1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja sesungguhnya menjalani periode kehidupan yang penuh dengan dinamika, karena pada masa tersebut terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pada masa ini, empati memiliki peran yang penting dalam perkembangan remaja khususnya untuk menumbuhkan perilaku prososial dan kompetensi sosial pada remaja (Eisenberg & Morris, 2001; Miller, 2009). Kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan membuat remaja dapat tumbuh menjadi pribadi yang unggul, berguna dan bermanfaat bagi sesama (Daruma, 2003). Pada masa remaja, empati terutama ditujukan terhadap orang lain yang dianggap memiliki keadaan kurang beruntung (Damon dalam Santrock, 2007). Hogan (1984) mengungkapkan bahwa remaja dengan kemampuan empati yang tinggi memiliki kemampuan berperan imajinatif, menyadari pengaruh terhadap orang lain, kemampuan mengevaluasi motif perilaku orang lain, mengetahui motif dan perilaku orang lain, dan mempunyai rasa pengertian sosial. Remaja yang memiliki empati yang tinggi memiliki rasa pengertian dan kasih sayang terhadap sesama, mampu berinisiatif membantu orang lain yang tidak mereka kenali atau berbeda dari diri mereka, selanjutnya meningkatkan motivasi untuk memberikan pertolongan (Dadds dkk, 2008). Menurut Lauster (1995) empati berfungsi untuk mempercepat hubungan dengan orang lain sehingga dapat menghindari adanya kesalahpahaman, perdebatan dan ketidaksepakatan antar individu. Dymond (1995) menambahkan 2 empati berfungsi pula dalam penyesuaian diri karena terdapat kesadaran dalam diri bahwa sudut pandang setiap orang berbeda sehingga lebih fleksibel, optimis dan memiliki kematangan emosi. Sejalan dengan pendapat Dymond, Mussen, Eisenberg, dan Nancy (1989) menambahkan empati berfungsi untuk meningkatkan pemahaman diri dengan memahami perspektif orang lain sehingga terjadi perbandingan sosial yang dilakukan dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Empati menjadi bagian penting bagi perkembangan remaja untuk menjaga remaja terhindar dari perilaku merugikan orang lain dan menemukan penyesuaian diri dengan lingkungan sosial. Idealnya, seorang remaja memiliki empati yang cukup tinggi sehingga kemampuan sosialnya turut berkembang. Sayangnya remaja juga memiliki kerentanan untuk melakukan perilaku beresiko, misalnya merokok di tempat umum tanpa mempedulikan orang di sekitarnya yang terganggu, mengganggu teman yang sedang serius belajar dan mengambil barang milik temannya (Fitri, 2008). Remaja berperilaku demikian bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan melupakan sejenak masalah yang dialami, Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan psikis yang kurang menjadi penyebab remaja menjadi lebih egois, narsis dan penyendiri sehingga lebih suka bermain sendiri dibanding bersama temannya. Kurangnya empati pada remaja muncul menjadi sikap abai terhadap lingkungan sosial. Hasil interview dengan guru di SMP ―X‖ menunjukkan beberapa permasalahan remaja yang serupa. Ditemukan beberapa masalah terkait dengan empati remaja, terutama pada siswa/i di sekolah tersebut, antara lain: siswa kurang mau membantu satu sama lain, terutama pada sesamanya yang sedang kesusahan, baik dalam pelajaran maupun dalam pergaulan. Terungkap adanya 3 siswa yang berusaha melepaskan diri dari hubungan pertemanan, karena dianggap hubungan tersebut tidak menguntungkan bagi cita-cita dan prestasinya. Ditemukan juga siswa yang merasa memiliki kawan akrab, namun sayangnya teman tersebut jarang mau berbagi, congkak dan merasa dirinya paling hebat. Informasi tersebut memperkuat hasil pengamatan yang peneliti temukan di lapangan yakni pada kelas IX tanggal 21 Mei sampai dengan tanggal 26 Mei 2012. Perilaku siswa yang teramati adalah merokok di lingkungan sekitar sekolah, mencorat-coret tembok sekitar sekolah dengan sebuah nama geng dan beberapa siswa yang melemparkan kata kata kasar pada temannya. Berdasarkan pengamatan tersebut peneliti kembali wawancara dengan guru bimbingan konseling di SMP ―X‖, pada tanggal 28 Mei 2012. Hasil dari wawancara tersebut diperoleh bahwa (1) di sekolah tersebut terdapat sebuah geng yang melakukan tindakan anarki antara lain terlibat tawuran antar sekolah dan antar warga, (2) di sekitar sekolah terdapat beberapa warung kecil yang sering digunakan siswa untuk berkumpul saat istirahat atau pulang sekolah, biasanya mereka merokok di dalam warung tersebut. Hasil pengamatan dan wawancara terhadap guru tersebut di dukung pula oleh guru bidang studi yang mengajar di kelas, bahwa dalam satu kelas, terdapat beberapa anak yang biasanya membuat suasana kelas menjadi tidak nyaman, antara lain dengan perilaku mengabaikan guru dengan sengaja, kurang mau berbagi ilmu dengan temannya karena merasa diri paling pintar dan tidak mau tersaingi. Munculnya kecenderungan agresi tersebut merupakan tanda kurangnya empati (Bandura, Caprara, Barbaranelli, Pastorelli, & Zimbardo, 2000) karena perilaku agresif selalu berhubungan negatif dengan perilaku-perilaku prososial, termasuk empati. 4 Goleman (2001) menyatakan bahwa proses empati memerlukan perpaduan antara keterampilan kognitif dan afektif. Proses sensasi adalah hal awal inderawi yang mendahului terjadinya empati. Pesan yang diterima alat indera tersebut kemudian dinilai dan dimaknai. Proses pemberian nilai dan makna ini disebut sebagai persepsi (Tubbs, 2005). Belajar melalui proses sensasi dan persepsi adalah pengasahan dari potensi menjadi kemampuan yang terwujud. Kemampuan seseorang untuk menangkap pesan (sensasi) tertentu dan memaknainya (persepsi) secara tepat sesuai sudut pandang orang lain akan menggerakkan (motivasi) seseorang untuk berempati. Bandura (Hergenhahn, Olson & Mattew, 2009) mengungkapkan orang belajar dengan mengamati perilaku dari orang lain dan hasil dari perilaku tersebut. Orang dapat belajar melalui observasi meskipun hasil belajar mereka belum tentu ditampilkan dalam perilaku. Pandangan Determinisme Resiprok (Reciprocal Determinism) yang diungkapkan oleh Bandura menjabarkan bahwa seseorang berperilaku tertentu karena adanya interaksi antara orang, lingkungan, dan perilaku orang tersebut, yang kemudian menghasilkan perilaku berikutnya. Dari konsep ini, bisa dikatakan bahwa perilaku mempengaruhi lingkungan dan lingkungan mempengaruhi perilaku. Menurut Bandura empati berkembang karena interaksi dengan banyak orang yang ditemui di sekelilingnya dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan penjelasan tersebut maka diketahui bahwa kemampuan empati seseorang merupakan kemampuan yang dapat dikembangkan oleh setiap individu. Kemampuan empati yang berdampak pada perilaku prososial muncul karena adanya interaksi dengan orang lain. 5 Orang-orang atau lingkungan yang utama dalam bersosialisasi berasal dari keluarga. Interaksi yang penting dalam perkembangan empati individu adalah interaksi yang berasal dari keluarga sebagai lingkungan awal individu berinteraksi dengan orang lain. Keluarga meliputi cara orangtua dalam mengasuh dan kualitas hubungan yang terjadi antara saudara kandung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dadds, dkk (2008), permasalahan sosial muncul karena ketidakpuasan remaja terhadap kondisi orangtua. Pada saat remaja cenderung kurang mendapatkan kasih sayang, kurang mampu mengerti, dan memahami emosi orang lain maka terwujud dalam perilakunya yang cenderung tidak mudah membantu orang lain yang kesusahan. Atau dengan kata lain ketika remaja memiliki kemampuan empati yang rendah maka akan lebih banyak melakukan tindakan agresif. Keterlibatan orangtua sebagai penyebab munculnya permasalahan sosial di lingkungan remaja antara lain karena ketidakcocokan menerapkan pola asuh pada remaja tersebut. Orangtua memberi kebebasan pada remaja untuk berkreasi dan bereksploitasi tanpa stressor batasan dan pengawasan yang baik, orangtua bersikap kurang responsif terhadap kebutuhan anak, orangtua tidak mendukung remaja untuk menyatakan pendapat dan memberi penjelasan tentang ide mereka. Baumrind (1991) menegaskan bahwa penerapan pola pengasuhan yang tepat pada remaja dapat berpengaruh positif terhadap perilaku remaja. Pola asuh otoritatif cocok dan baik untuk diterapkan pada individu yang berada pada usia remaja. Baumrind (1991) memaparkan pola pengasuhan otoritatif diwujudkan dengan sikap orangtua dalam mendidik remaja dengan memberi kebebasan pada remaja untuk berkreasi dan mengeksploitasi berbagai 6 hal sesuai dengan kemampuan anak dengan stressor batasan dan pengawasan yang baik. Orangtua bersikap responsif terhadap kebutuhan remaja, mendorong untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan, memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk. dengan penuh semangat, bahagia Remaja akan menjalani hidupnya percaya diri, dan remaja akan memiliki pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak mudah bertindak anarkis. Santrock (2007) menambahkan bahwa remaja yang diasuh dengan pola pengasuhan otoritatif tumbuh menjadi remaja yang cenderung mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa dan bisa mengatasi stress dengan baik. Sejauh ini penelitian tentang hubungan antara empati remaja ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh orangtua telah cukup banyak diteliti. Penelitian Carina (2008) tentang efek pola asuh orangtua dalam perkembangan perilaku hiperaktif, agresi pada remaja pria dan wanita. Penelitian Mcpherson (2004) tentang pola asuh orangtua otoritatif dapat memprediksi penggunaan alkohol pada remaja pria dan wanita. Penelitian Patterson dan Hastings (2007) mengenai kegagalan orangtua dalam mengatur, mendisiplinkan, menghargai dan memecahkan masalah bersama remaja membentuk remaja yang anti sosial. Keotoritatifan orangtua dalam mengasuh remaja memiliki peran yang penting dalam perkembangan dan empati remaja. Pola asuh otoritatif menekankan beberapa aspek, antara lain: pertama, kontrol terhadap aktivitas anak yang bersifat mengarahkan. Kedua, tuntutan kedewasaan dengan memberi kesempatan remaja menghadapi dan mengatasi permasalahan yang dimiliki diikuti oleh campur tangan orangtua untuk mengarahkan pada aspek kepribadian yang positif. Ketiga, komunikasi anak dan orangtua yang terwujud ketika 7 orangtua menyediakan waktu pada remaja untuk percakapan yang bersifat pribadi diluar masalah rutin. Keempat, kasih sayang yang tampak dari pujian, penghargaan, belaian dan kehangatan pada remaja. Orangtua yang mampu memenuhi aspek tersebut cenderung mampu memberikan contoh perilaku positif pada remaja dan lingkungannya, menanamkan norma-norma masyarakat sehingga dapat menambah kedekatan dengan remaja dan menciptakan hubungan yang hangat antara orangtua dan remaja. Kehangatan dan kedekatan yang tercipta merupakan salah satu faktor untuk mengembangkan empati remaja (Shaffer, Harrison, & Joplin., 2004). Oleh karena itu, keotoritatifan orangtua dalam mengasuh remaja penting untuk diteliti. Selain adanya faktor keotoritatifan pola asuh orangtua, perkembangan empati remaja dipengaruhi oleh kualitas hubungan saudara kandung. Kualitas hubungan saudara kandung memiliki pengaruh besar dalam perilaku-perilaku perkembangan sosial saudaranya, melalui kebersamaan dalam perilaku menolong, agresifitas, dan aktifitas yang dilakukan bersama-sama. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Toumbourou dan Gregg (2002) bahwa dengan adanya intervensi antara orangtua dan anggota keluarga lain berguna untuk meningkatkan komunikasi dan mengurangi konflik pada perilaku sosial remaja. Bhurmester dan Furman (dalam Brody, Stoneman, & Flor, 1996) menjelaskan empat dimensi dari hubungan saudara kandung yaitu kehangatan (Warmth), status atau kekuatan (relative power / status), konflik (conflict), dan juga persaingan (rivalvy) antara sesama saudara kandung. Hal ini ditunjukkan dengan adanya korelasi positif antara hubungan saudara kandung dengan kehangatan dan afeksi, serta berkorelasi negatif antara saudara kandung dengan konflik dan persaingan. 8 Cicirelli (1995) mengungkapkan bahwa pengaruh saudara kandung dalam proses sosialisasi dapat lebih kuat dibandingkan orangtua. Kehadiran saudara kandung dapat bertindak sebagai pendukung secara emosional, kawan berkomunikasi, bahkan sebagai saingan. penelitian Crinc dan Leconte (1994) menguraikan bahwa hubungan antara saudara kandung adalah hubungan yang unik, penting dan spesial dimana satu sama lain saling mempengaruhi kehidupan saudaranya. Jika salah satu saudaranya mengalami tunaganda maka hubungan jangka panjang yang terjadi dapat mempengaruhi perkembangan satu sama lain. Mempertegas pendapat tersebut Vadasy, Fewell, Meger dan Schell (1984) menjelaskan bahwa remaja yang memiliki saudara tunaganda memiliki kesempatan untuk mengembangkan dan menunjukkan perasaan dan sikap positif dalam berinteraksi dengan lingkungan dibanding dengan remaja yang tidak memiliki saudara tunaganda atau berkebutuhan khusus. Perasaan dan sikap positif tersebut meliputi tingkat kedewasaan, tanggung jawab, dan cenderung lebih empati dan tolleran terhadap perbedaan. Beberapa hasil penelitian sebelumnya semakin mempertegas pendapat Eisenberg dan Morris (2001) bahwa semakin sering seseorang bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain maka kepekaan dan empatinya akan semakin terasah. Dengan memiliki kemampuan berkomunikasi, menyesuaikan diri, dan toleransi terhadap orang lain mempermudah remaja untuk semakin banyak berinteraksi dengan orang lain sehingga empati remaja akan semakin bertambah baik. Penelitian yang dilakukan oleh Garcia dan Enrique (2009), menemukan bahwa hubungan antar saudara kandung dapat menjadi dasar untuk mengukur perkembangan kemampuan sosial seseorang. Penelitian Yeh dan Lempers 9 (2004) menambahkan bahwa kelekatan antar saudara kandung dan hubungan dengan saudara kandung yang kuat dapat memberikan sumbangan dalam kesuksesan perkembangan sosial dan penyesuaian diri yang sehat. Menurut pendapat Furman dan Lanthier (1996) kehadiran saudara kandung merupakan bagian pokok dari kehidupan sosial individu. Memiliki saudara kandung dapat merupakan suatu kebahagiaan, dapat juga menjadi ancaman, atau bahkan keduanya. Hubungan antar saudara kandung dapat berubah-ubah, perasaan yang muncul dapat sangat positif, dapat juga sangat negatif. Observasi yang dilakukan oleh Basket dan Johnson (dalam Santrock, 2007), menunjukkan bahwa anak-anak berinteraksi lebih positif dan lebih bervariasi dengan orangtuanya daripada dengan saudara kandungnya. Berdasarkan penelitian sebelumnya, kualitas hubungan saudara kandung berperan penting dalam menciptakan kehangatan dan afeksi yang tinggi. Remaja mampu bersosialisasi dengan lingkungan apabila memiliki kehangatan dan afeksi yang tinggi. Dipertegas dengan adanya pendapat Mathew (Hoffman, 2000) semakin banyak dan semakin sering seseorang bersosialisasi akan semakin terasah kepekaannya terhadap emosi orang lain. Dalam sosialisasi ditemukan banyak model yang akan memberikan contoh kebiasaan prososial. Berdasarkan uraian permasalahan serta pemaparan penelitian yang pernah dilakukan terdahulu maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam usaha mencari penjelasan tentang hubungan empati, keotoritatifan pola asuh orangtua dan kualitas hubungan saudara kandung. Sehingga permasalahan penelitiannya adalah apakah keotoritatifan pola asuh dan kualitas hubungan saudara kandung dapat digunakan sebagai prediktor empati pada remaja. 10 B. Perumusan Masalah Sesuai dengan apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah di atas, maka perumusah masalah penelitian ini yaitu: Apakah empati remaja dapat diprediksi dengan keotoritatifan pola asuh orangtua dan kualitas hubungan saudara kandung? C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan penelitian Berdasarkan dari latar belakang penelitian, tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti yaitu untuk memprediksi empati remaja ditinjau dari keotoritatifan pola asuh orangtua dan kualitas hubungan saudara kandung. 2. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran dan penjelasan yang disertai bukti empiris berdasarkan hasil penelitian mengenai besarnya pengaruh keotoritatifan pola asuh orangtua dan kualitas hubungan saudara kandung terhadap empati pada remaja. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk penelitian-penelitian selanjutnya dalam bidang ilmu psikologi. D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian mengenai empati dan persepsi pola asuh otoritatif dan persepsi hubungan saudara kandung sudah pernah dilakukan. Akan tetapi masing-masing peneliti mengkaji dari berbagai dimensi yang berbeda sehingga 11 sangat bermanfaat sebagai bahan pembanding untuk menentukan keaslian penelitian ini. Beberapa penelitian tersebut akan disebutkan di bawah ini. Meliyana (2009) melakukan penelitian tentang peran empati terhadap ketrampilan sosial dan agresifitas pada anak sekolah dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa empati berperan dalam agresifitas dan kemampuan sosial anak. Semakin tinggi empati anak maka ketrampilan sosialnya semakin tinggi pula, akan tetapi agresifitasnya semakin rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Amin (2010) dengan metode pemberian skala pada 93 siswa SMP menunjukkan bahwa pola asuh otoritatif dan pemahaman cerita islami memiliki hubungan yang positif terhadap penalaran moral remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2010) dengan metode pemberian skala pada 132 orang menunjukkan bahwa persepsi terhadap pola asuh otoriter orangtua dan kemampuan berempati memiliki hubungan dengan kecenderungan berperilaku bullying pada remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Wardhati (2004) tentang pemaafan ditinjau dari empati dan penilaian terhadap peristiwa yang menyakitkan dalam hubungan interpersonal yang erat. Penelitian dikenakan pada 190 mahasiswa s1 psikologi universitas gajah mada, berusia 19 sampai 22 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa empati dan penilaian terhadap peristiwa yang menyakitkan secara bersama-sama berperan positif terhadap pemaafan dalam hubungan interpersonal yang erat. Penelitian yang dilakukan oleh Murniatiek (2004) tentang hubungan antara penilaian anak terhadap cerita fim anak di televisi dengan kemampuan empati dan perilaku prososial pada anak usia sekolah dasar. Subjek penelitian ini adalah 116 anak kelas IV, V, dan VI sekolah dasar di SDN Samirono Yogyakarta, 12 berusia 9-12 tahun serta memiliki pesawat telepon di rumahnya. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa ada hubungan positif antara penilaian anak terhadap cerita film anak di televisi dengan kemampuan empati dan perilaku prososial. Penelitian yang dilakukan oleh Setyawan (2008) tentang kemampuan empati anak sekolah dasar pada sekolah alam dan sekolah regular. Subjek penelitian ini adalah 552 siswa sekolah alam dan sekolah dasar regular kelas IVVI sekolah dasar, yang berusia 9-12 tahun dari SD negeri I Ngresep Semarang dan SD Islam Terpadu Hidayatullah Semarang. Subjek dari sekolah alam berasal dari sekolah dasar Ar Ridho Semarang dan Sekolah Dasar Kanisius Mangunan Yogyakarta. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan kemampuan empati pada anak sekolah dasar di sekolah regular dan di sekolah alam. Berdasarkan paparan berbagai hasil penelitian di atas, dan sejauh pengetahuan penulis, belum ditemukan penelitian lain yang memasangkan antara variabel empati, keotoritatifaan pola asuh orangtua, dan kualitas hubungan saudara kandung pada remaja. Oleh karena itu penelitian ini masih perlu dilakukan karena berdasarkan penelitian sebelumnya hanya meneliti kemampuan empati terhadap keterampilan sosial, hubungan antara pola asuh otoriter orangtua dan kemampuan berempati terhadap perilaku bullying pada remaja. Selain itu, terdapat perbedaan subjek dan lokasi penelitian dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Untuk itu penulis berpendapat bahwa penelitian ini dapat dijamin keasliannya sekaligus dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.