang dilakukan beberapa peneliti meliputi kualitas layanan yang sulit dipahami dan konstruksi abstrak sulit didefinisikan dan diukur (Brown dan Swartz; Carman; Crosby; Garvin; Parasuraman, Zethaml dan Berry; Rathmell dalam Ryu dan Jang, 2008). Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985,1988) menyatakan semakin tinggi tingkat penerimaan kualitas layanan akan meningkatkan kepuasan konsumen, dan faktanya yang baru muncul adalah kepuasan konsumen merupakan hasil dari kualitas layanan menurut (Bitner; Bolton dan Drew dalam Ryu dan Han, 2011). Pada penelitian Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985,1988) konsep model “Two-Way” hubungan antara kualitas layanan dan kepuasan membuktikan kualitas layanan menghasilkan kepuasan konsumen dan menurut (Bitner; Bolton dan Drew dalam Ryu dan Han, 2011) kepuasan konsumen adalah hasil dari kualitas layanan. Kedua model tersebut menyimpulkan hubungan antara kualitas layanan dan kepuasan konsumen mempengaruhi niat pembelian. 19 2.4.3. Niat Pembelian Ulang (Repurchase) Sesungguhnya niat perilaku dan kepuasan konsumen itu berbeda, mereka memiliki hubungan karena hasil dari kepuasan mungkin menguatkan keputusan konsumen untuk menggunakan fakta pelayanan untuk memberikan kesempatan (Cronin dan Taylor, 1992;Oliver, 1980). Niat perilaku dihubungkan dengan kepercayaan orang tentang apa yang mereka maksud pada situasi nyatanya (Ajzen dan Fishbein dalam Namkung dan Jang, 2007). Banyak penelitian memberikan konfirmasi positif dan asosiasi secara langsung diantara kepuasan konsumen dan niat perilaku, seperti pembelian ulang dan komunikasi WOM (Word of Mouth) menurut (Han dan Ryu, 2009;Kim, 2009; Kivela, 1999;Namkung dan Jang, 2007;Oliver, 1999; Ryu, 2010;Ryu dan Han, 2011). Kivela dalam Namkung dan Jang, 2007 menemukan bahwa kepuasan pada saat makan dipengaruhi karena niat perilaku pada tempat makan. Namkung dan Jang (2007) mengkonfirmasi bahwa ada hubungan positif antara kepuasan konsumen dan niat perilaku terhadap restoran kelas atas. Kim (2009) Han dan Ryu, 2009 juga menunjukkan bahwa kepuasan konsumen ada hubungan positif untuk melakukan niat pembelian ulang dan positif WOM. Ada tiga komponen dari lingkungan fisik menurut (Han dan Ryu, 2009) yaitu dekorasi, tata ruang dan suasana memiliki pengaruh yang kuat 20 persepsi harga pelanggan dan tingkat kepuasan pelanggan, entah secara langsung atau tidak langsung hal tersebut juga mempengaruhi loyalitas konsumen seperti niat pembelian ulang dan niat WOM. Beberapa peneliti menyatakan bahwa nilai memiliki pengaruh signifikan pada kepuasan konsumen dan niat perilaku individu menurut (Patterson dan Spreng; Danreassen dan Lindestad; McDougall dan Levesque; Pura; Chen dan Tsai; Leedalam Namkung dan Jang, 2007). Studi sebelumnya pada layanan makanan oleh (Almanza; John dan Tyas dalam Namkung dan Jang, 2007) dikonfirmasi bahwa kepuasan konsumen berpengaruh positif pada niat perilaku, seperti pembelian ulang. Disamping itu, hubungan positif juga terjadi antara penerimaan nilai dengan niat pembelian ulang menurut (Dodds; Parasuraman dan Grewal dalam Namkung dan Jang, 2007). Dapat diambil kesimpulan semakin tinggi kepuasan konsumen maka semakin tinggi niat pembelian ulang konsumen. Berdasarkan uraian tersebut maka dihipotesiskan : H2 : Kepuasan konsumen berpengaruh positif terhadap niat pembelian ulang 21 2.5. Model Penelitian Dari tujuh hipotesis yang telah dirumuskan dan hubungan antara variabel yang telah dikonsepkan, maka dapat digambarkan kedalam bentuk model kerangka penelitian yang mendeskripsikan hubungan pengaruh dimensi lingkungan fisik, kepuasan konsumen terhadap niat pembelian ulangs konsumen. Gambar II.1 Kerangka Penelitian H1 H2 22 Sumber : Hasil konstruksi penulis, 2016 Keterangan : Kerangka pemikiran dalam studi ini berdasarkan penelitian Ryu dan Jang (2011). Pada studi ini mengacu karakteristik lingkungan fisik restoran yang mencakup dimensi keindahan fasilitas, suasana, pencahayaan, tata ruang, perlengkapan makan dan pelayanan staf sebagai variabel independen, sedangkan kepuasan konsumen sebagai variabel mediasi yang mewakili paparan variabel lingkungan fisik, dan niat pembelian ulang konsumen sebagai variabel dependen. H1 menunjukkan pengaruh variabel lingkungan fisik pada kepuasan konsumen. H2 menunjukkan pengaruh respon kepuasan konsumen pada niat pembelian ulang konsumen.